Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Berdasarkan evaluasi Millennium Development Goals (MDGs)
pada tahun 2015, kasus kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia
masih pada posisi 305 per 100.000 kelahiran. Padahal target yang
dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah 102 per 100.000
kelahira dan angka kematian bayi pada tahun 2017 sebesar 24 per 1.000
kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2021).
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada umumnya
adalah komplikasi kehamilan/persalinan yaitu abortus (11%), pendarahan
(42%), eklampsi/preeklampsi (13%), infeksi (10%), partus lama/
persalinan macet (9%) dan penyebab lain (15%) serta tahun 2018
prevalensi keguguran sebesar 6,9%. Indonesian Family Life Survey (IFLS)
tahun 2014 menunjukkan angka prevalensi kejadian keguguran sebesar
12% (SDKI, 2012).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa di dunia
sekitar 56 juta terjadi kasus kejadian aborsi tiap tahunnya sejak 2010
sampai 2014 dan sekitar 25 juta merupakan kasus kejadian unsafe
abortion. Angka kejadian aborsi tertinggi berada di negara berkembang
sebesar 36 per 1000 wanita (Guttmacher, 2018). Angka kejadian abortus di
Asia Tenggara sendiri yaitu 4,2 juta pertahun termasuk Indonesia,
sedangkan frekuensi missed abortion di Indonesia terdapat direntang
angka 10-15% dari 6 juta kehamilan di setiap tahunnya (Wahyuni, 2017).
Secara tradisional, kehamilan tanpa gejala (missed abortion)
diobati dengan dilatasi bedah dan kuretase. Prosedur bedah ini telah
terbukti sangat efektif dan dengan kemungkinan komplikasi yang muncul
terbilang sedikit dengan menggunakan obat off label seperti misoprostol
untuk membantu dilatasi (NgonC, et all, 2004).
Misoprostol merupakan prostaglandin E1analog yang dipasarkan
secara luas dan diresepkan untuk pencegahan tukak lambung yang terkait
dengan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Misoprostol
juga terbukti menjadi obat penting untuk beberapa indikasi kesehatan
reproduksi termasuk pengobatan kegagalan kehamilan dini. Aborsi yang
terlewat atau missed abortion didiagnosis ketika kehamilan berhenti
berkembang (NgonC, et all, 2004) . Missed abortion biasanya rentan
terjadi di awal kehamilan, tepatnya sebelum usia kehamilan mencapai 20
minggu. Kondisi ini hamper tidak bisa dideteksi tanpa pemeriksaan
ultrasound atau USG (Kinanti,2021).
Dalam penelitian Demetroulis, dkk (2001), mengemukakan bahwa
dosis 800 mcg misoprostol vagina mencapai aborsi lengkap untuk 82,5%
wanita. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa misoprostol dengan
plasebo untuk pengobatan aborsi yang terlewat atau missed abortion pada
dosis 200, 400, dan 800 mcg, mencapai tingkat keberhasilan sekitar 80
hingga 83% dengan misoprostol vagina.
Menurut Creinin MD, et all (1997) dalam penelitiannya lebih lanjut
telah mengeksplorasi rute alternatif pemberian misoprostol dengan
membandingkan tingkat ekspulsi lengkap pada wanita yang diacak dengan
misoprostol oral 400 mcg atau misoprostol vagina 800 mcg. Tingkat
keberhasilan 25% pada kelompok oral dan 88% pada kelompok
pervaginal.
Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian tentang
evaluasi penggunaan obat misoprostol pada pasien missed abortion yang
berkaitan dengan mengevaluasi ketepatan indikasi, ketepatan dosis yang
mencakup besaran dosis yang diberikan, tepat durasi , lama penggunaan
dan tepat rute pemberian.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana evaluasi
penggunaan obat misoprostol pada pasien missed abortion di
Apotek Shihhah Farma?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui evaluasi
penggunaan obat misoprostol pada pasien missed abortion dengan
skrining resep di apotek Shihhah Farma dengan mengevaluasi
ketepatan indikasi, ketepatan dosis yang mencakup besaran dosis yang
diberikan, tepat durasi , lama penggunaan dan tepat rute pemberian.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Penelitian ini diharapkan agar mampu memberikan informasi
tentang penggunaan obat misoprostol pada pasien missed
abortion
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat
dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Abortus
1. Definisi abortus
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup
di dunia luar, tanpa mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru
mungkin hidup di dunia luar bila berat badannya telah mencapai
>500gr atau umur kehamilan >20 minggu..
2. Klasifikasi abortus
a. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa
intervensi medis maupun mekanis
b. Abortus buatan, abortus provocatus (disengaja, digugurkan),
yaitu:
1. Abortus buatan menurut kaidah ilmu (abortus provocatus
artificialis atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk
kepentingan ibu, misalnya: penyakit jantung, hipertensi
esensial dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan
oleh tim ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit
dalam dan psikiatri atau psikolog.
2. Abortus buatan criminal (abortus provocatus criminalis)
adalah pengguguran kehamilan tanpa alas an medis yang
sah oleh yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukun atau
dilakukan oleh yang tidak berwenang. Kemungkinan adanya
abortus provokatus kriminalis harus dipertimbangkan bila
ditemukan abortus febrilis.
Adapun bahaya abortus buatan kriminalis yaitu :
o Infeksi
o Infertilitas sekunder
o Kematian

Angka kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio


dari jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup. Di USA,
angka kejadian secara nasional berkisar antara 10 hingga 20%. Di
Indonesia, kejadian berdasarkan laporan rumah sakit seperti di RS
Hasan Sadikin Bandung berkisar antara 18 hingga 19%.

3. Etiologi
Penyebab abortus erupakan gabungan dari beberapa factor.
Umumnya abortus didahului oleh kematian janin.
Factor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya abortus, yaitu:
1. Factor janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah
gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau plasenta.
Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada
trimester pertama, yakni :
a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan
embrio atau kelainan kromosom (monosomi, trisomy atau
poliploidi)
b. Embrio dengan kelainan local
c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas)
2. Factor maternal
a. Infeksi
Infeksi maternal dapat membawa risiko bagi janin yang
sedang berkembang, terutama pada akhir trimester pertama
atau awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab
kematian janin secara pasti, apakah janin yang menjadi
terinfeksi ataukah toksin yang dihasilkan oleh
mikroorganisme penyebabnya.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan abortus:
o Virus : rubella, herpes simpleks, varicella zoster,
campak, hepatitis, sitomegalovirus, ensefalomietis
dan polio.
o Bakteri : Salmonella typhi.
o Parasite : Toxoplasma gondii, Plasmodium.
b. Penyakit vascular : hipertensi vascular
c. Kelainan endokrin : produksi progesterone tidak mencukupi
atau penyakit disfungsi tiroid; defisiensi insulin
d. Factor imunologis:vinkompatibilitas system Human
Leukocyte Antigen (HLA)
e. Trauma
f. Kelainan uterus : hypoplasia uterus, mioma, serviks
ikompeten
g. Factor psikosomatik
3.faktor eksternal
a. radiasi
b. obat-obatan : antagonis asam folat, antikoagulan
c. bahan-bahan kimia lainnya yang mengandung arsen dan
benzene.

4. Pathogenesis
Abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang
kemudian diikuti dengan pendarahan ke dalam desidua
basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada
daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut dan
akhirnya pendarahan per vaginam. Buah kehamilan terlepas
seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai
benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan
kontraksi uterus dimulai dan setelah itu terjadi pendorongan
benda asing keluar rongga rahim (ekspulsi). Pada abortus
spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2
minggu sebelum pendarahan. Pengobatan untuk
mempertahankan janin tidka layak dilakukan jika telah terjadi
pendarahan yang banyak. Sebelum minggu ke 10 hasil
konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap, hal ini
disebabkan sebelum minggu ke 10 sampai 12 korion tumbuh
dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua
makin erat hingga mulai saat tersebut sisa-sisa korion atau
plasenta tertinggal jika terjadi abortus.
Pengeluaran hasil konsespi didasarkan 4 cara:
1. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat
dini, meninggalkan sisa desidua.
2. Kantong amnion dan fetus didorong keluar meninggalkan
korion dan desidua.
3. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan
pendorongan janin keluar, tetapi mempertahankan sisa
amnion dan korion (hanya janin yang dikeluarkan)
4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar
secara utuh
5. Gambaran Klinis
Secara klinis abortus dibedakan menjadi:
1. Abortus iminens (keguguran mengancam)
Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan
untuk mempertahankannya, ostium uteri tertutup uterus
sesuai umur kehamilan
2. Abortus insipiens (keguguran berlangsung)
Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah
lagi, ostium terbuka, teraba ketuban, berlangsung hanya
beberapa jam saja.
3. Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap)
Sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan, tetapi
sebagian (biasanya jaringan plasenta) masih tertinggal di
dalam rahim, ostium terbuka teraba jaringan.
4. Abortus kompletus (keguguran lengkap)
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap,
ostium tertutup uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau
ostium terbuka kavum uteri kosong
5. Abortus tertunda (missed abortion)
Keadaan dimana janin telah mati sebelum minggu ke 20,
tetapi tertahan di dalam rahim selama beberapa minggu
setelah janin mati. Batasan ini berbeda dengan batasan
ultrasonografi
6. Abortus habitualis (keguguran berulang)
Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi,
sekurang-kurangnya 3 kali berturut-turut.

B. missed abortion (abortus tertunda)


missed abortion adalah apabila buah kehamilan yang telah mati
tertahan dalam rahim selama 8 minggu atau lebih dnegan
pemeriksaan USG atau ultrasonografi tampak janin tidak utuh dan
membentuk gambaran kompleks, diagnosis USG tidak selalu harus
tertahan ≥ 8 minggu.
Sekitar kematian janin kadang-kadang ada pendarahan pervaginam sedikit
sehingga menimbulkan gambaran abortus iminens. Selanjutnya, rahim
tidak membesar bahkan mengecil karena absorpsi air ketuban dan maserasi
janin. Buah dada mengecil kembali. Gejala-gejala lain yang penting tidak
ada, hanya amenore berlangsung terus. Abortus sponta n biasanya berakhir
selambat-lambatnya 6 minggu setelah janin mati.

C. misoprostol
D. evaluasi penggunaan obat

Anda mungkin juga menyukai