Anda di halaman 1dari 4

Cerpen

Terbukanya Kedok Sumanto


*Muhammad Sajidin Nur

“Ya Allah, ampuni saya. Saya insaf sekarang. Pak, tolong Pak! Jangan penjarakan saya,”
pinta Sumanto kepada polisi.
“Maaf Pak. Hukum tetap hukum. Anda tidak bisa menolaknya,” jawab polisi itu.
Dengan tangan terborgol, Sumanto lalu digiring ke sel tahanan. Dia ditempatkan bersama
dua tahanan lain di dalam sel tersebut.
***
Pagi itu, Sumanto mulai berangkat menuju tempatnya berjualan. Di sana ia biasa
menjajakan lontong sayurnya . Dengan memakai gerobak dorong, ia lakukan pekerjaan itu setiap
hari selama 15 tahun terakhir. Tak lama, pembeli mulai berdatangan.
“Bang, lontong sayurnya satu!” pinta pembeli itu.
“Saya juga Bang, satu!” sahut pembeli yang lain.
Sumanto mulai menyiapkan lontong sayur untuk pembelinya. Beberapa menit kemudian,
lontong sayur pun siap. Para pembeli mulai menyantapnya. Usai menyantap makanan itu, para
pembeli mulai meninggalkan pangkalan Sumanto.
Satu jam kemudian, pembeli tadi mendatangi Sumanto. Dia mengeluhkan mual-mual
setelah menyantap lontong sayur Sumanto.
“Bang, saya tadi mual-mual setelah makan lontong sayur ini. Apa tanggung jawab Abang
pada saya sekarang?” keluh pembeli itu.
“Masak sih? Pembeli-pembeli sebelumnya tidak pernah sampai begini.” Jawab Sumanto.
“Pokoknya saya tidak terima! Saya akan lapor polisi!” sahut pembeli tadi.
Sumanto merasa ketakutan. Dia memutuskan untuk pulang. Sementara pembeli tadi,
ditinggal begitu saja.
Sesampainya di rumah, Sumanto mendapati istrinya sedang bersiap-siap akan pergi. Di
ruang tamu, ia juga melihat anaknya sedang duduk dengan lesu.
“Ada apa ini?” Tanya Sumanto panik.
“Ini Pak, anak kita baru saja muntah-muntah. Ibu akan bawa dia ke Puskesmas.” Jawab
isrti Sumanto.
“Kalau begitu, ayo kuantar kalian ke sana,” sahut Sumanto
***
“Anak Bapak keracunan makanan.” Jelas dokter di Puskesmas itu.
“Bagaiman ini Pak, anak kita keracunan!” kata istri Sumanto.
Sumanto hanya terdiam mendengar perkataan istrinya.
“Maaf Pak. Kalau boleh saya tahu, tadi pagi anak Bapak sarapan apa?” Tanya dokter itu.
“Sarapan lontong sayur buatan saya sendiri,” jawab Sumanto.
“Bisa jadi, itu yang membuat di keracunan,” balas dokter itu.
Tiba-tiba, suara mobil polisi terdengar. Mobil itu tepat berhenti di depan Puskesmas. Dua
orang polisi dan seorang pembeli lontong sayur Sumanto terlihat keluar dari dalam mobil.
Mereka bergegas menghampiri Sumanto.
“Selamat siang! Betul Anda bernama Sumanto? Tanya polisi itu
“Siang Pak! Betul, saya Sumanto” Jawab Sumanto.
“Anda kami tangkap! Anda terbukti melakukan kecurangan dalam berjualan. Mari, ikut
kami ke kantor!, kata polisi itu.
Tangan Sumanto segera diborgol. “Pak, jangan tahan suami saya! Siapa yang akan
mencari nafkah untuk keluarga saya nantinya?” rengek istri Sumanto. “Maaf Bu, kami terpaksa
membawanya. Untuk lebih jelasnya, ibu bisa datang langsung ke kantor,” jawab polisi itu.
Sumanto segera dibawa ke kantor polisi guna menjalani pemeriksaan. Sementar itu, istri
Sumanto tidak bisa ikut lantaran masih menjaga anaknya di Puskesmas.
Setiba di kantor polisi, Sumanto pun diperiksa. Ditunjukkan pula barang bukti berupa dua
bungkus boraks di hadapannya. Barang bukti tersebut ditemukan polisi saat menggeledah rumah
Sumanto. Dua orang pembeli yang mengaku keracunan, juga hadir di sana. Setelah melalui
pemeriksaan, keputusan pun jatuh. Sumanto dinyatakan bersalah dan dia dikenai kurungan lima
tahun penjara.
“Ya Allah, ampuni saya. Saya insaf sekarang. Pak, tolong Pak! Jangan penjarakan saya,”
pinta Sumanto kepada polisi.
“Maaf Pak. Hukum tetap hukum. Anda tidak bisa menolaknya,” jawab polisi itu.
Dengan tangan terborgol, Sumanto lalu digiring ke sel tahanan. Dia ditempatkan bersama
dua tahanan lain di dalam sel tersebut.
***
Aku menyebut dia sebagai Cak To. Anggaplah dia berumur lima tahun lebih di atasku.
Sejak tahun 2014, aku kenal Cak To di sebuah puskesmas dari istrinya kala itu. Aku yang sedang
terbaring lemah di bed yang berseberangan dengan anak kandung Cak To yang sedang dirawat
karena dugaan kasus keracunan.

“Lha iyo mas, mas, uripku gak lebih teko pepatah kuno sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Aku duwe anak sing loro keracunan saiki bojoku diseret nang bui. Sedangkan hutang keluarga
sik onok gek ngarepe moto. Putus asa aku rasane, mas. Gaisok melok riyoyo”

“Kudune sampean bersyukur mbakyu, sampean gak melok loro, dan isih onok dulure sing
gelem nyambangi.”

Aku kembali melihat Whats App yang berdering sejak tadi lantaran notif teman2
sekelompok Blok Imun. Sembari terbaring lemah, kadang aku juga mengerjakan tugas ini
dengan rasa yang begitu lelah. Kekhawatiran akan jebloknya nilaiku lantaran tertinggalnya
materi aku selama aku dirawat di gedung ini.

“Mas-mas iki mau onok debt collector telfon aku, jare kate mrene marani nagih hutang.
Terus, yaopo, mas”

“Sampean tenang disik, rausah panik, bekmenowo iso tak nego cek gak susah sampean
ngelunasi pas wayahe musaibah ngene, iki.”

Belum lama aku membaringkan kepalaku, sekelompok orang permisi masuk ke ruangan
untuk menemui Ny. Sumanti.

“Selamat pagi, apa benar ini ruangan bu sumanti?”

“Iyya, be-benar pak”

Aku melihat mbakyu raut wajah tegang ketakutan sembari memegang tangan Keisya.

“Iya pak, saya yang mewakili Cak To, maksud saya Pak Sumanto.

“Baik, bapak sumanto telah berjanji akan melunasi hutangnya 1x12 bulan, dan tepat di
bulan Juli ini telah jatuh tempo.

Aku segera menjelaskan bahwa keluarga Cak To sedang ditimpa musibah berat. Cak to
dibui lantaran kasus bakso tikus, anaknya terkena dugaan kasus keracunan, sedangkan hutang
mereka menumpuk dan ditagih di saat yang tidak tepat.”

Sebenarnya, aku sampai saat ini pun agak ragu untuk masuk ke dalam lingkaran masalah
keluarga sumanto. Apakah aku juga akan terkena imbas negatifnya suatu hari nanti? Ahh
perasaan itu cepat-cepat aku hilangkan.
Pertama, posisiku sebagai mahasiswa kedokteran membuatku terpicu untuk memiliki
jiwa ksatria yang tinggi salah satunya bisa memangku kepentingan orang lain (mempermudah
urusan orang dhuafa/benar2 membutuhkan di siatuasi sulit). kedua, aku berusaha menebus dosa-
dosaku di masa lalu dengan senantiasa berbuat baik di masa mendatang. Ketiga, aku melatih
diriku untuk mampu berproblem solving di bawah tekanan yang menghadang sebagai
pemaknaanku terhadap surat al ‘ashr. “Di sisi lain, hanya aku yang laki-laki di antara keluarga
sumanto ini. Hanya yuk ti dan anak tunggal satu2nya ini yang tepat berada di depan mata
kepalku.”

Apakah aku bisa membuktikan diri layak menjadi ksatria yang bertanggung jawab jika
aku terus menghindar dari aspekj-aspek kehidupan atau masalah yang ada di urat-urat
kehidupanku?? yang ada, malah aku mengalami masalah yang jauh lebih sulit dan lebih parah
namun aku hanya bisa berpangku tangan di atasbelas kasihan orang tua, senior, maupun
kemapanan-kemapanan lain yang keluargaku berikan selama ini karena kekurang pengalamn dan
kurang bertanggungjawabnya diriku.

Anda mungkin juga menyukai