Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang melibatkan banyak
sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel mast, leukotrin dan lain- lain. Inflamasi kronik ini
berhubungan dengan hiper responsif jalan napas yang menimbulkan episode berulang dari
mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama pada malam dan
pagi dini hari, kejadian ini biasanya ditandai dengan obstruksi jalan napas yang bersifat
reversible baik secara spontan atau dengan pengobatan (Wijaya and Toyib, 2018).

Asma bronkhial adalah jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada saluran
pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas yang
menimbulkan sesak atau sulit bernapas, selain sulit bernapas penderita asma juga bisa
mengalami gejala lain seperti nyeri dada, batuk-batuk, dan mengi. Asma bisa diderita
semua golongan usia baik muda maupun tua (Astuti and Darliana, 2018).

Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai dengan
adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada
malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan. (Infodatin, 2017)

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan. (Amin &
Hardi, 2016)
Beberapa faktor penyebab asma, antara lain umur pasien, status atopi, faktor keturunan,
serta faktor lingkungan.

Asma dibedakan menjadi 2 jenis, (Amin & Hardi, 2016) yakni :


1. Asma bronkial
Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar,
seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain penyebab alergi. Gejala
kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-
tiba. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaranadanya radang yang
mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan
iniakibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir,
dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.

2. Asma kardial
Asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung. Gejala asma kardial biasanya
terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat. Kejadian ini disebut
nocturnal paroxymul dispnea. Biasanya terjadi pada saat penderita sedang tidur.

B. Etiologi Asma

Secara umum, penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang disebabkan oleh
hiperaktivitas bronkus. Oleh karena itu, serangan asma mudah terjadi akibat berbagai
rangsangan baik alergen, infeksi saluran pernapasan dan psikologis. Menurut
penyebabnya asma terbagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut :

1. Asma ekstrinsik (alergik), merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen
(misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan). Alergen yang paling
umum adalah alergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan
alergen yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan
ekzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi menjadi pencetus serangan
asma. Gejala asma umumnya dimulai saat anak-anak.

2. Asma intrinsik (non alergik), merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara
langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran
napas atas, aktivitas fisik, ekspresi emosi yang berlebihan, dan polusi lingkungan
dapat menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis beta-
adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai faktor
pencetus. Serangan asma dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan
berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada
beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk
asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).

3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik (alergik)
dan asma intrinsik (non alergik) (Muttaqin, 2012; Utama, 2018).

C. Klasifikasi Asma

Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat yang digunakan
untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat dinilai jika pasien telah
menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan. Yang perlu dipahami adalah
bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis, namun bisa berubah dari waktu-waktu,
dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun, (GINA, 2015)

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :

1. Asma Ringan

Asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2, yaitu terapi pelega
bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan intensitas rendah seperti steroid
inhalasi dosis rendah atau antogonis leukotrien, atau kromon.

2. Asma Sedang

Asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan obat pengontrol
kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta agonist (LABA).

3. Asma Berat

Asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi dengan obat pengontrol
kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting beta agonist (LABA) untuk menjadi
terkontrol, atau asma yang tidak terkontrol meskipun telah mendapat terapi.

Perlu dibedakan antara asma berat dengan asma tidak terkontrol. Asma yang tidak
terkontrol biasnya disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang tepat, kurangnya
kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas. Asma yang tidak
terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan asma berat merujuk
pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan yang adekuat tetapi
sulit mencapai kontrol yang baik.

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing (mengi), pusing,
perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea, peningkatan napas pendek, kecemasan,
diaforesis dan kelelahan. Hiperventilasi merupakan salah satu gejala awal dari asma.
Kemudian sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (pada apeks
dan hilus). Gejala utama yang sering muncul adalah dispnea, batuk dan mengi. Mengi
sering dianggap salah satu gejala yang ditandai selalu ada apabila serangan asma muncul
(Utama, 2018). Tanda dan gejala umum asma meliputi, antara lain :

1. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak)

2. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas (retraksi
interkostalis)

3. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau aktivitas

4. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa gejala lain,
lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang dengan sendirinya,
akan membaik bila minum obat yang membuka saluran pernapasan (bronkodilator),
semakin buruk saat menghirup udara dingin, semakin buruk saat melakukan aktivitas
fisik, semakin buruk bila disertai refluks, biasanya muncul secara tiba-tiba.

Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:
1. Bibir dan wajah tampak kebiruan
2. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau kebingungan
3. Kesulitan bernapas yang ekstrem
4. Denyut nadi meningkat
5. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas
6. Berkeringat
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:
1. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas untuk menghirup
napas dalam-dalam
2. Kadang-kadang terjadi henti napas
3. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)
E. Patofisilogi asma
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan
B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan
dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan asma bersifat airbone.
Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu tertentu agar
mampu menimbulkan gejala asma. Namun, pada lain kasus terdapat pasien yang sangat
responsif, sehingga sejumlah kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat
mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas (Klau, 2015).

Obat yang sering berhubungan dengan induksi fase akut asma adalah aspirin, bahan
pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom khusus
pada sistem pernapasan yang sensitif terhadap aspirin terjadi pada orang dewasa, namun
dapat pula dilihat dari masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis
vasomotor perennial lalu menjadi rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal akhirnya
diikuti oleh munculnya asma progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat
dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap hari. Setelah pasien yang sensitif
terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap hari. Setelah
menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap agen anti inflamasi
nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh aspirin ataupun obat lainnya belum
diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi
secara khusus oleh aspirin (Klau, 2015).

Antagonis delta-agrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan obstruksi jalan


napas pada pasien asma, demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas
jalan napas. Oleh karena itu, antagonis beta-agrenergik harus dihindarkan oleh pasien
tersebut. Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet
dalam industri makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan napas akut
pada pasien yang sensitif. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan
natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar
setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa tersebut seperti salad,
buah segar, kentang, kerang dan anggur (Purwanto, 2016).

Faktor penyebab yang telah disebutkan di atas ditambah dengan sebab internal pasien
akan mengakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut mengakibatkan
dikeluarkannya substansi pereda alergi yang merupakan mekanisme tubuh dalam
menghadapi serangan, yaitu dikeluarkannya histamin, bradikinin, dan anafilatoksin.
Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan gejala seperti berkontraksinya otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekresi mukus (Fitrianda, 2016).
Pohon masalah

F. Penatalaksanaan Asma

1. Pengobatan Nonfarmakologi

a. Penyuluhan, penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan klien


tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor
pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim kesehatan

b. Menghindari faktor pencetus, klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus


serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan
mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien

c. Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat


dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada

2. Pengobatan Farmakologi

a. Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja


sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak antara semprotan
pertama dan kedua adalah 10 menit.

b. Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan


metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta
agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.

c. Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4
kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama mempunyai
efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.

d. Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven), kromolin merupakan obat


pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide
diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari (Muttaqin, 2012).

G. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Ngastiyah (2013), ada beberapa pemeriksaan diagnostik bagi para penderita
asma, antara lain :

1. Uji faal paru

Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi
bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat yang
digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter, caranya anak disuruh meniup
flow meter beberapa kali (sebelumnya menarik napas dalam melalui mulut kemudian
menghembuskan dengan kuat) dan dicatat hasil.

2. Foto toraks

Foto toraks dilakukan terutama pada anak yang baru berkunjung pertama kali di
poliklinik, untuk menyingkirkan kemungkinan ada penyakit lain. Pada pasien asma
yang telah kronik akan terlihat jelas adanya kelainan berupa hiperinflasi dan
atelektasis.
3. Pemeriksaan darah
Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung. Bila tidak
eosinofilia kemungkinan bukan asma. Selain itu juga, dilakukan uji tuberkulin dan uji
kulit dengan menggunakan alergen.

H. Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks menbungkuk ke
depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya rendah,
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik
dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah atelektasis. Bila
atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkietasis, dan bila ada infeksi
akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan berlangsung
beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa disebut
status asmatikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan kematian,
kegagalan pernafasan dan kegagalan jantung.

Anda mungkin juga menyukai