Anda di halaman 1dari 32

iF="

· '1;4
•41 40;
7

4'4

frr•
'14Ni, 10

·011-4100`v

'

A t • •

..A\ load
't A; ;14,

n Betapa singkat hidup Kai


gagasan progresifnya. Te
Bupati Jepara Raden Mas

a

WWII
meninggal pada usia 25 t

1
1 anaknya, Soesalit. Dia mi

,:. ,
; t

t . . .
), menyenangkan, menikm
bergaul dengan teman-te
e

6 bulan, Kartini tak kuasi

AP
. IP
Perempuan Jawa ini mess

,! /1,4
-.)1111111111011.1.11111
Pertanyaan
Letsy yang Tak
Terlupakan
Sejak kecil, Kartini tak bisa diam. Dia lincah,
usil terhadap guru-gurunya, dan memiliki rasa
ingin tahu yang besar.

SUATU siang seusai pelajaran sekolah, seorang gadis


Belanda jangkung dan pirang di Europeesche Lagere School,
Letsy Detmar, asyik membaca buku di bawah pohon.
"Ayo Letsy, ceritalah, apa saja bacakan sedikit dari bu-
kumu," ujar seorang anak perempuan berkulit sawo matang,
dengan rasa ingin tahu yang meluap-luap.
Dialah Kartini, salah satu murid pribumi perempuan di
sekolah itu.
Letsy bercerita, dia membaca buku bahasa Prancis, agar
dapat masuk ke sekolah guru di Belanda. Letsy kemudian ba-
lik bertanya kepada Kartini.
"Tetapi Ni, kau belum pernah cerita kepada saya, akan
jadi apakah kau nanti."
Pertanyaan Letsy, seperti yang dituturkan Kartini dalam
suratnya kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900, tidak
dapat dilupakannya. Sebab, kemudian, saat Kartini bertanya
kepada ayahandanya, menjadi apakah dirinya nanti, sang
ayah menjawab, "Raden ayu!" Jawaban ini agaknya malah
menjadi tanda tanya besar di benak kepalanya: Seperti apa
kehidupan raden ayu itu?
Inilah jawaban yang kelak malah membangkitkan jiwa
Kartini untuk berontak terhadap peraturan-peraturan. Bah-
wa menjadi raden ayu berarti seorang gadis harus kawin,
harus menjadi milik seorang laki-laki, tanpa mempunyai hak
untuk bertanya apa, siapa, dan bagaimana.
Kartini memang pribadi yang tampaknya memiliki jiwa
gelisah dan rasa ingin tahu besar. Berdasarkan cerita adik-
nya, Kardinah, semenjak kecil Kartini adalah anak yang eng-
gan diatur. Sehari-hari dia sangat lincah, gesit, dan pandai.
Dia suka bermain di kebun, meloncat-loncat, berlari-lari, dan
mudah bergaul. Kebiasaan ini juga digambarkan Kartini da-
lam sebuah surat.
"Saya dinamakan kuda kore, kuda liar, karena saya jarang
berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari," kata
___ • 1 1 . 1 ttC11-e-.11e," eNi^t Ana ea ell'
Dobrakan dalam
Pingitan
Pingitan merenggut masa kecil Kartini.
Membawanya menuju gagasan perlawanan.

KARTINI berlari menuju kamarnya, tak kuasa menahan


air mata. Dia merayap ke kolong tempat tidur, menyendiri
dalam kesedihan. Beberapa saat sebelumnya, dia masih
berlutut di hadapan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke
Hogere Burgerschool (HBS, setingkat sekolah menengah) di
Semarang. "Tidak," jawab sang ayah tegas.
Kala itu, awal 1892, Kartini yang baru saja lulus
Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang
Eropa) sedang galau. Di usianya yang belum genap 13 ta-
hun, dia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan.
Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari
kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa,
serambi saja hanya sesekali diinjaknya. Itu pun sebentar.
Perlahan Kartini menyadari keputusasaan dan tangis-
annya tiada berguna. Belakangan dia bersyukur karena pi-
ngitan tak menjadi penghalang untuk meneruskan kege-
marannya sedari kecil: membaca. Di dalam "kurungan",
dia melahap habis buku-buku modern kiriman RM Panji
Sosrokartono, kakak kandungnya yang "lebih beruntung"
karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga
Universitas Leiden, Belanda.
Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel)
langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah
dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial,
politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan
jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tanpa sadar, segala
bacaan itu telah mendidiknya—yang selama ini seakan-
akan menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari
pendidikan — untuk berjuang mendobrak tradisi yang
menindas kaum perempuan.
Tiga Mendobrak
Tradisi
Bersama kedua adiknya, Roekmini dan
Kardinah, Kartini melewati masa pingitan
sambil memikirkan pembebasan kaum
perempuan. Beruntung memiliki ayah
berpikiran progresif.

BERDIRI di tengah perkampungan Dukuh Kedungpenjalin,


Desa Karanggondang, Kecamatan Mlonggo, Gereja Injili di
Tanah Jawa (GITJ) Dukuh Kedungpenjalin menyimpan se-
jarah panjang. Tak hanya menjadi gereja tertua di Jepara,
rumah ibadah yang dibangun pada 1863 itu juga pernah
menjadi saksi bisu kehadiran Bupati Jepara Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat serta tiga putrinya, Kartini,
Roekmini, dan Kardinah.
"Konon, Kartini bersama ayahnya datang saat acara
penahbisan John Hubert asal Rusia," ujar Suyitno Basuki,
pendeta GITJ Dukuh Kedungpenjalin, kepada Tempo. Ber-
dasarkan kesaksian sejumlah pemimpin gereja terdahulu,
Sosroningrat diundang ke acara itu karena kedekatannya de-
ngan orang-orang Belanda.
Dalam surat kepada sahabat penanya, Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini bercerita, pada 1896, dia dan dua
adiknya diajak sang ayah menghadiri upacara pembaptisan
sebuah gereja bare di Kedungpenjalin. Peristiwa itu ter-
jadi pada 1896 dan usianya masih i6 tahun. Apa pun alas-
annya, bagi Kartini, kehadiran dia di gereja yang menjadi
bagian dari Badan Misionaris Belanda atau Doopsgezinde
Zendingsvereniging untuk wilayah sekitar Gunung Muria itu
merupakan fase paling menggembirakan dalam hidupnya.
Setelah 4 tahun terkungkung sendirian di batik tembok
tebal sebagai gadis pingitan, inilah untuk pertama kalinya
Kartini melihat dunia luar kembali. "Ya, Tuhan, terima kasih!
Tuhan, terima kasih! Aku bisa keluar dari penjara sebagai
seorang yang bebas," kata Kartini dalam surat pertama yang
dikirimkan kepada gadis Belanda yang dia kenal lewat iklan
di majalah De Hollandsche Lelie itu. Kegembiraannya tak
berkurang, meskipun sepulang dari sana dia dan dua adiknya
harus kembali masuk pingitan.
Dalam suratnya, Kartini mengakui inilah masa-masa
penuh kebahagiaan. Meski tetap harus menjalani pingitan,
dia lebih optimistis. Kini ada Roekmini dan Kardinah yang
menemaninya. Setelah kakak perempuannya, Soelastri, me-
ninggalkan rumah untuk menikah dengan Raden Ngabei
Tjokroadisosro, putra Bupati Semarang Raden Tumenggung
Tjokrodipoero, dia langsung pindah ke kamar sang kakak.
Roekmini dan Kardinah lalu diminta tinggal bersamanya.
Di kamar itu, Kartini, Roekmini, dan Kardinah, yang beda
usianya masing-masing 1 tahun, setiap hari saling bercerita,
bersenda gurau, dan belajar bersama. Ini hal yang tabu dila-
kukan di zamannya. __
116a oaLiu.c.4.4. Lt.

Semangat Kartini memperjuangkan kesejahteraan


bangsanya, terutama kaum perempuan, juga merasuki jiwa
Roekmini dan Kardinah. Empat tahun dipingit sendirian
memberi cukup banyak waktu bagi Kartini untuk memahami
bahwa kemajuan bangsa tidak mungkin tercapai tanpa
mengangkat kaum perempuan dari kekolotan. Seperti di
masa kanak-kanak, Roekmini dan Kardinah dengan penuh
keyakinan menyatakan ikut berjuang bersama Kartini me-
merangi musuh bersama, yakni feodalisme, poligami, kawin
paksa, dan perceraian sewenang-wenang.
Semangat kakak-adik itu kian menyala ketika, pada 2
Mei 1898, sang ayah membebaskan mereka dari pingitan.
Hari itu tiga serangkai Kartini, Roekmini, dan Kardinah
diajak ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu
Wilhelmina. Untuk pertama kalinya mereka bertiga keluar
dari Jepara. "Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi aku
toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak
bergantung pada orang lain," tulis Kartini tentang hari itu.
Sekolah Beranda
Belakang
Kartini mendirikan sekolah pertama untuk
gadis Jawa di Hindia Belanda. Selain belajar
baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti,
kerajinan tangan, dan memasak.

MEMASUKI beranda di belakang rumah dinas Bupati Jepara,


waktu seolah-olah mundur sekitar 110 tahun. Di beranda
seluas 7 x 13 meter yang menghadap taman itulah Kartini
merintis sekolah keputrian bagi pribumi. "Beranda itu
menjadi saksi bisu rintisan Kartini membuka sekolah putri
pertama bagi pribumi," kata Hadi Priyanto, penulis buku
Kartini Pembaharu Peradaban, awal April 2013.
Pemerintah Jepara masih mempertahankan beranda itu
seperti sediakala. Meski tak asli lagi, deretan kursi belajar
dan meja mengajar ditata persis dengan saat digunakan ke-
giatan belajar-mengajar oleh Kartini dulu. Ruangan terbuka
yang menggunakan peneduh itu masih utuh meski peman-
faatannya sekarang berbeda: menjadi tempat rapat ibu-ibu
Dharma Wanita atau PKK Kabupaten Jepara. "Kami pun
membiarkan tempat duduk kursi model belajar, berusaha
mempertahankan seperti sediakala," ujar istri Bupati Jepara,
Chuzaimah Marzuki.
Awalnya, beranda yang menempel pada bangunan utama
itu adalah tempat Kartini dan adik-adiknya belajar mengaji.
Pada 1903, Kartini menyulap beranda keluarga itu menjadi
sekolah bagi gadis pribumi. Saat dibuka pertama kali pada
Juni 1903, sekolah itu hanya diikuti satu orang.
Meski tak mudah, Kartini terus menghubungi para
orangtua yang mempunyai putri untuk dididik di sekolah
itu. Usahanya membuahkan hasil. Setelah berjalan lebih dari
sepekan, muridnya bertambah menjadi lima. Anak-anak itu
berasal dari kalangan priayi Jepara, bahkan satu di antara-
nya putri jaksa Karimun Jawa. Melalui suratnya bertarikh 4
Juli 1903, Kartini mengabarkan kepada Nyonya Abendanon
dengan begitu gembira: "Sekolah kami sudah mempunyai
tujuh murid dan permintaan baru terus mengalir. Menggem-

birakan, bukan?" _
100

4, (p
Num,
ftips%

a•
Setelah Pertemuan
di Pantai Bandengan
Keinginan Kartini melanjutkan studi Ice Belanda
kandas setelah bertemu dengan Abendanon.
Jalan tengahnya, di Batavia saja.

SEMUA bermula dari Klein Scheveningen—orang menge-


nalnya sebagai Pantai Bandengan—sekitar 7 kilometer ke
arah utara Jepara, Jawa Tengah. Di pantai berpasir putih
itu, Raden Ajeng Kartini berbincang empat mata dengan
Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pen-
didikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, pejabat se-
tingkat menteri. Abendanon begitu dekat dengan keluarga
besar Kartini. Putri Jepara itu menganggapnya sebagai ayah
angkat.
Hari itu, 24 Januari 1903, Abendanon sedang melakukan
perjalanan dinas ke beberapa tempat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Atas permohonan Kartini, dia singgah
ke Jepara. Mereka berdiskusi tentang rencana Kartini
dan Roekmini, adiknya, melanjutkan belajar ke Negeri
Belanda. Kartini bermal:sud meminta saran Abendanon atas
keberangkatan terse but.
Kartini clan Roekmini telah mengantongi beasiswa untuk
belaiar ke Belanda. Berkat bantuan seorang anggota parte-
men Belanda yang sangat penting dan berpengaruh, Henri
linbertus van Kol, Menteri Jajahan alias Menteri Seberang
Lautan Alexander Willem Frederik Idenburg berjanji mem-
berikan subsidi.
Tapi, sungguh tak dinyana. Pertemuan di Klein
Scheveningen menjadi awal petaka bagi kedua putri Bupati
Jepara Raden Mas Ario Sosroningrat itu. Abendanon sukses
meyakinkan Kartini bahwa pergi ke Belanda sama sekali
tidak menguntungkan, bahkan dapat merugikan cita-cita-
nya. "Jadi, sebaiknya Kartini tidak usah ke Belanda," kata
Abendanon, seperti tertulis dalam buku Kartini: Sebuah Bio-
grafi karya Sitisoemandari Soeroto.
Alasan Abendanon secara rinci diungkapkan dalam surat
Kartini kepada Eddy Abendanon, putra Abendanon. Eddy,
yang sebaya den an Kartini, adalah sahabat penanya. Surat
kepada Eddy dilayangkan 2 hari setelah pertemuan.
Pertama, Abendanon beralasan, kalau Kartini dan
Rpinnda selama beberapa tahun,
Pertama, Abendanon beralasan, kalau Kartini dan
Roekmini pergi ke Belanda selama beberapa tahun,
mereka akan dilupakan masyarakat. Padahal, mereka ingin
mengabdi kepada bumiputra. Kedua, ayah Kartini telah
sepuh dan kondisi kesehatannya kurang balk. Ketiga, di
Belanda dua bersaudara ini akan menemui banyak kesulitan
yang belum bisa diperkirakan. Keempat, mereka akan dicap
sebagai "nona Belanda" sekembali ke Tanah Air. Bila hal
itu terjadi, pribumi tidak akan mempercayakan anak-anak
gadisnya belajar kepada mereka, sehingga sekolah yang
diimpikan Kartini kemungkinan besar akan gagal.
TN - ri A 1 .cvi % el a ri nn m Pn Va rankan lebih baik
.. -
WM. M" •nn •nnn

Kekecewaan yang mendalam membuat Kartini sakit ke-


ras. Sekitar 2 pekan dia absen menulis kabar. Surat terak-
hirnya tertanggal 17 Februari 1903 kepada Abendanon dan
surat berikutnya, 4 Maret 1903, kepada Rosa Abendanon,
istri Abendanon. "Saya menderita sakit kepala rematik yang
11111104•4111Lirl 31.4CF wia r-wv•-"

sangat nyeri, berkali-kali saya kejang karena nyeri," tulis


Kartini.
ang Bupati
Serangkaian Syarat
untuk S
Batal sekolah ke Belanda, hidup Kartini kembali
berbelok ke arahyang tak diduga. Dengan
sejumlah syarat, dia mengambil jalan lain dan
menerima lamaran Adipati Djojoadiningrat.

DI tengah kegundahan, Kartini menunggu jawaban atas per-


mohonannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
untuk bisa melanjutkan sekolah ke Batavia. Dia terpaksa
melepas beasiswa ke Belanda bersama adiknya, Roekmini.
Akhirnya, kompromi terbaik yang bisa diharapkan adalah
menempuh pendidikan guru di sekolah lanjutan tingkat me-
nengah atau Hogere Burgerschool (HBS) di kota itu. Tapi,
utusan yang datang membawa lamaran dari Bupati Rembang
itu sekali lagi menghadapkan Kartini pada sebuah persim-
pangan.
Putri Jepara itu heran bahwa ada seorang bupati yang
ingin mempersuntingnya. Kartini menganggap dia bukanlah
tipe ideal bagi seorang petinggi pribumi. Umurnya sudah 24
tahun—usia yang dalam pandangan orang Jawa, saat itu, su-
Lamaran yang datang mendadak ini seketika membuat
Kartini tertekan. Dia memohon waktu 3 hari untuk merenung
dan mempertimbangkan masa depannya. "Ah, mengapa hams
ada penghalang lagi di jalanku? Ini sungguh aneh," melalui
salah sate suratnya kepada Nyonya De Booy-Boissevain,
Roekmini menuliskan keluhan Kartini yang dia dengar.
"Dalam 3 hari itu, Kartini melakukan sesuatu yang tak
lazim bagi seorang perempuan anak pejabat pada masanya,"
kata sejarawan Hilmar Farid dalam diskusi bersama Tempo.
Kartini meneliti dan mencoba mengenal lebih jauh siapa dan
latar belakang pria yang melamarnya. "Menurut surat-surat
adiknya, Kartini bahkan mencoba berkomunikasi dengan
Adiningrat—hal yang tak pernah terjadi sebelumnya di
kalangan bangsawan."
Walau demikian, Kartini tak menerima lamaran itu
tanpa menawar. Dia mencoba mengajukan sejumlah syarat
kepada calon suaminya. Dia bersedia diperistri hanya jika
Bupati Rembang menyetujui gagasan dan cita-citanya.
Kartini juga meminta diperbolehkan membuka sekolah dan
mengajar putri-putri pejabat Rembang, seperti yang dia
lakukan di Jepara. Kartini juga berencana membawa serta
seorang ahli ukir Jepara ke rumah untuk mengembangkan
kerajinan itu secara komersial di sana.
Syarat lain yang disodorkannya dianggap lebih radikal.
Menyangkut upacara pernikahan, Kartini tak mau ada
prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki
mempelai pria. Terakhir, dia akan berbicara dalam bahasa
Jawa ngoko dan bukan kromo inggil kepada suaminya,
sebagai penegasan bahwa seorang istri haruslah sederajat.
Semua syarat itu ternyata diterima Djojoadiningrat. Se-
lain karena pandangan modernnya, merujuk pada cerita
yang berkembang di Jepara, Sitisoemandari menulis bahwa
Djojoadiningrat telanjur menganggap Kartini sebagai "wasiat
jatinya". Dia perempuan yang dikagumi mendiang istrinya,
Soekarmilah. Sebelum meninggal, sang istri berpesan kepa-
danya agar menikah dengan Kartini demi anak-anak mereka.
Kartini Radar -nil*, annva tniz- hanira rripmirniic haranan-
Misteri 30 Menit
Terakhir
Empat hari setelah melahirkan, Kartini
menin' ggal di pelukan Djojoadiningrat. Beragam
dugaan berkembang seputar kematiannya.

DI atas dipan jati cokelat berukir, Djojoadiningrat mendekap


Kartini. Pada 17 September 1904 itu, di kamar utama kadi-
paten yang berukuran 5 x 6 meter, perempuan yang baru
dinikahinya 10 bulan tersebut perlahan menutup mata untuk
selamanya. Usianya baru 25 tahun. "Pikirannya masih jernih
dan sampai detik terakhir is masih sadar sepenuhnya," tulis
Bupati Rembang itu, 12 hari kemudian, ketika mengabarkan
kematian istrinya kepada Jacques Henrij Abendanon, direk-
tur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia
Belanda.
Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum ajal
menjemput, istrinya masih sehat. Dia hanya mengeluh
perutnya tegang. Van Ravesteijn, dokter sipil dari Pati,
datang dan memberinya obat. Setelah itu, tiba-tiba
ketegangan di perut Kartini menghebat dan 30 menit
kemudian dia meninggal. "Dalam pelukan says dan di
hadapan dokter."
1-41 1 1 11 • . .
Kematian mendadak itu tak cuma mengejutkan, tapi
dengan segera memicu rumor bahwa Kartini mati diracun.
Bouman bahkan sempat melakukan penyelidikan perihal
kematian misterius itu. Dari seorang kawannya yang kenal
Ravesteijn, dia mendapat informasi bahwa Ravesteijn adalah
dokter yang tidak dapat dipercaya. "Kudanya saja tidak akan
dipercayakan kepada dokter itu," ujarnya seperti dikutip
Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi
(cetakan kedua, 1979).
Hingga kini, dugaan itu tak pernah terbukti. Ketua
Masyarakat Sejarah Indonesia Kabupaten Rembang Edi
Winarno menganggap kecurigaan itu tak berdasar. Menurut
dia, tidak ada alasan bagi orang di sekitar Kartini untuk
membunuhnya.
Karena bukti yang tak cukup, Saparinah Sadli, penulis
buku Kartini Pribadi Mandiri, cenderung sependapat
dengan dugaan bahwa kematian itu memang dipicu
oleh gangguan kesehatan setelah melahirkan. "Sekarang
saja masih banyak kasus serupa, apalagi dulu ketika ilmu
kedokteran masih belum maju," katanya.
Salah satu kemenakan Kartini, Sutiyoso Condronegoro,
mengakui santernya isu miring seputar kematian Kartini.
Tapi, keluarganya lebih suka menganggapnya sebagai
hal lumrah akibat proses kelahiran yang berat. "Desas-
desus itu tidak bisa dibuktikan," ucapnya seperti dikutip
Sitisoemandari.

d
i
Kolom
Kartini dan Ruang
dalam Bangsa
Hilmar Farid
Sejarawan

SETELAH membaca kembali himpunan surat-surat Kartini,


saya sempat berpildr apa yang kira-kira terjadi seandainya
dia waktu itu akhirnya berangkat ke Eropa untuk melanjut-
kan sekolah. Apakah dia akan jadi terasing di negeri orang
lain lalu kembali ke negerinya sebagai orang asing, seperti
yang dikhawatirkan Jacques Abendanon? Atau dia akan
baik-baik saja seperti banyak perempuan lain dari negeri
jajahan yang bersekolah di Eropa saat itu dan kembali ke
negerinya untuk memimpin gerakan pendidikan, seperti
Soewardi Soerjaningrat? Atau dia akhirnya memilih menetap
di Eropa dan di bawah pengaruh sahabat penanya, Stella
Zeehandelaar, kemudian bergabung dengan SDAP (partai
buruh sosial demokrat) mewakili kaum imigran?
Pembebasan perempuan selama ini sexing dibayangkan
sebagai kesetaraan dalam kesempatan untuk mendapat pe-
kerjaan atau kebebasan dalam menentukan pasangan atau
tidak berpasangan. Kartini memang memperjuangkan semua
itu dan gagal dalam urusan yang terakhir. Tapi, pembebasan
yang dibayangkannya jauh lebih dari itu. Dia tidak menuntut
diakui dalam penulisan sejarah yang ada, tapi dengan surat-
suratnya dia menulis ulang sejarah dan mengarahkannya
pada "ruang dalam" yang selama ini dianggap sekunder atau
kurang penting. Persoalan, baginya, bukanlah agar urusan
mendidik dan membesarkan anak ditanggung bersama oleh
laki-laki dan perempuan, melainkan agar masalah mendidik
dan membesarkan anak tidak lagi dianggap sekunder. Jika
membaca himpunan surat-suratnya, kita menangkap bahwa
politik Kartini adalah soal merawat "ruang dalam" bangsa.
Kartini memang tidak angkat senjata atau memimpin pe-
merintahan seperti banyak "pahlawan nasional" di luar sana.
Dia tidak menggalang massa atau menyerukan pemberon-
takan. Tapi, tulisannya menggambarkan perjuangan panjang
di "ruang dalam" yang belum selesai sekalipun kemerdekaan
di "ruang luar" sudah tercapai. Relevansi dari pemikiran dan
perbuatannya sangat terasa sekarang saat politik semakin
maskulin serta hanya berputar pada soal perebutan kuasa
dan sumber daya, sementara "ruang dalam" bangsa semakin
porak-poranda.
Kartini memang tunduk pada permintaan ayahnya
untuk menerima lamaran Bupati Rembang dan menabrak
semua prinsip yang dipegangnya. Tapi, bukan berarti dia
kalah. Perjuangan tidak diukur dari berapa kali seseorang
jatuh, tapi keteguhannya untuk terus menapak jalan yang
dirintisnya, sekalipun nyawa taruhannya. Dalam
kesedihannya dia menulis, "Dan, seandainya aku terlahir
kembali di dunia dan diberi kesempatan memilih, aku akan
sekali lagi menjadi perempuan."

Anda mungkin juga menyukai