(Pemberontakan PRRI/Permesta) Pemerintah Australia dan Amerika Serikat mencari alternatif untuk menghambat laju perkembangan komunis di Indonesia mencari langkah strategis untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno yang terbukti pro- komunis. Ada dua alternatif ditempuh; (1) mendukung gerakan pembangkangan di luar Jawa; (2) atau menggunakan TNI – AD. Pemerintah Australia tidak berminat menggunakan TNI-AD sebagai langkah alternatif untuk menggulingkan pemerintah Sukarno (pro-komunis) dengan pertimbangan: (1) Peristiwa 17 Oktober 1952 menunjukkan di kalangan TNI – AD kurang kompak untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno yang termanifestasi dalam sikap mendukung atau menentang pemerintahan Soekarno. Selain itu di kalangan TNI-AD juga tidak kompak dalam sikap mendukung atau melawan PKI, dan terjadinya persaingan perseorangan di kalangan TNI –AD. Oleh karena itu ancaman terhadap kepen-tingan keamanan Australia akan tetap sama besarnya. Peristiwa itu bermula dari aksi yang ditunjukkan KSAD Abdul Haris Nasution yang mendapat dukungan dari sekelompok perwira tinggi terutama dari Divisi Siliwangi yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh parlemen dan kekuasaan partai-partai politik. Dalam latar belakang politik seperti itu, Presiden Soekarno akan diberi kekuasaan eksekutif yang kuat dalam pengertian formal, dan karena itu ia harus tunduk di bawah kontrol TNI – AD. Namun Presiden Soekarno dengan sejumlah perwira daerah berhasil menolak tuntutan tsb. Oleh karena itu ancaman terhadap kepen-tingan keamanan Australia akan tetap sama besarnya. (2) Menurut pemerintah Australia, sikap sebuah pemerintahan yang dikendalikan tentara mengenai masalah Irian Barat tidak akan jauh berbeda dari sikap Soekarno. Pihak Australia sangat berhati-hati dalam menentukan sikap untuk menerima ajakan Amerika Serikat untuk membantu pembangkangan para tentara di luar Jawa yakni pemberontakan Permesta dan PRRI (1958). Posisi Australia cukup sulit untuk menentukan sikap terhadap aksi pembangkangan tersebut jika dibandingkan dengan sikap Amerika Serikat yang secara tegas mendukung para pembangkang PRRI /Permesta. George McT. Kahin dalam makalah berjudul Impact of US Policy on Indonesia Politics, beranggapan bahwa betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat dalam masalah-masalah politik di Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis. Pemerintah Australia berhati-hati bersikap terhadap kasus ini. Pemerintah Australia secara terpaksa tidak mempedulikan ajakan Amerika Serikat untuk mendukung para pemberontak yang ada di Sumatera maupun di Sulawesi. Pemerintah Australia prihatin terhadap dukungan Amerika Serikat yg dapat mengundang kekuatan asing (Uni Sovyet maupun RRT) dalam kemelut di Indonesia. Hal ini dapat berkembang menjadi konflik terbuka di kawasan Asia Tenggara khususnya di Indonesia seperti halnya di Korea maupun Vietnam. Hal ini sangat membahayakan keamanan Australia, karena Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi Australia. Dalam konteks Perang Dingin, Presiden Amerika Serikat, Eisenhower lebih suka Indonesia terpecah-pecah daripada jatuh ke tangan komunis. Oleh karena itu Agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya. Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Ahmad Husein diundang CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti pengiriman senjata dan dana dalam jumlah besar ke Padang. Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada kaum pemberontak Permesta di Sulawesi. Pesawat-pesawat Amerika Serikat yang beroperasi dari pangkalan – pangkalan militer di Taiwan dan Philipina menerjunkan berbagai barang keperluan makanan, amunisi, sampai berbagai jenis senjata api untuk para pemberontak di Sumatera dan di Sulawesi. Pemerintah Australia bersikap “netralitas yang tegas” dan mencegah intervensi negara asing di dalam sengketa yang terjadi di Indonesia, seperti apa yang diungkapkan oleh Menlu Australia, R.G. Casey : “Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh negara-negara lain adalah untuk tetap berada di luar perselisihan yang terjadi sekarang ini, dan berharap agar Indonesia dapat menyelesaikan sengketa itu diantara mereka sendiri, tanpa pertumpahan darah yang lebih banyak, dan tanpa melibatkan negara lain…. Kemungkinannya bisa berkembang demikian rupa, sehingga perselisihan tersebut meningkat pada tahap yang mengkhawatirkan perdamaian internasional. Namun pemerintah Australia tidak dapat menghindar dari tekanan Amerika Serikat sebagai negara penjamin keamanan di kawasan Asia-Pasifik seperti yang ditunjukkan Menlu Amerika Serikat, John Foster Dulles yang menyatakan “siapa yang tidak berpihak kepada Amerika Serikat berarti musuh Amerika Serikat. Berkenaan dengan itu Australia mengikuti permintaan Amerika Serikat dengan mendukung pemberontakan PRRI/Permesta secara rahasia, sekalipun sikap yang demikian ini bertentangan dengan pernyataan Menlu Australia, R.G. Casey yang secara terus- menerus menyatakan bahwa Australia tidak “terlibat” dan bersikap “netral.” Dengan demikian sikap politik Australia yang demikian ini dapat dimaknai sebagai kebijakan politik yang “netral dan tidak tegas” di dalam mendukung pembrontakan PRRI-PERMESTA. Australia merasa prihatin terhadap perkembangan komunis yang semakin kuat di Indonesia dan dimungkinkan Indonesia akan menjadi negara komunis dan akan mencaplok Irian Barat. Demikian juga Amerika Serikat juga merasa prihatin terhadap kecenderungan Indonesia menjadi negara komunis, dan merasa tidak senang Indonesia yang dimungkinkan akan menjadi negara komunis memperoleh suatu daerah (Irian Barat) di kawasan Pasifik. Bagi Australia semakin menarik untuk berupaya memaksa Amerika Serikat mengambil tindakan guna melindungi Australia. Namun bagi Amerika Serikat lebih tertarik untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno atau untuk memecah- belah Indonesia melalui pemberian bantuan kepada para pemberontak PRRI/Permesta secara rahasia. Amerika Serikat mendukung pemberontakan PRRI/Permesta karena merasa khawatir terhadap kemungkinan jatuhnya Indonesia ke tangan komunis, dan Presiden Amerika Serikat, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia terpecah-pecah daripada jatuh ke tangan komunis. Dukungan Amerika Serikat kepada para pemberontak PRRI/Permesta ditandai datangnya LetnanKolonel Ahmad Husein di pangkalan Amerika Serikat di Singapura yang diikuti pengiriman senjata dan dana ke Padang. Pesawat-pesawat terbang Amerika Serikat yang beroperasi dari pangkalannya di Taiwan dan Philipina menerjunkan berbagai keperluan makanan, amunisi dan berbagai jenis senjata untuk para pemberontak baik yang ada di Sumatera maupun Sulawesi. Jika dilihat dari sudut pandang Australia, pemberontakan PRRI/Permesta merupakan suatu gerakan potensial untuk menjauhi rezim Soekarno yang dianggap bertendensi ke arah komunis dan menunjukkan sikap yang semakin ekspansif terhadap pembebasan Irian Barat. Semakin kuat kedudukan komunis di Indonesia sangat mencemaskan bagi Australia, oleh karena prospek mempunyai negara tetangga Indonesia yang komunis tidak menarik atau bahkan sangat mengkhawatirkan Australia, karena rezim Soekarno yang pro-komunis bersikeras untuk menguasai suatu kawasan yang dilihat oleh Australia sebagai wilayah yang vital bagi kepentingan keamanannya. Berkenaan dengan itu, sangat mudah untuk dipahami jika Australia memberikan bantuan kepada Amerika Serikat dalam aksi rahasianya di tahun 1958. Bukti keterlibatan pemerintah Australia dalam pemberontakan PRRI/Permesta dengan menyediakan dua kapal (HMAS Voyager dan HMAS Waramunga) yang berhenti di lepas pantai Sulawesi Selatan dengan berpura-pura memberi perlindungan jika terjadi evakuasi warga negara Inggris dan Amerika Serikat. Di samping itu kapal-kapal selam Amerika Serikat yang mendukung pemberontakan PRRI-/Permesta dengan menggunakan wilayah Australia di Pulau Christmas. Nampaknya kegiatan CIA mendapat persetujuan menggunakan lapangan udara di Australia atau New Guinea (daerah jajahan Australia) untuk penerbangan-penerbangan yang akan beroperasi membawa perlengkapan militer serta misi pengeboman. Selain itu menurut Prados, Angkatan Udara Australia ikut misi penerbangan guna mengedrop persenjataan kepada tentara pemberontak PRRI/Permesta. Bukti keterlibatan Australia dalam pemberian dukungan kepada para pemberontak PRRI/Permesta diakui seorang kolonel angkatan laut Amerika Serikat, Fletcher Drouty yang bekerja sebagai seorang perwira penghubung Pentagon dengan CIA yang menyatakan sebagai berikut: “… the Australian was with full knowledge. They were aware of what we were doing and that they would have been called upon to help the thing had been successful.” Hal ini bertentangan dengan pernyataan Menlu, Australia, R.G. Casey yang secara berulang menyatakan bahwa Australia menjalankan sikap politik “netralitas dan tegas” terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta. Perkiraan CIA terlalu tinggi terhadap kemampuan pasukan pemberontak PRRI/Permesta dan meremehkan kemampuan dan tekad pemerintahan Soekarno untuk memadamkan pemberontakan. Hal ini terbukti pada pertengahan April 1958 Menlu Amerika Serikat, John Foster Dulles mencoret rencana pemberian bantuan kepada para pemberontak setelah pihak pemberontak mengalami kekalahan secara berturut-turut pada tanggal 30 April 1958. Ia kemudian menelepon Presiden Eisenhower untuk membecarakan pengalihan dukungan dari para pemberontak kepada pemerintah Soekarno. Selanjutnya Presiden Eisenhower segera mengulangi pernyataan secara terbuka seperti yang pernah dilontarkan Menlu Dulles bahwa Amerika Serikat bersikap netral dan ia mengatakan bahwa orang- orang Amerika Serikat yang ada di belakang para pemberontak adalah “tentara bayaran” yang kegiatannya tidak dapat dikontrol oleh Amerika Serikat Jatuhnya Sumatera pada Mei 1958 oleh pemerintahan Soekarno, di mata Amerika Serikat kemampuan pemberontak PRRI/Permesta untuk berhasil melawan pemerintahan Soekarno peluangnya menjadi sangat tipis meskipun CIA belum melepaskan dukungannya. Keprihatinan Amerika Serikat terkait sikap Presiden Soekarno yang menyetujui perjanjian pembelian senjata pada 6 April 1958 sebesar $ 60.000.000,- dari negara-negara Blok Timur yang meliputi: Polandia, Cekoslovakia, dan Yugoslavia, dan rasa simpatik pemerintahan Soekarno kepada negara-negara komunis. Hal ini yang menyebabkan Amerika Serikat berusaha keras mengambil simpatik kembali kepada pemerintahan Soekarno dengan jalan Menlu John Foster Dulles menyetujui permohonan Indonesia pada 20 Mei 1958 untuk mengutuk campur tangan asing dalam pemberontakan PRRI/Permesta maupun pembebasan Irian Barat. Selain itu Amerika Serikat juga menyetujui untuk memasok sejumlah persenjataaan dan beras untuk RI. Berkenaan dengan kebijakan semacam ini, menurut Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones berharap agar Indonesia secara logistik bergantung kepada Amerika Serikat dan bukan kepada Blok Sovyet. Perubahan drastis kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Indonesia dari upaya penggulingan pemerintahan Soekarno atau upaya memecah belah pemerintahan Soekarno ke arah pendekatan dengan Soekarno, maka Australia menjadi khawatir akan akibatnya terhadap sengketa Irian Barat. Kebijakan penjualan senjata Amerika Serikat kepada Indonesia yang menurut pandangan Australia dapat digunakan untuk merebut Irian Barat, dan sikap Amerika Serikat yang netral terhadap sengketa Irian Barat demi hubungan baik dengan Indonesia merupakan perkembangan yang tidak menyenangkan bagi Australia. Berkenaan dengan itu Menlu Australia, R.G. Casey menemui Duta Besar Amerika Serikat di Australia, Beale untuk disampaikan kepada Amerika Serikat tentang sikap Australia yang merasa keberatan terhadap kebijakan penjualan senjata Amerika Serikat yang dimungkinkan untuk pembebasan Irian Barat. Menlu John Foster Dulles meyakinkan kepada Beale bahwa senjata-senjata yang dijual kepada Indonesia tidak untuk pembebasan Irian Barat dengan mengatakan sebagai berikut “it would made absolutely clear to the Indonesians in the future that any American aid must not be used for such a purpose.”