PPh Pasal 26 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari
Indonesia selain Bentuk Usaha Tetap ( BUT ) dari badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, BUT, perwakilan perusahaan luar negeri.
Merujuk UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, PPh Pasal 26 ayat 4 adalah penghasilan kena pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia. Artinya :
jika penghasilan yang sudah dikurangi pajak yang diperoleh BUT itu ditanamkan kembali di
Indonesia, maka tidak akan dikenakan PPh26.
Apabila penghasilan kena pajak yang sudah dikurangi pajak tersebut tidak diinvestasikan
kembali di Indonesia, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 ayat 4.
PPh Pasal 26 ayat 4 adalah pajak yang dikenakan pada BUT yang tidak menanamkan kembali
penghasilan yang diperolehnya di Indonesia.
Perbedaan PPh Pasal 26 / 23 dan Besaran PPh 23 serta Tarif PPh 26 Terbaru
Meski PPh Pasal 26 dan 23 merupakan sama-sama pajak penghasilan yang dikenakan untuk jenis
penghasilan yang diterima dalam bentuk dividen hingga keuntungan yang diperoleh karena pembebasan
utang dan lainnya, namun perbedaan ada perbedaan di antara keduanya. Perbedaan PPh 23/26 adalah
terletak pada subjek atau orang yang dikenakan pajak ini.
PPh 23 digunakan untuk memotong pajak penghasilan dari objek PPh 23 yang dikenakan pada subjek
wajib pajak dalam negeri. Sedangkan PPh 26 digunakan untuk memotong pajak penghasilan dari objek
PPh 26 yang dikenakan pada subjek atau wajib pajak luar negeri/warga negara asing (WNA) selain BUT
Masih sesuai dengan pengertian PPh Pasal 26 di atas, maka seorang individu atau perusahaan yang
dapat dikategorikan sebagai wajib pajak luar negeri atau subjek yang dikenakan PPh26 atau subjek PPh
Pasal 26 adalah:
1. Pengoperasian Usaha di Indonesia; Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
2. Memperoleh Penghasilan dari Indonesia; Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri dan luar negeri yang tidak termasuk dalam pengenaan tarif PPh23 atau
besaran tarif PPh26 adalah:
Objek PPh 26
Dividen
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Imbalan dan penghargaan
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
Keuntungan karena pembebasan utang
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (4) PP No. 94 Tahun 2010, pemotongan PPh Pasal 26 oleh pihak lain
dilakukan pada akhir bulan:
1. Dibayarkannya penghasilan;
2. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
Sebelumnya, sesuai UU No. 36 Tahun 2008, tarif PPh26 ditetapkan sebesar 20%.Kemudian tarif PPh 26
terbaru diturunkan menjadi 10% melalui Peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2021 tentang
Perlakuan perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha.
Namun dalam PP No. 9 Tahun 2021 tersebut ada sejumlah ketentuan terhadap bunga obligasi
berdasarkan prinsip syariah yakni:
1. Masa kepemilikan obligasi memiliki besaran yang sesuai dengan jumlah bruto bunga obligasi
dengan kupon
2. Harga perolehan obligasi memiliki selisih harga jual atau nilai nominal dengan besar kupon
diskonto obligasi
3. Harga perolehan obligasi memiliki selisih harga jual atau nilai nominala dengan diskonto obligasi
bunga.
Tarif PPh 26 terbaru sebesar 10% dari jumlah bruto yang dikenakan atas:
Dividen
Bunga (termasuk premium, diskonto, insentif terkait jaminan pembayaran pinjaman)
Royalti, sewa, dan pendapatan lain terkait penggunaan aset/harta
Imbalan/insentif terkait jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Hadiah dan penghargaan
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
Premi swap dan transaksi lindung lainnya
Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Jadi, tarif royalti PPh 26 dan tarif PPh 26 jasa luar negeri dan lainnya adalah 10% berdasarkan regulasi
tarif PPh 26 terbaru melalui PP No. 9 Tahun 2021 tersebut.
1. Penghasilan dari laba bersih atas pendapatan dari penjualan aset di Indonesia dengan nilai
lebih dari Rp10 juta untuk setiap jenis transaksi berupa: perhiasan mewah,berlian,emas,
intan,jam tangan mewah,barang antic, lukisan,mobil dan motor,kapal pesiar dan pesawat
terbang ringan
Besarnya perkiraan penghasilan neto ini untuk penjualan harta dengan jumlah persentase
sebesar 25% dari harga jual.
2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang pada
perusahaan asuransi di luar negeri.
0% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi asuransi yang dibayar tertanggung
kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang
10% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri,
baik secara langsung maupun melalui pialang
5% dari jumlah premi yang dibayarkan, atas premi yang dibayarkan oleh perusahaan
reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri,
baik secara langsung maupun melalui pialang
3. Pengalihan atau penjualan saham. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini 25% dari harga
jual.
Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Laba Bersih Penjualan atau Pengalihan Saham Perusahaan
Laba bersih penjualan atau pengalihan saham perusahaan ini adalah antara perusahaan media atau
perusahaan tujuan khusus yang didirikan. Atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan
pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau BUT didirikan di Indonesia.
Tarif ini diberlakukan untuk negara-negara yang berada dalam perjanjian pajak (tax treaty) dengan
Indonesia yang dikenal sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ada 93 negara per 2022.
Tarif PPh 26 sebesar 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak Setelah Dikurangi Pajak dari BUT di
Indonesia (PPh Pasal 26 ayat 4)
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa PPh Pasal ayat 4 adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan BUT di Indonesia yang sudah dikurangi pajak.Artinya, apabila penghasilan kena pajak yang
sudah dikurangi pajak tersebut dibawa keluar dari Indonesia, maka akan dikenai pajak PPh Pasal 26 ayat
4 sebesar 20% dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan.
Namun, jika penghasilan kena pajak yang sudah dikurangi pajak tersebut ditempatkan atau
diinvestasikan lagi di Indonesia, maka tidak akan dikenakan pajak PPh Pasal 26 sesuai ayat 4.
Sebagaimana yang tertuang dalam PPh Pasal 26 ayat 4 UU PPh No. 36 Tahun 2008, bahwa penghasilan
kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar
20%, kecuali penghasilan tersebut ditanaman kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau Peraturan Menteri Keuangan.
PMK 14/PMK.03/2011 ini menggantikan peraturan sebelumnya yang tertuang dalam PMK No.
257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak
dari Suatu BUT
Jadi, BUT yang dikecualikan dari pengenaan pajak sesuai PPh Pasal 26 ayat 4 adalah apabila penghasilan
kena pajak yang sudah dikurangi PPh itu ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat sebagaimana
yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat 3 PMK No. 14/PMK.03/2011, di antaranya:
Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pendiri atau peserta pendiri;
Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
pemegang saham;
Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh bentuk usaha tetap untuk menjalankan usaha bentuk
usaha tetap atau melakukan kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh bentuk usaha tetap untuk menjalankan usaha bentuk
usaha tetap atau melakukan kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dasar Pengenaan Pajak dan tarif PPh Pasal 26 ayat 4 bagi BUT Usaha Jasa Konstruksi
Merujuk PP No. 51 Tahun 2008 yang diubah dengan PP No. 40 Tahun 2009, atas penghasilan dari jasa
konstruksi dikenakan pajak penghasilan bersifat final (PPh Final).
Dalam Hal Anda memberikan penghasilan kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), yang harus Anda
lakukan adalah:
1. Tentukan dahulu apakah benar lawan transaksi Anda adalah SPLN.
2. Jika merupakan SPLN, tentukan dahulu apakah SPLN tersebut berhak dipotong PPh Pasal 26
dengan menggunakan tarif berdasarkan tax treaty.
3. Tax Treaty bisa digunakan dalam hal SPLN mempunyai form DGT (Certificate Of Domicile Of Non
Resident For Indonesia Withholding Tax) atau Surat Keterangan Domisili (SKD) sesuai
PER-25/PJ/2018
4. Input informasi yang ada di form DGT dengan login ke laman pajak.go.id menu e-SKD untuk
mendapatkan tanda terima SKD WPLN (Wajib Pajak Luar Negeri).
5. Berikan tanda terima SKD WPLN kepada SPLN.
6. Melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif tax treaty jika memenuhi PER-
25/PJ/2018 dan membuat bukti potong PPh Pasal 26 melalui aplikasi e-bupot PPh pasal 23/26
7. Jika tidak memenuhi syarat untuk menggunakan ketentuan pada tax treaty, maka tarif PPh 26
nya adalah 20%.
8. melakukan penyetoran PPh dengan terlebih dahulu membuat kode billing. Penyetoran
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya di kantor pos/bank persepsi.
9. Melakukan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) secara elektronik melalui laman pajak.go.id menu e-
bupot atau melalui application service provider (ASP) paling lama tanggal 20 bulan berikutnya
dengan melampirkan tanda terima SKD WPLN walaupun tidak terdapat pemotongan PPh
berdasarkan ketentuan tax treaty.
10. Mulai 1 Agustus 2020, yang melakukan transaksi terkait PPh Pasal 23/26 dan terdaftar di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama seluruh Indonesia wajib membuat bukti pemotongan dan
penyampaian SPT Masa PPh 23/26 secara elektronik melalui e-Bupot.
P3B muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal
(capital exporting countries) dan negara-negara yang mem-butuhkan modal (capital importing
countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek
perpajakan (lihat gambar di samping). Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak dilakukan
sama sekali di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali di masing-masing negara
tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek tersebut, diperlukan adanya pengaturan-
pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. Pengaturan-pengaturan
tersebut selanjutnya tertuang di dalam P3B.
P3B (tax treaty) merupakan kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan
perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Biasanya yang dimodifikasi adalah ketentuan
mengenai pajak atas penghasilan saja. Jadi, pajak-pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, dan bea materai, tidak
diatur dalam P3B.
1. Memfasilitasi perdagangan internasional dan arus investasi antar negara, antara lain dengan
cara:
a. menghindarkan adanya pengenaan pajak berganda dan
b. memberikan pengurangan tarif pajak di negara sumber atas beberapa bentuk
penghasilan tertentu (biasanya: passive income)
2. Merupakan alat bagi kedua Contracting States (negara yang menandatangani P3B) untuk lebih
dapat menerapkan aturan-aturan domestiknya sehingga dapat mengurangi adanya praktik
pengelakan pajak, misalnya dengan memungkinkan masing-masing Contracting States untuk
saling bertukar informasi, konsultasi bersama, atau mengadakan mutual agreement.
Kedudukan P3B di suatu negara adalah tergantung pada sistem perundang-undangan negara tersebut.
Di Indonesia berdasarkan sistem perundang-undangan yang dianut, P3B diperlakukan sebagai lex
specialis terhadap undang-undang domestik. Karena itu, apabila ada pertentangan antara undang-
undang domestik Indonesia dengan P3B, aturan-aturan yang ada dalam P3B akan didahulukan.
Sebagai perbandingan, cara Amerika Serikat mendudukkan P3B dalam perundang-undangannya tidak
sama dengan Indonesia. Dengan prinsip lex posterior derogate lex priori, Amerika Serikat mendudukkan
tax treaty sama dengan undang-undang nasional. Hanya saja, aturan yang datang kemudian akan
mengalahkan aturan yang terdahulu.
Model P3B
Dalam proses pengadaan P3B, masing-masing negara akan mengajukan Model P3B-nya masing-masing.
Indonesia juga mempunyai Model P3B sendiri, yaitu Model P3B Indonesia. Secara umum, di dunia ini
ada dua Model P3B, yaitu Organization for Economic Cooperation and Development Model (OECD
Model) dan United Nations Model (UN Model). OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau
kepentingan negara-negara maju, sedangkan UN Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan
negara-negara berkembang. Model P3B Indonesia adalah merupakan modifikasi dari UN Model.
Berikut ini adalah tabel isi bab dan pasal-pasal di P3B berdasarkan OECD Model yang juga dirujuk oleh
UN Model dan Model P3B Indonesia.
Seperti sudah disinggung di muka, P3B merupakan kesepakatan antar dua negara untuk memodifikasi
peraturan perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Dengan merujuk ke Model P3B
Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang dimodifikasi antara lain sebagai berikut: