Anda di halaman 1dari 53

245

Media Ilmu Kesehatan Vol. 8, No. 3, Desember 2019

KEPERAWATAN KRITIS

ANALISA PICO

Disusun Oleh :
( A12-B )

1. Ni Kadek Pebby Purnama Dewi ( 18.321.2882 )


2. Ni Komang Trsina Novitayanti ( 18.321.2891 )
3. Ni Luh Nyoman Dewi Meliani (18.321.2894 )

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021

Pengaruh Healing Gardens Terhadap Penurunan Kecemasan Pasien Di Rumah Sakit Swasta Yogyakarta Fransisca
Anjar Rina Setyani, Siwi Ikaristi Maria Theresia
Media Ilmu Kesehatan P-ISSN 2252-3413, E-ISSN 2548-6268
246
Media Ilmu Kesehatan Vol. 8, No. 3, Desember 2019

PENGARUH HEALING GARDENS TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PASIEN


DI SALAH SATU RUMAH SAKIT SWASTA YOGYAKARTA

INFLUENCE OF HEALING GARDENS TO DECREASING PATIENT ANXIETY IN ONE


OF PRIVATE HOSPITAL YOGYAKARTA

Fransisca Anjar Rina Setyani 1*, Siwi Ikaristi Maria Theresia2

*1Stikes Panti Rapih Yogyakarta, Jl. Tantular No 401, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta, email:
fransiscaanjarrina@gmail.com, Indonesia
2
Stikes Panti Rapih Yogyakarta, Jl. Tantular No 401, Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta, email:
siwi_theresia@yahoo.co.id, Indonesia

ABSTRACT
Background: Chronic disease often cause patients feeling anxious in which it give negative consequences on their
physical, emotional, social, intelectual and spiritual condition. Nurse can applay complementary therapy such as healing
gardens to reduce patient anxiety level. Healing gardens can give comfortable situation, therfore it can improve
relaxtation and reduce stress that can make hospitalization shorter. Some researres, results show that healing gardens can
improve relaxtation and reduce patients anxiety who are sick.
Objective: To identify the relationship between healing gardens toward reducing chronic patients anxiety level in one
of Private Hospital in Yogyakarta.
Methods: Research design which was done was observation. Population in this research were all chronical hospitalized
patient in in one of Private Hospital in Yogyakartaa from August to October 2015. Total sample in this research were
30 respondens who are choosed randomly.
Results: The test result of data analysis on the difference of before and after experiencing healing gardens showed p
value 0.000 (p value < 0.05), means that healing gardens can reduce chronical panients anxiety level.
Conculsion: Healing gardens can reduce anxiety level in chronic illnes patients. Hospital should applay
healing gardens toward chronical patients in order to reduce patient anxiety level.

Key words: anxiety, chronic disease, healing gardens.

PENDAHULUAN antisipasi. Ansietas terdiri dari empat tingkatan


Stres adalah salah satu kondisi ketika yaitu ansietas ringan, ansietas sedang ansietas
individu berhadapan dengan stimulus yang berat dan panik.2 Kecemasan dapat disebebkan
menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi oleh beberapa hal, salah satunya adalah penyakit
fisiologis dan psikologis.1 Stres dapat berdampak yang sudah kronis. Kecemasan merupakan salah
pada fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. satu respon yang umumnya terjadi pada pasien
Salah satu manifestasi psikologis stres adalah yang mengalami kondisi sakit terutama yang
2
ansietas atau kecemasan. Kecemasan adalah satu mengancam jiwa dimana hal tersebut dapat
kondisi kegelisahan mental, keprihatinan, menyebabkan perubahan yang besar pada aspek
ketakutan atau firasat atau perasaan putus asa emosional dan
karena ancaman yang akan terjadi atau masih
dalam

Pengaruh Healing Gardens Terhadap Penurunan Kecemasan Pasien Di Rumah Sakit Swasta Yogyakarta Fransisca
Anjar Rina Setyani, Siwi Ikaristi Maria Theresia
Media Ilmu Kesehatan P-ISSN 2252-3413, E-ISSN 2548-6268
tingkah laku, seperti kegelisahan, syok, sehingga dapat meningkatkan relaksasi,
3
penolakan, kemarahan atau menarik diri. menurunkan stres pasien sehingga waktu
Pada pasien yang mengalami penyakit kronis, pemulihan sakit menjadi lebih cepat. Healing 7

pasien akan mengalami suatu ketidakberdayaan gardens akan menstimulasi pengeluaran


atau kerugian akibat penatalaksanaan terapi yang edorphine dari dalam tubuh sehingga akan
kompleks, hal inilah yang akan menimbulkan menimbulkan efek relaksasi, meningkatkan mood
dampak pada peningkatan kebutuhan pada yang positif sehingga dengan kondisi tersebut
finansial untuk meningkatkan kesehatannya, hal respon stres (stresor) akan menurun.7,8 Selain
ini secara tidak langsung akan menimbulkan menstimulasi pengeluaran endorphine, healing
kondisi stres bagi individu.4 Pada pasien yang gardens juga akan menurunkan kecemasan
menderita penyakit kronis dan mengalami stress, dengan jalan mempengaruhi korteks cerebri dan
perawat dapat membuat intervensi untuk sistem limbik sehingga hipotalamus menurunkan
membantu klien dan keluarganya beradaptasi produksi CRH (Corticotropic Releasing
terhadap stres karena stresor seringkali jarang Hormone), dengan menurunnya produksi CRH,
dapat diubah. Salah satu intervensi keperawatan maka produksi ACTH di pituitary anterior juga
yang dapat digunakan untuk mengurangi akan menurun, hal ini akan menimbulkan dampak
kecemasan adalah menciptakan lingkungan yang pada penurunan produksi kortisol di korteks
menyembuhkan.1 Selain itu, perawat juga dapat adrenal, yang menimbulkan efek pada tubuh
menggunakan terapi komplementer untuk antara lain tekanan darah, nadi dan respirasi
menurunkan tingkat kecemasan pasien. Salah dalam rentang yang normal.8
satu terapi komplementer yang dapat digunakan
Beberapa hasil penelitian yang pernah
untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien
dilakukan menunjukkan bahwa healing gardens
adalah healing gardens. Terapi komplementer
dapat meningkatkan relaksasi dan menurunkan
terdiri dari semua aspek praktek yang digunakan
tingkat kecemasan pada pasien yang mengalami
untuk mencegah atau mengobati penyakit dan
kondisi sakit. Healing garden adalah suatu
meningkatkan kesehatan dan
tempat yang memberikan fasilitas untuk
5
kesejahtaeraan.
mengembalikan kesehatan mental dan fisik
Lingkungan yang menyembuhkan (healing 9
seseorang. Healing garden dapat membuat
gardens) adalah suatu manipulasi lingkungan mood yang positif pada pasien sehingga dapat
yang memungkinkan pasien bisa istirahat dan meningkatkan relaksasi, menurunkan stres pasien
rileks.1,6 Healing gardens dapat membuat mood sehingga waktu pemulihan sakit menjadi lebih
yang positif pada pasien cepat.7
Tujuan penelitian ini adalah: untuk Tingkat kecemasan diukur dengan menggunakan
menganalisis tingkat kecemasan pasien dengan alat pengumpul data yaitu HAM-A (Hamilton
penyakit kronis sebelum dan sesudah dilakukan Anxiaty Rating Scale).
healing gardens serta menganalisis perbedaan
tingkat kecemasan pasien kronis sebelum dan HASIL DAN PEMBAHASAN
sesudah dilakukan healing gardens di salah satu
Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta. Tabel 1. Karakteristik Responden
Frekuensi
No Variabel n
1 Jenis Kelamin
Laki-laki 16 53%
METODE Perempuan 14 47%
2 Usia
Penelitian ini menggunakan desain Dewasa awal 1 3,3%
Dewasa akhir 4 13,3%
observasional, dimana peneliti hanya melakukan
Lansia awal 11 36,7%
observasi untuk mengetahui ada tidaknya Lansia akhir 4 13,3%
Manula 10 33,3%
perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan 3 Diagnosa Medis
sesudah dilakukan healing gardens. Stroke 5 16,7%
CKD 4 13,3%
Populasi dalam penelitian ini adalah semua CHF 3 10%
DM 4 13,3%
pasien yang menderita penyakit 10%
HT 3
Cancer 5 16,7%
Lain-lain 6 19,8%
kronis dan menjalani rawat inap di salah satu Sumber data : Data Primer Tahun 2015

Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta pada Bulan 15 Hasil penelitian dilihat dari jenis kelamin

Agustus – 17 Oktober 2015. Jumlah sample dalam responden menunjukkan bahwa dari sebagian

penelitian ini sebanyak 30 responden yang di pilih besar responden berjenis kelamin laki – laki, yaitu

secara acak (radmomized). Sampel yang sebanyak 16 responden (53%). Sedangkan 14

digunakan dalam penelitian adalah pasien yang responden (47%) berjenis kelamin perempuan.

menderita penyakit kronis, menjalani rawat inap Responden dilihat dari usia menunjukkan bahwa

dan mendapatkan terapi healing gardens, yang sebagian besar responden berada pada kategori

memenuhi kriteria inklusi: pasien memiliki usia lansia awal dan manula. Prosentase

tingkat kesadaran composmentis, pasien tidak responden untuk kategori usia lansia awal adalah

mengalami gangguan komunikasi verbal, vital sebesar 36,7 % dan manula yaitu sebesar 33,3%.

sign pasien dalam kondisi stabil, pasien bersedia Sedangkan kategori usia yang paling sedikit

menjadi responden penelitian, dan berusia 25 adalah usia dewasa awal yaitu sebesar 3,3 %.

– 60 tahun. Kategorisasi lansia berdasar pada kategori usia


menurut Departemen Kesehatan RI.10
Berdasarkan dari tabel diatas sebagian besar berat yaitu sebanyak 1 orang responden (6,7%).
diagnosa medis responden adalah stroke 16,7% Sedangkan tingkat kecemasan responden sesudah
dan kanker yaitu sebesar 16,7%. Sedangkan dilakukan healing gardens, seluruhnya (100%)
diagnosis medis responden yang lain adalah adalah ringan.
Hipertensi sebesar 10 %, CHF (Congestive Dari hasil uji analisa data perbedaan skor
Heart Failure) sebesar 10%, DM sebesar 13,3 %, kecemasan pada responden sebelum dan sesudah
CKD sebesar 13,3%, serta penyakit kronis lain dilakukan healing gardens menunjukkan P
sebesar 19,8%. value =0,000 (P value < 0,05), artinya Ho
Tabel 2
ditolak, terdapat perbedaan skor kecemasan
Distribusi Frekuensi Skor Kecemasan
Sebelum dan Sesudah Healing Gardens responden sebelum dan sesudah dilakukan
15 Agustus – 17 Oktober 2015 (n=30)
n Mean SD Min-Max healing gardens. Artinya healing gardens
Sebelum 30 12,83 9,037 0 – 37
dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien yang
Sesudah 30 2,93 3,43 0 - 12
mengalami penyakit kronis.
Sumber data : Data Primer Tahun 2015
Hasil penelitian menunjukkan tingkat
Hasil penelitian jika dilihat daritabel diatas
kecemasan responden sebelum dilakukan healing
menunjukkan bahwa rata-rata skor kecemasan
gardens sebagian besar adalah ringan yaitu
responden sebelum dilakukan healing gardens
sebanyak 25 responden (83%). Sebagian kecil
adalah 12,83. Sedangkan rata-rata skor kecemasan
tingkat kecemasan sebelum dilakukan healing
responden sesudah dilakukan healing gardens
gardens adalah sedang dan berat yaitu sebanyak
adalah 2,93. Hal ini menunjukkan, terdapat
5 orang responden (17%). Sedangkan tingkat
penurunan skor kecemasan sesudah dilakukan
kecemasan responden sesudah dilakukan healing
healing gardens.
gardens, seluruhnya (100%) adalah ringan.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Skor Kecemasan Sebelum dilakukan healing gardens, sebagian
Sebelum dan Sesudah Healing Gardens
besar responden memiliki tingkat kecemasan yang
15 Agustus – 17 Oktober 2015 (n=30)
Tingkat Kecemasan ringan meskipun mengalami penyakit kronis dan
Ringan Sedang Berat
Sebelum 25 4 1 menjalani hospitalisasi. Hal ini disebabkan karena
Sesudah 30 0 0 responden merasa nyaman selama menjalani
Sumber data : Data Primer Tahun 2015

Hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan tingkat perawatan di Rumah Sakit dengan fasilitas kamar
perawatan yang tersedia. Selain itu beberapa
kecemasan responden sebelum dilakukan healing
responden juga mengungkapkan suasana ruang
gardens sebagian besar adalah ringan yaitu
perawatan yang bersih, pemberian terapi musik
sebanyak 25 responden (83%). Sebagian kecil
di ruang perawatan,
tingkat kecemasan sebelum dilakukan healing
gardens adalah
perawatan yang baik selama di rumah sakit responden sesudah dilakukan healing gardens
membuat stress pasien menurun. adalah 2,93 (kecemasan ringan). Dari hasil uji
Responden sudah mengalami perbaikan analisa data perbedaan skor kecemasan pada
kondisi selama menjalani perawatan selama responden sebelum dan sesudah dilakukan
beberapa hari, hal ini dapat menurunkan stressor healing gardens menunjukkan P value =0,000
yang menyebabkan terjadinya kecemasan. (P value < 0,05), artinya Ho ditolak, terdapat
Penurunan stressor selama menjalani perawatan di perbedaan skor kecemasan responden sebelum
Rumah Sakit dapat meningkatkan imunitas pasien, dan sesudah dilakukan healing gardens. Artinya
hal ini akan berdampak pada peningkatan status healing gardens dapat menurunkan tingkat
kesehatan pasien. Respon stres akan kecemasan pasien yang mengalami penyakit
mempengaruhi respon imun (penurunan imunitas kronis. Ada persamaan antara teori dan fakta,
tubuh), dimana hal ini terjadi melalui peptida dimana melalui kegiatan healing gardens, pasien
hipotalamus dan pituitari, yaitu CRF menjadi lebih rileks sehingga akan menurunkan
(Corticotropin Releasing Factor) dan ACTH stressor, hal ini berdampak pada penurunan
11
(Adenocorticotropic Hormone). Stressor akan kecemasan pasien. Healing gardens akan
meningkatkan CRF di hipotalamus yang akan menstimulasi pengeluaran edorphine dari dalam
memicu aktivitas aksis HPA (hypotalamic – tubuh sehingga akan menimbulkan efek relaksasi,
Pituitary - Adrenocortical), CRF ditangkap meningkatkan mood yang positif sehingga dengan
langsung oleh reseptor CRF- R1 limfosit mukosa kondisi tersebut respon stres (stresor) akan
sehingga akan mempengaruhi perilaku dari menurun.7,8
limfosit. Perubahan pada perilaku limfosit
Selain menstimulasi pengeluaran endorphine,
tersebut akan memodulasi respon imun yaitu Ig
healing gardens akan memberikan efek
A, Ig G dan Ig M, dimana sistem imunitas
relaksasi, hal ini akan mempengaruhi korteks
seseorang akan menurun akibat stresor.10 Apabila
cerebri dan sistem limbik sehingga hipotalamus
stressor yang memicu terjadinya kecemasan
menurunkan produksi CRH (Corticotropic
menurun, maka sistem imunitas pasien akan
Releasing Hormone), dengan menurunnya
meningkat.
produksi CRH, maka produksi ACTH di pituitary
Bila dilihat dari rata-rata skor kecemasan anterior juga akan menurun, hal ini akan
responden, rata-rata skor kecemasan responden menimbulkan dampak pada penurunan produksi
sebelum dilakukan healing gardens adalah kortisol di korteks adrenal.8 Dengan menurunnya
12,83 (kecemasan ringan), sedangkan rata-rata produksi krotisol maka akan
skor kecemasan
memberikan efek relaks pada tubuh, pasien. Penelitian ini dapat digunakan lebih lanjut
sehingga kaecemasan akan menurun. dengan menggunakan responden yang lebih
banyak dan pada pasien dengan penyakit lain
KESIMPULAN yang bukan penyakit kronis.
Sebelum dilakukan healing gardens, 83%
responden memiliki tingkat kecemasan ringan dan TERIMA KASIH
6,7% memiliki tingkat kecemasan berat. Sesudah LLDIKTI Wilayah V Yogyakarta yang sudah
dilakukan healing gardens, 100% responden memberikan dana hibah penelitian, (0274)
memiliki tingkat kecemasan ringan. Bila dilihat 513538, email: lldikti5@kemendikbud.go.id.
dari skor kecemasannya, rata-rata skor kecemasan
responden sebelum dilakukan healing gardens KEPUSTAKAAN
adalah 12,83. Sedangkan rata-rata skor kecemasan 1. Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M.,
responden sesudah dilakukan healing gardens Gallo, B.M. Keperawatan kritis:
pendekatam asuhan holistik. Edisi 8.
adalah 2,93. Hal ini menunjukkan, terdapat Jakarta: EGC; 2011.
penurunan skor kecemasan sesudah dilakukan 2. Kozier, B., Erb, G., Berman, A. & Snyder,
S.J. Buku ajar: Fundamental keperawatan
healing gardens. Dari hasil uji analisa data
konsep, proses, & praktik. Edisi 7. Jakarta:
perbedaan skor kecemasan pada responden EGC; 2010.
3. Potter, P.A. & Perry, A.G. Fundamentals of
sebelum dan sesudah dilakukan healing gardens
nursing: Fundamental keperawatan. Edisi
menunjukkan P value =0,000 (P value < 0,05), 7. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
4. Australian Health Ministers’ Coference.
artinya Ho ditolak, terdapat perbedaan skor
National chronic disease strategy. 2005.
kecemasan responden sebelum dan sesudah 5. Black, J.M & Hawks, J.H. Medical surgical
nursing: Clinical management of positive
dilakukan healing gardens.
outcomes. 8th Edition. Saunders: Elsevier
Dari hasil penelitian tersebut, diharapkan (Singapore) Pte Ltd; 2009.
6. Marcus, C. C. Healing gardens in hospitals.
rumah sakit di seluruh Indonesia dapat
Interdisciplinary Design and Research e-
menerapkan healing gardens pada pasien Journal. January 2007; Volume 1(1), 1-27.
7. Schmutz, U, Lennartsson, M., Williams, S.,
dengan penyakit kronis untuk menurunkan tingkat
Devereaux, M. & Davies, G. The benefits
kecemasan pasien. Bagi perawat sebaiknya juga of gardensing and food growing for
health and wellbeing. United Kingdom: A
memberikan pendampingan dan touch pada
Garden Organic and Sustein Publication;
pasien–pasien yang dilakukan healing gardens 2014.
8. Smeltzer, Suzane C. Buku ajar
dimana dengan tindakan tersebut secara
keperawatan medikal bedah. Jakarta:
psikologis dapat meningkatkan rasa aman dan EGC; 2013.
nyaman sehingga menurunkan tingkat kecemasan 9. Anderson, J. B. An exploration of the
potential benefits of healing gardenss on
veterans with PTSD. Reoprts Graduate
Studies: Utah State University; 2011.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kategori Usia Menurut
Departemen Kesehatan RI. Diunduh 27 November 2015.
www.kemenkes.go.id.
2009
11. Putra, S.T. Psikoneuroimunologi kedokteran.
Surabaya: Gideon Offset; 2005.

Jurnal Kesehatan Indra Husada Vol 6. No 2 Juli-Desember 2018 8


PENGARUH TERAPI SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE
(SEFT) TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Ridho Kunto Prabowo1, Elly Nurachmah2, Debie Dahlia2


1. Program Studi Sarjana Keperawatan, STIKes Indramayu
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

ABSTRAK
Kecemasan merupakan suatu masalah yang sering dialami oleh pasien Congestive Heart Failure (CHF).
Masalah ini dikaitkan dengan adanya tekanan psikologis dan masalah fisik yang dihadapi oleh pasien Congestive
Heart Failure (CHF) yang akan berdampak pada penurunan Health-Related Quality of Live (HRQoL). Penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh pemberian terapi SEFT terhadap tingkat kecemasan pada pasien Congestive Heart
Failure (CHF). Desain yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan melibatkan 40 orang responden yang
dipilih dengan menggunakan teknik consecutive sampling yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil uji bivariat
dengan menggunakan uji parametrik yakni independent t test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan
kecemasan yang bermakna antara kedua kelompok (p value =0,0001). Disimpulkan bahwa terapi SEFT berpengaruh
terhadap penurunan kecemasan pada pasien Congestive Heart Failure (CHF). Hasil penelitian ini dapat
direkomendasikan untuk diterapkan sebagai upaya mengatasi kecemasan pada pasien Congestive Heart Failure
(CHF).

Kata Kunci: Congestive Heart Failure (CHF), Kecemasan, SEFT

ABSTRACT
Anxiety is a problem that is often experienced by patients with Congestive Heart Failure
(CHF). This problem is attributed to the psychological pressure and physical problems faced by
those patients that will impact on the decrease on Health-Related Quality of Live (HRQoL). This
study aimed to determine the effect of SEFT therapy on anxiety among patients with Congestive
Heart Failure. A Quasi experiment design was used in this study by involving 40 respondents which
selected by using a consecutive sampling technique and divided into two groups. The result of
independent t-test showed that there is a significant difference mean of anxiety between two groups
(p value = 0.0001). It was concluded that SEFT therapy has effect on anxiety reduction among
patients with Congestive Heart Failure. The results of this study can be recommended as an
intervention to overcome anxiety among patients with Congestive Heart Failure.

Keywords: Anxiety, Congestive Heart Failure (CHF), SEFT

PENDAHULUAN juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal


Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai jantung, sedangkan di Indonesia pada tahun 2012
abnormalitas dari fungsi struktural jantung atau sebagai menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai
kegagalan jantung dalam mendistribusikan oksigen 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di
sesuai dengan yang dibutuhkan pada metabolisme rumah sakit.
jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau Perkembangan penyakit kardiovaskuler
adanya peningkatan tekanan pengisian (Mc Murray et al., dipengaruhi oleh beberapa faktor jika dilihat dari aspek
2012). Menurut American Heart Association (AHA) psikologis diantaranya perasaan marah, depresi, isolasi
tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 sosial, kecemasan dan stres (Januzzi et al, 2000). Pasien

Jurnal Kesehatan Indra Husada Vol 6. No 2 Juli-Desember 2018 9


gagal jantung

Jurnal Kesehatan Indra Husada Vol 6. No 2 Juli-Desember 2018 10


mengalami kecemasan yang bervariasi dari kecemasan untuk memulihkan dan mengurangi resiko serangan
ringan sampai dengan kecemasan berat. Kecemasan atau kekambuhan yang berulang (Moser, 2007).
yang dialami pasien mempunyai beberapa alasan Penanganan atau pemberian intervensi kecemasan pada
diantaranya cemas akibat sesak napas, cemas akan pasien CHF bisa menggunakan terapi farmakologi dan
kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa non farmakologi.
sembuh, cemas dan takut akan kematian. Yohannes et Upaya penanganan yang biasanya diberikan
al (2010) dalam sebuah review study mengemukakan kepada pasien dengan kecemasan adalah dengan terapi
bahwa kecemasan merupakan hal yang umum terjadi farmakologis yaitu penggunaan obat-obatan anti
pada pasien gagal jantung, prevalensi kecemasan pada ansietas. Namun menurut Townsend (2008)
pasien gagal jantung sekitar 11-45% dari beberapa menyatakan bahwa penggunaan obat-obatan anti
penelitian yang diikutsertakan dalam studi tersebut. ansietas tersebut dapat mengakibatkan depresi susunan
Pengkajian dan penanganan kecemasan harus saraf pusat secara menyeluruh. Obat-obatan anti
menjadi bagian dari perawatan pasien jantung terutama ansietas juga berpotensi menyebabkan ketergantungan
gagal jantung kongestif tujuannya adalah untuk fisik atau psikologis, penggunaanya tidak dianjurkan
memulihkan dan mengurangi resiko kekambuhan dalam jangka panjang. Sehingga dibutuhkan suatu
berikutnya (Moser, 2007). Faktor kecemasan sering terapi non farmakologis yang dapat mengatasi masalah
dialami oleh pasien jantung dan mejadi dampak yang yang melibatkan unsur spiritual atau emosional dan
serius bila tidak ditangani. Pasien dalam kondisi fisik pada pasien CHF.
mengalami kecemasan memiliki respon yang berbeda- Ada beberapa terapi non farmakologi yang
beda, termasuk respon spiritual pasien. Harapan dan dapat digunakan oleh perawat untuk mengatasi
keyakinan pasien terhadap penyakit yang dideritanya kecemasan salah satunya dapat menggunakan terapi
sangat mempengaruhi respon spiritual pasien. Respon Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).
spiritual inilah yang harus dipahami oleh seorang Terapi ini termasuk kedalam teknik relaksasi dan
perawat profesional dalam memberikan pelayanan merupakan sistem energi tubuh dengan terapi spiritual
kesehatan yang komprehensif yaitu meliputi dengan teknik tapping atau ketukan ringan pada titik-
biopsikososiokultural. titik tertentu ditubuh.
Perawat mempunyai peranan yang sangat SEFT adalah suatu bentuk mind body therapy
penting untuk merawat pasien dengan gagal jantung dari terapi alternatif dan komplementer keperawatan.
kongestif yang mengalami kecemasan akibat proses Prinsip kerja SEFT hampir sama dengan akupuntur dan
penyakitnya. Pengkajian sampai pemberian intervensi akupresur yaitu menstimulus titik-titik kunci pada 12
atau terapi digunakan jalur energi tubuh. Intervensi ini merupakan teknik
mengatasi emosi yang dilakukan dengan cara mengetuk Alat ukur yang digunakan adalah lembar isian
ringan ujung jari dengan stimulus titik-titik meridian karakteristik responden yang berisi usia, jenis kelamin,
tertentu pada tubuh individu sambil dirasakan masalah penyakit penyerta, lama menderita CHF dan medikasi.
yang sedang dihadapi (Craig, 2003). Pada praktik klinis, Kecemasan diukur dengan State Trait Anxiety Inventory
EFT terbukti efektif untuk mengatasi berbagai masalah (STAI), instrumen ini bertujuan untuk mengukur dua
psikologis. Hasil penelitian dari Rowe dan Allen (2004) konsep kecemasan yaitu kecemasan sesaat (State
menunjukkan bahwa EFT efektif mengatasi psikologis Anxiety) dan kecemasan dasar (Trait Anxiety)
jangka panjang. (Spielberger, Gorsuch & Lushene, 1970; McDowell,
Penelitian ini memiliki tujuan untuk 2006).
mengidentifikasi pengaruh terapi Spiritual
Freedom Technique (SEFT) terhadap tingkat HASIL PENELITIAN
kecemasan pada pasien Congestive Heart Analisis Univariat
Penelitian menunjukkan bahwa rerata usia
Failure (CHF).
responden adalah kelompok intervensi yaitu
51.95 tahun dengan standar deviasi 12.40 tahun,
METODE
sedangkan rata-rata umur responden kelompok kontrol
Penelitian melibatkan 40 responden untuk masing-
yaitu 56.10 dengan standar deviasi
masing kelompok intervensi dan kontrol. Desain yang
15.81 tahun. Rata-rata lama menderita CHF kelompok
digunakan adalah quasi eksperimen dengan consecutive
intervensi yaitu 25.65 bulan dengan standar deviasi 27.5
sampling. Kriteria inklusi adalah pasien yang terdiagnosa
bulan, sedangkan rata-rata lama menderita CHF
CHF grade II dan III saat akan dilakukan penelitian,
responden kelompok kontrol yaitu 12.30 bulan dengan
pasien yang mengalami kecemasan, kesadaran
standar deviasi
komposmentis dan belum pernah mendapatkan terapi
12.28 bulan. Jenis kelamin pada kedua kelompok
SEFT sebelumnya. Kriteria eksklusi adalah pasien CHF
mayoritas responden perempuan yaitu 57,5% (23
dengan gangguan penglihatan dan pendengaran, dengan
responden), berdasarkan klasifikasi CHF, responden
penurunan kognitif (demensia), pasien CHF dengan
mayoritas menderita CHF NYHA 2 pada kedua
penyakit penyerta selain hipertensi, DM, dan gagal
kelompok yaitu sebesar 60,0% (24 responden),
ginjal, home visit tidak terjangkau dan menolak menjadi
responden yang memiliki penyakit penyerta terbanyak
responden penelitian. Penelitian dilakukan di RSUD
adalah hipertensi sebesar 55,0% (22 responden), dan
Kabupaten Indramayu dan RSUD M.A Sentot
medikasi yang paling banyak diberikan adalah
Indramayu. Selama penelitian tidak terdapat responden
antihipertensi sebesar 67,5% (27 responden).
yang drop out.
Berdasarkan hasil univariat kecemasan
menunjukkan adanya perubahan rerata kecemasan pada
responden pada kelompok
intervensi sebelum dan sesudah dilakukan terapi SEFT, Distribusi karakteristik responden berdasarkan
dimana rerata kecemasan pada responden kelompok jenis kelamin, klasifikasi CHF, penyakit penyerta, dan
intervensi sebelum dilakukan terapi SEFT sebesar medikasi dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut ini :
123,60 dengan standar deviasi 18,00 dan setelah
dilakukan terapi SEFT pada responden kelompok
Tabel 1.2
intervensi nilai rerata sesudah 1 sebesar 86,10 dengan
Distribusi responden berdasarkan jenis
standar deviasi 7,80, nilai rerata sesudah 2 sebesar
kelamin, klasifikasi CHF, penyakit
91,45 dengan standar deviasi 7,94 dan nilai rerata
sesudah 3 sebesar 95,90 dengan standar deviasi penyerta, dan medikasi (N=40)
7,10. Karakteristik Responden f %
Jenis Kelamin

Distribusi karakteristik responden berdasarkan Laki-laki 17 42,5


Perempuan 23 57,5
rerata umur dan lama menderita CHF dapat dilihat
Klasifikasi CHF
pada tabel 1.1 berikut ini NYHA 2 24 60
NYHA 3 16 40
Penyakit Penyerta
Tabel 1.1
Hipertensi 22 55
Distribusi karakteristik responden DM 11 27,5
Gagal Ginjal 7 17,5
berdasarkan rerata umur dan
Medikasi
lama Antihipertensi 27 67,5
menderita CHF (N=40) Analgesik 4 10
Antibiotik 9 22,5
Variabel Mean SD
Umur
Kel. Kontrol 51.95 12.40 Analisis Bivariat
Kel. Intervensi 56.10 15.81 Perbedaan rerata kecemasan pada responden
Lama Menderita CHF sebelum dan sesudah pemberian terapi SEFT antara
Kel. Kontrol 25.65 27.5
Kel. Intervensi 12.30 12.28 kelompok intervensi dan kontrol dapat dilihat pada
tabel 1.3 berikut :
Tabel 1.3
Analisis Perbedaan Rerata Kecemasan Responden Sebelum dan Sesudah Pemberian
Terapi SEFT antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (n = 40)

Variabel Kelompok Mean±SD Beda Mean p value


Intervensi 123,60±18,00 13,20
Kecemasan Sebelum 0,057
Kontrol 110,40±22,06
Intervensi 1 86,10±7,80 -25,35 0,0001*
Kontrol 1 111,45±20,04
Kecemasan Intervensi 2 91,45±7,94 -23,15 0,0001*
Sesudah Kontrol 2 114,60±17,34
Intervensi 3 95,90±7,10 -19,70 0,0001*
Kontrol 3 115,60±14,59
*Bermakna pada p value < α, α = 0.05
Analisis perbedaan rerata kecemasan sesudah penurunan kecemasan yang bermakna antara kelompok
pemberian terapi SEFT pada kelompok intervensi dan intervensi dengan kelompok kontrol (p value = 0,0001).
kelompok kontrol menunjukkan bahwa perbedaan skor
kecemasan sebelum kelompok intervensi dan kelompok Analisis Multivariat
kontrol sebesar 13,20, dengan rata-rata skor kecemasan Pada pemodelan akhir didapatkan hasil bahwa
pada kelompok intervensi 123,60 dengan standar deviasi nilai koefisien determinasi (R square) sebesar 0,358, hal
±18,00 dan rata-rata skor kecemasan pada kelompok ini berarti bahwa seluruh variabel confounding, baik
kontrol 110,40 dengan standar deviasi ± 22,06. umur, jenis kelamin, lama menderita CHF, klasifikasi
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak CHF, penyakit penyerta, dan medikasi dapat menjelaskan
terdapat perbedaan kecemasan yang bermakna antara kecemasan pada pasien CHF setelah dilakukan terapi
kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p value SEFT sebesar 35,8 %, sedangkan sisanya dijelaskan oleh
= 0,057). faktor yang lain. Setelah melalui analisis regresi linier
Sedangkan pada kelompok intervensi 1 dan berganda dan dilakukan uji asumsi didapatkan hasil sig.
kelompok kontrol 1 sesudah pemberian terapi SEFT Anova 0,362 dan durbin watson 2,180 sehingga model
sebesar -25,35, dengan rata-rata skor kecemasan pada tidak dapat digunakan untuk memprediksi kecemasan
kelompok intervensi 86,10 dengan standar deviasi ± 7,80, setelah dilakukan terapi SEFT. Untuk uji interaksi tidak
perbedaan skor kecemasan kelompok intervensi 2 dan dilakukan karena secara substansi antar variabel
kelompok kontrol 2 sesudah pemberian terapi SEFT dipandang tidak berinteraksi.
sebesar -23,15, dengan rata-rata skor kecemasan pada
kelompok intervensi 91,45 dengan standar deviasi ±
PEMBAHASAN
7,94, dan perbedaan skor kecemasan kelompok
Umur
intervensi 3 dan kelompok kontrol 3 sesudah pemberian
Hasil penelitian menunjukkan rerata umur pada
terapi SEFT sebesar -19,70, dengan rata-rata skor
responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol
kecemasan pada kelompok intervensi 95,90 dengan
tidak jauh berbeda yaitu rata- rata usia untuk kelompok
standar deviasi ± 7,10. Sedangkan pada kelompok
intervensi adalah 51,95 tahun sedangkan pada kelompok
kontrol 1 rata-rata skor kecemasan 111,45 dengan
kontrol usia rata-rata adalah 56,10 tahun. Meningkatnya
standar deviasi ± 20,04, kontrol
usia merupakan faktor resiko utama pada kejadian
2 rata-rata skor kecemasan 114,60 dengan standar deviasi
kematian akibat CHF. CHF bisa terjadi pada semua
± 17,34, dan kontrol 3 rata-rata skor kecemasan 115,60
umur, akan tetapi kejadian kematian CHF terjadi pada
dengan standar deviasi
umur 59 (36-75) tahun (Maria et al. 2017). Semakin tua
± 14,59. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
umur seseorang atau semakin tinggi tingkat
bahwa terdapat perbedaan
perkembangan seseorang
maka semakin banyak pengalaman hidup yang (Aggelopoulou et al. 2017). Penelitian lain yang
dimiliki. Pengalaman hidup yang banyak itu, dapat dilakukan graven et al. 2017 menunjukkan lama
mengurangi kecemasan. Beberapa penelitian menderita CHF paling banyak pada rentang 1-5 tahun
menyatakan bahwa semakin muda usia seseorang, sebanyak 46 responden (30,0%), dan
tingkat kecemasan semakin tinggi (Mahat & rentang 5-10 tahun sebanyak 41 responden (26,0%).
Scoloveno, 2003) walaupun beberapa penelitian juga Lama menderita CHF juga akan menyebabkan pasien
menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan CHF sering dilakukan rawat ulang serta lama
dengan tingkat kecemasan (Brewer et al, 2006 dalam hari rawat dapat mempengaruhi kecemasan seseorang
Tsai 2007). yang sedang dirawat juga keluarga dari pasien tersebut.
Kecemasan pada pasien yang belum memiliki

Jenis Kelamin pengalaman dirawat sebelumnya akan tetap tinggi

Sebagian besar responden dalam penelitian ini hingga pasien menjalani perawatan lebih dari dua

adalah perempuan yaitu sebanyak 23 orang atau minggu (Stubbe, 2008). Lain halnya temuan dalam

sebesar 57,5%. Hasil penelitian sebelumnya penelitian yang dilakukan oleh Coyne dan Dip (2006)

menunjukkan bahwa responden perempuan lebih yang menyatakan bahwa lama hari rawat tidak

banyak daripada laki-laki, pasien yang berjenis berpengaruh pada kecemasan (Coyne dan Dip, 2006

kelamin perempuan sebesar 59,6% dan laki-laki dalam Stubbe, 2008).

40,4% (34,0%) (Bots et al. 2017). Jenis kelamin dapat


mempengaruhi tingkat kecemasan, perempuan Klasifikasi CHF
memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibanding Responden yang menderita CHF NYHA 2 pada
laki-laki (Mahat & Scoloveno, 2003; Stubbe, 2008). kelompok intervensi yaitu berjumlah 24 responden
Satu dari empat perempuan amerika meninggal karena (60,0%), sedangkan yang menderita CHF NYHA 3
penyakit kardiovaskular meskipun memiliki kesadaran berjumlah 16 responden (40,0%). Hasil penelitian
yang kuat untuk mengurangi kejadian kondisi ini sebelumnya menunjukkan tingkat keparahan gagal
(Murphy et al. 2017). jantung pada 41,1% pasien berada pada tingkat III
menurut Klasifikasi NYHA, dan NYHA II sebesar
Lama Menderita CHF 38,9% (Aggelopoulou et al. 2017), sedangkan menurut

Rerata lama menderita CHF pada kelompok penelitian lainnya menunjukkan bahwa 78 pasien

intervensi 25,65 bulan (2,14 tahun) dan rerata lama (50,0%) mengalami CHF NYHA II, dan 36 pasien

menderita CHF kelompok kontrol 12,30 bulan (1,025 (23,1%) mengalami CHF NYHA I (Graven et al.

tahun). Hasil penelitian sebelumnya rata-rata lama 2017). Depresi, kecemasan dan buruknya kualitas

menderita gagal jantung adalah 6,6 tahun (± 3,3) hidup dapat mempengaruhi tingkat
keparahan penyakit. Pasien dengan gagal jantung tahap atau juga membuat tidur (hipnotik). Namun penggunan
II (berdasarkan NYHA) memiliki lebih sedikit gejala obat anticemas untuk kasus gangguan kecemasan
kecemasan dan depresi serta kualitas hidup lebih baik terbatas untuk gangguan panik dan gangguan cemas
dibandingkan dengan mereka yang menderita CHF menyeluruh (International Journal of Psychiatry in
NYHA III atau IV. Sedangkan, pasien dengan CHF Clinical Practice, 2012). Sehingga meskipun sudah
NYHA III dan IV secara signifikan akan mengalami mendapatkan terapi antidepresan, pasien CHF masih
cemas dan mengalami penurunan kualitas hidup. merasakan kecemasan.

Medikasi Penyakit Penyerta


Responden yang mendapatkan obat Hasil analisis data menunjukkan bahwa responden
Antihipertensi sebesar 67,5% (27 responden), pasien CHF yang menderita/memiliki penyakit hipertensi
Analgesik 10% (4 responden) dan Antibiotik berjumlah 22 reponden (55,0%), diabetus mellitus
22,5% (9 responden). Hasil penelitian sebelumnya 11 responden
menunjukkan medikasi yang paling banyak diberikan (27,5%) dan gagal ginjal 7 responden (17,5%). Hasil
adalah ACE inhibitor dan diuretik yaitu sebesar masing- penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sama
masing 24 responden (82,8%), sedangkan β blocker dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu
sebanyak 21 responden (72,4%) (Shimizu et al. 2014). penyakit penyerta yang paling banyak adalah hipertensi
Medikasi merupakan terapi yang diprogramkan sebesar 51,7% (15 responden) dan diikuti diabetus
secara rutin oleh medis untuk mengobati kesehatan atau mellitus 48,3% (14 responden) dan gagal ginjal 10,3% (3
masalah pada klien CHF. Data tentang penggunaan obat responden) (Shimizu et al. 2014). Data penyakit penyerta
pada responden baik itu kelompok intervensi maupun (komorbid) didapatkan dengan cara menanyakan kepada
kontrol didapatkan dari catatan rekam medis obat. responden tentang adanya penyakit lain selain CHF yang
Medikasi dapat dihubungkan dengan penyakit yang dialami responden saat ini. Hasilnya didapatkan beberapa
melatar belakangi terjadinya CHF misalnya hipertensi, keluhan yang sering muncul yaitu hipertensi, diabetes
gagal ginjal dan diabetus mellitus. Untuk mengatasi rasa mellitus, dan gagal ginjal. Peningkatan fungsi fisik dapat
cemas pada pasien CHF diberikan obat anticemas yang diperkirakan berdasarkan komorbid yang dimiliki, karena
selama ini dikenal obat golongan benzodiazepine. Obat komorbid khususnya berkaitan dengan kelemahan tubuh
ini adalah obat yang mempunyai efek menenangkan seseorang dan membutuhkan perhatian yang lebih karena
dengan berfokus menekan fungsi GABA di otak. dapat menurunkan fungsi fisik pasien CHF. Peneliti
Efeknya membuat pasien bisa menenangkan (sedasi) dan berpendapat bahwa komorbid merupakan faktor yang
perlu dikaji sehingga dapat dilakukan pengontrolan
agar tidak memperburuk perjalanan penyakit CHF. Penelitian ini menggunakan terapi SEFT
seseorang. (Spiritual Emotional Freedom Technique)
dalam pelaksanaannya. Hasil penelitian
Pengaruh Pemberian Terapi SEFT terhadap
membuktikan bahwa terdapat penurunan skor
Tingkat Kecemasan
kecemasan pada pasien CHF yang mengalami
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata
kecemasan yang sudah diberikan terapi SEFT
tingkat kecemasan sebelum dilakukan terapi SEFT
yaitu 123,60 pada kelompok intervensi dan 110,40 selama 3 hari, 3 kali terapi turun dari skor
pada kelompok kontrol. Hasil uji kesetaraan tingkat 133,60 menjadi 86,10 pada post test hari ketiga,
kecemasan antara kedua kelompok menunjukkan hasil 91,45 pada post test hari ketujuh dan 95,90 pada
yang setara (p value> 0,322; α 0,05). Beberapa post test hari keempat belas dengan p-value
responden mengungkapkan secara verbal bahwa
0,0001 (p<0,05).
kemampuan saat ini sangat menurun dibandingkan
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan
sebelum sakit CHF dan juga sering cemas, susah
bahwa terapi SEFT yang dilakukan selama tiga hari,
untuk tidur dan sekarang lebih banyak dibantu untuk
tiga kali terapi mempunyai dampak yang signifikan
melakukan aktifitas sehari-hari.
terhadap penurunan kecemasan pada responden.
Kecemasan yang terjadi pada yang terjadi pada
Selama terapi diberikan tidak ada keluhan yang
pasien CHF merupakan gejala multidimensional yang
dirasakan oleh responden dan tidak ada responden
mencakup aspek fisik, mental dan emosional,
yang drop out dari penelitian ini. Temuan dalam
pengalaman kecemasan yang dirasakan sebagai tanda
penelitian ini mendukung penelitian dari Saftri dan
dan gejala atau efek dari CHF yang diderita karena
Sadif (2013) menjelaskan penggunaan terapi SEFT
kecemasan pada pasien dengan CHF biasa dikaitkan
menurunkan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal
pada adanya gangguan psikologis. Dengan mekanisme
kronik, Hofer et. al. (2014) tentang pemberian terapi
kecemasan yang terjadi pada pasien CHF masih sangat
mindfulness-enhanced yang merupakan bagian dari
mungkin untuk dapat dikembangkan intervensi yang
neuro-psikoterapi yang efektif untuk mengatasi
efektif dengan target mekanisme kecemasan tersebut
kecemasan. Penelitian Baker dan Hoffman (2014)
sehingga dapat menurunkan keluhan utama penderita.
menjelaskan bahwa EFT (Emotional Freedom
Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu
Technique) dapat menurunkan kecemasan pasien
upaya untuk menemukan intervensi yang tepat dalam
dengan kanker payudara. Penelitian yang dilakukan
menajemen kecemasan pada pasien CHF dan
Bakara et al (2013) yang berjudul “Efek Spiritual
disesesuaikan dengan mekanisme kecemasan yang
Emotional Freedom Technique terhadap Stres, Cemas
terjadi pada pasien
dan Depresi, Sindrom Koroner Akut”, hasil yang
diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terapi SEFT akan dapat
menurunkan stres, depresi dan tingkat kecemasan pada kongestif yang mengalami kecemasan dapat
pasien Sindrom Koroner Akut (P value <0,05). memperparah kondisi pasien seperti pasien akan gelisah
Kozier, Erb, Berman, dan Snyder (2010), yang berlebih sampai berteriak-teriak, sesak nafas,
keyakinan spiritual ini akan memberikan rasa tenang dan tekanan darah meningkat, denyut nadi cepat dan tidak
harapan positif bagi yang mengalami sakit, sehingga patuh dalam pengobatan sehingga penyakitnya tidak
diharapkan dapat menurunkan kecemasannya. Menurut kunjung sembuh. Selain itu pasien mengalami gangguan
Lewis, Dirkse, Heitkemper, Bucher, dan Camera (2004), dalam istirahat, terkadang terjadi halusinasi (Smeltzer &
pendekatan spiritual dapat dan membantu mengatasi Bare, 2002).
permasalahan psikososial akibat penyakit. Syed (2003), Terapi SEFT termasuk ke dalam kriteria terapi
terapi spiritual menimbulkan respons relaksasi dan relaksasi, dimana terapi ini adalah bentuk dari mind-
kesehatan, dapat menimbulkan keyakinan dalam body therapy yang menggabungkan body energy system
perawatan diri, dan bermanfaat terhadap kecemasan dan (sistem energi tubuh) atau yang disebut juga dengan
panik pada pasien terminal yang dapat menimbulkan energy medicine dengan spiritual theraphy (terapi
ketenangan. Hasil penelitian lain menyebutkan terdapat spiritual) (Zainuddin, 2012, Saputra, 2012, Thayib,
perbedaan penurunan tingkat depresi pada pasien gagal 2010). Teknik SEFT ini dikembangkan dari EFT yang
jantung yang mendapatkan bimbingan spiritual, dimana bersumber dari energi terapi. Pengembangan teknik ini
bimbingan spiritual dapat meningkatkan motivasi sosial, meliputi gabungan teknik relaksasi yang memiliki unsur
gejala fisik dan peningkatan status kesehatan yang meditasi dengan melibatkan faktor kepasrahan dan
berhubungan dengan depresi (Bekelman, dkk., 2007). keyakinan. Responden melakukan teknik ini dengan
Hasil penelitian ini juga terbukti mendukung teori melakukan pengulangan secara verbal tentang
dari Smeltzer dan Bare (2002), salah satu intervensi kepasrahannya secara spiritual, tahap ini disebut Tune In
keperawatan pada pasien gagal jantung adalah dalam SEFT yang merupakan bagian dari self
menghilangkan kecemasan. Pasien cemas atau stres tidak hypnoterapy sehingga responden saat relaksasi tersebut
akan dapat istirahat dengan cukup. Stres emosional dapat mengeluarkan hormon dengan lebih stabil, tubuh
mengakibatkan pembuluh darah mengalami akan menguraikan ketegangan otot-otot, pikiran menjadi
vasokonstriksi sehingga mengakibatkan tekanan arteri lebih tenang dan tentram (Zainuddin, 2012).
meningkat dan denyut jantung cepat. Keadaan ini akan Dengan melakukan tapping pada salah satu titik
memperberat beban jantung yang sudah mengalami sistem meridian sehingga peranan endorphin yang
kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Pasien gagal merupakan substansi atau neurotransmiter menyerupai
jantung morfin yang dihasilkan tubuh secara alami dapat
dikeluarkan oleh periaqueductal grey matter.
Keberadaan
endorphin pada sinaps sel-sel saraf mengakibatkan Szabo et. al. (2012) yaitu tentang adaptasi stress
dapat membuat relaks pada tubuh (Zainuddin, 2014; secara umum sindrom stress berawal dari situasi
Smelzer & Bare, 2002). dimana tubuh secara tidak spesifik berespon terhadap
SEFT bekerja dengan prinsip yang kurang lebih berbagai stimulus. Pada kondisi stress hipotalamus
sama dengan akupunktur dan akupresur. Ketiganya berperan dalam menstimulus hipofisis, sehingga
berusaha merangsang titik-titik kunci pada sepanjang adrenal akan memproduksi kortisol sehingga secara
12 jalur energi (energi meridian) tubuh, SEFT selain langsung maupun tidak langsung akan tersekresi
menggunakan unsur spiritual cara yang digunakan steroid ACTH (adrenocorticotropic hormone), GnRH
lebih aman, lebih mudah, lebih cepat dan lebih (gonadotropin-releasing hormone),
sederhana dibandingkan pendahulunya (akupunktur Somatostatin serta faktor pelepas (releasing) hormon
dan akupresur), karena SEFT hanya menggunakan hipotalamus dan hipofisis lainya.
ketukan ringan (tapping). Kegagalan tubuh dalam beradaptasi terhadap
Akupuntur akan merangsang titik-titik tertentu stressor akan memunculkan berbagai tanda seperti,
dengan menggunakan jarum, akupresur tekanan darah tinggi dan serangan jantung. Oleh
merangsangnya dengan menekan titik pada kaki karena itu upaya untuk beradaptasi perlu diajarkan
dengan kuat sedangkan SEFT hanya dengan ketukan- pada penderita stress ini, agar mampu beradaptasi
ketukan ringan. Titik-titik yang dirangsang pada 3 dengan kondisinya sehingga tidak sampai terjadi pada
metode diatas berbeda, tetapi prinsipnya tetap sama, gejala-gejala diatas, salah satu upaya yang dapat
yaitu merangsang simpul-simpul energi meridian dilakukan adalah dengan pemberian terapi SEFT yang
tubuh. Hal ini telah dibuktikan secara visual dengan dilakukan dalam penelitian ini. Tujuan dari pemberian
pemotretan menggunakan SPECT (Single Photon terapi untuk meningkatkan penyimpanan energi dan
Emission Computerized Tomography) menggunakan memberikan efek rileks pada tubuh sebagai upaya
pendekatan biomolekuler kedokteran nuklir untuk untuk manajemen stress, sehingga diharapkan dapat
membuktikan keberadaan titik accupoint pada sistem meminimalisir kecemasan yang dialami oleh responden
meridian serta menjelaskan bahwa titik sistemmeridian (Zainuddin, 2012; Saputra 2012).
tersebut memiliki karakteristik tegangan tinggi Secara sistem neurotransmitter, secara ilmiah
hambatan rendah (Saputra, 2012). bahwa endogenous opiod subtance terdapat tiga jenis
Penggunaan titik-titik jalur energi meridian golongan yaitu enkefalin, beta endorfin, dan dinofrin.
pada orang yang mengalami kecemasan CHF dapat Dimana ketiga golongan tersebut dapat dikeluarkan
dijelaskan secara Neuro- fisiologi dari sistem meridian oleh Periaqueductal grey matter dari sistem kontrol
akupunktur analgesia. Sesuai dengan teori Hans Sclye Desenden dengan merangsang dari salah satu titik
oleh energi meridian (Saputra, 2012; Smeltzer & Bare,
2011). Beta endorfin adalah analgetik yang jauh lebih UCAPAN TERIMA KASIH
baik daripada enkefalin, sedangkan dinofrin 50 kali lebih Terima kasih kepada Direktur RSUD Kab.
kuat dari pada beta endorfin (Price & Wilson, 2012) Indramayu dan RSUD M.A Sentot Patrol Indramayu
Hasil post test kedua yang dilakukan pada hari yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian,
ketujuh dan post test ketiga yang dilakukan pada hari serta bagian diklat, kepala ruangan dan perawat yang
keempat belas ternyata menunjukkan kecemasan naik telah memberi dukungan kepada peneliti saat
kembali, hal ini dikarenakan pada post test kedua dan pengambilan data.
ketiga tidak dilakukan terapi SEFT. Kecemasan ini naik
karena pengalaman terhadap suatu penyakit akan timbul KESIMPULAN
kembali yang meliputi berbagai perasaan dan reaksi Pada penelitian ini didapatkan rerata umur
stres, termasuk frustasi, kecemasan, kemarahan, responden pada kelompok intervensi 51.95 tahun dan
penyangkalan, rasa malu dengan kondisi saat ini, pada kelompok kontrol 56.10 tahun. Jenis kelamin
berduka dan ketidakpastian. responden baik kelompok intervensi dan kontrol
Pada post test kedua dan ketiga pasien sudah didapatkan lebih banyak perempuan sebesar 57,5% (23
kembali ke rumah, pasien yang menderita CHF bersama responden). Rerata lama menderita CHF pada kelompok
keluarganya akan menyesuaikan diri kembali dengan intervensi 25.65 bulan dan pada kelompok kontrol 12.30
kondisinya. Pertanyaan pada diri pasien akan timbul bulan. Klasifikasi CHF baik pada kelompok intervensi
kembali mengenai prognosis, kemungkinan sembuh dan dan kontrol lebih banyak yang menderita CHF NYHA 2
kemungkinan kambuh, perubahan fungsi tubuh dan sebesar 60% (24 responden. Penyakit penyerta pada
reaksi orang lain, terutama orang-orang terdekat. Pikiran kelompok intervensi dan kontrol yang paling banyak
pasien bahwa penyakitnya akan kambuh kembali dan adalah hipertensi 55% (22 responden) dan medikasi pada
harus dirawat inap ulang dapat meningkatkan kecemasan. kelompok intervensi dan kontrol yang paling banyak
Dengan demikian orang yang menderita penyakit adalah antihipertensi 67,5% (27 responden).
tertentu seperti CHF terkadang menjadi sangat peka dan Dari hasil penelitian diketahui terdapat pengaruh
rentan. Pasien akan dibayangi dengan kekambuhan dan pemberian terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan
pengalaman dirawat dirumah sakit, dan hal-hal mengenai sebelum dan sesudah intervensi secara bermakna.
kematian, ketergantungan, ketidakberdayaan dan
gangguan harga diri akan sering muncul.
DAFTAR PUSTAKA 172. doi: 10.4037/ajcc2009867.
AHA. (2012). Types of heart failure. Februari Januzzi, J.L, Jr., Stern, T.A., Pasternak, R.C., &
10, 2017. De Sanctis, R.W. (2000). The influence
http://www.heart.org/HEARTORG/Con of anxiety and depression on outcomes
ditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/ of patients with coronary artery disease.
Classes-of-Heart- American Medical Assosiation, 160.
Failure_UCM_306328_Article.jsp.
Kalkhoran & Karimollahi, M. (2007). Religiousness
Aggelopoulou, Z. et al., 2017. The level of anxiety , and preoperative anxiety: A correlational
depression and quality of life among patients study. Annals of General Psychiatry, 6, 17.
with heart failure in Greece. Applied Nursing doi:10.1186/1744- 859X-6-17.
Research, 34, pp.52–56.
Available at: Lewis, S.L., Dirkse, S.R., Heitkemper, M.M.,
http://dx.doi.org/10.1016/j.apnr.2017.01. 003. Bucher, L., & Camera, I. (2004).
Bakara, D.M., et al. (2013). Efek Spiritual Medical surgical nursing : Assesessment
Emotional Freedom Technique terhadap and management of clinical problems.
Cemas dan Depresi, Sindrom Koroner USA: Mosby Year.
Akut. Maria, J., Gallego, P., Elvira, A., Garcia- hamilton, D.,
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp Avila, P., Alonso, A., … Fernandez-aviles, F.
/article/view/51 (2017). Impact of age and sex on survival and
causes of death in adults with congenital heart
Bekelman, D.B., Becker, D.M., Wittstein, I. disease. International Journal of Cardiology,
Hendricks, D. E., Yamashita, T.E., & 245(December 1989), 119–
Gottlieb,.S.H. (2007). Spiritual well- 124.
being and depression in patients with http://doi.org/10.1016/j.ijcard.2017.06.0 60
heart failure. J Gen Intern Med, 22(4), McDowell, I. (2006). The state-trait anxiety inventory
470–477. doi:10.1007/s11606-006-0044- (C.H. Spielberger, 1968, 1977). Excerpt from
9. Ian McDowell, "Measuring health: A guide to
rating scales and questionnaires". Copyright ©
Bots, M.L. et al., 2017. Trends in comorbidity in
Oxford University Press, New York, 2006.
patients hospitalised for cardiovascular
disease, 248, pp.382–388. McMurray, J.J.V., Adamopoulos, S., Anker, S.D.,
Auricchio, A., Bohm, M. and Dickstein, K. et
Craig, G. (2003). Emotional freedom techinque al. 2012, ESC Guidelines for the diagnosis
(EFT). United Kingdom: Dragon Rising. and treatment of acute and chronic heart
Dixhoorn. J . V. & White. A. (2005). Relaxation failure, European Heart Journal, 33:1787-1847
therapy for rehabilitation and prevention Moser, D.K. (2007). The rust of life: Impact of anxiety
in ischaemic heart disease. European on cardiac patients. Am J Crit Care, 16, 361–
Journal of Cardiovascular Prevention 369.
and Rehabilitation, 12,193–202. Moyad, M., & Hawks, J.H. (2009).
Graven, L.J. et al., 2017. International Journal of Complementary and alternative
Nursing Studies Predictors of depression in therapies, dalam Black, J.M., & Hawks,
outpatients with heart failure : An J.H. Medical-surgical nursing: Clinical
observational study. International Journal of management for positive outcomes, (8th
Nursing Studies, 69, pp.57–65. Available at:
edition). Elsevier Saunders.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2017.
01.014.
Halm, M.A. (2009), Relaxation: A self-care
healing modality reduces harmful effects
of anxiety. The American Association of
Critical-Care Nurses AACN, 18, 169–
Murphy, N., Alderman, P., Harvey, K. V., & Harris, N. (2017). Women and Heart Disease: An Evidence-Based
Update. TJNP: The Journal for Nurse Practitioners, 13(9), 610–616.
http://doi.org/10.1016/j.nurpra.2017.07.0 11
Price dan Wilson (1994). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa :
Anugrah, P., EGC, Jakarta.
Ramos, S., Prata, J., Gonclaves, F., & Coelho,
R. (2014). Congestive heart failure and quality of life. Applied Research in Quality of Life, 9(4), 803–817.
Roger, V., Go, A., Lloyd-Jones, D., Adams, R., Berry, J., & Brown, T. (2011). Heart Disease and Stroke Statistics -
2011 update: A Report from the American Heart Association. Circulation, 123(4), e18–e209.
Rowe, M. M. & Allen, R. G. (2004). Spirituality as a means of coping with chronic illness. American
Journal of Health Studies. Diunduh dari http://findarticles.com.
Safitri, R. Pratiwi & Sadif R. Safaria (2013). Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) to
reduce deppresiom for chronic renal failure patients are in Cilacap Hospital to undergo
Hemodialysis. International Journal of Social and Humanity. Vol. 3 (3). 300-
303. DOI: 10.7763/IJSSH.2013.V3.249
Saputra, A. (2012). Buku Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique. Yogyakarta :NQ Publising.
Shimizu, Y., Suzuki, M. & Okumura, H., 2014. Risk factors for onset of depression after heart failure
hospitalization. Journal of Cardiology, 64(1), pp.37–42. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jjcc.2013.11.0 03.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical
nursing 8th ed. (Agung Waluyo et al., Penerjemah). Philadelphia: Lippincott.
Spielberger, C. D., Gorsuch, R. L., & Lushene,

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-146 141


Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako)
Vol. 7 No. 3, September 2021
P-ISSN : 2407-8441/℮-ISSN : 2502-0749

Original Research Paper


EFEKTIFITAS TERAPI RELAKSASI AUTOGENIK DAN AROMA TERAPI LAVENDER TERHADAP
PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN DI RUANG ICU RSUD POSO

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto*

Poltekkes Kemenkes Palu


Email Corresponding: ABSTRAK
dewinurviana.suharto@gmail.com Pasien yang di rawat di ICU tentunya akan mengalami masalah psikis, berupa
gangguan cemas, depresi hingga psikosis. Cemas yang tidak ditangani akan
Page : 141-146 menyebabkan keadaan pasien semakin buruk seperti mengalami irama jantung
yang tidak beraturan, nadi cepat, sesak nafas dan sakit kepala. Penatalaksanaan
untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan relaksasi autogenic dan
Kata Kunci : aromaterapi lavender. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas terapi
Aromaterapi lavende; relaksasi autogenic dan aromaterapi lavender terhadap penurunan tingkat
kecemasan; kecemasan pasien di ruang ICU RSUD Poso. Metode penelitian Quasi-
relaksasi autogenic. experimental dengan rancangan penelitian pre-test and post-test with control
group. Populasi adalah semua pasien yang smenjalani rawat inap di ruang ICU
Keywords: pada bulan Agustus s/d Oktober 2020. Jumlah sampel sebanyak 30 orang dengan
lavender aromatherapy, Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sesuai dengan
anxiety, kriteria inklusi. pengumpulan data menggunakan Instrument kuesioner HARS.
Autogenic relaxation Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kecemasan sebelum dan
setelah diberikan intervensi relaksasi autogenic dan aromaterapi lavender pada
kelompok intervensi dengan p value = 0,000. Intervensi relaksasi autogenic dan
aromaterapi lavender dapat dijadikan intervensi mandiri dalam mengatasi
masalah kecemasan.

ABSTRACT
Patients who are treated in the ICU will certainly experience psychological
problems, in the form of anxiety disorders, depression to psychosis. Untreated
Published by: anxiety will cause the patient's condition to get worse, such as experiencing
Tadulako University, irregular heart rhythms, rapid pulse, shortness of breath, and headaches.
Managed by Faculty of Medicine. Management to overcome anxiety can be done with autogenic relaxation and
Email: healthytadulako@gmail.com lavender aromatherapy. The purpose was to determine the effectiveness of
Phone (WA): +6285242303103 autogenic relaxation therapy and lavender aromatherapy in reducing the anxiety
Address: level of patients in the ICU Poso Hospital. Quasi-experimental research method
Jalan Soekarno Hatta Km. 9. City of with pre-test and post-test research design with the control group. The
Palu, Central Sulawesi, Indonesia population was all patients who were hospitalized in the ICU from August to
October 2020. The total sample was 30 people with the purposive sampling
technique using purposive sampling by the inclusion criteria. Data collection
using the HARS questionnaire instrument. The results showed that there were
differences in anxiety before and after being given autogenic relaxation
intervention and lavender aromatherapy in the intervention group with a p-value
= 0.000. Autogenic relaxation interventions and lavender aromatherapy can be
used as independent interventions in overcoming anxiety problems.

PENDAHULUAN masa mendatang tanpa sebab khusus serta bersifat


Kecemasan adalah perasaan tidak santai karena
individual 2.
rasa takut yang disertai suatu respon (penyebab tidak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017)
spesifik atau tidak diketahui oleh individu) 1. menyatakan bahwa depresi dan kecemasan merupakan
Kecemasan dalam psikologi didefinisikan sebagai gangguan jiwa umum yang prevalensinya paling
perasaan takut mengenai tinggi. Lebih dari
Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-146 142
200 juta orang di seluruh dunia (3,6% dari populasi) aromaterapi lavender. Minyak lavender mempunyai
menderita kecemasan 3 Menurut catatan Riset banyak potensi karena memiliki beberapa kandungan
Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementrian seperti, limonene, geraniol lavandulol, nerol dan
Kesehatan Republik Indonesia (2018), prevalensi sebagian besar mengandung linalool dan linalool asetat
gangguan emosional pada penduduk berusia 15 tahun dengan jumlah sekitar 30-60%, dimana linalool adalah
ke atas, meningkat dari 6% di tahun 2013 menjadi kandungan aktif utama sebagai relaksasi untuk
9,8% di tahun 2018. Prevalensi penderita kecemasan mengurangi kecemasan. Dari beberapa penelitian
di tahun 2018 sebesar 6,1% 4 sebelumnya terapi relaksasi autogenik dan aromaterapi
Pasien kritis merupakan pasien dengan kondisi lavender sama-sama baik dalam menurunkan
yang mengancam jiwa. Pasien kritis dirawat di ruang kecemasan, Penelitian ini bertujuan untuk
ICU (Intensive Care Unit) memiliki nilai kematian dan mengidentifikasi kombinasi kedua intervensi tersebut
nilai kesakitan yang tinggi. Pasien kritis sangat erat dalam menurunkan kecemasan pada pasien ICU di
kaitannya dengan perawatan secara intensif serta RSUD Poso.
monitoring penilaian terhadap setiap tindakan yang
dilakukan kepada pasien dan membutuhkan pencatatan BAHAN DAN CARA
medis secara kontinyu dan berkesinambungan 5. Pasien Metode yang digunakan dalam
yang di rawat di ICU tentunya akan mengalami penelitian ini adalah kuantitatif pendekatan
masalah psikis, masalah psikis dapat terjadi berupa
Quasi-experimental dengan rancangan
gangguan cemas, depresi hingga psikosis 5. Cemas
dapat melemahkan kondisi pasien jika tidak ditangani
penelitian pre-test and post-test with control
akan menyebabkan keadaan pasien semakin buruk group. Pengambilan sampel secara non
seperti mengalami irama jantung yang tidak beraturan, probability sampling yaitu menggunakan
nadi cepat, sesak nafas dan sakit kepala 6. purposive sampling terhadap 30 orang di
Penatalaksanaan untuk mengatasi kecemasan ruang ICU. Pengukuran kecemasan
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu manajemen menggunakan kuesioner HARS kemudian
farmakologi dan manajemen non farmakologi.
hasil penelitian dianalisis menggunakan uji
Manajemen farmakologi yaitu pemberian obat yang
mampu menghilangkan rasa cemas. Sedangkan
paired T test
manajemen non farmakologi merupakan manajemen
untuk menghilangkan kecemasan menggunakan HASIL
aromaterapi, teknik relaksasi, terapi hypnothis, Analisis Univariat
imajinasi terbimbing/guide imagery, terapi music dan Karakteristik responden dalam penelitian ini
massage 7. terdiri atas umur, jenis kelamin dan pekerjaan pasien.
Relaksasi autogenik adalah relaksasi bersumber dari Berdasarkan hasil penelitian di deskripsikan
diri sendiri dengan kalimat pendek yang bisa membuat karakteristik responden sebagai berikut :
pikiran menjadi tenang 8. Aromaterapi yang digunakan Tabel 1 : Karateristik responden berdasarkan Umur,
pada individu yang mengalami kecemasan yaitu Jenis Kelamin dan Pekerjaan

Karakteristik Frekuensi Presentase


Responden (%)
Umur
5-11 Tahun 2 6,7
12-25 Tahun 7 23,3
26-40 Tahun 14 46,7
46-70 Tahun 7 23,3
Jenis Kelamin dapat disimpulkan ada perbedaan
skor
Laki-laki 12 40 kecemasan sebelum dan setelah pemberian
Perempuan 18 60
intervensi terapi relaksasi autogenic dan
Pekerjaan
Petani 3 10 aromaterapi lavender pada kelompok
PNS 4 13,3 intervensi dan kelompok control.
Wiraswasta 20 66,7
Pelajar 2 6,7 PEMBAHASAN
IRT 1 3,3 Karakteristik Responden
100,0
Total 30 1. Umur
Hasil penelitian dilihat pada table 1
Berdasarkan tabel 1 didapatkan mayoritas umur
menunjukkan bahwa mayoritas umur subjek
subjek penelitian adalah 26-40 tahun yang berjumlah
penelitian adalah 26-40 tahun yang berjumlah 14
14 orang (46,7%), mayoritas jenis kelamin subjek
orang (46,7%).
penelitian adalah perempuan yang berjumlah 18 orang
Kemampuan individu dalam menggunakan
(60%) dan mayoritas pekerjaan subjek penelitian
koping yang positif dipengaruhi oleh kedewasaan
adalah wiraswasta yang berjumlah 20 orang (66,7%).
yang dilihat dari usia seseorang. Mekanisme
koping yang positif dan pengalaman hidup yang
Analisa Bivariat dimiliki oleh seseorang sesuai dengan
Tabel 2 : Skor Rerata Kecemasan Subjek Penelitian kematangan usianya akan mengurangi yang
Sebelum & Sesudah diberikan Terapi
dikoping mekanisme seseorang sehingga individu
Autogenik dan Aromaterapi Lavender
Pada Kelompok Kontrol & Kelompok yang lebih dewasa sukar untuk mengalami
Intervensi kecemasan karena setiap individu mempunyai
kemampuan adaptasi yang lebih besar terhadap
95% P-
kecemasan dibandingkan usia yang belum
Variabel Mean SD 9
Upper Lower Value dewasa . Terbukti pada penelitian
Kelompok Intervensi didapatkan usia yang matur yaitu usia 46-
Kecemasan
sebelum 26,2 4,91 70 tahun prevalensi tingkat kecemasannya
Intervensi lebih sedikit dibandingkan dengan usia
5,55 3,64 0,000
Kecemasan
setelah 21,6 3,94 pertengahan, dari hasil penelitian usia 26-
intervensi
40 tahun mayoritas mengalami
Kelompok Kontrol (Perawatan Standar)
Kecemasan kecemasan. Hasil penelitian ini sesuai
sebelum 28,5 5,26 dengan penelitian Budiman. F et al,
Intervensi
1,00 0,19 0,007
Kecemasan (2015) yaitu terdapat hubungan antara
setelah 27,9 4,90
usia dengan tingkat kecemasan. Angka prevalensi
intervensi
kecemasan pada pasien pre-
Berdasarkan table 2 menunjukkan perbedaan operasi dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 83%
kecemasan responden sebelum dan setelah intervensi responden dari usia remaja dan lansia mengalami
pada kelompok intervensi dan kelompok control. kecemasan dari yang ringan sampai berat. Diny
Kecemasan sebelum dan setelah pada kelompok Vellyana (2017) menyatakan terdapat hubungan
kontrol menggunakan uji paired T test diperoleh antara usia dengan kecemasan dengan P- value
pvalue = 0,007 (p<0,05) sedangkan pada kelompok menunjukkan 0,036 < 0,5 yang berarti bahwa
intervensi diperoleh pvalue = 0,000 (p<0,005) maka, terdapat hubungan yang

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-146 143


signifikan antara usia dengan tingkat kecemasan bandingkan responden laki-laki yang hanya
2. Jenis kelamin 23,5% 12.
Hasil penelitian dilihat pada table 1 3. Pekerjaan
menunjukkan bahwa mayoritas jenis kelamin Hasil penelitian dilihat pada table 1
subjek penelitian adalah perempuan yang menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan subjek
berjumlah 18 orang (60%). Selain usia jenis penelitian adalah wiraswasta yang berjumlah 20
kelamin juga mempengaruhi kecemasan orang (66,7%).
Berdasarkan hasil penelitian perempuan Kecemasan orang yang bekerja dan tidak
cenderung mengalami kecemasan dari pada laki- bekerja tentu berbeda. Individu yang tidak
laki, hal ini dikarenakan pada penelitian ini bekerja cenderung memiliki beban pikiran yang
perempuan berada pada usia menopause. Pada lebih ringan dari pada yang bekerja sehingga
saat menopause hormone etrogen dan beban kerja yang merupakan salah satu faktor
progesterone menurun dan menyebabkan gejala kecemasan pada individu tersebut tidak di
psikologis yang ditandai dengan sikap mudah rasakan, melainkan kecemasan yang dirasakan
tersinggung, depresi, cemas, menurunnya daya cenderung diakibatkan oleh faktor lain. Lain
ingat (Manuaba, 2009). halnya dengan orang yang bekerja, kecemasan
Progesterone akan mempengaruhi hormone cenderung diakibatkan oleh beban pekerjaan
lain dari segi fisik dan psikis dapat mengaktivasi dan beban urusan rumah tangga. Orang yang
amigdala yang merupakan bagian dari system bekerja cenderung mengalami stres akibat beban
limbic yang berhubungan dengan komponen pekerjaan yang dimilikinya.
emosional dari otak. Respon neurologic dari Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan
amigdala yang merupakan bagian dari system individu untuk mencari nafkah atau
limbic. Respon neurologis dari amigdala pencaharian. Pekerjaan yang dilakukan terdapat
ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal suatu unsur keharusan untuk dilakukan
dari hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan mengingat untuk memenuhi kebutuhan hidup,
hormone CRF (corticotropin-releasing factor) sehingga kemungkinan dari suatu pekerjaan
yang menstimulasi hipofisis untuk melepaskan yang dilakukan akan menimbulkan kecemasan.
hormon lain yaitu ACTH Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
(adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. dilakukan oleh Windatania yang mengatakan
ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar bahwa salah satu faktor dari kecemasan adalah
adrenal untuk menghasilkan kortisol 10. Hasil pekerjaan. Beban kerja yang dimiliki seseorang
penelitian ini sejalan dengan penelititian Diny seperti merasa dirinya tak kompeten di dunia
Vellyana (2017) hasil p-value 0,043 (p<0,05) kerja, atau merasa dirinya tidak mampu
yang berarti bahwa terdapat jenis hubungan memberikan hasil pekerjaan yang maksimal,
11
kelamin dengan tingkat kecemasan . akan memicu timbulnya kecemasan pada
Berdasarkan penelitian Saragih & Suparmi (2017) individu tersebut 13. Proses penerimaan
di dapatkan hasil 76,5% responden perempuan informasi oleh seseorang dimulai pada saat alat
mengalami kecemasan yang tinggi di indra menangkap stimuli, lalu stimuli tersebut
diubah menjadi sinyal yang dapat dimengerti
oleh otak untuk kemudian diolah. Disinilah
terjadi apa
yang disebut dengan proses presepsi, yaitu Sedangkan pemberian aroma terapi lavender
mengerti pesan yang telah diproses oleh system mampu menurunkan tingkat kecemasan hal ini sesuai
indrawi. Persepsi yang ditimbulkan setiap orang dengan teori yang diungkapkan oleh Maifrisco (2008),
akan berbeda. Dari perbedaan persepsi itu akan bahwa aromaterapi dapat mempengaruhi bagian otak
menimbulkan stimulus yang berbeda pula ke yang berkaitan dengan mood, emosi, ingatan, dan
otak, sehingga bisa mempengaruhi kondisi pembelajaran. Dengan menghirup aromaterapi
psikologis si penerima informasi. Jika persepsi lavender maka akan meningkatkan gelombang-
yang ditimbulkan adalah positif maka akan gelombang alfa di dalam otak dan gelombang inilah
memberikan dampak yang positif pula, yang membantu untuk menciptakan keadaan yang
begtupun sebaliknya 14 rileks. Terdapat berbagai jenis wewangian aromaterapi
yang ada dan setiap wangi- wangian tersebut memiliki
Efektifitas Terapi Relaksasi Autogenik dan kelebihan positif yang bermacam-macam. Misalnya,
Aromaterapi Lavender Terhadap Penurunan aroma lavender dipercaya dapat mengurangi rasa stres
Kecemasan Pada Pasien di Ruang ICU dan mengurangi kesulitan tidur (insomnia). Minyak
aromaterapi lavender dikenal sebagai minyak
Hasil analisa uji Paired T test dapat kita lihat penenang 17.
dari tabel 2 bahwa terapi relaksasi autogenik dan
aromaterapi lavender efektif dalam menurunkan KESIMPULAN DAN SARAN
kecemasan pasien di ICU dengan nilai pvalue yang Terdapat perbedaan skor kecemasan sebelum
didapat yaitu 0,000 (P<0,05). Penelitian ini dan setelah diberikan intervensi Terapi relaksasi
membuktikan bahwa autorelaksasi mampu autogenic dan aromaterapi lavender pada pasien di
menurunkan kecemasan. Salah satu penyebab Ruang ICU RSUD Poso.
kecemasan adalah penyakit yang dialami individu.
Hal lain penyebab kecemasan adalah faktor UCAPAN TERIMA KASIH
psikologis diantaranya perasaan bosan, keletihan Ucapan terima kasih kepada Direktur
atau perasaan depresi 15. Ketika seseorang cemas ia Poltekkes Kemenkes Palu dan semua pihak yang telah
akan merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan membantu proses penelitian ini.
mudah terkejut. Keluhan lainnya adalah rasa sakit
pada otot dan tulang, pendengaran berdenging, DAFTAR PUSTAKA
berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
1. PK RF, Yusuf A, Nihayati HE. No Title.
perkemihan, meningkatnya tekanan darah dan nadi,
Salemba Medika; 2015.
sakit kepala dan lainnya 16. Relaksasi autogenik
2. Peni T. Kecemasan Keluarga Pasien
membantu tubuh membawa perintah melalui
Ruang ICU Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.
autosugesti untuk rileks sehingga dapat
Hosp Majapahit. 2014;6(1):86-97.
mengendalikan pernafasan, tekanan darah, denyut
3. World Health Organization. Mental health
jantung serta suhu tubuh. Relaksasi autogenik ini ATLAS 2017 state profile.
juga membantu individu untuk dapat mengendalikan 4. Kementrian Kesehatan Republik
beberapa fungsi tubuh seperti tekanan darah, Indonesia. Riset Kesehatan Dasar.; 2018.
frekuensi jantung dan aliran darah yang meningkat 5. Sudiarto, Suwondo A, Nurrudin A.
ketika cemas 5 Pengaruh Relaksasi terhadap Kecemasan
dan Kualitas Tidur pada Pasien Intensive
Care Unit. J Ris Kesehat. 2015;4(3):847-
856.
6. Jannah AR, Jatimi A, Azizah MJ, Munir
Z, Rahman HF. Kecemasan Pasien
COVID-19: A Systematic Review. J
Penelit Kesehat Suara Forikes.
2020;11(2):33-37.
7. Rosida L, Imardiani I, Wahyudi JT.
Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik
Terhadap Kecemasan Pasien Di Ruang
Intensive Care Unit Rumah Sakit Pusri
Palembang. Indones J Heal Sci.
2019;3(2):52.
doi:10.24269/ijhs.v3i2.1842
8. Umi Istianah U, Sri Hendarsih H.
Relaksasi Autogenik Untuk Menurunkan
Tekanan Darah dan Tingkat Kecemasan
Penderita Hipertensi Esensial di Panti
Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem
Yogyakarta. J Teknol Kesehat.
2016;12(2):92-100.
9. Stuart G. Principles and Practice of
Psychiatric Nursing. 7th ed. Mosby;
2013.
10. Guyton, A. C, Hall JE. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. 12th ed. EGC;
2014.
11. Vellyana D, Lestari A, Rahmawati A.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Tingkat Kecemasan pada Pasien
Preoperative di RS Mitra Husada
Pringsewu. J Kesehat. 2017;8(1):108.
doi:10.26630/jk.v8i1.403
12. Saragih D, Suparmi Y. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
Pasien Yang Dirawat Di Ruang Icu/Iccu
Rs Husada Jakarta. Kosala J Ilmu
Kesehat. 2017;5(1).
13. doi:10.37831/jik.v5i1.119
14. Windatania M. Menurunkan Tingkat
Kecemasan Ibu Hamil Primigravida
Menjelang Persalinan Melalui Dukungan
Suami dan Status Kesehatan. J Penelit
Suara Forikes. 2019;10(April):Lase, D.,
Ndraha, A., Harefa, G. G. (2020). Pers.
15. Basofi DA, Wilson., Asroruddin M.
Hubungan Jenis Kelamin, Pekerjaan dan
Status Pernikahan dengan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Operasi Katarak
di Rumah Sakit Yarsi Pontianak. J Mhs
PSPD FK Univ Tanjungpura.
2016;3(1):4-22.
16. Nugroho S. Pengaruh Intervensi Teknik
Relaksasi Lima Jari Terhadap Fatigue
MUSIK SUARA ALAM TERHADAP NURSCOPE
Jurnal Keperawatan dan
PENURUNAN KECEMASAN Pemikiran Ilmiah
Wijayanti, K (2016). Musik Suara
PADA PASIEN KRITIS Alam Terhadap Penurunan Kecemasan
Pada Pasien Kritis . Nurscope. Jurnal
Keperawatan dan
Pemikiran Ilmiah. 2 (3). 1-10

Kurnia Wijayanti1 ,Andrew Johan2, Nana Rochana3, Anggorowati4, Shofa Chasani5


1
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
2
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang
50275
3
Dosen Departemen Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang
Semarang 50275
4
Dosen Departemen Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang
Semarang 50275
5
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang
50275

ABSTRAK

Musik suara alam merupakan bentuk integrative antara musik klasik dengan suara-suara alam. Pengunaan musik suara alam
seperti suara burung, ombak, angin, air mengalir dan lainnya sebagai terapi kesehatan telah mencapai hasil yang memuaskan
yaitu meningkatkan relaksasi, memperbaiki kondisi fisik, psikis bagi individu dengan berbagai usia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh pemberian musik suara alam terhadap penurunan kecemasan pasien kritis di ICU. Penelitian ini
bermanfaat untuk membantu penyembuhan pasien kritis, sebagai landasan mewujudkan evidence based practice dalam
penanganan pasien kritis.
Metode penelitian menggunakan quasi experiment non equivalent dengan pre-post test control group design. Pengambilan
sampel consecutive sampling dengan randomized allocation. Responden berjumlah 38 orang yang terdiri dari 20 orang
kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Musik suara alam yang digunakan adalah suara burung dengan kombinasi
diberikan 2x30 menit yaitu pada pagi hari (jm08.00-tengah hari), dan malam hari (20.00-22.00) selama 3 hari. Alat ukur
kecemasn menggunakan visual analog scale-anxiety (VAS-A). Analisa data menggunakan Wilcoxon dan Mann Whitney.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan kecemasan pada kelompok intervensi dengan nilai untuk pretest 62,25±7,304,
posttest 41,65±5,976, sedangkan pada kelompok kontrol pretest 46,55±12,76, posttest 43,00±12,35. Hasil uji perbandingan nilai
kecemasan sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi nilai p = 0,000 (p < 0,05) dan kelompok kontrol
nilai p = 0,007 (p < 0,05). Sedangkan hasil uji beda kecemasan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah p=
0,000 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kecemasan antara kelompok intervensi dengan
kelompok kontrol.
Kesimpulan. Musik suara alam efektif untuk menurunkan kecemasan pada pasien kritis.

Kata Kunci : terapi musik, suara alam, kecemasan.

NATURE SOUNDS MUSIC TO DECREASED ANXIETY ON CRITICALLY ILL


PATIENTS

ABSTRACT

Nature sound music is a combination between classical music with sounds of nature. The use of natural sound music like the
sounds of birds, waves, wind, and water flow as a medical therapy has achieved satisfactory results that can improve
relaxation, physical condition, and psychological state for individuals of various ages. This study aimed to determine the effect
of natural sound music to decreased anxiety on critically ill patients in the ICU. This research is helpful in healing the critical
patient, and as the basis for realizing evidence based practice in the management of critically ill patients.

This research is using quasi-experimental non-equivalent to the pre-posttest control group design, with consecutive sampling by
randomized allocation. Respondents were 20 people the intervention group and 18 people in the control group. Nature sounds
music that was used is the sound of birds with a combination of 2 x 30 minutes in the morning (08.00-noon) and in the evening
(20:00 to 22:00) for 3 days. Anxiety levels were measured using visual analog scale-anxiety (VAS-A). Data then were analyzed
using Wilcoxon and Mann Whitney.
The results of this study showed a decrease in anxiety in the intervention group with a value of 62.25 ± 7.304 pretest, posttest
41.65 ± 5.976, whereas the control group pretest 46.55 ± 12.76, 43.00 ± 12.35 posttest. The result of the comparison test on the
anxiety before and after intervention in the intervention group p = 0.000 (p <0.05) and in the control group p = 0.007 (p <0.05).
While the results of the difference test on the anxiety between the intervention group and the control group were p = 0.000 (
p
<0.05), which means there is a significant difference in anxiety levels between the intervention group and control group.
Conclusion. Music sounds of nature is effective to reduce anxiety in critically ill patients.

Keywords: music therapy, natural sounds, anxiety.

Corresponding Author :
Kurnia Wijayanti, Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas
Diponegoro E-mail : Jayahe28@gmail.com

PENDAHULUAN

Kecemasan merupakan hal yang sering dirasakan pasien menjalani pengobatan atau prosedur di
rumah sakit. Sumber kecemasan pada pasien yang dirawat di ruang intensif dapat berupa penyakit yang
diderita, perasaan kesepian, rasa takut mengenai ajal, lingkungan seperti pencahayaan yang terus menerus,
suara alat yang terdengar sepanjang waktu, serta kesiagaan dari petugas medis. Diperkirakan sekitar 70%
sampai 87% pasien kritis mengalami kecemasan. Kecemasan dapat mengakibatkan adanya perubahan
fisiologis meliputi tekanan darah, heart rate, pernafasan (Biley, Morgan, & Satherley, 2003), agitasi,
peningkatan aktifitas otot/pergerakan, ketakutan (Chlan & Savik, 2011), ancaman terhadap lingkungan
yang asing dengan kebisingan yang terus menerus, teknologi yang canggih, kehilangan privasi,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi efektif, mobilitas terbatas, gangguan tidur, dan takut mati atau cacat
yang umum untuk pengalaman perawatan kritis. Perawat meyakini bahwa pengelolaan kecemasan sangat
penting sehingga tidak berubah menjadi ketakutan yang dapat menstimulasi sistem saraf simpatis sehingga
mengakibatkan adanya peningkatan kerja pernafasan, permintaan oksigen, dan kerja otot jantung (Chlan &
Savik, 2011). National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM) membuat berbagai
terapi dan sistem pelayanan dimana mind-body therapy memberikan intervensi dengan teknik untuk
memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan
(imagery), yoga, terapi seni, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi musik (Snyder, M.
& Lindquist, 2002).
Badan penelitian kesehatan dan kualitas perawatan kesehatan di Ronchester, Minnesota merekomendasikan
bahwa manajemen kecemasan bisa dilakukan dengan terapi relaksasi seperti musik dan suara alam (nature
sound) (Cutshall et al., 2011). Nature sounds music merupakan jenis musik temuan baru akibat modernisasi
tehnologi rekaman suara, bentuk integrative musik klasik dengan suara-suara alam. Komposisi suara yang
dihasilkan oleh fenomena alam, seperti angin, hujan, laut, sungai, binatang, dan burung. Suara alam juga
memiliki tempo yang berbeda, pitch, dan irama yang umumnya lambat atau nada yang tidak tiba-tiba
tinggi. Manusia memiliki hubungan yang erat dan kontak dengan alam yang bermanfaat bagi kesehatan
(Chiang, 2012). Menurut E.O.Wilson dalam bukunya biophilia mengemukakan bahwa manusia memiliki
daya tarik bawaan dengan alam sehingga
interaksinya dengan alam memiliki efek terapeutik dan penggunaan suara alam tersebut dalam tatanan
klinik masih jarang dilakukan (Lechtzin, Bone, Aspirate, Busse, & Smith, 2010).

METODE

Penelitian quasi experiment non equivalent dengan pre-post test control group design (Dharma, 2011).
Tujuan dari penelitian ini mendiskripsikan perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan setelah pemberian
intervensi musik suara alam kelompok intervensi dan kontrol, dan mendeskripsikan perbedaan kecemasan
antara kelompok intervensi dan kontrol. Pengambilan sampel consecutive sampling dengan randomized
allocation. Responden berjumlah 38 orang, 20 orang untuk kelompok intervensi dan 18 orang kelompok
kontrol. Musik suara alam yang digunakan adalah suara burung dengan kombinasi diberikan 2x30 menit
yaitu pada pagi hari (jm08.00-tengah hari), dan malam hari (20.00-22.00) selama 3 hari. Kriteria inklusi
responden meliputi bersedia menjadi dan mendengarkan musik suara alam, berusia diatas 18 tahun, dirawat
di ICU ≥ 48 jam, GCS 13-15, kecemasan ringan- sedang, tidak memiliki gangguan pendengaran,
menyetujui dan bersedia mendengar musik suara alam.
Analisa univariat menggambarkan karakteristik responden berdasarkan usia jenis kelamis, jenis penyakit
dari responden, dan gambaran tingkat kecemasan. Analisa bivariat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
mengggunakan uji shapiro wilk dikarenakan jumlah sampel yang sedikit. Pada penelitian ini menggunakan
uji nonparametrik wilcoxon karena distribusi data tidak normal. Uji ini untuk mengetahui perbedaan tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Sedangkan untuk
mengetahui perbedaan tingkat kecemasan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan
uji Mann Whitney.

HASIL
Pada bab ini akan menguraikan hasil penelitian tentang pengaruh pemberian intervensi musik suara alam
terhadap penurunan kecemasan pasien kritis

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .

Variabel Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi


Jenis f % f %
Kelamin
Laki-Laki 10 56,6 7 35
Perempuan 8 44,4 13 65

Tabel 1. menunjukkan bahwa jenis kelamin responden yang dirawat di ruang perawatan
kritis pada kelompok intervensi terbanyak perempuan sebesar 65%, dan pada kelompok kontrol
laki-laki dan perempuan mempunyai prosentase yang sama yaitu sebesar 50%.
Gambar 1. Grafik Tingkat Kecemasan Kelompok Intervensi Pasien Kritis

kecemasan pre intervensi


kecemasan post intervensi

Gambar 1. menunjukkan tingkat kecemasan kelompok intervensi pretest paling tinggi


adalah 70 dan paling rendah adalah 50, sedangkan posttest nilai paling tinggi adalah 52 dan
paling rendah adalah 30.

Gambar 2. Grafik Tingkat Kecemasan Kelompok Kontrol Pasien Kritis

kecemasan pre kontrol


kecemasan post kontrol

Gambar 2. menunjukkan tingkat kecemasan kelompok kontrol pretest paling


tinggi adalah 62 dan paling rendah adalah 30, sedangkan posttest nilai paling tinggi
adalah 68 dan paling rendah adalah 30.
Tabel 2. Perbedaan Kecemasan Sebelum Dan Sesudah Pemberian Terapi Musik Pada Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol.

P value
Kecemasan
Median (Min-Max)
Kelompok Intervensi Wilcoxon
Sebelum 61,50(50-70)
Sesudah 40,00(30-52) 0,000
Kelompok Kontrol
Sebelum 46,06(30-70)
Sesudah 43,56(30-68) 0,007

Tabel 2. menunjukkan hasil statistik kecemasan kelompok intervensi untuk pretest


61,50(50-70), posttest 40(30-52), sedangkan pada kelompok kontrol untuk pretest 46,06(30-70),
posttest 43,56(30-68). Hasil uji perbandingan nilai kecemasan sebelum dan sesudah diberikan
intervensi pada kelompok intervensi nilai p = 0,000 (p < 0,05) dan kelompok kontrol nilai p =
0,007 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan bermakna kecemasan sebelum dan
sesudah pemberian intervensi musik suara alam (p value <0,05).

Gambar 3. Grafik Perubahan Tingkat Kecemasan Antara Kelompok Intervensi Dan


Kelompok Kontrol

Delta Kontrol
Delta intervensi

Gambar 3. menunjukkan hasil selisih pretest dan posttest nilai kecemasan pada kelompok
intervensi menunjukkan bahwa terdapat penurunan kecemasan paling tinggi sebesar 30 yang
ditandai dengan angka 30, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat penurunan kecemasan
paling tinggi sebesar 15, yang ditandai dengan angka -15.
Tabel 3. Perbandingan Delta Kecemasan Dan Kualitas Tidur Pada Kelompok Intervensi dan
Kelompok Kontrol

Kecemasan Mean±SD P value


Kelompok Intervensi 18,83±5,136 0,000
Kelompok Kontrol 2,50±3,714

Tabel 3. menunjukkan hasil perbandingan kecemasan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
yaitu adanya perbedaan yang bernakna antar kedua kelompok dengan nilai p=0,000 (<0,05).

PEMBAHASAN

Hasil data demografi responden usia responden pada kelompok intervensi 49,25(29-65),
sedangkan pada kelompok kontrol 49,61(34-70), jenis kelamin didominasi perempuan 13 orang
(65%), laki-laki 7 orang (35%) pada kelompok intervensi. Dalam penelitian sebelumnya bahwa faktor
jenis kelamin, usia, etnik, dan pengalaman pribadi pada musik tertentu akan mempengaruhi
penerimaan individu itu sendiri terhadap musik yang didengarnya. Individu itu sendiri yang
memberikan pengaruh seberapa efektifnya terapi musik untuk dirinya (Heiderscheit, Breckenridge,
Chlan, & Savik, 2014). Pada penelitian area non kritis yaitu pada pasien post operasi jamtung bahwa
didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada data demograni, meliputi usia, jenis
kelamin,menikah, status pernikahan (Forooghy, Tabrizi, & Hajizadeh, 2015).
Hasil uji perbandingan nilai kecemasan sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada
kelompok intervensi nilai p = 0,000 (p < 0,05) dan kelompok kontrol nilai p = 0,007 (p < 0,05) yang
berarti bahwa terdapat perbedaan bermakna kecemasan sebelum dan sesudah pemberian intervensi
musik suara alam (p value <0,05). Penelitian lain yang menggunakan musik pada area non kritis
bahwa penggunaan musik suara alam dapat menurunkan kecemasan pada pasein dengan cardiac
surgical dengan nilai kecemasan kelompok intervensi p=0,001 dan kelompok kontrol p=0,003.
Penurunan kecemasan terjadi pada kedua kelompok, tetapi perbedaan tidak signifikan secara statistik
(Cutshall et al., 2011). Penelitian menyebutkan bahwa musik dapat menurunkan kecemasan pada
pasien gagal nafas yang terpasang ventilator daripada pasien yang hanya mendapat perawatan standart
di ICU. Dan musik merupakan terapi non farmakologi yang membantu meningkatkan toleransi pasien
terhadap penggunaan ventilator (L. L. Chlan & Weinert, 2013). Penelitian lain bahwa nilai rata-rata
penurunan kecemasan pada kelompok intervensi 4.25 ± 2.60, sedangkan pada kelompok kontrol7.12 ±
3.45 (Mahdipour & Nematollahi, 2012).
Hasil uji beda kecemasan pada penelitian ini antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol adalah p value 0,000 (p <0,005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada tingkat
kecemasan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada gambar grafik 25 dijelaskan
bahwa penurunan kecemasan pada kelompok intervensi paling tinggi yaitu sebesar 30 sedangkan pada
kelompok kontrol paling tinggi sebesar 15 yang artinya intervensi musik suara
alam mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecemasan pada pasien kritis. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya dimana musik yang diberikan kepada 373 pasien (122 kelompok intervensi dan
125 kelompok kontrol ) di 12 ruang ICU terbukti dapat menurunkan kecemasan pasien yang
menggunakan ventilator p=0,003 dan menurunkan penggunaan sedasi. Pada kelompok intervensi
menggunakan 3 dosis sedasi sedangkan kelompok kontrol 5 dosis sedasi dari 8 dosis yang ditetapkan
(Hoffmann, 2013). Penelitian (Alvarsson, Wiens, & Nilsson, 2010) dimana pasien diberikan musik
suara alam (khususnya suara burung dan suara air mengalir), hasilnya bahwa musik suara alam
menciptakan perasaan senang/bahagia, menstimulasi saraf simpatis sehingga mempercepat pemulihan
pasien dari stres. Kecemasan yang dirasakan oleh pasien sehingga dapat meningkatkan stimulasi
terhadap sistem saraf simpatis, meningkatkan kerja bernafas, meningkatkan kebutuhan oksigen dan
stimulai miokardial dengan pemberian musik suara alam dapat memberikan efek sinkronasi yang baik
dengan ventilasi mekanik, meningkatkan kenyamanan (Chlan & Savik, 2011). Dalam database
cochrane, menyebutkan bahwa sebanyak 213 pasien dengan ventilasi mekanik yang Penelitian Ismail,
(Ismail, 2010) bahwa musik dapat menurunkan kecemasan pada pasien kritis dengan
ventilator.diberikan terapi musik menunjukkan adanya penurunan kecemasan. (Bradt, Dileo, &
Grocke, 2010)
Penelitian (Saadatmand et al., 2012) juga menunjukkan penurunan yang progresif terhadap
tingkat kecemasan pada 60 responden yang diberikan terapi suara alam. Musik suara alam yang
diberikan kepada 120 pasien post coronary artery bypass graft selama penyapihan
ventilatormenunjukkan penurunan kecemasan yang signifikan p=0,002 (Aghaie, Rejeh, Heravi-
karimooi, & Ebadi, 2013).
Penelitian lain tentang pemberian musik suara alam pada area non kritis adalah dimana
penggunaan terapi musik pada pasien operasi coronary angioplasty kepada 64 responden, 20-40 menit
musik klasik secara signifikan menurunkan kecemsan pada kelompok intervensi dengan nilai p=0,014
sedangkan pada kelompok kontrol p=0,101 (Forooghy et al., 2015). Jenis musik lain yang digunakan
adalah musik harpa yang diberikan selama 20 menit untuk menurunkan kecemasan pada pasien
postoperatif vascular thoracic surgical menunjukkan hasil yang signifikan menurunkan kecemasan
dengan nilai p=0,000 yang diukur 10 menit setelah pemberian musik (Aragon, Farris, & Byers, 2002).
Penggunaan musik untuk menurunkan kecemasan pada pasien yang akan menjalani tindakan coronary
angiplasty menunjukkan hasil penurunan kecemasan yang signifikan pada kelompok intervensi (32.06
± 8.57 vs 41.16 ± 10.6, p=0,001), dan pada kelompok kontrol hasilnya menunjukkan penurunan yang
tidak signifikan (41.91 ± 9.88 vs. 38.97 ± 12.77; P = 0.101) (Forooghy et al., 2015) .
Penggunaan musik klasik, musik pop kontemporer dan musik pop Indonesia dalam menurunkan
kecemasan pada pasien dalam kondisi kritis (Ismail, 2010). Review sistematis tentang efek musik
untuk mengetahui penurunan kecemasan dan nyeri pada 42 randomized control trial (RCT) dengan
3.936 pasien preoperasi, intraoperasi, dan post operasi menunjukkan hasil yang positif. Evaluasi
kecemasan dengan menggunakan state trait anxiety inventory, visual analog scale, numeric rating
scale pada 24 studi menunjukkan 12 studi/50% secara signifikan musik dapat menurunkan skor
kecemasan (Nilsson, 2008).
Musik sebagai terapi untuk menurunkan kecemasan sudah dipelajari dan dilakukan sejak lama
karena manfaatnya yang besar dalam pengobatan. Musik dapat menstimulasi sistem saraf pusat untuk
memproduksi endorfin, dimana endorfin ini dapat menurunkan tekanan darah,
heart rate dan respiratory rate dan menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga dapat
meminimalkan rasa takut dan cemas. Selain itu musik dapat memberikan perasaan yang positif dan
meningkatkan mood sehingga secara otomatis dapat meningkatkan kemampuan memperbaiki diri
secara klinis seperti nyeri dan kecemasan (Forooghy et al., 2015). Sumber kecemasan yang dirasakan
oleh responden adalah rasa nyeri, kematian, tidak mengetahui tentang prosedur yang dilaksanakan,
ancaman tentang kondisi tubuh, cemas terhadap hasil akhir dari prosedur tertentu, perubahan dalam
lingkungan rumah sakit, hilangnya kontrol diri, perubahan konsep diri, hilangnya kemampuan bekerja,
hilangnya fungsi peran, kehawatiran akan masa depan, dan pengalaman pertama dirawat di ICU
(McKinley S, 2008). Lingkungan ICU yang menakutkan, peralatan ventilator yang menjadi
penghambat dalam berkomunikasi, prosedur invasif, suara mesin yang bising dan terus-menerus,
kehilangan privasi, gangguan tidur, nyeri, obat-obatan, isolasi dan kontak minimal dengan orang-
orang terdekat merupakan hal yang membuat perasaan tidak berdaya memicu terjadinya perasaan
cemas pada pasien yang sedang dirawat diruang perawatan kritis (Urden LD, Stacy KM, 2010).
Penelitian ini memiliki heterogenitas responden yang bervariasi, dari tingkat usia, diagnosa
medis/jenis penyakitnya, musik yang baru pertama didengar, sehingga menimbulkan efek kecemasan
yang berbeda-beda. Pada dasarnya musik suara alam sudah sering didengar dalam kehidupan sehari-
hari tetapi tidak dijadikan sebagai terapi sehingga beberapa responden merasa kurang akrab. Dalam
pemberian asuhan keperawatan khususnya kecemasan faktor kenyamanan merupakan faktor yang
penting untuk dikuasai oleh perawat. Sepanjang abad 19 sampai 20, kenyamanan merupakan dasar
pemahaman untuk menjadi perawat yang berkemampuan dan berkarakter dalam memenuhi kebutuhan
kenyamanan baik secara fisik maupun mental (Besel, 2006).
Terdapat tiga tipe comfort, yaitu relief, ease dan renewal. Relief didefinisikan sebagai keadaan dimana rasa
tidak nyaman berkurang. Ease didefinisikan sebagai hilangnya rasa tidak nyaman yang spesifik; latar
belakang teoritikal diperkaya oleh tulisan Henderson tentang kebutuhan dasar manusia. Renewal
didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang bangkit dari ketidaknyamanan ketika ketidaknyamanan
tersebut tidak dapat dihindari (misalnya anak merasa percaya diri terhadap ambulasi walaupun dia tahu hal
tersebut akan memperparah nyeri). Pada akhirnya istilah renewal diubah menjadi transcendence.
Transcendence dianggap sebagai hal yang menguatkan dan mengingatkan perawat untuk tidak putus asa
dalam membantu pasien dan keluarganya merasa nyaman. Intervensi dalam meningkatan transcendence
bertujuan untuk meningkatkan lingkungan, meningkatkan dukungan sosial atau menentramkan hati, seperti
terapi relaksasi, musik, pijatan, oral hygiene, pengunjung special, perawatan dengan sentuhan (caring
touch), dan memfasilitasi strategi kenyamanan diri sendiri. (Kolcaba, 2003) Dari tipe comfort terdapat tiga
kategori dalam intervensi comfort, yaitu (a) intervensi comfort standard untuk mempertahankan
homeostasis dan mengontrol nyeri; (b) coaching, melatih untuk mengurangi cemas, menentramkan hati,
memberikan informasi, membangkitkan harapan, mendengarkan dan membantu merencanakan
penyembuhan; dan (c) comfort food for the soul, memberikan makanan jiwa yang nyaman, termasuk
ekstra hal-hal yang
menyenangkan yang dilakukan oleh perawat agar pasien dan keluarga merasa dirawat dan dikuatkan seperti
imaginasi terbimbing (Kolcaba, 2003).

SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN


Hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan
nilai p < 0,005. Terapi musik suara alam sebagai salah satu intervensi keperawatan dan standart operasional
prosedur dan mengimplementasikan dalam perawatan pasien kritis.

DAFTAR PUSTAKA

Aghaie, B., Rejeh, N., Heravi-karimooi, M., & Ebadi, A. (2013). International Journal of Nursing Studies
effect of nature-based sound therapy on agitation and anxiety in coronary artery bypass graft patients
during the weaning of mechanical ventilation : A randomised clinical trial. International Journal of
Nursing Studies. http://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2013.08.003
Alvarsson, J. J., Wiens, S., & Nilsson, M. E. (2010). Stress recovery during exposure to nature sound and
environmental noise, 1036–1046. http://doi.org/10.3390/ijerph7031036
Aragon, D., Farris, C., & Byers, J. F. (2002). The effects of harp music in vascular and thoracic surgical
patients. Alternative Therapy, 8.
Besel, J. M. (2006). The effects of music therapy on comfort in the mechanically patient in the intensif
care unit., (April).
Biley, F., Morgan, E., & Satherley, P. (2003). The effects of music listening on adult patients pre
procedural state anxiety in hospital, (1998).
Bradt, J., Dileo, C., & Grocke, D. (2010). Music interventions for mechanically ventilated patients ( review
), (12). http://doi.org/10.1002/14651858.CD006902.pub3.Copyright
Chiang, et all. (2012). The effects of music and nature sounds on cancer pain and anxiety. Disertasi.
Chlan, L., & Savik, K. (2011). NIH Public Access : Pattern of anxiety in critically ill patients receiving
mechanical ventilatory support, 60(Mv), 1–17. http://doi. org/10.1097/N NR.0b013e 3182160
09c.Patterns
Cutshall, S. M., Olney, T. L., Messner, P. K., Brekke, K. M., Iii, T. M. S., Kelly, R. F., & Bauer, B. A.
(2011). Effect of the combination of music and nature sounds on pain and anxiety in cardiac surgical
patients: A Randomized Study, 17(4), 16–24.
Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan:panduan melaksanakan dan menerapkan
hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.
Forooghy, M., Tabrizi, E. M., & Hajizadeh, E. (2015). Effect of Music Therapy on Patients ’ Anxiety and
Hemodynamic Parameters During Coronary Angioplasty : A Randomized Controlled Trial, 4(2).
Heiderscheit, A., Breckenridge, S. J., Chlan, L. L., & Savik, K. (2014). Music preferences of mechanically
ventilated patients participating in a randomized controlled trial. Music and Medicine, 6(2), 29– 38.
Hoffmann, L. A. (2013). Music therapy can reduce anxiety in critically ill patients. JAMA.
Ismail, S. (2010). The effect of music on anxiety reduction in patient with ventilator support.
Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: A Vision for holistic health care and
research.
Canada: Springer Publishing Company.
Lechtzin, N., Bone, U., Aspirate, M., Busse, A. M., & Smith, M. T. (2010). A Randomized
trial of nature scenery and sounds versus urban scenery and sounds to reduce pain in
adults. Journal of Alternative Complementary Medicine, 16(9), 965–972.
http://doi.org/10.1089/acm.2009.0531
Mahdipour, R., & Nematollahi, M. (2012). The effect of the music listening and the intensive
care unit visit program on the anxiety , stress and depression levels of the heart surgery
patients candidates, 5(3), 133–138.
McKinley S, M. C. (2008). Validity of the Faces Anxiety Scale for the assessment of state
anxiety in intensive care patients not receiving mechanical ventilation. Journal
Psychosom Res, 64(5), 503– 7.
Nilsson, U. (2008). The anxiety- and pain-reducing effects of music interventions: A
Systematic Review. AORN Journal, 87(4). http://doi.org/10.1016/j.aorn.2007.09.013
Saadatmand, V., Rejeh, N., Zayeri, F., Karimooi, M. H., Jasper, M., & Vaismoradi, M.
(2012). effect of nature based sounds intervention on agitation, anxiety, and stress in
patients under mechanical ventilator support.
Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. (4th
ed.). New York: Springer.
Urden LD, Stacy KM, L. M. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. (6th
ed.).
Kanada: Mosby Elsevier.
Jurnal Riset Kesehatan Vol. 4 No. 3 September

Effect of Relaxation with Changes Anxiety And Sleep Quality ICU Patient in
Intensive Care Unit

Pengaruh Relaksasi terhadap Kecemasan dan Kualitas Tidur pada Pasien


Intensive Care Unit

1
Sudiarto 2Ari
Suwondo 3Agus
Nurrudin

1
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang
Jl. Piet A. Tallo - Kupang
2
Program Studi Magister Epidemiologi Pascasarjana Universitas Diponegoro
3
RS Paru Dr Ario Wirawan Salatiga
E-mail: jrk@poltekkes-smg.ac.id

Abstract
The objective of study was to determine the effect of relaxation on anxiety and sleep quality in
ICU patients. This study used quasi Experimental research design with Pre and Post test Control
Group Design. Sample of this study is ICU patients that were 56 respondents, consisted of 28
respondents provided a relaxation and dzikir intervention and 28 respondents as a control group.
Data were analyzed by univariate frequency distribution table, while the bivariate data using paired
t-test, Wilcoxon and Mann-Whitney. Research procedures performed by observing and assessing
check the level of anxiety and sleep quality before and after intervention. Relaxation dhikr
influence the change in the level of anxiety and sleep quality. In the treatment group p-value of 0.001
anxiety levels and sleep quality 0.001, while the p-value control group anxiety levels 0,001 dan 1.00
sleep quality. Independent test anxiety levels p-value of 0.001 and 0.001 sleep quality. Relaxation
and dzikir influence the change level of anxiety and sleep quality. In the control group satitistik result
there are significant differences, although in severe anxiety kategiori, can relaxation and dzikir be
recommended as a nursing intervention to improve the quality of patient sleep and anxiety in
hospital.

Keywords: relaxation; anxiety; sleep quality; ICU

Abstrak
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh relaksasi terhadap kecemasan dan kualitas tidur
pasien ICU. Jenis penelitian ini adalah quasi Experimental dengan rancangan Pretest-Posttest Control
Group Design. Sampel pada peneletian ini adalah 56 responden pasien ICU terdiri dari 28 diberikan
relaksasi dzikir dan 28 kelompok kontrol. Data dianalisis secara univariat dengan tabel distribusi
frekuensi, sedangkan data bivariat menggunakan Paired t-test, Wilcoxon dan Mann-whitney.
Prosedur penelitian dilakukan dengan mengobservasi dan menilai ceklist tingkat kecemasan dan
kualitas tidur sebelum dan sesudah perlakuan. Relaksasi dzikir berpengaruh terhadap perubahan
tingkat kecemasan dan kualitas tidur. Pada kelompok perlakuan p-value tingkat kecemasan 0,001
dan kualitas tidur 0,001,
sedangkan pada kelompok kontrol p-value tingkat kecemasan 0,001 dan kualitas tidur 1,00. Pada uji
independen tingkat kecemasan p-value 0,001 dan kualitas tidur 0,001. Relaksasi dzikir berpengaruh
terhadap tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien ICU . Pada kelompok kontrol hasil satitistik
ada perbedaan yang cukup signifikan walaupun masih dalam kategori kecemasan berat, relaksasi
dzikir dapat sebagai saran untuk tindakan
perawat dalam mengatasi kecemasan dan kualitas tidur pasien di rumah sakit.

Kata kunci: relaksasi; Kecemasan; kualitas tidur; ICU

1. Pendahuluan monitor di ruang perawatan (Lei, Qiuli,


Sabrina, Xiaojing & Changli, 2009).
Pasien yang dirawat di rumah sakit
Kecemasan merupakan
mempunyai kecenderungan meningkat
perasaan yang paling umum dialami oleh
kecemasan dan terganggu tidurnya yang
pasien yang dirawat di rumah sakit,
mungkin disebabkan oleh aktifitas yang
menerangkan bahwa pasien yang dirawat di
menimbulkan kegaduhan, lampu yang
rumah sakit menunjukkan gejala-gejala
menyala terang ataupun pasien yang terpaksa
terutama kecemasan dan ketakutan sebanyak
dibangunkan karena adanya prosedur
52%, biasanya berkaitan dengan ancaman
tindakan tertentu (Galih, 2013).
penyakitnya (Atwater, 1998).
Pasien-pasien sakit kritis cenderung
Metode terapi komplementer
mengalami kehilangan tidur, kualitas tidur
relaksasi diyakini sangat efektif dalam
buruk, dan peningkatan kecemasan, berbagai
mengatasi kecemasan dan gangguan tidur.
macam penyebabnya,
relaksasi yang digunakan adalah dengan
termasuk pasien ICU, intervensi tenaga medis,
relaksasi yang melibatkan keyakinan
diagnostik dan terapi, medikasi, serta ventilasi
(Dobratz, 1995). Bukti empirik melalui hasil
mekanis dan penyakit dasar. Tekanan
penelitian telah membuktikan bahwa dengan
psikologis yang dapat menyebabkan bingung
relaksasi dzikir
pasien ICU karena jenis dan tingkat stres
menggunakan ayat-ayat
pada pasien di ICU sangat tinggi. Pasien
Al-Qur’an dapat menurunkan berbagai bentuk
secara simultan terkena ancaman bagi
kecemasan yang dialami individu, hasilnya
kehidupan, prosedur medis, ketidak mampuan
menunjukkan bahwa orang yang sering
untuk mengkomunikasikan dan hilangnya
membaca Al-Qur’an mengalami penurunan
kontrol personal (Jevon & Ewens, 2009).
kecemasan. Bahwa relaksasi dzikir dengan
Hasil penelitian tentang kualitas tidur
bacaan Al-Qur’an berpengaruh besar hingga
dan faktor yang mempengaruhi gangguan
97% dalam memberikan ketenangan dan
tidur menunjukan selama menjalani
menyembuhkan berbagai penyakit (Sholeh,
perawatan di rumah sakit, jumlah pasien yang
2005).
memiliki kualitas tidur buruk sebesar 45,6%
Tujuan penelitian ini adalah untuk
dan setelah menjalani perawatan pasien yang
Mengetahui apakah ada pengaruh relaksasi
kualitas tidurnya menurun adalah sebanyak
dzikir terhadap kecemasan dan kualitas tidur
57,4%. Adapun faktor-faktor yang
pasien intensive care unit (ICU).
berhubungan dengan kualitas tidur pasien
selama di rumah sakit antara lain adalah
adanya kecemasan terkait penyakitnya, 1. Metode
adanya ketidak nyamanan, sering kencing Jenis penelitian ini adalah quasi
dimalam hari dan suara gaduh dari alat experiments dengan rancangan pre–test
bedside
post–test Control Group Design. Populasi
studi atau sampel adalah Penderita
menjalani perawatan di ruang ICU RS Ken deskripsi kelompok perlakuan pada post-test
Saras kabupaten Semarang dan memenuhi nilai mean 19,04 artinya sebagian besar
kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel responden mengalami penurunan tingkat
dalam penelitian ini di hitung berdasarkan kecemasan, hal ini menunjukan bahwa secara
metode Slovin sebesar 28 responden tiap umum kelompok perlakuan pada tingkat
kelompok. Variabel penelitian ini adalah kecemasan ringan dan deskripsi variabel
Relaksasi Dzikir sebagai variabel bebas kecemasan kelompok kontrol pada pos-test
sedangkan Kecemasan dan Kualitas Tidur nilai mean 29,32 artinya sebagian besar
variabel terikat. Analisa data terdiri dari responden pada tingakat kecemasan sedang
analisis univariat, analisis bivariat (Paired t- dan berat. Dengan kata lain responden
test mengalami penurunan tingkat kecemasan
dan independent sampel t-test). dengan dilakukanya perlakuan.
Hasil deskripsi variabel kualitas tidur
2. Hasil dan Pembahasan kelompok kontrol pada pre-test nilai mean
11,11 dan kelompok perlakuan sebelum
Hasil
perlakuan nilai mean 11,39 menggambarkan
Responden kelompok kontrol dalam bahwa nilai rata-rata pilihan jawaban
penelitian ini sebagian besar berumur 22-50 responden terlihat dan terwakili dari angka
tahun atau dewasa sebanyak 26 responden mean, artinya sebagian besar responden
yaitu sebesar 92,9% dan umur diatas 50 tahun kelompok kontrol dan perlakuan memiliki
atau lansia sebanyak 2 responden sebesar kualitas tidur yang buruk. Sedangkan hasil
7,14%, pada kelompok perlakuan sebagian deskripsi kelompok perlakuan pada post-test
besar adalah dewasa yaitu 22 responden nilai mean 5,14 artinya sebagian besar
sebesar 78,6% dan lansia 6 responden sebesar responden memiliki kualitas tidur yang baik.
21,4%. Jenis kelamin kelompok kontrol laki- Pada kelompok kontrol hasil deskripsi post-
laki adalah 42,9% dan perempuan sebesar test nilai mean 8,50 artinya sebagian besar
57,1%. Sedangkan kelompok perlakuan jenis responden memiliki kualitas tidur buruk,
kelamin responden laki-laki adalah 46,4% Dengan kata lain secara empiris responden
dan perempuan 53,6%. Pada penelitian ini memiliki kualitas tidur yang baik dengan
sebagian besar responden 53,6%, dengan dilakukanya perlakuan.
penyakit jantung, 21,4% cidera kepala, 14,3% Hasil analisis uji t-test terdiri
penyakit paru sedangkan PNS 10,7% saraf dari 28 responden tiap kelompok, nilai rerata
dan pada kelompok perlakuan menunjukkan pada kelompok perlakuan sebelum relaksasi
bahwa sebagian besar responden 46,4% dzikir 29,5 dan standar deviasi 1,774
dengan penyakit jantung, 17,9% masing- sedangkan nilai rerata pada kelompok kontrol
masing cidera kepala, paru dan saraf. 30,64 standar deviasi dan nilai p = 0,068
Hasil deskripsi variabel kecemasan sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada
kelompok kontrol pre-test nilai mean 30,64 perbedaan kecemasan yang bermakna antara
dan kelompok perlakuan pre-test nilai mean kelompok perlakuan dan kontrol
29,5 menggambarkan bahwa nilai rata-rata sebelum dilakukan relaksasi dzikir.
pilihan jawaban responden terlihat dan Hasil analisis uji Mann-Whitney terdiri
terwakili dari angka mean, artinya sebagian dari 28 responden tiap kelompok, nilai rerata
besar responden mengalami kecemasan berat. pada kelompok perlakuan
Sedangkan hasil
2,00 dan standar deviasi 0,001 sedangkan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
nilai rerata pada kelompok kontrol 1,5 dengan sesudah realaksasi dzikir.
standar deviasi 0,51 dan nilai p = 1,000 Hasil analisis uji Mann-Whitney
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdiri dari 28 responden tiap kelompok,
ada perbedaan kualitas tidur yang bermakna median perlakuan dan kontrol 5 dan 11,
antara sebelum dilakukan relaksasi dzikir dengan minimal-maksimal 4-16 dan 9-13, dan
pada kelompok perlakuan dan kelompok nilai p=0,001 sehingga dapat disimpulkan
kontrol. bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
Hasil analisis uji paired t-test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
terdiri dari 28 responden tiap kelompok, nilai sesudah realaksasi dzikir.
rerata sebelum relaksasi dzikir 29,50 dan nilai
rerata sesudah relaksasi dzikir 19,04, standar Pembahasan
deviasi sebelum dan sesudah relaksasi dzikir
Hasil penelitian ini
1,774 dan 3,012, dan nilai p = 0,001 sehingga
menunjukkan bahwa sebagian besar
dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang
responden kelompok kontrol adalah dewasa
bermakna antara sebelum dan sesudah
dilakukan relaksasi dzikir terhadap perubahan sebesar 92% dan kelompok perlakuan 78,6%
kecemasan. yang berkisar antara umur 22-50 tahun. Hasil
penelitian ini sesuai dalam penelitian tentang
Hasil analisis uji paired t-test terdiri
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
dari 28 responden tiap kelompok, nilai rerata
kecemasan menunjukkan bahwa usia yang
pre-test dan post-test adalah 30,64 dan 29,32,
standar deviasi Pre-test dan Post-test 2,725 dan lebih tua akan lebih sensitif dalam
mempersepsikan kecemasan bila
2,465, dan nilai p=0,001 sehingga dapat
dibandingkan usia yang lebih muda (Laura,
diartikan bahwa ada perbedaan yang
Cindy, Calia dan Michael, 2011). Penelitian
bermakna antara Pre-test dan Post-test
lain juga menunjukkan bahwa usia
terhadap perubahan kecemasan pada
kelompok kontrol walaupun masih dalam mempunyai peranan yang penting dalam
kategori tingkat kecemasan berat. mempersepsikan dan mengekspresikan
Hasil analisis uji Wilcoxon kecemasan, pasien dewasa memiliki respon
terdiri dari 28 responden tiap kelompok, nilai yang berbeda terhadap kecemasan
median pre-test dan post-test adalah 11 dan dibandingkan pada lansia (Smeltzer and
8,5, sedangkan nilai minimum dan maximum Barre, 2010). Namun berbeda dengan hasil
pre-test dan post-test adalah 9-13 dan 7-10 penelitian yang lainya menyatakan bahwa
dan nilai p=1,00 sehingga dapat diartikan tidak ada perbedaan persepsi kecemasan,
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara orang muda dengan orang tua (Edward
antara pre-test dan post-test terhadap and Fillingham, 2000). Beberapa penelitian
perubahan kualitas tidur pada kelompok juga melaporkan bahwa orang tua memiliki
kontrol. kemampuan tingkat toleransi kecemasan yang
Hasil analisis uji Mann-Whitney lebih tinggi daripada orang dengan usia yang
terdiri dari 28 responden tiap kelompok, lebih muda (Gagliese and Melzack, 1997).
median perlakuan dan kontrol 19,5 dan 29, selain itu orang dengan usia lebih tua
dengan minimal-maksimal 13-24 dan 24-34, mengungkapkan tingkat kecemasan yang
dan nilai p = 0,001 sehingga dapat lebih rendah dari pada orang yang lebih
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang muda (Dobratz, 1995).
bermakna antara Hasil penelitian ini telah menujukkan
tingkat kecemasan yang
lebih tinggi pada orang dewasa antara 22-50 bermakna antara kelompok kontrol dan
tahun. perlakuan sebelum dilakukan relaksasi dzikir.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh Sedangkan pada kualitas tidur sebelum
berbagai faktor, salah satunya adalah relaksasi dzikir nilai rerata kelompok
penyakit kronis (Gagliese and Melzack, perlakuan 2,00 dan standar deviasi 0,001,
1997). pada kelompok kontrol nilai rerata 1,5 dengan
Hasil penelitian ini standar deviasi 0,51 dan p=1,000 sehingga
menunjukkan bahwa jenis kelamin responden dapat disimpulkan bahwa tidak ada
laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu perbedaan kualitas tidur yang bermakna
sebesar 42,9% dan 57,1% pada kelompok antara sebelum dilakukan relaksasi dzikir
kontrol demikian juga pada kelompok pada kelompok perlakuan dan kelompok
perlakuan laki-laki 46,4% dan perempuan kontrol.
53,6%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hasil analisis uji statistik pada
yang menunjukkan bahwa perempuan lebih kelompok perlakuan menggunakan paired t-
sensitif terhadap kecemasan dari pada laki-
test terdiri dari 28 responden tiap kelompok,
laki (Laura, et all, 2011). Perempuan
nilai rerata sebelum relaksasi dzikir 29,50 dan
mengungkapkan rasa cemas yang lebih nilai rerata sesudah relaksasi dzikir 19,04,
tinggi daripada laki-laki (Atwater, 1998). standar deviasi sebelum dan sesudah relaksasi
Perbedaan tingkat persepsi kecemasan ini
dzikir 1,774 dan 3,012, dan nilai p=0,001
disebabkan karena perbedaan otak secara
sehingga dapat diartikan bahwa ada
anatomis dalam
perbedaan yang bermakna antara sebelum dan
mempersepsikan cemas, pada sesudah dilakukan relaksasi dzikir terhadap
perempuan letak persepsi cemas berada pada perubahan kecemasan. Sedangkan pada
limbik yang berperan sebagai pusat utama kelompok kontrol hasil analisis uji paired t-
emosi seseorang sedangkan pada laki-laki
test terdiri dari 28 responden tiap kelompok,
terletak pada korteks prefrontal yang berperan nilai rerata pre-test dan post-test adalah 30,64
sebagai pusat analisa dan kognitif. Jadi secara dan 29,32, standar deviasi pre-test dan post-test
emosional perempuan lebih sensitif dalam relaksasi dzikir 2,725 dan 2,465, dan nilai p =
mempersepsikan rasa cemas (Brattberg,
0,001 sehingga dapat diartikan bahwa ada
Parker & Thorslund, 1997). perbedaan yang bermakna antara pre-test dan
Hasil penelitian yang telah dilakukan post-test terhadap perubahan kecemasan pada
oleh peneliti menunjukan bahwa terdapat kelompok kontrol walaupun masih dalam
pengaruh dari relaksasi dzikir terhadap tingkat kecemasan kategori berat. Untuk
penurunan kecemasan pasien intensive care mengetahui perbedaan antara kelompok
unit (ICU). Sebelumnya melakukan uji perlakuan dan kelompok kontrol dengan uji
analisis kesetaraan responden kelompok Mann-Whitney terdiri dari 28 responden tiap
kontrol dan kelompok perlakuan pada kelompok, median perlakuan dan kontrol 19,5
kecemasan sebelum dilakukan rileksasi dzikir dan 29, dengan minimum-maximum 13-24
nilai rerata pada kelompok perlakuan sebelum dan 24-34, dan nilai p = 0,001 sehingga dapat
relaksasi dzikir 29,5 dan standar deviasi 1,774 disimpulkan bahwa ada perbedaan yang
sedangkan nilai rerata pada kelompok kontrol bermakna antara kelompok perlakuan dan
30,64 standar deviasi 2,725 dan nilai p = kelompok kontrol sesudah realaksasi dzikir.
0,068 sehingga dapat diartikan bahwa tidak Dalam penelitian ini hasil deskripsi
ada perbedaan kecemasan yang variabel kecemasan pada
kelompok kontrol menggambarkan bahwa merupakan perpanjangan serabut otot tersebut
nilai rata-rata post-test pilihan jawaban (Subandi, 2009). Pada waktu orang
responden terlihat dan terwakili dari angka mengalami ketegangan dan kecemasan yang
mean, nilai mean bekisar antara 29,32 artinya bekerja adalah system syaraf simpatis,
sebagian besar responden mengalami sedangkan pada waktu rileks yang bekerja
kecemasan berat dan deskripsi kecemasan adalah sistem syaraf parasimpatis.
pada kelompok perlakuan nilai post-test Relaksasi dzikir berusaha
mean 19,04 hal ini berarti sebagian besar mengaktifkan kerja syaraf parasimpatis.
responden mengalami kecemasan ringan. Keadaan rileks menurunkan aktivitas
Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara amygdala, mengendurkan otot, dan melatih
umum kelompok perlakuan memiliki individu mengaktifkan kerja sistem syaraf
kecemasan ringan, dengan kata lain parasimpatis sebagai counter aktivitas sistem
responden memiliki kecemasan yang kurang syaraf simpatis (Kalat, 2007).
baik saat tanpa intervensi. Hasil deskripsi Relaksasi merupakan salah satu
variabel kecemasan kelompok kontrol pada teknik dalam terapi perilaku. Relaksasi
post-test menggambarkan bahwa nilai rata- merupakan metode atau teknik yang
rata pilihan jawaban responden terlihat dan digunakan untuk membantu manusia belajar
terwakili dari angka mean, nilai mean bekisar mengurangi atau mengontrol reaktivitas
antara 29,32 artinya sebagian besar responden fisiologis yang menimbulkan masalah bagi
masih mengalami kecemasan berat. dirinya. Tujuan relaksasi adalah untuk
Berdasarkan hasil tersebut mengurangi tingkat gejolak fisiologis
menunjukkan bahwa variabel individu dan membawa individu ke keadaan
kecemasan, masing-masing indikator yang lebih tenang baik secara fisik maupun
mengalami penurunan dibanding dengan psikologis (Dobratz, 1995). Relaksasi sebagai
tanpa intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu teknik yang telah terbukti dapat
secara umum kelompok perlakuan mereduksi kecemasan pada berbagai subjek
memiliki kecemasan yang juga telah terbukti efektif mengurangi
berkurang, dengan kata lain responden kecemasan, menyatakan bahwa kesehatan
memiliki tingkat kecemasan yang menurun manusia seutuhnya ditunjukkan oleh empat
dengan dilakukannya intervensi. hal, yaitu sehat secara biologis, psikologis,
Hasil uji statistik setelah dilakuakan sosial, dan spiritual, menyatakan bahwa
intervesi pengaruh relaksasi dzikir terhadap elemen spiritual dalam diri manusia,
kecemasan diperoleh p mengintegrasikan dan mempersatukan
=0,001 (p <0,05). Dengan signifikansi elemen kebutuhan fisik, emosi, dan
yang lebih kecil dari 0,05 maka diperoleh intelektual di dalam tubuh manusia dalam
bahwa Hipotesis 1 diterima. Hal ini berarti pertumbuhan dan perkembangannya (Hawari,
bahwa tingkat kecemasan yang semakin 2006). Bahwa proses intervensi terhadap
menurun dari responden akan sangat baik klien yang mempertimbangkan keyakinan
setelah diberikan relaksasi dzikir. agama yang dianut menjadi penting untuk
Salah satu intervensi yang telah menghindari resistensi apabila proses yang
terbukti efektif untuk mengurangi kecemasan dilakukan dirasakan klien sebagai suatu hal
dan telah sering digunakan adalah teknik yang berbeda dengan aturan agama yang
relaksasi. Ketegangan merupakan kontraksi diyakininya. Bagi umat Muslim, keimanan
serabut otot skeletal, yang penting salah satunya adalah percaya
sedangkan relaksasi pada
wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan perbuatan mengingat, menyebut, mengerti,
yang sempurna. Beberapa penelitian menjaga dalam bentuk ucapan-ucapan lisan,
menunjukkan hubungan antara coping gerakan hati atau gerakan anggota badan yang
religius dengan kecemasan yang turut mengandung arti pujian, rasa syukur dan do’a
menunjukkan pentingnya unsur spiritual dan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Allah
religius dalam penanganan kecemasan (Lei, dan Rasul-Nya, untuk memperoleh
et all, 2009; Sholeh, 2005). ketentraman batin, atau mendekatkan diri
Relaksasi pernafasan adalah relaksasi (taqarrub) kepada Allah, dan agar
dengan cara mengatur langkah dan memperoleh keselamatan serta terhindar dari
kedalaman pernafasan bahwa pernafasan yang siksa Allah (Suhaimi, 2005).
tepat adalah merupakan pereda stress (Benson, Hasil penelitian ini
2000). Dzikir secara etimologi berasal dari menunjukkan bahwa pada kelompok
kata adz-dzikr yang artinya adalah ingat. perlakuan hasil analisis uji Wilcoxon terdiri
Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Tuhan. dari 28 responden tiap kelompok, nilai median
Lebih jauh, berdzikir meliputi sebelum dan sesudah relaksasi dzikir adalah
pengertian menyebut lafal- 12 dan 5, sedangkan nilai minimum dan
lafal dzikir dan mengingat Allah dalam setiap maximum sebelum dan sesudah relaksasi
waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, dzikir adalah 6-15 dan 4-6 dan nilai p = 0,001
merasa yakin bahwa diri manusia selalu
sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan
berada di bawah kehendak Allah dalam segala
yang bermakna antara sebelum dan sesudah
hal dan urusannya (Sholeh, 2005). Dzikir
dilakukan relaksasi dzikir terhadap perubahan
dipilih karena pelafalan berulang kata-kata
kualitas tidur, sedangkan pada kelompok
yang diyakini akan lebih berefek pada tubuh
kontrol hasil analisis uji Wilcoxon terdiri dari
dibandingkan kata-kata yang tidak ada artinya.
28 responden tiap kelompok, nilai median pre-
Dzikir membantu individu membentuk
test dan post-test adalah 11 dan 8,5,
persepsi yang lain selain ketakutan yaitu
sedangkan nilai minimum dan maximum pre-
keyakinan bahwa stresor apapun akan dapat
test dan post-test adalah 9-13 dan 7–10 dan
dihadapi dengan baik dengan bantuan Allah.
Umat islam percaya bahwa penyebutan Allah nilai p = 1,00 sehingga dapat diartikan bahwa
secara berulang (dzikir) dapat menyembuhkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara
jiwa dan pre-test dan post-test terhadap perubahan
menyembuhkan berbagai penyakit (Lei, et all, kualitas tidur pada kelompok kontrol.
2009; Sholeh, 2005). Saat seorang muslim Berdasarkan hasil tersebut
membiasakan dzikir, ia akan merasa dirinya menunjukkan bahwa terdapat
dekat dengan Allah, berada dalam penjagaan peningkatan kualitas tidur setelah adanya
dan lindungan-Nya, yang kemudian akan intervensi. Hal ini
membangkitkan percaya diri, kekuatan, menunjukkan bahwa secara umum kelompok
perasaan aman, tenteram, dan bahagia. Dzikir perlakuan memiliki
akan membuat seseorang merasa tenang peningkatan kualitas tidur kearah baik, dengan
sehingga kemudian menekan kerja sistem kata lain secara empiris responden memiliki
syaraf simpatis dan mengaktifkan kerja sistem kualitas tidur yang meningkat setelah di
syaraf parasimpatis (Sholeh, 2005). lakukan intervensi. Untuk mengetahui
Dzikir merupakan suatu perbedaan antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol setelah dilakukan
intervensi
relaksasi dzikir dengan hasil analisis uji Mann- frase secara ritmis dapat menimbulkan tubuh
Whitney terdiri dari 28 responden tiap menjadi rileks. Pengulangan tersebut harus
kelompok, median perlakuan dan kontrol 5 dan disertai dengan sikap pasif terhadap rangsang
11, dengan baik dari luar maupun dari dalam. Sikap pasif
minimal-maksimal 4-16 dan 9-13, dan nilai dalam konsep religius dapat diidentikan
p=0,001 sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap
ada perbedaan yang bermakna antara pasrah inilah yang dapat melipatgandakan
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol respon relaksasi yang muncul. Keuntungan
sesudah realaksasi dzikir terhadap kualitas dari relaksasi dzikir ini selain mendapatkan
tidur. manfaat dari relaksasi juga mendapatkan
Keefektifan penelitian ini adalah kemanfaatan dari penggunaan
teknik relaksasi yang dipilih merupakan keyakinan seperti menambah keimanan, dan
relaksasi pernafasan yang dinilai lebih aman kemungkinan akan mendapatkan pengalaman-
(lebih sedikit mengandung risiko) bagi pengalaman transendensi. Dzikir sebagai salah
pasien, lebih sederhana dan mudah satu bentuk ibadah dalam agama Islam
dipraktekkan. Selain itu, merupakan relaksasi religius, dengan
penelitian yang mengucapkan lafadz Allah atau Ahad secara
menggunakan relaksasi dengan dzikir terus menerus dengan pelan dan ritmis akan
(melibatkan penanganan dimensi spiritual dapat menimbulkan respon relaksasi (Benson,
kesehatan) untuk menurunkan kecemasan 2000 ; Lei, et all, 2009).
pasien. Penelitian ini bertujuan untuk Dasar pikiran relaksasi adalah
mengukur pengaruh Relaksasi dengan sebagai berikut. Relaksasi merupakan
Dzikir untuk mengurangi kecemasan yang pengaktifan dari syaraf parasimpatis yang
dialami oleh pasien. menstimulasi turunnya semua fungsi yang
Respon relaksasi yang dinaikkan oleh sistem syaraf simpatis, dan
melibatkan keyakinan yang dianut akan menstimulasi naiknya semua fungsi yang
mempercepat terjadinya keadaan relaks, diturunkan oleh syaraf simpatis. Masing-
dengan kata lain kombinasi respon relaksasi masing syaraf parasimpatis dan simpatis
dengan melibatkan keyakinan akan melipat saling berpengaruh maka dengan
gandakan manfaat yang didapat dari respon bertambahnya salah satu aktivitas sistem yang
relaksasi (Benson, 2000). Penggunaan frase satu akan menghambat atau menekan fungsi
yang bermakna dapat digunakan sebagai yang lain. Ketika seseorang mengalami
fokus keyakinan, sehingga dipilih kata yang gangguan tidur maka ada ketegangan pada
memiliki kedalaman keyakinan. Dengan otak dan otot sehingga dengan mengaktifkan
menggunakan kata atau frase dengan makna syaraf parasimpatetis dengan teknik relaksasi
khusus akan mendorong efek plasebo yang maka secara otomatis ketegangan berkurang
menyehatkan. Semakin kuat keyakinan sehingga seseorang akan mudah untuk masuk
seseorang berpadu dengan respon relaksasi ke kondisi tidur (Utami, 2003).
maka semakin besar pula efek relaksasi yang Dengan dzikir disertai tawakal serta
didapat. Pilihan frase yang dipilih sebaiknya ikhtiar merupakan gambaran jiwa yang
singkat untuk diucapkan dalam hati saat tenang, sehingga menekankan kemungkinan
mengambil dan menghembuskan napas timbulnya berbagai penyakit yang secara
secara normal. Kedua kata tersebut mudah umum dipicu oleh endapan racun tubuh dan
diucapkan dan mudah diingat menyebutkan membantu
pengulangan kata atau
menjaga keseimbangan sirkulasi darah yang Benson, H. MD. 2000. Respon Relaksasi :
akan mendukung kinerja seluruh organ tubuh, Teknik Meditasi Sederhana untuk
sehingga akan memberikan efek kekebalan Mengatasi Tekanan Hidup.
tubuh meningkat sehingga seseorang tidak Bandung : Mizan.
mudah jatuh sakit atau mempercepat proses Brattberg. G. 1997. Parker MG, Thorslund
penyembuhan (Rahman, 2002). M. A Longitudinal study of pain :
reported pain from middle age to
3. Simpulan dan Saran old age . Clinical Journal Of Pain,
Simpulan 13(2), PP 144-49.
Dobratz, M. 1995. Analysis of
Relaksasi dzikir mempengeruhi variables that impact
tingkat kecemasan pada pasien yang dirawat psychological adaptation in home
di ruang ICU dengan nilai signifikansi
hospice patients. Hosp. J. 10: 75–
p=0,001. Relaksasi dzikir mempngeruhi 88.
kualitas tidur pada pasien yang dirawat di Edwards, R, R., and Fillingham, R, B. 2000.
ruang ICU dengan nilai signifikansi p=0,001. Age-associated
differences in responses to
Saran noxious stimuli. Journal of
Relaksasi dzikir sangat baik Gerontology Series A:
digunakan untuk terapi pasien, hal tersebut Biological Science & Medical
supaya dapat ditingkatkan dengan Science. 56, 180-185.
memberikan pelatihan. Pihak manajemen Gagliese, L., and Melzack, R. The
diharapkan agar dapat mengembangkan assessment of pain in the elderly.
relaksasi dzikir sebagai standar prosedur In D. I. Motofsky, and J. Lomran,
oprasional dalam menangani pasien cemas Handbook of Pain and Aging,
khususnya pada pasien (beragama islam) di Plenum Press, New York. 1997.
ruang perawatan intensif. Galih priambodo. Teori Keperawatan
Avaliable from: www.teori
4. Ucapan Terimakasih keperawatan-katharine-kolcab
a.html. 2013.
Ucapan banyak terimakasih Hawari H.D. 2006. Manajemen Cemas dan
disampaikan atas kesempatan yang diberikan Depresi. Jakarta : Balai Penerbit
untuk mendapatkan Dana Risbinakes DIPA Fakultas Kedokteran Universitas
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang, Indonesia.
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Jevon, P., dan Ewens, B. 2009. Pemantauan
Pasien Kritis seri ketrampilan
2. Daftar Pustaka klinis esensial untuk perawat edisi
Alimul, Aziz A. 2005. Riset Keperawatan kedua. Jakarta: Erlangga. Kalat, J.
dan Teknik Penulisan Ilmiah, W. Biological Psychology.
Salemba Medika, Jakarta. California: Thomson Learning,
Atwater, E. 1998. Psychology of Inc. 2007.
adjustment. (2nd ed). Kaplan, H.I., Sadock, B.J., and Grebb,
Engelewood Clift, New Jersey: J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri :
Pretice-Hall, Inc. Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Jilid Satu. Editor :
Dr. I. Made Wiguna S. Jakarta :
Bina Rupa Aksara.
Laura D.W, Cindy D.S., Calia A.T., and Michael E.R. 2012. J Pain. March ; 13(3): 220–227.
doi:10.1016/j.jpain. 011.10.014. Lei, Z., Qiongjing, Y., Qiuli, W., Sabrina,
K, Xiaojing and Changli, W. 2009. Sleep quality and sleep disturbing factor of inpatients in ;
18:2521-2529.
Sangkan, A. 2004. Pelatihan Sholat Khusyu, Sholat Sebagai Meditasi Tertingi dalam Islam. Jakarta : Baitul
Ihsan.
Sholeh, M. Tahajud. 2001. Manfaat Praktis ditinjau dari Ilmu Kedokteran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholeh, Moh, Musbikin. 2005. Agama Sebagai Terapi, Telaah Menuju Ilmu Kedokteran Holistik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Smeltzer, B.C and Barre, B.G. Brunner and Suddarth’s Textbook of medical-surgical nursing. Edisi
12. Lippincott Williams and Wilkins. 2010: 129-130.
Subandi, M. A. 2009. Psikologi Dzikir.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Utami, M.S. 2003. Prosedur Relaksasi.
Fakultas Psikologi. Yogyakarta : UGM.
Suhaimie, Muhammad Yasin. 2005. Dzikir dan Doa. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Rahman Sani. 2002. Hikmah Dzikir dan Doa: Tinjauan Ilmu Kesehatan, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 38
No Judul Artikel / Jurnal Analisa PICO
1. PENGARUH P : Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menderita penyakit kronis dan menjalani rawat inap di
HEALING GARDENS salah satu Rumah Sakit Swasta di Yogyakarta pada Bulan 15 Agustus – 17 Oktober 2015. Jumlah sample
TERHADAP dalam penelitian ini sebanyak 30 responden yang di pilih secara acak (radmomized).
PENURUNAN I : Salah satu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien adalah
healing gardens. Healing gardens akan menstimulasi pengeluaran endorphine . Selain menstimulasi
KECEMASAN
pengeluaran endorphine, healing gardens juga akan menurunkan kecemasan dengan jalan mempengaruhi
PASIEN DI SALAH korteks cerebri dan sistem limbic.
SATU RUMAH C : Hasil penelitian jika dilihat daritabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata skor kecemasan responden sebelum
SAKIT SWASTA dilakukan healing gardens adalah 12,83. Sedangkan rata-rata skor kecemasan responden sesudah dilakukan
YOGYAKARTA healing gardens adalah 2,93. Hal ini menunjukkan, terdapat penurunan skor kecemasan sesudah dilakukan
healing gardens.
O : Dari hasil uji analisa data perbedaan skor kecemasan pada responden sebelum dan sesudah dilakukan healing
gardens menunjukkan P value =0,000 (P value < 0,05), artinya Ho ditolak, terdapat perbedaan skor
kecemasan responden sebelum dan sesudah dilakukan healing gardens.
2. PENGARUH TERAPI P: Penelitian melibatkan 40 responden untuk masing-masing kelompok intervensi dan kontrol. Desain yang
SPIRITUAL digunakan adalah quasi eksperimen dengan consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien yang
EMOTIONAL terdiagnosa CHF grade II dan III saat akan dilakukan penelitian, pasien yang mengalami kecemasan,
FREEDOM kesadaran komposmentis dan belum pernah mendapatkan terapi SEFT sebelumnya.
I : Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa terapi SEFT yang dilakukan selama tiga hari, tiga kali
TECHNIQUE (SEFT)
terapi mempunyai dampak yang signifikan terhadap penurunan kecemasan pada responden. Selama terapi
TERHADAP diberikan tidak ada keluhan yang dirasakan oleh responden dan tidak ada responden yang drop out dari
TINGKAT penelitian ini.
KECEMASAN PADA C : Hasil uji statistik menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecemasan sebelum dilakukan terapi SEFT yaitu 123,60
PASIEN pada kelompok intervensi dan 110,40 pada kelompok kontrol. Hasil uji kesetaraan tingkat kecemasan antara
CONGESTIVE kedua kelompok menunjukkan hasil yang setara (p value> 0,322; α 0,05).
HEART FAILURE O : CHF. Penelitian ini menggunakan terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dalam
(CHF) pelaksanaannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat penurunan skor kecemasan pada pasien CHF
yang mengalami kecemasan yang sudah diberikan terapi SEFT selama 3 hari, 3 kali terapi turun dari skor
133,60 menjadi 86,10 pada post test hari ketiga, 91,45 pada post test hari ketujuh dan 95,90 pada post test
hari keempat belas dengan p-value 0,0001 (p<0,05).
3. EFEKTIFITAS TERAPI P : Pengambilan sampel secara non probability sampling yaitu menggunakan purposive sampling terhadap 30
RELAKSASI orang di ruang ICU. Pengukuran kecemasan menggunakan kuesioner HARS kemudian hasil penelitian
AUTOGENIK DAN dianalisis menggunakan uji paired T test.
AROMA TERAPI
LAVENDER I : Relaksasi autogenik adalah relaksasi bersumber dari diri sendiri dengan kalimat pendek yang bisa membuat
TERHADAP pikiran menjadi tenang. Aromaterapi yang digunakan pada individu yang mengalami kecemasan yaitu
PENURUNAN aromaterapi lavender
TINGKAT C :Perbedaan kecemasan responden sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok
KECEMASAN PADA control. Kecemasan sebelum dan setelah pada kelompok kontrol menggunakan uji paired T test diperoleh
PASIEN DIRUANG ICU pvalue = 0,007 (p<0,05) sedangkan pada kelompok intervensi diperoleh pvalue = 0,000 (p<0,005).
RSUD POSO O : Hasil analisa uji Paired T test bahwa terapi relaksasi autogenik dan aromaterapi lavender efektif dalam
menurunkan kecemasan pasien di ICU dengan nilai pvalue yang didapat yaitu 0,000 (P<0,05).
4. MUSIK SUARA ALAM P : Pengambilan sampel consecutive sampling dengan randomized allocation. Responden berjumlah 38 orang, 20
TERHADAP orang untuk kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol.
PENURUNAN I : Musik suara alam yang digunakan adalah suara burung dengan kombinasi diberikan 2x30 menit yaitu pada pagi
KECEMASAN PADA hari (jm08.00-tengah hari), dan malam hari (20.00-22.00) selama 3 hari.
PASIEN KRITIS C : Hasil uji perbandingan nilai kecemasan sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok intervensi
nilai p = 0,000 (p < 0,05) dan kelompok kontrol nilai p = 0,007 (p < 0,05) yang berarti bahwa terdapat
perbedaan bermakna kecemasan sebelum dan sesudah pemberian intervensi musik suara alam (p value <0,05).
O : Hasil uji beda kecemasan pada penelitian ini antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah p value
0,000 (p <0,005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kecemasan antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
5. PENGARUH P : Jenis penelitian ini adalah quasi experiments dengan rancangan pre–test post–test Control Group Design.
RELAKSASI Jumlah sampel dalam penelitian ini di hitung berdasarkan metode Slovin sebesar 28 responden tiap
TERHADAP kelompok.
KECEMASAN DAN
KUALITAS TIDUR I : Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa terdapat pengaruh dari relaksasi
PADA PASIEN dzikir terhadap penurunan kecemasan pasien intensive care unit (ICU). Relaksasi dzikir berusaha
mengaktifkan kerja syaraf parasimpatis. Keadaan rileks menurunkan aktivitas amygdala, mengendurkan
INTENSIVE CARE otot, dan melatih individu mengaktifkan kerja sistem syaraf parasimpatis
UNIT
C : Hasil analisis uji statistik pada kelompok perlakuan menggunakan paired t-test terdiri dari 28 responden
tiap kelompok, nilai rerata sebelum relaksasi dzikir 29,50 dan nilai rerata sesudah relaksasi dzikir 19,04,
standar deviasi sebelum dan sesudah relaksasi dzikir 1,774 dan 3,012, dan nilai p=0,001 sehingga dapat
diartikan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi dzikir
terhadap perubahan kecemasan.
O : Hasil analisis uji paired t-test terdiri dari 28 responden tiap kelompok, nilai rerata pre-test dan post-test
adalah 30,64 dan 29,32, standar deviasi pre-test dan post-test relaksasi dzikir 2,725 dan 2,465, dan nilai p =
0,001 sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara pre-test dan post-test terhadap
perubahan kecemasan pada kelompok kontrol walaupun masih dalam tingkat kecemasan kategori berat.

Anda mungkin juga menyukai