Anda di halaman 1dari 3

Analisis novel saman karya Ayu Utami tahun 1998

Pada novel berjudul “Saman” terdapat enam karakter. Pertama Wis atau Saman yang
merupakan tokoh utama laki-laki. Kemudian ada Laila, Yasmin, Shakun Tala, dan Cok yang
merupakan empat orang perempuan yang bersahabat semenjak bersekolah. Terakhir ada Upi,
seorang gadis yang memiliki keterbelakangan mental. Perspektif penulis di novel ini cukup
menarik karena mengangkat topik yang cukup berat dan masih dianggap tabu pada saat itu
seperti politik, agama, iman, dan antropologi sosial serta dibalut dalam bahasa kiasan dan
perumpamaan. Pada novel ini tokoh perempuan digambarkan dengan bahasa-bahasa yang
cukup vulgar dan merendahkan. Posisi tokoh perempuan dalam novel ini digambarkan
bermasalah dengan sosok laki-laki.

1. Wanita digambarkan dengan bahasa yang vulgar.


Kata-kata yang digunakan oleh penulis untuk menggambarkan fisik dan kejadian yang
dialami tokoh wanita vulgar dan frontal. Penulis Ayu Utami mendeskripsikan fisik
tokoh-tokoh wanita pada novel ini secara gamblang dan menggunakan male gaze
yang cukup kuat.
“. Dia katakan, dada saya besar. Saya menjawab tidak sepatah kata...Dia katakan,
bibir saya indah. Ciumlah. Cium disini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya
telah berdosa. Meskipun masih perawan.” (hal. 4)
“... Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia bisa berkeliaran di jalan-jalan dan
menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda-tonggak, pagar, sudut
tembok-seperti binatang yang merancap.” (hal. 68)
“... Setiap kali, ia juga menganiaya hewan-hewan itu, kadang sampai mati. Karena ia
juga memperkosa dan menyiksa ternak tetangga, kami terpaksa memasungnya.” (hal.
71)
“Lalu ia menghisap puting susuku, lama sekali, kemudian bercerita...” (hal. 134)

2. Posisi wanita lebih rendah.


“Dalam perjalanan pulang dia bilang, sebaiknya kita tidak usah berkencan lagi (saya
tidak menyangka). “Saya sudah punya istri.” Saya menjawab, saya tidak punya pacar,
tetapi punya orang tua. “Kamu tidak sendiri saya juga berdosa.” Ia membalas, bukan
itu persoalannya. “Orang yang sudah kawin tidak bisa begitu.” Saya mengerti meski
masih perawan.” (hal. 5)
Misalnya tokoh Laila, seorang reporter yang jatuh cinta kepada laki-laki beristri
bernama Sihar. Sosok Laila diceritakan sangat menginginkan cinta hingga rela
menjalin hubungan dengan laki-laki beristri meski dia memiliki rasa bersalah terhadap
kedua orang tuanya. Selain itu, sosok Laila posisinya lebih bawah dan tidak memiliki
kontrol terhadap hubungannya dengan Sihar. Sosok Sihar datang dan pergi begitu saja
karena takut ketahuan istrinya.
“Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan, sebab kami
memang tak hendak tidur siang. Dia katakan, dada saya besar. Saya menjawab tidak
sepatah kata. Dia katakan, apakah saya siap. Saya jawab, tolong, saya masih perawan.
(Adakah cara lain.) Dia katakan, bibir saya indah. Ciumlah. Cium disini. Saya
menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan.” (hal.
4)
“Lalu ia berkata, “Sudah lama saya menunggu saat ini,” dan mengecup bibir saya.
Dan saya akan membalasnya dengan gemas sampai ia tak sanggup menahan lagi.
Barangkali, kami melakukan nya di taman ini, disini, di bangku sebelah gelandangan
yang tidur nyenyak, diantara biji-biji kitiran yang diterbangkan angin. Kami
melakukannya tanpa melepaskan seluruh pakaian, sebab hari masih terlalu dingin
untuk telanjang. Setelah itu, mengulanginya di kamar hotel, tanpa berlekas-lekas,
dimana kulit saya bisa menikmati kulitnya, dan kulitnya menikmati kulit saya, sebab
kami telah menanggalkan semua pakaian. Dan kami berkeringat.” (hal.30)

3. Seorang wanita mementingkan afeksi dan gairah seksual.


Tokoh Upi diperkenalkan sebagai gadis berketerbelakangan mental yang memiliki
gairah seksual tinggi. Narasi-narasi yang dibangun oleh penulis mengenai tokoh Upi
menggambarkan wanita adalah mahkluk irasional. Sebuah mahkluk yang bahkan
ketika kehilangan rasionalitasnya tetap memiliki gairah seksualitasnya.
“Sudah lama saya menunggu saat ini,” dan mengecup bibir saya. Dan saya akan
membalasnya dengan gemas sampai ia tak sanggup menahan lagi. Barangkali, kami
melakukan nya di taman ini, disini,” (hal. 30)
“... Gadis itu dikenal di kota ini karena satu hal. Dia bisa berkeliaran di jalan-jalan dan
menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda-tonggak, pagar, sudut
tembok-seperti binatang yang merancap.” (hal. 68)
“... Setiap kali, ia juga menganiaya hewan-hewan itu, kadang sampai mati. Karena ia
juga memperkosa dan menyiksa ternak tetangga, kami terpaksa memasungnya.” (hal.
71)
“Wis terdiam sebab belum pernah ada perempuan yang mengelus jarinya, Sehingga ia
tak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia ingin menarik tangannya, tetapi khawatir itu
menyinggung perasaan Upi. Dengan ragu dibiarkannya perempuan itu meraba,
menjulurkan tangan keluar untuk menyentuh lengannya yang berlumur darah dan
peluh. Perempuan itu, tatapan sepasang matanya yang tidak seragam lalu meluncur ke
bawah; dari wajah pemuda itu, ke perutnya, dan berhenti di pangkal paha si lelaki;
seraya tangannya menjamah gumpalan disana sebelum Wis menyadari.” (hal.76)
Sosok Shakun Tala digambarkan sebagai wanita yang menolak ketentuan-ketentuan
sosial yang telah ditetapkan untuk wanita semenjak ia kecil. Dia cukup tertarik
dengan seks semenjak kecil dan menganggap posisi laki-laki dan perempuan dalam
hal keperawanan sama saja.
“Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak-perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku
telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik
bayaran.” (hal.115)
“Disini, di kota ini, malam hari ia mengikatku pada tempat tidur dan memberi aku dua
pelajaran pertamaku tentang cinta...” (hal. 116)
“Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi.” (hal.125)
“Pada semester kelima kuliah baru ia mendapat teman kencan yang mengelus-elus
tengkuk dan telinganya...” (hal. 128)
sosok Cok diceritakan melalui perspeksi atau gambaran dari perspektif Shakun Tala.
“Apakah kamu tidur dengan mereka semua? Tidak, jawabnya. Sebagian aja...” (hal.
152)
Sosok Yasmin yang sudah memiliki suami jatuh kedalam dosa yaitu mencintai “Wis”.
“(tubuhmu seumpama pohon kurma, dan buah dadamu gugusannya kataku: aku ingin
memanjat pokok itu memegang gugusannya)” (hal. 184)

Anda mungkin juga menyukai