Anda di halaman 1dari 7

Liputan6.

com, Jakarta - Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan
Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memenuhi
undangan Pansus Hak Angket di DPR. Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar
menegaskan, pihaknya akan melayangkan panggilan kedua kepada Sekjen dan Unit Labuksi
KPK.

Menurut dia, keterangan keduanya penting karena terkait dengan penyelidikan pansus di sektor
manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) serta barang rampasan dan sitaan.

Dia berharap, pansus tidak perlu menggunakan kewenangan pemanggilan paksa melalui bantuan
Polri untuk menghadirkan KPK ke depan para anggota dewan.

"Kami berharap tidak perlu menggunakan upaya paksa karena semua berangkat dari iktikad baik,
bukan memaksakan kehendak," ujar Agun di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis
(26/10/2017).

Ketidakinginan hadir pihak KPK ke pansus angket sudah berkali-kali dijelaskan baik oleh
Pimpinan KPK maupun Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

"Ya kita sudah membahas di KPK. Kami hormati undangan tersebut. Namun seperti sikap KPK
secara kelembagaan yang pernah disampaikan sebelumnya, KPK berharap kita sama-sama
menunggu proses hukum di MK," kata Febri.

Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah aktivis antikorupsi mendaftarkan permohonan judicial


review atas hak angket DPR pada Pasal 79 ayat (3) dan Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang MD3
ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada empat orang yang menjadi pemohon, dua orang di antaranya yakni Busyro Muqoddas
sebagai Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah dan aktivis Indonesia
Corruption Watch Adnan Topan Husodo.

"Pasal yang diuji dalam UU MD3 dalam permohonan ini telah menghambat berjalannya tugas
pemberantasan korupsi yang lagi dijalankan KPK," ujar aktivis YLBHI M. Isnur, setelah
mengajukan gugatan ke MK, Kamis (20/7/2017).

MK perlu memaknai konstitusionalitas pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa kewenangan Hak
Angket DPR tidak dapat ditujukan untuk menyelidiki KPK. Sebab, KPK bukanlah bagian dari
eksekutif.

(Baca: Anggota Pansus Angket KPK: Novanto Tersangka Ringankan Beban Kami)

"Menurut putusan MK Tahun 2006, KPK digolongkan ke dalam lembaga yudikatif yang tidak
bisa diberikan hak angket oleh DPR," ujar Isnur.
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 juga perlu ditafsirkan bahwa kewenangan Hak Angket DPR terhadap
KPK tidak memenuhi unsur hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundangan.

"Pembentukan Hak Angket KPK adalah langkah politis," ujar Isnur.

Terakhir, pemohon juga meminta MK menafsirkan Pasal 199 ayat (3) UU MD3. Sebab
pembentukan Hak Angket DPR sendiri diduga kuat bertentangan dengan pasal itu.

"Untuk menyetujui hak angket, harus dihadiri setengah anggota DPR, yaitu 280. Dari setengah
hadir sebagai anggota quorum, harus disetujui oleh setengah anggota yang hadir. Kalau mau
tertib aturan, harusnya yang menyetujui 140 anggota yang hadir. Faktanya itu tidak terjadi di
DPR," ujar Isnur.

JAKARTA, KOMPAS.com - Panitia Khusus (pansus) hak angket KPK resmi terbentuk saat
rapat paripurna, Selasa (30/5/2017) kemarin.

Sebanyak lima fraksi menempatkan perwakilan dalam pansus tersebut.

Kelima fraksi tersebut adalah Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi
Nasdem, Fraksi Hanura, dan Fraksi Golkar.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan,
terbentuknya Pansus Angket KPK tak bisa dilepaskan dari kasus korupsi e-KTP.

Sebab, wacana pembentukan Pansus muncul saat sejumlah anggota Komisi III DPR yang
namanya disebut menekan anggota DPR Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani, mempertanyakan
rekaman pemeriksaan Miryam kepada KPK.

Berdasarkan pengakuan penyidik KPK Novel Baswedan, sejumlah anggota Komisi III diduga
menekan Miryam untuk memberi keterangan palsu saat diperiksa KPK.

Kelima nama yang disebut Novel yakni Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond
Junaedi Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding. 

Baca: Ini Nama-nama Wakil Rakyat yang Jadi Anggota Pansus Angket KPK

Akan tetapi, KPK bersikeras untuk tak membuka rekaman tersebut karena hanya pengadilan
yang berhak memintanya.

Oleh karena itu, menurut Donal, tak ada itikad baik dari DPR dengan pembentukan Pansus
Angket KPK.

"Jadi ini jelas memiliki kaitan dengan kasus e-KTP meskipun mereka beralasan ini untuk
penguatan KPK, itu hanya alibi mereka saja," ujar Donal saat dihubungi, Selasa (30/5/2017).
Selain itu, Donal menyoroti mekanisme pembentukan pansus angket KPK yang dianggapnya
tidak sah secara hukum karena tidak kuorum.

Ia mengatakan, berdasarkan Pasal 201 ayat 2 Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPRD, dan DPD (MD3), keanggotaan pansus terdiri dari semua unsur fraksi.

Dengan demikian, menurut Donal, terbentuknya Pansus Angket KPK yang tidak terdiri dari
semua unsur fraksi tidak memiliki keabsahan.

"Bahkan sedari awal persetujuan hak angket di paripurna juga cacat prosesnya, banyak fraksi
yang tidak diberi kesempatan menyampaikan pandangan, jadi wajar kalau akhirnya mereka tidak
mengirim wakil," ujar Donal saat dihubungi, Selasa (30/5/2017).

Baca: KPK Bakal Kaji Secara Hukum Pembentukan Pansus Angket

Donal mengatakan, karena pembentukannya cacat proses, maka KPK tak perlu hadir jika
dipanggil oleh Pansus untuk dimintai keterangan.

Selain itu, Pasal 17 undang-undang tersebut mengatur informasi yang dikecualikan untuk publik.

"Jadi ada dua alasan KPK tak perlu datang bila dipanggil pansus angket KPK. Pertama
mekanisme pembentukannya yang cacat hukum sehingga pansus angket KPK ini forum ilegal
dan KPK tak layak datang di forum ilegal seperti itu," kata Donal.

"Kedua, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik yang tidak memperbolehkan KPK


membuka rekaman pemeriksaan Miryam," lanjut dia.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak
Angket KPK tetap sah meski ada fraksi yang menolak mengirim perwakilan.

"Tak ada masalah, Pansus telah terbentuk, tetap berjalan," ujar Fahri di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2017).

"Kuorum itu dari yang ngirim. Mustahil itu (Pansus tidak sah), enggak mungkin hanya karena
satu orang atau satu fraksi enggak setuju lalu Pansus batal. Kalau begitu nanti kinerja Dewan
enggak bakal efektif dong," papar Fahri.

Ia mengatakan, dalam Pansus Angket KPK, sedianya semua fraksi wajib mengirim
perwakilannya karena sudah menjadi keputusan rapat paripurna.

KPK tak campuri hak politik DPR

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, menyatakan pihaknya tak akan mencampuri
hak politik DPR dalam pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK.
"Kami di KPK tidak bisa mencampuri urusan dan hak-hak di dalam kelembagaan DPR. Silakan
berproses sebagaimana adanya di DPR. Kami di KPK tentunya berharap ini bukan sesuatu hal
yang sangat luar biasa untuk dibicarakan di pansus," ujar Laode di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2017).

KPK akan membuat kajian hukum terkait pembentukan Pansus Angket KPK.

"Kami akan lihat dulu apakah mekanisme sudah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau
seandainya kami melihat ada yang tidak wajar dalam pembentukannya mungkin pasti KPK akan
memberi pernyataan resminya tapi bukan sekarang," ujar Laode.

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti,


mengingatkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah lembaga pemerintah,
melainkan lembaga negara yang bersifat independen.

Oleh karena itu, menjadi tidak tepat jika DPR tetap melanjutkan hak angket. Penegasan ini bisa
dilihat pada Pasal 79 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3)

Dalam UU MD3 yang dimaksud dengan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah terkait
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"KPK bukan lembaga pemerintah, dan karena itu tidak mungkin diangket," kata Ray melalui
keterangan tertulis, Jumat (9/6/2017).

Menurut Ray, gencarnya pembentukan panitia khusus memperlihatkan bahwa hak angket KPK
bukan untuk kepentingan publik secara umum, melainkan hanya untuk kepentingan anggota
DPR semata.

"Angket DPR soal KPK ini hanya semata memenuhi ambisi DPR untuk terus menerus
mengganggu kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi," kata Ray.

Ray juga menyoroti anggaran pansus hak angket KPK yang diperkirakan mencapai Rp 3,1
miliar.

(Baca: Anggaran Pansus Hak Angket KPK Capai Rp 3,1 Miliar)

Menurut Ray, dengan dana sebesar itu namun kepentingannya hanya untuk elite politik tentu hal
ini menambah luka hati masyarakat.

Ray berharap, fraksi-fraksi yang sejak awal menolak hak angket bisa bersikap konsisten tak
mengirim perwakilannya dan menolak pembentukan pansus.

"Ini sudah melebihi batas. Angketnya saja secara umum tidak disetujui masyarakat," kata Ray.
Hingga saat ini, tujuh fraksi telah mengirimkan nama ke Pansus Hak Angket KPK.

Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah secara resmi menolak hak angket tersebut
melalui forum sidang paripurna.

Sikap serupa diungkapkan Partai Demokrat yang menolak hak angket tersebut. Sedangkan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) masih belum menentukan sikap.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan,
sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK.
Sebab, KPK dibentuk melalui undang-undang.

Hal itu diungkapkan Yusril dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks
Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).

"Dapatkah DPR secara konstitusional melakukan angket terhadap KPK? Maka saya jawab,
karena KPK dibentuk dengan undang-undang, maka untuk mengawasi pelaksanaan undang-
undang itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK," kata Yusril.

(baca: Jokowi Akan Turun Tangan jika Pansus Berupaya Bubarkan KPK)

Dalam UUD 1945, lanjut Yusril, disebutkan bahwa DPR mempunyai beberapa tugas dan
kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.

Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan lah DPR dibekali sejumlah hak,
termasuk angket.

Ia menambahkan, pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan pula bahwa
DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan UU dan terhadap kebijakan Pemerintah.

"Apa yang mau diangket saya tidak akan jawab, bukan kewenangan saya. Tapi secara hukum
tata negara, karena KPK dibentuk dengan UU, maka untuk menyelidiki sejauh mana UU
pembentukan KPK sudah dilaksanakan dalam praktiknya, maka DPR dapat melakukan angket
terhadap KPK," ucap Yusril.

(baca: 165 Guru Besar dari 24 Universitas di Timur Indonesia Dukung KPK)

Mantan Menteri Kehakiman dan HAM era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu
menambahkan, angket dilakukan terhadap kebijakan Pemerintah (eksekutif).

Dalam sistem ketatanegaraan, terdapat tiga organ, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif.

KPK bukan termasuk kategori yudikatif, karena bukan merupakan badan pengadilan yang
memeriksa dan mengadili.

(baca: Para Guru Besar Minta Jokowi Bersikap Keras soal Pansus Angket KPK)
KPK juga bukan termasuk badan legislatif karena tak memproduksi peraturan perundang-
undangan.

Kecuali peraturan internal yang dibuat khusus untuk KPK atau membuat peraturan karena
perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi.

"Eksekutif, apakah masuk? Iya," ujar Yusril.

Alasannya, amanat dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi saat itu menyebutkan dalam tempo dua tahun sudah harus terbentuk komisi
pemberantasan korupsi yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
perkara-perkara korupsi.

"Tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tugas eksekutif, bukan legislatif dan
yudikatif," tutur Yusril.

(baca: Mahfud MD Nilai Hak Angket terhadap KPK Tidak Tepat)

Di samping itu, dalam proses pembentukannya, sempat ada kekhawatiran tumpang tindih antara
KPK dengan lembaga lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Kekhawatiran tersebut diungkapkan
pertama kali oleh Fraksi TNI/Polri.

"Kalau tumpang tindihnya dengan polisi dan jaksa, jelas antar organ eksekutif. Tumpang tindih
biasanya dalam satu organ," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, pihaknya
meminta pandangan Yusril lantaran yang bersangkutan merupakan pakar hukum tata negara
sekaligus praktisi hukum.

Yusril juga mantan Menteri Sekretaris Negara dan menjabat Menteri Kehakiman dan HAM yang
terlibat dalam berbagai kebijakan negara.

"Prof Yusril juga tercatat sebagai pelaku sejarah dan saksi hidup, terlibat langsung dalam proses
peralihan kepemimpinan nasional dari Pak Soeharto ke Pak Habibie," kata Agun dalam rapat
pansus.

Legalitas Pansus Angket KPK dipertanyakan banyak pihak. Pansus tersebut dianggap melanggar
UU.

(baca: 132 Pakar Hukum Tata Negara Nilai Cacat Pembentukan Pansus Angket KPK)

Para pakar yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN) menilai, pembentukan Pansus Hak Angket KPK oleh DPR RI cacat
hukum.
APHTN-HAN bersama Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
mengkaji soal pembentukan Pansus hak angket.

Kajian yang ditandatangani 132 pakar hukum tata negara seluruh Indonesia tersebut diserahkan
ke KPK.

Selain itu, pengesahan pembentukan Pansus juga dipermasalahkan. Pasalnya, masih ada fraksi
yang tidak menyetujui Pansus ketika pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.

Meski demikian, Pansus tersebut tetap berjalan.

Anda mungkin juga menyukai