Anda di halaman 1dari 7

Invasi Indonesia ke Timor Leste: Australia Jadi 'Buzzer'

Rezim Soeharto
indoprogress.com/2022/04/invasi-indonesia-ke-timor-leste-australia-jadi-buzzer-rezim-soeharto/ _

26 April 2022

Foto: dua sobat brunch, Gough Whitlam dan Soeharto, April 1975 (NAA)

PROSES dekolonisasi bergulir di tanah-tanah jajahan Iberia pasca-revolusi Portugal


1974. Salah satunya Timor Leste, yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1975.
Dipelopori partai kiri bernama Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente
(FRETILIN), kemerdekaan Timor Leste segera menghadapi ancaman rezim Soeharto
Indonesia dan sekutu-sekutu Baratnya.

1/7
Soeharto berkuasa di Indonesia sejak 1965, ketika ia membantai sekitar satu juta orang
kiri dengan dukungan AS. Rezim Soeharto telah bertahun-tahun berusaha menggagalkan
proses dekolonisasi Timor Leste. Ketika kemerdekaan Timor Leste diproklamasikan,
militer Indonesia langsung menyerbu dan akhirnya mencaplok negeri itu pada Mei 1976.
Narasi resmi rezim Orde Baru berbunyi: Indonesia ogah-ogahan turun tangan dalam
konflik sipil Timor dan TNI hanya bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian.

Pemerintah Australia saat itu adalah salah satu sekutu utama Soeharto. Canberra
mengkritik para aktivis Australia yang mengabarkan tentang kelaparan, kekejaman, dan
pembantaian pasca-aneksasi di Timor Leste. Salah seorang aktivis ini, Peter Job,
meneliti dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasikan. Dokumen-dokumen itu
membuktikan bahwa para politikus dan birokrat Australia membohongi publik seraya
memuluskan tindakan-tindakan paling kejam rezim Soeharto. Jurnalis Zacharias Szumer
mewawancarai Peter Job tentang buku terbarunya, A Narrative of Denial: Australia and
the Indonesian Violation of East Timor. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda bisa terlibat dalam aktivisme solidaritas untuk Timor Leste?

Waktu itu usia saya 20 tahun dan saya sedang menggarap jaringan Radio Maubere ke
FRETILIN. Sebelum invasi Indonesia 1975, beberapa aktivis Australia bertemu FRETILIN
di Timor Leste untuk memberikan radio dua arah. Setelah invasi, ketika FRETILIN tengah
bergerilya di hutan melawan Indonesia, radio itu digunakan untuk mengirim informasi ke
luar negeri.

Saat itu pemerintah Australia melakukan apa yang bisa diperbuat untuk memutus jejaring
radio itu dan membantah pernyataan-pernyataan Timor Leste tentang operasi-operasi
militer besar Indonesia, yang di antaranya dilakukan dengan membuat penduduk
kelaparan, menghancurkan hasil bumi dan sumber daya pangan, dan pelanggaran hak-
hak asasi manusia lainnya.

Akibatnya, ada seorang operator radio di hutan sekitar Darwin yang harus terus pindah
tempat supaya tidak ditangkap. Orang inilah yang mengirimkan pesan ke Timor Leste.
Mustahil bagi dia untuk datang ke Darwin dan mengirim pesan-pesan FRETILIN karena
dia akan ditangkap. Jadi, kami mendirikan stasiun penerima terpisah yang juga terletak di
hutan di luar Darwin. Saya jaga stasiun ini selama enam bulan terakhir operasinya. Saya
rekam pesan-pesan yang mereka terima, yang akhirnya disebarkan ke markas-markas
eksternal FRETILIN di Mozambique dan ke José Ramos-Horta di New York. [Saat itu
José Ramos-Horta secara de facto adalah menteri luar negeri de-facto FRETILIN dan
utusan untuk PBB].

Meski pemerintah Indonesia dan Australia menyangkal kejahatan militer Indonesia, kita
sekarang tahu bahwa sebagian besar informasi FRETILIN benar belaka. Hal ini
menumbuhkan pemahaman dan komitmen terhadap masalah Timor dalam diri saya
seumur hidup.

Kita masuk ke argumen utama buku Anda. Apa garis kebijakan resmi pemerintah
Australia pada masa pencaplokan Timor Leste oleh Indonesia?

2/7
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam dan Malcolm Fraser Australia
main dua kaki. Yang mereka katakan di hadapan masyarakat umum dan komunitas
internasional berbeda dari yang mereka nyatakan ke Indonesia. Nah, yang mereka
sampaikan ke Indonesia itulah apa yang sebetulnya mereka lakukan.

Awalnya, PM Whitlam (dari Partai Buruh) dan kemudian pemimpin oposisi Fraser
mengaku mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor Leste. Namun, pada
September 1974, Whitlam mengatakan kepada Soeharto bahwa dia tidak percaya bahwa
Timor Leste harus menjadi negara merdeka, bahwa kemerdekaan Timor Leste akan
mengacaukan kawasan. Kepala OPSUS Indonesia saat itu mengatakan bahwa
pertemuan [dengan para pejabat Australia] adalah faktor utama yang menguatkan
keputusan mereka untuk “mengintegrasikan” Timor Leste ke Indonesia.

Bahkan sebelum itu, Whitlam telah mengirim sekretaris pribadi pribadinya ke Jakarta
untuk bertemu OPSUS, sayap pemerintahan Soeharto yang paling berjasa mengagalkan
proses dekolonisasi Timor. Sebelum invasi, OPSUS juga memberitahu kedutaan
Australia di Jakarta tentang operasi rahasia dan kekerasan yang dilakukan oleh
Indonesia untuk memaksa integrasi. Aktivitas-aktivitas Indonesia ini mencakup siaran
radio, infiltrasi ke partai-partai politik Timor, dan operasi militer rahasia di mana personil
TNI menyamar sebagai aktivis pembangkang Timor.

Whitlam dan Fraser membohongi rakyat Australia dan komunitas internasional tentang
apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Whitlam mengatakan Indonesia tidak berniat
mengintegrasikan Timor Leste dengan paksaan, meskipun badan intelijen Australia dan
Kementerian Luar Negeri tahu persis Indonesia melakukan itu.

Bagaimana dukungan Whitlam terhadap posisi Indonesia di Timor Leste bisa


menyatu dengan aspek-aspek yang lebih progresif dalam rekam jejak politiknya?

Dalam kebijakan luar negeri, Whitlam cukup konservatif. Ketika Soeharto mengambil alih
kekuasaan pada 1965–66, Whitlam sangat mendukung rezim baru itu. Di artikel yang dia
tulis di The Australian pada 1967, Whitlam menyatakan betapa bersyukurnya kita bahwa
rezim pro-Barat ini telah berkuasa. Partai Buruh Australia di bawah pemimpin
sebelumnya, Arthur Calwell, tidak suka pemerintah-pemerintah yang berkuasa di Asia.
Whitlam ingin memutuskan ketidaksukaan ini dan menjangkau Asia Tenggara, khususnya
negara-negara ASEAN. Indonesia adalah yang terbesar dan terdekat, dan Whitlam
melihatnya sebagai kunci. Dia percaya permainan blok-blok negara besar dan kurang
menyokong negara-negara kecil. Jadi, dia percaya bahwa sudah semestinya Timor Leste
menjadi bagian dari Indonesia.

Seperti yang Anda tulis dalam Narrative of Denial, pemerintahan Whitlam dan
Fraser konsisten menggaungkan narasi bahwa Indonesia ogah-ogahan intervensi
dan sekadar menjadi penengah dalam konflik antar kelompok di Timor Leste.
Namun, pemerintah Australia rupanya sudah menerima arahan dari intel-intel top
Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka telah secara aktif berusaha
menggagalkan proses dekolonisasi sejak awal 1970an.

3/7
Australia sadar bahwa Indonesia secara aktif mendestabilisasi Timor Leste dan
menggunakan destabilisasi ini sebagai dalih invasi. Namun, pemerintah Australia juga
meneruskan narasi bohong Indonesia ini.

Padahal sebelum 1975 partai-partai politik Timor Leste sudah berusaha keras
mengadakan kontak dengan rezim Soeharto. Mereka ingin ada hubungan baik dengan
Indonesia. Mereka paham harus hidup berdampingan dengan tetangga besar dan tidak
ingin memusuhinya.

Isu Timor Leste ini pun tidak disambut dengan suara bulat di internal rezim Soeharto
sendiri. Saat itu Indonesia sedang mengincar posisi kepemimpinan Gerakan Non-Blok.
Dan salah satu faksi dalam rezim Soeharto khawatir—dan kekhawatiran ini benar—
bahwa ambisi ini akan gagal jika Indonesia mencaplok Timor Leste. Sampai batas-batas
tertentu Soeharto sendiri tampaknya punya kekhawatiran yang sama. Australia
memutuskan untuk mendukung faksi lain dalam rezim Soeharto —yakni faksi OPSUS—
guna mendorong kebijakan Indonesia ke arah intervensi di Timor Leste. Tanpa dukungan
Australia, mungkin invasi Indonesia ke Timor Leste tidak akan terjadi.

Tampaknya adalah titik balik kritis dalam sejarah Indonesia. Sebelum penggulingan
Presiden Sukarno pada 1965, Indonesia ada di garis depan dalam upaya penciptaan blok
ketiga—Gerakan Non-Blok—di luar dua kubu Perang Dingin. Di bawah Soeharto,
Indonesia makin mendekat ke Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Invasi Timor Leste
mempercepat kedekatan ini.

Australia membingkai kemerdekaan Timor Leste sebagai perang proksi dalam Perang
Dingin. Sayangnya, tak ada alasan untuk menggunakan bingkai itu. Kedua faksi politik
besar di Timor Leste bersedia bekerjasama dengan Australia. Dua-duanya tidak berminat
membiarkan gerakan kemerdekaan mereka menjadi arena pertempuran proksi dalam
Perang Dingin.

FRETILIN memang bukan organisasi Marxis. Ada beberapa Marxis di dalamnya. Tapi toh
juga ada Marxis di Partai Buruh Australia saat itu. FRETILIN adalah front besar (broad
front) yang pada dasarnya pro-kemerdekaan. Dalam banyak hal, politik mereka cukup
moderat.

Meski begitu, AS dan Australia membingkai gerakan pembebasan nasional Timor Leste
sebagai konflik Perang Dingin, sebagian karena mereka ingin membekingi rezim
Soeharto. Ingat, pada 1975, Asia Tenggara baru saja mengalami banyak perubahan.
Vietnam kembali bersatu setelah kekalahan AS dan rezim-rezim Marxis baru saja
berkuasa di Kamboja dan Laos. Ini hanya terjadi beberapa bulan sebelum invasi
Indonesia.

AS dan Australia melihat Soeharto sebagai kekuatan pro-Barat dan benteng melawan
komunisme. Para pejabat Australia—termasuk menteri luar negeri saat itu—bahkan
menggambarkan rezim Soeharto sebagai orang yang moderat, bertanggung jawab, dan
layak mendapatkan dukungan Australia, betapapun rezim ini memiliki rekam jejak
berdarah.

4/7
Mari kita bicara periode 1975 hingga 1982. Seperti yang Anda katakan, pemerintah
Fraser secara efektif menjadi propagandis dan apologis rezim Soeharto.

Pemerintah Australia tidak secara resmi mendukung invasi Indonesia. Di PBB, Australia
bahkan enggan memilih resolusi Majelis Umum 1975 yang mengkritik invasi tersebut.
(Namun, setelah itu, Australia pindah ke posisi abstain, sebelum akhirnya menentang
resolusi-resolusi yang mengkritik invasi.)

Sejak awal, Australia secara resmi menyerukan penarikan mundur Indonesia dari Timor
Leste. Tapi di belakang layar, Australia menyatakan ke negara-negara lain bahwa mereka
harus menerima kekuasaan Indonesia di Timor Leste. Pada Oktober 1975, Fraser
melawat ke Jakarta dan bertemu Soeharto. Setelah pertemuan itu, pemerintahannya
efektif menjadi propagandis dan apologis tindakan-tindakan Indonesia.

Pertama-tama, Australia salah menggambarkan sejarah Timor Leste sebelum invasi.


Australia sengaja membuat Indonesia seolah tampil sebagai pihak yang dirugikan dan
ogah-ogahan melakukan intervensi. Kedua, ketika invasi terjadi, Australia membantah
kadar pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia dan menyebut laporan-laporan HAM
ini desas-desus belaka. Ini terlepas dari bukti-bukti yang masuk lewat jejaring radio, lewat
sumber-sumber Gereja Katolik, melalui surat-surat yang diselundupkan, dan melalui
kesaksian para pengungsi. Akhirnya, ada begitu banyak bukti sehingga Australia tidak
bisa lagi menyangkal apa yang sedang terjadi. Lalu, mereka muncul dengan sederet
rekomendasi untuk memutarbalikkan situasi. Alih-alih menyangkal, mereka menyalahkan
orang Timor sendiri. Mereka bilang Timor Leste selalu miskin, selalu nyaris kelaparan,
dan bahwa masalah Timor Leste diperparah oleh perang saudara.

Tentu pemerintah Australia sangat sadar akan kampanye Indonesia untuk mengepung
dan memusnahkan kekuatan pro-kemerdekaan di Timor Leste. Mereka sadar bahwa TNI
sedang berusaha menghancurkan sumber-sumber pangan. Ini dibuktikan dengan
laporan-laporan petugas Australia yang mengunjungi Timor Leste dan berbicara dengan
pejabat Indonesia. Laporan-laporan ini telah dideklasifikasikan. Mereka tahu Indonesia
memiliki kebijakan melarang distribusi pangan ke daerah-daerah yang dikuasai
FRETILIN, yang awalnya mencakup mayoritas penduduk. Australia tidak berusaha
menghubungkan kebijakan ini dengan tragedi mengerikan kelaparan buatan yang
melanda seluruh Timor Leste. Sebaliknya, mereka menyalahkan infrastruktur Timor yang
buruk, diabaikannya Timor oleh kolonialis Portugis, seraya menuding betapa tidak
bertanggungjawabnya orang Timor dalam perang saudara.

Kebijakan ini punya konsekuensi serius. Beberapa negara Barat mulai tertarik
mendukung Timor Leste, sebagai respons atas bukti-bukti yang baru dirilis. Australia
berulang kali melobi mereka, mengklaim bahwa Indonesia secara umum telah mengambil
sikap yang bertanggungjawab. Karena negara-negara ini menganggap Australia negara
demokrasi dan pembela hak asasi manusia di kancah internasional, narasi Australia ini
sungguh-sungguh dipercaya.

5/7
Reputasi pro-HAM Australia dipoles oleh sikap pemerintah Fraser terhadap apartheid di
Afrika Selatan. Fraser juga mendukung diakhirinya rezim kulit putih di Zimbabwe.
Akibatnya, lobi-lobi pemerintah Fraser untuk membela invasi Indonesia cukup ampuh dan
sukses menunda masuknya bantuan ke Timor Leste, meredam kritik terhadap rezim
Soeharto, dan membiarkan pelanggaran HAM di sana berlanjut. Kalau bukan karena lobi
Australia, pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia pasti mustahil berlanjut dengan
cara yang sama.

Buku Anda menyebutkan bagaimana pemerintah Fraser menyebarkan “narasi


penyangkalan” resmi ini melalui sekelompok akademisi dan jurnalis yang simpatik.
Anda sebut mereka “Lobi Jakarta”. Bisa Anda jelaskan bagaimana pemerintah
membina kelompok ini dan menyuarakan posisinya melalui mereka?

Mereka ini kelompok yang merasa harus mengabarkan apa yang mereka sebut “posisi
bertanggung jawab” terkait rezim Soeharto. Mereka tahu setelah Soeharto berkuasa, ada
kebencian terhadap rezim ini dan bahwa beberapa kekejaman Soeharto diketahui di
Australia. Oleh karena itu, mereka mengorganisir akademisi di Australian National
University, termasuk beberapa jurnalis dan diplomat seperti Richard Woolcott. Mereka
rutin bertemu untuk membahas hal-hal yang bisa mereka lakukan guna mendukung
kebijakan Australia agar terus mendukung rezim Soeharto.

Yang dilakukan kelompok ini klop dengan kebijakan luar negeri Australia. Walhasil, baik
pemerintah maupun Kementerian Luar Negeri tidak mempermasalahkannya. Ketika
invasi Timor Leste terjadi, Lobi Jakarta menyebarkan narasi resmi. Ketika para pengkritik
invasi Indonesia menekan anggota-anggota kelompok ini tentang keadaan di Timor
Leste, Lobi Jakarta rupanya tidak cukup melek informasi. Namun demikian, mereka
terlihat kredibel karena punya posisi sebagai akademisi, jurnalis kawakan, dan pejabat
senior urusan luar negeri. Kredibilitas palsu inilah yang turut membuat khalayak yakin
bahwa mereka harus dipercaya dan menjadikan mereka pendukung kebijakan
pemerintah yang efektif.

Dalam Narrative of Denial, Anda menjelaskan bahwa para diplomat Australia


memberikan saran untuk pemerintah mereka sendiri sekaligus menjadi konsultan
bagi rezim Soeharto. Ketika muncul berita kekejaman di Timor Leste, misalnya,
mereka menyarankan rekan-rekan di Indonesia untuk membungkus kekejaman itu
sebagai perilaku spontan dan sembrono beberapa prajurit rendahan di awal invasi.

Hal semacam itu dilakukan oleh banyak elemen di kedutaan Australia di Jakarta. Di PBB
di New York, diplomat Australia melakukan hal yang persis sama. Mereka aktif berunding
dengan Indonesia tentang Timor Leste dan bekerjasama untuk melobi negara-negara lain
terkait isu ini; para pejabat Indonesia sangat berterimakasih kepada mereka. Mereka
paham bahwa Australia dipandang sebagai negara Barat yang tahu bagaimana cara
berpikir negeri-negeri Barat, dan bagaimana segala sesuatu bisa diputarbalikkan.

6/7
Australia sering memberikan saran kepada Indonesia untuk siaran pers dan pernyataan
publik. Dan Australia mendukung pernyataan-pernyataan publik ini dengan lobinya
sendiri.

Apa para pejabat senior atau jurnalis yang mendukung Soeharto waktu itu
menyatakan penyesalan?

Tidak, para diplomat dan jurnalis berpengaruh ini tak banyak mengungkapkan
penyesalan. Demikian pula masyarakat Australia secara umum. Ini harus dianggap
sebagai salah satu kegagalan utama kebijakan luar negeri Australia. Bukan hanya
kegagalan, tetapi kejahatan yang kami lakukan. Australia tidak hanya menutup mata, tapi
bahkan aktif berkampanye untuk mempermulus pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut.
Kasus-kasus ini tidak akan terjadi tanpa kita dan tidak akan tertutup dari sorotan publik
tanpa peran pemerintah Australia. Saya yakin seharusnya ada proses rekonsiliasi untuk
mengakui apa yang sudah kita lakukan. Rupanya, minat untuk menuju ke sana juga
masih kurang.***

Wawancara ini sebelunya diterbitkan di Jacobin. Diterjemahkan dan dimuat ulang di


IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan.

7/7

Anda mungkin juga menyukai