Anda di halaman 1dari 8

Papua (wilayah Indonesia)

56 bahasa
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman ini berisi artikel tentang wilayah teritori Indonesia. Untuk keseluruhan
pulau, lihat Pulau Papua. Untuk provinsi di wilayah Indonesia, lihat Papua. Untuk
region di Papua Nugini yang sebelumnya bernama Region Papua, lihat Region
Selatan, Papua Nugini. Untuk kegunaan lain, lihat Papua (disambiguasi).
Koordinat:  4°00′S 136°00′E

Papua
 Papua Barat
 Nugini Barat
 Irian Barat
 Irian Jaya

Wilayah

Negara  Indonesia
Provinsi  Papua Barat
 Papua
Papua Tengah
Papua Pegunungan
Papua Selatan
Papua Barat Daya

Luas
 • Total 415.170,52 km2 (16,029,823 sq mi)

Ketinggian 4.884 m (16,024 ft)


 (Puncak Jaya)

Populasi
 (2020)
 • Total 5.437.775
 • Kepadatan 0,13/km2 (0,34/sq mi)
Zona waktu UTC+09:00 (WIT)

Peta Ekspedisi Belanda di Nugini Belanda tahun 1907-1915

Papua (Kode ISO: ID-PP, sebelumnya Irian Barat atau Irian Jaya), atau


kadang Papua Barat atau Nugini Barat untuk membedakan dengan Papua Nugini,
merupakan wilayah Republik Indonesia yang terletak pada bagian barat dari Pulau
Papua. Wilayah ini dibagi menjadi enam provinsi, yaitu provinsi Papua , Papua
Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Barat Daya.

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Papua sudah terkenal sejak lama. Pedagang asal Tiongkok, Ghau Yu Kuan, datang
ke Papua sekitar paruh akhir 500 M dan menamakannya sebagai Tungki, yaitu
daerah dimana mereka mendapatkan rempah-rempah. Sedangkan di paruh
akhir 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebutnya sebagai Janggi. Baru pada awal
tahun 700 M, para pedagang dari Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua
dan menyebutnya sebagai Dwi Panta ataupun Samudrananta, yaitu sebutan mereka
untuk ujung samudra atau ujung lautan. Kerajaan Majapahit, di akhir tahun 1300 M
menyebutnya sebagai Wanin dan Sran. Nama Wanin adalah Semenanjung Onin di
daerah Fak-Fak, sedangkan Sran adalah nama lain kerajaan Kaimana. [1] Hal ini
dikarenakan budak yang dibawa untuk dipersembahkan kepada Kerajaan
Majapahit berasal dari Onin, yang dibawa oleh orang Seram, Maluku. Pada masa
itu, Papua diyatakan sebagai wilayah ke delapan dari Kerajaan Majapahit.[2]
Penguasaan Bacan, Ternate, dan Tidore[sunting | sunting sumber]

Uli Lima dan Uli Siwa sebelum Perjanjian Saragosa.


Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober
tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah
pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni
kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dari
keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana
dijelaskan sebagai berikut:
Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i
[ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa
maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur.
Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain untuk
daerah Onin dan Sran adalah nama lain untuk Kowiai. Kowiai merupakan
kerajaan lokal yang pengaruh mandalanya hingga sampai Kepulauan Kei, di
tenggara Maluku. Namun Nagarakretagama tidak dapat dianggap sumber
sejarah yang tepercaya tetapi lebih merupakan pujian seorang pujangga istana
kepada rajanya.
Dalam bukunya "Nieuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula
pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese
hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. (Pada tahun 1569
pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan di mana dari
kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan). [3] Menurut sejarah lisan
orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka
dan para sultan Tidore. Karena pengaruh Tidore dimulai dari Gurabesi yang
merupakan Kapita Waigeo asal Biak, yang kemudian hari menikah dengan putri
Sultan Tidore dan memperanak para pemimpin di Raja Ampat. Suku Biak
merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua,
karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa
persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-
Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini,
yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya
asli etnik Papua. Kerajaan-kerajaan atau petuanan yang dipimpin oleh pemimpin
yang mendapat gelar raja tersebut diantaranya: Di Kepulauan Raja
Ampat (Korano Ngaruha)[4]

 Kerajaan Waigeo[5]
 Kerajaan Misool/Lilinta (marga Umkabu)[6]
 Kerajaan Salawati (marga Arfan)[7]
 Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)[8]
Di Semenanjung Onin, sekarang Kabupaten Fakfak dan Kabupaten
Kaimana (Papo-ua Gam Sio):[4]

 Kerajaan Fatagar (marga Uswanas)


 Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
o Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
o Kerajaan Sekar/Kabituwar (marga Rumagesan)[9]
o Kerajaan Patipi (marga Iba)[10]
o Kerajaan Arguni (marga Pauspaus)
o Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
 Kerajaan Kowiai/Kerajaan Namatota (marga Ombaier) [11]
o Konfederasi Tarya We
o Kerajaan Aiduma
 Kerajaan Kaimana (marga Aituarauw)[12]
Di Kepulauan Raja Ampat yang terletak di lepas pantai pulau Papua terdapat
empat kerajaan tradisional yang termasuk wilayah mandala kesultanan
Bacan dan kesultanan Ternate, masing-masing adalah kerajaan Waigeo, dengan
pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau Waigeo; kerajaan Salawati, dengan
pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara; kerajaan Sailolof dengan
pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan kerajaan Misool,
dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misool.
Penguasa Kerajaan Lilinta (klan Umkabu), (Misool Selatan & Misool Barat, sejak
abad ke-16 bawahan kesultanan Bacan):

 Abdul Madjid (1872-1904)[13]
 Jamal ad-Din (1904-1945)
 Bahar ad-Din Oekamboe (1945 - )
Penguasa Kerajaan Waigama (klan Tafalas), (Misool Utara & Misool Timur, sejak
abad ke-16 bawahan kesultanan Bacan):

 Abd ar-Rahman (1872-1891)


 Hassan (1891/1900-1916)[13]
 Syams ad-Din Tafalas (1916-1953)
Penguasa Kerajaan Salawati, pulau Salawati (sejak abad ke-16
bawahan Kesultanan Ternate):

 Abd al-Kasim (1873-1890)


 Mohamad Amin (1900-1918)[13]
 Bahar ad-Din Arfan (1918-1935)
 Abu’l-Kasim Arfan (1935-?)
Penguasa Kerajaan Waigeo, pulau Waigeo (sejak abad ke-16
bawahan Kesultanan Ternate):

 Ganjoem (1900-1918)[13]
Penguasa Kerajaan Rumbati

 Mohammad, (19 Desember 1902), wd. Radja van Roembati. [13]


 Aboe Bakar (1 Januari 1932)[14]
Penguasa Kerajaan Sekar

 Lakaté, (Maret 1899), wd. Radja van Sekar (ondergeschikt aan


Roembati).[13]
 Machmud Singgirei Rumagesan bergelar Raja Al-Alam Ugar Sekar]].[15]
Penguasa Kerajaan Patipi
 Achmad, (Mei 1903), wd. Radja van Patipi.[13]
Penguasa Kerajaan Ati-ati

 Hadji Haroena, (April 1899), wd. Radja van Ati-ati. [13]


 Maroena, (1 Januari 1932) Radja van Ati-ati. [14]
Penguasa Kerajaan Fatagar

 Mafa, (April 1899), Radja van Fatagar.[13][14]


Penguasa Kerajaan Kowiai (Namatotte)

 Mohammad Tahir, Radja van Kowiai (Namatotte). [13]


 Mooi Boeserau,(1 Januari 1932) Radja van Namatote [14]
Penguasa Kerajaan Kaimana

 Wawoesa, Radja Kommissie van Kaimana (ondergeschikt aan


Kowiai).[13]
Penguasa Kerajaan Mapia

 Marwedi, Radja der Mapia-eilanden.[13]


Tahun 1660, VOC memang sempat menandatangani perjanjian dengan sultan
Tidore di mana Tidore mengakui protektorat Belanda atas penduduk Irian barat.
Perjanjian ini jelas meliputi penduduk kepulauan antara Maluku dan Irian. Yang
jelas juga, Tidore sebenarnya tidak pernah menguasai Irian. Jadi protektorat
Belanda hanya merupakan fiksi hukum.
Tidore menganggap dirinya atasan Biak.[16] Pada masa itu, pedagang Melayu
mulai mengunjungi pulau Irian. Justru pandangan Tidore ini yang menjadi alasan
Belanda menganggap bagian barat pulau ini adalah bagian dari Hindia Belanda.
Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah
kekuasaan Sultan Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu
daerah pesisir Papua dari pulau Biak (serta daerah sebaran orang Biak)
sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala Kesultanan Tidore,
sebuah kerajaan besar yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore
menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga provinsi-provinsi
Tidore seperti Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik
(pertuanan). Pembagian kekuasaan di Papua ini oleh Tidore dibagi
menjadi Papo Ua Gamsio, Negeri Sembilan Papo Ua berikut Sangaji
Umka, Gimalaha Usba, Sangaji Barei, Sangaji Boser, Gimalaha Kafdarun,
Sangaji Wakeri, Gimalaha Warijo, Sangaji Mar, dan Gimalaha Warasay.
Selanjutnya Mafor Soa Raha, Mafor Empat Soa yang berikut Sangaji
Rumberpon, Sangaji Rumansar, Sangaji Angaradifa, and Sangaji Waropen,
lalu Korano Ngaruha yang berupa kepulauan Raja Ampat. [4]
Penguasaan Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Hindia Belanda
C. Lulofs, residen Nieuw-Guinea pertama pada masa Hindia Belanda (1910–1938)

Keenam afdelingen (wilayah) Nugini Belanda di bawah penguasa Belanda di Maluku

Pada tahun 1826, Pieter Merkus, gubernur Belanda untuk Maluku, mendengar
kabar angin bahwa Inggris mulai masuk pantai Irian di sebelah timur Kepulauan
Aru. Dia mengutus rombongan untuk mengawasi dari pantai tersebut
sampai Pulau Dolak.[17] Dua tahun kemudian, Belanda membangun Fort Du Bus,
yang sekarang menjadi kota Lobo, dengan tujuan utama menghadang kekuatan
Eropa lain untuk mendarat di Irian Barat. Fort Du Bus ditinggalkan pada tahun
1836.
Pada tahun 1872, Tidore mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda atasnya.
Belanda baru kembali ke Irian pada tahun 1898. Irian dibagi antara Belanda,
Jerman (bagian utara Irian Timur), dan Inggris (bagian selatan Irian Timur). Garis
busur 141 derajat diakui sebagai batas timur Irian Barat. Pada tahun 1898–1949,
Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-
Guinea atau Dutch New Guinea) yang merupakan bagian dari Hindia Belanda.
Perebutan antara Indonesia dan Belanda[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintahan Miter Jepang memproklamasikan
kemerdekaannya menjadi negara Indonesia. Indonesia pun menuntut semua
wilayah bekas Hindia Belanda sebagai wilayahnya. Akan tetapi, Belanda ingin
menjadikan Irian Barat sebagai negara terpisah karena adanya perbedaan etnis.
Status Irian Barat tidak terselesaikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag dan diputuskan untuk ditunda pembahasannya selama setahun.
Penyelesaian status Irian Barat menjadi berlarut-larut dan tidak selesai juga
hingga tahun 1961, sampai terjadilah pertikaian bersenjata antara Indonesia dan
Belanda pada Desember 1961 dan awal 1962 untuk memperebutkan wilayah ini.
Melalui Perjanjian New York, akhirnya disetujui bahwa Belanda menyerahkan
sementara Irian Barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) sebelum diberikan sepenuhnya kepada Indonesia pada 1
Mei 1963. Kedudukan Irian Barat menjadi lebih pasti setelah diadakan
sebuah referendum act of free choice pada tahun 1969 dengan hasil rakyat Irian
Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Penguasaan Indonesia[sunting | sunting sumber]
Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore, diangkat pemerintah RI menjadi gubernur
pertama Papua tahun 1956–1961 yang saat itu beribu kota di Soasiu, Pulau
Tidore. Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia sepenuhnya,
dibentukalah provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya
kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan
tambang tembaga dan emas Freeport dan nama itu tetap digunakan secara
resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU
No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, dengan
disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya
menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat Daya dan Papua
Barat).
Gerakan separatis teroris[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Konflik Papua
Penduduk asli Papua merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah
dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya.
Penyatuan wilayah ini ke dalam Indonesia sejak tahun 1969 merupakan buah
perjanjian antara Belanda dengan Indonesia yang memuat bahwa pihak Belanda
menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas
jajahannya yang merdeka, yaitu Indonesia. Perjanjian tersebut oleh sebagian
masyarakat Papua tidak diakui dan dianggap sebagai penyerahan dari tangan
satu penjajah kepada yang lain. Pada tahun 1961, beberapa nasionalis Papua
membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai sarana perjuangan untuk
mewujudkan kemerdekaan dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.

Agama[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan data Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2018,
mayoritas penduduk di Papua menganut agama Kekristenan yakni sebanyak
79,68% dengan rincian Protestan sebanyak 65,91% dan Katolik sebanyak
13,77%. Kemudian penduduk yang beragama Islam sebanyak 20,05%,
kemudian Kepercayaan sebanyak 0,09%, Hindu sebanyak
0,08%, Buddha sebanyak 0,06%, dan Konghucu sebanyak 0,04%.[18]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]


 Daftar sungai di Papua bagian barat
 Operasi Trikora
 Organisasi Papua Merdeka
 Republik Papua Barat

Anda mungkin juga menyukai