Isi Bab 1 F
Isi Bab 1 F
Isi Bab 1 F
pertanian dengan sistem monokultur, yakni hanya menanam karet. Situasi ini menjadi
semakin sulit pada saat harga karet turun drastis di pasaran dunia pada 1930-an. Tidak
ada yang dapat mereka lakukan pada saat itu selain harus membeli bahan pangan
dengan harga tinggi, sambil berdoa harga karet kembali naik. (Margono Hartono,
1984:23)
Tahun 1930 jenis Karet Polyurethane di Muara Sebo mengalami penurunan 21%.
Karena jenis Karet tersebut mengalami kelangkaan. Tahun 1942 dimana jenis Karet
Kupon mengalami peningkatan di perluasan wilayah perkebunan Pemayung dengan
30% mengekspor Karet. Berikut Data Perkebunan Karet Per Tahun:
Tabel 1 Data Perkebunan Karet Per Tahun
Tahun Jenis Karet Perluasan Wilayah Perkebunan Jumlah (%)
1907 Helfrich Muara Tembesi 20
1910 Shorwder Pickles Muara Sekamis 15
1920 Hevea Muara Bulian 46
1930 Polyurethane Muara Sebo 21
1942 Kupon Pemayung 30
perkebunan karet di Lampung tahun 1892 yaitu dari faktor sumber daya alam,
ekonomi, politik, dan letak geografis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta ketersediaan sumber daya manusia. Semua faktor tersebut saling terkait antara
satu dengan lainnya misalkan saja dengan kondisi alam yang subur. Lampung
merupakan salah satu daerah yang dimanfaatkan untuk menanamkan modal sebagai
akibat pemberlakuan Undang-undang Agraria tahun 1870. Kebijakan ekonomi politik
itu merupakan produk golongan liberal dengan kemenangan mereka di Parlemen
Belanda. Perkembangan perkebunan karet di Lampung untuk pertama kali dibuka di
Way Lima 8 Oktober 1892. Perkebunan di Lampung semakin berkembang sehingga
membutuhkan buruh yang banyak maka didatangkan buruh dari Jawa melalui upaya
kolonisasi yang merupakan salah satu pelaksanaan Politik Etis (emigrasi) dan melalui
agen-agen penyalur buruh dari Jawa. Keberadaan perkebunan tersebut menimbulkan
dampak khususnya di bidang sosial dan ekonomi yang masih bisa dilihat dan
dirasakan hingga sekarang. Dampak sosial akibat perkebunan karet tersebut antara
lain adanya kolonisasi yang menimbulkan daerah enclaves dengan banyaknya desa-
desa Jawa yang terpisah dengan penduduk lokal. Selain itu terjadi peningkatan jumlah
penduduk dan stratifikasi sosial di perkebunan berdasarkan jabatan dan warna kulit.
Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan yakni pembukaan Lampongshe Bank
atau Bank Kredit Lampung munculnya agen-agen tenaga kerja untuk mendatangkan
buruh-buruh dari Jawa. Adapun dampak yang masih dapat dirasakan hingga saat ini
adanya pembangunan sarana transportasi kereta api jalan raya dan penyeberangan laut
menuju dan dari Jawa. (Jemi Arifin, 2008:1)
Kemudian Jurnal yang di buat oleh Eka Jaya Putra Utama pada tahun 2020 yang
berjudul “Perkebunan Karet di Sintang Pada Awal Abad ke-20”. Volume 12 No. 02
Jurnal Ilmiah Kependidikan. Hasil penelitian dari Jurnal ini menunjukkan bahwa
perkebunan karet di Sintang tersebar dibeberapa wilayah, salah satunya terletak di
Desa Nanga Jetak. Persiapan benih getah sudah disiapkan oleh pengusaha Hindia
Belanda, kemudian di distribusikan keberbagai daerah di Sintang. Budidaya tanaman
karet dikalukan oleh msyarakat pribumi dan dibantu oleh orangorang Jawa yang
dikontak oleh Pengusaha Hindia Belanda sebagai petani karet. Perkebunan karet di
kelola oleh pengusaha Hindia Belanda dan sebagian orang China. Karet yang sudah
diolah menjadi getah di kirim ke kerajaan Sintang melalui Sungai Melawi dan
Pemerintah Hindia Belanda yang ada di Pontianak melalui jalur Sungai Kapuas. (Eka
Jaya Putra, 2020:1)
5
Kemudian Jurnal yang di buat oleh Ibnu Zusneli Zubir pada tahun 2015 yang
berjudul “Sejarah Perkebunan Karet Dan Dampak Bagi Perkembangan Masyarakat
Palembang, 1900-1942”. Volume 01 No. 01 Jurnal Sejarah dan Budaya. Hasil
penelitian dari artikel ini ditemukan perkebunan karet masa kolonial di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken sangat berhubungan dengan keadaan
alam daerah ini dan juga adanya perubahan politik kolonial, open the door. Ada dua
perusahaan besar yang melakukan investasi besarbesaran perkebunan besar karet
yakni, pertama, Rubber Ondernemingen Melania pada tahun 1909 yang melakukan
penanaman dan usaha karet secara besar-besaran mulai dari ujung timur Marga
Pangkalan Balai sampai ke ujung barat Marga Gasing dan berpusat di Musi Landas.
Kedua, perkebunan Oud Wassenaar, N.V. Oliepalmen en rubber Mijn yang
membentang luas di daerah-daerah talang mulai bagian utara Batang Hari Leko,
Marga Rantau Bayur, ke utaranya Marga Suak Tape, Marga Betung dan daerah
Tebenan. Relevansi pembukaan perkebunan besar dengan masyarakat di
Onderafdeeling Banjoeasin en Koeboestrekken terlihat dalam beberapa hal. Pertama,
adanya perubahan posisi elit lokal, para pasirah, kerio, pejabat dewan marga lainnya.
Kedua, turut menciptakan “perbaikan” sarana dan prasana infrastruktur masyarakat di
sana. Ketiga, mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi dan memberikan dampak
yang luar biasa di dusun-dusun marga. Keempat, banyaknya pembangun jalan
penghubung untuk keperluan transportasi hasil karetnya memiliki dampak yang luas
dan mendalam terhadap pola masyarakat tradisional, tidak saja bagi orang Melayu
Banyuasin, tetapi juga bagi segi-segi kehidupan orang Kubu. Mereka mulai
memciptakan asimilasi bertahap orang Kubu dengan penduduk Melayu akibat adanya
perubahan orientasi pemikirannya karena memulai terbukanya daerahdaerah mereka
dari pengaruh dunia luar. (Ibnu Zusneli Zubir, 2015:1)
6