Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH KE.

19 - 20
APABILA HARGA YANG DISEPAKATI TIDAK DIKETAHUI,
DIKEMBALIKAN KEPADA HARGA PASAR

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesembilan Belas

َ ‫إِ َذاِ َت َع َّذ َرِا ْل ُم‬


‫س َّمىِ ُر ِج َعِإِ َلىِا ْلقِ ْي َم ِِة‬

Apabila Harga Yang Disepakati Tidak Diketahui Maka Dikembalikan Kepada Harga
Pasar

Dalam transaksi jual beli, pada asalnya, pembeli wajib membayar kepada penjual
senilai harga yang telah disepakati oleh keduanya. Namun, apabila harga yang
telah disepakati tersebut tidak diketahui karena penjual dan pembeli sama-sama
lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini timbul permasalahan tentang
penentuan harga barang tersebut.

Kaidah di atas menjelaskan bahwa apabila harga yang disepakati oleh penjual dan
pembeli tersebut di kemudian hari tidak diketahui dikarenakan suatu sebab
tertentu, padahal harga barang belum diserahkan oleh si pembeli, maka dalam hal
ini harga barang ditentukan sesuai umumnya harga barang tersebut di pasaran.

Kaidah ini berbeda dengan kaidah sebelumnya. Karena, dalam suatu akad
transaksi yang harganya telah ditentukan dan disepakati oleh pelaku transaksi, ada
kemungkinan besarnya harga tersebut kemudian tidak diketahui lagi. Atau ada juga

103
kemungkinan bahwa harga yang telah disepakati tersebut tidak mungkin
diserahkan dikarenakan tidak sahnya akad transaksi, baik karena gharâr (unsur
tipuan), karena adanya perkara yang haram, atau sebab-sebab lainnya.

Di antara implementasi kaidah ini dapat diketahui pada contoh-contoh berikut:


1. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli dengan kesepakatan harga
tertentu, dan sebelum pembayaran diserahkan, keduanya tidak mengetahui
berapa besarnya harga yang telah disepakati tersebut, maka dalam hal ini
harga barang ditentukan sesuai harga secara umum di pasaran, karena
umumnya barang-barang dagangan diperjual-belikan sesuai harganya secara
umum di pasaran.

2. Apabila seseorang mempekerjakan orang lain dengan kesepakatan upah


tertentu, kemudian ketika datang waktu pemberian upah, ternyata tidak
diketahui lagi berapa besarnya upah tersebut, dikarenakan kedua belah pihak
lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini dikembalikan kepada
jumlah upah untuk pekerjaan semisal secara umum di daerah bersangkutan.

3. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, namun ia belum


menentukan besarnya mahar yang harus ia serahkan kepada isterinya, maka
dalam hal ini mahar ditentukan berdasarkan umumnya mahar yang diberikan
untuk wanita semisal di daerah bersangkutan.

Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin
Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

104
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

105
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh

ِ‫إِ َذاِ َت َع َّذ َرِ َم ْع ِر َف ُةِ َمنْ ِ َل ُهِا ْل َح ُّقِ ُج ِعلَِ َكا ْل َم ْعد ُْو ِم‬

Apabila Pemilik Suatu Barang Tidak Diketahui Maka Barang Tersebut Dianggap
Tidak Ada Pemiliknya

Apabila seseorang menemukan barang milik orang lain, namun tidak diketahui
secara jelas siapa pemiliknya, maka dalam hal ini timbul permasalahan berkaitan
dengan pemanfaatan barang tersebut.

Oleh karena itu, kaidah ini menjelaskan bahwa suatu barang yang tidak diketahui
siapa pemiliknya dan sangat sulit untuk mengetahuinya, maka barang tersebut
dianggap tidak ada pemiliknya. Dan wajib untuk memanfaatkan barang tersebut
dalam perkara-perkara yang paling bermanfaat bagi pemiliknya atau orang yang
paling berhak untuk memanfaatkannya.

Di antara implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :


1. Berkaitan dengan barang temuan (luqathah). Seseorang yang menemukan
barang temuan, kemudian ia berusaha untuk mengumumkan tentang
penemuan tersebut, namun pemiliknya tidak juga bisa diketahui, maka barang
tersebut menjadi milik si penemu. Karena dialah orang yang paling berhak
untuk memilikinya.

2. Apabila seseorang memakai barang orang lain tanpa izin, kemudian tatkala ia
ingin mengembalikan barang tersebut, ternyata tidak diketahui siapa
pemiliknya, dan ia sangat kesulitan untuk mengetahui pemiliknya, maka dalam
hal ini ia bisa menyerahkan barang tersebut ke Baitul Mal supaya dimanfaatkan

106
untuk kemaslahatan umat. Atau bisa juga ia menyedekahkan barang tersebut
atas nama pemiliknya dengan niat apabila pemiliknya datang maka ditawarkan
kepadanya apakah ia setuju jika barang tersebut disedekahkan sehingga ia
mendapatkan pahala sedekah, atau si pemilik barang ingin supaya barang
tersebut diganti, sehingga pahala sedekah menjadi milik si penemu barang.

3. Berkaitan dengan harta hasil curian atau hasil rampokan. Apabila harta tersebut
tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut bisa dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umum, atau bisa juga disedekahkan kepada fakir miskin. Dan
bagi orang yang menerima sedekah dari harta tersebut, halal baginya untuk
memanfaatkannya, karena harta tersebut pemiliknya tidak diketahui, maka
dianggap tidak ada pemiliknya.

4. Seseorang yang meninggal dunia sedangkan ahli warisnya tidak diketahui,


maka harta warisannya dimasukkan ke Baitul Mal untuk dimanfaatkan dalam
perkara-perkata yang maslahat.

5. Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan namun tidak diketahui siapa


walinya, maka ia dianggap seorang yang tidak punya wali. Sehingga ia
dinikahkan oleh wali hakim.

Wallâhu `a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin
Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

107

Anda mungkin juga menyukai