Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM PIDANA KHUSUS

TENTANG HUKUM PIDANA ANAK

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

NAMA NIM NAMA NIM


1. Putri Tania (191320102) 6. Heriyandi (191320124)
2. Dessy Kholidah (191320114) 7. Neny Triany (191320115)
3. Gusti Ramadona (191320015) 8. Shinta Aprilia (191320019)
4. Nopri Piana (191320017) 9. Saidi (191320106)
5. Zia Pratiwi (191320029) 10. M. Ritio Akbar (211322007P)

Kelas : Semester V / A
Jurusan : Ilmu Hukum
Dosen Pembimbing : Atang Mulyadi, S.H.,M.H.

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM RAHMANIYAH SEKAYU


TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah, ini yang membahas
tentang “Tentang Hukum Pidana Anak”. Penyusunan makalah ini dibuat dan
diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Pidana Khusus
Kami menghaturkan terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan
petunjuk, motivasi, dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan . Oleh karena itu, kami mengharapkan tegur sapa, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari seluruh pembaca makalah ini, agar makalah ini dapat
dijadikan pedoman dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan membangun karakter yang baik dalam rangka menunjang
keberhasilan khususnya di bidang pendidikan.

Sekayu, 24 Oktober 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUl……….......………..………………………………..……..……….i
KATA PENGANTAR..……..……...…..………………………………..……...……...ii
DAFTAR ISI ………………..…………..……………..………………….……..….…iii
BAB I PENDAHULUAN...……………...…..………………...………….….……..….1
A. Latar Belakang…………………..……………….….…..………..……...1
B. Rumusan Masalah………………………..…….………..…...….............2
C. Tujuan Penulisan..……………………………...………....………..……2

BAB II PEMBAHASAN.…………….………..…………….………..…….….........…3
A. Kenakalan Anak...................................…….………………………..…3
B. Faktor-faktor Kenakalan Anak.......................……..…...……………...5
C. Pertanggung Jawaban Anak..................................................................9
D. Sistem Peradilan Pidana Anak.....................................................…....10
E. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak………………………...14
F. Lembaga Permasyarakatan Anak………………………………………15

BAB III PENUTUP..………………………………..……………………….………..16


A. Kesimpulan..….……………………………………………..…………16
B. Saran..………………..…………………………………..….…………16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum
dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua,
di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari
orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam
tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang
setara dengan tahun tahun sekolah dasar.

Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum


dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal
yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah .Walaupun begitu istilah ini juga
sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis
dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan
mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan
istilah "anak".

Ada beberapa pengertian kenalakalan anak. Pendapat orang tentang pengertian


kenakalan anak tidak sama. Kenakalan berasal dari kata “nakal” yang berarti kurang
baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya) terutama pada anak- anak. Istilah
lain kenakalan anak adalah juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila) atau
kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-
anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kenakalan Anak ?
2. Apa Faktor-faktor dari Kenakalan Anak ?
3. Apa yang dimaksud Pertanggung Jawaban Anak ?
4. Bagaimana Sistem Peradilan Pidana Anak ?
5. Bagaimana Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak ?
6. Apa yang dimaksud dengan Lembaga Permasyarakatan Anak ?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui tentang Kenakalan Anak
2. Mengetahui Faktor-faktor dari Kenakalan Anak
3. Mengetahui tentang Pertanggung Jawaban Anak
4. Mengetahui Sistem Peradilan Pidana Anak
5. Mengetahui Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak
6. Mengetahui Lembaga Permasyarakatan Anak
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kenakalan Anak

Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan


anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda delinkuen
atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat
mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya : anak-anak, anak muda,
ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent
berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan; yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan
lain-lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan
dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun. Istilah
juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang bervariasi,
namun substansinya sama misalnya : Kartini Kartono mengatakan juvenile
delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere =
jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan
kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari
lingkungannya.
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara
sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja.
Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan Sarlito Wirawan
Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata banyak
menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan
remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy”
dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam
satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang
kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di
Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969,
hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun
petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian,
perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat
perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa
mengindahkan norma-norma lalu lintas.

Menurut Soerjono Soekanto acapkali dibedakan antara dua macam persoalan,


yaitu antara problem-problem masyarakat (scientific of social problems) dengan
problem-problem sosial (amiliorative or social problems). Hal yang pertama
menyangkut analisa tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam masyarakat
dengan maksud untuk memperbaikinya atau bahkan untuk menghilangkannya. Ukuran
pokok dari suatu problem sosial adalah tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran
dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan- kenyataan serta tindakan-tindakan sosial.
Sebagai unsur pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya
perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan kondisi-
kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya kepincangan dan
adanya ketimpangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang
seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein),
pergaulan masyarakat.

Juvenile yang diartikan sebagai anak, dalam hal ini Aristoteles seperti yang
dikutip oleh Kartini Kartono, membagi fase perkembangan dalam 21 tahun dalam 3
septenia (3 periode kali 7 tahun) yang dibatasi oleh gejala-gejala alamiah, yaitu
pergantian gigi dan memunculkan gejala- gejala pubertas.

• Usia 0 – 7 tahun disebut sebagai masa kecil, masa bermain

• Usia 7-14 tahun disebut sebagai masa anak-anak, masa belajar, masa sekolah
rendah.

• Usia 14 – 21 tahun disebut masa remaja, masa pubertas, masa peralihan dari
masa peralihan anak ke masa orang dewasa.

B. Faktor – Faktor Kenakalan Anak


Bila kita berhadapan dengan seorang remaja yang dinilai atau dicap nakal,
antara lain karena perbuatan-perbuatan yang sudah tidak bisa ditoleransi, baik oleh
keluarga maupun lingkungannya, dan kemudian terjerumus dalam perilaku yang tidak
baik seperti penyalahgunaan narkotik, maka kita dirangsang untuk mengetahui
penyebabnya lebih lanjut. Untuk mengubah suatu perilaku, termasuk perilaku yang
tidak dikehendaki, seperti kenakalan dan penyalahgunaan narkotik, perlu pemahaman
akan sumber dan penyebabnya. Sumber dan penyebab timbulnya perilaku nakal dan
penyalahgunaan narkotik dikelompokkan sebagai berikut:

I. Faktor Pribadi
Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak bisa menjadi
sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan
konstitusi, potensi, bakat, atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses
perkembangan, kematangan, atau perangsangan dari lingkungan, menjadi aktual,
muncul, atau berfungsi.

1. Seorang anak bisa bertingkah laku tertentu sebagai bentuk pelarian- pelarian
karena ia mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah.
Kesulitan ini bersumber pada kemampuan dasar yang kurang baik, di mana taraf
kemampuannya terletak di bawah rata-rata. Sehingga ia selalu berada dalam
keadaan tegang, tertekan, dan tidak bahagia. Sehubungan dengan masalah
pelajaran ini, perasaan-perasaan tertekan dan beban yang tidak sanggup dipikul
juga dapat timbul karena berbagai hal yang lain seperti berikut ini.

a. Tuntutan dari pihak orang tua terhadap prestasi anak yang sebenarnya
melebihi kemampuan dasar yang dimiliki anak. Berbagai ungkapan yang
sebenarnya keliru sering terdengar dari orang tua, seperti: "Sebenarnya
anak saya tidak bodoh, tetapi ia malas" atau "Saya tidak mengharap anak
saya mendapat angka 9, asal cukup saja, karena ia sebenarnya bisa."

b. Tuntutan terhadap anak agar ia bisa memperlihatkan prestasi- prestasi


seperti yang diharapkan orang tua. Pada kenyataannya, anak tidak bisa
memenuhinya karena masa-masa perkembangannya belum siap untuk bisa
menerima kualitas dan intensitas rangsangan yang diberikan. Hal ini sering
terjadi pada anak di bawah umur.

c. Tekanan dari orang tua agar anak mengikuti berbagai kegiatan, baik yang
berhubungan dengan pelajaran-pelajaran sekolah maupun kegiatan-
kegiatan lain yang berhubungan dengan pengembangan bakat dan minat.
Seorang anak memperlihatkan sikap-sikap negatif terhadap pelajaran
karena ia harus bersekolah di dua tempat: di sekolah biasa dan di tempat
guru khusus yang waktu belajarnya bahkan lebih lama dari sekolah biasa
daripada di sekolah biasa.

d. Kekecewaan pada anak karena tidak berhasil memasuki sekolah atau


jurusan yang dikehendaki dan yang tidak dinetralisasikan dengan baik oleh
orang tua. Atau kekecewaan pada anak karena ia tidak berhasil
memuaskan keinginan-keinginan atau harapan-harapan orang tua.
Kekecewaan yang berlanjut pada penilaian bahwa harga dirinya tidak perlu
dipertahankan karena orang tua tidak mencintainya lagi.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa masalah yang berkaitan dengan masalah
sekolah, masalah belajar, prestasi, dan potensi (bakat) bisa menjadi sumber
timbulnya berbagai tekanan dan frustrasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan
reaksi-reaksi perilaku nakal atau penyalahgunaan obat terlarang.

2. Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku sikap menentang, sikap tidak


mudah menerima saran-saran atau nasihat-nasihat orang lain, dan sikap
kompensatoris. Kesemuanya itu bisa bersumber pada keadaan fisiknya
(misalnya ada kekurangan atau cacat) yang berbeda sekali dibandingkan
dengan saudara-saudaranya. Dalam hal ini, mudah timbul perasaan tersisih,
kurang diperhatikan, dan tidak bahagia. Suatu keadaan yang mengusik
kebahagiaannya dan mudah muncul berbagai reaksi perilaku negatif.

3. Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku yang merepotkan orang tua dan
lingkungannya dengan berbagai perilaku yang dianggap tidak mampu
menyesuaikan diri. Sumber penyebab hal ini adalah tuntutan-tuntutan yang
berlebihan, keinginan-keinginannya yang harus dituruti, dan tidak lekas puas
terhadap apa yang diperoleh atau diberikan orang tua. Semua hal tersebut
memang mendorong munculnya sikap-sikap yang mudah menimbulkan
persoalan pada anak dan tentunya juga sekelilingnya.

Dalam usaha menghadapi dan mengatasi masalah-masalah seperti tersebut di


atas, perlu dipahami dan dicari sumber permasalahannya (dalam hal ini pada anak)
untuk nenentukan tindakan-tindakan selanjutnya yang tepat. Jika tidak segera diatasi,
hambatan-hambatan dalam perkembangan anak dan reaksi-reaksi perilaku yang
diperlihatkan dapat terus berkembang serta tidak mustahil akan berlanjut menjadi
nakal dan mendorong berbagai perbuatan yang tergolong negatif. Penanganan masalah
perilaku yang dilakukan seawal mungkin, sangat diperlukan. Untuk ini, perlu kerja
sama dari berbagai pihak, termasuk guru atau pihak sekolah-- yang mengamati anak
sekian jam setiap hari --, lingkungan sosial anak, dan khususnya orang tua anak itu
sendiri.

II. Faktor Keluarga

Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat. Meskipun
demikian, peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-
awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian
selanjutnya. Anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya,
tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, dan tidak bisa
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Jadi, ia tergantung sepenuhnya dari
lingkungan hidupnya, yakni lingkungan keluarga, dan lebih luas lagi lingkungan
sosialnya. Anak yang baru dilahirkan bisa diibaratkan sebagai sehelai kertas putih yang
masih polos. Bagaimana jadinya kertas putih tersebut pada kemudian hari tergantung
dari orang yang akan menulisinya.

Tatapan mata, ucapan-ucapan mesra, sentuhan-sentuhan halus, kesemuanya


adalah sumber-sumber rangsangan untuk membentuk sesuatu pada kepribadiannya.
Lingkungan keluarga acap kali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang
memengaruhi berbagai aspek perkembangan anak. Adakalanya, hal ini berlangsung
melalui ucapan-ucapan atau perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk
menunjukkan apa yang seharusnya diperlihatkan atau dilakukan oleh anak. Adakalanya
pula, orang tua bersikap atau bertindak sebagai patokan, sebagai contoh atau model
agar ditiru. Kemudian, apa yang ditiru akan meresap dalam diri anak dan menjadi
bagian dari kebiasaan bersikap dan bertingkah laku, atau bagian dari kepribadiannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, orang tua jelas berperan besar dalam
perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan
dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang
setelah dewasa.

III. Lingkungan Sosial dan Dinamika Perubahannya


Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang
peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi
kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam
keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam keluarga dengan
lingkungannya perlu diperkecil agar tidak timbul keadaan timpang atau serba tidak
menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya perilaku tanpa kendali, yakni
penyimpangan dari berbagai aturan yang ada.

Lingkungan pergaulan anak adalah sesuatu yang harus dimasuki karena di


lingkungan tersebut seorang anak bisa terpengaruh ciri kepribadiannya, tentunya
diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik. Di samping itu, lingkungan pergaulan
adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat.
Karena itu, lingkungan sosial sewajarnya menjadi perhatian kita semua, agar bisa
menjadi lingkungan yang baik, yang bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau
patologis pada anak maupun remaja.
C. Pertanggung Jawaban Anak
- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas usia anak yang bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini,
menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8
hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
- "Menyatakan frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan
Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 tahun,” tutur Ketua
MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta,
Kamis (24/2).
- Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas
umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak
terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan usia
minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi
anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.

- “Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26
ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva melanjutkan.
- Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan
intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.
Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh
berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B
ayat (2) UUD 1945.
- “Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1)
dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan
Anak adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali harus
dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum
pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.
- Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum mencapai
18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian. Namun, pasal itu
merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.
- Dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita (melebihi
apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu kesatuan sistem.
Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka pasti akan berpengaruh terhadap pasal- pasal lain yang tidak diuji.
- “Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan agar
tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.”
- Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam Pasal
1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) UU
Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.

D. Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan


hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal
pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan
Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli
2014.

UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997


tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud
peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai


penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-
Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:


1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4
UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU
SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban
dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan
perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak
terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan
menghadapi sistem peradilan pidana.

2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun
(Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15
tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU
SPPA):
• Pengembalian kepada orang tua/Wali;
• Penyerahan kepada seseorang;
• Perawatan di rumah sakit jiwa;
• Perawatan di LPKS;
• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
• Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
• Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA): Pidana Pokok terdiri
atas:
- Pidana peringatan;
- Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;
- Pelatihan kerja;
- Pembinaan dalam lembaga;
- Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
- Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat
Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.

3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya
dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika
masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban


UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat
memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang
dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik
atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat
dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan
melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual.
Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang
tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58
ayat (3) UU SPPA].

6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum


UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah
dilakukan. Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan,
baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di
pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh
orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap
tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku
tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3)
UU SPPA).

E. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak


Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasaan dan diskriminasi.

Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan tujuan


perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut:

Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip- prinsip
dasar konvensi hak anak meliputi:
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
4. Penghargaan terhadap anak.

Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak- hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan
sejahtera.

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga,


masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak
menentukan: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.” Kewajiban dan
tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:
1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 23);
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)

F. Lembaga Permasyarakatan Anak

Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan
tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak. Walaupun demikian, baik
UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di
Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka
yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun
(Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU
Pengadilan Anak).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi, kesimpulan yang kami dapatkan setelah menulis makalah ini adalah.
Bahwa sebenarnya seorang anak perlu bimbingan dari orang tua dan guru bukan hanya
sekedar bimbingan formal disekolah dan bukan hanya pelajaran formal saja yang
dibutuhkan oleh anak, melainkan juga pelajaran mental, etika dan pelajaran diluar
sekolah. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada orangtua dan guru atau wali serta
pembimbing agar menyertakan setiap pelajaran pelajaran atau nilai nilai kesusilaan
serta moral, agar supaya anak terebut mendapatkan peljaran yg baik dan benar didalam
lingkungan sekolah, serta mendapatkan pula pelajaran yang baik diluar lingkungan
sekolah.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan
dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun sangatlah penulis harapkan terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah
ini dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang,
semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah wawasan kita.
DAFTAR PUSTAKA

Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.

Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV. Rajawali,


Jakarta, 1986, hlm 209.

Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung, 1977,
hlm.292.

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994, hlm. 200

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981, hlm.395- 396

Soerjono Soekanto, op.cit, hlm:368-369. Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 385-386

Anda mungkin juga menyukai