Anda di halaman 1dari 8

Pengantar Antropologi

Hukum
Kasus Sengketa Di Jawa
Tengah
Disusun Oleh :
Nama : Ardi Sutriawan
Nim : 2109110355

Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.


“Penyelesaian Perkara Secara Tradisional Tentang
Masalah Perikanan di Lingkungan Petani Tambak
Di Wilayah Keresidenan Jepara-Rembang”
Keresidenan Jepara-Rembang merupakan wilayah yang berasal dari dua keresidenan yang
berbeda. Berdasarkan Staatsblasd 1931 No.426 dua wilayah yang masing – masing keresidenan Jepara dan
keresidenan Rembang ini digabungkan menjadi keresidenan Jepara-Rembang yang mulai berlaku sejak 1
November 1931.
Penggabungan wilayah ini hanya karena adanya pembaharuan wilayah administratif di jawa
tengah pada masa kolonial, tetapi baik secara geoggrafis maupun budaya kedua wilayah ini tetap berbeda.
Dari sumber arsip dapat diketahui bahwa secara geografis wilayah keresidenan Jepara-Rembang terbagi
menjadi ‘Moeriasche-Streek’ dan Rembangsche-Streek’, Kedua wilayah ini mempunyai tingkat sosial ekonomi
budaya yang berbeda.
Perbedaan tingkat sosial ekonomi dan budaya yang berbeda. Perbedaan ekonomi sosial
disebabkan adanya sumber mata pencaharian yang berbeda. Masyarakat di wilayah muria mempunyai dua
sumber mata pencaharian, meliputi (sawah) dan perikanan (tambak). Sedangkan di wilayah Rembang
perikanan sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian.

Mulyo Putro
Perbedaan tingkat budaya dapat di lihat dari tipe penduduk masing-
masing wilayah tersebut. Tipe penduduk di wilayah muria disebutkan sebagai ‘het
gewone Javaansche type’ yang banyak mendapat pengaruh kebudayaan jawa bagian
dalam (Yogya dan Solo).
Tipe penduduk di wilayah Rembang disebut sebagai ‘Rembangsche Type’ (Rembanger),
yang sebagian berasal dari madura.

Dalam hubungannya dengan penyelesaian perkara di bidang perikanan di


wilayah keresidenan Jepara-Rembang, pemerintah belanda menegaskan bahwa
penyelesaian perkara dilakukan secara tradisional dengan cara mereka sendiri.
Penyelesaian perkara yang berpedoman pada prinsip ‘Pati Karyo’, dan utang ‘Pati nyaur
pati’, utang wirang nyaur wirang, utang bondo nyaur bondo’, bagi masyarakat wilayah
Rembang (Rembangsche-Streek).

.
Setiap pengelompokkan penduduk
mencerminkan adanya kategori yang unit. Setiap demikian
memiliki sistem norma dan simbol tersendiri atau patokan
tingkah laku bagi tindakan yang sesuai. Menemukan dimensi
budaya proses penyelesaian perkara berarti membuka pintu
bagi pengamatan informal, penyelesaian perkara.

Melalui cara ini dapat ditemukan bidang simbol


dan memasuki usaha-usaha yang digunakan oleh penduduk
untuk mengurangi resiko pada kerugian yang maksimal pada
penyelesaian suatu perkara.
Dimensi kebudayaan berkaitan erat dengan
ideologi, nilai sikap dan segala sesuatu yang berhubungan erat
dengan persepsi (penglihatan) dan kognisi (pengamatan).
Pendekatan kebudayaan masyarakat pribumi terhadap hukum
yang dimaksud adalah melihat titik pandang masyarakat
pribumi pada hukum.

Cara-cara penyelesaian perkara dalam suatu


masyarakat termasuk salah satu pokok yang di telaah dalam
antropologi hukum. Pengamatan terhadap kebudayaan
manusia secara lintas menunjukkan bahwa perkara merupakan
bagian yang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan
masyarakat.

Dalam masyarakat manapun banyak perkara yang


yang diselesaikan sendiri oleh orang yang berperkara dengan
bantuan orang yang ada disekitarnya.
Ungkapan ‘Pati Karyo, pati wismo, pati margo’, digunakan
sebagai pedoman penyelesaian perkara dibidang perikanan bagi para petani
tambak di wilayah muria. Dalam masalah yang sama, masyarakat wilayah
Rembang menggunakan pedoman ‘Utang pati nyaur pati, utang wirang nyaur
wirang, utang bondo nyaur bondo’, kedua ungkapan tersebut merupakan
hasil kebudayaan masyarakat keresidenan Jepara-Rembang yang digunakan
sebagai pedoman penyelesaian perkara di bidang perikanan secara turun
temurun.
Ungkapan tersebut di atas digunakan sebagai pedoman dalam
memberikan sanksi bagi para pelaku kejahatab dibidang perikanan sesuai
dengan titik pandang masyarakat setempat. Ungkapan tersebut juga
merupakan hasil karya budaya petani tambak dalam menanggulangi
kejahatan di bidang perikanan yang di anggap sesuai dengan situasi dan
kondisi mereka.
Disamping dua pedoman tersebut masih
terdapat hukum pemerintah yang digunakan sebagai
pedoman secara umum dalam memberikan sanksi. Dari
beberapa alternatif sanksi tersebut di atas para
penegak hukum sebagai pelayan hukum kepada
masyarakat harus dapat memisahkan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi.

Dengan menggunakan dan memanfaatkan


hasil penelitian para antropologi akan sangat
membantu terciptanya hukum yang berwajah
indonesia.
Terima Kasih

CRÉDITOS: Esta plantilla de presentación fue creada por Slidesgo, que incluye
iconos de Flaticon, infografía e imágenes de Freepik

Anda mungkin juga menyukai