Anda di halaman 1dari 6

Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan (Pertemuan 6)

Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan khususnya kekerasan dalam rumah tanggamaka


masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perem-puan;
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasanterhadap
perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkanmasalah;
mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraanjender;
mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.

Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuanpada
psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi pelaku, bantuan oleh
psikologdiperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan
dapatterkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa
adanyaperubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka
keke-rasan akan kembali terjadi.Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu
menjalani terapi kognitif danbelajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat
meminta bantuan pada LSMyang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar
mendapat perlidungan.

Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masingdapat
melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinanyang
sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selainitu,
suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan me-manage emosi sehinggajika
ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anakakan
mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagai-mana
bersikap empati dan mengelola emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawalidari
orangtua.

Mengapa perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang diwarnai kekerasan?

Kita tahu bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan, tetapi tidak ada carauntuk
dapat meramalkan perempuan mana yang akan menjadi korban. Mengapa ada perempuan
yang dapat segera mengambil langkah-langkah pengamanan setelah mengalamisuatu
bentuk kekerasan, dan ada juga perempuan lain yang mengalami kekerasan
tersebutberulang kali? Pengalaman penulis sebagai konselor jarang menemukan
perempuan yanghanya mengalami satu kali saja kekerasan. Perempuan yang seperti ini
mungkin tidak datangmeminta pertolongan. Yang datang meminta pertolongan adalah
mereka yang mengalamikekerasan berulang. Apa yang terjadi pada perempuan ini sebelum
terjadinya kekerasan, se-hingga hal tersebut menyulitkannya mengambil langkah-langkah
pengamanan? Apa yangterjadi setelah kejadian kekerasan yang menyebabkannya tetap
tinggal menjadi korban? Kitatahu dari pengalaman bahwa pertanyaan-pertanyaan yang kita
ajukan tadi harus mendapatkanjawaban sebelum kita dalam memberikan pelayanan dan
bantuan secara efektif.

Tugas konselor adalah mengevaluasi bersama-sama dengan perempuan yang


menjadikorban, faktor-faktor yang sangat menekan yang membuatnya tidak menjadi korban,
faktor-faktor yang sangat menekan yang membuatnya tidak dapat mengubah situasi.
Skip to main content
Picture of Fitri Anggraini
Asuhan Kebidanan pada Perempuan dan Anak dengan Kondisi Rentan 2020/2021
Dashboard
My courses
Universitas Prima Indonesia
Fakultas Keperawatan & Kebidanan
S1 - Kebidanan
Semester Genap 2020/2021
Jalur Khusus Sem. 2
Askeb Rentan JK Sem.2
Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan (Pertemuan 6)
Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada Anak
Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada Anak
Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada Anak

Masa kanak-kanak, terutama di usia 6 tahun pertama, merupakan waktu yang penting untuk
tumbuh kembang, serta pembentukan kepribadian. Mengingat pentingnya masa tersebut,
sudah sepantasnya anak mendapatkan perlakuan yang baik, termasuk kebutuhan dan hak-
haknya. Kekerasan anak adalah contoh dari pelanggaran hak asasi manusia. Dampak
kekerasan pada anak bisa mendatangkan trauma yang berkepanjangan sampai usia
dewasa. Akibatnya, anak tidak bisa menikmati masa kecilnya meski telah mendapatkan
pertolongan yang tepat.

Efek negatif kekerasan terhadap kesehatan anak


Bentuk kekerasan sendiri ada bermacam-macam. Mulai dari kekerasan fisik, seksual,
psikologis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, hingga penelantaran atau pengabaian
terhadap kesejahteraannya. Contoh kekerasan ekonomi atau eksploitasi ialah prostitusi
anak serta mempekerjakan anak di bawah umur dengan motif uang.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI
PPA), sejak 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak.
Sebanyak 852 diantaranya berupa kekerasan fisik, 768 kasus kekerasan psikis, dan 1.848
sisanya merupakan kasus kekerasan seksual.

Karena bentuknya bermacam-macam, dampak dari kekerasan pada anak pun tidak cuma
luka fisik saja. Anak korban kekerasan juga akan mendapatkan luka emosional, perilakunya
jadi menyimpang, dan fungsi otaknya menurun. Berikut ini adalah akibat kekerasan terhadap
kesehatan si kecil, antara lain:

Tumbuh kembangnya terganggu


Perkembangan otak yang optimal terjadi pada masa kanak-kanak. Di masa ini, otak
berkembang dengan sangat cepat. Kekerasan berulang dan tekanan mental yang berat
dapat memengaruhi respons stres otak menjadi lebih reaktif dan kurang adaptif.
Efek negatif dari kekerasan pada anak juga dapat berupa terganggunya perkembangan otak
serta strukturnya. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi otak di bagian tertentu, yang bisa
berujung pada penurunan prestasi akademik dan gangguan kesehatan mental pada saat
dewasa.

Disamping itu, kekerasan pun bisa menyebabkan beberapa hal berikut ini ; Gangguan
penglihatan, pendengaran, serta berbahasa yang spesifik dan Peningkatan risiko penyakit
kronis: obesitas, hipertensi, kolesterol tinggi, asma, penyakit jantung koroner, stroke, kanker,
serta hati Serta Penyalahgunaan obat-obatan, ketergantungan alkohol dan kebiasaan
merokok

Risiko depresi dan masalah kesehatan mental lainnya meningkat


Anak-anak yang dianiaya cenderung kurang PD dan kesulitan memercayai orang lain ketika
beranjak dewasa. Mereka juga mungkin tidak bisa mengungkapkan perasaannya, sehingga
mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi. Trauma psikis terhadap kekerasan
merupakan salah satu faktor risiko dari gangguan kecemasan dan depresi kronis. Sejumlah
dampak kekerasan anak pada kesehatan mental yang mungkin berlanjut hingga dewasa,
meliputi:
Gangguan kecemasan dan depresi, Sulit berinteraksi dengan orang lain hingga isolasi dan
menarik diri dari lingkungan sosial,Kilas balik trauma (PTSD),Kesulitan fokus,Insomnia dan
bermimpi buruk, Gangguan makan, Tidak nyaman dengan sentuhan fisik, Kecenderungan
melukai diri sendiri (self-harm), Usaha bunuh diri (suicide attempt)
Tubuhnya mengalami luka-luka
Luka fisik mungkin merupakan dampak kekerasan pada anak yang lebih mudah terlihat dan
dikenali. Meski tanda kekerasan fisik yang terlihat tidak selalu berarti seorang anak
menderita penganiayaan, mengidentifikasinya jadi penting untuk menentukan langkah
selanjutnya. Beberapa tanda kekerasan fisik tersebut dapat berupa:
Memar dan bengkak
Keseleo atau patah tulang
Luka bakar
Sulit berjalan atau duduk
Perdarahan organ dalam
Penyakit menular seksual

jovee image jovee image jovee image jovee image jovee image
Beranda > Artikel > Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada Anak
Mengenali Bentuk dan Dampak Kekerasan pada Anak
Gaya Hidup Sehat 21/09/2020, 13:20 WIB ditinjau oleh dr. Irma Lidia

dampak-kekerasan-pada-anak
Masa kanak-kanak, terutama di usia 6 tahun pertama, merupakan waktu yang penting untuk
tumbuh kembang, serta pembentukan kepribadian. Mengingat pentingnya masa tersebut,
sudah sepantasnya anak mendapatkan perlakuan yang baik, termasuk kebutuhan dan hak-
haknya. Kekerasan anak adalah contoh dari pelanggaran hak asasi manusia. Dampak
kekerasan pada anak bisa mendatangkan trauma yang berkepanjangan sampai usia
dewasa. Akibatnya, anak tidak bisa menikmati masa kecilnya meski telah mendapatkan
pertolongan yang tepat.
Efek negatif kekerasan terhadap kesehatan anak
Bentuk kekerasan sendiri ada bermacam-macam. Mulai dari kekerasan fisik, seksual,
psikologis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, hingga penelantaran atau pengabaian
terhadap kesejahteraannya. Contoh kekerasan ekonomi atau eksploitasi ialah prostitusi
anak serta mempekerjakan anak di bawah umur dengan motif uang.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI
PPA), sejak 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak.
Sebanyak 852 diantaranya berupa kekerasan fisik, 768 kasus kekerasan psikis, dan 1.848
sisanya merupakan kasus kekerasan seksual.

Karena bentuknya bermacam-macam, dampak dari kekerasan pada anak pun tidak cuma
luka fisik saja. Anak korban kekerasan juga akan mendapatkan luka emosional, perilakunya
jadi menyimpang, dan fungsi otaknya menurun. Berikut ini adalah akibat kekerasan terhadap
kesehatan si kecil, antara lain:

1. Tumbuh kembangnya terganggu


Perkembangan otak yang optimal terjadi pada masa kanak-kanak. Di masa ini, otak
berkembang dengan sangat cepat. Kekerasan berulang dan tekanan mental yang berat
dapat memengaruhi respons stres otak menjadi lebih reaktif dan kurang adaptif.

Efek negatif dari kekerasan pada anak juga dapat berupa terganggunya perkembangan otak
serta strukturnya. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi otak di bagian tertentu, yang bisa
berujung pada penurunan prestasi akademik dan gangguan kesehatan mental pada saat
dewasa.

Disamping itu, kekerasan pun bisa menyebabkan beberapa hal berikut ini:

Gangguan penglihatan, pendengaran, serta berbahasa yang spesifik


Peningkatan risiko penyakit kronis: obesitas, hipertensi, kolesterol tinggi, asma, penyakit
jantung koroner, stroke, kanker, serta hati
Penyalahgunaan obat-obatan, ketergantungan alkohol dan kebiasaan merokok

2. Risiko depresi dan masalah kesehatan mental lainnya meningkat


Anak-anak yang dianiaya cenderung kurang PD dan kesulitan memercayai orang lain ketika
beranjak dewasa. Mereka juga mungkin tidak bisa mengungkapkan perasaannya, sehingga
mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi. Trauma psikis terhadap kekerasan
merupakan salah satu faktor risiko dari gangguan kecemasan dan depresi kronis.

Sejumlah dampak kekerasan anak pada kesehatan mental yang mungkin berlanjut hingga
dewasa, meliputi:

Gangguan kecemasan dan depresi


Sulit berinteraksi dengan orang lain hingga isolasi dan menarik diri dari lingkungan sosial
Kilas balik trauma (PTSD)
Kesulitan fokus
Insomnia dan bermimpi buruk
Gangguan makan
Tidak nyaman dengan sentuhan fisik
Kecenderungan melukai diri sendiri (self-harm)
Usaha bunuh diri (suicide attempt)
Lebih sering sedih atau marah
Menyalahkan diri sendiri dan beranggapan bahwa ia pantas mendapatkannya
Sulit mempertahankan hubungan, misalnya mudah cemburu, merasa curiga, dan takut
menjalin hubungan, bahkan kegagalan dalam pernikahan
Menjadi pelaku kekerasan dan perundung
Tim dokter Jovee, dr. Irma Lidia mengatakan, “Menurut penelitian, anak-anak yang
mengalami kekerasan mempunyai faktor risiko depresi, kecemasan, dan gangguan kejiwaan
yang lebih tinggi saat masa dewasa. Suatu riset lain juga menemukan orang dewasa yang
pernah dianiaya dan diperlakukan kasar waktu kecil, memiliki prevalensi percobaan bunuh
diri yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah.”

3. Tubuhnya mengalami luka-luka


Luka fisik mungkin merupakan dampak kekerasan pada anak yang lebih mudah terlihat dan
dikenali. Meski tanda kekerasan fisik yang terlihat tidak selalu berarti seorang anak
menderita penganiayaan, mengidentifikasinya jadi penting untuk menentukan langkah
selanjutnya. Beberapa tanda kekerasan fisik tersebut dapat berupa:

Memar dan bengkak


Keseleo atau patah tulang
Luka bakar
Sulit berjalan atau duduk
Perdarahan organ dalam
Penyakit menular seksual

Efek kekerasan terhadap anak akan menyebabkan dampak yang berkepanjangan, meski
kejadian traumatis tersebut sudah berlalu. Karenanya, mereka perlu mendapatkan
pertolongan dan penanganan yang sesuai dari psikolog atau psikiater. Walaupun begitu,
trauma yang diakibatkan penganiayaan sejak kecil tidak akan hilang begitu mudah. Anak-
anak atau orang korban kekerasan membutuhkan support dari orang-orang sekitarnya,
terutama keluarga.

Anda mungkin juga menyukai