Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316618206

Metabolisme Zat Gizi, Interaksi Obat dan Makanan pada Penyakit Ginjal
Kronik

Article · April 2017

CITATIONS READS

0 15,527

1 author:

Setyaningrum Rahmawaty
Universitas Muhammadiyah Surakarta
32 PUBLICATIONS   114 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Development of a nutrition monitoring tool to improve omega-3 long chain PUFA intake among primary school children in Surakarta View project

Pengembangan kompetensi mahasiswa dalam proses asuhan gizi melalui metode pembelajaran aktif berbasis Multiple Intelligences (MI) View project

All content following this page was uploaded by Setyaningrum Rahmawaty on 02 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Metabolisme Zat Gizi, Interaksi Obat dan Makanan
pada Penyakit Ginjal Kronik

Setyaningrum Rahmawaty, A., MKes., PhD1


1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl A Yani Tromol
Pos 1 Pabelan Kartasuro Surakarta,  0271-717417, ext. 396
 setyaningrum_r@ums.ac.id

Disampaikan pada Pelatihan Dietetik Manajemen Gizi pada Pasien GGK, 18-21 April 2017
Diselenggarakan oleh ASDI, DPC Surakarta

Halaman
Abstrak ......................................................................................................................................................... 1
Pendahuluan ................................................................................................................................................ 1
Peran Ginjal dalam Metabolisme Zat Gizi .................................................................................................... 2
Gangguan Metabolisme pada Pasien dengan CKD ...................................................................................... 5
Summary ...................................................................................................................................................... 12
Referensi ...................................................................................................................................................... 12

Abstrak

Pasien dengan penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease/CKD) rentan terhadap berbagai masalah
gizi dan gangguan metabolisme zat gizi, akibat progresivitas kerusakan ginjal maupun terapi dialisis
yang dijalani. Malnutrisi akibat uremia meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien CKD.
Malnutrisi akibat uremia berkaitan dengan banyak faktor yang terjadi selama predialisis maupun
terapi dialisis. Penelitian membuktikan bahwa intervensi gizi yang sesuai tahapan perkembangan CKD
dapat memperbaiki mortalitas dan kualitas hidup pasien CKD. Untuk itu, pemahaman yang baik
terhadap proses perkembangan CKD beserta gangguan metabolisme zat gizi yang terjadi, menjadi hal
urgent bagi ahli gizi, agar intervensi/terapi gizi yang diberikan tepat, sesuai kondisi pasien.

Pendahuluan

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal atau fungsi ginjal selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan
ginjal merupakan abnormalitas patologik pada ginjal, dapat diukur berdasarkan adanya
proteinuria/albuminuria (total protein-creatinin >200 mg/g dan/atau rasio albumin-creatinin >30
mg/g). Kelainan fungsi ginjal diketahui dari adanya penurunan glomerular filtration rate (GFR), yang
sekaligus menunjukkan derajat kerusakan ginjal/klasifikasi CKD (Tabel 1). CKD merupakan penyebab
gagal ginjal (kidney failure/CF) dan penyakit ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD). Saat
ini, CKD merupakan problem kesehatan global, termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2013 menunjukkan prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia adalah
0.2%.

Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan berbagai perubahan-perubahan komplek fisiologis dan
fungsi metabolisme, seperti: memburuknya fungsi ginjal/kegagalan fungsi ginjal (gagal ginjal kronik),
akumulasi toksin uremic (uremia), asidosis metabolik, abnormalitas metabolisme lipid, asam amino,
mineral, vitamin, tulang dan hemosistein; malnutrisi, resistensi insulin, inflamasi dan stres oxidatif,
anemia, defisiensi vitamin D, disfungsi otot, kehilangan masa lemak tubuh (lean body mass/LBM) dan
cachexia. Adanya faktor risiko lain, seperti dislipidemia, diabetes dan hipertensi yang biasa menyertai

1
CKD akan semakin memperburuk kondisi pasien, meningkatkan risiko penyakit cardiovascular dan
mortalitas. Penelitian membuktikan bahwa adanya ‘cardio-renal syndrome’, yaitu kumpulan gejala
terkait dengan gangguan fungsi ginjal dan sistem cardiac, dapat memperburuk progresivitas ke dua
sistem, jantung maupun ginjal.

Tabel 1. Klasifikasi CKD


2
Stage Description GFR, mL/min/1.73m
- At increased risk ≥60
1 Kidney damage with normal or increased GFR ≥90
2 Kidney damage with mild decrease GFR 60-89
3 Moderately decreased GFR 30-59
4 Severely decreased GFR 15-29
5 Kidney failure <15 (or dialysis)
Adapted from Levey AS et al., 2003

Paisen CKD membutuhkan penatalaksanaan berdasarkan derajat penurunan fungsi ginjalnya.


Pada CKD stage 5, terjadi penurunan fungsi ginjal yang sama sekali tidak bisa mempertahankan
homeostatis metabolisme tubuh, sehingga pasien membutuhkan terapi pengganti ginjal dengan
dialisis (hemodialisis, peritoneal dialisis, dan prosedur extracorporeal purifying yang lain) maupun
transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang sering dipilih, dan 80%
lebih pasien CKD menjalani hemodialisis. Perubahan fungsi ginjal dan proses hemodialisis dapat
menyebabkan perubahan metabolisme pada pasien CKD. Asuhan gizi yang tepat sesuai kondisi
pasien dibutuhkan untuk mengatasi gejala akibat gangguan fungsi ginjal dan mencegah komplikasi
akibat progresivitas kerusakan ginjal. Makalah ini akan membahas gangguan metabolisme zat gizi
sesuai perkembangan CKD (pre-post hemodialisa dan transplantasi ginjal) serta adanya interaksi obat
dan makanan yang kemungkinan terjadi. Dengan memahami perubahan-perubahan metabolisme zat
gizi pada CKD, diharapkan dapat membantu ahli gizi dalam menetapkan diagnosis gizi dan mendesain
intervensi gizi yang tepat bagi pasien CKG.

Peran Ginjal dalam Metabolisme Zat Gizi

Ginjal bertanggungjawab dalam beberapa fungsi vital di dalam tubuh, meliputi:


1. Mengatur komposisi darah dan mengeluarkan sisa metabolisme dari tubuh. Fungsi ini
dipertahankan melalui 3 proses, yaitu:
a. Filtrasi, melalui filtrasi glomerulus. Filtrasi hanya meliputi air dan molekul-molekul
kecil, sedangkan sel darah merah tidak disaring. Oleh karena itu, pada kondisi
normal, tidak ada darah di urin. Filtrat terdiri dari air, elektrolit seperti natrium (Na+),
kalium (K+), klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), bikarbonat
(HCO3-), hidrogen (H+) dan fosfat (HPO42-), serta nonelektrolit yang penting, seperti
glukosa, asam-amino dan metabolit/produk akhir dari proses metabolisme protein
yaitu urea, asam urat dan kreatinin. Rata-rata filtrasi kurang lebih 125 mL/menit atau
180 L setiap hari. Mengingat volume darah orang dewasa berkisar 7-8 L, maka filtrasi
terjadi kurang lebih 20-25 kali/hari. Banyaknya zat kimia yang disaring adalah produk
konsentrasi zat kimia tersebut di dalam darah dan kecepatan filtrasi. Sehingga,
semakin tinggi konsentrasi semakin besar jumlah yang disaring, atau semakin besar
kecepatan filtrasi semakin banyak zat kimia yang dapat disaring.
b. Reabsorbsi selektif terhadap zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar reabsorbsi
melalui pori-pori kecil dalam tubulus ginjal, sehingga zat-zat tersebut akan kembali
lagi ke dalam kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus. Sebagian besar
reabsorbsi meliputi air dan molekul-molekul kecil yang dibutuhkan tubuh, seperti
ion-ion, glukosa dan asam amino.

2
c. Sekresi produk-produk sisa metabolisme dari darah, seperti ammonia (NH3), urea
dari pemecahan protein, kratinin dari pemecahan kreatinin otot, serta zat-zat asing
seperti food additives, obat-obatan dan pestisida.
2. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.
3. Mengatur tekanan darah dan keseimbangan natrium, melaui sekresi renin.
Renin merupakan enzim proteolitik yang disintesis, disimpan dan disekresi oleh sel-sel di
juxtaglomerular (dekat atau berdampingan glomerulus) apparatus ginjal. Sekresi renin
distimulasi oleh menurunnya tekanan perfusi ginjal. Renin menghidrolisis angiotensinogen
(suatu α-2 globulin yang beredar bebas dan disintesis di hati) menjadi angiotensin I (suatu
decapeptide yang tidak aktif). Angiotensin I kemudian beraksi pada sebuah enzim proteolitik
kedua, yaitu angiotensin-converting enzym (ACE) yang disintesis di sel-sel endotelial vascular
(terutama pada pembuluh darah di paru-paru). Aksi dari ACE adalah memotong carboxy-
terminal dipeptide pada angiotensin I untuk memproduksi angiotensin II (suatu octopeptide
yang dihasilkan di sirkulasi, merupakan produk akhir aksi renin). Angiotensin II kemudian
berinteraksi dengan spesifik reseptor pada sel-sel cortical adrenal, mendorong pengeluaran
aldosteron. Aldosteron merupakan hormon steroid. Aldosteron beraksi pada lapisan principal
cells tubula distal dan ductus collectus, menstimulasi aktif reabsorbsi natrium dalam
pertukaran sekresi kalium dan/atau hidrogen. Angiotensin II juga menimbulkan vasokontriksi
langsung, sehingga mempengaruhi langsung volume plasma. Angiotensin II dapat dihidrolisis
lanjut menjadi angiotensin III, namun lebih kurang aktif dalam menstimulasi aldosteron
dibanding angiotensin II. Disamping itu konsentrasi dalam plasma juga lebih rendah, sehingga
kontribusinya kurang dalam mempertahankan keseimbangan cairan.

+, stimulatory signal; -, inhibitory signal; ANP, atrial natriuretic peptide; BNP, brain natriuretic
peptide; ECFV, extracelular fluid

Gambar 1. Renin-angiotensin-aldosteron-system (RAAS) untuk mempertahankan homeostatis


cairan di dalam tubuh. Adapted from: Penney: Sodium, water and potasium

3
4. Menjaga konsentrasi beberapa ion dan substansi lain dalam darah konstan.
5. Mengatur pengeluaran urin.
Konsentrasi urin melalui reabsorbsi air dikontrol oleh antidiuretic hormon (ADH) yang
disekresi oleh lobe posterior kelenjar pituitari. Jika sekresi ADH berkurang, ada peningkatan
produksi urin (diuresis). ADH mengontrol kemampuan air melewati sel-sel di dinding ductus
collectus.
6. Menjaga konsentrasi asam/basa di dalam tubuh tetap konstan.
7. Menstimulasi pembentukan sel darah merah melalui produksi eritropoetin.
Eritropoietin merupakan hormon glikoprotein yang mengontrol eritropoesis atau produksi sel
darah merah. Eritropoietin adalah sebuah cytokine (protein signalling molecule) bagi
precursor eritrosit atau sel darah merah di sumsum tulang belakang. Juga disebut
hematopoietin atau hemopoietin, dan diproduksi oleh interstitial fibroblasts ginjal.
8. Mengatur kadar kalsium darah (melalui aktivasi vitamin D) melalui produksi 1.25-
dihyroxyvitamin D (calcitriol), yang mempengaruhi keseimbangan calsium.

Gambar 2. Sintesis dan kerja calcitriol (1.25 (OH)2D3) dalam mempertahankan homeostatis kalsium
tubuh. Adapted from: Grooper (2013) Advanced Human Nutrition and Metabolism, p.397

9. Ginjal berperan dalam mengatur metabolisme asam amino interorgan, seperti glutamin,
arginin dan sitrulin. Glutamin merupakan asam amino nonessensial sebagai bahan bakar
utama enterosit (sel-sel di mukosa usus) dan diperlukan untuk mekanisme pertahanan tubuh.
Metabolisme glutamin diatur oleh interorgan meliputi usus, hati dan ginjal.

4
Gangguan Metabolisme pada CKD

Anorexia-cachexia pada CKD

Pasien dengan penyakit kronik, seperti CKD, mengalami suatu fase yang disebut ‘anorexia-cachexia’
syndrome (ACS). ACS merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan nafsu makan
(anorexia) dan peningkatan resting energi expenditure (REE) disertai dengan peningkatan pemecahan
protein dan kehilangan secara progresif LBM dan otot skeletal. Hal ini didorong oleh adanya pro-
inflamatory cytokines dan efeknya secara periperal pada jalur otot skeletal yang mengatur turnover
protein dan secara sentral pada neuron-neuron di hipotalamus yang mengatur nafsu makan. ACS
menyebabkan keseimbangan energi negatif pada pasien CKD. Meskipun mekanisme ACS masih
belum diketahui dengan lengkap, namun cytokines (e.g. IL-1β, IL-6, dan TNF) berperan dalam
perkembangan ACS; sehingga level/aktivitas leptin dan ghrellin kemungkinan terganggu. Leptin
adalah anoxigenic peptide yang menurunkan nafsu makan, sedangkan ghrellin adalah orexigenic
peptide yang menaikkan nafsu makan. Keduanya merupakan jalur pengaturan nafsu makan di
otak/hipotalamus. Pada jalur normal, neuron-neuron pada pusat hipotalamus memproduksi
melanocortins (proopiomelanocortin (POMC)/cocaine dan amphetamine-regulated transcript (CART))
yang diaktivasi oleh leptin, yang memiliki efek anorextic dan katabolik. Sedangkan neuropeptide Y
(NPY) dan angouti-related protein (AgRP) mengekspresikan neuron-neuron yang diaktivasi oleh
ghrellin yang memiliki efek orexigenic. Pada pasien CKD, terjadi gangguan pada sirkulasi leptin dan
ghrellin, dimana aktivitas POMC/CART tetap sedangkan NPY/AgRP turun. Hal ini berdampak pada
meningkatnya REE dan menurunnya nafsu makan.

Adanya inflamasi dan ACS biasa dijumpai pada pasien dengan CKD, terutama pada stage 5.
Peningkatan REE tidak dipengaruhi oleh derajat fungsi ginjal, namun kemungkinan lebih dipengaruhi
oleh adanya stress inflamasi.

Gangguan Metabolisme Protein - Malnutrisi Uremia

Ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan protein tubuh melalui fungsi sintesis, degradasi,
filtrasi, reabsorbsi dan ekresi asam amino di tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal dapat
mengakibatkan gangguan berbagai peran ginjal dalam metabolisme protein. Gangguan metabolisme
protein yang sering menyertai pasien ginjal lebih dikenal sebagai malnutrisi uremia. Malnutrisi
uremia merupakan istilah untuk menggambarkan malnutrisi dan gangguan metabolisme terkait
dengan gangguan ginjal. Malnutrisi uremia terjadi pada 20-50% pasien CKD dengan dialisis.
Karakteristik malnutrisi uremia meliputi hilangnya cadangan protein tubuh ditandai dengan
penurunan massa lemak bebas serta penurunan protein viseral seperti albumin, pre-albumin, dan
transferin (Tabel 2). Malnutrisi uremia meningkatkan risiko rawat inap dan kematian, khususnya
pada pasien CKD stage 5.

Penyebab malnutrisi uremia antara lain kurangnya asupan zat gizi serta gangguan metabolik
dan hormonal (Gambar 3). Anoreksia yang terjadi pada pasien dengan CKD mengakibatkan asupan
zat gizi kurang dan berdampak pada menurunnya status gizi. Meskipun mekanisme uremia
menyebabkan anoreksia belum jelas, suatu studi oleh Berg-strom et al. menjelaskan isolasi a low
molecular weight substance (<5 kd), yang diisolasi dari ultrafiltrat plasma uremic dan urin normal,
yang diinjeksikan pada tikus yang sehat, menyebabkan suatu dose-dependent suppression pada nafsu
makan. Dengan kata lain, penelitian ini menyimpulkan bahwa uremia menyebabkan nafsu makan
berkurang. Disisi lain, diet rendah protein yang dijalani oleh pasien CKD, khususnya gagal ginjal
kronik, menyebabkan ketoasidosis .

5
Tabel 2. Marker gizi pada pasien uremia

Antropometri Berat badan turun atau % BBI <85%


Abnormal TBLK, LLA, dan tau kekuatan tulang
Biokimia Serum albumin <4.0 g/dL
Serum transferi <200 mg/dL
Serum IGF-1 <200 ng/mL
Serum prealbumin <30 mg/dL atau ada tren penurunan
Perubahan profil /abnormalitas plasma dan konsentrasi asam amino
Serum kreatinin rendah dengan tanda-tanda uremia atau creatinin kinetik rendah
Komposisi Lean body mass rendah menggunakan BIA dana tau DEXA
tubuh Total nitrogen tubuh dan/atau indek nitrogen rendah (observed nitrogen/predicted
nitrogen)
Asesmen gizi DPI <0.7 g/kg/d pada GGK (by 24-h urea nitrogen excretion)
DPI <1.0 g/kg/d pada CT (by protein catabolic rate)
BIA: bioelectrical impedance analysis (BIA), DEXA: dual-energy radiograph absorptiometry

Gambar 3. Faktor-faktor etiologi malnutrisi pada CKD


Adapted from: Chung et al., 2012

Asidosis metabolik yang menyertai progresivitas CKD, juga menyebabkan malnutrisi uremia
melalui meningkatnya katabolisme protein. Studi oleh Mitch et al., menunjukkan proteolisis otot
distimulasi melalui jalur adenosine triphosphate-dependent yang melibatkan ubiquitin (a single-chain
polipeptide) dan proteosomes selama asidosis metabolik. Berbagai mekanisme yang mempengaruhi
turnover protein otot pada pasien CKD dijelaskan pada Gambar 4.

6
Keterangan:
CKD menyebabkan berbagai gangguan yang mempengaruhi metabolisme otot dan turnover protein.
Pertama-tama, CKD dan uremia menyebabkan penurunan nafsu makan/anoreksia melalui berbagai
mekanisme, seperti berkurngnya ghrellin yang aktif. Diet rendah protein yang diberikan, menurunkan
asupan protein dan pool asam amino di otot. Penurunan asupan protein dan asam amino,
mempengaruhi secara langsung jalur sintesis protein di otot (dan menekan pemecahan protein, e.g.
asam amino rantai cabang atau branched-chain amino acid/BCAA), secara tidak langsung pada insulin
dan growth hormon-insulin-like growth factor-1 (GH-IGF-1). GH-IGF-1 memiliki efek kuat pada
transport asam amino, sintesis protein dan mennkan pemecahan protein (melalui IGF-1). Resistensi
insulin merupakan problem yang umum pada pasien CKD dan pasien lain dengan proinflammatory
response. Hal ini berdampak pada metabolisme secara umum dan efek lokal pada otot dengan
penurunan transport zat gizi (glukosa dan asam amino)/kemampuan reaksi sel dan penurunan rata-
rata sintesis protein (efek pada pemecahan dan sintesis). Angiotensin II, cortisol dan aldosteron,
kemungkinan semua menurunkan sensitivitas insulin. Mediator lain yang mungkin terlibat pada
pasien dengan CKD dan fungsi otot, seperti angiotensin II, aldosteron, vitamin D (dan reseptor
vitamin D). Glukokortikoid yang mungkin meningkat jumlah maupun aktivitasnya pada CKD memiliki
dampak pada otot, yaitu memperkuat resistensi insulin dan meningkatkan pemecahan protein.
Adanya proinflammatory cytokines kemungkinan juga mempengaruhi turnover protein otot pada
penderita CKD. Dampaknya adalah kehilangan protein, penurunan status gizi dan muscle wasting.
Menurunnya status gizi berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada
penderita CKD.

Gambar 4. Gambaran berbagai jalur yang mempengaruhi turnover protein di jaringan otot pada
pasien CKD. Adapted from Slee 2012

7
Pada pasien pre-dialisis, protein dari diet diberikan rendah untuk melindungi ginjal melawan
hiperfiltrasi dan progresivitas CKD. Diet sangat rendah protein tidak dianjurkan karena dapat memicu
keseimbangan nitrogen negatif. Protein yang aman, minimal diberikan 0.6 g/kgBB/hari.

Gangguan metabolisme Karbohidrat

Gangguan metabolisme karbohidrat sangat sering terjadi pada pasien CKD. Gangguan toleransi
glukosa terjadi bersamaan dengan menurunnya fungsi ginjal. Resistensi insulin dapat terdeteksi
terutama ketika GFR dibawah 50 mL/min. Insulin berperan dalam aktivasi sintesis protein di otot
melalui cross-signaling pathway dengan IGF-1. IGF-1 merupakan peptida kunci yang terlibat dalam
pertumbuhan sel dan turnover protein, yang berperan sebagai mediator primer pada berbagai
respon yang diatur oleh hormon pertumbuhan (GH) di jaringan. IGF-1 mempengaruhi aktivitas
glucose-disposal, anti-apoptic dan anti-proteolitic di otot, dan memberikan beberapa cell signaling
pathways dengan insulin. GH dan IGF-1 juga memiliki efek utama pada pertumbuhan ginjal, dimana
struktur, fungsi dan aktivitasnya turun pada penyakit ginjal. Hal ini yang mungkin juga menyebabkan
malnutrisi uremia pada CKD, akibat penurunan aktivitas GH-IGF dalam waktu lama yang
mempengaruhi jaringan seperti otot. Faktor lain yang diperkirakan menyebabkan resistensi insulin
pada CKD adalah inflamasi kronik, stress oksidatif, defisiensi 1.25 dihydroxy-vitamin D,
hiperparatiroid sekunder, anemia dan malnutrisi. Faktor-faktor ini berkorelasi dengan meningkatnya
inflammatory cytokines, adipokines, ER stress, and SOCS, menyebabkan kerusakan pada insulin
receptor-signaling pathway. Gambar 5 menjelaskan resistensi insulin pada CKD.

Gambar 5. Resistensi insulin pada CKD. Gagal ginjal dan jaringan adiposa menyebabkan inflamasi
sistemik dan meningkatkan kadar adipokin di plasma. TNF-α mengaktivasi lipolisis di jaringan
adiposa, yang menghasilkan asam lemak-asam lemak bebas/free-fatty acids (FFAs). Di sel otot, FFAs
mengaktivasi faktor-faktor transkripsi seperti peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), dan
menghasilkan messengers seperti diacylglycerol (DAG) dan long-chain acyl-CoA (LCA-CoA), yang akan
menyebabkan aktivasi protein kinase C (PKC) dan dephosphorilasi substrat reseptor insulin (IRS)-1/2.

8
Di sel-sel otot, TNF-α mengaktivasi rangkaian kinase seperti IKK-β, c-Jun NH2-terminal kinase (JNK),
extracellular signal-regulated kinase (ERK), protein kinase C (PKC), Akt (PKB), mamalian target of
rapamycin (mTOR) dan glycogen synthase kinase 3 (GSK3) yang bertanggung jawab untuk
phosphorilasi reseptor insulin (InsR) dan IRS-1 pada residu serin/treonin. Penghambatan fungsi IRS-1
akan memblok Akt, mendorong penyitaan cytosol glucose transporter 4 (GLUT4). Fetuin-A juga
menghambat IRS dan menstimulasi inflamasi tingkat ringan. IL-6 bertanggungjawab untuk induksi
suppressors of cytokine signaling (SOCS) protein yang berbeda melalui Janus kinase/signal transducer
dan activator of transcription (Jak/STAT)-signaling pathway. SOCS akan menghambat IRS-1/2 dan
protein kinase A. Stress pada retikulum endoplasma tampak sebagai faktor lain yang
menghubungkan inflamasi dan resistensi insulin pada tingkat molekuker. Garis merah
menggambarkan mekanisme faktor-faktor yang terkait CKD pada resistensi insulin (Adapted from:
Liao et al., 2012).

Kandungan dekstrosa dalam dialisat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi


metabolisme karbohidrat. Pasien CKD sering mengalami hipoglikemia saat proses dialisa, sehingga
kadar dekstrosa diberikan lebih tinggi. Disisi lain, kadar dekstrosa yang tinggi pada dialisat dalat
menyebabkan hiperglikemia, sehingga memperburuk resistensi insulin yang terjadi pada pasien CKD.
Hipoglikemia pada pasien CKD diperkirakan akibat menurunnya glukoneogenesis dan pelepasan
katekolamin, gangguan degradasi dan clearance insulin di ginjal. Untuk itu diperlukan pemantauan
kadar glukosa darah berkala, khususnya saat proses dialisis.

Gangguan Metabolisme Lemak

Gangguan metabolisme lemak pada pasien CKD bervariasi tergantung derajat kerusakan ginjal,
etiologi penyakit dan terapi pengganti ginjal yang dipilih. Pasien CKD dengan dialisis adalah
dislipidemia dengan ciri khas hipertrigliseridemia dan kadar high density lipoprotein (HDL) rendah.
Peningkatan trigliserid (TG) dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan
adanya inhibitor lipase pada CKD. Peningkatan produksi TG-rich lipoprotein seperti very low density
lipoprotein (VLDL) di hati dan disfungsi degradasi TG akibat insufisien beta-oksidasi asam lemak di
mitokondria menyebabkan serum TG meningkat. Hiperparatiroid sekunder, resistensi insulin, dan
pemberian heparin berulang pada CKD juga diperkirakan menjadi penyebab lain peningkatan TG.
Resistensi insulin pada CKD dapat memicu peningkatan VLDL yang memicu peningkatan TG.
Pemberian heparin dapat menyebabkan LPL terlepas dari permukaan endotel, dimana dalam jangka
panjang pasien CKD dapat mengalami deplesi LPL dan mengalami gangguan pemecahan TG.

Gangguan Keseimbangan Asam-Basa

Gangguan keseimbangan asam basa biasa dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik/chronic kidney
failure (CKF). Asidosis metabolik merupakan problem utama pada pasien CKD, terutama ketika GFR
<25% normal. Asidosis metabolik adalah meningkatnya keasaman darah secara berlebihan yang
ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Tingkat asidosis berhubungan dengan
keparahan CKD dan lebih berat pada GFR yang lebih rendah. Pada insufisiensi ginjal kronis, asidosis
metabolik sebagai akibat berkurangnya kemampuan ginjal dalam mereabsorbsi bikarbonat, yang
merupakan prekursor utama untuk sintesis urea, untuk mengeluarkan ammonia, dan mengeluarkan
ekresi asam titratable (hyperchloremic, normal anion gap acidosis). Pada insufisiensi ginjal yang
berat, anion organik dan conjugate asam (nonvolatile acids) tidak dapat diekresi, dan terjadi
peningkatan anion gap acidosis.

Asidosis metabolik akibat gagal ginjal kronik disebut asidosis uremia (uremic acidosis).
Perkembangan uremic asidosis dipengaruhi banyak faktor. Produksi endogenous acid menjadi faktor
penting, dimana hal ini tergantung pada diet. Konsumsi sayuran dan buah mengakibatkan produksi

9
alkali, sehingga konsumsi jenis makanan ini dapat menunda timbulnya asidosis metabolik pada CKF.
Terapi diuretik dan hipokalemia, cenderung menstimulasi produksi ammonia, kemungkinan
menunda perkembangan asidosis. Pada penyakit ginjal tubulointerstitial, asidosis cenderung
berkembang lebih awal daripada penyakit pada glomerular. Secara umum, gejala asidosis metabolik
jarang ditemukan, jika GFR >25-20 mL/min. Asidosis menyebabkan berbagai komplikasi, seperti
muscle wasting, penyakit tulang, abnormalitas pada hormon pertumbuhan dan sekresi hormon
tiroid, sensitivitas insulin terganggu, dan akumulasi beta-2 microglobulin. Komplikasi lain seperti
keseimbangan nitrogen negatif, anorexia, letih, gangguan fungsi sistem cardiovascular, hiperkalemia,
peningkatan glukoneogenesis dan metabolisme trigliserid.

Terapi asidosis metabolik ditujukan untuk mencapai kadar bikarbonat serum mendekati
normal (22-26 mmol/L). Cara terbaik dengan mengkonsumsi sodium bikarbonat secara oral (1 tablet
3x/hari) dan meningkatkan dosis jika dibutuhkan. Biasanya diberikan 650 mg sodium bikarbonat,
mengandung 7.5 mmol alkali (ion HCO3- ). Biasanya pasien yang mendapat terapi sodium bikarbonat
mengeluh gangguan lambung. Pada kasus ini, bisa menggunakan larutan Shohl (campuran sodium
sitrat dan citric acid). Pada pasien dengan terapi dialisis, diberikan pada dialisat.

Gangguan Mineralisasi Tulang

Renal osteodystrophy, merupakan istilah yang menggambarkan abnormalitas tulang pada beberapa
pasien CKD. High-turnover bone disease atau osteitis fibrosa menggambarkan manifestasi secundery
hiperparatiroidism (SHPT) pada tulang. Penyebab utama gangguan mineralisasi tulang pada pasien
CKD, adalah defisit vitamin D aktif (calcitriol) sebagaimana Gambar 2. Ginjal yang rusak tidak cukup
menghidrolisis 25-hydroxycholecalciferol, yang merupakan prekursor calcitriol. Defisit calcitriol
menyebabkan inadekuat absorbsi kalsium di usus halus dan mengakibatkan hipokalsemia. Retensi
phospat inorganik diperkirakan dapat memperburuk kondisi ini, sebab phospat mengganggu aktivitas
1-α-hydroxylase. Hipokalsemia dan hiperphospatemia yang terjadi, menyebabkan stimulasi kelenjar
paratiroid dan SHPT berikutnya, yang menyebabkan dekalsifikasi tulang. Hiperphospatemia
merupakan faktor risiko cardiovascular disease (CVD) mortalily pada pasien dengan CKF, dan
penyebab langsung vascular calcification pada cardio-bone connection.

Treatment defisiensi vitamin D pada pasien CKD diperlukan, mengingat beberapa terapi
mungkin menurunkan atau mencegah SHPT. Pada pasien CKD dengan GFR 20-60 mL/min, defisiensi
vitamin D dapat dicegah dengan suplementasi vitamin D2 (ergocalciferol) atau vitamin D3
(cholecalciferol). Recommended daily allowance (RDA) untuk usia >60 tahun adalah 800 IU dan
dewasa 400 IU. Pada pasien CKD yang tergantung dialisis, dosis tinggi ergocalciferol atau 25-
hydroxycholecalciferol dilaporkan dapat meningkatkan serum calcitriol. Calcitriol atau 1-α-
hydroxylated vitamin D sterols seharusnya tidak diberikan untuk mengobati defisiensi vitamin D
(National Kidney Foundation, 2004).

Anemia

Faktor utama penyebab anemia pada pasien CKD adalah penurunan sintesis eritropoetin di tubulus
ginjal, sehingga produksi sel darah merah di sumsum tulang menurun yang disebabkan oleh
penurunan fungsi parenkim ginjal. Disisi lain, radikal bebas yang ditimbulkan dari leukosit yang
kontak dengan membran dialisis menyebabkan hemolisis, dengan konsekuensi anemia pada pasien
CKF. Gangguan metabolik lain terkait dengan uremia yang dapat mempengaruhi produksi dan waktu
paruh sel darah merah adalah toksin uremik, parathormone dan malnutrisi protein. Recombinant
human erythropoietin telah dikenalkan untuk pengobatan anemia pada CKF, dan menunjukkan
respon sangat bagus pada sebagian besar pasien, hanya 10% yang tidak menunjukkan respon.
Penyebab utama diperkirakan karena defisiensi Fe dan berkembangnya malnutrition-inflammation

10
complex syndrome. Eritropoetin yang kurang responsif dapat memperburuk gejala anemia dan
kualitas hidup pasien, seperti intoleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan fungsi kognitif, anorexia,
insomnia dan depresi. Problem ini terkait dengan defisit L-carnitin, dimana pada pasien hemodialisis
disebut sebagai dialysis-related carnitin disorder. Defisiensi L-carnitin dapat memberikan dampak
negatif pada produksi eritrosit.

Oxidative Stress

Oxidative stress (stres oksidatif) merupakan suatu tahapan dimana produksi reactive oxygen species
(ROS) melebihi kapasitas sistem pertahanan antioxidan (antioxidant defense system) di dalam sel dan
jaringan. ROS merupakan radikal bebas, yaitu zat kimia yang sangat reaktif dengan sebuah elektron
yang tidak berpasangan di orbital bagian luar, dan bagian lain berhubungan dengn senyawa-senyawa
yang reaktif (seperti hidrogen peroksida dan hypochlorous acid) yang dapat mengikat lemak, protein
dan asam nukleat dan mengubah struktur dan fungsi makromolekul tersebut. Secara spesifik, partikel
LDL rusak dengan oksidasi yang berlebih, dan tidak dikenal oleh reseptor sel LDL, yang selanjutnya
terakumulasi di darah dalam jumlah yang lebih tinggi dan menembus dinding vaskuler. Mekanisme
ini diperkirakan yang mendasari lesi aterosklerotik. Pasien CKD dengan hemodialisis memiliki risiko
mengalami stres oksidatif, dengan komplikasi klinis yang serius seperti atherosklerosis, amyloidosis,
hemolysis, dan berkembangnya inflamasi kronik. Radikal-radikal bebas berasal dari leukosit, yang
diaktivasi selama kontak dengan membran dialisis, juga dari Fe dalam eitrosit yang keluar akibat
hemolisis. Pemberian Fe melalui intravena juga dapat menyebabkan stres oksidatif yang
meningkatkan produksi radikal bebas melalui reaksi Fenton. Pemberian vitamin C dengan maksud
untuk memobilisasi simpanan Fe, juga dapat menstimulasi pembentukan radikal bebas.
Kemungkinan melalui berkurangnya ion Fe3+ menjadi lebih berbahaya Fe2+.

Hiperhomocysteinemia dan Disfungsi Endotel

Hiperhomocysteinemia terdapat pada sebagian besar pasien CKF, dengan karakteristik konsentrasi
homocysteine (Hcy) meningkat 3-4 kali di atas normal. Penyebabnya masih kurang jelas, namun
kemungkinan karena kerusakan ginjal atau extrarenal metabolisme akibat toxin uremia. Pada
populasi normal, hyperhomocysteinemia dianggap sebagai faktor risiko independen perkembangan
CVD. Toxisitas Hcy terjadi akibat dari modifikasi struktural protien dan DNA. Kerusakan metilasi DNA
terjadi akibat hyperhomocysteinemia, dan hal ini berhubungan dengan kerusakan vascular. Hcy dapat
menjadi candidat utama kerusakan endotel (endothelial dysfunction) pada pasien CRF.
Hyperhomocysteinemia kemungkinan merusak fungsi endotel dengan menghasilkan oxigen species
(radikal bebas) dan menurunkan bioavailabilitas nitric-oxide (NO). NO memediasi endotelial normal
dan fungsi dinding pembuluh, seperti antitrombosis, endotelial permselectivity dan vasomotore tone.
NO juga menekan proliferasi selular dan menghambat inflamasi. Endotelial NO synthase (eNOS) yang
berfungsi dengan baik diperlukan untuk mengontrol bukan hanya tekanan arterial, tapi juga
homeostasis glukosa dan lemak. Pada pasien CKD, terjadi gangguan fungsi eNOS-NO sistem. Namun
demikian, mekanisme antara hyperhomocysteinemia dan gangguan fungsi endotel pada CRF masih
belum jelas. Beberapa peneliti beranggapan bahwa akumulasi asymmetric dimethylarginine (ADMA)
sebagai penyebabnya. ADMA merupakan inhibitor endogen sinthase NO. Hcy diproduksi selama
sinthesis ADMA dan dapat meningkatkan katabolisme ADMA terutama dengan menghambat
dimethylarginine dimthilaminohydrolase. Kadar ADMA meningkat pada pasien CKD. ADMA
merupakan candidat toxin uremia yang baru. Beberapa studi melaporkan bahwa, peningkatan ADMA
diindentifikasi sebagai prediktor independen kematian pada pasien CKD.

11
Gangguan Metabolisme pada Transplantasi Ginjal

Transplantasi ginjal menyebabkan restorasi fungsi ginjal. Protein-energy malnutrition sering terjadi
pada beberapa minggu awal paska operasi akibat katabolisme yang meningkat. Berbagai gangguan
metabolik pada CKF mungkin tetap ada dan gangguan metabolik baru dapat berkembang, seperti
obesitas, diabetes, hipertensi, penyakit tulang dan anemia. Selain itu, pengaruh obat-obatan
immunosuppressive, seperti corticosteroids, cyclosporine A, tacrolimus, dan rapamycin mungkin
dapat memperburuk perjalanan diabetes, hipertensi, dan dislipidemia. Diabetes mellitus yang terjadi
paska transplantasi (posttransplant diabetes melitus/PTDM) biasa terjadi pada pasien CKD dengan
terapi transplantasi. Perkembangan PTDM dipengaruhi oleh pemilihan obat-obatan
immunosupressive. Glucocorticoids, cyslosporine dan tacrolimus kemungkinan memberi konstribusi
munculnya PTDM. Steroid meningkatkan hepatic gluconeogenesis dan memperburuk resistensi
insulin. Dislipidemia sering terjadi pada CKD pasca transplantasi, ditandai dengan peningkatan LDL
kolesterol dan hipertliglisedemia. Glucocorticoids dan calcineurin inhibitors seperti cyclosporine
dapat memperburuk profil lipid pasien. Pemberian sirolimus, sebagai obat immunosupressive dapat
memperburuk dislipidemia. Gangguan mineralisasi tulang dapat semakin memburuk paska
transplantasi. Hal ini bisa disebabkan karena pemberian prednison (dapat menurunkan absorbsi
calsium) dan berkembangnya hiperparatiroid. Suplementasi PO4 memiliki potensi memperburuk
hiperparatiroid. Obat-obatan apetite stimultant diberikan untuk memperbaiki status gizi dan status
inflamasi pada pasien CKD, seperti megestrol acetate (terbukti memperbaiki status gizi, status
inflamasi dan anorexia), nandrolone decanoate (memiliki efek anabolik pada pasien CKD), testosteron
(memperbaiki LBM dan status gizi).

Pada early posttransplant protein diberikan tinggi 1,3–2 g/kg BB/hari dan energi 30–35
kcal/kg BB/hari, untuk mengimbangi peningkatan katabolisme pasca surgery. Pada periode late
posttransplant, nutrisi ditujukan untuk mempertahankan status gizi optimal, protein diberikan 0.8-1
g/kg BB/hari dan energi 35 kcal/kg BB/hari. Disamping itu untuk memanage obesitas, resistensi
insulin, diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi.

Summary
Kerusakan ginjal yang terjadi pada pasien CKD dapat mengakibatkan berbagai gangguan metabolisme
dan komplikasi klinis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Intervensi gizi yang
tepat dapat dilakukan dengan memahami patofisiologi dan gangguan metabolisme yang terjadi pada
CKD serta terapi yang sedang dijalani pasien.

Referensi
Chung S, Koh ES, Shin SJ et al. (2012) Malnutrition in patients with chronic kidney disease. J Internal
Med 2: 89-99.
Grooper SS, Smith JL, Groff JL (2013) Advanced nutrition and human metabolism, International
student edition Thomson US.
Levey AS, Coresh J, Balk E et al. (2003) National kidney foundation practice guidelline for chronic
kidney disease: evaluation, classification and stratification. Ann Intern Med 139: 137-147.
Liao MT, Sung CC, Hung KC et al. (2012) Insulin resistance in patients with chronic kidney disease. J
Biomed Biotech (doi:10.1155/2012/691369)
Marcel CG van de Poll, Peter B Soeters, Nicolaas EP Deutz et al. (2004) Renal metabolism of amino
acids: its role in interorgan amino acid exchange. Am J Clin Nutr 79: 185-197.

12
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Penerbit Buku Kedokteran-
EGC.
Pupim LB, Cuppari L, Alp Ikizler T (2006) Nutrition and metabolism in kidney disease. Semin Nephrol
26: 134-157 (doi:10.1016/j.semnephrol.2005.09.010).
Roman Cibulka R, Jaroslav Racek (2011) Metabolic complications of chronic kidney failure and
hemodialisis, Special problems in hemodialysis patients, Prof. Maria Goretti Penido (Ed.), ISBN:
978-953-307-396-5, In Tech, Available from: http://www.intechopen.com/books/special-
problems-in-hemodialysis-patients/metabolic-complications-of-chronic-kidney-failure-and-
hemodialysis.
Sinaga W, Alfara LD (2016). Pemberian nutrisi terkait perubahan metabolisme pada pasien penyakit
ginjal kronik derajat 5 dengan hemodialisis rutin. CDK-236/vol 43, no 1: 61-65
Slee (2012) Exploring metabolic dysfunction in chronic kidney disease. Nutrition & Metabolism 9:36
(doi:10.1186/1743-7075-9-36).
Teplan V, Valkovsky I, Teplan Jr V et al. (2008) Nutritional consequences of renal transplantation. J
Renal Nutr 19: 95-100.

About the Author

Setyaningrum Rahmawaty, biasa dipanggil Bu Emma adalah dosen di Prodi


Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan University of Muhammadiyah Surakarta.
Menyelesaikan S3, PhD in Nutrition and Dietetics di University of Wollongong
(UOW) Australia; S2, MKes (minat gizi klinik) di Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada; D4 gizi klinik di Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya; dan D3 gizi di Akademi Gizi Depkes RI Semarang; serta AKTA IV
(sertifikat pendidik) dari Fakultas Keguruan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Selain dosen, juga peneliti dibidang gizi dan kesehatan, serta metode mengajar untuk mahasiswa gizi.
Beberapa artikelnya dipublikasikan di high reputable journals seperti Lipids, Nutrition and Dietetics,
Nutrition and, Journal of Human Nutrition and Dietetics. Salah satu hobi menggambarnya, dituangkan
dalam desain gambar mekanisme omega-3 di otak di Journal of Nutritional Biochemistry. Saat ini
sedang menyelesaikan “Buku Ajar Dietetik untuk Penyakit Infeksi dan Defisiensi dengan Pendekatan
Multiple Intelligences dan Evaluasi Portofolio” (yang merupakan hasil penelitiannya) dan artikel “The
Benefits of Multiple Intelligences and Portfolio Assessment to Improve Student’s Performance in
Nutrition Care Process: A case study in the Dietetics Subject of Undergraduate Nutrition Students”
yang disubmit ke International Journal of Education & Arts. Juga sedang melakukan penelitian faktor-
faktor yang mempengaruhi asupan omega-3 rantai panjang pada anak Sekolah Dasar di Surakarta
dengan mahasiswa bimbingannya. Saat ini Scopus index-nya 3.

More information about Setyaningrum works, please visit:


https://uowedu.academia.edu/setyaningrumrahmawaty
https://www.researchgate.net/profile/Setyaningrum_Rahmawaty

13

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai