Makalah Pidana Anak
Makalah Pidana Anak
Kelas : Semester V / A
Jurusan : Ilmu Hukum
Dosen Pembimbing : Atang Mulyadi, S.H.,M.H.
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah, ini yang membahas
tentang “Tentang Hukum Pidana Anak”. Penyusunan makalah ini dibuat dan
diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Pidana Khusus
Kami menghaturkan terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan
petunjuk, motivasi, dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan . Oleh karena itu, kami mengharapkan tegur sapa, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari seluruh pembaca makalah ini, agar makalah ini dapat
dijadikan pedoman dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan membangun karakter yang baik dalam rangka menunjang
keberhasilan khususnya di bidang pendidikan.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUl……….......………..………………………………..……..……….i
KATA PENGANTAR..……..……...…..………………………………..……...……...ii
DAFTAR ISI ………………..…………..……………..………………….……..….…iii
BAB I PENDAHULUAN...……………...…..………………...………….….……..….1
A. Latar Belakang…………………..……………….….…..………..……...1
B. Rumusan Masalah………………………..…….………..…...….............2
C. Tujuan Penulisan..……………………………...………....………..……2
BAB II PEMBAHASAN.…………….………..…………….………..…….….........…3
A. Kenakalan Anak...................................…….………………………..…3
B. Faktor-faktor Kenakalan Anak.......................……..…...……………...5
C. Pertanggung Jawaban Anak..................................................................9
D. Sistem Peradilan Pidana Anak.....................................................…....10
E. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak………………………...14
F. Lembaga Permasyarakatan Anak………………………………………15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum
dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua,
di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari
orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam
tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang
setara dengan tahun tahun sekolah dasar.
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui tentang Kenakalan Anak
2. Mengetahui Faktor-faktor dari Kenakalan Anak
3. Mengetahui tentang Pertanggung Jawaban Anak
4. Mengetahui Sistem Peradilan Pidana Anak
5. Mengetahui Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak
6. Mengetahui Lembaga Permasyarakatan Anak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kenakalan Anak
Juvenile yang diartikan sebagai anak, dalam hal ini Aristoteles seperti yang
dikutip oleh Kartini Kartono, membagi fase perkembangan dalam 21 tahun dalam 3
septenia (3 periode kali 7 tahun) yang dibatasi oleh gejala-gejala alamiah, yaitu
pergantian gigi dan memunculkan gejala- gejala pubertas.
• Usia 7-14 tahun disebut sebagai masa anak-anak, masa belajar, masa sekolah
rendah.
• Usia 14 – 21 tahun disebut masa remaja, masa pubertas, masa peralihan dari
masa peralihan anak ke masa orang dewasa.
I. Faktor Pribadi
Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak bisa menjadi
sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan
konstitusi, potensi, bakat, atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses
perkembangan, kematangan, atau perangsangan dari lingkungan, menjadi aktual,
muncul, atau berfungsi.
1. Seorang anak bisa bertingkah laku tertentu sebagai bentuk pelarian- pelarian
karena ia mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah.
Kesulitan ini bersumber pada kemampuan dasar yang kurang baik, di mana taraf
kemampuannya terletak di bawah rata-rata. Sehingga ia selalu berada dalam
keadaan tegang, tertekan, dan tidak bahagia. Sehubungan dengan masalah
pelajaran ini, perasaan-perasaan tertekan dan beban yang tidak sanggup dipikul
juga dapat timbul karena berbagai hal yang lain seperti berikut ini.
a. Tuntutan dari pihak orang tua terhadap prestasi anak yang sebenarnya
melebihi kemampuan dasar yang dimiliki anak. Berbagai ungkapan yang
sebenarnya keliru sering terdengar dari orang tua, seperti: "Sebenarnya
anak saya tidak bodoh, tetapi ia malas" atau "Saya tidak mengharap anak
saya mendapat angka 9, asal cukup saja, karena ia sebenarnya bisa."
c. Tekanan dari orang tua agar anak mengikuti berbagai kegiatan, baik yang
berhubungan dengan pelajaran-pelajaran sekolah maupun kegiatan-
kegiatan lain yang berhubungan dengan pengembangan bakat dan minat.
Seorang anak memperlihatkan sikap-sikap negatif terhadap pelajaran
karena ia harus bersekolah di dua tempat: di sekolah biasa dan di tempat
guru khusus yang waktu belajarnya bahkan lebih lama dari sekolah biasa
daripada di sekolah biasa.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa masalah yang berkaitan dengan masalah
sekolah, masalah belajar, prestasi, dan potensi (bakat) bisa menjadi sumber
timbulnya berbagai tekanan dan frustrasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan
reaksi-reaksi perilaku nakal atau penyalahgunaan obat terlarang.
3. Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku yang merepotkan orang tua dan
lingkungannya dengan berbagai perilaku yang dianggap tidak mampu
menyesuaikan diri. Sumber penyebab hal ini adalah tuntutan-tuntutan yang
berlebihan, keinginan-keinginannya yang harus dituruti, dan tidak lekas puas
terhadap apa yang diperoleh atau diberikan orang tua. Semua hal tersebut
memang mendorong munculnya sikap-sikap yang mudah menimbulkan
persoalan pada anak dan tentunya juga sekelilingnya.
Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat. Meskipun
demikian, peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-
awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian
selanjutnya. Anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya,
tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, dan tidak bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Jadi, ia tergantung sepenuhnya dari
lingkungan hidupnya, yakni lingkungan keluarga, dan lebih luas lagi lingkungan
sosialnya. Anak yang baru dilahirkan bisa diibaratkan sebagai sehelai kertas putih yang
masih polos. Bagaimana jadinya kertas putih tersebut pada kemudian hari tergantung
dari orang yang akan menulisinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, orang tua jelas berperan besar dalam
perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan
dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang
setelah dewasa.
- “Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26
ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva melanjutkan.
- Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan
intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.
Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh
berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B
ayat (2) UUD 1945.
- “Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1)
dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan
Anak adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali harus
dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum
pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.
- Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum mencapai
18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian. Namun, pasal itu
merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.
- Dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita (melebihi
apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu kesatuan sistem.
Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka pasti akan berpengaruh terhadap pasal- pasal lain yang tidak diuji.
- “Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan agar
tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.”
- Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam Pasal
1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) UU
Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun
(Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15
tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU
SPPA):
• Pengembalian kepada orang tua/Wali;
• Penyerahan kepada seseorang;
• Perawatan di rumah sakit jiwa;
• Perawatan di LPKS;
• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
• Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
• Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA): Pidana Pokok terdiri
atas:
- Pidana peringatan;
- Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
- Pelatihan kerja;
- Pembinaan dalam lembaga;
- Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
- Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat
Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya
dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika
masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak- hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan
sejahtera.
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan
tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak. Walaupun demikian, baik
UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka
yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun
(Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU
Pengadilan Anak).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, kesimpulan yang kami dapatkan setelah menulis makalah ini adalah.
Bahwa sebenarnya seorang anak perlu bimbingan dari orang tua dan guru bukan hanya
sekedar bimbingan formal disekolah dan bukan hanya pelajaran formal saja yang
dibutuhkan oleh anak, melainkan juga pelajaran mental, etika dan pelajaran diluar
sekolah. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada orangtua dan guru atau wali serta
pembimbing agar menyertakan setiap pelajaran pelajaran atau nilai nilai kesusilaan
serta moral, agar supaya anak terebut mendapatkan peljaran yg baik dan benar didalam
lingkungan sekolah, serta mendapatkan pula pelajaran yang baik diluar lingkungan
sekolah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan
dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun sangatlah penulis harapkan terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah
ini dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang,
semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung, 1977,
hlm.292.
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994, hlm. 200
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981, hlm.395- 396