Isi Bab 1 F

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

2

Setelah Belanda menguasai wilayah Jambi, Belanda mulai meluaskan wilayah


kekuasaannya ke Batanghari dengan membuka Perkebunan Karet tahun 1907. Maka
Belanda mulai menerapkan sistem politik liberal dan politik etis dimana sistem ini
memberikan kesempatan bagi pemilik modal untuk membuka lahan perkebunan
seluas-luasnya di Batanghari. Sejak Belanda membuka Perkebunan Karet, Perkebunan
tersebut merupakan aspek penting dalam pengembangan ekonomi pribumi pada masa
Kolonial hingga saat ini. Usaha perluasaan Perkebunan sejalan dengan proses ekspansi
dan pasifikasi kekuasaan Kolonial Belanda dalam rangka menerapkan Kebijakan
Politik pax neerlamdica- nya yang sukses dan memiliki prospek yang sangat
menguntungkan di pasaran dunia. (A Muis, 2014:1-2)
Dalam kebijakan Belanda untuk memajukan Perkebunan Karet di Kabupaten
Batanghari Belanda melakukan kebijakan yang dinamakan Politik Etis dengan
kebijakan Politik Etis tersebut Penduduk di Kabupaten Batanghari mulai di kenal
sistem pekerja upah. Akibat dari penerapan Politik Etis tersebut, status dan kedudukan
Penduduk Kabupaten Batanghari kehilangan dan sangat tidak berharga sama sekali
baik dari sisi Ekonomi, Politik, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Terlepas dari itu,
kebijakan Politik etis membawa Belanda membuka lahan pertanian secara besar-
besaran, yang menyebabkan banyak di butuhkan tenaga kerja yang bekerja di kebun
karet. Serta meningkatnya kegiatan ekspor terhadap perkebunan karet di Kabupaten
Batanghari. Dalam kebijakan yang dibuat oleh Belanda memiliki isi kebijakanya
berupa mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis keuangan usai
perang. Selain itu isi kebijakannya untuk memberikan keuntungan yang besar bagi
pemerintahan Kolonial. (Alinur, 2018:5)
Pada tahun 1907 pertama kalinya Belanda mulai mengirim hasil perkebunan
Karet dengan jenis Karet Helfrich di perluasan wilayah perkebunan Muara Tembesi
dengan jumlah 20%. Setelah harga karet menggila di pasar dunia, barulah sekitar
tahun 1910-1920. Residen Jambi menganjurkan budidaya tanaman ini dan
mendistribusikan benihbenih unggulan kepada rakyat. Sekitar tahun 1918, tanaman
ini menjadi primadona baru bagi orang Jambi. Mereka menerapkan
3

pertanian dengan sistem monokultur, yakni hanya menanam karet. Situasi ini menjadi
semakin sulit pada saat harga karet turun drastis di pasaran dunia pada 1930-an. Tidak
ada yang dapat mereka lakukan pada saat itu selain harus membeli bahan pangan
dengan harga tinggi, sambil berdoa harga karet kembali naik. (Margono Hartono,
1984:23)
Tahun 1930 jenis Karet Polyurethane di Muara Sebo mengalami penurunan 21%.
Karena jenis Karet tersebut mengalami kelangkaan. Tahun 1942 dimana jenis Karet
Kupon mengalami peningkatan di perluasan wilayah perkebunan Pemayung dengan
30% mengekspor Karet. Berikut Data Perkebunan Karet Per Tahun:
Tabel 1 Data Perkebunan Karet Per Tahun
Tahun Jenis Karet Perluasan Wilayah Perkebunan Jumlah (%)
1907 Helfrich Muara Tembesi 20
1910 Shorwder Pickles Muara Sekamis 15
1920 Hevea Muara Bulian 46
1930 Polyurethane Muara Sebo 21
1942 Kupon Pemayung 30

Dalam suatu proses yang panjang perkembangan Perkebunan Karet rakyat


Kabupaten Batanghari dari tahun 1907 sampai berakhimya kekuasaan pemerintah
Belanda pada tahun 1942, karet merupakan satu faktor yang berhasil meningkatkan
ekonomi masyarakat Jambi. Oleh karena itu masa karet dikenal oleh penduduk
setempat sebagai masa Hujan emas (istilah hujan emas juga dikenal di daerah
Palembang). Memasuki pemerintahan Belanda, pembangunan diarahkan dalam
rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahtraan masyarakat, dan
sebagai sektor penghasil devisa negara. Pemerintahan terus mendorong pembukaan
lahan baru untuk perkebunan. (Leirissa,2019:15)
Sejauh penulis ketahui, penelitian yang mengkaji tentang perkembangan
perkebunan karet pada masa pemerintahan Hindia Belanda sudah ada menulisnya.
Seperti dalam Jurnal yang di tulis oleh Jemi Arifin pada tahun 2008 yang berjudul
“Perkebunan Karet Di Lampung 1892-1930”. Volume 27 No. 01 Jurnal Ilmu Sejarah.
Hasil penelitian ditemukan faktor yang melatar belakangi munculnya
4

perkebunan karet di Lampung tahun 1892 yaitu dari faktor sumber daya alam,
ekonomi, politik, dan letak geografis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta ketersediaan sumber daya manusia. Semua faktor tersebut saling terkait antara
satu dengan lainnya misalkan saja dengan kondisi alam yang subur. Lampung
merupakan salah satu daerah yang dimanfaatkan untuk menanamkan modal sebagai
akibat pemberlakuan Undang-undang Agraria tahun 1870. Kebijakan ekonomi politik
itu merupakan produk golongan liberal dengan kemenangan mereka di Parlemen
Belanda. Perkembangan perkebunan karet di Lampung untuk pertama kali dibuka di
Way Lima 8 Oktober 1892. Perkebunan di Lampung semakin berkembang sehingga
membutuhkan buruh yang banyak maka didatangkan buruh dari Jawa melalui upaya
kolonisasi yang merupakan salah satu pelaksanaan Politik Etis (emigrasi) dan melalui
agen-agen penyalur buruh dari Jawa. Keberadaan perkebunan tersebut menimbulkan
dampak khususnya di bidang sosial dan ekonomi yang masih bisa dilihat dan
dirasakan hingga sekarang. Dampak sosial akibat perkebunan karet tersebut antara
lain adanya kolonisasi yang menimbulkan daerah enclaves dengan banyaknya desa-
desa Jawa yang terpisah dengan penduduk lokal. Selain itu terjadi peningkatan jumlah
penduduk dan stratifikasi sosial di perkebunan berdasarkan jabatan dan warna kulit.
Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan yakni pembukaan Lampongshe Bank
atau Bank Kredit Lampung munculnya agen-agen tenaga kerja untuk mendatangkan
buruh-buruh dari Jawa. Adapun dampak yang masih dapat dirasakan hingga saat ini
adanya pembangunan sarana transportasi kereta api jalan raya dan penyeberangan laut
menuju dan dari Jawa. (Jemi Arifin, 2008:1)
Kemudian Jurnal yang di buat oleh Eka Jaya Putra Utama pada tahun 2020 yang
berjudul “Perkebunan Karet di Sintang Pada Awal Abad ke-20”. Volume 12 No. 02
Jurnal Ilmiah Kependidikan. Hasil penelitian dari Jurnal ini menunjukkan bahwa
perkebunan karet di Sintang tersebar dibeberapa wilayah, salah satunya terletak di
Desa Nanga Jetak. Persiapan benih getah sudah disiapkan oleh pengusaha Hindia
Belanda, kemudian di distribusikan keberbagai daerah di Sintang. Budidaya tanaman
karet dikalukan oleh msyarakat pribumi dan dibantu oleh orangorang Jawa yang
dikontak oleh Pengusaha Hindia Belanda sebagai petani karet. Perkebunan karet di
kelola oleh pengusaha Hindia Belanda dan sebagian orang China. Karet yang sudah
diolah menjadi getah di kirim ke kerajaan Sintang melalui Sungai Melawi dan
Pemerintah Hindia Belanda yang ada di Pontianak melalui jalur Sungai Kapuas. (Eka
Jaya Putra, 2020:1)
5

Kemudian Jurnal yang di buat oleh Ibnu Zusneli Zubir pada tahun 2015 yang
berjudul “Sejarah Perkebunan Karet Dan Dampak Bagi Perkembangan Masyarakat
Palembang, 1900-1942”. Volume 01 No. 01 Jurnal Sejarah dan Budaya. Hasil
penelitian dari artikel ini ditemukan perkebunan karet masa kolonial di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken sangat berhubungan dengan keadaan
alam daerah ini dan juga adanya perubahan politik kolonial, open the door. Ada dua
perusahaan besar yang melakukan investasi besarbesaran perkebunan besar karet
yakni, pertama, Rubber Ondernemingen Melania pada tahun 1909 yang melakukan
penanaman dan usaha karet secara besar-besaran mulai dari ujung timur Marga
Pangkalan Balai sampai ke ujung barat Marga Gasing dan berpusat di Musi Landas.
Kedua, perkebunan Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmen en rubber Mijn yang
membentang luas di daerah-daerah talang mulai bagian utara Batang Hari Leko,
Marga Rantau Bayur, ke utaranya Marga Suak Tape, Marga Betung dan daerah
Tebenan. Relevansi pembukaan perkebunan besar dengan masyarakat di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken terlihat dalam beberapa hal. Pertama,
adanya perubahan posisi elit lokal, para pasirah, kerio, pejabat dewan marga lainnya.
Kedua, turut menciptakan “perbaikan” sarana dan prasana infrastruktur masyarakat di
sana. Ketiga, mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi dan memberikan dampak
yang luar biasa di dusun-dusun marga. Keempat, banyaknya pembangun jalan
penghubung untuk keperluan transportasi hasil karetnya memiliki dampak yang luas
dan mendalam terhadap pola masyarakat tradisional, tidak saja bagi orang Melayu
Banyuasin, tetapi juga bagi segi-segi kehidupan orang Kubu. Mereka mulai
memciptakan asimilasi bertahap orang Kubu dengan penduduk Melayu akibat adanya
perubahan orientasi pemikirannya karena memulai terbukanya daerahdaerah mereka
dari pengaruh dunia luar. (Ibnu Zusneli Zubir, 2015:1)
6

Penulis menyadari banyak sekali penulisan yang mengkaji tentang perkembangan


perkebunan karet pada masa pemerintahan. Meskipun demikian namun tempat, waktu,
dan identifikasi masalah yang akan dimunculkan menjadikankeunikan tersendiri pada
penulisan ini. Selain itu juga penelitian yang mengkaji perkembangan karet di
kabupaten Batanghari masih belum ada yang mengkajinya. Selain itu juga sumber
arsip mengenai kedatangan Hindia Belanda semakin memperkuat keilmiahan tulisan
ini.
Fenomena yang menarik perhatian penulis mengenai tema yang akan dikaji di
proposal ini adalah Kabupaten Batanghari yang merupakan bagian dari keresidenan
Jambi dibawah kekuasaan Kolonial Belanda dan dijadikan sebagai daerah pusat
pemerintahan Hindia-Belanda. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis
tentang bagaimana “Study Kasus Perkembangan Kebun Karet Pada Masa
Pemerintahan Hindia Belanda Di Kabupaten Batanghari Tahun (1907-1942)
Sebagai Bahan Ajar Pada Pembelajaran Sejarah Di SMA Negeri 8 Kota Jambi.”

1.1 Rumusan Masalah


Untuk memudahkan pembahasan, maka penulis mengerahkan tulisan ini
dengan rumusan permasalahan

1. Bagaimana Perkembangan Perkebunan Karet Pada Masa Pemerintahan


Hindia Belanda Di Kabupaten Batanghari Tahun 1907-1942 ?

2. Bagaimana penerapan Study Kasus Perkembangan Kebun Karet Pada Masa


Pemerintahan Hindia Belanda Di Kabupaten Batanghari Tahun (1907-1942)
Sebagai Bahan Ajar Pada Pembelajaran Sejarah Di SMA Negeri 8 Kota Jambi
1.2 Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan Perkembangan Perkebunan Karet pada Masa


Pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Batanghari Tahun 1907-1942.

2. Untuk mengetahui penerapan penerapan Study Kasus Perkembangan Kebun


Karet Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Di Kabupaten Batanghari
Tahun (1907-1942) Sebagai Bahan Ajar Pada Pembelajaran Sejarah Di SMA
Negeri 8 Kota Jambi
7

1.3 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka dapat diambil manfaat yang
dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi, menambah wawasan
dan pengetahuan akademis bagi mahasiswa tentang Study Kasus
Perkembangan Kebun Karet Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Di
Kabupaten Batanghari Tahun (1907-1942) Sebagai Bahan Ajar Pada
Pembelajaran Sejarah Di SMA Negeri 8 Kota Jambi.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Universitas Jambi
Hasil penelitian ini memberikan sumbangan khasanah penelitian yang
dijadikan dokumen dan dapat dijadikan acuan penelitian. Khususnya penelitian
mengenai Study Kasus Perkembangan Kebun Karet Pada Masa Pemerintahan
Hindia Belanda Di Kabupaten Batanghari Tahun (1907-1942) Sebagai Bahan
Ajar Pada Pembelajaran Sejarah Di SMA Negeri 8 Kota Jambi.
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan agar Masyarakat dapat meningkatkan nilai
sejarahnya dan cinta tanah air serta menjujung toleransi yang tinggi atas dasar
multi etnis yang berkembang ditengah masyarakat sehingga memunculkan rasa
nasionalisme yang tinggi.
c. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman dalam melakukan
penelitian. Serta menambah pengetahuan peneliti Study Kasus Perkembangan
Kebun Karet Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Di Kabupaten
Batanghari Tahun (1907-1942) Sebagai Bahan Ajar Pada Pembelajaran
Sejarah Di SMA Negeri 8 Kota Jambi.

Anda mungkin juga menyukai