Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ULUMUL HADIS

(Syarat-syarat Hadis Shahih)

DOSEN PEMBIMBING: Dr. H. Abdulah Sani k, Lc, MA


DISUSUN OLEH KELOMPOK:6

M.RAMLI

ZULFA DINAYAH
Semester:1

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM IYAH MAHMUDIAYAH

TANJUNG PURA LANGKAT

2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah kita panjatkan puji dan syukur atas kehadiran Allah
SWT.Yang Telah memberikan rahmat dan karunia Nya kepada kita sehingga kami
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “SYARAT-SYARAT HADIS
SHAHIH” sesuai waktu yg telah di tentukan. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi tugas kami di mata kuliah ULUMUL HADIS.

Makalh ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat kan bantuan

serta dukungan Dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancarkan pembuatan

makalah ini. Untuk itu kami Menyampaikan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah berkontribusi dalam Pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, dalam keterbatasan waktu, tenaga serta

pengetahuan menulis kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan

kelapangan hati, kami menerima saran dan kritik yang bersipat membangun demi

kesempurnaan makalah ini.

LANGKAT, 30 SEPTEMBER 2022


DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………i

DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………..ii

BAB I
PENDAHULUAN ……..…………………………...

1.1. Latar Belakang ……………………………….……………………...

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………..………………………

1.3. Tujuan …………………………………………………….…………………

BAB II PEMBAHASAN ..………………………………………………………

2.1. Pengertian Hadits


Shahih……………………………………………………

2.1. Syarat-Syarat Hadits Shahih………………………………………………

BAB III
PENUTUP………………………………………………………………………...

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. L a t a r B e l a k a n g

Kehadiran hadits menjadi sumber hukum islam yang


kedua merupakan suatu kabar gembira bagi umat islam
K a r e n a k i t a b i s a mengetahui le1ih banyak hal mengenai agama selain daa
yang ter;antum didalam AlQur’an Akan tetapi sebelum menggunakannya
sebagaisumber hukum yang kedua kita harus mengetahui apakah hadits yang
akan k i t a g u n a k a n l a y a k a t a u t i d a k . K i t a h a r u s t a h u s e p e r t i a p a
k e d u d u k a n hadits tersebut jika dilihat dari berbagai segi.
Sesuai dengan perjalanan hadits terrnyata tidak semua yang disebut hadits
itu benar-benar berasal dari nabi. Tidak semua hadits dapat kita
gunakan, karena ada hadits tertentu yang lemah kedudukannya. Ada pula
hadits yang mempunyai masalah dengan sanadnya . rowinya dan
l a i n se1againya. Mengamalkan hadits yang tidak seharusnya diamalkan
dapat berakibat buruk bagi kehidupan.
Mengingat akan kehati-hatian dalam memakai hadits
sbbagaisumber hukum yang kedua itu pentin, maka kita harrus mengetahui
seperti apa syarat-syarat hadits yang dapatkita pergunaan

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dari hadits shahih?
2. B a g a i m a n a k a h s y a r a t s e b u a h h a d i s t s e h i n g g a d a p a t d i s e b u t
s e b a g a i hadits shahih?
3. B a g a i m a n a p e b a g i a n d a r i h a d i s s h a h i h ?

1.3. Tujuan penulisan


1. Mengetahui pengertian dari hadits shahih
2 . Mengetahui syarat sebuah hadist sehingga dapat disbut sebagai hadits
shahih
3. 3 . M e n g e t a h u i p e m b a g i a n h a d i s s h a h i h
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hadits Shahih


Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki
pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaannya pada hadits dan makna-makna
yang lain, ia adalah makna yang majizi.

Shahih menurut istilah ilmu hadist ialah: “satu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir,disampaikan oleh orang – orang yang
adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada
penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada
illat yang berat”1

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan


dan persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan atau pun
hukum dalam agama Islam.  2 Dalam Ilmu Hadits , arti Al - Hadits adalah
segala sesuatu yang berupa berita , yang dikatakan oleh nabi, baik
berita itu berupa ucapan, tindakan, pembinaan (taqrir), keadaan, kebiasaan, dan
l a i n – l a i n . 3 Maka sesuatu hadis yang sampai kepada nabi dinamakan
marfu’,  y a n g s a m p a i k e p a d a s a h a b a t d i n a m a k a n mauquf , y a n g
s a m p a i kepada tabiin saja dinamakan maqth’.

K a t a s h a h i h dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata a s -


s a k q i m o r a n g y a n g s a k i , j a d i y a n g d i m a k s u d h a d i t s shahih
adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Selain itu hadits shahih disebut juga sebagai hadits yang sejahtera lafadznya dari
keburukan susunannya, sejahtera maknanya dari menyalahi ayat, atau khabar
mutawatir atau ijma dan segala perawinya orang yang adil. Menurut Al Hafidh
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih i a l a h h a d i t s y a n g
d i r i w a y a t k a n o l e h o r a n g y a n g a d i l , s e m p u r n a K e r a s ingatannya,
bersambung - sambung sanadnya kepada nabi SAW, tidak ada sesuatu yang cacat dan
tidak bersalahan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih rajin dari
padanya.4

1
, Syaikh manna Al-Qaththan engantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:pustaka AAl-kautsar,2005) hlm:117
2
Muh zuhri,hadis nabi (sejarah dan metologinya), (Yogyakarta:PT Tiara WACANA,1997),hlm1
3
Hasbi ash –shidicqy,sejarah dan pengantar ilmu hadis, (Jakarta:bulan bintang,1988),lmn,23.
4
http:NNad(dai!1logspot!;o!idN-6''N6/Napa(itu(hadits(shahih(hasan(dan(dhaif!html
2.1. SYARAT-SYARAT HADIST SHAHIH

Hadis shahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat  berikut:

1.Sanadnya bersambung (itishal al-sanad )

Sanad bersambung ialah setiap periwayat hadis dalam sanad hadis


menerima riwayat hadis dari periwayat yang terdekat sebelumnya; keadaan
semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis. Artinya adalah
sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis sampai pada periwayat  pertama
(kalangan sahabat) yang memang lansung bersangkutan dengan nabi. Dalam
istilah lain, sanad bersambung sejak sanad pertama hingga sanad yang terakhir
atau dibalik, sanad pertama sejak dariperiwayat pertama hingga  berakhir pada
periwayat terakhir (mukharrij hadist ).
 Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang  bersambung
sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad  . Menurut Ibn ‘Abd al-Barr hadis
musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi (sebagai hadis marfu’  ),
sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttashil ) dan ada  pula yang
terputus (munqathi’ ). Hadis ini bisa dijadikan patokan menetukan keshahihan
hadis, para ulama hadis bersepakat bahwa hadis musnad  pasti marfu’  dan
bersambung sanadnya, tapi hadis marfu’  belum tentu hadis musnad.5   
Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan
keshahihan hadis beda dengan hadis musnad . Dari keterputusan tersebut di
khawatirkan adanya keterputusan informasi dari Nabi. Untuk mengetahui
bersambung atau tidaknya sanad hadis, Menurut M. Syuhudi Ismail. Para ulama
biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

a .Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang ditelit

b .Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang dilakukan; hal


ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat tersebut dikenal sebagai
orang yang tsiqah (adil dan dhabith), serta bukan termasuk dari orang yang
tadlis. Juga untuk mendeteksi ada hubungan sezaman antara guru-murid
dalam periwayatan hadis.

5
Munzier Suparta,  Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010), hal. 160-161
c .Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi yang
terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana, haddatsani, akhbarani,
akhbarana, sami’ tu, an, anna, dan banyak lagi yang lainnya. Melalui cara
diatas dapat diketahui ketersambungan sanad hadis. Dengan mengetahui
kedekatan perawi antara perawi satu dengan perawi sebelumnya.

2.Para perawi yang adil ( ‘ adalat al-rawi)

Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan dikalangan
para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa dalam menetapkan suatu
ketentuan, pendapat dari Al-Hakim ia menyatakan bahwa seorang bias dikatakan,
adil ketika ia beragama Islam, tidak berbuat bid‟ah, dan tidak  berbuat maksiat.
Beda dengan Al-Irsyad “yang dimaksud adil ialah orang yang  berpegang teguh
terhadap pedoman adab-adab syarat6” Beda pula yang keluar dari kepala seorang
Ar- Razi, ‘adil  baginya adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu
bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa
kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru ’ ah;
makan sambil berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan.7 dari sekian pandangan tersebut M.
Syuhudi Ismail dalam buku yang diramu oleh Kasman yang berjudul  Hadits
dalam Pandangan Muhammadiyah meringkas semuanya menjadi empat kriteria
perawi yang adil diantaranya adalah:
a .Beragama Islam.
b .Mukallaf.
c .Melakukan ketentuan agama.
d .Memelihara mur’ ah6

 untuk mengetahui kualitas ke-adil an perawi, para ulama menetapkan untuk


menetukan hal tersebut berdasarkan:

a .Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis


tersebut.

6
Fatchur Rahman,  Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis (Bandung: PT Alma’arif, 1974), hal. 119.
7
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 151.
b .Penilaian dari para kritikus periwayat hadis penilaian ini mencakup
kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada periwayat hadis tersebut,
hal ini bisa ditelaah melalui, ilmu al-jarh wa al- ta’ dil .
c .Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta ’ dil di pakai apabila dari kalangan kritik
hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.

3.Dhabth yang sempurna. (dhabth al-rawi)

 Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang hafal
secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat yang kuat dan sempurna
terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar Al-Asqolani  berpendapat “bahwa
perawi yang dhabit itu adalah dia yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah
di dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut pada saat
dibutuhkan. Artinya, seorang perawi mempunyai kualitas kesehatan yang
maksimal mulai dari kesehatan pendengaran, otak,  psikis, dan oral. Hal ini sangat
menjadi bagian penting bagi perawi sebab dengan pendengaran yang kuat ia
mampu mendengarkan secara utuh isi apa yang didengar, mampu memahami
dengan baik, tersimpan dalam memori otaknya, kemudian mampu menyampaikan
dengan fasih dan benar kepada orang lain. Lebih spesifik lagi dhabit dibelah
menjadi dua macam diantaranya adalah dhabit hati dan dhabit kitab.  Dhabit hati
maksudnya ialah seorang  perawi mampu menghafal setiap hadis yang di
dengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengungkapnya atau sederhanya
terpelihara periwayatan dalam ingatan sejak menerima hadis sampai
menyampaikan kembali kepada orang lain, sedangkan dhabit kitab ialah seorang
perawi yang ketika meriwayatkan hadis secara tertulis, tulisannya sudah
mendapatkan tashhih dan selalu terjaga.8
 
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para ulama
dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang lain yang telah
dikenal dengan kedhabitannya

4.Tidak ada syudzudz ( ‘ adam al-syadz )


8
 Kasman,  Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hal. 39.
Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami kerancuan
atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang tingkat
adil dan dhabitnya lebih tinggi. Para ulama sepakat berikut adalah syarat
syudzudz :

a .Periwayat hadis tersebut harus tsiqah.


b .Orang tsiqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lebih tsiqah
baik dari segi hafalan, jumlah orang yang diriwayatkan atau yang lainnya.
c .Perbedaan tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi dalam hal
sanad dan matan.
d .Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik sehingga
tidak bisa dikompromikan.
e .Adanya kesamaan guru dari hadis yang diriwayatkan.9

5.Terhindar dari illat ( ‘adam ‘ illat )

Terhindar dari illat adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar yang
membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut tidak menujukkan
adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi, dan Nur al-Din ‘ Itr
menyatakan bahwa ‘ illat merupakan sebab yang tersembunyi yang menjadi
benalu (merusak) kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya
tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih. Menurut Mahmud al-Thahhan,
hadis yang mengandung ‘ illat  bisa di lacak ketika mengandung kriteria berikut:
a .Periwayatnya menyendiri.
b .Periwayat lain bertentangan dengannya
c .Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya untuk
mengetahui adanya ‘ illat hadis bisa melakukan:
 Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk mengetahui ada
tidaknya tawabi‟ dan/atau  syawahid 
.
 Melihat perbedaan di antara para periwayatnya.

9
   Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah, hal. 42-43.
 Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan dengan
keadilan, maupun ke-dhabit an masing-masing periwayat10.

  Misalnya, seorang ulama yang terpercaya meriwayatkan hadis yang


katanya merupakan pernyataan Rasul saw, sementara kebanyakan ulama
menyampaikan hadis yang sama sebagai pernyataan sahabat. Di sini jelas  bahwa
yang pertama melakukan kesalahan dalam menisbahkan pernyataan itu kepada
Nabi saw. Tapi, bila kita tidak menelaahnya lebih jauh, dan hanya melihat satu
isnad  saja, riwayat tersebut akan kelihatan benar berdasarkan kedudukan
periwayatnya dalam penggolongan periwayat dan terpenuhinya  persyaratan lain.
Istilah ini, ‘illat qadihah, mengisyaratan bahwa tidak setiap cacat (‘illat) di
perhitungkan. Ini dapat diumpamakan sebagai berikut:
Biasanya seluruh lembaga pelayanan umum membutuhkan surat
keterangan dokter dari pelamar. Kadang seorang pelamar nampak sangat gagah
dan cocok untuk suatu tugas, namun pengujian medis menyatakan sebaliknya.
Dalam kasus lain, sebagian pelamar mempunyai cacat rupa atau badan yang nyata
tapi sesudah pengujian medis, mereka dinyatakan memadai untuk posisi itu,
karena cacatnya penampilan mereka tidak mempengaruhi kemampuan mereka
melaksanakan tugas itu. Begitu pula dengan ‘ilal al  -hadis(“penyakit” hadis).
Dalam beberap kasus, penyakit ini mempengaruhi ke sahihan hadis, yang disebut
‘illat qadihah, sementara dalam hal lain tidak11.

10
 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), hal. 170-172

11
Muhammad Musthafa Azami,  Memahami Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1977), hal. 108-109
BAB III
PENUTUPA N

A.KESIMPULAN

 
Hadits shahih ialah hadits yang menyambung sanadnya (sampai kepada nabi),

diartikan oleh (periwayat) yang adil dan dhabith

sampai akhir sanad, (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan

tidak terdapat cacat (‘illat).

Hadis shahih dibagi menjadi dua yakni shahih lidzatihi dan

s h a h i h lighairih. Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqih

sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.
DAFTAR PUSTAKA

, Syaikh manna Al-Qaththan engantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta:pustaka AAl-


kautsar,2005) hlm:117
Muh zuhri,hadis nabi (sejarah dan metologinya), (Yogyakarta:PT Tiara
WACANA,1997),hlm1
Hasbi ash –shidicqy,sejarah dan pengantar ilmu hadis, (Jakarta:bulan
bintang,1988),lmn,23.
http:NNad(dai!1logspot!;o!idN-6''N6/Napa(itu(hadits(shahih(hasan(dan(dhaif!html
Munzier Suparta,  Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010), hal. 160-161

Fatchur Rahman,  Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis (Bandung: PT Alma’arif, 1974), hal.


119.
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 151.
 Kasman,  Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012),
hal. 39.

 Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah, hal. 42-43.

 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), hal. 170-172

Muhammad Musthafa Azami,  Memahami Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Lentera Basritama,
1977), hal. 108-109

Anda mungkin juga menyukai