Anda di halaman 1dari 5

Mengapa Einstein Memilih Sosialisme

indoprogress.com/2022/04/mengapa-einstein-memilih-sosialisme/ _

18 April 2022

Ilustrasi: Jonpey

SIAPA tak kenal Albert Einstein? Fisikawan termasyhur penemu teori relativitas, peraih
nobel fisika, dan salah satu orang terjenius yang pernah hidup di bumi. Kawan-kawan
yang mempelajari ilmu eksak kurang lebih sudah tidak asing dengan kajiannya, berbeda
dengan ilmu sosial mereka, termasuk saya sendiri, yang bahkan menonton Interstellar
karya Christopher Nolan saja sudah cukup kebingungan.

Tapi jangan kuatir. Anda masih bisa memahami pemikiran Einstein salah satunya lewat
tulisan yang terbit di Monthly Review pada 1949 dan mungkin paling tidak dapat dicerna.
Artikel tersebut tidak terlalu panjang, tidak bertele-tele, dan cukup ringan sehingga saya
menyarankan Anda terlebih dahulu terlebih dahulu. Saya akan memetik pesan-pesan
utama dari tulisannya beserta beberapa catatan tentangnya.

Judulnya: “Mengapa Sosialisme?” Lho, kok, seorang ilmuwan fisika bisa sampai
membahas ilmu sosial? Penasaran bagaimana pandangan beliau tentang kapitalisme
sampai sosialisme? Mari kita telusuri.
Tulisan ini berangkat dari keresahan Einstein akan karakter manusia dalam
masyarakatnya di masa Perang Dunia II dan setelahnya. Seperti merebaknya
individualisme, ketidakpedulian, lalu ketimpangan sosial, konflik horizontal hingga
peperangan berskala besar. Ia pun mempertanyakan penyebabnya dan mencari jalan
keluar.

Einstein memulainya dengan membedah esensi dari manusia dan masyarakat.


Menurutnya, manusia sebagai makhluk individual yang punya keunikan dapat hidup
mandiri di satu sisi, namun di sisi lain juga makhluk sosial yang keberadaannya
bergantung pada masyarakat. Masyarakat yang merupakan konsep abstrak dari sejumlah
relasi langsung tak langsung antarindividu terhadap orang-orang di kelompoknya dan
juga orang-orang di masa lalu. Bagi Einstein, masyarakatlah yang sejak awal mula hadir
memberi penopang kepada manusia, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal,
bahasa, teknologi, hingga ide-ide beserta nilai-nilai sosial yang ada.

Namun, kondisi kala itu seakan terbalik dan tidak karuan. Keadaan inilah yang
dipertanyakan oleh Einstein. Ada ketidakberesan yang menurutnya bersumber dari soal
pemenuhan kebutuhan hidup.

Di sinilah ia mulai menjelaskan kapitalisme secara singkat mulai dari kepemilikan privat
kapitalis atas sarana produksi, ketidaksesuaian yang dihasilkan serta yang didapatkan
oleh para pekerja, hingga bangkitnya oligarki.

Kira-kira beberapa perhatian Einstein soal kapitalisme adalah sebagai berikut. Pertama,
Einstein menganggap produksi dalam kapitalisme bukanlah untuk kemanfaatan, namun
keuntungan pemilik modal. Pemilik sarana produksi berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya sementara para pekerja dipaksa bersaing, kesulitan mencari kerja, dan
kerap dihantui ancaman kehilangan pekerjaan. Nilai persaingan ini telah ditanamkan
bahkan sejak dalam dunia pendidikan–bahwa untuk sukses di masa depan maka
seseorang mesti menyelamatkan diri dengan mengorbankan yang lain.

Kedua, persaingan yang saling memangsa membawa kehancuran unit produksi yang
tidak dominan dan pemusatan kapital ke tangan sebagian orang. Seperti oligarki yang
perlu dukungan legal lewat perpolitikan demokrasi untuk menguasai perekonomian,
orang-orang kaya juga membeli dukungan dan masuk gelanggang politik sehingga suara
orang biasa khususnya kelas pekerja tak tersampaikan. Para penguasa ini dapat
mengatur semua hal bahkan sistem pendidikan dan akhirnya juga memengaruhi
kesadaran tiap individu.

Hal itu mengantarkan kita pada poin ketiga: yaitu lumpuhnya kesadaran individu. Menurut
Einstein, ketergantungan manusia terhadap masyarakat merupakan hal yang alamiah.
Namun, masalahnya, saat ini manusia yang sadar merasa tidak bergantung kepada
masyarakat, bahkan masyarakat dianggap mengganggu hak pribadinya dan
eksistensinya. Akibatnya, manusia secara egois berusaha sedemikian rupa terus-
menerus memenuhi kebutuhan pribadi tanpa memikirkan orang lain dan masyarakat,
apalagi lingkungan.

Konsekuensinya, kini manusia kerap merasa kesepian, sedih, dan kehilangan harapan.
Sebab menurut Einstein manusia dapat menemukan makna hidup hanya melalui relasi
timbal balik dalam aktivitas di masyarakat.

Merosotnya karakter manusia bagi Einstein merupakan dampak dari formasi ekonomi
kapitalisme–yang menurutnya merupakan sumber kedurjanaan.

Tak seperti kebanyakan ilmuwan yang kerap memilih status quo, Einstein tak menyerah
pada keadaan dan berusaha ambil sikap yang tegas. Ia paham betul meski manusia
kerap merusak alam, namun manusia jugalah yang dapat menyelamatkannya. Lantas
bagaimana pendapat Einstein untuk mengatasi permasalahan ini? Ia menjawabnya
dengan ekonomi sosialisme yang disertai sistem edukasi yang berorientasi
kemaslahatan sosial.

Bagaimana ekonomi sosialisme yang dibayangkan Einstein? Ia menggambarkan itu


sebagai situasi ketika sarana produksi yang dimiliki masyarakat dimanfaatkan secara
terencana. Perekonomian terencana yang mengatur produksi untuk pemenuhan
kebutuhan komunitas ini akan mendistribusikan pekerjaan bagi mereka yang dapat
bekerja dan menjamin penghidupan bagi semua orang.

Namun, Einstein memberikan catatan bahwa perekonomian terencana ini belum tentu
merupakan sosialisme. Sebab perekonomian seperti ini rawan mengarah kepada
penindasan individu atas nama kepentingan bersama. Di sini barangkali ia menyinggung
Uni Soviet ala Stalin yang kala itu mendaku sebagai negara dengan sistem perekonomian
sosialis yang, di sisi lain, banyak melanggar batas kemanusiaan.

Di akhir tulisan, Einstein memberikan tantangan kepada sistem sosialisme. Misalnya,


bagaimana mencegah birokrasi menjadi sangat berkuasa dan melampaui batas? Lalu,
bagaimana sosialisme melindungi hak-hak individu sehingga dengan demikian
penyeimbang demokratis terhadap kekuasaan birokrasi dapat dijamin? Menurutnya inilah
pekerjaan rumah yang mesti dijawab.

Sampai sini ada beberapa hal penting yang bisa didapat. Pertama, Einstein membuktikan
bahwa ilmu pengetahuan beserta para ilmuwan tak terlepas dari relasi serta struktur
masyarakat yang menjadi prasyarat keberadaannya, yaitu kapitalisme. Einstein
berpendapat bahwa ilmuwan yang tak berfokus di ilmu sosial pun boleh berargumen
tentang ekonomi dan hal-hal kemasyarakatan. Pasalnya, secara esensial, metode ilmu
alam dan ilmu sosial kurang lebih sama namun objek penelitiannya saja yang berbeda.
Bahkan setiap orang terlepas ilmuwan atau bukan, menurut Einstein, boleh berpendapat
karena hampir semua orang sekarang ini bersentuhan dengan kapitalisme.
Kedua, Einstein menerangkan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat yang tergantung
pada pemanfaatnya. Ia menambahkan bahwa sains tak pernah memiliki tujuan dan
manusialah yang memberikannya.

Dengan ini, pertanyaan Einstein di atas justru harusnya terjawab dengan jelas:
perkembangan sains yang melahirkan berbagai kemajuan teknologi semestinya
memudahkan kita memantau berlangsungnya organisasi birokrasi. Dengan sains, hal-hal
dapat dijalankan dengan terukur dan bekerja secara objektif. Di sinilah Einstein
memberikan kita salah satu cara untuk mencapai sosialisme, yaitu melalui ilmu
pengetahuan.

Ketiga, apa yang terjadi di masa Einstein hidup sebenarnya masih terjadi hari ini. Namun,
kenyataan empiris hari ini lebih pelik ketimbang pertengahan abad ke-20. Di posisi ini,
dalam melihat realita kehidupan kapitalisme, kita bukan saja dihadapkan pada realitas
abu-abu. Dalam perkembangannya, kapitalisme beradaptasi dengan nilai-nilai moral
masyarakat yang ada sehingga hari ini eksploitasi seakan tak hadir di dalam hidup sehari-
hari. Ia hadir dengan tampilan terbaiknya, tak seperti wajahnya yang dahulu. Kedurjanaan
atau kejahatan kapitalisme yang disebutkan Einstein seakan tak ada karena ia tak kasat
mata.

Situasi ini memudahkan para pendukung kapitalisme untuk mematahkan pandangan


Einstein bahwa ada yang tak beres dengan kondisi masyarakat. Ranah etika yang di
dalamnya berdiri moral dan norma dari kebudayaan akhir-akhir mendominasi pemikiran.
Walhasil, apabila Bill Gates dan Elon Musk bersedekah, maka disimpulkan begitu saja
bahwa sejatinya sistem kapitalisme itu baik adanya. Ini tak bisa disalahkan, sebab otak
manusia cenderung memilih fakta secara selektif.

Di sinilah letak penting dari ilmu pengetahuan dan edukasi, khususnya dalam
memberikan fakta objektif yang dapat diterima serta dipahami semua orang. Fakta
objektif itu adalah bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang
membahayakan masa depan umat manusia. Sains dapat menggambarkan realita objektif
secara jernih di luar bias moral dan norma. Selain itu, lewat sains pula kemaslahatan
sosialisme mesti dibuktikan agar orang-orang mendukung untuk mewujudkannya.

Kapitalisme bagaikan kotak pandora yang ketika dibuka tak hanya menciptakan semua
masalah di bumi, tapi juga meninggalkan kita harapan. Tentu saja harapan akan bentuk
masyarakat yang lebih baik yaitu sosialisme.

Kabar baik akan harapan inilah yang mesti diwartakan kepada semua dengan segala cara
dan diupayakan bersama mengingat perubahan menuju masyarakat yang baru tak jatuh
dari langit. Ia dibangun dari reruntuhan mode produksi yang telah ada sebelumnya.
Sejarah membuktikan bahwa keruntuhan tiap mode produksi tak terjadi dengan
sendirinya dan dalam waktu semalam, tapi lewat pengupayaan dan perjuangan kelas
yang panjang.
Tulisan Einstein ini mengingatkan kita kepada kata-kata Engels dalam Socialism: Utopian
and Scientific (1880), bahwa penyebab perubahan akhir dari semua perubahan sosial dan
revolusi politik tidaklah dicari di dalam kepala manusia atau ide-ide moral kebenaran
serta keadilan abadi, namun di dalam perubahan mode produksi. Artinya, sosialisme
yang dituju tidak ditemukan dari awang-awang, melainkan dari kondisi nyata yang eksis
hari ini. Engels menambahkan di akhir tulisan bahwa tugas gerakan kaum proletariat
ialah memberikan pengetahuan penuh tentang kondisi hari ini dan materialisme dialektis
historis yang merupakan sosialisme ilmiah kepada segenap proletariat lainnya yang
tertindas, yang kelak pengetahuan itu mesti diamalkan secara nyata.

Albert Einstein meninggal karena perdarahan akibat aneurisma aorta perut pada 18 April
1955. Meski tiada, warisannya dalam dunia pengetahuan tak ternilai harganya. Einstein
memberikan contoh sikap yang harus dimiliki setiap ilmuwan, yaitu membela
kemaslahatan umat manusia. Tanpa menyebut dirinya seorang Marxis, Einstein adalah
seorang Marxis.

Seperti pesan Marx kepada Paul Lafargue: ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi
kesenangan pribadi dan siapa saja yang beruntung dapat mengabdikan diri pada tujuan
ilmu pengetahuan harus yang pertama menempatkan pengetahuan mereka untuk
melayani kemanusiaan. Maka, bekerjalah untuk kemanusiaan.***

Anda mungkin juga menyukai