KMB Trauma Medula Spinalis Kel.5
KMB Trauma Medula Spinalis Kel.5
Pauliza 190204036
MEDAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari satu/lebih
tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan
akar-akar saraf sehingga mengakibatkan defisit neurologis dan perubahan
persepsi sensori / paralisis atau keduanya. ( Wahyu Widagdo, 1995 ).
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk memperoleh pengalaman secara nyata dalam merawat klien Nn. M dengan
Trauma Medulla Spinalis dan memperoleh informasi / gambaran pelaksanaan
asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma Medulla Spinalis.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari Asuhan Keperawatan Pada Klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis adalah :
a.Mampu melakukan pengkajian pada klien Nn. M Dengan Trauma Medulla
Spinalis dengan baik dan benar.
b. Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
c.Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
e.Mampu melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan
Trauma Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Trauma Medula Spinal merupakan gangguan pada medula spinalis
yang mengakibatkan perubahan sementara atau permanen pada fungsi
motorik, sensorik, atau otonom. Penyebab tersering cedera spinal adalah
trauma pada medula spinalis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, olahraga, atau jatuh (Alizadeh A dkk, 2019).
2. Klasifikasi
Menurrut Fildes (2008) mengatakan bahwa trauma medulla spinalis
diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan
sindroma medulla spinalis.
A. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki
fungsi sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah
level sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan
bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan fungsi sensorik
normal. Level motorik juga didefenisikan hampir sama, sebagai fungsi
motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling
tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi
sensorik atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut
dengan zone preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
penentuan level trauma pada kedua sisi sangat penting. Perbedaan
yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera pada
segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis akan menyebabkan
tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan paraplegi. Level trauma
pada tulang adalah pada tulang vertebra yang mengalami kerusakan
sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis. Level
neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan
fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum
benarbenar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan
The Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK
interactive (2011) mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:
a) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia.
Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan
kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol
defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga
terganggu atau menurun.
3. Etiologi
Etiologi spinal cord injury atau cedera spinal umumnya disebabkan
oleh kasus trauma, akan tetapi sebagian kecil disebabkan oleh kasus-kasus
non trauma. Kasus trauma cedera spinal umumnya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, kasus kekerasan, olahraga dan kejadian jatuh. Kasus
non trauma dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau hasil dari
iskemia, penyakit autoimun, penyakit infeksi serta komplikasi dari
prosedur medis.
Kasus Trauma
Kasus trauma masih menjadi penyebab terbesar spinal cord injury.
Berdasarkan National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC)
pada tahun 2010 didapatkan, sebab cedera spinal di Amerika Serikat
adalah sebagai berikut:
• Kecelakaan lalu lintas
• Kasus jatuh
• Kasus kekerasan: terutama luka tembak
• Olahraga atau aktivitas rekreasi (Alizadeh A dkk, 2019).
Kasus Nontrauma
Menurut New PW & Marshall R (2014) Kasus nontraumatik
memberikan kontribusi untuk cedera spinal. NSCISC menyatakan 10%
dari seluruh kasus cedera spinal disebabkan oleh kasus medis, kasus
operasi, dan lainnya. Beberapa sebab kasus cedera spinal non trauma
adalah sebagai berikut :
• Kelainan kongenital (spina bifida, myelomeningocele, Arnold-Chiari
malformation, malformasi skeletal, syringomyelia)
• Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis
spinalis, prolaps diskus, spondilolistesis)
• Kompresi tumor
• Iskemia vaskular
• Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
• Multiple sclerosis
• Transverse myelitis
• Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
• Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal)
Faktor Risiko
Faktor risiko berbeda pada tiap populasi. Berdasarkan jenis kelamin,
lakilaki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan
lakilaki dan perempuan adalah 2:1.
Berdasarkan usia, kejadian cedera spinal meningkat di dua populasi.
Pertama, pasien laki - laki dewasa muda, cenderung mengalami cedera
spinal terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang
berhubungan dengan olahraga. Kedua adalah pasien geriatri. Pasien
geriatri mengalami cedera spinal diakibatkan oleh karena kasus jatuh,
infeksi, tumor serta kelainan tulang (Alizadeh A dkk, 2019).
4. Patofisiologi
a) Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Menurut Gondowardaja and Purwata (2014) trauma medula spinalis
dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi
medula spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya
traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie
tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu
satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie
dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan
traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang
b) Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder
Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis
dibagi menjadi dua fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer dapat terjadi secara cepat dan langsung disebabkan oleh
trauma fisik ke medulla spinalis, terdapat empat kategori utama pada
cedera primer yaitu dampak ditambah kompresi terus-menerus,
dampak tersendiri dengan kompresi sementara, gangguan dan laserasi
atau transeksi. Pada saat cedera primer jaringan medulla spinalis
secara mekanik terganggu karena mengalami pergeseran dan tekanan
yang kuat baik secara langsung atau tidak terkontrolnya pergerakan
pada tulang belakang. Permulaan trauma ini mengarah pada trauma
mekanik, gangguan vaskuler, gangguan pernapasan, syok neurogenik,
peradangan, gangguan jaringan membran, perubahan ion dan
neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke dua pada trauma
(Doulames and Plant, 2016).
Pada mekanisme kerusakan primer sel neuron akan rusak dan
kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik
karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada
satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan
mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (Gondowardaja and
Purwata, 2014 ).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat
fungsi neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan
excitotoxicity. Terdapat sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun
hanya beberapa yang dapat menentukan manifestasi cedera. Kaskade
biokimia ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah ke gangguan
neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu,
dapat terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan,
dan apoptosis neuronal juga dapat terjadi.Pada trauma medulla
spinalis terjadi nekrosis pada lokasi cedera, yang mengarah ke kavitasi
cystic, menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan mencegah
komunikasi dengan pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS)
ke otak. Akson dalam sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi
setelah cedera dan kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti
menutup dekat perbatasan cedera lesi. Secara keseluruhan hal ini
meyebabkan perubahan fungsi normal motorik, sensorik, dan fungsi
otonom tergantung pada lokasi trauma.
Pada manusia, luka pada daerah servikal atas sebagian besar dapat
meyebabkan paralisis penuh pada respirasi, berbicara, dan
mengganggu fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah
meyebabkan paralisis sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi,
usus,dan lengan tangan. Trauma thoraks tergantung pada level dengan
trauma level tinggi primer menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki
serta pada level bawah menurunkan fungsi usus dan kaki. Trauma
pada lumbosakral meyebabkan penurunan fungsi usus besar dan
penurunan sebagian fungsi pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang
mengalami keterbatasan dalam berjalan atau kemampuan berjalan
sepenuhnya (Doulames and Plant, 2016).
5. Pathway
Kecelakaan Kasus jatuh Kasus kekerasan Cedera Olahraga
7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
Terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15 menit, 45
menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah
peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat
B. Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata (2014) menyatakan bahwa tatalaksana awal yang dapat
dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder serta terapi
kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)
Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok
neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang
terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi,
dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih
ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan
medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang
berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran
darah ke perifer.
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:
• Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera pasang collar
fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher
• Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam keadaan
tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
• Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
• Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah menurun
karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik, akibatnya tekanan darah turun beri
infus bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan
diberikan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
adrenalin 0,2 mg s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi <44
kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv (intravena).
• Gangguan pernapasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau cara lain dan
jaga jalan nafas tetap lapang.
• Jika lesi diatas C-8: termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis usahakan
suhu badan tetap normal
• Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada
gangguan defekasi berikan laksan atau klisma
8. Pemeriksaan Fisik
A. Anamnesis
Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medulla spinalis membutuhkan penilaian
status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis
awal dilakukan observasi primer.
Pada observasi primer, ABC (Airway,Breathing,Circulation) dinilai terlebih dahulu.
Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru
dilaksanakan. Dugaan terhadap adanya trauma medulla spinalis didapatkan melalui
anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang
berhubungan dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya deficit
motorik atau sensorik. (Chin 2016). Meunurut World Health Organization berdasarkan
anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
• Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
• Paraplegia
• Paralisis sensorik motorik total
• Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)
• Penurunan fungsi pernapasan
• Gagal nafas
B. Pemeriksaan Fisik
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan
secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan
dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin,
priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma
(Gondowardaja and Purwata, 2014 ).
Menurut Bahrudin (2016) pada pasien dengan kelumpuhan pada kedua tungkai
(paraplegi) atau keempat ekstermitas (tetraplegi) yang pertama kali kita pikirkan adalah
apakah tipe kelumpuhan itu Upper motor neuron (UMN) atau Lower motor neuron
(LMN). Untuk menentukan tipe kelumpuhan ini kita tetapkan dengan pemeriksaan
neurologis reflex fisiologis, reflex patologis, tonus otot . Pemeriksaan neurologis lain
pada trauma medulla spinalis menurut Middendorp et all (2011) yaitu dengan
menggunakan skala Frankel, 5-titik skala kerusakan, telah banyak digunakan untuk
menentukan keparahan dari trauma medulla spinalis. Pasien diklasifikasikan sebagai
lengkap (Kelas A), sensorik saja (kelas B), motorik berfungsi (Kelas C), motorik
berfungsi (kelas D), atau tidak ada defisit neurologis atau pemulihan lengkap (kelas E).
Serta penilaian fungsi motorik dan sensorik dengan Standar Internasional yang
digunakan yaitu pengujian miotom dan dermatom yang merupakan komponen kunci.
Dermatom adalah segmen kulit yang memperoleh persarafan sensorik melalui satu akar
belakang saraf spinal, sedangkan miotom merupakan sekelompok otot yang disarafi
oleh satu segmen spinal. Pengujian fungsi motorik menurut Standar Internasional
meliputi 10 miotom terlebih khusus untuk C5 , T1, L2 dan S1, sesuai dengan lima
keymuscles masing-masing pada lengan kiri dan kanan serta kaki. Pengujian skor kunci
motorik otot dinilai pada skala 5-point diadaptasi dari Themedical Dewan Riset Scale.
Pemeriksaan sensorik berdasarkan pada pengujian yang dikenal sebagai titik kunci
dalam setiap 28 dermatom pada kedua sisi kiri dan sisi kanan tubuh . Fungsi sensorik
dinilai sebagai berikut : Nomal =2, ada gangguan atau terdistorsi =1, absen =0 dan tidak
diuji =NT dan berdasarkan skor sensorimotor, tingkat dan keparahan dari SCI dapat
ditentukan berdasarkan skala yang paling umum digunakan untuk mengklasifikasikan
tingkat keparahan cedera yaitu Asia Impairment Scale . Tentukan tingkat sensorik dan
motorik untuk sisi kanan dan kiri, tentukan tingkat neurologis cedera dan tentukan
apakah cedera tersebut lengkap atau tidak lengkap (Middendorp et all, 2011).
Pemeriksaan neurologis lain yang digunakan yaitu Amerika Asosiasi Cedera Spinal
(ASIA) atau International Spinal Cord Masyarakat (ISCoS) atau skala standar
neurologis (AIS). (Middendorp et all, 2011).
ASIA Impairment Scale Lesi
A Tidak ada fungsi Kompleks
motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Fungsi sensorik Tidak Kompleks
masih baik tapi
motorik terganggu
sampai
segmen sakral S4-S5
C Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level tapi otot-otot
motorik utama masih
mempunyai kekuatan
<3
D Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level, kekuatan
otototot motorik
utama
>3
E Fungsi motorik dan Normal
sensorik normal
The American Spinal Injury Association/International Spinal Cord Society Neurological
Standard Scale
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Teori Keperawatan Self Care Orem
1. Defenisi Teori Keperawatan Orem
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem’s adalah suatu pelaksanaan
kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi
kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai
keadaan, baik sehat maupun sakit” (Orem’s 1980).
Pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-
kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan itu
sendiri, kecuali bila tidak mampu. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan
dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri
sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan
dan kesejahteraan, teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri).
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa jika kebutuhan lebih banyak dari
kemampuan, maka keperawatan akan dibutuhkan. Tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan oleh perawat pada saat memberikan pelayanan keperawatan dapat
digambarkan sebagi domain keperawatan. Orem (1991) mengidentifikasikan lima area
aktifitas keperawatan yaitu:
1) Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawat klien dengan individu,
keluarga, kelompok sampai pasien dapat melegitimasi perencanaan keperawatan.
2) Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui keperawatan.
3) Bertanggungjawab terhadap permintaan pasien, keinginan dan kebutuhan untuk
kontak dan dibantu perawat.
4) Menjelaskan, memberikan dan melindungi klien secara langsung dalam bentuk
keperawatan.
5) Mengkoordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dengan kehidupan sehari-hari
klien, atau perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan sosial dan
edukasional yang dibutuhkan atau yang akan diterima.
1. Pengkajian
a. Identitas
No. RM : ……………………………………………………..
Nama : ……………………………………………………..
Umur : ……………………………………………………..
Agama : ……………………………………………………..
Pendidikan : ……………………………………………………..
Pekerjaan : ……………………………………………………..
Suku/bangsa : ……………………………………………………..
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat penyakit sekarang Klien menjadi lumpuh setelah luka tembak abdomen
• Keluhan utama saat MRS yang tembus sampai di tulang belakang. Pasien
mengeluh nyeri neuropatik parah pada ekstremitas
• Keluhan utama saat
bawah bilateral (skala analog visual [VAS], 7 hingga
pengkajian
8). Nyeri neuropatik ditandai dengan kesemutan dan
tekanan, yang diperburuk pada malam hari.
PQRST (bila keluhannya nyeri)
- Provoke Pengkajian PQRST
- Quality P : luka tembak yang tembus tulang belakang
- Regio Q :-
- Severity R : eksteritas bawah
- Time S : skala 7 – 8
T : Nyeri neuropatik ditandai dengan kesemutan
dan tekanan, yang diperburuk pada malam hari.
Body system
B1 • Pergerakan dada: -
(breathing/pernapasan) • Penggunaan otot bantu napas : -
• Suara
nafas:vesikuler/wheezing/ronchi/rales Lokasi
-
• Batuk: -
• Warna sputum :
• Alat bantu nafas: -
• Lain-lain : -
B3 (brain/persyarafan) • GCS :
• Reaksi cahaya pupil : - • Diameter
pupil : isookor
• Lain-lain : -
B5 (bowel) Tidak Terkaji
• Mukosa bibir : kering / lembab
• Lidah : kotor / bersih
• Nyeri telan : ya / tidak
• Abdomen : distensi / tidak
• Peristaltic usus : normal / meningkat
/ menurun nilai…..
• Mual : ya / tidak
• Muntah : ya/tidak
Jumlah/frekuensi…
• Hematemesis : ya / tidak
Jumlah / frekuensi…
• Melena : ya / tidak
Jumlah/frekuensi…
• Terpasang NGT : ya / tidak
• Diare / konstipasi : ya/tidak
• Lain-lain…
B6 • Turgor : -
(bone/musculoskeletal) Perdarahan eksternal : Terjadi
perdarahan masif setelah
Pengangkatan peluru.
• Icterus: -
• Akral : hangat
• Pergerakan send : -
• Fraktur: ada …(sebutkan letak dan
jenis)/ tidak ada
• Luka terbuka : ada …(sebutkan
letak dan jenis)/ tidak ada
• Lain-lain…
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan - CT-scan 3-dimensi yang direkonstruksi
Penunjang preoperatif menunjukkan fraktur burst pada vertebra
• Laboratorium lumbar pertama.
• Diagnostiklain - X-ray sederhana pra operasi tulang belakang
menunjukkan 2 fragmen peluru besar.
- Foto fragmen peluru di ruang disk T12-L1.
- Tomografi terkomputasi 3-dimensi postoperatif
tulang belakang menunjukkan fiksasi T11-L3
posterior dan sisa fragmen peluru di kanal tulang
belakang tingkat L1
Terapi gabapentin (900 mg/day), pregabalin (450
mg/day), amitriptyline (25 mg/day),