Anda di halaman 1dari 10

Modul 6

Kebijakan Luar Negeri


Australia

Sub-CPMK:

Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu


menjelaskan tentang kebijakan luar negeri Australia

1
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AUSTRALIA

Kebijakan dan hubungan luar negeri Australia dipengaruhi oleh posisi

negara tersebut dalam sistem politik internasional. Saat ini Australia merupakan

salah satu negara utama dalam perdagangan internasional dengan ekspor utama

di bidang pertanian dan pertambangan. Selain itu, Australia diakui sebagai salah

satu negara donor utama khususnya di kawasan Pasifik. Kebijakan luar negeri

Australia diwarnai dengan komitmen pemerintah federal Australia dalam

membangun ‘multilateralisme’ dan ‘regionalisme’ selain tetap mempertahankan

aliansi strategisnya dengan AS, Inggris dan sejumlah negara persemakmuran.

Hubungan luar negeri Australia bersifat multilateralisme dalam arti bahwa

Australia berkomitmen untuk membina hubungan luar negeri dengan semua

negara di dunia, namun Australia juga memberikan penekanan pada regionalisme

dengan mengembangkan hubungan secara aktif dengan negara-negara tetangga

di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara.

Posisi geografis Australia di Pasifik dan berdekatan dengan Asia membuat

Australia memberi perhatian penuh pada kerjasama dan stabilitas di kawasan

tersebut. Australia membangun hubungan khusus dengan ASEAN dan menjadi

partisipan aktif dalam ASEAN Regional Forum (ARF) dalam mengembangkan

stabilitas dan kerjasama keamanan di Asia Tenggara. Australia juga merupakan

peserta aktif dalam kerjasama kawasan Pasifik melalui Pacific Island Forum, dan

berperan aktif dalam penanganan masalah keamanan di Pasifik Selatan. Isu-isu

utama dalam politik luar negeri Australia saat ini adalah perdagangan bebas,

pengungsi dan migrasi internasional, terorisme, kerjasama ekonomi dengan Asia,

2
dan masalah keamanan kawasan Asia Pasifik. Australia juga aktif dalam

organisasi dan kerjasama internasional seperti PBB dan ‘Commonwealth of

Nations.’

Sebelum Perang Dunia II, politik luar negeri Australia mayoritas ditentukan

oleh kerajaan Inggris. Hal ini menyebabkan militer Australia terlibat dalam

sejumlah perang ataupun operasi militer yang dilakukan Inggris. Dalam sejumlah

perang colonial di Afrika dan Asia, pasukan Australia memainkan perannan

penting dalam kampanye militer Inggris. Begitu pula dalam Perang Dunia I,

Australia menjadi bagian utama dalam serangan Inggris ke Turki dan

mengakibatkan ribuan tentara Australia tewas dalam pendaratan di Gallipoli.

Untuk mengenang peristiwa ini, Australia memperingatinya tiap tahun dengan

ANZAC day.

Situasi kritis Australia akibat ancaman invasi Jepang pada Perang Dunia II

dan ketidakmampuan Inggris dalam membendung bala tentara Jepang di Asia

Tenggara membuat Australia membangun aliansi militer baru dan diplomasi yang

lebih erat dengan AS. Pangkalan kekuatan militer Inggris di Singapura dengan

mudah direbut oleh Jepang dan PM Inggris Winston Churchill lebih memusatkan

militer Inggris dalam perang melawan Jerman di Eropa. Hal kemudian membuat

PM Australia John Curtin mengalihkan aliansi pertahanan mereka dengan AS.

Dalam pidatonya pengalihan aliansi ke AS, PM Curtin menyatakan “Australia

beralih ke AS tanpa ketergesa-gesaan sebagaimana dengan ikatan tradisional kita

dengan Inggris” (Clarke 2002, 136). Namun demikian Australia pasca Perang

Dunia II tetap menjalankan operasi militer bersama Inggris seperti dalam operasi

3
menumpas gerilyawan komunis di Malaya dan menahan infiltrasi militer Indonesia

pasca pembentukan Federasi Malaysia.

AS dalam Perang Dunia II memanfaatkan sebaik-baiknya aliansi militer

dengan Australia ditandai dengan dipindahkannya pangkalan militer AS oleh

Jenderal Douglas MacArthur dari Filipina ke Brisbane, Australia. Dalam perang

dengan Jepang, MacArthur menjalankan taktik “lompat katak” bagi pasukan AS

dengan target menyerang menyerang Kepulauan Jepang secepatnya, sementara

pasukan Australia ditugaskan untuk membersihkan tentara Jepang dan

mengamankan wilayah-wilayah yang dilampaui dalam taktik tersebut (Roehrs and

Renzi 2004).

Perang Dingin

Ketika Perang Dunia II berakhir, Australia tetap mempertahankan kebijakan

aliansinya dan menjadi salah satu aliansi utama AS di Asia-Pasifik pada era

Perang Dingin. Sebagaimana dengan AS, pada masa tersebut politik luar negeri

Australia diwarnai dengan kekuatiran kuat terhadap tumbuh dan meluasnya

komunisme di Asia, dan Pemerintahan PM Menzies sangat bergantung pada

hubungan baik dan aliansi pertahanan dengan AS dalam menghadapi pengaruh

Uni Sovyet dan Republik Rakyat Tiongkok di Asia-Pasifik. Australia melibatkan

pasukannya dalam sejumlah operasi militer yang dilakukan AS termasuk dalam

Perang Korea dan Perang Vietnam dalam upaya bersama membendung

Komunisme. Australian juga menandatangi dan bergabung dengan dua pakta

pertahanan utama di kawasan yang melibatkan AS. Pertama, pakta pertahanan

4
ANZUS yang terdiri dari Australia, New Zealand dan United States (AS). Kedua,

Australia juga bergabung dengan SEATO (South East Asia Treaty Organization)

bersama AS, Inggris, Perancis, Selandia Baru, Thailand, Pakistan, Filipina, Korea

Selatan, dan Vietnam Selatan.

Pada saat Vietnam Utara yang komunis menyerbu Vietnam Selatan pada

tahun 1968, Australia memandang hal tersebut sebagai ancaman utama terhadap

keamanan mereka, mengingat pada saat itu kebijakan pertahanan Australia

didominasi oleh pemikiran “forward defense” yang berupaya mencegah

meluasnya pengaruh komunis di Asia Tenggara. Sementara, Presiden AS Lyndon

B. Johnson mengunjungi Australia untuk memperkuat dukungan terhadap

keterlibatan AS dalam Perang Vietnam. Kunjungan tersebut merupakan

kunjungan pertama presiden AS ke Australia dan mendapat sambutan hangat oleh

pemerintah dan parlemen Australia. Dominasi partai Liberal/Country merupakan

faktor utama dukungan Australia terhadap politik luar negeri AS. Namun demikian

terdapat tantangan dari Partai Buruh dan sejumlah kelompok anti-perang di

Australia yang mempertanyakan kepentingan Australia dalam konflik tersebut.

Pada era 1970, gelombang anti perang semakin meluas yang ditandai

dengan sejumlah demonstrasi besar-besaran di sejumlah tempat di Australian.

Sikap tersebut kemudian menyulut sentiment politik yang mengakibatkan

kemenangan Partai Buruh pada pemilu tahun 1972. Kemenangan pertama setelah

23 tahun. Hal tersebut kemudian disusul dengan sikap tegas pemerintah Australia,

yakni PM Gough Whitlam mencabut wajib militer dan menarik pasukan Australian

dari Vietnam. AS tidak lama setelah itu menandatangani perjanjian damai dengan

5
Vietnam pada tahun 1973 setelah setahun sebelumnya menarik pasukannya dari

Vietnam. Pada tahun 1975, Vietnam Selatan jatuh ke kekuasaan Vietnam Utara.

Kebijakan Multikulturisme

Berkuasanya Partai Buruh pada tahun 1975 menandai perubahan baru

dalam politik luar negeri Australia. Pemerintahan Gough Whitlam secara umum

mementang kebijakan perang AS di Asia Tenggara dan memandang

Pemerintahan Nixon sebagai paranoid dan terlalu konservatif. Pasca operasi

pemboman AS ke Vietnam Utara pada tahun 1972, para politikus sayap kiri

Australia secara gencar mengkritik Presiden Nixon, dan berakibat dengan

dihentikannya kerjasama militer AS – Australia.

Pemerintah Whitlam dengan segera merubah orientasi politik luar negeri

Australia dengan lebih berfokus ke negara-negara terdekat secara geografis,

dalam hal ini Asia, dan perlahan-lahan menghapus sisa-sisa kebijakan “White

Australian policy” yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Faktor ras bukan

lagi hambatan dalam penerimaan imigrasi Australia, dan sejumlah besar orang

Asia khususnya dari Vietnam memasuki Australia pasca kebijakan ini.

Begitu pula dengan hubungan ekonomi dengan negara Asia. Nilai

perdagangan antara Australia dengan negara-negara Asia meningkat tajam

setelah kebijakan Pemerintah Whitlam ditempuh. Pada tahun 1973 Australia

mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai Cina yang sah dan memulai

hubungan politik dan ekonomi yang lebih intensif dengan negara tersebut.

Pandangan tentang Cina sebagai ancaman dari utara atau pun “the yellow peril”

6
dihapuskan dan kebudayaan serta sejarah Cina lebih diapresiasi. Hubungan

diplomatik, ekonomi dan kebudayaan dengan RRT terus berkembang hingga

meletus Peristiwa Tiananmen tahun 1989. Australia mengecam keras sikap

represif dan kekerasan pemerintah RRT terhadap demonstran di Lapangan

Tiananmen dan bersama sejumlah negara membekukan hubungan diplomatik dan

perdagangan dengan RRT selama dua tahun.

Selain dengan RRT, Australian juga memberi perhatian khusus dalam

hubungannya dengan Indonesia, sebagai tetangga Asia terdekat. Australia

bahkan mendukung sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah Timor Portugis

(Timor Timur) pada tahun 1975. Hal tersebut dilakukan selain karena alasan

geostrategis pasca jatuhnya Vietnam Selatan juga sebagai bagian dari upaya

menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan pemerintah Suharto. Kebijakan

bersahabat erat dengan Indonesia terus dilanjutkan pada pemerintahan PM Bob

Hawke dan PM Paul Keating. Hubungan erat ini kemudian berubah setelah John

Howard dari koalisi Liberal/National menduduki posisi perdana menteri pada tahun

1996. Australia mulai mengkritik kebijakan-kebijakan Indonesia atas Timor Timur,

dan bahkan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Timor Timur pasca

jajak pendapat 1998 sebagai bentuk dukungan Australia untuk Timor Leste

merdeka.

Masalah Imigrasi

Australia memiliki kepentingan dan kebijakan yang kompleks terkait dengan

imigrasi. Diawali dengan datangnya para pendatang dari Eropa khususnya Inggris

7
pada abad ke 17 dan 18. Para pemukim-pemukim baru ini kemudian membangun

kota masing dan tidak jarang berkonflik dengan orang Aborigin yang telah

menghuni Australia selama ribuan tahun. Kemampuan teknologi dan pengetahuan

yang lebih superior membuat warga kulit putih lebih dominan dalam kompetisi

wilayah dan sumber daya dengan suku Aborigin.

Penemuan dan eksplorasi tambang emas pada abad 19 memicu

gelombang imigrasi baru yang dikenal dengan nama “gold rush.” Imigran dari

daratan Tiongkok mencapai jumlah yang sangat besar dan kemudian terlibat

kompetisi dengan kaum kulit putih dalam penambangan emas dan sumber daya

lain di Australia. Sejumlah kejadian merebak menjadi konflik antara penduduk kulit

putih dengan imigran Cina seperti kasus kerusuhan Buckland tahun 1857 dan

kerusuhan Lambing Flat antara tahun 1860 dan 1861. Masalah kompetisi tambang

emas kemudian berujung dengan dikeluarkannya regulasi melarang kedatangan

imigran dari Tiongkok dan pajak khusus bagi penambang Cina di Victoria pada

tahun 1855 dan di New South Wales tahun 1861. Kebijakan ini berlangsung hingga

tahun 1870an (Markey 1996).

Masalah imigran di sektor pertambangan juga terjadi di sektor pertanian.

Tumbuhnya industri perkebunan tebu di Queensland pada tahun 1870an

membutuhkan pekerja lebih banyak yang mampu bekerja di kondisi tropis. Pilihan

yang paling memungkinkan adalah mendatangkan pekerja dari pulau-pulau

Pasifik yang biasa disebut dengan “the Kanakas” dan dipekerjakan dengan biaya

murah. Banyak dari pekerja tersebut didatangkan dengan tipuan atau diculik dan

dipekerjakan secara tidak layak dengan upah sangat rendah. Jumlah besar

8
pekerja ini membuat pekerja kulit putih merasa terancam dan melalui serikat

pekerja mereka melancarkan protes menentang kehadiran pekerja Kanaka.

Protes berakhir dengan dikeluarkan regulasi antara tahun 1875 dan 1888 oleh

koloni-koloni di Australia yang mengeluarkan semua pekerja asing selain pekerja

Cina yang sebelumnya sudah berada di Australia.

Pada saat Federasi Australia berdiri pada tahun 1901, imigrasi menjadi

salah satu masalah utama yang diprioritaskan pemerintah federal. Parlemen

federal kemudian mengeluarkan “Immigration Restriction Act 1901” yang

menyatakan “meletakkan ketentuan pada imigrasi dan … untuk mengeluarkan…

bagi imigran yang dilarang.” Legislasi ini kemudian berkembang menjadi “White

Australian Policy” yang cenderung rasis dan mengutamakan hak dan kepentingan

warga kulit putih dibanding ras yang lain. Selama bertahun-tahun kebijakan-

kebijakan diskriminatif mewarnai “White Australian Policy” dan menjadi polemik

panjang dalam politik dan budaya Australia. Sejumlah kebijakan terus diambil

dalam memberikan prioritas imigrasi kepada warga kulit putih khususnya orang

Inggris selama abad ke 20 hingga Perang Dunia II. PM John Curtin bahkan pernah

menegaskan “Negeri ini akan tetap menjadi rumah bagi keturunan orang-orang

yang telah datang ke sini dengan damai dengan tujuan untuk membangun outpost

baru Inggris di laut bagian selatan” (Fact Sheet 8 - Abolition of "White Australian"

Policy 2013).

Kebijakan diskriminatif “White Australian” mulai diakhiri pada tahun 1966

ketika Pemerintahan Harold Holt mengajukan Migration Act 1966 yang

memperbesar akses bagi imigran non-kulit putih termasuk pengungsi yang

9
menyelamatkan diri dari Perang Vietnam. Kebijakan “White Australian” secara

penuh dihapus oleh Gough Whitlam pada tahun 1973 dengan menerapkan

sejumlah amandemen untuk mencegah pemberlakuan diskriminasi dalam

imigrasi. Hal ini termasuk meratifikasi semua perjajnjian internasional yang

berkaitan dengan ras dan imigrasi serta menghapus faktor ras dalam seleksi

imigrasi. Namun implementasi penghapusan faktor asal negara dalam imigrasi

baru sepenuhnya terlaksana pada tahun 1978 oleh pemerintahan PM Frazer.

Program imigrasi Australia yang non-diskriminatif selanjutnya memiliki dua

komponen utama yakni program bagi keluarga atau imigran dengan keahlian

khusus dan program kemanusiaan untuk pengungsi dan pencari suaka. Program

ini rencananya sampai tahun 2010 akan menerima imigran sekitar 6,5 juta jiwa,

namun dalam waktu satu dekade telah berkembang tiga kali lipat hingga 21 juta

jiwa dari sekitar 200 negara asal. Hingga saat ini Australia tetap menjadi tujuan

akhir para imigran dan pengungsi internasional. Selain menjadi potensi bagi

pertambahan penduduk bagi Australia juga menjadi masalah yang semakin

kompleks bagi pemerintah Australia.

10

Anda mungkin juga menyukai