Makalah Tafsir Kel 6
Makalah Tafsir Kel 6
Disusun Oleh:
Ilfi Hans Saka (2151040255)
Alhamdulillah dan Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “wadi’ah
dan ariyah”tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauhdari kata
sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I......................................................................................................................7
PENDAHULUAN.....................................................................................................7
1.1 Latar Belakang............................................................................................7
1.2 RUMUSAN MASALAH..................................................................................7
1.3 TUJUAN PENULISAN....................................................................................7
BAB II.....................................................................................................................9
PEMBAHASAN.......................................................................................................9
2.1 ARIYAH (PEMINJAMAN)...............................................................................9
2.2 Al-Wadi’ah (Barang Titipan)......................................................................13
BAB III..................................................................................................................18
PENUTUP............................................................................................................18
3.1 KESIMPULAN..............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
a. Pengerian Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Ariyah secara istilah ialah
memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan
tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Menurut istilah, ‘ariyah ada
beberapa pendapat :
2. Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah : “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa
imbalan”
3. Menurut Syafi’iyah ‘ariyah ialah : “kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya
dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4. Menurut Hambaliyah ‘ariyah ialah : “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjan atau yang lainnya”
٢ۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-
binatang had-Nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-
orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari
Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-Maidah {5}: 2) Menurut Sayyid Sabiq,
tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana
dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun
landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah:
ۡ
َلى أ َل ِ ِت إ َم ۡنَ َل ٱ ْ َؤ ُّدواَنتُُ ُمر ُۡكم أ ۡ َّن ٱ ََّّللَيَأ ِ إ
َٰٓ ها۞ ۡ َ ِه
Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang
kedua ialah al-Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: ”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah
kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah.. ‘Ariyah
disunnahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami
menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah boleh, asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan,
tidak keburukan.
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hokum ijab qabul dengan ucapan. Menurut Syafi’iyah rukun ‘ariyah
sebagai berikut:
a. Kalimat menguntangkan (Lafadz), seperti seorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepadamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku menghutang benda ini kepadamu”.
Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
b. Mu’ir yaitu orang yang menguntangkan (berpiutang) dan musta’iryaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagimu adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan
syarat-syarat bagimu’ir dan musta’ir adalah: Baligh, Berakal, Orang tersebut tidak dimahjur,
maka tidak sah apabila dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan, seperti
pembiros, benda yang diutangkan. Pada rukun ini disyaratkan dua hal, yaitu: Materi yang
dipinjamkan dapat dimanfaatkan, Pemanfaatan itu dibolehkan. Menurut mayoritas ulama
(Jumhur), rukun ‘ariyah sebagaimana yang dikemukakan Zuhaily terdiri atas pihak-pihak
sebagai berikut: Yang meminjamkan (mu’ir), Peminjam (musta’ir)
c. Ucapan serah terima (Ijabqabul) Ulama fiqih menetapkan bahwa akad ‘ariyah
diperbolehkan atas barang-barang biasa yang dimanfaatkan tanpa harus merusak zatnya
(barang istimal’i) atau barang yang dugunakan, seperti rumah, pakaian, kendaraan, dan
barang lain yang sejenis.
d. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang
kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang
tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya.
Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulullah SAW bersabda:
“orang kaya yang melalaikan kewajiban utang adalah aniaya” (HR. Bukhori dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berpiutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang
membayar hutang. Rasulullah SAW bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya
dalam membayar hutang” (HR. Mutafaqun ‘alih).
Rasulullah SAW pernah berhutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan
yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Jika penambahan tersebut
dikehendaki oleh orang yang berhutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan,
maka tambahan itu tidak halal untuk mengambilnya. Rasullah SAW bersabda:
“tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara
riba” (HR. Baihaqi).
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda
pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum menginzinkannya jika penggunaan
untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Hambali,
peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan
statusnya selama peminjam berlangsung, kecuali barang tersebut disewakan. Haram
hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain,
kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang
di antara keduanya. Dalam kedaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan
kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
Jika peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak,
ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang
lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang
dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (HR. Al-
Daruquthni).
g. Tatakrama Berhutang
a. Sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari
pihak berhutang dan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki
dengan dua orang saksi perempuan.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayarkannya.
c. Pihak berhutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berhutang. Bila
yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya
memberikannya.
d. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat
pembayarannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat dzalim.
h. Contoh Ariyah
Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al–wadi’ah, menurut bahasa al– wadi’ah
berarti titipan (amanah). Kata Al-Wadiah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u –
wad’an) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Menurut istilah al–wadi’ah
dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Menurut Malikiyah bahwa al–wadi’ah memiliki dua arti, arti yang pertama ialah: “ibadah
perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”. Arti yang kedua ialah: “ibarah
pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan
kepada penerima titipan”.
b. Menurut Hanafiyah bahwa al–wadi’ah ialah berarti al-ida’ yaitu: “ibarah seseorang
menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah” Makna yang
kedua al–wadi’ahi alah sesuatu yang dititipkan (al-Syai’i al-Maudi’), “sesuatu yang
ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”
c. Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “akad yang dilaksanakan
untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
d. Menurut Hanabilah yang dimaksud dengan al–wadi’ah ialah: “titipan perwakilan dalam
pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)”
e. Menurut Hasbi Ash-shidiqie al–wadi’ah ialah: “akad yang intinya minta pertolongan
kepada seseorang dalam memelihara harta penitip”
f. Menurut Syaikh al-din al-Qalyubi wasyaikh ‘Umairah al–wadi’ah ialah: “benda yang
diletakan pada orang lain untuk dipeliharanya”
g. Syeikh ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud al–wadi’ah ialah: “akad yang
dilakukan untuk penjagaan”
h. Menurut idris ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan (diamannahkan)
kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik. Setelah diketahui definisi-definisi al–
wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka kiranya dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan al–wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan).
Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikan
pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT.
ۡ ت ۡ َولَمنَتَهۥُ َ ِمن أ ٰٞۖ
ِ ِذيٱؤتَُّيَُِؤ دٱل ۡ ۡبَ ُعضُكم ۡبَع َ َّ َُوامتَ ٖر َو َل ى َس ۡفَ َمعلَِنُكنتَُ ِوق إ ي ۡ ن َّمقِ َرهَكا ٗتِبافَ ْ ِجدٞ ۡ ضة َمن ۞ َ ۡن أ ِ فَإبُ َو
ۗ َ م ٱ ََّّلل٢٨٣ٞ م قَ َلءاثَِٰٓ ِهۥُنَّ ۡتُمهافََإ َومنيَ ۡك ۚ ٱلَّ َشه َدةَ ْ ُمواتَُ َولت َۡكهۥَُ ِعليٞ ۡ ُٗضافَلُ َون ِ َما ۡتَ َعملَوٱََّّل ُل ب هۥُ ۗب
َّرب َ
Artinya: ”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah:
283).
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak
melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang
titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dar al-Quthni dan riwayat
Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda:
Artinya: “siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni).
- Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu
merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
- Orang yang menitipkan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan sudah baligh, berakal, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat
berwakil.
- Shigtijab dan kabul al-wadhi’ah di syaratkan pada ijab Kabul ini dimengertikan oleh kedua
belah pihak, baik denganjelas maupun samar. Menurut Hanafiyah rukun al–wadi’ah ada satu,
yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun.
Menurut Hanafiyah dalam shigatijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan
perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan semaran (kinayah). Hal ini berlaku
juga untuk kabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititip barang dengan mukalaf.
Tidak sahapabila yang mrnitipkan dan yang menerimabendatitipanadalah orang gilaatauanak
yang belum dewasa (shabiy).
- Hukum menerima Wadi’ah terdapa tempat hokum wadi’ah, yaitu sunnah, makruh, wajib
dan haram. Hal ini berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Penjelasan masing-masing hokum
adalah sebagai berikut:
* Sunnah dihukumkan sebagai sunnat, karena wadi’ah sebagai salah satu akad dalam rangka
tolong-menolong sesame insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam dari alasan tersebut
di atas, wadi’ah (barang titipan) adalah amanat dan disunnahkan menerimanya bagi orang
yang bisa memenuhi kewajiban terhadap titipan tersebut, yaitu memelihara dan
mengembalikan titipan apabila pemiliknya meminta kembali barangnya. Akan tetapi hukum
sunnat tersebut akan berubah menjadi wajib terutama dalam hal-hal penitipan barang yang
disebabkan karena keadaan terpaksa, misalnya banjir, kebakaran, perampokan, kecelakaan
lalu lintas dan peristiwa peristiwa lainnya yang tidak diduga sebelumnya.
* Makruh dihukumkan sebagai makruh yaitu dalam hal si penerima titipan mempunyai
keyakinan bahwa sebenarnya dia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya,
akan tetapi dia sangsi dengan adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan
mengakibatkan dia tidak berlaku amanah atau khianat.
* Wajib diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-bendatersebut, sementara orang lain tidak ada
seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
* Haram dihukumkan menjadi haram, apabila orang yang menerima barang titipan tidak
mampu memeliharanya. Sebagian ulama’ ada yang berpendapat tentang wajibnya menerima
barang titipan jika pemilik barang itu tidak mendapatkan orang yang bisa dititipi. Ulama’
tersebut juga berpendapatbahwa orang yang dititipi itu tidak menerima upah atas
pemeliharaannya, sedangkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan barang seperti tempat
tinggal atau biaya, menjadi tanggungan pemiliknya. Sedangkan dalam menanggung resiko
barang titipan, orang yang menerimanya tidak wajib menanggungnya, kecuali karena
kelengahan.
d. Contoh Wadiah
Amir seorang yang tinggal di Jakarta ingin pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta
api. Untuk menuju stasiun Gambir Jakarta ia menggunakan sepeda motor. Sesampainya di
stasiun Gambir Amir kemudian menitipkan sepeda motor pada tukang parkir dan atas
penitipan sepeda motor pada tukang parkir dan atas penitipan tersebut Amir membayar biaya
parkir. Tukang parker harus menjaga amanah dan tidak diperkenankan untuk menggunakan
sepeda motor Amir.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Menurut analisa kami bahwa ‘ariyah adalah meminjamkan sesuatu benda atau barang
kepada orang lain agar bisa memberikan manfaat kepada orang yang meminjam dalam
waktu yang telah disepakati barang tersebut akan dikembalikan kepada orang yang
meminjamkan. Dasar hukumnya adalah al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 dan hadis. Syarat
dan Hukum ‘Ariyah adalah Peminjam, orang yang akan meminjam, barang yang dipinjamkan
dan ijab qabul. Pembayaran pinjaman diwajibkan bagi orang yang sudah mempunyai barang
yang akan dipinjamkan.
Sedangkan Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan
menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Dasar
hukum wadiah terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah:283 dan juga terdapat di hadis
yang diriwayatkan Daruqunthi. Syarat dan rukun wadiah adalah ada barang yang dititipkan,
ada orang yang mentipkan, yang menerima titipan, dan sighot ijab qabul.
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensido, 2003), hlm. 322.
[2]Hendi suhendi, Fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hlm. 91-92
[3]Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer, (Anggota IKAPI: Ghalia
Indonesia: 2002), hlm.177
[5]Ibid.,
[8]Ibid.,
[9]Ismail Nawawi, Fikih muamalah klasik dan kontemporer opo.cit., hlm. 176.
[11]Ibid.,
[12]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 2005) hlm. 495.