Anda di halaman 1dari 2

5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh

Sejak pembahasannya dimulai DPR dan pemerintah pada tahun lalu, UU Cipta Kerja
memang menuai kritik, baik dari kalangan buruh maupun akademisi.
Selain materinya yang dianggap merugikan pekerja, proses penyusunannya
dianggap bermasalah. Namun, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan
UU Cipta Kerja terus dilanjutkan, hingga akhirnya disahkan pada Oktober 2020.
Berikut ini sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja:

1. Sistem kerja kontrak


Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode
dan batas waktu kontrak.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penggunaan frasa "tidak
terlalu lama" mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang
penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria PKWT.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa "tidak terlalu
lama" dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.
Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah
(PP).
KSPI, misalnya, menyatakan, dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam
jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu
sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap
(PKWTT).

2. Praktik outsourcing meluas


UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan
secara alih daya atau outsourcing.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu


pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.

Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya,


praktik outsourcing diprediksi makin meluas.

Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan
pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain.

Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-
IX/2011.
Sementara itu, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja
sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta
Kerja.
Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan
pemberi kerja makin kecil.

3. Waktu kerja eksploitatif


Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan
14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam
seminggu.
Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima
juga tidak akan sebanding.
Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur
didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan.

4. Berkurangnya hak cuti dan istirahat


Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan.

Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu


istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam
sepekan.
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu,
UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh
yang telah bekerja minimal selama enam tahun.

5. Rentan alami PHK


Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika
mengalami kecelakaan kerja.
Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan
pemutusan pemutusan hubungan kerja.
Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 bulan.
Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua
kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.

Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.

Anda mungkin juga menyukai