Anda di halaman 1dari 13

Kegiatan Pembelajaran 5 :

MUHKAM DAN MUTASYABIH


A. Definisi Muhkam dan Mutasyabih
Kata muhkam (‫ )محكم‬secara etimologis berasal dari kata hakama (‫ )حكم‬dengan
makna mana'a (‫ )منع‬yaitu melarang dengan tujuan kebaikan. Tali kendali yang
dipasang di leher binatang disebut hakamah (‫)حكمة‬. Biasanya orang Arab
mengatakan hakamtu ad-dâbbah (‫)حكمت الدابة‬, aku melarang binatang itu dengan
hikmah. Jika dikatakan ahkamtuha (‫ )أحكمتها‬artinya ja'altu laha hakamah (‫)جعلت لها حكمة‬,
aku pasang tali kendali pada binatang itu agar tidak bergerak secara liar.
Dari pengertian di atas lahir kata al-hikmah (kebiaksanaan), karena secara
filosofis kata itu dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas. Dan
juga kata al-hukm (‫ )الحكم‬yang berarti memisahkan antara dua hal. Al-hâkim (‫)الحاكم‬
adalah orang yang mencegah terjadinya kezaliman, memisahkan antara dua kubu
yang bersengketa, dan memisahkan antara yang hak dan yang batil. Oleh karena
itu, muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam (‫ )إحكم الكالم‬berarti
mengokohkan ungkapan dengan membedakan informasi yang benar dari yang
salah, yang terarah dari yang sesat. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa
muhkan secara etimologis adalah perkataan yang kokoh, rapih, jelas, dan benar.
Allah SWT menyifati al-Qur’an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya adalah muhkamah
sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Hûd ayat 1:
َ ُ
َ َ ْ ُ ْ ْ َ ُ َُّ ُ ُ َ ْ َ ْ ٌ َ
.‫ير‬
ٍ ‫يم خ ِب‬ٍ ‫الرۚ ِكتاب أح ِكمت آياته ثم ف ِصلت ِمن لدن ح ِك‬
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,."
(Q.S. Hûd: 1)
Menurut Manna’ al-Qaththan, seluruh ayat al-Qur'an merupakan muhkam,
dalam arti seluruh ayat-ayat al-Qur'an itu kokoh, fasih, indah dan jelas,
membedakan antara hak dan batil dan antara yang benar dan dusta. Inilah yang
dimaksud dengan al-ihkâm al-'âm atau muhkam dalam arti umum.
Adapun kata mutasyâbih secara etimologis berasal dari kata syâbaha-asy
syibhu-asy-syabahu-asy-syabihu, yang berarti keserupaan atau kemiripan, misalnya
dari segi warna, rasa, keadilan dan kezaliman. Apabila antara dua hal tidak dapat
dibedakan karena terdapat kemiripan (tasyâbuh) antara keduanya maka disebut asy-
syubhah. Misalnya tentang buah-buahan di surga yang terdapat dalam surat al-
Baqarah ayat 25, wa utû bihi mutasyâbiha mereka diberi buah-buahan yang serupa.
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa buah-buhan di surga antara satu sama lain
memiliki warna yang serupa, tetapi bukan rasa dan hakikatnya.

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 1 | 12
Setelah mengetahui tentang definisi muhkam dan mutasyabih secara
etimologis, maka dapat terlihat bahwa pada al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
muhkam dan mutasyabih, sebagaimana yang dalam firman Allah,
ََ ُ ُ َ
ٌ َ َ َ َ ْ ُّ َّ ُ ٌ َ َ ْ ُ ٌ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َّ ُ
‫اب َوأخ ُر ُمتش ِاب َهاتۖ فأَّما‬ ‫ت‬
ِ ِ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ات‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ح‬‫م‬ ‫ات‬ ‫آي‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫اب‬ ‫ت‬ ‫ك‬ِ ‫ال‬ ‫ك‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫ز‬‫ن‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ َ
ِ ‫هو ال‬
ْ َْ َ
َُ َ َ ْ ْ
َ ‫اء الف ْت َن ِة َو ْابتغ‬َ ‫ون َما تَ َش َاب َه م ْن ُه ْابت َغ‬ َ ُ ََّ َ ٌ ْ َ ْ ُُ َ َّ
‫اء تأ ِوي ِل ِهۗ َو َما َيعل ُم تأ ِويله‬ ِ ِ ِ ِ ‫ع‬ ‫ب‬
ِ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫غ‬ ‫ي‬‫ز‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫وب‬
ِِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ال ِذ‬
‫ين‬
ُ َّ َّ ََّ َ َ َ َ ْ ْ ٌّ ُ
.‫اب‬ ‫ب‬ َ ‫ولو ْالأَ ْل‬
ُ
‫أ‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ُ ‫ون آ َمَّنا ب ِه كل ِمن ِعن ِد ربناۗ وما يذك‬
‫ر‬
َ ُ َُ ْ ْ
‫ول‬ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬
َ ُ َّ َ ُ َّ َّ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ِإلا اَّللۗ والر ِاسخ‬
‫ون‬
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami".
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal." (Q.S. Ali 'Imran: 7)

Adapun muhkam dan mutasyabih secara terminologis, terdapat banyak


perbedaaan pendapat para ulama di dalamnya. Di antaranya az-Zarqani dan as-
Suyuthi yang mengungkapkan bahwa Muhkam merupakan ayat yang dapat
diketahui maksudnya baik secara tekstual maupun melalui ta’wil, sedang
mutasyabih ialah ayat yang hanya diketahui Allah maksudnya seperti terjadinya
hari kiamat, munculnya Dajjal, dan huruf-huruf muqatha‘ah di permulaan surat.
Kemudian, ayat-ayat muhkam dapat berdiri sendiri, sedang ayat-ayat mutasyabih
tidak dapat diketahui maknanya kecuali dengan bantuan ayat yang lain. Ayat-ayat
muhkam di dalamnya berisi tentang halal dan haram, sedang mutasyabih berisi
selain hal tersebut yang sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Di
samping itu, dalam memahami ayat-ayat muhkam mengandung satu ta’wil, sedang
mutasyabih mengandung beberapa ta’wil.
Definisi serupa juga dikemukakan oleh Shubhi al-Shalih. Menurutnya,
muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas, sedangkan mutasyabih ialah ayat-
ayat yang bermakna tidak jelas dan untuk memastikan maksudnya tidak
ditemukan dalil yang jelas. Sedangkan menurut al-Qaradawi yang dimaksud
dengan muhkam adalah ayat yang jelas dengan sendirinya, menunjukkan pada
maknanya dengan terang, dan tidak memperlihatkan kesamaran baik dari segi lafal
ataupun dari segi makna. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah
lafal yang sukar dalam penafsirannya karena adanya keserupaan dengan yang lain,
baik dari segi lafal ataupun makna. Adapun menurut Nashr Abu Zaid yang
dimaksud dengan muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maknanya serta tidak
memerlukan ta’wil, sementara ayat mutasyabih adalah ayat yang ambigu dan
membutuhkan ta’wil.
M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 2 | 12
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil benang
merah bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah ayat-ayat yang dapat
dipahami makna dan maksudnya secara tegas, sedangkan mutasyabih adalah ayat
yang pemahamannya membutuhkan penjelasan ayat-ayat yang lain atau
membutuhkan penakwilan di dalamnya.

B. Pendapat Ulama tentang Muhkam dan Mutasyabih


Pemasalahan muhkam dan mutasyabih telah memunculkan banyak pendapat
di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan
dalam memaknai ayat ke-7 dari surat Ali 'Imran,
ََ ُ ُ َ
َّ ٌ َ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ ُّ َّ ُ ٌ َ َ ْ ُ ٌ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َّ ُ
‫اب وأخر متش ِابهاتۖ فأما‬ ِ ِ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ات‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ح‬‫م‬ ‫ات‬ ‫آي‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫اب‬ ‫ت‬ ‫ك‬ِ ‫ال‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫ز‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ ِ ‫ه َو ال‬
ْ َْ َ
َُ َ ُ َ َْ ََ ْ
َ ‫اء الف ْت َن ِة َو ْابتغ‬ َ ‫ون َما تَ َش َاب َه م ْن ُه ْابت َغ‬َ ُ ََّ َ ٌ ْ َ ْ ُُ َ َّ
‫اء تأ ِوي ِل ِهۗ وما يعلم تأ ِويله‬ ِ ِ ِ ِ ‫وب ِهم زيغ فيت ِبع‬ ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ال ِذ‬
‫ين‬
َْ ْ ُ ُ َّ
َّ َّ َ ْ ٌّ ُ َّ َ ُ ُ ْ ْ َ ُ َّ َ ُ َّ َّ
.‫الر ِاسخون ِفي ال ِعل ِم َيقولون آ َمنا ِب ِه كل ِم ْن ِعن ِد َر ِبناۗ َو َما َيذك ُر ِإلا أولو الأل َبا ِب‬ ‫ِإلا اَّللۗ و‬

Ayat di atas memunculkan makna muhkamat dan mutasyabihat dalam posisi


bertentangan. Istilah pertama merujuk pada sesuatu yang jelas dan terang
dalalahnya, sementara yang kedua menunjukkan kepada sesuatu yang samar dan
kabur dalalahnya. Dalam kerangka ini, kemudian muncul pertanyaan apakah al-
Qur’an seluruhnya muhkam, atau semuanya mutasyabih atau mengandung
muhkam dan mutasyabih secara bersamaan? Pertanyaan ini kemudian
memunculkan tiga pendapat.
Pertama, al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabih. Pendapat pertama
ini mengacu kepada firman Allah:
ُ ُ َ
ٌ َ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ ُّ َّ ُ ٌ َ َ ْ ُ ٌ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َّ ُ
.ۖ‫اب وأخر متش ِابهات‬ ‫ت‬
ِ ِ‫ك‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ات‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ح‬‫م‬ ‫ات‬ ‫آي‬ ‫ه‬‫ن‬‫م‬ِ ‫اب‬ ‫ت‬‫ك‬ِ ‫ال‬ ‫ك‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫ز‬‫ن‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ ‫ه َو ال‬
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat..." (Q.S. Ali 'Imran: 7)

Ayat tersebut dengan jelas menegaskan istilah muhkam dan mutasyabih. Hal
ini secara jelas pula mengungkapkan pola muhkam dan mutasyabih yang
terkandung pada ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua, seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam. Pendapat ini didasari oleh
firman Allah:
َ ُ
َ َ ْ ُ ْ ْ َ ُ َُّ ُ ُ َ ْ َ ْ ٌ َ
.‫ير‬ ‫ب‬‫خ‬
ٍ ِ ٍ ِ ‫يم‬‫ك‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫د‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫ص‬ِ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ث‬ ‫ه‬‫ات‬ ‫آي‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ك‬
ِ ‫ح‬ ‫أ‬ ‫الرۚ ِكتاب‬
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,."
(Q.S. Hûd: 1)

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 3 | 12
Ayat tersebut memuat asumsi dapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya
muhkam. Menurut Manna’ al-Qattan, inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-
‘am atau muhkam dalam artian umum, dalam artian kata-kata pada setiap ayatnya
kokoh, fasih, dan dapat membedakan antara yang hak dan batil, dan antara yang
benar dan dusta.
Ketiga, seluruh ayat al-Qur’an bersifat mutasyabih. Dasar dari pendapat ini
adalah firman Allah:
َ
ْ َ َ َّ ُ ُ ُ ُ ْ ُّ َ ْ َ َ َ َ ً َ َ ُ ً َ
ْ.‫يخ َش ْو َن َرَّب ُهم‬ َ ْ َ َ ْ َ ََّ ُ َّ
‫يث ِكتابا متش ِابها مث ِاني تقش ِعر ِمنه جلود ال ِذين‬
ِ ‫اَّلل نزل أحسن الح ِد‬
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut
kepada Tuhannya,..." (Q.S. Az-Zumar: 23)
Maksud dari asumsi ini bahwa al-Qur’an pada sebagian kandungannya serupa
dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagian
membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang
kemudian dinamakan dengan at-tasyabuh al-‘am atau mutasyabih dalam artian
umum.
Menurut Abdul Djalal, ketiga pendapat di atas semuanya benar dari segi
istidlal, hanya saja orientasi dari masing-masing pendapat tersebut berbeda.
Pendapat pertama, berorientasikan pada masalah kebaikan, kerapian susunan
ayat-ayatnya, ataupun kejanggalan kata maupun maknanya, sehingga al-Qur’an itu
seperti suatu bangunaan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Hal ini disebabkan
ُ ُ
fokus pandangan mereka pada arti ‫أ ْح ِك َم ْت َآيات ُه‬yang diorientasikan kepada segi
kebaikan, kerapihan, dan kebenaran kata dan makna, serta tidak adanya
kekurangan dan kerancuan.
Pendapat kedua memfokuskaan kepada segi relevansi, homogenitas, dan
keserasian susunan al-Qur’an baik dalam aturan hukum, hal keindahan sastra seni
balaghah yang mencapai klimaks kemukjizatan, ataupun hal kerapihan susunan
kata dan keterkaitan inti isi makna seluruh ayat atau sebagiannya. Hal itulah yang
menyebabkan rangkaian kata atau kalimat itu bagaikan untaian suatu kesatuan
yang utuh dan menakjubkan, sehingga tidak bisa ditemukan mana ujung dan
pangkalnya karena sudah menyatu. Sentral pandangan kedua ini diorientasikan
َ َ َ
pada arti kalimat ayat ‫( ِك َت ًابا ُمتش ِاب ًها َمث ِان َي‬suatu kitab yang serupa/sama mutu ayat-
ayatnya lagi berulang-ulang).
Pendapat ketiga memang secara tegas mengorientasikan pada segi realitas
dan eksistensi kitab suci ini, baik dalam segi isi aturan ataupun dalam segi susunan
ayat atau surat yang jelas, tegas, dan lugas, selain ada yang samar, lentur, dan
fleksibel serta elastis.
Menurut Manna’ al-Qaththan, sumber perbedaan pendapat berpangkal pada
ْ ْ َ ُ َّ َ
masalah waqaf dalam kalimat ‫اسخون ِفي ال ِعل ِم‬ ِ ‫والر‬yang terdapat pada ayat di atas.
Dalam hal ini, apakah kedudukan kalimat tersebut sebagai mubtada’ sedangkan
M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 4 | 12
َ ُ
yang menjadi khabar adalah ‫ َي ُقولون‬dengan memberlakukan ‘wa’ sebagai huruf
isti’naf dan waqaf dilakukan pada kalimat ‫اّلل‬ ُ َّ ‫ َ;و َما َي ْع َل ُم َت ْأو َيل ُه إ ََّّل‬ataukah ia ma‘thuf
ِ ِ
َ‫َ ُ ُ ن‬ ْ ْ َ ُ َّ َ
sedang kata ‫يقولو‬menjadi hal dan waqaf terletak pada kalimat ‫اسخون ِفي ال ِعل ِم‬ ِ ‫والر‬. Bagi
ُ َّ َّ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ
ulama yang berpendapat bahwa waqaf terdapat pada kalimat ‫وما يعلم تأ ِويله ِإَّل اّلل‬,
maka akan bermakna bahwa yang dapat mengetahui maksud ayat-ayat
mutasyabihat hanya Allah saja. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa waqaf
ْ ْ َ ُ َّ َ
terletak pada kalimat ‫اسخون ِفي ال ِعل ِم‬ ِ ‫والر‬, maka yang dapat mengetahui maksud ayat
mutasyabihat itu adalah Allah dan orang-orang yang memiliki ilmu mendalam.
Lebih lanjut, Manna' al-Qaththan mengatakan bahwa kedua perbedaan
ْ ْ َ ُ َّ َ
waqaf pada kalimat ‫اسخون ِفي ال ِعل ِم‬ ِ ‫والر‬dapat dikompromikan dengan merinci makna
takwil. Takwil dapat digunakan untuk menunjukkan tiga hal, pertama, takwil
berarti memalingkan sebuah lafaz dari al-ihtimâl arrâjih (makna yang kuat) kepada
al-ihtimâl al-marjûh (makna yang lemah) karena ada dalil yang menghendakinya.
Kedua, takwil berarti tafsir, yaitu menjelaskan lafazh-lafazh sehingga maknanya
dapat dipahami. Ketiga, takwil berarti hakikat sesuatu yang disampaikan dalam
pembicaraan.
Para ulama yang berpendapat bahwa takwil ayat-ayat mutasyabih hanya dapat
diketahui oleh Allah SWT semata, memahami takwil sebagai hakikat sesuatu.
Misalnya tentang hakikat Zat Allah SWT, bagaimana hakikat nama-nama dan
sifatsifat Allah SWT, tentang Hari Akhir dan masalah-masalah ghaib lainnya,
hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat sebenarnya. Sedangkan para ulama
yang memahami bahwa takwil ayat-ayat mutasyâbh dapat diketahui juga oleh
orang-orang yang mendalam ilmunya, memahami bahwa takwil adalah tafsir yang
menjelaskan maksud kata-kata sehingga dapat dipahami. Dengan demikian, tidak
ada pertentangan atara dua pendapat, yaitu antara yang membaca waqaf dan yang
menyambungnya, karena perbedaannya kembali kepada perbedaan pengertian
takwil.
Pada Al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasyabih yang makna harfiyahnya sama
seperti makna pada kata-kata yang biasa digunakan oleh umat manusia, akan
tetapi hakikatnya berbeda. Misalnya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah
SWT. Allah Maha Mendengar, manusia juga mendengar. Allah Maha Melihat,
manusia juga melihat, Allah Berbicara, manusia juga berbicara. Arti kata
mendengar, melihat, dan berbicara dapat dipahami, tetapi tentu bagaimana
hakikat Allah Mendengar, Melihat dan Berbicara hanya Allah SWT sendiri yang
mengetahuinya. Contoh yang paling sering dikutip dalam masalah ini adalah
firman Allah:
َ َْ َ َ ْ َّ
‫الرح ََٰم ُن على الع ْر ِش ْاست َو َٰى‬
“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.” (Q.S. Taha: 5)

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 5 | 12
Arti kata istawa secara harfiyah dapat diketahui yaitu bersemayam. Demikian
juga 'arsy yang bermakna singgasana. Kedua kata itu biasa digunaka dalam
pembicaraan manusia. Tetapi bagaimana Allah SWT bersemayam di atas 'Arsy,
dan bagaimana hakikat 'Arsy itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya
Allah SWT. Manna’ Qaththan memberi ilustrasi mengenai hal ini dengan
mengambil kisah Imam Malik ketika ditanya bagaimana Allah SWT bersemayam
di atas 'Arasy, ia menjawab bahwa kata al-istiwâ' (bersemayam) suda diketahui
maknanya, akan tetapi bagaimana cara istiwâ' tidak diketahui, beriman dengannya
wajib, bertanya tentang itu bid'ah.
Sedangkan takwil dalam pengertian pertama yaitu memalingkan sebuah
lafazh dari al-ihtimâl ar-râjih (makna yang kuat) kepada al-ihtimâl al-marjûh (makna
yang lemah) karena ada dalil yang menghendakinya, adalah takwil yang tercela
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama yang secara berlebihan
mensucikan Allah SWT dari segala sifat yang dianggap mereka sama dengan sifat
makhluk. Misalnya mereka takwilkan kata yad (tangan) dalam frman Allah yadullah
fauqa aidîhim (Q. S. Al-Fath 48: 10) dengan kekuasaan (al-qudrah) karena khawatir
kalau diartikan tangan Allah nanti sama dengan tangan makhluknya. Tetapi
mereka lupa, bahwa kata qudrah juga dimiliki oleh manusia, bukankah manusia
juga mempunyai kekuatan. Jika dijawab bahwa kekuatan Allah SWT berbeda
dengan kekuatan manusia, harusnya demikian juga mereka memahami tangan
Allah, juga berbeda dengan tangan manusia.

C. Aspek-Aspek Tasyabuh dalam al-Qur’an


Aspek-aspek tasyabuh atau kesamaran makna pada ayat-ayat mutasyabih
dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu aspek lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan
makna ayat bersamaan.
1. Tasyabuh yang terdapat pada lafal ayat.
Salah satu sebab terjadinya tasyabuh adalah penggunaan kosakata
(mufradât) yang dalam beberapa ayat Al-Qur'an tidak umum digunakan oleh
orang Arab dan terdengar asing di telinga mereka, selah satu contohnya
adalah penggunaan kata abban (‫)أبا‬ ّ dalam ayat ke-31 surat 'Abasa:
َ
ًّ‫َو َفاك َه ًة َوأبا‬
ِ
“dan buah-buahan serta rumput-rumputan.” (Q.S. ‘Abasa: 31)

Dalam Tafsir al-Kasyaf karya az-Zamakhsyari dijelaskan bahwa dua orang


sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar dan 'Umar ibn al-Khathab ketika ditanya
tentang makna abban pada ayat tersebut, mereka tidak mengetahuinya. Abu
Bakar mengatakan "Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana tempat
aku berpijak, jika aku katakan sesuatu tentang Kitab Allah apa-apa yang aku
tidak punya ilmu tentangnya". Senada dengan Abu Bakar, 'Umar ketika
ditanya hal yang sama, ia mangatakan: "Kata fakihah kita tahu bersama, tetapi
apa makna abban?" Kemudian 'Umar melepaskan tongkat yang
M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 6 | 12
digenggamnya sembari berkata kepada dirinya sendiri: "Ini bukanlah tugas
'Umar untuk menjelaskannya. Tidak ada salahmu wahai putera ibunya Umar
jika tidak mengetahui arti kata abban ini." Lalu beliau berkata: "Ikuti sajalah
apa yang jelas bagimu dari Al-Qur'an. Mana yang tidak jelas maksudnya
tinggalkan saja. Dari riwayat tersebut, terlihat bahwa terkadang al-Qur’an
menggunakan kata yang asing dan tidak lazim digunakan oleh orang Arab.
Jika kita cermati lagi, salah satu karakter ayat mutasyabih adalah
memerlukan penjelasan dari ayat yang lain. Makna kata abban dapat diketahui
jika dihubungkan dengan ayat berikutnya,
ُ َ ُ َ ً َ َ
ْ‫اعا لك ْم َولأ ْن َعامكم‬ ‫مت‬
ِ ِ
“untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (Q.S. ‘Abasa:
32)
Dari ayat ke-32 ini baru jelas bahwa yang dimaksud dengan kata fâkihah
(buah-buahan) pada ayat ke-31 merupakan kesenangan untuk kamu,
sedangkan kata abban adalah kesenangan untuk binatang ternakmu. Dengan
kata lain, yang maksud dari kata abban adalah rumput-rumputan atau pakan
untuk binatang ternak.
Di samping kosakata yang gharîb atau asing, tasyâbuh juga dapat
disebabkan karena kata bersifat musytarak (memiliki makna yang bercabang),
misalnya kata qurû' (‫ )قروء‬dalam Surat al-Baqarah ayat 228:
ُ ُ َ َ َ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ََّ َ َ ُ َ َّ َ ُ ْ َ
....‫وء‬
ٍ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫والمطلقات يتربصن ِبأنف ِس ِهن ثلاثة‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
(Q.S. al-Baqarah: 228)
Kata qurû' pada ayat di atas memiliki beberapa makna, yaitu haidh dan
suci. Jika berarti haidh, maka masa ‘iddah wanita yang ditalak atau dicerai oleh
suaminya adalah tiga kali haidh. Adapun jika yang dimaksud adalah suci,
maka masa iddah wanita tersebut ialah tiga kali suci.
Tasyâbuh juga bisa terjadi disebabkan oleh susunan kalimat (tarkîb al-
kalimat), baik kalimatnya ringkas, luas, atau karena susunan kalimatnya.
Untuk kalimat yang ringkas contohnya adalah frman Allah dalam surat an-
Nisâ' ayat 3:
ُ َ َ
َ َ ُ َ َٰ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َٰ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َّ ْ ُ ْ ْ َ
‫النس ِاء مثنى وثلاث‬ ِ ‫و ِإن ِخفتم ألا تق ِسطوا ِفي اليتامى فان ِكحوا ما طاب لكم ِمن‬
ُ ُ َ ََّ َ ْ َ َ ََٰ ُ ُ َ َ ْ َ َ َ َ
ً َ َ َ ُ ْ َ َّ ْ ُ ْ ْ َ َ َ ُ َ
.‫احدة أ ْو َما َملكت أ ْيمانك ْمۚ ذ ِلك أدن َٰى ألا تعولوا‬ِ ‫و‬‫ف‬ ‫وا‬‫ل‬ ‫د‬
ِ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ل‬‫أ‬ ‫ورباعۖ ف ِإن ِخفتم‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 7 | 12
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya..” (Q.S. an-Nisâ': 3)
Jika dilihat sekilas, ayat di atas sukar untuk dipahami, ayat tersebut
memerintahkan jika takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim,
maka nikahilah perempuan baik-baik maksimal sampai empat orang dengan
syarat harus adil. Apabila ia merasa tidak dapat berbuat adil, maka cukup
menikahi seorang wanita saja. Kesulitan dalam memahami ayat diatas
disebabkan oleh susunan kalimatnya yang singkat dan padat. Oleh karena itu
untuk dapat memahaminya diperlukan penjelasan tambahan keterangan,
sehingga kalimatnya menjadi:
ْ ْ
َٰ
‫يتامى لو تزوجتموهن فانكحوا من غيرهن ما طاب لكم‬ ْ
‫خفتم ألا تقسطوا في ال‬ ‫وإن‬

‫من النساء‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-
perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininyanya, maka nikahilah selain
mereka perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi.
Dengan tambahan beberapa kata di atas, maka maksud dari ayat tersebut
akan lebih mudah untuk dipahami, yaitu jika seseorang ingin menikahi anak
yatim perempuan yang di asuh olehnya, kemudian ia khawatir tidak dapat
berbuat adil, maka nikahilah perempuan lain yang berkepribadian baik.
Selain contoh-contoh yang telah dikemukakan di atas, tasyabuh juga
dapat disebabkan oleh kalimatnya yang luas (‫)اإلطناب‬, salah satunya adalah
yang terdapat firman Allah:
َ ْ َ َْ
... ‫لي َس ك ِمث ِل ِه ش ْي ٌء‬...
“…tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia...” (Q.S. as-Syura': 11)
Tasybîh dalam ayat tersebut sekilas terulang dua kali, karena setelah
menggunakan alat tasybîh yaitu huruf kaf (‫ )ك‬ditambah dengan mitsl (‫)مثل‬.
Karena huruf kaf dan mitsl memiliki fungsi yang sama, yaitu mempersamakan
sesuatu dengan yang lain, sehingga pengertian menjadi (‫ )ليس مثل مثله ش يء‬tidak
ada yang seperti seperti-Nya. Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa
pengulangan alat tasybîh pada ayat tersebut bukanlah sesuatu yang berlebih
atau tidak diperlukan, tetapi befungsi sebagai penguat (ta'kîd) sehingga
maksudnya menjadi "Sungguh tidak ada sama sekali sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya". Jika dilihat dari pemaknaan harfiah pun demikian, yaitu tidak
ada yang seperti seperti-Nya, bukan lah kelebihan kata, tetapi sebagai bentuk
penegasan bahwa jika yang seperti seperti-Nya tidak ada, maka tentu lebih-
lebih lagi yang seperti dengan-Nya.

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 8 | 12
Contoh tasyabuh lain yang terdapat pada lafal ayat adalah tasyabuh yang
disebabkan oleh susunan kalimatnya yang tidak urut, seperti yang terdapat
pada surat al-Kahfi ayat 1-2:
ْ َ ْ َ َّ َّ ُ َ ْ
ً َ ُْ ً َ ً ُ ْ َ َْ َ َ َ َ َ َ َ ْ
‫ق ِيما ِلين ِذ َر َبأ ًسا ش ِديدا‬. ‫اب َول ْم يجعل له ِع َوجا‬ ‫َّلل ال ِذي أن َزل عل َٰى ع ْب ِد ِه ال ِكت‬
ِ ِ ‫الح ْمد‬
َ َ
ً َ َ ً ْ ْ ُ َ َّ َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َّ َ ْ ُْ َ ََُ َُُْ ْ
.‫ات أن لهم أجرا حسنا‬ ِ ‫ح‬ ‫ال‬
ِ ‫الص‬ ‫ون‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ين‬ ‫ذ‬ِ ‫ال‬ ‫ين‬ ‫ن‬
ِ ‫ِمن لدنه ويب ِشر الم‬
‫م‬ِ ‫ؤ‬
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-
Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan
yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan
memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal
saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, ” (Q.S. Al-Kahf: 1-
2)

Sebab terjadinya tasyâbuh pada ayat ini adalah karena kata qayyiman (‫)قيما‬
tidak langsung ditempatkan setelah kata al-Kitâb (‫)الكتاب‬, padahal kata
qayyiman merupakan keterangan sifat dari kata al-Kitab. Jika ditempatkan
langsung sesudah al-Kitab, maka akan lebih mudah untuk dipahami dan
maknanya pun akan langsung ditangkap dengan cepat oleh pembaca.

2. Tasyabuh yang terdapat pada makna ayat.


Salah satu sebab terjadinya mutasyabih pada ayat al-Qur’an adalah karena
terdapat kesamaran pada makna ayat, misalnya makna sifat-sifat Allah,
keadaan hari kiamat, hal-hal ghaib, surga, neraka dan lain sebagainya. Salah
satu contoh tasyabuh pada makna ayat yang berkaitan dengan sifat Allah
dalam surat al-Fath ayat 10:
َ
َ ُ ُ ْ َ َ َّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ
َٰ‫ث َعلى‬ َ َ َّ ُ َ َ َّ َ ُ َ ُ َ َّ َ َ ُ َ ُ َ َّ َّ
‫اَّلل ف ْوق أي ِد ِيهمۚ فمن نكث ف ِإنما ينك‬
ْ ِ ‫ِإن ال ِذين يب ِايعونك ِإنما يب ِايعون اَّلل يد‬
َ َ
ً َ ً ْ ْ ُ َ َ َ َّ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َٰ َ ْ ْ َ َ َْ
.‫ِيه أجرا ع ِظيما‬
ِ ‫نف ِس ِهۖ ومن أوفى ِبما عاهد عليه اَّلل فسيؤت‬
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang besar, ” (Q.S. al-Fath: 10)
Contoh lain tasyabuh yang terdapat pada makna ayat tentang hari kiamat,
kenikmatan surga, dan siksa neraka adalah surat al-Anbiya’ ayat 47, surat
Muhammad ayat 15, dan surat Hud ayat 106:

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 9 | 12
َ َ َْ َ َ ْ ًْ َ َْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َْ ُ َ ََ
‫ين ال ِق ْسط ِل َي ْو ِم ال ِق َي َام ِة فلا تظل ُم نف ٌس شيئاۖ َو ِإن كان ِمثقال حَّب ٍة ِم ْن‬ ‫از‬ِ ‫ونضع المو‬
َ َ
َ َ َ َٰ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ
.‫اس ِبين‬
ِ ‫خرد ٍل أتينا ِبهاۗ وكفى بِنا ح‬
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji
sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
pembuat perhitungan. ” (Q.S. al-Anbiya’: 47)
َ َ َّ ََّ ْ ُ َ َ
َ َ َ ََ ْ ْ ‫يها أ ْن َه ٌار م ْن َماء َغ‬ َ ُ َّ ُ ْ َ ُ
‫آس ٍن َوأن َه ٌار ِم ْن لب ٍن ل ْم َيتغَّي ْر‬
ِ ِ ٍ ‫ر‬ ‫ي‬ ِ
َ ‫ونۖ ف‬
ِ ‫ق‬ ‫ت‬‫م‬ ‫ال‬ ‫د‬ ‫ع‬ِ ‫و‬ ‫ي‬‫ت‬ِ ‫مثل الجن ِة‬
‫ال‬
َ َ
ًّ َ ُ َ َ ْ ٌ َ ْ َ َ َّ ََّ ْ َ ْ ٌ َ ْ َ ُ ُ ْ َ
…..‫طعمه وأنهار ِمن خم ٍر لذ ٍة ِللش ِار ِبين وأنهار ِمن عس ٍل مصفى‬
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji
sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
pembuat perhitungan. ” (Q.S. Muhammad: 15)
ٌ َ ٌ َ َ ْ ُ َ َّ َ ُ َ َ َّ َ َ
.‫ير َوش ِهيق‬ ‫فأَّما ال ِذين شقوا ف ِفي الن ِار لهم ِفيها ز ِف‬
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di
dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),” (Q.S.
Hud: 106)

3. Tasyabuh yang terdapat pada lafal dan makna ayat.


Salah satu contoh tasyabuh yang terdapat pada lafal dan makna ayat
sekaligus adalah surat al-Baqarah ayat 189:
ْ َ ْ َْ َ َ َُ َْ
َ ُْ ُ َ ْ َْ َّ ُ َ ‫ك َعن ْالأَهلَّةۖ ُق ْل ه َي َم‬
‫اس َوالح ِجۗ َولي َس ال ِب ُّر ِبأن تأتوا الب ُيوت ِم ْن‬
ِ ‫لن‬ ‫ل‬
ِ ‫يت‬‫اق‬
ِ ‫و‬ ِ ِ ِ ِ ‫يسألون‬
َّ َ ْ
َ ُ ْ ُ ُ َ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ ْ ْ َ ُ ُ ْ ُ َ َٰ َ َّ َ َّ ْ َّ ََٰ َ َ ُ ُ
.‫اَّلل لعلك ْم تف ِلحون‬ ‫ورها ول ِكن ال ِبر م ِن اتقىۗ وأتوا البيوت ِمن أبو ِابهاۚ واتقوا‬ ِ ‫ظه‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu
ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung,” (Q.S. al-
Baqarah: 189)
Untuk memahami ayat di atas, seseorang harus terlebih dahulu mengenal
tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Karena ayat tersebut sangat tekait
dengan budaya bangsa Arab masa lampau. Diceritakan bahwa beberapa
orang Anshar jika berihram untuk haji, mereka tidak akan masuk rumah atau
tempat kediaman dari pintu. Jika penduduk Madar, jika ihram membuat
lubang di belakang rumah, lalu keluar masuk dari lubang itu. Berbeda dengan
M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 10 | 12
penduduk Wabar, mereka keluar masuk dari belakang tirai secara sembunyi-
sembunyi. Lalu turun ayat ini: "…bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu beruntung." Tasyabuh dalam ini terjadi pada lafalnya karena terlalu
singkat dan padat (ijaz), selain itu, terjadi pula pada maknanya karena di
dalamnya terkandung adat kebiasaan khusus orang Arab yang tidak diketahui
oleh selainnya.

D. Hikmah adanya ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam al-


Qur’an
Keberadaan ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an memiliki beberapa hikmah
dan manfaat, di antaranya adalah:
1. Dengan adanya ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dapat memberikan
rahmat bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Manusia dapat
memahami isi kandungan yang terdapat pada ayat muhkam dengan
mudah.
2. Adanya ayat-ayat muhkam dapat memberikan manusia dapat motivasi
dan dorongan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ayat-
ayat al-Qur’an. Ungkapan ayat yang dapat dipahami dan mudah
dimengerti dapat mendorong mereka untuk selalu beraktualisasi diri
dengan isi kandungan al-Qur’an.
3. Pemaknaan yang terkandung di dalam ayat-ayat muhkam sangat jelas
baik dari segi makna dan lafal, sehingga manusia tidak membutuhkan
penakwilan terhadap ayat tersebut.

Adapun keberadaan ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an memiliki


beberapa hikmah dan manfaat, sebagaiman yang diungkapkan az-Zarqani, yaitu:
1. Sebagai rahmat yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia yang
tidak sanggup mengetahui segala sesuatu secara keseluruhan. Jika
semuanya diungkap hakikatnya oleh Allah SWT, manusia tidak akan
sanggup memikulnya. Oleh sebab itu, Allah merahasiakan kapan
datangnya hari Kiamat. Jika manusia tahu waktu terjadinya Kiamat masih
jauh, mereka akan malas dan tidak mempersiapkan diri dengan baik.
Sebaliknya, jika manusia tahu Kiamat sudah dekat, mereka akan sangat
ketakutan menghadapinya. Begitu juga hikmah kenapa Allah
merahasiakan kepada setiap orang kapan ajalnya akan datang, agar setiap
orang selalu berusaha mengisi kehidupannya dengan kebaikan dan
menjauhi segala macam keburukan.
2. Sebagai ujian keimanan umat manusia terhadap hal-hal ghaib, yang
sebgaian orang menganggapnya sebagai sesuatu yang irasional.

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 11 | 12
3. Menghilangkan kesombongan yang ada pada manusia, sehingga ketika
mereka menyadari kelemahannya, maka mereka akan tunduk dan patuh
kepada Allah SWT.
4. Memberi peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Qur'an. Dengan adanya pemahaman yang beragam, maka terbuka
ruang untuk dialog.
5. Menunjukkan mukjizat Al-Qur'an. Misalnya dari segi bahasa, jika ayat-
ayat mutasyabih itu dibahas lebih mendalam, maka akan terungkap
keindahan, ketelitian dan kehalusan bahasa Al-Qur'an. Berbagai macam
aspek ilmu balaghah akan terungkap seperti al-îjâz, al-ithnâb, al-musâwâh,
at-taqdîm wa atta'khîr, adz-dzikr wa al-hadzf, al-haqîqah wa al-majâz dan lain-
lain sebagainya.
6. Memudahkan manusia untuk menghafal dan menjaga Al-Qur'an, karena
ungkapan Al-Qur'an yang ringkas dan padat dapat memuat berbagai
macam segi dan aspek. Dan juga kehalusan dan keindahan ungkapan-
ungkapan Al-Qur'an meninggalkan kesan mendalam bagi para
pembacanya.

M u h k a m d a n M u t a s y a b i h 12 | 12

Anda mungkin juga menyukai