1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar fitriloloallo@gmail.com
Abstrak
Penelitian dan penulisan ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pembangunan Tongkonan
Bastem di Luwu, fungsi Tongkonan bagi masyarakat Batem di Luwu, dan Perkembangan
Tongkonan Bastem di Luwu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri
atas empat tahapan yaitu: heuristik (pengumpulan data atau sumber), kritik sumber yang terdiri dari
kritik intern dan ekstern, interpretasi atau penafsiran sumber, dan historiografi yaitu penulisan
sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan Tongkonan Bastem dilakukan oleh
dua suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu suku Bugis (Luwu) dan Toraja. Mereka
melakukan perluasan wilayah ke daerah Bastem dan membuat peradaban tersendiri, dan
melakukan perkawinan antar suku, hingga akhirnya rumah Tongkonan Bastem berpadu antar dua
budaya, yaitu Bugis (Luwu) dan Toraja. Fungsi Tongkonan Bastem sendiri sebagai istana atau
tempat tinggal Parengge dan turunannya, sebagai lambang kebesaran dan tempat sumber
kekuasaan dan peraturan pemerintah adat. Pada tahun 1998 Tongkonan Bastem tidak lagi
digunakan sebagai pusat pemerintahan dan tempat upacara keagamaan. Rumah Tongkonan
Bastem sudah mengalami perkembangan, seperti atapnya yang sudah menggunakan atap Seng.
Abstract
This research and writing aims to determine the backgraound of the construction of Tongkonan
Bastem in Luwu, the function of Tongkonan for the Bastem community in Luwu, and the
development of Tongkonan Bastem in Luwu. This research uses historical research method which
consists of four stages, namely: heuristics (data collection or sources) sourse criticism consisting of
internal and external criticism, interpretation or interpretation of sources, and historiography, namely
writing history. The results of this study indicate that the construction of Tongkonan Bastem was
carried out by two large tribes in South Sulawesi, namely the Bugis (Luwu) and the Toraja tribes.
They expanded their territory to the Bastem area and created their own civilization, and carried out
inter-tribal marriages, until finaly the Tongkonan Bastem House was combined between two
cultures, namely the Bugis (Luwu) and Toraja tribes. The function of Tongkonan Bastem itself is as
a palace or residence for the Parengge and its derivatives, as a symbol of greatness and a source
of power and customary government regulation. In 1998 the Tongkonan Bastem was no longer
used as a center of government and a place for
114 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
religious ceremonies. The Tongkonan Bastem house has undergone development, such as the roof
that has used a tin roof.
Keywords: Tongkonan Bastem, Luwu district, South Sulawesi
A. PENDAHULUAN
Sejarah lokal penting untuk dipelajari untuk mengenal budaya yang dimiliki oleh suatu daerah.
Kajian Sejarah lokal yang intensif dan diversif, akan mampu memunculkan realitas lokal yang
lebih heterogen dan bermakna(Bahri, 2017). Istilah pengkajian sejarah lokal adalah penulisan
sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu (Bahri, Jumadi, Andi Dewi
Riang Tati, 2021).
Basse Sangtempe atau disingkat Bastem adalah sebuah wilayah adat dan juga merupakan
nama dari sebuah kecamaan yang terletak di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sebelum
menjadi kecamatan Bastem, mula-mula disebut sebagai Radoan Tinting, Sang Timbakan Pajo-
pajo.
Dalam tradisi lisan masyarakat Bastem, mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal
dari dua suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Toraya dan Bugis. Meski pngaruh suku
Toraya lebih mengakar ke Bastem, namun orang Bastem tetap saja merasa bahwa mereka
adalah juga bagian dari suku Bugis. Pada saat yang sama, suku Bugis yang ada dalam hal ini
diwakili oleh Kerajaan Luwu, juga merasa mempunyai ikatan batin yang sangat kuat dengan
Bastem, sehingga ketika harus diputuskan Bastem itu masuk wilayah Tana Toraja atau Luwu,
dengan sangat meyakinkan Kabupaten Luwu minta agar Bastem dimasukkan dalam wilayah
administrasi mereka. Masyarakat Bastem adalah masyarakat yang unik. Wilayah mereka
terletak di antara dua suku besar di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Luwu di sebelah Utara
dan Timur yang didominasi oleh suku Bugis dan di Sebelah Barat dan Selatan yag didominasi
oleh Suku Toraja. Jika ditilik dari adat istiadat dan bahasanya, masyarakat Bastem memiliki
banyak kesamaan dengan bahasa Toraja. Sebaliknya, jika dilihat dari rumah yang mereka
dirikan serta berbagai legenda yang berkembang dalam masyarakat Bastem, maka hampir
dapat dipastikan bahwa kebudayaan Bugis pun ikut mempengaruhi kehidupan masyarakat
Bastem. Dapat dikatakan bahwa orang atau masyarakat Bastem adalah wujud nyata dari
menyatunya dua kebudayaan besar di Sulawesi Selatan.(Reda, 2015)
Seperti rumah yang didiami oleh masyarakat Bastem. Dilihat dari sisi arsitektur
bangunannya, rumah orang Bastem lebih mirip dengan rumah orang Bugis. Itu ditandai dengan
atapnya yang mirip dengan rumah Aadat bugis. Namun bila dilihat dari lukisan-lukisan yang
tertera pada rumah tersebut tak ada bedanya dengan lukisan-lukisan yang ada di rumah-rumah
Toraja. Bahkan lukisan-lukisan tersebut dapat dikatakan sebagai lukisan khas Toraja yang
sangat erat dengan sistem kebudayaan orang Toraya. Misalnya saja lukisan Pa’bare’Allo
(menyerupai matahari) dan Pa’Manuk Londong (lukisan ayam jantan) yang melambangkan
kebesaran dan kemakmuran orang Toraya. Lukisan-lukisan seperti itu adalah lukisan yang
lazim ditemukan pada rumah maupun lumbung orang-orang Bastem.
Seperti yang kita ketahui bersama, tongkonan merupakan rumah adat masyarakat Toraja
yag digunakan sebagai tempat berkumpul atau pertemuan keluarga (Tumba’Arrang et al.,
2020). Tidak hanya di Toraja, di Kabupaten Luwu khususnya di Kecamatan Bastem, juga
terdapat rumah adat tongkonan yang tidak jauh beda dengan rumah tongkonan Toraja yg
disebut rumah adat “tongkonan” Bastem.
115 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
B. METODE PENELITIAN
Metode sejarah adalah upaya memasukkan konsep-konsep ilmu sosial kedalam metode
sejarah. Langkah yang penelitian sejarah memiliki urutan, menurut Grigg (2014): ‘(1) identifikasi; (2)
analisis; dan (3) sintesis. Metode sejarah menurut Gottschalk (1985) adalah proses menganalisa
peninggalan masa lalu, yang dapat direkonstruksi secara imajinatif berdasarkan data yang
diperoleh. Reiner (1997) mengemukakan bahwa sejarah harus disajikan secara kronologis (Bahri et
al., 2020). Guna untuk menelah secara utuh dalam suatu peristiwa sejarah memerlukan konsep-
konsep ilmu lain. Hal tersebut disebabkan karena setiap peristiwa mengandung fenomena yang
kompleks. Setiap masalah tidak dapat didekati dengan satu dimensi saja, tetapi memerlukan hal
yang kompleks dengan jalan menggunakan konsep-konsep ilmu sosial lain. Oleh karena itu penulis
menggunakan konsep-konsep ilmu lain, seperti antropologi dan sosiologi. Maka penulis
menggunakan motode sejarah yang mempunyai empat tahapan kerja yaitu: heuristic, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Adapun motode yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan
menggunakan metode pengumpulan sumber atau referensi yang berhubungan dengan makalah
yang dikaji seperti buku, jurnal, yang dimulai dengan mengumpulkan sumber yang terdapat
dibeberapa tempat seperti perpustakaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya.
1. Heuristik
Heuristik atau pengumpulan data atau sumber merupakan tahapan awal pada metode historis
dan diarahkan pada kegiatan pencarian serta pengumpulan sumber-sumber yang berkaitan dengan
masalah yang akan di teliti. Sebelum menentukan teknik pengumpulan sumber sejarah, yang
pertama-tama yang perlu dipahami adalah bentuk dari sumber sejarah yang akan dikumpulkan.
Penentuan sumber sejarah akan mempengaruhi tempat (dimana) atau siapa (sumber informasi
lisan) dan cara memperolehnya. Sumber sejarah dibedakan atas sumber tulisan (buku, dokumen,
dan lain-lain), sumber lisan (wawancara dengan bapak H. Abd. Hafid Pasiangan, Se., Mm, Sampe,
Laso Tampo Wali Ballang Mata, Rante Arring, Hamzah ) dan sumber benda, dalam hal ini
pengumpulan sumber terkait rumah adat “tongkonan” Bastem, di kecamatan Bastem Kabupaten
Luwu. Adapun langkah yang ditempuh oleh penulis pada tahap heuristik yaitu penelitian pustaka
dan penelitian lapangan.
a. Penelitian Pustaka
Pada tahap ini penulis melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber yang berkaitan
dengan “Rumah Adat ’Tongkonan’ Bastem”. Buku-buku pendukungnya terdapat pada
Perpustakaan Pendidikan Sejarah, Perpusatakaan Umum Universitas Negeri Makassar, Balai
Pelestarian Nilai Budaya.
116 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
b. Penelitian Lapangan
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data atau sumber secara langsung dilapangan atau
lokasi Kecamatan Bastem yang terkait dengan judul yang akan dikaji. Dalam hal ini maka
peneliti secara langsung melakukan penelitian dengan mengunjungi lokasi Tongkonan Rumah
Adat Bastem di Kecamatan Bastem. Observasi peneliti melalui cara pengambilan gambar (foto)
dari Tongkonan Rumah Adat Bastem. Peneliti melakukan kegiatan wawancara dengan
parengge tongkonan, pejabat pemerintah, dan masyarakat Bastem. Peneliti mengumpulkan
data dengan cara mencacat dan merekam hasil sumber wawancara secara langsung dari lokasi
penelitian.(Apriani Lafenia Saalind, 2016; Syukur, 2013)
2. Kritik Sumber Sejarah
Jika sumber-sumber sejarah telah berhasil dikumpulkan, langkah berikutnya yang harus
dilakukan oleh sejarawan adalah memilah dan memilihnya secara kritik. Kritik sejarah
dibedakan atas dua macam, yaitu:
a. Kritik Eksternal
Merupakan suatu cara melakukan pengujian terhadap aspek-aspek luar dari suatu
sumber sejarah. Kritik eksternal pada dasarnya merupakan suatu penelitian atas asal-usul
suatu sumber sejarah untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin ada dan untuk
mengetahui apakah sejarah yang dimaksud telah berubah dari aslinya. Kritik eksternal harus
menegakkan fakta dari kesaksian bahwa (a) kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang-
orang tertentu pada waktu tertentu, (b) kesaksian yang diberikan tetap bertahan tanpa ada
perubahan, dan (c) kesaksian yang diberikan tidak mengalami penambahan atau penghilang.
b. Kritik Internal
Setelah fakta kesaksian di tegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk
melakukan evaluasi terhadap isi fakta kesaksian yang dimaksudkan. Sejarawan harus
berhasil memutuskan apakah kesaksian yang ada dapat di andalkan atau tidak. Untuk
mencapai maksud tersebut, sejarawan harus melakukan dua penyelidikan, yaitu berkenaan
dengan (a) arti sebenarnya dari kesaksian yang ada harus dipelajari karena mustahil
sejarawan dapat mengevaluasi suatu kesaksian jika yang bersangkutan tidak memahami
kesaksian yang dimaksudkan; (b) kredibilitas saksi sejarah, bahwa sejarawan harus yakin
bahwa saksi memiliki kapasitas mental, kesempatan untuk mengamati, serta mendapatkan
suatu pemahaman yang benar mengenai peristiwa sejarah yang dimaksudkan. Dengan
kata lain, sejarawan harus yakin bahwa saksi tidak memberikan keterangan palsu.
3. Interpretasi
Sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan dan sudah melalui tahap kritik oleh
sejarawan, sumber tersebut masih belum bisa di patenkan sebelum ditafsirkan oleh sejarawan.
Berdasarkan keterangan-keterangan dan informasi sejarawan akan menyusun fakta-fakta
sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya. Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan
dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan
menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan dimana,
siapa, bagaimana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan kata
mengapa dan apa jadinya. Perlunya interpretasi yang objektif adalah agar tidak meninggalkan
sifat yang ilmiah dan memberi nilai tambah setiap aspek yang diteliti. Dalam hal ini
117 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
dibutuhkan pengetahuan yang luas dari sejarawan, baik pengetahuan dalam ilmu sejarah
maupun pengetahuan dalam disiplin ilmu lainnya, agar dapat memberikan interpretasi yang
tepat di dalam sumber sejarah. Hal lain bahwa tidak semua fakta sejarah tersebut penting
untuk dimasukkan sebagai sumber yang relevan, perlu analisis penulis sebagai subjek agar
bisa berlaku seobjektif mungkin.
4. Historiografi
Historiografi merupakan tahapan terakhir dari empat rangkaian tahap yang dilakukan oleh
sejarawan dalam menyajikan suatu peristiwa sejarah. Dalam tahap ini, setelah sumber yang
telah dikumpulkan sudah diseleksi dan dapat dimaknai menjadi fakta, maka selanjutnya akan
disajikan dalam bentuk tulisan utuh yang berbentuk narasi kronologis. Semua fakta yang
didapat ditulis berdasarkan urutan-rutan waktu yang kronologis. Dalam penulisan sejarah,
aspek kronologis adalah hal yang sangat penting. Sifat dari studi sejarah adalah memanjang.
Dengan demikian, urutan-urutan kejadian merupan kunci pokok dalam penulisan sebuah
sejarah. Karena penulisan merupakan tahap yang terakhir dari seluruh rangkaian dalam
penelitian sejarah.(Agus Moncong, 2014)
C. PENELITIAN TERDAHULU
Adapun sumber dan referensi yang ditemukan terkait dengan rumah adat “tongkonan”
Bastem adalah sebagai berikut:
Buku yang ditulis oleh Celestino Reda pada tahun 2015 yang berjudul Basse Sangtempe
dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Dalam penulisan buku ini secara umum menjelaskan
sejarah dan budaya masyarakat Bastem. Sementara dalam penulisan ini hanya terkhusus pada
rumah adat”tongkonan” Bastem.
Buku yang ditulis oleh L.T. Tangdilintin pada tahun 2007 yang berjudul Toraja Sebuah
Penggalian Sejarah dan Budaya. Dalam penulisan buku ini, L.T Tangdilintin membahas tentang
nama dan sejarah singkat Toraja, nenek moyang orang Toraja, dan tongkonan yang ada di
Toraja. Sementara dalam penulisan ini hanya berfokus pada Tongkonan yang ada di
Kecamatan Bastem Kabupaten Luwu.
D. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembangunan Tongkonan Bastem Di Luwu
Berdasarkan sejarah lisan dan mitos yang berkembang dalam masyarakatnya, orang-orang
Bastem seperti halnya orang Toraja meyakini bahwa nenek moyang mereka yang pertama adalah
yang disebut Pong Mula Tau. Pong Mula Tau lalu menikah dengan Marrin di Liku (Perempuan yang
keluar dari air) dan melahirkan 4 orang anak, yaitu Mula Tau, Baso Bulaan, Beka Allo, dan Ningo-
Ningo. Mula Tau kemudian kawin dengan perempuan yang belum diketahui namanya, melahirkan
Tangdilino, Ponda Padang, dan pasondik. Tangdilino bersaudara di kisahkan lahir di sebuah tempat
bernama Tiang didekat Bamba Puang, yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Endrekang. Karena
terjadi suatu kekacauan dan degradasi moral diwilayah Bambang Puang, Tangdilino dewasa
kemudian pergi meninggalkan Bamba Puang.
Mula-mula dia ke Tangsa, perbatasan antara Endrekang dan Tana Toraja, lalu ke Olang
( wilayah Tana Toraja), dan akhirnya mendirikan rumah atau Tongkonannya di Marinding yang
terkenal dengan nama Banua Puan. Marinding
118 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
sendiri saat ini merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana
Toraja, sekitar 12 km dari Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja, Makale. Dari tempat inilah bersama
dengan Pong Sako’ara, ia menciptakan ajaran Sanda Pitunna.
Menurut Tato Dena, Tokoh adat Toraja, Tangdilino Dewasa akhirnya menikah dengan Buen
Manik melahirkan 10 orang anak. Yaitu Pabane yang setelah dewasa pergi menetap di Kesu
(Toraja Utara), Pattaba pergi ke Su’du, di wilayah Bastem, Parange pergi ke Buntao dekat Sangalla
Toraja Utara. Lalu Palana Pergi ke Leatung dekat Sangalla, Bobong Langi pergi ke Mamasa,
Sulawesi Barat, Bue pergi ke Duri Kabupaten Endrekang, Pamemangan pergi ke Sillanan dekat
Mengkendek, Tangdililing pergi ke Rembon di wilayah Tana Toraja, dan yang bungsu Potte Malea
pergi ke Luwu.
Pattaba, anak kedua Tangdilino yang pergi ke Bastem, dianggap sebagai leluhur orang
Bastem yang berasal dari Tana Toraja dan bersamaan dengan itu ia meneyebarkan ajaran Sanda
Pitunna yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Bastem meski sebagian dari
mereka ada yang sudah menjadi Kristen atau Islam.
b.. Versi Puang Tamboro Langi
Selain keturunan Puang Tangdilino yang membentuk masyarakat Bastem, keturunan Puang
Tamboro Langi juga ikut membentuk masyarakat Bastem. Dalam silsilah dikisahkan Puang
Tamboro Langi menikah dengan Sanda Bilik dari Tongkonan Ullin di wilayah Sapan Deata (Toraja)
melahirkan 8 orang anak, yaitu 4 (empat) orang putra dan 4 (empat) orang putri. Keempat orang
putri mendiami wilayah bagian Barat (wilayah adat Kama’dikaan) dari Tanah Toraja, sementara
keempat putranya mendiami bagian tengah (wilayah adat Kapuangan) Tanah Toraja. Versi lain
menyebutkan bahwa dua putri pergi mengikuti ayah mereka dan tinggal di sekitar Gunung Sinaji
(wilayah Bastem), sementara dua putri lain pergi mengikuti ibu mereka kembali di air, sehingga
tersisa 4 (empat) orang putra yang nama-nama mereka masih diingat sampai sekarang, yaitu
Puang Mesok, Puang Tumembali Buntu, Puang Papai Langi, dan Puang Sanda Boro. Setelah
dewasa, Puang Mesok pergi ke Rano Makale mendirikan Kerajaan Matampu, Puang Tumembali
Buntu ke Napo (Rinding Allo) dan Nonongan, Puang Papai Langi ke Buntu Gassing Mengkendek,
dan Puang Sanda Boro ke Batu Borong di lereng Timur gunung Sinaji (Bastem) yang merupakan
gugusan gunung Latimojong.(Reda, 2015)
c. Asal-Usul Tongkonan Bastem
Menurut tradisi Lisan masyarakat Bastem, terbentuknya Tongkonan Bastem karena disebabkan
adanya pernikahan antara orang Bugis (Luwu) dan Toraja. Datu Lulung keturunan bangsawan dari
kerajaan Luwu datang ke Bastem dan bertemu dengan Puang Pakulla pemuda dari Toraja dan
mereka melakukan perkawinan. Dari perkawinan antara Datu Lulung dan Puang Pakulla ini
merupakan salah satu contoh, bagaimana orang Bastem itu merupakan hasil perkawinan antar dua
suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu suku Toraja dan Bugis. Para pengikut Datu Lulung
yang berasal dari suku Bugis (Luwu), kemudian menikah juga dengan orang-orang Toraja yang ada
di Bastem, sehingga beranak pinaklah mereka menjadi banyak, membentuk bermacam-macam
tongkonan yang kini tumbuh dan berkembang di Bastem.(Reda, 2015)
d. Tata Cara dan Aturan Pembangunan Tongkonan
Ada sejumlah ketentuan dan aturan adat yang harus ditaati dan dilaksanakan di dalam
pembangunan Tongkonan, aturan-aturan pembangunan dilakukan secara adat yaitu:
119 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
1) Acara Pertama
Acara pertama adalah acara atau ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang ingin
membangun sebuah tongkonan baru atau memugar tongkonan yang telah ada. Setiap acara
dilaksanakan selalu ada kurban-kurban persembahan berupa ayam atau babi. Acara-acara tersebut
yaitu:
a) Acara Mangrimpun
b) Acara Massu’duk
c) Acara Manglelleng
d) Acara Mangrampun Kayu
e) Acara Manglo’po
f) Acara Ma’pabendan
g) Acara Ma’ A’riri Posi
h) Acara Ma’ Palumbang Pata’
i) Acara Ma’kemmu Rinding
j) Acara Ma’Petuo
k) Acara Ma’ba’ba’ Leko’
l) Acara Ma’luntean
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
4) Sebagai tempat berkumpul masyarakat untuk mendengarkan perintah adat dari pemangku adat
di Tongkonan tersebut.
5) Sebagai pusat tempat melaksanakan setiap kegiatan adat atau upacara adat
6) Sebagai tempat menuturkan silsilah keluarga dari Tongkonan tersebut. Sebagai lambang
persatuan dan pusat pembinaan keutuhan keluarga dari Tongkonan tersebut.(Agus Moncong,
2014)
Tongkonan memiliki peran penting, dalam mengatur dan menata kehidupan masyarakat adat
agar hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat lainnya serta masyarakat adat
dengan alam sekitarnya. Masih nampak dalam kehidupan masyarakat adat Toraja dan Bastem
dimana masyarakat adat Toraja dan Bastem mengandalkan Tongkonan yang dikepalai oleh To’
Parenge’ dalam mengatur dan menata kehidupan bermasyarakat agar tercipta masyarakat yang
menghormati satu sama lain yang dilandaskan pada aturan adat yang ada sejak dahulu kala.
Fungsi Tongkonan dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan masyarakat adat yang ada di
dalam wilayahnya nampak ketika terjadi perselisihan dalam masyarakat adat (Patiung & Suleman,
Ari Alpriansah, Muhammad Syukur., 2020). Tongkonan yang dikepalai oleh To’ Parenge’ hadir
sebagai hakim pendamai dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat adat serta
memperbaiki hubungan keluarga yang renggang sebagai akibat dari perselisihan tersebut.(Rhony
Andrhes Linthin, 2020)
b., Peran Parengge Bagi Tongkonan
Parengge dan Tongkonan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Secara etimologis, Parengge
itu terdiri dua suku kata, yaitu Pa dan Rengge. Pa berarti beban dan Rengge berarti memikul.
Sehingga Parengge itu berarti pembawa beban. Karena pembawa beban itu adalah seorang
manusia, maka kata Parengge sering dipasangkan dengan To menjadi To-Parengge. To berarti
orang atau manusia, sehingga To Parengge berarti orang yang memikul beban. Beberapa tokoh
Toraja dan Bastem seperti Tato Dena dan Papa Sarni mengartikan kata “memikul” secara lebih
spesifik, yaitu memikul bukan bahu, tetapi punggung. Memikul dibahu dan dipunggung itu,
memiliki makna kiasan yang berbeda. Kalau memikul dibahu, ketika bebannya jatuh, belum
tentu orang yang memikul beban tersebut ikut jatuh. Sebaliknya, jika memikul menggunakan
punggung, maka ketika bebannya sudah sedimikian berat, pemikul beban itulah yang pertama-
tama akan jatuh baru diikuti oleh bebannya
To’ Parenge’ memiliki peran dalam mengatur kehidupan serta kebudayaan masyarakat
adat. Pengangkatan dan penggantian To’Parengge, ditetapkan oleh dewan adat dalam hal ini
keluarga adat dalam tongkonan serta perwakilan masyarakat yang memiliki ikatan erat dengan
Tongkonan. Pengangkatan pemangku adat ini ditetapkan berdasarkan aluk ma’ lolo tua’ yaitu
aturan dan agama yang menyangkut pemeliharaan kehidupan manusia. Adapun syarat yang
harus dipenuhi bagi seorang calon pemangku adat ialah :
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
pemerintahan dari tingkat pusat hingga ke pedesaan ialah pemerintah pusat. Pemerintahan
ditingkat desa diatur oleh aparatur desa (Kepala Lembang), namun disisi lain Tongkonan sebagai
Lembaga Adat memiliki kewenangan untuk menentukan kepala lembang yang akan menjabat
didasarkan pada strata atau status sosialnya. Dalam hal ini haruslah keturunan asli Tongkonan
yang memiliki kekuasaan adat (Tongkonan Layuk). Sehingga aparatur pedesaan (kepala lembang
dengan Tongkonan (To Parengge)) bersama mengatur kehidupan masyarakat didasarkan oleh
aturan pemerintah yang digabungkan dengan aturan-aturan adat.(Rhony Andrhes Linthin, 2020)
3. Perkembangan Tongkonan Basten
1. Perkembangan Sosial Budaya
Perkembangan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Bastem dari masa ke masa
terlihat dari cara mereka berinteraksi dengan sesama masyarakat asli Bastem maupun dengan
penduduk luar, dimana pada dasarnya orang Bastem memang berasal dari keturunan suku Toraja
dan Suku Bugis (Luwu) sehingga mereka memiliki kemampuan berinteraksi yang lebih baik dengan
masyarakat dari suku-suku lain yang datang ataupun menetap di Bastem. Oleh karena itu
masyarakat yang tinggal di Bastem saat ini sudah banyak berasal dari suku-suku lain juga. Ini
menyebabkan perubahan sikap maupun tata cara berinteraksi antar sesama masyarakat yang
tinggal di Bastem. Sedikit banyaknya kondisi sosial masyarakat asli Bastem akan terpengaruh
dengan masuknya masyarakat pendatang dan begitu pula sebaliknya
Masyarakat Bastem yang awalnya menganut kepercayaan “Aluk Todolo” yang merupakan
kepercayaan animisme, kini sebagian mulai meninggalkan adat istiadat tersebut. Karena sebagian
besar masyarakat Bastem sudah menganut agama Islam, sehingga tentunya tata cara berpakaian
mereka secara perlahan mulai berubah seperti penggunaan jilbab meskipun itu dipadukan dengan
baju adat yang masih dipakai pada saat upacara adat ataupun pada saat menghadiri upacara adat
dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya di Bastem. Penggunaan bahasa di Bastem yang
dulunya memakai bahasa Toraja “Tae” kini juga sudah mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Walupun dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang menggunakan bahasa Toraja namun
tidak sedikit pula bahkan kadang dalam percakapan menggunakan percampuran bahasa Toraja
dan bahasa Indonesia. Ini tidak lepas dari keberadaan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa
pemersatu bangsa dimana masyarakat Bastem juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia.
Perkembangan ini juga terjadi pada rumah adat Tongkonan di Bastem. Baik dari segi fungsi
dan peranannya maupun fisik dari rumah Tongkonan itu sendiri. Ini terjadi dikarenakan
kepercayaan dan adat istiadat pada masyarakat Bastem beradaptasi dengan perkembangan sosial
secara umum dari zaman ke zaman. Pada awalnya rumah Tongkonan sebagai pusat pemerintahan
adat dimana setiap permasalahan masyarakat dibahas, kini hanya menjadi simbol Kebudayaan dan
hanya menjadi tempat tinggal bagi keturunan asli Bastem yang merupakan keturunan bangsawan
ataupun pemangku adat terdahulu.
2. Perkembangan Tekhnologi
Manusia menggunakan teknologi karena memiliki akal. Dengan akalnya, manusia ingin
keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebih aman dan sebagainya. Perkembangan teknologi
tejadi karena seseorang menggunakan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang di
hadapinya. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan sesui dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Setiap inovasi
diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi
122 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
Attoriolog Jurnal Pemikiran Kesejarahan dan Pendidikan Sejarah Vol. 19 No. 1 (2021): 114-124
ISSN: 1412-5870
kehidupan manusia. Teknologi juga memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru
dalam melakukan aktivitas manusia. Manusia juga sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa
oleh inovasi-inovasi teknologi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini.(Muhammad Ngafif,
n.d.)
Seperti halnya pada Tongkonan Bastem, seiring perkembangan zaman kemajuan teknologi
juga banyak mempengaruhi perkembangan Tongkonan Bastem. Perkembangan Tongkonan dilihat
dari atapnya yang sudah menggunakan seng tidak lagi menggunakan alang-alang sebagai atap
dari Tongkonan.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Rumah Adat Tongkonan Bastem Kabupaten Luwu
Provinsi Sulawesi Selatan 1998-2019 dapat disimpulkan: Latar belakang pembangunan
Tongkonan Bastem di awali dengan munculnya penguasa-penguasa yang datang dari suku
Toraja yang melakukan perluasan wilayah kekuasaan. Sehubungan dengan itu, datang pula
keturunan bangsawan dari kerajaan Luwu dan juga melakukan perluasan wilayah di Bastem.
Ketika itu mereka berjumpa dalam satu kawasan yang baru didatangi, dan melakukan
perkawinan antara suku Toraja dan suku bugis (Luwu). Maka mereka buatlah rumah yang
atapnya seperti atap rumah orang bugis (Luwu) dan bentuk rumah seperti tongkonan Toraja.
Fungsi dari Tongkonan Bastem bukan hanya sebagai tempat tinggal tapi juga sebagai
pusat pemerintahan adat yang dikepalai oleh To’ Parengge. Tongkonan merupakan lembaga
kemasyarakatan atas dasar prinsip musyawarah. Jadi, Tongkonan berfungsi juga sebagai pusat
adat, tempat persekutuan Tongkonan membicarakan soal-soal adat, mengatur tatanan
masyarakat. Adapun Tongkonan pada saat ini, masih digunakan oleh masyarakat adat untuk
menyelesaikan sebuah masalah. Tetapi disisi lain Tongkonan tidak lagi mengurusi masalah
pemerintahan, hal ini disebabkan Bastem berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Sehingga yang mengambil alih pemerintahan dari tingkat pusat hingga ke pedesaan
ialah pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Moncong. (2014). Tongkonan Bagi Masyarakat Sillanan di Tana Toraja Tahun 1990-2013.
Universitas Negeri Makassar.
Apriani Lafenia Saalind. (2016). Tongkonan Bagi Masyarakat Adat di Kelurahan Lemo Kecamatan
Makale Utara Kabupaten Tana Toraja Kabupaten TanaToraja (1995-2015): Studi Pada Tongkonan
Patontongan Palite. Universitas Negeri Makassar. Bahri, Jumadi, A. D. R. T. (2021). Integrasi Nilai
Karakter pada Pembelajaran Sejarah Lokal (Muhammad Syukur (ed.)). Media Sains Indonesia.
Bahri, B. (2017). Integrasi Nilai Karakter pada Mata Kuliah Sejarah Lokal. Prosiding Seminar
Nasional Himpunan Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial, 2, 155– 164.
Bahri, B., Bustan, B., & Tati, A. D. R. (2020). EMMY SAELAN: PERAWAT YANG BERJUANG. Al-
Qalam, 25(3), 575–582.
Kurniawan, R., Bahri, B., & Asmunandar, A. (2021). Persebaran To Lotang Setelah Aksi DI/TII di
Kabupaten Sidenreng Rappang 1966-2018. Pattingalloang, 8(1), 62–74.
Muhammad Ngafif. (n.d.). Kemajuan Teknologi Dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial
Budaya: SMP Negeri 2 Sukoharjo Wonosobo. 2014, 2.
Patiung, M., & Suleman, Ari Alpriansah, Muhammad Syukur., J. (2020). Ma’pasilaga Tedong:
Analisis Tradisi Adat Pemakaman Rambu Solo Di Toraja Sulawesi Selatan. Solidarity: Journal of
Education, Society and Culture, 9(2), 1072–1077.
Reda, C. (2015). Basse Sangtempe dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Kerukunan Keluarga
Basse Sangtempe.
Redaksi Sar. (2020). Sekelumit Tinjauan Tentang Perpektif Kekuasaan Adat Banua A‟pak,
Terapkan Sistem Pemilihan Demokrasi Aristokrat.
Rhony Andrhes Linthin. (2020). Peran Lembaga Adat Tongkonan Dalam Pelaksanaan Gadai Tanah
Pertanian Di Lembang Palipu Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Universitas
Hasanuddin.
Syukur, MUHAMMAD. (2013). Sistem Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo: (Studi Kasus pada
Penenun Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan). IPB: Disertasi.
Tumba’Arrang, G., Agustang, A., & Syukur, M. (2020). Pergeseran Pemaknaan Rumah Ada
Tongkonan Dan Alang Pada Masyarakat Toraja. Phinisi Integration Review, 3(2), 150–164.
124 | ©Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar
TEKNOLOGI DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL TORAJA (TONGKONAN)
Technology And Construction Of Toraja Traditional House (Tongkonan)
1
St. Hadidjah Sultan, 2 Karina Mayasari
1,2
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Penjernihan Raya No. 22 Komp. PDAM Makassar
1
E-mail : balaimakassar@yahoo.com
2
E-mail : karina.maya_sari@yahoo.com
Abstrak
Sebuah tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai tempat hunian semata, tetapi juga mengandung arti
kosmologis dan filosofis melalui unsur bentukan tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem
teknologi dan konstruksi sebuah Tongkonan serta fungsi dan peranan Tongkonan dalam masyarakat Tana
Toraja. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, secara umum menerapkan metode yang secara garis
besarnya menggunakan metoda kualitatif. Dari hasil penelitian maka diketahui bahwa rumah tradisional
Toraja (Tongkonan) memiliki fungsi sebagai simbol persatuan keluarga dan juga sebagai tempat tinggal.
Secara filosofis tongkonan selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo.
Tektonika yang sangat menonjol pada rumah Toraja adalah kemampuan nenek moyang dalam memikirkan
potensi lokal (local wisdom) terhadap sistem struktur bangunan-bangunan tempat tinggal mereka. Peran
dan pesan simbol-simbol filosofi hidup yang diterjemahkan melalui bentukan pada bangunan tradisional.
Perpaduan teknologi dan konstruksi atap berbentuk perahu dengan susunan atap bambu menjadi ciri khas
rumah tradisional Toraja (Tongkonan). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kadang-kadang naluri dari
suatu tradisi menghasilkan sesuatu yang logis menurut perhitungan modern dan dapat menampilkan
keindahan tersendiri.
Abstract
A Tongkonan not only serves as a shelter, but also connotes cosmological and philosophical elements
through certain formations. This study aims to determine the technology and construction system, the
function, and the role of Tongkonan in Tana Toraja society. In conducting this study, researchers use
qualitative methods. From the research, it is known that the Toraja traditional house (Tongkonan) functions
as a symbol of family unity and as a place to live. Philosophically, Tongkonanis always contrary to the life
philosophy taken from Aluk Todolo teaching. The most prominent tectonic in Toraja house is the ancestors
ability to think about the local wisdom of the building structural system. Role and message of symbols of life
philosophy are translated through the form of the building. The combination of technology and the boat-
shaped bamboo roof construction is the characteristic of Tongkonan. This fact shows that sometimes instinct
of a tradition produces something logic based on modern calculations and displays its own beauty.
PENDAHULUAN
Sebuah Tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai tempat hunian semata, tetapi juga mengandung arti
kosmologis dan filosofis melalui unsur bentukan tertentu. Lebih jauh lagi, Tongkonan dianggap sebagai
simbol dari jagad raya yang ditampilkan dalam zona vertikal maupun horisontal. Rumah Tongkonan
merupakan tatanan simbol keberadaan keluarga penghuni dan sebagai tempat (pusat) berkumpulnya
rumpun keluarga. Selain berfungsi sebagai rumah adat dan simbol status sosial, Tongkonan juga berfungsi
sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang religius (Sarungallo dalam Said, A. A, 2004: XV)
Tongkonan memiliki bentuk yang secara kasat mata serupa, namun masing-masing wilayah memiliki ciri khas
dari rumah tradisional Tongkonan. Nuansa perbedaan tersebut memberi kekayaan rupa dan bentuk
Tongkonan; di Toraja bagian Selatan atap Tongkonan lebih landai dibanding dengan Tongkonan yang
hiperbolik yang berada di bagian Utara, dan lainlain perbedaan yang perlu identifikasi arsitektural.
Dari segi konstruksi bentuk melengkung hiperbolik lebih menguntungkan karena konstruksi atap pada
bagian punggung semuanya menerima gaya tarik yang sesuai dengan kekuatan bahan bangunan yaitu dari
kayu dan bambu. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kadang-kadang naluri dari suatu tradisi
menghasilkan sesuatu yang logis menurut perhitungan modern dan dapat menampilkan keindahan
tersendiri (Yulianto Sumalyo, 2001).
METODE
Mengingat peran tongkonan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Tana Toraja, maka
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sistem teknologi dan konstruksi sebuah tongkonan serta
fungsi dan peranan tongkonan dalam masyarakat Tana Toraja. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini,
secara umum menerapkan metode yang secara garis besarnya menggunakan metoda kualitatif. Metoda
kualitatif bersifat memaparkan atau deskriptif analisis yaitu menguraikan dan mengkaji kearifan lokal
teknologi dan konstruksi tongkonan. Penelitian secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian, yakni :
penelitian kepustakaan (field desk) dan penelitian lapangan (field study). Penelitian kepustakaan merupakan
tahap awal dari kegiatan penelitian, berupa pengumpulan data pustaka sebagai latar belakang (theoritical
background), terutama tentang metodologi penelitian yang berkaitan dengan sistem teknologi dan
konstruksi sebuah tongkonan serta fungsi dan peranan tongkonan dalam masyarakat Tana Toraja. Dalam
melakukan penelitian lapangan, kegiatan yang dilakukan antara lain :
a. Observasi pendahuluan terhadap obyek penelitian terpilih
b. Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara
c. Pengamatan dan sketsa, bentuk dan tata ruang tongkonan
Fungsi Tongkonan Tongkonan memiliki makna yang sangat beragam, sehingga persepsi tentang definisi
Tongkonan perlu dikaji lebih dalam berdasarkan fungsi, simbol, filosofi, sejarah, (asal muasal), dan lain-lain.
Menurut kajian analisis lapangan, maka Tongkonan berfungsi :
a. Tongkonan sebagai simbol persatuan keluarga Telah tertanam dalam sanubari masyarakat Toraja
bahwa sanak saudara memiliki kekerabatan yang sangat kental dengan Tongkonan sebagai simbol persatuan
keluarga. Kata Tongkonan yang berarti “duduk” menjadikan makna Tongkonan memiliki nilai filosofi yang
tinggi. Terkandung makna sebagai pusat pemerintahan juga sebagai sistem kemasyarakatan. Dalam
Tongkonan dianut kepercayaan bahwa untuk menjalankan peraturan kepemerintahan maupun sistem
hukum yang berlangsung bagi masyarakatnya diatur dalam Tongkonan, sehingga seluruh keluarga akan taat
dan patuh kepada aturan-aturan yang telah dibuat dalam Tongkonan.
b. Tongkonan sebagai Arsitektur/tempat tinggal Tongkonan merupakan rumah panggung berlantai 2 (dua)
dengan konstruksi rangka kayu yang unik. Lantai atas Tongkonan untuk tempat tinggal sedang di bawah
tempat ternak peliharaan, terutama kerbau dan babi. Bangunan terbagi atas tiga bagian, yaitu : Rattiang
Banua (atap rumah), Kale Banua (badan rumah), dan Sulluk Banua (kaki/kolong rumah). Filosofis Tongkonan
Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan
landasan dari perkembangan kebudayaan Toraja. Dalam pembangunannya ada hal-hal yang mengikat, yaitu :
1. Aspek arsitektur dan konstruksi
2. Aspek peranan dan fungsi rumah adat Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus
menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu
kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu :
b) Tektonika Non-Konstruktif; keindahan estetika dari ragam hias. Tektonika Non-Konstruktif pada atap
Tongkonan berperan terhadap kekuatan struktur, konstruksi dan estetika bangunan. Atap bambu
menjadi masif dan rigid. Beban atap lalu mengalir ke kuda-kuda dan langsung ke Lentong Garopang.
Fungsi lain atap untuk menjaga kenyamanan termal ruang dalam rumah
KESIMPULAN
Rumah tradisional Toraja (Tongkonan) memiliki fungsi sebagai simbol persatuan keluarga dan juga sebagai
tempat tinggal. Secara filosofis Tongkonan selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran
Aluk Todolo, dimana bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan
masyarakat Toraja. Perpaduan teknologi dan konstruksi atap berbentuk perahu dengan susunan atap bambu
menjadi ciri khas rumah tradisional Toraja (Tongkonan).
Penonjolan atap di bagian depan dan belakang (Longa) memperlihatkan konstruksi kuda-kuda yang
agak rumit dibandingkan dengan atap bangunan rumah tradisional lainnya. Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa kadang-kadang naluri dari suatu tradisi menghasilkan sesuatu yang logis menurut perhitungan
modern dan dapat menampilkan keindahan tersendiri. Dari segi konstruksi, jumlah dan besaran kolom pada
Tongkonan dapat disebut ‘berkelebihan’, artinya kolom kayunya terlalu banyak dan terlalu kuat untuk
menyangga bagian di atasnya. Bagian-bagian dari konstruksi hingga detail mempunyai sebutan baku, juga
sebagai ungkapan adanya personifikasi di mana rumah seperti manusia juga mempunyai bagian-bagian
dengan sebutan dan fungsi masing-masing. Keunikan lain dari sistem struktur dan konstruksi rumah
tradisional Toraja adalah membagi sistem struktur vertikal (atap, badan dan kaki bangunan) secara terpisah
yang diikat oleh mekanisme balok secara horizontal.
DAFTAR PUSTAKA
Duli, Akin dan Hasanuddin, 2003, TORAJA, Dulu dan Kini, Pustaka Refleksi.
Egenter, Nold, 2002, Vernacular Architecture – Where do The Symbolic Come From?, http://research.
it.uts.edu.av/creative/design/papers/
Kis-Jovak, Imre, 1988, Banua Toraja, Royal Tropic Institute The Netherlands.
Moeleong, Lexy J., 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya Bandung.
Oliver, Paul, 1987, Dwellings, The House A Cross The World, Austin University of Texas Press.
Parinding, Samban C. & Judi Achyadi, 1988, Toraja, Indonesia’s Mountain Eden, Times Edition.
Rapoport, Amos, 1969, House, Form and Culture, Prentice Hall Inc, New York. _____________ 1977, Human
Aspect of Urban Form, Pergamon press.
Said, A. Azis, 2004, TORAJA, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional, Penerbit Ombak, Jogjakarta.
Sudrajat, Iwan, 2003, Diktat Perkuliahan AR 6122 Metodologi Penelitian Arsitektur, Institut Teknologi
Bandung.
Sumalyo, Yulianto, 2001, Kosmologi Dalam Arsitektur Toraja. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 29 No. 1, Juli
2001.
Tangdilintin, T.L., 1976, Tongkonan (Rumah Adat Toraja) dengan Seni dan Konstruksinya, Yayasan Lepong
Bulan Toraja. _____________ 1978, Rumah Adat Toraja (Tongkonan), Proyek Rehabilitasi dan Perluasan
Museum Sulawesi Selatan.
Tulak, Daniel, 1999, Kada Disedan Sarong Bisara Ditoke’ Tambane Baka (Amanah dan Pesan Leluhur Toraja),
Percetakan Sulo Rantepao.
Waterson, Roxana, 1990, The Living House, An Anthropology of Architecture in South East Asia, Singapore
Oxford University Press, Oxford New York.
Frampton, Kenneth, 1995, “Studies in Tectonic Culture”, The MIT Press, Cambridge, England.
Wikantari, Ria, Materi Diskusi Teknis: Teknologi dan Konstruksi Tongkonan, BPTPT Makassar, November
2009
GESTALT Vol.1, No.1, Juni 2019:113-124
ABSTRAK
Rumah adat Toraja merupakan rumah hunian yang memiliki nilai budaya dalam desain arsitekturnya.
Rumah adat Toraja dalam budaya Toraja dikenal dengan istilah Tongkonan yang merupakan suatu karya
arsitektur monumental masyarakat Toraja dan memiliki nilai adat. Secara visual, konstruksi desain
arsitektur rumah adat Toraja (Tongkonan) terdiri dari bagian kaki Tongkonan yang terbentuk oleh tiang-
tiang kayu, atap, badan Tongkonan yang berisi ruang-ruang yang berjejer, dan atap Tongkonan yang
terbuat dari bambu yang dipilah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih. Setiap komponen-
komponennya dianggap memiliki unsur-unsur visual dan ritual yang bermakna simbolis, baik pada wujud
Tongkonan itu sendiri secara utuh maupun pada unsur-unsur visual perlengkapannya. Secara fungsi
rumah adat Toraja juga dibangun untuk keperluan adat yang bersifat sakral, namun karena adanya
pengaruh budaya luar sehingga lebih ditujukan untuk kebutuhan praktis masa kini yaitu sebagai simbol
status sosial masyarakat Toraja dan sebagai identitas budaya Toraja. Hal ini juga berdampak pada
perubahan visual pada desain arsitektur rumah adat toraja secara tradisional mengikuti arsitektur yang
lebih modern yang menampilkan perbedaan dalam proporsi dan unsur visual atapnya.
ABSTRACT
Toraja traditional house is a residential house that has cultural values in its architectural design. Toraja
traditional houses in Toraja culture are known as Tongkonan, which is a monumental architectural
workart of the Toraja people and has traditional values. Visually, the architectural design of the Toraja
traditional house (Tongkonan) consists of Tongkonan legs formed by wooden poles, roofs, Tongkonan
bodies containing lined spaces, and Tongkonan roofs made of bamboo which are sorted in two and
arranged overlapping each other. Each component is considered to have visual and ritual elements that
are symbolically meaningful, both in the form of Tongkonan itself as a whole and in the visual elements
of the equipment. The function of the Toraja traditional house was also built for customary purposes
which were sacred, but because of the influence of outside culture so that it was intended more for
today's practical needs as a symbol of the social status of the Toraja community and as a Toraja cultural
identity. It also has an impact on visual changes in architectural design of traditional Toraja houses
traditionally following a more modern architecture that displays differences in the proportions and visual
elements of the roof.
PENDAHULUAN
Proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri merupakan istilah akulturasi. Dalam sejarah
manusia gerak migrasi telah ada, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi. Gerak migrasi
menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda
dan mengakibatkan individu-individu dalam kelompok-kelompok itu dihadapkan dengan unsur-unsur
kebudayaan asing (Koentjaraningrat, 1986:248). Dalam hal ini, terjadi difusi unsur-unsur kebudayaan.
Koentjaraningrat menjelaskan mengenai teori difusi unsur kebudayaan, bahwa teori itu menggambarkan
adanya gerak-gerak migrasi dari bangsabangsa yang membawa unsur-unsur tadi untuk mempengaruhi,
kebudayaan-kebudayaan asli bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui
ketika berimigrasi, sehingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebudayaan itu
(Koentjaraningrat, 1990:89).
Lebih lanjut, Linton mengemukakan konsep mengenai perubahan kebudayaan, yaitu perbedaan
antara bagian inti dari suatu kebudayaan (covert culture), dan bagian perwujudan lahirnya kebudayaan
(overt culture). Bagian inti kebudayaan (covert culture) berupa sistem nilai-nilai budaya, keyakinan
keagamaan yang dianggap keramat, adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi
individu warga masyarakat, dan 4) adat yang mempunyai fungsi terjaring luas dalam masyarakat.
Selanjutnya, bagian wujud dari suatu kebudayaan (overt culture) adalah kebudayaan fisik seperti alat-
alat dan bendabenda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna
dan memberi kenyamanan. Adapun bagian dari suatu kebudayaan yang lambat berubahnya dan sulit
diganti dengan unsur-unsur asing, adalah bagian covert culture (Linton dalam Koentjaraningrat,
1990:97). Menurut Steward, proses perubahan kebudayaan terkait juga dengan asas-asas kehidupan
kekerabatan dan beberapa upacara keagamaan sehingga mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan
covert (inti kebudayaan) secara berbeda-beda.
Sehubungan dengan itu, perubahan kebudayaan Toraja sekarang merupakan hasil interaksi dan
perbauran berbagai kebudayaan daerah dan etnis, ditambah pengaruhpengaruh dari luar sejak dahulu
hingga kini. Terbukti dengan adanya perubahan visual pada desain arsitektur rumah adat toraja secara
tradisional mengikuti arsitektur yang lebih modern. Dalam budaya Toraja, khususnya mengenai
arsitektur rumah tradisional dikenal dengan istilah Tongkonan yang merupakan suatu karya arsitektur
yang monumental masyarakat Toraja. Saronggallo mengatakan bahwa masyarakat Toraja masih tetap
mempertahankan keberadaan Tongkonan beserta komponen-komponennya karena masih terdapat
ikatan adat-istiadat dengan unsur-unsur visual dan ritual yang bermakna simbolis, baik pada wujud
Tongkonan itu sendiri secara utuh maupun pada unsur-unsur visual perlengkapannya. Selain itu,
masyarakat Toraja terbuka untuk menerima dan menyerap unsur-unsur budaya dari luar sehingga
kepercayaan terhadap Aluk Todolo mampu terfilter secara dogmatis (Said, 2004:xxii).
GESTALT Vol.1, No.1, Juni 2019:113-124
METODE PENELITIAN
Artikel disusun berdasarkan penelitian yang menggunakan metode studi pustaka. Studi pustaka
dilakukan dengan mengumpulkan sumber informasi dan data secara cetak maupun elektronik berupa
dokumen sejarah, buku, dan majalah. Data dan informasi yang diperoleh dikembangkan berdasarkan
pada pengamatan, hipotesis, dan pengembangan ide dari materi yang ada. Selanjutnya dianalisis serta
diolah secara deskriptif.
PEMBAHASAN
Budaya tradisional Toraja, terdapat wujud fisik yang merupakan khasanah daerah Toraja, seperti halnya
kehidupan ritualnya sewaktu melakukan upacara adat maupun serta unsur-unsur visual seperti
arsitektur bangunan rumah adat Toraja (Tongkonan) dan artefak-artefak seninya berupa ukiran.
Kesemuanya selalu berpatokan pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan Toraja yaitu Aluk
Todolo (Said, 2004:3).
Rumah merupakan tempat hunian untuk berlindung terhadap iklim yang tidak menguntungkan,
binatang buas, tempat beristirahat, bekerja, membina individu/ keluarga, simbol, dan status sosial.
Adapun defenisi, rumah adat tradisional merupakan bangunan yang memiliki struktur, proses
pembangunan, fungsi, dan ragam hias dengan ciri khas yang unik dan diwariskan secara turun-temurun
dari satu generasi ke generasi selanjutnya
(Tangdilintin, 2009:165) kata tradisi mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang
sama oleh beberapa generasi tanpa mengalami perubahan, menjadi adat dan membudaya. Bagi
masyarakat tradisional, rumah dibangun/ didirikan, dihuni dan dipergunakan oleh manusia, bukan
sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis,
untuk tidur, bekerja, dan membina keluargabagi mereka rumah merupakan ungkapan alam khayal
pikiran dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, alam pikirannya selalu diliputi oleh mitos dan
bayangan terhadap sesuatu dewa-dewa) yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk mengatur alam
ini (Said, 2004:49). Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan sebuah alam kecil di
dalam alam semesta sehingga dianggap memulai hidup baru.
Bagi masyarakat Toraja rumah bukan sekedar hunian belaka tetapi memiliki berbagai fungsi dan makna.
Rumah biasa di Toraja secara umum dinamakan banua atau barungbarung. Pemakaian kata banua
ataupun wanua dan benua terdapat juga di beberapa daerah lain, namun memiliki arti yang berbeda.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam kutipan berikut :
Banua (wanua, benua) has an equally wide range of referents in modern Austronesian language form
house or village to continent and cosmos sa’dantoraja banua for example means (Banua/wanua/benua)
memiliki arti yang luas dalam bahasa Austronesia modern, mulai’rumah’atau’kampung
hingga’benua’dan’dunia.’ Masyarakat sa’dan toraja,misalnya menyebutnya banua yang berarti rumah)
(Tangdilintin, 2009: 166).
Menurut falsafah hidup orang Toraja, rumah memiliki makna yang luas karena budaya, sikap, dan
perilaku orang Toraja dibangun dalam sebuah bangunan tersebut dan bentuknya terkait pula dengan
latar belakang historis nenek moyang mereka. Masyarakat Toraja mengenal dua golongan rumah yaitu:
1. Barungbarung (rumah biasa) Barung-barung adalah rumah tinggal biasa di Toraja yang tidak memiliki
fungsi dan tidak terkait dengan adat. Barung-barung merupakan rumah panggung biasa dan ataonya
tidak menjulang,serta bentuknya lazim meniru bentuk rumah suku bugis.
2. Tongkonan (rumah adat) Tongkonan adalah rumah tradisisonal Toraja yang memiliki fungsi adat,
sosial, dan budaya Toraja. Tongkonan merupakan rumah pusaka yang diwariskan secara
turunmenurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Fungsi Tongkonan sebagai pusat tempat
penyelenggaraan upacara-upacara adat Toraja yaitu rambu solo dan Rambu tuka.
Tongkonan berasal dari kata “ tongkon “. yang artinya tempat duduk, atau rumah pusaka yang diwariskan
secara turun-temurun. Tongkonan merupakan tempat berkumpul atau pertemuan keluarga dan masyarakat
di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas, Tongkonan adalah tempat memusyawarahkan sesuatu
atau tempat menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi di masyarakat. Tongkonan juga merupakan
istana bagi Penguasa Adat dan pusat pertalian keluarga. Menurut pandangan kosmologi arah Tongkonan di
Toraja selalu menghadap ke utara, ke arah ulunna lino (kepala dunia). Tata hadap dan penempatan
Tongkonan di dalam lingkungannya berdasarkan Puang Matua, Deata-deata dan Tomembali Puang,
bertujuan untuk menjadikan Tongkonan sebagai tempat yang sakral dalam menjalankan konsep
kepercayaan Aluk Todolo.
Tongkonan merupakan rumah panggung persegi empat panjang yang dibuat agar penghuni tidak mudah
diganggu binatang buas maupun musuh. Berdasarkan struktur vertikalnya, bangunan rumah adat Toraja
terbagi atas tiga bagian utama yaitu : bagian kaki (kolong) Tongkonan yang disebut sulluk banua merupakan
kolong bangunan rumah yang terbentuk oleh hubungan antara tiang-tiang dari kayu dan berbentuk empat
persegipanjang berfungsi untuk melindungi tiang-tiang kayu dari air tanah dan mencegah turunnya
bangunan karena lunaknya tanah; bagian badan Tongkonan disebut kale banua, terdiri atas ruang-ruang
yang berjejer dari utara ke selatan berfungsi sebagai ruang istirahat dan tempat tidur bagi tamu keluarga,
sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pengucapan syukur, dan sebagai dapur, tempat makan, dan
musyawarah keluarga; dan bagian atas (atap) Tongkonan merupakan bagian yang paling tua terbuat dari dari
bambu yang dipilah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih. Sebagian besar masyarakat Toraja
menganggap bentuk atap Tongkonan adalah abstraksi dari bentuk perahu yang dibawa oleh leluhur mereka
ketika menyusuri sungai sa’dan . hal ini terbukti dengan adanya bentuk bangunan pertama dalam sejarah
Toraja berupa Tongkonan layuk (tongkonan berarti rumah, layuk berarti mulia) artinya rumah pusaka yang
luhur. Adapula beberapa tokoh masyarakat setempat, menginterpretasikan garis dan bentuk atap sebagai
gambar bentuk tanduk kerbau. Seperti yang terlihat pada atap Tongkonan memiliki kemiripan dengan garis
dari tanduk kerbau, selain itu kerbau adalah lambang yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Toraja
terhadap tedong goronto eanan artinya kerbau sebagai simbol pokok harta benda.
Rumah Tradisional Toraja Tongkonan layuk merupakan rumah adat tradisional Toraja yang tertua.
Tongkonan Layuk (tongkonan berarti rumah, layuk berarti mulia) artinya rumah pusaka yang luhur. Awal
keberadaan Tongkonan, menurut kisah tentang Toraja dibawa oleh penguasa-penguasa awal (tomanurung
yang berlayar melalui sungai sa”dan namun kegiatan berlayarnya terhambat karena tidak mampu lagi
melewati sungai yang berbatu-batu dan air yang deras sehingga para pendatang awal tersebut membongkar
perahu mereka dan mengangkutnya ke pegunungan untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan hunian
dengan bentuk perahu.
Perahu tersebut merupakan bahan bangunan yang digunakan oleh penguasa awal untuk membangun
rumah adat pertama di dataran tinggi Toraja berupa Tongkonan Layuk yang merupakan Tongkonan tertua di
Toraja. Tongkonan Layuk adalah tongkonan yang dibangun oleh para penguasa adat sebagai tempat
menciptakan aturan (aluk), sebagai tempat sumber kekuasaan, sumber perintah yang menyangkut
kehidupan masyarakat Toraja pada zaman dahulu kala. Oleh karena itu, tongkonan tersebut merupakan
tongkonan yang tetap dihormati dan diagungkan oleh orang Toraja yang telah membentuk sejarah dan
kebudayaan Toraja.
Perubahan Visual Desain Arsitektur Rumah Adat Toraja 120 Menurut beberapa ahli sejarah, bangunan
rumah Toraja telah mengalami empat tahap perkembangan yaitu :
1. Tahap pertama, disebut banua pandoko dena (banua berarti rumah, pandoko berarti bentuk, dena berarti
burung pipit). Banua pandoko dena adalah rumah pertama yang dikenal oleh orang Toraja dengan bentuk
agak membundar, dinding dan atapnya terbuat dari daun-daunan dan rumput-rumputan mirip bentuk
sarang burung pipit.
2. Perkembangan selanjutnya, disebut banua lentong A’Pa (lentong berarti tiang, A’Pa berarti empat).
Bentuk bangunan rumah yang perkembangannya telah memiliki empat tiang pada keempat sudutnya,
meskipun tiangnya belum begitu besar karena rumah pada masa itu masih relait kecil serta memiliki atap
dan dinding yang terbuat dari rumput-rumputan dan daun-daunan, sama halnya seperti banua pandoko
dena
3. Tahap selanjutnya yaitu Banua tamben (tamben berarti berselang-seling). Banua tamben adalah
bangunan rumah yang dibentuk dengan menyusun kayu-kayu secara berselang-seling pada setiap sisinya, kiri
dan kanan serta depan dan belakang, dalam bentuk persegi empat panjang, yang menjadi konstruksi dasar
dan sekaligus berfungsi sebagai dinding bangunan rumah.
3. Tahap terakhir disebut Banua sanda A’riri merupakan rumah yang dilengkapi dengan tiang.
Bangunan rumah tersebut merupakan kelanjutan dari bangunan banua tamben, namun dalam
perkembangan teknik bangunannya banua tamben mulai mengalami perubahan akibat hubungan
sosial orang Toraja dengan orang-orang yang berada di luar daerah Toraja, sehingga orang Toraja
mulai mengenal berbagai macam alat pertukangan seperti pahat, gergaji, ketam, dan lain-lain.
Dengan meningkatnya penggunaan alat-alat pertukangan tersebut, maka bentuk dan ukuran
bangunan banua tamben mulai berubah, hanya memakai beberapa buah tiang saja dengan ukuran
yang besar, serta ukuran bangunan rumah yang besar dan memanjang. Perkembangan bentuk
rumah tersebut dinamakan Banua di sanda A’riri.Banua di sanda A’riri memiliki ciri bagian depan dan
belakang bangunan menjulang ke atas dan hingga sekarang menjadi ciri khas bentuk bangunan
rumah adat Toraja (Tangdilintin dalam Said, 2004:67
Rumah Tradisional Toraja Masa Kini Perkembangan Proses kebudayaan tidak selalu terjadi karena
adanya pengaruh langsung dari unsur-unsur kebudayaan asing, tetapi karena di dalam ruang lingkup
kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami penggunaan sumbersumber alam,
energi dan modal, pengaturan baru tenaga kerja, dan penggunaan teknologi baru sehingga
menyebabkan adanya sistem produksi dan dihasilkannya produk-produk baru. Proses kebudayaan
tersebut disebut pula inovasi (Koentjaraningrat, 1990:16).
Seperti halnya bangunan Toraja yang terjadi pada masa kini, telah mengalami perubahan dari segi
fungsinya desain arsitekturnya. Pada zaman dahulu Tongkonan dibangun untuk keperluan adat
digunakan sebagai tempat hunian hanya bagi penguasa adat. Tongkonan tadinya hanya dianggap sakral
sebagai tempat pelaksanaan upacara religius dan bermakna simbolik menurut kepercayaan Aluk Todolo,
namun saat ini nilai simboliknya telah hilang dan berganti menjadi sekedar berfungsi sosial untuk
kebutuhan praktis masa kini, yaitu sebagai wadah pemersatu rumpun keluarga, simbol status sosial
penghuni, dan sebagai identitas budaya Toraja. Hal ini disebabkan adanya perubahan pandangan hidup
masyarakat Toraja terhadap nilai-nilai tradisionalnya pada masa ini, terutama dipengaruhi oleh adanya
sikap masyarakat yang memandang kepercayaan Aluk Todolo yang penuh mitos tentang hal-hal yang
gaib tidak relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, Sepbianti Rangga Patriani.
Perubahan Visual Desain Arsitektur Rumah Adat Toraja 122 masyarakat di masa kini telah memiliki
wawasan tentang pengetahuan agama yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan
kitab suci. Perubahan yang terjadi pada arsitektur rumah adat Toraja saat ini terdapat pada unsur visual
atap Tongkonan dengan beberapa bangunan lain di Toraja yang menampilkan bentuk atap yang sama,
meskipun terdapat perbedaan dalam proporsi dan unsur visual atapnya, namun sikap dasarnya adalah
ingin meniru/ mencontoh bentuk atap Tongkonan.
KESIMPULAN
Rumah adat Toraja sebagai rumah tradisional merupakan suatu karya arsitektur monumental yang
memiliki unsur-unsur visual bersifat simbolis dan penuh makna. Oleh karena, prinsip kehidupan
masyarakat Toraja berpedoman pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan Aluk Todolo,
sehingga keberadaan rumah adat Toraja atau yang dikenal dengan istilah Tongkonan menjadi bagian dari
kehidupan ritualnya. Tongkonan sebagai rumah adat masyarakat Toraja bukan sekedar hunian belaka
tetapi memiliki berbagai fungsi dan makna. Menurut falsafah hidup orang Toraja, rumah memiliki makna
yang luas karena budaya, sikap, dan perilaku orang Toraja dibangun dalam sebuah bangunan tersebut
dan bentuknya terkait pula dengan latar belakang historis nenek moyang mereka.
Secara visual, bentuk desain arsitektur rumah adat Toraja terdiri dari konstruksi desain arsitektur
rumah adat Toraja (Tongkonan) terdiri dari bagian kaki Tongkonan yang terbentuk oleh tiang-tiang kayu,
atap, badan Tongkonan yang berisi ruang-ruang yang berjejer, dan atap Tongkonan yang terbuat dari
bambu yang dipilah menjadi dua dan disusun saling tumpang tindih. Setiap komponen-komponennya
dianggap memiliki unsurunsur visual dan ritual yang bermakna simbolis, baik pada wujud Tongkonan itu
sendiri secara utuh maupun pada unsur-unsur visual perlengkapannya. Tongkonan berasal dari kata
Tongkon, yang artinya tempat duduk, atau rumah pusaka yang diwariskan secara turun-temurun.
Tongkonan merupakan tempat berkumpul atau pertemuan keluarga dan masyarakat di lingkungan
masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas, Tongkonan adalah tempat memusyawarahkan sesuatu atau
tempat menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi di masyarakat.
Tongkonan juga merupakan istana bagi Penguasa Adat dan pusat pertalian keluarga. Terkait
dengan visual dan fungsi rumah adat Toraja, dengan perwujudan bentuk arsitektur yang bersifat simbolis
dan sisi fungsional rumah adat yang bersifat sakral tentunya tidak terlepas dengan adanya pengaruh
budaya. Pengaruh budaya memberikan perubahan pandangan hidup masyarakat Toraja terhadap nilai-
nilai tradisionalnya pada masa kini, terutama dipengaruhi oleh adanya sikap masyarakat yang
memandang kepercayaan Aluk Todolo yang penuh mitos tentang hal-hal yang gaib tidak relevan dengan
perkembangan zaman.
Selain itu, masyarakat di masa kini telah memiliki wawasan tentang pengetahuan agama yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan kitab suci. Seperti halnya bangunan Toraja
yang terjadi pada masa kini, telah mengalami perubahan dari segi fungsinya desain arsitekturnya.
Bangunan Toraja kini, nilai simboliknya telah hilang dan berganti menjadi sekedar berfungsi sosial untuk
kebutuhan praktis masa kini, yaitu sebagai wadah pemersatu rumpun keluarga, simbol status sosial
penghuni, dan sebagai identitas budaya Toraja. Begitupula dengan arsitektur rumah adat Toraja saat ini
terdapat perubahan pada unsur visual atap Tongkonan dalam proporsi dan unsur visual atapnya,
meskipun menampilkan bentuk atap yang sama.
KEPUSTAKAAN
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Aksara Baru. _____________.
2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Natsir, Sitonda Mohammad. 2009. Toraja Warisan Dunia. Makasar: Pustaka Refleksi.
Said, Abdul Azis. 2004. Toraja Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta: Ombak.
Tangdilintin, L.T. 2009. Toraja Sebuah Penggalian Sejarah dan Budaya. Balai Makasar: Pelestarian
Jarahnitra. _______________. 2003. Toraja Dulu dan Kini. Makasar: Pustaka Refleksi.
RUMAH ADAT “TONGKONAN” ORANG TORAJA KABUPATEN TANA TORAJA
PROPINSI SULAWESI SELATAN
The Toraja people create a House that is not separated from the State of the economy apart from
the family, but that, too, there are still other factors that determine the shape of their home i.e.
level socio. They know there are three levels of social layer i.e. the aristocracy occupied a high status
in society, the middle class is called to makaka independent i.e. not controlled by the nobility, and
the earthy i.e. they called kaunan equivalent of slave society. The House of independence that
makes custom homes and occupy Tongkonan. Custom homes called Tongkonan houses gathered i.e.
Regent custom to sit with military duty. Tongkonan houses there are three kinds in accordance with
its function before entering a new Government system to Tana Toraja by Netherlands East Indies
Government namely Tongkonan Layuk functions as the center of custom events, and drafting
Community rules also place Center of religious activities, Tongkonan Keparangngesan functions as a
Center for the implementation of customs and customs violations sanctions that occur in society.
Tongkonan Paparuan functions as the central activity of the family members of the owner's
Tongkonan perceived like a wedding ceremony, a Thanksgiving, as well as the place of execution of
the funerals of the dead. The third function of the Tongkonan above this has undergone a change
with the influx of Netherlands Indies government system so that all the Affairs of indigenous power
diahlikan to the new pemrintahan system. Also the inclusion of the Gospel by the missionary Agency
Zending Netherlands Netherlands from the land in the early 20th century (1912) concerns the
religious ceremony so that redirected to the belief system of Christianity..
PENDAHULUAN
Kebutuhan dasar bagi manusia dalam keberlanjutan hidupnya biasa diungkapkan dengan kata,
sandang, pangan, dan papan. Kata sandang dapat dipahami dalam pengertian yang mengarah pada
penutup tubuh atau pakaian dan pangan yaitu menyangkut makanan sedang kata papan menunjuk
pada tempat berlindung atau rumah. Semenjak manusia tidak lagi mengembara dari satu tempat
ketempat lain, dengan kata lain mereka sudah hidup menetap dibangunlah tempat untuk berlindung
yaitu rumah yang terbuat dari kayu. Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja, yang merupakan
tempat tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja.
Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara komunal dan
turun temurun oleh keluarga atau marga Suku Tana Toraja. Bagi orang Toraja Tongkonan dibagi
menjadi tiga bagian yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang dan untuk melakukan
aktifitas memasak digunakan ruang tengah sekaligus ruang untuk makan, ruang belakang sebagai
tempat tidur keluarga, dan ruang depan digunakan sebagai tempat menyimpan benda pusaka yang
dimiliki secara turun temurun biasanya terbuat dari emas, perak dan juga perunggu, selain benda
pusaka dapat juga dipakai untuk menyimpan harta keluarga yang mendiami rumah Tongkonan.
Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat dilihat dari beberapa fungsi, antara lain
pusat budaya, sebagai tempat tinggal, pembinaan peraturan keluarga, sehingga fungsi Tongkonan
tidaklah sekedar sebagai tempat duduk bersama. Lebih luas lagi fungsi Tongkonan meliputi segala
aspek kehidupan masyarakat Toraja. Apabila dikaitkan dengan upacara-upacara yang menyangkut
dengan sistem kepercayaan mereka dahulu yang disebut Aluk Todolo. Aluk Todolo merupakan
sistem kepercayaan pada orang Toraja yang sudah dimiliki secara turun temurun sejak dari nenek
moyang mereka, yang dipahami sebagai aturan-aturan yang sarat dengan keagamaan, yang
berfungsi mengatur perjalanan kehidupan seseorang maupun kelompok masyarakat. Upacara yang
menyangkut Aluk Todolo dibagi dalam dua bagian yaitu aluk rambu tuka’
menyangkut hal yang menggembirakan atau suka cita, dan aluk rambu solo’ meliputi hal-hal yang
berduka cita antara lain upacara kematian dilaksanakan di rumah Tongkonan (Tangdilintin:1975).
Dalam kenyataan sekarang ini rumah Tongkonan tidak lagi dijadikan rumah tempat tinggal tetapi
sudah tidak dihuni lagi oleh karena setiap keluarga yang mendiami Tongkonan pada umumnya telah
membangun rumah tinggal sendiri.
Mereka membangun rumah tinggal di sebelah barat Tongkonan jika lokasi masih tersedia.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, orang Toraja tidak lagi
mengutamakan membangun atau mendirikan rumah Tongkonan seperti bentuk rumah asli yang
secara turun temurun mereka miliki. Ada kecenderungan rumah adat di bangun dengan mengikuti
perkembangan teknologi dewasa ini sehingga bentuk asli mengalami perubahan. Ada beberapa
rumah Tongkonan yang sudah ratusan tahun usianya, hingga bahan bangunannya hampir lapuk dan
rusak. Rumah yang asli, nampaknya sangat sederhana, dibuat dari bahan kayu untuk tiang, lantai dan
dinding rumah. Keseluruhan atap dibuat dari bambu, dipotong sesuai dengan ukuran yang
dibutuhkan kemudian disusun menjadi atap. Dinding rumah Tongkonan yang sudah sangat tua
ukirannya nampak sederhana, dinding dan tiang tidak sepenuhnya di ukir.
Rumah Tongkonan yang di renovasi tetap mengikuti bentuk asli, namun ada beberapa bagian
yang sudah mengalami perubahan. Atapnya tidak lagi dibuat dari bambu tetapi sudah diganti dengan
atap seng. Begitu pula dengan dinding rumah tetap terbuat dari kayu namun ukirannya sudah
nampak penuh demikian juga tiang utama, depan dan belakang pun sudah diukir. Di dalam ruang
tengah yang dulunya ada dapur untuk memasak sekarang sudah ditiadakan. Biaya untuk merenovasi
rumah Tongkonan keseluruhannya membutuhkan uang yang jumlahnya sangat banyak kurang lebih
Rp 1 Miliar. Keadaan sekarang sekalipun Tongkonan sudah di renovasi atau dibangun kembali tetap
tidak digunakan sebagai rumah tinggal oleh keluarga memiliki Tongkonan. Namun hanya sekarang
digunakan untuk menerima tamu.
KONSEP TONGKONAN
Pengertian kata Tongkonan menurut Said (2004:49), kata Tongkonan terdiri dari kata “tongkon”
yang berarti duduk, mendapat akhiran “an” menjadi Tongkonan artinya tempat duduk yang
mengandung pengertian tempat duduk bersama-sama anggota yang terhimpun untuk menjadi suatu
kelompok individu yang berasal dari satu keturunan. Kelompok yang dimaksudkan adalah suatu
rumpun keluarga yang di ikat oleh suatu ikatan satu keturunan atau merasa berasal dari satu
keluarga sehingga rumpun keluarga ini merasa perlu membangun rumah yang merupakan simbol
kesatuan rumpun tersebut dan rumah itu disebut “Tongkonan”.
Menurut St. Hadidjah Sultan, Karina Masya Sari tahun 2014, sebuah Tongkonan tidak hanya
sebagai tempat hunian semata tapi juga mengandung fungsi dan makna yang bersumber dari filosofi
orang Toraja, fungsi Tongkonan bagi orang Toraja sebagai tempat rumpun keluarga dalam
melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem kekerabatan,
sistem kemasyarakatan dan lainnya selain itu Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat
membicarakan dan memutuskan aturan-aturan dalam masyarakat yang mengatur hubungan
interaksi sosial, juga pusat pembinaan tentang gotong royong, tolong menolong dan lainnya.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan
nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Begitu luasnya bidang
perubahan itu sehingga lebih dahulu harus dipahami tentang perubahan yang dimaksud yaitu
perubahan kebudayaan. Banyak penyebab perubahan dalam masyarakat ilmu pengetahuan (mental
manusia) penyebaran unsur-unsur kebudayaan (difusi) melalui kemajuan teknologi serta
penggunaannya oleh masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, atau peningkatan
harapan dan tuntutan manusia. Semua ini mempengaruhi dan mempunyai akibat dalam masyarakat,
yaitu perubahan masyarakat melalui kejutan karenanya terjadilah perubahan masyarakat yang biasa
disebut rapid social change (Astrid S. Susanto, 1983:157).
Orang Toraja menyadari bahwa adat istiadat yang dimilikinya merupakan perwujudan diri
dari masyarakat, sekaligus menghadapi perubahan yang sedang terjadi. Koentjaraningrat (2000:2)
mengemukakan bahwa perubahan yang dialami oleh suatu masyarakat dipengaruhi oleh sistem nilai
budaya, karena nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem
nilai budaya terdiri dari konsep-konsep yang dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang dianggap berguna dalam hidupnya. Selanjutnya Suparlan dalam Manorek,
dkk (1999) menyebut bahwa perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem
ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat, misalnya aturan aturan, adat-istiadat,
rasa, keindahan, bahasa termasuk juga upacara tradisional, sedangkan perubahan dalam sosial
adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial.
Misalnya sistem kekerabatan, sistem politik, kekuatan dan lain-lain. Perubahan tersebut
terjadi karena akibat adanya pembangunan dalam berbagai bidang. Adapun konsep perubahan
kebudayaan menurut Sjafri Sairin (2002:6-7), bahwa kebudayaan selalu mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Lambat atau cepatnya perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu, berubah adalah sifat utama dari kebudayaan. Kebudayaan selalu berubah
menyesuaikan diri dengan munculnya gagasan baru pada masyarakat pendukung kebudayaan itu.
Munculnya perubahan dapat terjadi akibat pengaruh faktor internal yang muncul dari dinamika yang
tumbuh dalam kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri, atau akibat pengaruh yang
berasal dari luar masyarakat. Selanjutnya menurut Sairin (2002), umumnya para ahli sepakat untuk
mengkategorikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang berada dalam keadaan
transisional.
Masyarakat Indonesia sekarang bergerak dari masyarakat agraris tradisional yang penuh
dengan 6 nuansa spiritualistik menuju masyarakat industrial modern yang materialistik. Oleh
karenanya, konsep kebudayaan yang pas untuk digunakan dalam penelitian ini adalah
mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, gagasan, ide yang dimiliki oleh suatu
kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu
dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada. Secara
filosofis Tongkonan selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo,
dimana bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan
masyarakat Toraja. Perpaduan teknologi dan konstruksi atap berbentuk perahu dengan susunan
bambu menjadi ciri khas rumah tradisional orang Toraja.
b. Badan rumah (kale banua) Badan rumah (kale Banua) yang di topang oleh tiang-tiang merupakan
pusat kegiatan menyangkut aspek mata pencaharian hidup menyangkut aktivitas sehari-hari,
penyelenggaraan upacara-upacara dalam sistem kepercayaan, tempat musyawarah keluarga besar
pemilik Tongkonan. Kale banua tersebut terbagi atas tiga bagian yaitu Tangdo’ yang merupakan
ruang depan, dulunya berfungsi sebagai tempat istirahat, menyajikan kurban persembahan kepada
leluhur, sali adalah bagian bilik tengah yang lebih rendah dari tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat
tidur keluarga dan dapur, tempat pertemuan keluarga, dan ruang makan, sumbung adalah 8 bagian
bilik belakang yang lantainya juga lebih tinggi dari sali dan tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat
tidur keluarga inti.
Sekarang keluarga yang menghuni Tongkonan membangun rumah tinggal dengan mengikuti
model rumah yang ada sekarang. Semua aktivitas sehari-hari dilaksanakan di rumah tinggal yang
baru dibangun, kemudian ritual yang menyangkut Aluk Todolo semua sudah ditinggalkan sebab
mereka menganut ajaran Aluk Ba’ru dalam hal ini ajaran Agama Kristen yang berpusat di rumah
ibadah yaitu Gereja. Fungsi tempat musyawarah keluarga besar pemilik Tongkonan telah diahlikan
ke musyawarah oleh pemerintah setempat di balai desa.
c. Bagian Atas (rattiang banua) Bagian atas (rattiang banua) merupakan atap rumah yang menutupi
seluruh rumah (loteng) yang dulunya terbuat dari bambu dan mempunyai bentuk khas seperti
perahu memanjang dan kedua ujungnya membentuk lengkungan yang mempunyai kesamaan
dengan garis lengkung lunas perahu. Bagi orang Toraja rattiang banua difungsikan sebagai tempat
menyimpan kain, selain tangdo’ rattiang juga di fungsikan sebagai tempat menyimpan benda pusaka
berupa pedang, keris, tombak dan lain sebagainya. Dinding rumah Tongkonan di buat dari kayu yang
telah diolah menjadi papan. dinding papan tersebut diberi ukiran yang pada dasarnya terdiri dari
empat ukiran utama dalam budaya Toraja. Ukiran pada dinding rumah disebut passura’ yang
memadati seluruh badan atau dinding rumah. Ukiran pada rumah adat Toraja (tongkonan) masing-
masing mempunyai arti dan penempatannya yang mempunyai aturan-aturan yang tetap. Empat
bentuk dasar utama ukiran rumah tongkonan:
a. Passura’ pa’ manuk Londang; yaitu ukiran yang berbentuk ayam jantan, biasanya terdapat
pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada papan atas berbentuk segitiga menutupi
Rattiang banua. Biasanya ukiran ayam jantan diletakkan di atas ukiran pa’ barre allo. Makna dari
ukiran ini adalah melambangkan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, dapat dipercaya oleh
karena memiliki kemampuan dalam kebajikan, pemahaman dan intuisinya tepat serta selalu
mengatakan apa yang benar.
b. Passura’ pa’ Barre Allo; yaitu ukiran yang menyerupai bulatan matahari. Jenis ukiran ini
banyak di temukan pada rattiang banua bagian muka dan bagian belakang rumah. Makna dari ukiran
adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari
Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa), selain itu pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang
memiliki status yang tinggi dalam lapisan sosial di masyarakat Toraja.
c. Passura pa’ Tedong; yaitu ukiran yang berbentuk kepala kerbau di ukir pada dinding
penyangga badan rumah. Makna dari ukiran ini adalah kerbau yang merupakan hewan yang paling
tinggi nilai sosial yang menunjuk pada status sosial. Untuk itu bagi orang Toraja kerbau dijadikan
standar atau ukuran dari semua harta kekayaan
d. Passura pa’ sussu’; yaitu ukiran garis vertikal dan horisontal bentuk ukiran tidak diberi
warna pada galian ujung pisau ukir dan tidak diberi warna. Selain ukiran-ukiran pada dinding depan
rumah dihiasi oleh kepala kerbau yang dibuat dari kayu dengan memakai tanduk kerbau asli. Hiasan
ini disebut kabongo’. Diatas kabongo’ diletakkan hiasan berbentuk kepala sampai di leher seekor
ayam jantan seolah-olah bertengger di atas kabongo’. Hiasan ini di beri nama seekor ayam jantan
yang disebut katik. Selain rumah adat, orang Toraja mengenal tiga jenis Tongkonan dan fungsinya
menurut peran adatnya, walaupun bentuknya sama yakni:
a. Tongkonan Layuk (Pesio’ Aluk) yang kegunaannya sebagai pusat kekuasaan adat, dan tempat
untuk bermusyawarah, menyusun aluk sola pemali (aturan dan larangan) dihuni oleh kepala Adat.
b. Tongkonan kaparengngesan (pekaindoran/pekanberan) kegunaannya sebagai tempat
melaksanakan pemerintahan adat berdasarkan aturan dari Tongkonan layuk (pesio’ aluk), juga
tempat mengadili seseorang jika melanggar peraturan dan larangan.
c. Tongkonan Parapuan yang kegunaannya sebagai tempat 10 menunjang, mengatur, serta
membina persatuan keluarga dan warisan.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA RUMAH ADAT TONGKONAN
Dalam uraian pada sub sebelumnya mengenai Culture Contact merupakan salah satu penyebab
mempengaruhi terjadinya perubahan dalam fungsi dan makna rumah adat Tongkonan pada orang
Toraja, selain itu tentu masih ada beberapa penyebab lainnya terutama dengan adanya perubahan
sistem kepercayaan akibat masuknya agama Kristen ke Tana Toraja. Seperti telah dikemukakan
dalam uraian sebelumnya bahwa orang Toraja sangat menghormati bahkan menganggap Aluk
Todolo sebagai pandangan hidup. Sistem kepercayaan yaitu Aluk Todolo inilah yang dianggap di
bawa oleh nenek moyang mereka turun dari langit datang ke bumi dan membangun rumah adat
seperti yang sudah ada di tempat asalnya di langit. Aturan serta larangan yang diatur melalui
musyawarah di rumah adat Tongkonan yang oleh leluhur orang Toraja disebut Aluk Todolo.
Kepercayaan Aluk Todolo sangat kental mewarnai kehidupan orang Toraja bahkan dianggap sebagai
aturan yang harus ditaati, sehingga apabila terjadi pelanggaran harus dikenakan sangsi adat yang
dijunjung tinggi agar tidak terjadi malapetaka dalam sebuah masyarakat.
Fungsi rumah adat Tongkonan orang Toraja telah mengalami perubahan disebabkan oleh
beberapa hal seperti:
a. Masuknya agama baru ke Tana Toraja Agama baru yaitu sistem kepercayaan yang di bawa oleh
para misionaris suatu Badan Zending di negeri Belanda di awal abad ke-20 ( tahun 1912), badan
Zending yang dimaksud yaitu Gereformeerde Zendings Bond (GZB) suatu badan penginjilan
agama Kristen melakukan penginjilan ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan pada penduduknya
yang belum menganut agama Islam pada waktu itu. Salah satu daerah Tujuan GZB yaitu ke
Kabupaten Tana Toraja untuk menyebarkan agama Kristen disertai dengan usaha-usaha di
bidang pendidikan dan kesehatan bagi penduduk. Agama Kristen dan agama lainnya orang
Toraja menyebutnya Aluk Ba’ru dalam pengertian sebagai agama baru yaitu agama yang datang
dari luar, bukan sebagai warisan dari pendahulu mereka.
Aluk Ba’ru masuk ke Tana Toraja berpengaruh terhadap kepercayaan lama dalam Aluk
Todolo yang berpusat di rumah adat Tongkonan yang berangsur-angsur hilang. Hal ini
disebabkan aturan dan larangan dalam ajaran Aluk Todolo sangat berbeda atau bertolak
belakang dengan ajaran dalam Aluk Ba’ru yaitu agama Kristen.
b. Masuknya Sistem Pemerintahan Baru Sebelum masuk sistem pemerintahan baru segala
sesuatu yang menyangkut aturan-aturan, bahkan tata pemerintahan, pelaksanaannya berpusat
pada Tongkonan dalam hal ini Tongkonan Layuk dan dikendalikan oleh penguasa yang menghuni
Tongkonan. Akan tetapi dengan masuknya sistem pemerintahan yang baru mengharuskan
aturan pemerintahan bukan lagi ditangani oleh penguasa adat tetapi oleh pemerintah yang
resmi yang meliputi seluruh wilayah pemerintahan. Demikian juga tentang tempat duduk
bersama untuk bermusyawarah dalam melaksanakan aturan-aturan pemerintahan tidak lagi di
Tongkonan tetapi sudah beralih ke kantor dan balai desa sampai sekarang.
b. Masuknya teknologi baru sebagai unsur kebudayaan Akibat adanya penyebaran unsur-unsur
kebudayaan yang sangat pesat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan bentuk fisik rumah
adat Tongkonan. perubahan bentuk yang di maksudkan yaitu 14 terdiri dari dua lantai, pada
bagian atas tetap seperti Tongkonan terbuat dari kayu dihiasi ukiran merupakan lantai atas.
Sedangkan pada bagian bawa tidak lagi berupa kolong rumah tetapi di buat dari beton di
dalamnya ada ruang tamu, kamar tidur, ruang makan, dan dapur paling belakang. Pada bagian
bawa ini merupakan lantai satu yang merupakan tempat hunian. Perubahan yang lain yaitu di
lokasi bagian barat Tongkonan didirikan rumah dengan konstruksi beton. Rumah tersebut dibuat
ruangan yang memenuhi kebutuhan sebagai rumah hunian. Hal inilah yang menjadikan
perubahan fungsi hunian dari rumah adat Tongkonan beralih ke rumah beton yang baru di
bangun.
KESIMPULAN
Rumah adat Tongkonan berubah dalam bentuk fisik maupun non fisik. Perubahan yang terjadi
seperti:
a. perubahan bentuk fisik: bentuk asli rumah adat Tongkonan mulai dari tiang sampai badan
rumah dibuat dari bahan kayu dan atapnya berbentuk perahu ditutupi dengan
menggunakan bahan bambu yang dipotong-potong sesuai dengan kebutuhan kemudian
dibelah dua setiap potongan tersebut disusun menjadi atap.
Seluruh badan rumah tiang dan atapnya tidak menggunakan paku. Bentuk rumah adat
Tongkonan sekarang, masih mengikuti bentuk asli akan tetapi di bagian atap tidak lagi
menggunakan bambu tetapi dengan menggunakan atap seng. Selain itu, ada bentuk fisik
rumah adat Tongkonan dibangun dengan dipengaruhi oleh bentuk rumah yang dibuat dari
beton yang konstruksinya menjadi 2 susun yaitu pada bagian bawah bentuk rumah sekarang
dilengkapi dengan ruangan atau kamar-kamar sedangkan bagian atas dengan bentuk rumah
adat Tongkonan dindingnya dari kayu diukir dan atapnya berbentuk perahu ditutupi dengan
atap seng.
b. perubahan bentuk non fisik yaitu perubahan yang terjadi pada fungsi dan makna sebagai
berikut:
1. Perubahan non fisik yang dimaksudkan yaitu perubahan pada fungsi rumah adat
Tongkonan dahulu merupakan rumah hunian atau ditempati sebagai tempat tinggal namun
sekarang pada umumnya sudah di tinggalkan. Mereka sudah membangun rumah dengan
mengikuti bentuk sekarang yang dilengkapi dengan ruangan untuk memenuhi kebutuhan
sebagai rumah tinggal.
2. Fungsi rumah adat Tongkonan yang merupakan tempat duduk bersama untuk
membicarakan semua program kerja dan berbagai hal yang ada hubungannya dengan
aktifitas kebersamaan dalam lingkungan mereka tidak lagi dilakukan di rumah adat
Tongkonan tetapi dilaksanakan di balai desa. Hal seperti ini disebabkan oleh masuknya
sistem pemerintahan kolonial Belanda pada waktu masih zaman penjajahan.
3. Diterimanya ajaran agama Kristen dibawah oleh para misionaris masuk ke Tana Toraja
pada tahun 1912 oleh Badan Zending dari Belanda. Ajaran agama Kristen bertolak belakang
dengan cara-cara atau ritual di dalam Aluk Todolo yang berpusat pada Tongkonan. Hal ini
telah mempengaruhi salah satu fungsi Tongkonan yaitu tempat melaksanakan upacara
keagamaan dengan memberi sesajen kepada Dewa atau kepada arwah leluhur mereka
sekarang ini tidak lagi dilaksanakan.
c. Penyebab perubahan dalam rumah adat Tongkonan Terjadi perubahan pada setiap hal
tentu ada penyebabnya. Demikian pula perubahan yang terjadi pada rumah adat Tongkonan
di Toraja disebabkan oleh faktor internal dan eksternal pada masyarakat itu sendiri. Faktor
internal yaitu adanya perubahan pada pola pikir manusia yang mengarah pada pola pikir
praktis demi pemenuhan kebutuhan mereka. Sehingga mereka berupaya membangun
rumah tinggal dengan bentuk rumah sekarang disamping rumah Tongkonan. faktor eksternal
yaitu adanya penyebaran unsur-unsur kebudayaan (difusi) seperti masuknya ajaran agama
Kristen dan sistem pemerintahan kolonial Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, K. 2004 Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya
Geertz. C, 1973, The Interpretation of Culture, Basic Books, New York. _________,1992, Kebudayaan
dan Agama, Kanisius Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1972, Beberapa Pokok Antroplogi Sosial, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.
Kobong, Th., 2008, Injil dan Tongkonan. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Pakan, L., 1961, Kebudayaan Orang Toraja, Badan Lembaga dan Kebudayaan, Makassar.
__________, 1959, Tonna di Tulak Buntunna Bone, Sulawesi V, Rantepao.
Suparlan, P., 1982, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta.
Tangdilintin, L.T., (1975). Toraja dan Kebudayaannya. Yayasan Lepongan Bulan. Rantepao