Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Islam Lanjutan
Dosen Pengampu : H. Mulkan Hamid LC., M.Ag.

POLIGAMI

Kelompok 7

George Juan Sibuea (190200492)


Syazwina Azzah Baniva (200200318)
Tirzah Charity (200200327)
Zulfahmi Simbolon (200200340)
Maura Badra Haysarah Sinik (200200435)
Aja Mhd Dafa Ariq Shafiza (200200640)
Haliza Putri (200200658)
Michael Raja PSP Batubara (200200662)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia, rahmat, dan hidayah-
Nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Poligami” untuk memenuhi
tugas Hukum Islam Lanjutan. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak H. Mulkan
Hamid LC., M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam Lanjutan atas bimbingan
yang diberikan.

Dalam penulisan makalah ini kami masih merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan, pertolongan, motivasi
dan bantuan sehingga Makalah ini dapat selesai tepat waktu. Semoga segala informasi yang
terdapat di dalam makalah ini berguna bagi kita semua

Medan, 11 November 2022

Kelompok 7

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 6

2.1 Pengertian Polligami ............................................................................................... 6

2.2 Alasan Berpoligami ................................................................................................. 7

2.3 Syarat-syarat Poligami............................................................................................. 7

2.4 Prosedur Harta Poligami .......................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 11

3.2 Saran ..................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menikah adalah salah satu Sunnah Rasulullah saw. yang tergolong penting. Bahkan
Rasulullah pernah berkata akan mengeluarkan seseorang dari barisan umatnya jika membenci atau
tidak mau untuk menikah. Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada yang namanya pemisahan diri
dengan kelompok tertentu yang memiliki jenis kelamin yang berbeda. Dengan demikian, Islam
sangat melarang adanya seseorang yang menghindar untuk menikah, baik itu laki atau perempuan
yang dengan sengaja menghindar untuk dinikahi karena sebab-sebab tertentu. Misalnya, seorang
wanita ingin tetap dalam kesucian. 1

Kata poligami itu selalu saja dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw. Beliau
berpoligami dengan cara yang dibenarkan oleh syariat dengan pengaplikasian ayat-ayat dalam al-
Qur’an yang mengatakan laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu. Dengan adanya ayat tersebut
yang menjadi pegangan bagi kaum laki-laki untuk melakukan poligami. Tetapi, banyak diantara
umat Rasulullah saw. yang kurang atau tidak mengerti sama sekali akan makna poligami yang
benar, sehingga menjadikan poligama hanya untuk melampiaskan kebutuhan seksual saja dan
menghilangkan tujuan mulia yang ada di dalamnya.2

Persoalan yang paling banyak dibicarakan dalam lingkup perkawinan adalah poligami.
Poligami ini memang sangat kontroversial, ada satu sisi menolak poligami dengan sandaran
berbagai macam, baik itu yang bersifat normatif, psikologis bahkan banyak pula yang mengaitkan
dengan munculnya ketidakadilan gender. Banyak pula penulis-penulis barat yang mengatakan
bahwa ajaran poligami ini awalnya bersumber dari agama Islam yang sangat diskriminatif terhadap
kaum perempuan. Kemudian disisi lain, poligami ini malah dikampanyekan karena mereka
menganggap memiliki sandaran normatif yang jelas dan tegas. Kelompok yang pro tersebut
memandang dengan adanya pembolehan tentang poligami ini bisa menjadi alternatif untuk
mengurangi perselingkuhan dan prostitusi yang merajalela. 3

1
Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi SAW (Makassar: Alauddin University Perss, 2013),
hlm.1
2
Agus Mustofa, Poligami Yuuk (Surabaya: PADMA Press), hlm. 225.
3
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Cet.V. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), hlm. 156.

4
1.2 Rumusan masalah

1. Apakah pengertian dari “poligami”?


2. Apa saja alasan melakukan “poligami”?
3. Bagaimana syarat-syarat untuk “poligami”?
4. Bagaimana prosedur poligami harta?

1.3 Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari “poligami”.


2. Untuk mengetahui alasan melakukan “poligami”.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk “poligami”.
4. Untuk mengetahui prosedur poligami harta.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Poligami

Poligami berasal dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus
yang berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika
kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam
jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan dalam bahasa arab, poligami sering diistilahkan dengan
ta’addud az-zaujat. Poligami menurut kamus bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan yang salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. Menurut
tinjauan antropologi sosial, poligami mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan
banyak wanita dalam waktu bersamaan, sedangkan poliandri adalah perkawinan antara seorang
wanita dengan beberapa orang laki-laki. 4

Istilah poligami jarang dipakai dikalangan masyarakat, dan hanya digunakan dikalangan
antropologi saja, sehingga secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian
perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan yang disebut poligami, dan
kata ini digunakan sebagai lawan dari poliandri. Sehingga secara istilah, poligami berarti ikatan
perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat “salah satu pihak”,
akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal dengan poliandri, maka
yang dimaksud poligami disini adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa
istri dalam waktu bersamaan.

Menurut Ny. Soemiyati, SH Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan
lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama. 5

Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari
seorang suami dan seorang isteri . Suami hanya mempunyai seorang isteri. Istilah lainnya
monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena
dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang
menjanjikan kedamaian.

Dalam hal ini poligami yang bersifat akhlaqi ada 2 ( dua) yaitu :

1. Poligami Dharuri.

4
Khoirul Abror. Poligami dan Relevansinya dengan Keharmonisan Rumah Tangga. Cet.1. Bandar
Lampung, 2016. hal 21-22.
5
Surjanti. "Tinjau Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia". (2014), hal. 15

6
Poligami Dharuri ini ini diperbolehkan apabila isteri pertama menderita sakit sehingga
tidak lagi melayani kebutuhan biologis sang suami, serta tidak mampu melayani tugas rutinnya
didalam rumah. Islam memandang bahwasanya perkawinan kedua bagi suami merupakan hal yang
bersifat dharuri/ diperbolehkan dalam masalah ini, si isteri menyarankan si suami untuk menikahi
wanita lain demi mendapatkan keturunan, tetapi si isteri disarankan untuk mencari pasangan lain
untuk suaminya secara ruhaniah dan perwatakan, dan sesuai dengan dirinya.

2. Poligami Hawa (nafsu)

Poligami ini tidak diperbolehkan apabila di dorong oleh godaan imajinasi seorang pria
bahwa wanita kedua akan memberikan kenikmatan yang berbeda dari isteri pertama sehingga ia
akan mengambil isteri kedua, ketiga dan seterusnya.

2.2. Alasan Berpoligami

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan seperti diungkapkan
sebagai berikut:

1. Istri tidak dapat memberikan keturunan (mandul)


2. Istri memiliki cacat badan yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri

Mengenai peraturan alasan pemberian izin poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya
mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan tersebut di atas
menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan
keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah)6

2.3. Syarat-Syarat Poligami

Poligami telah banyak didiskusikan kembali oleh berbagai pihak, baik yang menyetujui
diperbolehkannya secara mutlak, maupun yang menyetujui dengan persyaratan yang diperketat
dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang disebut Undang-Undang Perkawinan (UUP). Undang-Undang tersebut mengatur
tentang asas monogami, bahwa baik pria maupun wanita hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum dan agama yang mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang. Meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila memenuhi dari persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 7

6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-2, hlm. 47.
7
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta:Haji Mas Agung.1993), hal.10.

7
Hukum Islam maupun Undang-undang membolehkan adanya poligami yang bersifat
memberatkan dan tidak gampang untuk dapat dipenuhi oleh pelaku poligami. Persyaratan-
persyaratan tersebut adalah bertujuan untuk mengatur tertibnya poligami, supaya poligami tidak
dilakukan secara sewenang-wenang. Pengadilan Agama sebagai lembaga kekuasaan kehakiman
dalam menetapkan hukum yang berlaku berdasarkan hukum positif yang ada di Indonesia dan
secara khusus (lex specialis derogat) adalah hukum Islam sebagai hukum materilnya yang diambil
dari Al-quran, Hadis, dan paradigma berpikir fiqhn empat mazhab dan secara formil
dituangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang peradilan Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. 8

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk dapat mengajukan


permohonan izin poligami tersebut ke pengadilan, maka harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana berikut:

Pasal 4 UU Perkawinan :

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
3. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
4. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
5. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 UU Perkawinan :

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) Undang Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.

2.Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam

8
Orin Oktasari, Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Curup Terhadap Izin Poligami Suami yang
Tidak Memenuhi Syarat Poligami dalam Hukum Positif di Indonesia, Vol. 1 (!), Qiyas, 2016, hal. 42.

8
perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Untuk dapat membedakan persyaratan antara pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebut
dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan
permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus
dapat dipenuhi suami yang melakukan poligami. 9

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan sebagaimana diatur pada Pasal
57 dengan menggunakan syarat-syarat tertentu, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri


2. Isteri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Adapun dalam Islam, syarat untuk dapat melakukan poligami diterangkan dalam firman
Allah SWT, Surah an-­Nisa’ ayat 3 dan ayat 129. Menurut penjelasan ayat--ayat tersebut syarat
seseorang yang hendak berpoligami ialah ia harus mampu untuk berbuat adil terhadap istri--istri
dan anak--anaknya, baik dalam hal pemebrian nafkah, tempat tinggal, pakaian, makan dalam
mengatur giliran malam, dan sampai pada pendidikan yang layak terhadap anak. Atas dasar ini,
keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya
sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat
tinggal dan lain-­lain; bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar
kemampuan manusia. Dengan demikian praktek poligami bisa dilakukan oleh orang yang
meyakini bahwa dirinya mampu menjaga keadilan di antara istri--istrinya.

Ketika seorang laki--laki berkeyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan syarat--syarat


poligami dan memiliki sarana untuk melakukannya, maka dialah salah satu dari orang yang
diizinkan oleh agama untuk berpoligami. Sebaliknya orang yang hanya memikirkan kebutuhan
pribadinya tanpa melihat kebaikan dan keburukan keluarganya, hanya sibuk memenuhi kebutuhan
seksnya dan berpikir bahwa perempuan hanya sebagai sarana dan alat untuk memenuhi syahwat
laki­laki; Islam tidak mengizinkan orang semacam ini untuk berpoligami. 10

2.4. Prosedur Harta Poligami

9
Surjanti, Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia, Vol. 1 (2), Universitas
Tulungagung Bonorowo, 2014, hal. 18.
10
Dani Tiyaropa Hasibuan, Syarat Poligami Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Ditinjau Menurut
Hukum Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, 2008

9
Harta bersama dalam perkawinan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 94 ayat (1) dan (2).Dalam Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa harta bersama dalam
perkawinan poligami harus terpisah dan berdiri sendiri.Hal ini sesungguhnya untuk menghindari
terjadinya percampuran harta bersama yang dapat berakibat sengketa jika terjadi peristiwa matinya
suami atau istri dan peristiwa perceraian. Pada dasarnya hukum Islam memberi hak kepada
masing-masing suami istri untuk memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat
diganggu oleh pihak lain. Suami yang menerima pemberian, warisan dan sebagainya tanpa ikut
sertanya istri, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu.Demikian pula halnya istri
yang menerima pemberian, warisan, mahar, dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami berhak
menguasainya sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu.Harta bawaan yang telah mereka
miliki sebelum terjadi perkawinan juga menjadi hak masing-masing.

Perkongsian suami isteri tidak hanya mengenai kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan
keturunan. Mengingat Qur’an tidak memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama untuk
dijalankan.Maka tidak disalahkan syirkah abdan di jalankan di Indonesia. Menurut Penulis,
masalah harta bersama ini merupakan persoalan Ijtihadiyah yang belum pernah dibahas oleh
ulama-ulama fiqh. Sehingga untuk menggali hukum mengenai harta bersama diperlukan ijtihad
yang berpedoman pada ayat - ayat Al Qur’an yang merujuk pada harta bersama.

Harta bersama dihasilkan dari perkongsian suami isteri yang disebut dengan syirkah. Cara
terjadinya syirkah yaitu dengan cara tertulis atau ucapan nyata-nyata serta dengan penentuan
undang-undang. Syirkah antara suami isteri dapat pula terjadi dengan kenyataan dalam kehidupan
pasangan suami isteri itu .Cara ini memang hanya khusus untuk harta bersama atau syirkah pada
harta kekayaan yang diperoleh atas usaha selama dalam masa perkawinan.Diam-diam telah terjadi
syirkah itu, apabila kenyataan suami isteri itu bersatu dalam mencari hidup dan membiayai hidup.
Mencari hidup tidak selalu diartikan mereka yang bergerak keluar rumah berusaha dengan
nyata.Memang hal itu adalah yang pertama dan yang terutama.Tetapi di samping itu pembagian
pekerjaan yang menyebabkan seseorang dapat bergerak maju, dalam hal ini dalam soal kebendaan
dan harta kekayaan, banyak pula tergantung kepada pembagian pekerjaan yang baik antara suami
dan isteri.

Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991
tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dapat dipecah unsur-unsurnya sebagai
berikut:

1. pemilikan harta bersama


2. dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang (Poligami)
3. dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Tafsiran surat al-Nisa ayat 3 adalah, apabila dikhawatirkan tidak akan berlaku adil dengan
menikahi empat orang, maka nikahilah tiga orang perempuan saja. Dan apabila
dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil dengan menikahi 3 orang perempuan, nikahilah dua
orang saja. Jika masih dikhawatirkan dengan menikah dua orang perempuan maka
nikahilah satu orang perempuan saja. Akan tetapi, kalau dikhawatirkan tidak akan berlaku
adil dengan menikahi satu orang perempuan (merdeka), maka cukuplah bagimu budak
perempuan yang kamu miliki.
2. Dapat disimpulkan kepemilikan harta bersama dengan istri-istrinya dalam perkawinan
poligami akan berakhir semenjak akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Dari
uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa masalah harta bersama atau
pekongsian harta antara suami istri tidaklah diatur secara implisit di dalam Al Qur’an,
namun hal ini diperbolehkan. Menurut Mazhab Imam Syaf’i, perkongsian antara harta
suami dan istri tergolong dalam syirkah abdan dan syirkah mufawadah.
3. Poligami tidak bermaksud mengurangkan hak dan kehormatan wanita, tetapi menjunjang
kepentingan wanita. Pernikahan suaminya dengan wanita lain adalah lebih baik baginya
daripada perceraian.

3.2 Saran

1. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak sekali masyarakat yang kurang paham tentang
poligami sehingga banyak menimbulkan permasalahan karena kurang pemahaman akan
hal tersebut dan sebaiknya masyarakat yang kurang mengetahui tentang poligami
mempelajari maksud dan tujuan berpoligami yang sesuai dengan ajaran islam sehingga
tidak menjadi permasalahan lagi dikalangan masyarakat
2. Khususnya kepada para suami janganlah melakukan poligamu jika istri masih dapat
memenuhi kebutuhan baik secara lahir dan batin. Disamping itu pula jika ingin melakukan
poligami maka bersikap adil lah kepada istri dan anak-anak dan juga harus mendapatkan
persetujuan dari istri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan

11
Daftar Pustaka

Muhammad Yahya, Poligami Dalam Perspektif Nabi SAW (Makassar: Alauddin University Perss,
2013).
Agus Mustofa, Poligami Yuuk (Surabaya: PADMA Press).

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Cet.V. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014).

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-2.

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta:Haji Mas Agung.1993)

Orin Oktasari, Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Curup Terhadap Izin Poligami Suami
yang Tidak Memenuhi Syarat Poligami dalam Hukum Positif di Indonesia, Vol. 1 (!), Qiyas, 2016.

Surjanti, Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia, Vol. 1 (2), Universitas
Tulungagung Bonorowo, 2014.

Dani Tiyaropa Hasibuan, Syarat Poligami Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Ditinjau
Menurut Hukum Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, 2008

Surjanti. "Tinjau Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami Di Indonesia". (2014).

Khoirul Abror. Poligami dan Relevansinya dengan Keharmonisan Rumah Tangga. Cet.1. Bandar
Lampung, 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai