Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.

1 Januari 2012: 48-54

IMPLEMENTASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK


PADA PEDAGANG BESAR FARMASI DI
YOGYAKARTA
Anthonius Ade Purnama Putra, Yustina Sri Hartini
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Korespondensi: Yustina Sri Hartini, MSi., Apt.


Fak. Farmasi Univ. Sanata Dharma, Paingan Maguwoharjo Depok Sleman
Yogyakarta, e-mail: yustinahartini@yahoo.com

ABSTRACT
Government Regulation of The Republic of Indonesia number 51/ 2009 stated that
Pharmacist must be the person that responsible for pharmaceutical wholesaler activity.
Pharmaceutical wholesaler must implement Good Distribution Practices (GDP). There are
79.045 types of registered pharmaceuticals that distributed by 2.821 pharmaceutical
wholesalers in 33 Indonesia’s provinces. This research aimed to evaluate the
implementation of GDP on pharmaceutical wholesalers in Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) Province. This research conducted in July 2010 using questionnaire and interview to
29 pharmaceutical wholesaler are willing to become respondents from 49 pharmaceutical
wholesaler listed in DIY. The products distributed by pharmaceutical wholesaler in DIY
Province which is the raw material of pharmaceuticals, vaccines, psychotropic, prescription
drugs, over the counter drugs, cosmetics, food, milk, and medical equipment. The
responsible person in 83% pharmaceutical wholesaler is a woman, 38% charge
pharmaceutical wholesaler 23-30 years old, pharmacist being the responsible person on
31% pharmaceutical wholesaler, 52% had never been in charge GDP training. There are 3%
pharmaceutical wholesaler which doesn’t have a Standard Operating Procedure, 21% don’t
have the organizational structure, 59% didn’t have temperature control equipment, 34% don’t
have humidity control equipment, 3% don’t carry out the documentation, and 10% didn’t
conduct self inspections.
Keywords: Good Distribution Practices, Pharmaceutical Wholesaler, Yogyakarta

ABSTRAK
Terdapat 79.045 jenis sediaan farmasi yang berizin edar yang didistribusikan oleh 2.821
PBF yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Penelitian ini mengevaluasi implementasi
CDOB pada PBF di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Survei dilakukan bulan Juli
2010 menggunakan kuesioner dan interview kepada 29 PBF yang bersedia menjadi
responden dari 49 PBF yang tercatat di Propinsi DIY. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produk yang disalurkan oleh PBF di Provinsi DIY yakni bahan baku farmasi, vaksin,
psikotropik, obat keras, obat bebas, obat bebas terbatas, kosmetik, makanan, susu, dan
alat kesehatan. Sebanyak 83% PBF, penanggung jawabnya wanita, 38% penanggung jawab
PBF berumur 23-30 tahun, 31% penanggung jawab PBF adalah apoteker, 52% penanggung
jawab PBF belum pernah mengikuti pelatihan CDOB. Terdapat 3% PBF yang tidak memiliki
Standar Operasional Prosedur, 21% tidak memiliki struktur organisasi, 59% tidak memiliki
alat pengontrol suhu, 34% tidak memiliki alat pengontrol kelembaban, 3% tidak
melaksanakan dokumentasi, dan 10% tidak melakukan inspeksi diri.
Kata kunci: Cara Distribusi Obat yang Baik, Pedagang Besar Farmasi, Yogyakarta

48
Implementasi cara distribusi obat yang baik
(Anthonius A.P. Putra, Yustina Sri Hartini)

PENDAHULUAN berbentuk badan hukum yang memiliki


izin untuk pengadaan, penyimpanan,
Model praktek farmasi di negara
penyaluran perbekalan farmasi dalam
berkembang sangat bervariasi dari satu
jumlah besar sesuai ketentuan
negara ke negara lain, masalah
peraturan perundang-undangan (3).
utamanya karena kurangnya Apoteker
Sediaan farmasi harus aman,
yang memenuhi persyaratan (1). Di
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan
Cina dilaporkan bahwa beberapa obat
terjangkau, maka diperlukan
esensial tidak tersedia dan
pengawasan obat secara komprehensif
kualitasnyapun tidak meyakinkan,
termasuk pada jaringan distribusi obat
diduga disebabkan kurangnya
agar terjamin mutu, khasiat, keamanan,
keterlibatan Apoteker (2). Di Indonesia
dan keabsahan obat sampai ke tangan
praktik kefarmasian yang meliputi
konsumen. Pada pendistribusian obat
pembuatan termasuk pengendalian
melalui jalur legalpun masih ada isu
mutu sediaan farmasi, pengamanan,
mengenai kualitas obat yang dijual,
pengadaan, penyimpanan dan
kurangnya intervensi pemerintah dan
distribusi obat, pelayanan obat atas
longgarnya aturan mengenai distribusi
resep dokter, pelayanan informasi obat
obat berdampak pada persaingan
serta pengembangan obat, bahan obat
pasar bebas, di sisi lain regulasi
dan obat tradisional harus dilakukan
tentang ijin edar obat saja diharapkan
oleh tenaga kesehatan yang
sampai memperhatikan juga tentang
mempunyai keahlian dan kewenangan
perbedaan norma gender maupun
sesuai dengan ketentuan peraturan
sosial budaya (4). Hal ini menunjukkan
perundang-undangan. Ketentuan
adanya permasalahan terkait obat,
tentang praktik kefarmasian ditetapkan
khususnya pendistribusian obat
dengan Peraturan Pemerintah, dalam
misalnya banyak label obat untuk
hal ini Peraturan Pemerintah (PP)
penggunaan obat yang belum
tentang Pekerjaan Kefarmasian (3).
dievaluasi secara resmi (5), petugas
Bagian keempat dari PP tersebut
yang awam terhadap obat akan
mengatur tentang pekerjaan
kesulitan mengelolanya.
kefarmasian dalam distribusi atau
Distribusi adalah kegiatan penting
penyaluran sediaan farmasi antara lain
dalam supply-chain management dari
yakni: 1) Setiap fasilitas distribusi atau
produk farmasetik yang terintegrasi.
penyaluran sediaan farmasi berupa
Menurut dokumen Good Distribution
obat harus memiliki seorang apoteker
Practices for Pharmaceutical Products
sebagai penanggung jawab, 2)
yang dikeluarkan World Health
Pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas
Organization (WHO), GDP meliputi
distribusi atau penyaluran sediaan
organization and manajement,
farmasi harus memenuhi ketentuan
personel, quality system, premises,
cara distribusi yang baik yang
warehousing and storage, vehicles and
ditetapkan oleh menteri, dan 3) Dalam
equipment, shipment containers and
melakukan pekerjaan kefarmasian,
container labeling, dispatch,
apoteker harus menetapkan standar
transportation and products in transit,
prosedur operasional.
documentation, repacking and
Fasilitas distribusi atau penyaluran
relabeling, complains, recall, returned
sediaan farmasi adalah sarana yang
products, counterfeit pharmaceutical
digunakan untuk mendistribusikan atau
products, importation, contract
menyalurkan sediaan farmasi, yaitu
activities, and self-inspection. Cara
pedagang besar farmasi dan instalasi
Distribusi Obat yang Baik merupakan
sediaan farmasi. Pedagang Besar
pedoman bagi semua pihak yang
Farmasi (PBF) adalah perusahaan
terlibat dalam distribusi obat tentang
49
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 48-54

cara distribusi obat yang meliputi aspek farmasi, vaksin, psikotropik, obat keras,
personalia, bangunan, penyimpanan obat bebas, obat bebas terbatas,
obat, pengadaan dan penyaluran obat, kosmetik, makanan, susu, dan alat
dokumentasi, penarikan kembali dan kesehatan. Pedagang Besar Farmasi
penerimaan kembali obat (6). dan setiap cabangnya berkewajiban
Data di Departemen Kesehatan per mengadakan, menyimpan dan
30 April 2010 terdapat 2.821 PBF yang menyalurkan perbekalan farmasi yang
tersebar di 33 provinsi di Indonesia. memenuhi persyaratan mutu yang
Provinsi Jawa Timur memiliki PBF ditetapkan menteri serta melaksanakan
terbanyak yakni 461 (16,3%), sedang pengadaan obat, bahan baku obat, dan
Provinsi Sulawesi Barat hanya memiliki alat kesehatan dari sumber yang sah.
1 PBF. Sediaan farmasi yang telah Sebeum berakunya PP No.51 tahun
mendapat izin edar dari menteri 2009 kewajiban tersebut
kesehatan sebanyak 79.045 jenis terdiri dipertanggungjawabkan oleh seorang
dari 16,4% obat, 10,5% obat apoteker atau asisten apoteker yang
tradisional, dan 73,1% kosmetik. mempunyai surat penugasan dan surat
Beberapa penelitian terkait PBF yang ijin kerja; khusus PBF yang
telah dilakukan yakni tentang aspek menyalurkan bahan baku obat
manajemen dan tata cara pendirian penanggung jawabnya harus seorang
PBF, penelitian ini mengevaluasi apoteker. Perbekalan farmasi adalah
implementasi CDOB pada PBF di perbekalan yang meliputi obat, bahan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. obat dan alat kesehatan, istilah ini
diganti menjadi sediaan farmasi yakni
obat, bahan obat, obat tradisional, dan
METODE PENELITIAN
kosmetika (3). Makanan, susu, dan alat
Penelitian non eksperimental kesehatan bukan bagian dari sediaan
deskriptif dengan metode survei ini farmasi, tetapi terdapat PBF yang juga
dilakukan pada bulan Juli 2010 menyalurkannya. Alat kesehatan dapat
menggunakan kuesioner dan interview. disalurkan oleh PBF karena bagian dari
Populasi adalah 49 PBF yang tercatat perbekalan farmasi, selain oleh
di Propinsi DIY, sampel adalah PBF Penyalur Alat Kesehatan yang
yang bersedia menjadi responden diberikan izin oleh menteri kesehatan.
yakni sebanyak 29 (59%) PBF. Data Sebanyak 24 (83%) penanggung
berupa informasi tentang implementasi jawab PBF adalah wanita, yang
aspek-aspek CDOB menurut terbanyak berumur 23-30 tahun yakni
Keputusan Kepala Badan Pengawas 11 (38%) orang. Sebanyak 9 (31%)
Obat dan Makanan Nomor: PBF, penanggung jawabnya apoteker,
HK.00.05.3.2522 tentang Penerapan 18 (62%) PBF penanggung jawabnya
Pedoman Cara Distribusi Obat yang asisten apoteker, 1 PBF terdapat
Baik yang ditetapkan tanggal 2 Juli apoteker tetapi bukan sebagai
2003 yakni aspek manajemen mutu, penanggung jawab, 1 PBF tidak
personalia, bangunan dan peralatan, terdapat tenaga kefarmasian.
dokumentasi, dan inspeksi diri. sedang Pemberlakuan PP No.51 tahun 2009
bagian addendum yakni penanganan mengubah ketentuan tersebut di atas,
vaksin dan penanganan obat donasi. setiap PBF harus
dipertanggungjawabkan oleh seorang
HASIL DAN PEMBAHASAN apoteker, dan paling lambat 3 tahun
sejak ditetapkannya PP tersebut,
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanggungjawab PBF harus seorang
jenis produk yang disalurkan oleh PBF apoteker yang dapat dibantu oleh
di Provinsi DIY berupa bahan baku apoteker pendamping dan/atau tenaga
50
Implementasi cara distribusi obat yang baik
(Anthonius A.P. Putra, Yustina Sri Hartini)

teknis kefarmasian. Saat ini sebanyak CDOB juga menyatakan bahwa dalam
69% PBF sampel di Propinsi DIY penerapan CDOB harus mempunyai
penanggung jawabnya bukan apoteker, Sistem Operasional Prosedur (SOP)
bahkan 2 diantaranya bukan tenaga (6). Dua puluh delapan PBF
kefarmasian. Paling lambat 1 mempunyai SOP yang jenisnya
September 2012 semua PBF di beragam, sebanyaki 20 (69%) PBF
Indonesia sudah harus dipertanggung- mempunyai SOP mengenai CDOB, 26
jawabkan oleh apoteker. Farmasi di (89%) PBF mempunyai SOP mengenai
industri modern mempunyai tanggung penerimaan dan pengiriman barang, 27
jawab menjaga keamanan, ketepatan, (93%) PBF mempunyai SOP mengenai
dan efisien pada saat pendistribusian tempat penyimpanan. SOP yang
obat (7,8). Selain itu tenaga terdapat di PBF paling banyak dibuat
kefarmasian juga mempunyai tanggung oleh kantor pusat, sehingga PBF
jawab dalam edukasi mengenai cabang hanya tinggal menerapkan
terapetik obat, keamanan obat serta SOP yang sudah diberikan dari kantor
pengobatan kepada anggota medis lain pusat tanpa harus membuat SOP yang
(9). Berdasar survei di Indonesia, baru. Standar Prosedur Operasional
pengamatan mutu fisik obat-obatan di adalah prosedur tertulis berupa
puskesmas masih perlu perhatian petunjuk operasional tentang pekerjaan
khusus (10), apoteker dapat kefarmasian (3), pedoman CDOB
memberikan edukasi pada petugas di menyatakan bahwa SOP atau sistem
puskesmas. Apoteker kompeten dalam operasional prosedur atau sering
memberi informasi terkait obat, terbukti disebut protap adalah prosedur tertulis
bahwa pasien merasa sangat puas suatu instruksi operasional tentang hal-
terhadap keberadaan apoteker serta hal umum seperti operasional
pelayanan yang apoteker berikan peralatan, pemeliharaan dan
kepada pasien mengenai informasi kebersihan, sampling dan inspeksi diri
obat (11). Pengelolaan komprehensif (6). Standar Prosedur Operasional
obat oleh apoteker menyangkut logistik, harus dibuat secara tertulis dan
financial, dan keamanan bagi pasien. diperbarui secara terus menerus sesuai
Obat tertentu yang harganya sangat dengan perkembangan ilmu
mahal menjadi efektif pemanfaatannya pengetahuan dan teknologi di bidang
(12). Bukan hal sulit bagi PBF untuk farmasi dan sesuai dengan ketentuan
menempatkan apoteker pada peraturan perundang-undangan (3),
perusahaannya baik di pusat maupun oleh karena itu sebaiknya setiap
cabang, karena sampai dengan Juli apoteker pada PBF menyusun
2010 jumlah apoteker di Indonesia SOP/SPO untuk setiap jenis kegiatan
sudah mencapai lebih dari 32.000 dan pekerjaan kefarmasian yang
pertumbuhan apoteker baru setiap dilakukannya, dan bertanggung jawab
tahun mencapai lebih dari 4.000, yang secara profesional dalam rangka
berasal dari 26 Pendidikan Tinggi menjaga keamanan, mutu, dan khasiat
Farmasi terakreditasi A dan B. sediaan farmasi yang dikelolanya.
Pekerjaan kefarmasian dalam Suatu PBF harus mempunyai
fasilitas distribusi atau penyaluran struktur organisasi (6). Terdapat 79,3 %
sediaan farmasi harus memenuhi PBF yang mempunyai struktur
ketentuan CDOB dan dalam melakukan organisasi. Gambar berikut adalah
pekerjaan kefarmasian tersebut contoh struktur organisasi sebuah PBF
apoteker harus menetapkan Standar di Propinsi DIY .
Prosedur Operasional (3). Pedoman

51
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 48-54

BM
BRANCH MANAGER

PENANGGUNG
JAWAB
(APOTEKER)

SUPERVISOR SUPERVISOR
SUPERVISOR
LOGISTIK SALES
ADMINISTRASI

STAFF GUDANG BIOCONTROL,


DAN DELIVERY SALES
KASIR, INKASO

Gambar 1. Struktur Organisasi PBF ’X’

Dari struktur organisasi PBF X, digunakan secara rasional. Apoteker


Penanggung Jawab PBF (seorang dapat meningkatkan keamanan dan
apoteker) mempunyai garis koordinasi efisiensi pengobatan (13).
dengan Branch Manager, sedangkan Seluruh karyawan yang terlibat
Supervisor Logistik, Supervisor dalam pendistribusian obat, hendaknya
Administrasi, Supervisor Sales diberikan pelatihan mengenai CDOB
bertanggung jawab langsung kepada sehingga CDOB dapat berjalan dengan
Branch Manager bukan kepada benar (6). Jenis pelatihan yang pernah
Penanggung Jawab. Tugas diikuti oleh penanggung jawab PBF
Penanggung Jawab di sini sebagai bervariasi, yang disebutkan adalah
penanggung jawab terhadap segala pelatihan tentang sanitasi dan hygiene,
hal-hal eksternal misalnya: pembuatan toksisitas, produk obat yang
laporan yang dikirim ke Dinas menyebabkan infeksi, pajak, laporan,
Kesehatan Propinsi maupun Balai bahan berbahaya, wajib Material Safety
Besar Pengawas Obat dan Makanan. Data Sheet (MSDS), vaksin, biofarma,
Apoteker adalah tenaga kesehatan dan pajak. Terdapat 10 (34%) PBF
yang memiliki keahlian dan yang belum pernah mengikuti satupun
kewenangan untuk melakukan praktik pelatihan tersebut, yang lain mengikuti
kefarmasian termasuk penyimpanan 1-4 jenis pelatihan. Pelatihan tentang
dan pendistribusian obat (3). CDOB diikuti oleh 14 (48,3%) orang
Penangggung jawab PBF bertanggung penanggung jawab PBF, padahal pada
jawab mengawal sediaan farmasi pedoman CDOB dinyatakan bahwa
dimana jaminan kemanan, khasiat, dan seluruh karyawan yang langsung ikut
mutu sediaan farmasi dituntut dari serta dalam kegiatan pendistribusian
proses awal sampai akhir. Apoteker obat, hendaklah dilatih mengenai
seharusnya berada pada hirarki teratas kegiatan CDOB dan dimotivasi untuk
penanggung jawab tercapainya mendukung standar CDOB. Sebanyak
jaminan tersebut, struktur organisasi 13 (45%) PBF menggunakan sistem
PBF yang baik dapat menggambarkan First in First Out (FIFO) dan First
hal tersebut. Apoteker adalah Expired First Out (FEFO), barang yang
pemangku profesi yang paling diterima PBF lebih awal dan expired
bertanggung jawab, mulai dari produksi datenya lebih dekat maka barang
sediaan farmasi hingga produk sampai tersebut didistribusikan lebih dahulu.
ke tangan pasien, juga memastikan Bangunan harus mempunyai sirkulasi
bahwa sediaan farmasi tersebut udara yang baik (6). Sebanyak 14 PBF
52
Implementasi cara distribusi obat yang baik
(Anthonius A.P. Putra, Yustina Sri Hartini)

tidak memiliki jendela, 25 PBF memiliki Departemen (LPND), akan tetapi dalam
pengontrol suhu, dan 15 PBF memiliki melaksanakan tugasnya tetap
pengontrol kelembaban. Khusus PBF dikoordinasikan oleh Menteri
yang mengelola vaksin, narkotika, dan Kesehatan. Dalam hal izin edar
psikotropika, PBF di Provinsi DIY (registrasi) obat, Menteri Kesehatan
sudah menyimpan di ruang khusus hal melimpahkan pemberian izin edar
ini sesuai dengan pedoman CDOB. kepada Kepala BPOM. Pedoman
Kebersihan dan penerangan pada CDOB yang berlaku sekarang
semua PBF di Provinsi DIY sudah ditetapkan tahun 2003 cetakan
memadai hal ini juga sesuai dengan ketiganya terbit tahun 2007, mengacu
Pedoman CDOB. pada GDP yang ditetapkan oleh WHO
Pedagang Besar Farmasi tahun 2003, WHO Managing Drug
berkewajiban melaksanakan Supply tahun 1997, dan Pedoman Cara
dokumentasi pengadaan, penyimpanan Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
dan penyaluran secara tertib di tempat yang ditetapkan BPOM tahun 2001,
usahanya mengikuti pedoman teknis tahun 2010 WHO telah menetapkan
yang ditetapkan menteri. Dua puluh current-GDP, pedoman CPOB terkini
delapan (97%) PBF sudah juga sudah ditetapkan tahun 2006.
melaksanakan dokumentasi. Jenis Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dokumentasi tentang penerimaan belum semua aspek CDOB
pesanan barang dari pelanggan dilaksanakan dengan baik oleh semua
dilakukan oleh paling banyak PBF baik PBF sampel. Perlu dilakukan
secara manual maupun dengan pembaruan dokumen CDOB, pelatihan
komputer sebaliknya inspeksi diri paling implementasi, dan monitoring agar
sedikit dilakukan. Jenis dokumentasi amanat PP No.51 tahun 2009
lain yakni pemusnahan obat, khususnya pelaksanaan pekerjaan
pengembalian obat ke produsen, stok kefarmasian dalam distribusi atau
barang, pengurangan barang dari stock penyaluran sediaan farmasi dapat
penjualan, pengiriman obat kepada dilaksanakan oleh apoteker dan
pelanggan, pengeluaran dari gudang, seluruh staff di PBF dengan baik.
penyimpanan obat, penerimaan dan Sebanyak 73,1% sediaan farmasi yang
pemesanan sediaan farmasi. teregistrasi berupa kosmetik, sebaiknya
Inspeksi diri di PBF kebanyakan 1 ada pedoman teknis khusus distribusi
kali setahun, dilakukan secara internal kosmetik yang dapat diacu oleh para
atau eksternal, ada juga yang dua- pelaku distribusi kosmetik.
duanya. Institusi eksternal yang
melakukan inspeksi diri terutama Balai
KESIMPULAN DAN SARAN
Besar Pengawasan Obat dan Makanan
Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian ini,
Propinsi DIY. Hal-hal yang diinspeksi dapat disimpulkan bahwa belum semua
meliputi dokumentasi, peralatan, aspek CDOB dilaksanakan oleh PBF.
bangunan, dan karyawan. Terdapat 15 (52%) penanggung jawab
Menurut PP pedoman CDOB PBF belum pernah mengikuti pelatihan
ditetapkan oleh menteri (3) akan tetapi CDOB, 1 (3%) PBF tidak memiliki
yang berlaku sekarang pedoman Standar Operasional Prosedur, 6 (21%)
CDOB yang ditetapkan Kepala Badan PBF tidak memiliki struktur organisasi,
Pengawas Obat dan Makanan 17 (59%) PBF tidak memiliki alat
(BPOM), kedudukan BPOM sejak pengontrol suhu, 10 (34%) PBF tidak
tahun 2001 tidak lagi di bawah memiliki alat pengontrol kelembaban, 1
Departemen Kesehatan akan tetapi (3%) PBF tidak melaksanakan
menjadi Lembaga Pemerintah Non
53
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 48-54

dokumentasi, dan 3 (10%) PBF tidak Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat
melakukan inspeksi diri. dan Makanan Republik Indonesia; 2003.
Untuk melengkapi informasi hasil 7. Hill WT. What We as Pharmacist
penelitian ini perlu dilakukan penelitian Believe Our Profession to be Determine
What It Is. Journal of The American
tentang bagian addendum dari
Pharmaceutical Association 2000;
pedoman CDOB yakni penanganan 40(1): 96-102.
vaksin dan penanganan obat donasi 8. Vaillancourt R. Pharmacists: The
oleh PBF. Agar sediaan farmasi yang Guardians of Safe Medication Use.
sampai ke tangan konsumen terjamin Canadian Journal of Hospital
keamanan, khasiat, mutu, dan Pharmacy 2011; 64(1): 5-6.
keabsahannya perlu diadakannya 9. Shane R. Ensuring Drug Safety in
CDOB terkini, pelatihan implementasi, Health Systems: Role of the Food and
dan monitoring pelaksanaaan CDOB Drug Administration Amendments Act
pada PBF. of 2007, Risk Evaluation and Mitigation
Strategies, and Restricted Drug
Distribution Systems. American
DAFTAR PUSTAKA Journal of Health-System Pharmacy
2009; 66(24): S2-3.
1. Azhar S, Hassali MA, Izham M, Ibrahim 10. Athijah U, Wijaya IN, Soemiati,
M, Ahmad M, Masood I, Shafie AA. The Fathurohmah A, Sulistyarini A,
Role of Pharmacists in Developing Nugraheni G, Setiawan CD, Rofiah,
Countries: the Current Scenario in Rahmah L. Profil Penyimpanan Obat di
Pakistan. Human Resources for Health Puskesmas Wilayah Surabaya Timur
2009; 7:54:1478-1484. dan Pusat. Jurnal Farmasi Indonesia
2. Sun Q, Michael A, Meng Q, Liu C Karen 2011; 5(4): 172-179.
E. Pharmaceutical Policy In China. 11. Setiawan D, Hasanmihardja M,
Health Affairs 2008; 27(4):1042-1050 Mahatir A. Pengaruh Pelayanan
3. Departemen Kesehatan Republik Kefarmasian terhadap Kepuasan
Indonesia. Peraturan Pemerintah No.51 Konsumen Apotek di Wilayah
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kabupaten Tegal. Jurnal Farmasi
Kefarmasian. Jakarta: Departemen Indonesia 2010; 5(2): 103-111.
Kesehatan Republik Indonesia; 2009. 12. Shane R. Risk Evaluation and
4. Fisher JA, Ronald LM. Sex, Gender, and Mitigation Strategies: Impact on
Pharmaceutical Politics: From Drug Patients, Health Care Providers, and
Development to Marketing. Gender Health Systems. American Journal of
Medicine 2010; 7(4): 357-370. Health-System Pharmacy 2009;
5. Stafford RS. Regulating Off-Label Drug 66(24): S6-12.
Use-Rethinking the Role of the FDA. 13. Kirschenbaum BE. Specialty
The New England Journal of Medicine Pharmacies and Other Restricted
2008; 358: 1427-1429. Drug Distribution Systems: Financial
6. Keputusan Kepala Badan Pengawas and Safety Considerations for Patients
Obat dan Makanan Nomor: and Health-system Pharmacists.
HK.00.05.3.2522 tentang Penerapan American Journal of Health-System
Pedoman Cara Distribusi Obat yang Pharmacy 2009; 66(24):S6-20.

54

Anda mungkin juga menyukai