Anda di halaman 1dari 23

Nama : Krismanto Waruwu

Nim : 19136020

Mata Kuliah : Geografi Pembangunan

Dosen Pengampu : Yurni Suasti, M.Si | Selasa, 16.20-18.00 | Ruang Kelas : UNP15111

MENGANALISIS TEORI MODERNISASI DAN TEORI


KETERGANTUNGAN
A. Teori Modernisasi

1. Pengertian Modernisasi

Secara etimologis, ada beberapa tokoh yang mengajukan pendapat tentang


makna modernisasi. Everett M. Rogers dalam “Modernization Among Peasants: The
10 Impact of Communication” menyatakan bahwa modernisasi merupakan proses
dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih
kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.
Cyril E. Black dalam “Dinamics of Modernization” berpendapat bahwa secara
historis modernisasi adalah proses perkembangan lembaga-lembaga secara perlahan
disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat dan menimbulkan peningkatan
yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia. Dengan
pengetahuan tersebut, akan memungkinkan manusia untuk menguasai lingkungannya
dan melakukan revolusi ilmiah.
Daniel Lerner dalam “The Passing of Traditional Society: Modernizing the
Middle East ”menyatakan bahwa modernisasi merupakan suatu trend unilateral yang
sekuler dalam mengarahkan cara-cara hidup dari tradisional menjadi partisipan.
Marion Ievy dalam “ Modernization and the Structure of Societies” juga menyatakan
bahwa modernisasi adalah adanya penggunaan ukuran rasio sumberdaya kekuasaan,
jika makin tinggi rasio tersebut, maka modernisasi akan semakin mungkin terjadi.
Dari beberapa definisi tersebut, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah
upaya tindakan menuju perbaikan dari kondisi sebelumnya. Selain upaya, modernisasi
juga berarti proses yang memiliki tahapan dan waktu tertentu dan terukur.
Sebagaimana sebuh teori, Modernisasi memiliki asumsi dasar yang menjadi pangkal
hipotesisnya dalam menawarkan rekayasa pembangunan. Pertama, kemiskinan
dipandang oleh Modernisasi sebagai masalah internal dalam sebuah negara (Arief
Budiman, 2000:18). Kemiskinan dan problem pembangunan yang ada lebih
merupakan akibat dari keterbelakangan dan kebodohan internal yang berada dalam
sebuah negara, bukan merupakan problem yang dibawa oleh faktor dari luar negara.
Kedua, muara segala problem adalah kemiskinan, pembangunan berarti perang
terhadap kemiskinan. Jika pembangunan ingin berhasil, maka yang pertama harus
dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan dari sebuah negara. Cara paling tepat
menurut Modernisasi untuk menghilangkan kemiskinan adalah dengan ketersediaan
modal untuk melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat investasi di sebuah negara,
maka secara otomatis, pembangunan telah berhasil, (Mansour Fakih, 2002:44-47).
Teori Modernisasi adalah teori pembangunan yang menyatakan bahwa
pembangunan dapat dicapai dengan mengikuti proses pengembangan yang digunakan
oleh negara-negara berkembang saat ini. Teori tindakan Talcott Parsons
'mendefinisikan kualitas yang membedakan "modern" dan "tradisional" masyarakat.
Pendidikan dilihat sebagai kunci untuk menciptakan individu modern. Teknologi
memainkan peran kunci dalam teori pembangunan karena diyakini bahwa teknologi
ini dikembangkan dan diperkenalkan kepada negara-negara maju yang lebih rendah
akan memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor kunci dalam Teori
Modernisasi adalah keyakinan bahwa pembangunan memerlukan bantuan dari
negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang untuk belajar dari
perkembangan mereka. Dengan demikian, teori ini dibangun di atas teori bahwa ada
kemungkinan untuk pengembangan yang sama dicapai antara negara maju dan
dikembangkan lebih rendah.

2. Sejarah Lahirnya Teori Modernisasi

Teori modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial Barat terhadap


Perang Dunia II. Teori ini muncul sebagai upaya Amerika untuk memenangkan
perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu sedang populer. Bersamaan
dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini. Negara adidaya
melihat hal ini sebagai peluang untuk membantu Negara Dunia Ketiga sebagai upaya
stabilitas ekonomi dan politik.
Di awal perumusannya tahun 1950-an, aliran modernisasi mencari bentuk teori
dan mewarisi pemikiran-pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Teori
evolusi dan fungsionalisme pada waktu itu dianggap mampu menjelaskan proses
peralihan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di Eropa Barat, selain
juga didukung oleh para pakar yang terdidik dalam alam pemikiran struktural-
fungsionalisme. Teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai
gerakan searah seperti garis lurus. Kita dapat melihatnya dalam karya-karya Spencer
dan Comte. Teori fungsionalisme dari Talcott Parsons beranggapan bahwa
masyarakat tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia yang memiliki berbagai
bagian yang saling bergantung.
Selain itu, teori modernisasi pun didukung oleh tokoh-tokoh seperti Neil
Smelser dengan teori diferensiasi strukturalnya. Smelser beranggapan dengan proses
modernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai
berbagai fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu
fungsi yang lebih khusus. Sedangkan Rostow yang menyatakan bahwa ada lima
tahapan pembangunan ekonomi. Ia merumuskannya ke dalam teori tahapan
pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas,
lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan berakhir dengan tahap konsumsi massal
yang tinggi. Di samping itu, ada beberapa varian teori modernisasi lain seperti
Coleman dengan diferensiasi dan modernisasi politik-nya, Harrod-Domar yang
menekankan penyediaan modal untuk investasi pembangunan, McClelland dengan
teori need for Achievement (n-Ach)-nya, Weber dengan “Etika Protestan”-nya,
Hoselitz yang membahas faktor-faktor nonekonomi yang ditinggalkan Rostow yang
disebut faktor“kondisi lingkungan”, dan Inkeles yang mengemukakan ciri-ciri
manusia modern.
Satu hal yang menonjol dari teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak
memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber
kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Alhasil faktor eksternal menjadi terabaikan. Teori modernisasi memberikan solusi,
bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan
bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi negara itu disarankan untuk
meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan
demokrasi politik (Garna, 1999: 9). Karena berpatokan dengan perkembangan di
Barat, modernisasi diidentikkan dengan westernisasi. Teori ini pun kurang mampu
menjawab kegagalan penerapannya di Amerika Latin, tidak memperhatikan kondisi
obyektif masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih berkembang di Negara
Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya, muncullah teori modernisasi baru. Bila dalam
teori modernisasi klasik, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan, dalam
teori modernisasi baru, tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan.
Namun, tetap saja baik teori modernisasi klasik, maupun baru, melihat permasalahan
pembangunan lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju
lainnya.

3. Teori Modernisasi

Teori pembagian kerja secara Internasional yaitu didasarkan pada teori


keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara, mengakibatkan terjadinya
spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang
mereka miliki. Oleh karena itu, secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok
negara: Negara yang memproduksi hasil pertanian dan negara yang memproduksi
bahan industri. Antara kedua kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan
keduanya menurut teori di atas saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluh
tahun kemudian, negara-negara industri menjadi semakin kaya, sedangkan negara-
negara pertanian semakin tertinggal neraca perdagangan antara kedua jenis negara ini
selalu menguntungkan negara-negara yang mengkhususkan diri pada produksi barang
industri.
Terhadap kenyataan ini, secara umum terdapat dua kelompok teori. Pertama.
Teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh faktor-
faktor internal. Teori kelompok pertama ini dikenal dengan nama Teori Modernisasi.
Kedua, teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai
penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan dilihat
terutama sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan luar yang menyebabkan negara
yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Teori-teori ini, yang masuk ke
dalam kelompok teori struktural. Teori yang tergolong ke dalam kelompok Teori
Modernisasi sebagai berikut :
a. Teori Harrod-Domar Tabungan dan Investasi
Salah satu teori ekonomi pembangunan yang sampai sekarang masih terus
dipakai, meskipun sudah dikembangkan secara lebih canggih, adalah teori dari
Evsey Domar dan Roy Harrod. Kedua ahli ekonomi ini, yang bekerja secara
terpisah mencapai kesimpulan yang sama, yakni bahwa pertumbuhan ekonomi
ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Kalau tabungan dan investasi
rendah, pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga akan rendah.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan invertasi ini kemudian
dirumuskan dalam rumus Harrod-Domar yang sangat terkenal di kalangan para
ahli ekonomi pembangunan.
Rumus pembangunan Harrod-Domar ini didasarkan pada asumsi bahwa,
masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan
investasi modal. Masalah ketebalakangan adalah masalah kekurangam modal.
Kalau ada modal, dan modal ini diinvestasikan, hasilnya adalah pembangunan
ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh Blomstrom dan Hettne.
Melihat perbedaan tang tampak antara negara-negara industri dan negara-
negara yang sedang berkembang, dibuatlah usaha-usaha untuk menggambarkan
tingkat dan macam-macam aspek dari keterbelakangan. Persoalan
keterbelakangan kemudian dirumuskan sebagai masalah kekurangan, yakni
kekurangan modal.
Modifikasi-modifikasi dari teori Harrod-domar memang terus terjadi. Tetapi
prinsipnya sama yaitu kekurangan modal, tabungan dan investasi menjadi masalah
utama pembangunan. Teori Harrod-Domar memang tidak mempersoalkan
masalah manusia. Bagi kedua tokoh itu yang penting adalah menyediakan modal
untuk investasi.

b. Max Weber: Etika Protestan


Berbeda dengan Teori Harrod-Domar, teori Weber memepersoalkan maslah
manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-ilai
agama. Max Weber adalah sosiologi Jerman yang dianggap sebagai bapak
sosiologi modern. Dia membahas bermacam gejala kemasyarakatan, misalnya
tentang perkembangan bangsa-bangsa di dunia, tentang kepemimpinan, tentang
birokrasi, dan sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masalah
pembangunan yang dibahas oleh Max Weber adalah tentang peran agama sebagai
faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Pembahasan ini diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme.
Dalam bukunya Weber mencoba menjawab pertanyan, mengapa beberapa
negara di Eropa dan Amerikan Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat
dibawah sistem kapitalisme. Setelah melakukan analisis, Weber mencapai
kesimpulan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah apa yang disebut Etika
Protestan.
Etika protestan lahir di Eropa melalui agama protestan yang di kembangkan
oleh Celvin. Di sini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah
ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi, orang yang
bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak
tenang, menjadi cemas, karena ketidak jelasan nasib ini.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atan
neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang
berhasil dalam kerjanya di dunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia ditakdirkan
untuk naik ke surga setelah dia mati nanti. Kalau kerjanya selalu gagal di dunia
ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan kerja ke neraka.
Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang menganut agama protestan
Calvin bekerja keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih artinya
mereka bekerja bukan untuk mencari kekeayaan material, melainkan terutama
untuk mengatasi kecemasannya. Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan oleh
Weber, yakni cara bekerja keras dan sungguh-sungguh, lepas dari imbalan
materialnya. (memang, orang ini kemudian menjadi kayak arena keberhasilnya,
tetapi ini adalah produk sampingan yang tidak disengaja. Mereka bekerja keras
sebagai pengabdian untuk agama mereka, bukan untuk mengumpulkan harta.
Tetapi weber sendiri mengakui bahwa hal ini kemudian berubah jadi sebaliknya).
Etika atau protestan inilah yang menjadi faktor utama bagi munculnya
kapitalisme di Eropa. Calvinisme kemudian menyebarkan di Amerika Serikat, dan
di sana pun berkembang kapitalisme yang sukses. Studi Weber ini merupakan
salah satu studi pertama yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan
ekonomi. Kalau agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini menjadi
perangsang utama bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan tentang
pembangunan. Dalam melakukan penelitian tentang aspek kebudayaan ini, peran
agama pun menjadi sangat penting sebagai salah satu nilai kemasyarakatan yang
sangat berpengaruh terhadap warga masyarakat tersebut.
Sementara itu, istilah Etika Protestan menjadi sebuah konsep umum yang
tidak dihubungkan lagi dengan agama Protestan itu sendiri. Etika Protestan
menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses. Dia
bisa ada di luar agama Prostestan, dapat menjelma menjadi nilai-nilai budaya di
luar agama. Misalnya, salah seorang pengikut Weber Amerika Serikat, Robert
Bellah, melakukan penelitian pada agama Tokugawa di Jepang. Dalam bukunya
yang dikenal, Tokugawa Religion, dia menyatakan bahwa ada yang disebut
sebagai etika protestan itu juga ada pala agama Tokugawa,. Karena itulah, Jepang
berhasil membangun kapitalisme dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

c. David McClelland: Dorongan Berprestasi atau n-Ach


McClelland adalah seorang ahli psikologi sosial. Dia menjadi tertarik pada
masalah pembangunan karena melihat adanya kemiskinan dan keterbelakangan
pada banyak masyarakat di dunia ini. Apa gerangan yang meyebabkannya? Dalam
sebuah tulisnannya McClelland bercerita

Saya selalu sangat terkesan pada analisis yang bijak tentang hubungan
antara Protestanisme dan semangat kapitalisme yang dibuat oleh ahli
sosiologi Jerman terkenal, Max Weber. Dia mengatakan bahwa sifat-sifat
yang membedakan antara seorang wiraswasta Protestan dan pekerja biasa,
terutama orang-orang protestan dari sekte yang saleh, bukanlah karena
mereka telah berhasil membentuk lembaga-lembaga kapitalisme atau
memiliki keterampilan yang prima, melainkan karena mereka mengerjakan
pekerjaannya dengan semangat baru yang sempurna. Doktrin kaum Calvinis
tentang nasib yang telah ditentukan sebelumnya telah memaksa mereka untuk
memperhitungkan segala aspek kehidupan mereka secara rasional dan untuk
bekerja keras guna membuat segala sesuatu sempurna, sesuai dengan posisi
mereka di dunia ini, seperti yang sudah ditetapkan Tuhan.

Oleh karena itu, McClelland mengambil kesimpulan untuk membuat sebuah


pekerjaan berhasil, yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut.
Dari sini, McClelland tiba pada konsepnya yang terkenal yakni the need for
Achievement , kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi, konsep ini disingkat
dengan sebuah simbol yang kemudian menjadi sangat terkenal, yakni n-Ach.
Seperti juga konsep Etika Protestan, keinginan, kebutuhan, atau dorongan untuk
berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan materi yang besar. Orang
dengan n-Ach yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi mengalami
kepuasan bukan kerena mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena
hasil kerja tersebut dianggapnya sangat baik. Ada kepuasan batin tersendiri kalau
dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna. Imbalan material
menjadi faktor sekunder.
Dengan konsep n-Ach ini, kita lihat pengaruh Max Weber terhadap
McClelland. Selanjutanya McClelland mengatakan bahwa kalau dalam sebuah
masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat di harapkan
masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
McClelland kemudian melakukan sebuah penelitian sejarah. Dokumen-dokumen
kesusastraan dari jaman Yunani Kuno seperti puisi, drama, pidato penguburan,
surat yang ditulis oleh para nahkoda kapal, kisah epik, dan sebagainya, dipelajari.
Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah di dalamnya
terdapat semangat n-Ach kalau karangan tersebut menunjukkan optimism yang
tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, tidak cepat menyerah itu berarti nilai n-
Ach dianggap tinggi.
Dari data dan hasil penilaian ini ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra
yang ada ketika itu. Kalau karya-karya tersebut menunjukkan nilai n-Ach yang
rendah, pertumbuhan ekonominya kemudian menunjukkan angka yang menurun.
Metode penelitian yang sama digunakan lagi untuk menganalisis pembangunan
ekonomi di Spanyol pada abad ke-16. Di samping itu juga diterapkan pada dua
gejala peningkat pertumbuhan ekonomi di Inggris yang pertama pada akhir abad
ke-16, yang kedua pada permulaan Revolusi Industri sekitar tahun 1800-an.
Hasilnya ternyata sama, yakni bahwa pertumbuhan ekonomi selalu didahului oleh
karya-karya sastra yang mempunyai nilai n-Ach yang tinggi.
Dari kajian sejarah ini, McClelland tambah yakin bahwa adanya n-Ach yang
tinggi dalam sebuah masyarakat akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bagi
masyarakat tersebut. McClelland kemudian mengambil cerita anak-anak sebagai
bahan untuk mengukur n-Ach sebuah masyarakat modern. Alasannya, di semua
negara selalu dapat dijumpai cerita anak yang diajarkan di sekolah atau
diveritakan oleh orangtua mereka sebelum tidur. Juga, cerita anak-anak belum
dipengaruhi oleh kepentingan politik, sehingga tampil secara lebih murni. Oleh
karena itu, dikumpulkanlah sekitar 1300 cerita anak-anak yang beredar pada tahun
1925 dari 21 negara, dan dari yang beredar pada tahun 1950 dari 39 negara
lainnya. Seperti juga sebelumnya, cerita-cerita ini diberi nilai oleh beberapa ahli
berdasarkan criteria tinggi atau rendah nilai n-Achnya. Hasilnya memang seperti
yang diharapkan. Misalnya, korelasi antara tingkat n-Ach pada cerita anak-anak
tahun 1925 dan pertumbuhan pemakaian listrik di negara tersebut antara tahun
1925 sampai tahun 1950, nilainya adalah 0,53. Secara statistik, nilai ini dianggap
cukup tinggi. Jadi, hubungan ini jelas bukan kebetulan saja.
Dengan demikian, memang dianggap terdapat korelasi antara tingkat n-Ach
dengan keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Ini dibuktikan lagi pada penelitian
sejenis di negara-negera lain. McClelland kemudian berkesimpulan bahwa n-Ach
ini seperti semacam virus yang bisa ditularkan. Jadi, n-Ach bukanlah sesuatu yang
diwariskan sejak lahir. Oleh karena itu katanya : Kalau n-Achievement begitu
penting, terumata untuk dunia bisnis, dia harus ditingkatkan nilainya sehingga
makin banyak anak muda yang memiliki “dorongan ke wiraswastaan.” Kesulitan
dari rencana yang baik ini adalah bahwa cara yang paling baik untuk
menumbuhkan n-Achievement ini adalah melalui keluarga dan sulit sekali untuk
menumbuhkannya dalam skala yang besar.
Memang, McClelland menyelenggarakan bermacam latihan manajemen di
berbagai negara untuk menumbuhkan n-Ach ini. Tetapi seperti yang
dikatakannya, tempat yang paling baik untuk memupuk n-Ach adalah di dalam
keluarga melalui orang tua.

d. W.W. Rostow : Lima Tahap Pembangunan


Berbeda dengan kedua ahli sebelumnya, Rostow adalah seorang ahli ekonomi.
Tetapi, perhatiannya tidak terbatas pada masalah ekonomi dalam arti sempit.
Perhatiannya meluas sampai pada masalah sosiologi dalam proses pembangunan,
meskipun titik berat analisisnya masih tetap pada maslah ekonomi.
Dalam bukunya yang terkenal, The Stages of Economic Growth, A Non-
Communist Manifesto yang mula-mula terbit pada tahun 1960, dia menguraikan
teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Seperti juga para
ahli ekonomi umumnya pada zaman itu, bagi Rostow pembangunan merupakan
proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang
terbelakang ke masyarakat yang maju. Proses ini, dengan berbagai variasinya,
pada dasarnya berlangsung sama di mana pun dan kapan pun juga. Rostow
membagi proses pembangunan ini menjadi lima tahap, yang akan kita paparkan
secara singkat dibawah ini.

1) Masyarakat Tradisional
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai.
Oleh karena itu, masyarakat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-
kepercayaan tentang kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian tunduk
kepada alam, belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat
terbatas. Masyarakat ini cendrung bersifat statis, dalam atri kemajuan berjalan
dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi tidak ada investasi.
Pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hamper sama
dengan kehidupan generasi sebelumnya.

2) Prakondisi untuk lepas landas


Masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak. Pada
suatu titik, dia mencapai posisis prakondisi untuk lepas landas. Biasanya,
keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat
yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang karena faktor-faktor
internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional
tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar, ini
menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang
ide pembaharuan. Ide-ide yang berkembang ini bukan sekedar pendapat yang
menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dapat dicapai, tetapi bahwa kemajuan
ekonomi merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-
tujuan lain yang dianggap baik : kebesaran bangsa, keuntungan pribadi,
kemakmuran umum, atau kehidupan yang lebih baik begi anak-anak mereka
nantinya.
Misalnya. Seperti yang terjadi di Jepang, dengan dibukanya
masyarakat ini oleh armada angkatan laut Amerika Serikat. Pada periode ini,
usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi. Tabungan ini
kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif
yang menguntungkan, termasuk misalnya pendidikan. Investasi ini dilakukan
baik oleh perorangan maupun oleh negara. Sebuah negara nasional yang
sentralistis juga terbentuk.

3) Lepas landas
Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang
menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
merupakan sesuatu yang berjalan wajar, tanpa adanya hambatan yang berarti
seperti ketika pada periode prakondisi untuk lepas landas. Pada periode ini,
tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari
pendapatan nasional atau lebih. Juga industri-industri baru mulai berkembang
dengan sangat pesat. Keuntungannya sebagian besar ditanamkan kembali ke
pabrik yang baru. Sektor modern dari perekonomian dengan demikian juga
berkembang.
Dalam pertanian, teknik-teknik baru juga tunbuh. Pertanian menjadi
usaha komersial untuk mencari keuntungan, dan bukan sekedar untuk
konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian merupakan sesuatu
yang penting dalam proses lepas landas, karena proses modernisasi
masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang banyak, supaya ongkos
perubahan ini tidak terlalu mahal.

4) Bergerak ke kedewasaan
Setelah lepas landas, akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak
ke depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Antara 10% sampai
20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa
mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan
pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomian global:
barang-barang yang tadinya diimpor sekarang diproduksikan dalam negeri;
impor baru menjadi kebutuhan, sementara ekspor barang-barang baru
mengimbangi impor.
Sesudah 60 tahun sejak sebuah negara lepas landas (atau 40 tahun
setelah periode lepas landas berakhir), tingkat kedewasaan biasanya tercapai.
Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi,
tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi.

5) Zaman Konsumsi masal yang tinggi


Karena kenaikan pendapat masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas
pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih
tinggi. Produksi industri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi
kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini, investasi untuk
meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah
taraf kedewasaan di capai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi
dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penanaman dana sosial.
Teori Rosnow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini, seperti hal
teori-teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Titik terpenting dalam gerak kemajuan
dari masyarakat yang satu dengan yang lain adalah periode lepas landas.
Rostow juga berbicara tentang keperluan akan adanya sekelompok
wiraswastawan. Dia kemudian berbicara tentang kondisi-kondisi sosial yang
melahirkan para wiraswastawan ini. Rostow menyebutkan dua kondisi sosial
yaitu sebagai berikut:
a. Adanya elit baru dalam masyarakat yang merasa diingkari haknya oleh
masyarakat tradisional di mana dia hidup, untuk mendapatkan prestise dan
mencapai kekuasan melalui cara-cara konvensional yang ada.
b. Masyarakat tradisional yang ada cukup fleksibel (atau lemah) untuk
memperbolehkan warganya mencari kekayaan (atau kekuasan politik)
sebagai jalan untuk menaikkan statusnya dalam masyarakat (biasanya hal
ini dicapai melalui kepatuhan dan kesetiaan terhadap yang berkuasa).
Kelompok elit baru inilah yang akan menjadi tenaga pendorong untuk
melakukan pembaruan. Elit baru ini merupakan kelompok orang yang frustrasi
(dalam arti positif), karena tatanan sosial- politik yang ada tidak memberi
kemungkinan untuk mengembangkan diri. Ini misalnya terjadi pada kelompok
pedagang (cikal bakal dari kaum burjuasi di Zaman modern) di zaman feodal,
atau orang-orang Yahudi di Eropa, atau orang-orang Cina di Asia Tenggara.
Karena tidak bisa memajukan diri di jalur sosial-politik, mereka bergerak di
bidang ekonomi dan kemudian mendapatkan tempat terhormat, karena
keberhasilnya mengumpulkan kekayaan. Dalam membahas masalah lepas
landas pun, Rostow berbicara tenyang aspek-aspek non-ekonomi ini. Baginya
lepas landas harus memenuhi semua dari ketiga kondisi yang saling berkaitan
ini yakni :
1) Meningkatnya investasi di sektor produktif dari (katakanlah) 5% (atau
kurang) menjadi 10% (atau lebih) dari pendapatan nasional.
2) Tumbuhnya satu atau lebih sektor industri manufaktur yang penting
dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.
3) Adanya atau munculnya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial
yang bisa memanfaatkan berbagai dorongan gerak ekspansi dari sektor
ekonomi modern dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya
kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar sebagai hasil dari lepas landas,
disamping itu lembaga-lembaga ini kemudian bisa membuat pertumbuhan
menjadi sebuah proses yang berkesinambungan.
Kondisi ketiga merupakan kondisi non-ekonomi yang penting. Tetapi,
Rostow memang masih mengutamakan peran ekonomi dari lembaga-lembaga
tersebut. Katanya :
Kondisi ketiga menunjuk kepada kesanggupan yang cukup (dari lembaga-
lembaga ini) untuk mengumpulkan modal dari sumber-sumber dalam negeri....
prakondisi untuk lepas landas memerlukan kesanggupan awal untuk
menggerakkan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga menciptakan
sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan yang cukup tinggi.
Yang dimaksud oleh Rostow misalnya adalah negara yang melindungi
kepentingan para wiraswastawan untuk melakukan akumulasi modal. Atau
memberikan iklim politik yang menguntungkan bagi para industriawan, atau
orang asing untuk menanamkan modalnya. Memang, fungsi dari lembaga-
lembaga non-ekonomi ini adalah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.

e. Bert F. Hoselitz: faktor-faktor ekonomi


Hoselitz membahas faktor-faktor Non-ekonomi yang ditinggalkan oleh rostow
dalam karyanya yang terkenal, yang diberi judul “Economic Growth and
development: non economic faktor in economic development”. Faktor non
economi ini disebut oleh hoselitz sebagai faktor kondisi lingkungan, yang
dianggap penting dalam proses pembangunan. Persoalan yang ditanyakan oleh
Hoselitz adalah: nyatanya rostow membuat perbedaan tingkat investasi (yakni
ratio antara pembentukan modal neto terhadap produksi nasional neto), lepas
landas dan sedang memasuki tahap revolusi industri.
Selanjutnya, hoselitz mengatakan : “kondisi lingkungan ini harus dicari
terutama dalam aspek-aspek non-ekonomi dari masyarakat. Dengan kata lain,
lepas dari pengembangan modal seperti pembangunan sarana sistem
telekomunikasi serta transportasi dan investasi dalam fasilitas pelabuhan,
pergudangan, dan instlasi-instalasi sejenis untuk perdagangan luar negeri, banyak
dari pembaruan-pembaruan yang terjadi pada periode persiapannya didasarkan
pada perubahan- perubahan pengaturan kelembagaan yang terjadi dalam bidang
hukum, pendidikan, keluarga dan motivasi”.
Hoselitz menamakan perubahan kelembagaan yang akan mendukung proses
lepas landas ini sebagai “hadiah dari masa lampau,” yang sangat penting artinya.
Selanjutnya hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan
bahwa masalah utama pembangunan adalah kekurangan modal (teori Harrod
Domar), ada masalah lain yang juga sangat penting, yakni adanya keterampilan
kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan
perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan
mempengaruhi pemasokkan modal, supaya modal ini bisa menjadi produktif. Oleh
karena itu, bagi Hoselitz pembangunan membutuhkan pemasokkan dari beberapa
unsur :

1) Pemasokkan modal besar dan perbankan


Pemasokkan modal dalam jumlah yang besar ini, seperti yang
diuraikan oleh rostow membutuhkan lembaga-lembaga yang bisa
menggerakkan tabungan masyarakat dan menyalurkan kegiatan yang
produktif. Hoselitz menyebutkan lembaga perbankan yang efektif.
Pengalaman dari Negara-negara eropa ketika menjalankan proses lepas landas
menunjukkan pentingnya lembaga-lembaga perbankkan. Tanpa lembaga-
lembaga seperti ini, modal besar yang ada sulit dikumpulkan sehingga bisa
menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan pembangunan. Hoselitz menunjukkan
pengalaman di cina pada abad ke-19. Sebagai akibat dari korupsi pejabat
Negara, surplus ekonomi yang terjdi menjadi sia-sia, karena ditanamkan pada
pembelian tanah, atau dipakai untuk mengkonsumsikan barang-barang
mewah.

2) Pemasokkan Tenaga Ahli dan Terampil


Tenaga yang dimaksud adalah tenaga kewirwastaan, administrator
professional, insinyur, ahli ilmu pengetahuan, dan tenaga manajerial yang
tangguh. Disamping itu juga disebutkan juga perkembangan teknologi dan
sains harus sudah melembaga sebelum masyarakat tersebut melakukan lepas
landas. Inilah yang menjadi pengalaman di Negara-negara eropa, semua hal ini
sudah tersedia sebelum lepas landas.
Kemudian hoselitz membicarakan lebih jauh tentang tenaga
wiraswasta. Supaya orang-orang ini muncul, diperlukan sebuah masyarakat
dengan kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan
yang beranggapan bahwa mencari kebudayaan bukan merupakan hal yang
buruk. Kalau nilai-nilai budaya semacam ini tidak ada, akan sulit sekali jiwa
kewiraswastaan muncul. Misalnya, dimasyarakat yang dikuasai oleh para
panglima perang, para pendeta, atau para birokrat pemerintah, budaya dan
nilai-nilai yang mendorong orang melakukan akumulasi modal sulit tumbuh
dengan subur.
Masih sehubungan dengan masalah munculnya kaum wiraswasta,
Hoselitz kemudian membahas adanya sekelompok minoritas yang
disingkirkan oleh masyarakat. Kelompok marjinal ini mengalami proses
anomie atau kehilangan pegangan nilai. Mereka seringkali mencari jalan lain
untuk mengangkat harga diri dan status mereka. Biasanya caranya adalah
dengan mencari kekayaan. Mereka menjadi kelompok kaum borjuis, yang
kemudian menantang tata masyarakat yang lama.

f. Alex Inkeles dan David H. Smith: manusia modern


Alex inkeles dan David Smith pada dasarnya juga berbicara tentang
pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan.
Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja.
Tetapi di butuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut
supaya menjadi produktif. Untuk ini, dibutuhkan apa yang disebut oleh inkeles
sebagai manusia modern.
Dalam buku mereka yang terkenal. Becoming modern, kedua tokoh itu
mencoba memberikan cirri-ciri dari manusia yang dimaksud, yang antara lain
meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru,
berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan
merencanakan, percaya bahwa manusia bisa menguasai alam dan bukan
sebaliknya, dan sebagainya. Dalam hal ini inkeles dan smith tidak berbeda dengan
weber dengan konsep etika protestanya, atau Mc Clelland dengan konsep n-
Achnya. Bedanya inkeles dan smith menguraikannya secara lebih rinci dan
menguji konsep-konsep ini dalam sebuah penelitian empiris yang meliputi
penduduk di enam negara berkembang.
Hal lebih penting dari teori inkeles dan Smith tentang proses pembentukan
manusia modern. Pertama-tama mereka menyatakan: “kami ang beranggapan
bahwa bagaimanapun juga manusia bisa diubah secara mendasar setelah dia
menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap menjadi manusia
tradisional dalam pandangan dan kepribadiannya hanya karena ia dibesarkan
dalam sebuah masyarakat yang tradisional”.
Dari hasil penelitiannya, inkeles dan Smith menjumpai bahwa memang
pendidikan adalah yang paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak
pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainya kemudian
pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua
yang efektif. penemuan ini mendukung pendapat Daniel lerner yang menekankan
pentingnya media masa mendorong proses modernisasi.
Inkeles dan smith kemudian menekankan faktor pengalaman kerja, terutama
pengalaman kerja di pabrik sebagai faktor yang berperan besar dalam mengubah
manusia tradisional menjadi modern, dengan kata lain manusia tradisional dapat
diubah menjadi manusia modern , bila dia diterjunkan kedalam lembaga-lembaga
kerja yang modern, seorang yang bekerja dipabrik misalnya dipaksa untuk bekerja
menempati waktu, untuk membuat perencanaan, untuk bekerja sama dengan orang
lain, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, inkeles dan Smith menemukan bahwa
seorang manusia tradisional yang diterjunkan ke lembaga modern bukan saja bisa
melakukan adaptasi yang cepat, tetapi dia juga menyerap nilai-nilai kerja ini
kedalam kepribadiannya dan mengekspresikannya kembali kedalam sikap, nilai
dan tingkah lakunya.
Untuk menjelaskan hal ini, inkeles dan smith mengambil teori karl max. marx
menyatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya.
Hubungan manusia dengan alat produksinya memberi bentuk dan isi pada
kesadarannya. Pendapat ini tampaknya dibenarkan oleh hasil penelitian Inkeles
dan Smith, dimana manusia tradisional berubah menjadi manusia modern karena
bekerja pada lembaga-lembaga kerja yang modern, serperti misalnya dipabrik-
pabrik. Bahkan kedua peneliti ini menemukan bahwa perbedaan etnis dan
perbedaan agama, yang dianggap sebagai faktor penting dalam mengubah tingkah
laku manusia oleh para ahli ilmu sosial yang menekankan faktor kebudayaan,
ternyata kurang berperan penting dalam pembentukan manusia modern.

4. Hubungan Teori Modernisasi dengan Pembangunan

Perkembangan dunia yang kian pesat turut mempengaruhi tingkat daya saing
setiap Negara dalam segala bidang untuk bersaing satu sama lain guna melakukan
pembangunan nasional secara cepat dan berkesinambungan (sustainable
development). Kemampuan Negara untuk melakukan pembangunan secara
keseluruhan akan turut menentukan posisinya dipercaturan dunia internasional. Setiap
Negara yang berhasil melakukan pembangunan akan sangat dipertimbangakan dan
memiliki peranan penting baik secara regional maupun internasional. Misalnya Cina
dan India merupakan negara yang secara perlahan melakukan pembangunan dan
terbukti mulai memiliki peranan yang cukup penting dalam mengendalikan laju
perekonomian negara-negara di Asia. Namun, kemajuan yang sekarang ini dinikmati
oleh Cina dan India belum sepenuhnya mencapai pembangunan yang berhasil (baru
memasuki pembangunan tahap awal) karena keduanya belum mampu memenuhi
beberapa indikator pembangunan lainnya.
Model/strategi pembangunan yang pasca Perang Dunia II sampai sekarang
masih menjadi sorotan dan menjadi topik perbincangan kalangan akademisi yakni
model pembangunan nasional (national building) di Negara-negara dunia ketiga.
Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki
berbagai aspek kehidupan manusia (Portes 1976). Perubahan yang direncanakan
dalam pembangunan mencakup seluruh sistem sosial masyarakat mulai dari ekonomi,
politik, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi, kesehatan. Perubahan dalam
sistem ekonomi misalnya terjadinya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi,
perubahan basis ekonomi dari importir menjadi eksportir (produksi berbasis pada
ekspor), peningkatan penerimaan devisa dari seluruh aktivitas ekonomi, dan lain-lain.
Dari aspek politik, pembangunan biasanya ditandai dengan adanya stabilitas politik
dalam negeri. Sedangkan pembangunan pada aspek pertahanan diindikasikan dengan
terjaminnya keamanan nasional. Adapun beberapa indikator pembangunan yang
banyak digunakan oleh lembaga-lembaga internasional, diantaranya; Kekayaan Rata-
rata (GDP dan GNP, Perkapita), Distribusi pendapatan (pemerataan), kualitas
kehidupan, kerusakan lingkungan dan keadilan sosial dan berkesinambuangan.
Ada beberapa Negara di kawasan Amerika Utara, Asia, Afrika, Amerika Latin
dan Eropa Barat yang melakukan pembangunan nasional dengan mengadopsi teori
modernisasi. Dengan karakteristik nasional yang berbeda-beda menggunakan satu
model yakni modernisasi tentunya akan menghasilnya hasil yang berbeda pula.
Negara-negara di Kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat telah berhasil melakukan
pembangunan secara evolusi pada abad ke 18 dengan model/konsep pembangunan
yang sama (konsep modernisasi).
Pada perkembangannya kemudian, keberhasilan pembangunan yang
diterapkan pada negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk
melakukan ekspansi pasar ke negara-negara dunia Ketiga, dan banyak memberikan
bantuan untuk pembangunannya; dalam kenyataannya, keberhasilan yang pernah
diterapkan di Eropa, ternyata banyak mengalami kegagalan di negara-negara dunia
Ketiga. Kemudian, mereka mencoba memberikan beberapa alternatif pemecahan
masalah berdasarkan cara pandang mereka. Adapun asumsi dasar teori modernisasi
seperti yang terlihat ada table di bawah ini :

Asumsi Tentang Uraian

Pola sejarah perekonomian Kemiskinan dunian terjadi sejak tiga abad yang
dunia lalu; Revolusi industri telah menciptakan Negara-
negara kaya di dunia pertama (Eropa Barat dan
Amerika Utara); Industrialisasi akan merambat ke
Negara-negara dunia ketiga, melalui proses difusi;
Semua masyarakat di dunia pada akhirnya akan
mencapai kemakmuran
Sumber penyebab Karakteristik bangsa-bangsa di dunia ketiga yang
kemiskinan global telah menciptakan kemiskinan seperti: Tidak
memiliki modal untuk industrialisasidan investasi di
sector ekonomi modern. Tidak punya teknologi
untuk industrialisasi yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi Pola budaya tradisional yang
menghambat etos kerja,kreativitas dan inovasi
Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang
tinggi
Peranan Negara-negara kaya Negara-negaar kaya dapat membantu Negara-
dalam ekonomi global negara miskin melalui: Program pengendalian
angka kelahihan/keluarga berencana; Transfer
teknologi dan bantuan pendidikan untuk
meningkatkan produksi pangan dan industrialisasi
Investasi melalui penanaman modal asing (PMA)
Bantuan dana/ hutang luar negeri.

Dengan melihat asumsi dasar tentang penyebab kemiskinan di dunia ketiga seperti
pada tabel diatas maka, para ahli seperti W.W.Rostow mengemukakan beberapa solusi untuk
menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Salah satu solusi yang dikemukakan oleh Rostow
yakni Negara-negara berkembang memerlukan bantuan investasi dari Negara-negara kaya
(melaui PMA). Di samping itu, untuk investasi dalam negeri, Negara berkembang
memerlukan bantuan dalam bentuk hutang luar negeri, selain bantuan teknologi, peningkatan
tingkat pendidikan dan penurunan angka kelahiran. Strategi industrialisasi diarahkan kepada
produksi barang-barang subtitusi impor pada tahap awal, kemudian disusul oleh produksi
berorientasi ekspor.
Adapun kebijakan, model, dan strategi pembangunan nasional menurut teori
modernisasi (ekonomi makro) itu sendiri. secara spesifik, seperti terlihat pada tabel di
bawah ini.
Kebijakan, Model dan Strategi Pembangunan Nasional Menurut Teori
Modernisasi
Aspek Pembangunan Langkah-Langkah yang Ditempuh

Kebijakan 1) Pembangunan ekonomi pada skala makro (investasi


besar untuk penyerapan angkatan kerja)
2) Menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional melalui
Penanaman Modal Asing (PMA) dan bantuan
dana/hutang luar negeri

Model 1) Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi


(PDB/GNP) dengan hutang luar
negeri,PMA,Penanaman modal dalam negeri (PMDN)
dan pembangunan infrasturktur ekonomi makro

Strategi 1) Menurunkan angka kelahiran dan pertumbuhan


penduduk, agar pertumbuhan ekonomi meningkat
2) Industrialisasi melalui PMA
3) Menerima hutang luar negeri untuk investasi dalam
negeri agar tercipta trickle-down effect
4) Mengembangkan industry subtitudi impor, untuk
mengurangi ketergantungan kepada impor barang
konsumsi (defensif)
5) Membangaun industri berorientasi ekspor untk
memperoleh devisa (ofensif)
6) Membangun infrastruktur ekonomi

Meskipun kebijakan, model dan strategi pembangunan nasional diatas telah di


adopsi sepenuhnya oleh Negara-negara dunia ketiga lainnya namun, pada
kenyataannya tidak semua Negara berhasil melakukan pembangunan nasionalnya.
Cenderung setelah menerapkan kebijakan tersebut seperti menerima Penanaman
Modal Asing (PMA) secara besar-besaran dan menerima bantuan luar berupa hutang
luar negeri, Negara justru mengamalami “ketergantungan abadi” pada Negara
donatur. Begitu pun dengan penerapan kebijakan,model, dan strategi lainnya yang
juga tidak efektif dalam mendorong pembangunan nasional.
Kegagalan Negara-negara dunia ketiga menerapkan model, strategi dan
kebijakan di atas lebih disebabkan oleh faktor internal masing-masing Negara. Dalam
artian bahwa berhasil tidaknya pembangunan dalam suatu Negara sangat tergantung
pada faktor internal. David Mc Clelland salah satu ahli yang mengusulkan konsep
need of achievement (n-ach) atau kebutuhan untuk berprestasi. Teori ini mengatakan
bahwa proses pembangunan berarti membentuk manusia yang berjiwa wiraswasta
dengan jiwa n-ach yang tinggi. Berarti bahwa pembangunan suatu Negara sangat
tergantung pada manusia/masyarakat dalam Negara itu sendiri. Teori Harrold-Domar,
masih menyoroti masalah internal yang dapat menyokong pembangunan suatu
Negara. Teori ini menyatakan bahwa pembangunan hanya dapat berlangsung dengan
baik bilamana tingkat tabungan masyarakat maupun devisa Negara cukup untuk
melakukan pembangunan. Teori yang paling klasik yakni teori Max Weber. Teori ini
menekankan nilai-nilai budaya yang bisa memberikan etos kerja yang tinggi. Max
Weber berbicara masalah tentang peran agama, terutama konsepnya yang sudah
menjadi klasik, yakni etika protestanisme. Menurutnya hal inilah yang membawa
masyarakat Eropa, Barat dan Amerika Serikat pada kemajuan. Ketersediaan tenaga
ahli dan terampil Bert F. Hoselitz dalam karyanya, “Economic Growth and
Development : Noneconomic Factors in Economic Development” merupakan salah
satu faktor penting yang dibutuhkan dalam pembangunan.

B. Teori Ketergantungan

1. Sejarah Teori Ketergantungan

Awal mula teori ketergantungan (Dependency Theory) dikembangkan pada


penghabisan tahun 1950-an oleh Raul Presibich (Direktur Economic Commission for
Latin America, ECLA). Dalam hal ini Raul Presbich dan rekannya bertanya ke mana-
mana terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju yang tumbuh pesat,
namun tidak serta merta memberikan perkembangan yang sama kepada pertumbuhan
ekonomi di negara-negara miskin. Bahkan dalam kajiannya mereka mendapati
programa ekonomi di negara-negara yang lebih kaya sering kali membawa kepada
masalah-masalah ekonomi di negara-negara miskin.
Lahirnya teori dependensi juga merupakan merupakan jawaban atas krisis
teori Marx ortodoks di Amerika Latin. Menurut Marxsis ortodoks, Amerika Latin
harus melihat tahap revolusi industri "borjuis" sebelum melampaui revolusi sosialisasi
proletar.[3] Namum demikian revolusi Republik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan
Revolusi Kuba pada penghabisan tahun 1950-an mengajak pada kaum cedikiawan
bahwa negara dunia ketiga tidak harus selalu mengikuti tahap-tahap perkembangan
tersebut.[3] Tertarik pada model pembangunan RRC dan Kuba, jumlah intelktual
radikal di Amerika latin berpendapat bahwa negara-negara di Amerika Latin dapat
saja berjalan menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.
Teori dependensi ini segera menyebar dengan cepat dibelahan Amerika Utara
pada penghabisan tahun 1960-an oleh Andre Gunder Frank, yang kebetulan berada di
Amerika Utara pada tahun 1960-an. Di Amerika Serikat teori ini memperoleh
sambutan hangat, sebab kedatangannya hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya
kelompok intelektual muda radikal, yang tumbuh dan berkembang subur pada massa
revolusi kampus di Amerika Serikat, akhir suatu peristiwa pengaruh programa protes
antiperang, gerakan kebebasan wanita, dan menyebarnya kerusuhan rasial pada
pertengan tahun 1960 yang diiringi oleh inflasi kronis, develuasi mata uang dollar
Amerika dan perasaan kehilangan keyakinan diri pada saat awal tahun 1970-an,
menyebab lenyapnya kenyakinan landasan moral Teori modernisasi.

2. Pengertian Teori Ketergantungan

Teori Ketergantungan atau dikenali teori depedensi (bahasa inggris:


Dependency Theory) yaitu noda satu teori yang melihat permasaalahan pembangunan
dari sudut Negara Dunia Ketiga. Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi
(ketergantungan) yaitu keadaan dimana kehidupan ekonomi negara–negara tertentu
dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara–negara
lain, di mana negara–negara tertentu ini hanya berperan sbg penerima akhir suatu
peristiwa saja. Anggota penting dalam kajian sosiologi yaitu mempunyainya pola
ketergantungan selang masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dalam
kehidupan berbangsa di dunia. Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada masalah
keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran. Dalam hal ini, dapat dituturkan
bahwa teori dependensi mewakili "suara negara-negara pinggiran" bagi menantang
hegemoni ekonomi, politik, hukum budaya istiadat dan intelektual dari negara maju.
Dalam belajar teori pembangunan pastinya dipelajari teori ketergantungan.
Teori ketergantungan dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya Andre Gunder
Frunk, Fernando H. Cardoso, Samir Amin, Paul Baran, Paul Prebisch dan Theotonio
Dos Santos. Ahli ini memiliki pandangan tersendiri mengenai teori ketergantungan.
Namun teori ketergantungan secara garis besar bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu
:

a. Teori Depensi Klasik


Teori ini digagas oleh Andre Gunder Frunk, yang menyatakan bahwa
kapitalisme global akan membuat ketergantungan masa lalu dan sekarang oleh
karena itu negara yang tidak maju dan berkembang harus memutuskan hubungan
dengan negara maju supaya negara berkembang bisa maju.

b. Teori Depensi Modern


Teori ini digagas oleh Fernando Henrigue Cardoso, teori ini menyatakan
bahwa antara negara yang satu dengan lainnya perlu kerjasama dengan melihat
karakteristik histori dari daerah tersebut.
Selain pandangan ke dua tokoh tersebut juga ada beberapa ahli yang
menyatakan tentang teori ketergantungan. Theontonio Dos Santos membagi tiga
bentuk ketergantungan negara ketiga, yaitu ketergantungan kolonial,
ketergantungan finansial-industrial, ketergantungan tekhnologi-industrial.
Sedangkan pendapat dari Raul Prebisch adalah negara-negara dibagi atas negara
maju (industri) dan terbelakang (pertanian), yang saling berdagang. Ada negara
“pusat” dan negara “pinggiran”. Hubungan pusat dan pinggiran tak seimbang,
tidak saling menguntungkan à ekploitasi.

3. Warisan Pemikiran Teori Ketergantungan

a) Raul Prebisch
Prebisch mengkritik keusangan konsep pembagian kerja secara internasional
yaitu Internasional Division of Labor (IDL). IDL lah menurut Presbich yang
menjadi sebab utama munculnya masalah pembangunan di Amerika Latin.
Mempunyainya teori pembagian kerja secara internasional (IDL), yang didasarkan
pada teori keunggulan komparatif, membuat negara-negara di dunia melakukan
spesialisasi produksinya. Oleh sebab itu, negara-negara di dunia terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu negara-negara center/pusat yang menghasilkan benda/barang
industri dan negara-negara pheriphery/pinggiran yang memproduksi hasil-hasil
pertanian. Keduanya saling melakukan perdagangan, dan menurut teori ini,
seharusnya menunjukan hal yang sebaliknya. Negara-negara center yang
melakukan spesilisasi pada industri menjadi kaya, sedangkan negara pengirian
(pheriphery) tetap saja miskin. Padahal seharusnya kedua negara sama kaya sebab
perdagangannya saling menguntungkan.

b) Analisis Raul Prebisch terhadap kemiskinan negara pingiran


- Terjadi penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap komoditi
benda/barang industri. Benda/barang industri semakin mahal dibanding hasil
pertanian, dampaknya terjadi defisit pada neraca perdagangan negara
pertanian bila berjualan dengan negara industri.
- Negara-negara industri sering melakukan proteksi terhadap hasil pertanian
mereka sendiri, sehingga sulit bagi negara pertanian bagi mengekspor ke sana
(memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke pusat).
- Keperluan akan bahan mentah dapat diturunkan dengan penemuan teknologi
baru yang bisa membuat bahan mentah sintetis, dampaknya memperkecil
jumlah ekspor negara pinggiran ke negara pusat.
- Kemakmuran meningkat di negara industri mengakibatkan kuatnya politik
kaum buruh. Sehingga upah buruh meningkat dan akan menaikan harga jual
benda/barang industri, sementara harga benda/barang hasil pertanian relatif
tetap.

c) Solusi yang ditawarkan Raul Prebisch


Presbich berpendapat negara-negara yang terbelakang harus melakukan
industrialisasi, bila bersedia membangun dirinya, industrialisasi ini dimulai
dengan Industri Substitusi Impor (ISI). ISI dilakukan dengan metode
memproduksi sendiri keperluan barang-barang industri yang tadinya di impor bagi
mengurangi bahkan menghilangkan penyedian devisa negara bagi membayar
impor benda/barang tersebut. Pemerintah berperan bagi memberikan proteksi
terhadap industri baru. Ekspor bahan mentah tetap dilakukan bagi membeli
barang-barang modal (mesin-mesin industri), yang diharapkan dapat mempercepat
indrustrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Bagi Presbich campur tangan
pemerintah merupakan sesuatu yang paling penting bagi memerdekakan negara-
negara pinggiran dari rantai keterbelakangannya.

d) Neo-Marxisme
Teori depedensi juga memiliki warisan pemikiran dari Neo-Marxisme
kesuksesan dari revolusi Cina dan Kuba ketika itu telah mebantu tersebarnya
perpaduan baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di
Amerika latin yang mengakibatkan generasi baru dan dengan lantang mengatakan
dirinya sbg Neo-Marxisme.
Beberapa gagasan Neo-Marxisme:
- Neo-Marxisme melihat imprealisme dari sudut pandangan negara pinggiran.
Dengan lebih memberikan perhatian pada akhir suatu peristiwa imperialisme
pada negara-negara dunia ketiga.
- Neo-Marxisme percaya, bahwa negara dunia ketiga telah matang bagi
melakukan revolusi sosialis.
- Neo-Marxisme lebih tertarik pada arah revolusi Cina dan Kuba, beliau
menanti jumlah pada daya revolusioner potensial dari para petani pedesaan
dan perang gerilya tentara rakyat.

e) Paul Baran
Paul baran yaitu seorang pemikir Marxisme yang menolak pandangan Marx
tentang pembangunan dinegara-negara dunia ketiga. Bila Marx mengatakan
bahwa sentuhan negara-negara kapitalis maju kepada negara-negara pra-kapitalis
yang terbelakang akan membangunkan negara-negara yang terakhir ini bagi
berkembang, seperti negara-negara kapitalis di Eropa. Baran berpendapat lain,
baginya, sentuhan ini akan mengakibatkan negara-negara kapitalis tersebut
terhambat kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan. Dengan
gagasannya yang berlainan dengan Marx, Baran menyatakan bahwa
perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran, berlainan dengan
perkembangan kapitalisme di negara-negara pusat. Di negara pinggiran sistem
kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme. Orang yang dihinggapi penyakit
ini tetap kerdil dan tidak bisa akbar. Menurut baran kapitalisme di negara-negara
pusat bisa berkembang sebab mempunyainya tiga prasyarat :
- Meningkatnya produksi diiringi dengan tercabutnya masarakat petani di
pedesaan.
- Meningkatnya produksi komoditi da terjadinya pembagian kerja
mengakibatkan sebagian orang menjadi buruh yang menjual tenaga kerjanya
sehingga sulit menjadi kaya, dan sebagian lagi menjadi majikan yang bisa
mengumpulkan harta.
- Mengumpulnya harta di tangan para pedagang dan tuan tanah.

4. Kelemahan dan Kekuatan Teori Ketergantungan

Menurut Robert A. Packenham, teori ketergantungan itu memiliki kelemahan


dan kekuatan. Packenham menyebutkan ada 6 kelemahan dari teori ketergantungan,
antara lain :
a) Menyalahkan hanya kapitalisme sebagai penyebab dari ketergantungan.
b) Konsep-konsep inti, termasuk konsep ketergantungan itu sendiri kurang
didefinisikan secara jelas.
c) Hanya didefinisikan sebagai konsep dikotomi.
d) Sedikit sekali dibicarakan tentang proses yang memungkinkan sebuah negara
dapat lepas dari teori tersebut.
e) Selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
f) Kurang membahas dengan teori lain (otonomi).
Packenham juga mengatakan disamping kelemahan terdapat juga kekuatan
dari teori ketergantungan, kekuatannya antara lain:
a) Menekankan aspek internasional
b) Mempersoalkan akibat dari politik luar negeri.
c) Membahas proses internal dari perubahan di negara-negara pinggiran.
d) Menekankan pada kegiatan sektor swasta dalam hubungannya dengan kegiatan
perusahaan-perusahaan multinasional.
e) Membahas hubungan antar klas yang ada di dalam negeri.
f) Mempersoalkan bagaimana kekayaan nasional ini dibagikan antar klas-klas sosial,
antar daerah, dan antar negara.

5. Bentuk-bentuk Ketergantungan

Dos Santos menguraikan mempunyai 3 wujud ketergantungan:


a) Ketergantungan Kolonial
- Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran.
- Programa ekonominya yaitu ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara
pusat.
- Hubungan penjajah – masyarakat sekitar bersifat eksploitatif negara pusat.
- Negara pusat menanamkan modalnya tidak sewenang-wenang langsung
maupun menempuh kerjasama dengan pengusaha lokal.

b) Ketergantungan Teknologis-Industrial
- Wujud ketergantungan baru.
- Programa ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah
bagi negara pusat.
- Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran
dengan tujuan bagi keperluan negara pinggiran.

c) Ketergantungan Teknologis-Industrial
- Wujud ketergantungan baru.
- Programa ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah
bagi negara pusat.
- Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran
dengan tujuan bagi keperluan negara pinggiran.

6. Sistem Pembangunan di Indonesia

Indonesia sebagai sebuah negara yang digolongkan ke negara berkembang


memiliki sistem pembangunan yang bisa dikatakan berubah-ubah namun tidak
bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi. Perubahan puncuk pimpinan
menjadi faktor perubahan sistem yang dianut.
Pada awal kemerdekaan, di bawah pimpinan Soekarno, sistem yang dianut
adalah sistem pembangunan yang berdikari. Berdikari yang dimaksud adalah
Indonesia tidak boleh terlalu bergantung dengan negara lain, apalagi dengan negara
maju seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet. Saat itu, Soekarno menolak untuk
berkompromi dengan negara luar. Sepertinya Soekarno pada masanya memiliki
keyakinan yang kuat dengan kemampuan untuk membangun Indonesia.
Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada pergeseran, yang awalnya anti
terhadap dunia luar berubah menjadi sangat pro. Ini diperlihatkan dengan membuka
peluang bagi asing untuk berinvestasi menanamkan modal di Indonesia. Di era orde
baru ini menitik beratkan pada pembangunan.
Sedangkan setelah era reformasi, banyak hal yang berubah. Indonesia
sepertinya semakin membuka diri dengan dunia luar. Banyak persekutuan diikuti oleh
Indonesia, mulai dari PBB, APEC, ASEAN dan lain sebagainnya. Ini dimaksud
sebagai jalan untuk membuka kerjasama antara Indonesia dengan negara lain.
Memang di era globalisasi seperti sekarang ini Indonesia harus mengikuti tren. Teren
untuk berkerjasama dengan dunia internasional.
Sebenarnya pembangunan nasional Indonesia itu merpakan rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945.
Dan seluruh pembangunan yang dilaksanakan tidakboleh bertentangan dengan sila-
sila dalam Pancasila. Jadi inti dari pembangunan Indonesia adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya, dengan
Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional.

7. Faktor Penghambat Penerapan Teori Ketergantungan di Indonesia

Indonesia di era globalisasi ini tidak bisa terlepas dari pengaruh luar. Bisa
dilihat bagaimana sikap Indonesia ketika terjadi kekurangan atau kelangkaan kedelai,
daging dan lainnya. Pemerintah Indonesia melakukan impor. Ini berarti Indonesia
sangat tergantung dengan negara lain. Ada beberapa komunitas internasional yang
diikuti oleh Indonesia, diantaranya :

a) ASEAN
ASEAN merupakan suatu perkumpulan dari negara-negara di Asia Tenggara.
Indonesia termasuk sebagai salah satu anggota dan menjadi pioner berdirinya
ASEAN bersama Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. ASEAN ini
dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat hubungan internasional antar negara di
region Asia Tenggara, sehingga pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan
kebudayaan semakin cepat.
Pastinya dengan masuknya Indonesia menjadi anggota ASEAN akan menjadi
suatu hal yang sulit bagi Indonesia untuk melepas diri dari kebijakan yang telah
disepakati oleh anggota lainnya. Ini akan menyebabkan teori ketergantungan akan
sulit diterapkan di Indonesia, meskipun menurut Cardoso suatu negara boleh
melakukan hubungan dengan memperhatikan histori dan kedekatan negara (negara
tetangga).
Program AFTA sebagai contoh bahwa Indonesia akan semakin tergantung
dengan negara-negara yang berada di kawasan ASEAN. AFTA (Asean Free Trade
Areas) merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk
membentuk kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN menjadikan ASEAN sebagai basis produksi
dunia.
b) PBB
PBB merupakan suatu organisasi internasional yang anggotanya hampir
seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum
internasional, keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan
sosial, hak asasi dan pencapaian perdamain dunia. Pada tahun 2011, PBB sudah
memiliki 193 anggota.
Indonesia masuk sebagai anggota PBB pada tanggal 28 September 1950.
Tetapi, Indonesia pada tahun 1965 mengundurkan diri dari keanggotaan PBB
disebabkan oleh penolakan Indonesia terhadap diakuinya Malaysia sebagai
anggota tetap PBB. Soekarno dengan tegas menyatakan keluar sebagai anggota
PBB. Namun akhirnya Indonesia kembali masuk sebagai anggota PBB. Ini berarti
Indonesia sangat sulit untuk keluar dari namanya pengaruh negara lain. Dengan
masuknya Indonesia menjadi anggota PBB, maka mau tidak mau Indonesia harus
tunduk dan taan terhadap apa yang menjadi kebijakan internasional.

c) APEC
APEC merupakan kerjasama antara negara-negara kawasan Asia-Pasifik.
APEC bertujuan untuk mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat
komunitas negara Asia-Pasifik. APEC didirikan pada tahun 1989 dan saat ini
anggotanya sudah mencapai 21 negara. Ini berarti Indonesia akan semakin
bergantung dan sulit untuk melepaskan diri dari dunia internasional. Sepertinya
teori ketergantungan akan tidak bisa diterapkan di Indonesia.
Dari beberapa contoh organisasi yang diikuti oleh Indonesia di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa Indonesia akan sulit untuk melepaskan diri dari namanya
dunia internasional.

8. Kritik Terhadap Teori Ketergantungan

- Metode pengkajian, mereka mengkritik bahwa teori depedensi bukan


merupakan karya ilmiah, melainkan lebih merupakan pamflet politik. Teori
modernisasi mengatakan bahwa, teori depedensi memberi penjelasan dan
analisa ilmiah tentang masalah yang mempunyai di negara dunia ketiga.
- Kategori teoritis, teori depedensi telah secara berkelebihan menekankan
pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan dinamika
internal, misalnya peranan sosial dan negara. Analisa perebutan kekuasaan
politik juga tidak ditemukan dalam kategori teoritis. Hal ini terjadi sebab teori
depedensi menganggap bahwa kaum industralis di negara dunia ketiga hanya
merupakan borjusi gembel (lumpen bourgeoisie) yang tergantung pada modal
asing. Disisi lain teori dependensi menganggap pemerintah sbg komite
administrasi dari modal asing dan negara-negara imperialis.
- Implikasi kebijakan, teori depedensi berpendapat bahwa selama hubungan
pertukaran yang tidak seimbang ini tetap bertahan sbg landasan hubungan
internasional, maka ketergantungan dan keterbelakangan negara dunia ketiga
tetap tidak terselesaikan. Dalam hal ini para berada pada posisi sebaliknya.
Mereka berpendapat bahwa ketergantungan dan pembangunan dapat saja
terwujud secara bersama, dan bahkan lebih dari itu, mereka mengatakan
bahwa situasi ketergantungan tidak harus membawa keterbelekangan. Para
pengekritik juga menganggap bahwa rumusan kebijaksanaan yang diajukan
oleh teori depedensi tidak dapat menjelaskan secara detail dan jelasbagaimana
negara dunia ketiga itu bertindak.

Anda mungkin juga menyukai