Anda di halaman 1dari 6

KRONOLOGI PERITIWA DAN OPINI HUKUM KASUS FERDY SAMBO

A. Kronologi Peristiwa
Kronologi kasus tewasnya Brigadir J mulai mencuat ketika Ferdy Sambo (selanjutnya
disebut FS) yang sebelumnya menjabat sebagai Kadiv Propam Polri membuat laporan ke Polres
Metro Jakarta Selatan pada Jumat, 8 Juli 2022. FS melaporkan adanya baku tembak antara
Brigadir J dengan Bharada E. Awalnya menurut pengakuan FS baku tembak tersebut terjadi
karena Brigadir J melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Chandrawati, istri FS. Ada dua
laporan yang dibuat oleh FS ke Polres Jakarta Selatan dengan terduga Brigadir J, yakni
pelecehan terhadap Putri Chandrawati dan percobaan pembunuhan terhadap Bharada E. Adapun
saksi dalam kejadian tersebut adalah Kuat Ma’ruf, Bripka RR, dan Bharada E. Sementara
jenazah Brigadir J dibawa ke RS Bhayangkara Polri Tingkat Satu.
Pada tanggal 18 Juli 2022 FS dicopot dari jabatannya, disusul dengan 14 perwira tinggi
pada tanggal 4 Agustus, sehari sebelumnya Bharada E telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tanggal 6 Agustus FS berada di Mako Brimob setelah diduga telah melanggar kode etik bersama
dengan 24 anggota polisi lainnya. Selanjutnya pada tanggal 8 Agustus, Bharada E mengajukan
diri sebagai justice collaborator, sehari setelahnya yaitu tanggal 9 Agustus FS bersama dengan
Putri Chandrawati, Ku’at Ma’ruf, Bripka RR dan Bharada E ditetapkan sebagai tersangka kasus
pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Kesaksian Bharada E sebagai justice collaborator mengungkap kebenaran baru
sebagaimana hasil autopsi yang menyatakan bahwa Brigadir J ditembak dengan dua arah yang
berbeda, Bharada E menyatakan bahwa FS ikut menembak Brigadir J. Selanjutnya pada tanggal
30 Agustus dilakukan rekontruksi adegan berdasarkan dua versi yang berbeda yaitu versi FS dan
versi Bharada E. Penetapan obstruction of justice dilakukan pada tanggal 1 September 2022
dengan 7 tersangka diantaranya yaitu: FS, Baiquni Wibowo, Putranto, Arif Rahman, Hendra
Kurniawan, Agus Nur Patia, dan Irfan Nurdianto. Pada tanggal 5 Oktober, tahap penyidikan
telah selesai, berkas perkara beserta barang bukti telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Sidang
pertama yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, FS bersama Putri Chandrawati,
Ku’at Ma’ruf dan Bripka RR dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2022. Sedangkan sidang
Bharada E sebagai justice collaborator dilakukan besoknya tanggal 18 Oktober 2022.
B. Opini Hukum
Pengungkapan suatu perkara pidana, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga
pemeriksaan dipersidangan, peran saksi sangat penting dan seringkali menjadi factor penentu
dalam pengungkapan suatu kasus. Hampir tidak ada perkara pidana yang dalam pembuktiannya
tidak menggunakan alat bukti keterangan saksi karena keterangan saksi dianggap sebagai alat
bukti paling utama dalam pembuktian perkara pidana. Dimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP,
yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c.
Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
Pembuktian merupakan salah satu proses dalam penegakan hukum, pembuktian adalah
suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan dalam persidangan sebagaimana bukti yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan.1 Pada kasus FS tersebut, salah satu pelaku mengajukan diri sebagai
justice collaborator. Justice collaborator (JC) merupakan sebutan bagi para pelaku kejahatan
yang bekerjasama dengan aparat penegak hokum dalam memberikan keterangan dan bantuan
bagi penegak hokum dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu yang terorganisir atau
masiv.2 Konsep tentang JC pada hakikatnya sama dengan konsep pada delik penyertaan dalam
Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 (membantu melakukan) KUHP.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 telah mengatur salah satu alat bukti yakni alat bukti
keterangan saksi. Dimana penyebutan saksi dalam SEMA ini adalah saksi pelaku yang bekerja
sama. Definisi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam SEMA RI Nomor
4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku
yang Bekerjasama (justice collaborator) didalam perkara tindak pidana tertentu, ialah yang
bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam
SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatantersebut
serta memberikan keterangan saksi didalam proses peradilan. 3 Berdasarkan asas lex specialis
derogate lex generalis (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum), maka SEMA ini

1
R.Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), 1.
2
River Yohannes Manalau, “Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi,” Lex Crimen, Vol. IV, No. 1
(2015), 152.
3
Zhulfiana Pratiwi Hafid, “Justice Collaborator Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban,” Jurnal Al-Qadau, Vol. 6, No. 1 (2019), 41.
dapat dijadikan pedoman bagi para hakim dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan justice
collaborator.4
Dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Peubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Saksi, Korban, Saksi Pelaku dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hokum, baik
pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut tidak diberikan dengan I’tikad
baik.”
Pasal ini pada dasarnya memberikan perlindungan kepada mereka yang telah berani memberikan
laporan atau kesaksian kepada para penegak hokum namun pada prakteknya orang-orang seperti
inilah yang sering dituntut balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Terhadap fenomena
tersebut, ketentuan Pasal 10 ayat (1) seharusnya dapat menjadi ‘angin segar’ bagi para justice
collaborator untuk tetap focus mengungkapkan fakta terjadinya tindak pidana tanpa terbebani
oleh kasus hokum yang dilaporkan oleh terlapor. Namun kenyataan yang terjadi tidak demikian,
karena pasal ini hanya bersifat penundaan. Dijelaskan juga pada Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 31
Tahun 2014 yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal terdapat tuntutan hokum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau
Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan,
tuntutan hokum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau yang ia
berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hokum
tetap.”
Pasal 10 ayat (2) dalam UU ini terlihat ketidakjelasan dan ketegasan rumusan terhadap
kedudukan saksi dan tersangka serta dalam kondisi bagaimana seorang saksi menjadi tersangka
ketika pada saat yang bersamaan juga berstatus sebagai pelapor. Rumusan ini menimbulkan
multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hokum.
Rumusan Pasal 10 ayat (2) UU ini membuka peluang bagi penyidik untukmelakukan
intervensi terhadap kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban. Hal itu terjadi karena
penetapan seorang saksi sekaligus tersangka dan kemudian dilakukanpenahanan dapat dilakukan
secara sepihak oleh penyidik tanpa mempertimbangkan kewenangan lembaga Negara yang lain
yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dalam perkara pidana.
Rumusan Pasal 10 ayat (2) terhadap status quo tidak memenuhi prinsip perlindungan
terhadap seseorang, karena yang bersangkutan tetap akan dijatuhi pidana bilaman terlibat dalam

4
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 11.
kejahatan bersangkutan. Artinya disatu sisi Pasal tersebut memberikan perlindungan, namun si
sisi lain tidak mendapatkan jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidanaatas kesaksian yang
diberikan. Dengan demikian Pasal 10 ayat (2) tetap tidak memberikan kepastian hokum.
Secara umum bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara kepada justice
collaborator meliputi perlindungan fisik dan perlindungan hokum. Perlindungan fisik
diantaranya seperti pengawasan dan pengawalan, penggantian (kompensasi) biaya hidup, dan
pemindahan kerumah persembunyian yang dilakukan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban). Sedangkan perlindungan hokum meliputi menerima informasi mengenai perkara,
keringanan hukuman (leniency of prosecution) dan rekomendasi untuk mendapatkan remisi dan
pembebasan bersyarat.5
Perlindungan hokum terhadap justice collaborator secara komprehensif seharusnya
berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di persidangan) maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini
disebabkan terkadang dalam kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan
terror bagi setiap justice collaborator akan tetap mengikuti setelah proses peradilan pidana
selesai. Perlindungan ini sudah tertuang lengkap dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara spesifik terdapat pada Pasal 5 seperti
beberapa poin yang dijabarkan diatas.
Terkait dengan UU tersebut tidak menjelaskan secara memadai apakah hak-hak ini
diberikan kepada seluruh saksi dalam perkara pidana ataukah hanya saksi tertentu saja (dalam
ancaman)? Ataukah hak ini hanya diberikan kepada saksi yang dilindungi oleh lembaga
perlindungan saksi? Pertanyaan ini bisa dijawab jika UU secara tegas memisahkan hak asasi
yang melekat kepada seluruh saksi pidana dalam pemeriksaan peradilan pidana, dengan hak
saksi yang hanya diberikan dalam kondisi terancam atau terintimidasi. Jika hak-hak dalam UU
perlindungan saksi dan korban diberikan kepada seluruh saksi dan korban dalam kondisi apapun
maka beban terberat tentunya ada di pundak lembaga perlindungan saksi dan korban dalam
implementasinya, sedangkan jika hak-hak tersebut hanya diberikan lagi kepada saksi dalam
kondisi terancam atau terintimidasi, maka akibatnya, seluruh saksi yang berperan dalam proses
perkara tidak akan pernah mendapat hak yang lebih baik karena hak-haknya terbatas dan ini juga
tidak konsisten dengan semangat awal dibentuknya UU ini.
5
Hambali Thalib, dkk, “The Role of Justice Collaborator in Uncovering Criminal Cases in Indonesia,” Diponegoro
Law Review, Vol. 2, No. 1 (2017), 6.
Dalam kasus FS ini bukan hanya justice collaborator yang masih terdapat absurditas
dalam perlindungan hukumnya, akan tetapi bagaimana hokum dapat teruji integritasnya dibawah
para penegak hokum yang sebelumnya memiliki kuasa atas hokum. FS yang menjabat sebagai
Divisi Propam tidak hanya mencederai hokum yang tengah berlaku tapi juga telah mencederai
institusi yang menaunginya. Tidak hanya itu, penasihat hokum Brigadir J menduga penyelidik
dan penyidik melakukan obstruction of justice dalam perkara tersebut berupa rekayasa perkara
dan menghilangkan atau merusak barang bukti.
Perbuatan merusak CCTV di tempat perkara, merekayasa lokasi kejadian dengan
menembakkan peluru ke dinding rumah, dan dugaan tindakansuap dapat dipandang sebagai
tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana, khususnya proses penyidikan. Perbuatan
menghalang-halangi itu membuat proses penanganan perkara menjadi obscuur dan lambat.
Obstruction of justice merupakan suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak
pidana karena menghalang-halangi atau merintangi proses hokum pada suatu perkara.
Menghalang-halangi proses hokum sudah barang tentu merupakan perbuatan melawan hokum
karena tindakan tersebut menghambat proses penegakan hokum pada suatu perkara yang mana
seharusnya setiap pihak membantu proses penegakan hokum itu sendiri.6
Istilah obstruction of justice tidak akan ditemukan dalam KUHP, akan tetapi kriteria dari
istilah tersebut terdapat dalam Pasal 221 ayat (1), Pasal 231 dan Pasal 233 KUHP. Pada intinya
pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang ancaman pidana bagi orang yang menutupi,
menghilangkan, dan atau menyembunyikan barang bukti.
Apabila dikaji dengan unsur-unsur pidana yang diuraikan dalam berbagai Pasal KUHP
tersebut dapat dikatakan bahwa kasus Brigadir J memenuhi unsur Paal 221 ayat (1). Sebab ada
tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memberikan pertolongan kepada pelaku
tindak pidana untuk menghindari penyidikan. Ada juga tindakan lain yang dilakukan oleh
sebagian orang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara
menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti.
Peraturan obstruction of justice dalam pasal-pasal tersebut sesungguhnya tidak
membedakan siapa pelaku, apakah masyarakat sipil atau aparat penegak hokum seperti penyidik,
advokat, atau penuntut umum. Belum ada pasal dalam KUHP yang mengatur tentang obstruction

6
Difia Setyo Mayrachelia, “Karakteristik Perbuatan Advokat yang Termasuk Tindak Pidana Obstruction of Justice
Berdasarkan Ketentuan Pidana,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1 (2022), 125.
of justice bagipara aparat penegak hokum. Masalahnya adalah apakah dapat digunakan unsur
pemberat jika yang melakukan obstruction of justice tersebut justru adalah aparat penegak
hokum? Masalah lain adalah tidak adanya pengaturan secara jelas tentang tindakan merekayasa
kasus atau merekayasa barang bukti di dalam pasal-pasal tersebut.
Dalam penanganan kasus Brigadir J, disinyalir ada rekayasa kasus yang dilakukan oleh
tersangka. Tersangka pelaku diduga merekayasa sedemikian rupa tentang motif dan peristiwa
tindak pidana pembunuhan Brigadir J. Kematian korban seolah-olah merupakan suatu peristiwa
yang bisa digolongkan ke dalam noodweer atau noodweer exces. Scenario untuk mengelabui
penyidik dibuat dan disertai dengan tindakan lain dengan merusak dan menghilangkan beberapa
barang bukti.
C. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan singkat diatas, yang perlu digaris bawahi adalah perlindungan
hokum atas kesaksian seorang justice collaborator dan penegakan hukuman seorang obstruction
of justice. Dimana seorang justice collaborator hanya menunda penuntutan atas kesaksian yang
diberikan, sedangkan obstruction of justice tidak adanya alasan pemberat bagi para penegak
hukum yang melanggar pasal tersebut.
D. Reference
R.Subekti. 1991. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.

Manalau, River Yohannes. 2015. “Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi” Lex
Crimen. Vol. IV. No. 1.

Hafid, Zhulfiana Pratiwi. 2019. “Justice Collaborator Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban” Jurnal Al-Qadau. Vol. 6. No. 1.

Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.

Thalib, Hambali dkk. 2017. “The Role of Justice Collaborator in Uncovering Criminal Cases in
Indonesia” Diponegoro Law Review. Vol. 2. No. 1.

Mayrachelia, Difia Setyo. 2022. “Karakteristik Perbuatan Advokat yang Termasuk Tindak
Pidana Obstruction of Justice Berdasarkan Ketentuan Pidana” Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia. Vol. 4. No. 1.

Anda mungkin juga menyukai