Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Ushul fiqih lanjutan


KAIDAH USHULIYYAH/ LUGHAWIYYAH
(`AM, KHAS, AMR, NAHI, MUTLAQ DAN MUQAYYAD)

Oleh:
Megariah 2110102001
Nisa Nursyifa Salsabila 2110102007

Dosen pengampu:
Syaiful Aziz M.H.I

Program studi perbandingan madzhab


Fakultas hukum syariah
Universitas islam negeri raden fatah
Palembang 2022
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan taufik, rahmat
dan hidayah serta kemudahan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini
yang merupakan suatu tugas dari mata kuliah ushul fiqih lanjutan.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada pak Syaiful Aziz M.H.I yang
telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat lebih mempelajari dan
memahami mata kuliah ini terutama dalam pembahasan tentang macam-macam
kaidah ushuliyyah, yakni seputar `am, khas, amr, nahi, Mutlaq dan muqayyad.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan sehingga kritik dan saran dari para pembaca sangat di
butuhkan untuk bahan pertimbangan perbaikan.

Kami juga berharap semoga dengan adanya makalah ini bisa menjadi
pengetahuan dan manfaat lainnya bagi kita semua.

Sekian dan terima kasih.

penulis
Daftar isi

Kata pengantar ................................................................................

Daftar isi .............................................................................................

Bab I pendahuluan ............................................................................

1. Latar belakang .................................................................................


2. Rumusan masalah ............................................................................
3. Tujuan ..............................................................................................

Bab ii pembahasan ............................................................................

1. `Am dan Khash ................................................................................


2. Amr dan Nahi ..................................................................................
3. Mutlaq dan Muqayyad .....................................................................

Bab iii penutup ....................................................................................

1. Kesimpulan ......................................................................................
2. Saran ................................................................................................

Daftar Pustaka.................................................................................
Bab i
Pendahuluan

1. Latar belakang
Nash yang menjadi dalil hukum Islam baik Al-Qur’an sebagai sumber hukum
pertama maupun Sunnah Nabi SAW sebagai sumber kedua adalah berbahasa Arab.
Untuk memahaminya dengan baik membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan
ilmu bahasa Arab yang baik pula, Untuk itu para ulama ushul telah menciptakan
beberapa qaidah lughawiyah untuk dapat memahami nash atau dalil agar hukum-
hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi pegangan hukum tersebut yaitu qaidah
ushuliyyah/lughawiyyah. Qaedah ini dipakai oleh ulama ushul (ushuliyyin)
berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah diterapkan oleh para
ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari
kesusasteraan Arab yang berfungsi sebagai standar dalam memahami dan menetapkan
hukum syara’ yang ditinjau dari segi kebahasaan juga dapat digunakan untuk
menggali dan memperoleh hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci.

2. Rumusan masalah
Beberapa permasalahan yang didapat:
1. Apa saja penjelasan tentang `am dan khash?
2. Apa saja penjelasan tentang amr dan nahi?
3. Apa saja penjelasan tentang Mutlaq dan muqayyad?

3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita
seputar tentang penjelasan mengenai kaidah ushuliyyah yaitu: `am, khash, amr, nahi,
Mutlaq dan muqayyad.
Bab iii
Pembahasan

1. `am dan khash


A. `Am
1. Pengertian
Secara bahasa (etimologi), `am adalah umum. Sedangkan secara istilah
(terminologi), `am adalah suatu cangkupan sesuatu baik lafadz atau selainnya
atau mencangkup sesuatu yang berbilang-bilang atau tidak terbatas. Pengertian
lain juga dikemukakan oleh beberapa ulama, yakni:
• Menurut ibnu subki
“ lafadz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan”
• Menurut imam al. Ghazali
“ suatu lafadz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal
atau lebih”
• Menurut al. syarkisi dari kalangan ulama hambali
“ setiap lafadz yang mengordinasi sekelompok nama dalam bentuk lafadz
atau makna”

2. Lafadz yang menunjukkan `am


Para ulama ushul mengklasifikasikan berdasarkan mufradat (kosa kata) dan
ushlub (gaya Bahasa) nya, bahwa lafadz-lafadz yang kebahasaannya
menunjukkan kepada makna umum, yaitu sebagai berikut:
a. Lafadz jamak, seperti kullu (setiap) dan jami`(seluruhnya).
Contoh:
‫ُكل نَ ْف ٍس ذَ ۤا ِٕىقَةُ ْال َم ْوت‬
Artinya: “setiap yang bernyawa akan merasakan mati” (Q.S. Ali Imran:
185)
b. Lafadz mufrad yang menggunakan alif lam jinsiyah (yang menunjukkan
jenis)
Contoh:
‫ّٰللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم الر ٰبوا‬
‫َواَ َح َّل ه‬
Artinya: “ dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba`” (Q.S. Al. Baqarah: 275)
c. Lafadz jamak yang menggunakan alif lam jinsiyah dan idhafah
Contoh:

َ‫قَ ۡد اَ ۡفلَ َح ۡال ُم ۡؤمنُ ۡون‬


Artinya: “ sungguh beruntung orang-orang yang beriman” (Q.S. Al.
mu`minun: 1)

‫ي اَ ْو ََلد ُك ْم‬ ‫ي ُْوص ْي ُك ُم ه‬


ْْٓ ‫ّٰللاُ ف‬
Artinya: “ Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu” (Q.S. An. Nisaa`: 11)
d. Lafadz asma`ul al.syarth (isim-isim isyarat yang mensyaratkan), seperti
maa dan man
Contoh:
ْ َ‫سنًا فَيُضٰ عفَهٗ لَهٗ ْٓ ا‬
ً ‫ضعَافًا كَثي َْرة‬ ً ‫ّٰللاَ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ ‫ض ه‬ ْ ‫َم ْن ذَا الَّذ‬
ُ ‫ي يُ ْقر‬
Artinya: “ barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka
Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak…” (Q.S. Al.
Baqarah: 245)
e. Isim nakirah yang dinafi`kan
Contoh:
….‫ع ٰلى قَبْره‬ ْٓ ‫و ََل تُصل‬
َ ‫ع ٰلى اَ َح ٍد م ْن ُه ْم َّماتَ اَبَدًا َّو ََل تَقُ ْم‬
َ َ َ
Artinya: “ Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk
seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-
lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya”
(Q.S. At. Taubah: 84)
f. Isim maushul, seperti alladzi, alladziina dan maa
Contoh:

َ ْ‫َوالَّذيْنَ يَ ْر ُم ْونَ ْال ُمح‬


… ‫ص ٰنت‬
Artinya: “ Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang
baik (berzina)” (Q.S. An. Nuur:4)
3. Dalalah dan pembagian lafadz `am
Para ulama sepakat bahwa `am yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath`I dalalah. Tetapi ulama
berbeda pendapat pada lafadz `am yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah
yang menolak adanya kemungkinan adanya takhsis dan tetap berlaku umum.
Menurut ulama hanafiyah lafadz `am itu qath`I dalalahnya selagi tidak
ada dalil lain yang mentakhsisnya. Sedangkan menurut jumhur ulama
(malikiyyah, syafi`iyyah dan hanabilah), berpendapat bahwa dalalah `am itu
adalah dzanni, karena dalalah `am itu termasuk bagian dari dalalah dzahir
yang mempunyai kemungkinan untuk di takhsis, kemungkinan tersebut pada
lafadz `am banyak sekali bisa di temukan dan selama kemungkinan itu masih
ada, maka tidak dibenarkan untuk menyatakan bahwa dalalahnya adalah
qath`i.1
Dari segi pengunaannya atau dari segi keberadaan nashnya, lafadz `am
terdiri atas 3 macam, yaitu:
a. Al.`am al.baaqi `ala umuumihi (lafadz `am yang tetap dalam
kemumumannya), yaitu `am yang disertai qarinah yang tidak
memungkinnkan untuk ditakhsis
Contoh:
…. ‫ّٰللا ر ْزقُ َها‬ َ ‫َما م ْن دَ ۤابَّ ٍة فى ْاَلَ ْرض ا ََّل‬
‫علَى ه‬
Artinya: “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi
melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya” (Q.S. Hud:6)
b. Al. `am al. muraadu bihi al. khusuus (lafadz `am yang menujukkan makna
khusus), yaitu `am yang disertai qarinah sehingga menghilangkan makna
umumnya
Contoh:
… ‫سبي ًْل‬
َ ‫ع الَيْه‬ َ َ‫علَى النَّاس حج ْالبَيْت َمن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َ ‫… َو هّلِل‬.
Artinya: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke sana” (Q.S. Ali. Imran: 97)
c. Al. `am al. makhsuus (lafadz `am yang dikhususkan atau `am mutlaq),
yaitu `am yang tidak disertai qarinah, baik itu qarinah yang tidak

1
Ebook ushul fiqih II karya misbahudin, dalalah lafadz `am, hal:6-7
memungkinkan untuk ditakhsis maupun qarinah yang menghilangkan
keumumannya
Contoh:
…. ٍ‫طلَّ ٰقتُ َيت ََربَّصْنَ با َ ْنفُسه َّن ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْوء‬
َ ‫َو ْال ُم‬
Artinya: “ Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru`”

B. Khash
1. Pengertian, dalalah dan karakteristik khash
Khas secara Bahasa (etimologi) adalah tertentu atau khusus.
Sedangkan khash menurut istilah (terminologi) adalah , lafadz yang
menunjukkan arti tertentu dan tidak meliputi arti umum, dengan kata lain,
khash itu kebalikan dari ‘am atau lafadz yang menunjukkan sesuatu yang
dibatasi dengan pribadi atau bilangan.
Adapun beberapa pengertian khas lainnya yang dikemukakan para ulama,
yakni:
• Menurut al-syaukani, lafadz khas adalah suatu lafadz yang menunjukkan
kepada satu sebutan saja2
• Menurut al. amidi, khash adalah satu lafadz yang tidak patut digunakan
Bersama oleh jumlah yang banyak

Adapun untuk dalalah khash, jumhur ulama telah sepakat bahwa


dalalah khas menunjukan kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus
yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkan adalah qath’i, bukan dzanni,
selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna.

Karakteristik dari lafadz khash, diantaranya:

a. Lafadz tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan,


atau nama sesuatu
b. Lafadz tersebut menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu dalam satu
kaliamat
c. Lafadz tersebut dibatasi dengan suatu sifat tertentu atau diidhafahkan

2
Prof. Abdul wahhab khallaf, ilmu usul fiqih, (semarang: dina utama, 1994). Hal.281
2. Takhsis
Hukum takhsis itu boleh bila takhshish itu memang dilakukan dalam
dalil. Secara Bahasa, tahksis yaitu mengkhususkan, sedangkan secara istilah,
Pengertian yang dikemukakan abdul Wahab, bahwa takhsis adalah penjelasan
yang dimaksud oleh syari` (pembuat hukum) tentang lafadz `am itu pada
mulanya adalah sebagian afradnya. Sedangkan, pendapat dalam ushul fiqih
menyebutkan bahwa takhsis adalah mengkhususkan lafadh yang ‘am kepada
sebagian afrad-nya (lafadh yang masuk bawahannya).
Takhsis ini terbagi menjadi 2 macam, yaitu takhsis muttasil dan
munfasil, berikut penjelasannya:
1. Takhsis muttasil
Yaitu lafadz yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali disertai dengan
lafadz `am. Dan takhsis muttasil ini dibagi dalam 5 macam, yaitu:
a. Istisna` (pengecualian), yaitu pengecualian lafadz `am dengan
menggunakan istisna`
b. Syarat, yaitu lafadz yang memiliki manfaat apabila bersambung
dengan lafadz yang lain dan harus Kembali kepada lafadz yang
menjadi syarat
c. Na`at (sifat), yaitu suatu hal atau keadaan yang mengiringi atau
menjelaskan suatu zat atau perbuatan
d. Ghaayah (waktu), yaitu lafadz yang menjadi akhir (waktu
penghabisan) yang dari lafadz `am yang mendahuluinya dan lafadz
tersebut masuk dalam kandungan lafaz `am sebagai tolak ukur dari
makna yang dikandung
e. Badalul ba`di min al. kulli (bagian sebagai pengganti keseluruhan),
yaitu lafadz pengganti yang mengandung arti Sebagian dari bentuk
lafadz umum

2. Takhsis munfasil
Yaitu lafadz yang dapat berdiri sendiri baik lafadznya sendiri atau
bersamaan dengan yang lainnya. Takhsis munfasil ini dibagi menjadi
beberapa macam, diantaranya:
a. Takhsis Al. Qur`an dengan Al. Qur`an
b. Takhsis Al. Qur`an dengan sunnah
c. Takhsis sunnah dengan Al. Qur`an
d. Takhsis sunnah dengan sunnah
e. Takhsis dengan ijma`
f. Takhsis dengan qiyas
g. Takhsis dengan mafhum3

2. Amr dan nahi


A. Amr`
1. Pengertian dan bentuk amr
Secara Bahasa, amr berasal dari Masdar kata amara-ya`muru-amr
yang artinya perintah atau suruhan. Sedangkan secara istilah, amr adalah suatu
tuntutan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang memiliki
kedudukan lebih tinggi kepada orang yang berkedudukan lebih rendah.4
Amr atau kata perintah ini memiliki bentuk lafadz, diantaranya:
a. Berbentuk fi`il amr (perintah langsung)
Contoh:

…. َ‫ص ٰلوة‬
َّ ‫َواَق ْي ُموا ال‬
Artinya: “ dan dirikanlah shalat…” (Q.S. Al. Baqarah: 43)
b. Berbentuk fi`il mudhari` yang didahului lam amr
Contoh:
‫ط َّوفُ ْوا ب ْال َبيْت ْال َعتيْق‬
َّ ‫… َو ْل َي‬
Artinya: “dan lakukanlah tawaf di sekiling rumah tua (baitullah)” (Q.S.
Al. hajj:9)
c. Isim fi`il amr
Contoh:

َ ُ‫علَ ْي ُك ْم اَ ْنف‬
…‫س ُك ْم‬ َ …
Artinya: “jagalah dirimu” (Q.S. Al. maidah: 105)

3
Ebook ushul fiqih II karya misbahudin, macam-macam takhsis, hal:18-20
4
Jurnal karya siti fathimah, pengertian amr, vol 1 no 1 hal:2
d. Masdar pengganti fi`il
Contoh:

َ ْ‫ َوب ْال َوالدَيْن اح‬..


…‫سانًا‬
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada ibu bapak” (Q.S. Al. Baqarah:83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti faradha dan kutiba
Contoh:
…..‫علَ ْي ُك ُم الص َيا ُم‬ َ ‫ٰ ْٓياَي َها الَّذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُكت‬
َ ‫ب‬
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk
berpuasa” (Q.S. Al. Baqarah:183)

2. Macam-macam dan syarat amr


Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu secara hakiki
yang mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung makna lain
selain perintah dan keluar dari makna asalnya. Maka dari itu kata amr bisa
menunjukkan beberapa kemungkinan makna karena adanya suatu petunjuk,
beberapa diantaranya:
1. Wajib, seperti:
…. َ ‫ص ٰلوة‬
َّ ‫َواَق ْي ُموا ال‬
Artinya: “dan dirikanlah shalat…” Q.S. Al. Baqarah:43)
2. Sunnah/ nadb (anjuran), seperti:
…ْْ ‫ي ٰا ٰتى ُكم‬ ‫… َّو ٰات ُ ْو ُه ْم م ْن َّمال ه‬.
ْْٓ ‫ّٰللا الَّذ‬
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan Nya kepadamu” (Q.S. An.nuur:33)
3. Irsyad (membimbing atau menunjukkan), seperti:
…‫جال ُك ْم‬
َ ‫… َوا ْستَ ْشهد ُْوا شَه ْيدَيْن م ْن ر‬
Artinya: “…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-
laki (diantaramu)…” (Q.S. Al. Baqarah 282)
4. Ibahah/mubah (kebolehan), seperti:
… ‫خيْط ْاَلَس َْود منَ ْالفَجْ ر‬
َ ‫ض منَ ْال‬ ُ ‫… َو ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َحتهى يَتَبَيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬.
ُ َ‫ط ْاَلَ ْبي‬
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan
benang hitam bagimu” (Q.S. Al. Baqarah: 187)
5. Ikram (memuliakan), seperti:
َ‫س ٰل ٍم ٰامنيْن‬
َ ‫ا ُ ْد ُخلُ ْوهَا ب‬
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera lagi aman” (Q.S. Al. hijr: 46)

Sedangkan untuk syarat yang mestinya ada dalam kata amr, yaitu sebagai
berikut:

a. Harus berupa ucapan perintah (Amr)


b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan
namanya do‟a

B. Nahi
Nahi menurut Bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan
menurut istilah adalah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.
Menurut abdul hamid hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-nya.
Dalam Al. Qur`an nahi yang menggunakan kata larangan mengandung
beberapa maksud, beberapa diantaranya yaitu:
a. Haram
b. Makruh
c. Irsyad (mendidik)
d. Do`a
e. Bayan al. ghaabah (menjelaskan akibat)
3. Mutlaq dan muqayyad
1. Pengertian
Secara Bahasa, Mutlaq berarti melepaskan atau membebaskan.
Sedangkan secara istilah, Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang
tidak dibatasi oleh suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya
secara keseluruhan. Adapun pengertian yang dikemukakan oleh abi yahya
Zakaria, bahwa Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan arti sebenarnya tanpa
di batasi (dikaitkan) dengan sesuatu.
Adapun untuk pengertian muqayyad, secara Bahasa muqayyad berarti
mengikat atau membatasi5, sedangkan secara istilah muqayyad adalah lafaz
yang menunjukkan sesuatu yang sudah dibatasi baik oleh sifat, syarat, dan
ghayah, juga pendapat yang dikemukakan oleh Manna’ al-Qaththan dalam
Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, mendefenisikannya sebagai suatu lafaz yang
menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya Batasan.

2. Perbedaan, kaidah dan hukum pada Mutlaq dan muqayyad


Mutlaq adalah suatu lafaz yang menunjukan pada makna tertentu tanpa
dibatasi oleh lafaz lainnya, contohnya sebagai berikut:
… ‫… فَتَحْ ري ُْر َرقَبَ ٍة م ْن قَبْل ا َ ْن يَّت َ َم ۤاسَّا‬
Artinya: “maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami istri itu bercampur” (Q.S. Al. mujadalah:3)
Lafadz raqabah adalah Mutlaq karena lafadz ini tidak diiringi dengan sifat
apapun, apakah ia seorang mukmin atau kafir.

Sedangkan Muqayyad adalah lafaz yang menunjukan pada makna


tertentu dengan batasan kata tertentu, contohnya :
َ ‫ َو َم ْن قَتَ َل ُمؤْ منًا َخ‬..
… ‫طـًٔا فَتَحْ ري ُْر َرقَبَ ٍة مؤْ منَ ٍة‬
Artinya: “Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (Q.S.
An. Nisa`:92)

5
Mutlaq dan muqayyad karya Muhammad faisal Hamdani, hal:32
Lafadz raqabah pada ayat ini terikat dengan kata beriman sebagai qayyid-nya,
sehingga hamba sahaya yang sah untuk dibebaskan harus dalam keadaan
beriman.
Kaidah mutlaq adalah lafaz mutlaq tetap dalam kemutlaqannya hingga
ada dalil yang membatasinya dari kemutlaqan itu, sedangkan kaidah
muqayyad adalah wajib mengerjakan yang muqayyad kecuali jika ada dalil
yang membatalkannya.
Adapun hukum dalam lafadz Mutlaq dan muqayyad dari segi
cangkupan makna ada 4 macam, yaitu:
• Lafaz mutlaq dan lafaz muqayyad berdiri sendiri tanpa ada hubungan yang
satu dengan yang lainnya jika sebab dan hukumnya berbeda
• Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad namun sebab dan hukummnya sama. Di sini sepakat ulama
menjadikan yang Mutlaq sebagai muqayyad
• Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad dengan hukum yang sama namun berbeda sebabnya. Di sini
jumhur ulama menjadikan yang mutlaq itu tetap pada kemutlakannnya,
dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya, kecuali Syafii.
• Lafaz dalam suatu ayat bersifat mutlaq dan dalam ayat lainnya bersifat
muqayyad dengan hukum yang sama namun berbeda sebabnya. Di sini
jumhur ulama menjadikan yang mutlaq, muqayyad, kecuali Hanafiyah6

6
Jurnal karya dewi murni, Mutlaq dan muqayyad Vol. VII, No. 1 hal: 76-77
Bab iii
Penutup

1. Kesimpulan
Kaidah ushuliyyah atau lughawiyyah dalam ilmu ushul fiqih meliputi
pembahasan terhadap lafadz-lafadz `am, khash, amr, nahi, Mutlaq dan muqayyad.
Pada masing-masing pembahasan telah di tentukan berbagai macam penjelasan
seperti bentuk, kaidah, perbedaan, hukum dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, penjelasan yang lebih mudah dipahami bahwa lafadz `am
adalah lafadz umum, khash adalah lafadz khusus, amr adalah lafadz/kata perintah,
nahi adalah lafadz/ kata larangan, Mutlaq adalah lafadz yang tidak dibatasi dan
muqayyad adalah lafadz yang dibatasi baik dengan sifat dan lain sebagainya.

2. Saran
Demikianlah materi yang bisa disampaikan pada pembahasan mengenai
kaidah ushuliyyah ini, dalam karya makalah ini tentunya masih memiliki kekurangan
maupun kesalahan sehingga kritik dan saran dari para pembaca sangat diperlukan agar
dapat menjadi sebuah perbaikan dan bisa menjadi sebuah karya yang lebih baik lagi.
Daftar Pustaka

Misbahuddin. 2015. Ushul fiqih II. Makassar: allauddin press

Syarifudin , amir. 2014. Ushul fiqih II. Jakarta: kecana (prendamedia group)

Djalil, basiq. 2014. Ilmu ushul fiqih (satu dan dua). Jakarta: kencana

Effendi, satria dan ma`shum zein. Ushul fiqih. Jakarta: kencana media group

Khallaf, abdul Wahab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: dina utama

Anda mungkin juga menyukai