Anda di halaman 1dari 28

Surya Hema Malini1

Dandung Adityo Argo Prasetyo2

Menengok Tarian Perang dan Nilai Kepahlawanan dalam Naskah Pratèlan


Bêksa Wirèng Karna Tandhing Kaliyan Janaka

Abstrak

Artikel ini membahas adanya kesalahan-kesalahan serta kandungan isi


tentang deskripsi tari Karna Tandhing dalam naskah Pratèlan Bêksa Wirèng
Karna Tandhing Kaliyan Janaka yang harus diungkap. teks Pratelan Bêksa
Wirèng Karna Tandhing kaliyan Janaka berbentuk gancaran (prosa) dan berhuruf
Jawa carik berjumlah 52 halaman merupakan naskah tunggal koleksi
Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta. Setelah melalui cara
kerja filologi naskah ini memuat peperangan antara kesatria dengan raksaksa
meliputi iringan tari, gerakan tari Karna Tandhing, pola lantai, dan percakapan
serta diungkapkan nilai-nilai kepahlawanan dari lakon tari Karna Tandhing.

Kata kunci: Pratèlan Bêksa Wirèng Karna Tandhing Kaliyan Janaka, tari,
perang, Mangkunegaran.

I. Pendahuluan

Kebudayaan merupakan suatu identitas suatu negara yang merujuk pada


karakteristik suatu penjabaran tentang budaya yang bernilai adiluhung. Di dalam
kebudayaan terdapat beberapa unsur estetika yang beragam. Budaya iku dadi kaca
benggalaning bangsa (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang
menggambarkan peradaban suatu bangsa), demikian kata pepatah Jawa yang
sering diingatkan kembali oleh pakar multidimensi seni, ahli dan praktisi di
bidang bahasa dan sastra yaitu dua dhalang kondang seperti Ki Nartosabda dan Ki
Manteb Soedarsono dalam setiap pementasan wayang purwa yang digelarnya.
(Budiono Herusatoto, 2008 : 1).

Setiap bangsa memiliki kabudayan (kebudayaan) sendiri yang berbeda


dengan kebudayaan bangsa lain yang membuktikan peradaban suatu bangsa yang
bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran dan sejarah peradaban
yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Mengingat pentingnya kebudayaan,
maka banyak ragam peninggalan sejarah yang sangat menarik dan mengagumkan
yang mampu memberikan inspirasi pada kejayaan masa lampau.
Naskah lama merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan pada
masa lampau yang sangat penting yang di dalamnya terkandung ide-ide, gagasan

1
Pegiat naskah di Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta
2
Alumni Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta

1
dan berbagai macam pengetahuan tentang unsur-unsur kebudayaan yang
mengandung nilai luhur. Dengan alasan penting ini, maka penelitian terhadap
naskah lama sangatlah diperlukan. Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan
penanganan naskah adalah filologi. Pada umumnya naskah lama khususnya
naskah Jawa sulit dipahami oleh masyarakat apabila dilihat dari segi tulisan dan
ragam bahasa yang digunakan. Berdasarkan adanya penelitian ini dapat
memberikan informasi dan memperdayagunakan isi yang terkandung di dalam
naskah lama khususnya naskah Jawa yang memang menjadi objek kajian bidang
filologi.
Dalam kajian filologi, terdapat banyak macam klasifikasi tentang naskah-
naskah lama sesuai isi yang terkandung di dalamnya. Nancy K. Florida (1991)
mengklasifikasikan naskah–naskah lama tersebut menjadi 17 bagian yang ditinjau
dari segi isinya, yaitu : sejarah, adat istiadat, arsitektur, hukum, roman sejarah,
ramalan, kesusastraan, piwulang atau ajaran, wayang, cerita wayang, syair puisi,
roman Islam, ajaran Islam, sejarah Islam, mistik dan tari, linguistik, mistik
kejawen, dan obat-obatan.

Berdasarkan atas klasifikasi di atas tulisan ini terfokus pada naskah


berjenis kesenian dengan judul “Pratelan Bêksa Wirèng Karna tandhing Kaliyan
Janaka” yang berarti penjelasan tari wireng Karna tandhing dengan Janaka.
Naskah ini memuat deskripsi tari Karna Tandhing gaya Mangkunegaran
Surakarta. Isi dari naskah tersebut meliputi tentang gendhing (iringan tari),
deskripsi tari (koreografi), dan juga pola lantai penari (arah hadap penari). Peneliti
ingin mengetahui urutan gerakan Tari Karna tandhing Gaya Mangkunegaran
yang tertuliskan di dalam naskah ini, dan ingin mengetahui pesan yang
terkandung dalam lakon ini, yaitu nilai ajaran kepemimpinan dan juga nilai moral
yang tinggi. Tari Karna tandhing yang diajarkan atau dipublikasikan jaman
sekarang mayoritas menggunakan Tari Karna tandhing Gaya Kraton Kasunanan
Surakarta. Maka dari itu, dengan naskah ini memunculkan kembali Tari Karna
tandhing Gaya Mangkunegaran kepada masyarakat.

Berdasarkan hasil inventarisasi dari berbagai katalog tersebut ditemukan


4 buah naskah berjudul Pratelan Bêksa Wirèng Karna tandhing Kaliyan Janaka
(selanjutnya disingkat PBWKT). Naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta dengan nomor katalog lokal G 56,
dan juga ditemukan naskah dengan judul yang sama di Katalog Nancy K. Florida
dengan nomor katalog SMP/RP 687.3 yang merupakan katalogisasi naskah yang
tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta. Setelah
dilakukan pengecekan lanjut, ditemukan pula 3 (tiga) naskah dengan judul yang
sama di katalog induk naskah-naskah nusantara jilid 1 Museum Sonobudoyo
Yogyakarta (Behrend, 1990) dengan nomor katalog T3/SB 114, akan tetapi
berbentuk translitrasi naskah koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka. Naskah ke 2
ditemukan di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta dengan nomor

2
katalog K 199/T 13 (Lindsay et al, 1994) dan berbentuk seperti pada koleksi di
Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah ke 3 terdapat di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia dengan nomor katalog 291.05, tetapi hanya
berbentuk mikrofilm dari naskah koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran dengan nomor katalog SMP. 687. 3. Jadi, dapat disimpulkan,
bahwa naskah dengan judul PBWKT koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran tersebut adalah naskah yang diteliti dalam penelitian ini.
Dalam tulisan ini, penulis membedakan sumber data yang digunakan
menjadi 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data utama atau data primer
penelitian ini adalah naskah dengan judul PBWKT yang merupakan koleksi
Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta dengan nomor
katalog G 56. Sedangkan, data sekunder yaitu naskah dengan judul PBWKT
merupakan naskah koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan koleksi
perpusakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta serta microfilm naskah PBWKT
yang merupakan koleksi Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran yang
terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sebelum adanya tulisan ini telah ada penelitian terhadap judul Karna
Tinandhing yang sejenis, akan tetapi tulisan itu merujuk ke sebuah pertunjukan
seni seperti wayang dan tari oleh para penyaji dalam bentuk kesenian. Selain itu,
terdapat pula penelitian yang di dalamnya mengambil pêmbahasan tari wireng
secara umum, di antaranya 1) Muryati, Mahasiswa Sastra Jawa UNS angkatan
1999 meneliti tentang Serat Wedhataya (Suatu Tinjuan Filologis) yang di
dalamnya menceritakan tentang tari wireng, 2) sebuah buku dengan judul Serat
Kridhawayangga karangan Mas Sastrakartika dan dialihbahasakan T.W.K.
Hadisoeprapta yang di dalamnya berisikan tentang Pakem Beksa
(ketentuan/aturan tentang tari).
Naskah dengan judul PBWKT digolongkan ke dalam naskah dengan jenis
kesenian yang di dalamnya memuat tentang dekripsi gerak tari Karna Tinandhing
beserta gendhing dan pola lantai yang digunakan. Naskah PBWKT merupakan
suatu naskah yang memuat tentang deskripsi tari, yaitu tari perang tanding antara
Prabu Karna dengan Raden Janaka. Tari ini berbentuk beksan kembar alusan
lengkap dengan nama dan urutan gendhing, pocapan dan posisi atau pola lantai
penari. Tari ini mengambil cerita penjelasan dari pakem purwa lakon Bratayuda.
Tari ini merupakan urutan ke–3 dari 10 repertoar tari yang digarap sekitar tahun
1930 di Surakarta. Jaman pemerintahan Mangkunegaran VII, kesepuluh repertoar
tari tersebut ternyata hanya dipakai untuk pementasan di Istana Mangkunegaran.

II. Keadaan Naskah

PBWKT terdiri dari 52 halaman recto verso (2 halaman judul, 41 halaman


berisi deskripsi gerak tari, 6 halaman berisikan pola lantai berserta ringkasan
gerak tari dan 3 halaman kosong) dan berbentuk prosa. Naskah tersebut tersimpan

3
di Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta dengan nomor
katalog lokal G 56 dan Katalog Nancy K. Florida dengan nomor katalog SMP /
RP. 687.3. Di bawah ini akan di tampilkan sekilas keadaan naskah PBWKT

Gambar 1:
Nomor katalog PBWKT dalam katalog perpustakaan Reksapustaka Pura
Mangkunegaran

Gambar 2:
Nomor katalog PBWKT dalam katalog Nancy K. Florida

Pada penulisan judul naskah PBWKT ini, terdapat 2 bentuk penulisan


dengan menggunakan tulisan tangan Latin. Gambar 3 dan gambar 4 di bawah
menunjukan perbedaan judul naskah tersebut. Pada gambar 3 (sampul luar)
menyebutkan “Pratelan Běgsa Wirèng Karna Tandhing kaliyan Janaka” dengan
tulisan latin, akan tetapi pada gambar 4 (sampul dalam) menyebutkan “Pratelan
Ringkêsan Bêgsa Wirèng Karna Tandhing kaliyan Janaka ”.

Gambar 3 :
Judul naskah ditulis dengan huruf Latin

Gambar 4:
Judul naskah ditulis dengan aksara Jawa
Pada halaman sampul dalam naskah tertuliskan tanggal yang
kemungkinan selesainya penulisan naskah ini yang tertuliskan dengan
menggunakan tinta warna biru, selain itu pada akhir teks yang tepatnya pada
halaman terakhir pada naskah ini tertulis tanggal selesai penulisan naskah ini,
yaitu 12-1-‘31

4
Gambar 5:
Penulisan tanggal pada halaman cover dalam

Pada halaman akhir dari naskah ini tertuliskan penjelasan asal cerita dari
tari pada PBWKT dan tanggal selesainya naskah ini ditulis dan juga sudah
dicocokkan dengan tari yang sebenarnya. Penjelasan tersebut yaitu: kasêbut ing
Inggil, pêthikan saking pakêm purwa lampahan Bratayuda. Sarta sampun
kacocogakên kaliyan kawontênaning bêgsanipun. Sampun kacocogakên nalika
surya kaping: 26 Oktobêr 1930. terjemahan disebutkan di atas, mengambil dari
pakêm wayang purwa lampahan Bratayuda. Juga sudah dicocokan dengan
keadaan tarinya. Dan sudah di cocokan pada tanggal 26 Oktober. Penjelasan
tersebut tertera pada gambar di bawah ini :

Gambar 6:
Penjelasan asal cerita PBWKT

Penulis melakukan penelitian terhadap naskah dengan judul PBWKT ini


didasari oleh dua alasan, yaitu segi filologis dan isi dari naskah PBWKT.

1. Segi filologis

Secara filologis banyak ditemukan kesalahan di dalam naskah PBWKT.


Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam naskah PBWKT ini di antaranya :

- Perbedaan dalam penulisan judul naskah


Pada penulisan judul naskah PBWKT ini, terdapat 2 bentuk penulisan
dengan menggunakan manuskrip dan tulisan latin yang sudah di tampilkan pada
gambar 3 dan 4 diatas. Pada gambar 3 judul naskah di tuliskan dengan
menggunakan tulisan latin yang berbunyi Pratelan Bêgsa Wirèng Karna

5
Tandhing kalian Janaka. Pada gambar 4 di tuliskan dengan menggunakan aksara
Jawa/manuskrip yang berbunyi Pratelan Ringkêsan Bêgsa Wirèng Karna
Tandhing kaliyan Janaka.

- Penggunaan setengah halaman pada penulisan teks


Pada naskah PBWKT ini, menggunakan hanya setengah halaman folio.
Penulis bermaksud memakai hanya setengah halaman agar apabila ada
penambahan tulisan untuk melengkapi teks tersebut bisa di tuliskan dihalaman
yang kosong seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.

Gambar 7 :
Penulisan teks dengan menggunakan setengah halaman.

- Adanya penulisan menggunakan huruf Arab (1,2,3,…)


Pada naskah ini disetiap pergantian gerakan dan pergantian iringan
menggunkan huruf arab, seperti di bawah ini:

Gambar 8: Nomor Arab 1

Gambar 9: Nomor Arab 2

6
Gambar 10: Nomor Arab 3

Gambar 11: Nomor Arab 7 dan 3

- Adanya penulisan tanda baca “titik dua” (:) dan “titik”(.)


Pada naskah ini juga terdapat penulisan tanda baca huruf latin yaitu tanda
titik dua (:) dan tanda titik (.). tanda tersebut seperti yang tertera pada gambar di
bawah ini:

Gambar 12: Gambar tanda baca

- Adanya catatan tangan ketiga, yang kemungkinan menjadi


perbaikan dalam naskah ini.

Gambar 13:
Catatan tangan ke-3 pada teks

Pada gambar di atas “Nyêpêng dhadhap, malampah laras” terjemahan


“memegang dhadhap (lalu belok), berjalan pelan ”Kata lajêng minggêr,
merupakan catatan ketiga yang dimaksudkan untuk membenarkan gerakan pada
tari ini. Selain itu, catatan ke-eyang lain tampak pada gambar di bawah ini:

7
Gambar 14:
Catatan tangan ke-3 pada teks

Pada gambar di atas terdapat catatan tangan ke-3 yang tertuliskan pada
setengah halaman kosong tangan kiwa bengkok mangajêng nyakithing sipat
jaja. Terjemahan, tangan kiri bengkok kedepan nyakiting di depan dada.

- Adanya penambahan atau sisipan kata yang dituliskan oleh


penulisnya.

Gambar 15:
Penambahan atau sisipan pada teks

Pada gambar di atas tertuliskan “Gong : tanjak suku kiwa, ubêti sampur,
tangan kiwa mandhap sipat cêthik. Tangan têngên lastantun (F) lurus. Minger
mulat mangiwa” Terjemahan : “gong : tanjak kaki kiri, memegang sampur,
tangan kiri turun didepan pinggul. Tangan kanan lurus, menoleh ke kiri.” Pada
huruf F, merupakan penambahan kata yang dituliskan di luar teks, akan tetapi
penulis menambahkan tanda berupa huruf F agar pembaca tahu akan gerakan
selanjutnya.

- Ketidakkonsistenan dalam pemakaian kata

8
Gambar 16:
Ketidakkonsistenan pada teks

Pada gambar di atas, terdapat kata baksan, baksa dan baksa yang berarti
tari. Kata-kata tersebut seharusnya bêksan, bêksa, dan bêksa.

Gambar 17:
Penulisan kata salendro yang tidak konsisten

Kata salendro seharusnya slendro. Slendro adalah suatu laras dari


gamelan. Pada gamelan terdapat 2 bentuk laras, yaitu laras slendro dan laras
pelog.

Gambar 18:
Penulisan kata slêbêgan yang tidak konsisten

Kata slebegan seharusnya srepegan. Srepegan adalah suatu bentuk


iringan yang digunakan pada tari atau wayang.

9
- Hipercorect: perubahan ejaan karena pergeseran lafal
Dalam PBWKT ini juga ditemukan pergeseran lafal atau pengucapan.
Seperti gambar di bawah ini.

Gambar 19:
Penulisan kata ayak-yakan yang tidak konsisten

Kata ayak–yakan tersebut seharusnya ayak–ayakan. Ayak–ayakan ini


adalah salah satu bentuk iringan suatu tari.

- Penulisan kata yang tidak lazim.

Gambar 20:
Bagian teks yang terdapat kata katawang

Kata katawang seharusnya ketawang. Ketawang adalah suatu bentuk


iringan yang digunakan pada suatu pertunjukan kesenian. Dalam suatu
pertunjukan, selain bentuk ketawang ada juga bentuk ladrang dan juga lancaran.

Gambar 21:
Bagian teks yang terdapat kata sila dêkung

Kata sila dekung seharusnya sila dhengkul. Sila dhengkul merupakan


suatu bentu gerakan tari yang berbentuk duduk bersila.

Contoh-contoh di atas adalah sedikit dari beberapa kesalahan yang


terdapat pada PBWKT. Berdasar pada kesalahan-kesalahan yang ditemukan, maka
dalam PBWKT ditemukan sebanyak 3 (tiga) varian yang berupa hipercorect
berjumlah 24 (dua puluh empat) varian, adisi berjumlah 2 (dua) varian dan
lacuna berjumlah 3 (tiga) varian.

2. Segi isi
Naskah ini merupakan suatu naskah yang di dalamnya memuat tentang
tarian Karna Tinandhing. Karna Tandhing adalah suatu babak pertempuran

10
terbesar Baratayuda di Padang Kurusetra. Pertempuran dua senopati pilih
tandhing yaitu Arjuna dari kesatrian Madukara sebagai panglima perang Negara
Amarta melawan Adipati Basukarna dari Awangga sebagai panglima perang
Negara Astina. Arjuna atau Janaka lahir dari rahim seorang Ibu bernama Kunti
Nalibranta dengan Raja Astina Pandu Dewanata. Sedangkan, Basukarna atau
karna lahir dari seorang rahim seorang Ibu bernama Kunti Nalibranta dengan
seorang Dewa bernama Bathara Surya atau Dewa Matahari. Karna Tandhing
adalah sebuah pertempuran dua saudara kandung seibu tapi berlainan ayah.
Keduanya ini sakti, dan ahli dalam memanah. Dalam tarian ini, kedua penari
menggunakan property tari yaitu dhadhap dengan wayang sesuai lakon, keris,
gendhewa (panah) dan nyenyep (anak panah)

Bagian dari naskah ini antara lain :

- Gendhing (iringan tari)


Urutan yang tertuliskan pada naskah PBWKT ini antara lain :
a. Ladrang Laras driya pathet sanga
b. Ketawang Laras driya pathet sanga
c. Srepegan
d. Ayak–ayakan slendro pathet sanga
e. Suwuk

Gambar 22:
Nama iringan yang di gunakan pada tari Karna Tandhing

- Deskripsi Tari
Urutan gerakan dan juga uraian dari gerakan Tari Karna Tandhing
dalam PBWKT ini adalah :
1. Sila sêmbah

11
2. Jèngkèng nyêmbah
3. Sabêtan dandan
4. Tumindak majêng nayung
5. Capeng
6. Beksan laras
7. Gênjotan ukel
8. Tumindak majêng gênjot
9. Gênjot dhadhap
10. Gênjot hanglayang
11. Minger mangiwa tumindak majêng megos manengen
12. Gênjotan hanglayang
13. Gênjot hanglayang wangsul
14. Tumindak majêng srisig
15. Gênjot minger ajeng–ajengan
16. Tumindak majêng srisig
17. Gênjot minger manengen ajeng–ajengan
18. Tumindak majêng jêblosan
19. Gênjot minger mangiwa ajeng–ajengan
20. Tumindak majêng jêblosan
21. Gênjot menthang dhuwung kosok kempol
22. Hoyog–hoyogan prapatan
23. Prang dhuwung
24. Ubet menthang tangan kiwa
25. Tumindak majêng megos mangiwa
26. Srisig majêng jêblosan mubeng manengen
27. Ubet menthang tangan kiwa
28. Tumindak majêng megos mangiwa
29. Srisig menthang tangan kiwa
30. Ubet menthang tangan kiwa
31. Tumindak majêng
32. Sudukan lajeng sririg jêblosan
33. Ubet menthang tangan kiwa
34. Tumindak majêng
35. Sudukan lajeng srisig jêblosan
36. Srisig jêblosan
37. Cengkah uncal–uncalan
38. Tumindak majêng nyepeng gandhewa jemparing
39. Prabu Karna jemparing
40. Raden Janaka jemparing
41. Ulat–ulatan tumindak majêng nayung
42. Besud

12
Pada gambar dibawah ini adalah bentuk dari penjelasan bentuk gerakan
tari yang terdapat pada PBWKT. Sila nyêmbah : kêmpul, badan jejeg, tangan
kalih lurus nyakithing tumumpang wengkul kalih. Ingkang têngên inggih têngên,
ingkang kiwa inggih kiwa. Kethuk, èpèk–èpèk kalih jejeb… ”
terjemahan “1. bersila menyêmbah : kempul, badan tegak, kedua tangan
lurus nyakithing di atas kedua lutut. Yang kanan di kanan, yang kiri dikiri.
Kethuk, telapak kedua tangan terbuka”

Gambar 23:
Gerakan yang tertuliskan pada PBWKT

- Pola lantai (arah menghadap penari).


Adanya pola lantai penari (arah hadap), ini digunakan di setiap
pergantian gerakan. Selain itu di dalamnya juga terdapat maksud dari
arah hadap tersebut. Seperti gambar dibawah ini.

Gambar 24:
Gambar pola lantai penari pada PBWKT

- Dialog (percakapan)
Dalam dialog ini, berisikan tentang percakapan antara Prabu Karna
dan Raden Janaka yang pada teks tertuliskan dengan kata Sumbaran.

13
Gambar 25:
Gambar dialog atau percakapan pada PBWKT

Uraian di atas, maka PBWKT perlu untuk diteliti baik dikaji secara filologi
maupun dikaji secara isi. Kajian filologis digunakan untuk mêmbahas
permasalahan yang ada dalam naskah, sedangkan kajian isi digunakan untuk
mengungkapkan kandungan isi teks PBWKT. Namun dalam tulisan ini hanya akan
membahas isi kandungan yang termuat di dalam teks.

III. Deskripsi Naskah PBWKT

Deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986) adalah


gambaran dan rincian mengenai wujud fisik naskah maupun isi naskah secara
ringkas dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta
konteks isi yang terdapat di dalam naskah tersebut. Jadi, apapun yang terdapat di
dalam naskah dipaparkan dan dilaporkan apa adanya sesuai dengan data asli yang
ditemukan. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan atau
mengidentifikasi naskah antara lain; judul naskah, nomor, tempat penyimpanan
naskah, asal dan keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris per
halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah,
bentuk teks, umur naskah, pengarang/penyalin, asal-usul naskah, fungsi sosial
naskah dan ikhtisar teks atau cerita. Deskripsi naskah PBWKT dapat diuraikan di
bawah ini :
a. Judul Naskah :
“Pratelan Bêksan Wirèng Karna Prang Tandhing kaliyan
Janaka ” Judul naskah ini yang terdapat pada cover luar pada
naskah, judul ini ditulis menggunakan hurup latin. Selain itu,
terdapat pula judul yang sama akan tetapi menggunakan aksara
Jawa carik. Pada permulaan atau pembukaan dari naskah ini

14
juga terdapat tulisan menggunakan aksara Jawa yang
menunjukan judul dari naskah ini.
b. Nomor Naskah :
Nomor naskah menurut katalog lokal yaitu G 56 dan Katalog
Nancy K. Florida dengan nomor katalog SMP / RP. 687.3
c. Tempat Penyimpanan Naskah:
Naskah ini tersimpan di perpustakaan Reksapustaka Pura
Mangkunegaran Surakarta.
d. Asal Naskah:
Naskah berasal dari Pura Mangkunegaran Surakarta.
e. Keadaan Naskah:
Naskah dalam keadaan baik, akan tetapi jilidan sudah agak
rusak, namun tidak ada kertas yang terlepas, halaman masih
utuh, kertas masih baik.

f. Ukuran Naskah:
Ukuran sampul naskah:
panjang : 20,7 cm
lebar : 16 cm
ukuran kertas:
panjang : 20,6 cm
lebar : 15,9 cm
ukuran teks:
1) Lembaran depan (recto):
margin atas : 4 cm
margin bawah : 1 cm
margin kanan : 0 cm
margin kiri : 11 cm
2) Lembaran belakang (verso):
margin atas : 4 cm
margin bawah : 1 cm
margin kanan : 0 cm
margin kiri : 11 cm
g. Tebal Naskah:
Tebal naskah 0,5 cm, dengan uraian sebagai berikut: Jumlah
semua lembaran 52 lembar. Terdiri 1 halaman judul awal, 41
halaman yang di tulisi teks, 1 halaman kosong, 1 halaman judul
lagi yang merupakan permulaan teks yang berisikan pola lantai
penari dan juga gerakan yang dilakukan.
h. Jumlah Baris pada Setiap Halaman Naskah:
Jumlah baris pada tiap halaman rata-rata 22 baris per halaman.
i. Huruf, Aksara, Tulisan:

15
Huruf yang di gunakan dalam penulisan serat ini adalah huruf
Jawa carik. Ukuran huruf kecil dengan bentuk huruf
ketumbar(bulat-bulat) tulisan miring ke kanan. Keadaan tulisan
jelas dan mudah di baca walaupun ada beberapa tulisan yang
agak tebal dan ada pula yang tipis. Warna tinta yang digunakan
adalah hitam dan merah. Jarak antar huruf rapat, dan juga jarak
antar baris rapat.

j. Cara penulisan:
Cara penulisan teks pada setiap halaman ditulis bolak balik pada
bagian depan dan belakang (bersistem recto verso). Penomoran
ditulis dengan menggunakan angka Romawi yang ditulis di atas
teks dan berada di tengah-tengah. Penulisan PBWKT dimulai
dari halaman 1–41. Sedangkan pada halaman 42–45 merupakan
pola lantai yang digunakan penari beserta gerakannya.
k. Bahan naskah:
Kertas yang digunakan adalah kertas folio putih bergaris, tetapi
sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini dikarenakan
cuaca dan sudah termakan usia. Kertas agak tebal, masih kuat
dan belum rapuh. Sampul naskah menggunakan karton tebal
berwarna biru. Pada halaman awal menggunakan kertas HVS
yang digunakan untuk menuliskan judul naskah.
l. Bahasa Naskah:
Menggunakan bahasa Jawa ragam krama.
m. Bentuk Teks:
Naskah PBWKT ini berbentuk gancaran atau prosa.
n. Umur Naskah:
Umur naskah ini adalah 84 tahun
o. Identitas Pengarang atau Penyalin:
Dalam naskah ini tidak ditemukan nama pengarang atau penyalin
(anonim).
p. Asal-usul Naskah yang tersimpan di masyarakat:
Tidak ditemukan asal-usul naskah yang tersimpan di masyarakat.
q. Fungsi Sosial Naskah: -
r. Ikhtisar Teks/ Cerita:
PBWKT adalah jenis naskah tari, yang didalamnya dituliskan
tentang gendhing (Iringan Tari), uraian gerak tari dan juga pola
lantai yang digunakan oleh penari.

IV. Alur Tari dan Nilai Kepahlawanan dalam PBWKT

16
Tari merupakan seni pertunjukan yang mempunyai nilai-nilai estetika
yang sangat menarik. Selain itu tari mengandung makna simbolik dan menari
bukan hanya menggerakkan badan secara indah dan sesuai dengan aturan tari itu
sendiri. Seni tari bukan hanya merupakan suatu hiburan, akan tetapi juga sebagai
sarana olah yoga untuk mendapatkan keselarasan atara lahiriah dan batiniah. Tari
juga merupakan media untuk mengungkapkan perasaan manusia melalui gerak
tubuh manusia yang lemah gemulai (Fitri Agustina, 2011: 89).
Pratelan Bêksa Wireng Karna Tadhing kaliyan Janaka merupakan naskah
yang berlatar belakang seni tari. Tari yang dibahas dalam naskah ini yaitu tari
wireng Karna Tinanding gaya Mangkunegaran Surakarta. Tari Karna Tinanding
ini mengambil cerita dari perang Bratayuda dengan lakon Karna Tinanding.

Naskah ini ditemukan sejumlah 4 naskah, akan tetapi naskah yang


berbentuk manuskript Jawa hanya 1 yang tersimpan di perustakaan Reksapustaka
Pura Mangkunegaran Surakarta, ke–3 naskah lainnya berupa translitrasi dari
naskah yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka. Jadi dapat disimpulkan
bahwa naskah ini adalah naskah tunggal.

1. Deskripsi Gerak Tari


Naskah PBWKT ini berupa naskah bentuk prosa yang di dalamnya memuat
antara lain iringan (musik), Deskripsi gerak tari, pola lantai penari dan juga dialog
atau percakapan. Menurut Wahyu Santosa Prabowo3, tari Karna Tinanding ini
dibagi menjadi 4 bagian, yaitu maju beksan, beksan, perang, dan mundur beksan.
Di bagian pertama yaitu :
a. Maju Beksan
Maju Beksan merupakan suatu awal dari gerakan suatu tarian.
Dalam bagian ini berisikan gerakan sebagai berikut:
“Sêmbahan lajêng ngadêg ajêng–ajêngan lajêng bêksan
dandos, junjungan miwir sampur. Nuntên majêng nayung
dumugi gawang têngah sami miwir tancêp kiwa : gangsa
suwuk, grêget saut, capêng, lajêng sumbaran”

Terjemahan:
Menyembah lalu berdiri berhadapan dilanjutkan beksan
dandos, mengangkat kaki memegang selendang, lalu maju
nayung sampai panggung tengah dan juga memegang
selendang, tanjak tancap kiri: iringan berhenti, greget saut
lalu percakapan.

Pada awal sebelum gerakan dimulai, iringan yang digunakan adalah srepeg,
seperti yang tertera di bawah ini:
3
Dosen Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta, dalam wawancara pada tanggal 28 April 2013

17
“Gangsa mungel srêpêgan, manawi iramanipun sampun
ajêg, amiwiti beksa”

Terjemahan:
“Iringan dimulai dari srepegan, apabila irama sudah cepat
dimulailah gerakan tari.”

Pada saat tarian ini dimulai, penari juga menempatkan diri pada posisi
panggung yang sudah ditentukan, seperti gambar pola lantai di bawah ini:

Gambar 26:pola lantai 1

Pada pola lantai ini digambarkan penari masuk ke dalam panggung


melalui samping kanan dan kiri panggung. Setelah itu penari duduk bersila dan
melakukan gerakan sembahan. Selain itu, pada bagian ini kedua tokoh berdialog
seperti yang tertera di bawah ini:
Sumbaran
1. Prabu Karna : Janaka
Radèn Janaka : ana paran
2. Prabu Karna : kapasangyoga dene kowe katêmu
aneng kene. Dadi kasêmbadan panggonan ta antaraning atiku.
Marga rusaking gêlar. Kowe dadi kang madha.
Radèn Janaka : iya bênêr ujarmu samono iku. Nanging
sejatine Kurawa kang amiwiti cidra.
3. Prabu Karna : I babo, paksa kumaki ngêndêl–êndêlake
yen wis kongas gandhaning prajurit linuwih.
Terjemahan
1. Prabu Karna : Janaka
Raden Janaka : ada apa?
2. Prabu Karna : kebetulan bertemu di sini, jadi
terlaksana yang kuinginkan, Karena
rusaknya kekuasaan karena ulahmu.
Raden Janaka : iya benar kata-katamu itu, tetapi
sebenarnya Kurawalah yang
berkianat.

18
3. Prabu Karna : saudaraku, sangat sombong kamu,
mentang-mentang lebih terkenal
seperti prajurit sakti.

b. Beksan
Bagian kedua dari tari ini adalah beksan. Beksan dalam tari ini
dimaksudkan isi dari tarian tersebut. Dalam bagian ini apabila iringan sudah
masuk pada iringan Ladrang Laras Driya, dimulailah gerakan genjotan miring
dan dilanjutkan gerakan genjotan dhadhap seperti yang tertera di bawah ini:
“Bêksan gênjotan miring. Nuntên mingêr ajêng–ajêngan
lajêng bêksan gênjotan lumampah majêng. Nuntên mingêr
abên kiwa mundur manêngên wêdhi kêngser dumugi ing
gawang bêksan gênjot, tangan têngên nyêpêng dhadhap.”

Terjemahan
“Gerakan genjotan miring. Lalu serong berhadapan
dilanjutkan gerakan genjotan melangkah maju. Lalu serong
saling menghadap kiri mundur ke kanan wedhi kenser
sampai posisi sebelumnya. Tangan kanan memegang
dhadhap.”

Dilanjutkan gerakan seperti di bawah ini:


“Bêksan gênjot miring nyêpêng dhadhap lajêng mingêr
malampah laras lajêng ajêngan abn têngên majêng
ngejeng manêngên, lajêng srisik sami dumugi sipat
lênggah. Kêndel bêksan gênjot nuntên srisig lintu ênggen.”

Terjemahan:
“Gerakan genjot miring memegang dhadhap lalu serong
melangkah maju. Lalu berhadap-hadapan saling
menghadap kanan maju ke depan kanan, dilanjutkan srisig
sampai posisi sembahan.diam. dilanjutkan gerakan genjot
berpindah tempat.”

Pada gerakan ini penari pada posisi berhadapan seperti gambar pola lantai di
bawah ini:

19
Gambar 27:Pola lantai 2

Setelah kedua gerakan dilakukan, masuk pada iringan Ketawang Laras


Driya. Pada iringan ini, dilanjutkan gerakan seperti yang tertera di bawah ini:
“Bêksan gênjot miring abên kiwa. Mingêr ajêng–ajêngan
malampah laras majêng. Lajêng srisig gênjot losan mantuk
ing gawangipun piyambak–piyambak abên têngên. Ngunus
dhuwung mingêr ajêng–ajêngan. Mlampah laras majêng
srisig gênjot los kêndel ing têngah abên dhadhap. Lajêng
srisig lintu ênggen abên kiwa : [44] Gênjotan lajêng
mingêr ajêng–ajêngan, mlampah laras majêng srisig
jêblosan, kêndel ing têngah abên dhadhap, lajêng srisig
mantuk ing gawang abên kiwa. Mlampah majêng miring
kosok kempol. Lajêng srisig kêndel ing têngah abên kiwa
dhadhap gathuk sami dhadhap. Hoyog srapatan lajêng
srisig manthuk ing gawang. Nuntên mingêr ajêng–ajêngan
tancêp têngên.”

Terjemahan:
“Gerakan genjot miring saling menghadap kiri. Serong
berhadapan melangkah maju. Lalu srisig genjot lalu
kembali ke posisi sebelumnya saling menghadap kanan.
Mengambil keris serong berhadapan. Melangkah maju,
srisig genjot diam di tengah saling menghadap dhadhap.
Lalu srisig berpindah tempat saling menghadap kiri [44]
genjotan lalu serong berhadapan melangkah ke depan srisig
jeblosan, diam di tengah saling menghadap dhadhap, lalu
srisig kembali ke gawang saling menghadap kiri.
Melangkah maju miring kosok kempol. Lali srisig, diam di
tengah saling menghadap dhadhap kiri bersatu dengan
dhadhap. Hoyog lalu srisig kembali di posisi semua,
dilanjutkan serong berhadapan tanjak.”

Pada gerakan ini penari pada posisi saling menghadap kanan seperti gambar
pola lantai di bawah ini:

20
Gambar 28: Pola lantai ke-3

Pada akhir bagian ini terdapat dialog seperti di bawah ini:


Sumbaran.
1. Prabu Karna : Janaka
Raden Janaka : ana paran
2. Rabu Karna : wis ora ana pungkasane prakara iki. Ayo
padha ambuwang jêbêng muntu esthining
cipta ngudang-ngudang siyunge Bathara
Kala.
Raden Janaka : hya apa sakarêpmu dakturuti.
3. Prabu Karna : Kawruhanamu kêrisku iki paringane
Hyang Girinata pinaringake marang
Bathara Surya. Ing samêngko ana ing aku.
Yen kowe ora têdhas kêrisku iki, nyata
Janaka lananging jagad.
Raden Janaka : sanadyan kêrisku samono uga. [ 24 ]
peparinge Hyang jagad Giri Nata. Yen kowe
madal kêris. Nyata yen prajurit linuwih.
4. Prabu Karna : I babo, kapara ngarêp.

Gongsa lajêng mungal srêpêgan, lajêng ngêlik.

Terjemahan:
“Percakapan saling menangtang
1. Prabu Karna : Janaka
Raden Janaka : ada apa
2. Prabu Karna : sudah tidak ada selesainya masalah ini,
maro kita bersama-sama membuang tameng,
jangan membuat amarah yang lebih besar
lagi
Raden Janaka : terserah apa maumu, saya turuti
3. Prabu Karna : ketahuilah kerisku ini pemberian Hyang
Girinata yang diberikan kepada Bathara
Surya dan selanjutkan menjadi milikku.

21
Apabila kamu tidak mempan dengan kerisku
ini, memang kamu adalah satriapenguasa
dunia.
Raden Janaka : kerisku ini juga sama dengan kerismu, ini
adalah pemberian dari Hyang Jagad
Girinata. Apabila kamu tidak mempan
dengan kerisku ini, memang kamu prajurit
yang lebih unggul.
4. Prabu Karna : hai saudaraku, segeralah maju untuk
bertanding.

Iringan srepegan dilanjutkan ngelik.”

c. Perang
Bagian dari tari Karna Tinanding selanjutnya adalah Perang. Perang pada
tarian ini terdapat 2 perang yaitu perang keris dan perang panahan. Pada perangan
pertama yaitu perang keris dilakukan apabila iringan sudah masuk srepegan
seperti yang tertera di bawah ini:
“Mungal srêpêgan lajêng prang dhuwung
Seleh dhadhap mingêr abên têngên nayung majêng
ngenjeng ngiwa. Kendêl, sumbaran. Lajêng srisig
manêngên jêblos mubêng manêngên ngrapêt kendêl abên
têngên sudukan lajêng srisig mangiwa lintu ênggên ajêng–
ajêngan. Mingêr abên têngên nayung majêng ngenceng
mangiwa. Kendêl, sumbaran, lajêng srisig manêngên jêblos
mubêng manêngên ngrapet kendêl abên têngên ngrapêt
kendêl abên têngên sudukan, lajêng srisig mangiwa lintu
ênggen mantuk ing gawang ajêng–ajêngan.”
Terjemahan:
“Di mulai dengan Iringan srepegan dilanjutkan perang
keris
Meletakan dhadhap serong saling menghadap kanan,
nayung ke depan kiri. Diam. Dilanjutkan dialog. lalu srisig
ke kanan jeblos putar ke kanan merapat, diam saling
menghadap kanan, saling menusuk lalu srisig ke kiri
berpindah tempat berhadapan. Serong saling menghadap
kanan nayung ke depan kiri. Diam dilanjutkan dialog lalu
srisig ke kanan jeblos putar ke kanan merapat diam, saling
menghadap kanan merapat diam, saling menghadap kanan,
tusukan lalu srisig ke kiri berpindah tempat posisi semula
berhadapan.”

22
Setelah berganti pola lantai yang semula adalah saling menghadap kanan
menjadi pola lantai saling menghadap kiri. Penari melanjutkan gerkan selanjutnya
yaitu majeng nayung yang diteruskan meletakkan keris ke dalam tempatnya.
“Majêng nayung, gathuk lan mêngsah sudukan, lajêng
srisig mubêng manêngên jêblos rapêt abên têngên, kendêl,
sudukan, nuntên srisig mubêng mangiwa lintu ênggen
ajêng–ajêngan. Majêng nayung. Gathuk lan mêngsah,
sudukan. Lajêng srisig mubêng manêngên jêblos rapêt
abên têngên kendêl, sudukan. Nuntên srisig mubêng
mangiwa lintu ênggen mantuk ing gawang abên kiwa.
Seleh dhuwung.”
Terjemahan:
“Maju nayung, menyatukan dan bertanding dengan keris
saling menusuk, lalu srisig putar ke kanan jeblos merapat
saling menghadap kanan, diam. Tusukan dilanjutkan srisig
putar ke kiri berpindah tempat. Lalu srisig putar ke kanan
jeblos merapat saling menghadap kanan, diam, tusukan.
Dilanjutkan srisig putar ke kiri berpindah tempat kembali
ke posisi saling menghadap kiri. Meletakan keris.”

Gerakan selanjutnya adalah perangdengan menggunakan senjata berupa


panah. Pada gerakan ini pola lantai masih sama dengan pola lantai sebelumnya.
Pada saat Prabu Karna terlempar dan jatuh, gerakan perangan panah ini dimulai,
seperti yang tertera di bawah ini:
“Karna kauncalakên dhawah ing gawangipun piyambak,
wangsul majêng nayung lajêng nyindur cêngkah malih.
Karna kauncalakên srisig dhawah ing gawangipun, lajêng
ngrêngga jamang. Nuntên nyêpêng gandhewa jêmparing.
Nayung majêng ing gawang têngah mingêr abên kiwa
tancêp kiwa. Sumbaran, Karna mundur ngêmbat
jêmparing. Nuntên majêng ngincêng. Wangsul mundur
wêdhi kenser dumugi ing gawang. Jêmparing tancêp
kiwa.”
Terjemahan:
“Karna terlempar dan jatuh di gawangnya sendiri, kembali
maju nayung lalu cengkah lagi. Karna dilemparkan
kembali srisig jatuh di posisinya lagi, lalu memegang
jamang, dilanjutkan memegang busur dan anak panah.
Nayung maju di gawang tengah serong saling menghadap
kiri tanjak kiri. Dialog, lalu Karna mundur mengayunkan
busur panah. Dilanjutkan maju melihat lawan, mundur

23
kembali kenser sampai di posisi awal, memanah tanjak
kiri.”

Setelah Prabu Karna memanah, Raden Janaka tertantang dengan ucapan


Prabu Karna seperti di bawah ini:
Sumbaran:
1. Prabu Karna : Janaka
Raden Janaka : ana paran
2. Prabu Karna : aja katon wong lanang
dhewe, malêsa
Raden Janaka : tumêngaha
ing akasa, sumungkêma ing
pratiwi, sambata babumu
wadon, samêngko katon
patimu dening aku.
3. Prabu Karna : tibakna, tak blaknê
dhadhaku.

Gangsa lajêng sêsêg ngêlik. Prabu Karna lestantun kêndel.

Terjemahan:
Percakapan:
1. Prabu Karna : Janaka
Raden Janaka : ada apa
2. Prabu Karna : jangan karena kamu seorang
lelaki, membalaslah
Raden Janaka : terlihatlah ke
langit, mintalah doa restu
kepada bumi pertiwi,
mengeluhlah kepada
pembantumu. Nanti juga akan
tahu kalau kau mati di
tanganku
3. Prabu Karna : cepat akukan, aku bukakan
dhadhaku.

Iringan lalu seseg ngelik, Prabu Karna lalu diam.

Setelah iringan cepat, mulailah Raden Janaka memanah Prabu Karna


hingga mati seperti yang tertera di bawah ini:
“Janaka jêmparing. Patrapipun sami ing ngajêng. Karna
pêjah mapan linggih sila dhêngkul ngapurancang”

24
Terjemahan:
“Janaka memanah. Posisi sama di depan. Karna kembali,
mati ke posisi awal dan duduk bersila, ngapurancang.”

d. Mundur Beksan
Setelah Prabu Karna mati terkena panah Raden Janaka, tari Karna
Tinanding berlanjut pada bagian terakhir yaitu mundur beksan. Mundur beksan
adalah bagian penutup pada tari. Pada bagian ini terdapat gerakan seperti di
bawah ini:
“Ulat – tulatan sampir sampur nuntên majêng nayung
dumugi papan têngah ambalik tancêp têngên. Nuntên
nayung, mantuk ing gawang : sêmbahan.”
Terjemahan:
“Bertatapan menyampirkan selendang lalu maju nayung
sampai panggung tengah berbalik tanjak tancep,
dilanjutkan nayung kembali ke gawang awal. Dan
menyembah.”

2. Nilai Kepahlawanan

Nilai kepahlawanan dari PBWKT ini adalah peperangan antara Prabu


Karna dan Raden Arjuna, meskipun keduanya terlahir dari rahim yang sama serta
sama-sama dianugerahi kemampuan memanah yang mumpuni, mereka memilih
jalan yang berbeda. Arjuna berjuang di pihak Pandawakarena membela
kebenaran, keadailan dari Negara Astina. Sedangkan Karna lebih memilih setia
membela Kurawa karena ingin membalas budi terhadap jasa-jasa dan kebaikan
Prabu Duryudana.
Bibit perseteruan di antara mereka bermula tatkala diadakan turnamen
untuk menguji kemampuan para pangeran Astina dimana Arjuna berhasil keluar
menjadi pemenang. Kemampuan olah senjata, terutama memanah yang
ditunjukkan oleh Arjuna mampu membuat para penonton terkagum-kagum.
Tanpa diduga di saat itulah muncul Karna yang menantang Arjuna untuk
bertarung. Karena merasa tersinggung, Arjuna menerima tantangan tersebut.
Walau dendam begitu menggumpal di dada Karna, namun sejatinya di sudut hati
terselip rasa sayang kepada adik seibu berlainan ayah itu. Sebenarnyalah ada
terselip rasa simpati kepada perjuangan pandawa karena darahnya sangat dekat
dengan mereka. Namun jiwa satria dan ucap janji setia kepada Duryudana telah
terlepas dan itulah yang membelenggunya. Sebagai seorang satria pantang
baginya menelan ludah sendiri, mengingkari janji setia.
Ketika pertempuran terjadi dengan hebatnya terjadi keanehan dua ksatria
yang lihai dalam memanah itu saling menghujankan anak panah tapi tidak
satupun mengenai keduanya. Kadang berhenti kemudian saling pandang, saling

25
meneteskan air mata. Prabu Salya dan Prabu Kresna keduanya tahu, kedua putra
kunti itu tidak saling tega untuk membunuh bahkan melukai sekalipun sehingga
tidak satupun panah tepat sasaran. Prabu Kresna sebagai kusir Arjuna dan
botohnya Amarta (Pandawa) Tahu persis senjata Pasopati yang dipasang di
gandewa Arjuna. Maka Tali kendali kuda disentak sehingga kuda bergerak
kedepan tepat ketika Pasopati terlepas dari gandewa yang semula diarahkan hanya
di depan Karna tetapi karena kereta bergerak kedepan maka Senjata Sakti
Pasopati tepat mengenai leher Adipati Basukarna. Anak Dewa Surya itu
tersungkur mengenai kereta sehingga kereta hancur. Pasukan Amarta Gemuruh
Sorak sorai sebaliknya Pasukan Astina terdiam mundur melihat sedih Senopati
Besar Astina gugur di medan Pertempuran Padang Kurusetra.
Berdasarkan uraian di atas, nilai kepahlawanan dalam diri Prabu
Karna adalah :
a. Balas budi dan selalu mengingat jasa-jasa orang lain.
b. Setia dan selalu menepati janji.
c. Selalu ingat kepada Tanah Air yang sudah membesarkan namanya
dan mencukupi kebutuhan hidup. Dalam cerita ini, Prabu Karna
membela Negara Astina yang sudah membesarkannya.

Nilai kepahlawanan dari Raden Arjuna adalah :


a. Selalu membela dan menegakan kebenaran serta menghancurkan
angkara murka.
b. Bertekad besar dan pantang menyerah untuk membela Tanah Airnya.
c. Tidak membeda-bedakan orang.

V. Kesimpulan

Naskah Pratelan Bêksa Wirèng Karna Tandhing Kaliyan Janaka


merupakan naskah koleksi Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran
Surakarta dengan nomor katalog G 56/SMP/687.3 yang merupakan naskah
tunggal. Setelah diteliti melalui cara kerja filologi ditemukan 3 (tiga) varian yang
berupa hipercorect berjumlah 24 (dua puluh empat) varian, adisi berjumlah 2
(dua) varian dan lacuna berjumlah 3 (tiga) varian.

Naskah Pratèlan Bêksa Wireng Karna Tandhing kaliyan Janaka adalah


jenis naskah kesenian yang di dalamnya berisikan tentang deksripsi tari Karna
Tandhing Gaya Mangkunegaran Surakarta. Isi yang terkandung di dalamnya
adalah deskripsi dari tari Karna Tinandhing yang meliputi iringan tari, deskripsi
gerak tari, pola lantai dan juga dialog atau percakapan yang sudah di bagi menjadi
4 bagian yait maju beksan, beksan, peran dan mundur beksan. Dalam PBWKT
terdapat pula nilai kepahlawanan yaitu sebagai seorang satria yang pantang
mengingkari janji dan dapt diibaratkan menelan ludah sendiri, dan tidak akan

26
mengingkari janji setia.Dalam cerita ini, terdapat pesan yaitu pertempuran,
peperangan,dan perkelahian adalah simbol nafsu manusia yang tidak pernah mau
mengerti tentang peradaban yang Agung di bumi ini. Selama kita masih merasa
hebat masih merasa kuat dan masih merasa segalanya, selama itu pula hidup kita
tidak akan pernah damai dan tentram.

27
Daftar Referensi

Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum


Sana Budaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
___________. 1996. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid IV
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Budiono Herusatoto. 2008. Simbolis Jawa. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Emuch Herman Soemantri. 1986. Identifikasi Naskah. Bandung: Fakultas sastra
Unversitas Padjadjaran.
Fitri Agustina. 2011. Istilah Gerak Dan Perlengkapan Tari Gambyong Pareanom
( Suatu Tinjauan Etnolingustik ). Surakarta : FSSR UNS
Florida, Nancy K. 1996. Javanese Language manuscripts of Surakarta Central
Java a Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II.
Lindsay, Jennifer et al. 1994. Seri Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid
II Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mas Sastrakartika. 1956. Pakem Beksa alih bahasa T.W.K. Hadisoeprapta.
Surakarta: Tambaksegaran Trimoerti.
Muryati. 2006. Serat Wedhataya ( Suatu tinjauan Filologi ). Surakarta : Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Surya Hema Malini. 2014. Pratèlan Bêksa Wirèng Karna Tandhing Kaliyan
Janaka (Suatu Tinjauan Filologis). Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.

28

Anda mungkin juga menyukai