Anda di halaman 1dari 17

Pertemuan Ke-13

Hubungan Bilateral Australia-RI


(Pemberontakan PRRI/Permesta)
Pemerintah Australia dan Amerika Serikat
mencari alternatif untuk menghambat laju
perkembangan komunis di Indonesia mencari
langkah strategis untuk menggulingkan
pemerintahan Soekarno yang terbukti pro-
komunis.
Ada dua alternatif ditempuh; (1) mendukung
gerakan pembangkangan di luar Jawa; (2) atau
menggunakan TNI – AD.
Pemerintah Australia tidak berminat menggunakan TNI-AD
sebagai langkah alternatif untuk menggulingkan pemerintah
Sukarno (pro-komunis) dengan pertimbangan:
(1) Peristiwa 17 Oktober 1952 menunjukkan di kalangan TNI –
AD kurang kompak untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno
yang termanifestasi dalam sikap mendukung atau menentang
pemerintahan Soekarno.
 Selain itu di kalangan TNI-AD juga tidak kompak dalam sikap
mendukung atau melawan PKI, dan terjadinya persaingan
perseorangan di kalangan TNI –AD.
 Oleh karena itu ancaman terhadap kepen-tingan keamanan
Australia akan tetap sama besarnya.
 Peristiwa itu bermula dari aksi yang ditunjukkan KSAD Abdul
Haris Nasution yang mendapat dukungan dari sekelompok
perwira tinggi terutama dari Divisi Siliwangi yang bertujuan untuk
mengurangi pengaruh parlemen dan kekuasaan partai-partai
politik.
Dalam latar belakang politik seperti itu, Presiden
Soekarno akan diberi kekuasaan eksekutif yang
kuat dalam pengertian formal, dan karena itu ia
harus tunduk di bawah kontrol TNI – AD.
Namun Presiden Soekarno dengan sejumlah
perwira daerah berhasil menolak tuntutan tsb.
 Oleh karena itu ancaman terhadap kepen-tingan
keamanan Australia akan tetap sama besarnya.
(2) Menurut pemerintah Australia, sikap sebuah
pemerintahan yang dikendalikan tentara
mengenai masalah Irian Barat tidak akan jauh
berbeda dari sikap Soekarno.
 Pihak Australia sangat berhati-hati dalam menentukan
sikap untuk menerima ajakan Amerika Serikat untuk
membantu pembangkangan para tentara di luar Jawa
yakni pemberontakan Permesta dan PRRI (1958).
 Posisi Australia cukup sulit untuk menentukan sikap
terhadap aksi pembangkangan tersebut jika
dibandingkan dengan sikap Amerika Serikat yang secara
tegas mendukung para pembangkang PRRI /Permesta.
George McT. Kahin dalam makalah berjudul Impact of
US Policy on Indonesia Politics, beranggapan bahwa
betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat
dalam masalah-masalah politik di Indonesia, karena
kekhawatiran Washington tentang kemungkinan
Indonesia jatuh ke tangan komunis.
Pemerintah Australia berhati-hati bersikap terhadap kasus
ini.
Pemerintah Australia secara terpaksa tidak mempedulikan
ajakan Amerika Serikat untuk mendukung para
pemberontak yang ada di Sumatera maupun di Sulawesi.
Pemerintah Australia prihatin terhadap dukungan
Amerika Serikat yg dapat mengundang kekuatan asing
(Uni Sovyet maupun RRT) dalam kemelut di Indonesia.
 Hal ini dapat berkembang menjadi konflik terbuka di
kawasan Asia Tenggara khususnya di Indonesia seperti
halnya di Korea maupun Vietnam.
Hal ini sangat membahayakan keamanan Australia, karena
Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi
Australia.
Dalam konteks Perang Dingin, Presiden Amerika Serikat,
Eisenhower lebih suka Indonesia terpecah-pecah daripada jatuh
ke tangan komunis.
 Oleh karena itu Agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan
dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi
pasukannya.
Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein diundang
CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti pengiriman
senjata dan dana dalam jumlah besar ke Padang.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada kaum
pemberontak Permesta di Sulawesi.
 Pesawat-pesawat Amerika Serikat yang beroperasi dari
pangkalan – pangkalan militer di Taiwan dan Philipina
menerjunkan berbagai barang keperluan makanan, amunisi,
sampai berbagai jenis senjata api untuk para pemberontak di
Sumatera dan di Sulawesi.
Pemerintah Australia bersikap “netralitas yang tegas” dan mencegah
intervensi negara asing di dalam sengketa yang terjadi di Indonesia,
seperti apa yang diungkapkan oleh Menlu Australia, R.G. Casey :
“Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh negara-negara lain adalah
untuk tetap berada di luar perselisihan yang terjadi sekarang ini, dan
berharap agar Indonesia dapat menyelesaikan sengketa itu diantara
mereka sendiri, tanpa pertumpahan darah yang lebih banyak, dan
tanpa melibatkan negara lain…. Kemungkinannya bisa berkembang
demikian rupa, sehingga perselisihan tersebut meningkat pada
tahap yang mengkhawatirkan perdamaian internasional.
Namun pemerintah Australia tidak dapat menghindar dari tekanan
Amerika Serikat sebagai negara penjamin keamanan di kawasan
Asia-Pasifik seperti yang ditunjukkan Menlu Amerika Serikat, John
Foster Dulles yang menyatakan “siapa yang tidak berpihak kepada
Amerika Serikat berarti musuh Amerika Serikat.
Berkenaan dengan itu Australia mengikuti
permintaan Amerika Serikat dengan
mendukung pemberontakan PRRI/Permesta
secara rahasia, sekalipun sikap yang demikian
ini bertentangan dengan pernyataan Menlu
Australia, R.G. Casey yang secara terus-
menerus menyatakan bahwa Australia tidak
“terlibat” dan bersikap “netral.”
Dengan demikian sikap politik Australia yang
demikian ini dapat dimaknai sebagai kebijakan
politik yang “netral dan tidak tegas” di dalam
mendukung pembrontakan PRRI-PERMESTA.
Australia merasa prihatin terhadap perkembangan komunis
yang semakin kuat di Indonesia dan dimungkinkan Indonesia
akan menjadi negara komunis dan akan mencaplok Irian Barat.
Demikian juga Amerika Serikat juga merasa prihatin terhadap
kecenderungan Indonesia menjadi negara komunis, dan
merasa tidak senang Indonesia yang dimungkinkan akan
menjadi negara komunis memperoleh suatu daerah (Irian
Barat) di kawasan Pasifik.
Bagi Australia semakin menarik untuk berupaya memaksa
Amerika Serikat mengambil tindakan guna melindungi
Australia.
 Namun bagi Amerika Serikat lebih tertarik untuk
menggulingkan pemerintahan Soekarno atau untuk memecah-
belah Indonesia melalui pemberian bantuan kepada para
pemberontak PRRI/Permesta secara rahasia.
Amerika Serikat mendukung pemberontakan
PRRI/Permesta karena merasa khawatir terhadap
kemungkinan jatuhnya Indonesia ke tangan komunis, dan
Presiden Amerika Serikat, Eisenhower lebih suka memilih
Indonesia terpecah-pecah daripada jatuh ke tangan
komunis.
Dukungan Amerika Serikat kepada para pemberontak
PRRI/Permesta ditandai datangnya LetnanKolonel Ahmad
Husein di pangkalan Amerika Serikat di Singapura yang
diikuti pengiriman senjata dan dana ke Padang.
Pesawat-pesawat terbang Amerika Serikat yang
beroperasi dari pangkalannya di Taiwan dan Philipina
menerjunkan berbagai keperluan makanan, amunisi dan
berbagai jenis senjata untuk para pemberontak baik yang
ada di Sumatera maupun Sulawesi.
Jika dilihat dari sudut pandang Australia, pemberontakan
PRRI/Permesta merupakan suatu gerakan potensial untuk
menjauhi rezim Soekarno yang dianggap bertendensi ke
arah komunis dan menunjukkan sikap yang semakin
ekspansif terhadap pembebasan Irian Barat.
 Semakin kuat kedudukan komunis di Indonesia sangat
mencemaskan bagi Australia, oleh karena prospek
mempunyai negara tetangga Indonesia yang komunis tidak
menarik atau bahkan sangat mengkhawatirkan Australia,
karena rezim Soekarno yang pro-komunis bersikeras untuk
menguasai suatu kawasan yang dilihat oleh Australia
sebagai wilayah yang vital bagi kepentingan keamanannya.
 Berkenaan dengan itu, sangat mudah untuk dipahami jika
Australia memberikan bantuan kepada Amerika Serikat
dalam aksi rahasianya di tahun 1958.
Bukti keterlibatan pemerintah Australia dalam pemberontakan
PRRI/Permesta dengan menyediakan dua kapal (HMAS Voyager
dan HMAS Waramunga) yang berhenti di lepas pantai Sulawesi
Selatan dengan berpura-pura memberi perlindungan jika terjadi
evakuasi warga negara Inggris dan Amerika Serikat.
 Di samping itu kapal-kapal selam Amerika Serikat yang
mendukung pemberontakan PRRI-/Permesta dengan
menggunakan wilayah Australia di Pulau Christmas.
 Nampaknya kegiatan CIA mendapat persetujuan menggunakan
lapangan udara di Australia atau New Guinea (daerah jajahan
Australia) untuk penerbangan-penerbangan yang akan
beroperasi membawa perlengkapan militer serta misi
pengeboman.
Selain itu menurut Prados, Angkatan Udara Australia ikut misi
penerbangan guna mengedrop persenjataan kepada tentara
pemberontak PRRI/Permesta.
Bukti keterlibatan Australia dalam pemberian
dukungan kepada para pemberontak PRRI/Permesta
diakui seorang kolonel angkatan laut Amerika
Serikat, Fletcher Drouty yang bekerja sebagai
seorang perwira penghubung Pentagon dengan CIA
yang menyatakan sebagai berikut: “… the Australian
was with full knowledge. They were aware of what
we were doing and that they would have been called
upon to help the thing had been successful.”
Hal ini bertentangan dengan pernyataan Menlu,
Australia, R.G. Casey yang secara berulang
menyatakan bahwa Australia menjalankan sikap
politik “netralitas dan tegas” terkait dengan
pemberontakan PRRI/Permesta.
Perkiraan CIA terlalu tinggi terhadap kemampuan pasukan
pemberontak PRRI/Permesta dan meremehkan kemampuan dan
tekad pemerintahan Soekarno untuk memadamkan pemberontakan.
Hal ini terbukti pada pertengahan April 1958 Menlu Amerika Serikat,
John Foster Dulles mencoret rencana pemberian bantuan kepada
para pemberontak setelah pihak pemberontak mengalami kekalahan
secara berturut-turut pada tanggal 30 April 1958.
Ia kemudian menelepon Presiden Eisenhower untuk membecarakan
pengalihan dukungan dari para pemberontak kepada pemerintah
Soekarno.
 Selanjutnya Presiden Eisenhower segera mengulangi pernyataan
secara terbuka seperti yang pernah dilontarkan Menlu Dulles bahwa
Amerika Serikat bersikap netral dan ia mengatakan bahwa orang-
orang Amerika Serikat yang ada di belakang para pemberontak
adalah “tentara bayaran” yang kegiatannya tidak dapat dikontrol oleh
Amerika Serikat
Jatuhnya Sumatera pada Mei 1958 oleh pemerintahan Soekarno,
di mata Amerika Serikat kemampuan pemberontak
PRRI/Permesta untuk berhasil melawan pemerintahan Soekarno
peluangnya menjadi sangat tipis meskipun CIA belum
melepaskan dukungannya.
Keprihatinan Amerika Serikat terkait sikap Presiden Soekarno
yang menyetujui perjanjian pembelian senjata pada 6 April 1958
sebesar $ 60.000.000,- dari negara-negara Blok Timur yang
meliputi: Polandia, Cekoslovakia, dan Yugoslavia, dan rasa
simpatik pemerintahan Soekarno kepada negara-negara
komunis.
Hal ini yang menyebabkan Amerika Serikat berusaha keras
mengambil simpatik kembali kepada pemerintahan Soekarno
dengan jalan Menlu John Foster Dulles menyetujui permohonan
Indonesia pada 20 Mei 1958 untuk mengutuk campur tangan
asing dalam pemberontakan PRRI/Permesta maupun
pembebasan Irian Barat.
 Selain itu Amerika Serikat juga menyetujui untuk memasok
sejumlah persenjataaan dan beras untuk RI. Berkenaan dengan
kebijakan semacam ini, menurut Duta Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia, Howard Jones berharap agar Indonesia secara logistik
bergantung kepada Amerika Serikat dan bukan kepada Blok Sovyet.
Perubahan drastis kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat
terhadap Indonesia dari upaya penggulingan pemerintahan
Soekarno atau upaya memecah belah pemerintahan Soekarno ke
arah pendekatan dengan Soekarno, maka Australia menjadi
khawatir akan akibatnya terhadap sengketa Irian Barat.
 Kebijakan penjualan senjata Amerika Serikat kepada Indonesia
yang menurut pandangan Australia dapat digunakan untuk
merebut Irian Barat, dan sikap Amerika Serikat yang netral
terhadap sengketa Irian Barat demi hubungan baik dengan
Indonesia merupakan perkembangan yang tidak menyenangkan
bagi Australia.
 Berkenaan dengan itu Menlu Australia, R.G. Casey
menemui Duta Besar Amerika Serikat di Australia,
Beale untuk disampaikan kepada Amerika Serikat
tentang sikap Australia yang merasa keberatan
terhadap kebijakan penjualan senjata Amerika
Serikat yang dimungkinkan untuk pembebasan Irian
Barat.
 Menlu John Foster Dulles meyakinkan kepada Beale
bahwa senjata-senjata yang dijual kepada Indonesia
tidak untuk pembebasan Irian Barat dengan
mengatakan sebagai berikut “it would made
absolutely clear to the Indonesians in the future that
any American aid must not be used for such a
purpose.”  

Anda mungkin juga menyukai