Anda di halaman 1dari 3

EKSPLORASI TERHADAP ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI

Arsitektur deskonstruksi merupakan pengembangan dari asitektur modern. Munculnya


arsitektur deskonstruksi sekitar tahun 1988 dalam sebuah diskusi Academy Forum di Tate
Gallery, London. Kemudian disusul oleh pameran di Museum of Art, New York dengan tema
“Desconstructivist Architecture” yang diorganisir oleh Philip Jhonson dan terdapat tujuh arsitek
yang menampilkan karya-karyanya, yaitu; Peter Esienman, Bernard Tschumi, Daniel Libeskind,
Frank Gerhy, Zaha Hadid, Rem Koolhaas, dan Coop Himmelblau.

Gejala “Dekon” dalam arsitektur telah menjadi tema perdebatan yang hangat dengan
karya-karyanya yang mendobrak aturan-aturan yang berlaku. Pada 8 April 1988 dalam
“International Symposim on Deconstruction” yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate
Gallery, dikukuhkan bahwa dekonstruksi bukanlah gerakan yang tunggal atau koheren, meski
banyak diwarnai olej kemiripan-kemiripan formal di antra karya arsitek yang satu dengan yang
lainya, dekonstruksi tidak memiliki ideology ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk
membongkar kemapanan dan kebakuan.

Aliran dekonstruksi mulanya berkembang di kalangan asitek Perancis dan Inggris,


kemudian oleh Philip Jhonson dan Mark Wigley melalui sebuah pameran yang bertema
“Deconstructivist Architectrue” yang di selenggarakan di Museum Of Art, New York, tanggal 23
Juni – 30 Agustus 1988 mencetuskan ‘dekonstruktivisme’ yang lebih berkonotasi pragamatis dan
formal serta berkembang di Amerika.

Deconstruction sebuah konsep Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida (lahir
1921) tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman orang tentang konstruksi, destruksi,
dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali
hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing-masing.
Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutnya dalam merajut
rangkaian hubungan-hubungan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang
perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat meperjelas hubungan Deconstruction
dan Rancang bangunan.
Deconstruction sebagai upaya atau metoda krisis, tidak hanya berupaya membongkar
bangunan-bangunan teori atau karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun contextnya.
Lebih dari itu, kekuatan-kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan dilucuti
atribut-atributnya, dikupas habis hingga telanjang bulat, dilacak asal usul dan perkembangannya,
dicari kaitan-kaitannya dengan konsep-konsep lain, digelar kemungkinan-kemungkinan posisi
maupun kontribusinya terhadap apa saja. Semua proses pembongkaran tersebut dimaksudkan
untuk membangun kembali karakteristik penomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut,
ekspose dari ‘interplay’ kekuatan-kekuatan melalui; kontradiksi-kontradiksi, kesenjangan-
kesenjangan, decomposition, disjunction, discontinuity, dan deformation, merupakan cara untuk
memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan “ada” dan “megada”. Daya Tarik deconstruction
bagi dunia rancang bangun terletak di dalam cara melihatnya bahwa ruang dan bentuk adalah
tempat kejadian yang selayaknya terbuka bagi yang mengkin dan yang tidak mungkin.

Pengertian arsitektur dekonstruksi dalam desain, dekonstruksi merupakan salah satu jalan
keluar yang patut dipertimbangkan dari permasalahan-permasalahan yang timbul dari kejenuhan
akan arsitektur modern. Sehingga dapat dihasilkan pemahaman dan perspektif baru tentang
arsitektur.

Pada arsitrktur dekonstruksi yang ditonjolkan adalah geometri 3D dari hasil proyeksi 2D
sehingga muncul kesan miring dan semrawut yang menujuk kepada kejujuran yang sejujur-
jujurnya.

Penggunaan warna sebagai aksen juga ditonjolkan dalam komposisi arsitektur


dekonstruksi sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan.

Bangunan yang menggunakan langgam arsitektur dekonstruksi memiliki tampilan yang


terkesan ‘tidak masuk akal’, dan memiliki bentukan abstrak yang konstras melalui permainan
bidang dan garis yang simpang siur.

Pada arsitektur dekonstruksi yang dikomunikasikan adalah,


 Unsur-unsur yang paling mendasar, essensial, substansial yang dimiliki oleh arsitektur.
 Kemampuan maksimal untuk berarsitektur dari elemen-elemen yang essensial maupun
substansial

Arsitektur dekonstruksi tidak mengikatkan diri kedalam salah satu dimensi Waktu
(Timelessness). Pandangan seperti ini mengakibatkan timbulnya padangan terhadap
Dekonstruksi yang berbunyi “ini merupakan kesombongan dekonstruksi”

Ciri arsitektur dekonstruksi, arsitektur dekonstruksi juga telah menggariskan beberapa prinsip
penting mengenai arsitektur;

1. Tidak ada yang absolut dalam asitektur, sehingga tidak ada satu langgam yang dianggap
terbaik sehingga semuanya memiliki kesempata yang sama untuk berkembang.
2. Tidak ada pen’dewa’an tokoh dalam arsitektur sehingga tidak timbul kecenderungan
pengulangan ciri antara arsitek satu dan yang lain hanya karena arsitek yang satu
dianggap dewa yang segala macam karyanya harus ditiru.
3. Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus diakhiri, sehingga
perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah kepada keragaman pandang dan
tata nialai.

Pengutamaan indera penglihatan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu karya dalam arsitektur
harus diakhiri. Potensi indera lain harus dapat dimanfaatkan pula secara seimbang.

Anda mungkin juga menyukai