Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Disusun Oleh: Kelompok 5

Pauliza 190204036

Hutari wan peristiwa 190204034

Riston damanik 190204035

Lovian sinambela 190204029

Kesya marbun 190204030

Dermina Siahaan 190204031

Tasya anugrah 190204084

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

MEDAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari satu/lebih
tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan
akar-akar saraf sehingga mengakibatkan defisit neurologis dan perubahan
persepsi sensori / paralisis atau keduanya. ( Wahyu Widagdo, 1995 ).

Trauma medulla spinalis pada daerah lumbal pertama akan mengakibatkan


kelumpuhan semua area extremitas bawah, menyebar sampai lipat paha dan
bagian belakang dari bokong. Komplikasi yang di timbulkan adalah kelumpuhan
permanen, sehingga memerlukan perawatan yang kontinue dan lama serta
mengeluarkan biaya yang sangat besar bila akan dilaksanakan operasi.
Menurut catatan Rekam Medik RS. Polri Jakarta periode April 2003 – Juli
2003 terdapat penderita Trauma Medulla Spinalis sebanyak 23 orang terdiri dari
15 orang penderita laki-laki dan 3 orang penderita wanita, sedangkan terdapat 5
orang penderita dengan komplikasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk memberikan


Asuhan Keperawatan Pada Klien Nn. M Dengan Trauma Medulla Spinalis.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk memperoleh pengalaman secara nyata dalam merawat klien Nn. M dengan
Trauma Medulla Spinalis dan memperoleh informasi / gambaran pelaksanaan
asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma Medulla Spinalis.

2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari Asuhan Keperawatan Pada Klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis adalah :
a.Mampu melakukan pengkajian pada klien Nn. M Dengan Trauma Medulla
Spinalis dengan baik dan benar.
b. Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
c.Mampu merencanakan asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien Nn. M Dengan Trauma
Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
e.Mampu melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan pada klien Nn. M Dengan
Trauma Medulla Spinalis dengan baik dan benar.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

TRAUMA MEDULA SPINAL

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Trauma Medula Spinal merupakan gangguan pada medula spinalis
yang mengakibatkan perubahan sementara atau permanen pada fungsi
motorik, sensorik, atau otonom. Penyebab tersering cedera spinal adalah
trauma pada medula spinalis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
kekerasan, olahraga, atau jatuh (Alizadeh A dkk, 2019).
2. Klasifikasi
Menurrut Fildes (2008) mengatakan bahwa trauma medulla spinalis
diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan
sindroma medulla spinalis.
A. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki
fungsi sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah
level sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan
bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan fungsi sensorik
normal. Level motorik juga didefenisikan hampir sama, sebagai fungsi
motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan paling
tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi
sensorik atau motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut
dengan zone preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
penentuan level trauma pada kedua sisi sangat penting. Perbedaan
yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera pada
segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis akan menyebabkan
tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan paraplegi. Level trauma
pada tulang adalah pada tulang vertebra yang mengalami kerusakan
sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis. Level
neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan
fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan
neurologis karena nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramen dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum
benarbenar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan
The Christopher & Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK
interactive (2011) mengkategorikan trauma medulla spinalis , menjadi:
a) High Cervical Nerves ( C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia.
Pasien mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan
kemampuan sendiri juga kehilangan kemampuan mengontrol
defekasi, berkemih. Terkadang kemampuan untuk berbicara juga
terganggu atau menurun.

b) Low Cervical Nerves (C5 – C8)


Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas
dan bicara normal seperti sebelumnya.
• Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung
memiliki beberapa atau kelumpuhan total dari pergelangan
tangan, tangan, badan dan kaki. Mampu berbicara
menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas
melemah.
• Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma
pada level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan
ekstensi siku. Mampu berbicara menggunakan diafragma,
tetapi kemampuan bernapas melemah.
• Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan
gangguan ekstensi siku dan ekstensi jari – jari tangan. Tidak
terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
• Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek
yang digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau
terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
c) Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal,
dan otot punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang
menyebabkan gangguan ekstremitas atas.
d) Thoracic Nerves (T6 – T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung
tergantung dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma
menyebabkan keluhan paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas
dalam kondisi normal. Pasien masih mampu mengendalikan
kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk duduk dan mampu
batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak terdapat
kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
e) Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul
dan kaki. Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki,
pasien mungkin memerlukan alat bantu untuk berjalan.
f) Sacral Nerves ( S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan
kaki. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan
cukup baik.
B. Berdasarkan beratnya defisit neurologis
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4,
yaitu :
1) Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2) Paraplegia komplit (torakal komplit)
3) Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
4) Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi
dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik
dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit.
Tandatanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan
volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh : sensasi
perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki
volunter. Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan
anus, tidak termasuk dalam sacral sparing.
C. Berdasarkan sindrom medulla spinalis
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa.
1) Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih
banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas
bawah, dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya
sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien
yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari
anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur
tulang servikal atau dislokasi.
Gambar Central Cord Syndrome

2) Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik
disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan.
Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah
medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi
tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap
baik.

Gambar: Anterior Cord


Syndrome 3) Brown Sequard Syndrome
Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya
akibat luka tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang
terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan
sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya
sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya
sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di
bawah level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom
ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis,
biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan
Gambar Brown Sequard Syndrome

3. Etiologi
Etiologi spinal cord injury atau cedera spinal umumnya disebabkan
oleh kasus trauma, akan tetapi sebagian kecil disebabkan oleh kasus-kasus
non trauma. Kasus trauma cedera spinal umumnya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, kasus kekerasan, olahraga dan kejadian jatuh. Kasus
non trauma dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau hasil dari
iskemia, penyakit autoimun, penyakit infeksi serta komplikasi dari
prosedur medis.

Kasus Trauma
Kasus trauma masih menjadi penyebab terbesar spinal cord injury.
Berdasarkan National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC)
pada tahun 2010 didapatkan, sebab cedera spinal di Amerika Serikat
adalah sebagai berikut:
• Kecelakaan lalu lintas
• Kasus jatuh
• Kasus kekerasan: terutama luka tembak
• Olahraga atau aktivitas rekreasi (Alizadeh A dkk, 2019).

Kasus Nontrauma
Menurut New PW & Marshall R (2014) Kasus nontraumatik
memberikan kontribusi untuk cedera spinal. NSCISC menyatakan 10%
dari seluruh kasus cedera spinal disebabkan oleh kasus medis, kasus
operasi, dan lainnya. Beberapa sebab kasus cedera spinal non trauma
adalah sebagai berikut :
• Kelainan kongenital (spina bifida, myelomeningocele, Arnold-Chiari
malformation, malformasi skeletal, syringomyelia)
• Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis
spinalis, prolaps diskus, spondilolistesis)
• Kompresi tumor
• Iskemia vaskular
• Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
• Multiple sclerosis
• Transverse myelitis
• Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
• Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal)

Faktor Risiko
Faktor risiko berbeda pada tiap populasi. Berdasarkan jenis kelamin,
lakilaki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan
lakilaki dan perempuan adalah 2:1.
Berdasarkan usia, kejadian cedera spinal meningkat di dua populasi.
Pertama, pasien laki - laki dewasa muda, cenderung mengalami cedera
spinal terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang
berhubungan dengan olahraga. Kedua adalah pasien geriatri. Pasien
geriatri mengalami cedera spinal diakibatkan oleh karena kasus jatuh,
infeksi, tumor serta kelainan tulang (Alizadeh A dkk, 2019).

4. Patofisiologi
a) Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Menurut Gondowardaja and Purwata (2014) trauma medula spinalis
dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi
medula spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya
traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie
tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu
satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie
dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan
traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang
b) Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder
Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis
dibagi menjadi dua fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer dapat terjadi secara cepat dan langsung disebabkan oleh
trauma fisik ke medulla spinalis, terdapat empat kategori utama pada
cedera primer yaitu dampak ditambah kompresi terus-menerus,
dampak tersendiri dengan kompresi sementara, gangguan dan laserasi
atau transeksi. Pada saat cedera primer jaringan medulla spinalis
secara mekanik terganggu karena mengalami pergeseran dan tekanan
yang kuat baik secara langsung atau tidak terkontrolnya pergerakan
pada tulang belakang. Permulaan trauma ini mengarah pada trauma
mekanik, gangguan vaskuler, gangguan pernapasan, syok neurogenik,
peradangan, gangguan jaringan membran, perubahan ion dan
neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke dua pada trauma
(Doulames and Plant, 2016).
Pada mekanisme kerusakan primer sel neuron akan rusak dan
kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik
karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada
satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan
mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma (Gondowardaja and
Purwata, 2014 ).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat
fungsi neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan
excitotoxicity. Terdapat sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun
hanya beberapa yang dapat menentukan manifestasi cedera. Kaskade
biokimia ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah ke gangguan
neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu,
dapat terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan,
dan apoptosis neuronal juga dapat terjadi.Pada trauma medulla
spinalis terjadi nekrosis pada lokasi cedera, yang mengarah ke kavitasi
cystic, menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan mencegah
komunikasi dengan pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS)
ke otak. Akson dalam sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi
setelah cedera dan kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti
menutup dekat perbatasan cedera lesi. Secara keseluruhan hal ini
meyebabkan perubahan fungsi normal motorik, sensorik, dan fungsi
otonom tergantung pada lokasi trauma.
Pada manusia, luka pada daerah servikal atas sebagian besar dapat
meyebabkan paralisis penuh pada respirasi, berbicara, dan
mengganggu fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah
meyebabkan paralisis sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi,
usus,dan lengan tangan. Trauma thoraks tergantung pada level dengan
trauma level tinggi primer menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki
serta pada level bawah menurunkan fungsi usus dan kaki. Trauma
pada lumbosakral meyebabkan penurunan fungsi usus besar dan
penurunan sebagian fungsi pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang
mengalami keterbatasan dalam berjalan atau kemampuan berjalan
sepenuhnya (Doulames and Plant, 2016).
5. Pathway
Kecelakaan Kasus jatuh Kasus kekerasan Cedera Olahraga

Trauma Tulang Belakang memar sumsum tulang Perdarahan Iskemik

Fraktur Vertebra Nyeri hebat dan Gangguan peredaran darah


Akut
Gangguan neurologis syok hemoragic
Pada korda spinalis
Kematian
Hilangnya fungsi mual
Motorik dan sensorik muntah aspirasi Defisit Nutrisi

Kelemahan otot gangguan gangguan kerusakan saraf


Pernapasan fungsi VU fungsi rektum ekstermitas bawah

Harga Diri Rendah

penurrunan aktivitas Gangguan Mobilitas Fisik

Gangguan Integritas Kulit

Lalu lintas (contoh : Luka


Suplai oksigen Ke tubuh inkontinensia inkontinensia kelumpuhan, cacat
Urin
Hipoksia, sesak nafas
Pola Nafas Tidak Gangguan Bedrest
Efektif Eliminasi Urin
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Chin (2016) bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :
A. Radiologis
1. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir
gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan
semua vertebra.
2. Computed Tomography (CT) scanning - Dicadangkan untuk menggambarkan
kelainan tulang atau fraktur; dapat digunakan ketika radiografi polos tidak
memadai atau gagal untuk memvisualisasikan segmen kerangka aksial
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Digunakan untuk mencurigai lesi medulla
spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas
pencitraan ini harus digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti
hematoma tulang belakang ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan
perdarahan pada sumsum tulang belakang, memar, dan / atau edema.
B. Laboratorium
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan yaitu :
1. Darah perifer lengkap
2. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
C. Neurofisiologi Klinik
Neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu EMG (Elektromiografi) merupakan
teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara
menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot skeletal, NCV (Nerve
Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan untuk melihat bagaimana
sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP (Somato Senseric
Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk melihat atau
mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato-
sensorik (tidak terjangkau dengan EMG) (Bahrudin, 2016)

7. Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
Terapi farmako yang dapat diberikan yaitu:
a. Berikan metilprednisolon 30 mg/KgBB, iv perlahan-lahan sampai 15 menit, 45
menit kemudian per infuse 5 mg/KgBB selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah
peroksidasi lipid dan peningkatan sekunder asam arakidonat

b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan :


• Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
• Bakloven 3 x 5 mg atau 3 x 20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain ;
• Analgetika
• Antidepresan : amitriptilin 3 x 10 mg/hari
• Antikonvulsan : gabapentin 3 x 300 mg/hari
d. Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >180/100mmHg)
pertimbangkan pemberian obat anti hipertensi (Bahrudin , 2016).

B. Non Farmakoterapi
Gondowardaja and Purwata (2014) menyatakan bahwa tatalaksana awal yang dapat
dilakukan yaitu fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder serta terapi
kerusakan primer. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure (environmental control)
Terapi kerusakan primer : Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok
neurogenik yang berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang
terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi,
dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih
ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan
medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang
berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran
darah ke perifer.
Bahrudin (2016) menyatakan bahwa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan trauma medulla spinalis yaitu:
• Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera pasang collar
fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher
• Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam keadaan
tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
• Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal
• Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah menurun
karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik, akibatnya tekanan darah turun beri
infus bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan
diberikan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu berikan
adrenalin 0,2 mg s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut nadi <44
kali/menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv (intravena).
• Gangguan pernapasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau cara lain dan
jaga jalan nafas tetap lapang.
• Jika lesi diatas C-8: termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis usahakan
suhu badan tetap normal
• Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada
gangguan defekasi berikan laksan atau klisma

Tindakan operasi dilakukan bila :


1) Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
2) Gambaran neurologis progresif memburuk
3) Fraktur, dislokasi yang labil
4) Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis

8. Pemeriksaan Fisik
A. Anamnesis
Evaluasi klinis pada pasien dengan trauma medulla spinalis membutuhkan penilaian
status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis
awal dilakukan observasi primer.
Pada observasi primer, ABC (Airway,Breathing,Circulation) dinilai terlebih dahulu.
Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru
dilaksanakan. Dugaan terhadap adanya trauma medulla spinalis didapatkan melalui
anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang
berhubungan dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya deficit
motorik atau sensorik. (Chin 2016). Meunurut World Health Organization berdasarkan
anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
• Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
• Paraplegia
• Paralisis sensorik motorik total
• Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)
• Penurunan fungsi pernapasan
• Gagal nafas
B. Pemeriksaan Fisik
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan
secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan
dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin,
priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma
(Gondowardaja and Purwata, 2014 ).
Menurut Bahrudin (2016) pada pasien dengan kelumpuhan pada kedua tungkai
(paraplegi) atau keempat ekstermitas (tetraplegi) yang pertama kali kita pikirkan adalah
apakah tipe kelumpuhan itu Upper motor neuron (UMN) atau Lower motor neuron
(LMN). Untuk menentukan tipe kelumpuhan ini kita tetapkan dengan pemeriksaan
neurologis reflex fisiologis, reflex patologis, tonus otot . Pemeriksaan neurologis lain
pada trauma medulla spinalis menurut Middendorp et all (2011) yaitu dengan
menggunakan skala Frankel, 5-titik skala kerusakan, telah banyak digunakan untuk
menentukan keparahan dari trauma medulla spinalis. Pasien diklasifikasikan sebagai
lengkap (Kelas A), sensorik saja (kelas B), motorik berfungsi (Kelas C), motorik
berfungsi (kelas D), atau tidak ada defisit neurologis atau pemulihan lengkap (kelas E).
Serta penilaian fungsi motorik dan sensorik dengan Standar Internasional yang
digunakan yaitu pengujian miotom dan dermatom yang merupakan komponen kunci.
Dermatom adalah segmen kulit yang memperoleh persarafan sensorik melalui satu akar
belakang saraf spinal, sedangkan miotom merupakan sekelompok otot yang disarafi
oleh satu segmen spinal. Pengujian fungsi motorik menurut Standar Internasional
meliputi 10 miotom terlebih khusus untuk C5 , T1, L2 dan S1, sesuai dengan lima
keymuscles masing-masing pada lengan kiri dan kanan serta kaki. Pengujian skor kunci
motorik otot dinilai pada skala 5-point diadaptasi dari Themedical Dewan Riset Scale.
Pemeriksaan sensorik berdasarkan pada pengujian yang dikenal sebagai titik kunci
dalam setiap 28 dermatom pada kedua sisi kiri dan sisi kanan tubuh . Fungsi sensorik
dinilai sebagai berikut : Nomal =2, ada gangguan atau terdistorsi =1, absen =0 dan tidak
diuji =NT dan berdasarkan skor sensorimotor, tingkat dan keparahan dari SCI dapat
ditentukan berdasarkan skala yang paling umum digunakan untuk mengklasifikasikan
tingkat keparahan cedera yaitu Asia Impairment Scale . Tentukan tingkat sensorik dan
motorik untuk sisi kanan dan kiri, tentukan tingkat neurologis cedera dan tentukan
apakah cedera tersebut lengkap atau tidak lengkap (Middendorp et all, 2011).

Pemeriksaan neurologis lain yang digunakan yaitu Amerika Asosiasi Cedera Spinal
(ASIA) atau International Spinal Cord Masyarakat (ISCoS) atau skala standar
neurologis (AIS). (Middendorp et all, 2011).
ASIA Impairment Scale Lesi
A Tidak ada fungsi Kompleks
motorik dan sensorik
sampai S4-S5
B Fungsi sensorik Tidak Kompleks
masih baik tapi
motorik terganggu
sampai
segmen sakral S4-S5
C Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level tapi otot-otot
motorik utama masih
mempunyai kekuatan
<3
D Fungsi motorik Tidak Kompleks
terganggu dibawah
level, kekuatan
otototot motorik
utama
>3
E Fungsi motorik dan Normal
sensorik normal
The American Spinal Injury Association/International Spinal Cord Society Neurological
Standard Scale

(Better known as the “ASIA Impairment Scale”)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Teori Keperawatan Self Care Orem
1. Defenisi Teori Keperawatan Orem
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem’s adalah suatu pelaksanaan
kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi
kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai
keadaan, baik sehat maupun sakit” (Orem’s 1980).
Pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-
kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebutuhan itu
sendiri, kecuali bila tidak mampu. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan
dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri
sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan
dan kesejahteraan, teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri).

2. Falsafah Teori Keperawatan Orem


Teori Orem mendefenisikan keperawatan sebagai sebuah tindakan dalam
membantu individu lainnya dalam menetapkan atau mengatur proses perawatan diri
serta meningkatkan peran dan fungsi individu tersebut agar lebih optimal. Menurut
Orem dalam Fawcett (2010) falsafah teori keperawatan Orem adalah:
a. Asumsi terhadap manusia
b. Pandangan spesifik keperawatan terhadap manusia
c. Dasar pemikiran terhadap manusia
d. Prasangka tentang perawatan diri
e. Asumsi kebutuhan perawatan diri
f. Asumsi tindakan perawatan diri
g. Asumsi manusia dan tindakan perawatan diri
h. Asumsi tentang keperawatan
i. Filosofi manusia dan keperawatan
j. Asumsi tindakan perawatan diri dan keperawatan

3. Pengembangan Sains Keperawatan berdasarkan Teori Keperawatan Dorothea E.


Orem
Orem dalam Taylor dan Renpenning (2011) perawatan diri seorang individu sudah
menjadi kebutuhan yang berjalan sepanjang daur kehidupan manusia. Kebutuhan
tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dari lingkungan terhadap individu dan faktor
kemampuan dari individu itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan perawatan diri dapat
dilakukan oleh individu itu sendiri atau melalui bantuan orang lain apabila terjadi
penurunan dalam proses pemenuhannya.
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri bertujuan untuk menjalankan atau memenuhi
kebutuhan agar terpenuhi, apabila tidak terpenuhi dapat di berikan melalui bantuan
orang lain. Bantuan yang diberikan dapat berupa dukungan dari lingkungan individu,
dukungan terhadap kebutuhan itu sendiri, dengan tindakan secara langsung (Taylor &
Renpenning, 2011).
Hal yang perlu menjadi fokus dalam pemenuhan kebutuhan meliputi kebutuhan
secara umum (universal requisite), kebutuhan pengembangan (developmental requisite),
dan kebutuhan penyimpangan kesehatan (health deviation requisite). Bentuk dari
bantuan yang diberikan dapat berupa bantuan atau kompensasi penuh, sebagian, atau
hanya dukungan.
a. Self-care Theory
Perawatan diri merupakan kegiatan yang terjadi sehari-hari yang jelas berbeda
dengan aktivitas atau kegiatan sistem lainnya, seperti sistem-sistem organ dalam
tubuh. Perawatan diri didapat dengan belajar dan dipraktikkan setiap hari dan
secara berkelanjutan di dalam kehidupan sebagai sebuah kebutuhan. Kebutuhan
perawatan diri akan berbeda pada tiap individu sesuai tahap perkembangan masing-
masing individu tersebut (Alligood, 2014)
Perawatan diri tidak hanya dapat diberikan oleh seorang perawat kepada
pasien, akan tetapi dapat diberikan melalui keluarga ataupun suatu kelompok
kepada individu yang memerlukan bantuan dalam pemenuhan perawatan diri, baik
itu perawatan jangka panjang maupun jangka pendek (Graham, 2006).
Model Orem’s, meyebutkan ada beberapa kebutuhan self care atau yang
disebutkan sebagai keperluan self care, yaitu :
1) Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal) Kebutuhan
yang umumnya dibutuhkan oleh manusia selama siklus kehidupannya seperti
kebutuhan fisiologis dan psikososial termasuk kebutuhan udara, air, makanan,
eliminasi, aktivitas, istirahat, sosial, dan pencegahan bahaya. Hal tersebut
dibutuhkan manusia untuk perkembangan dan pertumbuhan, penyesuaian
terhadap lingkungan, dan lainnya yang berguna bagi kelangsungan hidupnya.
2) Development self care requisites
Kebutuhan yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia dan proses
perkembangannya, kondisi, peristiwa yang terjadi selama variasi tahap dalam
siklus kehidupan (misal, bayi prematur dan kehamilan) dan kejadian yang
dapat berpengaruh buruk terhadap perkembangan. Hal ini berguna untuk
meningkatkan proses perkembangan sepanjang siklus hidup.
3) Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan
kesehatan): kebutuhan yang berhubungan dengan genetik atau
keturunan,kerusakan struktur manusia, kerusakan atau penyimpangan cara,
struktur norma, penyimpangan fungsi atau peran dengan pengaruhnya,
diagnosa medis dan penatalaksanaan terukur beserta pengaruhnya, dan
integritas yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan
self care.

b. Teori Self Care Deficit


Merupakan hal utama dari teori general keperawatan menurut Orem. Dalam
teori ini keperawatan diberikan jika seorang dewasa (atau pada kasus
ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan self care secara
efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat berkurang atau tidak
dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan. Orem mengidentifikasi lima metode
yang dapat digunakan yaitu :
1) Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.
2) Memberikan petunjuk dan pengarahan.
3) Memberikan dukungan fisik dan psychologis.
4) Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung pengembangan
personal.
5) Pendidikan, Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan
beberapa atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care.

Orem menggambarkan hubungan diantara konsep yang telah


dikemukakannya.

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa jika kebutuhan lebih banyak dari
kemampuan, maka keperawatan akan dibutuhkan. Tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan oleh perawat pada saat memberikan pelayanan keperawatan dapat
digambarkan sebagi domain keperawatan. Orem (1991) mengidentifikasikan lima area
aktifitas keperawatan yaitu:
1) Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawat klien dengan individu,
keluarga, kelompok sampai pasien dapat melegitimasi perencanaan keperawatan.
2) Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui keperawatan.
3) Bertanggungjawab terhadap permintaan pasien, keinginan dan kebutuhan untuk
kontak dan dibantu perawat.
4) Menjelaskan, memberikan dan melindungi klien secara langsung dalam bentuk
keperawatan.
5) Mengkoordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dengan kehidupan sehari-hari
klien, atau perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan sosial dan
edukasional yang dibutuhkan atau yang akan diterima.

c. Nursing System Theory


Nursing system theory merupakan teori yang mengacu kepada sistem
keperawatan yang dibentuk berdasarkan rancangan dan hasil (designed and
produced) yang dilakukan oleh seorang perawat yang telah dilatih dalam
melakukan perawatan diri dan menemukan apa yang dibutuhkan yang dilakukan
bersama orang yang mengalami penurunan derajat kesehatan atau yang memiliki
keterbatasan dan bergantung terhadap orang lain (Alligood, 2014).
Teori ini melibatkan perawat dan pasien yang saling berinteraksi dalam
proses perawatan. Menurut Masters (2012) Proses perawatan yang dilakukan dapat
bersifat wholly, partly, atau supportive :
1) Wholly Compensatory Nursing
Dalam hal ini perawat berperan penuh dalam dalam menyelesaikan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan terapeutik pasien dengan memperhatikan
kondisi pasien dalam proses perawatan terkait keselamatan dan dukungan
terhadap pasien.
2) Partly Compensatory Nursing
Perawat berperan sebagian saja dalam proses perawatan pasien, sementara
sebagian lagi dibutuhkan tindakan atau action dari pasien. Perawat
menjelaskan kebutuhan-kebuthan yang harus diselesaikan terhadap pasien
saat itu serta membantu beberapa kebutuhan pasien yang memang
memerlukan bantuan dari perawat. Namun pasien juga ikut membantu dalam
proses perawatan diri yang dianggap mampu untuk dilakukan sendiri oleh
pasien tampa bantuan perawat.
3) Supportive Developmental Nursing
Pasien sudah mampu melakukan perawatn diri sendiri tanpa bantuan dari
perawat. Dalam kondisi ini perawat hanya membantu untuk mengingatkan
pasien terkait proses pemenuhan kebutuhan yang telah terjadwalkan.
Pelayanan keperawatan penting untuk diberikan pada saat klien tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, sosial dan perkembangan.
Seorang perawat mencari tahu apa yang dibutuhkan klien, mengapa klien tidak
mampu memenuhi kebutuhan, dan berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.
Untuk itu diperlukan sebuah Nursing Agency dalam menemukan apa saja yang
dibutuhkan oleh klien (Perry & Potter, 2005).

4. Teori Orem dalam Paradigma Keperawatan


Sebuah teori dapat mengalami perkembangan dari satu model ke bentuk model
yang lain. Teori keperawatan merupakan sebuah model yang dikembangkan melalui
sebuah kerangka kerja yang berfokus kepada keperawatan. Penerapan teori orem dalam
paradigma keperawatan dalam Shah (2015) adalah:
a. Manusia
Orem melihat manusia sebagai makhluk biopsikososio yang memiliki perbedaan
masing-masing dalam kemampuan untuk memberikan perawatan diri. Manusia
memiliki kebutuhan terhadap perawatan diri yang dapat didukung dengan
kemampuan untuk belajar dan berkembang dalam memenuhi kebutuhan.
b. Keperawatan
Intervensi keperawatan yang disusun diberikan dengan harapan untuk memenuhi
kebutuhan terhadap perawatan diri. Penerapan intervensi terapeutik diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri yang tidak mampu dipenuhi oleh
pasien.
c. Sehat
Sehat yang dimaksud adalah sehat secara fisik, mental, dan sosial. Sehat
merupakan bagian terpenting dari paradigma keperawatan yang terintegritas
dalam tubuh manusia
d. Lingkungan
Klasifikasi lingkungan yang menjadi tempat terjadi interaksi manusia meliputi
lingkungan fisik, kimia, biologi dan sosial. Lingkungan memiliki beberapa
komponen seperti perkembangan dan elemen-elemen lingkungan itu sendiri

5. Konseptual Model Dorothea E. Orem dan Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek
keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien. Pada pelaksanaan asuhan
keperawatan terdapat pendekatan dan metode utama yang digunakan yaitu metode
memecahkan masalah secara ilmiah yang selanjutnya dikenal sebagai proses
keperawatan (nursing process).
Proses keperawatan yang dijelaskan oleh Orem mempunyai tiga tahap proses
keperawatan yang dikenal sebagai kegiatan proses teknologi dari praktek keperawatan.
Tahapan tersebut meliputi: diagnosa keperawatan dan persepsi, mendisain sistem
keperawatan dan perencanaan, dan memproduksi dan mengatur sistem keperawatan.
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan dengan pendekatan Orem merupakan proses
pengumpulan data yang berdasarkan adanya tuntutan untuk perawatan diri,
kekuatan untuk melakukan perawatan diri, kebutuhan perawatan diri, dan
penyimpangan kebutuhan perawatan diri pada pasien yang mengalami masalah
kesehatan dan peningkatan fungsi normal (Christensen & Kenney, 2009). Riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda dan gejala hiperglikemia dan
faktor-faktor fisik, emosional, dan sosial yang dapat mempengaruhi kemampuan
pasien untuk mempelajari dan melaksanakan berbagai aktivitas perawatan mandiri
diabetes (Smeltzer & Bare, 2009). Pengkajian menurut Orem terdiri dari Basic
Conditioning Factor (kondisi faktor yang mendasar), Universal Self Care Requisite
(kebutuhan perawatan diri secara umum), Development Self Care Requisites
(kebutuhan pengembangan perawatan diri), Health Deviation Self Care
Requisites (kebutuhan perawatan diri dari gangguan kesehatan).
1) Pemenuhan Kebutuhan Kondisi Faktor yang Mendasar (Basic
Conditioning Factor )
Pengkajian mencakup kondisi yang mempengaruhi pasien Asma Bronchial
dalam memenuhi kebutuhan dirinya. Data pengkajian meliputi umur, jenis
kelamin, pendidikan, status kesehatan, status perkembangan, sistem perawatan
kesehatan sistem keluarga, pola hidup, lingkungan. Riwayat kesehatan yang
penting adalah apakah pasien sering mengalami serangan Asma Bronchial
(Purnomo, 2011).

2) Pemenuhan Kebutuhan Perawatan diri yang Universal (Universal Self


Care Requisite)
a) Kebutuhan Pernapasan dan Sirkulasi
b) Kebutuhan Cairan dan Elektrolit
c) Kebutuhan Nutrisi
d) Kebutuhan Eliminasi dan Eksresi
e) Keseimbangan antara Aktivitas dan Istirahat
f) Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial
g) Pencegahan terhadap Resiko yang Mengancam Hidup

3) Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Perawatan Diri (Development Self


Care Requisites)
Tujuan kebutuhan pengembangan perawatan diri berhubungan dengan tingkat
perkembangan individu dan lingkungan tempat tinggal yang berkaitan dengan
siklus kehidupan serta perubahan hidupnya. Beberapa hal yang berhubungan
dengan tingkat perkembangan perawatan diri adalah situasi yang mendukung
terhadap perkembangan perawatan diri, terlibat dalam pengembangan diri serta
mencegah atau mengatasi dampak dari situasi individu dan situasi kehidupan
yang mungkin mempengaruhi perkembangan manusia. (Orem, 1980 dalam
Tomey & Alligood, 2006 ).

4) Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri yang Menyimpang dari


Kesehatan (Health Deviation Self Care Requisites)
Tujuan Perawatan diri dalam hal ini ditujukan kepada orang yang sakit atau
trauma, yang mengalami gangguan patologi, termasuk ketidakmampuan dan
pasien cacat yang sedang dirawat dan menjalani terapi. Gangguan kesehatan
dapat terjadi sepanjang waktu sehingga akan mempengaruhi pengalaman
individu dalam menghadapi kondisi sakit sepanjang hidupnya. Penyakit atau
trauma tidak hanya pada struktur tubuh, fisiologi dan psikologi saja, tetapi juga
pada konsep diri seutuhnya. Ketika konsep diri manusia mengalami gangguan
(termasuk retardasi mental atau autisme), perkembangan individu akan
memberikan dampak baik permanen maupun sementara. Perawatan diri
merupakan komponen dari sistem tindakan perawatan diri individu yang
merupakan langkah – langkah dalam perawatan ketika terjadi gangguan
kesehatan (Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).

5) Kebutuhan Perawatan Diri yang Terapeutik (Therapeutic Self Care


Demand)
Terapi pemenuhan kebutuhan dasar merupakan program perawatan yang
bertujuan dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien sesuai dengan tanda dan
gejala yang muncul pada pasien. Beberapa hal yang harus diperhatikan perawat
ketika memberikan pemenuhan kebutuhan dasar pada pasien, diantaranya
mengatur dan mengontrol jenis atau macam kebutuhan dasar yang dibutuhkan
pasien dan bagaimana cara pemberiannya pada pasien. Therapeutic Self Care
Demand juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan yang menunjang
pemenuhan kebutuhan dasar seperti promosi dan pencegahan yang mendukung
pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar sesuai tingkat kemandiriannya
(Orem, 1980 dalam Tomey & Alligood, 2006 ).
A. Format Pengkajian menggunakan Teori Self Care Orem pada Kasus Trauma Medula
Spinalis

1. Pengkajian
a. Identitas
No. RM : ……………………………………………………..
Nama : ……………………………………………………..
Umur : ……………………………………………………..
Agama : ……………………………………………………..
Pendidikan : ……………………………………………………..
Pekerjaan : ……………………………………………………..
Suku/bangsa : ……………………………………………………..

b. Riwayat Kesehatan

Riwayat penyakit sekarang Klien menjadi lumpuh setelah luka tembak abdomen
• Keluhan utama saat MRS yang tembus sampai di tulang belakang. Pasien
mengeluh nyeri neuropatik parah pada ekstremitas
• Keluhan utama saat
bawah bilateral (skala analog visual [VAS], 7 hingga
pengkajian
8). Nyeri neuropatik ditandai dengan kesemutan dan
tekanan, yang diperburuk pada malam hari.
PQRST (bila keluhannya nyeri)
- Provoke Pengkajian PQRST
- Quality P : luka tembak yang tembus tulang belakang
- Regio Q :-
- Severity R : eksteritas bawah
- Time S : skala 7 – 8
T : Nyeri neuropatik ditandai dengan kesemutan
dan tekanan, yang diperburuk pada malam hari.

Riwayat kesehatan sebelum sakit Tidak Terkaji


• Penyakit yang pernah di derita
• Obat-obatan yang biasadikonsumsi
• Kebiasaan berobat
• Riwayat alergi
• Lain lain
Pengkajian menurut Dorothea E.Orem
a. Self care
1) Universal self care
a) Oksigen dan Sirkulasi
Klien mengalami gangguan oksigenasi. Pernapasan 30 x/i nadi 90 x/i, tekanan
darah150/100 mmhg,CTR<3 s, konjungtiva tidak anemis, ekspansi dada maksimal
b) Nutrisi dan metabolic
Infus terpasang NaCl 0,9% 20 tetes/menit, tugor kulit normal, keseimbangan
cairan seimbang, mukosa bibir lemah
c) Eliminasi
Terpasang kateter
d) Pola aktivitas dan istirahat
Klien mengalami nyeri luka pada punggung, sulit melakukan aktivitas, aktivitas
dibantu keluarga.
e) Kebutuhan Psikososial/spiritual
Klien beribadah di tempat tidur
f) /kenyamanan
Nyeri pada punggung menbuat klien tidak nyaman
2) Developmental self care
Motorik halus : normal
Motorik kasar : tidak normal. Kesulitan dalam melakukan aktivitas
Personal sosial :
Bahasa :

3) Health Deviation self care and Self care agency

Body system
B1 • Pergerakan dada: -
(breathing/pernapasan) • Penggunaan otot bantu napas : -
• Suara
nafas:vesikuler/wheezing/ronchi/rales Lokasi
-
• Batuk: -
• Warna sputum :
• Alat bantu nafas: -
• Lain-lain : -

B2 • Suara jantung: S1, S2, S3, S4


(bleeding/cardiovascular (tunggal, gallop, murmur)
) • Irama jantung : regular
• CRT : -
• JVP : -
• Edema : tidak ada
• Lain-lain :

B3 (brain/persyarafan) • GCS :
• Reaksi cahaya pupil : - • Diameter
pupil : isookor
• Lain-lain : -
B5 (bowel) Tidak Terkaji
• Mukosa bibir : kering / lembab
• Lidah : kotor / bersih
• Nyeri telan : ya / tidak
• Abdomen : distensi / tidak
• Peristaltic usus : normal / meningkat
/ menurun nilai…..
• Mual : ya / tidak
• Muntah : ya/tidak
Jumlah/frekuensi…
• Hematemesis : ya / tidak
Jumlah / frekuensi…
• Melena : ya / tidak
Jumlah/frekuensi…
• Terpasang NGT : ya / tidak
• Diare / konstipasi : ya/tidak
• Lain-lain…

B6 • Turgor : -
(bone/musculoskeletal) Perdarahan eksternal : Terjadi
perdarahan masif setelah
Pengangkatan peluru.
• Icterus: -
• Akral : hangat
• Pergerakan send : -
• Fraktur: ada …(sebutkan letak dan
jenis)/ tidak ada
• Luka terbuka : ada …(sebutkan
letak dan jenis)/ tidak ada
• Lain-lain…

b. Therapeutik self care demand

c. Self care deficit


..................................................................................................
........................................
..................................................................................................
........................................
............................................................
d. Nursing Agency
..................................................................................................
........................................
..................................................................................................
........................................
............................................................
e. Nursing system
..................................................................................................
........................................
..................................................................................................
........................................
............................................................

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan - CT-scan 3-dimensi yang direkonstruksi
Penunjang preoperatif menunjukkan fraktur burst pada vertebra
• Laboratorium lumbar pertama.
• Diagnostiklain - X-ray sederhana pra operasi tulang belakang
menunjukkan 2 fragmen peluru besar.
- Foto fragmen peluru di ruang disk T12-L1.
- Tomografi terkomputasi 3-dimensi postoperatif
tulang belakang menunjukkan fiksasi T11-L3
posterior dan sisa fragmen peluru di kanal tulang
belakang tingkat L1
Terapi gabapentin (900 mg/day), pregabalin (450
mg/day), amitriptyline (25 mg/day),

clonazepam (1 mg/day), oxycodone (20 mg/


day), and fentanyl patch (50 μg/hr)

Medical Problem and Plan


ANALISA DATA
No. Data Penyebab Masalah Diagnosa
(Tanda Mayor Kepeawatan Keperawatan
dan Minor)
1. DS : Kehilangan Hipovolemia Hipovolemia
Pasien cairan aktif b/d Kehilangan
mengalami cairan aktif d.d
perdarahan Merasa lemas
masiv setelah Tekanan
pengangkatan darah
peluru. menurun
DO : Nadi teraba
Merasa lemas lemah
Tekanan Turgor
darah kulit
menurun menurun
Nadi teraba
lemah
Turgor
kulit
menurun

2. DS : Pasien Agen Pencedera Nyeri Akut Nyeri Akut b/d


mengeluh nyeri Fisik Agen Pencedera
neuropatik parah Fisik d.d Klien
pada ekstremitas tampak
bawah bilateral meringis
dengan ditandai menahan nyeri ,
kesemutan dan gelisah
tekanan DO :
Klien tampak
meringis
menahan nyeri ,
Gelisah

3. DS : Gangguan Gangguan Gangguan


Pasien Neuromuskular Mobilitas Fisik Mobilitas Fisik
mengalami b/d Gangguan
kelumpuhan Neuromuskular
DO : d.d. Mengeluh
Mengeluh sulit
sulit menggerakkan
menggerakkan ekstermitas
ekstermitas Kekuatan
Kekuatan otot otot
menurun menurun
Rentang gerak Rentang
(ROM) menurun gerak
(ROM)
menurun
No. SDKI SLKI SIKI Implementasi Evaluasi

1. Hipovelemia Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia Manajemen Hipovolemia S: tidak terkaji


(D.0023) tindakan (1.03116) (1.03116) O:
keperawatan selam Observasi Observasi • Kekuatan nadi sedang
1x24 jam maka - Periksa tanda dan gejala - Memeriksa tanda • Turgor kulit sedang
status Cairan hipovolemia dan gejala hipovolemia
membaik dengan • Frekuensi nadi sedang
-Monitor intake dan output cairan - Memonitor intake dan A: masalah belum teratasi
kriteria hasil : output cairan
Teraupetik P: lanjutkan intervensi
Kekuatan nadi Teraupetik
- Hitung kebutuhan cairan -
meningkat - Menghitung
Berikan posisi modified
Turgor kulit kebutuhan cairan
trendelenburg
meningkat - Berikan asupan secara oral - Memberikan
Frekuensi nadi Edukasi posisi modified
membaik -Anjurkan memperbanyak cairan oral trendelenburg -
Memberikan asupan
Kolaborasi
secara oral
- Kolaborasi pemberian cairan
Edukasi -
IV isotonis Menganjurkan
- Kolaborasi pemberian cairan
memperbanyak cairan oral
IV hipotonis
Kolaborasi -
- Kolaborasi pemberian cairan
Berkolaborasi
IV koloid
memberikan cairan
- Kolaborasi pemberian produk
IV isotonis -
darah
Berkolaborasi

(Link DOPS memberikan cairan IV


Monitor balance cairan hipotonis -
https://www.youtube.com/watch?v= Berkolaborasi
Ki7YVMa78RM memberikan cairan
Prosedur Pemasangan infus : IV
https://www.youtube.com/watch?v=j koloid
ygxKeZXoSI ) - Berkolaborasi
memberikan produk darah
2. Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (1.08238) Manajemen Nyeri S: tidak terkaji
(D.0077) b/d tindakan Observasi (1.08238) O:
Agen keperawatan selam -Identifikasi lokasi, karakteristik, Observasi • Keluhan nyeri sedang
Pencedera 1x24 jam maka frekuensi, kualitas, intensitas nyeri -Mengidentifikasi lokasi,
Fisik d.d Tingkat Nyeri • Meringis sedang
-Identifikasi skala nyeri karakteristik, frekuensi,
Klien tampak Menurun dengan -Identifikasi faktor budaya terhadap kualitas, intensitas nyeri - • Sikap protektif sedang
meringis kriteria hasil : respon nyeri Mengidentifikasi skala • Gelisah sedang
menahan Keluhan nyeri nyeri
Teraupetik • Sulit tidur menurun
nyeri , gelisah menurun -Mengidentifikasi faktor
-Berikan terapi non farmakologis A: masalah belum teratasi
Meringis menurun budaya terhadap respon
untuk mengurangi nyeri P: lanjutkan intervensi
Sikap protektif
-Fasilitasi istirahat tidur nyeri
menurun
Edukasi Teraupetik
Gelisah menurun
-Ajarkan teknik non farmakologis -Memberikan terapi non
Sulit tidur menurun
farmakologis untuk
Frekuensi nadi mengurangi nyeri
-Memfasilitasi istirahat
tidur
Edukasi
-Mengajarkan teknik non
farmakologis
3. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (1.05173) Dukungan Mobilisasi S: tidak terkaji
Mobilitas tindakan Observasi (1.05173) O:
Fisik (D.0054) keperawatan selam -Identifikasi adanya nyeri atau Observasi • Pergerakan ekstermitas
b/d 1x24 jam maka keluhan fisik lain lainnya -Mengidentifikasi adanya
Mobilitas Fisik sedang
-Identifikasi toleransi fisik melakukan
Gangguan nyeri atau keluhan fisik lain
Neuromusku
lar d.d. Meningkat dengan pergerakan lainnya • Kekuatan otot sedang
Mengeluh kriteria hasil : -Monitor frekuensi jantung dan -Mengidentifikasi toleransi • Rentang gerak (ROM)
sulit Pergerakan tekanan darah sebelum memulai fisik melakukan pergerakan sedang
menggerakka ekstermitas mobilisasi -Memonitor frekuensi
meningkat A: masalah belum teratasi
n ekstermitas -Monitor kondisi umum selama jantung dan tekanan darah
Kekuatan otot sebelum memulai mobilisasi P: lanjutkan intervensi
Kekuatan otot melakukan mobilisasi
meningkat Teraupetik -Memonitor kondisi umum
menurun
Rentang gerak -Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan selama melakukan
Rentang
(ROM) meningkat alat bantu (mis. Pagar tempat tidur) - mobilisasi
gerak (ROM) Teraupetik
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
menurun -Memfasilitasi aktivitas
perlu
-Libatkan keluarga untuk membantu mobilisasi dengan alat
pasien dalam meningkatkan bantu (mis. Pagar tempat
pergerakan tidur)
Edukasi -Memfasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu -
-Jelaskan tujuan dan prosedur
Melibatkan keluarga untuk
mobilisasi
membantu pasien dalam
-Anjurkan melakukan mobilisasi dini -
meningkatkan pergerakan
Ajarkan mobiliasasi sederhana yang
Edukasi
harus dilakukan (mis. Duduk di -Menjelaskan tujuan dan
tempat tidur) prosedur mobilisasi
-Menganjurkan melakukan
mobilisasi dini
-Mengajarkan mobiliasasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur)
DAFTAR PUSTAKA

Alizadeh A, Dyck SM, Abdolrezaee SK. Traumatic Spinal Cord Injury: An


Overview of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Front
Neurol.2019(10)1-25.
Bahrudin, M. (2016). Neurologi klinis. Malang: UMM Press, Hal 13-16, 442-449
Chin, S.L. (2016). Spinal Cord Injuries. -
Doulames, M.V. and Plant, W.G. (2016). Induced Pluripotent Stem Cell
Therapies fo Cervical Spinal Cord Injury. International Journal of
Molecular Sciences, 17(530), pp. 1-5
Fildes, J. (2008). Advance Trauma Life Support for Doctors. 8th ed. Chicago:
American Collage of Surgeons Committee on Trauma.
Gondowardaja, Y. and Purwata, E.T. (2014). Trauma Medulla Spinalis:
Patobiologi sdan
Tata Laksana Medikamentosa. Continuing Medical Education, 41(8), pp.
567-569 Middendorp, V.J.J et all. (2011). Diagnosis and Prognosis of Traumatic
Spinal Cord Injury. Global Spine Journal, 1(1), pp. 1-8
New PW, Marshall R. International Spinal Cord Injury Data Sets for non-
traumatic spinal cord injury. Spinal Cord. 2014(52)123-132.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai