Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM GENITOURINARIA

PADA PASIEN DENGAN “UROLITHIASIS”

Ditulis Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (lanjutan)

OLEH

TRI YANI SONOTO (201901014)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER

PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas
kelompok berupa makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Sistem
Genitourinaria “Urolithiasis” Keperawatan Peminatan Keperawatan Medikal
Bedah di STIK Sint Carolus Jakarta.

Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik atas bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya hendak menyampaikan
terima kasih kepada Dosen Pengajar mata kuliah KMB lanjut II, dan atas
pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.

Saya berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Saya
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini sehingga
saya terbuka dalam menanggapi masukan dan saran untuk perbaikan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati kita semua.

Kelompok 3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... 2


Daftar Isi ..................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan ......................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 4
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................ 6
Bab II Tinjauan Teori Urolithiasis .................................................................. 7
2.1 Definisi ....................................................................................... 7
2.2 Anatomi Fisiologi ....................................................................... 7
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .......................................................... 9
2.4 Patofisiologi ................................................................................ 11
2.5 Tipe Batu .................................................................................... 12
2.6 Manifestasi Klinis ....................................................................... 15
2.7 Pemeriksaan Diagnostik ............................................................. 16
2.8 Penatalaksanaan .......................................................................... 17
2.9 Manajemen Bedah....................................................................... 20
2.10 Komplikasi ................................................................................. 22
2.11 Patoflow Diagram ....................................................................... 24
Bab III Asuhan Keperawatan Kasus ................................................................ 25
3.1 Teori Keperawatan ..................................................................... 25
3.2 Kasus .......................................................................................... 28
3.3 Pengkajian Keperawatan ............................................................ 30
3.4 Diagnosis Keperawatan .............................................................. 33
3.5 Rencana Keperawatan ................................................................ 34
3.6 Discharge Planning...................................................................... 38
Bab IV Pembahasan Jurnal terkait Implikasi Keperawatan ............................. 39
Bab V Penutup ................................................................................................ 42
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 42
5.2 Saran ........................................................................................... 42
Daftar Pustaka .................................................................................................... 43
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem perkemihan atau system urinaria adalah suatu system tubuh
tempat terjadinya proses filtrasi atau penyaringan darah sehingga darah
terbebas dari zat-zat yang tidak digunakan lagi oleh tubuh. Selain itu pada
system ini juga terjadi proses penyerapan zat-zat yang masih dapat
dipergunakan lagi oleh tubuh. Zat-zat yang sudah tidak dipergunakan lagi
oleh tubuh akan larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin/air kemih.
Sistem urinaria pada manusia terdiri dari ginjal yang berfungsi untuk
mensekresi urin; ureter yang berfungsi menyalurkan urin dari ginjal ke
kandung kemih; kandung kemih yang bekerja sebagai penampung urin; dan
uretra yang menyalurkan urin dari kandung kemih keluar dari tubuh
(Prabowo, 2014).
Fungsi system perkemihan sangat penting untuk menjaga homeostasis
tubuh, dan terutama juga dalam hal ekskresi sisa metabolisme yang dapat
menjadi toksik dalam tubuh. Begitu vitalnya peran saluran perkemihan
dalam hal mensekresi sisa metabolisme tubuh seperti toksik sehingga
saluran ini sangat rentan terhadap gangguan penyakit yang menyebabkan
penurunan fungsi normal dari saluran perkemihan. Salah satu penyakit yang
dapat menyerang saluran perkemihan adalah batu saluran kemih atau
dikenal dengan Urolithiasis. Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat
pada saluran kemih yang terbentuk karna factor presipitasi endapan dan
senyawa tertentu, seperti kalsium oksalat, fosfat, asam urat dan sistin.
Urolithiasis merupakan sekumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci
ada beberapa penyebutan istilah penyakit ini berdasarkan letak batu yaitu
batu pada ginjal (Nefrolithiasis), batu pada ureter (Ureterolithiasis), batu
pada vesika urinaria (Vesikolithiasis) dan batu pada uretra (Uretrolithiasis)
(Prabowo, 2014).
Di negara-negara dengan standar kehidupan yang tinggi seperti
Swedia, Kanada atau AS, prevalensi batu ginjal cukup tinggi (> 10%).
Untuk beberapa daerah meningkat lebih dari 37% selama 20 tahun terakhir
dilaporkan, seperti di German pada tahun 2000 meningkat menjadi 40%,
dan Spayol ditahun 2007 meningkat menjadi 50,6% (European Association
of Urology, 2015). Pada studi epidemiologi, diketahui bahwa penduduk pria
di Eropa memiliki prevalensi kejadian urolithiasis 3% lebih tinggi dibanding
wanita (Prabowo, 2014).
Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain
adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Prevalensi penderita batu ginjal
berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,6 persen.
Prevalensi tertinggi di 5 Provinsi yaitu di Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh
(0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengah masing–masing
sebesar 0,8 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok
umur 55-64 tahun (1,3%), menurun sedikit pada kelompok umur 65-74
tahun (1,2%) dan umur ≥75 tahun (1,1%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-
laki (0,8%) dibanding perempuan (0,4%). Prevalensi tertinggi pada
masyarakat tidak bersekolah dan tidak tamat SD (0,8%) serta masyarakat
wiraswasta (0,8%) dan status ekonomi hampir sama mulai dari indeks
kepemilikan menengah bawah sampai menengah atas (0,6%). Prevalensi di
perdesaan sama tinggi dengan perkotaan (0,6%) (RISKESDAS, 2013).
Keluhan yang paling berat dari batu saluran kemih ini adalah nyeri
yang hebat. Hal ini sangat mengganggu bagi klien dan bahkan bila nyeri ini
tidak ditangani dengan cepat maka berpotensi untuk menyebabkan syok
neurogenik karna ketidakmampuan klien untuk beradaptasi dengan ambang
nyeri yang tinggi. Hal yang lain juga dapat terjadi adalah hambatan miksi
serta adanya hematuria karna lesi pada saluran kemih terutama pada ginjal
yang sangat kaya vaskuler sekaligus pula sangat sensitive terhadap adanya
cedera akibat batu, khususnya yang memiliki sisi yang tajam. Salah satu
komplikasi yang paling berbahaya dari batu saluran kemih adalah ketika
terjadi stagnansi urin yang kemudian menyebabkan refluks dan akhirnya
mempengaruhi ginjal karna menyebabkan kondisi hidronephrosis.
Berdasarkan data prevalensi, manifestasi klinis maupun komplikasi
dari batu saluran kemih ini maka sangatlah penting bagi perawat untuk
memberikan pelayanan keperwatan yang maksimal pada klien untuk
mengatasi keluhan yang diakibatkan serta untuk meningkatkan derajat
kesehatan klien.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medis dan konsep dasar
asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Urolithiasis serta
menerapkan dalam praktik keperawatan dengan integrase Evidence Based
Nursing.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan sehubungan dengan
penyakit Urolithiasis
2. Mampu menganalisa keterkaitan maupun kesenjangan antara teori dan
contoh kasus klien dengan Urolithiasis
3. Mampu menerapkan EBN dalam perawatan klien dengan Urolithiasis
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Urolithiasis


Urolithiasis adalah pembentukan batu (calculi) dalam saluran kemih.
Batu biasanya tidak menyebabkan gejala sampai ketika batu itu berada di
saluran kemih bagian bawah, yang menyebabkan nyeri yang menyiksa.
Formasi dari batu yang berada di urester disebut Urolithiasis (Ignatavicius,
2016). Urolithiasis atau disebut juga kencing batu adalah kalsifikasi didalam
system urin. Umumnya disebut batu, yaitu batu yang terbentuk didalam
ginjal (nefrolitiasis) namun dapat pula terbentuk di dalam atau migrasi ke
system urine bawah (Black, 2014).
Urolithiasis adalah batu pada saluran kemih yang terbentuk saat
konsentrasi urin berupa substansi kalsium oksalat, kalsium fosfat dan uric
acid mengalami peningkatan (Brunner & Suddarth, 2016). Urolithiasis
adalah gangguan pada sistem perkemihan dengan adanya batu pada saluran
kemih yang lebih sering terjadi pada pria daripada wanita (Lewis, 2017).
Urolithiasis adalah batu pada saluran kemih yang terbentuk pada saat
konsentrasi urin berupa substansi kalsium oksalat, kalsium fosfat dan uric
acid mengalami peningkatan dan menyebabkan nyeri.

2.2 Anatomi Fisiologi Saluran Perkemihan


Saluran perkemihan terdiri dari dua buah ginjal, dua ureter, satu
kandung kemih dan satu uretra. Sistem perkemihan adalah suatu system
tubuh tempat terjadinya proses proses filtrasi atau penyaringan darah
sehingga darah terbebas dari zat-zat yang tidak digunakan lagi oleh tubuh.
Selain itu pada system ini juga terjadi proses penyerapan zat-zat yang masih
dipergunakan lagi oleh tubuh. Zat-zat yang sudah tidak dipergunakan lagi
oleh tubuh akan larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem urinaria pada manusia terdiri atas:
Ginjal merupakan organ yang melakukan fungsi penting dalam proses
perkemihan. Ginjal adalah organ yang berbentuk seperti kacang dan
terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
daripada ginjal kri karena tertekan oleh ke bawah oleh hati (Price &
Wilson, 2006). Ginjal berfungsi untuk mengatur cairan dalam tubuh,
mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion, mengatur
keseimbangan asam basa dalam tubuh, ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme,
fungsi hormonal dan metabolisme, pengatur tekanan darah dan pengeluaran
zat beracun (Syaiffudin, 2009).
Proses filtrasi pada glomerulus ginjal merupakan langkah pertama dari
pembentukkan urin. Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma
bebas protein tersaring melalui kapiler glomerulus ke kapsul bowman.
Sekitar 20% plasma masuk ke dalam glomerulus dan tersaring. Proses
inilah yang dinamakan filtrasi glomerulus (Sheerwood, 2016). Secara
normal volume yang sama dengna volume plasma akan disaring setiap 45
menit dan volume yang sama dengan total cairan tubuh akan disaring setiap
6 jam. Hasil filtrasi kemudian diubah dengan transport aktif, difusi dan
osmosis saat melewati tubulus ginjal. Kemudian terjadi proses reabsorbsi
dari hasil filtrasi seperti glukosa, peptide, elektrolit dan air. Proses ini
disebut reabsorbsi tubulus (Black & Hawks, 2014). Proses yang ketiga
adalah sekresi, dimana mekanisme untuk mengeluarkan dan mengekstraksi
sejumlah plasma yang tidak terfiltrasi sebagai sisa proses filtrasi (Lauralee,
2017). Sisa dari proses filtrasi glomerulus kemudian keluar dari ginjal
menuju ureter (Black & Hawks, 2014)
Ureter merupakan saluran panjang sekitar 24-30 cm dengan diameter
0,5 cm – 1,7 cm yang menghubungkan ginjal ke kandung kemih. Sebagian
ureter terletak dalam rongga abdomen dan sebagiannya lagi terdapat dalam
rongga pelvis. Fungsi dari ureter adalah menyalurkan urine dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria) (Brunner & Suddarth, 2016). Adapun
penyaluran urine oleh ureter dibantu oleh kontraksi peristaltik (Black &
Hawks, 2014)
Kandung kemih adalah kantung berotot yang terletak dibelakang
tulang pubis. Kantung ini berbentuk seperti buah pir dan dapat
mengembang atau mengempis seperti balon karet. Kapasistas dari kandung
kemih orang dewasa sekitar 300-600 ml. Dinding kandung kemih terdiri
dari lapisan sebelah luar (peritonium),tunika muskularis (lapisan otot),
tunika submukosa, dan lapisan mukosa(lapisan bagian dalam). Kandung
kemih memilki tiga muara dua dari ureter dan satu menuju uretra. Kandung
kemih berfungsi sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan
tubuh dan sebagai pendorong urine keluar dari tubuh (dibantu oleh uretra)
(Price & Wilson, 2006), (Black & Hawks, 2014).
Uretra adalah jalan keluar dari kandung kemih yang membawa urine
keluar dari tubuh. Saluran ini memilki panjang yang berbeda pada wanita
dan pria. Panjang uretra pada pria sekitar 8 inci (20 cm) sedangkan pada
wanita sekita 1,5 inci (4 cm) (Price & Wilson, 2006).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Dua faktor penyebab primer dari batu saluran kemih stasis urine dan
supersaturasi urin. Stasis urin dapat terjadi karena adanya obstruksi pada
leher kandung kemih dan imobilisiasi. Hal-hal ini akan meningkatkan
pembentukan batu kristal dalam urine karena urine tidak bergerak.
Supersaturasi urin terjadi karena peningkatan konsentrasi zat terlarut yang
muncul karena berkurangnya cairan atau peningkatan dari beban zat
terlarut sendiri. Peningkatan zat ini menyebabkan presipitasi kristal seperti
kalsium, asam urat dan fosfat. Adapun kadah pH urine dapat
mempengaruhi solubilitas jenis krstal tertentu dengan beberapa jenis krisal
yang sudah siap berpresipitasi dalam kondisi asam dan basa.
Selain faktor primer terdapat juga beberapa faktor resiko yang
mendukung terbentuknya batu saluran kemih yang pada akhirnya berujung
pada faktor primer, yaitu imobilitas dan gaya hidup yang menyebabkan
stasis, dehidrasi, yang menyebabkan terjadinya supersaturasi, gangguan
metabolik yang menyebabkan peningkatan kadar kalsium atau ion lainnya
dalam urine, riwayat kencing batu sebelumnya, minum air yang
mengandung mineral dalam kadar tinggi, diet tinggi purin, oksalat,
suplemen kalsium, protein dan hewani, infeksi saluran kemih, pemakaian
kateter jangka panjang dan penyakit kandung kemih neurogenik (Black &
Hawks, 2014).
Menurut Lewis, 2017 faktor resiko yang menyebabkan terbentuknya
batu saluran kemih adalah :
a. Metabolisme
Gangguan dalam metabolisme akan meningkatkan kandungan kalsium
okasalat, uric acid dan citric acid dalam urine
b. Iklim
Cuaca panas dapat mengakibatkan peningkatan kehilangan cairan,
rendahnya volume urine dan meningkatkan konsentrasi terlarut dalam
urin
c. Diet
- Intake protein yang besar dapat meningkatkan uric acid
- Kelebihan teh atau jus buah dapat meningkatkan kalsium oksalat
dalam urin
- Rendahnya intake cairan dapat meningkarkan konsentrasi urin
d. Faktor Genetik
- Riwayat keluarga dengan batu pada saluran kemih, cystinuria, gout
atau renal asidosi
- Gaya hidup
- Pekerjaan dalam ruangan, imobilisasi
2.4 Patofisiologi
Mekanisme sesungguhnya dari pembentukan batu belum diketahui
hingga saat ini, namun para peneliti menekankan pada peran dari
supersaturasi dalam pembentukan batu. Kristalisasi tampaknya menjadi
factor primer dari pembentukan batu seperti dalam kondisi:
1) Supersaturasi urin dengan peningkatan zat terlarut
2) Pembentukan matriks yang disebabkan ikatan mokoprotein terhadap
batu
3) Kurangnya zat penghambat (inhibitor) yang disebabkan peningkatan
atau tidak adanya pelindung untuk mencegah pembentukan batu
4) Kombinasi dari beberapa kondisi tersebtu
Pada umumnya perkembangan kristal melibatkan proses nukleasi,
diman kristal dibentuk dari urine yang supersaturasi. Selanjutnya, proses
agregasi akan menghasilkan partikel yang ukurannya lebih besar. Salah 1
partikel ini mungkin masuk ke dalam saluran kemih hingga akhirnya
terjebak pada 1 daerah yang lebih sempit dimana akan terjadi pembentukan
batu.
Zat inhibitor (misalnya: sitrat, pirofosfat, dan magnesium) telah
diidentifikasi sebagai agen kelasi (chelating). Ketika zat tersebut terdapat
dalam jumlah yang adekuat, mereka dapat mencegah agregasi kristal dan
pembentukan batu. Ketika inhibitor itu tidak ada, maka akan terjadi
pembentukan batu setelah proses agregasi kristal. Selain itu, matriks
berserabut dari materi organic urin (kebanyakan adalah mukoprotein) dapat
terbentuk di dalam ginjal atau kandung kemih, membentuk suatu subtansi
dimana zat kristal akan menempel. Hal tersebut kemudian menjadi cikal
bakal batu. Produksi berlebih dari mukoprotein kemungkinan berhubungan
dengan terdapatnya riwayat keluarga menderita urolithiasis (Black, 2014).
Pembentukan batu melibatkan 3 kondisi:
1) Lambatnya aliran urin, mengakibatkan supersaturasi urin dengan unsur
tertentu (mis. cacium), yang mengkristal dan kemudian menjadi batu
2) Kerusakan pada lapisan saluran kemih (mis. karna abrasi dari kristal)
3) Berkurangnya jumlah zat penghambat dalam urin yang berfungsi
mencegah supersaturasi dan agregasi kristal (Ignatavicius, 2016).
Salah satu contoh masalah metabolic yang menyebabkan pembentukan
batu dimulai saat jumlah kalsium berlebih diserap melalui saluran usus yang
mengarah ke hiperkalsiuria. Saat darah beredar melalui ginjal, kelebihan
kalsium disaring ke dalam urin, menyebabkan supersaturasi kalsium dalam
urin. Jika asupan cairan buruk, seperti ketika klien mengalami dehidrasi,
kejenuhan supersaturasi mungkin terjadi dan risiko untik penggabungan
calcium dengan molekul lain akan meningkat. Kompleks kalsium sering
berfungsi sebagai pusat deposit dari molekul lainnya dan akhirnya terbentuk
batu.
Batu yang terbentuk di ginjal kemudian akan masuk ke dalam ureter,
khususnya pada area dimana mengalami perubahan bentuk. Bila batu itu
menutupi ureter dan menghalangi aliran urin, ureter melebar. Pelebaran
ureter disebut Hydroureter.
Nyeri terkait dengan spasme ureter sangat menyiksa dan dapat
menyebabkan syok karna rangsangan stimulasi pada daerah saraf terdekat.
Hematuria (darah dalam urin) merupakan hasil dari kerusakan lapisan
urothelial. Jika penyumbatan tidak diatasi, stasis urin dapat menyebabkan
infeksi dan berdampak pada fungsi ginjal pada sisi yang mengalami
penyumbatan. Sebagai akibat dari penyumbatan tersebut, Hydronefrosis dan
kerusakan permanent dari ginjal dapat terjadi (Ignatavicius, 2016).

2.5 Tipe-Tipe Batu


Batu terdiri atas satu jenis kristal atau kombinasi dari beberapa jenis.
1) Kalsium
Merupakan batu yang paling umum ditemukan dan berdasarkan kasus-
kasus 90% yang ditemukan adalah batu kalsium. Batu ini terbentuk dari
kalsium fosfat atau kalsium oksalat. Ukurannya sering bervariasi dari
partikel yang sangat kecil, sering kali disebut “pasir” atau “kerikil”,
hingga yang besar seperti batu staghorn, yang memenuhi seluruh pelvis
ginjal dan meluas hingga kaliks. Puncak penyakit ini pada saat seorang
berusia sekitar 20 tahun dan umumnya pada populasi laki-laki.
Hiperkalsiuria (peningkatan zat terlarut berupa kalsium dalam urin)
disebabkan oleh 4 komponen utama:
a) Penyakit reabsorpsi tulang yang membebaskan kalsium seperti
penyakit Paget, Hiperparatiroidisme. Penyakit Cushing, imobilitas
dan osteolitis karna keganasan
b) Penyerapan kalsium dalam jumlah besar oleh usus, seperti pada
klien yang riwayat konsumsi vitamin D berlebihan
c) Terganggunya penyerapan kalsium yang tersaring pada tubular
renal, seperti pada kondisi asidosis tubular renal
Sekitar 35% klien dengan batu kalsium tidak menunjukkan jumlah
kalsium yang tinggi dalam darahnya dan tidak menunjukkan penyebab
jelas dari hiperkalsiuria.
Terdapat 2 variasi hiperkalsiuria:
a) Abnormalitas utama adalah peningkatan penyerapan kalsium pada
usus atau reabsorbsi tulang. Hal itu menyebabkan kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dan memicu peningkatan filtarasi kalsium
pada ginjal dan supresi hormone paratiroid. Hal ini kemudian
menyebabkan penurunan reabsorbsi tubular sehingga
meningkatkan konsentrasi kalsium dalam urin.
b) Kelaianan lainnya “kebocoran ginjal” akan kalsium yang
disebabkan defek pada tubular. Hal ini menyebabkan hipokalsemia
yang menstimulasi penyerapan kalsium pada usus. Siklus ini sesuai
dengan yang terjadi sebelumnya, menyebabkan peningkatan zat
terlarut kalsium. Klien dengan masalah ini sering kali disebut
sebagai “pemboros kalsium”.
2) Oksalat
Batu kedua yang paling umum ditemukan adalah oksalat, yang secara
relative tidak terlarut dalam urin. Keterlarutan zat ini sedikit
dipengaruhi oleh perubahan pH dalam urin. Mekanisme terjadinya
oksalat masih belum diketahui dengan pasti, namun berhubungan erat
dengan pola makan.
Peningkatan insiden batu oksalat mungkin berhubungan dengan:
a) Penyerapan berlebihan oksalat, seperti pada penyakit inflamasi
usus dan tingginya konsumsi produk yang terbuat dari kedelai,
bayam, coklat, bit, gandum, kemiri, kacang tanah, okra, coklat,
kulit jeruk nipis
b) Overdosis asam asorbik (Vitamin C), yang memetabolisasi oksalat
c) Familial oksaluria (oksalat dalam urin)
d) Malabsorbsi lemak, yang menyebabkan pengikatan kalsium
sehingga membebaskan oksalat dari penyerapan
3) Struvit
Batu struvit juga disebut sebagai triple fosfat, terbentuk dari karbon
apatit dan magnesium ammonium fosfat. Penyebabnya adalah bakteri
jenis tertentu, umumnya proteus yang mengandung enzim protease.
Enzi mini membelah urea menjadi 2 molekul ammonia, yang
meningkatkan pH urine. Fosfat mengendap di urin yang basa.
Batu yang terbentuk pada keadaan ini adalah batu staghorn.
Pembentukan abses sering terjadi. Batu struvit sulit dihilangkan karna
batu ini keras dan terbentuk di sekeliling inti sel bakteri, melindungi
bakteri dari terapi antibiotic. Bagian kecil yang tertinggal setelah
operasi pembuangan batu, memulai siklus tersebut lagi
4) Asam Urat
Batu asam urat disebabkan oleh meningkatnya eksresi urat, deplesi
cairan, dan pH urin yang rendah. Hiperurisuria adalah hasil dari
peningkatan penmbentukan asam urat atau pemasukan zat-zat
uricosuric. Sekitar 25% orang dengan gout primer dan 50% dengan
gout sekunder memiliki batu asam urat. Konsumsi makanan yang
mengandung purin (sebuah basa kristal) dapat mempengaruhi klien
terhadap pembentukan batu asam urat. Selain itu, pengobatan pasien
dengan kanker dengan zat yang menyebabkan destruksi sel-sel secara
cepat dapat meningkatkan konsentrasi asam urat di urin.
5) Sistin
Sistinuria adalah akibat dari kesalahan metabolic congenital yang
diwariskan sebagai kelainan autosomal resesif. Batu sistin sering
muncul saat masa kanak-kanak dan remaja; kejadian pada orang dewasa
sangatlah jarang
6) Xanthine
Batu ini terjadi sebagai akibat dari kondisi turunan yang jarang, dimana
terdapat defisiensi xanthine oxidase. Kristal ini mengenda di urin yang
asam.
Potensi kerusakan yang dapat terjadi tanpa membeda-bedakan tipe batunya
tetaplah sama yaitu:
1) Nyeri, spasme atau kolik dari gerakan peristaltis ureter yang
berkontraksi pada batu
2) Obstruksi dengan kemungkinan hidronefrosis atau hidroureter
3) Trauma jaringan dengan perdarahan sekunder
4) Infeksi
(Black, 2014., Ignatavicius, 2016)

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi yang paling karakteristik dari batu renal atau ureter adalah
nyeri yang tajam dan parah, serta terjadi secara tiba-tiba, yang disebabkan
oleh pergerakan batu dan iritasi yang ditimbulkan. Tergantung dari letak
batu, nyeri ini dapat berupa kolik renal atau kolik ureter. Kolik renal berasal
dari region lumbal bagain dalam dan menjalar ke daerah sekitar dan turun
ke testis pada laki-laki dan kandung kemih pada perempuan. Kolik ureter
menjalar menuju genitalia dan paha.
Ketika nyeri dirasakan, klien biasanya mengalami mual, muntah, pucat,
napas cepat, tekanan darah dan nadi meningkat, diaphoresis, dan cemas.
Nyeri visceral seperti kolik dimediasi oleh system saraf otonom melalui
ganglia seliaka, yang menyebabkan rasa mual, muntah, penurunan motilitas
intestine.
Nyeri dapat terjadi secara berselang, yang berarti bahwa batu sudah
berpindah. Dokter berhipotesis bahaw ureter berdilatasi tepat di proksimal
calculus, yang memungkinkan urin untuk lewat, meredakan distensi ureter.
Seiring dengan batu berpindah ke tempat obstruksi yang baru, nyeri terasa
kembali. Nyeri hilang saat batu mencapai kandung kemih. Manifestasi lain
yaitu infeksi dengan kenaikan suhu tubuh dan WBC (Black, 2014).
Hambatan miksi dapat terjadi karna obstruksi pada saluran kemih
sehingga aliran urin mengalami penurunan dan sulit sekali untuk miksi
spontan. Hematuria tidak selalu terjadi pada klien dengan urolithiasis,
namun jika lesi pada saluran kemih utamanya ginjal, maka sering terjadi
hematuria yang massif. Hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya
dan memiliki sensitifitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu
yang tajam pada sisinya (Prabowo, 2014).

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. Laboratorium
- Serum dan nitrogen ure darah/kreatini (BUN/Cr), membantu dalam
menggambarkan uropati obstruksi akibat urolithiasis,
- Hitung darah lengkap : pemeriksaan skrining yang biasanya
mencakup hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), htung sel darah merah,
morfologi dan hitung sel darah putih serta diferensial,
- Kimia darah : mengukur kadar kalsium, fosfat, asam urat, natrium,
kalium, klorida, bikarbonat dan albumin.
- Urinalisis : pemeriksaan skrinning sederhana yang dapat
menunjukkan jenis batu dan adanya infeksi
- Urine (24jam) : mengukur volume urine, pH dan kadar kalsium,
natrium, asam urat, oksalat, sitrat dan kreatinin
- Kultur urine : mengidentifikasi adanya infeksi dan agen penyebab
b. Pencitraan
- CT Scan : gambaran gerakan kontinus yang memberikan tampiran
terperinci dari ginjal, ureter dan kandung kemih pada periode yang
singkat
- Sinar X Abdomen ginjal-ureter-kandung kemih : biasanya
diprogramkan untuk mengevaluasi nyeri panggul hematuria
- Urogram Intravena (IVU) dikenal juga sebagai pielogram intravena
(IVP) : sinar–x ginjal dilakukan dengan menyuntikkan kontas
radiopak ke dalam vena. Gambaran multipel ginjal dilakukan setelah
ekskresi kontras oleh ginjal
c. Prosedur Diagnostik
Ultrasonografi ginjal dan ultrasonografi Doppler intraternal:
menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu tanpa resiko gagal
ginjal yang dapat dipicu oleh media kontras.

2.8 Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Untuk pasien hiperkalsiuri, diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid
memicu resorpsi kalsium dari tubulus renal, sehingga mencegah muatan
kalsium belebih di urin. Potasium nitrat sering ditambahka pada diuretic
tiazid untuk menggantikan potassium. Untuk urin dengan level sitrat
rendah, potassium atau sodium sitrat dapat diberikan.
Batu kalsium oksalat diobati dengan vitamin B6 (Pirodoksin),
magnesium oxide atau kolestiramin. Untuk pasien dengan hiperurisemia
dan batu kalsium oksalat, allopurinol (zyloprin) diresepkan hanya jika
diet pengurangan purin gagal dan batu tetap ada.
Batu asam urat diobati dengan obat untuk menurunkan konsentrasi
asam urat seperti allopurinol. Selain itu, sodium bicarbonate atau sitrat
dapat diindikasikan untuk meningkatkan pH urin karna batu asam urat
terbentuk pada urin yang asam. Terapi ini juga efektif pada batu
xanthine, yang dihambat dalam urin alkali. Batu sistin diobati dengan
tiopronin (Thiola) dan d-penisilinamin yang membuat sistin lebih mudah
larut untuk diekskresikan. Antibiotik jangka panjang digunakan untuk
mengontrol infeksi yang menjurus pada pembentukan batu struvit (Black
& Hawks, 2014).
b. Non farmakologi
a) Meningkatkan cairan
Meningkatkan asupan cairan untuk memfasilitasi lewatnya batu kecil
dan mencegah pembentukan batu yang baru. Cairan diberikan 3 – 4
liter/hari, kecuali kontraindikasi, untuk memastikan volume urin yang
keluar 2,5 – 3 liter/hari. Volumen urin yang meningkat akan
mengurangi konsentrasi senyawa dan mengurangi stasis urin.
Peningkatan cairan juga dapat mengurangi nyeri, mencegah
pembesaran ukuran batu, dan mencegah infeksi.
b) Mengurangi nyeri
Nyeri dirasa paling parah saat 24 jam pertama. Selain mengontrol
nyeri melalui pemberian cairan, pasien biasanya membutuhkan opioid
dan agen antispasmodic. Opioid seperti morfin sulfat diberikan secara
intravena atau intramuscular untuk mengontrol nyeri yang sedang atau
parah. Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) juga efektif.
Agen antispasmodic, seperti oxybutynin klorida (Ditropan), sangatlah
efektif untuk meredakan dan mengontrol nyeri kolik yang
berhubungan dengan spasme ureter. Untuk mual dan muntah yang
berhubungan dengan kolik, ditangani dengan antiemetik.
c) Mencegah pembentukan ulang batu
Perubahan pola diet dan obat-obatan kadang dibutuhkan untuk
mencegah pembentukan kalkulus di kemudian hari pada pasien yang
kembali dengan batu berulang. Peningkatan konsumsi cairan masih
merupakan cara pencegahan yang utama. Hasil dari analisis batu
penting sebelum ditetapkan rekomendasi.
d) Menerapkan perubahan pola diet
Pasien dengan batu kalsium membatasi kalsium berlebihan (800
mg/hari). Pasien dengan batu oksalat menghindari makanan dengan
oksalat tinggi seperti teh, tomat, kopi instan, minuman cola, bir,
kacang-kacangan hijau, asparagus, bayam, kubis, seledri, cokelat,
buah sitrus, apel, anggur, kranberi, kacang dan selai kacang. Dosis Vit
C yang tinggi juga meningkatkan ekskresi oksalat di urin dan
harusnya dibatasi. Jika faktor batu asam urat, pasien harus diet rendah
purin dengan pembatasan makanan seperti keju, minuman anggur,
ikan berduri dan daging organ (Black & Hawks, 2014).

c. Penatalaksanaan Diit berdasarkan Jenis Batu Ginjal maupun Saluran


Kemih
Tipe Batu Intervensi Diit Rasional
Calcium  Hindari sumber oxalate:  Menghindari sumber
Oxalate bayam, black tea oxalate dapat membantu
mencegah pembentukan
batu
 Minimalisir intake sodium  Sodium yang tinggi
dapat mengurangi
reabsorbsi calcium oleh
tubulus ginjal
Calcium  Batasi intake makanan yang  Menghindari intake
Phosphate mengandung protein hewani protein dapat
5 – 7 porsi per minggu, dan menurunkan urin acid
jangan lebih dari 2 kali dan mencegah factor
sehari presipitasi calcium
 Menurunkan intake calcium  Menurunkan konsentrasi
seperti Susu maupun produk calcium dalam urin
susu lainnya dapat mencegah factor
presipitasi calcium dan
pengkristalan
 Menurunkan intake sodium  Intake sodium yang
tinggi dapat menurunkan
reabsorbsi calcium
dalam tubulus ginjal
Struvite  Batasi makanan yang  Menurunkan
(Magnesium mengandung phosphate yang konsentrasi phosphate
Ammonium tinggi, seperti produk susu, dalam urin membantu
Phospate daging organ, dan gandum mencegah pembentukan
batu
Uric Acid  Menurunkan intake sumber  Menurunkan
(Urate) purin, seperti daging organ, konsentrasi purin dalam
daging unggas, ikan, kuah urin membantu
daging, anggur merah dan mencegah pembentukan
sarden batu
Cystine  Membatasi intake protein  Menurunkan uric acid
hewani seperti daging organ, dalam urin
daging unggas, ikan, kuah
daging, dan sarden
 Mendorong intake cairan  Cairan yang meningkat
(500 mL setiap 4 jam saat membantu dilution urin
terjaga, dan 750 ml pada dan mencegah
malam hari) terbentuknya kristal
sistin
(Ignatavicius, 2016)

2.9 Manajemen Bedah

Sekitar 20% kasus kencing batu membutuhkan pengobatan


tambahan dengan gelombang kejut litotripsi atau endourologi atau prosedur
operasi. Operasi dilakukan pada pasien yang tidak berhasil dalam prosedur
litotripsi atau endourologi.

a. Prosedur Endourologi
Sistoskopi dapat dilakukan, bergantng dari posisi batu. Batu ukuran
kecil dapat diangkat secara transurethral dengan sistoskop, ureteroskop
atau ureterorenoskop. Selain itu, 1 atau 2 kateter ureteral atau sten
mungkin harus dimasukkan melewati batu tersebut. Berawal dari
prosedur tersebut, beberapa intervensi yang berbeda dapat dilakukan.
Kateter tersebut dapat dibiarkan selama 24 jam atau lebih untuk
mengosongkan urin yang terhalang batu dan untuk melebarkan ureter
sehingga dapat memicu pergerakan spontan dari batu. Kateter tersebut
juga dapat berfungsi sebagai penuntun mekanik agar batu dapat turun dan
diangkat. Irigasi kimia mungkin dapat juga digunakan untuk melarutkan
batu asam urat, struvit dan sistin. Kemudian usaha untuk memanipulasi
atau mengeluarkan batu dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
macam kateter khusus dengan simpul (loops), dan keranjang yang dapat
mengembang (expanding baskets) untuk menangkap batu tersebut.
Batu berukuran besar dapat dihancurkan dengan alat yang disebut
litotrite (penghancur batu) untuk memfasilitasi penangkapan batu.
Cystolitholapaxy dilakukan ketika batu kandung kemih cukup lunak
untuk dihancurkan. Pada litotripsi sistoskopi, lithotrite ultrasonic
digunakan untuk menghancurkan batu, diikuti dengan pembilasan
kandung kemih secara ekstensif. Beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi berhubungan dengan prosedur ini adalah perdarahan, retensi urin,
infeksi, perforasi kandung kemih dan kemungkinan terdapat fragmen
batu yang tertinggal.
Ureteroskop fleskibel dimasukkan melalui sistoskopi, digunakan
untuk mengumpulkan batu didalam ureter. Prosedur ini disebut
ureteroskopi, digunakan untuk mengambil batu ukuran 4 – 5 mm, atau
dikombinasikan dengan litotripsi ultrasonic untuk mengangkat fragmen
yang tersisa. Sedasi minimum atau anastesi harus dilakukan pada
prosedur ini dan biasanya komplikasi pascaoperasi yang terjadi hanya
minimal. Ureteronoskop flesibel dapat digunakan untuk mendapatkan
akses menuju saluran urin bagian atas termasuk ureter distal dan system
pengumpulan intrarenal, sehingga batu atau lesi pada kutub bagian
bawah atau pada kaliks lateral dapat dicapai. Nefroskop dapat
dimasukkan untuk mengangkat batu ginjal yang terletak bebas. Batu
diangkat menggunakan forceps alligator atau keranjang batu. Kemudian
dlanjutkan dengan irigasi (Black & Hawks, 2014).
b. Litotripsi
1) Litotripsi Laser
Perawatan terbaru untuk batu adalah litotripsi laser. Laser digunakan
bersamaan dengan ureteroscope untuk mengangkat batu. Irigasi air
secara konstan pada ureter dibutuhkan untuk mengurangi panas.
Komplikasi yang diakibatkan pada prosedur ini sama dengan prosedur
endourologi lainnya.
2) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL adalah pengunaan gelombang suara yang diberikan secara
eksternal untuk menghancurkan batu dalam ginjal atu ureter.
Gelombang kejut berkekuatan tinggi diarahkan oleh fluoroskopi,
ditransmisikan pada batu sehingga gelombang kejut itu memecahkan
batu menjadi sebuah fragmen kecil yang dapat dikeluarkan atau
diambil dengan endoskopi. Prosedur ini berlangsung selama 30
sampai 50 menit dengan pemberian 500 sampai 1.500 gelombang
kejut. Komplikasi dari ESWL adalah ekimosis dari area yang terkena,
fragmen yang tertahan, urosepsis, hematoma perinefritis dan
perdarahan.
3) Litotripsi Perkutan
Litotripsi perkutan melibatkan penyisipan sebuah pemandu secara
perkutan (melalui kulit) dengan fluoroskopi pada area yang dekat
dengan batu. Gelombang ultrasonic kemudian diarahkan pada batu
untuk memecahkannya menjadi fragmen-fragmen (Black & Hawks,
2014).
c. Prosedur Operasi Terbuka
Jika ukuran batu terlalu besar atau jika prosedur endourologi dan
litotripsi gagal untuk menyingkirkan batu, prosedur operasi terbuka harus
dilakukan. Prosedur operasi saat ini jarang lagi dilakukan karna tingginya
angka keberhasilan dari teknik modern dan tidak infasif.
Ureterolitotomi adalah operasi pengangkatan batu dari ureter melalui
insisi pada panggul untuk batu yang letaknya tinggi, atau insisi pada
abdomen untuk batu yang letaknya rendah. Drainase penrose dan kateter
ureteral umumnya dipasang setelah operasi untuk penyembuhan dan
drainase urin.
Sistotomi adalah pengangkatan batu pada kandung kemih melalui
insisi suprapubik dan dilakukan hanya pada saat batu tidak dapat
dihancurkan dan dihilangkan secara transurethral. Nefroctomi sebagian
atau total terkadang dilakukan pada kondisi kerusakan ginjal ekstensif,
adanya infeksi pada ginjal atau kelainan parenkim ginjal yang dapat
menyebabkan pembentukan batu (Black & Hawks, 2014).

2.10 Komplikasi

a. Komplikasi Akut:
1) Retensi urin akut: Batu uretra dalam ukuran yang besar dapat
menyebabkan penyumbatan ke uretra sehingga menyebabkan
restensi urin. Pasien akan menunjukkan gejala akut dari retensi urin
seperti nyeri dan distensi kandung kemih. Terkadang batu bisa
dirasakan lewat palpasi pada bagian anterior uretra dan glans.
2) Infeksi saluran kemih : Infeksi saluran kemih menjadi berbahaya
dengan adanya obstruksi. Resiko yang dapat mengancam jiwa akan
terjadi bila ditemukan septicamia.
b. Komplikasi Kronis:
1) Hidronefrosis: komplikasi yang paling umum dari obstruksi kalkulus
yang tidak diobati untuk beberapa waktu. Setiap kalkulus yang
menyebabkan hidronefrosis proksimal harus ditangani dan
dikeluarkan sebelum fungsi ginjal memburuk
2) Pyonephrosis: hasil dari infeksi hidronefrosis. Ginjal menjadi
kantung multilokular yang mengandung nanah atau urin purulen.
Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
kerusakan ginjal berat dan septicamia.
3) Gagal ginjal (Uraemia): Bila ada batu ginjal bilateral, terutama
staghorn untuk waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi ginjal secara bertahap tanpa gejala dan akhirnya
menyebabkan gagal ginjal kronis. Pada saat pemeriksaan semua
bentuk uremia dan obstruksi bilateral ditemukan. Batu ureter
bilateral dapat menyebabkan terjadinya uremia.
4) Anuria: didefinisikan sebagai ketiadaan produksi urine atau jumlah
produksi urine <100 ml dalam 24 jam.
5) Perkembangan kanker pada sistem pelvis: Kadang batu yang
bertahan lama di pelvis ginjal dapat berhubungan dengan
perkembangan tumor pelvis ginjal (CCRH, 2016)

2.11 Patoflow Diagram

Patoflowdiagram dari kanker paru dibuat berdasarkan beberapa sumber,


yaitu : (Black & Hawks, 2014), (Ignatavicus, 2016), (Muttaqin & Sari,
2011), (Lewis et al., 2017), (Brunner & Suddarth, 2016), (CCRH, 2016).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Teori Keperawatan


Teori keperawatan yang akan diintegrasikan dalam proses
keperawatan pada kasus ini adalah Comfort Theory yang dikemukakan
oleh Kathrine Kolcaba. Comfort Theory merupakan salah satu teori
keperawatan yang termasuk dalam kategori middle range theory. Teori
ini bertujuan agar manusia mencapai suatu kenyamanan secara
menyeluruh, dimana kenyamanan tidak hanya terbatas pada terbebas
dari rasa sakit, kecemasan dan ketidaknyamanan fisik saja, tetapi juga
pada kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi keadaan dan kondisi
yang dirasakan.
Kolcaba mengidentifikasi jenis kenyamanan menjadi tiga bagian
yaitu kelegaan (relief), kententraman (ease), dan transendensi
(transcendence) yang ditujukan pada empat konteks dimana
kenyamanan terjadi yaitu fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial.
Relief adalah suatu ketidaknyamanan yang dimiliki oleh seseorang dan
membutuhkan tindakan untuk membantu dan meringankan
ketidaknyaman tersebut, dalam hal ini perawat berperan untuk
meringkan kebutuhan pasien dengan memenuhi kebutuhannya. Ease
adalah suatu keadaan yang mengacu pada kepuasan pasien karena
adanya ketidaknyamanan tertentu, dalam hal ini perawat berperan
dalam pemberian asuhan keperawatan sesuai kebutuhan pasien.
Transcendence adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang tidak bisa
dihindarinya, dalam hal ini perawat berperan untuk memberikan
penguatan dan motivasi serta membantu dalam mengatasi kesulitan.
(Alligood, 2017)
Dalam konteks dimana ketidaknyaman terjadi fisik berkaitan
dengan sensasi tubuh dan mekanisme homeostasis. Psikospiritual
berkaitan dengan kesadaran internal diri, termasuk harga diri,
seksualitas, konsep diri, makna dalam hidup, hubungan dengan tatanan
yang lebih atau tatanan yang sudah ada. Lingkungan berkaitan dengan
kondisi lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi dan sosial
berkaitan dengan hubungan antar pribadi, keluarga dan hubungan
sosial (Tomey, Ann Mariner, 2006).
Adapun struktur taksonomi tentang teori kenyamanan Kolcaba dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Jenis
Relief Ease Transcendence
Kenyamanan
Fisik Keadaan dimana pasien Keadaan Pernyataan
membutuhkan tindakan dimana tentang
perawatan fisik segera ketentraman bagaimana
yang berhubungan dan kepuasan kondisi pasien
dengan kenyamanannya. hati pasien dalam
yang berkaitan mengatasi
dengan masalah yang
kenyamanan terkait dengan
fisik kenyamanan
Psikospritual Kondisi pasien yang Kondisi Pernyataan
membutuhkan tindakan ketentraman tentang
perawatan  dan kepuasan bagaimana
psikospiritual segera hati pasien kondisi pasien
terkait dengan yang berkaitan dalam
kenyamanan pasien dengan mengatasi
kenyamanan masalah yang
psikospiritual terkait dengan
kenyamanan
Lingkungan Kondisi pasien yang Bagaimana Pernyataan
membutuhkan tindakan kondisi tentang
perawatan  lingkungan ketentraman bagaimana
segera terkait dengan dan kepuasan kondisi pasien
kenyamanan pasien hati pasien dalam
yang berkaitan mengatasi
dengan masalah yang
kenyamanan terkait dengan
berdasarkan kenyamanan
lingkungan
Sosiokultural Kondisi pasien yang Bagaimana Pernyataan
membutuhkan tindakan kondisi tentang
perawatan  sosial segera ketentraman bagaimana
terkait dengan dan kepuasan kondisi pasien
kenyamanan pasien hati pasien dalam
yang berkaitan mengatasi
dengan masalah yang
kenyamanan terkait dengan
berdasarkan kenyamanan
sosial

Selanjutnya dalam pemberian intervensi keperawatan Kolcaba


membagi tiga intervensi tindakan keperawatan untuk comfort, yaitu
intervensi standard yang meliputi monitor TTV, pemenuhan kebutuhan
istirahat dan tidur, tindakan pengobatan untuk nyeri, monitoring hasil lab,
dan mengatur suasana perawatan agar kondusif. Selanjutnya untuk
tindakan coaching meliputi pemberian dukungan spiritual dan emosional,
penumbuhan keyakinan akan pengobatn yang dijalani, degarkan keluhan
pasien, berikan informasi dan bantu rencana pemulihan secara realistis.
Intervensi yang terakhir adalah comfort food for the soul yang meliputi
pemberian terapi energi untuk penyembuhan, ajarkan teknik relaksasi dan
distraksi, fasilitasi guided imagery, menurunkan stimulus lingkungan,
berikan pijatan, adaptasi lingkungan dengan meningkatkan kedamaian dan
ketenangan dan terapi musik.
3.2 Kasus Urolithiasis
Riwayat Kesehatan :
Seorang pria berusia 52 tahun datang ke unit gawat darurat dengan
keluhan nyeri hebat pada panggul kanan yang menjalar ke kuadran
kanan bawah. Tekanan darahnya 154/96 mmHg, denyut nadi 79 x/mnt,
laju pernapasan 24 x/mnt menit, dan suhunya 36,7°C. Nyeri timbul
secara perlahan dan memiliki intensitas 10/10 pada skala analog verbal
(VAS) menurun menjadi 8/10 setelah pemberian Toradol dan obat-
obatan morfin yang disediakan di unit gawat darurat. Rasa sakitnya
konstan, berlangsung selama 3 jam, dan ia memiliki dua episode
emesis sejak onsetnya. Dia melaporkan tidak mengalami nyeri dada,
dispnea, demam atau disfungsi usus dan kandung kemih. Riwayat
medisnya termasuk rasa sakit yang sama di sayap kiri pada dua tahun
sebelumnya yang didiagnosis sebagai batu ginjal.
Pemeriksaan Fisik :
Detak jantung dan pernapasannya dalam batas normal. Dia tidak
menunjukkan tanda-tanda edema atau mual, ketidaknyamanan perut
atau gangguan pencernaan. Perut teraba lunak namun meningkat di
kuadran kanan bawah. Urinalisis menunjukkan peningkatan jenis
gravitasi spesifik (1,030), hematuria signifikan dan ada sedikit protein.
Kalkulus ureter kanan terlihat pada foto abdomen konvensional. Pasien
kemudian pulang dengan harapan batu akan melewati saluran kemih
dan keluar secara alami. Sayangnya, pada hari berikutnya, pasien
kembali lagi ke rumah sakit dan melaporkan bahwa obat tidak bekerja
secara signifikan mempengaruhi rasa sakitnya, pasien kemudian segera
dirujuk ke departemen urologi. Pemindaian tomografi terkomputerisasi
(CT) dilakukan, kemudian diperoleh hasil yang mengungkapkan
terdapat batu dengan ukuran 7 mm pada ureter proksimal kanan
dengan hidronefrosis sedang dan perinefric stranding (edema yang
tampak dari CT Scan) (Gambar 1 dan 2). Beberapa kalkulus non-
obstruksi sebesar 1 - 2 mm juga ditemukan pada parenkim ginjal kiri.
Pasien didiagnosis dengan kalkulus ureter kanan dan untuk nyeri yang
dialami dikelola lebih lanjut dengan pemberian obat anti nyeri
(Ketoroloc, Morphine dan Naproxen) dan obat antiemetik.
Gambar 1

Gambar 2
3.3 Pengkajian dengan Menggunakan Teori Kenyamanan Kolcaba
Data Pasien
Nama Pasien : Tn.M
Umur : 52 tahun
Diagnosa Medis : Kalkulus Ureter

Keluhan Utama :
Nyeri hebat pada panggul kanan yang menjalar ke kuadran kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Nyeri timbul secara perlahan dan memiliki intensitas 10/10 pada skala
analog verbal (VAS) menurun menjadi 8/10 setelah pemberian Toradol dan
obat-obatan morfin yang disediakan di unit gawat darurat. Rasa sakitnya
konstan, berlangsung selama 3 jam, dan ia memiliki dua episode emesis
sejak onsetnya. Dia melaporkan tidak mengalami nyeri dada, dispnea,
demam atau disfungsi usus dan kandung kemih.
Pasien kemudian pulang dengan harapan batu akan melewati saluran kemih
dan keluar secara alami. Sayangnya, pada hari berikutnya, pasien kembali
lagi ke rumah sakit dan melaporkan bahwa obat tidak bekerja secara
signifikan mempengaruhi rasa sakitnya, pasien kemudian segera dirujuk ke
departemen urologi.
Pasien didiagnosis dengan kalkulus ureter kanan dan untuk nyeri yang
dialami dikelola lebih lanjut dengan pemberian obat anti nyeri (Ketoroloc,
Morphine dan Naproxen) dan obat antiemetik.

Riwayat Penyakit dahulu :


Rasa sakit yang sama di pinggang kiri, dua tahun sebelumnya yang
didiagnosis sebagai batu ginjal.

Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan umum : Tampak Lemah
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tekanan darah : 154/96 mmHg
4. Pernapasan : 24 x/menit
5. Nadi : 79 x/menit
6. Suhu badan : 36.7 oC
7. Detak jantung dan pernapasannya dalam batas normal
8. Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda edema atau mual,
ketidaknyamanan perut atau gangguan pencernaan. Perutnya teraba
lunak, namun meningkat di kuadran kanan bawah.

Pemeriksaan Diagnostik :
- Urinalisis menunjukkan peningkatan jenis gravitasi (1.030), hematuria
signifikan dan ada sedikit protein.
- Foto abdomen terlihat kalkulus ureter kanan
- CT Scan diperoleh hasil terdapat batu dengan ukuran 7 mm pada ureter
proksimal kanan dengan hidronefrosis sedang dan perinefric stranding
(edema yang tampak dari CT Scan). Beberapa kalkulus non-obstruksi
sebesar 1 - 2 mm juga ditemukan pada parenkim ginjal kiri

Terapi Medis :
- Obat antinyeri Ketoroloc, Morphine dan Naproxen
- Obat antiemetic

Aplikasi Pengkajian Kolcaba :

Jenis
Relief Ease Transcendence
Kenyamanan
Fisik - Nyeri hebat pada - Pemberian terapi - Skala analog verbal
panggul kanan yang farmakologi dan (VAS) menurun
menjalar ke kuadran nonfarmakologi pada menjadi 8/10 setelah
kanan bawah pasien. Terapi pemberian obat.
memiliki intensitas farmakologi yang
10/10 pada skala dilanjutkan adalah obat Tambahan peran
analog verbal (VAS) anti nyeri (Ketoroloc, perawat dalam
Morphine dan pengkajian
Naproxen) dan obat transcendence :
antiemetik - Kaji skla nyeri
- Kaji faktor yang
Tambahan peran perawat mengurangi nyeri
dalam pengkajian ease : - Kaji dukungan dan
- Kaji teknik distraksi motivasi dalam
dan relaksasi yang mengatasi nyeri
dibutuhkan pasien
- Kaji posisi yang
nyaman untuk pasien
Psikospritual - Pasien pernah - Pasien diberikan - Penggunaan obat
mengalami rasa Toradol dan Morfin tidak membantu
sakit yang sama di dalam menurunkan
pinggang kiri, dua nyeri, maka pasien
tahun sebelumnya. kembali lagi pada
Saat ini masuk besok harinya.
kembali dengan
keluhan nyri hebat Tambahan peran
pada panggul kanan perawat dalam
pengkajian
transcendence
- Kaji informasi yang
dibutuhkan pasien
mengenai penyakit
dan pencegahan
agar tidak terjadi
kembali
Lingkungan - (tidak ada data - -
dalam kasus)
Sosiokultural - (tidak ada data - -
dalam kasus)
Analisa Data

Data Etiologi Masalah


DS : Agen pencedera Nyeri Akut
- Nyeri hebat pada panggul kanan yang menjalar ke kuadran kanan fisiologis : Iritasi
bawah karena adanya batu
- Nyeri timbul secara perlahan dan memiliki intensitas 10/10 pada ureter
skala analog verbal (VAS) menurun menjadi 8/10 setelah pemberian
obat.
- Nyeri yang dirasakan konstan berlangsung selama 3 jam

DO :
- Skala nyeri 8
- TTV :
TD : 154/96 mmHg
R : 24 x/menit
N : 79 x/menit
SB : 36.7 oC
DS : - Obstruksi saluran Resiko Infeksi
kemih
DO :
- Urinalisis menunjukkan peningkatan jenis gravitasi (1.030),
hematuria signifikan dan ada sedikit protein.
- Foto abdomen terlihat kalkulus ureter kanan
- CT Scan diperoleh hasil terdapat batu dengan ukuran 7 mm pada
ureter proksimal kanan dengan hidronefrosis sedang dan perinefric
stranding (edema yang tampak dari CT Scan).
DS: Kurang informasi Defisit pengetahuan
- Pasien mengatakan pernah mengalami rasa sakit yang sama di tentang terjadinya
pinggang kiri, dua tahun sebelumnya yang didiagnosis sebagai batu kembali batu ureter
ginjal.

DO:
- Pasien didiagnosis dengan kalkulus ureter
- Pasien didiagnosis ulang dengan jenis penyakit yang sama di bagian
organ ginjal yang berbeda (dua tahun lalu kiri, sekarang kanan)

3.4 Diagnosis Keperawatan


1. Nyeri Akut b/d Agen pencedera fisiologis : Iritasi karena adanya batu
ureter d/d mengeluh nyeri hebat, tampak meringis, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat 154/96 mmHg.
2. Resiko Infeksi b/d Obstruksi saluran kemih
3. Defisit Pengetahuan b/d kekeliruan mengikuti anjuran , kurang terpapar
informasi tentang terjadinya kembali batu ureter d/d menanyakan masalah
yang dihadapi, menjalani pemeriksaan yang tidak tepat.
3.5 Rencana Tindakan
No Diagnosis Keperawatan Luaran/Outcome Intervensi Keperawatan
Dx
1 Nyeri Akut b/d Agen pencedera Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1.Manejemen Nyeri
fisiologis : Iritasi karena adanya selama 1x24 jam maka tingkat nyeri Observasi
batu ureter d/d mengeluh nyeri menurun dengan kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
hebat, tampak meringis, frekuensi - Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
nadi meningkat, tekanan darah - Meringis menurun - Identifikasi skala nyeri
meningkat 154/96 mmHg. - Frekuensi nadi membaik - Identifikasi respons nyeri non verbal
DS : - Tekanan darah membaik - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Nyeri hebat pada panggul
Setelah dilakukan intervensi keperawatan memperingan nyeri
kanan yang menjalar ke
kuadran kanan bawah selama 1x24 jam maka control nyeri - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
- Nyeri timbul secara perlahan
meningkat dengan kriteria hasil: sudah diberikan
dan memiliki intensitas 10/10
pada skala analog verbal - Melaporkan nyeri terkontrol - Monitor efek samping penggunaan analgetik
(VAS) menurun menjadi 8/10
meningkat Terapeutik
setelah pemberian obat.
- Nyeri yang dirasakan konstan - Kemampuan mengenali onset - Berikan teknik nonfarmakologis untuk
berlangsung selama 3 jam
nyeri meningkat mengurangi rasa nyeri.
DO : - Kemampuan mengenali penyebab - Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
- Skala nyeri 8 nyeri meningkat nyeri
- TTV :
- Kemampuan menggunakan teknik - Fasilitasi istrahat dan tidur
TD : 154/96 mmHg
R : 24 x/menit non-farmakologis meningkat - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
N : 79 x/menit
- Keluhan nyeri menurun pemilihan strategi meredakan nyeri
SB : 36.7 oC
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik.
2 Resiko Infeksi b/d Obstruksi Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1.Pencegahan infeksi
saluran kemih. selama 1x24 jam maka tingkat infeksi Observasi
DS : - menurun dengan kriteria hasil : - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
- Nyeri menurun sistemik
DO :
- Urinalisis menunjukkan - Bengkak menurun Terapeutik
peningkatan jenis gravitasi
- Kultur urine membaik - Batasi jumlah pengunjung
(1.030), hematuria signifikan
dan ada sedikit protein. - Cuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan
- Foto abdomen terlihat kalkulus
lingkungan pasien
ureter kanan
CT Scan diperoleh hasil terdapat Edukasi
batu dengan ukuran 7 mm pada - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
ureter proksimal kanan dengan - Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
hidronefrosis sedang dan - Anjurkan meningkatkan asupan nutria dan cairan
perinefric stranding (edema yang
tampak dari CT Scan).
3 Defisit Pengetahuan b/d Setelah dilakukan intervensi keperawatan 1.Edukasi Kesehatan
kekeliruan mengikuti anjuran , selama 3x24 jam maka tingkat Observasi:
kurang terpapar informasi pengetahuan meningkat dengan kriteria
tentang terjadinya kembali batu hasil : 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
ureter d/d menanyakan masalah - Perilaku sesuai anjuran verbalisasi informasi
yang dihadapi, menjalani minta dalam belajar meningkat 2. Identifikasi faktor – faktor yang dapat meningkatkan
pemeriksaan yang tidak tepat. - Perilaku sesuai dengan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
DS: pengetahuan meningkat sehat
- Pasien mengatakan pernah
- Menjalani pemeriksaan yang tidak
mengalami rasa sakit yang
sama di pinggang kiri, dua tepat menurun Teraupetik
tahun sebelumnya yang
Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
didiagnosis sebagai batu ginjal.
selama 3x24 jam maka tingkat kepatuhan 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
DO:
meningkat dengan kriteria hasil : 5. Berikan kesempatan untuk bertanya
- Pasien didiagnosis dengan
kalkulus ureter - Verbalisasi mengikuti anjuran Edukasi
Pasien didiagnosis ulang dengan
meningkat 1. Jelaskan faktor resiko yang mempengaruhi
jenis penyakit yang sama di
- Perilaku mengikuti program kesehatan
bagian organ ginjal yang berbeda
perawatan/pengobatan membaik 2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
(dua tahun lalu kiri, sekarang
- Perilaku menjalankan anjuran 3. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
kanan)
membaik. meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
3.6 Discharge Planning (Astuti, 2014)
1. Pasien menunjukan peningkatan pemahaman mengenai batu ginjal yang
meliputi pengertian, tandan gejala, penyebab dan pencegahan batu ureter
berulang.
2. Pasien perlu melakukan tindakan pencegahan terjadinya kembali batu
dengan mempertahankan intake cairan, mematuhi resep diet, dan
menghindari peningkatan suhu lingkungan yang mendadak, yang dapat
menyebabkan menurunnya jumlah urine. Cairan yang cukup harus
dikonsumsi pada sore hari untuk mencegah urine pekat pada malam hari.
3. Diet vegetarian dan asupan cairan dapat menawarkan perlindungan yang
signifikan terhadap pembentukan batu.
4. Makanan yang harus dihindari atau dibatasi dalam pencegahan batu
ureter:
- Makanan kaya akan Vit D dihindari (meningkatkan reabsorbsi
kalsium)
- Garam dan makan yang tinggi natrium (natrium bersaing dengan
kalsium dalam reabsorbsi di ginjal)
- Produk susu: susu sapi, susu kedelai, yogurt (kecuali keju yang lembut
& keju batangan)
- Daging, ikan, unggas: ottak, jantung, hati, ginjal, sarden, kelinci,
belibis, rusa, kuda dsb
- Minuman soft drink yang mengandung karbonasi: cola dl
- Membatasi oksalat : menghindari makanan tinggi oksalat, termasuk
bayam, stroberi, cokelat (terutama gelap), kacang, bit, dan the.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Teori dengan Kasus


Berdasarkan teoritis (Ignatavicius & Workman,2013; Black, 2014;
Suzane & Brenda, 2004), ada beberapa manifestasi klinik urolitiasi yang
muncul antara lain: nyeri, mual/muntah, peningkatan suhu badan,
leukosit meningkat, tanda-tanda vital meningkat. Pada kasus,
manifestasi yang muncul tidak mencakup semua yang ada di teori yakni
mual/muntah, peningkatan tanda-tanda vital yang aktual, dan
peningkatan jumlah leukosit. Jika menganalisa hasil pemeriksaan urin
dan CT Scan bahwa adanya darah pada urin dan endapan kristal pada
parenkim ginjal-ureter, dapat memberikan gambaran adanya kerusakan
jaringan ginjal-ureter. Pada umunya kerusakan jaringan akan merangsang
pelepasan zat-zat vasoaktif (prostaglandin) sehingga menghasil
peningkatan suhu tubuh. Kerusakan jaringan juga mengaktivasi histamin
dan bradikinin sehingga muncul nyeri. Pada kasus Tn.M (52 tahun)
nyerinya hebat (skala 10/10 secara verbal dan menurun dengan terapi
obat). Nyeri dapat merangsang sistim saraf otonom melalui ganglia
seliaka yang menyebabkan rasa mual/muntah dan penurunan motilitas
intestinal. Nyeri juga dapat mempengaruhi peningkatan frekuensi
pernapasan dan kontriksi cardiovaskuler. Kesimpulannya bahwa pada
kasus, klien tidak mengalami mual/muntah, gangguan cardiovaskuler,
peningkatan suhu badan maupun tanda-tanda vital. Peningkatan tekanan
darah (154/96 mmHg) tidak banyak berpengaruh atau tidak berhubungan
dengan tanda-tanda vital lain, atau bisa dipengaruhi usia.
Ignatavicius & Workman (2013) mengatakan bahwa intervensi
perawat pada klien dengan Urotlitiasis, berfokus pada penanganan nyeri,
resiko infeksi dan obstruksi urinaria serta resiko cedera post operasi.
Berdasarkan kasus klien yang dikaji dalam bab 3, ditemukan masalah
keperawatan nyeri, resiko infeksi dan difisiensi pengetahuan tentang
penyakitnya. Dua masalah keperawatan yang muncul (nyeri dan resiko
infeksi) menunjukkan kesesuaian kajian teoritis dengan keadaan klien.
Ketidaksesuaian yang penulis temukan adalah mengenai masalah
obstruksi urinaria dan resiko cedera post tindakan invasif. Masalah
tersebut tidak dapat ditegakkan secara keperawatan karena hasil CT scan
menjelaskan non-obstruksi ureter dan belum dilakukannya tindakan
invasif pada klien. Adapun hasil Urinalisis menunjukkan peningkatan
jenis gravitasi (1.030), hematuria signifikan (3+) dan trace protein,
penulis mengasumsikan pada adanya resiko infeksi akibat tekanan
endapan kristal pada ureter.
Adapun alasan penulis memunculkan masalah keperawatan tentang
difisiensi pengetahuan klien, adalah berdasarkan data subyektif klien
yakni riwayat diagnosis batu ginjal sebelah kiri pada 2 tahun yang lalu
dan terjadi kembali meskipun pada daerah yang berbeda. Ignatavicius &
Workman (2013) dan Black (2014) mengatakan, bahwa lebih dari
separuh klien yang sudah pernah didiagnosis urolitiasis dan tidak patuh
regimen terapi farmakologis atau non-farmakologis dapat mengalami
penyakit yang sama kembali dibawah 5 tahun. Sehingga asusmsi penulis
bahwa klien Tn.M (52 tahun) tidak patuh akan regimen pengobatan, atau
bisa kemungkinan pada penatalaksanaan sebelumnya kurang informasi
tentang penyakitnya.
Bagian terpenting pada intervensi masalah defisien pengetahuan klien
adalah informasi tentang penyakitnya, nutrisi yang tidak mengandung
zat-zat kristal pemicu munculnya batu ginjal/ureter, dan intake cairan
yang seimbang setiap harinya serta aktivitas fisik yang mendukung
keaktifan kontraktilitas ginjal dalam ekskresi. Terapy nutrisi dan cairan
yang adekuat menjadi intervensi utama pencegahan terjadinya formulasi
batu pada ginjal maupun saluran perkemihan. Bahkan pada diagnosis
batu ginjal/ureter type awal yang tidak memerlukan tindakan invasif,
terapy cairan menjadi yang utama (Ignatavicius & Workman,2013;
Black, 2014; Suzane & Brenda, 2004).
4.2. Evidence Based Nursing Practice
4.2.1 Judul Artikel : Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Persepsi
Nyeri Pada Pasien Yang Dilakukan Tindakan ESWL Batu Saluran
Kemih Di Rumah Sakit OMNI PULOMAS-JAKARTA (2017)
4.2.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan self efficacy
denganpersepsi nyeri pada pasien yang dilakukan tindakan ESWL di RS
Omni Pulomas Jakarta.
4.2.3 Analisa PICOT
Population: Populasi klien yang dilakukan tindakan ESWL batu
saluran kemih di RS Omni Pulomas Jakarta 68 orang. Sampel diambil
dengan menggunakan rumus Slovin 58 responden dengan metode non
probability sampling melalui consecutive sampling, yaitu cara
pengambilan sampel dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria
penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi (Setiadi,2013).
Intervention: esain penelitian adalah deskriptif korelatifyaitu
mengidentifikasi hubungan antara self efficacy dengan persepsi nyeri
pada klien yang dilakukan tindakan ESWL batu saluran kemih.
Penelitian dilakukan di ruangan tindakan ESWL RS Omni Pulomas
Jakarta,waktu penelitian dilaksanakan mulai minggu pertama Juni
2017 sampai dengan minggu pertama Oktober 2017. Pada penelitian
ini peneliti ingin melihat apakah ada hubungan yang signifikan antara
self efficacy yaitu komponennya terhadap persepsi dari pasien terhadap
penyakit.
Outcome : Nyeri bersifat subjektif yang dirasakan seseorang, tidak
ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan
respon atau perasaan yang identik pada individu. Persepsi nyeri
meningkat karena seseorang merasa cemas dengan tindakan yang akan
dilakukan, sehingga perlu adanya kepercayaan diri dan keyakinan diri
yang tinggi dari individu dalam menghadapi tindakan yang akan
dilakukan.Oleh karena itu peranan perawat sangat dibutuhkan dalam
meningkatkan keyakinan diri (self efficacy) pasien sebelum dilakukan
tindakan ESWL (Extracorporeal Lithotripsy Shock).
Hasil penelitian dari analisa data penelitian dengan menggunakan
teknik korelasi Spearman diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,776
(p=0,000) artinya ada hubungan yang signifikan antara self efficacy
dengan persepsi, dengan arah hubungan yang negative yang artinya
adanya hubungan yang terbalik antara kedua variable, dimana ketika
seseorang memiliki self efficacy yang tinggi maka persepsi nyeri yang
muncul akan lebih ringan juga sebaliknya. Kesimpulan dari penelitian
ini bahwa pendidikan kesehatan sangat penting diberikan kepada
pasien sebelum tindakan ESWL dilakukan, sehingga dapat
meningkatkan self efficacy-nya dan pasien akan memprespsikan nyeri
yang dirasakannya sebagai nyeri yang ringan.
Time : Tahun 2017
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Urolithiasis atau batu saluran kemih, normalnya tidak terbentuk dalam
saluran perkemihan. Namun, karena berbagai faktor pola hidup individu
misalnya; aktivitas banyak duduk, sering menahan kecing, banyak konsumsi
makanan-minuman mengandung purin, kalsium, kolesterol, kunsumsi obat-
obatan, dan tidak minum air mineral yang seimbang, sehingga memicu
pembentukan kristal-kristal pada saluran perkemihan. Urolithiasis memang
lebih sering ditemukan pada usia diatas 50 tahun, dan prevalensinya
cenderung meningkat tahun ke tahun. Pada penatalaksanaanya, bila sifat
batunya belum obstruksi total saluran kemih lebih sering dianjurkan terapi
obat dan minum air mineral jumlah yang banyak selagi tidak ada
kontraindikasi. Sedangkan bila batunya obstruksi total atau sifatnya sangat
mengganggung fungsi organ perkemihan, maka dilakukan tindakan invasif/
operasi.
Dari kasus yang dibahas dapat dilihat bahwa nyeri pada pasien dengan
urolithiasis ketika terjadi dirasakan oleh pasien sangat nyeri dengan intensitas
yang tinggi. Terjadinya pembentukan urin juga karena adanya faktor-faktor
yang menyertai. Mekanisme sesungguhnya dari pembentukan batu belum
diketahui hingga saat ini, namun para peneliti menekankan pada peran dari
supersaturasi dalam pembentukan batu. Pada kasus yang dilakukan
penanganan terlebih dahulu adalah nyeri yang dirasakan pasien untuk
menciptakan kenyamanan pada pasien dengan menggunakan teori
kenyamanan Kolcaba.

5.2 Saran
1. Bagi pasien agar mengutamakan perilaku minum air yang seimbang.
2. Melakukan olagraga teratur atau aktivitas ringan untuk mencegah statisnya
produksi ekskresi ginjal di saluran perkemihan.
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2017). Pakar Teori Keperawatan dan Karya Mereka. (A.


Hamid, Ed.). Singapore: Elsevier.
Astuti, R. (2014). Discharge Planning Pada Pasien dengan Nefrolithiasis Sebagai
Upaya Pencegahan Terjadinya Nefrolithiasis Berulang. Universitas
Indonesia.
Black, J. M., & Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (8th ed.).
Singapore: Elsevier.
Brunner & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah (12th ed.). Jakarta:
EGC.
CCRH, I. (2016). Urolithiasis Case Definition. Central Council for Research in
Homeopathy : Urolithiasis Disease, 302–303.
Ignatavicus. (2016). Medical Surgical Nursing Patient Centered Collaborative
Care. St. Louis Missouri: Elsevier.
Lauralee, S. (2017). Fisiologis Manusia dari Sel ke Sistem (8th ed.). Jakarta:
EGC.
Lewis, S., Bucher, L., Heitkemper, M., & Harding, M. (2017). Medical Surgical
Nursig. St. Louis Missouri: Elsevier.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Prabowo, E., & Andi, E.P. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Nuha Medika: Yogyakarta

Price, S., & Wilson, L. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.
Sheerwood, L. (2016). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (8th ed.). Jakarta:
EGC.
Syaiffudin. (2009). Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Tomey, Ann Mariner, A. M. (2006). Middle range theories: Peaceful end of life
theory. Nursing Theorists and Their Work. Missouri: Mosby.

Anda mungkin juga menyukai