Anda di halaman 1dari 12

SISTEM PRODUKSI DAN KETAHANAN PANGAN LAHAN KERING

Oleh: Fred Benu

Pendahuluan

Saat perekonomian global mengalami tekanan, khususnya sejumlah negara maju, Presiden
Jokowi justru mampu memimpin Indonesia mencapai prestasi dalam bidang ekonomi, dengan
mencatat sejumlah keberhasilan yang diakui dunia, antara lain: tingkat inflasi mampu
dipertahankan pada level di bawah 5 %, PDB Indonesia pada kwartal II 2022 mampu mencapai
Rp. 2923,7 T (harga konstan) atau tumbuh sekitar 3.72 % (Q to Q). Pertumbuhan ekonomi yang
positif Indonesia ini terutama ditopang oleh peningkatan harga komuditas Indonesia. Peningkatan
harga komunitas ini menyebabkan Indonesia mengalami trend positip dalam neraca
perdagangan dan mencatat surplus perdagangan selama 27 bulan berturut-turut. Belum lagi
besaran utang luar negeri (ULN) Indonesia yang mengalami penurunan pada Februaru 2022
setelah pada bulan sebelunya juga mengalami penurunan. Ratio hutang terhadap terhadap PDB
Indonesia yang relatif stabil di kisaran 34.2 % atau jauh di bawah batas maksimum rasio hutang.
Pada saat yang bersamaan Indonesia malah mendapat penghargaan dari IRRI (International
Rice Research Institute) pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77, karena
berhasil mencapai status swasembada pangan nasional di tengah ancaman krisis pangan dunia.
Status swasembada pangan sebenarnya yang dimaksud adalah swasembada beras
nasional. Karena pangan tidak hanya soal beras, tetapi juga mencakup semua komoditi pangan
nabati yang bisa dan biasa dikonsumsi masyarakat, termasuk beras, jagung, kedelai, kacang
tanah, ubi kayu, sayuran, buah-buahan, minyak goreng dan gula. Sedangkan yang termasuk
pangan hewani antara lain daging (sapi, kerbau, ayam), telur, susu dan ikan. Hanya saja karena
kesalahkaprahan kita yang terbiasa men-generalisasi pangan dengan komoditi tunggal beras,
menyebabkan pangan diidentikan dengan beras. Kesalahkaprahan ini juga secara tidak sadar
telah menggeser pola produksi, pola konsumsi dan sekaligus pola distribusi pangan nasional.
Padahal jika kita mau jujur maka dari sekian banyak komoditi pangan nabati yang saya
sebutkan di atas khususnya pangan pokok (staple foods) dari kelompok cereals (beras, gandum,
jagung, sorgum, dan jewawut) termasuk juga umbi-umbian, hanya ada satu komoditi pangan
yang benar-benar diproduksi di lahan basah. Komoditi pangan lainnya, dapat bahkan hanya
dapat diproduksi di lahan kering. Kesalahan pemahaman dan orientasi ini juga secara tidak sadar
akan selalu menempatkan kondisi pangan nasional baik dalam hal jumlah, stock, komposisi,
distribusi, keamanan, keterjangkauan, maupun aksesibilitas berada dalam kondisi yang rentan
(vulnerability).

1
Sekilas Mengenai Lahan Kering
Kenyataan bahwa aktivitas budidaya selalu bersentuhan dengan ketersediaan air adalah
suatu kebenaran mutlak. Istilah “kering” di sini tidak dimaksudkan sebagai tidak dibutuhkannya
air untuk jenis usaha pertanian lahan kering. Istilah “kering” lebih merujuk pada ketersediaaan
sumber air secara terbatas baik karena kondisi cuaca, karena jenis dan struktur tanah, maupun
karena ketidak mampuan manusia untuk menampung air dalam jumlah yang cukup untuk jangka
waktu yang panjang. Walaupun demikian ketersediaan air yang terbatas dimaksud masih dapat
dimanfaatkan untuk tujuan produksi pertanian, dengan mengusahakan tanaman yang tidak
membutuhkan pasokan air (water supply) dalam jumlah yang banyak.
Banyak ahli menyamakan padanan kata pertanian lahan kering dengan istilah “dryland
farming” atau “un-irrigated land” dalam bahasa Inggris. Sebenarnya istilah dryland farming lebih
merujuk pada tipologi daerah dengan ciri iklim tertentu. Jelasnya dryland farming mencakup
usaha budidaya di daerah beriklim semi-ringkai (semi-arid) sampai daerah beriklim ringkai (arid).
Pada pihak lain, istilah “unirrigated land” lebih ditujukan pada usaha budidaya pertanaman pada
daerah dengan supali air terbatas karena tidak memiliki jaringan irigasi (Roy and Arora, 1973;
Nelson and Nelson, 1973; Moore, 1977; Billy, 1981; Landon, 1984). Dengan demikian, kedua
istilah bahasa inggris yang dipakai untuk dirujuk oleh istilah pertanian lahan kering menekankan
pada suplai air yang terbatas. Namun istilah yang pertama menekankan pada keterbatasan air
karena kondisi iklim, sedangkan istilah kedua menekankan pada keterbatasan air karena
ketiadaan infrastruktur irigasi. Persoalan pokoknya tetap sama, yaitu kekurangan air yang dapat
dipakai untuk usaha budidaya tanaman. Isu utama dalam tipe pertanian lahan kering dalam hal
ini adalah soal keterbatasan suplai air. Oleh karena itu, diperlukan teknik budidaya yang mampu
memanfaatkan pasokan air yang terbatas untuk tujuan produksi, baik dengan jalan memilih teknik
pola tanam, jenis pertanaman dan/atau teknik pengelolaan air secara efektif dan efisien.
Sebagian lagi ahli menekankan istilah lahan kering sebagai lahan yang tidak tergenang air
sepanjang tahun. Dengan kata lain, pertanian lahan kering adalah pertanian yang diusahakan
pada lahan yang tidak tergenang air selama sebagian besar periode pertanaman. Dalam
pengertian ini, pertanian lahan kering di satu pihak diperhadapkan dengan pertanian sawah di
pihak lain.
Menjadi jelas bagi kita sekarang apa beda antara lahan kering yang dimaksudkan dalam
tulisan ini, dengan makna kata “dry land” atau “unirrigated land”. Dalam konteks mikro dapat saja
pertanian yang diusahakan pada daerah dengan tipologi semi-ringkai sampai ringkai
dikategorikan sebagai usaha budidaya lahan basah, karena lahannya digenangi air. Sebaliknya
usaha budidaya pertanian pada lahan yang beririgasi (irrigated land) dapat saja dikategorikan

2
sebagai usaha budidaya lahan kering karena lahan usahanya tidak tergenang. Tapi dalam
konteks makro, semua usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan tipologi semi arid
sampai arid dikategorikan sebagai usaha pertanian lahan kering. Oleh karena itu, lahan kering di
Indonesia dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (1) lahan kering beriklim kering yang banyak
terdapat di kawasan Timur Indonesia dan (2) lahan kering beriklim basah yang banyak terdapat
di kawasan barat Indonesia. Karena ciri pertanian lahan kering melekat pada jenis vegetasi yang
tahan terhadap suplai air yang terbatas, maka wilayah pengembangan lahan kering yang
dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya (Bamualim,
2004).

Kearifan Sistem Produksi Pangan Lahan Kering “SALOME”

Kata “SALOME” pada judul di atas terasa agak asing di telinga sebagian besar pembaca,
tetapi tidak demikian dengan mereka yang sudah lama terlibat dalam aktifitas pertanian lahan
kering di NTT. Kata itu sebagai singkatan dari kenyataan praktek budidaya tanaman pangan
lahan kering di NTT, yang dikenal dengan menanam “Satu Lobang Rame-Rame” (SALOME).
Maksudnya, para petani lahan kering kita biasanya menanam tanaman pangan yang sedikit
berbeda dari rujukan teori budidaya tanaman pangan pada umumnya yaitu menanam secara
monokultur, berada dalam larikan, dan menurut jarak tanam tertentu. Para petani lahan kering
kita biasanya melakukan budidaya tanaman pangan mereka dengan menanam secara campuran
dalam satu lubang tanam yang terdiri dari jagung, kacang2an, labu, bahkan ubi kayu. Menanam
tanpa jarak tanam dan dicampur sekaligus.
Saya mengangkat isu tentang “SALOME” karena banyaknya tanggapan yang muncul saat
saya menyampaikan materi pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan yang diselenggarakan
oleh Balai Konservari Sumberdaya Alam. Pada forum Webinar dimaksud, ada yang berpendapat
seolah-olah bahwa praktek budidaya seperti SALOME tidak cukup produktif dan tidak mampu
memberikan jaminan ketahanan pangan bagi masyarakat NTT, khususnya pada masa pandemic
Covid-19. Tapi Saya mencoba memberikan pemahaman dari sudut pandang yang agak berbeda.
Walaupun saya mengakui bahwa praktek SALOME ini tidak mampu memberikan produktivitas
pangan yang tinggi dibanding praktek budidaya tanaman pangan yang monokultur, didukung oleh
input produksi yang memadai (bibit unggul, pupuk, pestisida, supalai air, dsb.
Sebagai salah satu examiners yang memberikan penilaian terhadap Thesis S3 dari salah
satu PhD student di Western Australia, yang menulis tentang “Adoption and Impact of
conservation Agriculture on Maize Farming…”. Saya memberikan komentar pada thesis
dimaksud terkait praktek budidaya tanaman pangan petani lahan kering sebagai berikut:

3
“The traditional cultivation method such as mix cropping system practiced locally by
mixing seeds of different species of food crops and plant them in one hole is not
necessarily wrong. In fact, it is a kind of practice to anticipate crop failure that is if one
crop fail, other crops remain to provide them food. In the region with extreme weather
condition, the local farmers will put food security as the priority over income”

Jadi metode SALOME ini sebenarnya semacam coping mechanism yang diterapkan
sebagian besar petani lahan kering di NTT untuk ketahanan pangan mereka sendiri dalam
menghadapi tekanan external yang kuat spt: kekeringan, hama penyakit, termasuk pandemic
Covid-19. Jika tekanan eksternal yang ada menyebabkan salah satu tanaman pangan gagal
berproduksi, maka jelas mereka masih memiliki alternatif produksi pangan lainnya. Pola tanam
ini sekaligus sebagai bagian adaptasi petani terhadap kondisi lahan usaha yang didominasi oleh
bebatuan diselingi oleh tanah (lahan) untuk budidaya tanaman. Kondisi lahan usaha seperti ini
sulit untuk memaksakan adanya pola tanam yang monokultur dan harus berada dalam larikan
yang seragam. Adaptasi ini memaksakan para petani kita menanam seluruh tanaman pangan
dalam lubang yang sama karena keterbatasan lahan usaha.

Peningkatan Produksi Pangan dan Ketahanan Pangan Masyarakat Lahan Kering

Empat negara sub-regional ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Filipina, yang dikenal dengan nama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East
ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), pernah membangun komitmen bersama untuk menjadikan
kawasan sub-regional ini sebagai wilayah produksi pangan yang unggul. Kesepakatan ini
dibangun mengingat wilayah ini memiliki potensi besar, banyak lahan yang subur, dan memiliki
banyak pengetahuan di bidang pertanian. Kesepakatan ini terus diperkuat, antara lain dengan
mengadakan pertemuan puncak secara berkala. Misalnya, bersamaan dengan The 20th ASEAN
Summit pada 2012, diselenggarakan the 8th BIMP-EAGA Summit yang menghasilkan
pernyataan bersama dan mengadopsi BIMP-EAGA Implementation Blueprint 2012-2016 (BIMP-
EAGA, 2012a).
Dalam pernyataan bersama mengenai ketahanan pangan disebutkan:
"We have declared, at the ASEAN level that food security is one of our main priorities
in our regional development programmes and, therefore, reaffirm the potential
contribution of the food basket strategy of BIMP-EAGA to achieving food security, not
only in BIMP- EAGA, but in ASEAN as a whole. We were encouraged by the progress
in the formulation of the action and investment plans under the food basket strategy.
We supported the initiatives to jointly enhance our production capacity and strengthen
cross-border trade of raw materials as the initial building blocks towards enhancing
long-term cooperation. We urged our agriculture and fisheries officials to work more
closely with the private sector in forging joint venture projects related to food production

4
and product/resource consolidation; establishing a policy and incentive environment,
particularly on trade facilitation measures. In this regard, we look forward to the conduct
of the “BIMP-EAGA and IMT-GT High Value Agriculture Business Conference and
Expo” in Melaka in 2012 and its recommendations, which will further strengthen the
food basket strategy (BIMP-EAGA, 2012b,)."

Indonesia memang memiliki kapasitas besar dalam kemampuan produksi pangan, baik
dengan memanfaatkan potensi lahan basah maupun lahan kering, untuk memenuhi kebutuhan
permintaan pangan domestik maupun kawasan Asia Tenggara. Tetapi apakah potensi lahan
dengan kemampuan produksi pangan yang memadai ini cukup untuk menjadi penyangga
ketahanan pangan penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa?
Publikasi data nasional menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi lahan usaha
(erable land) yang cukup besar yaitu 73.4 juta Hektar. 90.5 % dari total lahan usaha (65.7 juta
Ha) adalah lahan kering dan sisanya 10.5 % (7.7 juta ha) adalah lahan basah. Dari potensi lahan
kering yang ada, 14.9 juta Ha diperuntukan bagi budidaya tanaman pangan, tanaman
perkebunan dan perladangan berpindah; 19,6 juta Ha untuk budidaya tanaman keras; 5,6 juta Ha
untuk budidaya pekarangan; 7600 ha untuk budidaya perikanan, dan sisanya 2,9 juta Ha untuk
tanaman industri dan padang penggembalaan (Mayrowani et al. 2010)
Konsentrasi kebijakan pada subsistem produksi saja tidak menjadi jaminan strategis bagi
ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Alih-alih memenuhi target pemasok pangan bagai
kebutuhan pangan non-domestik, untuk memenuhi permintaan pangan penduduk Indonesia saja
kita mengalami kesulitan yang tidak kecil. Bahkan di tengah keberhasilan peningkatan kuantitas
produksi pangan, kita masih didera dengan masalah kerawanan pangan di sebagian besar
wilayah Indonesia, khususnya wilayah yang didominasi oleh lahan kering, seperti NTT.
Pokok persoalannya adalah kita kurang memiliki kebijakan yang strategis pada simpul
sub-sistem distribusi dan konsumsi pangan nasional. Beddington at. al. (2012) mengatakan:
"Food systems must shift to better meet human needs and, in the long term, balance with
planetary resources. This will demand major interventions ... to transform current patterns of food
production, distribution and consumption."
Awalnya kita menduga bahwa dengan menggenjot produksi pangan secara besar-
besaran maka dengan sendirinya masalah kerawanan pangan nasional dapat teratasi. Memang
betul bahwa persoalan kerawanan pangan dimulai dari simpul ketersediaan pangan sehingga
pemerintah Indonesia memiliki kebijakan peningkatan produksi pangan. Tapi masalah kerawanan
pangan tidak berhenti pada simpul ketersediaan pangan saja, melainkan terkait erat dengan
simpul distribusi dan simpul konsumsi pangan. Oleh karena itu, jika sekian lama kebijakan

5
strategis ketahanan pangan hanya ada pada subsistem produksi, maka saat ini dua sub-sistem
lainnya (distribusi dan konsumsi) harus juga menjadi perhatian serius semua pihak.

Tanaman Pangan Lokal Vs Introdusir


Perlu dipahami bahwa pilihan budidaya tanaman pada lahan kering tidak didasarkan atas
pertimbangan aspek ekonomi semata. Aspek sosial budaya juga sangat dominan dalam
mendeterminasi ragaan usaha pertanian lahan kering. Bahkan, dalam banyak contoh, aspek
sosial budidaya ini justeru lebih dominan mendeterminasi corak usaha pertanian lahan kering
daripada aspek ekonomi.
Sebut saja orang Timor yang tetap saja mempertahankan komoditi jagung, labu, dan
kacang-kacangan pada lahan usahatani mereka, walaupun disadari bahwa komoditas ini,
khususnya varietas lokal, secara ekonomis sebenarnya kurang memiliki prospek yang
menguntungkan (Benu, Mudita, Aspatria, & Natonis, 2008). Orang Timor tetap mengusahakan
komoditas jagung varietas lokal karena komoditas ini merupakan bahan pangan pokok. Mereka
tidak berpikir tentang bagaimana produksi jangung ini akan dijual, tapi bagaimana produksi
jagung dapat dipakai untuk mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga mereka sampai musim
tanam berikutnya.
Jadi, dalam hal ini ketahanan pangan (food security) menjadi kepentingan utama. Memang
orang lain dapat saja mengatakan bahwa produksi jagung dapat dijual untuk kemudian uang yang
diperoleh dari hasil penjualan dapat dipakai untuk membeli pangan dan kebutuhan pokok lainnya.
Namun, petani lahan kering di Timor tidak berpikir demikian. Mereka tidak mau mengambil risiko
dua kali, yaitu risiko gagal produksi dan risiko harga murah pada saat jagung dijual. Bagi mereka,
cukup hanya menghadapi risiko gagal produksi, dan itu semata-mata diserahkan pada
kemurahan alam.
Dimensi berpikir masyarakat tani lahan kering bersifat linear, yaitu dimensi “dari tangan ke
mulut”. Atau, kalaupun mungkin sudah sedikit lebih berorientasi pasar, dimensi yang digagas
tetap tidak jauh bergeser, melainkan hanya diperpanjang menjadi “dari tangan ke mulut ke pasar”.
Maksudnya, mereka benar-benar mengutamakan ketahanan pangan dari sisi produksi dan hanya
kelebihan produksi yang dijual untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya. Mereka belum
mampu untuk dipaksa berpikir dalam dimensi “dari tangan ke pasar ke mulut”. Pada saat pasar
sekarang menuntut orang untuk berperspektif “berproduksi karena bisa dijual” dan tidak lagi
“menjual karena bisa diproduksi”, para petani lahan kering NTT masih berperspektif “berproduksi
karena bisa dimakan”.

6
Penggunaan Pupuk dan Peningkatan Produksi
Masukan sarana produksi pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern.
Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional
dengan kendala rendahnya produktivitas lahan atau minimal baru mencapai semi modern.
Santoso, Purnomo, Wigena, & Tuherkih (2003) mengatakan bahwa “usahatani secara intensif
dan menetap pada lahan kering dihadapkan pada masalah penurunan produktivitas lahan”.
Walaupun anggapan tentang praktik budidaya modern harus berhadapan dengan realitas
perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, paradigma praktik budidaya lahan
kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran.
Sejumlah petani lahan kering juga telah menggunakan masukan sarana produksi pupuk
untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka. Namun, dibandingkan dengan dengan
totalitas petani lahan kering, persentase petani yang menggunakan pupuk ini masih sangat kecil.
Kebanyakan petani lahan kering masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan
produktivitas.
Di samping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau,
kelangkaan pasokan, dan sebagainya, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan
kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus
pula berurusan dengan sejumlah masukan sarana produksi modern lainnya seperti pestisida,
pasokan air irigasi yang memadai, dan sebagainya. Tidak mungkin dapat didorong produktivitas
tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan masukan
sarana produksi modern lainnya.
Tanpa inpuk pupuk, khususnya pupuk kimiawi, petani memang masih mampu mendorong
produktivitas tanaman pada lahan kering, misalnya dengan membiarkan lahan dalam kondisi bera
atau menggunakan terobosan budidaya lorong (alley cropping system). Budidaya lorong dapat
dijadikan sebagai suatu terobosan sistem pertanian yang produktif, berkelanjutan dan ramah
lingkungan, sekaligus sebagai pengganti sistem perladangan berpindah atau sistem tebas bakar
yang telah lama dilakukan oleh petani lahan kering (Santoso et al., 2003).
Xiaobin, Dianxiong, & Jingqing (1999) mengatakan bahwa budidaya tebas bakar,
khususnya pada pertanian lahan kering, menyebabkan beberapa masalah seperti erosi tanah,
runoff dan penurunan tingkat kesuburan lahan sebagai akibat dari kehilangan vegetasi,
kehilangan nutrisi organik, serta masalah lingkungan. Pada 1984, The Research Group of Agro-
Ecosystem (1984) telah mengingatkan bahwa tekanan populasi pada sistem perladangan
berpindah lahan kering menyebabkan rasio antara masa bera dan masa budidaya menurun
secara cepat, demikian pula dengan kesuburan dan produktivitas lahan. Selanjutnya dikatakan

7
bahwa tanpa masukan sarana produksi pupuk, hampir tidak mungkin untuk mengharapkan
produksi lahan kering dapat dilakukan secara berkelanjutan. Bahkan dengan menggunakan
masukan sarana produksi pupuk sekalipun, produksi pertanian dapat saja mengalami penurunan
yang besar, kecuali dilakukan perbaikan dalam teknik pengelolaan.
Pada saat yang sama, upaya menggunakan masukan sarana produksi modern berupa
pupuk berkonsekuensi pada tingginya biaya operasional usahatani. Sementara itu, hampir
sebagian besar petani lahan kering menghadapi kendala akses terhadap sumber-sumber
permodalan. Padahal petani lahan kering yang melakukan usahatani secara tradisional tidak
perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan yang berkonsekuensi pada tingginya biaya
usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman benih lokal tradisional, selanjutnya
menyerahkan perkembangan dan produksinya benar-benar kepada kemurahan alam:
kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap hama dan
penyakit. Tidak ada konsekuensi biaya dalam usahatani, cukup konsekuensi gagal tanam
dan/atau gagal panen. Dan tampaknya, kebanyakan petani lahan kering lebih memilih
konsekuensi kedua tersebut, seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya
pengetahuan teknik budidaya dengan masukan sarana produksi modern, tidak adanya asuransi
usahatani, dan sebagainya. Pilihan konsekuensi kedua tersebut tidak akan memaksakan petani
lahan kering untuk berhutang pada siapa pun, selain berhutang pada alam.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering.
Kenyataan tersebut justeru dimaknai oleh para perumus kerbijakan pembangunan sebagai
hambatan pembangunan pertanian lahan kering. Padahal seharusnya diperlukan peran semua
pihak, khususnya pemerintah, untuk mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan
peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering, tanpa mengabaikan
kearifan lokal tradisonal yang sudah dibangun berabad-abad.

Ekonomi Masyarakat Lahan Kering


Kita harus membangun pemahaman bersama bahwa karakter ekonomi masyarakat lahan
kering khususnya di Timor jelas sangat berbeda dengan ekonomi masyarakat lahan basah atau
tipe ekonomi yang umumnya dikenal. Tipe ekonomi masyarakat lahan kering merupakan
bentukan dari karakter sosial ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
sumberdaya lahan lahan kering. Tipe ekonomi yang tidak mengejar semata produktivitas,
efisiensi dan profitabilitas sebagaimana umumnya ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi
konvensional sebagai hasil derivari teori ekonomi kapitalis.

8
Ukuran-ukuran yang disebutkan di atas tidak dapat dipakai secara arogan untuk mengukur
keberhasilan pembangunan ekonomi masyarakat lahan kering. Masyarakat lahan kering tidak
memandang "produktivitas" lebih penting dari keamanan (pangan). Mereka juga tidak
memandang "efisiensi" lebih penting dari kebersamaan (gotong royong). Mereka pun tidak
memandang "profitabilitas" lebih penting dari kepedulian (carying) bahkan compassion. Lantas
bagaimana mungkin kita "memaksa' untuk menggunakan ukuran keberhasilan ekonomi kapitalis
dimaksud untuk menakar ekonomi masyarakat lahan kering? Dan pada saat yang sama, kita
juga cenderung menggunakan ukuran "welfare" kita seperti income untuk menakar "happyness"
nya mayaaarakat lahan kering. Padahal, masyarakat lahan kering tidak pernah memandang
bahwa "income" lebih berharga dari kebersamaam, lebih berharga dari kepedulian, dsb.
Saya tidak tahu apa sebutan yang paling tepat untuk mencirikan tipe ekonomi masyarat
lahan kering yang saya sebutkan di atas. Apakah ini yang disebut ekonomi kerakyatan? Ataukah,
ini yang disebut ekonomi gotong royong yang didengungkan oleh Bung Karno? Yang jelas Bung
Karno pernah menyebutkan bahwa Paca Sila kalau diperas menjadi hanya tiga sila, kemudian
diperas lagi menjadi hanya satu sila, maka kita akan menemukan nilai pokok dari Panca Sila
adalah Gotong Royong. Dan inilah substansi ekonomi yang diragakan oleh masyarakat lahan
kering, khususnya di NTT. Di dalam substansi ini ada sifat dasar seperti emotional contagion,
emphaty, dan (yang lebih penting) compassion. Kalau saya boleh pinjam istilahnya Dalai lama,
maka ia menyebutnya dengan "Carying Economy".
Mari kita periksa lebih jauh tentang ciri ekonomi masyarakat lahan kering yang saya
sebutkan di atas. Dalam hal produksi pangan misalnya, masyarakat lahan kering di Timor lebih
merasa aman jika pola tanam nya adalah pola tanam tanaman pangan "Salome" (satu lobang
rame-rame). Mereka akan merasa sangat terusik, manakala kita memaksakan agar merubah pola
tanam dia dari sekian banyak komoditi pangan (jagung, kacang, labu, ubi kayu, dll), menjadi pola
tanam mono kultur dengan komoditi pangan tunggal padi atau jagung. Kita "memaksa" untuk
merubahnya atas nama produktivitas, efisiensi, dan profit. Mereka merasa terusik karena
sesungguhnya mereka menggantungkan hidup mereka selama satu tahun, tidak peduli mereka
dengan istilah "efisiensi', dan "produktivitas".
Di dalam pola tanam itu mereka merasa aman, karena jika jagung yang ditanam gagal,
mereka masih memiliki kacang. Atau jika kacang mereka gagal, mereka masih memiliki labu, dan
jika labu pun gagal mereka masih memiliki ubi kayu. Bahkan kalaupun semuanya gagal, mereka
masih memiliki putak dan biji tamaring (tamarindus indika). Jadi masyarakat lahan kering
sesunggungnya memiliki copying mechanism dalam hal urusan ketersedian pangan. Dan apa
yang salah dengan sistem keamanan pangan seperti ini? Apa yang salah jika mereka

9
menggunakan strategi copying mechanism mereka, lalu harus memakan putak atau bahkan biji
asam? Mereka memiliki sistem keamanan pangan berlapis yang tidak mungkin digantikan melalui
intervensi kebijakan yang menabrak kearifan lokal melalui pola tanam mono kultur. Selanjutnya
tentang diversifikasi tanaman dalam sistem produksi pangan lahan kering, maka sesungguhnya
NTT sebagai salah satu sentra produksi pangan lahan kering memiliki sejumlah keanekaragaman
komoditi pangan yang belum atau bahkan sudah tidak lagi dimanfaatkan secara maksimal.
Tercatatat paling sedikit ada 57 jenis aneka tanaman di local NTT yang kaya akan sumber
karbohidrat, 55 jenis aneka sumber lemak/minyak, 26 jenis aneka kacang, 273 jenis buah, 178
jenis aneka sayur, 32 jenis aneka bahan minuman, dan 94 jenis aneka rempah/bumbu.
Terlalu besar risiko yang dihadapi oleh masyarakat lahan kering jika kita "memaksakan"
ukuran-ukuran ekonomi kapitalis melalui intervensi kebijakan yang tidak utuh. Kebijakan seperti
perubahan pola tanam campuran ke monokultur dengan introdusir varietas unggul, tapi tidak
dibarengi dengan ketersediaan input produksi yang memadai seperti air, pupuk, pestisida, dll.
Apalagi masyarakat tani lahan kering saat ini juga harus berhadapan dengan intensitas
kekeringan yang semakin tinggi karena perubahan iklim global.

Resiliensi Sistem Produksi Pangan Lahan Kering


Walaupun dalam banyak forum ilmiah, produktivitas pertanian lahan kering khususnya
tanaman pangan sering mendapat kritik dibanding produktivitas lahan basah, namun dalam
praktek sesungguhnya sistem produksi tanaman pangan lahan kering memiliki datan lentur
(resilience) yang lebih baik dibanding sistem produksi lahan basah. Hal yang mendeterminasi
kenyataan ini, karena sistem produksi pertanian lahan kering sedikit bersifat “tertutup” terhadap
mekanisme pasar modern yang ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran dibandingkan
dengan sistem produksi pangan pertanian lahan basah.
Wajar saja kalua system produksi pangan lahan basah lebih terintegrasi secara mendalam
dengan sistem pasar modern, karena memang sistem produksi ini menawarkan produktivitas
yang lebih tinggi. Dan kita pahami bahwa produktivitas yang lebih tinggi juga membutuhkan
suplai input yang lebiih tinggi. Memahami hubungan resiprokal hukum permintaan dan
penawaran, maka jelas sistem produksi pangan lahan basah akan terintegrasi secara mendalam
dengan sistem pasar modern. Risiko yang harus dihadapi dari kuatnya hubungan antara sistem
produksi pangan lahan basah dengan mekanisme pasar modern adalah risiko yang harus
dihadapi oleh pertani. Para petani juga harus menerima kenyataan bahwa mekanisme pasar pula
yang akan menempatkan mereka berhadapan dengan kenyataan risiko harga, risiko

10
ketersediaan input, risiko transportasi, risiko kredit, risiko kebijakan, dsb. Dalam hal yang satu ini
sistem produksi pangan lahan kering relatif “better-off” dari sistem produksi pangan lahan basah.
Saya ingat tulisan dari Fareed Zakaria (2021) dalam bukunya “Ten Lessons for a Pos-
Pandemic World”. Dia mengatakan bahwa dalam sustu sistem yang berjalan (termasuk sistem
produksi pangan), maka ada 3 (tiga) pilar yang akan selalu menentukan dinamika sistem itu,
yaitu: (i) fast; (ii) open; and (iii) stable. Kita hanya bisa memilih maksimum dua diantara tiga
instrumen dimaksud. Jika kita memilih dua instrument “fast” dan “open” untuk menentukan
dinamika sistem, maka jelas sistem tidak akan “stable”. Demikian pula jika kita memilih instrument
“fast” dan “stable” maka sistem tidak boleh “open”,dst. Dalam konsekwensi pilihan sistem yang
dijelaskan oleh Fareed Zakaria ini, maka sistem produksi pangan lahan basah cenderung memilih
instrument “fast” dan “open” sehingga sistem tidak mungkin akan selalu “stable”. Sebaliknya
sistem produksi pangan lahan kering cendering menggunakan satu “instrument” sistem yaitu
“stable”, karena itu sistem tidakakan benar-benar open dan juga tidak akan fast sebagaimana
sistem produksi lahan basah.
Mari kita periksa konsep teoritis di atas dalam kajian empirik. Suatu kajian yang dilakukan
oleh 45 ahli di 25 negara di Asia tentang: “Response and resilience of Asian agrifood systems to
COVID-19: An assessment across twenty-five countries and four regional farming and food
systems” (2021) yang dipublikasikan pada Elsevier Journal “Agricultural System” antara lain
menemukan bahwa:

1. COVID-19 revealed the vulnerabilities of modern agricultural and food economies.


2. The HM FFS (Hill-Mixed Farming & food System) was the most resilient system and
the IWB FFS (Irrigated Wheat Based Farming & Food System) was the most severely
affected.
3. Diversification was a critical feature of resilient and sustainable systems, and short
value chains also contributed to resilience.

Referensi
Bamualim A; 2004. Strategi Pengembangan peternakan pada Daerah Kering, Makalah Seminar
Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan, IPB. Bogor.
Beddington, J., Asaduzzaman, M., Clark, M., Fernández, A., Guillou, M., Jahn, M., Wakhungu, J.
(2012). Achieving food security in the face of climate change: Final report from the
Commission on Sustainable Agriculture and Climate Change. Copenhagen, Denmark.:
CGIAR Research Program on Climate Change, Agriculture and Food Security (CCAFS).
Benu, F. L., Aspatria, U., Tiro, M., & Tarus, V. (2007). TDI Measurement and Baseline Survey of
World Vision’s Kurima Area Development Program, Jayawijaya and Yahukimo Districts,
Papua Province. Kupang: Research Institute of Nusa Cendana University.
Billy, B. 1981. Water ahrvesting for Dryland and Foodwater Farming on the NavajoIndian
Reservation, in G.R. Dutt, C.F. Hutchinson & M.A. Garduno (eds). Rainfall Collection for

11
Agriculture in Arid and Semi Arid Region. Prod. Workshop Univ. Arizona USA –Champingo
Post Gard Collage, Commonwealth Agr. BUT.UK.
BIMP-EAGA. (2012a). 8th BIMP-EAGA Summit Retrieved 15 April 2013, from http://bimp-
eaga.org/Pages/List.aspx?collid=14
BIMP-EAGA. (2012b). Joint Statement Eighth Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – The
Philippines East Asean Growth Area Summit (8th Bimp-Eaga Summit) Phnom Penh,
Cambodia, 4 April 2012. Phnom Penh: BIMP-EAGA Retrieved from http://bimp-
eaga.org/Documents/709442ed-085f-4209-819a-babe23a953d9.pdf.
Dixon M John; Weerahewa, Jeevika; Hellin, Jon; Rola-Rubzen, Maria Fay; Huang, Jikun; Kumar,
Shalander ; Das, Anup; Qureshi, Muhammad Ejaz; Krupnik, Timothy; Shideed, Kamil; Jat,
Mangi; Prasad, P.V. Vara; Yadav, Sudhir; Irshad, Aamer; Asanaliev, Abdybek; Abugalieva,
Aigul; Karimov, Aziz; Bhattarai, Basundhara; Balgos, Carol; Benu, Fred; Ehara, Hiroshi;
Pant, Jharendu; Sarmiento, Jon; Newby, Jonathan; Pretty, Jules; Tokuda, Hiromi;
Weyerhaeuser, Horst; Digal, Larry N.; Li, Lingling; Sarkar, Md. Abdur Rouf; Abedin, Md.
Zihadul; Schreinemachers, Pepijn; Grafton, Quentin; Sharma, Ram C.; Saidzoda,
Saidjamol; Lopez-Ridaura, Santiago; Coffey, Shuan; Kam, Suan Pheng; Win, Su Su;
Praneetvatakul, Suwanna; Maraseni, Tek; Touch, Van; Liang, Wei-li; Saharawat, Yashpal
Singh & Timsina, Jagadish. (2021). Response and resilience of Asian agrifood systems to
COVID-19: An assessment across twenty-five countries and four regional farming and food
systems. Journal of Agricultural Systems 193 (2021) 103168.
Green, K. (2003). Give Peas a Chance: Transformations in Food Consumption and Production
Systems. Paper presented at the The IHDP Open Science Conference, Montreal, October
2003, Montreal.
Landon, J.R. 9ed.),1984. Booker tropical Soil Manual. Booker Agr. Int. Ltd. London.
Moore, W.G.1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books ltd. Harmonsworth.
Nelson, A., and K.D.Nelson, 1973. Dictionary of Water and er Engineering. The Butterworth
Group. London.
Roy, K. and Wat D.R. Arora, 1973.Technology of Agricultura land Development and water
Management. Satya Prakashan. New Delhi.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena, I. G. P., & Tuherkih, E. (2003). Teknologi Konservasi Tanah
Vegetatif. . Bogor: Balittanah.
Sarawak Borneo Tour. (2013, 15 April 2013). Balikpapan-the hidden treasure of East Kalimantan.
Retrieved from http://blog.sarawakborneotour.com/
The Research Group of Agro-ecosystem. (1984). The Sustainability of Agricultural Intensification
in Indonesia. Jakarta: The Ford Foundation in Collaboration with The Agency for Agricultural
Research and Development Ministry of Agriculture, Indonesia.
Xiaobin, W., Dianxiong, C., & Jingqing, Z. (1999). Land application of organic and Inorganic
fertilizer for corn in dryland farming region of North Cina. Paper presented at the The 10th
International Soil Conservation Meeting, Purdue University and the USDA-ARS National
Soil Erosion Reserch Laboratory.
Zakaria, Fareed. (2021). Ten Lessons for a Post Pandemic World, an intelegent, learned, and
judicious guide for a world already in the making. Allen Lane, USA.

12

Anda mungkin juga menyukai