Anda di halaman 1dari 1230

Versi 0.

1
HIMPUNAN STANDAR & REGULASI
BIDANG PROTEKSI KEBAKARAN DI INDONESIA

Editor :
Yusuf Effendi
Martina Indah Lestari

Diterbitkan Oleh :
ProteksiKebakaran.com
E-mail: yusuf@proteksikebakaran.com
Mobile : 08772216799
LinkedIn : http://www.linkedin.com/in/yusufeffendi

Copyright © 2015 by ProteksiKebakaran.com

Format dan Layout CD ROM adalah Hak Cipta daripada Penerbit


Mohon untuk tidak mensharing ebook ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Mintalah orang lain
mengunjungi http://www.proteksikebakaran.com, untuk mendownload sendiri
DAFTAR ISI
STANDAR & REGULASI PROTEKSI KEBAKARAN DI INDONESIA

A STANDAR NASIONAL INDONESIA


1. SNI 03-1735-2000 Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan Dan Akses
Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung.
2. SNI 03-1736-2000 Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi Pasif Untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah
Dan Gedung.
3. SNI 03-1745-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sistem Pipa
Tegak Dan Slang Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Rumah Dan Gedung.
4. SNI 03-1746-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sarana Jalan Ke
Luar Untuk Penyelamatan Terhadap Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Gedung.
5. SNI 03-3985-2000 Tata Cara Perencanaan, Pemasangan Dan Pengujian Sistem
Deteksi Dan Alarm Kebakaran Untuk Pencegahan Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung.
6. SNI 03-3989-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sistem Springkler
Otomatik Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung.
7. SNI 03-6570-2001 Instalasi Pompa Yang Dipasang Tetap Untuk Proteksi
Kebakaran.
8. SNI 03-6571-2001 Sistem Pengendalian Asap Kebakaran Pada Bangunan
Gedung.
9. SNI 03-6574-2001 Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda Arah
Dan Sistem Peringatan Bahaya Pada Bangunan Gedung.
10. SNI 09-7053-2004 Kendaraan Dan Peralatan Pemadam Kebakaran - Pompa

B UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA


1. UU RI No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung

C KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM


1. Kepmen PU No.: 441/KPTS/1998 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
2. Kepmen PU No.: 11/KPTS/2000 Ketentuan Teknis Manajemen
Penanggulangan Kebakaran Di Perkotaan.
3. Kepmen PU No.: 10/KPTS/2000 Ketentuan teknis pengamanan terhadap
bahaya kebakaran pada bangunan gedung
dan lingkungan.
D PERATURAN & KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA & TRANS.
1. Permenaker No.: Per.04/Men/1980 Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan
Alat Pemadam Api Ringan
2. Permenaker No.: Per.02/MEN/1983 Instalasi Alarm Kebakaran Automatik

3. Inst.Menaker No.:Ins.11/M/BW/1997 Pengawasan Khusus K3 Penanggulangan


Kebakaran
4. Kepmenaker No.: Kep.186/MEN/1999 Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja
DAFTAR REVISI

No: Tanggal Perubahan


1. 03/11/2008 Penerbitan Pertama (Versi 1)

2.

3.

4.
A STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI)
1. SNI 03-1735-2000 Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan Dan Akses
Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung.
2. SNI 03-1736-2000 Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi Pasif Untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Rumah
Dan Gedung.
3. SNI 03-1745-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sistem Pipa
Tegak Dan Slang Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Rumah Dan Gedung.
4. SNI 03-1746-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sarana Jalan Ke
Luar Untuk Penyelamatan Terhadap Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Gedung.
5. SNI 03-3985-2000 Tata Cara Perencanaan, Pemasangan Dan Pengujian Sistem
Deteksi Dan Alarm Kebakaran Untuk Pencegahan Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung.
6. SNI 03-3989-2000 Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sistem Springkler
Otomatik Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung.
7. SNI 03-6570-2001 Instalasi Pompa Yang Dipasang Tetap Untuk Proteksi
Kebakaran.
8. SNI 03-6571-2001 Sistem Pengendalian Asap Kebakaran Pada Bangunan
Gedung.
9. SNI 03-6574-2001 Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda Arah
Dan Sistem Peringatan Bahaya Pada Bangunan Gedung.
10. SNI 09-7053-2004 Kendaraan Dan Peralatan Pemadam Kebakaran - Pompa
SNI 03-1735-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perencanaan Akses Bangunan


Dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan
Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-1735- 2000

Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan


untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

1. Ruang lingkup.

Standar ini dimaksudkan sebagai acuan yang diperlukan dalam perencanaan jalan
lingkungan dan akses ke bangunan gedung sehingga penyelamatan dan operasi
pemadaman kebakaran dapat dilakukan seefektif mungkin.

2. Acuan.

a). Fire Safety Bureau ,Singapore Civil Defence Force ; Fire Precautions in Buildings,
1997.

3. Istilah dan definisi.


3.1.
besmen.
ruangan di dalam bangunan gedung yang letak lantainya secara horisontal berada di bawah
permukaan tanah yang berada di sekitar lingkup bangunan tersebut.
3.2.
bukaan akses
bukaan/lubang yang dapat dibuka, yang terdapat pada dinding bangunan terluar, bertanda
khusus, menghadap ke arah luar dan diperuntukkan bagi unit pemadam kebakaran dalam
pelaksanaan penyelamatan penghuni dan pemadaman kebakaran.
3.3.
dinding dalam.
dinding di luar dinding biasa atau bagian dinding.
3.4.
dinding luar.
dinding luar bangunan yang bukan merupakan dinding dinding utama bangunan, biasanya
digunakan untuk pelindung cuaca atau untuk tujuan dekoratif, termasuk dinding luar vertikal
dan miring 70 derajat atau lebih terhadap horisontal sebagai penyambung ke atap.
3.5.
hidran.
alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar (nozzle = nozel) untuk mengalirkan air
bertekanan yang digunakan bagi keperluan pemadaman kebakaran.
3.6.
jalur akses.
jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau di dalam bangunan yang cocok
digunakan untuk petugas pemadam kebakaran.

1 dari 45
SNI 03-1735- 2000

3.7.
lif kebakaran.
suatu sarana transportasi dalam bangunan gedung, yang mengangkut petugas kebakaran di
dalam kereta lif, yang bergerak naik-turun secara vertikal dan memenuhi persyaratan
penyelamatan yang berlaku.
3.8.
saf.
dinding atau bagian bangunan yang membatasi :

a). sumur yang bukan merupakan sumur/lorong atrium, atau

b). luncuran vertikal, saluran atau jalur sejenis, tetapi bukan cerobong/cerobong asap.
3.9.
springkler.
alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai tudung berbentuk
deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar kesemua arah secara
merata.
3.10.
tangga kebakaran yang dilindungi.
tangga yang dilindungi oleh saf tahan api dan termasuk didalamnya lantai dan atap atau
ujung atas struktur penutup.
3.11.
tangga kebakaran.
tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran.

4. Jalan lingkungan.

4.1*. Umum.

Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi


pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan harus tersedia jalan lingkungan.

4.2. Jalur akses masuk dan lapisan perkerasan.


4.2.1*. Di setiap bagian dari bangunan hunian dimana ketinggian lantai hunian tertinggi
diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 m, maka tidak dipersyaratkan adanya lap[isan
perkerasan kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 m sepanjang sisi bangunan
tempat bukaan akses diletakkan, asal ruang operasional tersebut dapat dicapai pada jarak
maksimum 45 m dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran.
4.2.2. Dalam tiap bagian bangunan ( selain bangunan kelas 1, 2 dan 3), perkerasan
harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam
kebakaran pada bangunan. Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk
dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa, dan mobil tangga dan platform hidrolik,
serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

2 dari 45
SNI 03-1735- 2000

a). lebar minimum lapis perkerasan 6 m dan panjang minimum 15 m. Bagian-bagian lain
dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran, lebarnya
tidak boleh kurang dari 4 m.

b). lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh kurang
dari 2 m atau lebih dari 10 m dari pusat posisi bukaan akses pemadam kebakaran
diukur secara horisontal.
c)*. lapis perkerasan harus dibuat dari lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga
beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani
bangunan yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 m harus dikonstruksi untuk
menahan beban statik mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat
kaki (jack).
d)*. lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih
dari 1 : 15, sedangkan kemiringan untuk jalur masuk maksimum 1 : 8,5.

e)*. lapis perkerasan dari jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 m
harus diberi fasilitas belokan.

f)*. radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang darui 10,5 m dan harus
memenuhi persyaratan.

g). tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam,
minimum 5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.

h). jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut
sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.

i). lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain
bangunan, pepohonan, tanaman atau lain-lain, dan tidak boleh menghambat jalur
antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran.
4.2.3. Pada bangunan bukan hunian, seperti pabrik dan gudang serta bangunan hunian
dengan ketinggian lantai hunian di atas 10 m, harus disediakan jalur akses dan ruang lapis
perkerasan yang berdekatan dengan bangunan untuk peralatan pemadam kebakaran. Jalur
akses tersebut harus mempunyai lebar minimal 6 m dan posisinya minimal 2 m dari
bangunan dan dibuat minimal pada 2 sisi bangunan. Ketentuan jalur masuk harus
diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi bangunan seperti ditunjukkan dalam tabel
4.2.3.

Tabel 4.2.3 : Volume bangunan untuk penentuan jalur akses.

No Volume bangunan Keterangan


1 < 7.100 m3 Minimal 6 keliling halaman.
1

2 > 7.100 m3. Minimal 1 6 keliling bangunan.


3 > 28.000 m3. Minimal ¼ keliling bangunan.
4 > 56.800 m3. Minimal ½ keliling bangunan.
5 > 85.200 m3. Minimal ¾ keliling bangunan.
6 > 113.600 m3. Harus sekeliling bangunan.

3 dari 45
SNI 03-1735- 2000

4.2.4. Penandaan jalur.

a). Pada keempat sudut area lapis perkerasan untuk mobil pemadam kebakaran harus
diberi tanda.

b). Penandaan sudut-sudut pada permukaan lapis perkerasan harus dari warna yang
kontras dengan warna permukaan tanah atau lapisan penutup permukaan tanah.

c). Area jalur akses pada kedua sisinya harus ditandai dengan bahan yang kontras dan
bersifat reflektif sehingga jalur masuk dan lapis perkerasan dapat terlihat pada malam
hari. Penandaan tersebut diberi jarak antara tidak melebihi 3 m satu sama lain dan
harus ditempatkan pada kedua sisi jalur. Tulisan “JALUR PEMADAM KEBAKARAN –
JANGAN DIHALANGI” harus dibuat dengan tinggi huruf tidak kurang dari 50 mm.

5. Hidran halaman.

5.1*. Tiap bagian dari jalur akses mobil pemadam di lahan bangunan harus dalam
jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota yang memenuhi persyaratan
tersebut tidak tersedia, maka harus disediakan hidran halaman.
5.2*. Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-
hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam sedemikian hingga
tiap bagian dari jalur tersebut berada dalam jarak radius 50 m dari hidran.
5.3. Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 2400 liter/menit
pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 45 menit.

5.4. Jumlah pasokan air untuk hidran halaman yang dibutuhkan ditunjukkan pada
tabel 5.4.
Tabel 5.4.
Jumlah pasokan air hidran halaman

Jumlah hidran yang Waktu


akan dipakai untuk Pasokan air untuk hidran pasokan
No. Jenis bangunan
pemadaman yang akan dipakai air
kebakaran simpanan
1 Perumahan 1 Tidak kurang dari 38 45 menit
liter/detik pada 3,5 bar
2 Bukan perumahan (didasarkan pada luas lantai dari lantai yang terbesar)
Tidak kurang dari 38
liter/detik pada 3,5 bar untuk
a < 1.000 m2. 2 hidran pertama dan 19 liter/ 45 menit.
detik pada 3,5 bar untuk
hidran kedua.
Untuk setiap hidran
Setiap pertambahan
berikutnya, 1200 liter/ menit
b berikutnya dari Penambahan 1 hidran 45 menit.
ditambahkan pasokan air
1.000 m2 luas lantai.
umum untuk hidran.

4 dari 45
SNI 03-1735- 2000

6. Bukaan akses.
6.1. Bukaan akses untuk petugas pemadam kebakaran dibuat melalui dinding luar
untuk operasi pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dari
dalam dan luar atau terbuat dari bahan yang mudah dipecahkan, dan senantiasa bebas
hambatan selama bangunan dihuni atau dioperasikan.
6.2*. Ukuran bukaan akses petugas pemadam kebakaran tidak boleh kurang dari 850
mm lebar dan 1000 mm tinggi, dengan tinggi ambang bawah tidak lebih dari 1000 mm dan
tinggi ambang atas kurang dari 1800 mm di atas permukaan lantai bagian dalam.

6.3*. Bukaan akses pemadam kebakaran harus diberi tanda segitiga warna merah
dengan ukuran tiap sisi minimum 150 mm dan diletakkan pada sisi luar dan sisi dalam
dinding dan diberi tulisan : “AKSES PEMADAM KEBAKARAN – JANGAN DIHALANGI”
dengan ukuran tinggi minimal 50 mm.

Pengecualian :

Ketentuan ini tidak dipersyaratkan untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3.

6.4. Jumlah dan posisi bukaan akses pemadam kebakaran.

6.4.1. Pada tiap lantai atau kompartemen kecuali lantai pertama dan ketinggian
bangunan tidak melebihi 40 m, harus ada 1 bukaan akses untuk tiap 620 m2 luas lantai,
ataupun bagian dari lantai harus memiliki 2 bukaan akses pemadam kebakaran pada setiap
lantai bangunan atau kompartemen.

6.4.2. Pada bangunan yang di dalamnya terdapat kompartemen-kompartemen atau


ruang-ruang yang ukurannya kurang dari 620 m2 yang tidak berhubungan satu sama lain,
maka masing-masing harus diberi bukaan akses.

6.4.3. Dalam suatu bangunan atau kompartemen yang dilengkapi seluruhnya dengan
sistem springkler otomatis, penentuan bukaan akses didasarkan atas perhitungan bukaan
akses untuk 6.200 m2 pertama pada basis 620 m2 untuk tiap bukaan akses, dan selanjutnya
diberikan tambahan bukaan akses berikutnya untuk luas lantai lebih dari 6.200 m2 dengan
basis 1.240 m2. Untuk tiap bukaan akses tersebut harus didistribusikan pada dinding-dinding
bangunan yang berlawanan.

6.4.4. Bila bukaan akses lebih dari 1 (satu), maka harus ditempatkan berjauhan satu
sama lain dan ditempatkan tidak dalam pada satu sisi bangunan. Bukaan akses harus
berjarak minimal 20 m satu sama lain diukur sepanjang dinding luar dari as ke as bukaan
akses.

6.4.5. Bila dalam bangunan ada ruangan dengan ketinggian langit-langit di atas
ketinggian normal langit-langit, maka dapat diberikan bukaan tambahan yang diletakkan
pada permukaan atas bukaan dinding luar ke dalam ruang atau area atas persetujuan
instansi yang berwenang.

6.4.6. Pada bangunan yang dinding luarnya terbatas dan sulit ditempatkan bukaan
akses, maka harus dilengkapi dengan instalasi pemadam kebakaran internal sesuai dengan
jenis dan fungsi bangunan.

5 dari 45
SNI 03-1735- 2000

7. Akses petugas pemadam kebakaran di dalam bangunan.

7.1. Umum.

7.1.1. Pada bangunan gedung rendah yang tidak memiliki besmen, yang dalam
persyaratan jalur akses bagi petugas pemadam kebakaran akan dipenuhi oleh kombinasi
dari sarana jalan keluar dengan jalur akses kendaraan sebagaimana dimaksud pada butir
7.1.2.

7.1.2. Pada bangunan lainnya, masalah-masalah yang dihadapi saat mendekati lokasi
kebakaran dan berada dekat lokasi kebakaran dalam upaya menanggulangi kebakaran,
diperlukan persyaratan mengenai sarana atau fasilitas tambahan untuk menghindari
hambatan dan untuk memperlancar operasi pemadaman.

7.1.3. Fasilitas-fasilitas tambahan ini meliputi lif untuk pemadam kebakaran, tangga
untuk keperluan pemadaman kebakaran, dan lobi untuk operasi pemadaman kebakaran
yang dikombinasi di dalam suatu saf yang dilindungi terhadap kebakaran atau disebut
sebagai saf untuk pemadam kebakaran.

7.2. Saf untuk petugas pemadam kebakaran.

7.2.1. Persyaratan saf.

a). Bangunan yang lantainya terletak lebih dari 20 m di atas permukaan tanah atau di atas
permukaan jalur akses bangunan atau besmennya lebih dari 10 m di bawah
permukaan tanah atau permukaan jalur akses bangunan, harus memiliki saf untuk
pemadaman kebakaran yang berisi di dalamnya lif untuk pemadaman kebakaran.

Gambar 7.2.1. Persyaratan saf kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran

6 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Bangunan yang bukan tempat parkir sisi terbuka dengan luas tingkat bangunan seluas
600 m2 atau lebih, yang bagian atas tingkat tersebut tingginya 7,5 m di atas permukaan
jalur akses bangunan, harus dilengkapi dengan saf untuk tangga pemadam kebakaran
yang tidak perlu dilengkapi dengan lif pemadam kebakaran.

c). Bangunan dengan dua atau lebih lantai besmen yang luasnya lebih dari 900 m2, harus
dilengkapi dengan saf tangga kebakaran terlindung untuk petugas pemadam
kebakaran yang tidak perlu dilengkapi lif pemadam kebakaran.

d). Bilamana saf tangga kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran diperlukan
untuk melayani besmen, maka saf tersebut tidak perlu harus pula melayani lantai-lantai
di atasnya, kecuali bila lantai-lantai atas tersebut bisa dicakup berdasarkan ketinggian
atau ukuran bangunan. Demikian pula halnya suatu saf yang melayani lantai-lantai di
atas lantai dasar tidak perlu harus melayani besmen, meskipun tidak begitu besar atau
dalam yang memungkinkan dapat dipenuhi. Hal yang penting adalah bahwa tangga
untuk pemadam kebakaran dan lif kebakaran harus mampu melayani semua tingklat-
tingkat menengah yang terletak di antara tingkat bangunan tertinggi dan terendah yang
dilayani.

e). Kompleks perbelanjaan harus dilengkapi dengan saf untuk pemadam kebakaran.

7.2.2. Jumlah dan lokasi saf untuk petugas pemadam kebakaran.

a). Jumlah saf untuk pemadam kebakaran harus :

1). Memenuhi tabel 7.2.2.a.1) apabila bangunan dipasangi seluruhnya dengan


sistem springkler otomatis yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Tabel 7.2.2.a.1).
Jumlah minimum saf untuk pemadam kebakaran
pada bangunan yang dipasangi springkler.

Luas lantai maksimum Jumlah minimum


(m2). saf pemadam kebakaran
Kurang dari 900 1
900 ~ 2.000 2
Luas lebih dari 2.000 2 ditambah 1 untuk tiap
penambahan 1.500 m2.

2). Bila bangunan tidak berspringkler, harus disediakan sekurang-kurangnya satu


saf pemadam kebakaran untuk setiap 900 m2 luas lantai dari lantai terbesar yang
letaknya lebih dari 20 m di atas permukaan tanah ( atau di atas 7,5 m dalam hal
seperti pada butir 7.2.1.b).

3). Kriteria yang sama mengenai luasan 900 m2 untuk setiap saf pemadam
kebakaran harus diterapkan untuk menghitung jumlah saf yang diperlukan bagi
besmen bangunan.

b). Penempatan saf untuk pemadam kebakaran harus sedemikian rupa, hingga setiap
bagian dari tiap lapis atau tingkat bangunan di luar permukaan akses masuk petugas
pemadam kebakaran, tidak lebih dari 60 m diukur dari pintu masuk ke lobi. Tindakan

7 dari 45
SNI 03-1735- 2000

pemadaman kebakaran yang ditentukan pada rute yang tepat untuk pemasangan
slang, apabila denah bangunan tidak diketahui pada tahap perancangan, maka setiap
bagian dari setiap tingkat bangunan harus tidak lebih dari 40 m, diukur berdasarkan
garis lurus yang ditarik langsung dari pintu masuk ke lobi pemadam kebakaran.

7.2.3. Rancangan dan konstruksi saf.

a). Setiap jalur tangga untuk pemadaman kebakaran dan saf kebakaran harus dapat
didekati melewati lobi pemadam kebakaran.

b). Semua saf untuk petugas pemadam kebakaran, harus dilengkapi dengan sumber air
utama untuk pemadaman yang memiliki sambungan outlet dan katup-landing di tiap
lobi pemadam kebakaran, kecuali pada level akses.

c). Saf untuk pemadaman kebakaran harus dirancang, dikonstruksi dan dipasang sesuai
ketentuan yang berlaku.

Gambar 7.2.3. : Komponen saf pemadam kebakaran

8. Pipa tegak dalam bangunan.

8.1*. Akses dari luar menuju pipa tegak dalam bangunan.


Bangunan yang dipasang dengan pipa tegak dan sistem springkler otomatik harus
mempunyai saluran masuk untuk peralatan pompa pada jarak 18 m dari sambungan
pemadam kebakaran ( “siamese” ).
8.2. Jenis pipa tegak.
8.2.1. Jenis dari sistem pipa tegak dalam bangunan harus sesuai dengan kelas
bangunan sebagai berikut :

8 dari 45
SNI 03-1735- 2000

a)*. Pipa tegak kering, harus dipasang dalam bangunan dimana tinggi bangunan yang
layak ditempati lebih dari 24 m, tetapi tidak lebih dari 40 m.

b)*. Pipa tegak basah, harus dipasang dalam bangunan dimana tinggi bangunan yang
dihuni lebih dari 40 m.

c)*. Sistem pipa tegak kering dan sistem pipa tegak basah terpisah dalam bangunan, dapat
diijinkan oleh instansi yang berwenang.
8.2.2*. Tanpa melanggar persyaratan butir 8.2.1, pipa tegak kering harus pula
disediakan untuk setiap bagian dari besmen satu lantai atau lebih.
8.2.3*. Apabila bangunan mempunyai akses lebih dari satu pada lantai dasar atau jalan
umum, pengukuran tinggi untuk tujuan standar ini harus diambil dari permukaan lapis
perkerasan yang disediakan.

8.2.4*. Tanpa melanggar butir 8.2.1, persyaratan pipa tegak untuk bangunan kelas 1, 2
dan 3 yang mempunyai tinggi lantai hunian antara 10 m dan 40 m, harus dipasang pipa
tegak kering.

8.3. Jumlah, lokasi dan ukuran pipa tegak.


8.3.1*. Jumlah dan distribusi pipa tegak harus memenuhi persyaratan sesuai SNI 03-
1745 -2000, tentang : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
8.3.2*. Posisi pipa tegak dan katup landing harus ditempatkan terutama pada posisi
sebagai berikut :

a)*. di dalam lobi stop asap.

b)*. dalam daerah umum dan di dalam saf yang terlindung , sedekat mungkin di luar tangga
eksit jika tidak ada lobi stop asap.

c)*. di dalam tangga eksit bilamana tidak ada lobi stop asap dan daerah umum.

8.3.3*. Ukuran pipa tegak harus memenuhi SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.3.4*. Lokasi dan ketentuan untuk katup landing harus mengikuti ketentuan yang
berlaku.

8.3.5. Pemasangan pipa tegak harus memenuhi SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata
cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.4. Sambungan pemadam kebakaran dan akses dari jalan umum.

8.4.1*. Semua bangunan yang dipasang dengan pipa tegak harus mempunyai jalan
akses untuk peralatan pompa dengan jarak 18 m dari sambungan pemadam kebakaran.
Sambungan pemadam kebakaran harus mudah dilihat dari jalan akses.

9 dari 45
SNI 03-1735- 2000

8.4.2. Persyaratan dan ketentuan sambungan pemadam kebakaran untuk sistem pipa
tegak sesuai SNI 03-1745 -2000, tentang : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Pipa sambungan antara sambungan pemadam kebakaran dan pipa tegak apabila digunakan
harus diusahakan sependek mungkin.

8.4.3*. Setiap pipa tegak, basah atau kering, untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3, harus
dipasang dengan sambungan pemadam kebakaran langsung pada dasar dari pipa tegak.

8.5. Pipa tegak basah.

8.5.1*. Pipa tegak basah.

Kapasitas pasokan air dari pipa air minum dan kapasitas penyimpanan untuk sistem pipa
tegak basah harus memenuhi persyaratan SNI 03-1745-2000, tentang : Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.

8.5.2*. Aliran.

Persyaratan aliran untuk sistem pipa tegak basah harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

8.5.3*. Tekanan kerja.

Tekanan kerja pada setiap pancaran pada katup landing dari sistem pipa basah harus dijaga
antara nilai minimum dan maksimum sesuai ketentuan yang berlaku.

8.5.4*. Tekanan statik dalam setiap pipa dari slang yang dihubungkan ke katup landing
dalam sistem pipa tegak basah harus tidak melebihi ketentuan yang berlaku.

8.5.5*. Lokasi dari tangki penyimpan dan kapasitasnya apabila dipersyaratkan harus
memenuhi ketentuan yang berlaku.

8.5.6*. Apabila pompa yang dipersyaratkan untuk sistem pipa tegak basah, persyaratan
yang berlaku harus diikuti. Pasokan daya, baik normal maupun darurat harus mengikuti
ketentuan yang berlaku.

8.6*. Bangunan dalam tahap pelaksanaan.

Apabila bangunan dalam tahap pelaksanaan akan dilengkapi dengan pipa tegak, pipa tegak
harus dipasang bertahap sesuai tinggi bangunan selama pelaksanaan, semua keluaran,
katup landing dan masukan, tangki air dan pompa, dan hidran yang dipersyaratkan untuk
sistem harus dipasang dengan benar sesuai ketentuan dari instansi yang berwenang dan
mudah dioperasikan bila terjadi kebakaran.

10 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Apendiks - A
A.4.1. Untuk bangunan dengan tinggi lebih dari 10 m yang dihuni dari bangunan kelas
1, 2 dan 3, sambungan pemadam kebakaran harus dilengkapi pada kaki pipa tegak pada
lantai dasar.

Sambungan pipa tegak harus berjarak 18 m, langsung terlihat dari jalan akses mobil
pemadam kebakaran. Jendela ke ruang tidur, ruang duduk dan bukaan ke halaman
dipertimbangkan sebagai bukaan akses. Bagaimanapun, bukaan ini sebaiknya ditempatkan
sepanjang permukaan dinding luar yang menghadap lapisan perkerasan dan jalan akses.

Gambar A.4.1.

11 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.4.2.1. 4 m lebar bidang kerja sebaiknya diletakkan sepanjang sisi bangunan dimana
bukaan akses ditempatkan, tidak diperbolehkan menaikkan ketinggian bidang kerja dengan
timbunan tanah maupun landasan (platform) buatan.

4 m lebar bidang kerja sepanjang sisi bangunan digunakan untuk manuver tangga besi
petugas pemadam kebakaran. Panjang maksimum 45 m antara ujung jalan akses mobil
pemadam kebakaran dan ujung terjauh dari bidang kerja untuk mencegah kelebihan gerakan
dari petugas pemadam kebakaran.

Gambar A.4.2.1.

A.4.2.2.c. Kebutuhan lapis perkerasan harus direncanakan oleh ahli teknik profesional
untuk menjamin bahwa bidang kerja mampu menerima beban operasi mobil pemadam
kebakaran. Gambar A.4.2.2.c menunjukkan lokasi plat kaki (jack) yang ditempatkan pada
lapisan perkerasan.

12 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.4.2.2.c

13 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Pengerasan dilakukan dengan lapisan metal atau lapisan beton atau plat beton pra cetak
berperforasi yang kuat menahan beban peralatan-peralatan kebakaran.

Gambar A.4.2.2.c (1).

A.4.2.2.d. Kemiringan 1 : 8,5 untuk jalan normal kendaraan atau jalan akses dapat
digunakan oleh mobil pemadam kebakaran untuk berpindah dari satu titik ke titik yang lain.
Untuk lapisan perkerasan kemiringan tidak boleh melebihi 1 : 15, karena bila lebih, mobil
pemadam kebakaran tidak mampu beroperasi.

A.4.2.2.e.

Gambar A.4.2.2.e .(1)

14 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.4.2.2.e.(2).

A.4.2.2.f. Gambar 4.2.2.f. menunjukkan lintasan suatu peralatan dan tidak dimaksud untuk
menunjukkan garis trotoar. Tidak boleh ada konstruksi apapun seperti tiang lampu atau
pohon yang berada di dalam radius luar putaran yang dapat menyebabkan rintangan
terhadap tangga besi yang dipasang pada mobil pemadam kebakaran.

Gambar A.4.2.2.f.

15 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.5.1. Menunjukkan contoh dimana hidran halaman dibutuhkan.

Gambar A.5.1.

16 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.5.2. Hidran H1 dapat dihilangkan karena tidak mungkin tanah yang disebelah akan
digunakan untuk pemakaian lain, seperti gudang dan sebagainya. Hidran bersama yang
ditempatkan di tetangga tidak diperbolehkan. Penggunaan hidran bersama dengan tetangga
tidak diperbolehkan.

Gambar A.5.2.

17 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.6.2. Lebar minimum 850 mm sudah termasuk tiang jendela yang biasanya ada di
kosen jendela. Tinggi ambang bawah tidak boleh lebih dari 1000 mm untuk memudahkan
petugas pemadam kebakaran masuk/keluar dari bangunan.

Ambang bawah yang terlalu tinggi akan menyulitkan, karena petugas kebakaran bisa jatuh
pada waktu masuk ke dalam bangunan dan dapat menghalangi gerakan.

Gambar A.6.2.

18 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.6.3. Tanda akses pemadam kebakaran dengan warna merah yang menyolok.

Gambar A.6.3.

19 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.1. Sambungan pemadam kebakaran sebaiknya mudah dilihat dari jalan akses untuk
mencegah lambatnya penempatan petugas pemadam kebakaran yang datang. Untuk
mengendalikan dan membatasi agar digunakan hanya satu panjang slang maka sambungan
pemadam kebakaran harus tidak diletakkan lebih dari 18 m dari akses jalan. Semua
bangunan kelas 1, 2 dan 3 yang ketinggian lantai huniannya melebihi 10 m harus dipasang
pipa tegak. Sambungan pemadam kebakaran harus disediakan pada dasar dari setiap pipa
tegak.

Gambar A.8.1.

20 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.a. Pipa tegak kering.

Pipa dipasang tegak dalam bangunan gedung untuk tujuan pemadaman kebakaran,
dilengkapi dengan sambungan masuk untuk mobil pemadam kebakaran yang berada pada
permukaan akses dan katup landing pada berbagai lantai, yang dalam keadaan normal
kering, tetapi akan diisi dengan air yang dipompa dari mobil pompa pemadam kebakaran.
Untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3, ketentuan pipa tegak dipersyaratkan jika tinggi bangunan
yang dihuni lebih dari 10 m.

Gambar A.8.2.1.a.

21 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.b. Pipa tegak basah.

Pipa yang dipasang tegak dalam bangunan untuk tujuan pemadaman kebakaran dan diisi
secara tetap dengan air dari pasokan yang bertekanan, dan dilengkapi dengan katup landing
pada berbagai lantai.

Gambar A.8.2.1.b.

22 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.1.c. Sistem pipa tegak kering dan basah terpisah.

Apabila blok bangunan rumah tinggal mempunyai podium dan blok menara yang menyatu :

a). blok menara yang lebih dari 40 m tinggi yang dihuni harus dilengkapi dengan pipa
tegak basah.

b). kebutuhan untuk blok podium hanya perlu dilengkapi dengan pipa tegak kering.

Gambar A.8.2.1.c.

23 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.2. Semua besmen kecuali bangunan kelas 1 dan 2 dipersyaratkan dilindungi


dengan pipa tegak kering, tidak tergantung dari kedalaman dan jumlah lantai besmen di
bawah permukaan tanah.

Pipa tegak akan menjamin pasokan air yang mantap yang dibutuhkan oleh petugas
pemadam kebakaran selama keadaan darurat.

Pipa tegak ini akan menghindarkan pemasangan slang kebakaran yang terlalu lama dari
lantai dasar ke lantai besmen untuk memadamkan api.

Apabila inlet sambungan pemadam kebakaran berada pada dasar pipa tegak, katup landing
tidak dipersyaratkan untuk disediakan pada lantai satu.

Gambar A.8.2.2.

24 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.3. Jenis pipa tegak yang dipasang pada bangunan tinggi.

a). Untuk menentukan persyaratan pipa tegak untuk apartemen atau bangunan
maisonette, ketinggian yang dihuni harus diukur dari permukaan terendah jalan akses
mobil pemadam kebakaran dimana disediakan sambungan pemadam kebakaran.

b). Pipa tegak kering pada dasarnya adalah pipa air yang kosong. Pipa yang kosong perlu
diisi dengan air melalui inlet sambungan pemadam kebakaran dari mobil pemadam
kebakaran. Pipa tegak kering sebaiknya tidak melebihi 40 m tingginya untuk mencegah
tekanan pompa yang berlebihan.

c). Pipa tegak basah secara tetap diisi dengan air yang dapat memberikan laju aliran dan
tekanan yang diperlukan untuk memadamkan kebakaran, dan dilengkapi dengan
tangki air atas cukup untuk jangka waktu 60 menit. Masukan ke sambungan pemadam
kebakaran yang biasanya dipasangkan di lantai dasar, dimaksudkan untuk mengisi
tangki air tersebut.

Gambar A.8.2.3.

25 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.2.4. Untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3 antara 10 m dan 40 m diatas permukaan


tanah.

Dengan berlakunya ketentuan pipa tegak kering untuk bangunan kelas 1, 2 dan 3 yang
melebihi 10 m dan tidak lebih dari 40 m ketinggian yang dihuni, maka tidak diperlukan
penyediaan lahan lapisan perkerasan untuk mobil pemadam kebakaran.

Jalan akses mobil pemadam kebakaran masih dibutuhkan untuk disediakan, dan harus
sedekat mungkin dengan bangunan dalam jarak 18 m dari inlet sambungan pemadam
kebakaran.

Gambar A.8.2.4.

26 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.1. Kondisi jumlah pipa tegak yang dipersyaratkan :

a). Lantai yang tinggi dihuni diatas 24 m.

Setiap pipa tegak harus melayani tiap luas ruangan tidak lebih dari 930 m2 dari setiap
lantai yang dan dalam jangkauan 38 m dari katup landing.

Gambar A.8.3.1. (a).

Setiap titik pada ruangan di lantai harus tidak melebihi jarak 38 m dari katup landing. Luas
area yang dijangkau setiap pipa tegak tidak lebih dari 930 m2

27 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Lantai di bawah ketinggian yang layak ditempati 24 m.

Ketentuan pipa tegak harus semua bagian dari setiap lantai berada dalam jangkauan
38 m dari katup landing, diukur sepanjang rute yang sesuai untuk pipa slang, termasuk
setiap jarak naik atau turun tangga.

Gambar A.8.3.1. (b).

A.8.3.2.a. Pipa tegak pada lobi yang ilindungi terhadap asap.

Gambar A.8.3.2.a. (1) : Pipa tegak pada lobi yang dilindungi terhadap.

28 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.3.2.a. (2).: Blok flat/maisonette.

A.8.3.2.b. Pipa tegak di luar tangga yang diproteksi.

Gambar A.8.3.2.b.

29 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.2.c. Pipa tegak di dalam tangga yang diproteksi.

Gambar A.8.3.2.c.: Penempatan pipa tegak harus tidak menghalangi jalur penyelamatan di
dalam tangga.

Gambar A.8.3.2.a, b, c.

Pipa tegak menyediakan pasokan air yang siap untuk digunakan petugas pemadam
kebakaran dalam bangunan, pipa tegak utama dan katup landing sebaiknya dilindungi dari
kerusakan karena api atau mekanis.

30 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.3.3. Ukuran pipa tegak.

Diameter nominal pipa tegak harus :

a). 100 mm, apabila pipa tegak tidak melebihi 40 m tingginya dan hanya satu katup
landing disediakan setiap lantainya.

Gambar A.8.3.3.a.: Diameter nominal pipa tegak 100 mm.


b). 150 mm, apabila pipa tegak :

1). melebihi 40 m tingginya, atau

2). diperbolehkan menggunakan dua katup landing untuk setiap lantainya.

Gambar A.8.3.3.b.: Diameter nominal pipa tegak 150 mm.

31 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Tinggi pipa tegak adalah tinggi dari ketinggian yang dihuni, diukur dari permukaan akses
mobil pemadam kebakaran ke permukaan lantai finis dari lantai teratas yang dilayani oleh
pipa tegak, tanpa memperdulikan apakah pipa tegak akan diperpanjang di atas permukaan
atap.

Gambar A.8.3.3.b menunjukkan dua katup landing dipasang pada 2 lantai pada ketinggian
pipa tegak kurang dari 45 m, diameter nominal pipa tegak harus tidak kurang dari 150 mm.

Diagram di atas menunjukkan dua katup landing dipasang pada dua lantai di lanati teratas.
Walaupun tinggi pipa tegak tidak melebihi 45 m, diameter nominal minimum pipa tegak harus
tidak kurang dari 150 mm.

Apabila ketentuan membolehkan “ satu pipa tegak untuk setiap luas lantai lebih dari 930 m2,
dua buah katup landing harus disediakan pada setiap lantainya, dimana dalam kasus ini
diameter nominal dari pipa tegak harus 150 mm “. Bagaimanapun, persyaratan ini harus
tidak diterapkan untuk setiap lantai dengan luas melebihi 1400 m2.

A.8.3.4.

a). Penempatan pipa tegak.

1) Semua pekerjaan pipa dan katup landing merupakan sistem pipa tegak di dalam
bangunan, harus dibatasi :

(a). di dalam suatu lobi yang diventilasi dari lobi yang diproteksi yang
mendekati tangga, apabila ini disediakan, atau

(b). di daerah terlindung lainnya yang dapat disetujui oleh instansi yang
berwenang.

2). Pipa tegak harus dipasang dan diproteksi terhadap kerusakan mekanis dan api.

3). Tidak ada bagian dari pipa tegak yang boleh dipasang dalam saf yang berisi pipa
gas, pipa uap atau pipa bahan bakar, atau kabel listrik.

4). Apabila tidak dipasang di daerah yang terlindung, pipa harus dibungkus atau
dilindungi dengan bahan yang mempunyai tingkat ketahanan api 2 jam.

32 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Blok Flat/Maisonette.

CONTOH A :

Gambar A.8.3.4.(1).

Pipa tegak tunggal disediakan dalam contoh A yang total luas daerah per
lantainya kurang dari 930 m2. Dalam penambahan jarak dari titik yang terjauh
pada unit rumah tinggal ke katup landing pipa tegak harus tidak melebihi 38 m,
diukur sepanjang rute lintasan.

CONTOH B :

Gambar A.8.3.4. ( 2 ).

33 dari 45
SNI 03-1735- 2000

(a). Dua pipa tegak dari pipa tegak utama dipersyaratkan pada contoh B, jika
total area lantai melebihi 930 m2, atau jika jangkauan atau jarak ke titik
terjauh melebihi 38 m.

(b). Titik terjauh dari beberapa apartemen melebihi 38 m dari pipa tegak.

Gambar A.8.3.4. (3).

Apabila katup landing dan pipa dipasang di luar lobi yang terlindung atau daerah yang
diperbolehkan oleh instansi yang berwenang, maka harus dilindungi oleh selubung tahan api
120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi
pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

A.8.4.1. Jarak antara inlet sambungan pemadam kebakaran dan peralatan pompa :

a). Blok apartemen/maisonette dengan ketinggian yang dihuni 10 m, harus dilengkapi


dengan pipa tegak.

b). Pada dasar dari pipa tegak dipasang inlet sambungan pemadam kebakaran.

c). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran dipasang di dinding luar bangunan dan
pada jarak 18 m dari jalan akses mobil pemadam kebakaran.

d). Suatu jalan akses dapat melayani lebih dari satu pipa tegak untuk satu atau lebih
bangunan dengan syarat memenuhi ketentuan dalam butir A.8.4.1.c.

34 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.4.1.

A.8.4.3.

a). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran harus disediakan pada dasar dari setiap
pipa tegak pada lantai dasar.

b). Panjang pipa horisontal antara inlet sambungan pemadam kebakaran dan pipa tegak
harus sependek mungkin.

c). Ini untuk mencegah pengelompokan inlet sambungan pemadam kebakaran yang
melayani pipa tegak yang ditempatkan pada lokasi berbeda di dalam blok dengan
maksud ketentuan mengenai jalan akses mobil pemadam kebakaran dapat dikurangi.

Sasaran utama penyediaan pipa tegak adalah untuk mengganti ketentuan akses mobil
pemadam kebakaran untuk masing-masing unit, sehingga ruang bebas menjadi lebih banyak
dan dapat digunakan untuk pemakaian lain.

Dengan menempatkan masukan ke sambungan pemadam kebakaran pada dasar dari pipa
tegak, akan menjamin bahwa tidak kurang satu sisi dari bangunan masih menghadap akses
mobil pemadam kebakaran.

35 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.4.3.

A.8.5.1.

a). Untuk pipa tegak basah, penting bahwa tekanan dan aliran mencukupi pada setiap
saat untuk melayani sejumlah slang kebakaran sesuai yang dipersyaratkan.

b). Pasokan air ke pipa tegak sebaiknya tidak tergantung dari pasokan air yang memasok
instalasi lain termasuk untuk sistem pemadam kebakaran lainnya.

c). Sarana pasokan untuk pipa tegak basah :

1). Masing-masing pipa tegak basah harus diisi dari tangki penyimpan yang
mempunyai kapasitas penyimpanan effektip mampu memasok air pada laju
1.620 liter/menit dalam waktu tidak kurang dari 30 menit.

2). Tangki penyimpanan harus otomatis dipasok langsung atau tidak langsung
melalui tangki lain dari pipa air umum. Pipa yang menyalurkan air dari pipa air
umum ke tangki mempunyai diameter tidak kurang dari 150 mm.

3). Tangki air untuk pemadaman yang tidak berfungsi sebagai tangki penyimpan
harus mempunyai kapasitas penyimpanan efektip tidak kurang dari 11,5 m3 untuk
setiap pipa tegak.

d). Tangki air untuk pipa tegak basah :

Tangki pemasok air untuk tujuan domestik tidak boleh dipakai sebagai tangki isap
untuk pipa tegak basah.

36 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.5.2.

a). Laju aliran minimum pasokan air harus dijaga dalam sistem pipa tegak basah pada
waktu 3 katup landing di dalam sistem pada posisi terbuka penuh; 1.620 liter/menit
untuk bangunan perumahan.

b). Apabila lebih dari satu pipa tegak basah dibutuhkan dalam setiap zona dalam
bangunan, pasokan air bersama harus memenuhi persyaratan di bawah ini

Apabila laju total pasokan air maksimum melebihi kondisi 1) dan 2) di bawah ini, harus
disediakan sistem pasokan air lainnya.

1). Untuk bangunan rumah tinggal, 1.620 liter/menit untuk pipa tegak pertama dan
13,5 liter/detik untuk setiap penambahan pipa tegak, sampai dengan laju total
pasokan maksimum 4.650 liter/menit.

2). Untuk bangunan bukan rumah tinggal atau bangunan hunian campuran 38 liter/
detik untuk pipa tegak pertama dan 1.140 liter/menit untuk setiap penambahan
pipa tegak, sampai dengan laju total pasokan maksimum 4.650 liter/menit.

A.8.5.3. Tekanan kerja minimum 3,5 bar dan maksimum 5,5 bar harus dijaga pada
setiap katup landing apabila dibuka penuh, sampai tiga buah katup landing.

A.8.5.4.

a). Untuk mengurangi risiko slang pecah, susunannya harus dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku, sehingga apabila nozel ditutup, tekanan statik disetiap bagian slang yang
dihubungkan ke katup landing tidak melebihi 8 bar.

b). Untuk melepaskan kelebihan aliran dan tekanan lebih dari apa yang dipersyaratkan
(yaitu misalnya hanya satu nozel yang dipakai), sebuah badan katup landing harus
dilengkapi dengan katup kontrol tekanan yang kemudian secara permanen
dihubungkan ke pipa pelepas. Pipa pelepas ini harus sepanjang pipa tegak basah dan
berakhir ke tangki hisap atau saluran pembuangan.

A.8.5.5.

a). Lokasi dan jumlah tangki penyimpan ditentukan oleh perencanaan sistem pipa tegak
basah dan tingginya bangunan sesuai ketentuan yang berlaku.

b). Sangat penting bahwa pada tahap rancangan awal bangunan, jenis sistem pipa tegak
basah yang dirancang digambarkan untuk memungkinkan penempatan ruang pompa
dan tangki air.

c). Biasanya, tangki penyimpan dan pompa dipasang di ruang mekanikal di lantai teratas
dan atau besmen, dan di atap bangunan.

d). Kapasitas penyimpanan yang efektip tidak kurang dari 11,5 m3 untuk setiap pipa tegak.

37 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Catatan :

a). Tangki penyimpan ( “storage tank” ) adalah tangki air yang mempunyai kapasitas
penyimpanan efektip minimum mampu memasok air ke pipa tegak pada laju aliran
tertentu selama jangka waktu 30 menit.

b). Tangki bawah ( “break tank” ) adalah salah satu dari :

1). sebuah tangki yang menerima sambungan pasokan air dari pipa PDAM, atau

2). sebuah tangki perantara untuk membatasi tekanan sistem.

c). Tangki hisap adalah tangki dimana pompa dapat menghisap air.

Gambar A.8.5.5.

Sistem pipa tegak basah.

1). Fungsi pipa tegak basah sama dengan pipa tegak kering. Bagaimanapun, pipa
diisi tetap dengan air dari pasokan bertekanan, dan dipasang dengan katup
landing pada setiap lantai.

2). Inlet sambungan pemadam kebakaran bekerja sebagai alternatif sarana pasokan
air ke sistem pipa tegak basah apabila pasokan air dari PDAM rusak atau tidak
cukup.

38 dari 45
SNI 03-1735- 2000

A.8.5.6. Ruang pompa di besmen.

a). Pompa-pompa, sebagai bagian dari sistem pipa tegak, harus dilindungi dengan baik
dari pengaruh panas dan api. Pompa adalah peralatan yang vital dari sistem, pompa
seharusnya dipasang dalam ruangan yang mempunyai selubung dan pintu tahan api 2
jam.

b). Pompa harus dipilih memenuhi persyaratan rancangan sistem pipa tegak dan terdaftar
pada instansi yang berwenang.

c). Sistem komunikasi suara sebaiknya disediakan untuk komunikasi internal ke semua
ruang pompa.

d). Ventilasi mekanis dan pencahayaan listrik dalam ruang pompa harus dipasang dengan
pasokan daya cadangan untuk keadaan darurat.

Gambar A. 8.5.6.

A.8.6. Bangunan dalam tahap konstruksi.

a). Ketentuan pipa tegak basah dipersyaratkan apabila bangunan melebihi ketinggian
dihuni 40 m.

b). Pipa tegak kering digunakan sebelum ketinggian yang dihuni mencapai 40 m.

39 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Gambar A.8.6.2.b.

c). Pipa tegak dirubah dari kering ke basah dengan pemasangan pompa dan tangki air.

Gambar A.8.6.2.c.

A.8.6.3.

a). Masukan ke sambungan pemadam kebakaran.

Masukan ke sambungan pemadam kebakaran ( 2 jalan atau 4 jalan) sebaiknya


disediakan sesuai perencanaan bangunan yang disetujui.

40 dari 45
SNI 03-1735- 2000

b). Lif kebakaran.

Karena kurang cocok untuk menyediakan lif kebakaran untuk digunakan oleh petugas
pemadam kebakaran, lif proyek yang biasanya dipakai di lapangan dapat digunakan.
Lif proyek ini tidak perlu melayani tiga lantai teratas, sampai atap selesai dikerjakan.

c). Pasokan daya listrik.

Pasokan daya listrik dari PLN atau generator dapat digunakan.

d). Jalan akses mobil pemadam kebakaran.

Selama tahap konstruksi, mungkin ada pekerjaan lain, seperti pekerjaan galian dan
sebagainya yang akan mengganggu dipenuhinya ketentuan tentang jalur akses dan
ruang yang ada tidak memungkinkan untuk manuver mobil pemadam kebakaran.
Namun, setiap kemungkinan harus diambil untuk dapat menempatkan jalur akses ini.
Ini penting untuk tujuan pengendalian yang effektif operasi pemadaman kebakaran bila
kebakaran terjadi suatu waktu. Dari penjelasan di atas, alat pemadam api kimia ringan
seharusnya disediakan pada setiap lantai.

e). Katup landing pipa tegak.

Pipa tegak dan katup landing harus disediakan pada setiap lantai, kecuali tiga lantai
teratas bangunan sesuai tambahan ketinggian bangunan, dan dibuat operasional.

f). Tekanan dan aliran pada pipa tegak.

Karena kurang cocok untuk menyediakan ukuran volume tangki air sesuai ketentuan
dan pompa sesuai aliran dan tekanan yang dipersyaratkan untuk 45 menit pemadaman
kebakaran, tangki untuk pemadaman minimum 11,5 m3 seharusnya disediakan,
dimana ini untuk memadamkan api selama 5 menit. Pada saat mobil pemadam
kebakaran datang, tangki ini dapat diisi lagi melalui hidran umum. Tangki pemadam
harus dibuat sebelum tinggi bangunan mencapai 40 m.

41 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Apendiks B

B. Klasifikasi bangunan.

Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.

B.1. Kelas 1 : Bangunan hunian biasa.

satu atau lebih bangunan yang merupakan :

a). Klas 1a : bangunan hunian tunggal, berupa :

1). satu rumah tunggal ; atau

2). satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing


bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah
deret, rumah taman, unit town house, villa, atau

b). Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel,

atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih
dari 12 orang secara tetap,

dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan klas lain
selain tempat garasi pribadi.

B.2. Klas 2 : Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian,

yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

B.3. Klas 3 : Bangunan hunian di luar bangunan klas 1 atau 2,

yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang
yang tidak berhubungan, termasuk :

a). rumah asrama, rumah tamu, losmen ; atau

b). bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau

c). bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

d). panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau

e). bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.

42 dari 45
SNI 03-1735- 2000

B.4. Klas 4 : Bangunan hunian campuran.

tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan
tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.

B.5. Klas 5 : Bangunan kantor.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan


administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan klas 6, 7, 8 atau 9.

B.6. Klas 6 : Bangunan perdagangan.

bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-
barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk :

a). ruang makan, kafe, restoran ; atau

b). ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel ;
atau

c). tempat gunting rambut/salon, tempat cuci umum; atau

d). pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

B.7. Klas 7 : Bangunan penyimpanan/gudang.

bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk :

a). tempat parkir umum; atau

b). gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

B.8. Klas 8 : Bangunan laboratorium/industri/pabrik.

bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan
suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan
barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.

B.9. Klas 9 : Bangunan umum.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu :

a). Klas 9a : bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan


tersebut yang berupa laboratorium.

b). Klas 9b : bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya
di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hal, bangunan peribadatan, bangunan budaya
atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan klas
lain.

43 dari 45
SNI 03-1735- 2000

B.10. Klas 10 : Bangunan atau struktur yang bukan hunian.

a). Klas 10a : bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya.

b). Klas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

B.11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus.

Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1
sampai dengan 10 tersebut, dalam standar ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai peruntukannya.

B.12. Bangunan yang penggunaannya insidentil.

Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan


gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan
dengan bangunan utamanya.

B.13. Klasifikasi jamak.

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan :

a). bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai
dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan
klasifikasi utamanya ;

b). klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

c). Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang ketel uap, atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.

44 dari 45
SNI 03-1735- 2000

Bibliografi

1. Fire Safety Bureau, Singapore Civil Defence Force ; Fire Precautions in Buildings,
1997.

2. NFPA – 13 : Installation of Sprinkler Systems, 1994 Edition.

3. NFPA – 14 : Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996
Edition.

4. NFPA – 20 : Centrifugal Fire Pumps, 1993 Edition.

5. BSN : SNI 03-1745-2000 : Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa
tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung,

6. Kep.Men.PU No. 10/KPTS/2000, tentang “Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap


bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan”

45 dari 45
SNI 03-1736-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perencanaan Sistem Proteksi


Pasif untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
pada Bangunan Rumah dan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03 – 1736 - 2000

Tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan


bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung.

1. Ruang lingkup.
1.1. Standar ini ditujukan untuk mengamankan dan menyelamatkan jiwa, harta benda
dan kelangsungan fungsi bangunan.
1.2. Standar ini mencakup ketentuan-ketentuan yang memperkecil resiko bahaya
kebakaran pada bangunan itu sendiri, maupun resiko perambatan api terhadap bangunan-
bangunan yang berdekatan sehingga pada saat terjadi kebakaran, bangunan tersebut masih
stabil dan tahan terhadap robohnya bangunan.
1.3. Standar ini juga mencakup ketentuan-ketentuan pencegahan perluasan api
antara bagian-bagian bangunan.
1.4. Standar ini menetapkan kriteria minimal untuk perancangan sistem proteksi pasif
sehingga usaha mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran pada bangunan gedung
dapat tercapai.
2. Acuan.
a). Building Code of Australia, 1996.
3. Istilah dan definisi.
3.1.
bahaya kebakaran
bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api
sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan.

3.2.
dinding api.
dinding yang mempunyai ketahanan terhadap penyebaran api yang membagi suatu tingkat
atau bangunan dalam kompartemen-kompartemen kebakaran.

3.3.
dinding dalam.
dinding dalam yang merupakan dinding biasa atau bagian dinding.

3.4.
dinding luar.
dinding luar bangunan yang tidak merupakan dinding biasa .

3.5.
integritas.
dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk menahan penjalaran api dan udara panas
sebagaimana ditentukan pada standar.

1 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

3.6.
intensitas kebakaran.
laju pelepasan energi kalor diukur dalam watt, yang ditentukan baik secara teoritis maupun
empiris.

3.7.
isolasi.
yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk memelihara temperatur pada
permukaan yang tidak terkena panas langsung dari tungku kebakaran pada temperatur di
bawah 1400C sesuai standar uji ketahanan api.

3.8.
kelayakan struktur.
yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk memelihara stabilitas dan kelayakan
kapasitas beban sesuai dengan atandar yang dibutuhkan.

3.9.
ketahanan api.
yang diterapkan terhadap komponen struktur atau bagian lain dari bangunan yang artinya
mempunyai tingkat ketahanan api sesuai untuk komponen struktur atau bagian lain tersebut.

3.10.
kelas bangunan.
pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai dengan jenis peruntukan atau
penggunaan bangunan meliputi kelas 1 sampai kelas 10 yang rinciannya dapat dilihat pada
apendiks A.

3.11.
kompartemen kebakaran.
a). keseluruhan ruangan pada bangunan, atau
b). bila mengacu ke :
1). menurut persyaratan fungsional dan kinerja, adalah setiap bagian dari bangunan
yang dipisahkan oleh penghalang kebakaran/api seperti dinding atau lantai yang
mempunyai ketahanan terhadap penyebaran api dengan bukaan yang dilindungi
secara baik.
2). menurut persyaratan teknis, bagian dari bangunan yang dipisahkan oleh dinding
atau lantai yang mempunyai tingkat ketahanan api (TKA) tertentu.
3.12.
kompartemenisasi.
usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding,
lantai kolom, balok, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan kelas
bangunan.

3.13.
tempat parkir mobil terbuka.
parkir mobil yang semua bagian tingkat parkirnya mempunyai ventilasi yang permanen dari
bukaan, yang tidak terhalang melalui sekurang-kurangnya dari 2 sisi berlawanan atau hampir
berlawanan, dan :

2 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). tiap sisi mempunyai ventilasi tidak kurang 1/6 luas dari sisi yang lain, dan
b). bukaan tidak kurang dari ½ luas dinding dari sisi yang dimaksud.

3.14.
tidak mudah terbakar.
a). bahan yang tidak mudah terbakar sesuai standar.
b). konstruksi atau bagian bangunan yang dibangun seluruhnya dari bahan yang tidak
mudah terbakar.
3.15.
tingkat ketahanan api.
tingkat ketahanan api yang diukur dalam satuan menit, yang ditentukan berdasarkan standar
uji ketahanan api untuk kriteria sebagai berikut :
a). ketahanan memikul beban ( kelayakan struktur ).
b). ketahanan terhadap penjalaran api ( integritas ).
c). ketahanan terhadap penjalaran panas.
4. Persyaratan kinerja.
4.1. Suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang
pada tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama terjadi kebakaran, yang
sesuai dengan :
a). fungsi bangunan.
b). beban api.
c). intensitas kebakaran.
d). potensi bahaya kebakaran.
e). ketinggian bangunan.
f). kedekatan dengan bangunan lain.
g). sistem proteksi aktif yang terpasang dalam bangunan.
h). ukuran kompartemen kebakaran.
i). tindakan petugas pemadam kebakaran.
j). elemen bangunan lainnya yang mendukung.
k). evakuasi penghuni.
4.2. Suatu bangunan gedung harus memiliki elemen bangunan yang pada tingkat
tertentu dapat mencegah penjalaran asap kebakaran;
a). ke pintu kebakaran atau eksit;
b). ke unit-unit hunian tunggal dan koridor umum hanya berlaku pada banguna kelas 2, 3,
dan bagian kelas 4;
c). antar bangunan;
d). dalam bangunan, serta ditentukan sesuai butir 4.1.a sampai dengan butir 4.1.k.
tersebut di atas dan waktu evakuasi penghuni.

3 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

4.3. Ruang perawatan pasien pada bangunan kelas 9a harus dilindungi terhadap
penjalaran asap dan panas serta gas beracun yang ditimbulkan oleh kebakaran untuk dapat
memberikan waktu cukup agar evakuasi penghuni bisa berlangsung secara tertib pada saat
terjadi kebakaran.
4.4. Bahan dan komponen bangunan harus mampu menahan penjalaran kebakaran
untuk membatasi pertumbuhan asap dan panas serta terbentuknya gas beracun yang
ditimbulkan oleh kebakaran, sampai suatu tingkat yang cukup untuk :
a). waktu evakuasi yang diperlukan.
b). jumlah, mobilitas dan karakteristik penghuni/pemakai bangunan.
c). fungsi atau penggunaan bangunan.
d). sistem proteksi aktif yang terpasang.
4.5. Dinding luar bangunan yang terbuat dari beton yang kemungkinan bisa runtuh
dalam bentuk panel utuh (contoh beton yang berdiri miring dan beton pracetak) harus
dirancang sedemikian rupa, sehingga pada kejadian kebakaran dalam bangunan,
kemungkinan runtuh tersebut dapat dihindari, (ketentuan ini tidak berlaku terhadap
bangunan yang mempunyai 2 lantai di atas permukaan tanah).
4.6. Suatu bangunan harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkatan
tertentu mampu mencegah penyebaran asap kebakaran, yang berasal dari peralatan utilitas
yang berpotensi bahaya kebakaran tinggi atau bisa meledak akibat panas tinggi.
4.7. Suatu bangunan harus mempunyai elemen yang sampai pada batas-batas
tertentu mampu menghindarkan penyebaran kebakaran, sehingga peralatan darurat yang
dipasang pada bangunan akan terus beroperasi selama jangka waktu tertentu yang
diperlukan pada waktu terjadi kebakaran.
4.8. Setiap elemen bangunan yang dipasang atau disediakan untuk menahan
penyebaran api pada bukaan, sambungan-sambungan, tempat-tempat penembusan struktur
untuk utilitas harus dilindungi terhadap kebakaran sehingga diperoleh kinerja yang memadai
dari elemen tersebut.
4.9. Akses ke bangunan dan di sekeliling bangunan harus disediakan bagi tindakan
petugas pemadam kebakaran yang disesuaikan dengan :
a). fungsi atau penggunaan bangunan.
b). beban api.
c). intensitas kebakaran.
d). potensi bahaya kebakaran.
e). sistem proteksi aktif yang terpasang.
f). ukuran kompartemen kebakaran.
5. Ketahanan api dan stabilitas.
5.1. Pemenuhan persyaratan kinerja.
Persyaratan kinerja sebagaimana tercantum pada bagian 4 di atas, akan dipenuhi apabila
memenuhi persyaratan yang tercantum pada butir 5.2, 5.3, dan 5.4 serta bagian 6 dan
bagian 7.

4 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

5.2. Tipe konstruksi tahan api.


Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi, yaitu:

5.2.1. Tipe A :
Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan secara
struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat komponen pemisah
pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan bersebelahan
dan dinding yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding bangunan yang
bersebelahan.

5.2.2. Tipe B :
Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu mencegah
penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam bangunan, dan dinding luar
mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar bangunan.

5.2.3. Tipe C :
Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang dapat terbakar
serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran.

5.3. Tipe konstruksi yang diperlukan.


5.3.1. Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan
ketentuan pada tabel 5.3.1. dan ketentuan butir 5.5, kecuali :
a). bangunan kelas 2 atau 3 pada butir 5.8.
b). kelas 4 dari bagian-bagian bangunan pada butir 5.9.
c). panggung terbuka dan stadion olahraga dalam ruang pada butir 5.10 dan konstruksi
ringan pada butir 5.11.
5.3.2. Dari jenis-jenis konstruksi, konstruksi Tipe A adalah yang paling tahan api dan
Tipe C yang paling kurang tahan api.
Tabel 5.3.1.
Jumlah lantai Kelas bangunan/Tipe konsruksi
bangunan *) 2,3,9 5,6,7,8
4 atau lebih A A
3 A B
2 B C
1 C C
Catatan : *) Penjelasan lihat butir 5.2.

5.4. Spesifikasi konstruksi tahan api.


5.4.1. Ketahanan api elemen bangunan pada konstruksi Tipe A.
Tiap elemen bangunan sebagaimana tercantum pada 5.4.1. dan setiap balok atau kolom
yang menjadi satu dengan elemen tersebut harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang
tertulis dalam tabel tersebut untuk jenis bangunan tertentu.

5 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Persyaratan dinding dan kolom.


1). Dinding luar, dinding biasa, dan bahan lantai serta rangka lantai untuk sumuran
lif ( lift pit ) harus dari bahan tidak dapat terbakar.
2). Tiap dinding dalam yang disyaratkan mempunyai TKA harus diteruskan ke :
(a). permukaan bagian bawah dari lantai di atasnya.
(b). permukaan bagian bawah dari atap serta harus memenuhi tabel 5.4.1.
(c). langit-langit yang tepat berada di bawah atap, memiliki ketahanan terhadap
penyebaran kebakaran ke ruang antara langit-langit dan atap tidak kurang
dari 60 menit ( 60/60/60 ).
(d). bila menurut butir 5.4.1.e) atap tidak disyaratkan memenuhi tabel 5.4.1,
maka permukaan bawah penutup atap yang terbuat dari bahan sukar
terbakar terkecuali penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm atau
kurang, tidak boleh digantikan dengan bahan kayu atau bahan mudah
terbakar lainnya.
Tabel 5.4.1.: Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan.
KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan struktur/integritas/isolasi
Kelas 2,3 Kelas 5,9 Kelas 7 (selain
Elemen bangunan
atau bagian atau 7 tempat parkir)
Kelas 6
bangunan tempat parkir atau 8
kelas 4
Dinding Luar ( termasuk kolom dan
elemen bangunan lainnya yang
menyatu) atau elemen bangunan
luar lainnya yang jaraknya ke
sumber api adalah :
Bagian-bagian pemikul beban

- kurang dari 1,5 m 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240


- 1,5 m hingga < 3,0 m 90/60/60 120/90/90 180/180/120 240/240/180
- 3,0 m atau lebih 90/60/30 120/60/30 180/120/90 240/180/90
Bagian-bagian bukan pemikul
beban :

- kurang dari 1,5 m


--/90/90 -/120/120 -/180/180 -/240/240
- 1,5 m hingga < 3,0 m -/60/60 -/90/90 -/180/120 -/240/180
- 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-
Kolom Luar yang tidak menyatu
dalam dinding luar, yang jaraknya
ke sumber api
- kurang dari 3 m 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
- 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-
Dinding biasa dan
Dinding penahan api 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Dinding dalam Saf tahan api


pelindung lif dan tangga.

- Memikil beban 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120


- Tidak memikul beban -/90/90 -/120/120 -/120/120 -/120/120

6 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

Tabel 5.4.1. Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan (lanjutan).


KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan struktur/integritas/isolasi
Kelas 2,3 Kelas 5,9 Kelas 7 (selain
Elemen bangunan
atau bagian atau 7 tempat parkir)
Kelas 6
bangunan tempat parkir atau 8
kelas 4
Pembatas koridor umum, Lorong
utama (hallways) dan semacamnya :

- Memikul beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-

- Tidak memikul beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Diantara atau pembatas unit unit


Hunian Tunggal :

- Memikul beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-

- Tidak memikul beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Saf pelindung jalur ventilasi, pipa,


sampah dan semacamnya yang
bukan untuk pelepasan produk
panass hasil pembakaran :

- Memikul beban 90/90/90 120/90/90 180/120/120 240/120/120

- Tidak memikul beban -/90/90 -/90/90 -/120/120 -/120/120

Dinding biasa dan dinding penahan


api 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Dinding dalam, Balok, Kuda-


kuda/Penopang atap dan kolom 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
lainnya yang memikul beban

Lantai 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

Atap 90/60/30 120/60/30 180/60/30 240/90/60

3). Dinding pemikul beban seperti dinding dalam dan dinding pemisah tahan api
termasuk dinding-dinding yang merupakan bagian dari saf pemikul beban harus
dari bahan beton atau pasangan bata.
4). Bila suatu struktur yang tidak memikul beban yang berfungsi sebagai :
(a). dinding dalam yang disyaratkan tahan api.
(b). saf untuk lif, ventilasi, pembuangan sampah atau semacamnya yang tidak
digunakan untuk pembuangan atau pelepasan produk pembakaran.
maka harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar (non combustible).
5). Tingkat ketahanan api sebagaimana tercantum pada tabel 5.4.1. untuk kolom
luar, berlaku pula untuk bagian dari kolom dalam yang permukaannya

7 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

menghadap atau berjarak 1,5 m dari bukaan dan tepat berhadapan dengan
sumber api.
6). Persyaratan kolom dan dinding internal.
Bangunan dengan ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan atapnya tidak
memenuhi tabel 5.4.1, tetapi mengikuti persyaratan butir 5.4.1.c), maka pada
lantai tepat di bawah atap, kolom-kolom internal di luar yang diatur dalam butir
5.4.1.a).5) serta dinding internal pemikul beban selain dinding-dinding api boleh
mempunyai :
(a). bangunan kelas 2 atau 3; TKA 60/60/60.
(b). bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.
(1). bila jumlah lantai bangunan melebihi 3 lantai; TKA 60/60/60.
(2). bila jumlah lantai kurang dari 3 lantai; tidak perlu TKA.
b). Persyaratan lantai.
Konstruksi lantai tidak perlu mengikuti tabel 5.4.1, apabila :
1). terletak langsung di atas tanah.
2). di bangunan kelas 2, 3, 5 atau 9 yang ruang di bawahnya bukanlah suatu lapis
bangunan, tidak digunakan untuk menampung kendaraan bermotor, bukan suatu
tempat penyimpanan atau gudang ataupun ruang kerja dan tidak digunakan
untuk tujuan khusus lainnya.
3). lantai panggung dari kayu di bangunan kelas 9 b yang terletak di atas lantai yang
mempunyai TKA dan ruang di bawah panggung tersebut tidak digunakan untuk
kamar ganti pakaian, tempat penyimpanan atau semacamnya.
4). lantai yang terletak didalam unit hunian tunggal di bangunan kelas 2, 3 atau
bagian bangunan kelas 4.
5). lantai dengan akses terbuka (untuk menampung layanan kelistrikan dan
peralatan elektronik) yang terletak di atas lantai yang memiliki TKA.
6). persyaratan berkaitan dengan pembebanan lantai bangunan kelas 5 dan 9 b.
Pada lantai bangunan kelas 5 dan 9 b yang dirancang untuk beban hidup tidak
melebihi 3 kPa, maka :
(a). lantai di atasnya (termasuk balok lantai) dibolehkan memiliki TKA 90/90/90.
(b). atap, bila terletak langsung di atas lantai tersebut (termasuk balok atap)
dibolehkan memiliki TKA 90/60/30.
c). Persyaratan atap.
1). Penempatan atap di atas plat beton penutup tidak perlu memenuhi butir 5.1.
mengenai konstruksi tahan api, apabila :
(a). penutup dan bagian-bagian konstruksi yang terletak diantara penutup
tersebut dengan plat beton seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.
(b). plat atap beton memenuhi tabel 5.4.1.
2). Suatu konstruksi atap tidak perlu memenuhi tabel 5.4.1. bila penutup atap terbuat
dari bahan tidak mudah terbakar dan bila pada bangunan tersebut :

8 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

(a). terpasang seluruhnya sistem springkler sesuai standar yang berlaku.


(b). terdiri atas 3 (tiga) lantai atau kurang.
(c). adalah bangunan kelas 2 atau 3.
(d). memiliki ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan langit-langit yang
langsung berada di bawah atap mempunyai ketahanan terhadap
penyebaran awal kebakaran ke ruang atap tidak kurang dari 60 menit.
3). Lubang cahaya atap.
Apabila atap disyaratkan memenuhi TKA ataupun penutup atap disyaratkan dari
bahan tidak mudah terbakar, maka lubang cahaya atap atau semacamnya yang
dipasang di atas harus :
(a). mempunyai luas total tidak lebih dari 20% dari luas permukaan atap.
(b). berada tidak kurang dari 3 m terhadap :
(1). batas persil bangunan, dan tidak berlaku untuk batas dengan jalan
atau ruang publik.
(2). tiap bagian bangunan yang menonjol di atas atap, kecuali :
a. bila bagian bangunan tersebut memenuhi TKA yang
disyaratkan untuk suatu dinding tahan api.
b. bila terdapat bukaan pada dinding tersebut, maka harus
berjarak vertikal 6 m di atas lubang cahaya atap, atau
semacamnya.
harus dilindungi terhadap api.
(3). setiap lubang cahaya atap atau semacamnya yang terletak pada
hunian tunggal yang bersebelahan, apabila dinding bersamanya
disyaratkan memenuhi TKA.
(4). setiap lubang cahaya atap atau semacamnya pada bagian bangunan
berdekatan yang dipisahkan oleh dinding tahan api.

Gambar 4.1 : Bukaan pada lubang cahaya atap.

9 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

(c). apabila suatu langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap penjalaran api
awal, maka lubang cahaya atap harus dipasang sedemikian rupa agar bisa
mempertahankan tingkat proteksi yang diberikan oleh langit-langit ke ruang
atap.
d). Persyaratan stadion olahraga tertutup dan panggung terbuka.
Pada bangunan stadion olahraga dalam ruang dan panggung terbuka untuk penonton,
elemen bangunan berikut tidak memerlukan TKA sebagaimana dirinci dalam tabel
5.4.1. bila :
1). Elemen atap bilamana terbuat dari bahan tidak mudah terbakar.
2). Kolom-kolom dan dinding-dinding pemikul beban pendukung atap terbuat dari
bahan tidak mudah terbakar.
3). Tiap bagian yang bukan konstruksi pemikul beban dari dinding luar yang berjarak
kurang dari 3 m.
(a). mempunyai TKA tidak kurang -/60/60 dan dari bahan tidak mudah terbakar
bila berjarak kurang dari 3 m dari lokasi sumber api yang berhadapan.
(b). harus dari bahan tidak mudah terbakar bilamana berjarak 3 m dari dinding
luar panggung penonton terbuka lainnya.
e). Persyaratan bangunan tempat parkir.
1). Bangunan tempat parkir mobil di samping memenuhi butir 5.4.1.a), maka untuk
jenis ruang parkir dek terbuka perlu memenuhi tabel 5.4.1.(1) atau dilindungi
dengan sistem springkler sesuai persyaratan butir 7.1.3 dan bangunan tempat
parkir tersebut.
(a). merupakan bangunan terpisah.
(b). bagian dari bangunan yang menempati bagian dari satu lantai dan
dipisahkan dari bagian lainnya oleh dinding api.
2). Yang dimaksud bangunan parkir mobil dalam ketentuan ini :
(a). termasuk :
(1). ruang/kantor administrasi yang berkaitan dengan fungsi ruang parkir.
(2). bila bangunan tempat parkir tersebut dipasang sistem springkler,
disatukan dengan bangunan kelas 2 atau 3 dan menyediakan ruang
parkir untuk hunian tunggal yang terpisah, setiap kawasan tempat
parkir dengan luas tidak melebihi 10% dari luas lantai yang
digunakan semata-mata untuk melayani hunian tunggal.
(b). tidak termasuk :
(1). kecuali disebutkan untuk persyaratan butir 5.4.1.e).2).(a) tiap daerah
dari kelas bahan lainnya atau bagian-bagian lain dari bangunan kelas
7 tidak boleh digunakan sebagai tempat parkir.
(2). suatu bangunan atau bagian dari bangunan yang secara khusus
digunakan untuk tempat parkir truk, bis, van dan kendaraan
semacamnya.

10 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

Tabel 5.4.1.(1).: Persyaratan tempat parkir tidak berspringkler.


Minimum TKA
Kelaikan
Elemen bangunan
Struktur/Integritas/Isolasi
dan maksimum PT/M*.
DINDING :
a. Dinding luar.
(i) kurang dari 3 m dari kemungkinan sumber api
- Memikul beban. 60 / 60 / 60
- Tidak memikul beban. -- / 60 / 60
(ii) 3 m atau lebih dari kemungkinan sumber api. 60 / -- / --
b. Dinding dalam.
(i) Memikul beban, selain dinding yang mendukung hanya 60 / -- / --
untuk atap (tidak untuk tempat parkir)
(ii) Mendukung hanya untuk atap (tidak untuk tempat parkir). -- / -- / --
(iii) Tidak memikul beban. -- / -- / --
c. Dinding pembatas tahan api.
(i) dari arah yang digunakan sebagai tempat parkir. 60 / 60 / 60
(ii). dari arah yang tidak digunakan sebagai tempat parkir. Sesuai yang dipersyaratkan pada
tabel 5.3.1.
KOLOM :
a. Mendukung hanya atap (tidak digunakan sebagai tempat -- / -- / --
parkir) dan berjarak 3 m atau lebih dari sumber api.
b. Kolom baja di luar yang siatur dalam a dan yang tidak 60 / -- / -- atau
2
mendukung bagian bangunan yang tidak digunakan sebagai 26 m /ton
tempat parkir.
c. Kolom yang tidak diatur dalam a dan b. 60 / -- / --
BALOK :
a. Balok lantai baja yang menyambung dengan plat lantai 60 / -- / -- atau
beton. 30 m2/ton.
b. Balok lainnya. 60 / -- / --
SAF LIF DAN TANGGA (hanya dalam tempat parkir). 60 / 60 / 60
PELAT LANTAI DAN RAM UNTUK KENDARAAN. 60 / 60 / 60
ATAP (tidak digunakan sebagai tempat parkir). -- / -- / --

Catatan :

LPT/M* = Rasio luas permukaan terekspos dengan massa perunit satuan panjang.

f). Persyaratan bangunan kelas 2.


1). Bangunan kelas 2 yang ketinggian lantainya tidak lebih dari 3 lantai boleh
dikonstruksikan dengan memakai :
(a). kerangka kayu secara menyeluruh.
(b). keseluruhan dari bahan tidak mudah terbakar.
(c). kombinasi dari a) dan b), bila
(1). dinding pembatas atau dinding dalam harus tahan api yang
diteruskan sampai di bawah penutup atap yang dibuat dari bahan
tidak mudah terbakar, kecuali kaso atap berukuran 75 mm x 50 mm

11 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

atau kurang, tidak disambung silangkan dengan kayu atau bahan


mudah terbakar lainnya.
(2). tiap isolasi yang terpasang di lubang atau rongga dinding yang
memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar.
(3). bangunan dipasangi sistem alarm pendeteksi asap otomatis yang
memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan dalam SNI 03-
3985-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
deteksi kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung.
2). Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai jumlah lapis bangunan tidak lebih dari
4 diperbolehkan 3 (tiga) lapis teratas boleh dikonstruksikan sesuai butir 5.4.1.a),
bila lapis terbawah digunakan semata-mata untuk parkir kendaraan bermotor
atau fungsi tambahan lainnya dan konstruksi lapis tersebut termasuk lantai
antara lapis tersebut dengan lapis diatasnya terbuat dari struktur beton atau
struktur pasangan.
3). Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir 1) dan 2) serta
dipasang sistem springkler otomatis yang memenuhi ketentuan dalam SNI 03-
3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler
otomatis untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, maka
setiap kriteria TKA yang dicantumkan pada tabel 5.4.1. berlaku :
(a). untuk tiap lantai dan tiap dinding pemikul beban bisa dikurangi sampai 60,
kecuali kriteria TKA sebesar 90 untuk dinding luar harus tetap
dipertahankan bila diuji dari bagian luarnya.
(b). untuk tiap dinding dalam yang bukan dinding pemikul beban, tidak perlu
mengikuti tabel 5.4.1. bila :
(1). dilapis pada tiap sisinya dengan papan plaster standar setebal
13 mm atau bahan tidak mudah terbakar lainnya yang semacam itu.
(2). dinding dalam tersebut diteruskan hingga :
a. mencapai sisi bagian bawah dari lantai atas berikutnya.
b. mencapai sisi bagian bawah langit-langit yang memiliki
ketahanan terhadap penjalaran awal kebakaran sebesar 60
menit.
c. mencapai sisi bagian bawah dan penutup atap tahan api.
(3). bahan isolasi yang dipasang menutupi rongga atau lubang pada
dinding dibuat dari bahan tidak mudah terbakar.
(4). tiap sambungan konstruksi, ruang atau semacamnya yang terletak di
antara bagian atas dinding dan lantai, langit-langit atau atap ditutup
rapat terhadap penjalaran asap menggunakan bahan dempul jenis
intumescent atau bahan lainnya yang setara.
(5). Tiap pintu di dinding dilindungi dengan alat penutup otomatis,
terpasang rapat, yang bagian inti dari pintu tersebut terbuat dari
bahan padat dengan ukuran ketebalan minimal 35 mm.

12 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

5.4.2. Ketahanan api elemen bangunan untuk bangunan – Tipe B.


Pada bangunan yang disyaratkan memiliki konstruksi tipe B harus memenuhi ketentuan
sebagai tercantum pada tabel 5.4.2. dan setiap balok atau kolom yang menyatu dengan
elemen tersebut harus memiliki TKA tidak kurang dari yang tertera pada tabel tersebut untuk
kelas bangunan yang dimaksud.
Tabel 5.4.2. : Konstruksi tipe B : TKA konstruksi bangunan.
KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan struktur/integritas/isolasi
Kelas 2,3 Kelas 5,9 Kelas 7 (selain
Elemen bangunan
atau bagian atau 7 tempat parkir)
Kelas 6
bangunan tempat atau 8
kelas 4 parkir
DINDING LUAR, (termasuk tiap
kolom dan elemen bangunan
lainnya yang menjadi satu) atau
elemen bangunan luar lainnya,
yang jaraknya dari
kemungkinan sumber api
adalah sebagai berikut :
Bagian-bagian yang memikul
beban :

- kurang dari 1,5 m. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240


- 1,5 m hingga kurang dari 3 m 90/60/30 120/90/60 180/120/90 240/180/120

- 3 m hingga kurang dari 9 m. 90/30/30 120/30/30 180/90/60 240/90/60


- 9 m hingga kurang dari 18 m. 90/30/-- 120/30/30- 180/60/-- 240/90/--
- 18 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--
Bagian-bagian yang tidak
memikul beban.
- kurang dari 1,5 m --/90/90 --/120/120 --/180/180 --/240/240
- 1,5 m hingga kurang dari 3 m -/60/30 --/90/60 -/120/90 -/180/120
- 3 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- 240/240/240
KOLOM LUAR, yang tidak
menyatu dalam dinding luar,
yang jaraknya ke sumber utama
adalah :
- kurang dari 3 m. 90/--/-- 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--
- 3 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--
DINDING BIASA DAN
90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
DINDING PEMBATAS API.

13 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

Tabel 5.4.2. : Konstruksi tipe B : TKA konstruksi bangunan (lanjutan).


KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan struktur/integritas/isolasi
Kelas 2,3 Kelas 5,9 Kelas 7 (selain
Elemen bangunan
atau bagian atau 7 tempat parkir)
Kelas 6
bangunan tempat atau 8
kelas 4 parkir
DINDING DALAM.
Saf pelindung lif dan tangga
yang tahan api :
- Memikul beban. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
Saf pelindung tangga yang
tahan api :
- Tidak memikul beban. 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120
Pembatas koridor umum, jalan
umum di ruang besar dan
semacamnya :
- Memikul beban. 60/60/60 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--
- Tidak memikul beban. --/--/--
--/60/60 --/--/-- --/--/--
Diantara atau yang membatasi
unit-unit hunian tunggal :
- Memikul beban : 60/60/60 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--
- Tidak memikul beban : --/60/60 --/--/-- --/--/-- --/--/--
DINDING DALAM, BALOK
DALAM, RANGKA ATAP DAN 60/--/-- 120/--/-- 180/--/-- 240/--/--
KOLOM LAINNYA :

ATAP : --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--

a). Persyaratan dinding dan saf.


1). Dinding-dinding luar, dinding-dinding biasa dan lantai serta kerangka lantai di tiap
lubang lif harus dari bahan tidak dapat terbakar.
2). Bilamana saf tangga menunjang lantai atau bagian struktural dari lantai tersebut,
maka :
(a). lantai atau bagian struktur lantai harus mempunyai TKA 60 / --/ -- atau
lebih.
(b). sambungan saf tangga harus dibuat sedemikian sehingga lantai atau
bagian lantai akan bebas lepas atau jatuh saat terjadi kebakaran tanpa
menimbulkan kerusakan struktur pada saf.
3). Dinding dalam yang disyaratkan memiliki TKA, kecuali dinding yang melengkapi
unit-unit hunian tunggal di lantai teratas dan hanya ada satu unit di lantai
tersebut, harus diteruskan ke :
(a). permukaan bagian bawah dari lantai berikut di atasnya, bilamana lantai
tersebut mempunyai TKA minimal 30/30/30.
(b). permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap
penjalaran api awal ke arah ruang di atasnya tidak kurang dari 60 menit.

14 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

(c). permukaan bagian bawah dari penutup atap bilamana penutup atap
tersebut terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan tidak disambungkan
dengan kayu atau komponen bangunan lainnya dari bahan yang mudah
terbakar terkecuali dengan penopang atau berukuran 75 mm x 50 mm atau
kurang.
4). Dinding dalam dan dinding pembatas yang memikul beban (termasuk bagian saf
yang memikul beban) harus dari bahan beton ataupun pasangan bata.
5). Dinding dalam yang tidak memikul beban namun disyaratkan agar tahan api,
maka harus dari konstruksi tidak mudah terbakar.
6). Pada bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 pada tingkat bangunan yang langsung
berada di bawah atap, kolom-kolom dan dinding-dinding dalam selain dinding-
dinding pembatas api dan dinding saf tidak perlu memenuhi tabel 5.4.2.
7). Lif, jalur ventilasi, pipa, saluran pembuangan sampah, dan saf-saf semacam itu
yang bukan untuk dilalui produk panas hasil pembakaran dan tidak memikul
beban, harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar, khususnya pada :
(a). bangunan kelas 2, 3 atau 9.
(b). bangunan kelas 5, 6, 7 atau 8 bilamana saf tersebut menghubungkan lebih
dari 2 lapis bangunan.
b). Persyaratan lantai.
Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali dalam unit hunian tunggal, dan bangunan kelas
9, lantai yang memisahkan tingkat-tingkat bangunan ataupun berada di atas ruang
yang digunakan untuk menampung kendaraan bermotor atau digunakan untuk gudang
ataupun tujuan pemakaian lainnya harus :
1). Harus dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga konstruksi lantai tersebut
terutama bagian bawahnya memiliki ketahanan terhadap penyebaran kebakaran
tidak kurang dari 60 menit.
2). Mempunyai lapis penutup tahan api pada permukaan bawah lantai termasuk
balok-balok yang menyatu dengan lantai tersebut, bilamana lantai tersebut dari
bahan mudah terbakar atau metal atau memiliki TKA tidak kurang dari 30/30/30.
c). Persyaratan tempat parkir.
1). Meskipun tetap mengacu kepada butir 5.4.1.a).5), suatu tempat parkir perlu
memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada tabel 5.4.2.(1), bilamana
tempat parkir tersebut merupakan tempat parkir dengan dak terbuka atau
dilindungi dengan sistem springkler sesuai ketentuan pada SNI 03-3989-2000
tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatis
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan bangunan
tempat parkir tersebut merupakan :
(a). suatu bangunan tersendiri atau terpisah.
(b). suatu bagian dari suatu bangunan dan apabila menempati satu bagian dari
suatu tingkat bangunan atau lantai, bagian bangunan itu terpisahkan dari
bagian bangunan lainnya oleh dinding pembatas tahan api.
2). Untuk keperluan persyaratan ini, maka yang diartikan dalam tempat parkir :
(a). termasuk :

15 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

(1). ruang administrasi yang berkaitan dengan fungsi tempat parkir


tersebut.
(2). bila tempat parkir tersebut dilindungi dengan sistem springkler dan
disatukan dengan bangunan kelas 2 atau 3 dan menyediakan tempat
parkir kendaraan untuk unit-unit hunian tunggal yang terpisah,
dengan tiap area tempat parkir berukuran tidak lebih dari 10% luas
lantai, tetapi
(b). tidak termasuk :
(1). kecuali untuk persyaratan 2) a), tiap ruang sesuai kelas bangunan
lainnya atau bagian lain dari bangunan kelas 7 yang bukan untuk
tempat parkir.
(2). suatu bangunan atau bagian dari suatu bangunan yang dimaksudkan
secara khusus untuk parkir kendaraan truk, bis, van dan
semacamnya.
Tabel 5.4.2.(1).: Persyaratan tempat parkir berspringkler.
Minimum TKA, Kelaikan
Elemen bangunan Struktur/Integritas/Isolasi
dan maksimum PT/M*.
DINDING :
a. Dinding luar.
(i) kurang dari 3 m dari kemungkinan sumber api utama
- Memikul beban. 60 / 60 / 60
- Tidak memikul beban. -- / 60 / 60
(ii) 3 m atau lebih dari kemungkinan sumber api utama. -- / -- / --
b. Dinding dalam.
(i) Memikul beban, selain yang hanya menopang atap (tidak 60 / -- / --
digunakan sebagai tempat parkir)
(ii) Hanya menopang atap (tidak untuk tempat parkir). -- / -- / --
(iii) Tidak memikul beban. -- / -- / --
c. Dinding pembatas tahan api.
(i) dari arah yang digunakan sebagai tempat parkir kendaraan. 60 / 60 / 60
(ii). dari arah yang tidak digunakan sebagai tempat parkir Sesuai yang dipersyaratkan
kendaraan. pada tabel 5.4.1.(1).
KOLOM :
a. Mendukung hanya atap (tidak digunakan sebagai tempat -- / -- / --
parkir) dan berjarak 3 m atau lebih dari sumber api utama.
b. Kolom baja di luar yang diatur dalam a . 60 / -- / -- atau 26 m2/ton
c. Tiap kolom yang tidak diatur dalam a dan b. 60 / -- / --
BALOK :
a. Berjarak kurang dari 3m dari sumber api utama :
(i). Balok lantai baja yang menyambung secara menerus 60 / -- / -- atau 30 m2/ton.
dengan plat lantai baja.
(ii). Balok lainnya. 60 / -- / --
b. Berjarak 3 m atau lebih dari sumber api utama. -- / -- / --
SAF LIF DAN TANGGA. -- / -- / --
ATAP, pelat lantai dan jalan miring (ram) untuk kendaraan. -- / -- / --
Catatan : LPT/M* = Rasio luas permukaan terekspos dengan massa perunit satuan panjang.

16 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

d). Persyaratan untuk bangunan kelas 2.


1). Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai tingkat bangunan tidak lebih dari 2
(dua) boleh dikonstruksi dengan :
(a). keseluruhan rangka kayu.
(b). seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.
(c). kombinasi a) dan b) bila :
(1). tiap dinding pembatas api atau dinding dalam yang memenuhi syarat
tahan api serta diteruskan hingga mencapai permukaan bagian
bawah penutup atap dari bahan tidak mudah terbakar tidak
ditumpangkan dengan komponen bangunan dari bahan mudah
terbakar, terkecuali untuk penopang atap berukuran 75 mm x 50 mm
atau kurang.
(2). tiap isolasi yang dipasang pada lubang atau rongga di dinding yang
memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar.
(3). pada bangunan dipasang sistem deteksi alarm otomatis yang
memenuhi ketentuan SNI 03-3985-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem deteksi kebakaran untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
2). Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir a) dan pada bangunan
tersebut dipasang sistem springkler sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatis untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung, maka setiap kriteria TKA yang
diuraikan dalam tabel 5.4.2 berlaku sebagai berikut :
(a). untuk setiap dinding memiliki beban dapat berkurang hingga 60, kecuali
nilai TKA sebesar 90 untuk dinding luar harus tetap dipertahankan bila diuji
dari permukaan luar.
(b). untuk tiap dinding dalam yang bukan memikul beban, tidak perlu memenuhi
tabel 5.4.2, tersebut bilamana.:
(1). kedua permukaan dinding diberi lapisan setebal 13 mm dari papan
plaster atau bahan tidak mudah terbakar yang setara.
(2). dinding tersebut diperluas.
hingga mencapai permukaan bawah dari lantai berikut di atasnya bila
lantai tersebut memiliki TKA minimal 30/30/30 atau permukaan
bawah lantai tersebut dilapis dengan bahan pelapis tahan api.
hingga mencapai bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan
terhadap penjalaran api awal sebesar 60 menit.
hingga mencapai permukaan bagian bawah penutup atap yang
terbuat dari bahan tidak mudah terbakar.
(3). tiap isolasi yang terpasang pada rongga atau lubang di dinding dibuat
dari bahan yang tidak mudah terbakar.
(4). tiap sambungan konstruksi, ruang dan semacamnya yang berada di
antara ujung teratas dinding dengan lantai, langit-langit atau atap

17 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

disumbat atau ditutup dengan dempul intumescent atau bahan yang


tepat lainnya.

5.4.3. Ketahanan api elemen bangunan untuk konstruksi - Tipe C


Pada suatu bangunan yang memenuhi konstruksi Tipe C, maka :
Elemen bangunan harus memenuhi ketentuan yang tercantum pada tabel 5.4.3. dan setiap
balok atau kolom yang menjadi satu dengan elemen bangunan tersebut harus mempunyai
TKA tidak kurang dari yang tercantum dalam tabel tersebut sesuai dengan kelas
bangunannya.
Tabel 5.4.3. : Konstruksi tipe C : TKA konstruksi bangunan.
KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan struktur/integritas/isolasi
Kelas 2,3 Kelas 5,9 Kelas 7 (selain
Elemen bangunan
atau bagian atau 7 tempat parkir)
Kelas 6
bangunan tempat atau 8
kelas 4 parkir
DINDING LUAR, (termasuk tiap
kolom dan elemen bangunan
lainnya yang menjadi satu) atau
elemen bangunan luar lainnya,
yang jaraknya dari
kemungkinan sumber api
adalah sebagai berikut :
- kurang dari 1,5 m. 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
- 1,5 m hingga kurang dari 3 m 90/60/30 120/90/60 180/120/90 240/180/120

- 3 m atau lebih. 90/30/30 120/30/30 180/90/60 240/90/60


KOLOM LUAR, yang tidak
menyatu dalam dinding luar,
yang jaraknya ke sumber utama
adalah :
- kurang dari 1,5 m. 90/--/-- 90/--/-- 90/--/-- 90/--/--
- 1,5 m hingga kurang dari 3 m. 60/--/-- 60/--/-- 60/--/--
- 3 m atau lebih. --/--/-- --/--/-- --/--/-- --/--/--
DINDING BIASA DAN
90/90/90 90/90/90 90/90/90 90/90/90
DINDING PEMBATAS API.
DINDING DALAM
- Membatasi koridor umum,
jalan di ruang besar untuk 60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --
umum dan semacamnya.
- Diantara atau membatasi unit-
60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --
unit hunian tunggal .
- Membatasi tangga bila
60/60/60 -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --
disyaratkan memiliki TKA
ATAP -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / -- -- / -- / --

18 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Persyaratan dinding.


1). Suatu dinding luar yang disyaratkan sesuai tabel 5.4.3, memiliki TKA hanya
memerlukan pengujian dari arah luar untuk memenuhi persyaratan tersebut.
2). Suatu dinding pembatas api atau dinding dalam yang membatasi unit hunian
tunggal atau memisahkan unit-unit yang berdekatan bila dibuat dari bahan beton
ringan harus memenuhi ketentuan yang berlaku untuk beton ringan.
3). Dalam bangunan kelas 2 atau 3, suatu dinding dalam yang disyaratkan menurut
tabel 5.4.3. memiliki TKA harus diperluas :
(a). sampai mencapai permukaan bawah lantai diantaranya bilamana lantai
tersebut mempunyai TKA sekurang-kurangnya 30/30/30 atau bagian
permukaan bawah tersebut dilapis dengan bahan tahan api.
(b). mencapai permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan
terhadap penjalaran api awal ke ruang diatasnya tidak kurang dari 60
menit.
(c). mencapai permukaan bagian bawah penutup atap bilamana penutup atap
tersebut terbuat dari bahan tidak mudah terbakar, dan terkecuali untuk
penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm atau kurang, tidak boleh
disimpangkan dengan menggunakan komponen bangunan kayu atau
bahan mudah terbakar lainnya.
(d). menonjol di atas atap setinggi 450 mm bilamana penutup atap dari bahan
mudah terbakar.
b). Persyaratan lantai.
Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali di dalam unit hunian tunggal, atau pada
bangunan kelas 9, maka lantai yang memisahkan tingkat-tingkat pada bangunan atau
berada di atas ruang untuk menampung kendaraan bermotor atau digunakan sebagai
gudang atau keperluan ekstra lainnya dan tiap kolom yang menopang lantai haruslah :
1). Memiliki TKA sedikitnya 30/30/30.
2). Memiliki pelapis tahan api
c). Persyaratan tempat parkir.
1). Meskipun persyaratan ketahanan api mengenai komponen bangunan dicakup
dalam butir 7.1. namun untuk tempat parkir boleh mengikuti persyaratan dalam
tabel 5.4.3.(1) bilamana berbentuk tempat parkir dek terbuka atau seluruhnya
dilindungi dengan sistem springkler sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatis untuk pencegahan
kebakaran pada bangunan gedung.
(a). adalah bangunan tersendiri atau terpisah
(b). merupakan bagian dari suatu bangunan serta bila menempati hanya
sebagian dari suatu lantai, maka bagian lantai tersebut terpisah dari bagian
lainnya melalui suatu dinding pembatas api.
2). Dalam persyaratan ini, suatu tempat parkir.
(a). termasuk :
(1). area administrasi yang berkaitan dengan fungsi parkir.

19 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

(2). bilamana tempat parkir tersebut dilindungi springkler, maka termasuk


pula tempat parkir yang disediakan untuk unit-unit hunian tunggal
pada bangunan kelas 2 atau 3 yang luas tiap tempat parkirnya tidak
lebih besar dari 10% luas lantai, akan tetapi
(b). tidak termasuk :
(1). kecuali untuk 2)(a), tiap area dari kelas bangunan lainnya atau bagian
lain dari jenis bangunan kelas 7 yang bukan untuk tempat parkir.
(2). bangunan atau bagian bangunan yang secara khusus dimaksudkan
untuk tempat parkir kendaraan truk, bus, minibus dan semacamnya.
Tabel 5.4.3.(1) : Persyaratan tempat parkir.

Minimum TKA, Kelaikan


Elemen bangunan Struktur/Integritas/Isolasi
dan maksimum PT/M*.
DINDING :
a. Dinding luar.
(i) kurang dari 1,5 m dari kemungkinan sumber api utama
- Memikul beban. 60 / 60 / 60
- Tidak memikul beban. -- / 60 / 60
(ii) 1,5 m atau lebih dari kemungkinan sumber api utama. -- / -- / --
b. Dinding dalam. -- / -- / --
c. Dinding pembatas tahan api.
(i) dari arah yang digunakan sebagai tempat parkir kendaraan. 60 / 60 / 60
(ii). dari arah yang tidak digunakan sebagai tempat parkir 90 / 90 / 90.
kendaraan.
KOLOM :
a. kolom baja kurang dari 1,5 m dari sumber api utama. 60 / -- / -- atau 26 m2/ton
b. kolom lainnya yang kurang dari 1,5 m dari sumber api utama 60 / -- / --
c. kolom lainnya yang tidak dicakup dalam a dan b. -- / -- / --
BALOK :
a. Berjarak kurang dari 1,5 m dari sumber api utama :
(i). Balok lantai baja yang menyambung secara menerus 60 / -- / -- atau 30 m2/ton.
dengan plat lantai beton.
(ii). Balok lainnya. 60 / -- / --
b. Berjarak 1,5 m atau lebih dari sumber api utama. -- / -- / --
ATAP, pelat lantai dan jalan miring (ram) untuk kendaraan. -- / -- / --
Catatan :
LPT/M* = Rasio luas permukaan terekspos dengan massa perunit satuan panjang.

5.5. Perhitungan ketinggian dalam jumlah lantai.


Ketinggian dinyatakan dalam jumlah lantai pada setiap dinding luar bangunan.
a). di atas permukaan tanah matang disebelah bagian dinding tersebut.
b). bila bagian dinding luar bangunan berada pada batas persil, di atas tanah asli dari
bagian yang sesuai dengan batas-batas tanah.
5.5.2. Satu lapis lantai tidak dihitung apabila :

20 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). terletak pada lantai puncak bangunan dan hanya berisi peralatan-peralatan tata udara,
ventilasi atau lif, tangki air atau unit pelayanan atau utilitas sejenis.
b). bila sebagian lapis bangunan terletak di bawah permukaan tanah matang dan ruang di
bawah langit-langit tidak lebih dari 1 (satu) meter di atas ketinggian rata-rata
permukaan tanah pada dinding luar, atau bila dinding luar > 12 m panjangnya, diambil
rata-rata dari panjang dimana permukaan tanah miring adalah yang paling rendah.
5.5.3. Pada bangunan kelas 7 dan 8, suatu lantai yang memiliki ketinggian rata-rata
lebih dari 6 m, diperhitungkan sebagai :
a). satu lapis lantai bila merupakan satu-satunya lantai di atas permukaan tanah.
b). 2 (dua) lapis lantai untuk kasus lainnya.

5.6. Bangunan-bangunan dengan klasifikasi jamak.


Dalam sebuah bangunan dengan klasifikasi jamak, tipe konstruksi yang diperlukan adalah
tipe yang paling tahan kebakaran. Tipe tersebut berpedoman pada penerapan tabel 4.1, dan
didasarkan pada klasifikasi yang ditetapkan untuk lantai tertinggi diberlakukan untuk semua
lantai.

5.7. Tipe konstruksi campuran.


Suatu bangunan dengan tipe konstruksi campuran bila dipisahkan sesuai dengan ketentuan
pada butir 5.8, maka tipe konstruksinya disesuaikan dengan ketentuan butir 5.4.1.b).6) atau
butir 5.4.1.c).

5.8. Bangunan dua lantai dari kelas 2 atau kelas 3.


Suatu bangunan kelas 2 atau kelas 3 atau campuran dari kedua kelas tersebut, memiliki 2
(dua) lapis lantai, bisa dari konstruksi Tipe C bila tiap unit hunian memiliki :
5.8.1. Jalan masuk menuju sekurang-kurangnya dua (2) pintu keluar.
5.8.2. memiliki jalan masuk langsung menuju ke jalan atau ruang terbuka.

5.9. Bagian-bagian bangunan kelas 4.


Suatu bangunan kelas 4 perlu memiliki ketahanan api yang sama untuk unsur-unsur
bangunan dan konstruksi yang sama yang memisahkan bagian bangunan kelas 4 dari
bangunan lainnya, seperti bangunan kelas 2 pada lingkungan yang sama.

5.10. Panggung terbuka untuk penonton dan stadion olahraga dalam ruang.
5.10.1. Suatu panggung terbuka untuk penonton atau Stadion Olahraga dapat dibuat
dari konstruksi Tipe C dan tidak perlu sesuai dengan persyaratan lain dari bagian ini bila
konstruksi tersebut memiliki tidak lebih dari satu baris tempat duduk bertingkat, dari
konstruksi tidak mudah terbakar, dan hanya memiliki ruang ganti, fasilitas sanitasi atau
semacamnya yang berada di bawah deretan tempat duduk.
5.10.2. Pada butir 1 di atas, sebaris tempat duduk bertingkat diartikan sebagai beberapa
baris tempat duduk namun berada pada satu lapis bangunan yang diperuntukkan untuk
menonton.

21 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

5.11. Konstruksi ringan.


5.11.1. Konstruksi ringan harus sesuai dengan ketentuan pada butir 5.4.1.d). bila hal itu
digunakan pada sistem dinding yang :
a). Perlu memiliki derajat ketahanan api.
b). Untuk suatu Saf Lif, Saf Tangga atau Saf Utilitas atau dinding luar yang membatasi
selasar umum, termasuk lintasan atau ramp tanpa isolasi penahan api, pada panggung
pengamat, stadion olahraga, gedung bioskop atau pertunjukan, stasiun kereta api,
stasiun bus atau terminal bandara.
5.11.2. Apabila konstruksi ringan digunakan untuk penutup tahan api atau selimut suatu
kolom baja atau sejenisnya, dan apabila :
a). Selimut tersebut tidak langsung kontak dengan kolomnya, maka rongga antara
tersebut harus terisi oleh bahan padat, sampai pada ketinggian tidak kurang dari 1,2 m
dari lantai untuk menghindari terjadinya pelekukan.
b). Kolom tersebut dimungkinkan dapat rusak oleh gerakan kendaraan, material atau
peralatan, maka selimut tersebut harus dilindungi dengan baja atau material lain yang
sesuai.

5.12. Bangunan kelas 1 dan kelas 10.


5.12.1. Bangunan-bangunan kelas 1 harus diproteksi terhadap penjalaran api kebakaran
dari :
a). Bangunan lain selain bangunan kelas 10.
b). Batas yang sama dengan bangunan lain.
5.12.2. Bangunan-bangunan kelas 10 a harus tidak meningkatkan risiko merambatkan
api antara bangunan kelas 2 sampai dengan 9.
5.12.3. Untuk bangunan kelas 1 dan kelas 10 a yang sesuai dengan bangunan kelas 1,
bila konstruksinya memenuhi persyaratan butir 5.12.1.

5.13. Sifat bahan bangunan terhadap api.


Bahan bangunan dan komponen struktur bangunan pada setiap kelas bangunan (kelas 2, 3,
5, 6, 7,8 atau 9) harus mampu menahan penjalaran kebakaran, dan membatasi timbulnya
asap agar kondisi ruang di dalam bangunan tetap aman bagi penghuni sewaktu
melaksanakan evakuasi.

5.14. Kinerja bahan bangunan terhadap api.


5.14.1. Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi
persyaratan pengujian sifat bakar (combustibility test) dan sifat penjalaran api pada
permukaan (surface test) sesuai ketentuan yang berlaku tentang bahan bangunan.
Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen bangunan (dinding, kolom dan balok)
harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api yang dinyatakan dalam waktu
(30, 60, 120, 180, 240) menit.
5.14.2. Bahan bangunan berikut sebagaimana dimaksud pada butir 5.14.1 diklasifikasi-
kan sebagai :
a). Bahan tidak terbakar (mutu tingkat I)

22 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

b). Bahan sukar terbakar (mutu tingkat II).


c). Bahan penghambat api (mutu tingkat III).
d). Bahan semi penghambat api (mutu tingkat IV).
e). Bahan mudah terbakar (mutu tingkat V).
5.14.3. Bahan bangunan yang mudah terbakar, dan atau yang mudah menjalarkan api
melalui permukaan tanpa perlindungan khusus, tidak boleh dipakai pada tempat-tempat
penyelamatan kebakaran, maupun dibagian lainnya, dalam bangunan di mana terdapat
sumber api.
5.14.4. Penggunaan bahan-bahan yang mudah terbakar dan mudah mengeluarkan asap
yang banyak dan beracun sebaiknya tidak boleh digunakan atau harus diberi perlindungan
khusus sebagaimana butir 3 diatas.
5.14.5. Tingkat mutu bahan lapis penutup ruang efektif serta struktur bangunan harus
memenuhi standar teknis yang berlaku.
5.14.6. Persyaratan ketahanan api bagi unsur bangunan dan bahan pelapis berdasarkan
jenis dan ketebalan, harus mengikuti standar teknis yang berlaku.
5.14.7. Pengumpul panas matahari yang digunakan sebagai komponen bangunan tidak
boleh mengurangi persyaratan tahan api yang ditentukan.
5.14.8. Bahan bangunan yang digunakan untuk komponen struktur bangunan harus
memenuhi syarat umum sebagaimana tercantum di dalam butir 5.4.1.a).
5.14.9. Bahan bangunan yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam butir 5.14.2. dapat dipakai setelah dibuktikan dengan hasil pengujian dari instansi
teknis yang berwenang.

5.15. Kinerja dinding luar terhadap api.


5.15.1. Bila suatu bangunan dengan ketinggian tidak lebih dari 2 (dua) lantai memiliki
dinding luar dari bahan beton yang kemungkinan bisa runtuh seluruhnya dalam bentuk panel
(contoh : beton, precast), maka dinding tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga
pada saat terjadi kebakaran, kemungkinan runtuhnya panel ke luar bisa diminimalkan.
5.15.2. Dinding luar bangunan yang berbatasan dengan garis batas pemilikan tanah
harus tahan api minimal 120 menit.
5.15.3. Pada bangunan yang berderet, dinding batas antara bangunan harus menembus
atap dengan tinggi minimal 0,5 m dari seluruh permukaan atap.

5.16. Kinerja dinding penyekat sementara terhadap api.


5.16.1. Dinding penyekat ruang sementara, ketahanan apinya harus minimal 30 menit.
5.16.2. Dinding sebagaimana dimaksud pada butir 5.16.1. tidak boleh menerus
sampai langit-langit serta tidak boleh mengganggu fungsi sistem instalasi dan perlengkapan
bangunan pada ruang tertentu.

23 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

6. Kompartemenisasi dan pemisahan.

6.1. Pemenuhan persyaratan kinerja.


Persyaratan kinerja sebagaimana disebut pada butir 4.3. akan dipenuhi apabila memenuhi
persyaratan yang tercantum pada bagian 4 dan bagian 5. Ketentuan pada butir 6.2, 6.3 dan
6.4, tidak berlaku untuk tempat parkir umum yang dilengkapi dengan sistem springkler,
tempat parkir tidak beratap atau suatu panggung terbuka.

6.2. Batasan umum luas lantai.


6.2.1. Ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan kelas 5, 6, 7,
8 atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume maksimum seperti
ditunjukkan dalam tabel 6.2 dan butir 6.5, kecuali seperti yang diizinkan pada butir 6.3.
6.2.2. Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara,
ventilasi, atau peralatan lif, tangki air atau unit-unit utilitas sejenis, tidak diperhitungkan
sebagai daerah luasan lantai atau volume dari kompartemen atau atrium, bila sarana itu
diletakkan pada puncak bangunan.
6.2.3. Untuk suatu bangunan yang memiliki sebuah lubang atrium, bagian dari ruang
atrium yang dibatasi oleh sisi tepi sekeliling bukaan pada lantai dasar serta perluasannya
dari lantai pertama di atas lantai atrium sampai ke atas langit-langitnya tidak diperhitungkan
sebagai volume atrium.
Tabel 6.2 : Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran atau atrium.
Tipe konsruksi bangunan
Uraian
Tipe A Tipe B Tipe C
Maks.luasan lantai 8.000 m2 5.500 m2 3.000 m2
Kelas 5 atau 9b
Maks. volume 48.000 m3 33.500 m3 18.000 m3
Kelas 6,7,8 atau 9a Maks.luasan lantai 5.000 m2 3.500 m2 2.000 m2
(kecuali daerah
Maks. volume 30.000 m3 21.500 m3 12.000 m3
perawatan pasien)

6.3. Bangunan-bangunan besar yang diisolasi.


Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan dari yang tersebut dalam
tabel 6.2, bila :
6.3.1. Luasan bangunan tidak melebihi 18.000 m2 dan volumenya tidak melebihi
3
108.000 m dengan ketentuan :
a). Bangunan kelas 7 atau 8 yang memiliki lantai bangunan tidak lebih dari 2 lantai dan
terdapat ruang terbuka yang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada butir
6.4.1. yang lebarnya tidak kurang dari 18 meter, dan
1). bangunan dilengkapi sistem springkler dan alarm.
2). bangunan dilengkapi sistem pembuangan asap otomatis termasuk ventilasi asap.
b). Bangunan kelas 5 s/d 9 yang dilindungi seluruhnya dengan sistem springkler serta
terdapat jalur kendaraan sekeliling bangunan yang memenuhi ketentuan butir 6.4.2.
6.3.2. Bangunan melebihi 18.000 m2 luasnya atau 108.000 m3 volumenya, dilindungi
dengan sistem springkler, dan dikelilingi jalan masuk kendaraan sesuai dengan butir 6.4.2.,
dan apabila :

24 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari 12 meter, dilengkapi dengan
sistem pembuangan asap atau ventilasi asap dan panas sesuai pedoman teknis dan
standar teknis yang berlaku.
b). Ketinggian langit-langit lebih dari 12 meter, dilengkapi dengan sistem pembuangan
asap sesuai ketentuan yang berlaku.
6.3.3. Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling, dan :
a). Setiap bangunan harus memenuhi ketentuan butir 6.3.1 atau 6.3.2 di atas.
b). Bila jarak antara bangunan satu lainnya kurang dari 6 meter, maka seluruhnya akan
dianggap sebagai satu bangunan dan secara bersama harus memenuhi ketentuan
butir 6.3.1 atau 6.3.2 di atas.

6.4. Kebutuhan ruang terbuka dan jalan masuk kendaraan.


6.4.1. Suatu ruang terbuka yang disyaratkan berdasarkan butir 6.3 harus :
a). Seluruhnya berada di dalam kapling yang sama kecuali jalan, sungai atau tempat
umum yang berdampingan dengan kapling tersebut, namun berjarak tidak lebih dari
6 meter dengannya.
b). Termasuk jalan masuk kendaraan sesuai ketentuan butir 6.4.2.
c). Tidak digunakan untuk penyimpanan dan pemrosesan material.
d). Tidak ada bangunan diatasnya, kecuali untuk gardu jaga dan bangunan penunjang
(seperti gardu listrik dan ruang pompa), yang tidak melanggar batas lebar dari ruang
terbuka, tidak menghalangi penanggulangan kebakaran pada bagian manapun dari
tepian kapling, atau akan menambah resiko merambatnya api ke bangunan yang
berdekatan dengan kapling tersebut.
6.4.2. Jalan masuk kendaraan harus :
a). Mampu menyediakan jalan masuk bagi kendaraan darurat dan lintasan dari jalan
umum.
b). Mempunyai lebar bebas minimum 6 meter dan tidak ada bagian yang lebih jauh dari
18 meter terhadap bangunan apapun kecuali hanya untuk kendaraan dan pejalan kaki.
c). Dilengkapi dengan jalan masuk pejalan kaki yang memadai dari jalan masuk
kendaraan menuju ke bangunan.
d). Memiliki kapasitas memikul beban dan tinggi bebas untuk memudahkan operasi dan
lewatnya mobil pemadam kebakaran.
e). Bilamana terdapat jalan umum yang memenuhi butir a), b), c) dan d) di atas dapat
berlaku sebagai jalan lewatnya kendaraan atau bagian dari padanya.

6.5. Bangunan-bangunan kelas 9a.


Bangunan-bangunan kelas 9a harus dilengkapi dengan tersedianya daerah yang aman
terhadap kebakaran dan asap yang dapat :
6.5.1. Derah perawatan pasien harus dibagi dalam kompartemen-kompartemen
kebakaran dengan luas tidak melebihi 2.000 m2.
6.5.2. Daerah bangsal pasien :

25 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Untuk luasan lantai melampaui 1.000 m2 harus dibagi menjadi daerah yang tidak lebih
dari 1.000 m2 oleh dinding-dinding dengan Tingkat Ketahanan Api (TKA) tidak kurang
dari 60/60/60.
b). Untuk luasan lantai melampaui 500 m2 harus dibagi menjadi daerah tidak lebih dari
500 m2 oleh dinding-dinding kedap asap sesuai dengan butir 4 di bawah.
c). Pada pembagian / pemisahan ruang bangsal dengan dinding-dinding tahan api
menurut butir 6.5.1 di atas dan butir 6.5.2.a) tidak diperlukan, dinding-dinding apapun
yang kedap asap menurut 6.5.2.b) di atas harus memiliki suatu TKA tidak kurang dari
60/60/60.
6.5.3. Daerah perawatan harus dibagi dalam luasan lantai tidak lebih dari 1000 m2
dengan dinding kedap asap sesuai butir 6.5.4 di bawah.
6.5.4. Suatu dinding kedap asap harus :
a). Tidak mudah terbakar, dan membentang hingga di bawah permukaan lantai, di
atasnya, di bawah penutup atap yang tidak mudah terbakar atau di bawah langit-langit
yang tahan mencegah perambatan api ke ruang di atasnya tidak kurang dari 60 menit.
b). Tidak digabungkan dengan luasan atau permukaan dari bahan kaca apapun, kecuali
bahan kaca jenis aman yang ditentukan berdasarkan standar yang berlaku.
c). Memiliki pintu keluar yang dilengkapi dengan pintu-pintu tahan asap sesuai ketentuan.
d). Tidak terdapat lubang bukaan apapun kecuali bukaan yang dikelilingi bagian yang
menembus dinding yang dilengkapi dengan penyetop api yang akan menghambat
jalannya asap.
e). Dilengkapi damper asap yang dipasang pada tempat saat saluran udara dari sistem
pengkondisian udara menembus dinding, kecuali sistem pengkondisian udaranya
membentuk bagian dari pengendali asap, atau yang diperlukan untuk tetap beroperasi
selama kebakaran.
6.5.5. Kompartemen-kompartemen kebakaran harus dipisahkan dari bagian bangunan
lain melalui dinding-dinding tahan api.
a). Pada konstruksi Tipe A – lantai dan langit-langitnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b). Pada konstruksi Tipe B – lantai dengan TKA tidak kurang dari 120/120/120 dan disertai
bukaan pada dinding-dinding luarnya yang membatasi daerah pasien, dipisahkan
secara vertikal sesuai dengan persyaratan pada butir 6.6, bila sebelumnya bangunan
dengan konstruksi Tipe A.
6.5.6. Pintu yang harus kedap asap atau memiliki TKA, yang tidak sama dengan pintu
yang berfungsi sebagai kompartemen kebakaran yang diperlengkapi dengan sistem
pengendalian asap terzonasi sesuai dengan standar yang berlaku, harus mempunyai satu
reservoir asap yang tidak melebar sejauh 400 mm dari samping bawah :
a). Penutup atap.
b). Lantai diatasnya.
c). Suatu langit-langit yang dirancang untuk mencegah aliran asap.
6.5.7. Untuk ruang-ruang yang berlokasi di dalam ruang perawatan pasien harus
dipisahkan dari ruang perawatan pasien dengan dinding-dinding yang TKA tidak kurang dari

26 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

60/60/60 dan menerus ke penutup atap dari bahan tidak mudah terbakar, lantai atau langit-
langit yang mampu mencegah perambatan api, pintu-pintunya harus dilindungi dengan pintu
yang mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/30. Ruang-ruang tersebut adalah :
a). Dapur dan ruang penyiapan makanan yang mempunyai luas lantai lebih dari 30 m2.
b). Ruang yang terdiri dari fasilitas hyper baric (bilik bertekanan).
c). Ruang digunakan terutama untuk penyimpanan catatan-catatan medis dan mempunyai
luas lantai lebih dari 10 m2.
d). Ruang cuci (binatu) berisi peralatan dari jenis yang berpotensi menimbulkan kebakaran
(seperti pengering dengan gas).

6.6. Pemisahan vertikal pada bukaan di dinding luar.


Apabila dalam suatu bangunan (selain bangunan parkir terbuka atau panggung terbuka)
yang memerlukan konstruksi Tipe A dan tidak memiliki sistem springkler, maka setiap bagian
dari jendela atau bukaan lain pada dinding luar (kecuali bukaan pada tangga yang sama) :
berada diatas bukaan lain dari lantai disebelah bawahnya dan proyeksi vertikalnya tidak
lebih dari 450 mm diluar bukaan yang ada dibawahnya (diukur horizontal).
Bukaan tersebut harus dipisahkan oleh :
6.6.1. Suatu ruang antara yang :
a). Tingginya tidak kurang dari 900 mm.
b). Melebar tidak kurang dari 600 mm diatas permukaan teratas dari lantai yang terletak
diantaranya.
c). Dari bahan tidak mudah terbakar dengan TKA tidak kurang dari 60/60/60.; atau
6.6.2. Bagian dari dinding pengisi atau dinding panel yang memenuhi butir 6.6.1; atau
6.6.3. Suatu konstruksi yang memenuhi butir 6.6.1 terletak di balik dinding seluruhnya
kaca atau dinding panel dan memiliki celah terisi bahan penyekat dari bahan tidak mudah
terbakar yang akan menahan ekspansi termal serta gerakan struktural dari dinding tanpa
kehilangan penyekatnya terhadap api dan asap; atau
6.6.4. Suatu plat lantai atau konstruksi horizontal lainnya yang :
a). Menonjol keluar dari dinding luar tidak kurang dari 1100 mm.
b). Menonjol sepanjang dinding tidak kurang dari 450 mm melampaui bukaan yang ada.
c). Dari bahan tidak mudah terbakar dengan TKA tidak kurang dari 60/60/60.

6.7. Pemisahan oleh dinding tahan api.


Bagian dari suatu bangunan yang dipisahkan dari bagian lainnya dengan suatu dinding
tahan api diperlakukan sebagai bangunan terpisah, bila :
6.7.1. Dinding tahan api tersebut :
a). Membentang sepanjang seluruh tingkat lantai bangunan.
b). Menerus sampai dengan bidang di bawah penutup atap.
c). Memiliki TKA yang sesuai dengan ketentuan butir 5.2. untuk setiap bagian yang
berhubungan, dan bila berlainan TKA-nya, nilai TKA dinding harus lebih besar.

27 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

6.7.2. Bukaan apapun pada dinding tahan api harus memenuhi bagian butir 6.4. diatas.
6.7.3. Kecuali untuk bahan rangka atap yang disiapkan dengan dimensi 75 mm x 50
mm atau kurang, kayu atau unsur bangunan lainnya yang mudah terbakar tidak boleh
melewati atau menyilang dinding tahan api.
6.7.4. Bila atap dari suatu bagian yang berhubungan lebih rendah dari atap bagian lain
dari bangunan, maka dinding tahan api tersebut harus melampaui ke permukaan bawah dari:
a). Penutup atap yang lebih tinggi, atau tidak kurang dari 6 m di atas penutup atap yang
lebih rendah, atau bila
b). Atap yang lebih bawah memiliki TKA tidak kurang dari TKA dinding tahan api dan tidak
ada bukaan lebih dekat dari 3 m terhadap dinding yang berada di atas atap yang lebih
rendah.
c). Atap yang lebih rendah ditutup dengan bahan tidak mudah terbakar dan bagian yang
lebih rendah tersebut dilengkapi dengan sistem springkler, atau dari rancangan
bangunannya dapat membatasi perambatan api dari bagian yang lebih rendah ke
bagian yang lebih tinggi.
6.8. Pemisahan berdasarkan klasifikasi pada lantai yang sama.
Bila suatu bangunan memiliki bagian-bagian yang berbeda klasifikasinya dan terletak
berjajar satu dengan lainnya pada lantai yang sama, maka :
6.8.1. Tiap unsur bangunan pada lantai tersebut harus mempunyai TKA lebih tinggi dari
ketentuan butir 5.2. untuk unsur tersebut pada klasifikasi yang sesuai.
6.8.2. Bagian-bagian tersebut harus dipisahkan melalui dinding tahan api dengan
ketentuan TKA lebih tinggi, sebagai berikut :
a). TKA 90/90/90 bila bagian-bagiannya dilayani oleh koridor umum yang sama, jalan
umum atau semacamnya dilantai tersebut.
b). TKA yang lebih tinggi dari yang tersebut pada ketentuan butir 5.2. untuk klasifikasi
yang sama.

6.9. Pemisahan klasifikasi pada lantai yang berbeda.


Bila bagian-bagian dari klasifikasi yang berlainan terletak satu di atas yang lain pada tingkat-
tingkat yang saling berhubungan, maka harus dipisahkan sebagai berikut :
6.9.1. Konstruksi Tipe A : lantai antara bagian-bagian yang berhubungan harus memiliki
TKA kurang dari yang ditentukan pada ketentuan butir 5.2. untuk klasifikasi pada tingkat
yang lebih rendah.
6.9.2. Konstruksi Tipe B atau C (berlaku hanya bila satu dari bagian yang berhubungan
adalah dari kelas 2, 3 atau 4) : bidang bawah dari lantai (termasuk bagian sisi dan bidang
bawah dari balok penyangga lantai) harus mempunyai selimut penahan api.

6.10. Pemisahan pada saf lif.


Lif-lif yang menghubungkan lebih dari 2 lantai, atau lebih dari 3 lantai bila bangunan
dilengkapi dengan springkler, (kecuali lif yang sepenuhnya berada dalam suatu atrium) harus
dipisahkan dari bagian lain bangunan dengan melindunginya dalam suatu shaft dengan
syarat-syarat sebagai berikut :

28 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

6.10.1. Dalam bangunan yang disyaratkan harus dari konstruksi Tipe A : dinding-
dindingnya mempunyai TKA yang memenuhi ketentuan butir 5.2.
6.10.2. Dalam bangunan yang disyaratkan harus dari konstruksi Tipe B, dinding-
dindingnya:
a). Sesuai dengan 6.10.1 bila safnya adalah :
1). struktur yang memikul beban (load bearing).
2). bila safnya berada dalam daerah perawatan pasien pada bangunan kelas 9a.
6.10.3. Bukaan untuk pintu-pintu lif dan bukaan untuk utilitas harus dilindungi sesuai
ketentuan butir 6.4.
6.10.4. Kamar instalasi mesin lif kebakaran serta saf lif kebakaran harus dilindungi
dengan dinding yang tidak mudah terbakar sesuai dengan klasifikasi konstruksi
bangunannya.

6.11. Tangga dan lif pada satu saf.


Tangga dan lif tidak boleh berada pada satu saf yang sama, bila salah satu tangga atau lif
tersebut diwajibkan berada dalam suatu saf tahan api.

6.12. Pemisahan peralatan.


6.12.1. Peralatan selain tersebut pada butir 6.12.2 dan 6.12.3. harus terpisah dari bagian
bangunan lainnya dengan konstruksi yang sesuai butir 6.12.4, bila peralatan tersebut terdiri
atas :
a). Motor lif dan panel-panel kontrolnya, kecuali jika konstruksi yang memisahkan saf lif
dengan ruang mesin lif hanya memerlukan TKA 120/-/-.
b). Generator darurat atau alat pengendali asap terpusat.
c). Ketel uap.
d). baterai-baterai.
6.12.2. Pemisahan peralatan tidak perlu memenuhi ketentuan butir 6.12.1. bila peralatan
tersebut terdiri atas :
a). Kipas-kipas (fan) pengendali asap yang dipasang di aliran udara yang dipasang untuk
pengoperasian pada suhu tinggi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b). Peralatan penekan udara pada tangga yang dipasang sesuai persyaratan yang
berlaku.
c). Peralatan lainnya yang dipisahkan secara baik dari bagian bangunan lainnya.
6.12.3. Pemisahan peralatan pompa kebakaran setempat harus memenuhi ketentuan
yang berlaku.
6.12.4. Konstruksi pemisah harus memenuhi :
a). Memiliki TKA yang dipersyaratkan pada ketentuan butir 5.2 tapi tidak kurang dari
120/120/120.
b). Tiap jalur masuk pada konstruksi tersebut harus dilindungi dengan pintu penutup api
otomatis yang memiliki TKA tidak kurang dari -/12/-/30.

29 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

6.13. Sistem pasokan listrik.


6.13.1. Gardu/sub stasiun listrik yang ditempatkan di dalam bangunan harus :
a). Dipisahkan dari setiap bagian lain dari bangunan dengan konstruksi yang mempunyai
TKA tidak kurang dari 120/120/120.
b). Mempunyai pintu dengan konstruksi pintu tahan api yang dapat menutup sendiri dan
mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
6.13.2. Panel pembagi utama yang ditempatkan di dalam bangunan yang menyokong
beroperasinya peralatan darurat, dalam kondisi darurat harus :
a). Dipisahkan dari setiap bagian lain dari bangunan oleh konstruksi yang mempunyai
TKA tidak kurang dari 120/120/120.
b). Mempunyai pintu dengan konstruksi pintu tahan api yang dapat menutup sendiri dan
mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
6.13.3. Konduktor listrik yang ditempatkan di dalam bangunan dan memasok :
a). Gardu panel hubung bagi utama yang ditempatkan di dalam bangunan yang dicakup
oleh butir 7.6.
b). Panel hubung bagi utama yang dicakup oleh butir 7.6 harus :
1). harus mengikuti ketentuan yang berlaku.
2). diselubungi atau dengan cara lain dilindungi oleh konstruksi yang mempunyai
TKA tidak kurang dari 120/120/120.

6.14. Koridor umum pada bangunan kelas 2 dan 3.


Pada bangunan kelas 2 dan 3 koridor umum tidak lebih dari 40 meter panjangnya harus
dibagi menjadi bagian yang tidak lebih dari 40 meter dengan dinding tahan asap sesuai
ketentuan butir 7.5.
7. Perlindungan pada bukaan.

7.1. Umum.
7.1.1. Seluruh bukaan harus dilindungi dan lubang utilitas harus diberi penyetop api
untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan kompartemenisasi
bangunan.
7.1.2. Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk saf pipa, saf ventilasi,
saf instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari bawah sampah atas, dan
tertutup pada setiap lantai.
7.1.3. Apabila harus diadakan bukaan pada dinding sebagaimana dimaksud pada butir
7.1.2, maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan api minimal sama dengan
ketahanan api dinding atau lantai.

7.2. Pemenuhan persyaratan kinerja.


Persyaratan kinerja sebagaimana disebut pada butir 4.3. akan dipenuhi apabila memenuhi
persyaratan yang tercantum pada Bagian 4 dan Bagian 5.
7.2.1. Ketentuan perlindungan pada bukaan ini tidak berlaku untuk :

30 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Bangunan-bangunan kelas 1 atau kelas 10.


b). Sambungan-sambungan pengendali, lubang-lubang tirai, dan sejenisnya di dinding-
dinding luar dari konstruksi pasangan dan sambungan antara panel-panel di dinding
luar terbuat dari beton pra-cetak, bila luas lubang/sambungan tersebut tidak lebih luas
dari yang diperlukan.
c). Lubang-lubang ventilasi yang tidak mudah terbakar (non-combustable ventilators)
untuk sub-lantai atau ventilasi ruang, bila luas penampang masing-masing tidak
melebihi 45.000 mm2, dari jarak antara lubang lubang ventilasi tidak kurang dari
2 meter dari lubang ventilasi lainnya pada dinding yang sama.
7.2.2. Bukaan-bukaan pada setiap unsur bangunan memerlukan ketahanan terhadap
api, termasuk pintu, jendela, panel pengisi dan bidang kaca yang tetap atau dapat dibuka
yang tidak mempunyai angka TKA sebagaimana yang seharusnya.

7.3. Perlindungan bukaan pada dinding luar.


Bukaan-bukaan pada dinding luar bangunan yang perlu memiliki TKA, harus :
7.3.1. Berjarak dari suatu objek yang dapat menjadi sumber api tidak kurang dari :
a). 1 meter pada bangunan dengan jumlah lantai tidak lebih dari 1 (satu).
b). 1,5 meter pada suatu bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 1 (satu).
7.3.2. Bila bukaan di dinding luar tersebut terhadap suatu obyek yang dapat menjadi
sumber api terletak kurang dari :
a). 3 meter dari sisi atau batas belakang persil bangunan.
b). 6 meter dari sempadan jalan membatasi persil, bila tidak berada pada suatu lantai atau
yang dekat dengan lantai dasar bangunan.
c). 6 meter dari bangunan lain pada persil yang sama yang bukan dari kelas 10.
maka harus dilindungi sesuai dengan ketentuan butir 7.5, dan bila digunakan springkler
pembasah dinding, maka springkler tersebut harus ditempatkan dibagian luar.
7.3.3. Bila wajib dilindungi sesuai dengan butir 7.3.2, tidak boleh menempati lebih dari
1/3 luas dinding luar dari lantai dimana bukaan tersebut berada, kecuali bila bukaan-bukaan
tersebut pada bangunan kelas 9 b dan diberlakukan seperti bangunan panggung terbuka.

7.4. Pemisahaan bukaan pada kompartemen kebakaran yang berbeda.


Kecuali bila dilindungi sesuai ketentuan tersebut pada butir 7.5, jarak antara bukaan-bukaan
pada dinding luar pada kompartemen kebakaran harus tidak kurang dari yang tercantum
pada tabel 7.4.
Tabel 7.4 : Jarak antara bukaan pada kompartemen kebakaran yang berbeda.
Jarak minimal antara
Sudut terhadap dinding
bukaan
0o (dinding-dinding saling berhadapan) 6m
Lebih dari 0o s/d 45o 5m
Lebih dari 45o s/d 90o 4m
Lebih dari 90o s/d 135o 3m
Lebih dari 135o s/d kurang dari 180o 2m
180o atau lebih. Nol

31 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.5. Metoda perlindungan yang dapat diterima.


7.5.1. Bila diperlukan, maka jalan-jalan masuk, jendela dan bukaan-bukaan lainnya
harus dilindungi sebagai berikut :
a). Jalan-jalan masuk-pintu, springkler-springkler pembasah dinding di dalam atau di luar
sesuai keperluan, atau dengan memasang pintu-pintu kebakaran dengan TKA -/60/30
(yang dapat menutup sendiri atau menutup secara otomatis).
b). Jendela-jendela, springkler-springkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan atau jendela-jendela kebakaran dengan TKA -/60/- (yang menutup otomatis
atau secara tetap dipasang pada posisi tertutup) atau dengan memasang penutup api
otomatis dengan TKA -/60/-.
c). Bukaan-bukaan lain, springkler-springkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan atau dengan konstruksi yang memiliki TKA tidak kurang dari -/60/-.
7.5.2. Pintu-pintu kebakaran, jendela-jendela kebakaran serta penutup-penutup
kebakaran harus memenuhi ketentuan butir 7.6.

7.6. Sarana proteksi pada bukaan.

7.6.1. Jenis sarana proteksi.


a). Sarana proteksi pada bukaan dalam persyaratan ini adalah pintu kebakaran, jendela
kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api.
b). Ketentuan dalam sub bab ini mengatur persyaratan untuk konstruksi pintu kebakaran,
jendela kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api
7.6.2. Pintu kebakaran.
Pintu kebakaran yang memenuhi persyaratan adalah :
a). Sesuai dengan standar pintu kebakaran.
b). Tidak rusak akibat adanya radiasi melalui bagian kaca dari pintu tersebut selama
periode waktu, sesuai dengan nilai integritas dalam TKA yang dimiliki.

7.6.3. Pintu penahan asap.


a). Persyaratan Umum.
Pintu penahan asap harus dibuat sedemikian rupa sehingga asap tidak akan melewati
pintu dari satu sisi ke sisi yang lainnya, dan bila terdapat bahan kaca pada pintu
tersebut, maka bahaya yang mungkin timbul terhadap orang yang lewat harus minimal.
b). Konstruksi yang memenuhi syarat.
Pintu penahan asap, baik terdiri dari satu ataupun lebih akan memenuhi persyaratan
butir 7.6.3.a diatas bila pintu tersebut dikonstruksikan sebagai berikut :
1). daun pintu dapat berputar disatu sisi.
(a). dengan arah sesuai arah bukaan keluar.
(b). berputar dua arah.
2). daun pintu mampu menahan asap pada suhu 200oC selama 30 menit.
3). daun pintu padat dengan ketebalan 35 mm (akan memenuhi butir 2 diatas).

32 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

c). Pada daun pintu dipasang penutup atau pengumpul asap.


d). Daun pintu pada umumnya pada posisi menutup.
1). daun pintu menutup secara otomatis melalui pengoperasian penutup pintu
otomatis yang dideteksi oleh detektor asap yang dipasang sesuai dengan
standar yang berlaku dan ditempatkan disetiap sisi pintu yang jaraknya secara
horizontal dari bukaan pintu tidak lebih dari 1,5 m.
2). dalam hal terjadi putusnya aliran listrik ke pintu, daun pintu berhenti aman pada
posisi penutup.
e). Pintu akan kembali menutup secara penuh setelah pembukaan secara manual.
f). Setiap kaca atau bahan kaca yang menyatu dengan pintu kebakaran atau merupakan
bagian pintu kebakaran harus memenuhi standar yang berlaku.
g). Bilamana panel berkaca tersebut bisa membingungkan untuk memberi jalan keluar
yang tidak terhalang, maka adanya kaca tersebut harus dapat dikenali dengan
konstruksi tembus cahaya.

7.6.4. Penutup api.


Persyaratan suatu penutup api (fire shutter) meliputi :
a). Harus memiliki TKA yang sesuai prototip yang diuji.
b). Dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c). Temperatur rata-rata dipermukaan yang tidak kena nyala api tidak melebihi 140oC
selama 30 menit pertama saat pengujian.
d). Penutup dari bahan baja harus memenuhi standar yang berlaku bila penutup metal
boleh digunakan berkaitan dengan persyaratan butir 7.7.

7.6.5. Jendela kebakaran.


Suatu jendela kebakaran harus :
a). Memiliki kesamaan dalam konstruksi dengan prototip yang sesuai dengan TKA yang
telah ditentukan.
b). Dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.

7.7. Jalan keluar/masuk pada dinding tahan api.


7.7.1. Lebar bukaan untuk pintu keluar/masuk pada dinding tahan api yang bukan
merupakan bagian dari pintu keluar horizontal, harus tidak melebihi ½ dari panjang dinding
tahan api dan setiap pintu masuk tersebut harus dilindungi dengan :
a). 2 buah pintu kebakaran atau penutup kebakaran (fire shutters), satu pada setiap sisi
pintu masuk, masing-masing memiliki TKA tidak kurang ½ dari yang dipersyaratkan
menurut spesifikasi butir 5.3. untuk pintu kebakaran kecuali bila pada setiap pintu atau
penutup mempunyai tingkat isolasi minimal 30 menit.
b). Suatu pintu kebakaran di satu sisi dan penutup kebakaran di sisi yang lain dari pintu
masuk, dimana masing-masing memenuhi butir 7.7.1.a).
c). Suatu pintu kebakaran atau penutup kebakaran tunggal yang memiliki TKA tidak
kurang dari yang disyaratkan pada spesifikasi butir 5.3 untuk dinding api kecuali jika

33 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

tiap pintu atau penutup kebakaran mempunyai tingkat isolasi sekurang-kurangnya 30


menit.
7.7.2.
a). Pintu kebakaran atau penutup kebakaran yang disyaratkan pada butir 7.7.1.a),
7.7.1.b), dan 7.7.1.c) diatas harus dapat menutup sendiri atau secara otomatis dapat
menutup sesuai dengan ketentuan pada butir 7.7.1.b) dan 7.7.1.c).
b). Pengoperasian penutup otomatis tersebut harus dimulai dengan aktivitas detektor
asap, atau detektor panas bila penggunaan detektor asap tidak sesuai.
Pemasangannya pada setiap sisi dari dinding kebakaran berjarak tidak lebih dari 1,5
meter arah horizontal dari bukaan yang dimaksud.
c). Bila sistem alarm kebakaran dan atau sistem springkler dipasang pada bangunan
sebagai bagian dari sistem kompartemenisasi, maka aktivitas sistem-sistem tersebut di
tiap kompartemen yang dipisahkan oleh dinding tahan api harus pula mengaktifkan
peralatan penutup pintu otomatis.

7.8. Pintu kebakaran jenis geser/sorong.


7.8.1. Bila dalam pintu keluar/masuk di dinding tahan api dilengkapi dengan pintu
kebakaran jenis geser (pintu sorong) yang terbuka pada waktu bangunan yang bersangkutan
digunakan, maka :
a). Pintu tersebut harus tetap terbuka melalui suatu perangkat elektro magnetik, dimana
bila diaktifkan harus dapat menutup sepenuhnya tidak kurang dari 20 detik, dan paling
lama 30 detik setelah diaktifkan tersebut.
b). Jika diaktifkan dan terjadi keadaan sistem geser tersebut macet, maka pintu tersebut
harus dijamin kembali pada posisi tertutup sesuai dengan butir 7.8.1.a).
c). Suatu alarm peringatan yang mudah didengar harus dipasang berdekatan dengan
pintu keluar/masuk dan suatu lampu peringatan yang berkelip-kelip warna merah
dengan intensitas cahaya yang cukup pada tiap sisi jalan keluar/masuk harus
diaktifkan sesuai butir 7.8.1.a).
d). Tanda-tanda petunjuk harus dipasang di kedua ujung jalan keluar dan terletak
langsung di atas pintu keluar dengan tulisan seperti pada gambar 7.8 yang dicetak dengan
huruf kapital tidak kurang dari 50 mm tingginya dengan warna mencolok/kontras terhadap
belakangnya.

AWAS PINTU KEBAKARAN GESER

Gambar 7.8.: Tanda pintu kebakaran geser


7.8.2.
a). Perangkat elektro magnetik harus dalam keadaan tidak diaktifkan dan sistem
peringatan ini diaktifkan dengan perangkat detektor panas, atau asap yang sesuai dan
dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.
b). Sistem alarm kebakaran termasuk sistem springkler yang dipasang di dalam
bangunan, pengaktifannya pada kompartemen kebakaran yang dipisahkan dengan
dinding tahan api, harus dapat pula mengaktifkan perangkat elektromagnit dan
mengaktifkan pula sistem peringatan.

34 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.9. Perlindungan pada pintu keluar horisontal.


7.9.1. Suatu jalan keluar/masuk yang merupakan bagian dari sarana pintu keluar harus
dilindungi dengan salah satu elemen berikut :
a). Pintu kebakaran tunggal yang mempunyia TKA tidak kurang dari yang ditentukan pada
ketentuan butir 5.3 unit dinding tahan api kecuali bila tersebut memiliki tingkat isolasi
sedikitnya 30 menit.
b). Pada bangunan kelas 7 atau 8, 2 buah pintu kebakaran, 1 pada tiap sisi jalan
masuk/keluar bangunan, masing-masing dengan TKA sekurang-kurangnya ½ dari
yang diperlukan menurut ketentuan butir 5.3 unit dinding tahan api kecuali bila setiap
pintu memiliki tingkat isolasi sekurangnya 30 menit.
7.9.2.
a). Tiap pintu yang diperlukan seperti yang tersebut pada butir 7.9.1. harus dapat
menutup sendiri, atau menutup otomatis sesuai dengan butir 7.9.2.b) dan 7.9.2.c).
b). Pengoperasian penutup pintu otomatis tersebut di atas diawali dengan aktifnya
detektor asap, atau detektor panas yang pemasangannya pada setiap sisi dari dinding
tahan api berjarak lebih dari 1,5 meter arah horizontal dari bukaan yang dimaksud, dan
sesuai ketentuan yang berlaku.
c). Bila terdapat sistem alarm kebakaran termasuk sistem springkler yang dipasang di
dalam bangunan, maka pengaktifannya dikompartemen kebakaran yang dipisahkan
dengan dinding tahan api, harus dapat pula mengawali beroperasinya perangkat
penutup otomatis.

7.10. Bukaan-bukaan pada pintu-pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran.


7.10.1.
a). Jalan-jalan keluar/masuk yang terbuka ke arah tangga kebakaran yang terisolasi,
jalan-jalan lintasan atau ramp yang terisolasi terhadap kebakaran, dan bukan jalan
masuk/keluar yang langsung menuju ke suatu ruang terbuka, harus dilindungi oleh
pintu kebakaran yang dapat menutup sendiri dengan TKA -/60/30 atau menutup secara
otomatis sesuai dengan butir 7.10.1.b) dan 7.10.1.c).
b). Pengoperasian penutup otomatis tersebut di atas harus berfungsi sejalan dengan
aktifnya detektor asap, atau detektor panas untuk lingkungan yang tidak cccok
digunakan detektor asap. Pemasangan penutup otomatis harus sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan ditempatkan pada setiap sisi dari dinding kebakaran
berjarak lebih dari 1,5 meter arah horizontal dari sisi bukaan yang dimaksud.
c). Bila terdapat sistem deteksi dan alarm kebakaran, termasuk sistem springkler yang
dipasang dalam bangunan, pengaktifan kompartemen kebakaran yang dipisahkan
dengan dinding tahan api, harus dapat pula mengawali berfungsinya perangkat
penutup otomatis.
7.10.2. Suatu jendela dinding luar dari ruang tangga darurat, jalan-jalan lintasan atau
ramp yang diisolasi terhadap kebakaran, harus dilindungi sesuai dengan butir 4.5, bila
berada dalam jarak 6 meter dari atau terbuka terhadap :
a). Suatu bagian yang memungkinkan menjadi sumber api.
b). Suatu jendela atau bukaan lain pada dinding dari bangunan yang sama, akan tetapi
tidak dalam ruang atau konstruksi terlindung terhadap kebakaran.

35 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.11. Lubang tembus utilitas pada pintu keluar yang diisolasi terhadap
kebakaran.
Pintu-pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran tidak boleh ditembus oleh perangkat
utilitas apapun selain dari :
7.11.1. Kabel-kabel listrik yang berkaitan dengan sistem pencahayaan atau sistem
tekanan udara yang melayani sarana keluar atau sistem inter komunikasi untuk melindungi
tanda “KELUAR”.
7.11.2. Ducting yang berkaitan dengan sistem pemberian tekanan udara bila hal itu :
a). Dibuat dengan bahan/material yang memiliki TKA tidak kurang dari 120/120/160 yang
melalui bagian-bagian lain dari bangunan.
b). Tidak terbuka saat melintasi bagian bangunan tersebut.

7.11.3. Pipa-pipa saluran air untuk pemadam kebakaran.

7.12. Bukaan pada saf lif yang diisolasi terhadap kebakaran.


7.12.1. Jalan keluar/masuk bila suatu lif harus diisolasi terhadap kebakaran sesuai
persyaratan pada Bab III Bagian 2, maka jalan masuk (entrance) menuju ke saf tersebut
harus dilindungi dengan pintu-pintu kebakaran dari -/60/-, yang :
a). Memenuhi ketentuan pintu kebakaran.
b). Dipasang agar selalu menutup kecuali bila saat dilewati pengunjung, barang-barang
atau kendaraan.
7.12.2. Panel-penel indikator lif, suatu panel pemanggil lif, panel indikator atau panel
lainnya pada dinding saf lif yang diisolasi terhadap api ditunjang dengan konstruksi yang
mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/60 bila luasnya melebihi 35.000 mm2.

7.13. Membatasi konstruksi bangunan kelas 2, 3 dan 4.


7.13.1. Suatu jalan masuk/keluar sebuah bangunan kelas 2 atau 3 harus dilindungi bila
jalan tersebut memberikan jalan masuk/pencapaian dari suatu hunian tunggal menuju ke :
a). Koridor umum, ruang pertemuan umum, atau sejenisnya.
b). pintu ruang yang tidak berada di dalam unit hunian tunggal.
c). Tangga keluar yang tidak terisolasi terhadap kebakaran.
d). Unit hunian tunggal lainnya.
7.13.2. Suatu jalan masuk/keluar sebuah bangunan kelas 2 atau kelas 3 harus dilindungi
bila memberikan jalan masuk/pencapaian dari suatu ruang yang tidak berada di dalam
hunian tunggal menuju ke :
a). Koridor umum, ruang pertemuan umum, atau sejenisnya.
b). Ruang tangga dalam bangunan yang tidak terisolasi terhadap kebakaran yang
berfungsi melayani kebutuhan sarana keluar.
7.13.3. Suatu jalan masuk/keluar pada bangunan kelas 4 harus dilindungi bila jalan
tersebut memberikan jalan masuk/pencapaian ke bagian dalam lainnya dari bangunan.
7.13.4. Perlindungan bagi jalan masuk/keluar harus sekurang-kurangnya :

36 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Bila berada dalam bangunan dengan konstruksi Tipe A dengan pintu tahan api yang
dapat menutup sendiri dengan TKA -/60/30.
b). Bila berada dalam bangunan dengan konstruksi Tipe B atau Tipe C dengan pintu yang
kokoh, terpasang kuat, yang dapat menutup sendiri dengan ketebalan tidak kurang dari
35 mm.
7.13.5. Bukaan-bukaan lainnya pada dinding-dinding dalam yang disyaratkan memiliki
TKA yang unsur keutuhan struktur dan unsur penahan panasnya tidak mengurangi kinerja
ketahanan api dari dinding.
7.13.6.
a). Pintu yang dipersyaratkan pada butir ini setidaknya dapat menutup secara otomatis
sesuai dengan butir 7.13.6.b) dan 7.13.6.c).
b). Pengoperasian penutup otomatis tersebut di atas harus diawali dengan aktifnya
detektor asap, atau detektor panas dan pemasangannya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan ditempatkan pada setiap sisi dari dinding kebakaran berjarak lebih
dari 1.5 meter arah horizontal dari sisi bukaan yang dimaksud.
c). bila terdapat sistem alarm kebakaran dan sistem springkler yang dipasang di dalam
bangunan, maka pengaktifannya harus dapat pula mengawali beroperasinya perangkat
penutup otomatis.
7.13.7. Di dalam bangunan Kelas 2 atau 3 dimana jalur menuju pintu keluar (Eksit) tidak
memiliki pilihan lain dan berada disepanjang balkon lantai atau sejenisnya dan melalui
dinding luar dari:
a). unit hunian tunggal lainnya; atau
b). ruang yang tidak di dalam unit hunian tunggal,
maka dinding luar tersebut harus dibuat sedemikian agar cukup melindungi bagi penghuni
yang mencapai jalan keluar (Eksit).
7.13.8. Suatu dinding memenuhi butir 7.13.7 di atas, apabila dinding tersebut :
a). terbuat dari beton atau pasangan batu bata, atau bila bagian dalamnya dilapisi dengan
bahan anti api; dan
b). mempunyai jalan keluar/masuk dengan pintu yang dapat menutup sendiri, dengan
bahan inti pintu yang kokoh , kuat terpasang dengan ketebalan tidak kurang dari
35 mm; dan
c). mempunyai jendela atau bukaan lainnya yang terlindung sesuai dengan persyaratan
butir 7.5 atau ditempatkan pada sekurang-kurangnya 1.5 meter di atas lantai, balkon,
dan sejenisnya.

7.14. Bukaan pada lantai untuk penetrasi saluran utilitas.


Didalam bangunan dengan Konstruksi Tipe A, maka jalur-jalur utilitas yang menerobos
melalui spesifikasi umum atau dilindungi sesuai dengan ketentuan teknis.

7.15. Bukaan pada saf-saf.


Di dalam bangunan dengan konstruksi Tipe A, suatu bukaan pada dinding yang
dimaksudkan sebagai jalan masuk untuk lewatnya saf-saf Ventilasi, pipa, sampah atau
utilitas lainnya harus dilindungi dengan:

37 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.15.1. Suatu pintu atau panel dengan rangkanya, terbuat dari bahan tidak mudah
terbakar atau memiliki TKA tidak kurang dari -/30/30 bila bukaan terletak pada kompartemen
sanitasi.
7.15.2. Suatu pintu kebakaran yang dapat menutup sendiri dengan TKA -/60/30.
7.15.3. Panel jalan masuk yang mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/30.
7.15.4. Suatu pintu dari konstruksi tidak mudah terbakar bila saf tersebut adalah saf
untuk pembuang sampah.

7.16. Bukaan untuk instalasi utilitas.


Instalasi listrik, elektronik, pemipaan plambing, ventilasi mekanis, tata udara atau utilitas lain
yang dipasang menembus unsur bangunan (selain dinding luar atau atap) yang disyaratkan
memiliki TKA atau ketahanan terhadap perambatan api tahap awal, harus dipasang
memenuhi salah satu dari persyaratan berikut :
7.16.1. Metoda dan material yang digunakan identik dengan proto tipe pemasangan dari
utilitas dan unsur bangunan yang telah diuji sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang
Spesifikasi Komponen Bahan Bangunan dan Komponen Struktur dan telah memiliki TKA
yang diperlukan atau ketahanan rambatan api awal.
7.16.2. Memenuhi butir 7.16.1 kecuali untuk kriteria isolasi yang berkaitan dengan utilitas
dan peralatan utilitas terlindung sedemikian rupa sehingga bahan yang mudah terbakar tidak
terletak pada jarak 100 mm darinya serta tidak terletak pada pintu keluar yang diperlukan.
7.16.3. Dalam hal ventilasi atau saluran-saluran tata udara atau peralatan instalasi harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang pedoman ventilasi mekanik dan
pengkondisian udara dalam bangunan gedung.
7.16.4. Instalasi utilitas terbuat dari pipa logam dipasang sesuai dengan spesifikasi
lubang tembus dinding, lantai dan langit-langit oleh instalasi yang :
a). Menembus dinding, lantai atau langit-langit tapi bukan langit-langit yang diperlukan
memiliki ketahanan terhadap rambatan api yang baru mulai.
b). Menghubungkan tidak lebih dari 2 kompartemen kebakaran sebagai tambahan adanya
saf-saf perangkat utilitas yang tahan api.
c). Tidak mengandung cairan atau gas yang mudah menyala atau terbakar.
7.16.5. Instalasi utilitas berupa pipa-pipa sanitasi yang dipasang menurut spesifikasi
yang memenuhi syarat dan instalasi utilitas tersebut harus :
a). Terbuat dari bahan logam atau pipa PVC
b). Menembus lantai dari bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.
c). Berada di dalam kompartemen sanitasi yang dipisahkan dari bagian-bagian lain dari
bangunan oleh suatu dinding TKA dapat disyaratkan menurut ketentuan butir 5.3 untuk
suatu saf tangga pada suatu bangunan dari pintu kebakaran yang dapat menutup
sendiri dengan TKA -/60/30.
7.16.6. Instalasi service berupa kawat atau kabel, atau suatu ikatan kawat atau kabel
yang dipasang menurut spesifikasi lubang tembus instalasi yang memenuhi syarat dengan
cara :

38 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

a). Menembus dinding, lantai atau langit-langit, tapi bukan langit-langit yang diperlukan
memiliki ketahanan terhadap rambatan api yang baru mulai.
b). Menghubungkan tidak lebih dari 2 kompartemen kebakaran sebagai tambahan adanya
saf-saf pelindung perangkat utilitas yang tahan api.
7.16.7. Instalasi utilitas berupa suatu sakelar listrik, stop kontak dan sejenisnya yang
dipasang sesuai dengan spesifikasi instalasi yang memenuhi syarat sebagaimana tercantum
pada butir 7.16.
7.17. Persyaratan penembus pada dinding, lantai, dan langit-langit oleh utilitas
bangunan.

7.17.1. Lingkup.
Ketentuan ini menjelaskan tentang bahan dan metoda instalasi utilitas atau peralatan
mekanikal dan elektrikal yang menembus dinding, lantai dan langit-langit yang disyaratkan
memiliki TKA.

7.17.2. Penerapan.
a). Persyaratan ini berlaku menurut ketentuan ini sebagai alternatif sistem yang telah
dibuktikan melalui pengujian dalam rangka memenuhi ketentuan pada butir 7.16.
b). Persyaratan ini tidak berlaku untuk instalasi di langit-langit yang dipersyaratkan
mempunyai ketahanan terhadap penjalaran kebakaran awal atau untuk instalasi
pemipaan yang berisi atau dimaksudkan untuk mengalirkan cairan ataupun gas mudah
terbakar.

7.17.3 Pipa metal.


a). Suatu pipa metal yang secara normal berisi cairan tidak boleh menembus dinding,
lantai ataupun langit-langit pada jarak 100 mm dari bahan mudah terbakar, dan harus
dikonstruksikan atau terbuat dari :
1). campuran tembaga atau baja tahan karat dengan ketebalan minimal 1 mm.
2). besi tuang atau baja (selain baja tahan karat) dengan ketebalan dinding minimal
2 mm.
b). Bukaan untuk pipa metal harus :
1). Dibentuk rapih, potong atau dibor.
2). Sekurang-kurangnya 200 mm dari penetrasi utilitas lainnya.
3). Menampung hanya satu pipa.
c). Pipa metal tersebut harus dibungkus atau diberi selubung tetapi tidak perlu dikurung
dalam bahan isolasi termal sepanjang penembusan di dinding, lantai ataupun langit-
langit kecuali bila pengurungan atau pemberian bahan isolasi termal itu memenuhi
butir 7.17.7
d). Celah yang terjadi diantara pipa metal dan dinding, lantai atau langit-langit yang
ditembus harus diberi penyetop api sesuai dengan butir 7.17.7.

39 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.17.4. Pipa yang menembus ruang sanitasi.


Apabila sebuah pipa logam atau PVC menembus lantai ruang sanitasi sesuai butir 7.16,
maka :
a). Bukaan atau lubang penembusan harus rapih dan berukuran tidak lebih besar dari
yang sesungguhnya diperlukan untuk ditembusi pipa atau fiting.
b). Celah antara pipa dan lantai harus diberi penyetop api (fire stopping) sebagaimana
diatur dalam butir 7.17.7.

7.17.5. Kawat dan kabel.


Bilamana sebatang kawat atau kabel atau sekumpulan kabel menembus lantai, dinding atau
langit-langit, maka :
a). Lubang penembusan harus rapih baik melalui pemotongan ataupun pemboran dan
minimal berjarak 50 mm dari lubang penembusan untuk utilitas lainnya.
b). Luas penampang lubang penembusan tersebut tidak lebih dari :
1). 2.000 mm2 bila mengakomodasi hanya satu kabel dan celah antara kabel dan
dinding, lantai atau langit-langit tidak lebih lebar dari 15 mm.
2). 500 mm2 pada kasus lainnya.
3). Ketentuan yang berlaku atau celah yang terjadi antara utilitas dan dinding, lantai
atau langit-langit harus diberi penyetop api sesuai ketentuan butir 7.17.7.

7.17.6. Sakelar dan stop kontak.


Bilamana sakelar listrik, stop kontak dan dudukan alat listrik (soket) atau semacamnya harus
disambung dalam bentuk lubang ataupun lekukan di dinding, lantai ataupun langit-langit,
maka :
a). Lubang ataupun lekukan harus tidak :
1). ditempatkan berhadapan di tiap titik dalam jarak 300 mm secara horizontal atau
600 mm secara vertikal dari setiap bukaan atau lekukan pada sisi dinding yang
berhadapan.
2). Diperluas lebih dari setengah tebal dinding.
3). Mengikuti ketentuan yang berlaku.
b). Celah diantara utilitas dan dinding, lantai atau langit-langit harus diberi penyetop api
sesuai ketentuan butir 7.17.7
7.17.7. Penyetop api.
a). Bahan.
Bahan yang digunakan untuk penyetop api pada penetrasi utilitas harus dari beton
serat mineral temperatur tinggi, serat keramik temperatur tinggi atau bahan lainnya
yang tidak meleleh dan mengalir pada temperatur dibawah 1.120oC bila diuji
berdasarkan standar yang berlaku dan harus telah dibuktikan lewat pengujian bahan
dan bahwa :
1). pemakaian bahan penyetop api tidak melemahkan kinerja ketahanan api dari
komponen bangunan dimana penyetop api tersebut dipasang.

40 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

2). saat pengujian dilakukan menurut butir 7.17.7.e), pemakaian bahan penyetop api
tidak melemahkan kinerja ketahanan api dari pelat uji.
b). Instalasi.
Bahan penyetop api harus diisikan dan dimampatkan kedalam celah antara utilitas dan
dinding, lantai atau langit-langit dengan cara dan penekanan yang seragam
sebagaimana dilakukan saat pengujian menurut butir 7.17.7.a).1) atau 7.17.7.a).2).
c). Konstruksi lubang/rongga.
Bilamana suatu pipa menembus dinding berongga (seperti dinding pengaku, dinding
berongga atau dinding berlubang lainnya) atau lantai serta langit-langit berongga,
maka rongga tersebut harus diberi rangka dan dipadatkan dengan bahan penyetop api
dan diatur sebagai berikut :
1). dipasang sesuai ketentuan butir 7.17.7.b) hingga ketebalan 25 mm sekeliling
penembusan atau sekeliling sarana utilitas yang menembus dinding atau lantai
ataupun langit-langit serta sepanjang kedalaman penuh dari penembusan
tersebut.
2). terpasang mantap dan bebas serta tidak dipengaruhi oleh fungsi utilitas dari
pemindahan ataupun pemisahan dari permukaan utilitas dan dinding, lantai
ataupun langit-langit.
d). Lekukan.
Bila suatu sakelar elektrik, soket, stop kontak listrik ataupun sejenisnya harus
diletakkan dalam suatu lekukan di dalam dinding atau lantai ataupun langit-langit
berlubang, maka :
1). lubang yang secara langsung berada di belakang utilitas harus diberi rangka dan
dirapatkan dengan bahan penutup api sesuai dengan butir 7.17.7.c).
2). bagian belakang dan sisi-sisi utilitas harus diproteksi dengan papan pelapis
tahan panas yang identik dan memiliki ketebalan yang sama dengan utilitas
tersebut.
e). Pengujian.
Pengujian untuk menentukan kecocokan bahan penyetop api dengan ketentuan ini
dilakukan sebagai berikut :
1). contoh uji terdiri atas pelat beton yang tidak kurang dari 100 mm tebalnya dan
bila perlu diberi tulangan untuk ketepatan struktur selama pembuatan,
pengangkutan dan pengujian.
2). pelat beton tersebut harus mempunyai sebuah lubang berdiameter 50 mm tepat
ditengah-tengah dan lubang tersebut harus diisi rapat-rapat dengan bahan
penyetop api.
3). pelat contoh uji tersebut selanjutnya dikondisikan sesuai standar yang berlaku.
4). dua buah termokopel sesuai standar harus dilekatkan di permukaan atas
penutup lubang dengan setiap termokopel berjarak kira-kira 5 mm dari tengah-
tengah pelat.
5). pelat harus diuji mendatar, sesuai standar yang berlaku dan harus memperoleh
TKA 60/60/60.

41 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

7.18. Sambungan-sambungan konstruksi.


7.18.1 Sambungan-sambungan konstruksi, celah-celah dan sejenisnya yang terdapat
diantara unsur-unsur bangunan yang disyaratkan perlu tahan terhadap api dikaitkan dengan
keutuhan dan penahan panas serta harus dilindungi dengan baik untuk menjaga kinerja
ketahanan api dari unsur yang bersangkutan.
7.18.2. Sambungan-sambungan konstruksi dan celah harus disekat dengan bahan dan
cara yang sama dengan prototip yang telah diuji menurut ketentuan yang berlaku (tentang
Tata Cara Pengujian Ketahanan Kebakaran pada bahan bangunan dan komponen struktur),
agar memenuhi persyaratan ketahanan api sesuai dengan butir 7.18.1.

7.19. Kolom yang dilindungi dengan konstruksi ringan untuk TKA tertentu.
7.19.1. Bila kolom yang dilindungi dengan konstruksi ringan agar mencapai TKA tertentu,
melewati suatu unsur bangunan yang mempunyai TKA atau memiliki ketahanan terhadap
rambatan api, maka harus diupayakan sehingga kinerja ketahanan api dari unsur bangunan
yang dilewati tidak berkurang atau rusak.
7.19.2. Metoda dan material yang digunakan harus sama dengan prototip konstruksi
yang telah mencapai TKA yang diperlukan atau memiliki ketahanan rambatan api.

42 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

Apendiks A

Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.
A.1. Kelas 1 : Bangunan hunian biasa.
satu atau lebih bangunan yang merupakan :
a). Klas 1a : bangunan hunian tunggal, berupa :
1). satu rumah tunggal ; atau
2). satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing
bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah
deret, rumah taman, unit town house, villa, atau
b). Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel,
atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih
dari 12 orang secara tetap,
dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan klas lain
selain tempat garasi pribadi.
A.2. Klas 2 : Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian,
yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.
A.3. Klas 3 : Bangunan hunian di luar bangunan klas 1 atau 2,
yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang
yang tidak berhubungan, termasuk :
a). rumah asrama, rumah tamu, losmen ; atau
b). bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
c). bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
d). panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau
e). bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.
A.4. Klas 4 : Bangunan hunian campuran.
tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan
tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.
A.5. Klas 5 : Bangunan kantor.
bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan
administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan klas 6, 7, 8 atau 9.

43 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

A.6. Klas 6 : Bangunan perdagangan.


bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-
barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk :
a). ruang makan, kafe, restoran ; atau
b). ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel ;
atau
c). tempat gunting rambut/salon, tempat cuci umum; atau
d). pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
A.7. Klas 7 : Bangunan penyimpanan/gudang.
bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk :
a). tempat parkir umum; atau
b). gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.
A.8. Klas 8 : Bangunan laboratorium/industri/pabrik.
bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan
suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan
barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.
A.9. Klas 9 : Bangunan umum.
bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu :
a). Klas 9a : bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan
tersebut yang berupa laboratorium.
b). Klas 9b : bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya
di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hal, bangunan peribadatan, bangunan budaya
atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan klas
lain.
A.10. Klas 10 : Bangunan atau struktur yang bukan hunian.
a). Klas 10a : bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya.
b). Klas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.
A.11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus.
Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1
sampai dengan 10 tersebut, dalam standar ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai peruntukannya.
A.12. Bangunan yang penggunaannya insidentil.
Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan
gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan
dengan bangunan utamanya.

44 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

A.13. Klasifikasi jamak.


Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan :
a). bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai
dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan
klasifikasi utamanya ;
b). klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;
c). Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang ketel uap, atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.

45 dari 46
SNI 03 – 1736 - 2000

Bibliografi

1 Building Code of Australia, 1996.

2 SNI 03-1736-1989 : “Petunjuk Perencanaan Struktur Bangunan untuk


Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.

3 SNI 03-3989-2000 : “Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler


otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

46 dari 46
SNI 03-1745-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan


Sistem Pipa Tegak dan Slang untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Rumah dan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-1745-2000

Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa tegak dan slang
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan
gedung.

1. Ruang lingkup.

1.1. Standar ini mencakup persyaratan minimal untuk instalasi pipa tegak dan sistem hidran
/slang pada bangunan gedung.

1.2. Standar ini tidak mencakup persyaratan untuk pemeriksaan berkala, pengujian, dan
pemeliharaan sistem pipa tegak.

2. Acuan.

a). NFPA 14, Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996 Edition.

b). Fire Safety Bureau, Singapore Civil Defence Force, “Fire Precautions in Buildings 1997”

3. Istilah dan definisi.


3.1.
alat pengatur tekanan.
suatu alat yang direncanakan untuk tujuan mengurangi, mengatur, mengendalikan, atau
membatasi tekanan air. Contoh; katup penurun tekanan, katup kontrol tekanan, dan alat pembatas
tekanan.

3.2.
alat pembatas tekanan.
suatu katup atau alat yang direncanakan untuk tujuan mengurangi tekanan aliran air pada kondisi
aliran akhir (residual).

3.3.
bangunan gedung bertingkat tinggi.
Suatu bangunan gedung yang mempunyai ketinggian lebih dari 24 m ( 80 feet ). Ketinggian
bangunan harus diukur dari permukaan terendah jalan masuk mobil pemadam kebakaran ke lantai
dari lantai tertinggi yang dihuni.

3.4.
disetujui.
BSN bukan instansi yang menyetujui, memeriksa, atau memberikan sertifikat pada setiap instalasi,
prosedur, peralatan atau bahan. Dalam menentukan persetujuan instalasi, prosedur, peralatan
atau bahan, instansi yang berwenang menggunakan dasar standar ini atau standar lain yang
setara bila dalam standar ini tidak tersebut.

3.5*.
instansi yang berwenang.
Suatu instansi yang berwenang dan bertanggung jawab untuk menyetujui ; peralatan, instalasi
atau prosedur.

1 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.6.
katup kontrol.
suatu katup yang dipakai untuk mengontrol sistem pasokan air dari sistem pipa tegak.

3.7.
katup kontrol tekanan.
suatu katup penurun tekanan yang beroperasinya terkendali direncanakan untuk tujuan membatasi
tekanan air hilir ke nilai spesifik dibawah kondisi mengalir (akhir/residual) dan tidak mengalir
(statik).

3.8*.
katup penurun tekanan.
suatu katup yang direncanakan untuk tujuan mengurangi arus tekanan air pada kondisi mengalir
(sisa/residual) dan tidak mengalir (statik).

3.9.
katup slang.
katup pada sambungan slang tunggal.

3.10.
kebutuhan sistem.
laju aliran dan tekanan sisa yang disyaratkan dari suatu pasokan air, diukur pada titik sambungan
dari pasokan air ke sistem pipa tegak, untuk menyalurkan sebagai berikut :
a). laju aliran air total yang dipersyaratkan untuk sistem pipa tegak seperti yang dispesifikasi-
kan pada butir 7-9.

b). tekanan akhir (residual) minimum pada sambungan slang terjauh secara hidraulis seperti
dispesifikasikan pada butir 7-7; dan laju aliran air minimum untuk sambungan springkler
pada sistem kombinasi.
3.11.
kotak hidran.
suatu kotak yang di dalamnya terdiri dari rak slang, slang nozel, dan katup slang.

3.12.
pipa cabang.
suatu sistem pemipaan, umumnya dalam bidang horisontal, menghubungkan satu atau lebih
sambungan slang dengan pipa tegak.

3.13.
pipa tegak.
bagian pipa yang naik keatas dari sistem pemipaan yang menyalurkan pasokan air untuk
sambungan slang, dan springkler pada sistem kombinasi, tegak lurus dari lantai ke lantai.

3.14.
pipa tegak basah.
suatu sistem pipa tegak dimana pipa berisi air setiap saat.

2 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.15.
pipa tegak kering.
suatu sistem pipa tegak yang direncanakan berisi air hanya bila sistem digunakan.

3.16.
pipa utama.
bagian dari sistem pipa tegak yang memasok air ke satu atau lebih pipa tegak.

3.17.
sambungan pemadam kebakaran.
suatu sambungan dimana petugas pemadam kebakaran dapat memompakan air ke dalam sistem
pipa tegak.

3.18.
sambungan slang.
suatu kombinasi peralatan yang disediakan untuk penyambungan slang ke sistem pipa tegak,
termasuk katup slang yang berulir.

3.19.
sistem kombinasi.
sistem pipa tegak yang mempunyai pemipaan untuk memasok sambungan slang dan sistem
springkler.

3.20.
sistem pipa tegak.
suatu susunan dari pemipaan, katup, sambungan slang, dan kesatuan peralatan dalam bangunan,
dengan sambungan slang yang dipasangkan sedemikian rupa sehingga air dapat dipancarkan
atau disemprotkan melalui slang dan nozel, untuk keperluan memadamkan api, untuk
mengamankan bangunan dan isinya, serta sebagai tambahan pengamanan penghuni. Ini dapat
dicapai dengan menghubungkannya ke sistem pasokan air atau dengan menggunakan pompa,
tangki, dan peralatan seperlunya untuk menyediakan pasokan air yang cukup ke sambungan
slang.

3.21.
sistem pipa tegak manual.
suatu sistem pipa tegak yang hanya dihubungkan dengan sambungan pemadam kebakaran untuk
memasok kebutuhan sistem.

3.22.
sistem pipa tegak otomatik.
suatu sistem pipa tegak yang dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu memasok
kebutuhan sistem pada setiap saat, dan tidak memerlukan kegiatan selain membuka katup slang
untuk menyalurkan air pada sambungan slang.

3.23.
sistem pipa tegak semi otomatik.
suatu sistem pipa tegak yang dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu memasok
kebutuhan sistem pada setiap saat dan memerlukan gerakan alat kontrol untuk menyalurkan air
pada sambungan slang.

3 dari 52
SNI 03-1745-2000

3.24.
tekanan akhir (residual).
tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam sistem dengan suatu aliran yang disalurkan oleh
sistem.

3.25.
tekanan nozel.
tekanan yang dipersyaratkan pada sisi masuk nozel untuk menghasilkan pancaran air yang
dibutuhkan oleh sistem.

3.26.
tekanan statik.
Tekanan yang bekerja pada suatu titik dalam sistem dengan tanpa aliran dari sistem.

3.27.
terdaftar.
Sarana untuk mengidentifikasi peralatan terdaftar yang dilakukan oleh instansi yang berwenang
berdasarkan pengkajian kualitas produk. Peralatan yang belum terdaftar atau belum diberi label
harus tidak digunakan.

3.28.
zona sistem pipa tegak.
suatu sub bagian vertikal berdasarkan ketinggian dari sistem pipa tegak.
4. Komponen-komponen sistem.

4.1*. Umum.

Komponen sistem pipa tegak harus mengikuti ketentuan ini. Semua perlengkapan dan bahan yang
dipakai dalam sistem pipa tegak harus dari tipe yang disetujui. Komponen sistem harus mampu
menerima tekanan kerja tidak kurang dari pada tekanan maksimum yang ditimbulkan pada lokasi
yang terkait di dalam setiap kondisi sistem, termasuk tekanan yang terjadi bila pompa kebakaran
dipasang permanen yang bekerja dengan katup tertutup.

4.2. Pipa dan tabung.

4.2.1. Pipa atau tabung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus mengikuti ketentuan
yang berlaku.

4.2.2. Bilamana pipa baja yang dipakai dan penyambungan dengan las sesuai ketentuan
yang berlaku, tebal dinding nominal minimum untuk tekanan sampai dengan 20,7 bars (300 psi)
harus sesuai skedule 10 untuk ukuran pipa sampai dengan 125 mm (5 inci); 3,40 mm (0,134 inci)
untuk pipa 150 mm ( 6 inci ); dan 4,78 mm (0,188 inci) untuk pipa 200 mm (8 inci) dan 250 mm (10
inci).

4.2.3. Bilamana pipa baja disambung dengan fitting ulir, tebal dinding minimum harus sesuai
dengan pipa skedul 30 [untuk ukuran 200 mm (8 inci) dan lebih besar] atau pipa skedul 40 [untuk
ukuran pipa kurang dari 200 mm (8 inci)] dengan tekanan sampai dengan 20,7 bar (300 psi).

4.2.4. Tabung tembaga sesuai ketentuan yang berlaku, harus mempunyai tebal jenis K, L
atau M bila digunakan dalam sistem pipa tegak.

4 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.2.5. Pipa atau tabung jenis lain diteliti kesesuaiannya untuk digunakan pada instalasi pipa
tegak yang telah disetujui penggunaannya, boleh dipasang sesuai ketentuan yang berlaku .

4.2.6. Belokan pipa.

Belokan dari pipa baja skedul 40 dan jenis K dan L untuk tabung tembaga dibolehkan bila dibuat
dengan tanpa menekuk, merusak, mengurangi diameter, atau penyimpangan lain dari bentuk
bulat. Jari-jari belokan minimum harus 6 x diameter pipa untuk ukuran 50 mm ( 2 inci ) dan yang
lebih kecil, dan 5 x diameter pipa untuk ukuran 65 mm ( 2½ inci ) dan yang lebih besar.

4.3. Alat penyambung.

4.3.1. Alat penyambung yang dipakai dalam sistem pipa tegak harus memenuhi ketentuan
yang berlaku.

4.3.2. Alat penyambung jenis lain, diteliti kesesuaiannya untuk digunakan pada instalasi pipa
tegak yang telah terdaftar, boleh dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.3.3. Alat penyambung harus lebih kuat bila tekanan melampaui 12,1 bar (175 psi).

Pengecualian 1 :

Fitting dari besi tuang standar dengan ukuran diameter 50 mm ( 2 inci ) atau lebih kecil dibolehkan dipakai pada tekanan
tidak lebih dari 20,7 bar ( 300 psi ).

Pengecualian 2 :

Fitting dari besi tuang standar dengan ukuran diameter 150 mm ( 6 inci ) atau lebih kecil diboleh-kan dipakai pada
tekanan tidak lebih dari 20,7 bar ( 300 psi ).

4.3.3. Kopling dan union.

Union tidak boleh dipakai pada pipa yang lebih besar dari 50 mm ( 2 inci ). Kopling digunakan
untuk pipa yang lebih besar dari 50 mm ( 2 inci ).

4.3.4. Reduser dan bushing.

Reduser harus dipakai bila ukuran pipa berbeda.

4.4. Penyambungan pipa dan alat penyambung.

4.4.1. Pipa ulir dan alat penyambung.

4.4.1.1. Semua pipa dan alat penyambung yang diulir pembuatan ulirnya harus sesuai
ketentuan yang berlaku

4.4.1.2. Pita (tape) atau bahan sejenisnya harus dipakai hanya pada ulir laki-laki.

4.4.2. Pipa yang dilas dan alat penyambung.

4.4.2.1. Untuk penyambungan pipa proteksi kebakaran, metoda pengelasannya harus


memenuhi ketentuan yang berlaku.

5 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.4.2.2. Pemipaan pipa tegak harus dilas di bengkel/los kerja.

Pengecualian :

Pengelasan pipa tegak yang dipasang di dalam bangunan yang sedang dalam tahap konstruksi, diperbolehkan hanya
bila konstruksinya tidak mudah terbakar, kandungan di dalamnya tidak mudah terbakar, dan proses pengelasannya
sesuai ketentuan yang berlaku.

4.4.2.3. Alat penyambung yang digunakan untuk menyambung pipa harus disetujui, harus
dibuat di pabrik atau diproduksi sesuai standar yang berlaku. Penyambungan alat penyambung
dilakukan sesuai prosedur pengelasan yang baik.

Pengecualian :

Alat penyambung tidak diperlukan bila ujung pipa dilas buntu.

4.4.2.4. Pengelasan tidak boleh dilakukan bila hujan atau angin kencang di tempat pengelasan.

4.4.2.5. Bila dilakukan pengelasan, persyaratan berikut harus dipenuhi :

a). lubang-lubang pipa yang akan disambung harus sama dengan diameter_dalam dari alat
penyambung, sebelum alat penyambung disambungkan.

b). keping hasil perlubangan pipa harus dikeluarkan.

c). kerak dan sisa pengelasan harus dibuang.

d). alat penyambung tidak boleh menembus pipa.

e). plat baja tidak boleh dilas pada ujung pipa atau alat penyambung.

f). alat penyambung tidak boleh dimodifikasi.

g). mur, jepitan, batang bermata, tumpuan sudut atau pengikat-pengikat, tidak boleh dilas ke
pipa atau alat penyambung.

4.4.2.6. Apabila akan mengurangi ukuran pipa pada saat pemasangan, harus digunakan alat
penyambung pengurang ukuran yang dirancang untuk tujuan tersebut.

4.4.2.7. Pemotongan dan pengelasan dengan busur las tidak diijinkan dalam perbaikan dan
perubahan sistem pipa tegak.

4.4.2.7. Kualifikasi.

4.4.2.7.1. Suatu prosedur pengelasan yang baik harus ditentukan oleh kontraktor atau pabrik
sebelum pengelasan dilakukan. Kualifikasi dari prosedur pengelasan yang akan digunakan dan
kemampuan dari pengelas atau operator mesin las harus memenuhi atau melampaui persyaratan
sesuai ketentuan/standar yang berlaku.

Kontraktor atau pabrik harus bertanggung jawab untuk semua pengelasan yang mereka hasilkan.
Setiap kontraktor atau pabrik harus menyiapkan prosedur pengelasan untuk menjamin kualitas

6 dari 52
SNI 03-1745-2000

pengelasan secara tertulis dan disampaikan ke instansi yang berwenang sesuai persyaratan pada
butir 4.4.2.5.

4.4.2.8. Catatan-catatan.

4.4.2.9.1. Pengelas atau operator mesin las harus memaraf/tanda tangan pada sisi yang terdekat
dengan hasil lasannya pada penyelesaian setiap pengelasan.

4.4.2.9.2. Kontraktor atau pabrik harus menyiapkan catatan-catatan penting yang perlu
disampaikan ke instansi yang berwenang, mengenai prosedur-prosedur yang digunakan, pengelas
atau operator mesin las yang digunakan mereka bersama dengan paraf/tanda tangan hasil las
mereka. Catatan harus menunjukkan tanggal, hasil pengelasan dan kualifikasi kemampuannya.

4.4.3. Metoda penyambungan dengan alur/pasak.

4.4.3.1. Pipa disambungkan dengan alat penyambung yang beralur harus dengan suatu
kombinasi : alat penyambung yang terdaftar, gasket dan alur. Potongan alur harus sesuai dengan
alat penyambungnya.

4.4.3.2. Alat penyambung dengan alur, termasuk gasket yang dipakai pada sistem pipa tegak
kering harus terdaftar bila digunakan untuk pipa kering.

4.4.4. Penyambungan dengan solder.

4.4.4.1. Penyambungan pipa tembaga harus dilakukan dengan solder.

Pengecualian 1 :

Sambungan solder diijinkan untuk sistem pipa tegak basah yang tampak pada klasifikasi hunian bahaya kebakaran
ringan.

Pengecualian 2 :

Sambungan solder diijinkan untuk sistem pipa tegak basah pada klasifikasi hunian bahaya kebakaran ringan dan
sedang apabila pipa tegak basah tersebut tersembunyi.

4.4.4.2. Bahan las yang sangat korosif tidak boleh digunakan.

4.4.5. Metoda penyambungan lain

Metoda-metoda penyambungan yang lain diselidiki untuk kesesuaian dalam sistem pipa tegak dan
terdaftar penggunaannya, apabila dipasang menurut batasan-batasan yang terdaftar, termasuk
instruksi-instruksi pemasangannya.

4.4.6. Perlakuan akhir.

4.4.6.1. Setelah pemotongan, kotoran-kotoran akibat pemotongan pipa harus dibuang.

4.4.6.2. Pipa yang digunakan dengan alat penyambung yang terdaftar dan perlakuan pada
ujung pipa, harus sesuai dengan instruksi-instruksi pemasangan alat pemasang dari pembuat dan
alat penyambung yang terdaftar.

7 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5. Gantungan.

4.5.1. Umum.

Gantungan-gantungan harus memenuhi persyaratan dalam butir 4.5.1.1. sampai 4.5.1.7.

Pengecualian :

Gantungan yang direkomendasikan oleh asosiasi profesi, termasuk persyaratan berikut diijinkan untuk dipakai :

a). gantungan-gantungan direncanakan untuk dapat menahan lima kali berat pipa berisi air, ditambah 114 kg (250
lb) pada masing-masing titik penahan pemipaan.

b). semua titik-titik penahan cukup kuat menahan sistem pipa tegak.

c). bahan dari besi digunakan pada komponen gantungan.

Perhitungan detail yang menggambarkan tegangan yang terjadi pada penggantung dan pemipaan,
termasuk faktor keamanan, harus diserahkan, apabila disyaratkan oleh instansi yang berwenang
untuk penilaian.

4.5.1.1. Komponen gantungan yang dirakit, dimana dipasang secara langsung pada pipa atau
rangka gedung harus didaftar.

Pengecualian :

Gantungan baja lunak yang dibentuk dari besi batangan tidak dipersyaratkan didaftar.

4.5.1.2*. Gantungan-gantungan dan komponen-komponennya harus terbuat dari bahan yang


mengandung besi.

Pengecualian.

Komponen-komponen dari bahan yang tidak mengandung bahan besi yang telah dibuktikan dengan uji api untuk
pemakaian pada bahaya kebakaran dan terdaftar untuk tujuan ini, serta setara dengan persyaratan lain dari bagian ini
boleh digunakan.

4.5.1.3. Pemipaan pipa tegak harus ditahan secara tepat pada struktur bangunan, yang akan
menahan beban tambahan dari pipa berisi air ditambah minimum 114 kg ( 250 lb ), diterapkan
pada titik gantungan.

4.5.1.4. Apabila pemipaan pipa tegak dipasang di bawah dakting (ducting), pemipaan harus
ditahan pada struktur bangunan atau pada penahan dakting yang telah disiapkan mampu
menahan beban dakting dan beban spesifik sesuai butir 4.5.1.3.

4.5.1.5. Ukuran minimum besi siku atau pipa pada gantungan trapis yang membentang antara
gordeng atau anak balok yang tercantum dalam tabel 4.5.1.5.b.

Ukuran atau bentuk lain yang mempunyai momen inersia sama atau lebih besar dari besi siku atau
pipa boleh digunakan.

8 dari 52
SNI 03-1745-2000

Semua besi siku harus digunakan dengan sisi vertikal yang lebih panjang. Bagian dari gantungan
trapis harus diamankan untuk mencegah peluncuran.

Apabila sebuah pipa digantung pada sebuah gantungan trapis pipa dengan diameter kurang dari
diameter pipa yang ditahan, cincin, tali pengikat atau gantungan clevis dengan ukuran yang
disesuaikan dengan pipa penahan harus digunakan pada kedua ujungnya.

4.5.1.6. Ukuran batang-batang gantungan dan pengikat yang dibutuhkan untuk menahan besi
siku atau pipa yang ditunjukkan pada tabel 4.5.1.5.a harus memenuhi butir 4.5.4.

4.5.1.7. Pemipaan pipa tegak atau gantungan-gantungan tidak boleh digunakan untuk
menahan komponen sistem lain.

Tabel 4.5.1.5.(a) : Momen inersia yang dipersyaratkan untuk bagian dari trapis.(inci3)
Jarak gantungan
Diameter pipa ( inci )
trapis
(ft) (m) 1 1¼ 1½ 2 2½ 3 3½ 4 5 6 8 10
0,08 0,09 0,09 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,15 0,18 0,24 0,32
1 ft 6 in 0,46
0,08 0,09 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,15 0,18 0,22 0,30 0,41
0,11 0,12 0,12 0,13 0,13 0,15 0,16 0,17 0,20 0,24 0,32 0,43
2 ft 0 in 0,61
0,11 0,12 0,12 0,13 0,15 0,16 0,18 0,20 0,24 0,29 0,40 0,55
0,14 0,14 0,15 0,16 0,17 0,18 0,20 0,21 0,25 0,30 0,40 0,54
2 ft 6 in 0,76
0,14 0,15 0,15 0,16 0,18 0,21 0,22 0,25 0,30 0,36 0,50 0,68
0,17 0,17 0,18 0,19 0,20 0,22 0,24 0,26 0,31 0,36 0,48 0,65
3 ft 0,91
0,17 0,18 0,18 0,20 0,22 0,25 0,27 0,30 0,36 0,43 0,60 0,82
0,22 0,23 0,24 0,25 0,27 0,29 0,32 0,34 0,41 0,48 0,64 0,87
4 ft 1,22
0,22 0,24 0,24 0,26 0,29 0,33 0,36 0,40 0,48 0,58 0,80 1,09
0,28 0,29 0,30 0,31 0,34 0,37 0,40 0,43 0,51 0,59 0,80 1,08
5 ft 1,52
0,28 0,29 0,30 0,33 0,37 0,41 0,45 0,49 0,60 0,72 1,00 1,37
0,33 0,35 0,36 0,38 0,41 0,44 0,48 0,51 0,61 0,71 0,97 1,30
6 ft 1,83
0,34 0,35 0,36 0,39 0,44 0,49 0,54 0,59 0,72 0,87 1,20 1,64
0,39 0,40 0,41 0,44 0,47 0,52 0,55 0,60 0,71 0,83 1,13 1,52
7 ft 2,13
0,39 0,41 0,43 0,46 0,51 0,58 0,63 0,69 0,84 1,01 1,41 1,92
0,44 0,46 0,47 0,50 0,54 0,59 0,63 0,68 0,81 0,95 1,29 1,73
8 ft 2,44
0,45 0,47 0,49 0,52 0,59 0,66 0,72 0,79 0,96 1,16 1,61 2,19
0,50 0,52 0,53 0,56 0,61 0,66 0,71 0,77 0,92 1,07 1,45 1,95
9 ft 2,74
0,50 0,53 0,55 0,59 0,66 0,74 0,81 0,89 1,08 1,30 1,81 2,46
0,56 0,58 0,59 0,63 0,68 0,74 0,79 0,85 1,02 1,19 1,61 2,17
10 ft 3,05
0,56 0,59 0,61 0,65 0,74 0,82 0,90 0,99 1,20 1,44 2,01 2,74

Catatan tabel :
Nilai yang di atas untuk pipa skedul 10, nilai yang di bawah untuk pipa skedul 40.
Tabel ini didasarkan pada tegangan lentur maksimum yang diijinkan 15 KSI dan beban konsentrasi pada titik tengah
jarak gantungan dari 4,6 m ( 15 ft ) dari pipa air yang diisi air ditambah 113 kg ( 250 lb).

9 dari 52
SNI 03-1745-2000

Tabel 4.5.1.5.(b). Momen inersia dari gantungan trapis yang umum.


Pipa Modulus Modulus
Besi siku
( in ) ( inci3 ) ( inci 3 )
Skedul 10
1 0,12 1½ x 1½ x 3/16 0,10
1¼ 0,19 2 x 2 x 1/8 0,13
1½ 0,26 2 x 1½ x 3/16 0,18
2 0,42 2 x 2 x 3/16 0,19
2½ 0,69 2 x 2 x ¼ 0,25
3 1,04 2½ x 1½ x 3/16 0,28
3½ 1,38 2½ x 2 x 3/16 0,29
4 1,76 2 x 2 x 5/16 0,30
5 3,03 2½ x 2½ x 3/16 0,30
6 4,35 2 x 2 x 3/8 0,35
2½ x 2½ x ¼ 0,39
3 x 2½ x 3/16 0,41
Skedule 40 3 x 3 x 3/16 0,43
1 0,13 3 x x 3/16 0,44
1¼ 0,23 2½ x 2½ x 5/16 0,48
1½ 0,33 3 x 2 x ¼ 0,54
2 0,56 2½ x 2 x 3/8 0,55
2½ 1,06 2½ x 2½ x 3/8 0,57
3 1,72 3 x 3 x ¼ 0,58
3½ 2,39 3 x 3 x 5/16 0,71
4 3,21 2½ x 2½ x ½ 0,72
5 5,45 3½ x 2½ x ¼ 0,75
6 8,50 3 x 2½ x 3/8 0,81
3 x 3 x 3/8 0,83
3½ x 2½ x 5/16 0,93
3 x 3 x 7/16 0,95
4 x 4 x ¼ 1,05
3 x 3 x ½ 1,07
4 x 3 x 5/16 1,23
4 x 4 x 5/16 1,29
4 x 3 x 3/8 1,46
4 x 4 x 3/8 1,52
5 x 3½ x 5/16 1,94
4 x 4 x ½ 1,97
4 x 4 x 5/8 2,40
4 x 4 x ¾ 2,81
6 x 4 x 3/8 3,32
6 x 4 x ½ 4,33
6 x 4 x ¾ 6,25
6 x 6 x 1 8,57

10 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.2. Gantungan pada beton.

4.5.2.1. Komponen yang dibenarkan yang tertanam dalam beton, boleh dipasang untuk
penahan gantungan. Klos kayu tidak boleh digunakan.

4.5.2.2. Penahan ekspansi yang terdaftar untuk menahan pipa-pipa pada konstruksi beton
boleh dipakai pada posisi horisontal dari sisi balok. Pada beton yang mempunyai batu kerikil atau
batu pecahan (aggregate), penahan ekspansi boleh dipakai pada posisi vertikal, untuk menahan
pipa-pipa dengan diameter 100 mm ( 4 inci ) atau kurang.

4.5.2.3. Untuk menahan pipa dengan diameter 125 mm ( 5 inci ) dan lebih besar, penahan
ekspansi, jika digunakan dalam posisi vertikal, harus dipasang selang seling dengan gantungan-
gantungan yang dihubungkan langsung ke bagian struktur, seperti konstruksi rangka atau anak
balok, atau sisi-sisi balok beton.

Bila tidak ada bagian struktur yang bisa dipakai, pipa dengan diameter 125 mm ( 5 inci ) dan lebih
besar boleh ditahan semuanya dengan penahan ekspansi pada posisi vertikal, tetapi harus diberi
jarak tidak boleh lebih dari 3 m ( 10 f).

4.5.2.4. Penahan ekspansi tidak boleh digunakan di langit-langit dari bahan gypsum atau
sejenisnya atau pada beton terak.

Pengecualian :

Penahan ekspansi boleh digunakan pada beton terak pada pipa cabang, dilengkapi selang seling dengan baut atau
gantungan yang melekat pada balok.

4.5.2.5. Dimana penahan ekspansi digunakan pada posisi vertikal,

4.5.2.6. Lubang-lubang untuk penahan ekspansi di sisi balok beton harus diletakkan diatas
garis tengah balok atau diatas dasar batang baja yang diperkuat.

4.5.3. Rangka cor-coran pada beton dan rangka las.

4.5.3.1. Rangka beton cor-coran dan rangka las dan perkakas yang digunakan untuk
memasang alat ini harus terdaftar. Ukuran pia, posisi pemasangan dan bahan konstruksi harus
sesuai dengan daftar tersendiri.

4.5.3.2. Contoh yang mewakili beton sebagai rangka harus diuji untuk menentukan rangka
dapat menahan beban minimum 341 kg ( 750 lb ) untuk pipa 50 mm ( 2 inci ) atau lebih kecil, 454
kg ( 1000 lb ) untuk pipa 65 mm ( 2½ inci ), 80 mm ( 3 inci ) dan 90 mm ( 3½ inci), dan 545 kg (
1200 lb) untuk pipa 100 mm ( 4 inci ) atau 125 mm ( 5 inci ).

4.5.3.3. Koppling penambah boleh dilekatkan langsung ke rangka cor-coran atau rangka las.

4.5.3.4. Rangka las atau bagian gantungan lainnya tidak boleh dilekatkan dengan las ke baja
kurang dari 12-gauge U.S standard.

11 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.4. Batang-batang dan gantungan U.

4.5.4.1. Ukuran batang gantungan harus sama seperti yang disetujui untuk penggunaan
dengan gantungan yang dirakit dan tidak boleh kurang dari apa yang tercantum pada tabel
4.5.4.1.

Pengecualian.

Batang dengan diameter yang lebih kecil dibolehkan dipakai apabila gantungan yang dirakit telah diuji dan didaftar oleh
laboratorium dan dipasang di dalam batas-batas ukuran pipa yang ditentukan dalam daftar tersendiri. Untuk ulir yang di
roll, ukuran batang tidak boleh kurang dari diameter akan ulir.

Tabel 4.5.4.1. Ukuran batang gantungan.


Ukuran pipa Diameter batang
(inci) ( inci ) ( mm )
Sampai dengan dan termasuk 4 . 3/8 9,5
5, 6 dan 8 ½ 12,7
10 dan 12 5/8 15,9
4.5.4.2. Gantungan “U”.

Ukuran batang yang dipergunakan untuk membuat gantungan “U” tidak boleh kurang dari apa
yang tercantum dalam tabel 4.5.4.2. Sekerup boleh dipakai hanya pada posisi horisontal ( contoh
pada sisi balok yang berhubungan hanya dengan gantungan U).

Tabel 4.5.4.2. Ukuran gantungan U.


Ukuran pipa Diameter bahan gantungan
(inci) ( inci ) ( mm )
Sampai dengan dan termasuk 2 . 5/16 7,9
2 ½ sampai 6 3/8 9,5
8 ½ 12,7
4.5.4.3. Pengait.

4.5.4.3.1. Ukuran bahan batang untuk pengait tidak boleh kurang dari yang ditentukan pada tabel
4.5.4.3.1. Apabila pengait diikat ke bagian struktur kayu, boleh dilengkapi dengan washer datar
langsung ke bagian struktur, sebagai tambahan washer pengunci.

Tabel 4.5.4.3.1. Ukuran batang pengait.


Diameter batang
Ukuran pipa
Pengait tekuk Pengait las
(inci)
( inci ) ( mm ) ( inci ) ( mm )
sampai dengan 4 3/8 9,5 3/8 9,5
5 sampai 6 ½ 12.7 ½ 12,7
8 ¾ 19,1 ½ 12,7
4.5.4.3.2. Pengait harus diamankan dengan washer pengunci untuk mencegah gerakan lateral.

4.5.4.4. Bagian batang yang diulir tidak boleh dibentuk atau ditekuk.

12 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.5.4.5. Sekerup.

Ukuran sekerup flens langit-langit dan gantungan “U” tidak boleh kurang dari apa yang tercantum
dalam tabel 4.5.4.5.

Pengecualian :

Apabila tebal papan kayu dan tebal flens tidak memungkinkan penggunaan sekerup yang panjangnya 50 mm (2 inci),
sekerup yang panjangnya 44 mm ( 1¾ inci) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m (10 ft) .
Apabila tebal dari balok atau gording tidak memungkinkan menggunakan sekerup yang panjangnya 65 mm ( 2½ inci),
sekerup dengan panjang 50 mm ( 2 inci ) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m ( 10 ft).

Tabel 4.5.4.5. Dimensi sekerup untuk flens langit-langit dan gantungan U.


Ukuran pipa Flens 2 sekerup
Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No.18 x 1 ½ inci.

Ukuran pipa Flens 3 sekerup


Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No. 18 x 1 ½ inci.
2 ½ inci, 3 inci, 3 ½ inci sekerup 3/8 inci x 2 inci
4 inci, 5 inci, 6 inci. sekerup ½ inci x 2 inci
8 inci. sekerup 5/8 inci x 2 inci

Ukuran pipa Flens 4 sekerup


Sampai dengan 2 inci sekerup kayu No. 18 x 1 ½ inci
2 ½ inci, 3 inci, 3 ½ inci. sekerup 3/8 inci x 1 ½ inci
4 inci, 5 inci, 6 inci. sekerup ½ inci x 2 inci.
8 inci. sekerup 5/8 inci x 2 inci.

Ukuran pipa. Gantungan U


sampai dengan 2 inci. sekerup No.16 x 2 inci.
2 ½ , 3 inci, 3 ½ inci sekerup ½ inci x 3 inci.
4 inci, 5 inci, 6 inci sekerup ½ inci x 3 inci.
8 inci sekerup 5/8 inci x 3 inci.

4.5.4.6. Ukuran baut dan sekerup yang digunakan dengan batang kait atau flens pada sisi dari
suatu balok tidak boleh kurang dari yang ditentukan dalam tabel 4.5.4.6.

Pengecualian :

Apabila tebal balok atau gording tidak memungkinkan menggunakan panjang sekerup 65 mm (2½ inci), sekerup dengan
panjang 50 mm ( 2 inci ) boleh dipakai dengan jarak antar gantungan tidak lebih dari 3 m ( 10 ft).

13 dari 52
SNI 03-1745-2000

Tabel 4.5.4.6. Ukuran minimum baut dan sekerup.


Ukuran baut atau Panjang sekerup yang digunakan dengan
Ukuran pipa sekerup balok kayu
( inci ) (mm) (inci) (mm)
Sampai dengan termasuk 3/8 9,5 2½ 64
2 inci.
2½ inci sampai dengan ½ 12,7 3 76
termasuk 6 inci
8 inci 5/8 15,9 3 76

4.5.4.7. Sekerup kayu harus dipasang dengan obeng. Paku tidak boleh digunakan untuk
pengikat gantungan.

4.5.4.8. Sekerup pada sisi kayu atau gording tidak boleh kurang 65 mm ( 2½ inci ) dari ujung
terbawah penahan pipa cabang dan tidak kurang 80 mm ( 3 inci ) dari penahan pipa utama.

Pengecualian :

Persyaratan ini tidak berlaku untuk untuk panjang 50 mm ( 2 inci ) atau pemakuan pada puncak balok baja.

4.5.4.9. Tebal papan minimum dan lebar minimum permukaan terendah dari balok atau gording
yang menggunakan batang sekerup harus ditentukan sesuai tabel 4.5.4.9.

Tabel 4.5.4.9. Tebal papan dan balok atau lebar gording.


Ukuran baut atau Panjang sekerup yang digunakan dengan
Ukuran pipa sekerup balok kayu
( inci ) (mm) (inci) (mm)
Sampai dengan termasuk 2 inci. 3/8 9,5 2½ 64
2½ inci sampai dengan 3 inci ½ 12,7 3 76
8 inci 5/8 15,9 3 76

4.5.4.10. Batang sekerup tidak boleh digunakan untuk menahan pipa yang lebih besar dari 150
mm ( 6 inci ). Semua lubang untuk batang sekerup harus pertama tama di bor 3,2 mm ( 18 inci )
lebih kecil dari pada diameter dasar dari ulir sekerup.

4.6. Katup.

Semua katup yang mengontrol sambungan ke pasokan air dan pipa tegak harus dari jenis katup
penunjuk yang terdaftar. Katup tersebut tidak boleh tertutup dalam waktu kurang dari 5 detik
apabila ditutup dengan cepat mulai dari keadaan terbuka penuh.

Pengecualian 1 :

Katup sorong bawah tanah yang dilengkapi dengan tonggak penunjuk boleh digunakan.

Pengecualian 2 :

14 dari 52
SNI 03-1745-2000

Katup pengatur yang terdaftar dan mempunyai penunjuk yang diandalkan dapat menunjukkan terbuka dan tertutupnya
katup dan dihubungkan dengan gardu pengawas yang jauh boleh digunakan.

Pengecualian 3 :

Kalau tidak digunakan katup penunjuk, dapat digunakan katup sorong bawah tanah yang ditempatkan dalam bak katup
jalan yang dilengkapi dengan kunci T yang harus disetujui oleh instansi yang berwenang boleh digunakan.

4.7. Kotak slang.

4.7.1. Lemari tertutup.

4.7.1.1. Lemari tertutup yang berisi slang kebakaran, harus berukuran cukup untuk
pemasangan peralatan penting dan dirancang tidak saling mengganggu pada waktu sambungan
slang, slang dan peralatan lain digunakan dengan cepat pada saat terjadi kebakaran.

Di dalam lemari, sambungan slang harus ditempatkan sehingga tidak kurang 25 mm ( 1 inci )
jaraknya antara setiap bagian dari lemari dan tangkai katup ketika katup dalam setiap kedudukan
dari terbuka penuh sampai tertutup penuh.

Lemari hanya digunakan untuk menempatkan peralatan kebakaran, dan setiap lemari di cat
dengan warna yang menyolok mata.

4.7.1.2. Apabila jenis “kaca mudah dipecah” (break glass) untuk tutup pelindung, harus
disediakan alat pembuka, alat yang disediakan untuk memecah panel kaca harus dilekatkan
dengan aman dan tidak jauh dari area panel kaca dan harus disusun sehingga alat tidak dapat
dipakai untuk memecahkan pintu lemari panal kaca lainnya.

4.7.1.3. Apabila suatu rakitan tahan api ditembus oleh lemari, ketahanan api dari rakitan harus
dijaga sesuai yang dipersyaratkan oleh ketentuan teknis bangunan gedung lokal.

4.7.2*. Slang.

Setiap sambungan slang yang disediakan untuk digunakan oleh penghuni bangunan ( sistem kelas
II dan kelas III), harus dipasang dengan panjang yang tidak lebih dari 30 m ( 100 ft) sesuai
terdaftar untuk diameter 40 mm ( 1½ inci ), lurus, dapat dilipat atau tidak dapat dilipat, slang
kebakaran dilekatkan dan siap untuk digunakan.

Pengecualian :

Apabila diameter slang kurang dari 40 mm ( 1½ inci) digunakan untuk kotak slang 40 mm (1½ inci) sesuai butir 5.5.2
dan 5.5.3, slang yang tidak bisa dilipat yang terdaftar boleh digunakan.

4.7.3. Rak slang.

Setiap kotak slang 40 mm ( 1½ inci) yang disediakan dengan slang 40 mm ( 1½ inci ) harus
dipasang dengan rak yang terdaftar atau fasilitas penyimpanan lain yang disetujui. Setiap kotak
slang 40 mm ( 1½ inci ) sesuai butir 5.3.2 dan 5.3.3. harus dipasang dengan gulungan aliran
menerus yang terdaftar.

15 dari 52
SNI 03-1745-2000

4.7.4. Nozel.

Nozel disediakan untuk pelayanan kelas II harus terdaftar.

4.7.5. Label.

Masing-masing rak atau fasilitas penyimpanan untuk slang 40 mm ( 1½ inci ) atau lebih kecil harus
dibuatkan label dengan tulisan berbunyi “ Slang kebakaran untuk digunakan penghuni” dan
instruksi pemakaiannya.

4.8. Sambungan slang.

Sambungan slang harus mempunyai ulir sesuai ketentuan yang berlaku. Sambungan slang harus
dipasang dengan tutup (cap) untuk melindungi ulir slang.

4.9*. Sambungan pemadam kebakaran.

4.9.1. Sambungan pemadam kebakaran harus terdaftar untuk tekanan kerja sama atau lebih
besar dari tekanan yang dipersyaratkan oleh kebutuhan sistem.

4.9.2*. Setiap sambungan pemadam kebakaran harus mempunyai minimal dua buah inlet 65
mm (2½ inci ) dengan ulir sesuai ketentuan yang berlaku. Sambungan pemadam kebakaran harus
dipasang dengan penutup untuk melindungi sistem dari kotoran-kotoran yang masuk.

Pengecualian :

Apabila dinas kebakaran setempat menggunakan alat sambung yang berbeda dari yang ditentukan, alat penyambung
yang sesuai dengan peralatan dinas kebakaran setempat harus digunakan dan ukuran minimumnya harus 65 mm ( 2½
inci ).

4.10. Tanda-arah.

Tanda arah harus ditandai secara permanen dan harus dibuat dengan bahan tahan cuaca atau
bahan plastik kaku.

5. Persyaratan sistem.

5.1. Umum.

5.1.1. Jumlah dan susunan peralatan pipa tegak untuk proteksi yang benar diatur oleh
kondisi lokal, seperti; hunian, karakter, konstruksi bangunan gedung dan jalan masuknya.

Instansi yang berwenang harus diminta saran-sarannya sehubungan dengan tipe sistem yang
dipersyaratkan, kelas sistem dan persyaratan khusus.

5.1.2. Ruangan dan letak pipa tegak dan sambungan slang harus sesuai seperti dijelaskan
pada butir 7.

16 dari 52
SNI 03-1745-2000

5.2. Tipe sistem pipa tegak.

5.2.1. Kering – otomatik.

Sistem pipa tegak kering otomatik harus sistem pipa tegak kering yang dalam keadaan normal diisi
dengan udara bertekanan, diatur melalui penggunaan peralatan, seperti katup pipa kering, untuk
membolehkan air masuk ke dalam sistem pemipaan secara otomatik pada pembukaan katup
slang. Pasokan air untuk sistem pipa tegak kering otomatik harus mampu memasok kebutuhan
sistem.

5.2.2. Basah - otomatik.

Sistem pipa tegak basah otomatik harus sistem pipa tegak basah yang mnempunyai pasokan air
mampu memasok kebutuhan sistem secara otomatik.

5.2.3. Kering - semi otomatik.

Sistem pipa tegak kering semi otomatik harus sistem pipa tegak kering yang diatur melalui
penggunaan alat, seperti katup banjir (deluge), untuk membolehkan air masuk ke dalam sistem
pipa pada saat aktivasi peralatan kontrol jarak jauh yang ditempatkan pada sambungan slang. Alat
aktivasi kontrol jarak jauh harus dilengkapi pada setiap sambungan slang. Pasokan air untuk
sistem pipa tegak kering harus mampu memasok kebutuhan sistem.

5.2.4. Kering - manual.

Sistem pipa tegak kering manual haruslah sistem pipa tegak kering yang tidak mempunyai
pasokan air permanen yang menyatu dengan sistem. Sistem pipa tegak kering manual
membutuhkan air dari pompa pemadam kebakaran ( atau sejenisnya ) untuk dipompakan ke
dalam sistem melalui sambungan pemadam kebakaran untuk memasok kebutuhan sistem.

5.2.5. Basah - manual.

Sistem pipa tegak basah manual haruslah sistem pipa tegak basah yang dihubungkan ke pasokan
air yang kecil untuk tujuan memelihara air di dalam sistem tetapi tidak mempunyai kemampuan
memasok air untuk kebutuhan sistem.

5.3. Kelas sistem pipa tegak.

5.3.1. Sistem kelas I.

Sistem harus menyediakan sambungan slang ukuran 63,5 mm (2½ inci) untuk pasokan air yang
digunakan oleh petugas pemadam kebakaran dan mereka yang terlatih.

5.3.2. Sistem kelas II.

Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm (1½ inci) untuk memasok air yang
digunakan terutama oleh penghuni bangunan atau oleh petugas pemadam kebakaran selama
tindakan awal.

17 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian.

Slang dengan ukuran minimum 25.4 mm ( 1 inci ) diizinkan digunakan untuk kotak slang pada tingkat kebakaran ringan
dengan persetujuan dari instansi yang berwenang.

5.3.3. Sistem kelas III.

Sistem harus menyediakan kotak slang ukuran 38,1 mm (1½ inci) untuk memasok air yang
digunakan oleh penghuni bangunan dan sambungan slang ukuran 63,5 mm (2½ inci) untuk
memasok air dengan volume lebih besar untuk digunakan oleh petugas pemadam kebakaran atau
mereka yang terlatih.

Pengecualian No.1 :

Slang ukuran minimum 25,4 mm (1 inci) diperkenankan digunakan untuk kotak slang pada pemakaian tingkat kebakaran
ringan dengan persetujuan dari instansi yang berwenang.

Pengecualian No. 2 :

Apabila seluruh bangunan diproteksi dengan sistem springkler otomatis yang disetujui, kotak slang yang digunakan
oleh penghuni bangunan tidak dipersyaratkan . Hal tersebut tergantung pada persetujuan instansi yang berwenang.

5.4. Persyaratan untuk sistem pipa tegak manual.

5.4.1. Sistem pipa tegak manual harus digunakan pada bangunan tinggi.

5.4.2. Setiap sambungan slang untuk pipa tegak manual harus disediakan dengan tanda
yang menyolok mata dengan bacaan :

“ PIPA TEGAK MANUAL HANYA DIGUNAKAN UNTUK PEMADAM KEBAKARAN”

5.4.3. Pipa tegak manual harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas III.

5.5. Persyaratan untuk sistem pipa tegak kering.

5.5.1. Pipa tegak kering harus digunakan hanya apabila pemipaan terutama bila air dapat
membeku.

5.5.2. Pipa tegak kering harus tidak digunakan untuk sistem kelas II atau kelas III.

5.6*. Meteran.

5.6.1. Meteran tekanan jenis pegas dengan diameter 89 mm ( 3½ inci ) harus disambungkan
ke pipa pancaran dari pompa kebakaran dan saluran air umum yang menuju tangki tekan, pada
pompa udara yang memasok tangki tekan, dan pada puncak setiap pipa tegak. Meteran harus
diletakkan pada tempat yang sesuai sehingga air tidak dapat membeku. Setiap meteran harus
dikontrol dengan katup yang mempunyai susunan untuk pembuangan.

18 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian :

Apabila beberapa pipa tegak dihubungkan di puncak, meteran tunggal yang diletakkan dengan benar dapat dibolehkan
untuk menggantikan meteran pada setiap pipa tegak.

5.6.2. Katup outlet untuk meteran tekanan harus dipasang pada sisi bagian atas dari setiap
alat pengatur tekanan.

5.7*. Alarm aliran air.

5.7.1. Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang untuk sistem otomatis dan semi
otomatis, alarm aliran air yang terdaftar harus disediakan.

5.7.2. Alarm aliran air harus memakai sensor mekanis yang cocok dengan jenis pipa
tegaknya.

5.7.3. Alarm aliran air jenis tongkat harus digunakan hanya pada sistem pipa tegak basah

6. Persyaratan instalasi.

6.1. Lokasi dan perlindungan pipa.

6.1.1. Lokasi pipa tegak kering.

Pipa tegak kering harus tidak dihubungkan pada dinding bangunan atau dipasang pada kolom
penguat dinding.

6.1.2. Perlindungan pipa.

6.1.2.1*. Pemipaan sistem pipa tegak harus tidak tembus melalui daerah berbahaya dan harus
ditempatkan sehingga terlindung dari kerusakan mekanis dan api.

6.1.2.2. Pipa tegak dan pemipaan lateral yang dipasok oleh pipa tegak harus ditempatkan
dalam tangga eksit yang diselubungi atau harus dilindungi dengan tingkat ketahanan api sama
dengan yang dipersyaratkan untuk tangga eksit yang diselubungi dalam bangunan dimana
pemipaan ini ditempatkan.

Pengecualian 1 :

Dalam bangunan yang dipasang dengan sistem springkler otomatis yang disetujui, pemipaan lateral sambungan slang
dengan diameter sampai 63,5 mm ( 2½ inci ) tidak dipersyaratkan untuk dilindungi.

Pengecualian 2 :

Pemipaan yang menyambungkan pipa tegak ke sambungan slang 38,1 mm ( 1½ inci ).

6.1.2.3. Apabila berada pada kondisi korosi, atau pemipaan dipasang terbuka ke udara luar,
pipa jenis tahan korosi, tabung, alat penyambung dan penggantung atau lapisan pelindung tahan
korosi harus digunakan. Jika pipa baja ditanam bawah tanah, harus dilindungi terhadap korosi
sebelum di tanam.

19 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.1.2.4. Untuk meminimalkan atau mencegah pipa tegak pecah apabila terjadi gempa bumi,
sistem pipa tegak harus dilindungi sesuai ketentuan yang berlaku.

6.2. Katup sorong dan katup penahan balik.

6.2.1. Penyambungan untuk setiap pasokan air harus disediakan dengan katup jenis
penunjuk yang disetujui dan katup penahan balik yang ditempatkan dekat dengan pasokannya,
seperti tangki-tangki, pompa-pompa dan sambungan-sambungan dari sistem air.

Pengecualian :

Sambungan pemadam kebakaran.

6.2.2. Katup harus disediakan untuk memungkinkan penutupan pipa tegak tanpa menggangu
pasokan ke pipa tegak lain dari sumber pasokan yang sama.

6.2.3. Jenis katup penunjuk yang terdaftar harus dipasang pada pipa tegak untuk mengontrol
pipa cabang dari kotak slang yang jauh.

6.2.4. Apabila katup jenis keping tipis digunakan, katup harus dipasang sehingga tidak
mengganggu beroperasinya komponen-komponen sistem lainnya.

6.2.5. Katup-katup pada sistem kombinasi.

6.2.5.1. Setiap penyambungan pipa tegak yang merupakan bagian sistem kombinasi ke sistem
springkler harus mempunyai katup kendali yang tersendiri dengan ukuran yang sama dengan
ukuran penyambungnya.

6.2.5.2*. Setiap penyambung pipa tegak yang merupakan bagian sistem kombinasi ke sistem
springkler dan disambungkan bersama dengan pipa tegak lain, harus mempunyai katup kontrol
tersendiri dan katup penahan balik dengan ukuran yang sama dengan penyambungnya.

6.2.6. Katup pada sambungan ke pasokan air.

6.2.6.1. Sambungan ke sistem saluran air umum harus dikontrol oleh tonggak katup penunjuk
dari jenis yang disetujui yang diletakkan tidak kurang dari 12 m ( 40 ft) dari bangunan yang
dilindungi. Semua katup ditandai dengan jelas untuk menunjukkan terawat pada saat dikontrol.

Pengecualian 1 :

Apabila katup tidak dapat diletakkan pada kurang dari 12 m (40 ft) dari bangunan, katup ini harus dipasang di lokasi
yang disetujui, mudah dibaca dan dijangkau, dalam hal terjadi kebakaran terutama tidak menjadi rusak.

Pengecualian 2 :

Apabila tonggak katup penunjuk tidak dapat dipakai, katup bawah tanah boleh digunakan. Katup diletakkan langsung,
mudah dibuka, dan untuk perawatan mudah dikontrol dengan diberi tanda yang jelas pada bangunan yang dilayani.

6.2.6.2. Apabila pipa tegak dipasok dari pipa utama halaman atau pipa utama bangunan lain,
sambungan harus disediakan dengan katup jenis penunjuk yang terdaftar yang diletakkan diluar
pada jarak yang aman dari bangunan atau dari pipa utama.

20 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.2.7. Katup supervisi.

Sistem katup pasokan air, katup kontrol pemisah dan katup-katup lain pada saluran masuk utama
harus mudah diawasi dengan cara yang disetujui dalam posisi terbuka oleh salah satu cara sebagi
berikut :

a). Melayani tanda bahaya ke gardu utama, pengelola bangunan, atau gardu jauh.

b). Pemasangan tanda bahaya lokal yang akan mengeluarkan suara pada suatu tempat yang
selalu dijaga.

c). Penguncian katup pada keadaan terbuka.

d). Penyegelan katup, tiap minggu dicatat apakah segel dalam keadaan baik. Penyegelan
hanya bisa dilakukan apabila katup diletakkan di ruangan tertutup di bawah penguasaan
pemilik gedung.

Pengecualian :

Katup sorong dalam tanah dengan kotak jalan tidak dipersyaratkan harus supervisi.

6.2.8. Tanda arah dan identifikasi ruang untuk katup.

6.2.8.1. Semua pipa utama dan bagian sistem katup kontrol, termasuk katup kontrol pasokan
air, harus disediakan tanda yang menunjukkan bagian sistem yang dikontrol oleh katup.

6.2.8.2. Semua kontrol, pengeringan, dan katup sambungan untuk pengujian harus disediakan
dengan tanda-tanda yang menunjukkan tujuannya.

6.2.8.3. Apabila pemipaan sistem springkler dipasok oleh sistem kombinasi oleh lebih dari satu
pipa tegak ( rancangan lup atau dua pasokan ), suatu penandaan harus diletakkan pada masing-
masing sambungan utama untuk sistem kombinasi pipa tegak untuk menunjukkan bahwa agar
pemisahan sistem springkler dilayani oleh katup kontrol, katup kontrol tambahan atau katup-katup
pada pipa tegak lain harus menutup. Penandaan juga harus mengidentifikasi lokasi penambahan
katup kontrol.

6.2.8.4. Apabila sistem katup utama atau bagiannya ditempatkan di ruang tertututp atau ruang
tersembunyi, perletakan katup harus ditunjukkan oleh suatu tanda di lokasi yang disetujui pada
pintu luar atau yang dekat dengan bukaan ke ruang yang tersembunyi.

6.3*. Sambungan pemadam kebakaran.

6.3.1. Harus tidak ada katup yang tertutup antara sambungan pemadam kebakaran dan
sistem.

6.3.2. Katup penahan balik harus dipasang pada masing-masing sambungan pemadam
kebakaran dan ditempatkan secara praktis di dekat titik penyambungan ke sistem.

6.3.3. Sambungan pemadam kebakaran harus dipasang sebagai berikut :

21 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). Sistem pipa tegak basah otomatik dan basah manual.

Pada sisi sistem dari sistem katup kontrol , katup penahan balik, atau setiap pompa, tetapi
pada sisi pasokan dari setiap katup pemisah yang dipersyaratkan pada butir 6.2.2.

b). Sistem pipa tegak kering otomatik.

Pada sisi sistem dari katup kontrol dan katup penahan balik dan sisi pasokan dari katup pipa
kering.

c). Sistem pipa tegak kering semi otomatik.

Pada sisi sistem dari katup banjir.

d). Sistem pipa tegak kering manual.

Dihubungkan langsung ke pemipaan sistem.

6.3.4. Lokasi dan identifikasi.

6.3.4.1. Sambungan pemadam kebakaran harus pada sisi jalan dari bangunan, mudah terlihat
dan dikenal dari jalan atau terdekat dari titik jalan masuk peralatan pemadam kebakaran, dan
harus diletakkan dan disusun sehingga saluran slang dapat dilekatkan ke inlet tanpa mengganggu
sasaran yang berdekatan, termasuk bangunan, pagar, tonggak-tanggak atau sambungan
pemadam kebakaran.

6.3.4.2. Setiap sambungan pemadam kebakaran harus dirancang dengan suatu penandaan
dengan huruf besar, tidak kurang 25 mm ( 1 inci ) tingginya, di tulis pada plat yang terbaca : “PIPA
TEGAK” . Jika springkler otomatik juga dipasok oleh sambungan pemadam kebakaran, penandaan
atau kombinasi penandaan harus menunjukkan keduanya ( contoh : “PIPA TEGAK DAN
SPRINGKLER OTOMATIK” atau ‘SPRINGKLER OTOMATIK DAN PIPA TEGAK” ).

Suatu penandaan juga harus menunjukkan tekanan yang dipersyaratkan pada inlet untuk
penyaluran kebutuhan sistem.

6.3.4.3. Apabila sambungan pemadam kebakaran hanya melayani suatu bagian bangunan,
suatu penandaan harus dilekatkan menunjukkan bagian bangunan yang dilayani.

6.3.4.4*. Suatu sambungan pemadam kebakaran untuk masing-masing sistem pipa tegak harus
diletakkan tidak lebih dari 30 m ( 100 ft) dari hidran halaman terdekat yang dihubungkan ke
pasokan air yang disetujui.

6.3.5. Sambungan pemadam kebakaran harus diletakkan tidak kurang 45 cm ( 18 inci ), tidak
lebih dari 120 cm (48 inci) diatas permukaan tanah sebelah, jalan samping atau permukaan tanah.

6.3.6. Pemipaan sambungan pemadam kebakaran harus ditahan sesuai butir 6.4.

22 dari 52
SNI 03-1745-2000

6.4. Penahan pipa.

6.4.1. Penahan pipa tegak.

6.4.1.1. Pipa tegak harus ditahan oleh alat pelengkap yang dihubungkan langsung ke pipa
tegak.

6.4.1.2. Penahan pipa tegak harus disediakan pada lantai terendah, pada masing-masing lantai
pilihan, dan pada puncak dari pipa tegak. Penahan diatas lantai terendah harus menahan pipa
untuk mencegah gerakan gaya keatas dimana alat penyambung fleksibel digunakan.

6.4.1.3. Penjepit yang menahan pipa dengan menggunakan sekerup tidak boleh digunakan.

6.4.2. Penahan pipa horisontal.

6.4.2.1. Pemipaan horisontal dari pipa tegak ke sambungan slang yang panjangnya lebih dari
450 mm ( 18 inci ) harus disediakan gantungan.

6.4.2.2. Gantungan pemipaan horisontal jarak antar gantungannya maksimum 4,6 m ( 15 ft ).


Pemipaan harus ditahan untuk mencegah gerakan gaya horisontal apabila alat penyambung
fleksibel digunakan.

6.5. Pemasangan tanda-tanda.

Tanda-tanda harus diamankan terhadap alat atau dinding bangunan dengan kuat dan rantai tahan
korosi atau alat pengunci.

6.6. Tanda-tanda untuk pompa pemasok air.

Apabila pompa kebakaran disediakan, suatu penandaan harus diletakkan di daerah sekitar pompa
yang menunjukkan tekanan minimum dan aliran yang dibutuhkan pada flens pancaran pompa
untuk memenuhi kebutuhan sistem.

6.7*. Tanda informasi perancangan hidraulik

Kontraktor yang memasang harus menyediakan tanda identifikasi sebagai dasar perancangan
sistem seperti salah satunya perhitungan hidraulik atau skedul pipa. Tanda harus diletakkan pada
katup kontrol pasokan otomatik untuk sistem pipa tegak otomatik atau semi otomatik dan disetujui
penempatannya untuk sistem manual.

Penandaan harus menunjukkan sebagai berikut :

a). Lokasi dari dua sambungan slang yang secara hidraulik terjauh.

b). Rancangan laju aliran untuk identifikasi sambungan dalam butir 6.7.a.

c). Rancangan tekanan akhir (residual) inlet dan tekanan outlet untuk identifikasi sambungan
butir 6.7.a.

23 dari 52
SNI 03-1745-2000

d). Tekanan statik rancangan dan rancangan kebutuhan sistem ( yaitu aliran dan tekanan akhir )
pada katup kontrol sistem, atau pada flens pancaran pompa apabila pompa dipasang, dan
masing-masing sambungan pemadam kebakaran.

7. Perancangan.

7.1*. Umum.

Perancangan sistem pipa tegak ditentukan oleh tingginya bangunan gedung, luas per lantai kelas
hunian, perancangan sistem jalan keluar, persyaratan laju aliran dan tekanan sisa, dan jarak
sambungan slang dari sumber pasokan air.

7.2*. Batasan tekanan.

Tekanan maksimum pada titik dimanapun pada sistem, setiap saat tidak boleh melebihi 24,1 bar
(350 psi).

7.3. Letak sambungan slang.

7.3.1*. Umum.

Sambungan slang dan kotak hidran tidak boleh terhalang dan harus terletak tidak kurang dari 0,9
m (3 feet) atau lebih dari 1,5 m (5 feet) di atas permukaan lantai.

7.3.2*. Sistem kelas I.

Sistem kelas I dilengkapi dengan sambungan untuk slang dengan ukuran 65 mm (2½ inci) pada
tempat-tempat berikut :

a). pada setiap bordes diantara 2 lantai pada setiap tangga kebakaran yang dipersyaratkan.

Pengecualian :

Sambungan slang diizinkan untuk diletakkan pada lantai bangunan di dalam tangga kebakaran, atas persetujuan
instansi yang berwenang.

b). pada setiap sisi dinding yang berdekatan dengan bukaan jalan keluar horisontal

c). di setiap jalur jalan keluar (passageway) pada pintu masuk dari daerah bangunan menuju ke
jalan terusan (passageway).

d). di bangunan mal yang tertutup, pada pintu masuk ke setiap jalur jalan keluar atau koridor
jalan keluar dan pintu-pintu masuk untuk umum menuju ke mal.

e). pada lantai tangga kebakaran yang teratas dengan tangga yang dapat mencapai atap, dan
bila tangga tidak dapat mencapai atap, maka sambungan slang tambahan 65 mm (2½ inci)
harus disediakan pada pipa tegak yang terjauh (dihitung secara hidraulik) untuk memenuhi
keperluan pengujian.

f)*. apabila bagian lantai atau tingkat yang terjauh dan yang tidak dilindungi oleh springkler yang
jarak tempuhnya dari jalan keluar yang disyaratkan melampaui 45,7 m (150 feet) atau bagian

24 dari 52
SNI 03-1745-2000

lantai/tingkat yang terjauh dan dilindungi oleh springkler yang jarak tempuhnya melebihi 61
m (200 feet) dari jalan keluar yang disyaratkan, sambungan slang tambahan harus
disediakan pada tempat-tempat yang disetujui, dan yang disyaratkan oleh instansi pemadam
kebakaran setempat.

7.3.3*. Sistem kelas II.

Sistem kelas II harus dilengkapi kotak hidran dengan slang ukuran 40 mm (1½ inci) sedemikian
rupa sehingga setiap bagian dari lantai bangunan berada 39,7 m (130 feet) dari sambungan slang
yang dilengkapi dengan slang 40 mm (1½ inci).

7.3.4. Sistem kelas III.

Sistem kelas III harus dilengkapi dengan sambungan slang sebagaimana disyaratkan untuk sistem
kelas I dan sistem kelas II.

7.4. Jumlah pipa tegak.

Di setiap tangga kebakaran yang disyaratkan, harus dilengkapi dengan pipa tegak tersendiri.

7.5. Hubungan antar pipa tegak.

Apabila dua atau lebih pipa tegak dipasang pada bangunan yang sama atau bagian bangunan
yang sama, pipa-pipa tegak ini harus saling dihubungkan pada bagian bawahnya. Bilamana pipa-
pipa tegak ini dipasok dari tangki yang terletak pada bagian atas dari bangunan atau zona, pipa-
pipa tegak tersebut harus juga saling dihubungkan di bagian atas dan harus dilengkapi dengan
katup tahan aliran balik pada setiap pipa tegak untuk mencegah terjadinya sirkulasi.

7.6. Ukuran minimum pipa tegak.

7.6.1. Ukuran pipa tegak untuk sistem kelas I dan kelas III harus berukuran sekurang-
kurangnya 100 mm (4 inci).

7.6.2. Pipa tegak yang merupakan bagian dari sistem kombinasi harus berukuran sekurang-
kurangnya 150 mm (6 inci).

Pengecualian :

Untuk bangunan yang seluruhnya dilengkapi dengan springkler, dan mempunyai kombinasi sistem pipa tegak yang
dihitung secara hidraulik, ukuran minimum pipa tegaknya adalah 100 mm (4 inci ).

7.7*. Tekanan minimum untuk perancangan sistem dan penentuan ukuran pipa.

Sistem pipa tegak harus dirancang sedemikian rupa sehingga kebutuhan sistem dapat dipasok
oleh sumber air yang tersedia sesuai dengan yang disyaratkan dan sambungan pipa harus sesuai
dengan sambungan milik mobil pemadam kebakaran.

Mengenai pasokan air yang tersedia dari mobil pompa pemadam kebakaran milik instansi
pemadam kebakaran, harus dikonsultasikan dengan instansi yang berwenang.

Sistem pipa tegak harus salah satu dari berikut ini :

25 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). dirancang secara hidraulik untuk mendapatkan laju aliran air pada tekanan sisa 6,9 bar (100
psi) pada keluaran sambungan slang 65 mm (2½ inci) terjauh dihitung secara hidraulik, dan
4,5 bar (65 psi ) pada ujung kotak hidran 40 mm (1½ inci) terjauh dihitung secara hidraulik.

Pengecualian :

Bilamana instansi yang berwenang mengijinkan tekanan lebih rendah dari 6,9 bar (100 psi) untuk sambungan slang
ukuran 65 mm ( 2½ inci), berdasarkan taktik pemadaman, tekanan dapat dikurangi hingga paling rendah 4,5 bar (65
psi).

b). ukuran pipa dengan laju aliran yang disyaratkan pada tekanan sisa 6,9 bar (100 psi) pada
ujung slang terjauh dengan ukuran 65 mm (2½ inci) dan tekanan 4,5 bar (65 psi) pada ujung
slang terjauh dengan ukuran 40 mm (1½ inci), dirancang sesuai seperti tertera pada tabel
7.7.b . Perancangan yang menggunakan cara skedul pipa, harus dibatasi hanya untuk pipa
tegak basah dari bangunan yang tidak dikatagorikan sebagai bangunan tinggi.

Tabel 7.7.b.: Diameter pipa minimal (dalam inci ), ditinjau dari jarak total pipa dan total akumulasi
aliran

Total akumulasi aliran Jarak total pipa terjauh dari keluaran


gpm Liter/menit < 15,2 m 15,2 ~ 30,5 m > 30,5 m
100 379 2 inci 2 ½ inci 3 inci
101 ~ 500 382 ~ 1.893 4 inci 4 inci 6 inci
501 ~ 750 1.896 ~ 2.839 5 inci 5 inci 6 inci
751 ~ 1.250 2.843 ~ 4.731 6 inci 6 inci 6 inci
1.251 ke atas 4.735 keatas 8 inci 8 inci 8 inci

7.8*. Tekanan maksimum untuk sambungan slang.

7.8.1. Bilamana tekanan sisa pada keluaran ukuran 40 mm (1½ inci) pada sambungan slang
yang tersedia untuk digunakan oleh penghuni melampaui 6,9 bar (100 psi), alat pengatur tekanan
yang sudah diuji harus disediakan untuk membatasi tekanan sisa dengan aliran yang disyaratkan
di butir 5.9, pada tekanan 6,9 bar (100 psi).

7.8.2. Bilamana tekanan statis pada sambungan slang melampaui 12,1 bar (175 psi), alat
pengatur tekanan yang sudah diuji harus disediakan untuk membatasi tekanan statis dan tekanan
sisa, di ujung sambungan slang 40 mm (1½ inci) yang tersedia untuk digunakan oleh penghuni,
bertekanan 6,9 bar ( 100 psi), dan bertekanan 12,1 bar (175 psi) pada sambungan slang lainnya.

Tekanan pada sisi masukan dari alat pengatur keluaran harus tidak melebihi kemampuan tekanan
kerja alat.

7.9. Laju aliran minimum.

7.9.1. Sistem kelas I dan kelas III.

7.9.1.1*. Laju aliran minimum.

Untuk sistem kelas I dan kelas III, laju aliran minimum dari pipa tegak hidraulik terjauh harus
sebesar 1.893 liter/menit (550 gpm). Laju aliran minimum untuk pipa tegak tambahan harus

26 dari 52
SNI 03-1745-2000

sebesar 946 liter/menit (250 gpm) untuk setiap pipa tegak, yang jumlahnya tidak melampaui 4.731
liter/menit (1.250 gpm). Untuk sistem kombinasi, lihat butir 7.9.1.3.

Pengecualian :

Bila luas lantai lebih dari 7.432 m2 (80.000 feet2 ), maka pipa tegak terjauh berikutnya harus dirancang untuk dapat
menyalurkan 1.983 liter/menit (500 gpm).

7.9.1.2*. Prosedur perhitungan hidraulik.

Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa tegak harus berdasarkan pada
penyediaan sebesar 946 liter/menit (250 gpm) yang pada kedua sambungan slang terjauh secara
hidraulik pada pipa tegak dan pada outlet teratas dari setiap pipa tegak lainnya sesuai dengan
tekanan sisa minimum yang disyaratkan pada butir 7.7.

Pemipaan pasokan bersama harus dihitung untuk memenuhi syarat laju aliran semua pipa tegak
yang dihubungkan ke sistem pemipaan tersebut, dengan jumlah yang tidak melebihi 4.731
liter/menit (1.250 gpm).

7.9.1.3. Sistem kombinasi.

7.9.1.3.1*. Untuk bangunan yang seluruhnya diproteksi dengan springkler otomatis yang telah
disetujui, kebutuhan sistem yang ditetapkan pada butir 7.7 dan 7.9.1 diperkenankan juga untuk
melayani sistem springkler. Sehubungan dengan hal tersebut maka kebutuhan terpisah untuk
springkler tidak dipersyaratkan lagi.

Pengecualian :

Bilamana kebutuhan pasokan air untuk sistem springkler termasuk kebutuhan aliran slang sebagaimana ditentukan
sesuai peraturan springkler yang berlaku melampaui kebutuhan sistem sebagaimana yang ditetapkan pada butir 7.7 dan
7.9.1, angka yang terbesarlah yang harus disediakan. Laju aliran yang disyaratkan untuk pipa tegak sistem kombinasi
dalam suatu bangunan yang seluruhnya diproteksi dengan sistem springkler otomatis tidak dipersyaratkan melampaui
3.785 liter/menit (1.000 gpm) kecuali bila disyaratkan oleh instansi yang berwenang.

7.9.1.3.2. Untuk sistem kombinasi pada bangunan yang dilengkapi dengan proteksi springkler
otomatis secara parsial, laju aliran sebagaimana yang dipersyaratkan pada butir 7.9.1 harus
dinaikkan dengan jumlah yang setara dengan kebutuhan springkler yang dihitung secara hidraulik
atau 568 liter/menit (150 gpm) untuk tingkat hunian bahaya kebakaran ringan atau 1.893 liter/menit
(500 gpm) untuk tingkat hunian bahaya kebakaran sedang.

7.9.1.3.3. Bilamana sistem pipa tegak yang ada mempunyai pipa tegak dengan diameter
minimum 100 mm (4 inci) akan digunakan untuk memasok sistem springkler yang harus diperbaiki,
pasokan air yang dipersyaratkan pada butir 7.9.1. maka air yang dibutuhkan tidak disyaratkan
untuk dilengkapi dengan sarana otomatis atau semi otomatis jika instansi yang berwenang
menyetujui, dan pasokan air cukup untuk memasok kebutuhan hidraulik dari sistem springkler.

27 dari 52
SNI 03-1745-2000

7.9.2. Sistem kelas II.

7.9.2.1. Laju aliran minimum.

Untuk sistem kelas II, laju aliran minimum untuk pipa tegak terjauh dan dihitung secara hidraulik
adalah 379 liter/menit (100 gpm). Aliran tambahan tidak dipersyaratkan bila terdapat lebih dari 1
(satu) pipa tegak.

7.9.2.2. Prosedur perhitungan hidraulik.

Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa tegak harus didasarkan pada
penyediaan 379 liter/menit (100 gpm) di sambungan slang yang secara hidraulik terjauh pada pipa
tegak dengan tekanan sisa minimum disyaratkan pada butir 7.7 Pemipaan pasokan bersama yang
melayani pipa tegak ganda harus dihitung untuk penyediaan 379 liter/menit (100 gpm).

7.10. Panjang pipa ekuivalen dari katup dan fitting untuk sistem perancangan
hidraulik.

7.10.1. Umum.

Tabel 7.10.1 harus dipakai untuk menentukan panjang pipa ekuivalen untuk fitting dan alat kecuali
data uji pabrik ada yang menunjukkan faktor-faktor lain.

7.10.2. Penyesuaian.

Tabel 7.10.1, harus dipakai hanya dimana faktor C dari Hazen-Williams adalah 120. Untuk nilai
lain dari C, nilai dalam tabel 7.10.1 harus dikalikan dengan faktor yang ditunjukkan dalam tabel
7.10.2(a). Tabel 7.10.2(b) menunjukkan faktor C dari bahan pipa yang umum dipakai.

Pengecualian :

Harus dimintakan izin dari Instansi yang berwenang untuk pemakaian nilai C yang lain.

28 dari 52
SNI 03-1745-2000

Tabel 7.10.1 : Panjang pipa ekuivalen


Fitting dan Fitting dan katup dinyatakan dalam panjang ekuivalen pipa (feet)
katup ¾“ 1” 1¼ “ 1½” 2” 2½” 3” 3½” 4” 5” 6” 8” 10” 12”
Elbow 450 1 1 1 2 2 3 3 3 4 5 7 9 11 13
Elbow standar
2 2 3 4 5 6 7 8 10 12 14 18 22 27
900
Elbow panjang
0 1 2 2 2 3 4 5 5 6 8 9 13 16 18
90
Tee atau silang
(sudut belok 3 5 6 8 10 12 15 17 20 25 30 35 50 60
0
90 )
Katup kupu-
6 7 10 12 9 10 12 19 21
kupu
Katup sorong. 1 1 1 1 2 2 3 4 5 6
Katup satu arah
5 7 9 11 14 16 19 22 27 32 45 55 65
ayun.
Katup bulat 46 70
Katup sudut 20 31
Untuk unit SI; 1 inci = 25,4 mm

Tabel 7.10.2(a).: Faktor penyesuaian untuk nilai C

Nilai C 100 130 140 150


Faktor perkalian 0,713 1,16 1,33 1,51

Tabel 7.10.2(b) : Nilai C dari Hazen-Williams

Pipa atau tabung Nilai C


Unlined cast or ductile iron 100
Black steel (dry systems, including preaction) 100
Black steel (wet systems, including deluge). 120
Galvanized (all) 120
Plastic (listed – all). 150
Cement-lined casr or ductile iron 140
Copper tube or stainless steel. 150

7.11*. Saluran pembuangan dan pipa tegak untuk keperluan pengujian.

7.11.1. Pipa tegak untuk pembuangan berukuran 76 mm (3 inci) yang dipasang secara
permanen berdekatan dengan setiap pipa tegak dan dilengkapi dengan peralatan pengaturan
tekanan untuk memungkinkan keperluan pengujian setiap peralatan.

Pipa tegak untuk pembuangan harus dipasang dengan tee 80 mm x 65 mm (3 inci x 2½ inci)

7.11.2. Setiap pipa tegak harus dilengkapi dengan sarana saluran pembuangan. Katup
pembuangan dengan pemipaannya dipasang pada titik terendah dari pipa tegak dan harus diatur
untuk dapay membuang air pada tempat yang disetujui.

29 dari 52
SNI 03-1745-2000

7.12. Sambungan mobil pemadam kebakaran.

7.12.1. Satu atau lebih sambungan mobil pemadam kebakaran harus disediakan untuk setiap
zona dari sistem pipa tegak kelas I atau kelas III.

Pengecualian :

Sambungan mobil pemadam kebakaran untuk zona yang tinggi tidak dipersyaratkan bila dilengkapi sesui butir 9-4.3.

7.12.2. Bangunan tinggi harus dilengkapi sekurang-kurangnya untuk setiap zona dengan 2
(dua) atau lebih sambungan untuk mobil pemadam kebakaran dengan penempatannya yang
berjauhan.

Pengecualian :

Sambungan tunggal mobil pemadam kebakaran untuk setiap zona diperkenankan, apabila diizinkan oleh instansi yang
berwenang.

8. Perencanaan dan perhitungan.

8.1*. Gambar rencana dan spesifikasi teknis.

Gambar rencana yang secara akurat menunjukkan detail dan pengaturan dari sistem pipa tegak
harus disiapkan untuk instansi yang berwenang sebelum sistem instalasi dilaksanakan. Gambar
rencana tersebut harus jelas, mudah dimengerti dan digambar dengan menggunakan skala.
Gambar-gambar harus menunjukkan lokasi, pengaturan, sumber air, peralatan, dan semua detail
yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa ketentuan ini dipenuhi.

Rencana harus mencakup spesifikasi teknis, sifat dari bahan-bahan yang digunakan dan harus
menguraikan semua komponen sistem. Rencana tersebut harus dilengkapi juga dengan diagram
yang menunjukkan ketinggian.

8.2*. Perhitungan hidraulis.

Bilamana sistem pemipaan pipa tegak dihitung secara hidraulik, maka bersamaan dengan
penyerahan gambar rencana disertakan juga perhitungan secara lengkap.

9. Pasokan air.

9.1*. Pasokan air yang dipersyaratkan.

9.1.1. Sistem pipa tegak otomatis harus dihubungkan dengan pasokan air yang telah
disetujui dan mampu memenuhi kebutuhan sistem.

Sistem pipa tegak manual harus mempunyai pasokan air yang telah disetujui dan dapat
dihubungkan dengan mobil pompa pemadam kebakaran.

Pasokan air otomatis tinggal dapat diizinkan untuk digunakan bilamana dapat memasok kebutuhan
sistem dalam waktu yang dipersyaratkan.

30 dari 52
SNI 03-1745-2000

Pengecualian :

Bilamana pasokan air sekunder disyaratkan, maka harus memenuhi seperti pada butir 9.4.3.

9.2. Pasokan minimum untuk sistem klas I dan klas III.

Sumber-sumber pasokan air yang diizinkan :

a). Suatu sistem pengairan umum yang tekanan dan laju alirannya mencukupi.

b). Pompa air otomatis yang dihubungkan dengan sumber air yang telah disetujui sesuai
standar yang disyaratkan.

c). Pompa-pompa pemadam kebakaran manual yang dikombinasikan dengan tangki-tangki


bertekanan.

d). Tangki-tangki bertekanan yang dipasang sesuai dengan standar.

e). Pompa pemadam api manual yang dapat dioperasikan dengan peralatan kendali jarak jauh
(remote control devices) pada setiap kotak hidran.

f). Tangki-tangki gravitasi yang dipasang sesuai standar.

9.3. Pasokan minimum untuk sistem klas II.

Pasokan air harus cukup tersedia untuk kebutuhan sistemsebagaimana ditetapkan pada butir 7.7
dan butir 7.9.1 yang sekurang-kurangnya untuk 45 menit.

9.4. Zona sistem pipa tegak.

Setiap zona yang membutuhkan pompa harus dilengkapi dengan bagian pompa terpisah,
sehingga memungkinkan untuk digunakannya pompa-pompa yang disusun secara seri.

9.4.1. Bilamana beberapa pompa yang melayani dua atau lebih zona terletak pada
ketinggian/level yang sama, maka setiap zona harus mempunyai pipa pemasok yang terpisah dan
langsung dengan ukuran yang tidak lebih kecil dari pipa tegak yang dilayani. Zona dengan dua
atau lebih pipa tegak harus mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) pipa pemasok langsung dari
ukuran yang tidak lebih kecil dari ukuran pipa tegak terbesar yang dilayani.

9.4.2. Bilamana pasokan untuk setiap zona dipompakan dari satu zona dibawahnya, dan pipa
tegak atau beberapa pipa tegak pada zona lebih di bawah digunakan untuk memasok zona lebih
di atas, pipa tegak tersebut harus sesuai dengan persyaratan untuk jalur pasokan yang disebut
pada butir 9.4.1. sekurang-kurangnya 2 (dua) jalur harus disediakan antara zona dan satu dari
jalur dimaksud harus diatur sedemikian hingga pasokan dapat dikirim secara otomatis dari bawah
ke zona lebih atas.

9.4.3. Untuk sistem dengan 2 (dua) zona atau lebih, zona dalam bagian dari zona kedua dan
zona lebih tinggi yang tidak dapat dipasok dengan menggunakan tekanan sisa yang disyaratkan
pada butir 7.7 dengan menggunakan pompa dan melalui sambungan mobil pemadam kebakaran,
maka prasarana bantu untuk pasokan air harus disediakan. Prasarana ini harus dalam bentuk

31 dari 52
SNI 03-1745-2000

reservoir air yang ditinggikan dengan peralatan pompa tambahan atau prasarana lainnya yang
dapat diterima oleh instansi yang berwenang.

10. Persetujuan sistem.

10.1*. Umum.

10.1.1. Semua sistem yang baru harus diuji terlebih dahulu sesuai tingkat hunian dari
bangunan gedung. Sistem pipa tegak yang sudah ada yang akan digunakan sebagai pipa tegak
untuk sistem kombinasi dalam rangka perbaikan sistem springkler harus diuji sesuai butir 10.4.

10.1.2. Kontraktor yang memasang harus melengkapi dan menanda tangani daftar bahan
yang benar dan sertifikat uji.

10.2. Pengglontoran pipa.

10.2.1. Pemipaan di bawah tanah yang memasok sistem harus diglontor sesuai ketentuan
yang berlaku.

10.2.2. Pemipaan antara sambungan pemadam kebakaran dan katup satu arah pada pipa
inlet harus diglontor dengan sejumlah air yang cukup untuk menghilangkan setiap puing-puing
konstruksi dan sampah-sampah yang dikumpulkan dalam pipa sebelumnya untuk melengkapi
sistem dan sebelum pemasangan sambungan pemadam kebakaran.

10.3. Ulir slang.

Semua ulir sambungan slang dan sambungan pemadam kebakaran harus diuji untuk
keseragaman dengan ulir yang dipakai instansi pemadam kebakaran lokal. Pengujian harus terdiri
dari contoh ulir kopling, tutup atau sumbat ke dalam alat yang dipasang.

10.4. Pengujian hidrostatik.

10.4.1*. Umum.

Semua sistem baru, termasuk pemipaan halaman dan sambungan pemadam kebakaran, harus di
uji secara hidrostatik pada tekanan tidak kurang dari 13,8 bar ( 200 psi) selama 2 jam, atau
dengan tambahan 3,5 bar (50 psi) dari tekanan maksimum apabila tekanan maksimum melebihi
10,3 bar (150 psi). Tekanan uji hidrostatik harus diukur pada titik ketinggian terendah dari sistim
individu atau zona yang akan diuji. Pemipaan sistem pipa tegak di dalam harus menunjukkan tidak
adanya kebocoran. Pipa di dalam tanah harus diuji sesuai ketentuan yang berlaku.

10.4.2. Sambungan mobil pemadam kebakaran.

Pemipaan antara sambungan pemadam kebakaran dan katup satu arah dalam pipa inlet harus
diuji secara hidrostatik dalam hal yang sama seperti menyeimbangkan sistem.

10.4.3. Sistem yang sudah ada.

Apabila sistem pipa tegak yang sudah ada, termasuk pemipaan halaman dan sambungan
pemadam kebakaran, di modifikasi, pemipaan yang baru harus diuji sesuai butir 10.4.1.

32 dari 52
SNI 03-1745-2000

10.4.4. Meteran.

Selama pengujian hidrostatik, tekanan di meteran pada puncak dari setiap pipa tegak harus
diperiksa dan dicatat tekanannya.

10.4.5. Additive air.

Aditive, larutan kimia seperti sodium silicate atau turunan dari sodium silicate, air garam, atau
kimia lainnya harus tidak dipakai untuk pengujian hidrostatik atau untuk menghentikan kebocoran.

10.5. Pengujian aliran.

10.5.1*. Pasokan air harus diuji apakah memenuhi rancangan. Uji ini harus dilakukan dengan
pengaliran air secara hidraulik dari sambungan slang terjauh.

10.5.2. Untuk pipa tegak manual, pompa pemadam kebakaran atau pompa jinjing dengan
kapasitas yang cukup ( yaitu aliran dan tekanan yang dipersyaratkan) harus digunakan untuk
menguji rancangan sistem dengan pemompaan ke dalam sambungan pemadam kebakaran.

10.5.3. Suatu uji aliran harus dilakukan pada setiap outlet atap untuk menguji bahwa tekanan
yang dipersyaratkan terpenuhi pada aliran yang dipersyaratkan.

10.5.4. Susunan pengisian untuk tangki isap harus diuji dengan menutup penuh semua
pasokan ke tangki, pembuangan tangki ke bawayh direncanakan pada permukaan air bawah, dan
kemudian membuka katup pasokan untuk menjamin beroperasinya secara otomatis.

10.5.5. Alat pengatur tekanan.

Setiap alat pengatur tekanan harus diuji untuk membuktikan bahwa pemasangannya betul, dan
beroperasi dengan benar dan tekanan inlet dan outlet dari alat sesuai yang direncanakan.
Tekanan statik dan akhir (residual) pada sisi inlet dan tekanan statik dan akhir (residual) pada sisi
outlet dan aliran harus dicatat pada sertifikat uji kontraktor.

10.5.6. Pengujian aliran pembuangan utama.

Katup pembuangan utama harus dibuka dan harus tetap terbuka sampai tekanan sistem stabil.
Tekanan statik dan akhir (residual) harus dicatat pada sertifikat uji kontraktor.

10.5.7. Pengujian otomatik dan semi otomatik dari pipa tegak.

Otomatik dan semi otomatik sistem kering harus diuji dengan memulai mengalirkan air secara
hidraulik dari sambungan salang terjauh. Sistem harus mengalirkan minimum 250 gpm (946
liter/menit) pada slang dalam waktu 3 menit pembukaan katup slang. Setiap alat kontrol jarak jauh
untuk mengop[erasikan sistem semi otomatik harus diuji sesuai instruksi yang dikeluarkan oleh
pabrik pembuatnya.

10.5.8. Sistem yang mempunyai pompa.

Aoabila pompa merupakan bagian dari pasokan air untuk sistem pipa tegak, pengujian harus
dilakukan dengan mengoperasikan pompa tersebut.

33 dari 52
SNI 03-1745-2000

10.6. Pengujian katup manual.

Setiap katup dimaksud harus dibuka dan ditutup dalam pengoperasiannya dengan memutar roda
putar atau kunci putar untuk membuka penuh dan kembali ke posisi normal. Tutup katup slang
harus cukup rapat untuk mencegah kebocoran selama pengujian dan dibuka setelah pengujian air
buangan dan pelepas tekanan.

10.7. Pengujian Alarm dan supervisi.

Setiap alarm dan alat supervisi yang disediakan harus diuji sesuai ketentuan yang berlaku.

10.8. Instruksi-instruksi.

Kontraktor yang memasang harus menyampaikan kepada pemebri tugas, hal-hal sebagi berikut :

a). Semua literatur dan instruksi yang diberikan oleh pabrik yang terdiri dari cara operasi yang
benar dan pemeliharaan peralatan dan alat-alat yang dipasang;

b). Sebuah kopi dari standar ini.

10.9. Tanda arah.

Pemasangan tanda-tanda arah yang dipersyaratkan oleh standar ini harus dibuktikan.

11. Gedung dalam tahap pembangunan.

11.1. Umum.

Apabila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang, sistem pipa tegak, apakah sementara atau
tetap, harus disediakan dalam bangunan pada saat masih dalam tahap konstruksi sesuai
ketentuan bagian ini.

11.2. Sambungan pemadam kebakaran.

Pipa tegak harus disediakan dengan tanda yang menyolok mata dan mudah dibaca sambungan
pemadam kebakaran yang mudah dijangkau pada bagian luar bangunan pada permukaan jalan.

11.3. Manfaat lain dari sistem.

Ukuran pipa, sambungan slang, slang, pasokan air, dan detail lain untuk konstruksi baru harus
sesuai dengan standar ini.

11.4. Penahan pipa.

Pipa tegak harus disangga dan ditahan dengan aman pada setiap lantai yang dipilih.

11.5. Sambungan slang.

Tidak kurang satu sambungan slang harus disediakan pada setiap permukaan lantai. Katup slang
harus selalu ditutup setiap waktu dan dijaga terhadap kerusakan mekanis.

34 dari 52
SNI 03-1745-2000

11.6. Pengembangan sistem pemipaan.

Pipa tegak harus diperpanjang ke atas untuk setiap lantai dan ditutup aman pada puncaknya.

11.7. Instalasi sementara.

Pipa tegak sementara harus tetap melayani sampai pipa tegak permanen lengkap. Apabila pipa
tegak sementara dalam kondisi normal berisi air, pipa harus diproteksi terhadap pembekuan.

11.8. Saat pemasangan pasokan air.

Apabila konstruksi mencapai suatu ketinggian dimana tekanan saluran umum tidak mencukupi,
pompa kebakaran sementara atau permanen harus dipasang untuk menyediakan proteksi
terhadap lantai yang tertinggi atau untuk tinggi yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.

Pengecualian :

Apabila peralatan pompa dari instansi pemadam kebakaran dianggap cukup oleh instansi yang berwenang untuk
memberi tekanan pada pipa tegak yang dipersyaratkan.

11.9. Proteksi sambungan slang dan sambungan mobil pemadam kebakaran.

Tutup (cap) dan sumbat (plug) harus dipasang pada sambungan pemadam kebakaran dan
sambungan slang. Sambungan instansi pemadam kebakaran dan sambungan slang harus
dilindungi terhadap kerusakan fisik.

35 dari 52
SNI 03-1745-2000

Apendiks
Penjelasan bahan
Lampiran ini bukan merupakan bagian dari standar ini, tetapi disertakan sebagai tambahan
informasi saja.

A.3.5. Instansi yang berwenang .

Penyebutan “instansi yang berwenang” digunakan pada dokumen dalam pengertian yang luas,
karena kewenangan dan instansi yang memberi persetujuan beragam, demikian pula pertanggung
jawabannya.

Bila keamanan publik di utamakan, maka instansi yang berwenang dapat saja pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dinas kebakaran setempat, atau pihak lainnya yang secara hukum
berwenang.

A.3.8 Katup penurun tekanan (Pressure Reducing Valve)

Katup pelepas tekanan (pressure relief valve) bukanlah katup penurun tekanan dan tidak boleh
digunakan untuk hal ini.

A.4.1 Penggunaan katup dan alat penyambung kelas standar, biasanya penggunaannya
dibatasi untuk bagian atas tingkat bangunan yang sangat tinggi dan pada peralatan yang
mempunyai tekanan tertinggi kurang dari 12,1 bar (175 psi).

A.4.5.1 Pemadam kebakaran banyak memasang saluran slang dari pompa kedalam bangunan
dan menyambungkannya ke katup outlet yang dapat dijangkau dengan menggunakan sambungan
ulir perempuan ganda (double female swivel) apabila sambungan untuk pemadam kebakaran
pada bangunan tidak dapat dijangkau atau tidak dapat dioperasikan.

Untuk meberi tekanan pada pipa tegak, katup slang dibuka dan mesin pompa akan memompakan
air ke sistem.

Bila pipa tegak dilengkapi dengan katup penurunan tekanan pada slang, katup akan bertindak
sebagai katup penahan balik, sehingga mencegah pemompaan ke dalam sistem apabila katup
terbuka.

Suatu sambungan inlet tunggal tambahan untuk pemadam kebakaran atau katup slang dengan ulir
perempuan pada suatu lokasi yang dapat dijangkau pada pipa tegak memungkinkan pemompaan
ke sistem.

A.4.5.1.2 Bila pipa tembaga dipasang di daerah yang lembab atau lingkungan lainnya yang
mendorong terjadinya korosi secara galvanis, maka harus digunakan gantungan dari bahan
tembaga atau gantungan-gantungan dari besi yang dilapisi bahan isolasi.

A.4.7.2 Standar untuk Slang Kebakaran .

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan rak atau alat penggulung untuk
penyimpanan slang ukuran 40 mm (1½ inci), adalah jumlah orang yang ada dan mampu untuk

36 dari 52
SNI 03-1745-2000

mengoperasikan peralatan serta sejauh mana tingkat keterampilannya. Dengan rak slang yang
semi otomatis atau tipe “satu orang”, katup slang harus dibuka lebar terlebih dahulu. Setelah mana
nozel harus dipegang dengan kuat dan saluran slang ditarik menuju ke api. Air secara otomatis
akan keluar bila gulungan slang hampir habis ditarik keluar dari rak.

A.4.9. Lihat gambar A.6.3.

A.4.9.2. Lihat butir 7.7 dan 7.12 untuk persyaratan rancangan.

A.5.6 Meteran tekanan tambahan yang dipasang pada bagian bawah dari pipa tegak
mungkin diperlukan pada beberapa peralatan, terutama pada pabrik besar dan pada bangunan
tinggi.

A.5.7 Alarm yang dapat didengar biasanya dipasang di bagian luar dari bangunan. Bel jenis
gong listrik, klakson atau sirene yang telah disetujui yang dipasang di dalam gedung atau dipasang
di dalam dan di luar gedung kadang-kadang disarankan.

A.6.1 Sambungan dari pompa-pompa kebakaran dan pasokan air dari luar bangunan
disarankan untuk dipasang pada bagian bawah dari pipa tegak.

A.6.1.2.1 Pipa tegak sebaiknya tidak diletakkan di daerah tanpa sprinkler pada konstruksi
bangunan yang mudah terbakar.

A.6.2.5.2 Kombinasi springkler otomatik dan pipa tegak sebaiknya tidak dihubungkan oleh
pemipaan sistem sprinkler.

A.6.3 Lihat Gambar A.6.3

37 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A.6.3. :Sambungan pemadam kebakaran untuk pipa tegak basah

A.6.3.5.4 Perancang sistem perlu menghubungi instansi yang berwenang sebelum menentukan
lokasi dari sambungan pemadam kebakaran.

A.6.7 Lihat Gambar A.6.7.

Lokasi dari dua sambungan slang yang secara hidraulik terjauh : ………………………………………..

Laju aliran rancangan untuk sambungan-sambungan yang teridentifikasi di atas :

Tekanan inlet rancangan dan outlet untuk sambungan-sambungan yang teridentifikasi di atas :
…………………………………………………………………………………………………………………….

Tekanan statik rancangan dan kebutuhan sistem rancangan ( contoh : aliran dan tekanan akhir/residual) pada
sistem katup kontrol, atau pada flens pancaran pompa apabila pompa dipasang, dan pada masing-masing
sambungan pemadam kebakaran : …………………………………………….

Gambar A.6.7 : Tanda Informasi Sistem Hidrolik .


A.7.1 Ketinggian bangunan menentukan jumlah dari zona vertikal. Luas dari suatu lantai atau
daerah kebakaran dan lokasi eksit serta klasifikasi penghuni, akan menentukan jumlah dan lokasi
dari sambungan slang.

Peraturan bangunan setempat mempengaruhi tipe dari sistem, klasifikasi dari sistem dan letak dari
sambungan slang. Ukuran pipa ditentukan oleh jumlah sambungan slang yang dialiri, kuantitas air
yang mengalir, tekanan akhir (residual) yang diperlukan dan jarak vertikal dan horisontal dari

38 dari 52
SNI 03-1745-2000

sambungan slang itu dari suatu sumber air. Untuk gambar elevasi yang tipikal, lihat Gambar A.7.1
(a), (b) dan (c).

Gambar A.7.1.(a) : Sistem zona tunggal

39 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A-7.1.(b) : Sistem dua zona

40 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A-7.1. ( c ) : Sistem banyak zona.

A.7.3.1 Slang diizinkan untuk diletakkan pada satu sisi dari pipa tegak dan dipasok oleh
sambungan lateral yang pendek pada pipa tegak, untuk menghindari rintangan.

41 dari 52
SNI 03-1745-2000

Sambungan slang untuk sistem-sistem Kelas I disarankan untuk dipasang dalam selubung tangga
jalan dan sambungan untuk sistem Kelas II disarankan diletakkan di koridor atau di ruangan
berdekatan dengan selubung tangga jalan keluar dan dihubungi melalui dinding ke pipa tegak.

Untuk sistem Kelas III, sambungan untuk selang 65 mm (2½ inci) disarankan diletakkan di
selubung tangga jalan keluar dan sambungan-sambungan kelas II disarankan diletakkan didalam
koridor atau di ruangan yang berdekatan dengan selubung tangga jalan keluar.

Pengaturan ini memungkinkan untuk menggunakan secara tepat slang sistem Kelas II bila tangga
jalan keluar penuh dengan orang-orang yang sedang lari keluar pada saat terjadinya kebakaran.
Dalam bangunan yang luas areanya besar, sambungan untuk sistem-sistem Kelas I dan Kelas III
dapat diletakkan pada kolom yang berada dalam bangunan.

A.7.3.2 Sambungan slang yang ditentukan untuk diletakkan pada bordes antar lantai untuk
mencegah terjadinya rintangan pada jalan pintu. Bila terdapat lebih dari satu bordes antara dua
lantai, maka sambungan slang disarankan untuk diletakkan pada bordes yang letaknya kurang
lebih di tengah-tengah antara lantai.

Diketahui bahwa petugas pemadam kebakaran sering menggunakan sambungan slang pada
lantai di bawah lantai yang terbakar, dan lokasi dari sambungan slang pada bordes, hal ini juga
mengurangi jangkauan jarak jalur slang. Pendekatan untuk meletakkan sambungan slang dengan
memperhatikan eksit diperlihatkan pada Gambar A.7.3.2 (a), (b) dan (c).

Gambar A.7.3.2.(a).: Lokasi sambungan slang pada tangga kebakaran.

42 dari 52
SNI 03-1745-2000

Gambar A.7.3.2. (b).: Lokasi sambungan slang pada eksit horisontal.

Gambar A.7.3.2. (c ).: Lokasi sambungan slang dalam jalan terusan eksit.

Untuk tujuan standar ini, istilah-istilah berikut ini ditentukan untuk digunakan dalam hal peletakan
sambungan slang.

a). Jalan terusan eksit.

Hall, lorong, koridor-koridor, jalan lintas dan terowongan digunakan sebagai komponen eksit
dan terpisah dari bagian bangunan lainnya .

43 dari 52
SNI 03-1745-2000

b). Eksit horisontal.

Suatu jalan terusan dari suatu daerah didalam bangunan ke suatu daerah di bangunan yang
lain pada kurang lebih satu level atau suatu jalan lintas melalui atau disekitar rintangan api
dari suatu daerah ke yang lainnya pada kurang lebih satu level didalam bangunan yang
sama yang dapat memberikan keamanan (safety) terhadap api dan asap yang berasal dari
daerah timbulnya dan daerah-daerah yang berhubungan dengannya.

A.7.3.2.(f). Butir ini bermaksud untuk memberikan kepada instansi pemadam kebakaran setempat
wewenang untuk mempersyaratkan slang tambahan di luar atau pemisah dengan ketahanan api 2
jam. Tambahan sambungan slang ini mungkin diperlukan oleh petugas pemadam kebakaran
untuk mematikan api dalam jangka waktu yang wajar; sesuai dengan panjang slang khusus yang
tersedia pada kotak pipa tegak untuk pemadam kebakaran atau pada kantong yang dibawa oleh
petugas.

Sementara itu sudah diketahui bahwa batasan jarak outlet akan membatasi panjangnya slang
yang diperlukan untuk memadamkan api, demikian pula dapat mengurangi beban fisik petugas
pemadam kebakaran.

Perlu dipahami juga bahwa dalam hal-hal tertentu berdasarkan denah arsitektur, mungkin
diperlukan outlet tambahan (additional outlets) didaerah lantai terbuka untuk dapat menjangkau
keseluruh lantai tersebut. Dalam hal-hal demikian, adalah hampir tak mungkin bahwa outlet
semacam itu dapat digunakan, karena tidak adanya daerah berpijak untuk petugas pemadam
kebakaran ketika akan menjangkau sambungan slang. Oleh karena itu, sambungan slang
tambahan perlu disediakan untuk memenuhi ketentuan jarak, dan disarankan untuk diletakkan
didalam koridor eksit yang mempunyai ketahanan api 1 jam. Hal ini memungkinkan menambah
tingkat keamanan bagi petugas pemadam kebakaran untuk menjangkau sambungan slang.

Sambungan slang demikian perletakan di setiap lantai juga harus seseragam mungkin sehingga
petugas pemadam kebakaran dapat dengan mudah menemukannya pada waktu terjadi
kebakaran.

Sudah diketahui bahwa jarak antar sambungan slang 61 m (200 ft) diizinkan untuk bangunan yang
dilengkapi springkler, namun mungkin masih diperlukan slang tambahan untuk dapat menjangkau
bagian dari lantai yang terjauh. Dengan adanya springkler otomatik akan memberikan waktu yang
cukup bagi petugas pemadam kebakaran untuk menyambung slang dalam kondisi letak api
berada di daerah yang terjauh.

A.7.3.3 Kotak slang sebaiknya disusun untuk memungkinkan pancaran langsung dari nozel
mencapai seluruh bagian yang penting dari bagian yang tertutup seperti lemari tanam dan bagian
yang tertutup sejenis.

A.7.7 Dalam menentukan tekanan pada outlet sambungan slang yang jauh, faktor hilangnya
tekanan pada katup slang perlu dipertimbangkan.

Adalah sangat penting bahwa instansi pemadam kebakaran memilih nozel yang sesuai untuk pipa
tegak yang mereka gunakan dalam operasi memadamkan api.

Nozel tipe semburan takanan konstan otomatik disarankan untuk tidak digunakan untuk operasi
pipa tegak, karena banyak dari tipe ini memerlukan tekanan minimum 6,9 bar (100 psi) pada
masukan nozel untuk memproduksi aliran air guna pemadaman api yang effektip dan wajar. Pada

44 dari 52
SNI 03-1745-2000

operasi pipa tegak, hilangnya tekanan akibat gesekan pada slang, dapat mengakibatkan tidak
tercapainya tekanan 6,9 bar (100 psi) pada nozel.

Pada sistem pipa tegak yang tinggi yang dilengkapi dengan katup penurunan tekanan, petugas
pemadam kebakaran hanya dapat sedikit mengatur atau sama sekali tidak dapat mengatur
tekanan keluaran katup slang.
Tabel A.7.7.: Kesimpulan kerugian gesekan pada aliran dalam slang.

No Aliran Katup outlet


Nozel/Slang
perhitungan (gpm) (L/menit) (psi) (bar)
Kombinasi nozel 2½ inci dengan
1 panjang slang 150 ft dan 250 946 123 8,5
diameter slang 2½ inci.
Lubang halus 2½” dengan ujung
2 1 18 inci dan slang 2½ inci 250 946 73 5
dengan panjang 150 ft.
Kombinasi dari nozel 1½ inci
dengan slang 1½” panjang 100 ft
3 250 946 149 10,3
per nozel, 2½ inci TY, dan slang
2½ inci panjang 50 ft.
Sama seperti perhitungan No.3
4 dengan dua slang diameter 1¾ 250 946 139 9,6
inci dan panjang 100 ft.
Sama seperti perhitungan No.3
5 dengan dua slang diameter 2 250 946 120 8,3
inci dan panjang slang 100 ft.
Kombinasi nozel 1½” dengan
6 panjang slang 150 ft dan 200 757 136 9,4
diameter slang 2 inci.
Sama seperti perhitungan No.6
7 200 757 168 11,6
dengan slang diameter 1¾ inci .
A.7.8 Akibat adanya perbedaan pembatasan tekanan sebagaimana ditetapkan di butir 7-8,
mungkin perlu dilakukan pengaturan susunan pemipaan sehingga dapat disediakan peralatan
pengaturan tekanan terpisah untuk sambungan slang Kelas I dan Kelas II.

A.7-9.1.1 Bila suatu sistem pasokan air memasok lebih dari satu bangunan atau lebih dari satu
daerah kebakaran, jumlah pasokan air dapat dihitung berdasarkan pada satu bangunan atau
daerah kebakaran, dengan kebutuhan jumlah pipa tegak yang terbanyak.

A.7.9.1.3.1 Daftar berikut ini menyediakan contoh-contoh hunian berdasarkan macam


klasifikasi bahaya kebakaran. Contoh-contoh ini bermaksud mewakili bentuk untuk tipe hunian
tersebut. Beban bahan bakar yang tidak lazim dan normal atau sifat yang mudah terbakar dan
mudah berubah terhadap sifat ini untuk suatu hunian tertentu, perlu dipertimbangkan dalam
melakukan seleksi dan klasifikasi.

Klasifikasi beban kebakaran ringan bermaksud untuk mencakup hunian, namun tidak menghalangi
penggunaan springkler untuk perumahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau bagian
hunian lainnya.

45 dari 52
SNI 03-1745-2000

a). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Ringan termasuk hunian yang mempunyai kondisi
serupa dengan :

1) Rumah ibadah

2) Gedung pertemuan (klub)

3) Bagian-bagian atap (‘eaves’) dan serambi-serambi (over hangs), bila konstruksi terbuat
dari bahan yang mudah terbakar dengan dibawahnya tidak ada bahan yang mudah
terbakar.

4) Bangunan pendidikan.

5) Rumah Sakit

6) Perpustakaan-perpustakaan, kecuali ruangan-ruangan dengan tumpukan besar.

7) Musium-musium

8) Rumah-rumah perawatan atau rumah-rumah pemulihan kesehatan

9) Bangunan-bangunan kantor, termasuk daerah prosessing data

10) Kediaman / perumahan

11) Restoran, daerah tempat duduk

12) Teater dan auditorium, tidak termasuk panggung dan ruangan-ruangan antara layar
dan orkes .

13) Ruangan atap yang tidak digunakan

b). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Sedang (Ordinary Hazard Occupancies) Kelompok 1,
termasuk hunian-hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Parkir untuk mobil dan ruangan pamer

2) Bakeri

3) Pabrik pembuat minum

4) Pabrik pengalengan

5) Pabrik pembuat dan pemroses produk susu

6) Pabrik elektronik

7) Pabrik gelas dan membuat produk gelas

8) Binatu

9) Restoran, daerah servis

46 dari 52
SNI 03-1745-2000

c). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Sedang (Ordinary Hazard Occupancies) Kelompok 2,
termasuk hunian-hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Penggilinga produk biji-bijian

2) Pabrik kimia (sedang)

3) Pabrik pembuat produk gula-gula

4) Pabrik destilasi

5) Pencucian dengan sistem kering/kimia

6) Penggilingan makanan ternak

7) Kandang kuda

8) Pabrik pengolahan bahan kulit

9) Perpustakaan (dengan daerah tumpukan besar)

10) Pabrik permesinan

11) Pabrik pekerjaan metal

12) Perdagangan (mercantile)

13) Penggilingan kertas dan pulp

14) Pebrik pemroses kertas

15) Kade dan dermaga

16) Kantor pos (besar)

17) Penerbitan dan percetakan

18) Bengkel reparasi mobil

19) Panggung teater

20) Pabrik textile

21) Pabrik ban

22) Pabrik pembuat produk tembakau

23) Pabrik pengerjaan kayu dengan mesin

24) Pabrik perakitan produk kayu

47 dari 52
SNI 03-1745-2000

d). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Besar (‘Extra Hazard Occupancies’) kelompok 1,
termasuk hunian yang mempunyai kondisi serupa dengan :

1) Hangga pesawat terbang

2) Daerah dimana digunakan fluida hidrolik yang mudah terbakar

3) Pengecoran

4) Ekstrusi metal

5) Pabrik plywood dan papan partikel

6) Percetakan (menggunakan tinta yang mempunyai titik nyala dibawah 37,9 oC (100oF)

7) Pabrik daur ulang karet, penggabungan karet, pengeringan karet, penggilingan karet,
vulkanisir karet .

8) Penggergajian kayu

9) Bangunan pemroses khusus tekstil seperti: textile picking, opening, blending, garneting
and carding, combining cotton, synthetics, wool shoddy or burlap.

10) Bengkel dimana dilakukan pekerjaan melapis dengan foam plastik (upholstering with
plastic foams)

e). Hunian dengan Bahaya Kebakaran Besar (‘Extra Hazard Occupancies’) kelompok 2,
termasuk hunian yang mempunyai kondisi-kondisi serupa dengan :

1) Pabrik Asphalt Saturating

2) Pabrik yang mempunyai kegiatan penyemprotan dengan bahan cair yang mudah
terbakar (flammable liquids spraying)

3) Pabrik pemrosesan plastik

4) Solvent cleaning

5) Pabrik / bengkel dimana dilakukan pekerjaan varnish dan pengecatan dengan cara
pencelupan

6) Dan pabrik atau tempat-tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan dengan resiko
kebakaran yang tinggi lainnya sesuai dengan ketentuan pihak instansi yang
berwenang.

A.7.11 Selama melakukan pengetesan aliran dari katup-katup penurun tekanan, perlu
diperhatikan untuk membuat sambungan pembuangan (drain) pada pipa tegak . Suatu celah udara
(air gap) perlu dipertahankan untuk mencegah terjadinya hubungan silang (cross connection)
dengan pasokan air yang tidak memenuhi syarat untuk diminum (‘nonpotable water sources’).

A.8.1 Perencanaan perlu mengindentifikasi tipe dari peralatan pemadam kebakaran yang
direncanakan oleh sistem untuk dilayani, termasuk ukuran selang, panjang selang dan nozel.

48 dari 52
SNI 03-1745-2000

Peralatan tersebut diatas merupakan faktor dalam melakukan pemilihan tekanan sesuai dengan
butir 7.7.

A.8.2. Batas tekanan sistem diterapkan untuk menggantikan unit ketinggian sebelumnya.
Sebab permasalahannya ditujukan pada batas ketinggian yang selalu merupakan tekanan
maksimum. Pembatasan tekanan merupakan metoda yang lebih langsung untuk pengaturan dan
memungkinkan fleksibilitas dalam ketinggian unit dimana pompa digunakan, karena suatu kurva
pompa dengan tekanan lebih rendah pada pengaduk pompa (churn) sehingga menghasilkan
tekanan sistem maksimum yang lebih rendah pada saat mencapai kebutuhan sistem yang
diperlukan.

Tekanan sistem maksimum biasanya terjadi pada pengaduk pompa (churn). Pengukuran
dilakukan untuk kedua-duanya, tekanan pompa dan tekanan statis jaringan kota.

Batasan 24 bar ( 350 psi ) dipilih karena merupakan tekanan maksium yang dapat dipenuhi oleh
banyak komponen sistem, dan batasan tersebut menunjukkan mengetahui keperluan tekanan unit
yang wajar.

A.9.1 Dalam melakukan pemilihan pasokan air perlu dikoordinasikan dengan instansi yang
berwenang.

A.10.1 Bila sambungan pipa tegak dipasang dalam dinding-dinding atau partisi , tes hidrostatik
perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum mereka ditutup atau sebelum ditutup dengan bahan
penutup (seal) secara permanen.

Contoh : Tekanan uji hidrostatik yang dipersyaratkan. Pasokan air untuk suatu sistem pipa tegak,
adalah sambungan ke pipa-pipa utama untuk umum. Suatu pompa dengan tekanan yang
ditentukan 100 psi (6,9 bar) dipasang disambungan. Dengan tekanan maksimum normal pada
pasokan air untuk umum sebesar 70 psi (4,9 bar) pada titik elevasi yang rendah dari sistem atau
zona yang sedang dites dan dengan suatu tekanan pompa 120 psi (8,3 bar), maka tekanan tes
hidrolik adalah 70 psi + 120 psi + 50 psi atau 240 psi (16,6 bar).

(Lihat NFPA 24, Standard for the Installation of Private Fire Service Mains and Their
Appurtenances, for permitted leakage in underground piping).

A.10.4.1 Pengetesan dan penggelontoran dari pipa bawah tanah, perlu dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

A.10-5.1 Sambungan slang didalam suatu bangunan yang secara hidrolik yang terjauh,
umumnya berada di manifold pada atap, pada bagian teratas dari tangga yang menuju ke atap.
Pada sistem multizona, cara pengetesan pada umumnya dilakukan pada header untuk tes atau
pada suatu tanki isap (suction tank) pada lantai-lantai lebih tinggi.

Bila pengetesan aliran pada sambungan slang yang secara hidrolik paling jauh tidak praktis untuk
dilaksanakan, maka perlu dikonsultasikan kepada instansi yang berwenang untuk menentukan
tempat pengetesan yang cocok.

A.11.5 Disarankan agar ada suatu box yang kuat, diutamakan terbuat dari metal, diletakkan
pada sambungan selang yang tertinggi, dimana dilengkapi dengan kuantitas selang yang cukup
untuk menjangkau semua bagian-bagian dari lantai, suatu mulut slang (nozel) ukuran 29 mm (1 18
inci ), perkakas untuk membuka dan pengikat selang.

49 dari 52
SNI 03-1745-2000

A.11.6 Sambungan slang pada bagian teratas, disarankan untuk tidak diletakkan lebih dari
satu lantai dibawah perancah (forms) yang tertinggi, lantai kerja (staging) dan bahan serupa yang
mudah terbakar pada setiap waktu.

50 dari 52
SNI 03-1745-2000

PADANAN KATA.
Alat pengatur tekanan. Pressure Control valve
Alat penghambat tekanan. Pressure restricting device.
Bangunan bertingkat tinggi. High rise building.
Instansi yang berwenang. Authority having jurisdiction.
Katup kendali Control valve.
Katup kendali tekanan. Pressure regulating device.
Katup penurun tekanan. Pressure reducing valve.
Katup slang Hose valve.
Kebutuhan sistem System demand.
Kotak slang Hose station.
Pipa cabang Branch line.
Pipa tegak Standpipe
Pipa tegak basah Wet standpipe.
Pipa tegak kering Dry standpipe.
Pipa utama Feed main.
Sambungan regu pemadam kebakaran. Fire department connection.
Sambungan slang Hose connection.
Sistem kombinasi Combined system.
Sistem pipa tegak Standpipe system.
Sistem pipa tegak manual. Manual standpipe system.
Sistem pipa tegak otomatis Automatic standpipe system.
Sistem pipa tegak semi otomatis. Semiautomatic standpipe system.
Tekanan akhir. Pressure, residual.
Tekanan nozle. Pressure, nozzle.
Tekanan statis. Pressure, static.
Zona sistem pipa tegak Standpipe system zone.

51 dari 52
SNI 03-1745-2000

Bibliografi

1 NFPA 13 : Standard for Installation of Sprinkler Systems, 1994 edition.

2 NFPA 13E : Guide for Fire Department Operations in Prop[erties Protected by


Sprinkler and Standpipe systems, 1995 edition.

3 NFPA 20 : Standard for Installation of Centrifugal Fire Pumps, 1993 edition.

4 NFPA 22 : Standard for Water Tanks for Private Protection, 1996 edition.

5 NFPA 24 : Standard for Installation of Private Fire Service Mains and Their
Appurtenances, 1995 edition.

6 NFPA 25 : Standard for Inspection, Testing and Maintenance of Water Based Fire
Protection System, 1995 edition.

7 NFPA 101 : Life Safety Code, 1994 edition.

8 NFPA 1901 : Standard for Pumper Fire Apparatus, 1991 edition.

9 NFPA 1961 : Standard for Fire Hose, 1992 edition.

10 NFPA 1964 : Standard for Spray nozzle (Shutoff and Tip), 1993 edition.

11 ASTM E-380 : “Standard Practice for Use of the International System of Units (SI),
1993.

52 dari 52
SNI 03-1746-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan


Sarana Jalan Ke Luar Untuk Penyelamatan
Terhadap Bahaya Kebakaran Pada
Bangunan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03 – 1746 - 2000

Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk


penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

1. Ruang lingkup.

1.1. Standar ini ditujukan untuk keselamatan jiwa dari bahaya kebakaran. Ketentuan-
ketentuannya juga akan membantu keselamatan jiwa dari keadaan darurat yang
serupa.
1.2. Standar ini mencakup aspek : konstruksi, proteksi dan penghunian, untuk
meminimalkan bahaya kebakaran terhadap jiwa, termasuk asap, gas dan kepanikan.
1.3. Standar ini menetapkan kriteria minimal untuk perancangan fasilitas jalan keluar yang
aman, sehingga memungkinkan penghuni menyelamatkan diri dengan cepat dari
dalam bangunan, atau bila dikehendaki ke dalam daerah aman di dalam bangunan.

2. Acuan.

a). NFPA 101 : Life Safety Code, 1997 Edition, National Fire Protection Association.

3. Istilah dan definisi.

3.1.
akses eksit.
bagian dari sarana jalan ke luar yang menuju ke sebuah eksit.

Gambar 3.1 : Akses eksit.


3.2.
cacat mobilitas yang serius.
kemampuan untuk bergerak ke arah tangga tetapi tidak dapat menggunakan tangga.
3.3.
daerah tempat berlindung (lihat butir 5.12 ).
Suatu daerah tempat berlindung, adalah salah satu dari :

1 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

a). satu tingkat dalam bangunan, dimana bangunan tersebut diproteksi menyeluruh oleh
sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-
3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, dan mempunyai paling
sedikit dua ruangan atau tempat yang dapat dicapai dan terpisah satu sama lain oleh
partisi yang tahan asap, atau
b). satu tempat, di dalam satu jalur lintasan menuju jalan umum yang diproteksi dari
pengaruh kebakaran, baik dengan cara pemisahan dengan tempat lain di dalam
bangunan yang sama atau oleh lokasi yang baik, sehingga memungkinkan adanya
penundaan waktu dalam lintasan jalan ke luar dari tingkat manapun .
3.4.
daerah tempat berlindung.
suatu tempat berlindung yang pencapaiannya memenuhi persyaratan rute sesuai ketentuan
yang berlaku.
3.5.
eksit horisontal.
suatu jalan terusan dari satu bangunan ke satu daerah tempat berlindung di dalam
bangunan lain pada ketinggian yang hampir sama, atau suatu jalan terusan yang melalui
atau mengelilingi suatu penghalang api ke daerah tempat berlindung pada ketinggian yang
hampir sama dalam bangunan yang sama, yang mampu menjamin keselamatan dari
kebakaran dan asap yang berasal dari daerah kejadian dan daerah yang berhubungan.
3.6.
eksit.
bagian dari sebuah sarana jalan ke luar yang dipisahkan dari tempat lainnya dalam
bangunan gedung oleh konstruksi atau peralatan sesuai butir 4.1.2 untuk menyediakan
lintasan jalan yang diproteksi menuju eksit pelepasan.

Gambar 3.6. Eksit.


3.7.
eksit pelepasan.
bagian dari sarana jalan ke luar antara batas ujung sebuah eksit dan sebuah jalan umum.

2 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 3.7 : Eksit pelepasan.


3.8.
jalur lintasan bersama.
bagian dari akses eksit yang dilintasi sebelum dua jalur lintasan terpisah dan berbeda
menuju dua eksit yang tersedia. Jalur yang tergabung adalah jalur lintasan bersama.

Gambar 3.8 : Jalur lintas bersama.


3.9.
lobi lif.
sebuah tempat dari mana orang langsung memasuki kereta lif dan ke mana orang langsung
ke luar dari kereta lif.
3.10.
pintu lif lobi.
sebuah pintu diantara lif lobi dan satu tempat pada bangunan yang bukan saf lif.
3.11.
ram.
suatu jalan yang memiliki kemiringan lebih curam dari 1 : 20.
3.12.
ruang tertutup tahan asap.
sebuah ruang tertutup untuk tangga dirancang untuk membatasi pergerakan dari hasil
pembakaran.

3 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

3.13.
sarana jalan ke luar yang dapat dilalui.
suatu jalur lintasan yang dapat digunakan oleh seseorang dengan cacat mobilitas yang
menuju jalan umum atau suatu daerah tempat berlindung.
3.14.
sarana jalan ke luar.
suatu jalan lintasan yang menerus dan tidak terhambat dari titik manapun dalam bangunan
gedung ke jalan umum, terdiri dari tiga bagian yang jelas dan terpisah; akses eksit, eksit dan
eksit pelepasan.
3.15.
sistem evakuasi dengan lif.
sebuah sistem, termasuk sederetan vertikal lobi lif, meliputi pintu lobi lif, saf lif dan ruangan
mesin yang menyediakan proteksi dari pengaruh kebakaran bagi penumpang lif, orang yang
menunggu lif, dan peralatan lif, untuk dapat menggunakan lif sebagai jalan ke luar.

4. Persyaratan umum.

Sarana jalan ke luar pada bangunan baru maupun yang sudah ada harus memenuhi bagian/
pasal ini.
4.1. Pemisahan dari sarana jalan ke luar.
4.1.1. Koridor akses eksit.
Koridor yang digunakan sebagai akses eksit dan melayani suatu daerah yang memiliki suatu
beban hunian lebih dari 30 harus dipisahkan dari bagian lain dari bangunan dengan dinding
yang mempunyai tingkat ketahanan api 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata
cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung.

Gambar 4.1.1. Koridor akses eksit.


Pengecualian 1 :
Bangunan yang sudah ada, asalkan klasifikasi huniannya tidak berubah.
Pengecualian 2 :
Seperti disebutkan pada klasifikasi bangunan 2 sampai dengan 9b.
4.1.2. Eksit.
4.1.2.1. Apabila suatu eksit dipersyaratkan dalam standar ini supaya terpisah dari bagian
lain bangunan, konstruksi pemisah harus memenuhi ketentuan seperti berikut :

4 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

a). Pemisah mempunyai tingkat ketahanan api sedikitnya 60/60/60 atau sesuai SNI 03-
1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung, pada eksit yang menghubungkan tiga
lantai atau kurang; dan
b). Pemisah mempunyai tingkat ketahanan api sedikitnya 120/120/120 atau sesuai SNI
03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung, pada eksit yang menghubungkan empat
lantai atau lebih. Pemisah tersebut dikonstruksikan dari satu rakitan bahan yang tidak
terbakar atau tidak mudah terbakar dan harus didukung dengan konstruksi yang
mempunyai tingkat ketahanan api paling sedikit 120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-
2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung; dan
Pengecualian 1 untuk b). :
Di dalam bangunan tidak bertingkat yang sudah ada, ruang tertutup untuk tangga eksit harus mempunyai tingkat
ketahanan api paling sedikit 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem
proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 2 untuk b) :
Bangunan yang sudah ada terproteksi menyeluruh oleh satu sistem springkler otomatis yang terawasi dan
disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000, ruang tertutup untuk tangga yang ada harus memiliki tingkat
ketahanan api tidak kurang dari 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem
proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
c). Bukaan yang ada, diproteksi oleh rakitan pintu kebakaran yang dilengkapi dengan
penutup pintu, harus memenuhi ketentuan pada butir 5.1.8 ; dan
d). Bukaan di dalam ruangan tertutup untuk eksit, dibatasi hanya yang diperlukan untuk
akses ke ruangan itu dari tempat dan koridor untuk jalan keluar dari ruang tertutup itu;
dan
Pengecualian untuk d).
Jalan terusan eksit dalam bangunan mal tertutup seperti disediakan untuk bangunan perdagangan.
e). Tembusan ke dalam bukaan melalui suatu rakitan ruang tertutup untuk eksit dilarang
kecuali untuk konduit listrik yang melayani jalur tangga, pintu eksit, yang diperlukan
untuk pekerjaan ducting dan peralatan tersendiri yang diperlukan untuk membuat
ruang tangga bertekanan, pemipaan springkler, pipa tegak; dan
Pengecualian 1 untuk e). :
Tembusan yang sudah ada diproteksi sesuai ketentuan tentang penembusan pada penghalang api.
Pengecualian 2 untuk e) :
Tembusan untuk sirkit alarm kebakaran diijinkan di dalam ruang dimana sirkit itu dipasang di dalam konduit
logam dan tembusan diproteksi sesuai ketentuan tentang penembusan pada penghalang api.
f). Tembusan atau bukaan penghubung antara ruang tertutup untuk eksit yang
bersebelahan dilarang.
4.1.2.2. Suatu ruangan tertutup untuk eksit harus menyediakan jalur lintasan menerus
terproteksi menuju eksit pelepasan.

5 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

4.1.2.3. Suatu ruangan tertutup untuk eksit tidak boleh digunakan untuk maksud di luar
kegunaannya sebagai eksit, dan bila dirancang demikian, dapat digunakan sebagai daerah
tempat berlindung ( lihat juga butir 5.2.5.3 ).
4.1.3. Jalan terusan eksit.
Suatu jalan terusan eksit yang melayani pelepasan dari satu ruang tertutup untuk tangga
harus mempunyai tingkat ketahanan api yang sama dan proteksi bukaan mempunyai tingkat
proteksi kebakaran seperti dipersyaratkan untuk ruang tertutup untuk tangga dan harus
terpisah dari bagian lain dari bangunan sesuai butir 4.1.2.
Pengecualian 1 :
Jendela kebakaran sesuai ketentuan yang berlaku tentang perlindungan terhadap bukaan, dipasang pada satu
pemisah di dalam bangunan yang diproteksi menyeluruh oleh suatu sistem springkler otomatis yang terawasi dan
disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 2 :
Panel kaca berkawat yang sudah ada terpasang tetap pada jendela baja pada suatu pemisah pada suatu
bangunan yang diproteksi menyeluruh oleh suatu sistem springkler otomatis yang terawasi dan disetujui serta
dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
4.1.4. Bahan finis interior pada eksit.
Penyebaran api untuk bahan finis interior pada dinding, langit-langit dan lantai harus dibatasi
sampai klas A atau klas B dalam ruang tertutup untuk eksit sesuai ketentuan yang berlaku
untuk bahan finis interior dinding, lantai dan langit-langit.
4.1.5. Tinggi ruangan.
Sarana jalan ke luar harus dirancang dan dijaga untuk mendapatkan tinggi ruangan seperti
yang ditentukan di dalam standar ini dan harus sedikitnya 2,3 m ( 7ft, 6 inci ) dengan bagian
tonjolan dari langit-langit sedikitnya 2 m ( 6 ft, 8 inci ) tinggi nominal di atas lantai finis. Tinggi
ruangan di atas tangga harus minimal 2 m ( 6 ft, 8 inci ), dan harus diukur vertikal dari ujung
anak tangga ke bidang sejajar dengan kemiringan tangga.
Pengecualian :
Pada bangunan yang sudah ada, tingginya langit-langit harus tidak kurang dari 2,1 m ( 7 ft ) dari lantai dengan
tanpa penonjolan di bawah 2 m ( 6 ft, 8 inci ) tinggi nominal dari lantai.

6 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 4.1.5. : Tinggi ruangan.


4.1.6. Perubahan ketinggian di dalam sarana jalan ke luar.
4.1.6.1. Perubahan ketinggian di dalam sarana jalan ke luar lebih dari 50 cm ( 21 inci )
harus diselesaikan dengan ram atau tangga.
4.1.6.2. Perubahan ketinggian sarana jalan ke luar tidak lebih dari 50 cm ( 21 inci ) harus
menggunakan satu ram atau tangga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keberadaan
dan lokasi bagian ram dan jalur jalan harus mudah terlihat. Kedalaman anak tangga dari
tangga tersebut minimum harus 30 cm ( 13 inci ), dan keberadaan serta lokasi setiap tangga
harus mudah terlihat.

Gambar 4.1.6.2. : Perubahan ketinggian pada sarana jalan ke luar.


4.1.7. Pagar pengaman.
Pagar pengaman yang sesuai harus tersedia di sisi bagian terbuka dari sarana jalan keluar
yang lebih dari 70 cm ( 30 inci ) di atas lantai atau di bawah tanah.
4.1.8. Kualitas konstruksi, rintangan pada sarana jalan ke luar.
4.1.8.1. Komponen sarana jalan ke luar harus dari konstruksi yang sangat andal dan
harus dibangun atau dipasang dengan cara yang terampil.
4.1.8.2. Tanda peringatan atau alarm apapun yang dipasang untuk membatasi
penggunaan secara tidak benar sarana jalan ke luar harus dirancang dan dipasang sehingga
tidak dapat, walaupun dalam keadaan rusak, merintangi atau mencegah penggunaan
darurat dari sarana jalan ke luar itu.

7 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

4.1.9. Keandalan sarana jalan ke luar.


4.1.9.1. Sarana jalan ke luar harus dipelihara terus menerus, bebas dari segala
hambatan atau rintangan untuk penggunaan sepenuhnya pada saat kebakaran atau pada
keadaan darurat lainnya.
4.1.9.2. Perlengkapan dan dekorasi di dalam sarana jalan ke luar.
4.1.9.2.1. Perlengkapan, dekorasi atau benda-benda lain tidak boleh diletakkan sehingga
mengganggu eksit, akses ke sana, jalan ke luar dari sana atau mengganggu pandangan.
4.1.9.2.2. Harus tidak ada hambatan karena sandaran pagar, penghalang atau pintu yang
membagi tempat terbuka menjadi bagian yang berfungsi sebagai ruangan tersendiri,
apartemen atau penggunaan lain.
Apabila instansi yang berwenang menjumpai jalur lintasan yang dipersyaratkan dihambat
oleh perlengkapan atau benda yang dapat dipindah-pindah lainnya, instansi yang berwenang
tersebut berhak untuk mengharuskan benda itu disingkirkan dan dikeluarkan dari jalur
lintasan atau berhak mempersyaratkan pagar penghalang atau pelindung permanen lainnya
dipasang untuk memproteksi jalur lintasan terhadap penyempitan.
4.1.9.2.3. Cermin harus tidak dipasang pada pintu eksit. Cermin tidak boleh dipasang di
dalam atau dekat eksit manapun sedemikian rupa yang dapat membingungkan arah jalan ke
luar.

5. Komponen-komponen sarana jalan ke luar.

5.1. Pintu.
5.1.1. Umum.
5.1.1.1. Sebuah rakitan pintu dalam suatu sarana jalan ke luar harus memenuhi
persyaratan umum pasal 4 dan persyaratan khusus dari sub bagian ini. Rakitan seperti itu
harus dirancang sebagai sebuah pintu.
5.1.1.2. Setiap pintu dan setiap jalan masuk utama yang dipersyaratkan untuk melayani
sebagai sebuah eksit harus dirancang dan dibangun sehingga jalan dari lintasan ke luar
dapat terlihat jelas dan langsung.
Jendela yang karena konfigurasi fisiknya atau rancangan dan bahan yang digunakan dalam
pembangunannya mempunyai potensi dikira pintu, harus dibuat tidak dapat dimasuki oleh
penghuni dengan memasang penghalang atau pagar.
5.1.1.3. Untuk tujuan pasal 5, sebuah bangunan harus dihuni setiap saat, sejak
dinyatakan terbuka, terbuka untuk umum, atau pada waktu lainnya yang dihuni oleh lebih
dari 10 orang.

5.1.2. Lebar jalan ke luar.


5.1.2.1. Untuk menetapkan lebar jalan ke luar dari suatu jalur pintu dalam upaya
menghitung kapasitasnya, hanya lebar bebas dari jalur pintu harus diukur ketika pintu dalam
posisi terbuka penuh. Lebar bebas harus ukuran lebar bersih yang bebas dari tonjolan.
Bukaan pintu untuk sarana jalan ke luar harus sedikitnya memiliki lebar bersih 80 cm(32 inci)
Bila digunakan pasangan daun pintu maka sedikitnya salah satu daun pintu memiliki lebar
bersih minimal 80 cm ( 32 inci ).

8 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.1.2.1. : Lebar bersih pintu.


Pengecualian 1 :
Pintu yang menuju jalan keluar yang melayani luas ruangan tidak lebih dari 6,5 m2 ( 70 ft2 ) dan tidak digunakan
oleh orang yang berkursi roda harus memiliki lebar minimal 60 cm ( 24 inci ).
Pengecualian 2 :
Pada bangunan yang sudah ada sebelumnya, lebar pintu harus sedikitnya 70 cm ( 28 inci ).
Pengecualian 3 :
Daun pintu bertenaga yang terletak dalam bukaan dua daun pintu dikecualikan dari ketentuan minimum 80 cm
( 32 inci ) untuk daun pintu tunggal sesuai pengecualian 2 pada butir 5.1.9.
5.1.3. Ketinggian lantai.
Ketinggian permukaan lantai pada kedua sisi pintu tidak boleh berbeda lebih dari 12 mm ( ½
inci ). Ketinggian ini harus dipertahankan pada kedua sisi jalur pintu pada jarak sedikitnya
sama dengan lebar daun pintu yang terbesar. Tinggi ambang pintu tidak boleh menonjol
lebih dari 12 mm ( ½ inci ). Ambang pintu yang ditinggikan dan perubahan ketinggian lantai
lebih dari 6 mm ( ¼ inci ) pada jalur pintu harus dimiringkan dengan kemiringan tidak lebih
curam dari 1 : 2.
Pengecualian 1:
Pada bangunan rumah tinggal yang dihuni satu hingga dua keluarga dan di bangunan yang sudah ada pintunya
menuju ke halaman luar atau ke balkon luar ataupun ke jalur eksit di luar bangunan, maka tinggi permukaan
lantai di luar pintu dibolehkan lebih rendah dibandingkan dengan muka lantai di dalam bangunan namun
perbedaan ini tidak lebih dari 20 cm ( 8 inci ).
Pengecualian 2:
Pada bangunan rumah tinggal yang dihuni oleh satu hingga dua keluarga serta pada bangunan yang sudah ada,
maka pintu di bagian atas tangga dibolehkan terbuka langsung pada tangga asalkan pintu tidak membuka ke
arah tangga dan pintu melayani suatu daerah dengan beban penghuni kurang dari 50 orang.
5.1.4. Ayunan dan gaya untuk membuka.
5.1.4.1. Setiap pintu pada sarana jalan keluar harus dari jenis engsel sisi atau pintu ayun.
Pintu harus dirancang dan dipasang sehingga mampu berayun dari posisi manapun hingga
mencapai posisi terbuka penuh.

9 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian 1:
Komponen sarana jalan ke luar seperti kisi-kisi pengaman geser horizontal dan kisi-kisi pengaman digulung
vertikal ataupun pintu yang merupakan bagian dari sarana jalan ke luar diijinkan dipasang pada bangunan,
asalkan :
a). Komponen tersebut kokoh terpasang pada posisi terbuka penuh selama waktu penghunian, dan
b). Pada ataupun dekat lokasi pintu, harus dipasang tanda yang dapat dilihat secara jelas bertuliskan :

“ PINTU INI TETAP TERBUKA SAAT BANGUNAN DIHUNI “


dengan ukuran huruf sedikitnya 2,5 cm ( 1 inci ) tinggi huruf dengan latar belakang yang kontras.
c). Pintu dan kisi-kisi dapat dioperasikan dari dalam ruang secara mudah, tanpa membutuhkan upaya dan
pengetahuan khusus, dan.
d). Bilamana diperlukan 2 atau lebih jalur jalan ke luar maka tidak lebih dari separuh dari sarana jalan ke luar
tersebut dilengkapi dengan penutup atau pintu, baik dari tipe geser horizontal maupun gulung vertikal.
Pengecualian 2 :
Pintu tipe geser horizontal memenuhi ketentuan dalam butir 5.1.14.
Pengecualian 3 :
Pintu tipe putar yang memenuhi ketentuan dalam pasal 5.1.10.
Pengecualian 4 :
Pintu yang menuju ke garasi pribadi dan daerah gudang atau industri dengan beban penghuni tidak lebih dari 10
dan benda yang tersimpan dalam daerah tersebut memiliki resiko bahaya kebakaran ringan dan sedang.
Pengecualian 5 :
Pintu tipe geser horisontal dan gulung vertikal yang sudah terpasang pada bangunan yang sudah ada dibolehkan
dioperasikan dengan sambungan mudah melebur.
5.1.4.2. Pintu kebakaran yang disyaratkan dari tipe engsel sisi dan tipe poros ayun harus
membuka atau berayun ke arah lintasan jalan ke luar apabila digunakan untuk melayani
ruangan atau daerah dengan beban penghuni 50 atau lebih.
Pengecualian 1 :
Pintu pada eksit horizontal tidak harus disyaratkan untuk membuka searah jalur jalan ke luar seperti yang
dikecualikan dalam butir 5.4.3.6.
Perkecualian 2 :
Pintu berfungsi sebagai penghalang asap ( “Smoke barrier” ).
5.1.4.3. Pintu harus membuka ke arah jalur jalan ke luar apabila digunakan pada ruang
eksit yang dilindungi atau apabila digunakan untuk melayani daerah yang mengandung
resiko bahaya kebakaran berat.
Pengecualian :
Pintu dari hunian tunggal yang terbuka langsung ke ruangan tertutup untuk eksit.
5.1.4.4. Selama mengayun, setiap pintu pada sarana jalan ke luar harus menyisihkan
ruang tak terhalangi tidak kurang dari setengah lebar yang dipersyaratkan dari gang, koridor,
jalan terusan, atau bordes tangga, maupun tonjolan lebih dari 18 cm ( 7 inci ) terhadap lebar
yang dipersyaratkan dari gang, koridor, jalan terusan atau bordes tangga apabila pintu

10 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

membuka penuh. Selain itu pintu-pintu tidak boleh membuka langsung ke tangga tanpa ada
bordes yang lebarnya sekurang-kurangnya sama dengan lebar pintu (lihat butir 5.1.3).
Pengecualian :
Di dalam bangunan yang sudah ada, sebuah pintu yang menjadi akses ke tangga harus mempunyai lebar bersih
sedikinyat 60 cm ( 22 inci ) dan bila dibuka tonjolannya tidak lebih dari 18 cm ( 7 inci ) lebar tangga yang
diperlukan.
5.1.4.5. Tenaga yang diperlukan untuk membuka penuh pintu manapun secara manual di
dalam suatu sarana jalan ke luar harus tidak lebih dari 67 N ( 15 lbf ) untuk melepas grendel
pintu, 133 N ( 30 lbf ) untuk mulai menggerakkan pintu, dan 67 N ( 15 lbf ) untuk membuka
pintu sampai pada lebar minimum yang diperlukan. Tenaga untuk membuka pintu ayun
dengan engsel sisi bagian dalam atau poros pintu ayun tanpa penutup harus tidak lebih dari
22 N ( 5 lbf ). Tenaga ini harus diterapkan pada grendel pintu.

Gambar 5.1.4.5 : Tenaga untuk membuka pintu.


Pengecualian :
Tenaga untuk membuka pintu dalam bangunan yang sudah ada harus tidak lebih dari 220 N ( 50 lbf ) diterapkan
pada grendel pintu.
5.1.4.6. Pintu jalusi yang digunakan pada sarana jalan ke luar harus tidak mengayun
berlawanan dengan arah lintasan jalan keluar apabila pintu-pintu dipersyaratkan mengayun
searah lintasan jalan keluar.
5.1.5. Kunci, grendel dan peralatan alarm.
5.1.5.1. Pintu-pintu harus disusun untuk siap dibuka dari sisi jalan keluar bilamana
bangunan itu dihuni. Kunci-kunci, bila disediakan, tidak harus membutuhkan sebuah anak
kunci, alat atau pengetahuan khusus atau upaya tindakan dari dalam bangunan.
Pengecualian :
Bagian luar pintu dibolehkan mempunyai anak kunci yang dioperasikan dari sisi jalan keluar, dengan syarat
bahwa :
a). Pada atau dekat pintu, ada tulisan yang mudah yang berbunyi :

“ PINTU INI TETAP TERBUKA SAAT BANGUNAN DIHUNI”


dengan tinggi huruf tidak kurang dari 2,5 cm ( 1 inci ) dengan latar belakang yang kontras, dan
b). Alat pengunci dari tipe yang mudah dibedakan pada saat terkunci, dan
c). Sebuah anak kunci tersedia segera untuk penghuni di dalam bangunan saat terkunci.

11 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian ini berhak dibatalkan oleh pihak yang berwenang dalam suatu kasus.
5.1.5.2. Setiap pintu ruang tertutup untuk tangga harus dapat dimasuki kembali dari
ruang tertutup untuk tangga ke bagian dalam bangunan, atau sebuah pelepas otomatik
harus disediakan untuk membuka kunci semua pintu ruang tertutup untuk tangga guna dapat
dimasuki kembali.
Pelepas otomatik tersebut harus digerakkan dengan mengoperasikan sistem alarm
kebakaran bangunan.
Pengecualian 1 :
Pintu pada ruang tertutup untuk tangga yang dipilih, dibolehkan untuk dilengkapi dengan perangkat keras yang
mencegah masuk kembali ke bagian dalam bangunan, asalkan :
a). Paling sedikit ada dua lantai, untuk meninggalkan ruangan tangga tertutup bila dimungkinkan; dan
b). Tidak lebih dari empat tingkat saling berkaitan untuk ke luar dari ruang tertutup untuk tangga bila
dimungkinkan, dan
c). Dimungkinkan untuk masuk kembali di lantai teratas atau satu lantai sebelum lantai teratas yang diijinkan
untuk mengakses ke eksit yang lainnya, dan
d). Pintu yang diijinkan untuk masuk kembali ditandai sedemikian rupa pada pintu, dan
e). Pintu yang tidak diijinkan untuk masuk kembali harus diberi tanda arah pada sisi tangga yang
menunjukkan lokasi dari pintu terdekat, pada semua arah lintasan yang mengijinkan masuk kembali atau
eksit.
Pengecualian 2 :
Tangga-tangga yang melayani tidak lebih dari empat lantai.
5.1.5.3. Sebuah grendel atau alat pengunci lain pada sebuah pintu harus disediakan
dengan alat pelepas yang mempunyai metoda operasi yang jelas pada semua kondisi
pencahayaan. Mekanisme pelepasan untuk grendel manapun harus ditempatkan tidak lebih
dari 120 cm ( 48 inci ) di atas lantai. Pintu harus dapat dibuka dengan tidak lebih dari satu
operasi pelepasan.
Pengecualian.
Pintu jalan keluar pada unit hunian tunggal dan wisma tamu dibolehkan untuk dilengkapi dengan alat yang
memerlukan tidak lebih dari satu operai pelepasan tambahan, asalkan alat tersebut dioperasikan dari dalam
tanpa penggunaan anak kunci atau perkakas dan dipasang pada ketinggian tidak lebih dari 120 cm ( 48 inci ) di
atas lantai. Peralatan pengaman yang sudah ada dibolehkan untuk mempunyai dua operasi pelepasan
tambahan. Alat pengaman yang sudah ada selain dari peralatan grendel otomatis harus ditempatkan tidak lebih
dari 150 cm ( 60 inci ) tingginya di atas lantai. Peralatan grendel otomatis harus di tempatkan tidak lebih dari 120
cm ( 48 inci ) di atas lantai.
5.1.5.4. Apabila sepasang pintu dipersyaratkan pada sarana jalan ke luar, setiap daun
pintu dari sepasang daun pintu tersebut harus dilengkapi dengan alat pelepas tersendiri.
Peralatan yang tergantung pada pelepasan dari satu pintu sebelum yang lainnya, harus tidak
digunakan.
Pengecualian :
Apabila pintu eksit digunakan secara berpasangan dan baut tanam otomatik yang disetujui digunakan, daun pintu
yang memiliki baut tanam otomatik harus tidak mempunyai kenop-pintu atau perangkat yang terpasang di atas
permukaan. Pembukaan setiap daun pintu harus tidak memerlukan lebih dari satu operasi.

12 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.1.5.5. Peralatan harus tidak dipasang yang berkaitan dengan pintu manapun dimana
perangkat keras panik atau perangkat keras eksit kebakaran dipersyaratkan, asalkan
peralatan tersebut mencegah atau dimaksudkan untuk mencegah penggunaan pintu secara
bebas untuk maksud jalan ke luar.
5.1.6. Susunan pengunci khusus.
5.1.6.1. Pengunci jalan ke luar yang ditunda.
Pengunci jalan ke luar yang ditunda yang disetujui, terdaftar, harus diijinkan untuk dipasang
pada pintu-pintu yang melayani isi bangunan dengan tingkat bahaya rendah atau sedang
yang terproteksi menyeluruh oleh satu sistem deteksi otomatik yang terawasi dan disetujui
serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan
sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung,
dengan syarat bahwa :
a). Pintu terbuka pada saat bekerjanya sistem springkler otomatik yang terawasi dan
disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan
pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung, atau pada saat bekerjanya detektor panas manapun atau tidak
lebih dari dua detektor asap dari satu sistem detektor kebakaran otomatik yang
terawasi, dipasang sesuai SNI 03-3985-2000 tentang tata cara perencanaan dan
pemasangan sistem deteksi kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung, dan
b). Pintu kuncinya terbuka pada kejadian hilangnya daya listrik yang mengendalikan
pengunci atau mekanik kunci; dan
c). Pintu kuncinya terbuka pada saat hilangnya daya listrik untuk mengontrol sistem
deteksi kebakaran otomatik, sistem springkler, atau sarana pengawasan sistem
springkler yang memproteksi daerah bangunan yang dilayani pintu tersebut.
d). Satu proses yang tidak bisa berulang melepas penguncian di dalam 15 detik pada saat
diterapkan untuk melepas alat yang dipersyaratkan pada butir 5.1.5.3 dengan tenaga
yang harus tidak lebih dari yang disyaratkan 67 N ( 15 lbf ), tidak juga dipersyaratkan
untuk dipakai terus menerus lebih dari 3 detik.
Permulaan dari proses pelepasan harus mengaktifkan satu sinyal di sekitar pintu untuk
menjamin bahwa usaha untuk jalan ke luar, sistemnya berfungsi.
Sekali kunci pintu dilepas dengan penerapan tenaga pada alat pelepas, penguncian
kembali harus secara manual ; dan
Pengecualian untuk d) :
Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, penundaan tidak lebih dari 30 detik dibolehkan dengan syarat
bahwa keselamatan jiwa terjamin,
e). Pada pintu yang dekat dengan alat pelepas, terdapat tanda yang mudah terlihat,
dengan huruf setinggi 2,5 cm ( 1 inci ) dan tidak kurang 0,3 cm ( 1/8 inci ) tebalnya
dengan latar belakang yang kontras, dengan tulisan :
“DORONG SAMPAI ALARM BERBUNYI,
PINTU DAPAT DIBUKA DALAM WAKTU 25 DETIK”.

13 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.1.6.2. Pintu jalan ke luar dengan akses kontrol.


Apabila pintu pada sarana jalan ke luar diijinkan untuk dilengkapi dengan sistem kontrol
pintu masuk dan sistem kontrol akses jalan ke luar, maka :
a). Sebuah sensor disediakan pada sisi jalan ke luar disusun untuk mendeteksi penghuni
yang mendekati pintu dan pintu-pintu disusun untuk membuka kunci pada saat
mendeteksi penghuni yang mendekati, atau pada saat kehilangan daya listrik ke
sensor, dan
b). Kehilangan daya listrik ke bagian sistem akses kontrol yang mengunci pintu, kunci
pintunya membuka secara otomatis, dan
c). Pintu itu disusun untuk membuka kunci dari alat pelepas manual yang terletak 100 cm
( 40 inci ) sampai 120 cm ( 48 inci ) vertikal di atas lantai dan dalam jangkauan 1,5 m
dari pintu yang aman.
Alat pelepas manual harus mudah dicapai dan diberi tanda dengan jelas dengan
tulisan :

“ DORONG UNTUK EKSIT “

Ketika dioperasikan, alat pelepas manual itu harus berhasil langsung memotong daya
listrik ke kunci-bebas dari sistem akses kontrol elektronik dan pintu-pintu harus tetap
kuncinya terbuka tidak kurang dari 30 detik; dan
d). Mengaktifkan sistem sinyal proteksi kebakaran bangunan jika disediakan, secara
otomatik membuka pintu-pintu, dan pintu-pintu tetap dalam keadaan tidak terkunci
sampai sistem sinyal proteksi kebakaran itu di reset kembali secara manual; dan
e). Mengaktifkan sistem springkler otomatik bangunan atau sistem deteksi kebakaran, jika
disediakan, secara otomatik membuka pintu-pintu dan pintu-pintu tetap dalam keadaan
tidak terkunci sampai sistem sinyal proteksi kebakaran di reset kembali secara manual.
5.1.7. Perangkat keras panik dan perangkat keras eksit kebakaran.
5.1.7.1. Perangkat keras panik dan perangkat keras eksit kebakaran terdiri dari rakitan
grendel pintu yang digabungkan dengan suatu alat yang melepas grendel dengan
menerapkan suatu gaya dalam arah lintasan jalan ke luar.
Perangkat keras eksit kebakaran sebagai tambahan, menyediakan proteksi kebakaran
apabila digunakan sebagai bagian dari suatu rakitan pintu kebakaran.
5.1.7.2. Apabila sebuah pintu dipersyaratkan untuk dilengkapi dengan perangkat keras
panik atau eksit kebakaran, peralatan pelepas tersebut harus :
a). terdiri dari palang atau panel, bagian penggeraknya memanjang tidak kurang dari
separuh lebar daun pintu, tidak kurang dari 76 cm ( 30 inci ) dan tingginya di atas lantai
tidak lebih dari 112 cm ( 44 inci ), dan
b). menyebabkan grendel pintu terlepas ketika suatu gaya yang harus tidak melebihi 67 N
(15 lbf) sesuai persyaratan, diterapkan.
5.1.7.3. Hanya perangkat keras panik yang disetujui harus digunakan pada pintu-pintu
panik.
Hanya perangkat keras eksit kebakaran saja yang harus digunakan pada pintu kebakaran.

14 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.1.7.4. Dipersyaratkan perangkat keras panik dan perangkat keras eksit kebakaran
harus tidak dilengkapi dengan alat pengunci, sekrup, atau susunan lain yang mencegah
pelepasan dari grendel ketika tekanan diterapkan pada peralatan pelepas.
Peralatan yang menahan grendel pada posisi menarik kembali harus dilarang pada
perangkat keras eksit kebakaran.
Pengecualian :
Peralatan yang terdaftar dan disetujui, yang menahan grendel pada posisi menarik kembali diperbolehkan pada
perangkat keras eksit kebakaran.
5.1.8. Peralatan yang menutup sendiri.
Sebuah pintu yang dirancang dalam keadaan normal selalu tertutup pada suatu sarana jalan
ke luar dari pintu yang menutup sendiri dan harus tidak diperkenankan dalam posisi terbuka
setiap saat.
Pengecualian :
Pada bangunan dengan tingkat bahaya kebakaran rendah atau sedang, apabila disetujui oleh instansi yang
berwenang pintu-pintu dibolehkan dari jenis menutup otomatik, asalkan :
a). pada pelepasan dari mekanisme penahan buka, pintu menjadi menutup sendiri; dan
b). peralatan pelepas dirancang sehingga pintu segera melepas secara manual dan pada saat lepas pintu
menjadi menutup sendiri, atau menutup pintu dengan operasional yang sederhana; dan
c). mekanisme atau medium pelepas otomatik diaktifkan oleh :
1). bekerjanya sistem deteksi asap otomatik yang disetujui, sesuai SNI 03-1735-2000 tentang tata
cara perencanaan dan pemasangan sistem deteksi kebakaran untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung, untuk memproteksi seluruh bangunan, dirancang dan
dipasang untuk menyediakan sistem penggerak yang cepat supaya bebas dari asap atau panas
yang timbul yang cukup menggangu jalan ke luar sebelum sistem beroperasi, atau
2). bekerjanya sistem deteksi asap yang disetujui, yang dipasang sedemikian rupa untuk mendeteksi
asap pada sisi manapun dari bukaan pintu. Sistem-sistem tersebut di atas harus dibolehkan untuk
di “zona” kan apabila disetujui oleh instansi yang berwenang; dan
d). Setiap sistem deteksi kebakaran atau detektor asap dilengkapi dengan pengawasan dan pengamanan
yang diperlukan untuk menjamin keandalan operasional dalam kasus kebakaran; dan
e). Pada keadaan kehilangan tenaga pada alat penahan-buka, mekanisme penahan buka dilepas dan pintu
menjadi menutup sendiri, dan
f). Pelepasan melalui sarana deteksi asap dari suatu pintu di dalam sebuah ruang tangga tertutup akan
menghasilkan semua pintu yang melayani tangga menutup.
5.1.9. Pintu yang dioperasikan dengan tenaga.
Apabila dipersyaratkan pintu dioperasikan oleh tenaga pada saat seseorang mendekati atau
pintu dioperasikan dengan tenaga, rancangannya harus sedemikian rupa sehingga pada
kegagalan tenaga, pintu terbuka secara manual untuk memungkinkan lintasan jalan ke luar
atau tertutup bila perlu untuk menjaga keselamatan dari sarana jalan ke luar.
Gaya yang diperlukan untuk membuka pintu itu secara manual harus tidak lebih dari yang
dipersyaratkan pada butir 5.1.4.5. kecuali bahwa gaya tersebut dibutuhkan untuk
menggerakkan pintu tidak lebih dari 222 N ( 50 lbf ).

15 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pintu harus dirancang dan dipasang sehingga jika gaya yang diterapkan pada pintu itu pada
sisi dimana jalan ke luar dibuat, harus mampu untuk mengayunkan pintu dari posisi
manapun sampai penggunaan sepenuhnya dari lebar yang dibutuhkan dari bukaan dalam
mana pintu dipasang ( lihat butir 5.1.4 ).
Pada sisi jalan ke luar dari masing-masing pintu, harus ada tanda yang mudah dilihat dan
dengan tulisan : “ DALAM KEADAAN DARURAT, DORONG UNTUK BUKA “
Tanda itu harus dari huruf yang tidak kurang dari 2,5 cm ( 1 inci ) tingginya dengan latar
belakang yang kontras.
Pengecualian 1 :
Geseran dari pintu yang digerakkan dengan tenaga dalam melayani akses eksit pada beban hunian lebih dari 50
yang dapat dibuka secara manual pada arah gerakan pintu dengan gaya tidak lebih dari yang dipersyaratkan
dalam butir 5.1.4.5 harus tidak dipersyaratkan mempunyai jenis membuka ke luar. Tanda arah yang diperlukan
harus menyatakan : “ Dalam keadaan darurat geser untuk membuka”.
Pengecualian 2 :
Di dalam cara keluar darurat, sebuah daun pintu yang ditempatkan di dalam sebuah bukaan dua daun pintu
harus dibebaskan dari persyaratan butir 5.1.2.2. tentang sebuah daun pintu tunggal dengan lebar minimum 80
cm ( 32 inci ), asalkan lebar bersih daun pintu tunggal tidak kurang dari 75 cm ( 30 inci ).
Pengecualian 3 :
Untuk pintu geser dengan dua bagian, pada cara keluar darurat, sebuah daun pintu yang ditempatkan di dalam
bukaan daun banyak, harus dibebaskan dari persyaratan butir 5.1.2.2, tentang sebuah pintu tunggal dengan
lebar minimum 80 cm ( 32 inci ), jika minimum sebuah bukaan bersih 80 cm ( 32 inci ) dilengkapi oleh semua
daun pintu keluar.
Pengecualian 4 :
Pintu memenuhi butir 5.1.14.
5.1.10. Pintu putar.
5.1.10.1. Pintu putar harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a). Pintu putar harus mampu dilipat menjadi posisi lipat buku; dan
Pengencualian a) :
Pintu putar yang sudah ada dimana disetujui oleh instansi yang berwenang.
b). Dimana pada posisi lipat buku, lintasan jalan ke luar sejajar yang terbentuk harus
menyediakan satu tambahan lebar 90 cm ( 36 inci ) ; dan
Pengecualian b) :
Pintu putar yang sudah ada apabila disetujui oleh instansi yang berwenang.
c). Pintu putar harus tidak digunakan dalam jarak 3 m dari tangga terbawah atau teratas,
atau eskalator. Di dalam semua keadaan, harus ada daerah pencar yang disetujui
instansi yang berwenang antara tangga atau eskalator dan pintu putar; dan
d). Putaran per menit dari daun pintu harus tidak melebihi angka di dalam tabel berikut :

16 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Kontrol kecepatan tipe Kontrol kecepatan tipe


Diameter dalam
gerak bertenaga (rpm) manual (rpm).
2 m ( 6 ft, 6 inci ) 11 12
2,1 m ( 7 ft, 0 inci ). 10 11
2,3 m ( 7ft, 6 inci ) 9 11
2,4 m ( 8 ft, 0 inci ) 9 10
2,6 m ( 8 ft, 6 inci ) 8 9
2,7 m ( 9 ft, 0 inci ) 8 9
2,9 m ( 9 ft, 6 inci ) 7 8
3,0 m ( 10 ft, 0 inci ) 7 8
e). Setiap pintu putar harus mempunyai pintu ayun berengsel samping yang sesuai pada
dinding yang sama seperti pintu putar dan dalam jarak 3 m dari pintu putar.
Pengecualian 1 untuk e) :
Pintu putar harus diijinkan tanpa pintu ayun didekatnya untuk ruang lobi yang mempunyai lif tanpa tangga atau
pintu putar pada bagian lain dari jalur keluar gedung melalui lobi dan lobi tidak dihuni lain dari pada sebagai
sarana lintasan antara lif dan jalan umum.
Pengecualian 2 untuk e) :
Pintu putar yang ada apabila jumlah pintu putar tidak lebih dari jumlah pintu-pintu ayun dalam jarak 6 m ( 20 ft ).

Gambar 5.1.10.1 : Rakitan pintu putar


5.1.10.2. Pintu putar harus diijinkan sebagai sebuah komponen sarana jalan keluar,
asalkan :
a). Pintu putar tidak diberi jatah lebih dari 50% kapasitas jalan ke luar yang dipersyarat-
kan; dan
b). Setiap pintu putar diberi jatah tidak lebih dari kapasitas 50 orang, dan
Pengecualian untuk b) :
Pintu putar dengan diameter paling sedikit 2,7 m ( 9 ft ) harus diijinkan kapasitas jalan ke luarnya didasarkan
pada lebar bukaan bersih yang tersedia.

17 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

c). Pintu putar mampu dilipat menjadi posisi lipat buku apabila gaya yang tidak melebihi
578 N ( 130 lbf ) diterapkan pada sayap daun pintu dalam jarak 7,6 cm ( 3 inci ) dari
ujung luar.

Gambar 5.1.10.2. : Pintu putar dalam posisi lipat buku.


5.1.10.3. Pintu putar yang tidak digunakan sebagai sebuah komponen sarana jalan ke luar
harus memiliki gaya melipat tidak lebih dari 800 N ( 180 lbf ).
Pengecualian :
Pintu putar, asalkan gaya melipatnya dikurangi sampai tidak lebih dari 576 N ( 130 lbf ), dimana :
a). disana ada suatu sistem deteksi kegagalan tenaga atau tenaga akan mengembalikan daun pintu ke posisi
semula; dan
b). disana ada gerakan sistem springkler otomatis apabila sistem seperti itu diadakan, dan
c). disana ada gerakan sistem deteksi asap yang dipasang untuk menyediakan perlindungan di semua
daerah di dalam gedung dalam jarak 23 m ( 75 ft ) dari pintu putar, dan
d). disana ada gerakan sakelar kontrol manual yang ditandai jelas di dalam lokasi yang disetujui yang
mengurangi gaya menahan sampai tidak lebih dari 578 N ( 130 lbf ).
5.1.11. Pintu tiang putar (Turnstiles).
5.1.11.1. Pintu tiang putar atau peralatan serupa yang melarang lintasan ke satu arah
atau digunakan untuk mengumpulkan/menyobek karcis masuk harus tidak ditempatkan
sehingga menghalangi sarana jalan keluar yang disyaratkan.

18 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.1.11. : Pintu tiang putar dengan tinggi 100 cm.


5.1.11.2. Pintu tiang putar yang tingginya lebih dari 100 cm ( 39 inci ) harus memenuhi
persyaratan untuk pintu putar.

Gambar 5.1.11.2 : Pintu tiang putar dengan tinggi lebih dari 100 cm.

5.1.11.3. Pintu tiang putar di dalam atau melengkapi akses ke eksit yang dipersyaratkan
harus menyediakan paling sedikit 42 cm ( 16½ inci ) lebar bersih pada dan di bawah satu
ketinggian 100 cm ( 39 inci ) dan paling sedikit 55 cm lebar bersih pada ketinggian diatas
100 cm.
5.1.12. Pintu pada partisi lipat.
Apabila partisi yang mudah dipindah dan dilipat dan dipasang tetap yang membagi sebuah
ruangan kedalam tempat-tempat yang lebih kecil, sebuah pintu ayun atau jalur pintu terbuka
harus disediakan sebagai sebuah akses eksit dari setiap tempat semacam itu.
Pengecualian 1 :
Pintu ayun tidak diperlukan, dan partisi harus diijinkan untuk tempat sepenuhnya, asalkan :
a). Tempat yang terbagi tidak digunakan lebih dari 20 orang setiap saat; dan

19 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

b). Penggunaan tempat dibawah pengawasan orang dewasa; dan


c). Partisi disusun sehingga tidak meluas ke keseberang gang atau koridor yang digunakan sebagai akses
eksit ke eksit yang dipersyaratkan dari lantai; dan
d). Partisi sesuai untuk penyelesaian bagian dalam dan persyaratan lain dari standar ini; dan
e). Partisi adalah dari tipe yang disetujui, yang mempunyai metoda pelepas yang sederhana, dan mampu
untuk dibuka dengan cepat dan mudah oleh orang yang berpengalaman dalam keadaan darurat.
Pengecualian 2 :
Apabila suatu tempat yang terbagi tersedia dengan paling sedikit dua sarana jalan ke luar, pintu ayun pada partisi
lipat tidak diperlukan dan sarana jalan ke luar seperti itu harus diijinkan untuk dilengkapi dengan sebuah pintu
geser horisontal yang memenuhi dalam butir 5.1.14.
5.1.13. Pintu balans ( Balance door ).
Apabila perangkat keras panik dipasang pada pintu balans, perangkat keras panik harus
dari tipe alas dorong dan alas itu tidak meluas lebih dari kira-kira setengah lebar pintu diukur
dari sisi grendel { lihat butir 5.1.7.2.a) }.

Gambar 5.1.13. Pintu balans


5.1.14. Pintu geser horisontal.
Pintu geser horisontal harus diijinkan di dalam sarana jalan ke luar, asalkan :
a). Pintu dioperasikan oleh satu metoda sederhana dari sisi manapun tanpa upaya atau
pengetahuan khusus, dan
b). Gaya, diterapkan untuk mengoperasikan peralatan dalam arah jalan ke luar, diperlukan
untuk mengoperasikan pintu tidak lebih dari 67 N ( 15 lbf ); dan
c). Gaya yang diperlukan untuk mengoperasikan pintu dalam arah lintasan pintu tidak
lebih dari 133 N ( 30 lbf ) untuk membuat pintu bergerak dan 67 N ( 15 lbf ) untuk
menutup pintu atau membukanya sampai lebar minimum yang diperlukan; dan

20 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

d). Pintu dioperasikan dengan satu gaya tidak lebih dari 222 N ( 50 lbf ) ketika satu gaya
1.110 N ( 250 lbf ) diterapkan tegak lurus pada pintu dekat peralatan operasional; dan
Pengecualian untuk d) :
Pintu geser horisontal akses eksit yang melayani satu daerah mempunyai beban hunian lebih sedikit dari 50.
e). Rakitan pintu memenuhi persyaratan dengan tingkat proteksi kebakaran dan, dimana
tingkat menutup sendiri atau menutup otomatis oleh deteksi asap sesuai dengan butir 5.1.8,
dan dipasang sesuai standar yang berlaku.
5.2. Tangga.
5.2.1. Umum.
Tangga yang digunakan sebagai suatu komponen jalan ke luar, harus sesuai dengan
persyaratan umum pada bagian/pasal 4 dan persyaratan khusus dari sub bagiannya.
Pengecualian :
Tangga yang sudah ada yang tidak memenuhi persyaratan apabila disetujui oleh instansi yang berwenang.
5.2.2. Kriteria dimensi.
5.2.2.1. Tangga-tangga standar.
Tangga harus memenuhi tabel 5.2.2.1.a).
Tabel 5.2.2.1.a). : Tangga baru
Lebar bersih dari segala rintangan, kecuali 110 cm ( 44 inci), 90 cm ( 36 inci ),
tonjolan pada atau dibawah tinggi apabila total beban hunian dari semua
pegangan tangan pada tiap sisinya tidak lantai-lantai yang dilayani oleh jalur
lebih dari 9 cm ( 3½“ ). tangga kurang dari 50.
Maksimum ketinggian anak tangga 18 cm ( 7 inci )
Minimum ketinggian anak tangga. 10 cm ( 4 inci ).
Minimum kedalaman anak tangga. 28 cm ( 11 inci ).
Tinggi ruangan minimum. 200 cm ( 6 ft, 8 inci ).
Ketinggian maksimum antar bordes 3,7 m ( 12 ft )
tangga.
Bordes tangga lihat butir 5.1.3. dan 5.1.4.4.
Pengecualian :
Tangga yang sudah ada pada bangunan yang sudah ada harus diijinkan untuk tetap digunakan apabila
memenuhi persyaratan untuk tangga yang sudah ada seperti ditunjukkan dalam tabel 5.2.2.1.b) untuk tangga
yang sudah ada.
Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, tangga yang sudah ada harus diijinkan
dibangun kembali dengan kriteria ukuran sesuai tabel 5.2.2.1.b) untuk tangga yang sudah
ada dan sesuai dengan standar lain yang dipersyaratkan dalam butir 5.2. untuk tangga.

21 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Tabel 5.2.2.1.b) : Tangga yang sudah ada.

Kelas A Kelas B

Lebar bersih dari segala rintangan, kecuali


tonjolan pada atau dibawah tinggi pegangan 110 cm ( 44 inci ) 110 cm ( 44 inci )
tangan pada tiap sisinya tidak lebih dari 9 cm
90 cm ( 36 inci), apabila total beban hunian
( 3½“ ).
dari semua lantai yang dilayani oleh jalur
tangga kurang dari 50.
Maksimum ketinggian anak tangga 19 cm ( 7½ inci ) 20 cm ( 8 inci ).
Kedalaman anak tangga minimum.. 25 cm ( 10 inci ) 23 cm ( 9 inci ).
Tinggi ruangan minimum. 200 cm ( 6 ft,8 inci ) 200 cm ( 6 ft, 8 inci)
Ketinggian maksimum antar bordes tangga. 3,7 m ( 12 ft ) 3,7 m ( 12 ft )
Bordes tangga Lihat butir 5.1.3 dan butir 5.1.4.4.
5.2.2.2. Tangga monumental.
Tangga monumental, baik di dalam maupun di luar bangunan harus diijinkan sebagai
komponen sarana jalan ke luar, apabila semua persyaratan untuk tangga dipenuhi.
5.2.2.3. Tangga kurva (lengkung).
Tangga kurva harus diijinkan sebagai komponen sarana jalan ke luar, asalkan kedalaman
anak tangga 28 cm ( 11 inci ) pada suatu titik 30 cm ( 12 inci ) dari ujung tersempit dari anak
tangga dan radius terkecilnya tidak kurang dari dua kali lebar tangga.

Gambar 5.2.2.3. : Tangga kurva


Pengecualian :
Tangga kurva yang sudah ada harus diijinkan, asalkan kedalaman anak tangga minimum 25 cm ( 10 inci ) dan
radius terkecil tidak kurang dari dua kali lebar tangga.
5.2.2.4. Tangga spiral.
Tangga spiral harus diijinkan sebagai komponen sarana jalan ke luar, asalkan :
a). beban hunian yang di layani tidak lebih dari 5, dan

22 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

b). lebar bersih dari tangga tidak kurang dari 70 cm ( 26 inci ) , dan
c). ketinggian anak tangga tidak lebih dari 24 cm ( 9 ½ inci ), dan
d). tinggi ruangan tidak kurang dari 200 cm ( 6 ft, 6 inci ), dan
e), anak tangga mempunyai kedalaman minimum 19 cm ( 7½ inci ) pada titik 30 cm ( 12
inci ) dari ujung tersempit.
f). semua anak tangga identik.

Gambar 5.2.2.4. : Tangga spiral.

5.2.2.5. Tangga kipas.


Tangga kipas harus diijinkan sebagai tangga. Tangga kipas harus mempunyai kedalaman
anak tangga 15 cm ( 6 inci ) pada suatu titik 30 cm ( 12 inci ) dari ujung tersempit.
Pengecualian :
Tangga kipas yang sudah ada harus diijinkan tetap dipakai jika mempunyai kedalaman anak tangga minimum 15
cm ( 6 inci ) dan kedalaman anak tangga 23 cm ( 9 inci ) pada titik 30 cm ( 12 inci ) dari ujung yang tersempit.

23 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.2.2.5 : Tangga kipas


5.2.3. Detail tangga.
5.2.3.1. Konstruksi.
5.2.3.1.1. Semua tangga yang digunakan sebagai sarana jalan ke luar sesuai persyaratan,
harus dari konstruksi tetap yang permanen.
5.2.3.1.2. Setiap tangga, panggung (platform) dan bordes tangga dalam bangunan yang
dipersyaratkan dalam standar ini untuk konstruksi kelas A atau kelas B harus dari bahan
yang tidak mudah terbakar.
Pengecualian 1 :
Pegangan tangan.
Pengecualian 2 :
Tangga yang sudah ada sebelumnya.
5.2.3.1.3. Bordes tangga.
Tangga dan bordes antar tangga harus sama lebar dengan tanpa pengurangan lebar
sepanjang arah lintasan jalan ke luar. Dalam bangunan baru, setiap bordes tangga harus
mempunyai dimensi yang diukur dalam arah lintasan sama dengan lebar tangga.
Pengecualian :
Bordes tangga harus diijinkan untuk tidak lebih dari 120 cm ( 4 ft ) dalam arah lintasan, asalkan tangga
mempunyai jalan lurus.
5.2.3.3. Permukaan anak tangga dan bordes tangga.
Anak tangga dan bordes tangga harus padat, tahanan gelincirnya seragam, dan bebas dari
tonjolan atau bibir yang dapat menyebabkan pengguna tangga jatuh.
Jika tidak tegak (vertikal), ketinggian anak tangga harus diijinkan dengan kemiringan di
bawah anak tangga pada sudut tidak lebih dari 30 derajat dari vertikal, bagaimanapun,
tonjolan yang diijinkan dari pingulan harus tidak lebih dari 4 cm ( 1½ inci ).

24 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5..2.3.4. Kemiringan anak tangga.


Kemiringan anak tangga harus tidak lebih dari 2 cm per m ( ¼ inci per ft ) (kemiringan 1 : 48).
5.2.3.5. Ketinggian dan kedalaman anak tangga.
Ketinggian anak tangga harus diukur sebagai jarak vertikal antar pingulan anak tangga.
Kedalaman anak tangga harus diukur horisontal antara bidang vertikal dari tonjolan
terdepan dari anak tangga yang bersebelahan dan pada sudut yang betul terhadap ujung
terdepan anak tangga, tetapi tidak termasuk permukaan anak tangga yang dimiringkan atau
dibulatkan terhadap kemiringan lebih dari 20 derajat ( kemiringan 1 : 2,75).

Gambar 5.2.3.5.(a). : Pengukuran tinggi anak tangga dengan kemiringan kedepan.

Gambar 5.2.3.5.(b). : Pengukuran tinggi anak tangga dengan kemiringan ke belakang.

Gambar 5.2.3.5.( c). : Kedalaman anak tangga.

25 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.2.3.5.(d). : Pengukuran anak tangga dengan tumpuan yang stabil.

Gambar 5.2.3.5.(d) : Pengukuran anak tangga dengan permukaan injakan yang tidak stabil.
Pada pingulan anak tangga, pemiringan atau pembulatan harus tidak lebih dari 1,3 cm ( ½
inci ) dalam dimensi horisontal.
5.2.3.6. Keseragaman ukuran.
Harus tidak ada variasi lebih dari 1 cm ( 3/16 inci ) di dalam kedalaman anak tangga yang
bersebelahan atau di dalam ketinggian dari tinggi anak tangga yang bersebelahan, dan
toleransi antara tinggi terbesar dan terkecil atau antara anak tangga terbesar dan terkecil
harus tidak lebih dari 1 cm ( 3/8 inci ) dalam sederetan anak tangga.
Pengecualian :
Apabila anak tangga terbawah yang berhubungan dengan kemiringan jalan umum, jalur pejalan kaki, jalur lalu
lintas, mempunyai tingkat ditentukan dan melayani suatu bordes, perbedaan ketinggian anak tangga terbawah
tidak boleh lebih dari 7,6 cm ( 3 inci ) dalam setiap 91 cm ( 3 ft ) lebar jalur tangga harus diijinkan.
5.2.4. Pagar pengaman dan rel pegangan tangan.
5.2.4.1. Pagar pengaman.
Sarana jalan ke luar yang lebih dari 75 cm ( 30 inci ) diatas lantai atau di bawah tanah harus
dilengkapi dengan pagar pengaman untuk mencegah jatuh dari sisi yang terbuka.

26 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.2.4.2. Rel pegangan tangan.


Tangga dan ram harus mempunyai rel pegangan tangan pada kedua sisinya. Di dalam
penambahan, rel pegangan tangan harus disediakan di dalam jarak 75 cm ( 30 inci ) dari
semua bagian lebar jalan ke luar yang dipersyaratkan oleh tangga. Lebar jalan ke luar yang
dipersyaratkan harus sepanjang jalur dasar dari lintasan ( lihat juga butir 5.2.4.5 ).

Gambar 5.2.4.2 (a) : Dianggap jalur lintasan biasa pada tangga monumental
dengan lokasi rel pegangan tangan yang beragam.

Gambar 5.2.4.2 (b) : Dianggap jalur lintasan biasa pada tangga monumental
dengan lokasi rel pegangan tangan yang beragam.

27 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.2.4.2 © : Dianggap jalur lintasan biasa pada tangga monumental


dengan lokasi rel pegangan tangan yang beragam.
Pengecualian 1 :
Pada tangga yang sudah ada, pegangan tangga harus disediakan di dalam jarak 110 cm ( 44 inci ) dari semua
bagian lebar jalan ke luar yang disyaratkan oleh tangga.
Pengecualian 2 :
Jika bagian dari batu penahan pinggiran trotoir memisahkan sisi pejalan kaki dari jalan kendaraan, sebuah
langkah tunggal atau sebuah ram tidak harus disyaratkan untuk mempunyai rel pegangan tangan.
Pengecualian 3 :
Tangga yang sudah ada, ram yang sudah ada, tangga di dalam unit rumah tinggal dan di dalam wismar tamu,
dan ram di dalam unit rumah tinggal dan di dalam wisma tamu, harus mempunyai sebuah rel pegangan tangan
tidak kurang pada satu sisi.
5.2.4.3. Kelancaran.
Pagar pengaman dan rel pegangan tangan yang disyaratkan harus menerus sepanjang
tangga. Pada belokan tangga, rel pegangan tangan bagian dalam harus menerus antara
deretan tangga pada bordes tangga.
Pengecualian :
Pada tangga yang sudah ada, rel pegangan tangan harus tidak dipersyaratkan menerus antara deretan tangga
pada bordes.
5.2.4.4. Tonjolan.
Rancangan dari pagar pelindung dan rel pegangan tangan dan perangkat keras untuk
memasangkan rel pegangan tangan ke pagar pelindung, balustrade atau dinding-dinding
harus sedemikian sehingga tidak ada tonjolan yang mungkin menyangkut pakaian.
Bukaan pagar pelindung harus dirancang untuk mencegah pakaian yang menyangkut
menjadi terjepit pada bukaan seperti itu.

28 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.2.4.5. Detail rel pegangan tangan.

Gambar 5.2.4.5 : Detail rel pegangan tangan.

a). Rel pegangan tangan pada tangga harus paling sedikit 86 cm ( 34 inci ) dan tidak lebih
dari 96 cm ( 38 inci ) di atas permukaan anak tangga, diukur vertikal dari atas rel
sampai ke ujung anak tangga.
Pengecualian 1 untuk a) :
Ketinggian dari rel pegangan tangan yang diperlukan yang membentuk bagian dari pagar pelindung harus
diijinkan tidak lebih dari 107 cm ( 42 inci ) diukur vertikal ke bagian atas rel dari ujung anak tangga.
Pengecualian 2 untuk a) :
Rel pegangan tangan yang sudah ada harus paling sedikit 76 cm ( 30 inci ) dan tidak lebih dari 96 cm ( 38 inci )
di atas permukaan atas anak tangga, diukur vertikal ke bagian atas rel dari ujung anak tangga.
Pengecualian 3 untuk a) :
Rel pegangan tangan tambahan yang lebih rendah atau lebih tinggi dari pada rel pegangan tangan utama harus
diijinkan.

29 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

b). Rel pegangan tangan yang baru harus menyediakan suatu jarak bebas paling sedikit
3,8 cm ( 1½ inci ) antara rel pegangan tangan dan dinding pada mana rel itu
dipasangkan.
c). Rel pegangan tangan yang baru harus memiliki luas penampang lingkaran dengan
diameter luar paling sedikit 3,2 cm ( 1¼ inci ) dan tidak lebih dari 5 cm ( 2 inci ). Rel
pegangan tangan yang baru harus dengan mudah dipegang terus menerus sepanjang
seluruh panjangnya.
Pengecualian 1 untuk c) :
Setiap bentuk lain dengan satu dimensi keliling paling sedikit 10 cm ( 4 inci ) tetapi tidak lebih dari 16 cm ( 6¼
inci), dan dengan dimensi penampang terbesar tidak lebih dari 5,7 cm ( 2¼ inci ) harus diijinkan, asalkan
ujungnya dibulatkan sampai satu jarak radius minimum 0,3 cm ( 1/8 inci ).
Pengecualian 2 untuk c) :
Pengikat rel pegangan tangan atau balustrade dipasang ke bagian bawah permukaan dari rel pegangan tangan,
yang mana tonjolan horisontalnya tidak melewati sisi sisi dari rel pegangan tangan dalam jarak 2,5 cm ( 1 inci )
dari bagian bawah rel pegangan tangan dan yang memiliki ujung dengan radius minimum 0,3 cm ( 1/8 inci ),
harus tidak dipertimbangkan sebagai penghalang pada pegangan tangan.
d). Ujung rel pegangan tangan yang baru harus dikembalikan ke dinding atau lantai atau
berhenti pada tempat terbaru.
e). Rel pegangan tangan yang baru yang tidak menerus diantara sederetan anak tangga
harus melebar horisontal, pada ketinggian yang diperlukan, paling sedikit 30 cm ( 12
inci ) tidak melebihi tiang tegak teratas dan menerus miring pada kedalaman satu anak
tangga di atas tiang tegak paling bawah.
Pengecualian untuk e) :
Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang karena keterbatasan tempat dan di dalam unit hunian,
kepanjangan horisontal di atas anak tangga teratas tidak diperlukan asalkan rel pegangan tangan memanjang
pada ketinggian yang diperlukan sampai pada satu titik langsung di atas tiang tegak teratas.
5.2.4.6. Detail pagar pengaman.
a). Ketinggian pagar pengaman yang dipersyaratkan dalam butir 5.2.4.1 harus diukur
vertikal ke bagian atas pagar pengaman dari permukaan yang dekat dimaksud.
b). Pagar pengaman paling sedikit harus 100 cm ( 42 inci ) tingginya.
Pengecualian 1 untuk b) :
Pagar pengaman yang sudah ada yang di dalam unit hunian harus sedikitnya 90 cm ( 36 inci) tingginya.
Pengecualian 2 untuk b) :
Seperti yang ada pada bangunan kumpulan.
Pengecualian 3 untuk b) :
Pagar pengaman yang sudah ada pada tangga yang sudah ada harus paling sedikit tingginya 80 cm ( 30 inci ).
c). Pagar pengaman terbuka harus mempunyai rel atau pola ornamen sehingga bola
berdiameter 10 cm ( 4 inci ) harus tidak bisa lolos melalui bukaan sampai ketinggian 80
cm ( 34 inci ).

30 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian 1 untuk c) :
Bukaan segitiga yang dibentuk oleh tiang tegak, anak tangga, dan elemen bawah rel pagar pengaman pada sisi
terbuka dari sebuah tangga harus ukurannya sedemikian rupa sehingga sebuah bola dengan diameter 15 cm ( 6
inci ) harus tidak dapat lolos melalui bukaan segitiga itu.
Pengecualian 2 untuk c) :
Dalam rumah tahanan, dalam hunian industri, dan di dalam gudang, jarak bebas antara rel terdekat diukur tegak
lurus pada rel harus tidak lebih dari 50 cm ( 21 inci ).
Pengecualian 3 untuk c) :
Pagar pengaman yang sudah ada yang disetujui.
5.2.5. Ruangan tertutup dan proteksi dari tangga.
5.2.5.1. Ruang tertutup.
Semua tangga di dalam, yang melayani sebuah eksit atau komponen eksit harus tertutup
sesuai butir 4.1.2.
Semua tangga lain di dalam harus diproteksi sesuai dengan bukaan vertikalnya.
Pengecualian :
Dalam bangunan gedung yang sudah ada, apabila sebuah ruangan eksit dua lantai menghubungkan lantai eksit
pelepasan dengan lantai berdekatan, eksit tersebut harus dipersyaratkan untuk ditutup pada lantai eksit
pelepasan dan paling sedikit 50% dari jumlah dan kapasitas eksit pada lantai eksit pelepasan harus tersendiri
ditutupnya.
5.2.5.2. Ter-ekspos (“exposure”).

Gambar 5.2.5.2 (a) : Jalur tangga dengan dinding luar tidak tahan api
dalam bidang yang sama dengan dinding luar.

31 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.2.5.2 (b) : Jalur tangga dengan keliling yang menonjol ke luar
pada dinding luar bangunan.

Gambar 5.2.5.2 ( c) : Jalur tangga dengan dinding luar tidak diproteksi berhadapan
dengan dinding luar yang bersebelahan dari bangunan.

Apabila dinding yang bukan tahan terhadap api atau bukan tidak terproteksi menutup bagian
luar jalur tangga dan dinding serta bukaan itu di ekspos pada bagian lain dari bangunan
pada satu sudut tidak lebih dari 180 derajat, dinding penutup bangunan dalam jarak 3 m ( 10
ft ) horisontal dari dinding yang bukan tahan api atau bukan yang terproteksi harus
dikonstruksikan seperti dipersyaratkan untuk ruang jalur tangga tertutup termasuk proteksi
untuk bukaannya. Konstruksi harus menjulur vertikal dari dasar ke suatu titik 3 m ( 10 ft ) di
atas bordes tangga di puncak paling tinggi atau pada garis atap, yang mana yang lebih
rendah.
Pengecualian 1 :
Jalur tangga yang sudah ada.
Pengecualian 2 :
Tingkat ketahanan api dari pemisah yang menjulur 3 m ( 10 ft ) dari tangga harus tidak dipersyaratkan lebih dari
60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung, dengan bukaan memenuhi tingkat ketahanan api 45/45/45 atau

32 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.
5.2.5.3. Tempat yang terpakai.
Tempat yang terpakai harus tidak tertutup, tempat yang terpakai tidak boleh ada di dalam
sebuah eksit yang tertutup termasuk di bawah tangga, tidak juga tempat terbuka di dalam
tempat terpakai untuk maksud apapun yang mempunyai kecenderungan menggangu jalan
ke luar.
Pengecualian :
Tempat terpakai yang tertutup harus diijinkan di bawah tangga asalkan tempat tersebut dipisahkan dari ruang
tertutup untuk tangga oleh bahan tahan api yang sama seperti ruang tertutup untuk eksit . Jalan masuk ke tempat
terpakai yang tertutup harus tidak dari dalam ruang tertutup untuk tangga ( lihat juga butir 4.1.2.3).
5.2.5.4. Tanda pengenal tangga.
Tangga yang melayani lima lantai atau lebih harus diberi tanda di dalam ruang tertutup pada
setiap bordes lantainya.
Tanda itu juga harus menunjukkan lantai itu, dan akhir teratas dan terbawah dari ruang
tangga tertutup, dan identifikasi tangga. Penandaan akan juga menyatakan lantai dari, dan
arah ke, eksit pelepasan. Penandaan harus di dalam ruang tertutup ditempatkan mendekati
1,5 m ( 5 ft) di atas bordes lantai dalam suatu posisi yang mudah terlihat bila pintu dalam
posisi terbuka atau tertutup.
5.2.5.5. Penandaan arah jalan ke luar.
Kemanapun ruang tertutup untuk tangga membutuhkan lintasan dalam arah ke atas untuk
mencapai permukaan eksit pelepasan, penandaan dengan indikator pengarahan
menunjukkan arah ke permukaan dari eksit pelepasan harus disediakan pada setiap bordes
permukaan lantai dari yang ke arah atas dari lintasan yang dibutuhkan. Penandaan seperti
itu harus mudah terlihat apabila pintu dalam posisi terbuka atau tertutup.
Pengecualian 1 :
Apabila penandaan dipersyaratkan oleh butir 5.2.5.4.
Pengecualian 2 :
Tangga yang memanjang tidak lebih dari satu lantai dibawah permukaan eksit pelepasan apabila eksit pelepasan
jelas terlihat.
5.2.6. Persyaratan khusus untuk tangga luar.
5.2.6.1. Akses.
Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, tangga luar harus diijinkan bila menuju ke
atap dari bagian lain bangunan atau yang bangunan yang bersebelahan, apabila konstruksi-
nya tahan api, apabila disana ada sarana jalan ke luar yang aman dan menerus dari atap,
dan apabila semua persyaratan yang wajar lainnya untuk keselamatan jiwa dijaga ( lihat juga
butir 6.6).
5.2.6.2. Balkon.
Balkon yang menuju pintu jalan ke luar harus mendekati permukaan lantai bangunan.

33 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.2.6.3. Proteksi visual.


Tangga luar harus disusun untuk menghindari kesulitan penggunaan tangga oleh orang yang
takut terhadap tempat yang tinggi. Untuk tangga yang lebih dari tiga lantai tingginya, setiap
susunan dimaksud yang memenuhi persyaratan ini harus sedikitnya 1,2 m ( 4 ft ) tingginya.
5.2.6.4. Pemisahan dan proteksi dari tangga luar.
Tangga luar harus dipisahkan dari bagian dalam bangunan oleh dinding dengan tingkat
ketahanan api yang dipersyaratkan untuk ruang tangga tertutup dengan bukaan tetap atau
dapat menutup sendiri yang terproteksi. Konstruksi ini harus diperpanjang vertikal dari
bawah ke suatu titik 3 m ( 10 ft ) di atas bordes teratas dari tangga atau garis atap, yang
mana lebih rendah, dan sedikitnya 3 m ( 10 ft ) horisontal.
Pengecualian 1 :
Tangga luar yang melayani akses eksit balkon bagian luar yang mempunyai dua tangga luar berjauhan atau
ram.
Pengecualian 2 :
Tangga luar yang melayani tidak lebih dari dua lantai yang bersebelahan, termasuk lantai eksit pelepasan, harus
diijinkan tidak diproteksi apabila eksit kedua ditempatkan berjauhan.
Pengecualian 3 :
Dalam bangunan yang sudah ada, tangga luar yang melayani tidak lebih tiga lantai yang berdekatan, termasuk
lantai untuk eksit pelepasan, harus diijinkan tidak diproteksi apabila eksit kedua ditempatkan berjauhan.
Pengecualian 4 :
Tingkat ketahanan api dari pemanjangan pemisah 3 m ( 10 ft ) dari tangga harus tidak dipersyaratkan lebih dari 1
jam dengan bukaan mempunyai tingkat ketahanan api 45/45/45 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara
perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
5.2.6.5. Proteksi terhadap bukaan.
Semua bukaan di bawah tangga luar harus diproteksi dengan suatu rakitan yang mempunyai
tingkat ketahanan api 45/45/45 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara
perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
gedung.
5.2.6.6. Genangan air.
Tangga dan bordes luar harus dirancang untuk meminimalkan genangan air pada
permukaannya.
5.2.6.7. Keterbukaan.
Tangga luar harus sedikitnya 50% terbuka pada satu sisi dan harus disusun untuk
membatasi mengumpulnya asap.
5.3. Ruang tertutup kedap asap.
5.3.1. Umum.
Apabila ruang tertutup kedap asap dipersyaratkan pada bagian dari standar ini, harus
memenuhi butir 5.3.
Pengecualian :
Ruang tertutup kedap asap yang sudah ada apabila disetujui oleh instansi yang berwenang.

34 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.3.2. Rancangan kinerja.


Pendekatan metode perancangan harus suatu sistem yang memenuhi definisi dari ruang
tertutup kedap asap. Ruang tertutup kedap asap harus diijinkan untuk dibuat dengan
menggunakan ventilasi alam, oleh ventilasi mekanik yang bergabung dengan suatu ruang
antara, atau ruang tangga tertutup yang di-presurisasi.
5.3.3. Ruang tertutup.
Suatu ruang tertutup kedap asap harus terdiri dari suatu tangga menerus yang ditutup dari
titik tertinggi ke titik terendah oleh penghalang yang mempunyai tingkat ketahanan api
120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi
pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Apabila sebuah ruang antara digunakan, harus di dalam ruang tertutup dengan tingkat
ketahanan api 120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan
sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
harus merupakan bagian dari ruang tertutup kedap asap.
5.3.4. Ruang antara.
Apabila ruang antara disediakan, jalur pintu ke dalam ruang antara harus diproteksi dengan
rakitan pintu kebakaran yang disetujui yang mempunyai tingkat ketahanan api 90/90/90 atau
sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, dan rakitan pintu kebakaran dari
ruang antara ke tangga harus sedikitnya mempunyai tingkat ketahanan api 20 menit. Pintu
harus dirancang dengan kebocoran yang minimal, dan harus menutup sendiri atau harus
menutup secara otomatik oleh bekerjanya detektor asap dalam jarak 3 m ( 10 ft ) dari pintu
ruang antara.
5.3.5. Pelepasan.
Setiap ruang tertutup kedap asap harus di lepas ke jalan umum, ke halaman atau lapangan
yang langsung ke jalan umum, atau ke dalam jalur terusan eksit. Jalur eksit seperti itu harus
tanpa bukaan lain dari pada pintu masuk dari ruang tertutup yang kedap asap dan pintu ke
halaman luar, lapangan, atau jalan umum. Jalur terusan eksit harus dipisahkan dari sisa
bangunan oleh bahan dengan tingkat ketahanan api 120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-
2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung.
5.3.6. Akses.
Akses ke tangga harus oleh jalan dari suatu ruang antara atau jalan dari suatu balkon bagian
luar.
Pengecualian :
Ruang tertutup kedap asap terdiri dari ruang tertutup untuk tangga yang di-presurisasi memenuhi butir 5.3.9.
5.3.7. Ventilasi alam.
Ruang tertutup kedap asap yang menggunakan ventilasi alam harus memenuhi butir 5.3.3.
dan berikut :
a). Apabila akses ke tangga oleh sarana bukaan pada bagian luar balkon, rakitan pintu ke
tangga harus mempunyai tingkat ketahanan api 90/90/90 atau sesuai SNI 03-1736-
2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung dan harus menutup sendiri, atau harus menutup

35 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

secara otomatik oleh beroperasinya detektor asap. Bukaan yang berdekatan ke balkon
bagian luar seperti itu harus diproteksi sesuai butir 5.2.6.5., dan
b). Setiap ruang antara harus mempunyai luas bersih minimal 1,5 m2 ( 16 ft2 ) dari bukaan
dalam dinding bagian luar yang menghadap ke lapangan, halaman, atau tempat umum
sedikitnya 6 m ( 20 ft ) lebarnya, dan
c). Setiap ruang antara harus mempunyai ukuran minimum sedikitnya lebar yang
dipersyaratkan dari koridor yang menuju ke ruang antara dan ukuran minimumnya 180
cm ( 72 inci ) dalam arah lintasan.
5.3.8. Ventilasi mekanik.
Ruang tertutup kedap asap oleh ventilasi mekanik harus memenuhi butir 5.3.3. dan berikut :
a). Ruang antara harus mempunyai ukuran lebar minimum 110 cm ( 44 inci ) dan 180 cm
(72 inci ) dalam arah lintasan; dan
b). Ruang antara harus dilengkapi dengan sedikitnya satu pergantian udara per menit, dan
pengeluaran udara 150 persen dari udara yang dipasok. Pasokan udara yang masuk
dan keluar harus lepas dari ruang antara melalui pemisah dengan konstruksi ducting
rapat yang digunakan hanya untuk tujuan itu. Pasokan udara harus masuk ruang
antara dalam jarak 15 cm ( 6 inci ) dari permukaan lantai. Register pengeluaran teratas
harus ditempatkan tidak lebih dari 15 cm ( 6 inci ) turun dari perangkap teratas dan
harus sepenuhnya di dalam daerah perangkap asap. Pintu, ketika posisinya terbuka,
harus tidak menghalangi bukaan ducting. Pengontrol damper harus diijinkan di dalam
bukaan ducting jika dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan perencanaan; dan
c). Untuk melayani sebagai perangkap asap dan panas, dan untuk menyediakan gerakan
ke atas kolom udara, langit-langit dari ruang antara harus sedikitnya 50 cm ( 20 inci )
lebih tinggi dari bukaan pintu ke dalam ruang antara. Ketinggian harus diijinkan untuk
dikurangi apabila telah dipertimbangkan oleh perancangan teknis dan pengujian
lapangan; dan
d). Tangga harus dilengkapi dengan bukaan damper relief pada bagian atas dan dipasok
mekanis dengan udara yang cukup ke pelepasan sedikitnya 70 m3 per menit ( 2500
cfm ) melalui bukaan damper relief yang dipelihara bertekanan positip 25 Pa ( 0,10 inci
kolom air ) dalam tangga yang berhubungan dengan ruang antara dengan semua pintu
ditutup.
5.3.9. Presurisasi tangga.
5.3.9.1. Ruang tertutup kedap asap oleh presurisasi tangga harus menggunakan sistem
keteknikan yang disetujui dengan rancangan perbedaan tekanan diseberang penghalang
12,5 Pa ( 0,05 inci kolom air ) untuk bangunan berspringkler atau 25 Pa ( 0,10 inci kolom air)
untuk bangunan tak berspringkler, dan harus mampu menjaga perbedaan tekanan ini
dibawah kondisi efek cerobong atau angin. Perbedaan tekanan seberang pintu harus tidak
lebih dari pintu yang diijinkan untuk mulai dibuka oleh gaya 133 N ( 30 lbf) sesuai butir
5.1.4.5.
5.3.9.2. Peralatan dan ducting untuk presurisasi tangga harus ditempatkan :
a). Di bagian luar bangunan dan langsung dihubungkan ke jalur tangga oleh ducting yang
ditutup dengan konstruksi tidak terbakar, atau
b). Di dalam ruang tangga tertutup dengan lubang masuk dan lubang ke luar udara
langsung keluar atau melalui ducting yang ditutup oleh bahan dengan tingkat
ketahanan api 120/120/120 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara

36 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada


bangunan gedung, atau
c). Di dalam bangunan jika dipisahkan dari sisa bangunan, termasuk peralatan mekanikal
lainya, oleh bahan dengan tingkat ketahanan api 120/120/120 atau sesuai SNI 03-
1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian untuk c) :
Apabila bangunan, termasuk jalur tangga tertutup , diproteksi seluruhnya oleh sistem springkler otomatis yang
terawasi dan disetujui sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, tingkat ketahanan apin harus
sedikitnya 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Dalam suatu kasus, bukaan ke dalam tingkat ketahanan api yang dipersyaratkan harus dibatasi untuk kebutuhan
pemeliharaan dan pengoperasian dan harus diproteksi oleh alat proteksi kebakaran yang menutup sendiri sesuai
ketentuan mengenai konstruksi dan kompartemenisasi.
5.3.10. Aktifisasi sistem ventilasi mekanik.
5.3.10.1. Untuk sistem ventilasi mekanik dan sistem presurisasi ruang tertutup kedap
asap, pengaktifan dari sistem harus diawali oleh detektor asap yang dipasang dalam lokasi
yang disetujui dalam jarak 3 m ( 10 ft ) dari pintu masuk ke ruang tertutup kedap asap.
5.3.10.2. Sistem mekanikal yang dibutuhkan harus beroperasi pada pengoperasian
detektor asap sesuai butir 5.3.10.1. dan kontrol manual yang mudah dicapai oleh dinas
pemadam kebakaran. Sistem yang dipersyaratkan juga harus diawali sebagai berikut, jika
dilengkapi :
a). sinyal aliran air dari sistem springkler otomatik yang lengkap, dan
b). sinyal alarm evakuasi umum.
5.3.11. Penutup pintu.
Pengaktifan dari alat penutup otomatik pada setiap pintu ruang tertutup kedap asap harus
mengaktifkan semua peralatan penutup otomatik pada pintu-pintu dalam ruang tertutup
kedap asap.
5.3.12. Daya listrik cadangan.
Daya listrik cadangan untuk peralatan ventilasi mekanik harus disediakan oleh generator set
yang disetujui untuk bekerja bilamana daya listrik normal terputus. Generator harus
ditempatkan dalam suatu ruangan yang pemisahnya mempunyai minimum tingkat ketahanan
apinya 1 jam dari sisa bangunan. Generator harus mempunyai pasokan bahan bakar
minimum yang cukup untuk mengoperasikan peralatan selama dua jam.
5.3.13. Pengujian.
Sebelum peralatan mekanikal disetujui instansi yang berwenang, peralatan ini harus diuji
untuk menyatakan bahwa peralatan mekanikal beroperasi memenuhi persyaratan ini.
Semua bagian dari sistem yang beroperasi harus diuji enam bulan sekali oleh orang yang
ditugaskan, dan buku catatan riwayat harus selalu dipelihara.

37 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.4. Eksit horisontal.


5.4.1. Umum.
Eksit horisontal diperkenankan menggantikan eksit lainnya untuk memperluas kapasitas total
jalan ke luar dari eksit-eksit lain ( tangga, ram, pintu yang menuju ke luar gedung), menjadi
sedikitnya setengah yang dipersyaratkan untuk seluruh luas bangunan atau bangunan yang
berdampingan bilamana eksit horisontal tidak ada.
Pengecualian :
Seperti dijelaskan pada bangunan kesehatan dan rumah tahanan.

Gambar 5.4.1.(a) : Delapan eksit tanpa melalui eksit horisontal,


disyaratkan untuk menyediakan jalan ke luar sesuai kapasitas.

Gambar 5.4.1.(b) : Jumlah tangga dikurangi tiga dengan menggunakan


dua eksit horisontal, kapasitas jalan ke luar tidak dikurangi.

38 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 5.4.1.( c) : Jumlah tangga selanjutnya dapat dikurangi dengan


melebarkan tangga pada kompartemen yang terbesar, tetapi tidak kurang
setengah jumlah dan kapasitas eksit yang dipersyaratkan dari kompartemen itu.
5.4.2. Kompartemen kebakaran.
5.4.2.1. Setiap kompartemen yang disetujui sehubungan adanya eksit horisontal, harus
mempunyai sebagai tambahan dari eksit horisontal tersebut, sedikitnya satu eksit yang
bukan eksit horisontal tetapi tidak kurang 50 persen dari jumlah dan kapasitas eksitnya.
Setiap kompartemen yang tidak mempunyai eksit yang menuju ke luar dianggap sebagai
kompartemen yang berdampingan yang mempunyai eksit ke luar.
Pengecualian :
Seperti dijelaskan pada bangunan kesehatan dan rumah tahanan.
5.4.2.2. Setiap eksit horisontal yang dipercaya, harus disusun sehingga menerus dengan
jalur lintas yang ada yang menuju setiap sisi eksit ke jalur tangga atau sarana jalan ke luar
lain yang menuju ke luar bangunan.
5.4.2.3. Dimanapun, dari salah satu sisi eksit horisontal yang dihuni pintu yang
dihubungkan dengan eksit horisontal harus tidak terkunci dari sisi jalan ke luar.
Pengecualian :
Separti pada bangunan kesehatan dan rumah tahanan.
5.4.2.4. Luas lantai pada salah satu sisi dari eksit horisontal harus cukup untuk menahan
penghuni dari dua kedua luas lantai , asalkan luas lantai bersih sedikitnya 0,28 m2 ( 3 ft2 )
per orang.
Pengecualian :
Luas lantai khusus yang dipersyaratkan untuk bangunan kesehatan dan rumah tahanan.
5.4.3. Penghalang kebakaran.
5.4.3.1. Penghalang kebakaran yang memisahkan bangunan atau daerah antaranya
dimana terdapat eksit horisontal, harus mempunyai tingkat ketahanan api 120/120/120 atau
sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan harus dilengkapi suatu pemisah
menerus sampai lantai bawah.

39 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian :
Apabila suatu penghalang kebakaran dilengkapi eksit horisontal dalam setiap lantai bangunannya, penghalang
kebakaran seperti itu harus tidak dipersyaratkan pada lantai lain, asalkan :
a). Lanta dimana penghalang kebakarannya dihilangkan, yang dipisahkan dengan lantai yang mempunyai
eksit horisontal dengan konstruksi yang mempunyai tingkat ketahanan api sedikitnya sama dengan tingkat
ketahanan api penghalang kebakaran eksit horisontalnya; dan
b). bukaan vertikal antara lantai yang eksit horisontalnya ada dan lantai tidak dilindungi terhadap kebakaran
ditutup dengan konstruksi yang mempunyai tingkat ketahanan api sedikitnya sama dengan penghalang
kebakaran eksit horisontalnya ;
c) Semua eksit yang dipersyaratkan, selain dari eksit horisontal, pelepasannya langsung ke luar.
5.4.3.2. Dimana penghalang kebakaran dengan eksit horisontal berakhir pada dinding
luar pada dinding luar yang bersudut kurang dari 1800 , maka sepanjang 3 m dari titik
pertemuan penghalang kebakaran dan dinding luar harus mempunyai tingkat ketahanan api
60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, apabila ada bukaan yang
terproteksi sepanjang 3 m ( 10 ft ) pada dinding luar, maka tingkat ketahananan api
bukaannya cukup 45/45/45 atau sesuai SNI 03-1736 tentang tata cara perencanaan sistem
proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 1 :
Eksit horisontal yang sudah ada.

Gambar 5.4.3.2. : Proteksi dinding luar bangunan

40 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.4.3.3. Penghalang kebakaran yang menjadi eksit horisontal harus tidak ditembus oleh
ducting.
Pengecualian 1 :
Tembusan yang sudah ada yang terproteksi dengan damper kebakaran yang disetujui dan terdaftar .
Pengecualian 2 :
Dalam bangunan yang diproteksi seluruhnya oleh sistem sprinkler otomatik yang terawasi dan disetujui dan
dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 3 :
Tembusan ducting pada bangunan penjara diijinkan diproteksi dengan kombinasi damper kebakaran/damper
kebocoran asap yang memenuhi persyaratan pengoperasian damper asap.
5.4.3.4. Setiap bukaan pada penghalang kebakaran seperti itu, harus diproteksi sesuai
ketentuan tentang konstruksi dan kompartemen.
5.4.3.5. Pintu eksit horisontal harus memenuhi 5.1.4.
Pengecualian :
Pintu geser seperti dijelaskan untuk bangunan industri dan gudang.
5.4.3.6. Pintu kebakaran ayun diperkenankan pada eksit horisontal, kecuali bila :
a). Pintu membuka dalam arah lintasan jalan ke luar ; dan
b). Eksit horisontal melayani daerah pada kedua sisi penghalang kebakaran,
berdampingan dengannya ada pintu ayun, yang membuka ke arah yang berlawanan,
dengan penandaan pada setiap sisi dari penghalang kebakaran menunjukkan bukaan
sesuai dengan lintasan dari sisi itu; atau
Pengecualian untuk b) :
Daerah kamar tidur rumah tahanan dan rehabilitasi dikecualikan dari persyaratan penandaan.
c). Berbagai susunan pintu diperkenankan, asalkan selalu membuka sesuai dengan setiap
kemungkinan lintasan jalan ke luar.
Pengecualian 1 :
Pintu eksit horisontal membuka seperti dijelaskan untuk bangunan rumah sakit dan rumah tahanan.
Pengecualian 2 :
Bukaan pintu eksit horisontal di koridor lebarnya maksimum 180 cm ( 6 ft ) dalam bangunan yang sudah ada.
5.4.3.7. Pintu dalam eksit horisontal harus dirancang dan dipasang untuk meminimalkan
perembesan udara.
5.4.3.8. Semua pintu kebakaran dalam eksit horisontal harus menutup sendiri atau
menutup secara otomatik sesuai butir 5.1.8. Pintu horisontal eksit yang ditempatkan
berseberangan dengan koridor harus menutup secara otomatik sesuai butir 5.1.8.
Pengecualian :
Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, pintu eksit horisontal yang sudah ada harus diijinkan untuk
menutup sendiri.

41 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.4.4. Jembatan dan balkon.


5.4.4.1. Tiap jembatan atau balkon yang digunakan dalam hubungannya dengan eksit
horisontal harus mempunyai pagar pengaman dan rel pemegang tangan dalam memenuhi
persyaratan butir 5.2.4.
5.4.4.2. Lebar tiap jembatan atau balkon minimal selebar pintu yang menuju ke sana dan
untuk konstruksi yang baru lebarnya minimal 110 cm ( 44 inci ).
5.4.4.3. Apabila jembatan atau balkon melayani eksit horisontal satu arah, pintu harus
dipersyaratkan membuka ke arah lintasan jalan ke luar.
5.4.4.4. Apabila jembatan atau balkon melayani sebagai eksit horisontal dalam dua arah,
pintu harus sepasang, membuka dalam arah yang berlawanan. Hanya pintu yang membuka
ke arah lintasan jalan ke luar harus yang dihitung dalam menentukan kapasitas jalan ke luar.
Pengecualian 1 :
Jika jembatan atau balkon mempunyai luas lantai cukup untuk menampung beban hunian dari bangunan yang
terhubungkan atau daerah kebakaran berdasarkan luas lantai 0,28 m2 ( 3 ft2 ) per orang.
Pengecualian 2 :
Pada bangunan yang sudah ada, pintu pada kedua ujung jembatan atau balkon diijinkan membuka ke luar dari
bangunan apabila disetujui oleh instansi yang berwenang.
5.4.4.5. Semua bukaan pada dinding, dalam kedua bangunan yang terhubung atau
daerah kebakaran, setiap bagian darinya dalam jarak 3 m ( 10 ft ) dari setiap jembatan atau
balkon diukur secara horisontal atau ke bawahnya, harus diproteksi dengan pintu kebakaran
atau rakitan jendela mati tahan kebakaran yang mempunyai tingkat ketahanan api 45/45/45
atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 1 :
Apabila sisi pagar jembatan minimal setinggi 180 cm ( 6 ft ) tingginya, proteksi bukaan pada dinding seperti di
atas tidak dipersyaratkan.
Pengecualian 2 :
Jembatan dan balkon yang sudah ada apabila disetujui oleh instansi yang berwenang.
5.5. Ram.
5.5.1. Umum.
Setiap ram yang digunakan sebagai komponen sarana jalan ke luar harus memenuhi
persyaratan umum bagian/pasal 4 dan persyaratan khusus dari sub bagian ini.
5.5.2. Kriteria dimensi.
Ram harus sesuai dengan tabel 5.5.2.

42 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Tabel 5.5.2 : Ram baru


Lebar bersih maksimum bebas hambatan,
kecuali tonjolan tidak lebih dari 9 cm ( 3½
110 cm ( 44 inci ).
inci ) pada atau bawah ketinggian rel
pegangan tangan pada setiap sisi.
1 : 12 untuk > 15 cm ( 6 inci ) ketinggian.
1 : 10 untuk > 7,5 cm ( 3 inci ) dan ≤ 15 cm
Kemiringan maksimum
( 6 inci ) ketinggian.
1 : 8 untuk ≤ 7,5 cm ( 3 inci ) ketinggian.
Maksimum kemiringan pada persilangan 1 : 48.
Maksimum ketinggian untuk jalan ram
75 cm ( 30 inci ).
tunggal.
Pengecualian 1 :
Gang berupa ram seperti diijinkan pada bangunan rumah tahanan.
Pengecualian 2 :
Ram yang sudah tetap harus diijinkan penggunaannya atau dibangun kembali sesuai persyaratan yang dalam
tabel ram yang sudah ada.

Ram yang sudah ada


Klas A Klas B
Lebar minimum 120 cm ( 44 inci ) 75 cm ( 30 inci )
Kemiringan maksimum 1 : 10 1:8
Ketinggian maksimum antar bordes 3,7 m ( 12 ft ) 3,7 m ( 12 ft ).

Pengecualian 3 :
Ram klas B yang sudah ada dengan kemiringan tidak lebih miring dari 1 : 6 diijinkan untuk tetap dipakai apabila
disetujui oleh instansi yang berwenang.
Pengecualian 4 :
Ram yang sudah ada dengan kemiringan tidak lebih miring dari 1 : 10 harus tidak disyaratkan disediakan
bordes.
Pengecualian 5 :
Akses peralatan industri seperti pada bangunan industri.
Pengecualian 6 :
Ram yang digunakan untuk akses kendaraan, peti kemas, pesawat angkat yang mobil, dan pesawat terbang
tidak dipersyaratkan memenuhi kemiringan tinggi maksimum untuk jalan ram tunggal.
5.5.3. Detail ram.
5.5.3.1. Konstruksi.
a). Semua ram yang dipersyaratkan untuk sarana jalan ke luar harus dipasang dengan
konstruksi yang permanen.

43 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

b). Sebuah ram yang digunakan sebagai sarana jalan ke luar dalam bangunan lebih dari
tiga lantai, atau di dalam setiap konstruksi bangunan dengan berbagai tingkat
ketahanan api, harus dibuat dari rakitan bahan tidak terbakar atau bahan tidak mudah
terbakar. Lantai ram dan bordes harus padat dan tanpa perforasi ( berlubang).
5.5.3.2. Bordes.
a). Ram harus mempunyai bordes pada bagian atas, bagian bawah dan pada bukaan
pintu ke ram. Kemiringan dari bordes harus tidak lebih miring dari 1 : 48. Lebar bordes
harus sama dengan lebar ram.
Pengecualian untuk a) :
Lebar bordes maksimum 120 cm ( 4 ft ) dalam arah lintasan asalkan jalan ram lurus.
b). Setiap perubahan arah lintasan hanya diperkenankan pada bordes. Ram dan bordes
harus menerus sama lebar sepanjang arah lintasan ke luar .
Pengecualian untuk b) :
Ram yang sudah ada harus diijinkan untuk berubah arahnya tanpa ada bordes.
5.5.3.3. Tahanan gelincir.
Ram dan bordes harus mempunyai tahanan gelincir pada permukaannya.
5.5.3.4. Penurunan.
Ram dan bordes dengan penurunan harus mempunyai kanstin, dinding, rel, atau permukaan
yang menonjol untuk mencegah orang tergelincir ke luar lintasan ram. Kanstin atau
penghalang minimal 10 cm ( 4 inci ) tingginya.
5.5.4. Pagar pengaman dan rel pegangan tangan.
Pagar pengaman sesuai butir 5.2.4 harus disediakan untuk ram. Rel pegangan tangan
sesuai butir 5.2.4. harus disediakan sepanjang kedua sisi ram dengan kemiringan lebih dari
1 : 20. Tinggi dari rel pegangan tangan dan pagar pengaman harus diukur vertikal dari
permukaan lantai ram.
Pengecualian :
Pagar pengaman dan rel pegangan tangan yang disediakan untuk ram pada gang untuk bangunan kumpulan.
5.5.5. Ruang tertutup dan proteksi untuk ram.
Ram di dalam sarana jalan ke luar harus tertutup atau terproteksi seperti tangga sesuai butir
5.2.5. Penggunaan pengecualian no.2 dan no.3 terhadap butir 5.2.6.4. dilarang.
5.5.6. Ketentuan khusus untuk ram luar.
5.5.6.1. Ketinggian lantai.
Ketinggian lantai balkon dan bordes yang menuju ke pintu harus mendekati ketinggian lantai
bangunan.

5.5.6.2. Proteksi visual.


Ram luar harus dirancang sedemikian rupa untuk mencegah kesalahan penggunaannya
oleh orang yang mempunyai rasa takut terhadap tempat yang tinggi. Untuk bangunan lebih
dari tiga lantai tinggi pagar pengaman ram harus sedikitnya 120 cm ( 4 ft ).

44 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.5.6.3. Genangan air.


Ram luar dan bordes harus dirancang untuk meminimalkan genangan air pada
permukaannya.
5.6. Jalan terusan eksit.
5.6.1. Umum.
Jalan terusan eksit yang digunakan sebagai bagian komponen eksit harus memenuhi
persyaratan umum bagian/pasal 4 dan persyaratan khusus dari sub bagiannya.
5.6.2. Lebar.
Lebar dari jalan terusan eksit harus cukup untuk mengakomodasi kapasitas yang
dipersyaratkan oleh semua eksit pelepasan yang melaluinya.
Pengecualian 1 :
Apabila jalan terusan eksit melayani hunian dari lantai eksit pelepasan dan lantai lain, kapasitasnya harus tidak
dipersyaratkan untuk dijumlah.
Pengecualian 2 :
Seperti diijinkan pada bangunan perdagangan, jalan terusan eksit dalam mal yang tertutup beban hunian
pengunjung mal tertutup dan beban hunian tetap tempat yang disewakan, dipisahkan.
5.6.3. Lantai.
Lantai harus padat dan tanpa perforasi.
5.7. Eskalator dan travelator.
Eskalator dan travelator harus tidak termasuk bagian dari sarana jalan ke luar yang
dipersyaratkan.
Pengecualian :
Eskalator dan travelator yang sebelumnya disetujui dalam bangunan yang sudah ada.
5.8. Tangga penyelamatan terhadap kebakaran.
5.8.1. Umum.
5.8.1.1. Tangga untuk penyelamatan kebakaran harus memenuhi ketentuan dalam butir
5.8.
Pengecualian :
Tangga penyelamatan kebakaran yang sudah ada yang tidak memenuhi syarat yang diijinkan, apabila disetujui
oleh instansi yang berwenang.
5.8.1.2. Tangga penyelamatan kebakaran tidak termasuk sarana jalan ke luar yang
disyaratkan.
Pengecualian 1 :
Tangga penyelamatan kebakaran harus diijinkan pada gedung yang sudah ada untuk bangunan kelas 2 sampai
9 tetapi harus tidak lebih dari 50% sarana jalan ke luar yang dipersyaratkan.
Pengecualian 2 :
Tangga penyelamatan kebakaran baru diijinkan dibangun pada gedung yang sudah ada hanya apabila
dinyatakan oleh instansi yang berwenang bahwa tangga luar yang ada kurang memenuhi syarat. (lihat butir 5.2 ).

45 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Tangga penyelamatan yang baru tidak berupa tangga panjat atau jendela akses untuk semua klasifikasi hunian
atau beban hunian.
5.8.1.3. Untuk tangga penyelamatan kebakaran dari tipe U dengan platform atau tipe
lurus dengan platform yang menerus dalam arah yang sama harus diijinkan. Jenis yang
manapun harus diijinkan sejajar atau tegak lurus pada bangunan. Jenis yang manapun
harus diijinkan menempel pada bangunan atau dibangun tersendiri dari bangunan dan
dihubungkan oleh jalur pejalan kaki.
5.8.2. Proteksi dari bukaan.
Tangga penyelamatan kebakaran harus berhubungan dengan sesedikit mungkin bukaan
jendela dan pintu. Setiap bukaan harus diproteksi dengan pintu kebakaran yang disetujui
atau rakitan jendela kebakaran, apabila bukaan atau bagian dari bukaan diletakkan sebagai
berikut :
a). Horisontal.
Jika dalam jarak 4,5 m ( 15 ft ) dari balkon, platform, atau jalur tangga yang termasuk
sebagai satu komponen dari tangga penyelamatan kebakaran.
b). Di bawah.
Jika dalam jarak tiga lantai atau 10 m ( 35 ft ) dari balkon, platform, jalur pejalan kaki,
atau jalur tangga yang termasuk sebagai satu komponen tangga penyelamatan
kebakaran atau dalam jarak dua lantai atau 6 m ( 20 ft ) dari sebuah platform atau jalur
pejalan kaki yang menuju dari tiap lantai ke tangga penyelamatanan kebakaran.
c). Di atas.
Jika dalam jarak 3 m ( 10 ft ) dari balkon, platform atau jalur pejalan kaki diukur vertikal
atau dari permukaan anak tangga terukur vertikal.
d). Lantai teratas.
proteksi untuk bukaan dinding harus tidak dipersyaratkan apabila tangga ridak menuju
ke atap.
e). Halaman ( Court ) yang mengelilingi dinding.
Setiap dinding yang menghadap ke halaman yang dilayani oleh sebuah tangga
penyelamatan kebakaran dengan dimensi yang terkecil dari halaman tidak lebih besar
dari sepertiga ketinggian platform teratas dari tangga penyelamatan kebakaran diukur
dari lantai dasar.
Pengecualian :
Ketentuan dalam butir 5.8.2 harus diijinkan untuk dimodifikasi oleh instansi yang berwenang bila menggunakan
proteksi springkler otomatis, hunian bahaya kebakaran rendah, atau kondisi khusus lainnya.
5.8.3. Akses.
5.8.3.1. Akses ke tangga penyelamatan kebakaran harus sesuai dengan butir 5.8.4 dan
butir 8.1.2.
Pengecualian :
Apabila diijinkan dalam hunian yang sudah ada dari standar ini, akses ke tangga penyelamatan kebakaran
diijinkan melalui jendela. Jendela berjalusi atau jendela tahan badai harus dilarang apabila jendela tersebut
membatasi akses bebas ke tangga penyelamatan kebakaran. Jendela harus disusun dan dijaga sehingga mudah
dibuka.

46 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.8.3.2. Tangga penyelamatan kebakaran harus diperpanjang ke atap di dalam semua


kasus apabila atap di huni atau sebagai daerah tempat perlindungan yang aman.
Pengecualian :
Jika atap mempunyai kemiringan 1 : 6 atau kurang, tangga penyelamatan kebakaran sesuai dengan butir 5.9
atau tangga alternatip sesuai dengan butir 5.11 harus disediakan untuk akses ke atap.
5.8.3.3. Akses ke tangga penyelamatan kebakaran harus langsung ke balkon, bordes
atau platform dan tidak lebih tinggi dari lantai atau ambang bawah jendela dan tidak lebih
rendah dari 20 cm ( 8 inci ) dibawah ambang bawah jendela.
5.8.4. Detail tangga.
Tangga penyelamatan kebakaran harus memenuhi persyaratan tabel 5.8.4.a. dan sub
bagiannya. Penggantian tangga penyelamatan kebakaran harus memenuhi persyaratan
tabel 5.8.4.b.
Tabel 5.8.4.a.
Melayani lebih dari 10 penghuni Melayani 10 penghuni atau kurang.
Lebar minimum 55 cm ( 22 inci ) bersih antara rel- 45 cm ( 18 inci ) bersih antara rel-
rel. rel.
Dimensi horisontal minimum dari Bersih 55 cm Bersih 45 cm ( 18 inci )
setiap bordes atau landasan.
Tiang tegak maksimum 23 cm ( 9 inci ). 30 cm ( 12 inci ).
Tinggi minimum anak tangga, 23 cm ( 9 inci ). 15 cm ( 6 inci ).
tidak termasuk ujungnya.
Ujung minimum atau tonjolan. 2,5 cm ( 1 inci ). Tidak ada persyaratan
Konstruksi anak tangga. Padat berdiameter 1,3 cm, Batangan metal rata pada tepi atau
perforasi diijinkan. batangan segi empat diamankan
terhadap putaran berjarak 3,2 cm
(1¼ inci) maksimum pada tengah-
tengahnya.
Pemutar Tidak ada Diijinkan subyek pada batas
kapasitas.
Tiang tegak Tidak ada Tidak ada syarat
Spiral Tidak ada Diijinkan subyek pada batas
kapasitas.
Ketinggian maksimum antar 3,7 m (12 ft ). tidak dipersyaratkan.
bordes.
Ketinggian ruang minimum. 200 cm ( 6 ft, 8 inci ). sama
Tinggi rel pegangan tangan. 100 cm ( 42 inci ). sama
akses ke penyelamatan. Pintu atau jendela 60 cm x 200 cm Jendela-jendela menyediakan
(24 inci x 6 ft,6 inci) atau jendela bukaan bersih paling sedikit 50 cm
gantung ganda 76 cm x 90 cm (30 (20 inci) lebar 60 cm (24 inci) tinggi
inci x 36 inci) bukaan bersih. dan 0,5 m2 (5,7 ft2) luasnya.
Ketinggian dari bukaan akses. Tidak lebih dari 30 cm ( 12 inci ) di sama
atas lantai, bertingkat-tingkat
apabila lebih.
Pelepasan ke lantai dasar. Bagian tangga ayun diijinkan Tangga ayun atau tangga panjat
apabila disetujui oleh instansi yang ayun bila disetujui oleh instansi
berwenang. yang berwenang.
Kapasitas, jumlah orang. 1,3 cm ( 0,5 inci ) per orang 10; apabila pemutar atau tangga
apabila akses melalui pintu; 2,5 cm panjat dari balkon bawah, 5; jika
( 1 inci ) per orang bila akses keduanya, 1
dengan memanjat melalui jendela.

47 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Tabel 5.8.4.b. : Penggantian tangga penyelamatan kebakaran.


Melayani lebih dari 10 penghuni Melayani 10 penghuni atau kurang.
Lebar minimum 55 cm ( 22 inci ) bersih antara rel- sama.
rel.
Dimensi horisontal minimum dari Bersih 55 cm ( 22 inci ) sama.
setiap bordes atau landasan.
Tiang tegak maksimum 23 cm ( 9 inci ). sama.
Tinggi minimum anak tangga, 25 cm ( 10 inci ). sama .
tidak termasuk ujungnya.
Konstruksi anak tangga. Padat berdiameter 1,3 cm, sama.
perforasi diijinkan.
Pemutar Tidak ada Diijinkan subyek pada butir 5.2.2.4.
Tiang tegak Tidak ada Tidak ada
Spiral Tidak ada Diijinkan subyek pada butir 5.2.2.4..
Ketinggian maksimum antar 3,7 m (12 ft ). sama
bordes.
Ketinggian ruang minimum. 200 cm ( 6 ft, 8 inci ). sama
Tinggi rel pegangan tangan. 100 cm ( 42 inci ). sama
akses ke penyelamatan. Pintu atau jendela 60 cm x 200 cm Jendela-jendela menyediakan
(24 inci x 6 ft,6 inci) atau jendela bukaan bersih paling sedikit 50 cm
gantung ganda 76 cm x 90 cm (30 (20 inci) lebar 60 cm (24 inci) tinggi
inci x 36 inci) bukaan bersih. dan 0,5 m2 (5,7 ft2) luasnya.
Ketinggian dari bukaan akses. Tidak lebih dari 30 cm ( 12 inci ) di sama
atas lantai, bertingkat-tingkat
apabila lebih.
Pelepasan ke lantai dasar. Bagian tangga ayun diijinkan sama.
apabila disetujui oleh instansi yang
berwenang.
Kapasitas, jumlah orang. 1,3 cm ( 0,5 inci ) per orang apabila 10;
akses melalui pintu; 2,5 cm ( 1 inci )
per orang bila akses dengan
memanjat melalui jendela.

5.8.5. Pagar pengaman, rel pegangan tangan dan ruang tertutup yang visual.
5.8.5.1. Semua tangga penyelamatan kebakaran harus mempunyai dinding atau pagar
pengaman dan rel pegangan tangan pada kedua sisinya sesuai butir 5.2.4.
Pengecualian :
Rel pegangan tangan yang sudah ada pada tangga penyelamatan kebakaran yang sudah ada harus diijinkan
selama ketinggiannya tidak lebih dari 100 cm ( 42 inci ).
5.8.5.2. Penggantian tangga penyelamatan kebakaran di dalam hunian yang melayani
lebih dari 10 penghuni harus mempunyai ruang tertutup visual untuk menghindari setiap
kesalahan penggunaan oleh orang-orang yang mempunyai rasa takut pada tempat yang
tinggi. Untuk tangga lebih dari tiga lantai tingginya, setiap susunan dimaksud untuk
memenuhi persyaratan ini harus sedikitnya 100 cm ( 42 inci ) tingginya.
5.8.6. Bahan dan ketahanan.
5.8.6.1. Bahan yang tidak mudah terbakar harus digunakan untuk konstruksi semua
kompoinen dari tangga penyelamatan kebakaran.

48 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.8.6.2. Instansi yang berwenang harus diijinkan untuk menyetujui setiap tangga
kebakaran yang sudah ada yang telah di uji beban atau bukti lain yang memuaskan yang
menunjukkan ketahanan yang cukup.
5.8.7. Tangga ayun.
5.8.7.1. Satu bagian tangga ayun harus diijinkan untuk menjadi akhir dari tangga
penyelamatan kebakaran jalan setapak, gang atau jalur kendaraan, apabila tidak
memungkinkan untuk membuat pengakhiran dengan tangga penyelamatan kebakaran.
5.8.7.2. Bagian tangga ayun tidak ditempatkan di atas pintu, di atas jalur lintasan dari
setiap eksit lain, atau dalam setiap lokasi yang menjadikannya penghalang.
5.8.7.3. Lebar dari bagian tangga ayun harus sedikitnya sama dengan tangga
penyelamatan kebakaran di atasnya.
5.8.7.4. Bagian atas tangga ayun harus tidak miring terhadap tangga penyelamatan
kebakaran di atasnya.
5.8.7.5. Pagar pengaman dan rel pegangan tangan, sesuai butir 5.2.4. harus diadakan
dengan ketinggian dan konstruksi yang sesuai dengan yang digunakan untuk tangga
penyelamatan kebakaran diatasanya. Pagar pengaman dan rel pegangan tangan dirancang
untuk mencegah setiap kemungkinan kecelakaan kepada orang apabila tangga mengayun
ke bawah. Jarak minimum antar bagian yang bergerak dan setiap bagian lainnya dari sistem
tangga dimana tangan berkecenderungan tersangkut harus 10 cm ( 4 inci ).
5.8.7.6. Jika jarak dari platform terendah ke tanah sedikitnya 3,7 m ( 12 ft ), harus ada
balkon antara berjarak tidak lebih dari 3,7 m ( 12 ft ) dari tanah dan sedikitnya 2,1 m ( 7 ft )
dari tanah, dengan lebar sedikitnya selebar tangga dan panjang sedikitnya 1,2 m ( 4 ft ).
5.8.7.7. Tangga ayun harus diimbangi pada sebuah poros , dan tidak boleh
menggunakan kabel. Suatu pemberat 68 kg ( 150 lb ) diletakkan satu langkah dari poros
harus tidak menyebabkan tangga mengayun turun, dan suatu pemberat 68 kg ( 150 lb )
diletakkan seperempat panjang dari tangga ayun dari poros menjamin tangga mengayun
turun.
5.8.7.8. Poros untuk tangga ayun harus tahan korosi atau mempunyai celah untuk
mencegah menempel karena korosi.
5.8.7.9. Jangan dipasang pengunci pada tangga ayun.
5.8.8. Tempat yang dilalui .
5.8.8.1. Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang , tangga penyelamatan
kebakaran harus diijinkan menyeberang menuju atap yang bersebelahan sebelum
diteruskan ke lintasan menurun.
Arah dari lintasan harus ditandai dengan jelas, dan harus disediakan jalur pejalan kaki
dengan pagar pengaman dan rel pegangan tangan memenuhi butir 5.2.4.
5.8.8.2. Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, tangga penyelamatan kebakaran
harus diijinkan digunakan sebagai tangga di dalam atau tangga di luar memenuhi butir 5.2.2,
asalkan jalur lintas menerus yang aman di jaga.
5.9. Tangga panjat penyelamatan kebakaran.
5.9.1. Umum.
Tangga panjat penyelamat kebakaran hanya diijinkan apabila menyediakan :

49 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

a). Akses menuju tempat di atap yang tidak dihuni seperti yang diijinkan didalam butir
5.8.3.2; atau
b). Sebuah sarana jalan ke luar kedua dari lif gudang seperti yang diijinkan untuk
bangunan hunian gudang ; atau
c). Sebuah sarana jalan ke luar dari menara dan platform yang ditinggikan untuk
perlengkapan mesin atau tempat yang serupa , untuk hunian tidak lebih dari tiga orang
yang mampu menggunakan tangga panjat ; atau
d). Sebuah sarana jalan ke luar kedua dari ruangan ketel uap atau tempat yang serupa
untuk hunian tidak lebih dari tiga orang yang mampu menggunakan tangga panjat;
atau
e). Akses ke tanah dari balkon atau tangga terendah dari tangga penyelamatan kebakaran
untuk bangunan yang kecil diijinkan dalam butir 5.8.4 apabila disetujui oleh instansi
yang berwenang.
5.9.2. Konstruksi dan instalasi.
5.9.2.1. Tangga panjat penyelamatan kebakaran harus memenuhi ketentuan yang
berlaku dalam standar keselamatan untuk tangga panjat.
Pengecualian 1 :
Tangga panjat yang sudah ada harus memenuhi standar ini, berlaku apabila tangga panjat yang dipasang telah
diijinkan dan disetujui oleh instansi yang berwenang.
Pengecualian 2 :
Tangga industri yang tetap yang sesuai ketentuan yang berlaku tentang hal ini, persyaratan minimum untuk
tangga tetap harus diijinkan apabila tangga panjat penyelamatan kebakaran diijinkan sesuai untuk bangunan
industri.
5.9.2.2. Tangga panjat yang dipasang dengan kemiringan lebih dari 75 derajat harus
dilarang.
5.9.2.3. Tangga panjat yang mudah terbakar harus dilarang.
5.9.3. Akses.
Anak tangga panjat terbawah harus tidak lebih dari 30 cm ( 12 inci ) di atas permukaan
dibawahnya.
5.10. Alat penyelamatan luncur.
5.10.1. Umum.
5.10.1.1. Alat penyelamatan luncur harus diijinkan sebagai komponen jalan ke luar apabila
diijinkan untuk bangunan kelas 2 sampai dengan 9.
5.10.1.2. Setiap alat penyelamatan luncur harus dari tipe yang disetujui.
5.10.2. Kapasitas.
5.10.2.1. Alat penyelamatan luncur, apabila diijinkan sebagai sarana jalan ke luar, harus
berkapasitas 60 orang.
5.10.2.2. Alat penyelamatan luncur harus tidak lebih 25 Persen dari kapasitas jalan ke luar
yang dipersyaratkan dari setiap bangunan atau setiap lantai tersendiri.

50 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian.
Seperti diijinkan untuk bangunan industri.
5.11. Peralatan anak tangga bergantian.
5.11.1. Peralatan anak tangga bergantian sesuai butir 5.11.2. harus diijinkan apabila
memenuhi :
a). Akses ke ruang atap tidak berpenghuni seperti yang diijinkan dalam butir 5.8.3.2.
b). Sebuah sarana jalan ke luar kedua dari lif gudang seperti diijinkan untuk bangunan
gudang.
c). Sebuah sarana jalan ke luar dari menara dan platform di ketinggian disekitar peralatan
mesin atau tempat-tempat penting serupa pada hunian tidak lebih dari tiga orang yang
berkemampuan menggunakan peralatan anak tangga bergantian ; atau
d). Sebuah sarana jalan ke luar sekunder dari ruangan ketel uap atau tempat penting
serupa untuk hunian tidak lebih dari tiga orang yang mampu menggunakan peralatan
anak tangga bergantian.

Gambar 5.11.1. Tangga bergantian

5.11.2. Peralatan anak tangga bergantian harus memenuhi yang berikut :


a). Rel pegangan tangan disediakan pada kedua sisi dari peralatan anak tangga
bergantian sesuai butir 5.2.4.5.; dan
b). Lebar bersih antara rel pegangan tangan paling sedikit 43 cm ( 17 inci ) dan tidak lebih
dari 60 cm ( 24 inci ) ; dan
c). Tinggi ruangan paling sedikit 2 m ( 6 ft, 8 inci ).
d). Sudut dari peralatan antara 50 dan 68 derajat dari garis horisontal.
e). Tinggi antar anak tangga tidak lebih dari 24 cm ( 9,5 inci ).
f). Anak tangga mempunyai lebar tangga bersih minimum 15 cm ( 5,8 inci ) diukur sesuai
dengan butir 5.2. dan lebar bersih 24 cm ( 9,5 inci ) ; dan

51 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

g). Jarak minimum 15 cm ( 6 inci ) disediakan antara rel pegangan tangan tangga dan
setiap obyek yang lain; dan
h). Anak tangga berawal pada ketinggian yang sama seperti platform, bordes, atau
permukaan lantai; dan
i). Anak tangga bergantian terpisah lateral tidak lebih dari 5 cm ( 2 inci ) ; dan
j). Beban hunian dilayani tidak lebih dari tiga.
5.12. Daerah tempat perlindungan.
5.12.1. Umum.
Satu daerah tempat perlindungan yang mudah dicapai digunakan sebagai bagian dari
sarana jalan ke luar yang dipersyaratkan sesuai butir 8.4 atau digunakan sebagai satu
bagian dari sarana jalan ke luar yang dipersyaratkan harus memenuhi :
a). persyaratan umum pada bagian/pasal 4, dan
b). Persyaratan khusus pada butir 5.12.2 dan 5.12.3.
Pengecualian :
Daerah tempat perlindungan terdiri dari lantai bangunan yang diproteksi seluruhnya oleh sistem springkler
otomatik yang terawasi dan disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan
dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
5.12.2. Aksesibilitas.
5.12.2.1. Bagian dari sebuah daerah tempat perlindungan harus mudah dicapai dari
tempat yang dilayani oleh sarana jalan ke luar yang mudah dicapai.
5.12.2.2. Bagian dari daerah tempat perlindungan yang dipersyaratkan harus mempunyai
akses ke suatu jalan umum melalui eksit atau lif, tanpa kembali ke dalam tempat di
bangunan, melalui lintasan daerah tempat perlindungan.
5.12.2.3. Apabila eksit menyediakan jalan ke luar dari daerah tempat perlindungan ke
suatu jalan umum, sesuai butir 5.12.2.2., termasuk tangga, lebar bersih minimum dari bordes
dan deretan anak tangga. diukur antara rel pegangan tangan dan semua titik di bawah
ketinggian rel pegangan tangan harus 120 cm ( 48 inci ).
Pengecualian 1 :
Daerah tempat perlindungan dibuat oleh eksit horisontal sesuai butir 5.4.
Pengecualian 2 :
Untuk tangga apabila sarana jalan ke luar ke arah menurun, lebar bersih minimum 90 cm ( 37 inci ), diukur pada
dan di bagian bawah ketinggian rel pegangan tangan, jika ukuran alternatif bila tidak dipergunakan orang di kursi
roda.
Pengecualian 3 :
Tangga dan bordes yang sudah ada dengan lebar bersih minimum 90 cm ( 37 inci ), diukur pada dan di bawah
ketinggian rel pegangan tangan, harus diijinkan.
Pengecualian 4 :
Lebar bersih minimum 90 cm ( 37 inci ) diukur pada dan di bawah ketinggian rel pegangan tangan harus diijinkan
dalam bangunan yang diproteksi menyeluruh oleh sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui,
dipasang sesuai SNI 03-0000-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

52 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

5.12.2.4. Apabila lif menyediakan akses dari suatu daerah tempat perlindungan ke jalan
umum, sesuai butir 5.12.2.2., lif harus dapat digunakan untuk petugas pemadam kebakaran
sesuai ketentuan yang berlaku tentang lif dan eskalator. Pasokan daya listrik harus
diproteksi terhadap gangguan adanya api di dalam bangunan, tetapi di luar daerah tempat
perlindungan. Lif harus diletakkan dalam sistem saf yang memenuhi persyaratan untuk
ruang tertutup kedap asap sesuai butir 5.3.
Pengecualian 1 :
Ruang tertutup kedap asap harus tidak diperlukan untuk daerah tempat perlindungan yang luasnya lebih dari 93
m2 ( 1000 ft2 ) dan dibuat oleh eksit horisontal yang memenuhi persyaratan butir 5.4.
Pengecualian 2 :
Ruang tertutup kedap asap tidak diperlukan dalam sebuah bangunan jang diproteksi seluruhnya oleh sistem
springkler otomatik yang terawasi dan disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 3 :
Lif yang memenuhi butir 5.13.
5.12.2.5. Daerah tempat perlindungan harus disediakan sistem komunikasi dua arah
antara daerah tempat perlindungan dan titik pusat kontrol.
Pintu ke ruang tangga tertutup atau pintu lif dan bagian yang berhubungan dari daerah
tempat perlindungannya teridentifikasi oleh tanda arah ( lihat butir 5.12.3.5.).
5.12.2.6. Instruksi untuk minta bantuan melalui sistem komunikasi dua arah dan identifikasi
tertulis dari daerah tempat perlindungan harus diletakkan di dekat sistem komunikasi dua
arah.
5.12.3. Detail-detail.
5.12.3.1. Setiap daerah tempat perlindungan harus berukuran untuk menampung satu
ukuran kursi roda 76 cm x 120 cm ( 30 inci x 48 inci ) untuk setiap 200 penghuni atau
bagiannya, sesuai beban hunian yang dilayani daerah tempat perlindungan. Tempat untuk
kursi roda seperti itu harus mempunyai lebar sesuai dengan beban hunian sarana jalan ke
luar yang dilayani dan sedikitnya 90 cm (36 inci ).

Gambar 5.12.3.1 : Tangga eksit digunakan sebagai tempat perlindungan

5.12.3.2. Untuk setiap daerah tempat perlindungan yang berukuran tidak lebih dari 93 m2
( 1000 ft2 ) harus dihitung atau diuji bahwa kondisi masih bisa dihuni dalam daerah tempat
perlindungan untuk waktu 15 menit ketika tempat yang berdampingan pada sisi lain dari

53 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

pemisah yang menciptakan satu daerah tempat perlindungan berada pada kondisi
kebakaran yang maksimum.
5.12.3.3. Akses ke tempat kursi roda yang dirancang di dalam daerah tempat perlindungan
harus tidak melalui lebih dari satu tempat kursi roda yang berhubungan.
5.12.3.4. Setiap daerah tempat perlindungan harus dipisahkan dari bagian lantai lainnya
oleh satu penghalang yang mempunyai tingkat ketahanan api minimal 60/60/60 atau sesuai
SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan
bahaya kebakaran pada bangunan gedung, kecuali tingkat ketahanan api lebih tinggi
ditentukan dalam bagian lain dari standar ini. Penghalang seperti itu, dan setiap bukaan
didalamnya, harus memperkecil perembesan udara dan memperlambat aliran asap. Pintu
pada penghalang seperti itu harus mempunyai sedikitnya tingkat ketahanan api 20/20/20
atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan sistim proteksi pasif untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, kecuali tingkat ketahanan api lebih
tinggi ditentukan di dalam bagian lain dari standar ini, dan harus menutup sendiri atau
menutup otomatik sesuai pengecualian pada butir 5.1.8.
Ducting harus diijinkan menembus penghalang itu, kecuali dilarang di dalam bagian lain dari
standar ini dan harus dilengkapi dengan damper asap atau sarana-sarana lain yang disetujui
untuk menahan aliran asap ke daerah tempat perlindungan.
Pengecualian 1 :
Bangunan yang diproteksi menyeluruh oleh suatu sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui serta
dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 2 :
Penghalang yang sudah ada dengan tingkat ketahanan api 30/30/30 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata
cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, harus
diijinkan.
5.12.3.5. Setiap daerah tempat perlindungan harus diidentifikasi oleh sebuah tanda yang
menyatakan “DAERAH TEMPAT PERLINDUNGAN” yang sesuai ketentuan yang berlaku,
menggunakan tanda simbol internasional untuk aksesibilitas. Tanda juga harus ditempatkan
pada setiap pintu yang menuju tempat perlindungan. Tanda juga harus dipasang di semua
eksit yang tidak menyediakan sarana jalan ke luar yang tercapai seperti yang diartikan di
dalam butir 4.2 dan apabila perlu untuk menandakan dengan jelas arah menuju satu daerah
tempat perlindungan.
Tanda harus diterangi sesuai yang persyaratan untuk tanda eksit dimana pencahayaan
tanda eksit diperlukan.
5.12.3.6. Tanda-tanda yang dapat diraba sesuai ketentuan yang berlaku, harus diletakkan
pada setiap pintu yang menuju daerah tempat perlindungan.
5.13. Lif.
5.13.1. Umum.
Suatu elevator yang memenuhi persyaratan pelayanan bangunan dan alat proteksi
kebakaran harus diijinkan digunakan sebagai sarana jalan ke luar kedua dari menara
bangunan pencakar langit, asalkan :

54 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

a). Menara dan setiap struktur yang melekat padanya diproteksi seluruhnya dengan
sistem springkler otomatis yang terawasi dan disetujui sesuai untuk bangunan
pencakar langit.
b). Menara terutama di huni tidak lebih dari 90 orang, dan
c). jalan ke luar pelepasan utama langsung ke luar, dan
d). Tidak ada daerah yang berisi bahan bahaya kebakaran berat di dalam menara atau
struktur yang melekat, dan
e). seratus persen kapasitas jalan ke luar harus dilengkapi, terlepas dari lif.
f). Perencanaan evakuasi harus diterapkan secara spesifik termasuk lif. Sebagai bagian
dari rencana, petugas harus dilatih dalam mengoperasikan dan prosedur untuk
penggunaan lif darurat dalam kondisi normal sampai regu pemadam kebakaran
didatangkan.
5.13.2. Kapasitas sistem evakuasi lif.
5.13.2.1. Kereta lif harus mempunyai kapasitas sedikitnya delapan orang.
5.13.2.2. Lobi lif harus mempunyai kapasitas sedikitnya lima puluh prosen dari beban
hunian daerah yang dilayani oleh lobi. Kapasitas harus dihitung dengan memakai 0,3 m2 ( 3
ft2 ) per orang dan juga harus termasuk tempat untuk satu kursi roda berukuran 80 cm x 120
cm ( 30 inci x 48 inci ) untuk setiap 50 orang, atau sebagian dari total beban hunian yang
dilayani oleh lobi itu.
5.13.3. Lobi lif.
Pada setiap lantai yang dilayani oleh lif, harus ada lobi lif. Penghalang yang membentuk lobi
lif harus mempunyai tingkat ketahanan api sedikitnya 1 jam dan harus diatur sebagai
penghalang asap sesuai ketentuan tentang sistem penghalang asap.
5.13.4. Pintu lobi lif.
Pintu lobi lif, harus mempunyai tingkat ketahanan api 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736
tentang tata cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran
pada bangunan gedung dan maksimum temperatur yang dijalarkan sampai titik akhir 2500C
( 4500F ) diatas lingkungannya pada akhir dari 30 menit kebakaran sesuai ketentuan
mengenai penghalang asap yang berlaku, dan harus pintu menutup sendiri atau menutup
secara otomatis sesuai butir 5.1.8.
5.13.5. Pengaktifan pintu.
Pintu lobi lif harus menutup menanggapi suatu sinyal dari suatu detektor asap yang
ditempatkan langsung diluar lobi lif yang berhubungan atau pada setiap bukaan pintu.
Menutupnya pintu lobi dalam menanggapi suatu sinyal dari sistem alarm kebakaran
bangunan harus diijinkan. Menutupnya satu pintu lobi lif oleh sarana detektor asap atau
sinyal dari sistem slarm kebakaran bangunan harus mengakibatkan menutupnya semua
pintu lobi lif yang melayani sistem evakuasi lif.
5.13.6. Proteksi air.
Bahan bangunan yang digunakan harus dapat menjaga peralatan lif terekspos terhadap air.
5.13.7. Daya dan kabel kontrol.
Peralatan lif, komunikasi lif, pendinginan ruang mesin lif dan pendinginan pengendali lif,
harus dipasok oleh sumber daya normal dan cadangan. Kabel untuk daya dan kontrol harus

55 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

ditempatkan dan diproteksi dengan benar untuk menjamin sedikitnya 1 jam operasi selama
kejadian kebakaran.
5.13.8. Komunikasi.
Dua cara komunikasi harus disediakan antara lobi lif dan titk pusat kontrol dan antara kereta
lif dan titik pusat kontrol. Kabel komunikasi harus diproteksi untuk menjamin sedikitnya satu
jam beroperasi dalam kejadian kebakaran.
5.13.9. Bekerjanya lif.
Lif harus dilengkapi dengan pelayanan untuk regu pemadam kebakaran sesuai ketentuan
yang berlaku untuk itu.
5.13.10. Pemeliharaan.
Apabila lobi lif dilayani hanya oleh satu kereta lif, sistem evakuasi lif harus mempunyai jadwal
program pemeliharaan pada waktu bangunan tidak digunakan atau aktifitas bangunannya
rendah. Perbaikan harus diselesaikan dalam waktu 24 jam.
5.13.11. Proteksi gempa.
Lif harus mempunyai kemampuan untuk berhenti selama terjadi gempa pada lokasi
pemberhentian yang ditentukan sesuai ketentuan yang berlaku untuk lif.
5.13.12. Penandaan.
Lihat butir 13.4.3.

6. Kapasitas sarana jalan ke luar.

6.1. Beban hunian.


6.1.1. Kapasitas total sarana jalan ke luar untuk setiap tingkat bangunan, balkon, atau
tempat yang dihuni lainnya harus cukup terhadap beban huniannya.
6.1.2. Beban hunian dalam suatu bangunan atau bagiannya harus sedikitnya suatu
angka yang ditetapkan besarnya dengan membagi luas lantai yang sesuai penggunaannya
dengan faktor beban hunian sesuai klasifikasi bangunannya.
Apabila luas kotor dan luas bersih diberikan untuk hunian yang sama, perhitungan harus
terutama dibuat dengan menggunakan luas kotor dari bangunan yang dispesifikasikan, luas
bersih digunakan untuk penerapan khusus yang dispesifikasikan.
6.1.3. Beban hunian yang diijinkan dalam setiap bangunan atau bagiannya, harus
diijinkan dinaikkan dari angka yang telah ditentukan untuk pemakaian sesuai butir 6.1.2,
apabila semua persyaratan lain dari standar ini juga dipenuhi, berdasarkan pada kenaikkan
angka tersebut.
Instansi yang berwenang, harus diijinkan untuk memperoleh dan menyetujui diagram
perletakan peralatan, deretan tempat duduk dan gang yang dipasang tetap untuk
membenarkan setiap penambahan beban hunian dan harus diijinkan mempersyaratkan
diagram tersebut dipasang di lokasi yang disetujui.
6.1.4. Apabila eksit melayani lebih dari satu tingkat, hanya beban hunian dari setiap
tingkat itu sendiri yang digunakan menghitung kapasitas eksit dari lantai itu, asalkan
kapasitas jalan ke luar yang dibutuhkan dari eksit harus tidak dikurangi ke arah lintasan jalan
ke luar.

56 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

6.1.5 Apabila sarana jalan ke luar dari lantai di atas dan di bawah berada pada lantai
diantaranya, kapasitas sarana jalan ke luar dari titik temu tersebut sedikitnya harus
merupakan penjumlahan dari beban hunian kedua lantai tersebut.
6.1.6. Apabila kapasitas jalan ke luar yang dipersyaratkan dari sebuah balkon atau
mezanine melewati ruang di bawahnya, kapasitas yang dibutuhkan harus ditambahkan ke
kapasitas jalan ke luar yang dibutuhkan dari ruangan dimana jalan ke luar itu ditempatkan.
6.2. Pengukuran sarana jalan ke luar.
Lebar bersih sarana jalan ke luar harus diukur pada titik tersempit dari komponen eksit yang
diperhitungkan.
Pengecualian :
Tonjolan tidak lebih dari 9 cm ( 3½ inci ) pada setiap sisi diijinkan pada dan di bawah ketinggian rel pegangan
tangan.
6.3. Kapasitas jalan ke luar.
6.3.1. Kapasitas jalan ke luar yang disetujui dari komponen sarana jalan ke luar harus
didasarkan pada tabel berikut :

Jalur tangga Komponen level dan ram.


cm per orang. cm per orang.
( inci per orang ) ( inci per orang )
Asrama dan perawatan. 1,0 ( 0,4 ) 0,5 ( 0,2 )
Banguan kesehatan yang 0,8 ( 0,3 ) 0,5 ( 0,2 )
di springkler.
Bangunan kesehatan 1,5 ( 0,6 ) 1,3 ( 0,5 )
tanpa springkler.
Isi bahaya berat. 1,8 ( 0,7 ) 1,0 ( 0,4 )
Lain-lain 0,8 ( 0,3 ) 0,5 ( 0,2 )
6.3.2. Kapasitas koridor yang dipersyaratkan adalah beban hunian yang menggunakan
koridor sebagai akses eksit dibagi dengan jumlah eksit yang dibutuhkan ke sambungan
koridor, tetapi sedikitnya harus kapasitas eksit yang dibutuhkan untuk menuju koridor.

6.4. Lebar minimum.


6.4.1. Lebar minimum dari setiap sarana jalan ke luar yang dipersyaratkan harus untuk
komponen jalan ke luar yang diberikan pada bagian 5 atau untuk bangunan klas 2 sampai
dengan 9, dan harus sedikitnya 90 cm ( 36 inci ).
Pengecualian 1 :
Lebar minimum dari akses eksit yang dibentuk oleh perabot dan partisi yang dapat dipindah, melayani tidak lebih
dari 6 orang, panjangnya tidak lebih dari 15 m, harus sedikitnya 46 cm ( 18 inci ) maksimum tinggi 100 cm , atau
70 cm ( 28 inci ) untuk tinggi di atas 100 cm ( 38 inci ). Untuk dinding permanen yang dapat dipindahkan, untuk
bangunan baru minimum 90 cm lebarnya dan untuk bangunan yang sudah ada 70 cm lebarnya tanpa dinding
permanen yang dapat dipindah..
Pengecualian 2 :
Pintu seperti dijelaskan pada butir 5.1.2.

57 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian 3 :
Dalam bangunan yang sudah ada, lebar minimum harus sedikitnya 70 cm ( 28 inci ).
Pengecualian 4 :
Gang dan jalur akses gang yang disediakan untuk bangunan kumpulan.
6.4.2. Apabila akses eksit tunggal menuju eksit, kapasitas yang dinyatakan dengan
lebar harus sedikitnya sama dengan kapasitas yang dipersyaratkan dari eksit yang menuju
kesana. Apabila lebih dari satu akses eksit menuju eksit, masing-masing akan mempunyai
lebar cukup untuk mengakomodasi jumlah orang yang sesuai.

7. Jumlah sarana jalan ke luar.

7.1. Umum.
7.1.1. Jumlah minimum dari sarana jalan ke luar dari setiap balkon, mezanin, lantai
atau bagian dari padanya harus dua.
Pengecualian 1 :
Apabila sarana jalan ke luar tunggal diijinkan untuk bangunan kelas 2 sampai dengan 9.
Pengecualian 2 :
Suatu mezanin atau balkon harus diijinkan untuk mempunyai sarana jalan ke luar tunggal yang dilengkapi jalur
lintasan bersama terbatas dari bangunan kelas 2 sampai 9.
7.1.2. Jumlah minimum dari sarana jalan ke luar yang terpisah dari setiap lantai atau
bagiannya harus sebagai berikut :
Beban hunian lebih dari 500 sampai 1000 Æ 3.
Beban hunian lebih dari 1000 Æ 4
Pengecualian :
Bangunan yang sudah ada seperti diijinkan pada bangunan kelas 2 sampai dengan 9.
7.1.3. Sarana jalan ke luar yang mudah dicapai sesuai butir 8.4. tanpa menggunakan lif
harus diijinkan untuk melayani semua sarana jalan ke luar minimum yang dipersyaratkan.
7.1.4. Hanya beban hunian dari setiap lantai dipertimbangkan tersendiri harus
dipersyaratkan untuk digunakan menghitung jumlah sarana jalan ke luar pada lantai itu,
asalkan jumlah sarana jalan ke luar yang dipersyaratkan harus tidak dikurangi ke arah
lintasan jalan ke luar.
7.1.5. Pintu lain dari pintu saf lif dan pintu kereta lif harus dilarang pada tempat akses
ke kereta lif.
Pengecualian :
Pintu yang mudah dibuka dari sisi kereta tanpa sebuah kunci, perkakas, pengetahuan khusus, atau usaha
khusus.
7.1.6. Lobi lif harus mempunyai akses ke sedikitnya satu eksit, akses eksit seperti itu
harus tidak disyaratkan menggunakan sebuah kunci, perkakas pengetahuan khusus, atau
upaya khusus.

58 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

8. Susunan sarana jalan ke luar.

8.1. Umum.
8.1.1. Eksit harus ditempatkan dan akses eksit harus disusun sehingga eksit mudah
dicapai pada setiap saat.
8.1.2. Apabila eksit tidak mudah dicapai dengan segera dari daerah lantai terbuka, jalan
terusan yang aman dan menerus, gang, atau koridor yang menuju langsung ke setiap eksit
harus dijaga dan disusun menyediakan akses untuk setiap hunian ke sedikitnya dua eksit
dengan pemisahan jalan lintasan.
Akses eksit pada koridor harus menyediakan akses untuk sedikitnya dua eksit yang disetujui
tanpa melewati setiap ruang lain yang menghalangi terhadap koridor, lobi dan tempat-tempat
lain yang terbuka ke koridor.
Pengecualian 1 :
Apabila sebuah eksit tunggal dari kelas bangunan 2 sampai dengan 9.
Pengecualian 2 :
Apabila jalur lintas bersama diijinkan untuk hunian dengan kelas bangunan 2 sampai dengan 9, jalur lintasan
bersama seperti itu harus diijinkan tetapi harus tidak lebih dari batas yang dispesifikasikan.
Pengecualian 3 :
Koridor yang sudah ada yang melewati ruangan untuk akses ke sebuah eksit, harus diijinkan digunakan
menerus, apabila :
a). Susunan seperti itu disetujui oleh instansi yang berwenang, dan
b). Jalur lintasan ditandai sesuai bagian 13, dan
c). Pintu untuk ruangan seperti itu memenuhi butir 5.1, dan
d). Susunan seperti itu tidak dilarang oleh bagian/pasal yang membahas hunian.
Pengecualian 4 :
Koridor yang tidak dipersyaratkan mempunyai tingkat ketahanan api harus diijinkan ke luar ke dalam daerah
lantai terbuka.
8.1.3. Apabila lebih dari satu eksit dipersyaratkan dari bangunan atau bagiannya, eksit
seperti itu harus ditempatkan jauh satu sama lain dan harus disusun dan dibangun untuk
meminimalkan kemungkinan terblokirnya semua eksit oleh suatu kebakaran atau kondisi
darurat lainnya.
8.1.4. Apabila dua eksit atau pintu akses eksit diperlukan, harus ditempatkan satu sama
lain pada jarak minimal setengah jarak maksimum dari diagonal ruangan atau bangunan
yang dilayaninya di ukur garis lurus dari ujung terdekat dari eksit atau pintu akses eksit.
Apabila ruang tertutup untuk eksit disediakan sebagai eksit yang dipersyaratkan dan
dihubungkan oleh koridor memenuhi persyaratan butir 4.1.1, pemisahan eksit harus diijinkan
untuk diukur sepanjang koridor.
Apabila lebih dari dua eksit atau pintu akses eksit diperlukan, minimal dua eksit atau pintu
akses eksit yang diperlukan harus diukur sesuai ketentuan di atas.

59 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 8.1.4.(a).Jarak 2 pintu eksit

Gambar 8.1.4.(b).Jarak 2 pintu eksit

60 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 8.1.4.(c).Jarak pemisahan 2 eksit

Gambar 8.1.4.(d).Jarak pemisahan 2 eksit

Eksit atau pintu akses eksit lain diletakkan sedemikian, sehingga apabila satu eksit terblokir,
yang lain masih dapat digunakan.

61 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian 1 :
Dalam bangunan terproteksi menyeluruh oleh sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui serta
dipasang sesuai SNI 03-3989-2000, tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung, jarak pemisahan minimum antara dua eksit atau
pintu akses eksit diukur sesuai butir 8.1.4, harus minimal sepertiga panjang diagonal maksimum bangunan atau
daerah yang dilayani.
Pengecualian 2 :
Dalam bangunan yang sudah ada, apabila lebih dari satu eksit atau pintu akses eksit dipersyaratkan, maka eksit
atau pintu akses eksit tersebut harus diijinkan diletakkan jauh satu sama lain sesuai butir 8.1.3.
8.1.5. Tangga yang saling menyambung (interlock) atau tangga gunting harus diijinkan
untuk dipertimbangkan sebagai eksit terpisah, jika tertutup sesuai butir 4.1.2 dan dipisahkan
satu sama lain dengan konstruksi bahan tidak mudah terbakar yang mempunyai tingkat
ketahanan api 120/120/120 atau sesuai SNI 03-0000-2000 tentang sistem proteksi pasif
Harus tidak ada tembusan atau bukaan penghubung, diproteksi atau tidak, antar ruang
tertutup untuk tangga.
8.1.6. Akses eksit harus disusun sehingga tidak ada ujung buntu dalam koridor.

Gambar 8.1.6 : Jalur lintasan bersama dan koridor ujung buntu

62 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian :
Apabila ujung buntu diijinkan pada bangunan kelas 2 sampai dengan 9, ujung buntu tersebut harus diijinkan
tetapi harus tidak lebih dari batas yang dispesifikasikan.
8.1.7. Akses eksit dari ruangan atau tempat harus diijinkan melalui ruang bersebelahan
atau ruang yang dilalui, atau daerah, asalkan ruangan bersebelahan seperti itu sebagai
pelengkap untuk daerah yang dilayani.
Foyer, lobi, dan ruang resepsi yang dibangun seperti dipersyaratkan untuk koridor harus
tidak ditafsirkan sebagai ruang yang dilalui.
Akses eksit harus disusun sehingga tidak perlu melalui suatu daerah yang diidentifikasikan
sebagai daerah proteksi bahaya untuk bangunan kelas 2 sampai 9.
8.2. Rintangan jalan ke luar.
8.2.1. Dalam semua kasus akses ke sebuah eksit tidak melalui dapur, gudang, ruang
istirahat, ruang kerja, gudang, kamar tidur atau tempat-tempat serupa, atau ruangan penting
lain yang mungkin terkunci.
Pengecualian 1 :
Akses eksit harus diijinkan lewat melalui ruangan atau tempat yang memungkinkan terkunci untuk bangunan
rumah sakit dan rumah tahanan.
Pengecualian 2 :
Akses eksit harus diijinkan lewat melalui gudang seperti dijelaskan pada bangunan gudang.
8.2.2. Akses eksit dan pintu eksit harus dirancang dan ditata untuk mudah dikenali
dengan jelas. Gantungan atau gorden harus tidak dipasang di atas pintu eksit atau dipasang
sehingga eksit tersembunyi atau tidak jelas. Cermin tidak dipasang pada pintu eksit. Cermin
tidak dipasang di dalam atau berdekatan ke setiap eksit, sedemikian sehingga
membingungkan arah eksit.
Pengecualian :
Tirai harus diijinkan untuk pembukaan sarana jalan ke luar dinding tenda, jika :
a). ditandai dengan terang dan kontras terhadap dinding tenda sehingga mudah dikenali
sebagai sarana jalan ke luar.
b). dipasang menyeberang pembukaan yang minimal lebarnya 1,8 m ( 6 ft ).
c). digantung dengan cincin geser atau perangkat keras lain yang sesuai, sehingga mudah digeser ke sisi
untuk membuat bukaan yang tak terhalangi pada dinding tenda dengan lebar minimum yang
dipersyaratkan untuk bukaan pintu.
8.3. Jalan di luar dari akses eksit.
8.3.1. Akses eksit harus diijinkan untuk sarana dari balkon luar, serambi, beranda, atau
atap yang memenuhi persyaratan dari bagian ini.
8.3.2. Sisi panjang dari balkon, serambi, beranda, atau tempat sejenisnya harus
sedikitnya 50% terbuka dan harus disusun untuk membatasi pengumpulan asap.
8.3.3. Balkon sebagai akses luar harus dipisah dari bagian dalam bangunan dengan
dinding dan bukaan yang diproteksi seperti dipersyaratkan untuk koridor.

63 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Pengecualian 1 :
Apabila balkon sebagai akses eksit luar dilayani oleh sedikitnya dua tangga yang berjauhan yang aksesnya
dimana penghuni tidak perlu melintasi pada bukaan yang tidak terproteksi untuk menuju satu tangga.
Pengecualian 2 :
Apabila ujung buntu pada akses eksit luar tidak melebihi 6 m ( 20 ft ).
8.3.4. Suatu jalur lintas lurus permanen, harus dipelihara keseluruhan seperti
dipersyaratkan untuk akses eksit luar.
8.3.5. Harus tidak ada rintangan dari suatu perabot yang membagi tempat terbuka ke
dalam bagian-bagian menjadi ruang-ruang tersendiri, apartemen, atau sub bagian lainnya.
8.3.6. Akses eksit luar harus disusun sehingga tidak ada ujung buntu dalam akses
bangunan kelas 2 sampai dengan 9.
8.3.7. Akses eksit luar harus memenuhi persyaratan standar seperti lebar dan
susunannya.
8.3.8. Sebuah akses eksit luar harus padat, permukaan lantainya datar dan harus
mempunyai pagar pengaman yang sedikitnya sesuai persyaratan pada butir 5.2.4 pada sisi
yang tidak tertutup lebih dari 70 cm ( 30 inci ) di atas lantai atau tanah di bawahnya.
8.3.9. Bahan bahan konstruksi harus diijinkan untuk bangunan yang dilayani.
8.4. Sarana jalan ke luar yang mudah dicapai.
8.4.1. Daerah yang mudah dicapai untuk orang dengan cacat mobilitas harus
mempunyai sedikitnya dua sarana jalan ke luar yang mudah dicapai ( lihat 4.2 ). Akses harus
disediakan minimum menuju satu daerah tempat perlindungan atau satu eksit pelepasan
yang mudah dicapai di dalam jarak tempuh yang dibolehkan.
Pengecualian 1 :
Bangunan yang sudah ada.
Pengecualian 2 :
Lintasan akses eksit sepanjang sarana jalan ke luar yang mudah dicapai harus diijinkan dengan jarak yang
diijinkan untuk jalur lintasan bersama.
Pengecualian 3 :
Sarana jalan ke luar tunggal yang mudah dicapai harus diijinkan dari bangunan atau daerah bangunan yang
diijinkan mempunyai eksit tunggal..
Pengecualian 4 :
Instansi yang berwenang harus diijinkan untuk mengurangi jumlah sarana jalan ke luar yang mudah dicapai
berdasarkan pada analisis sistem proteksi kebakaran, penataan tempat, fasilitas operasi dan penentuan sarana
untuk menyediakan rute langsung dari daerah yang mudah dicapai.
Pengecualian 5 :
Bangunan kesehatan diproteksi seluruhnya oleh sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui serta
dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
8.4.2. Jika dua sarana jalan ke luar yang mudah dicapai dipersyaratkan, eksit yang
melayani jalur ini harus ditempatkan dengan jarak satu dari lainnya tidak kurang dari

64 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

setengah panjang dimensi diagonal total maksimum bangunan atau daerah yang dilayani,
diukur dalam suatu garis lurus antara ujung terdekat dari pintu eksit atau pintu akses eksit.
Apabila ruang eksit tertutup disediakan sebagai eksit yang dipersyaratkan dan dihubungkan
oleh koridor yang memenuhi persyaratan butir 4.3.1, pemisahan eksit harus diijinkan untuk
diukur sepanjang garis lintasan di dalam koridor.
Pengecualian 1 :
Bangunan yang diproteksi seluruhnya oleh sistem springkler otomatik yang terawasi dan disetujui, dipasang
sesuai SNI 03-0000-2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan springkler otomatik untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Pengecualian 2 :
Apabila penataan fisik dari sarana jalan ke luar mencegah kemungkinan akses itu ke kedua sarana jalan ke luar
yang mudah dicapai akan tertutup oleh satu kebakaran atau keadaan darurat lain seperti yang disetujui oleh
instansi yang berwenang.
8.4.3. Setiap sarana jalan ke luar yang mudah dicapai yang dipersyaratkan harus
menerus dari setiap daerah yang dihuni yang mudah dicapai ke jalan umum atau daerah
tempat perlindungan sesuai butir 5.12.2.2.
8.4.4. Apabila tangga eksit digunakan dalam sarana jalan ke luar yang mudah dicapai,
harus memenuhi butir 5.12.2.3 dan harus salah satu menggabung dengan daerah tempat
perlindungan yang mudah dicapai bordes tingkat yang diperlebar atau harus di akses dari
daerah tempat perlindungan yang mudah dicapai..
8.4.5. Untuk bagian yang dipertimbangkan dari sarana jalan ke luar yang mudah
dicapai, lif harus sesuai butir 5.12.2.4.
8.4.6. Penghalang asap, sesuai butir 5.4 dan sebagai tambahan mempunyai tingkat
ketahanan api 60/60/60 atau sesuai SNI 03-1736-2000 tentang tata cara perencanaan
sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan eksit
horisontal, akan dipertimbangkan sebagai bagian dari sarana jalan ke luar yang mudah
dicapai, harus lepas ke daerah tempat perlindungan yang mudah dicapai sesuai butir 5.12.
8.4.7. Lantai yang mudah dicapai yang berada empat atau lebih di atas atau di bawah
eksit pelepasan harus mempunyai sedikitnya satu lif yang memenuhi butir 8.4.5.

9. Pengukuran jarak lintasan ke eksit.

9.1. Jarak tempuh di dalam tempat yang dihuni sampai ke minimal satu eksit, diukur
sesuai dengan persyaratan-persyaratan berikut, harus tidak lebih dari batasan-batasan yang
ditentukan di dalam standar ini ( lihat butir 9.4 ).
9.2. Jarak tempuh ke sebuah eksit harus diukur di atas lantai atau permukaan jalan
lainnya sepanjang garis tengah dari jalur dasar lintasan mulai dari titik terjauh subyek hunian,
melengkung sekeliling tiap pojok atau penghalang dengan satu celah 0,3 m ( 1 ft ) darinya,
dan berakhir di pusat dari jalur pintu atau titik lain pada mana eksit mulai.
Apabila pengukuran termasuk tangga, pengukuran harus diambil di ujung (nosing) anak
tangga.
Pengecualian :
Ukuran jarak tempuh diijinkan berakhir pada penghalang kebakaran seperti pada bangunan tahanan yang sudah
ada.

65 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

9.3. Apabila jalur tangga terbuka atau ram diijinkan sebagai sebuah jalur lintasan ke
eksit-eksit yang dipersyaratkan, jaraknya harus termasuk perjalanan pada jalur tangga atau
ram dan perjalanan dari akhir tangga atau ram menuju satu pintu keluar atau eksit lain
sebagai tambahan jarak yang ditempuh mencapai jalur tangga atau ram.
9.4. Pembatasan jarak tempuh harus seperti yang tersedia dan untuk daerah bahaya
berat sesuai dengan pasal 11.
9.5. Apabila bagian dari sebuah eksit luar dalam jarak horisontal 3 m ( 10 ft ) dari
bukaan pada bangunan yang tidak diproteksi seperti yang diijinkan dalam pengecualian-
pengecualian pada butir 5.2.6.4. untuk tangga luar, jarak tempuh ke eksit harus termasuk
panjang tempuh ke lantai dasar.

10. Pelepasan dari eksit.

10.1. Semua eksit harus berakhir langsung pada jalan umum atau pada bagian luar
lepas eksit. Halaman, lapangan, tempat-tempat terbuka, atau bagian-bagian lain dari lepas
eksit harus mempunyai lebar dan ukuran yang dipersyaratkan untuk menyediakan akses
yang aman ke jalan umum bagi semua penghuni.
Pengecualian 1 :
Lepas eksit interior seperti yang diijinkan dalam butir 10.2.
Pengecualian 2 :
Lepas eksit pada atap bangunan seperti yang diijinkan dalam butir 10.6.
Pengecuaian 3 :
Sarana jalan ke luar harus diijinkan untuk berakhir di bagian luar daerah tempat perlindungan yang disediakan
sesuai untuk bangunan rumah tahanan.
10.2. Tidak lebih dari 50 prosen dari jumlah eksit yang dipersyaratkan, dan tidak lebih
dari 50 persen dari kapasitas jalan ke luar yang dipersyaratkan, harus diijinkan untuk
pelepasan melalui daerah pada lantai dari eksit pelepasan, asalkan :
Pengecualian :
Seratus persen dari eksit harus diijinkan untuk pelepasan melalui daerah pada lantai eksit pelepasan seperti
pada bangunan rumah tahanan.
a). Lepas seperti itu menuju sebuah jalan bebas dan tidak terhalang ke luar bangunan,
dan jalan seperti itu mudah terlihat dan tertandai dari titik pelepasan dari eksit; dan
b). Lantai pelepasan diproteksi menyeluruh oleh sebuah sistem springkler otomatik yang
terawasi dan disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung, atau bagian dari lantai pelepasan yang digunakan
untuk maksud tersebut diproteksi oleh oleh sebuah sistem springkler otomatik yang
terawasi dan disetujui serta dipasang sesuai SNI 03-3989-2000 tentang tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung, dan dipisahkan dari bagian tidak berspringkler dari
lantai itu oleh satu tingkat ketahanan api yang memenuhi persyaratan untuk ruang
tertutup untuk eksit ( lihat 4.2.1 ); dan
Pengecualian b) :
Apabila daerah pelepasan adalah sebuah ruang antara atau beranda yang memenuhi berikut ini :

66 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

1). Kedalaman dari bagian luar bangunan harus tidak lebih dari 3 m ( 10 ft ) dan panjangnya harus tidak lebih
dari 9 m ( 30 ft ), dan
2). Beranda harus dipisahkan dari bagian lantai pelepasan lainnya oleh konstruksi yang memberikan proteksi
minimal sama dengan kaca berkawat dalam rangka baja, dan
3). Beranda hanya melayani sebagai sarana jalan ke luar dan termasuk sebuah eksit langsung keluar.
c). Seluruh daerah pada lantai pelepasan harus dipisahkan dari daerah dibawahnya oleh
konstruksi yang mempunyai tingkat ketahanan api tidak kurang dari yang diperlukan
untuk ruang tertutup untuk eksit.
Pengecualian c) :
Lantai di bawah lantai pelepasan harus diijinkan untuk dibuka ke lantai pelepasan dalam sebuah atrium sesuai
untuk bangunan atrium.
10.3. Lepas eksit harus ditata dan diberi tanda untuk membuat jelas arah dari jalan ke
luar ke jalan umum. Tangga harus ditata sehingga arah dari jalan ke luar ke sebuah jalan
umum terlihat jelas.
Tangga yang menerus melampaui lantai eksit pelepasan harus di interupsi pada lantai eksit
pelepasan oleh partisi, pintu, atau sarana yang efektip lainnya.
Pengecualian :
Tangga yang menerus setengah lantai melampaui lantai eksit pelepasan harus tidak dipersyaratkan untuk di
interupsi apabila eksit pelepasannya jelas.
10.4. Pintu, tangga, ram, koridor, jalan terusan, jembatan, eskalator, travelator dan
komponen lain dari eksit pelepasan harus memenuhi persyaratan detail dari bagian ini untuk
komponen semacam itu.
10.5. Tanda arah ( lihat 5.2.5.4 dan 5.2.5.5.).
10.6. Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang, eksit harus diijinkan untuk
diterima, asalkan :
a). pelepasan eksit ke atap atau bagian lain dari bangunan atau bangunan yang
berdampingan, dan
b). atap mempunyai tingkat ketahanan api tidak kurang sesuai seperti yang dipersyaratkan
untuk ruang tertutup untuk eksit, dan
c). terdapat sarana jalan ke luar menerus dan aman dari atap, dan
d). semua persyaratan yang dapat diterapkan untuk keselamatan jiwa dipelihara.

11. Iluminasi sarana jalan ke luar.

11.1. Umum.
11.1.1. Iluminasi sarana jalan ke luar harus disediakan sesuai dengan bagian ini untuk
setiap gedung dan struktur apabila dipersyaratkan dalam bangunan. Untuk tujuan dari
persyaratan ini, akses eksit harus termasuk hanya tangga, serambi, koridor, ram, eskalator
dan terusan yang menuju ke suatu eksit.
Untuk tujuan dari persyaratan ini, eksit pelepasan ( eksit discharge ) harus termasuk hanya
tangga, serambi, koridor, ram, eskalator, jalur pejalan kaki dan jalur terusan eksit yang
menuju jalan umum.

67 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

11.1.2. Iluminasi sarana jalan ke luar harus menerus siap untuk digunakan setiap waktu
dalam kondisi penghunian membutuhkan sarana jalan ke luar. Pencahayaan buatan harus
digunakan pada tempat-tempat itu dan untuk jangka waktu seperti dipersyaratkan untuk
memelihara iluminasi ke nilai kriteria minimum yang dispesifikasikan disini.
Pengecualian :
Sakelar pencahayaan dari tipe sensor gerakan harus diijinkan di dalam sarana jalan ke luar, selama kontrol-
kontrol sakelar dilengkapi untuk beroperasi aman terhadap kegagalan, pengatur waktu iluminasi di setel untuk
jangka waktu minimum 15 menit, dan sensor gerakan diaktifkan oleh gerakan penghuni di dalam daerah yang
dilayani oleh unit-unit pencahayaan.
11.1.3. Lantai dan permukaan jalan lain di dalam sebuah eksit dan di dalam bagian dari
akses eksit dan lepas eksit seperti dimaksudkan dalam butir 11.1.1. harus diterangi sampai
nilai tidak kurang dari 10 lux ( 1 ft-kandel ) diukur pada lantai.
Pengecualian :
Di dalam hunian serba guna, pencahayaan lantai-lantai akses eksit harus paling sedikit 2 lux ( 0,2 ft-kandel )
selama periode kinerja atau proyeksi yang melibatkan pencahayaan langsung.
11.1.4. Setiap pencahayaan yang dipersyaratkan harus ditata sehingga kegagalan dari
suatu pencahayaan tunggal harus tidak mengakibatkan daerah tersebut dalam kegelapan.
11.1.5. Peralatan atau unit yang dipasang untuk memenuhi persyaratan pada
bagian/pasal 13 harus diijinkan juga untuk melayani fungsi pencahayaan dari sarana jalan ke
luar, asalkan semua persyaratan pada bagian/pasal 11 untuk pencahayaan dipenuhi.
11.2. Sumber-sumber iluminasi.
11.2.1. Iluminasi dari sarana jalan ke luar harus dari sebuah sumber yang keandalannya
dijamin.
11.2.2. Pencahayaan listrik yang dioperasikan dengan batere dan tipe lain dari lampu
jinjing atau lentera harus tidak digunakan untuk iluminasi primer dari sarana jalan ke luar.
Pencahayaan listrik yang dioperasikan dengan batere harus diijinkan untuk digunakan
sebagai sumber darurat sejauh yang diijinkan di bawah bagian/pasal 12.

12. Pencahayaan darurat.

12.1. Umum.
12.1.1. Fasilitas pencahayaan darurat untuk sarana jalan ke luar harus disediakan
sesuai dengan bagian ini, untuk :
a). setiap banguinan gedung bilamana dipersyaratkan pada bangunan kelas 2 sampai 9.
b). pada pintu yang dipasang kunci jalan ke luar tunda. dan
c). saf tangga dan ruang perantara dari ruang tertutup kedap asap.
Generator cadangan yang dipasang untuk peralatan ventilasi mekanis ruang tertutup kedap
asap harus diijinkan untuk digunakan untuk saf tangga tersebut dan suplai daya pada ruang
perantara.
Untuk tujuan persyaratan ini, akses eksit harus termasuk hanya tangga, serambi, koridor,
ram, eskalator, dan jalan terusan menuju ke suatu eksit.

68 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Untuk tujuan persyaratan ini, eksit pelepasan ( “exit discharge” ) harus termasuk hanya
tangga, ram, serambi, jalur pejalan kaki, dan eskalator menuju ke suatu jalan umum.
12.1.2. Apabila pemeliharaan iluminasi tergantung pada penggantian dari satu sumber
energi ke yang lain, harus tidak ada gangguan iluminasi selama penggantiannya.
Apabila pencahayaan darurat disediakan oleh sebuah generator listrik yang digerakkan oleh
penggerak utama, suatu penundaan tidak lebih dari 10 detik yang diijinkan.
12.2. Kinerja sistem.
12.2.1. Iluminasi darurat harus disediakan untuk jangka waktu 1½ jam pada kejadian
padamnya pencahayaan normal.
Fasilitas pencahayaan darurat harus disusun untuk menyediakan iluminasi awal rata-rata
tidak kurang dari 1 ft.kandel ( 10 lux ) dan minimum pada satu titik 0.1 ft.kandel ( 1 lux )
diukur sepanjang jalur jalan ke luar pada permukaan lantai.
Tingkat iluminasi harus diijinkan untuk menurun rata-rata 0,6 ft.kandel ( 6 lux ) dan pada satu
titik minimum 0,06 ft.kandel ( 0,6 lux ) pada akhir dari jangka waktu pencahayaan darurat.
Rasio keseragaman iluminasi maksimum ke minimum tidak harus melampaui 40 : 1.
12.2.2. Sistem pencahayaan darurat harus ditata untuk menyediakan iluminasi yang
diperlukan secara otomatis di dalam kejadian terputusnya pencahayaan normal, seperti pada
setiap kegagalan dari prasarana umum atau suplai tenaga listrik luar lainnya, membukanya
sebuah pemutus arus atau pengaman lebur, atau setiap gerakan manual, termasuk
pembukaan tak sengaja sebuah sakelar yang mengendalikan fasilitas pencahayaan normal.
12.2.3. Generator darurat yang menyediakan tenaga listrik untuk sistem pencahayaan
darurat harus dipasang, diuji, dan dipelihara sesuai ketentuan tentang sistem daya untuk
keadaan darurat dan cadangan yang berlaku.
Sistem penyimpanan energi listrik apabila dipersyaratkan dalam standar ini harus dipasang
dan diuji sesuai ketentuan yang berlaku.
12.2.4. Pencahayaan darurat yang dioperasikan oleh batere harus hanya menggunakan
jenis yang andal dari batere yang dapat di isi kembali dengan fasilitas yang sesuai untuk
pemeliharaannya dalam kondisi bermuatan yang sesuai.
Batere yang digunakan dalam pencahayaan semacam itu atau unit harus disetujui untuk
penggunaannya dan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
12.2.5. Sistem pencahayaan darurat harus dari jenis menerus dalam pengoperasiannya
atau harus mampu untuk operasi berulang otomatik tanpa intervensi manual.
12.3. Pengujian berkala dari peralatan pencahayaan darurat.
Suatu pengujian fungsional harus dilakukan pada setiap sistem pencahayaan darurat yang
menggunakan batu batere pada jangka waktu 30 hari untuk minimum 30 detik.
Sebuah pengujian tahunan harus dilakukan untuk jangka waktu 1½ jam. Peralatan harus
beroperasi penuh selama pengujian tersebut. Laporan tertulis dari pengamatan visual dan
pengujian harus disimpan oleh pemilik untuk pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.
Pengecualian :
Pengujian/pendiagnosaan sendiri peralatan pencahayaan darurat yang dioperasikan oleh battery yang secara
otomatis melakukan pengujian 30 detik dan diagnosa rutin paling sedikit sekali setiap 30 hari dan menunjukkan
kegagalan oleh penunjuk status harus dikecualikan dari pengujian fungsional 30 hari, asalkan pemeriksaan visual
dilakukan pada interval 30 hari.

69 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

13. Penandaan sarana jalan ke luar.

13.1. Umum.
13.1.1. Sarana jalan ke luar harus diberi tanda sesuai dengan bagian ini dimana
diperlukan di dalam bangunan gedung.
13.1.2. Eksit harus diberi tanda dengan sebuah tanda yang disetujui yang mudah terlihat
dari setiap arah akses eksit.
Pengecualian :
Pintu luar utama eksit yang jelas dan nyata teridentifikasi sebagai eksit.
13.1.3. Pada setiap pintu menuju ruang tertutup untuk tangga, tanda yang menyatakan
“Eksit” dan sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang didekat sisi kunci pintu 150 cm
( 60 inci ) di atas lantai ke garis tengah dari tanda tersebut.
Pengecualian :
Bangunan yang sudah ada, asalkan klasifikasi huniannya tidak berubah.
13.1.4. Akses ke eksit harus diberi tanda dengan tanda yang disetujui, mudah terlihat di
semua keadaan dimana eksit atau jalan untuk mencapainya tidak tampak langsung oleh
para penghuni. Penempatan tanda haruslah sedemikian sehingga tidak ada titik di dalam
akses eksit koridor lebih dari 30 m ( 100 ft ) dari tanda terdekat.
Pengecualian :
Tanda di dalam akses eksit koridor pada bangunan yang sudah ada tidak harus memenuhi jarak 30 m seperti
yang dipersyaratkan.
13.1.5. Dimana tanda eksit terdekat diperlukan, tanda eksit harus diletakkan didekat
permukaan lantai sebagai tambahan tanda yang diperlukan untuk pintu atau koridor. Tanda
tersebut harus berukuran dan di terangi sesuai butir 13.2 dan 13.3.
Dasar dari tanda ini harus tidak kurang dari 15 cm ( 6 inci ) atau tidak lebih dari 20 cm (8 inci)
di atas lantai. Untuk pintu eksit tanda tersebut harus dipasangkan pada pintu atau di dekat
pinggir pintu terdekat dan tepi tanda tersebut dalam jarak 10 cm ( 4 inci ) dari rangka pintu.
13.1.6. Setiap tanda yang diperlukan di dalam bagian 13, harus ditempatkan dan dengan
ukuran sedemikian, warna yang nyata dan dirancang untuk mudah dilihat dan harus kontras
dengan dekorasi, penyelesaian interior atau tanda lainnya. Tidak diperkenankan ada
dekorasi, perlengkapan ruangan atau peralatan yang mengganggu pandangan sebuah tanda
eksit yang diijinkan, tidak pula harus ada tanda diiluminasi terang (selain untuk tujuan eksit),
gambar, atau obyek di dalam atau di dekat garis pandang untuk tanda eksit yang diperlukan
yang dapat mengalihkan perhatian dari tanda eksit.
13.1.7. Apabila pemberian tanda jalur ke luar yang dekat lantai dipersyaratkan, sebuah
sistem pemberian tanda pada jalur jalan ke luar yang dekat lantai yang diterangi dari dalam
harus dipasang dalam jarak 20 cm ( 8 inci ) dari lantai. Sistem tersebut harus menyediakan
satu penggarisan yang tampak dari jalur lintasan sepanjang akses eksit yang dimaksudkan
dan harus terutama menerus, keciali bila diinterupsi oleh jalan pintu, jalan hall, koridor-
koridor atau detail arsitektur lainnya.
Sistem tersebut harus beroperasi menerus atau pada saat sistem alarm kebakaran
bangunan diaktifkan.
Pengaktifan, lamanya dan kelangsungan operasional sistem harus sesuai butir 12.2.

70 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

13.2. Ukuran tanda arah.


Tanda arah yang diterangi dari luar yang dipersyaratkan pada butir 13.1 dan 13.4.1.1. harus
memiliki kata “EKSIT “ atau kata lain yang sesuai dengan huruf yang biasa, tidak lebih tinggi
dari 15 cm ( 6 inci ) dengan ketebalan huruf tidak kurang dari 2 cm ( ¾ inci ) lebarnya.
Kata “ EKSIT “ harus mempunyai lebar tidak kurang dari 5 cm ( 2 inci ), kecuali huruf “I” dan
jarak minimum antar huruf harus tidak kurang dari 1 cm ( 3/8 inci ).
Tanda arah yang lebih besar daripada minimum yang ditetapkan dalam halaman ini harus
mempunyai lebar huruf, garis, dan jarak antara yang sebanding terhadap tingginya.
Pengecualian 1 :
Tanda arah yang sudah ada yang disetujui.
Pengecualian 2 :
Tanda arah yang sudah ada mempunyai kata yang dipersyaratkan disusun dari huruf-huruf biasa tidak kurang
dari 10 cm ( 4 inci ) tingginya.
Pengecualian 3 :
Penandaan dipersyaratkan oleh butir 13.1.3 dan 13.1.7.
13.3. Iluminasi tanda arah.
13.3.1*. Setiap tanda arah yang dipersyaratkan oleh butir 13.1.2 atau 13.1.4 harus
diterangi yang cukup oleh sumber cahaya yang andal.
Tanda arah yang diterangi dari dalam dan dari luar harus memenuhi syarat dalam keadaan
pencahayaan normal maupun darurat.
13.3.2. Tanda arah yang diterangi dari luar harus diterangi tidak kurang dari 54 lux ( 5 ft-
kandel ) dan harus menggunakan rasio kontras tidak kurang dari 0,5.
13.3.3. Jarak penglihatan dari sebiah tanda arah yang diterangi dari dalam harus
ekivalen dengan sebuah tanda arah yang diterangi dari luar yang memenuhi butir 13.3.2.
Pengecualian 1 :
Tanda arah yang sudah ada yang disetujui.
Pengecualian 2 :
Tanda arah yang diterangi sendiri atau tanda arah yang diterangi listrik yang terdaftar yang menyediakan huruf
yang diterangi harus minimum mempunyai luminansi 0,21 kandel/m2 ( 0,06 footlamberts ) diukur oleh sebuah
photometer terkoreksi warna.
Tanda arah yang baru harus ditempatkan sedemikian sehingga jarak pandang sepanjang jalan ke luar tidak lebih
dari tanda arah yang tertera pada tanda.
13.3.4. Setiap tanda arah yang dipersyaratkan diterangi sesuai butir 10.3 harus diterangi
menerus seperti dipersyaratkan di dalam bagian/pasal 11.
Pengecualian :
Iluminasi untuk tanda arah harus diijinkan untuk berkedip mati-hidup pada pengaktifan sistem alarm kebakaran.
13.3.5. Apabila fasilitas pencahayaan darurat dipersyaratkan oleh bagian-bagain yang
berlaku di dalam bangunan untuk hunian individual, tanda arah eksit harus diterangi oleh
fasilitas pencahayaan darurat.

71 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Tingkat iluminasi dari tanda arah eksit harus pada tingkat yang disediakan sesuai butir
13.3.2. atau 13.3.3. untuk jangka waktu pencahayaan darurat yang dipersyaratkan seperti
yang dispesifikasikan dalam butir 12.2.1, tetapi harus diijinkan untuk berkurang sampai 60%
tingkat iluminasi pada akhir dari jangka waktu pencahayaan darurat.
Pengecualian :
Tanda arah dengan pencahayaan sendiri yang disetujui.
13.4. Persyaratan khusus.
13.4.1. Arah dari tanda arah.
13.4.1.1. Suatu tanda arah yang sesuai dengan butir 13.2 terbaca “EKSIT’ atau maksud
yang serupa dengan indikator arah yang menunjukkan arah lintasan harus ditempatkan di
setiap tempat di mana arah lintasan untuk mencapai eksit terdekat tidak jelas. Arah dari
tanda arah harus terdaftar.
13.4.1.2. Indikator arah harus diletakkan di luar tanda EKSIT minimal 1 cm dari huruf
manapun dan harus diijinkan menyatu atau terpisah dari tubuh tanda arah.
Indikator arah harus dari tipe sersan (Chevron) seperti ditunjukkan pada gambar 13.4.1.2
dan harus teridentifikasi sebagai indikator arah pada jarak minimum 12 m ( 40 ft ) pada 30 ft-
kandel dan 1 ft-kandel iluminasi rata-rata di atas lantai mewakili tingkat pencahayaan normal
dan darurat. Indikator arah harus ditempatkan pada ujung dari tanda arah untuk arah yang
ditunjukkan.

Gambar 13.4.1.2. (a) Tanda arah tipe sersan

72 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Gambar 13.4.1.2. (b) Perletakan tanda arah “Eksit”


13.4.2. Tanda arah khusus.
Setiap pintu, terusan, atau jalur tangga yang bukan sebuah eksit, bukan juga jalan akses
eksit dan yang terletak atau ditata sehingga kemungkinan kesalahan dianggap sebagai eksit
harus diidentifikasi dengan satu tanda arah yang terbaca “BUKAN EKSIT”.
Tanda arah seperti itu harus mempunyai kata “BUKAN” dengan huruf 5 cm ( 2 inci ) tingginya
dengan lebar garis 1 cm ( 3/8 inci ) dan kata “EKSIT” dengan tinggi huruf 2,5 cm ( 1 inci )
dengan kata “EKSIT” dibawah kata “BUKAN”.
Pengecualian :
Tanda arah yang sudah ada yang disetujui.
13.4.3. Tanda arah lif.
Lif yang menjadi bagian sarana jalan ke luar ( lihat butir 5.13.1 ) harus mempunyai tanda
arah berikut ini dengan tinggi huruf minimum 1,6 cm ( 5/8 inci ) di setiap lobi lif.

73 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

a). Tanda arah yang menunjukkan bahwa lif dapat digunakan untuk jalan ke luar termasuk
setiap pembatasan pada penggunaan, dan
b). Tanda arah yang menunjukkan status beroperasinya lif.
13.5. Pengujian dan pemeliharaan.
13.5.1. Tanda arah eksit harus diinspeksi secara visual pada interval maksimum 30 hari
untuk bekerjanya sumber iluminasi.
13.5.2. Tanda arah eksit yang dihubungkan atau disediakan dengan sumber iluminasi
yang dioperasikan oleh batere, apabila dibutuhkan dalam butir 13.3.5 harus diuji dan
dipelihara sesuai butir 12.3.

14. Ketentuan khusus untuk hunian dengan kandungan bahaya berat.

14.1. Dalam semua kasus apabila kandungannya diklasifikasi sebagai bahaya berat,
eksit untuk tipe itu dan jumlahnya harus disediakan dan ditata untuk mengijinkan semua
penghuni menyelamatkan diri dari bangunan atau struktur atau dari daerah berbahaya
tersebut menuju keluar atau ke tempat yang selamat dengan jarak tempuh tidak lebih dari 23
m ( 75 ft ) diukur sesuai butir 9.2.
14.2. Kapasitas jalan ke luar untuk daerah kandungan bahaya berat harus didasarkan
pada 1,8 cm/orang ( 0,7 inci/orang ) untuk tangga atau 1,0 m/orang ( 0,4 inci/orang ) untuk
komponen tingkat dan ram sesuai butir 6.3.1.
14.3. Paling sedikit dua sarana jalan ke luar harus disediakan dari setiap bangunan
atau daerah berbahaya tersebut.
Pengecualian :
Ruang atau tempat tidak lebih dari 18,6 m2 ( 200 ft2 ) dan mempunyai beban hunian tidak lebih dari 3 orang dan
jarak tempuh ke pintu ruangan tidak lebih dari 7,6 m ( 25 ft ).
14.4. Sarana jalan ke luar harus ditata sehingga tidak ada ujung buntu di dalam
koridor.
Pengecualian :
Tempat yang memenuhi persyaratan dari pengecualian pada butir 14.3.
14.5. Pintu yang melayani kandungan berbahaya berat dengan beban hunian lebih dari
lima diijinkan untuk dilengkapi dengan satu grendel atau kunci hanya jika perangkat keras
panik atau perangkat keras eksit kebakaran sesuai dengan butir 5.1.7.

15. Ruangan peralatan mekanik, ruangan ketel uap dan ruangan tungku.

15.1. Ruangan peralatan mekanis, ruangan ketel uap, ruangan tungku, dan tempat-
tempat serupa harus disusun untuk membatasi jarak tempuh ke jalur lintasan umum tidak
lebih dari 15 m ( 50 ft ).
Pengecualian :
Suatu jalur lintasan umum tidak lebih dari 30 m ( 100 ft ) harus diijinkan :
a). di dalam bangunan yang diproteksi menyeluruh oleh suatu sistem springkler otomatis yang dipasang
sesuai ketentuan yang berlaku.
b). di dalam ruang peralatan mekanis ttanpa peralatan pembakaran dengan bahan bakar, atau

74 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

c). di dalam bangunan ytang sudah ada.


15.2. Lantai bangunan yang digunakan khusus untuk peralatan mekanis, tungku atau
ketel uap harus diijinkan memiliki satu sarana jalan ke luar apabila jarak tempuh menuju ke
sebuah eksit pada lantai tersebut tidak lebih dari pada batas jalur lintasan umum pada butir
15.1.

75 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Padanan kata

akses access
eksit exit
gerendel latch
jalan keluar egress
jalan terusan eksit exit passage way
jalur lintasan path of travel
jalur lintasan bersama common path of travel
kunci lock
pagar pengaman guard.
pelepasan discharge
penghalang barrier
pintu balans balancing door
pintu tiang putar turnstiles
rel pegangan tangan handrail.
revolving door pintu putar
ruang antara vestibule
ruang tertutup kedap asap smokeproof enclosure
sarana jalan keluar means of egress
tanda arah sign
tangga ayun swing stair
tangga bergantian alternating stair.
tangga kipas winders
tangga kurva curved stair
tangga panjat ladder
ujung buntu dead end

76 dari 77
SNI 03 – 1746 - 2000

Bibliografi

1 NFPA 101 : “ Life Safety Code “ 1997, edition.

2 Ron Cote : “Life Safety Code Handbook” 7th edition, National Fire Protection
Association.

3 NFPA 101 : Life Safety Code Seminar 1988 – Participant manual “. National
Fire Protection Association.

4. Sweet’s, International Building Product, Catalog File , 1997.

77 dari 77
SNI 03-3985-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata cara Perencanaan, Pemasangan dan


Pengujian Sistem Deteksi dan Alarm
Kebakaran untuk pencegahan Bahaya
Kebakaran pada bangunan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-3985-2000

Tata cara perencanaan, pemasangan dan pengujian sistem deteksi


dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung.

1. Ruang lingkup.

1.1. Standar ini mencakup persyaratan minimal, kinerja, lokasi, pemasangan ,


pengujian, dan pemeliharaan sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk memproteksi
penghuni, bangunan, ruangan, struktur, daerah, atau suatu obyek yang diproteksi sesuai
dengan standar ini.
1.2. Standar ini disiapkan untuk digunakan bersama standar atau ketentuan lain yang
berlaku dimana secara spesifik berkait dengan alarm kebakaran, pemadaman atau kontrol.
Detektor kebakaran otomatik meningkatkan proteksi kebakaran dengan mengawali tindakan
darurat, tetapi hanya bila digunakan bekerja sama dengan peralatan lain.
1.3 Interkoneksi dari detektor, konfigurasi kontrol, suplai daya listrik atau keluaran
sistem sebagai respon dari bekerjanya detektor kebakaran otomatik diuraikan pada
ketentuan atau standar lain yang berlaku.
1.4. Standar ini tidak dimaksudkan untuk mencegah penggunaan metoda atau
peralatan baru apabila dilengkapi dengan data teknis yang cukup, dan diajukan kepada
instansi yang berwenang untuk menunjukkan bahwa metoda atau peralatan baru itu setara
dalam kualitas, efektifitas, ketahanan dan keamanan sebagaimana disebutkan di dalam
standar ini.

2. Acuan normatif.

a). NFPA - 72E, Standard on Automatic Fire Detector, 1987 Edition.

3. Istilah dan definisi.

3.1.
alarm kebakaran.
komponen dari sistem yang memberikan isyarat/tanda setelah kebakaran terdeteksi.
3.2.
catu daya
sumber energi listrik yang memberi daya listrik cukup untuk menjalankan sistem.
3.3.
detektor kombinasi.
alat yang bereaksi terhadap lebih dari satu fenomena yang diklasifikasikan pada butir
4.2.1.1. sampai 4.2.1.5 atau menggunakan lebih dari satu prinsip operasi untuk mengindera
salah satu dari gejala-gejala tersebut. Contoh tipikal adalah suatu kombinasi dari detektor
panas jenis laju kenaikan temperatur dan jenis temperatur tetap.

1 dari 165
SNI 03-3985-2000

3.4.
instansi yang berwenang.
instansi yang berwenang dan bertanggung jawab untuk memberi persetujuan terhadap;
peralatan, instalasi, metoda atau prosedur, sesuai dengan ketentuan atau perundang-
undangan yang berlaku.
3.5.
jarak antara.
suatu ukuran dimensi jarak antar detektor kebakaran secara horisontal, berkaitan dengan
jangkauan deteksi yang diperbolehkan.
3.6.
kabel.
hantaran berisolasi dan/atau berselubung yang digunakan dalam sistem deteksi dan alarm
kebakaran yang memenuhi persyaratan.
3.7.
ketinggian langit-langit.
ketinggian dari lantai yang menerus dari suatu ruangan ke langit-langit yang menerus dari
ruang tersebut.
3.8.
label ( “labeled” ).
peralatan atau bahan yang terhadapnya sudah dilengkapi dengan label, simbol atau tanda
identifikasi lainnya dari suatu organisasi/institusi yang diakui oleh instansi yang berwenang
dan berurusan dengan evaluasi produk, yang tetap melakukan pemeriksaan periodik
terhadap produk dari peralatan atau bahan yang dilabel, dan dengan pelabelan ini
manufaktur menunjukkan kesesuaian terhadap standar atau kinerja yang berlaku sesuai
dengan cara yang dipersyaratkan.
3.9.
langit-langit.
permukaan atas dari suatu ruangan, tanpa mempermasalahkan ketinggian. Daerah dengan
suatu langit-langit yang digantung ( “suspended ceiling” ) akan mempunyai dua langit-langit,
satu terlihat dari lantai dan satu lagi berada di atas langit-langit yang digantung.
3.10.
panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran.
komponen dari sistem deteksi dan alarm kebakaran yang berfungsi untuk mengontrol
bekerjanya sistem, menerima dan menunjukkan adanya isyarat kebakaran, mengaktifkan
alarm kebakaran, melanjutkan ke fasilitas lain terkait, dan lain-lain. Panel kontrol dapat terdiri
dari satu panel saja, dapat pula terdiri dari beberapa panel kontrol.

2 dari 165
SNI 03-3985-2000

3.11.
peralatan bantu instalasi.
komponen dan peralatan bantu dalam instalasi seperti; pipa konduit, kotak hubung/terminal
box, klem penyanggah, dan lain-lain.
3.12.
persetujuan.
tanda persetujuan atau keterangan yang dapat diterima, yang diberikan oleh instansi yang
berwenang.
3.13.
terdaftar ( “listed” ).
peralatan atau bahan yang tercantum di dalam suatu daftar yang diterbitkan oleh suatu
organisasi/institusi yang diakui oleh instansi yang berwenang. Organisasi/institusi ini
berurusan dengan evaluasi produk dan yang tetap melakukan pemeriksaan secara periodik
terhadap produk peralatan dan bahan. Peralatan atau bahan yang terdaftar dinyatakan telah
memenuhi standar yang layak, atau sudah diuji dan memenuhi untuk penggunaan yang
disyaratkan.
Apabila organisasi atau institusi yang dimaksud belum ada di Indonesia, maka untuk itu
dapat mengacu atau menggunakan institusi terkait di luar negeri yang diakui oleh instansi
yang berwenang.
Catatan :
cara untuk mengidentifikasi peralatan yang “terdaftar” dapat bervariasi untuk setiap organisasi/institusi yang
berurusan dengan evaluasi produk ini, sebagian dari organisasi / institusi tidak mengakui peralatan sebagai
“terdaftar” (“listed”) apabila produk tersebut tidak di “label”. Instansi yang berwenang perlu menggunakan /
memanfaatkan cara yang digunakan oleh organisasi / institusi terdaftar untuk mengidentifikasi suatu produk
“terdaftar”.
3.14.
titik panggil manual.
alat yang dioperasikan secara manual guna memberi isyarat adanya kebakaran.

4. Ketentuan umum.

4.1. Umum.
Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur
kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen (sebagai contoh) yang menghasilkan panas,
nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek
lainnya. Detektor kebakaran adalah alat yang dirancang untuk mendeteksi adanya
kebakaran dan mengawali suatu tindakan.
Dianggap perlu untuk memberikan suatu gambaran umum secara sederhana terhadap
lingkup menyeluruh dari suatu sistem deteksi dan alarm kebakaran sehingga dapat terlihat
komponen/bagian-bagian dari sistem, dan ini ditunjukkan pada gambar 4.1.

3 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar 4.1. Gambaran umum suatu sistem deteksi dan alarm kebakarn.
4.2. Klasifikasi detektor kebakaran.

4.2.1. Jenis ( “model” ) detektor.


Untuk kepentingan standar ini, detektor kebakaran otomatik diklasifikasikan sesuai dengan
jenisnya seperti tersebut di bawah ini :

4 dari 165
SNI 03-3985-2000

4.2.1.1. Detektor panas.


alat yang mendeteksi temperatur tinggi atau laju kenaikan temperatur yang tidak normal.

4.2.1.2. Detektor asap.


alat yang mendeteksi partikel yang terlihat atau yang tidak terlihat dari suatu pembakaran.

4.2.1.3. Detektor nyala api.


alat yang mendeteksi sinar infra merah, ultra violet, atau radiasi yang terlihat yang
ditimbulkan oleh suatu kebakaran.

4.2.1.4. Detektor gas kebakaran.


alat untuk mendeteksi gas-gas yang terbentuk oleh suatu kebakaran.

4.2.1.5. Detektor kebakaran lainnya.


alat yang mendeteksi suatu gejala selain panas, asap, nyala api, atau gas yang ditimbulkan
oleh kebakaran.

4.2.2. Tipe detektor.

4.2.2.1. Detektor tipe garis ( “line type detector” ).


alat dimana pendeteksiannya secara menerus sepanjang suatu jalur. Contoh tipikal adalah
detektor laju kenaikan temperatur jenis pnumatik, detektor asap jenis sinar terproyeksi dan
kabel peka panas.

4.2.2.2. Detektor tipe titik ( “spot type detector” ).


alat dimana elemen pendeteksiannya terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu. Contoh
tipikal adalah detektor bimetal, detektor campuran logam meleleh, detektor laju kenaikan
temperatur jenis pnumatik tertentu, detektor asap tertentu, dan detektor termo-elektrik.

4.2.2.3. Detektor tipe sampel udara ( “air sampling type detector” ).


terdiri atas pemipaan distribusi dari unit detektor ke daerah yang diproteksi. Sebuah pompa
udara menarik udara dari daerah yang diproteksi kembali ke detektor melalui lubang sampel
udara dan pemipaan pada detektor, udara dianalisa dalam hal produk kebakarannya.

4.2.3. Cara operasi.

4.2.3.1. Detektor tidak dapat diperbaiki ( “non restorable detector” ).


alat dimana elemen penginderaannya dirancang untuk rusak oleh proses pendeteksian
kebakaran.

4.2.3.2. Detektor dapat diperbaiki ( “restorable detector” ).


alat dimana elemen penginderaannya tidak rusak oleh proses pendeteksian kebakaran.
Pengembalian ke kondisi semula dapat secara manual atau otomatik.

4.3. Bentuk langit-langit.


Bentuk langit-langit diklasifikasikan sebagai berikut :

5 dari 165
SNI 03-3985-2000

4.3.1.1. Langit-langit datar.


langit-langit yang secara nyata datar atau mempunyai kemiringan kurang dare 1 : 8.

4.3.1.2. Langit-langit miring.


langit-langit yang mempunyai kemiringan lebih dari 1 : 8. Langit-langit miring selanjutnya
diklasifikasikan sebagai berikut :
a). Tipe kemiringan berpuncak ( “sloping peaked type” ).
Langit-langit yang mempunyai kemiringan kedua arah dari titik puncak langit-langit
melengkung berkubah dapat dianggap berpuncak dengan kemiringan digambarkan
sebagai kemiringan dari tali busur dari puncak ke titik terendah. Lihat gambar
A.5.5.4.1. pada apendiks A.
b). Tipe kemiringan satu arah ( “sloping shed type” ).
Langit-langit dimana titik puncak ada pada satu sisi dengan kemiringan menuju ke arah
sisi berlawanan. Lihat gambar A.5.5.4.2. pada apendiks A.

4.4. Permukaan langit-langit.


4.4.1. Permukaan langit-langit diacu dalam hubungannya dengan perletakan detektor
kebakaran adalah :

4.4.1.1. Konstruksi balok ( “beam construction” ).


langit-langit yang mempunyai komponen struktural atau tidak struktural yang pejal menonjol
ke bawah dari permukaan langit-langit lebih dari 100 mm ( 4 inci ) dan berjarak 0,9 m ( 3 ft )
dari sumbu ke sumbu.

4.4.1.2. Gelagar ( “girders” ).


palang penunjang balok atau balok melintang, dipasangkan dengan bersudut terhadap balok
atau balok melintang. Bila gelagar berada 100 mm ( 4 inci ) dari langit-langit maka
merupakan faktor dalam menentukan jumlah detektor dan dianggap sebagai balok. Bila
puncak atas dari gelagar lebih dari 100 mm ( 4 inci ) dari langit-langit, bukan merupakan
faktor di dalam perletakan detektor.

4.4.1.3. Konstruksi balok melintang padat ( “solid joist construction” ).


langit-langit yang mempunyai komponen struktural atau tidak struktural yang pejal menonjol
ke bawah dari permukaan langit-langit dengan jarak lebih dari 100 mm ( 4 inci ) dan berjarak
0,9 m ( 3 ft ) atau kurang dari sumbu ke sumbu.

4.4.1.4. Langit-langit rata.


sebuah permukaan tidak terganggu oleh tonjolan yang menerus, seperti gelagar yang padat,
balok, “ducting”, perpanjangan lebih dari 100 mm ( 4 inci ) di bawah permukaan langit-langit.
Catatan :
Konstruksi rangka atap terbuka tidak dianggap merintangi aliran produk kebakaran kecuali jika komponen bagian
atas langit-langit yang menerus tonjolannya dibawahnya lebih dari 100 mm ( 4 inci ).

6 dari 165
SNI 03-3985-2000

4.5. Persetujuan.
4.5.1. Semua peralatan deteksi kebakaran harus didaftar atau disetujui sesuai dengan
yang dirancang dan harus dipasang mengikuti standar ini.
4.5.2*. Semua peralatan deteksi kebakaran yang menerima pasokan daya dari sirkit
yang mengawali suatu unit kontrol alarm kebakaran harus didaftar (listed) untuk penggunaan
dengan unit kontrol. Apabila dapat diterima oleh instansi yang berwenang, manufaktur dapat
melengkapi informasi mengenai kompatibilitas dari peralatan deteksi dengan unit kontrol
untuk memenuhi persyaratan ini.
4.5.3. Apabila disyaratkan oleh instansi yang berwenang, informasi lengkap tentang
detektor kebakaran, termasuk persyaratan teknis dan gambar denah yang menunjukkan
perletakan detektor harus disampaikan untuk disetujui sebelum pemasangan detektor..
4.5.4. Sebelum permohonan persetujuan akhir terhadap pemasangan dari instansi
yang berwenang diberikan, kontraktor pemasang harus melengkapi dengan pernyataan
tertulis yang menyatakan bahwa detektor telah dipasang sesuai dengan rancangan denah
yang disetujui dan diuji sesuai spesifikasi manufaktur.
4.6. Pengujian yang dapat diterima.
Akhir dari penyelesaian pemasangan harus dilakukan pengujian yang sesuai dengan butir 8
dari standar ini dan pelaksanaannya harus dihadiri wakil dari instansi yang berwenang.
4.7. Pemasangan.
4.7.1. Detektor harus diproteksi terhadap kemungkinan rusak karena gangguan
mekanis.
4.7.2. Pemasangan detektor dalam semua keadaan harus bebas dari pengikatannya
terhadap sirkit konduktor.
4.7.3. Detektor tidak boleh dipasang dengan cara masuk ke dalam permukaan langit-
langit kecuali hal itu sudah pernah diuji dan terdaftar (“listed”) untuk pemasangan seperti itu.
4.7.4. Detektor harus dipasang pada seluruh daerah bila disyaratkan oleh standar yang
berlaku atau oleh instansi yang berwenang. Setiap detektor yang terpasang harus dapat
dijangkau untuk pemeliharaan dan untuk pengujian secara periodik.
Apabila dipersyaratkan proteksi mencakup secara menyeluruh, maka detektor harus
dipasang pada seluruh ruangan, lobi, daerah gudang, besmen, ruang di bawah atap di atas
langit-langit, loteng, ruang di atas langit-langit yang diturunkan dan sub bagian lainnya dan
ruang yang dapat dijangkau dan di dalam semua lemari tanam, saf lif, tangga tertutup, saf
“dumb waiter”, dan pelongsor ( “chute” ). Daerah yang tidak dapat dimasuki yang
mengandung bahan mudah terbakar harus dibuat dapat dimasuki dan diproteksi oleh
detektor-detektor.
Pengecualian 1 :
Detektor boleh dihilangkan dari ruang gelap yang mudah terbakar apabila setiap kondisi berikut dipenuhi :
a). Jika langit-langit melekat langsung ke bagian bawah balok penyangga dari atap yang mudah terbakar
atau dek lantai.
b). Jika ruang yang tersembunyi seluruhnya diisi dengan isolasi tidak mudah terbakar. Dalam konstruksi anak
balok yang padat, isolasi dibutuhkan untuk mengisi hanya ruang dari langit-langit ke tepi bawah balok atap
atau dek lantai.

7 dari 165
SNI 03-3985-2000

c). Jika ruang yang tersembunyi kecil diatas kamar yang tersedia pada setiap ruang dalam pertanyaan tidak
melebihi 4,6 m2 ( 50 ft2 ) luasnya.
d). Dalam ruangan yang dibentuk oleh kerangka a5tau balok padat dalam didnding, lantai atau langit-langit
apabila jarak antara kerangka atau balok padat kurang dari 150 mm (6 inci).
Pengecualian 2 :
Detektor boleh dihilangkan dari bagian bawah kisi-kisi langit-langit yang terbuka jika semua kondisi berikut
dipenuhi :
a). Bukaan dari kisi-kisi 6,4 mm ( ¼ inci) atau lebih besar dari dimensi yang terekcil.
b). Tebal dari bahan tidak melebihi dimensi yang terkecil.
c). Susunan bukaan sedikitnya 70 persen dari luas bahan langit-langit.
4.7.5*. Detektor harus juga disyaratkan dipasang di bawah tempat bongkar muat terbuka
atau teras dan penutupnya, dan ruang di bawah lantai yang dapat dimasuki dari bangunan
tanpa besmen.
Pengecualian :
Dengan ijin dari instansi yang berwenang, detektor dapat dihilangkan apabila ditemui kondisi berikut :
a). Ruangan yang tidak dapat dimasuki untuk difungsikan sebagai; gudang atau jalan masuk untuk orang
yang tidak berwenang dan diproteksi terhadap akumulasi puing yang terbawa angin.
b). Isi ruangan bukan peralatan seperti pipa uap, jaringan listrik, saf atau konveyor.
c). Lantai seluruh ruangan rapat.
d). Di atas lantai tersebut tidak ada bahan cair mudah terbakar diproses, dibawa atau disimpan.
4.7.6. Selama kode, standar, hukum, atau instansi yang berwenang mensyaratkan
proteksi hanya daerah terseleksi saja, daerah yang disebutkan itu harus diproteksi mengikuti
standar ini.
4.7.7*. Terminal duplikat atau sejenisnya, harus disediakan pada setiap detektor
kebakaran otomatik untuk penyambungan cepat ke dalam sistem alarm kebakaran
melengkapi supervisi terhadap sambungan. Terminal atau kawat demikian adalah penting
untuk menjamin terhadap terputusnya jaringan, dan sambungan individu dibuat ke dan dari
terminal untuk sinyal dan pasokan daya.
Pengecualian :
Detektor yang telah dilengkapi supervisi yang sejenis.

5. Detektor kebakaran penginderaan panas.

Panas adalah penambahan energi yang menyebabkan bahan temperaturnya naik dan juga
energi dihasilkan oleh bahan yang terbakar.

5.1. Umum.
5.1.1. Maksud dan lingkup bagian ini adalah untuk menentukan standar lokasi dan jarak
antara dari detektor kebakaran untuk mengindera panas yang ditimbulkan oleh bahan yang
terbakar. Detektor demikian itu secara umum disebutkan sebagai detektor panas.

8 dari 165
SNI 03-3985-2000

5.1.2. Detektor panas harus dipasang di seluruh daerah apabila dipersyaratkan oleh
standar yang berlaku atau yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.

5.2. Prinsip kerja.

5.2.1. Detektor temperatur tetap.


5.2.1.1. Detektor temperatur-tetap adalah suatu alat yang akan bereaksi apabila elemen
kerjanya menjadi panas sampai ke suatu tingkat yang ditentukan.

5.2.1.2. Kelambatan panas.


Bila suatu alat temperatur-tetap bekerja, temperatur udara disekelilingnya akan selalu lebih
tinggi dari temperatur kerja alat itu sendiri. Perbedaan temperatur kerja dari alat dan
kenyataan temperatur udara sekelilingnya biasanya disebut sebagai kelambatan panas dan
ini sebanding dengan laju kenaikan temperatur.

5.2.1.3. Contoh tipikal elemen penginderaan temperatur tetap adalah :


a). Bimetal.
Elemen penginderaan terdiri dari dua jenis logam yang mempunyai koeffisien
pemuaian panas yang berbeda, disusun sedemikian rupa sehingga bila dipanaskan
akan melengkung ke suatu arah dan bila didinginkan melengkung ke arah yang
berlawanan.
b). Konduktivitas listrik.
Elemen penginderaan jenis garis atau jenis titik, dimana tahanannya akan berubah
sebagai fungsi dari temperatur.
c). Campuran logam yang mudah meleleh.
Elemen penginderaan dari komposisi logam khusus yang leleh secara cepat pada laju
temperatur.
d). Kabel peka terhadap panas.
Alat tipe garis yang memiliki elemen penginderaan terdiri dari, satu tipe, dua kawat
yang mengalirkan arus dipasang terpisah oleh isolasi peka terhadap panas yang akan
menjadi lunak pada temperatur kerja, sehingga memungkinkan kawat tersebut untuk
melakukan kontak listrik. Pada tipe yang lain, sebuah kawat tunggal dipasang di
tengah-tengah tabung logam dan ruang diantaranya diisi dengan suatu bahan dimana
pada temperatur kritis akan menjadi bersifat penghantar, sehingga terjadi kontak listrik
antara tabung dan kawat.
e). Ekspansi cairan.
Elemen penginderaan yang terdiri dari suatu cairan yang volumenya mampu
berekspansi secara tajam sebagai reaksi terhadap kenaikan temperatur.

5.2.2. Detektor laju kompensasi.


5.2.2.1. Detektor laju kompensasi adalah suatu alat yang akan bereaksi bila temperatur
udara sekeliling alat tersebut mencapai tingkat yang ditentukan, tanpa dipengaruhi besarnya
laju kenaikan temperatur.

9 dari 165
SNI 03-3985-2000

5.2.2.2. Sebuah contoh tipikal adalah detektor jenis titik dari logam yang cenderung akan
bertambah panjang bila dipanaskan. Suatu mekanisme kontak yang tergabung akan
menutup pada suatu titik tertentu. Suatu elemen logam yang berada di dalam tabung
mendesak dengan gaya yang berlawanan terhadap kontak, cenderung menahan kontak
terbuka. Gaya diseimbangkan dengan cara memperlambat laju kenaikan temperatur,
diperlukan waktu pemanasan yang lebih lama untuk menembus elemen yang di dalam,
kondisi ini akan menghambat kontak untuk menutup sampai seluruh alat telah terpanaskan
hingga tingkat pemanasan tertentu. Namun pada laju kenaikan temperatur yang cepat, tidak
cukup waktu bagi panas untuk menembus ke elemen di dalam, yang mendesak kurangnya
hambatan sehingga kontak menutup diperoleh ketika seluruh peralatan telah dipanaskan
sampai tingkat yang lebih rendah. Ini memberi pengaruh kompensasi kelambatan panas.
5.2.3. Detektor laju kenaikan.
5.2.3.1. Detektor laju kenaikan adalah suatu alat yang akan merespon jika kenaikan
temperatur pada laju yang melebihi jumlah yang telah ditentukan.
5.2.3.2. Contoh tipikal dari detektor ini :
a). Tabung laju kenaikan pnumatik.
Suatu detektor jenis garis terdiri dari tabung berdiameter kecil, biasanya dari bahan
tembaga, yang dipasang pada langit-langit atau pada dinding yang tinggi, seluruhnya
dalam ruang yang dideteksi. Tabung berakhir pada unit detektor yang mengandung
diapragma dan dihubungkan dengan set kontak untuk menggerakkan tekanan
tekanan yang sebelumnya ditentukan. Sistem ini ditutup rapat kecuali untuk ven
kalibrasi yang mengkompensai perubahan normal temperatur.
b). Detektor laju kenaikan pnumatik titik.
Suatu alat yang terdiri dari ruang udara, diapragma, kontak, dan ven kompensasi
dalam satu kotak tertutup. Prinsip kerjanya sama seperti dijelaskan pada butir
5.2.3.2.a).
c). Detektor efek thermoelektrik.
Suatu alat yang elemen penginderaannya terdiri dari sebuah unit ocouple atau
thermopile yang menghasilkan kenaikan potensial listrik dalam merespon kenaikan
temperatur. Potensial ini dipatau oleh peralatan kontrol yang berhubungan, dan alarm
digerakkan jika kenaikan laju potensial tidak normal.
d). Detektor perubahan konduktivitas listrik.
emen pengindera jenis garis yang mana perubahan tahanannya menyebabkan
perubahan temperatur. Laju perubahan tahanan dipantau oleh peralatan kontrol yang
berhubungan, dan alarm digerakkan jika laju naik melebihi nilai yang di set
sebelumnya.

5.3. Klasifikasi temperatur.


5.3.1. Detektor panas dari tipe temperatur-tetap atau tipe laju kompensasi pola titik
harus digolongkan sesuai temperatur kerja dan ditandai dengan kode warna yang sesuai
(lihat tabel 5.3.1).

10 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel 5.3.1.: Klasifikasi temperatur.


Temperatur
Klasifikasi Rentang nilai
maksimum Kode warna
temperatur temperatur ( 0C )
langit-langit ( 0C ).
Rendah* 37,7 ~ 56,6 -6,6 kebawah** Tak berwarna
Sedang 57 ~ 78,8 37,7 Tak berwarna
Menengah 79 ~ 120,5 65,5 putih
Tinggi 121 ~ 162,2 107,2 biru
Ekstra tinggi 163 ~ 203,8 148,8 merah
Ekstra sangat 204 ~ 259,4 190,5 hijau
tinggi
Ultra tinggi 260 ~ 301,6 246 oranye
* Dimaksud hanya untuk pemasangan daerah dimana ambien dikontrol. Unit diberi tanda untuk
menunjukkan temperatur ambien maksimum pemasangan.
** Temperatur maksimum langit-langit 200 atau lebih dibawah nilai temperatur detektor.
Catatan :
Perbedaan antara laju temperatur dan ambien maksimum sebaiknya sekecil mungkin untuk me-minimalkan
waktu tanggap.
5.3.1.1. Apabila warna keseluruhan dari suatu detektor sama dengan tanda kode warna
yang disyaratkan untuk detektor itu, salah satu susunan berikut, dipakai warna yang kontras
dan mudah dilihat setelah pemasangan, harus dibicarakan :
a). Sebuah cincin di atas permukaan detektor.
b). Nilai temperatur dalam angka dengan ketinggian huruf 9,5 mm ( 3/8 inci ).

5.4. Lokasi.
5.4.1*. Detektor jenis titik harus diletakkan pada langit-langit dengan jarak tidak kurang
dari 100 mm ( 4 inci ) dari sisi dinding atau pada sisi dinding yang berjarak antara 100 mm
( 4 inci ) dan 300 mm ( 12 inci ) dari langit-langit (lihat gambar A.5.4.1. pada apendiks A ).
Pengecualian no.1 :
Di dalam hal konstruksi balok melintang padat, detektor harus dipasang pada bagian bawah dari balok melintang.
Pengecualian no.2 :
Di dalam hal konstruksi balok dimana kedalaman balok kurang dari 300 mm ( 12 inci ) dan jarak pusatnya kurang
dari 2,4 m ( 8 ft ), detektor dapat dipasangkan pada bagian bawah balok.
5.4.2. Detektor panas jenis garis harus diletakkan pada langit-langit atau pada sisi
dinding dengan jarak tidak lebih dari 500 mm ( 20 inci ) dari langit-langit.

5.4.3. Daerah temperatur tinggi.


Detektor yang mempunyai elemen temperatur tetap atau laju kompensasi harus dipilih
sesuai tabel 5.3.1. untuk temperatur langit-langit tertinggi yang dapat diperkirakan.

11 dari 165
SNI 03-3985-2000

5.5. Jarak pemasangan.

5.5.1*. Jarak terhadap langit-langit rata.


Salah satu dari ketentuan berikut ini harus diterapkan :
a). Jarak antar detektor harus tidak boleh melebihi jarak yang tercantum dalam daftar
(“list”) dan detektor harus berada di dalam jarak setengah dari jarak yang terdaftar
(“listed”), diukur pada sudut yang benar, dari semua dinding atau partisi diperpanjang
sampai 460 mm (18 inci) dari langit-langit, atau
b). Seluruh titik pada langit-langit harus terdapat detektor dengan jarak yang sama dengan
0,7 kali jarak terdaftarnya. Ini akan bermanfaat dalam melakukan penghitungan
perletakan pada koridor atau daerah yang tidak teratur.

5.5.1.1*. Daerah tidak teratur.


Untuk daerah dengan permukaan yang tidak teratur, jarak antara detektor dapat lebih besar
dari jarak yang terdaftar (“listed”), jarak maksimum yang disediakan dari sebuah detektor ke
titik terjauh dari suatu sisi dinding atau pojokan di dalam zona proteksinya tidak lebih besar
dari 0,7 kali jarak terdaftar ( 0,7 x S ) ( lihat gambar A.5.5.1.1. pada apendiks A ).

5.5.1.2*. Langit-langit yang tinggi.


Pada langit-langit dengan ketinggian 3 m ( 10 ft ) sampai 9 m ( 30 ft ), jarak antara detektor
panas harus dikurangi mengikuti tabel 5.5.1.2.
Tabel 5.5.1.2. Koreksi untuk langit-langit yang tinggi
Tinggi langit-langit ( m ) Persen dari jarak antara
di atas sampai dengan yang terdaftar
0 3,0 100
3,0 3,6 91
3,6 4,2 84
4,2 4,8 77
4,8 5,4 71
5,4 6,0 64
6,0 6,7 58
6,7 7,3 52
7,3 7,9 46
7,9 8,5 40
8,5 9,1 34
Pengecualian :
Tabel 5.5.1.2. tidak diterapkan pada detektor berikut yang bertumpu pada efek integrasi.
a). Detektor konduktivitas listrik tipe garis ( lihat 5.2.1.3.b ).
b). Detektor tabung laju kenaikan pnumatik ( lihat 5.2.3.2.a. ).
c). Detektor efek termoelektrik hubung seri ( lihat 5.2.3.2.c. ).
Dalam kasus ini, rekomendasi dari pihak manufaktur harus diikuti untuk kesesuaian titik alarm dan jaraknya.

12 dari 165
SNI 03-3985-2000

Catatan :
Tabel 5.5.1.2. menyediakan modifikasi jarak antara untuk memperhitungkan perbedaan ketinggian langit-langit
pada kondisi kebakaran secara umum. Suatu alternatif metoda perancangan, yang mengijinkan perancang untuk
memperhitungkan ketinggian langit-langit, ukuran kebakaran, dan temperatur udara luar, disediakan pada
apendiks C.

5.5.2*. Konstruksi balok melintang padat ( “solid joist construction” ).


Jarak antar detektor panas, apabila diukur dengan sudut yang benar terhadap balok
melintang padat, harus tidak lebih dari 50% terhadap jarak yang diperbolehkan untuk langit-
langit rata pada butir 5.5.1 dan 5.5.1.1. ( lihat gambar A.5.5.2. pada apendiks A ).

5.5.3*. Konstruksi balok ( “beam construction” ).


Harus diperlakukan sebagai langit-langit rata apabila balok menonjol tidak lebih dari 100 mm
( 4 inci ) di bawah langit-langit. Jika balok itu menonjol di bawah langit-langit lebih dari 100
mm ( 4 inci ), maka jarak antara detektor panas jenis titik pada sudut yang benar ke arah
lintasan balok harus tidak lebih dari 2/3 jarak yang dibolehkan untuk langit-langit rata pada
butir 5.5.1. dan 5.5.1.1.
Apabila balok itu menonjol lebih dari 460 mm ( 18 inci ) di bawah langit-langit dan jarak antar
sumbu balok lebih dari 2,4 m ( 8 ft ), setiap cekungan yang dibentuk oleh balok-balok harus
diberlakukan sebagai suatu daerah yang terpisah.

5.5.4. Langit-langit miring.

5.5.4.1*. Puncak.
Sederetan detektor pertama-tama diukur jarak antaranya dan diletakkan pada atau dalam
jarak 0,9 m ( 3 ft ) dari puncak langit-langit, diukur secara horisontal. Jumlah dan jarak dari
detektor tambahan apabila ada harus didasarkan terhadap proyeksi horisontal dari langit-
langit sesuai dengan jenis konstruksi langit-langit ( lihat gambar A.5.5.4.1 pada apendiks A ).

5.5.4.2*. Bidang miring.


Bidang miring harus mempunyai sederetan detektor yang diletakkan pada langit-langit dalam
jarak 0,9 m ( 3 ft ) dari sisi tinggi langit-langit diukur secara horisontal, jarak antaranya sesuai
dengan tipe konstruksinya. Detektor yang tersisa bila ada, harus diletakkan dalam daerah
tersisa didasarkan proyeksi horisontal dari langit-langit (lihat gambar A.5.5.4.2. dalam
apendiks A ).
5.5.4.3. Untuk atap dengan kemiringan kurang dari 300, semua detektor harus berjarak
antara menggunakan ketinggian pada puncak. Untuk atap dengan kemiringan lebih dari 300,
ketinggian miring rata-rata akan digunakan untuk seluruh detektor lain yang diletakkan pada
puncak.

6. Detektor kebakaran penginderaan asap.

6.1. Untuk kepentingan standar ini, asap adalah keseluruhan partikel yang melayang-
layang baik kelihatan maupun tidak kelihatan dari suatu pembakaran.

13 dari 165
SNI 03-3985-2000

6.1.1. Umum.
6.1.1.1. Maksud dan lingkup dari bagian ini adalah menyediakan standar untuk
perletakan dan jarak pemasangan detektor kebakaran untuk mengindera asap yang
ditimbulkan pembakaran suatu bahan.
6.1.1.2*. Detektor asap harus dipasangkan pada seluruh daerah yang disyaratkan oleh
standar ini, atau oleh instansi yang berwenang.

6.2. Prinsip pendeteksian.

6.2.1. Pendeteksian asap cara ionisasi.


Suatu detektor asap jenis ionisasi mempunyai sejumlah kecil bahan radio aktif yang
mengionisasikan udara di dalam ruang penginderaan, dengan demikian menjadikan udara
bersifat konduktif dan membolehkan arus mengalir menembus dua elektroda yang
bermuatan. Ini menjadikan kamar pengindera suatu konduktivitas listrik yang efektif.
Ketika partikel asap memasuki daerah ionisasi, partikel ini menurunkan konduktansi dari
udara dengan jalan mengikatkan diri ke ion-ion. mengakibatkan penurunan mobilitas. Ketika
konduktansi rendah dibandingkan suatu tingkat yang ditentukan terlebih dahulu, detektor
akan bereaksi.
6.2.1.1. Pendeteksian cara ionisasi lebih bereaksi terhadap partikel yang tidak kelihatan
(ukuran lebih kecil dari 1 mikron) yang diproduksi oleh kebanyakan nyala kebakaran.
Reaksinya agak lebih rendah terhadap partikel yang lebih besar dari kebanyakan api tanpa
nyala.
6.2.1.2. Detektor asap yang menggunakan prinsip ionisasi biasanya dari jenis titik.

6.2.2*. Detektor asap jenis pancaran cahaya foto-elektrik.


Pada detektor asap jenis pancaran cahaya foto-elektrik, suatu sumber cahaya dan suatu
pengindera peka sinar disusun sedemikian rupa sehingga sinar dari sumber cahaya tidak
secara normal jatuh ke pengindera peka sinar. Ketika partikel asap masuk ke lintasan
cahaya, sebagian dari cahaya terpencarkan oleh pantulan dan pembiasan ke sensor
( pengindera ), menyebabkan detektor itu bereaksi.
6.2.2.1. Deteksi pancaran cahaya foto-elektrik lebih bereaksi terhadap partikel yang
kelihatan ( ukuran lebih kecil dari satu mikron ) yang diproduksi oleh kebanyakan api yang
tanpa nyala. Reaksinya lebih kecil terhadap partikel kecil tipikal dari kebakaran yang
menyala. Rekasinya juga kecil terhadap asap yang hitam.
6.2.2.2. Detektor asap menggunakan prinsip pancaran cahaya biasanya disebut sebagai
tipe titik.

6.2.3. Detektor asap pengaburan cahaya foto-elektrik.


Pada detektor asap tipe pengaburan cahaya foto-elektrik, kerugian transmisi cahaya antara
sumber cahaya dan sebuah pengindera peka-foto dipantau. Apabila partikel asap dihadirkan
pada lintasan cahaya, sebagian cahaya dipancarkan dan sebagian dikaburkan, ini
mengurangi cahaya mencapai alat penerima, mengakibatkan detektor bereaksi.
6.2.3.1. Reaksi detektor asap tipe pengaburan cahaya foto-elektrik biasanya tidak
dipengaruhi oleh warna asap.

14 dari 165
SNI 03-3985-2000

6.2.3.2. Detektor asap yang menggunakan prinsip pengaburan cahaya biasanya tipe
garis. Detektor ini biasanya disebut detektor asap proyeksi pancaran berkas.

6.2.4. Detektor asap tipe ruang awan.


Suatu detektor asap menggunakan prinsip ruang awan biasanya dari tipe sampel ( contoh ),
Sebuah pompa udara menarik sampel udara dari daerah yang diproteksi ke dalam ruang
dengan kelembaban tinggi di dalam detektor.Setelah kelembaban sampel beranjak naik,
tekanan diturunkan secara perlahan. Bila terdapat partikel asap, uap air di dalam udara akan
berkondensasi bersama membentuk awan di dalam ruang. Densiti dari awan ini kemudian
diukur dengan prinsip foto-elektrik. Apabila densitinya lebih besar dari tingkat yang telah
ditentukan, detektor akan bereaksi.

6.3. Klasifikasi.

6.3.1. Detektor asap tipe titik.


Detektor asap tipe titik harus diberi tanda terhadap kepekaan produksi normalnya ( persen
per meter pengaburan ), diukur sesuai persyaratan pada daftar. Toleransi produksi sekitar
kepekaan normalnya harus juga ditunjukkan.
6.3.1.1. Detektor asap yang mempunyai perlengkapan pengaturan di lapangan
kepekaannya, harus mempunyai rentang pengaturan tidak kurang dari 0,6 persen/ ft
pengaburan, dan sarana pengaturannya harus diberi tanda untuk menunjukkan posisi
kalibrasi nominal dari pabrik.

6.4. Lokasi dan jarak.

6.4.1*. Umum.
Lokasi dan jarak dari detektor asap harus merupakan hasil dari suatu evaluasi yang
didasarkan pada pertimbangan enjinering ditambah panduan yang dirinci dalam standar ini.
Bentuk dan permukaan langit-langit, ketinggian langit-langit, konfigurasi dari kandungan,
karakteristik pembakaran dari bahan mudah terbakar yang ada dan ventilasi merupakan
beberapa kondisi yang perlu dipertimbangkan.
6.4.1.1. Apabila dimaksud untuk melindungi terhadap bahaya kebakaran khusus, detektor
dapat dipasangkan dekat pada bahaya kebakaran dalam posisi dimana detektor akan siap
menangkap asap.

6.4.1.2*. Susunan berlapis lapis.


Akibat yang mungkin terjadi dari susunan berlapis-lapis asap di bawah langit-langit harus
pula dipertimbangkan.

6.4.2. Detektor asap jenis titik.


Detektor asap jenis titik harus diletakkan pada langit-langit tidak kurang dari 100 mm ( 4 inci )
dari dinding samping ke ujung terdekat, atau bila dipasang pada suatu dinding samping,
antara 100 mm ( 4 inci ) dan 300 mm ( 12 inci ) turun dari langit-langit ke puncak dari
detektor ( lihat gambar A.5.4.1 pada apendiks A ).
Pengecualian no.1 :
lihat butir 6.4.1.2.

15 dari 165
SNI 03-3985-2000

Pengecualian no.2 :
Dalam hal konstruksi balok melintang padat, detektor harus dipasang di bawah balok.
Pengecualian no.3 :
Dalam hal konstruksi balok dimana balok kurang dari 300 mm ( 12 inci ) ke dalamannya dan kurang dari 2,4 m ( 8
ft ) jarak sumbunya; detektor boleh dipasang pada bagian bawah balok.
6.4.2.1*. Untuk meminimalkan kontaminasi debu dari detektor asap apabila diletakkan di
ruang bawah dari lantai yang dinaikkan dan ruang sejenis, detektor asap harus dipasang
hanya di dalam orientasi seperti cara pemasangan yang telah terdaftar. ( lihat gambar
A.6.4.2.1 pada apendiks A ).

6.4.3. Detektor asap tipe sinar terproyeksi ( “projected beam type” ).


Detektor asap tipe sinar terproyeksi ( lihat butir 6.2.3.1 ) secara normal harus diletakkan
dengan sinar terproyeksinya sejajar terhadap langit-langit dan mengikuti instruksi dari
manufaktur.
Pengecualian no.1 :
lihat butir 6.4.1.2.
Pengecualian no.2 :
Detektor dapat dipasang secara vertikal atau pada setiap sudut yang diperlukan untuk memberikan proteksi
terhadap bahaya kebakaran yang timbul ( contoh sinar vertikal yang melalui daerah saf terbuka dari tangga
dimana terdapat ruang vertikal yang terbuka pada bagian dalam pegangan tangga).
6.4.3.1. Panjang sinar harus tidak melebihi panjang yang diijinkan pada daftar peralatan.
6.4.3.1.1*. Apabila cermin digunakan dengan sinar terproyeksi, detektor harus dipasang
sesuai dengan rekomendasi manufaktur.
6.4.3.1.2. Instalasi detektor harus memenuhi persyaratan yang terdapat di dalam daftar.

6.4.4. Detektor asap tipe sampel ( “sampling type smoke detector” ).


Setiap titik sampel dari sebuah detektor asap tipe sampel harus diperlakukan sebagai
sebuah detektor jenis titik untuk maksud perletakan dan jarak antara.

6.4.5. Jarak langit-langit rata.

6.4.5.1. Detektor tipe titik.


Pada langit-langit rata, jarak antara 9 m ( 30 ft ) dapat digunakan sebagai pedoman. Dalam
semua kasus, rekomendasi manufaktur harus diikuti. Jarak antara lainnya boleh dipakai
tergantung pada ketinggian langit-langit, kondisi yang berbeda atau persyaratan reaksi ( lihat
apendiks C untuk deteksi terhadap nyala api ).
6.4.5.1.1. Apabila suatu jarak antara spesifik dipilih oleh instansi yang berwenang, dengan
pertimbangan enjinering, oleh apendiks C atau oleh metoda lainnya untuk langit-langit rata,
semua titik pada langit-langit harus mempunyai sebuah detektor di dalam jarak yang sama
dengan 0,7 kali jarak antara yang dipilih. Ini akan berguna untuk menghitung perletakan di
koridor atau daerah yang tidak beraturan ( lihat apendiks A.5.5.1 dan A.5.5.1.1 ). Untuk
daerah yang berbentuk tidak teratur, jarak antara detektor boleh lebih besar dari jarak
antara yang dipilih, apabila jarak antara maksimum dari sebuah detektor ke titik terjauh dari

16 dari 165
SNI 03-3985-2000

dinding samping atau pojokan di dalam zona proteksinya tidak lebih dari 0,7 kali jarak yang
dipilih ( 0,7.S ). ( lihat gambar A.5.5.1.1. pada apendiks A ).

6.4.5.2*. Detektor tipe sinar terproyeksi.


Untuk lokasi dan jarak antara dari detektor tipe sinar terproyeksi, instruksi instalasi dari
manufaktur harus diikuti ( lihat gambar A.6.4.5.2. pada apendiks A ).

6.4.6*. Konstruksi balok melintang.


6.4.6.1. Konstruksi langit-langit dimana balok melintang dengan kedalaman 200 mm
( 8 inci ) atau kurang harus dipertimbangkan sebagai langit-langit rata. Detektor tipe titik
harus dipasang di bawah balok melintang ( juga lihat butir 6.4.1.2 ).
6.4.6.2. Apabila balok melintang melebihi 200 mm ( 8 inci ) kedalamannya, jarak antara
detektor tipe titik dalam arah tegak lurus dengan balok melintang harus dikurangi dengan
sepertiga. Jika cahaya sinar terproyeksi dari detektor tipe garis dipasang tegak lurus
terhadap balok melintang, tidak diperlukan pengurangan jarak antara penting; namun, jika
cahaya sinar terproyeksi itu sejajar terhadap balok melintang, jarak antara cahaya sinar
harus dikurangi. Detektor tipe titik harus dipasang pada bagian bawah dari balok melintang.
(lihat juga butir 6.4.1.2 ).

6.4.7. Konstruksi balok.


6.4.7.1. Konstruksi langit-langit apabila balok kedalamannya 200 mm ( 8 inci ) atau
kurang, harus dipertimbangkan ekivalen terhadap langit-langit rata (lihat juga butir 6.4.1.2 ).
6.4.7.2. Apabila balok kedalamannya melebihi 200 mm ( 8 inci ) jarak antara detektor tipe
titik dalam arah tegak lurus balok, harus dikurangi. Jarak antara detektor cahaya sinar
terproyeksi yang dipasang tegak lurus terhadap balok langit-langit tidak perlu dikurangi;
namun, jika cahaya sinar terproyeksi dipasang sejajar terhadap balok langit-langit, jarak
antaranya harus dikurangi. (juga lihat butir 6.4.1.2 ).
6.4.7.3*. Apabila balok kedalamannya melebihi 460 mm ( 18 inci ) dan jarak sumbunya
lebih dari 2,4 m ( 8 ft ); setiap cekukan harus diperlakukan sebagai daerah terpisah yang
memerlukan tidak kurang satu detektor tipe titik atau detektor tipe sinar terproyeksi.

6.4.8. Langit-langit miring.

6.4.8.1. Puncak.
Detektor pertama-tama harus diletakkan pada jarak antara 0,9 m ( 3 ft ) dari puncak, diukur
secara horisontal. Jumlah dan jarak antara dari detektor tambahan, jika ada, harus
didasarkan pada proyeksi horisontal dari langit-langit. ( lihat gambar A.5.5.4.1 apendiks A ).

6.4.8.2. Bidang miring.


Detektor pertama-tama harus diletakkan pada jarak antara 0,9 m ( 3 ft ) dari sisi tinggi langit-
langit, diukur secara horisontal. Jumlah dan jarak antara dari detektor tambahan, jika ada,
harus didasarkan pada proyeksi horisontal dari langit-langit ( lihat gambar A.5.5.4.2 pada
apendiks A ).

17 dari 165
SNI 03-3985-2000

6.4.9. Lantai yang ditinggikan dan langit-langit yang digantung.


Di dalam ruang di bawah lantai dan di atas langit-langit yang bukan berfungsi sebagai
planum sistem pengkondisian udara, jarak antara detektor harus sesuai dengan butir 6.4.

6.4.10. Partisi.
Apabila partisi diteruskan keatas sampai 460 mm ( 18 inci ) dari langit-langit, hal tersebut
tidak mempengaruhi jarak antara detektor. Apabila partisi diteruskan sampai kurang dari 460
mm ( 18 inci ) dari langit-langit, pengaruh lintasan asap harus dipertimbangkan untuk
mengurangi jarak antara detektor.

6.5. Pengkondisian udara dan ventilasi.


6.5.1*. Dalam ruang yang dilayani pengkondisian udara, detektor harus tidak diletakkan
dimana udara dari suplai diffuser dapat melarutkan asap sebelum mencapai detektor.
Detektor harus diletakkan untuk menangkap aliran udara ke arah bukaan udara balik. Hal ini
akan membutuhkan tambahan detektor, sementara penempatan detektor hanya dekat
bukaan udara balik akan mengakibatkan tidak cukupnya proteksi apabila alat pengolah
udara ( “air handling unit” ) dimatikan. Manufaktur dari detektor harus dikonsultasi sebelum
dilakukan pemasangan detektor.
6.5.2. Dalam ruang di bawah lantai dan di atas ruang langit-langit yang digunakan
sebagai planum pengkondisian udara, detektor harus terdaftar dan sesuai dengan kecepatan
udara yang ada. Jarak antara detektor dan perletakannya harus dipilih berdasarkan
antisipasi pola aliran udara dan tipe kebakaran.
6.5.2.1. Detektor yang dipasang dalam lingkungan ducting udara atau pplanum harus
tidak digunakan sebagai pengganti detektor untuk ruang terbuka ( lihat bagian 11 dan
gambar A.6.6.1.4 ).
Asap tidak dapat ditarik di dalam duct atau planum bila sistem ventilasi sedang dimatikan.
Selanjutnya, bila sistem ventilasi sedang bekerja, detektor dapat kurang bereaksi pada
kondisi kebakaran di dalam ruang dimana api berasal, diakibatkan pelarutan oleh udara
bersih.

6.6. Pertimbangan-pertimbangan khusus.

6.6.1. Umum.
Seleksi dan pemasangan detektor asap harus mempertimbangkan dua hal yaitu karakteristik
rancangan dari detektor dan daerah dimana detektor itu akan dipasangkan sedemikian untuk
mencegah terjadinya operasi palsu atau tidak dapat beroperasi setelah dipasang. Beberapa
pertimbangan itu adalah sebagai berikut :
6.6.1.1. Detektor tipe sinar terproyeksi dan kaca pemantul harus secara pasti terpasang
pada permukaan yang stabil, hal ini untuk mencegah operasi palsu atau pengoperasian yang
tak menentu disebabkan oleh gerakan. Sinar harus juga dirancang sehingga sudut kecil
gerakan dari sumber cahaya atau penerima tidak mencegah operasi karena asap dan tidak
menyebabkan alarm palsu. Biasanya pergerakan ¼ derajat dapat ditolerir ( ½ derajat bulat
termasuk sudut ).
6.6.1.2. Karena unit tipe sinar terproyeksi akan tidak bekerja memberi alarm ( tetapi akan
memberikan sinyal gangguan, lihat A.6.2.3 ) bila jalur cahaya ke penerima tiba-tiba dipotong

18 dari 165
SNI 03-3985-2000

atau terhalangi, karena itu jalur cahaya harus terpelihara bersih dari rintangan pengaburan
pada setiap saat.
6.6.1.3. Detektor asap yang mempunyai elemen temperatur-tetap sebagai bagian dari
unit harus dipilih mengikuti tabel 5.3.1. untuk temperatur langit-langit maksimum yang dapat
diperkirakan di dalam pengoperasian.
6.6.1.4*. Instalasi detektor asap harus mempertimbangkan kondisi lingkungan dari daerah
dimana detektor tersebut akan dipasangkan ( lihat tabel A.6.6.1.4 dalam apendiks A).
Detektor asap dipersiapkan untuk dipasang dalam daerah dimana kondisi udara luar normal
tidak seperti untuk :
a). Temperatur melebihi 380C ( 1000F ) atau turun dibawah 00C ( 320F ); atau
b). Kelembaban relatif melebihi 93% ; atau
c). Kecepatan udara melebihi 1.5 meter per detik ( 300 fpm ).
Pengecualian :
Detektor yang secara khusus dirancang untuk digunakan pada kondisi udara luar (“ambient”) melebihi batas
diatas dan terdaftar untuk temperatur, kelembaban, dan kecepatan udara yang diharapkan.
6.6.1.5*. Untuk menghindari alarm yang tidak diinginkan, lokasi detektor asap harus juga
mempertimbangkan sumber asap normal, uap air, debu atau uap, listrik atau pengaruh
mekanis.
6.6.1.6. Detektor yang dipasang dalam bangunan selama masa konstruksi atau renovasi
harus dilindungi dari kontaminasi oleh debu, cat, dan lain-lain, sampai pembangunan itu
dibersihkan dari semua barang secara lengkap dan final. Kontaminasi dapat dapat
berpengaruh terhadap kepekaan dan keandalan detektor ( untuk pembersihan dan
pemeliharaan terhadap detektor asap, lihat pasal 10 ).

6.6.1.7*. Efek cerobong tinggi.


Lubang udara di bagian belakang detektor asap harus ditutup dengan gasket, sealent, atau
ekivalen, dan detektor harus dipasangkan sedemikian rupa sehingga aliran udara dari dalam
rumah atau dari pinggir rumah tidak akan menghalangi masuknya asap selama terjadi
kebakaran atau saat pengujian.

6.6.1.8*. Penyimpanan dengan rak yang tinggi.


( Lihat gambar A.6.6.1.8.a dan A.6.6.1.8.b pada apendiks A ).
Sistem pendeteksian sering dipasangkan dengan penambahan untuk sistem pemadaman.
Apabila detektor asap dipasang untuk peringatan dini dalam daerah penyimpanan dengan
rak tinggi, harus mempertimbangkan untuk pemasangan detektor pada beberapa ketinggian
dalam rak untuk menjamin reaksi cepat terhadap asap. Apabila detektor dipasang untuk
menggerakkan sistem pemadaman, lihat standar lain yang terkait.

6.6.2. Daerah dengan pergerakan udara tinggi.

6.6.2.1. Umum.
Tujuan dan lingkup dari bagian ini adalah menyediakan lokasi dan jarak antara dari detektor
asap pada daerah dengan pergerakan udara tinggi.

19 dari 165
SNI 03-3985-2000

6.6.2.2. Kriteria yang dapat diterima.


Respon detektor harus ditentukan oleh instansi yang berwenang dengan masukan
rekomendasi manufaktur detektor.

6.6.2.3. Penempatan.
Detektor asap harus tidak ditempatkan dekat dengan register suplai udara.

6.6.2.4. Jarak antara.


Jarak antara detektor-detektor asap tergantung pada pergerakan udara di dalam ruangan
( termasuk udara suplai dan sirkulasi ulang ), yang ditunjukkan dalam menit per pergantian
udara atau pergantian udara per jam. Kecuali cara lain yang dapat diterima oleh instansi
yang berwenang, jarak antara harus sesuai dengan tabel 6.6.2.4 dan gambar 6.6.2.4.a.
Tabel 6.6.2.4 : Jarak antara.

Menit / pergantian udara Pergantian udara / jam Ft2 / detektor


1 60 125
2 30 250
3 20 375
4 15 500
5 12 625
6 10 750
7 8,6 875
8 7.5 900
9 6,7 900
10 6 900

Gambar 6.6.2.4.a. : Daerah pergerakan udara tinggi.


( tidak digunakan untuk ruangan di bawah lantai atau di atas langit-langit )

20 dari 165
SNI 03-3985-2000

Catatan :
Volume ruang yang diproteksi
a). Menit per pergantian udara = 3
ft per menit (cfm) udara yang di suplai ke ruangan yang diproteksi

3
60 x ft per menit (cfm) udara yang disuplai ke ruangan yang diproteksi
b). Pergantian udara per jam =
volume ruang yang diproteksi

Jika sistem volume udara konstan tidak digunakan, cfm maksimum yang ada digunakan untuk
menentukan jumlah pergantian udara.

7. Detektor kebakaran penginderaan nyala api.

7.1. Nyala adalah tiang dari gas-gas, dibuat bercahaya oleh panas, berasal dari
bahan yang terbakar. Nyala dari beberapa bahan ( contoh hidrogen ) tidak terlihat secara
kasat mata manusia.

7.1.1. Umum.
7.1.1.1. Tujuan dan lingkup dari bagian ini adalah melengkapi standar dalam hal
perletakan dan jarak antara detektor kebakaran untuk mengindera nyala api yang dihasilkan
oleh bahan yang terbakar. Detektor ini biasanya disebut sebagai detektor nyala api.
7.1.1.2. Detektor nyala api harus dipasang pada seluruh daerah yang diwajibkan baik
oleh standar yang sesuai atau oleh instansi yang berwenang.

7.2. Prinsip operasi.

7.2.1. Detektor nyala api.


Detektor nyala api adalah suatu alat yang bereaksi terhadap munculnya energi radiasi yang
terlihat oleh mata manusia ( kira-kira 4.000 ~ 7.700 angstrom ) atau energi radiasi diluar
jangkauan penglihatan mata manusia.

7.2.1.1. Detektor nyala kedipan.


Detektor nyala kedipan adalah detektor nyala foto-elektrik termasuk sarana untuk mencegah
reaksi terhadap cahaya yang terlihat kecuali cahaya yang diawasi dimodulasikan pada
frekuensi yang sesuai dengan kedipan dari nyala.

7.2.1.2. Detektor nyala sinar infra merah.


Detektor infra merah adalah suatu alat yang elemen penginderaannya akan bereaksi
terhadap energi radiasi di luar jangkauan penglihatan manusia ( kira-kira 7.700 Angstrom ).

7.2.1.3. Detektor nyala foto-elektrik.


Detektor nyala foto-elektrik adalah suatu alat yang elemen penginderaannya adalah
“photocell” yang merubah konduktivitas listrik atau membangkitkan tegangan listrik bila
menangkap energi radiasi.

21 dari 165
SNI 03-3985-2000

7.2.1.4. Detektor ultra-violet.


Detektor ultra-violet adalah suatu alat yang elemen penginderaannya akan bereaksi
terhadap energi radiasi di luar jangkauan mata manusia ( kira-kira di bawah 4.000
Angstrom).

7.3. Karakteristik kebakaran.


7.3.1. Detektor nyala api peka terhadap bara api yang menyala, arang, atau nyala yang
nyata, dimana radiasi ke detektor intensitas energinya cukup dan mampu untuk tindakan
awal.
7.3.2. Detektor akan bereaksi terhadap radiasi dari daerah kebakaran yang dideteksi .
Biasanya melibatkan tenaga ahli lapangan. Waktu dimana kebakaran harus dideteksi dan
daerah atau intensitasnya dapat dikaitkan terhadap kemampuan media pemadaman dan
peralatan terkait.

7.4. Pertimbangan jarak antara.


7.4.1. Kecuali cara lain yang diijinkan disini, detektor nyala api tidak boleh diletakkan di
luar jarak antara yang disebutkan dalam daftar atau maksimum yang diijinkan.
Jarak lebih dekat harus diterapkan bila struktural dan karakteristik lain dari bahaya
kebakaran yang diproteksi melemahkan efektifitas deteksi.
7.4.2. Detektor nyala api harus direncanakan dan dipasang sedemikian sehingga
pandangan lapangannya akan cukup untuk menjamin deteksi daerah khusus kebakaran.
7.4.3. Apabila pemindahan material pada peluncur ( “chute” ) atau sabuk ( “belt” ), atau
dalam ducting atau tabung, atau lainnya, ke atau melewati detektor yang bersangkutan,
pertimbangan jarak antara tidak akan ditentukan, tetapi penempatan yang strategis dari
detektor disyaratkan untuk menjamin pendeteksian yang memadai.

7.5. Pertimbangan lapangan dan pandangan.


7.5.1. Karena detektor nyala api adalah alat dimana garis penglihatan menjadi hal
utama, diperlukan penanganan khusus dalam penerapannya untuk menjamin agar
kemampuannya untuk merespon pada daerah yang dipersyaratkan di dalam zona yang
harus diproteksi, tidak akan berkompromi di luar batas dengan kehadiran komponen struktur
yang menghalangi atau obyek lain yang tidak tembus cahaya atau material.
7.5.2. Situasi menyeluruh harus dikaji berulang-ulang untuk menjamin bahwa
perubahan struktural atau kondisi penggunaan yang dapat mengganggu kemampuan
detektor kebakaran segera diperbaiki.

7.6. Pertimbangan lain.


7.6.1. Detektor nyala api harus mempunyai spektrum dan kemampuan respon optikal
sedemikian rupa dimana akan mengawali tindakan dengan timbulnya emisi spektrum yang
spesifik bila bahan bakar tertentu yang diproteksi terbakar.
7.6.2. Detektor harus dirancang, diproteksi atau dijaga sehingga dengan demikian
gangguan terhadap penerimaan radiasi tidak akan terjadi.
7.6.3. Bila perlu, detektor harus dilindungi atau dengan cara lain ditata untuk mencegah
pengaruh energi radiasi yang tidak dikehendaki.

22 dari 165
SNI 03-3985-2000

7.6.4. Bila digunakan di luar bangunan, detektor harus dilindungi dengan suatu cara
untuk mencegah berkurangnya kepekaan oleh air hujan dan lain sebaginya, dan selalu jelas
terlihat dari daerah bahaya.

8. Detektor kebakaran penginderaan gas.

8.1. Gas adalah molekul tanpa ikatan yang dihasilkan oleh suatu bahan yang terbakar
dan terutama terhadap oksidasi atau reduksi.

8.1.1. Umum.
8.1.1.1*. Tujuan dan lingkup dari bagian ini adalah melengkapi standar dalam hal
perletakan dan jarak antara detektor kebakaran untuk penginderaan gas hasil dari bahan
yang terbakar. Detektor ini selanjutnya disebut detektor gas kebakaran.
8.1.1.2. Detektor gas kebakaran harus dipasang di seluruh daerah apabila dipersyaratkan
oleh standar ini atau oleh instansi yang berwenang.
8.1.1.3. Detektor gas kebakaran harus bereaksi terhadap satu atau lebih gas yang
dihasilkan oleh suatu kebakaran.
8.1.1.4. Walaupun beberapa detektor gas kebakaran mampu mendeteksi gas
pembakaran atau uap yang mendahului pengapian, penerapannya tidak di dalam lingkup
standar ini.

8.2. Prinsip operasi.

8.2.1. Semi konduktor.


Detektor gas kebakaran tipe semi konduktor bereaksi terhadap oksidasi atau reduksi gas
oleh kreasi perubahan listrik dalam semi konduktor. Selanjutnya perubahan konduktivitas
dari semi konduktor ini menyebabkan gerakan.

8.2.2. Elemen katalik.


Detektor gas kebakaran tipe elemen katalik mengandung material yang pada dirinya tetap
tidak berubah, tetapi mempercepat oksidasi dari gas pembakaran. Sebagai hasil kenaikan
temperatur dari elemen menyebabkan gerakan.

8.3. Lokasi dan jarak antara.

8.3.1. Umum.
Lokasi dan jarak antara detektor gas kebakaran harus hasil dari evaluasi yang didasarkan
pada penilaian teknis seperti dilampirkan dalam uraian lengkap dalam standar ini. Bentuk
langit-langit dan permukaan, ketinggian langit-langit, konfigurasi muatan, karakteristik nyala
api dari bahan yang terbakar, dan ventilasi merupakan beberapa kondisi yang harus
dipertimbangkan.
8.3.1.1. Apabila dimaksudkan untuk memberikan proteksi terhadap bahaya tertentu,
detektor dapat dipasang lebih dekat dengan bahaya tersebut dalam posisi dimana detektor
akan siap menangkap gas kebakaran.

23 dari 165
SNI 03-3985-2000

8.3.1.2. Stratifikasi.
Efek yang mungkin dari stratifikasi pada ketinggian di bawah langit-langit harus juga
dipertimbangkan ( lihat A.6.4.1.2 dalam apendiks A ).
8.3.2. Detektor gas kebakaran tipe titik harus diletakkan pada langit-langit berjarak tidak
kurang dari 100 mm ( 4 inci ) dari sisi dinding terhadap ujung terdekat, atau jika pada sisi
dinding berjarak antara 100 mm ( 4 inci ) dan 300 mm ( 12 inci ) turun dari langit-langit ke
puncak detektor ( lihat gambar A.5.4.1. dalam apendiks A ).
Pengecualian no.1. : lihat butir 8.3.1.2.
Pengecualian no.2 :
Dalam hal konstruksi balok silang padat, detektor harus dipasang pada bagian bawah dari balok silang.
Pengecualian no.3 :
Dalam hal konstruksi balok dimana kedalaman balok kurang dari 300 mm ( 12 inci ) dan kurang dari 2,4 m ( 8 ft )
dari bagian tengahnya, detektor boleh dipasang pada bagian bawah dari balok.
8.3.3*. Masing-masing titik sampel dari suatu detektor gas kebakaran harus
diperlakukan sebagai detektor tipe titik untuk maksud perletakan dan jarak antara.

8.3.4. Jarak antara pada langit-langit rata.

8.3.4.1. Detektor tipe titik.


Pada langit-langit rata, jarak antara 9 m ( 30 ft ) boleh dipakai sebagai pedoman. Dalam
semua kasus, rekomendasi dari manufaktur harus diikuti. Jarak antara yang boleh digunakan
tergantung pada ketinggian langit-langit, kondisi perubahan atau kebutuhan reaksi.
8.3.5. Konstruksi balok silang ( lihat A.6.4.6. dalam apendiks A ).
8.3.5.1. Konstruksi langit-langit dimana kedalaman balok silang 200 mm ( 8 inci ) atau
kurang, harus dipertimbangkan ekivalen terhadap langit-langit rata.
8.3.5.2. Jika kedalaman balok silang melebihi 200 mm ( 8 inci ), jarak antara detektor tipe
titik dalam arah tegak lurus ke balok silang harus dikurangi ( lihat juga butir A.6.4.1.2 ).

8.3..6. Konstruksi balok.


8.3.6.1. Konstruksi langit-langit bila kedalaman balok 200 mm ( 8 inci ) atau kurang, harus
dipertimbangkan ekivalen terhadap langit-langit rata ( lihat juga A.6.4.1.2 ).
8.3.6.2. Jika kedalaman balok melebihi 460 mm ( 18 inci ) dan lebih dari 1,4 m ( 8 ft ) dari
bagian tengahnya, masing-masing cekukan harus diperlakukan sebagai daerah terpisah
yang membutuhkan tidak kurang satu detektor tipe titik.
8.3.6.3*. Jika balok kedalamannya melebihi 460 mm ( 18 inci ) terhadap pusatnya, setiap
celah harus diperlakukan sebagai luasan terpisah yang sedikitnya membutuhkan satu
detektor jenis titik.

8.3.7. Langit-langit miring.

8.3.7.1. Puncak.
Detektor pertama tama harus berjarak dan ditempatkan 0,9 m ( 3 ft ) dari sisi tertinggi langit-
langit, diukur secara horisontal. Jumlah dan jarak antara dari detektor tambahan, jika ada,

24 dari 165
SNI 03-3985-2000

harus didasarkan pada proyeksi horisontal dari langit-langit ( lihat gambar A.5.5.4.2 dalam
apendiks A ).

8.3.7.2. Bidang miring.


Detektor pertama-tama harus berjarak dan ditempatkan 0,9 m ( 3 ft ) dari sisi tertinggi langit-
langit, diukur secara horisontal. Jumlah dan jarak antara dari detektor tambahan, jika ada,
harus didasarkan pada proyeksi horisontal dari langit-langit ( lihat gambar A.5.5.4.2 dalam
apendiks A ).

8.3.8. Langit-langit yang digantung. ( lihat butir 4.7.4.).

8.3.9. Partisi.
Apabila partisi diperpanjang ke atas di dalam jarak 460 mm ( 18 inci ) dari langit-langit, tidak
berpengaruh pada jarak antara. Apabila partisi diperpanjang sampai jarak kurang dari 460
mm ( 18 inci ) dari langit-langit, efek pada lintasan gas harus dipertimbangkan dalam
pengurangan jarak antara.

8.4. Pemanasan, Ventilasi dan pengkondisian udara.


8.4.1*. Dalam ruangan yang dilayani oleh sistem pengolah udara ( AHU ), detektor tidak
boleh ditempatkan apabila udara dari suplai diffuser dapat mengencerkan gas kebakaran
sebelum gas tersebut mencapai detektor. Detektor harus ditempatkan untuk menangkap
aliran udara yang menuju bukaan udara balik.
8.4.2. Dalam ruangan di bawah lantai dan ruangan di atas langit-langit yang digunakan
sebagai planum pengkondisian udara; detektor harus terdaftar kompatibel dengan kecepatan
udara yang ada. Jarak antara dan penempatannya harus dipilih didasarkan pada antisipasi
pola aliran udara dan tipe kebakaran.
8.4.2.1. Detektor yang ditempatkan dalam lingkungan ducting udara atau planum harus
tidak digunakan sebagai detektor pengganti pada daerah terbuka. Gas kebakaran tidak
dapat ditarik ke dalam duct atau planum pada saat sistem ventilasi tidak bekerja.
Selanjutnya, ketika sistem ventilasi bekerja, detektor mungkin kurang bereaksi terhadap
kondisi kebakaran di dalam ruangan dimana kebakaran berasal disebabkan pengenceran
oleh udara bersih ( lihat bagian 11 dan tabel A.6.6.1.4 ).

8.5. Pertimbangan khusus.


8.5.1. Pemilihan dan pemasangan detektor gas kebakaran harus disertakan dalam
pertimbangan dalam hal karakteristik rancangan dari detektor dan daerah dimana detektor
akan dipasang untuk mencegah operasi palsu atau tidak beroperasi setelah pemasangan.
Beberapa pertimbangan adalah sebagai berikut :
8.5.1.1. Detektor kebakaran akan alarm dalam situasi tidak ada kebakaran disebabkan
aktifitas tertentu manusia. Penggunaan beberapa semprotan aerosol dan larutan hidro
karbon sebagai contoh. Detektor tidak boleh dipasang bila dalam kondisi normal terdapat
konsentrasi dari gas yang dapat dideteksi.
Garasi bukan tempat untuk menggunakan detektor gas kebakaran untuk untuk tujuan alarm
kebakaran, sebab konsentrasi karbon monoksida mungkin akan cukup besar untuk
menggerakkan alarm.

25 dari 165
SNI 03-3985-2000

8.5.1.2. Detektor gas kebakaran mempunyai elemen temperatur-tetap sebagai bagian


dari unit harus dipilih sesuai tabel 5.3.1. untuk temperatur langit-langit maksimum yang dapat
diperkirakan dalam pelayanannya.
8.5.1.3*. Pemasangan detektor gas kebakaran harus mempertimbangkan kondisi
lingkungan dari daerah dimana detektor tersebut akan dipasang ( lihat tabel A.6.6.1.4 dalam
apendiks A ). Detektor gas kebakaran dimaksudkan untuk pemasangan dalam daerah
dimana kondisi normal udara luar ( “ambient” ), tidak seperti :
a). Temperaturnya melebihi 380C ( 1000F ) atau turun di bawah 00C ( 320F ); atau
b). Relative humiditinya di luar rentang 10 sampai 93%; atau
c). Kecepatan udaranya melebihi 1,5 meter per detik ( 300 fpm ).
Pengecualian :
Detektor yang khusus direncanakan untuk penggunaan pada kondisi udara luar melebihi batas di atas dan
terdaftar untuk kondisi: temperatur , humiditi, dan kecepatan udara dapat diharapkan.

9. Detektor kebakaran lainnya.

9.1. Detektor yang diklasifikasikan sebagai detektor kebakaran lainnya bekerja


dengan prinsip yang berbeda dari yang tersebut dalam bagian 5, 6, 7 dan 8.

9.1.1. Umum.
9.1.1.1. Detektor yang diklasifikasikan sebagai “detektor kebakaran lainnya” harus
dipasang dalam seluruh daerah apabila disyaratkan oleh standar ini, atau oleh instansi yang
berwenang.
9.1.1.2. Fasilitas untuk pengujian atau pengukuran, atau instrumentasi untuk menjamin
kepekaan awal yang cukup dan penyimpanan yang cukup, relatif terhadap bahaya yang
diproteksi, harus disediakan. Fasilitas ini harus dilaksanakan pada interval waktu yang
teratur.

9.2. Karakteristik kebakaran.


9.2.1. Detektor-detektor ini akan bekerja bila dipengaruhi oleh konsentrasi yang tidak
normal dari efek pembakaran yang terjadi selama kebakaran, seperti uap air, molekul yang
di-ionisasi, atau fenomena lain untuk mana peralatan dirancang, Pendeteksian tergantung
pada ukuran dan intensitas kebakaran untuk menyediakan jumlah yang perlu dari produk
yang disyaratkan dan kenaikan termal terkait, sirkulasi, atau difusi guna operasi yang
memadai.
9.2.2. Ukuran ruangan dan garis tinggi, pola aliran udara, halangan dan karakteristik
lain dari bahaya yang diproteksi harus ikut diperhitungkan.

9.3. Lokasi dan jarak antara.


9.3.1. Lokasi dan jarak antara detektor harus didasarkan pada prinsip kerja dan
penelitian teknis terhadap kondisi yang diantisipasi dalam pelayanannya. Buletin teknis dari
manufaktur harus dikonsultasikan untuk pemakaian detektor dan lokasi yang direkomendasi.
9.3.2. Detektor tidak boleh diletakkan melebihi yang terdaftar atau maksimum yang
disetujui. Jarak antara yang lebih dekat harus digunakan bila struktural atau karakteristik lain
dari bahaya yang diproteksi perlu dijamin.

26 dari 165
SNI 03-3985-2000

9.3.3. Pertimbangan harus diberikan kepada semua faktor yang terdapat di lokasi dan
kepekaan detektor, termasuk kelebihan struktur seperti: ukuran dan bentuk ruangan dan
petak, penghuni dan penggunaannya, ketinggian langit-langit, langit-langit dan halangan
lainnya, pola aliran udara, timbunan, arsip, dan lokasi bahaya kebakaran.
9.3.4. Situasi menyeluruh harus dikaji berkali-kali untuk menjamin bahwa perubahan
struktur atau kondisi penggunaan yang dapat mengganggu kemampuan deteksi kebakaran
segera diperbaiki.

9.4. Pertimbangan khusus.


Kondisi yang dapat membantu operasi palsu atau tidak beroperasinya detektor harus
dipertimbangkan bila pemasangan detektor dalam kelompok ini direncanakan.

10. Inspeksi, pengujian dan pemeliharaan.

10.1. Umum.
10.1.1. Setiap detektor harus dalam kondisi kerja yang bisa diandalkan. Inspeksi,
pengujian dan pemeliharaan harus dilakukan.
10.1.2. Inspeksi, pengujian dan program pemeliharaan harus memenuhi persyaratan dari
standar ini ditambah dengan instruksi dari manufaktur.
Pengecualian :
Detektor yang dipasang mengikuti persyaratan dari standar tentang pemasangan, pemeliharaan dan pemakaian
terkait yang berlaku.
10.1.3. Tanggung jawab untuk inspeksi, pengujian dan program pemeliharaan harus
ditentukan oleh pemilik kepada sesorang yang mempunyai kewenangan penuh. Orang ini
harus melaksanakan program ini dengan tepat dan harus dapat melakukan perubahan dan
penambahan.
10.1.4. Sebelum pengujian, orang yang berada pada semua titik dimana ada alarm
sinyal atau laporan harus diberitahukan untuk mencegah reaksi yang tidak diperlukan. Pada
kesimpulan dari pengujian, yang diberitahukan sebelumnya ( dan yang perlu lainnya) harus
selanjutnya diberitahukan bahwa pengujian telah berakhir.
10.1.5. Beberapa metoda atau alat yang digunalan untuk pengujian di dalam suatu
atmospher atau proses yang diklasifikasi sebagai daerah berbahaya sesuai standar yang
berlaku, harus sesuai untuk penggunaan yang demikian.
10.1.6. Rekaman hasil dari semua inspeksi, pengujian, dan pemeliharaan, harus
disimpan untuk jangka waktu 5 tahun untuk pengecekan oleh instansi yang berwenang.

10.2. Pemeriksaan awal uji instalasi.


10.2.1. Sesudah dipasang, suatu pemeriksaan visual terhadap semua detektor harus
dilaksanakan untuk meyakini bawa detektor-detektor sudah dipasang di lokasi yang benar.
10.2.2. Sesudah dipasang, setiap detektor harus diperiksa untuk memastikan bahwa
detektor telah dipasang dan dihubungkan dengan benar berdasarkan rekomendasi
manufaktur.

27 dari 165
SNI 03-3985-2000

10.2.3. Detektor panas.


10.2.3.1*. Suatu detektor panas yang dapat diperbaiki dan elemen dari sebuah kombinasi
detektor yang dapat diperbaiki harus diuji dengan menghadapkan detektor ke sebuah
sumber panas, seperti sebuah alat pengering rambut atau ke sebuah lampu panas yang
dilindungi sampai detektor bereaksi. Setelah setiap detektor dilaksanakan uji panas, detektor
harus di-set kembali. Tindakan pencegahan harus diberikan untuk menghindari bahaya pada
elemen temperatur-tetap yang tidak dapat diperbaiki dari sebuah kombinasi detektor laju
kenaikan dan temperatur tetap.
Pengecualian :
Sebuah detektor tipe tabung garis pnumatik harus diuji dengan sebuah sumber panas ( jika sebuah ruang penguji
ada di rangkaian ) atau diuji secara pnumatik dengan sebuah pompa tekan. Instruksi manufaktur harus diikuti.
10.2.3.2. Detektor panas temperatur-tetap tipe garis atau titik yang tidak bisa diperbaiki
harus tidak dilakukan uji panas, tetapi harus dilakukan uji mekanik atau elektrik untuk
verifikasi fungsi alarm.
10.2.3.2.1. Detektor dengan sebuah elemen leleh dari bahan logam campuran yang dapat
diganti, harus diuji dengan pertama-tama melepaskan elemen lebur untuk menentukan
bahwa kontak detektor bekerja secara benar dan setelah itu elemen lelehnya dipasang
kembali.
10.2.3.3. Apabila dipersyaratkan untuk kinerja yang tepat, tahanan lup dari detektor-
detektor tipe garis harus diukur untuk menentukan apakah ini dapat diterima dalam batasan
untuk peralatan yang digunakan. Tahanan lup harus dicatat sebagai referensi yang akan
datang.Pengujian yang lain harus dilaksanakan memenuhi persyaratan dari manufaktur.

10.2.4. Detektor asap.


10.2.4.1. Untuk menjamin bahwa setiap detektor asap bekerja dan menghasilkan reaksi
sesuai yang diharapkan, itu harus dijadikan penyebab untuk menggerakkan sebuah alarm
pada lokasi terpasang dengan menggunakan asap atau aerosol lain yang dapat diterima
manufaktur, hal itu menunjukkan bahwa asap dapat masuk ke dalam ruang dan mengawali
alarm.
10.2.4.2*. Untuk menjamin bahwa setiap detektor asap yang terdaftar dan ditandai rentang
sensitivitasnya, detektor ini harus diuji menggunakan salah satu cara berikut :
a). Metoda uji kalibrasi, atau
b). Instrumen uji sensitivitas yang dikalibrasi oleh manufaktur, atau
c). Peralatan kontrol terdaftar yang disusun untuk tujuannya, atau
d). Metoda uji sensitivitas yang di kalibrasi lainnya yang disetujui instansi yang
berwenang.
Detektor yang mempunyai kepekaan diluar batas yang disetujui harus diganti.
Pengecualian :
Detektor terdaftar sebagai yang dapat diatur di lapangan, boleh diatur dalam rentang yang disetujui atau diganti.
Catatan :
Kepekaan detektor tidak dapat diuji atau diukur menggunakan alat penyemprot yang secara administrasi tidak
dapat diukur konsentrasi aerosol yang masuk ke dalam detektor.

28 dari 165
SNI 03-3985-2000

10.2.5*. Detektor nyala api, detektor gas dan detektor kebakaran lainnya.
Detektor nyala api, detektor gas dan detektor kebakaran lainnya harus diuji untuk beroperasi
berdasarkan instruksi yang diberikan oleh manufaktur atau metoda uji lain yang disetujui
oleh instansi yang berwenang.

10.3. Inspeksi periodik dan pengujian.


10.3.1*. Detektor-detektor harus diuji seperti dijelaskan dalam halaman berikut. Metoda
pengujian harus seperti garis besar dalam bagian 10.2. Instansi yang berwenang boleh
mensyaratkan frekuensi yang lebih besar atau boleh pengujian pada frekuensi lebih sedikit.
10.3.2. Pemeriksaan visual harus dilaksanakan untuk menjamin bahwa setiap detektor
berada pada kondisi fisik yang baik dan tidak ada perubahan yang dapat memberi pengaruh
terhadap kinerja detektor, seperti modifikasi pada bangunan, bahaya pada penghuni, dan
pengaruh lingkungan.

10.3.3. Detektor panas.


10.3.3.1. Untuk detektor titik yang tidak dapat diperbaiki, sesudah lima belas tahun,
minimal dua detektor rusak dari setiap 100 detektor, atau pecah, harus dilepas setiap lima
tahun dan mengirimkannya ke laboratorium pengujian. Detektor-detektor yang telah dilepas
harus diganti dengan detektor-detektor baru. Jika terjadi kegagalan pada setiap detektor
yang dilepas, detektor yang dilepas harus ditambah dan diuji serta diperiksa lebih lanjut
terhadap instalasi sampai membuktikan apakah masalah secara umum yang melibatkan
kesalahan detektor-detektor atau masalah lokal yang melibatkan 1 atau 2 kerusakan
detektor.
10.3.3.2. Untuk detektor panas yang dapat diperbaiki ( kecuali tipe pnumatik garis ), satu
atau lebih detektor pada setiap sirkit penggerak sinyal harus diuji minimal setiap 6 bulan dan
untuk setiap pengujian harus dipilih detektor-detektor yang berbeda. Dalam lima tahun setiap
detektor-detektor harus sudah diuji.
10.3.3.3. Semua detektor tipe pnumatik garis harus diuji terhadap kebocoran dan operasi
yang benar pada tidak kurang setiap enam bulan.
10.3.3.4. Detektor temperatur-tetap tipe garis yang tidak dapat diperbaiki harus diuji fungsi
alarmnya minimal setiap enam bulan. Tahanan lup harus diukur, dicatat dan dibandingkan
dengan catatan data sebelumnya. Setiap ada perubahan pada tahanan lup harus diteliti.

10.3.4. Detektor asap.


10.3.4.1. Semua detektor asap harus diperiksa secara visual ditempatnya minimal setiap
enam bulan untuk mengidentifikasi detektor-detektor yang hilang, detektor yang pemasukan
asapnya terhalang, detektor kotor tidak normal, detektor yang tidak sesuai lokasinya
dikarenakan dari pemakaian atau perubahan struktur. Pengujian harus dilakukan setiap
langsung mengikuti yang tertera pada butir 10.2.4.1.
10.3.4.2. Kepekaan detektor harus diperiksa nerdasarkan butir 10.2.4.2. dalam kurun
waktu satu tahun sesudah pemasangan dan setiap atau sesudah penggantian tahgun.
Detektor-detektor dengan kepekaan tidak normal harus diganti atau dibersihkan dan
dikalibrasi.
10.3.4.3. Uji tambahan untuk detektor ducting udara terdiri dari :

29 dari 165
SNI 03-3985-2000

a). Inspeksi visual terhadap instalasi detektor, termasuk seal, mencari penyalah gunaan
atau modifikasi dari peralatan atau instalasi dan tujuan kerjanya.
b). Menggunakan rekomendasi manufaktur untuk verifikasi bahwa peralatan akan
bereaksi terhadap asap dalam aliran udara ( contoh mengukur penurunan tekanan
atau aliran udara melalui detektor untuk peralatan yang menggunakan tabung sampel
dapat diterima ).

10.3.5. Detektor nyala api, detektor gas dan detektor kebakaran lainnya.
Semua detektor nyala api, detektor gas dan detektor kebakaran lainnya harus diuji minimal
setiap enam bulan sebagaimana disebutkan oleh manufaktur dan lebih sering lagi apabila
ditemukan bahwa diperlukan dalam penerapannya.

10.4. Pembersihan dan pemeliharaan.


Detektor-detektor membutuhkan pembersihan secara periodik untuk melepaskan debu atau
kotoran yang menumpuk. Frekuensi pembersihan akan tergantung pada tipe detektor dan
kondisi udara luar lokal. Untuk masing-masing detektor, pembersihan, pemeriksaan,
pengoperasian, dan penyetelan kepekaannya harus dilakukan hanya setelah dikonsultasikan
dengan instruksi manufaktur. Instruksi-instruksi metodanya harus rinci seperti pemvakuman
untuk melepaskan debu dan serangga, dan mencuci untuk melepas lemak-lemak berat dan
sissa-sisa lemak. Sebagai pengganti cara pembersihan ini, manufaktur boleh meyediakan
layanan pembersihan di pabrik atau di lokasi lapangan. Selanjutnya pembongkaran bagian
atau pencucian detektor untuk melepas kontaminasi, pengujian kepekaan disyaratkan oleh
butir 10.2.4.2 harus dilaksanakan.

10.5. Pengujian alarm berikutnya atau kebakaran.


10.5.1. Semua detektor yang dicurigai terbuka terhadap kondisi kebakaran harus diuji
berdasarkan butir-butir 10.1.2 dan 10.2.

10.6. Formulir pemeriksaan.


10.6.1. Formulir pemeriksaan harus dilengkapi dan termasuk informasi berikut pada
permulaan uji :
a). Tanggal.
b). Nama pemilik.
c). Alamat.
d). Nama perusahaan pelaksanan/pemeliharaan, alamat dan perwakilannya.
e). Nama agen yang berhak memberi persetujuan, alamat dan perwakilannya.
f). Jumlah dan tipe detektor per zona untuk setiap zona.
g). Uji fungsi dari detektor ( lihat butir 10.1.4 dan 10.2.4.1 ).
h). Periksa semua detektor asap. ( lihat butir 10.1.4 dan 10.2.4.1 ).
i). Tahanan lup untuk seluruh detektor tipe temperatur-tetap garis.
j). Uji lainnya seperti dipersyaratkan oleh manufaktur peralatan.
k). Tanda tangan dari penguji dan persetujuan wakil instansi yang berwenang.

30 dari 165
SNI 03-3985-2000

10.6.2. Formulir pemeriksaan harus dilengkapi dan termasuk informasi berikut untuk
pengujian secara periodik :
a). Tanggal.
b). Frekuensi pengujian.
c). Nama pemilik.
d). Alamat.
e). Nama orang yang melakukan pemeriksaan, pemeliharaan dan/atau pengujian, afiliasi,
alamat perusahaan/kantor, dan nomor telepon.
f). Nama agen yang berhak memberi persetujuan, alamat dan perwakilannya.
g). Penunjukan detektor yang diuji ( pengujian dilakukan sesuai butir 10.3 ).
h). Uji fungsi dari detektor ( lihat butir 10.1.4 dan 10.3.4.1 ).
i). Periksa semua detektor asap ( lihat butir 10.3.4.2 ).
j). Tahanan lup untuk seluruh detektor panas tipe temperatur-tetap garis ( lihat butir
10.2.3.2).
k). Pengujian lainnya seperti dipersyaratkan oleh manufaktur peralatan.
l). Tanda tangan dari penguji dan persetujuan wakil instansi yang berwenang.

11. Detektor asap untuk mengontrol penjalaran asap.

11.1. Umum.
Catatan : lihat juga standar lain yang berlaku yang berkaitan dengan kompartemen asap dan sistem ventilasi
serta sistem ducting.
11.1.1*. Bagian ini mencakup pemasangan dan penggunaan semua tipe detektor asap
untuk mencegah penjalaran asap dengan melakukan kontrol terhadap fan-fan, damper-
damper, pintu-pintu dan peralatan lainnya. Detektor yang digunakan dapat diklasifikasikan
sebagai :
a). Detektor yang dipasang pada daerah yang berhubungan dengan komparteme asap.
b). Detektor yang dipasang dalam sistem ducting udara.
11.1.2. Detektor yang dipasang dalam sistem ducting udara mengikuti butir 11.1.1.b)
tidak dapat digunakan sebagai pengganti untuk proteksi daerah yang terbuka, karena :
a). Asap tidak dapat ditarik dari daerah terbuka apabila sistem pengkondisian udara atau
sistem ventilasi tidak bekerja.
b). Pengenceran asap bermuatan udara oleh udara bersih dari bagian-bagian lain
bangunan, atau pengenceran oleh udara luar yang masuk, dapat membiarkan asap
dengan densiti tinggi di dalam sebuah ruangan tunggal dengan tanpa asap yang terasa
di dalam saluran udara pada lokasi detektor.
11.1.3. Detektor asap yang dikaitkan dengan kompartemen asap untuk proteksi daerah
terbuka lebih disukai sebagai sarana pengendalian untuk mengawali kontrol terhadap
penjalaran asap.

31 dari 165
SNI 03-3985-2000

11.2. Tujuan.
11.2.1. Tujuan terhadap mana detektor asap dapat diterapkan dalam rangka untuk
mengawali kontrol terhadap penjalaran asap, adalah :
a). Mencegah resirkulasi sejumlah asap yang berbahaya di dalam bangunan.
b). Seleksi pengoperasian dari peralatan untuk mengeluarkan asap dari sebuah
bangunan.
c). Seleksi pengoperasian terhadap peralatan untuk penekanan kompartemen asap.
d). Pengoperasian dari pintu untuk menutup bukaan-bukaan di dalam kompartemen asap.
11.2.2. Untuk mencegah resirkulasi dari sejumlah asap yang berbahaya, detektor yang
disetujui untuk penggunaan ducting udara harus dipasang pada bagian suplai dari sistem
pengolahan udara (AHU) berdasarkan standar terkait yang berlaku untuk instalasi sistem
pengkondisian udara dan ventilasi dan butir 11.3.2.1.
11.2.3. Untuk secara menjalankan secara terseleksi peralatan untuk mengontrol
penjalaran asap, persyaratan pada butir 11.3.2.2. harus diterapkan.
11.2.4. Untuk mengawali kerja dari pintu asap, persyaratan pada butir 11.5 harus
diterapkan.

11.3. Penerapan.
11.3.1. Detektor daerah di dalam kompartemen asap.
Detektor asap daerah yang dipasang di dalam suatu kompartemen asap untuk mencakup
daerah terbuka, boleh juga digunakan untuk mengawali menggerakkan kontrol terhadap
penjalaran asap melalui pengoperasian pintu, damper, dan peralatan lainnya, apabila sesuai
dengan program keselamatan terhadap kebakaran secara menyeluruh.

11.3.2. Detektor asap untuk sistem ducting udara.

11.3.2.1. Sistem suplai udara.


Apabila deteksi asap pada di dalam sistem suplai udara dipersyaratkan oleh standar atau
peraturan yang berlaku lainnya, metoda alternatif berikut dapat diterapkan pada :
a). Detektor yang terdaftar untuk keberadaan kecepatan udara, dan terletak di dalam hilir
aliran ducting udara dari fan dan filter, atau
b). Cakupan total detektor asap di dalam kompartemen asap yang dilayani oleh sistem
suplai udara.

11.3.2.2. Sistem udara balik.


Apabila pendeteksian terhadap asap dalam sistem udara balik disyaratkan oleh standar lain
yang berlaku, detektor yang terdaftar untuk keberadaan kecepatan udara harus diletakkan
pada setiap bukaan udara balik di dalam kompartemen asap, atau tempat dimana udara
meninggalkan kompartemen asap, atau di dalam sistem ducting sebelum udara memasuki
sistem udara balik bersama bagi satu atau lebih kompartemen asap {lihat gambar
A.11.3.2.2.a), b) dan c). }

32 dari 165
SNI 03-3985-2000

Pengecualian no.1. :
Apabila pendeteksian asap lengkap dipasang di dalam kompartemen asap, instalasi detektor di dalam ducting
udara pada sistem udara balik adalah tidak diperlukan jika ke fungsiannya dapat dipenuhi dalam perancangan.
Pengecualian no.2. :
Tambahan detektor asap tidak diperlukan untuk dipasang di dalam ducting apabila sistem ducting udara
menembus melewati kompartemen asap lainnya yang tidak dilayani oleh ducting.

11.4. Lokasi dan pemasangan detektor dalam Sistem ducting udara.


11.4.1. Detektor-detektor harus didaftar sesuai penggunaannya.
11.4.2. Detektor ducting udara harus dipasang secara aman dengan suatu cara untuk
mencapai suatu sampel yang representatif dari aliran udara. Hal ini dapat dicapai dengan
beberapa cara sebagai berikut :
a). Pemasangan yang kokoh di dalam ducting.
b). Pemasangan yang kokoh pada dinding dari ducting dengan perlengkapan sensor
menonjol ke dalam ducting.
c). Di luar ducting dengan pemasangan yang kokoh tabung sampel menonjol ke dalam
ducting.
d). Dengan cahaya sinar terproyeksikan melalui ducting.
11.4.3. Detektor-detektor harus mudah dicapai untuk pembersihan dan harus dipasang
sesuai dengan rekomendasi manufaktur. Kalau perlu pintu-pintu keluar dan atau sistem
panel harus dilengkapi.
11.4.4. Lokasi dari seluruh detektor dalam sistem ducting udara harus permanen dan
jelas identifikasinya serta dicatat.
11.4.5. Detektor yang dipasang di luar ducting, memakai tabung sampel untuk
mengalirkan asap dari dalam ducting ke detektor harus diatur untuk memungkinkan verifikasi
aliran udara dari ducting ke detektor.
11.4.6. Detektor harus beroperasi dengan benar sesuai rentang lengkap dari kecepatan
udara, temperatur, dan humiditi yang diharapkan pada detektor apabila sistem pengolahan
udara beroperasi.
11.4.7. Semua tembusan-tembusan dari ducting udara balik yang berdekatan dengan
detektor dipasang di atas atau dalam ducting udara harus di seal untuk mencegah masuknya
udara luar dan kemungkinan pengenceran atau berbaliknya asap di dalam ducting.
11.4.8. Lokasi detektor yang dipasang pada dan di dalam ducting udara balik harus tidak
kurang enam kali lebar duct hilir dari setiap bukaan ducting, pembelokan plat, tekukan tajam,
atau penyambungan cabang.
Pengecualian no.1 :
Apabila detektor dipasang sesuai butir 11.3.2.2., 11.4.8 tidak perlu diterapkan.
Pengecualian no.2 :
Apabila secara fisik tidak memungkinkan meletakkan detektor sesuai butir 11.4.8, maka harus diijinkan
menempatkan detektor lebih dekat dari yang dipersyaratkan yaitu enam kali lebar ducting, tetapi sejauh mungkin
dari bukaan, tekukan, atau belokan plat sehingga asap masih dimungkinkan untuk dideteksi dalam aliran udara.

33 dari 165
SNI 03-3985-2000

11.5. Detektor asap untuk pelayanan pembukaan pintu.


11.5.1. Pelepasan pintu asap tidak digerakkan oleh sebuah sistem alarm kebakaran
yang temasuk detektor asap yang mengamankan daerah pada kedua sisi dari pintu yang
dipengaruhi, harus dilakukan dengan pemakaian detektor asap sebagaimana dirinci pada
bagian ini.
11.5.2. Detektor-detektor yang terdaftar atau disetujui secara khusus untuk pelayanan
pelepasan pintu tidak boleh digunakan untuk proteksi daerah terbuka. Suatu detektor asap
digunakan secara bersama untuk pelayanan pelepasan pintu dan proteksi daerah terbuka
dapat diterima apabila terdaftar atau disetujui untuk proteksi daerah terbuka dan terpasang
sesuai dengan bagian 4 pada standar ini.
11.5.3. Detektor-detektor asap boleh dari tipe photo-elektrik, ionisasi, atau tipe lain yang
disetujui.

11.5.4. Jumlah detektor yang disyaratkan.


11.5.4.1. Apabila pintu-pintu akan ditutup sebagai reaksi dari aliran asap pada salah satu
arah, aturan berikut diterapkan :
11.5.4.1.1. Apabila kedalaman bagian dinding di atas pintu 610 mm ( 24 inci ) atau kurang,
satu detektor yang dipasang di langit-langit harus dipersyaratkan hanya pada satu sisi dari
jalur pintu. ( lihat gambar 11.5.4.1.1. bagian B dan C ) .

34 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar 11.5.4.1.1.

11.5.4.1.2. Apabila kedalaman bagian dinding di atas pintu lebih besar dari 610 mm
( 24 inci ), dua detektor yang dipasang pada langit-langit harus dipersyaratkan, satu pada
masing-masing sisi dari jalur pintu ( lihat gambar 11.5.4.1.1. bagian F ).

35 dari 165
SNI 03-3985-2000

11.5.4.1.3. Apabila kedalaman bagian dinding di atas pintu 1.520 mm ( 60 inci ) atau lebih
besar, tambahan detektor dapat dipersyaratkan seperti ditunjukkan oleh evaluasi teknik.
11.5.4.1.4. Apabila sebuah detektor secara spesifik terdaftar untuk pemasangan di rangka
pintu, atau dimana tipe sistem kombinasi yang terdaftar atau tipe detektor yang terintegrasi
dengan penutup pintu ( “door closer” ) digunakan, maka hanya satu detektor diperlukan jika
pemasangan mengikuti rekomendasi dari manufaktur.
11.5.4.2. Apabila pelepas pintu dimaksudkan untuk mencegah pengaliran asap dari satu
ruang ke lainnya hanya dalam satu arah, satu detektor yang diletakkan dalam ruang untuk
menahan asap, harus cukup tanpa memperdulikan kedalaman bagian dinding di atas pintu.
Alternatif lain, sebuah detektor asap menyesuaikan dengan butir 11.5.4.1.4. harus
digunakan.
11.5.4.3. Apabila terdapat jalur pintu dalam jumlah banyak, penambahan detektor yang
dipasang di langit-langit harus dipersyaratkan sebagai berikut :
11.5.4.3.1. Apabila pemisah antara jalur pintu melebihi 610 mm ( 24 inci ), masing-masing
jalur pintu harus diperlakukan secara terpisah ( lihat gambar 11.5.4.3.1 ).

Gambar 11.5.4.3.1.

11.5.4.3.2*. Masing-masing kelompok dari tiga bukaan jalur pintu harus diperlakukan secara
terpisah ( lihat gambar A.11.5.4.3.2, bagian A dalam apendiks A ).
11.5.4.3.3*. Masing-masing kelompok dari bukaan jalur pintu yang melebihi 6 m ( 20 inci )
lebarnya diukur pada kondisi ekstrim, harus diperlakukan secara terpisah ( lihat gambar
A.11.5.4.3.3. dalam apendiks A ).

36 dari 165
SNI 03-3985-2000

11.5.4.4. Apabila ada jalur pintu dalam jumlah banyak dan detektor terdaftar dipasang di
rangka pintu, atau apabila detektor kombinasi terdaftar atau detektor yang menyatu dengan
penutup pintu yang dirakit digunakan, harus satu detektor untuk masing-masing jalur pintu
tunggal atau ganda.
11.5.4.4.1. Suatu jalur pintu ganda adalah bukaan tunggal yang tidak menghalangi ruang
dinding atau ujung pintu yang memisahkan dua pintu ( lihat gambar 11.5.4.3.1 ).

11.5.5. Lokasi.
Apabila detektor asap yang dipasang di langit-langit akan dipasang di langit-langit rata untuk
jalur pintu tunggal atau ganda, pemasangannya harus sebagai berikut ( lihat gambar
11.5.4.3.1.)
a). Pada garis tengah jalur pintu.
b). Tidak lebih dari 1,5 m ( 5 ft ) diukur tegak lurus pada langit-langit dari bagian dinding di
atas pintu ( lihat gambar 11.5.4.1.1.) dan
c). Tidak lebih dekat dari pada yang ditunjukkan dalam gambar 11.5.4.1.1. bagian B, D
dan F.
11.5.5.2. Apabila detektor yang dipasang di langit-langit akan dipasang dalam kondisi yang
lain dari pada rancangan tersebut dalam butir 11.5.5.1, penyesuaian teknis diperlukan.

12. Bagian/komponen lain dari sistem deteksi dan alarm kebakaran.

12.1. Umum dan ruang lingkup.


Bagian ini menurut ketentuan-ketentuan minimum yang harus dievaluasi dalam
melaksanakan pekerjaan perencanaan, pemasangan dan pengujian terhadap sistem deteksi
dan kebakaran ( tidak termasuk deteksi kebakaran otomatis ) untuk bangunan gedung yang
meliputi antara lain; titik panggil manual, panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran, alarm
kebakaran, panel bantu, catu daya listrik, sambungan ke pelayanan umum dan lain-lain.

12.2. Persyaratan pemasangan.

12.2.1. Persyaratan mutu.


12.2.1.1. Komponen untuk sistem deteksi dan alarm kebakaran yang boleh digunakan dan
dipasang harus dari jenis yang telah terdaftar.
12.2.1.2. Apabila jenis yang terdaftar sebagaimana dilaksudkan di atas belum ada, maka
omponen yang boleh digunakan dan dipasang pada sistem harus dilengkapi dengan
sertifikasi pengujian atau label dari laboratorium penguji negara asal tempat komponen
tersebut diproduksi.

12.2.2. Pemilihan sistem.


Pemilihan sistem harus dilaksanakan menurut fungsi, luas lantai dan jumlah lantai bangunan
sesuai tabel 11.2.2.

37 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel 12.2.2. : Penyediaan sistem deteksi dan alarm menurut fungsi, jumlah dan luas
lantai bangunan.
Jumlah
Kelompok Sistem
Jumlah luas lantai
Fungsi Nama kelompok Fungsi bangunan deteksi
lantai Min/lantai
bangunan dan alarm
(m2)
1a Bangunan Rumah tinggal
1 -
hunian/tunggal
1b Bangunan hunian Asrama/Kos/Rumah
1 300 -
tamu/Hotel.
2 Bangunan hunian Terdiri dari 2 atau lebih 1 T.A.B (M)
unit hunian (ruko). 2~3 T.A.B (M)
Rumah, Asrama, 1 T.A.B (M)
Bangunan hunian di
3 Hotel, Panti lanjut usia, 2~4 T.A.B (M)
luar 1 dan 2
Panti orang cacat, dll. >4 T.A.B (O)
Tempat tinggal dalam 1 T.A.B (M)
Bangunan hunian
4 suatu bangunan kelas 2~4 T.A.B (O)
campuran
5,6,7,8, dan 9 >4 T.A.B (O)
1 400 (M)
Bangunan Usaha profesional,
5 2~4 200 (M)
perdagangan komersial, dll
>4 T.A.B (O)
1 400 (M)
Bangunan Rumah makan, toko,
6 2~4 200 (M)
perdagangan salon, pasar, dll
>4 T.A.B (O)
Bangunan 1 2000 (M)
Tempat parkir umum,
7 penyimpanan/ 2~4 1000 (M)
gudang.
gudang >4 T.A.B (O)
Bangunan 1 400 (M)
Produksi, perakitan,
8 laboratorium/industri/ 2~4 200 (M)
pengepakan, dll.
pabrik >4 T.A.B (O)
1 400 (M)
Perawatan, kesehatan,
9a Bangunan umum 2~4 200 (M)
laboratorium.
>4 T.A.B (O)
1 400 (M)
9b Bangunan umum Garasi pribadi 2~4 200 (M)
>4 T.A.B (O)
1 400 (M)
Bangunan/ struktur Pagar, antena, kolam
10a 2~4 200 (M)
bukan hunian. renang, dll
>4 T.A.B (O)
Bangunan/struktur
10b
bukan hunian
Penjelasan :
T.A.B = Tanpa Ada Batas.
M = Manual.
O = Otomatis.

38 dari 165
SNI 03-3985-2000

11.2.3. Titik Panggil Manual (TPM).


11.2.3.1. Bagian depan dari kotak tempat menyimpan TPM jenis tombol tekan harus
dilengkapi dengan kaca yang bila dipecahkan tidak membahayakan dan harus disediakan
alat pemukul kaca khusus, atau dengan cara lain yang disetujui instansi yang berwenang.
12.2.3.2. TPM harus berwarna merah.
12.2.3.3. Dekat panel kontrol harus selalu dipasang bel dan TPM yang mudah dicapai
serta terlihat jelas.
12.2.3.4. Semua TPM sebagaimana dimaksudkan dalam butir 12.2.3. harus dihubungkan
dengan kelompok detektor ( zona detektor ) yang meliputi daerah di mana TPM tersebut
dipasang.
12.2.3.5. Semua TPM harus dipasang pada lintasan menuju ke luar dan dipasang pada
ketinggian 1,4 meter dari lantai.
12.2.3.6. Lokasi penempatan TPM harus tidak mudah terkena gangguan, tidak
tersembunyi, mudah kelihatan, mudah dicapai serta ada pada jalur arah ke luar bangunan.
12.2.3.7. Bagi bangunan vertingkat, TPM harus terpasang pada setiap lantai, di mana
untuk setiap TPM harus dapat melayani luas maksimum 900 m2.
12.2.3.8. Jarak dari suatu titik sembarang ke posisi TPM maksimum 30 m.

12.2.4. Alarm kebakaran.


12.2.4.1. Alarm suara harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a). Mempunyai bunyi serta irama yang khas hingga mudah dikenal sebagai alarm
kebakaran.
b). Bunyi alarm tersebut mempunyai frekuensi kerja antara 500 ~ 1000 Hz dengan tingkat
kekerasan suara minimal 65 dB (A).
12.2.4.2. Untuk ruang dengan tingkat kebisingan normal yang tinggi, tingkat kekerasan
suara minimal 5 dB (A) lebih tinggi dari kebisingan normal.
a). Untuk ruang dengan kemungkinan dipergunakan untuk ruang tidur, tingkat kekerasan
suara minimal 75 dB (A).
b). Irama alarm suara mempunyai sofat yang tidak menimbulkan kepanikan.
12.2.4.3. Alarm visual harus dipasang pada ruang khusus, seperti tempat perawatan orang
tuli dan sejenisnya.
12.2.4.4. Pada semua lokasi panel kontrol dan panel bantu harus terpasang alarm
kebakaran.
12.2.4.5. Semua bagian ruangan dalam bangunan harus dapat dijangkau oleh sistem
alarm kebakaran dengan tingkat kekerasan bunyi alarm yang khusus untuk ruangan tersebut
12.2.4.6. Alarm kebakaran harus dipasang untuk ruang khusus di mana suara –suara dari
luar tidak dapat terdengar.
12.2.4.7. Sarana alarm luar harus dipasang sedemikian rupa sehingga dapat digunakan
pula sebagai penuntun cara masuk bagi anggota pemadam kebakaran dari luar.

39 dari 165
SNI 03-3985-2000

12.2.5. Panel kontrol deteksi dan alarm.


Panel kontrol deteksi dan alarm kebakaran dapat terdiri dari suatu panel kontrol atau suatu
panel kontrol dengan satu atau beberapa panel bantu.
12.2.5.1. Panel kontrol harus bisa menunjukkan asal lokasi kebakaran.
12.2.5.2. Panel kontrol harus mampu membantu kerja detektor dan alarm kebakaran serta
komponennya secara keseluruhan.
12.2.5.3. Panel kontrol harus dilengkapi dengan peralatan-peralatan, sehingga operator
dapat mengetahui kondisi instalasi baik pada saat normal maupun pada saat terdapat
gangguan. Peralatan-peralatan tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari :
a). Perlengkapan untuk pengujian terhadap bekerjanya sistem secara keseluruhan.
b). Perlengkapan pengujian untuk mengetahui apabila terjadi kerusakan pada sistem yaitu
buzzer dan lampu indikator.
c). Perlengkapan pemberitahuan apabila terjadi sinyal palsu.
d). Perlengkapan pemantau sistem catu daya.
e). Perlengkapan lampu indikator yang menunjukkan suatu keadaan di mana
detektor/alarm kebakaran dalam suatu zona sedang bekerja.
f). Fasilitas yang menunjukkan bahwa catu daya dalam keadaan ada/tidak ada, berasal
dari PLN, batere atau pembangkit listrik darurat yang dilengkapi dengan alat ukur
tegangan ( voltmeter ).
g). Pengalihan operasi harus secara otomatik yang disertai dengan bunyi buzzer.
h). Lampu tanda suatu sirkit ( zona ) terbuka atau dalam keadaan hubung singkat lengkap
dengan sakelar pilih ( selector switch ).
i). Fasilitas pengujian sirkit detektor/alarm kebakaran zona dalam keadaan normal atau
ada gangguan ( berupa sirkit terbuka atau sirkit tergubung singkat ), dimana simulasi
yang dilakukan tidak mempengaruhi kerja zona yang lainnya dalam sistem tersebut.
j). Fasilitas uji lampu indikator yang berfungsi untuk memeriksa apakah lampu-lampu
indikator masih hidup atau mati.
k). Buzzer untuk keperluan operator yang disertai lampu kedip dan sakelar untuk
mematikan alarm.
12.2.5.4. Panel kontrol/bantu harus ditempatkan dalam bangunan di tempat yang aman,
mudah terlihat dan mudah dicapai dari ruang utama dan harus mempunyai minimum ruang
bebas 1 meter di depannya.
12.2.5.5. Apabila panel kontrol direncanakan untuk dapat dilakukan pemeliharaannya dari
belakang, maka harus diadakan ruang bebas yang cukup dibelakang panel.
12.2.5.6. Ruang tempat panel kontrol harus diproteksi dengan detektor kebakaran.

12.2.6. Panel bantu.


12.2.6.1. Panel bantu harus dilengkapi dengan terminal sirkit dengan cadangan terminal
yang cukup dan pintu yang terkunci.
12.2.6.2. Panel bantu harus dilengkapi dengan lampu indikator yang menunjukkan adanya
tegangan kerja yang normal serta diagram sirkit bagian sistem yang bersangkutan.

40 dari 165
SNI 03-3985-2000

12.2.6.3. Ruang dalam panel harus cukup memberikan keleluasaan pekerjaan


pemasangan dan pemeliharaan instalasi dengan konstruksi panel yang kuat serta tahan
terhadap gangguan mekanis, termis dan elektris.
12.2.6.4. Panel bantu harus ditempatkan dalam bangunan di tempat yang aman, mudah
terlihat, dan mudah dicapai dari ruangan utama dan harus mempunyai minimum ruang
bebas 1 meter di depannya.

12.2.7. Kabel.
12.2.7.1. Untuk sistem deteksi harus digunakan kabel dari ukuran penampang tidak boleh
lebih kecil dari 0,6 mm2.
12.2.7.2. Untuk sistem alarm dan catu harus digunakan kabel dengan ukuran penampang
tidak boleh lebih kecil dari 1,5 mm2.
12.2.7.3. Kabel NYA dapat digunakan, namun pemasangannya harus di dalam pipa
konduit.
12.2.7.4. Kabel berinti banyak NYM dan NYY, dapat pula dipergunakan pada sirkit-sirkit
detektor pada suatu arah tarikan kabel jarak jauh.
12.2.7.5. Untuk lokasi yang mempunyai kondisi kerja yang keras ( panas, lembab, dan
banyak gangguan mekanis ringan ), harus dipilih jenis kabel NYY atau minimal NYM.
12.2.7.6. Untuk pengawasan langsung ke detektor, dapat pula dipergunakan kabel
fleksibel dengan ketentuan tidak boleh lebih panjang dari 1,5 m.
12.2.7.7. Pemasangan kabel sistem deteksi dan alarm kebakaran harus dilaksanakan
sesuai dengan instalasi tegangan rendah sesuai SNI 04-0225-2000, tentang : “Persyaratan
umum instalasi listrik 2000”.
12.2.7.8. Semua pemasangan kabel pada dinding harus dilaksanakan dengan
menggunakan pipa konduit sesuai dengan SNI 04-0225-2000, tentang “ “Persyaratan umum
instalasi listrik 2000”.
12.2.7.9. Penampang kabel dipilih sedemikian rupa sehingga pada beban kerja
maksimum, penurunan tegangan di titik terjauh dari panel kontrol tidak boleh lebih dari 5%.
12.2.7.10. Hantaran antara gedung harus dari jenis kabel yang dapat ditanam dan harus
diberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanik.
12.2.7.11. Sepanjang hantaran tidak boleh ada sambungan.
12.2.7.12. Sambungan diperbolehkan dalam kontak terminal tertutup.
12.2.7.13. Penyambungan kabel dengan masing-masing detektor harus di dalam detektor,
kecuali untuk detektor jenis kedap air. Kabel untuk sistem deteksi dan alarm kebakaran tidak
boleh disatukan dengan kabel untuk instalasi listrik.

12.2.8. Catu daya.


12.2.8.1. Catu harus mempunyai 2 buah sumber energi listrik, yaitu :
a). Listrik PLN atau pembangkit tenaga listrik darurat.
b). Batere.
12.2.8.2. Tegangan batere yang diijinkan 12 volt dan maksimum 48 volt.

41 dari 165
SNI 03-3985-2000

12.2.8.3. Tegangan batere yang diijinkan minimum selama 4 jam mencatu energi listrik
dalam kondisi alarm umum.
a). Pemeliharaan batere harus mudah.
b). Mempunyai pengisi batere ( charger ) otomatik.
c). Bila catu daya dari listrik PLN atau pembangkit tenaga listrik darurat lainnya mati,
secara otomatik langsung bisa diambil alih oleh tenaga batere.
d). Batere harus dari jenis natere kering yang dapat diisi kembali ( rechargeable ).

12.2.9. Peralatan bantu instalasi.


Bahan-bahan peralatan bantu instalasi yang dipakai harus memenuhi SNI 04-0225-2000,
tentang “Persyaratan umum instalasi lsitrik 2000”.

42 dari 165
SNI 03-3985-2000

Apendiks - A
Lampiran ini bukanlah merupakan bagian dari persyaratan dari standar ini, namun ikut disertakan untuk
kebutuhan informasi saja.
A-4.5.2. Suatu hal yang penting bahwa perancang, pemasangan dan bagi pemilik untuk
mempunyai informasi yang jelas sebagai acuan terhadap detektor yang selaras dengan unit
kontrol, termasuk beberapa informasi seperti jumlah detektor yang diijinkan per zona.
Beberapa instalasi menggunakan detektor dari suatu manufaktur dengan unit kontrol dari
manufaktur yang lain.
A-4.7.5. Detektor dapat diwajibkan dibawah bangku yang besar, rak atau meja dan di
dalam lemari atau barang tertutup lainnya.
A-4.7.7. Mengacu kepada gambar A-4.7.7.(a) dan (c) untuk hubungan yang benar dari
detektor api otomatis ke sistem alarm kebakaran mengaktifkan sirkit peralatan dan sirkit
pasokan daya.

Gambar A-4.7.7.(a)

43 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-4.7.7.(b)

Gambar A-4.7.7.( c).

44 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.5.4.1. Lokasi detektor jenis titik.

Gambar A-5.4.1 : Detektor jenis titik.


A.5.5.1. Jarak maksimum pada langit-langit rata untuk detektor panas jenis titik ditentukan
dengan pengetesan secara skala penuh. Pengetesan ini mengasumsi bahwa detektor akan
dipasangkan mengikuti pola satu persegi atau beberapa persegi, setiap sisi darinya sama
dengan maksimum jarak yang ditentukan pada pengetesan. Ini digambarkan pada gambar
A-5.5.1.(a). Detektor yang akan ditest ditempatkan pada suatu pojok dari daerah persegi ini,
yang merupakan titik dengan jarak terjauh yang dimungkinkan dari api selama masih berada
di dalam daerah persegi. Jadi jarak dari detektor “D” ke api “F” adalah selalu jarak
pengetesan dikalikan dengan 0,7 dan dapat disusun pada tabel A.5.5.1. berikut :
Tabel A.5.5.1. : Jarak maksimum pada langit-langit rata.
Jarak maksimum dari api ke detektor
Jarak pengetesan
( 0,7 x D )
15 m x 15 m 10 m
12 m x 12 m 8m
9mx9m 6m
7,5 m x 7,5 m 5m
6mx6m 4m
4,5 m x 4,5 m 3m

45 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-5.5.1.: Detektor panas-denah jarak – langit-langit

46 dari 165
SNI 03-3985-2000

Sekali jarak pengetesan maksimum yang tepat telah ditentukan, kemudian itu berlaku untuk
saling mempertukar posisi dari api “F” dan detektor “D”. Detektor sekarang berada di tengah
dari daerah persegi, dan apa yang secara aktual disebutkan pada daftar adalah bahwa
detektor adalah cukup untuk mendeteksi api yang terjadi dimanapun di dalam daerah
persegi; sampaipun keluar pojok yang terjauh.
Di dalam menggelar instalasi detektor, perencana berbicara dengan terminologi empat
persegi, sebagaimana area bangunan umumnya berbentuk empat persegi. Pola dari
pancaran panas dari suatu sumber api, bagaimanapun bentuknya tidaklah empat persegi.
Pada langit-langit yang rata, panas akan berpencar keluar ke semua arah, dalam sebuah
lingkaran yang berkembang sewaktu-waktu. Demikianlah, cakupan suatu detektor dalam
kenyataannya tidaklah empat persegi, tetapi agak melingkar yang radiusnya adalah jarak
linear dikalikan 0,7.

Gambar A-5.5.1.(a).
Ini digambarkan pada gambar A-5.5.1.(b).
Dengan detektor sebagai titik tengah, dengan jalan memutarkah area empat persegi dapat
ditampilkan sejumlah tidak terhingga area persegi, pojok-pojoknya akan menggambarkan
sebuah lingkaran dengan jari-jari 0,7 kali jarak yang tersebut dalam daftar. Detektor akan
mencakup setiap persegi ini, dan karenanya setiap titik di dalam pembatasan dari lingkaran.

47 dari 165
SNI 03-3985-2000

Sejauh ini penjelasan ini telah mempertimbangkan persegi dan lingkaran. Di dalam
penggunaan praktisnya, sangat sedikit daerah menjadi benar-benar empat persegi, dan
daerah lingkaran sesungguhnya jarang. Perencana secara umum berurusan dengan empat
persegi dari dimensi ganjil dan pojok dari ruangan atau daerah yang dibentuk oleh dinding
yang saling berpotongan, dimana jarak ke satu dinding kurang dari setengah jarak yang
didaftarkan.Untuk menyederhanakan sisa dari penjelasan ini, mempertimbangkan
penggunaan sebuah detektor dengan jarak terdaftar 9,1 m x 9,1 m (30 ft x 30 ft). Aturan
pokok diperoleh akan dapat diterapkan sama pada jenis yang lain.

Gambar A-5.5.1.(b).
Gambar A-5.5.1.( c ). menggambarkan penyimpangan dari konsep ini. Sebuah detektor
diletakkan pada titik tengah dari sebuah lingkaran dengan jari-jari 6,4 m (0,7 x 9,1 m) atau
[21 ft (0,7 x 30 ft)]. Suatu deretan dari empat persegi dengan satu dimensi lebih rendah dari
maksimum yang diperkenankan 9,1 m (30 ft) dibangun (digambarkan) di dalam lingkaran.
Dapat ditarik kesimpulan berikut :
a). Sebagaimana lebih kecilnya penurunan dimensi, selebih panjangnya dimensi dapat
membesar diluar jarak maksimum linear dari detektor, dengan tanpa ada kehilangan
efisiensi pendeteksian.
b). Sebuah detektor tunggal akan mencakup seluruh daerah yang berada di dalam
lingkaran. Untuk suatu empat persegi, sebuah detektor tunggal yang diletakkan secara
tepat akan memadai jika diagonal dari empat persegi tidak mencapai radius dari
lingkaran.
c). Efisiensi relatif detektor sesungguhnya akan membesar, karena daerah cakupan dalam
m2 selalu kurang dari 83,6 m2 (900 ft2) memungkinkan jika sepenuhnya empat persegi
9,1 m x 9,1 m (30 ft x 30 ft) akan dilayani. Aturan pokok menggambarkan disini
membolehkan jarak linear yang sama antara detektor dan api, tanpa pengakuran bagi
efek refleksi dari dinding atau partisi, yang mana dalam ruang yang sempit atau lorong
akan merupakan keuntungan tambahan.

48 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-5..5.1.( c).


Untuk detektor yang tidak terpusat, dimensi lebih panjang akan selalu dipakai dalam
menggelar radius cakupan.
Daerah cukup besar yang mencapai dimensi empat persegi yang diberikan pada gambar
A-5.5.1.( c) memerlukan tambahan detektor. Seringkali perletakan yang tepat dari detektor
dapat difasilitasi dengan cara membagi daerah menjadi beberapa empat persegi dengan
dimensi yang cocok paling layak. [Lihat gambar A-5.5.1.(d)]. Sebagai contoh, lihat gambar
A-5.5.1.( c).
Sebuah koridor lebar 3 m (10 ft) dan panjang sampai 25 m (82 ft) dapat dicakup dengan dua
buah detektor 9,1 m (30 ft). Suatu daerah lebar 12,2 m (40 ft) dan panjang smpai 22,6 m
(74 ft) dapat dicakup dengan empat (4) buah detektor. Daerah yang tidak teratur akan
memerlukan perencanaan yang lebih berhati-hati guna meyakinkan bahwa tidak ada titik
pada langit-langit yang lebih dari 6,4 m (21 ft) jauhnya dari sebuah detektor. Titik-titik ini
dapat ditentukan dengan menarik busur dari pojok terjauh. Bilamana setiap bagian dari
daerah terletak diseberang lingkaran dengan radius 0,7 kali jarak yang terdaftar, tambahan
detektor adalah disyaratkan.

49 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-5.5.1.(d).

50 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.5.5.1.1. Daerah tidak teratur.

Gambar A-5.5.1.1.
A-5.5.1.2. Kedua-duanya paragraf dan tabel 5.5.1.2. disusun untuk menyediakan
seperlunya kinerja yang ekivalen pada langit-langit yang lebih tinggi [ 9,1m (30 ft) ketinggian]
terhadapnya akan berlaku dengan detektor pada ketinggian langit-langit 3 m (10 ft) (lihat
lampiran B).
Laporan dari institusi pengetesan (lihat referensi pada lampiran C), yang digunakan sebagai
basis untuk tabel 5.5.1.2. tidaklah termasuk data detektor jenis integrasi.
Pengembangan yang belum diputuskan dari data demikian, rekomendasi dari manufaktur
sebagai panduan

51 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.5..5.2. Denah jarak antara untuk langit-langit pada balok melintang.

Gambar A-5.5.2 : Detektor panas-denah jarak-untuk langit-langit balok melintang.


A-.5.5.3. Perletakan dan jarak dari detektor panas perlu mempertimbangkan kedalaman
balok, ketinggian langit-langit, jarak balok dan ukuran api.
a). Apabila rasio dari kedalaman balok (D) terhadap ketinggian langit-langit (H);
D/H adalah lebih besar dari 0,10 serta rasio dari jarak balok (W) terhadap ketinggian
langit-langit (H); W/H adalah lebih besar dari 0,40, maka detektor panas harus
dipasangkan pada setiap kantong (cekukan) balok.
b). Apabila salah satu (atau kedua-duanya) rasio dari kedalaman balok terhadap
ketinggian langit-langit adalah lebih kecil dari 0,10 atau rasio jarak balok terhadap
ketinggian langit-langit (W/H) adalah kurang dari 0,40, maka detektor panas dapat
dipasangkan pada bagian bawah dari balok.
A.5.5.4.1. Denah jarak antara langit-langit yang dimiringkan.

Gambar A-5.5.4.1 : Detektor panas – denah jarak antara – langit-langit yang dimiringkan.

52 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.5.5.4.2. Denah jarak antara langit-langit yang dimiringkan.

Gambar A-5.5.4.2. Detektor panas – denah jarak antara – langit-langit yang dimiringkan.
A-6.1.1.2. Orang dalam merencanakan suatu instalasi harus menanamkan dalam
pikirannya bahwa, agar sebuah detektor asap bereaksi, asap harus bergerak dari titik
asalnya ke detektor. Dalam melakukan evaluasi setiap bangunan tertentu atau lokasi,
kiranya lokasi api harus ditentukan terlebih dahulu. Dari masing titik-titik asal, jalur dari
perjalanan asap harus ditentukan. Dimana kepraktisan, pengetesan lapangan sesungguhnya
perlu diadakan. Lokasi yang paling diinginkan untuk perletakan detektor asap adalah titik
perpotongan bersama dari perjalanan asap dari lokasi api menembus/menerobos bangunan.
Catatan : Ini adalah salah satu alasan bahwa jarak spesifik tidak ditentukan oleh laboratorium pengetesan
terhadap detektor asap.
A-6.2.2. Kebanyakan detektor pembauran cahaya menggunakan suatu sumber cahaya
dengan intensitas pulsa yang tinggi dengan bahan “silicone-photodiode” atau pengindera
cahaya “phototransitor”, menghasilkan reaksi yang sangat terhadap kebanyakan api
menyala.
A-6.2.3. Detektor sinar terproyeksi bereaksi terhadap penjumlahan dari pemburaman
asap pada jalur sinar sepanjang kepanjangan dalamnya antara unit pengirim dan unit
penerima. Suatu pengurangan dalam penerimaan cahaya menggerakkan suatu sinyal alarm.
Suatu total atau hilang mendadak dari cahaya yang diterima menggerakkan suatau sinyal
gangguan menandakan sinar tertutup atau membutuhkan pemeliharaan. Beberapa detektor
sinar terproyeksi mempunyai sirkit pemprosesan sinyal untuk mengkompensasi kondisi
transien (peralihan) dan pengaruh dari debu terhadap kepekaan.
A-6.4.1. Untuk pengoperasian, seluruh jenis detektor asap tergantung kepada masuknya
asap kedalam kamar pengindera atau sinar cahaya. Ketika konsentrasi yang cukup telah
ada, pengoperasian telah dicapai. Karena detektor biasanya diletakkan di langit-langit, waktu
bereaksi tergantung pada tabiat/pembawaan dari api. Api yang panas akan mendorong asap
sampai ke langit-langit secara cepat. Suatu api tanpa nyala, seperti di sofa, mengproduksi

53 dari 165
SNI 03-3985-2000

panas yang kecil, dan karena itu waktu yang dibutuhkan asap untuk mencapai detektor akan
menjadi lebih lama.
A-6.4.1.2. Susunan berlapis-lapis (Stratifikasi).
Susunan berlapis-lapis dari udara di dalam ruangan dapat merintangi udara yang berisi
partikel asap atau gas hasil pembakaran dari pencapaian detektor asap atau detektor gas
yang terpasang di langit-langit.
Susunan berlapis-lapis terjadi ketika udara yang berisi partikel asap atau gas hasil
pembakaran dipanaskan oleh pembaraan atau bahan terbakar dan menjadi berkurang
ketebalannya daripada udara dingin disekitar, berkembang sampai dia mencapai suatu nilai
yang mana tidaklah merupakan suatu perbedaan yang besar dalam temperatur antara asap
itu dan udara sekeliling.

Gambar A-6.4.1.2. :Perletakan detektor dan ketinggian langit-langit.


Susunan berlapis-lapis dapat juga terjadi ketika pendinginan penguapan digunakan, karena
uap air yang ditimbulkan oleh alat ini dapat mengkondensasi asap mengakibatkannya jatuh
ke arah lantai. Oleh karenanya, guna menjamin reaksi yang cepat, detektor asap dianggap
perlu dipasangkan pada dinding samping atau pada lokasi di bawah langit-langit.
Pada instalasi dimana pendeteksian terhadap api bara atau api asap adalah diinginkan dan
dimana kemungkinan adanya susunan berlapis-lapis, pertimbangan perlu diberikan terhadap
alternatif pemasangan.

54 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.6.4.3.1.1. Sinar terproyeksi menggunakan cermin.

Gambar A-6.4.3.1.1.: Sinar terproyeksi menggunakan cermin.


A.6.4.2.1. Instalasi pemasangan.

Gambar A-6.4.2.1.: Instalasi pemasangan.


A-6.4.5.2. Pada langit-langit rata, suatu jarak yang tidak lebih dari 18,3 m (60 ft) antara
sinar terproyeksi, dan tidak lebih dari setengah jarak antara sinar terproyeksi dengan suatu
dinding samping (dinding yang paralel dengan perjalanan sinar), dapat digunakan sebagai
panduan. Jarak yang lain dapat ditentukan tergantung kepada ketinggian langit-langit,
karakteristik aliran udara dan persyaratan bereaksi.

55 dari 165
SNI 03-3985-2000

Dalam beberapa kasus, projector cahaya sinar akan dipasangkan pada satu ujung dinding,
dengan penerima sinar cahaya diletakkan pada dinding yang berlawanan. Namun diijinkan
juga untuk menggantungkan projektor dan penerima dari langit-langit pada jarak dari akhir
dinding tidak mencapai seperempat dari jarak terseleksi. Sebagai suatu gambaran terhadap
hal ini, lihat gambar A-6.4.5.2.

Gambar A-6.4.5.2.
A-6.4.6. Detektor diletakkan pada jarak yang dikurangkan pada arah ke balok melintang
atau balok dalam suatu usaha guna meyakinkan bahwa waktu deteksi adalah ekivalen
terhadap yang dicobakan pada langit-langit yang rata. Itu mengambil waktu lebih lama bagi
produk pembakaran (asap atau panas) untuk bergerak menuju ke balok atau balok
melintang, dikarenakan oleh fenomena dimana suatu jambul dari suatu api yang relatif panas
dengan panas termal yang lumayan bergerak keatas cenderung untuk mengisi kantong
antara setiap balok atau balok melintang sebelum berpindah ke kantong sebelahnya.
Sekalipun adalah benar bahwa fenomena ini tidaklah menjadi cukup memadai pada suatu
api membara (tanpa menyala), dimana hanya terdapat panas bergerak keatas yang cukup
guna mengakibatkan susunan yang berlapis-lapis pada bagian dasar dari balok melintang,
pengurangan jarak adalah direkomendasikan untuk menjamin bahwa waktu pendeteksian
adalah ekivalen pada yang mana terdapat pada langit-langit rata, sekalipun pada jenis api
yang lebih panas.
A-6.4.7.3. Untuk mendeteksi nyala api (jambul yang besar), detektor harus dipasangkan
sebagai berikut :
a). Jika rasio dari kedalaman balok (D), terhadap ketinggian langit-langit (H), D/H lebih
besar dari 0,10 dan rasio dari jarak balok (W) terhadap ketinggian langit-langit (H), W/H
lebih besar dari 0,40, maka detektor perlu diletakkan pada setiap kantong balok.
b). Jika salah saatu (atau keduanya), rasio kedalam balok terhadap ketinggian langit-langit
(H), D/H kecil dari 0,10 atau rasio dari jarak balok terhadap ketinggian langit-langit,
W/H lebih kecil dari 0,40, maka detektor perlu diletakkan pada bagian bawah dari
balok.

56 dari 165
SNI 03-3985-2000

Untuk mendeteksi api tanpa menyala membara (lemah atau tanpa jambul) detektor
perlu dipasangkan sebagai berikut :
c). Jika pencampuran udara di dalam kantong balok adalah baik (seperti aliran udara
paralel kepanjangan balok) dan kondisi pada (a) terjadi sebagaimana di atas, detektor
perlu dipasangkan pada setiap kantong balok.
d). Jika pencampuran udara di dalam kantong balok adalah terbatas, atau kondisi (b)
terjadi sebagaimana di atas, detektor perlu diletakkan pada bagian bawah dari balok.
Penelitian terhadap jambul dan pemancaran langit-langit mengindikasikan bahwa jari-jari dari
jambul yang menabrak/mengenai langit-langit adalah kira-kira 20% dari ketinggian langit-
langit di atas sumber api (p. 0,2 H) dan kedalaman minimum dari pemancaran langit-langit
(pada titik pemutarannya) adalah kira-kira 10% dari ketinggian langit-langit di atas sumber
api (y. 0,10 H). Untuk langit-langit dengan balok lebih dalam dibanding kedalaman pancaran
dan jarak lebih lebar dari lebar jambul, detektor akan bereaksi lebih cepat di dalam kantong
balok karena mereka akan berupa jambul atau pancaran langit-langit.
Untuk langit-langit dengan kedalaman balok lebih kecil dibanding pancaran langit-langit atau
jarak lebih dekat dari pada lebar jambul, reaksi detektor tidak akan bertambah dengan cara
menempatkan detektor pada setiap kantong balok dan detektor akan memberi kinerja yang
lebih baik di atas (untuk detektor jenis titik) atau dibawah (untuk detektor sinar) dari bagian
bawah balok.
Bilamana jambul keadaan lemah, ventilasi dan pencampuran di dalam kantong balok akan
menentukan reaksi detektor.
Dimana balok berjarak lebih dekat, dan aliran udara tegak lurus terhadap balok,
pencampuran di dalam kantong balok adalah terbatas dan detektor akan berunjuk kerja lebih
baik di atas atau di bawah dari bagian bawah balok.
A-6.5.1. Detektor tidak boleh diletakkan pada arah aliran udara, juga tidak pada jarak
900 m (3 ft) dari sebuah diffuser pemasok udara.
A-6.6.1.4. Standar untuk produk yang didaftar mencakup pengetesan untuk sementara
secara cepat diluar batasan normal. Menambahkan terhadap temperatur, kelembaban dan
variasi kecepatan, detektor asap harus beroperasi secara handal di bawah kondisi
lingkungan seperti getaran mekanis, pengaruh elektris dan pengaruh lingkungan lainnya.
Pengetesan untuk kondisi ini adalah juga dilakukan oleh laboratorium pengetesan pada
daftar programnya.
Tabel A-6.6.1.4.: Kondisi lingkungan yang mempengaruhi bekerjanya detektor.
Kecepatan Tekanan atm
Prinsip Kelembaban Temperatur
udara > 3000 di atas Warna asap
deteksi > 85% < 320F > 1000F
> 300 ,/min muka laut
Ion X X X X 0
Photo 0 0 X X X
Beam 0 0 X X 0
Penjelasan :
X = Respon detektor dapat berubah dari seting di pabrik.
0 = Respon detektor tidak dari seting pabrik.
A-6.6.1.5. Detektor asap dapat dipengaruhi oleh pengaruh elektris dan mekanis, dan oleh
aerosol dan benda-benda khusus yang terdapat di dalam ruang yang diproteksi. Perletakan

57 dari 165
SNI 03-3985-2000

dari detektor haruslah sedemikian bahwa pengaruh dari aerosol dan benda-benda khusus
dari sumber sebagaimana yang disebut pada tabel A-6.6.1.5.(a) harus dikurangi.
Hal serupa, pengaruh dari faktor-faktor elektris dan mekanikal yang ditunjukkan pada tabel
A-6.6.1.5.(b) harus dikurangi. Sementara tidak dimungkinkan untuk mengisolasi secara total
terhadap faktor lingkungan, suatu kesadaran akan faktor-faktor tersebut selama pergelaran
sistem dan perancangan akan memberi kecenderungan yang baik terhadap kinerja detektor.
Tabel A-6.6.1.5.(a).: Sumber bersama dari Aerosol dan benda-benda khusus uap air
Uap air Asap tembakau yang berlebihan.
- Uap yang tinggal. - Perlakuan panas.
- Tabel uap - Atmosfer korosif.
- Dus - Debu dan bulu kain.
- Humidifier - Linen dan sprei.
- Bak cuci - Penggergajian, pengeboran, dan gerinda.
- Udara luar yang basah - Transpor pnumatik.
- Pancaran air. - Proses tekstil dan pertanian.

Produk pembakaran dan asap. Gas buang motor bakar.


- Peralatan masak - Gas buang truk forklift.
- Oven - Motor bakar yang tidan di ventilasi ke luar.
- Dryer.
- Tempat api. Elemen pemanas dengan kondisi tidak
normal.
- Cerobong asap ke luar. - Akumulasi debu.
- Pemotongan, pengelasan dan pematrian. - Exhaust yang tidak seimbang.
- Permesinan - Pembakaran yang tidak lengkap.
- Sprai pengecatan.
- Perbaikan.
- Asap kimia.
- Cairan pembersih.

Tabel A-6.6.1.5.(b) : Sumber dari listrik dan pengaruh mekanis terhadap detektor asap.
Kebisingan listrik dan transien. Aliran udara.
- Getaran atau kejutan. - Baju-baju
- Radiasi. - Kecepatan yang berlebihan.
- Frekuensi radiasi. - Pasokan daya listrik.
- Intensitas pencahayaan.
- Nuklir.
- Petir.
- Pasokan daya listrik.

A-6.6.1.7. Aliran udara menembus lobang pada bagian belakang dari sebuah detektor asap
dapat merintangi masukan udara ke dalam kamar pengindera. Hal yang sama, udara dari
sistem konduit dapat mengalir sekeliling ujung luar dari detektor dan kembali
merintangi/mencampuri asap mencapai kamar pengindera. Sebagai tambahan, lobang
dibagian belakang detektor menyediakan jalan untuk masuknya debu, kotoran dan
serangga, masing-masing dapat berpengaruh kebalikan terhadap kinerja detektor.

58 dari 165
SNI 03-3985-2000

A.6.6.1.8. Penyimpanan barang, rak tinggi.

Untuk efektifitas yang tinggi pendeteksian api pada daerah penyimpanan barang rak tinggi,
detektor perlu dipasangkan pada langit-langit di atas setiap jalan/gang dan pada tingkat
pertengahan pada rak. Ini perlu untuk mendeteksi asap yang mana dapat terperangkap di
rak pada tahapan awal dari perkembangan api, bila tidak cukup energi panas yang timbul
untuk mengangkat asap ke langit-langit.

Gambar A.6.6.1.8.a.
Secepatnya pendeteksian asap dicapai dengan menempatkan detektor pada tingkat
pertengahan dekat kepada alternatif potongan pallet sebagaimana pada gambar A.6.6.1.8.a
dan b.
Rekomendasi dan ketentuan teknik dari dari manufaktur detektor harus diikuti untuk instalasi
yang spesifik.
Suatu detektor jenis sinar dapat digunakan sebagai pengganti dari sederetan dari detektor
asap jenis titik individu.

59 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A.6.6.1.8.b.
A-8.1.1.1. Banyak gas dapat dibentuk oleh api. Detektor gas api adalah instrumen yang
terpicu menjadi alarm oleh adanya satu atau dua jenis gas api. Detektor gas api tidak perlu
dapat melakukan pembedaan diantara beragam gas api. Tergantung pada bahan yang
terbakar dan keberadaan pasokan gas oksigen, kuantitas dan komposisi dari gas yang ada
dapat berubah secara drastis. Jika bahan selulose biasa seperti kayu atau kertas dibakar
dengan oksigen yang berlimpah, gas timbul terutama karbon dioksida (Co2) dan uap/kabut
air. Jika kalaupun, bahan yang sama terbakar atau menyala membara dengan oksigen yang
terbatas, suatu jumlah besar tambahan gas lambat yang lain akan terjadi.
A-8.3.1. Detektor gas api tergantung pada gas api itu mencapai elemen pengindera api itu.
Ketika konsentrasi dengan jumlah yang cukup operasi dicapai. Karena detektor biasanya
dipasang pada atau dekat langit-langit, waktu bereaksi tergantung pada pembawaan dari
api. Suatu api yang panas akan mendorong gas api keatas menuju langit-langit secara lebih
cepat. Suatu api menyala (membara) memproduksi panas sedikir dan karena itu, waktu
mendeteksi akan meningkat.

60 dari 165
SNI 03-3985-2000

A-8.3.3. Gas berangkat ke pengindera dari detektor gas api dapat terjadi melalui cara
penghamburan (diffusion) dimana hasil pemindahan dari tingkatan konsentrasi atau oleh
percontohan apabila pompa, fan atau alat pernapasan dikerjakan.
A-8.3.6.3. Lokasi dan jarak antara detektor gas api harus mempertimbangkan kedalaman
balok, ketinggian langit-langit, jarak balok dan mengantisipasi jenis api serta lokasinya.
Untuk konfigurasi langit-langit dimana pencampuran dari gas ke dalam kantong balok
dihalangi oleh adanya sistem ventilasi, detektor akan bekerja lebih baik bila dipasang pada
bagian bawah dari balok.
a). Untuk mendeteksi nyala api (jambul yang kuat), detektor harus dipasangkan sebagai
berikut :
1). Jika rasio dari kedalaman balok (D) terhadap ketinggian langit-langit (H), D/H
adalah lebih besar dari 0,10 dan rasio dari jarak balok (W) terhadap ketinggian
langit-langit (H), W/H adalah lebih kecil dari 0,40, maka detektor harus diletakkan
pada setiap kantong balok.
2). Jika salah satu (atau keduanya), rasio kedalaman balok terhadap ketinggian
langit-langit, D/H adalah lebih kecil dari 0,10 atau rasio jarak balok terhadap
ketinggian langit-langit, W/H adalah lebih kecil dari 0,40, maka detektor harus
dipasangkan pada bagian bawah dari balok.
b). Untuk mendeteksi api tanpa nyala membara (lemah atau tanpa jambul) detektor perlu
dipasangkan sebagai berikut :
1). Jika pencampuran udara di dalam kantong balok adalah baik (seperti aliran
udara arah paralel kepanjangan balok) dan kondisi pada a).1) terjadi
sebagaimana di atas, detektor perlu dipasangkan pada setiap kantong balok.
2). Jika pencampuran udara di dalam kantong balok adalah terbatas, atau kondisi
a).2) terjadi sebagaimana di atas, detektor perlu diletakkan pada bagian bawah
dari balok.
A-8.4.1. Detektor tidak boleh diletakkan pada arah aliran udara atau lebih dekat dari jarak
9 m (30 ft) dari diiffuser pasokan udara.
A-8.5.1.3. Standar produk terdaftar termasuk pengetesan untuk sementara sesaat diluar
batas normal. Menambahkan terhadap temperatur, kelembaban dan variasi kecepatan,
detektor gas api harus beroperasi secara handal dibawah kondisi lingkungan seperti getaran
mekanis, pengaruh elektris dan pengaruh lingkungan lainnya. Kondisi ini adalah juga
termssuk di dalam test yang dilakukan oleh agen terdaftar.
A-10.2. Faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk pemeriksaan dan pengetesan detektor
mencakup :
a). Rentang tegangan operasi, arus dan teknik sinyal dari detektor dengan memperhatikan
kepada peralatan kontrol.
b). Polaritas dari hubungan daya listrik ke detektor.
c). Integritas dari hubungan listrik.
d). Integritas dari hubungan mekanis.
e). Pendukung mekanis.
A-10.2.3.1. Elemen laju kenaikan dari suatu detektor kombinasi dapat juga ditest dengan
cara mendinginkan detektor itu dan kemudian menaikkan temperatur. Ini secara umum akan

61 dari 165
SNI 03-3985-2000

mengaktifkan elemen laju kenaikan tanpa adanya resiko kerusakan terhadap elemen
temperatur-tetap yang tidak dapat diperbaiki.
A-10.2.4.2. Dalam menentukan kepekaan detektor, detektor harus diisolasi dari faktor
lingkungan terpasang (seperti aliran udara) yang dapat mempengaruhi pengukuran dalam
rangka menentukan garis dasar kalibrasi. Suatu pengukuran di dalam lingkungan terpasang
dapat juga dibuat dalam rangka untuk menentukan effek/akibat dari lingkungan.
A-10.3.1. Tanpa mempedulikan jenis dari detektor yang digunakan, detektor-detektor berikut
perlu diganti atau perwakilan contohnya dikirim ke laboratorium pengetesan atau ke
manufaktur untuk dilakukan pengetesan :
a). Detektor di dalam sistem yang sedang diperbaiki untuk beroperasi setelah sekian lama
tidak digunakan.
b). Detektor yang terlihat mengalami korosi.
c). Detektor yang telah dicat di lapangan, jika tidak merata adalah dari jenis yang
ditemukan oleh pengetesan laboratorium bahwa terpengaruh oleh pengecatan.
d). Detektor yang telah dibersihkan dari cat.
e). Detektor yang telah pernah terpengaruh oleh kerusakan mekanis atau penyalah-
gunaan yang sejenis.
f). Detektor dimana sirkitnya telah pernah terpengaruh gelombang besar (surya) oleh
tegangan berlebih atau kerusakan akibat petir.
g). Detektor yang terpengaruh terhadap kodisi lain yang dapat secara permanen
mempengaruhi operasinya, seperti lemak pelumas atau deposit lainnya atau atmosfir
yang korosive.
A-11.1.1. Detektor asap yang diletakkan pada daerah terbuka dianjurkan detektor jenis
saluran (duct) dikarenakan efek pengenceran di dalam saluran udara.
A-11.3.2.2. Detektor yang didaftar untuk kehadiran kecepatan aliran udara dapat
dipasangkan pada bukaan dimana udara kembali memasuki sistem udara kembali bersama.
Detektor dipasangkan sampai ke 0,3 m (12 inci) di depan dari atau belakang dari bukaan
dan diberi jarak mengikuti dimensi bukaan berikut :
1). Lebar
s/d 90 cm (36 inci) satu detektor terpusat pada
gambar A.11.3.2.2.(a).
bukaan.
s/d 180 cm (72 inci) dua detektor diletakkan pada
gambar A.11.3.2.2.(a).
titik ¼ dari bukaan.
lebih dari 180 cm satu detektor tambahan
gambar A.11.3.2.2.(a)
(72 inci) untuk setiap 60 cm (24 inci)
2). Kedalaman
Jumlah dan jarak dari detektor-detektor pada kedalaman (vertikal) dari bukaan
haruslah sama seperti yang diberikan untuk lebar (secara horisontal) di atas.
3). Orientasi.
Detektor haruslah diorientasikan pada posisi yang paling baik (favorit) untuk
masuknya asap dengan memperhatikan kepada arah aliran udara. Jalur dari
sebuah detektor jenis sinar terproyeksi menyeberangi/memotong bukaan udara

62 dari 165
SNI 03-3985-2000

kembali harus dipertimbangkan kesamaan/ekivalen di dalam cakupan kepada


suatu baris detektor individu.

Gambar A-11.3.2.2.(a).

Gambar A-11.3.2.2.(b).: Perletakan detektor asap pada sistem udara kembali untuk operasi
selektif dari peralatan.

63 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-11.3.2.2.( c) : (Perletakan detektor di dalam ducting yang melewati menembus


kompartementasi asap yang tidak dilayani dengan ducting).

Gambar A-11.5.4.3.2. : Perletakan detektor.

64 dari 165
SNI 03-3985-2000

Gambar A-11.5.4.3.3. : Perletakan detektor

65 dari 165
SNI 03-3985-2000

Apendiks – B
Jarak antara dan kepekaan

Lampiran ini bukanlah bagian dari dokumen standard ini, namun ikut disertakan untuk tujuan
informasi saja.

B-1. Umum

B-1.1. Suatu detektor akan bekerja secara normal / biasa lebih cepat dalam
pendeteksian api jika itu lebih dekat ke api.
B-1.2. Secara umum, ketinggian adalah dimensi tunggal yang sangat penting bilamana
ketinggian langit-langit mencapai 4,9 m (16 ft).
B-1.3. Sebagaimana asap dan panas timbul dari api, mereka cenderung untuk
menyebar dalam bentuk yang umum suatu kerucut terbalik. Karenanya, konsentrasi di
dalam kerucut berubah secara terbalik sebagai variabel fungsi eksponensial dari jarak
terhadap sumber. Efek ini adalah sangat bermakna pada tahap dini dari api saat sudut dari
kerucut adalah lebar sebagai suatu progres dari api dalam intensitas, sudut dari kerucut
menyempit dan makna dari efek ketinggian adalah mengecil.

B-1.4. Langit-langit.
Sebagaimana ketinggian langit-langit meningkat, ukuran api yang lebih besar dibutuhkan
untuk menggerakkan detektor yang sama pada waktu yang sama. Dalam pandangan ini,
adalah diharuskan bahwa perencana dari suatu sistem pendeteksian kebakaran dalam
penggunaan detektor panas mempertimbangkan ukuran dari api dan laju pelepasan panas
yang dapat diijinkan untuk berkembang sebelum pendeteksian akhirnya dicapai.
B-1.5. Detektor yang paling peka yang cocok (pantas) untuk temperatur maksimum
sekeliling pada ketinggian lebih dari 9,1 m ( 30 ft ) harus digunakan pada ketinggian.
B-1.6. Jarak yang direkomendasikan oleh pengujian laboratorium untuk lokasi dari
detektor adalah merupakan indikasi dari kepekaan relatifnya. Ini penerapan dengan setiap
aturan pendeteksian; walaupun demikian, pengoperasian detektor pada beragam aturan
secara fisik mempunyai perbedaan kepekaan yang menyatu terhadap perbedaan jenis api
dan bahan bakar.
B-1.7. Pengurangan dari jarak yang didaftar dapat dipersyaratkan untuk tujuan berikut
a). Reaksi yang lebih cepat dari peralatan terhadap api.
b). Reaksi dari peralatan terhadap api yang lebih kecil.
c). Mengakomodasi ukuran geometrik dari ruangan.
d). Pertimbangan khusus lainnya, seperti aliran udara atau plafon atau halangan lainnya.

66 dari 165
SNI 03-3985-2000

Apendiks - C
Panduan untuk jarak bagi detektor api otomatik
Lampiran ini bukanlah bagian dari dokumen persyaratan standar ini, tetapi disertakan hanya
untuk tujuan informasi saja.

C.1. Penjelasan

C.1.1. Lingkup
Lampiran ini sebagai informasi tambahan dari standar mengenai detektor kebakaran yang
mencakup prosedur untuk menentukan jarak detektor panas didasarkan pada ukuran dan
laju pertumbuhan dari suatu api yang akan dideteksi, pada beragam ketinggian langit-langit,
dan temperatur sekeliling.
Pengaruh ukuran ketinggian langit-langit dan laju pertumbuhan dari suatu api yang menyala
terhadap jarak detektor asap perlu diperhatikan. Selain itu ditampilkan pula prosedur untuk
menganalisa respon dari sistem detektor panas yang sudah ada (existing)
C.1.1.1. Lampiran ini mempergunakan hasil penelitian api yang dilakukan oleh institusi
pendeteksi kebakaran, guna melengkapi data pengujian dan analisa peralatan pendeteksi,
dimana NFPA menggunakannya sebagai acuan.
C.1.1.2. Lampiran ini didasarkan pada pengujian api skala penuh yang di dalamnya
semua api merupakan nyala api yang membesar secara geometris.
C.1.1.3. Panduan yang diterapkan pada detektor asap terbatas pada suatu analisis
teoritikal yang didasarkan atas data pengujian nyala api dan tidak dimaksudkan untuk
mendeteksi tanpa nyala api (membara).
C.1.2. Maksud
Maksud dari lampiran ini untuk membantu para ahli perancang sistem alarm kebakaran yang
menaruh perhatian terhadap masalah jarak antara dari detektor panas atau detektor asap.
C.1.2.1. Apendiks ini dimaksudkan untuk melengkapi metode modifikasi jarak terdaftar
dari detektor panas jenis laju kenaikan panas dan detektor jenis temperatur-tetap yang
disyaratkan untuk mencapai respon detektor terhadap suatu nyala api yang membesar
secara geometris, pada suatu ukuran api yang spesifik, mengikutkan di dalam perhitungan
ketinggian dari langit-langit dimana detektor dipasangkan. Prosedur ini juga membolehkan
modifikasi terhadap jarak yang "terdaftar" dari detektor panas jenis temperatur-tetap guna
perhitungan untuk variasi dari temperatur sekeliling (Ta) terhadap kondisi pengetesan
standar.
C.1.2.1.1. Apendiks ini dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran api yang dapat
dideteksi oleh sederetan detektor panas "terdaftar" yang terpasang pada suatu jarak antara
yang diberikan untuk suatu ketinggian langit-langit pada kondisi sekeliling yang telah
diketahui.
C.1.2.2. Lampiran juga dimaksudkan untuk menjelaskan pengaruh laju pertumbuhan api
dan ukuran api dari suatu nyala api, begitu pula pengaruh ketinggian langit-langit terhadap
jarak detektor asap.
C.1.2.3. Metodologi perancangan ini mempergunakan teori pengembangan api, dinamika
percikan api , dan kinerja detektor, yang kesemuanya merupakan faktor utama yang

67 dari 165
SNI 03-3985-2000

mempengaruhi respon dari detektor. Bagaimanapun, itu tidak mempertimbangkan


beberapa fenomena yang lebih kecil, di mana secara umum, tidak memungkinkan
mempunyai pengaruh yang berarti. Suatu diskusi mengenai rintangan langit-langit, rugi-rugi
panas pada langit-langit, radiasi dari api pada detektor, re-radiasi panas dari detektor ke
sekelilingnya, dan panas dari campuran antara bahan “eutectic” di dalam elemen yang dapat
lebur dari suatu detektor panas dan kemungkinan pembatasannya pada metode
perancangan yang diberikan pada referensi .
C.1.3. Hubungan jarak antara yang "terdaftar"
Jarak antara yang terdaftar untuk detektor panas didasarkan atas pembakaran api yang
besar secara relatif (kira-kira 1200 Btu/detik) pada laju yang konstan. {jarak antara "terdaftar"
didasarkan pada jarak dari suatu api dimana derajat panas dari suatu detektor panas biasa
bekerja sebelum bekerjanya suatu sprinkler 71,1°C (160°F) yang terpasang dengan jarak
antara 3 m (10 ft), lihat gambar A.5.5.1. (a) }.
Jarak antara perancangan untuk api jenis ini dapat ditentukan dengan menggunakan bahan
seperti dijelaskan pada pasal 5.
Jika apinya kecil dan laju pertumbuhannya bervariasi harus dipertimbangkan, perencana
boleh menggunakan bahan yang ditunjukkan dalam apendiks ini.

C.2. Pertimbangan pertumbuhan api dan ketinggian langit-langit

C.2.1. Umum
Tujuan dari apendiks ini adalah mendiskusikan tentang ketinggian langit-langit dan seleksi
ambang ukuran api, yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan jenis dan jarak
dari detektor api otomatik di dalam suatu situasi yang spesifik.
C.2.2. Pertumbuhan api
C.2.2.1. Pertumbuhan api akan beragam tergantung pada karakteristik pembakaran dari
bahan bakar yang digunakan dan konfigurasi fisik dari bahan bakar itu setelah menyala,
kebanyakan api membesar dalam suatu pola percepatan.
C-2.2.2. Ukuran api
C-2.2.2.1. Api dapat dibuat karakteristiknya terhadap laju pelepasan panasnya, diukur
dalam satuan Btu per detik ( kW ) yang ditimbulkannya. Laju pelepasan panas maksimum
tipikal untuk sejumlah bahan bakar yang berbeda dan konfigurasi bahan bakar ditunjukkan
dalam tabel C-2.2.2.1 (a) dan (b).
Tabel C-2.2.1. (a) : Laju pelepasan panas maksimum.

Qm = q.A.
Dimana :
Qm = Laju pelepasan panas maksimum ( Btu/detik ).
2
q = Densiti pelepasan panas ( Btu/detik/ft ).
2
A = Luas lantai ( ft ).
Laju pelepasan panas per unit luas lantai berikut untuk pembakaran menyeluruh, dengan asumsi efisiensi
pembakaran 100%. Waktu pembesaran yang ditunjukkan dibutuhkan untuk laju pelepasan panas lebih dari 1000
Btu/detik untuk pertumbuhan api dengan asumsi 100 persen efisiensi pembakaran.
(PE = polyethylene; PS = polysterene; PVC = polyvinyl chloride; PP = polypropylene; PU = polyurethane; FRP =
fiberglass-reinforced polyster).

68 dari 165
SNI 03-3985-2000

Bahan dalam gudang

Waktu Densiti Klasifikasi


membesar pelepasan (l–lambat)
nya (detik) panas (q) (m-menengah)
(c – cepat)
1 Palet kayu, ditumpuk setinggi 1½ ft (kelembaban 6 ~ 12%). 150 ~ 310 110 m-c
2 Palet kayu, ditumpuk setinggi 5 ft. (kelembaban 6 ~ 12%). 90 ~ 190 330 c
3 Palet kayu, ditumpuk setinggi 10 ft. (kelembaban 6 ~ 12%). 80 ~ 110 600 c
4 Palet kayu, ditumpuk setinggi 16 ft. (kelembaban 6 ~ 12%). 75 ~ 105 900 c
5 Kotak surat, diisi, disimpan setinggi 5 ft. 190 35 c
6 Karton, dikelompokkan, ditumpuk setinggi 15 ft. 60 200 c
7 Kertas, rol tegak, ditumpuk setinggi 20 ft. 15 ~ 28 - c
8 Katun ( juga PE, PE/katun, Acrylic/Nylon/PE), garmen 20 ~ 42 - +
dalam rak setinggi 12 ft.
9 Karton yang disimpan pada rak palet setinggi 15 ~ 30 ft. 40 ~ 280 - m-c
10 Produk kertas, di pak padat dalam karton, disimpan dalam 470 - m-l
rak setinggi 20 ft.
11 Tray surat dari PE, diisi, ditumpuk setinggi 5 ft pada 190 750 c
gerobak.
12 Tong sampah dari PE dalam karton yang ditumpuk setinggi 55 250 +
15 ft.
13 Pancuran dari FRP dalam karton, ditumpuk setinggi 15 ft. 85 110 +
14 Botol PE di pak dalam item 6. 85 550 +
15 Botol PE di dalam karton, ditumpuk setinggi 15 ft. 75 170 +
16 Palet PE, ditumpuk setinggi 3 ft. 130 - c
17 Palet PE, ditumpuk setinggi 6 ~ 8 ft. 30 ~ 55 - +
18 Kasur PU, horisontal tunggal. 110 - c
19 Papan isolasi PF, busa padat, ditumpuk setinggi 15 ft. 8 170 +
20 Botol PS di pak dalam item 6. 55 1200 +
21 Bak PS yang dikumpulkan dalam karton, ditumpuk setinggi 105 450 c
14 ft.
22 Bagian boneka PS dalam karton, ditumpuk setinggi 14 ft. 110 180 c
23 Papan isolasi PS, padat, ditumpuk setinggi 14 ft. 7 290 c
24 Botol PVC di pak dalam item 6. 9 300 +
25 Bak PP yang di pak dalam item 6. 10 390 +
26 Film PP dan PE dalam rol, ditumpuk setinggi 14 ft. 40 350 +
27 Spiritus dari destilasi dalam barrel, ditumpuk setinggi 20 ft. 23 ~ 40
28 Methyl alkohol - 65 -
29 Gasoline - 200 -
30 Kerosene - 200 -
31 Minyak Diesel - 180 -

Catatan :
+ Laju pertumbuhan api melebihi data rancangan.
Untuk unit SI : 1 ft = 0,305 m.

69 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C.2.2.1.(b) : Laju pelepasan panas maksimum dari analisa institusi deteksi kebakaran

Nilai kira-kira
Btu/detik
1 Keranjang sampah medium dengan karton susu. 100
2 Tong besar dengan karton susu. 140
3 Kursi dengan pendukung dari busa polyurethane 350
4 Kasur busa latex (panas pada pintu ruang) 1200
5 Perabot ruang duduk (panas pada pintu terbuka) 4000 ~ 8000

C.2.2.2.2. “The National Bureau of Standard / USA” telah mengembangkan suatu


kalorimeter skala besar untuk mengukur laju pelepasan panas dari pembakaran barang
perabot. Dua laporan yang diterbitkan oleh NBS itu (referensi 5 dan 7) menyebutkan tentang
peralatan dan data yang dikumpulkan selama dua seri pengujian.
Data uji dari pengujian kalorimeter terhadap empat puluh buah perabot telah digunakan
untuk pembuktian secara individu terhadap hukum tenaga ( power-law ) dari model
pertumbuhan api, Q = X.t². Disini Q adalah laju pelepasan panas sesaat. X adalah alpha,
,koefisien intensitas kebakaran, dan t adalah waktu.
Waktu pertumbuhan api, tg , secara arbitrasi ditentukan sebagai waktu, yaitu setelah
pembakaran dilakukan, ketika api akan mencapai laju pembakaran 1000 Btu/detik.
dinyatakan dengan besaran tg :
X = 1000 / tg² = Btu.detik 3 atau kW/detik².
dan
Q = (1000 / tg²).t² = Btu/detik atau kW.
Grafik data pelepasan panas dari pengujian kalorimeter terhadap ke 40 perabot itu dapat
dilihat pada referensi 8 (NFPA). Kurva yang terbaik dari hukum-tenaga pertumbuhan api
telah disaling-tumpangkan (superinposed) pada grafik.
Data dari kurva yang terbaik dapat digunakan bersama apendik ini untuk merancang atau
menganalisa sistem pendeteksian api yang harus merespon bahan serupa yang terbakar di
bawah langit-langit yang rata. Tabel C-2.2.2.2. adalah rangkuman dari seluruh data
tersebut.
Sebagai acuan, tabel berisi nomor-nomor pengujian digunakan pada laporan NBS yang asli.
Waktu sebenarnya yang asli, tv adalah waktu dimana api mulai mengikuti hukum tenaga dari
model pertumbuhan api. Sebelum mencapai tv, bahan bakar dapat membara (terbakar tanpa
nyala), tetapi tidak membakar hebat dengan nyala yang terbuka.
Model kurva kemudian diprediksi melalui:
Q = X (t – Tv)²
atau
Q = (1000/tggg).(t – tv)² = BTU / detik atau kW
Untuk pengujian 19, 22, 29, 42 dan 67, kurva hukum tenaga yang berbeda digunakan untuk
mengawali dan selanjutnya membakar model. Dalam contoh seperti ini ahli teknik harus
memilih parameter pertumbuhan api yang menjelaskan dengan baik bidang pembakaran
yang mana dari sistem pendeteksian dirancang untuk merespon.

70 dari 165
SNI 03-3985-2000

Dalam tambahan data laju pelepasa panas, laporan NBS asli berisi data tentang konversi
dan radiasi tertentu dari contoh pengujian. Data ini dapat digunakan untuk menentukan
ambang ukuran api (laju pelepasan panas), pada mana keadaan pertumbuhan menjadi
membahayakan atau bila tambahan paket bahan bakar menjadi terlibat dalam api.

Tabel C-2.2.2.2 : Laju pelepasan panas perabotan.

Klasifikasi
Laju
pelepasa
No. Massa Waktu l-lambat. ALPHA Waktu
Item n panas
TEST (kg) pertumbuhan m-sedang. (X) virtual
2 maksimu
(t), detik. c-cepat kW/detik detik
m
kW
TEST 15 Gantungan baju logam 41,4 50 c 0,4220 10 750
TEST 18 Kursi F33 (kaki tiga) 39,2 400 s 0,0066 140 950
TEST 19 Kursi F21 28,15 175 s 0,0344 110 350
TEST 29 Kursi F21 28,15 50 c 0,4220 190 2000
TEST 21 Gantungan baju logam 40,8 250 s 0,0169 10 250
TEST 21 Gantungan baju logam 40,8 120 c 0,0733 60 250
TEST 21 Gantungan baju logam 40,8 100 c 0,1055 30 140
TEST 22 Kursi F24 28,3 350 s 0,0086 400 700
TEST 23 Kursi F23 31,2 400 s 0,0066 100 700
TEST 24 Kursi F22 31,9 2000 l 0,0003 150 300

TEST 25 Kursi F26 19,2 200 s 0,0264 90 800


TEST 26 Kursi F27 29,0 200 s 0,0264 360 900
TEST 27 Kursi F29 14,0 100 c 0,1055 70 1850
TEST 28 Kursi F28 29,2 425 l 0,0058 90 700
TEST 29 Kursi F25 27,8 60 c 0,2931 175 700
TEST 29 Kursi F25 27,8 100 c 0,1055 100 2000
TEST 30 Kursi F30 25,2 60 c 0,2931 70 950
TEST 31 Kursi F31 (santai) 39,6 60 c 0,2931 145 2600
TEST 37 Kursi F31 (santai) 40,40 80 c 0,1648 100 2750
TEST 38 Kursi F32 (sofa) 51,5 100 c 0,1055 50 3000

TEST 39 Lemari baju plywood 68,5 35 + 0,8612 20 3250


½ inci buatan pabrik.
TEST 40 Lemari baju plywood 68,32 35 + 0,8612 40 3500
½ inci buatan pabrik
TEST 41 Lemari baju plywood 36,0 40 c 0,6594 40 6000
1/8 inci dengan finis
tahan api.
TEST 42 Lemari baju plywood 70 c 0,2153 50 2000
1/8 inci dengan finis
tahan api
TEST 42 Pengulangan 1/8 inci 300 s 0,0117 50 5000
lemari baju plywood
TEST 43 Pengulangan ½ inci 67,62 30 + 1,1722 100 3000
lemari baju plywood.
TEST 44 Lemari baju 1/8 inci 37,26 90 c 0,1302 50 2900
plywood dengan cat
latex F.R.
TEST 45 Kursi F21 28,34 100 c 0,1055 30 2100

71 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-2.2.2.2 : Laju pelepasan panas perabotan. (lanjutan)

Klasifikasi
Laju
No. Massa Waktu l-lambat. ALPHA Waktu pelepasan
Item
TEST (kg) pertumbuhan m-sedang. (X) virtual panas
2
(t), detik. c-cepat kW/detik detik maksimum
kW
TEST 46 Kursi F21 28,34 45 + 0,5210 120 2600
TEST 47 Kursi dengan rangka 20,82 170 s 0,0365 130 250
logam, tempat duduk
busa.
30
TEST 48 Kursi sederhana 11,52 175 s 0,0344 90 950
CO7.
TEST 49 Kursi sederhana F34 15,68 200 s 0,0264 50 200
TEST 50 Kursi rangka logam, 16,52 200 s 0,0264 120 3000
tempat duduk tipis.
TEST 51 Kursi Fibreglass . 5,28 120 c 0,0733 20 35
TEST 52 Kursi plastik pasien. 11,26 275 s 0,0140 2090 700
TEST 53 Kursi rangka logam 15,54 350 s 0,0086 50 280
dengan tempat
duduk dan senderan.
TEST 54 Tempat duduk santai 27,26 500 l 0,0042 210 300
rangka logam
dengan tempat
duduk busa.
TEST 55
TEST 56 Kursi rangka kayu 11,2 350 l 0,0042 210 300
dan tempat duduk
busa latex.
TEST 57 Kursi santai rangka 54,6 150 s 0,0042 50 85
kayu dengan tempat
duduk busa

TEST 61 Lemari baju ¾ inci 120,33 150 - 0,0469 0 1200


papan partikel.
TEST 62 Lemari buku 30,39 65 c 0,2497 40 25
plywood dengan
rangka alumunium.
TEST 64 Kursi sederhana dari 15,98 1000 l 0,0011 750 450
rangka Flexible
Urethene
TEST 66 Kursi sederhana 23,02 76 c 0,1827 3700 600
TEST 67 Kasur pegas 62,36 350 s 0,0086 400 500
TEST 67 Kasur pegas 62,36 1100 l 0,0009 90 400
Catatan :
+ = Pertumbuhan api melebihi data perancangan.
Untuk unit SI: 1 ft = 0,305 m. 1000 Btu/detik = 1055 kW, 1 lb = 0,456 kg.
2 2
Q = X.( t – tv ) = 1000.( t / tg ) .

C.2.2.2.3. Suatu sistem pendeteksian api dapat dirancang untuk mendeteksi kebakaran
pada suatu ukuran tertentu dalam besaran laju pelepasan panasnya. Ini disebut ambang
ukuran api, Qd. Ukuran ambang adalah laju pelepasan panas pada mana pendeteksian
diinginkan.

72 dari 165
SNI 03-3985-2000

C.2.2.2.4. Ambang ukuran api dipertimbangkan di dalam apendik ini, rentangnya dari 105
kW (100 Btu/detik) sampai 2110 kW (2000 Btu/detik).
C.2.2.3. Pertumbuhan api
C.2.2.3.1. Pertimbangan penting kedua menyangkut pertumbuhan api adalah waktu (tg)
bagi api untuk mencapai suatu laju pelepasan panas yang diberikan. Tabel C-2.2.2.1. (a)
dan tabel C-2.2.2.2. menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pelepasan
panas 1055 kW (1000 Btu/detik) untuk suatu variasi bahan dalam bermacam konfigurasi.
C.2.2.3.2. Untuk penggunaan dari apendik ini, api diklasifikasikan sebagai api yang
pertumbuhannya lambat, sedang, atau cepat.
C.2.2.3.2.1. Perkembangan api secara lambat didefinisikan sebagai suatu yang akan
mengambil waktu 400 detik atau lebih (6 menit, 40 detik) dari waktu dimana nyala terbuka
terjadi sampai api itu mencapai suatu laju pelepasan panas 1055 kW (1000 Btu/detik).
C.2.2.3.2.2. Perkembangan api secara medium adalah sesuatu yang akan mengambil
waktu 150 detik (2 menit, 30 detik) atau lebih dan kurang dari 400 detik (6 menit, 40 detik)
dari saat nyala terbuka terjadi sampai api itu mencapai satu laju pelepasan panas 1055 kW
(1.000 Btu/detik).
C.2.2.3.2.3. Perkembangan api secara cepat adalah sesuatu yang dapat mengambil
waktu kurang dari 150 detik (2 menit, 30 detik) dari waktu dimana nyala terbuka terjadi
sampai api mencapai suatu laju pelepasan panas 1055 kW (1.000 Btu/detik).
C.2.2.3.3. Api rancangan yang digunakan di dalam panduan ini berkembang
mengikuti rumus sebagai berikut ; Q= [ 1.000 / (tg)2 ].t2, dimana Q adalah laju pelepasan
panas dalam Btu / detik ; tg adalah waktu pertumbuhan api (149 detik = cepat, 150 ~ 399
detik = medium, 400 detik = lambat ); dan t adalah waktu didalam detik, setelah nyala
terbuka terjadi.
C.2.2.4. Seleksi ukuran api
Seleksi ambang batas ukuraan api, Qd, sebaiknya didasarkan pada suatu pengertian dari
karakteristik ruang yang dispesifik dan sasaran keselamatan kebakaran untuk ruang
tersebut.
Sebagai contoh, dalam suatu instalasi khusus mungkin diinginkan untuk mendeteksi suatu
kebakaran dari tipikal keranjang sampah. Tabel C.2.2.2.1 (b) termasuk kebakaran yang
meliputi suatu deretan pembakaran yang dapat dibandingkan, secara spesifik karton susu di
dalam keranjang sampah. Kebakaran seperti itu diindikasi memproduksi laju pembakaran
puncak 100 BTU/detik.
C.2.3. Ketinggian langit-langit.
C.2.3.1. Data dari Institusi Pendeteksi Api (di Amerika Serikat), didasarkan pada
ketinggian langit-langit di atas api. Dalam panduan ini, direkomendasikan agar perancang
menggunakan jarak antara yang aktual dari lantai ke langit-langit, berhubung ketinggian
langit-langit akan itu menjadi lebih konservatif dan reaksi (respons) detektor aktual akan
meningkat ketika bahan bakar yang potensial di dalam ruang berada diatas ketinggian lantai.
C.2.3.2. Bilamana Perancang menginginkan untuk mempertimbangkan ketinggian dari
bahan bakar yang potensial didalam ruang, jarak antara bahan bakar dan langit-langit harus
digunakan sebagai ketinggian langit-langit. Ini perlu dipertimbangkan hanya bila ketinggian
umum dari bahan bakar potensial adalah selalu konstan, dan apabila konsep diterima oleh
instansi yang berwenang.

73 dari 165
SNI 03-3985-2000

C-3. Detektor panas

C.3.1. Umum
C.3.1.1. Bagian ini mendiskusikan prosedur untuk menentukan jarak pemasangan dari
detektor panas "terdaftar" yang digunakan untuk mendeteksi api yang menyala.
C.3.1.2. Penentuan jarak terpasang dari detektor panas yang menggunakan prosedur ini
menyesuaikan jarak antara "terdaftar" guna menunjukkan efek dari ketinggian langit-langit,
ambang/batasan ukuran api, laju pertumbuhan api, dan, untuk detektor jenis temperatur-
tetap, temperatur sekeliling dan rentang temperatur dari detektor.
C.3.1.3. Faktor lain yang akan mempengaruhi reaksi / respon detektor diperlakukan
dalam Bab/bagian 4 dari standar.
C-3.1.4. Perbedaan antara temperatur rated (Ts) dari sebuah detektor temperatur-tetap
dan temperatur sekeliling maksimum (To) pada langit-langit haruslah sekecil mungkin. Untuk
mengurangi alarm yang tidak diinginkan ; jarak antara temparatur operasi (kerja) dan
temperatur sekeliling harus tidak kurang dari 14°C ( 25 °F ).
C.3.1.5. Detektor laju kenaikan temperatur "terdaftar" dirancang untuk bereaksi pada
temperatur nominal 8,3 °C / menit ( 15°F/menit ).
C.3.1.6. Jarak antara "terdaftar" dari sebuah detektor adalah suatu indikator dari
kepekaan detektor. Dengan rentang temperatur yang sama, suatu detektor "terdaftar" untuk
jarak 15,2 m ( 50 ft ) adalah lebih peka daripada detektor "terdaftar" untuk jarak 6,1 m (20 ft ).
C.3.1.7. Jika menggunakan detektor kombinasi yang berhubungan dengan prinsip deteksi
panas temperatur tetap dan laju kenaikan untuk mendeteksi pertumbuhan api secara
geometris, data detektor laju kenaikan ini sebaiknya digunakan dalam memilih jarak antara
pemasangan karena laju kenaikan mengontrol respon.
C.3.1.8. Detektor laju kompensasi tidak secara khusus dicakup dalam panduan ini,
Walaupun demikian, pendekatan konservatif untuk memprediksi kinerjanya menggunakan
panduan temperatur tetap dalam isinya.
C.3.2. Jarak antara detektor pnas temperatur-tetap.
C.3.2.1. Tabel C.3.2.1.1. dan C.3.2.1.2 ( a ) sampai ( j ) digunakan untuk menentukan
jarak antara pemasangan detektor panas temperatur tetap. Dasar analisis untuk tabel
ditunjukkan dalam apendiks ini. Bagian ini menjelaskan bagaimana tabel digunakan.
C.3.2.1.1. Kecuali untuk ketinggian langit-langit, nilai yang mendekati ditunjukkan dalam
tabel akan memberikan akurasi yang cukup untuk perhitungan ini. Interpolasi dibolehkan
tetapi tidak penting kecuali untuk ketinggian langit-langit.

74 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C.3.2.1.1.: Konstant waktu untuk setiap detektor yang terdaftar.


(DET TC) (detik)*

Jarak Semua
antara 1280 1350 1450 1600 1700 1960 temp.
(ft) FM
110 400 330 262 195 160 97 195
15 250 190 156 110 89 45 110
20 165 135 105 70 52 17 70
25 124 100 78 48 32 48
30 95 80 61 36 22 36
40 71 57 41 18
50 59 44 40
70 36 24 9
Catatan :
1. Konstanta waktu ini didasarkan pada analisis prosedur uji dari UL dan FM. Uji loncatan yang
ditunjukkan pada detektor akan digunakan memberikan konstanta akurasi yang lebih. Lihat
butir C.6 dari apendiks ini untuk diskusi lebih lanjut dari konstanta waktu dari detektor.
2. Konstanta waktu ini dapat dirubah menjadi angka indeks waktu respon (IWR) dengan
mengalikan √5 ft/detik. (lihat C.6.3).
* Pada kecepatan referensi 5 ft/detik.
C.3.2.2. Dengan menggunakan jarak antara "terdaftar" (“listed”) yang diberikan dan laju
temperatur detektor ( Ts ), dari tabel C.3.2.1.1 akan ditemukan konstanta waktu detektor
(Det TC).
Konstanta waktu adalah ukuran kepekaan detektor. Lihat pada bagian C.5.
C.3.2.2.1. Indeks waktu tanggap waktu ( RTI = Response Time Index ) dapat juga
digunakan untuk menjelaskan kepekaan dari suatu detektor panas jenis temperatur-tetap.
Llihat bagian C.6.

75 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C.3.2.1.2. (a)


Ambang ukur api pada respons ; 250 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 50 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,400 Btu / detik 3

76 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-3.2.1.2. (b)


Ambang ukur api pada respons ; 250 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 150 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,044 Btu / detik 3

77 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C.3.2.1.2.( c ).
Ambang ukur api pada respons ; 300 detik ke 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 300 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,011 Btu / detik 3

78 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( d )
Ambang ukur api pada respons ; 250 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 500 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,004 Btu / detik 3

79 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( e )
Ambang ukur api pada respons ; 250 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 600 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,003 Btu / detik 3

80 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( f )
Ambang ukur api pada respons ; 500 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 50 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,400 Btu / detik 3

81 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( g )
Ambang ukur api pada respons ; 500 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 150 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,044 Btu / detik 3

82 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( h )
Ambang ukur api pada respons ; 500 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 300 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,011 Btu / detik 3

83 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( i )
Ambang ukur api pada respons ; 500 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 500 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,004 Btu / detik 3

84 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( j )
Ambang ukur api pada respons ; 500 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 600 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,003 Btu / detik 3

85 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( k )
Ambang ukur api pada respons ; 750 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 50 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,400 Btu / detik 3

86 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( l )
Ambang ukur api pada respons ; 750 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 150 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,044 Btu / detik 3

87 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( m )
Ambang ukur api pada respons ; 750 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 300 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,011 Btu / detik 3

88 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( n )
Ambang ukur api pada respons ; 750 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 500 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,004 Btu / detik 3

89 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( o )
Ambang ukur api pada respons ; 750 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 600 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,003 Btu / detik 3

90 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( p )
Ambang ukur api pada respons ; 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 50 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,400 Btu / detik 3

91 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( q )
Ambang ukur api pada respons ; 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 150 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,044 Btu / detik 3

92 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( r )
Ambang ukur api pada respons ; 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 300 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,011 Btu / detik 3

93 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( s )
Ambang ukur api pada respons ; 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 500 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,004 Btu / detik 3

94 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( t )
Ambang ukur api pada respons ; 1000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 600 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,003 Btu / detik 3

95 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-3.2.1.2.(u).
Ambang ukur api pada respons ; 2000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 50 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,400 Btu / detik 3

96 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-3.2.1.2.(v).
Ambang ukur api pada respons ; 2000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 150 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,044 Btu / detik 3

97 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-3.2.1.2.(w).
Ambang ukur api pada respons ; 2000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 300 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,011 Btu / detik 3

98 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C-3.2.1.2.(x)
Ambang ukur api pada respons ; 2000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 500 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,004 Btu / detik 3

99 dari 165
SNI 03-3985-2000

Tabel C -3 -2.1.2 ( y )
Ambang ukur api pada respons ; 2000 Btu / detik.
Nilai pertumbuhan api ; 600 detik pada 1000 Btu / detik
Apha ; 0,003 Btu / detik 3

100 dari 165


SNI 03-3985-2000

C.3-2.3. Memperkirakan temperatur sekeliling minimum (To) diharapkan pada langit-langit


dari ruang yang diproteksi. Hitung perubahan temperatur ∆T dari detektor yang disyaratkan
untuk pendeteksian (∆T = To - To).
C.3.2.4. Dengan telah menentukan kepekaan detektor (konstanta waktu atau RTI)
(C.3.2.2.), perubahan temperatur dari detektor disyaratkan untuk pendeteksiaan (C.3.2.3),
ambang batasan ukuran api (C.2.2.2.), nilai pertumbuhan api (C.2.2.3), dan ketinggian
langit-langit, gunakan tabel C.3.2.1.2 (a) sampai (y) untuk menentukan jarak pemasangan
yang disyaratkan.
Indeks tabel rancangan

C.3.2.5. Contoh
a). Diketahui :
1). Tinggi langit-langit = 8 ft.
2). Jenis detektor :
Temperatur tetap.
Jarak antara 30 ft , terdaftar pada UL.
Laju temperatur 1350F.
tg = 600 detik ( X = 0,003 Btu/detik3).
Temperatur sekeliling minimum = 550F.

101 dari 165


SNI 03-3985-2000

b). Jarak antara :


1) Dari tabel C.3.2.1.1, konstanta waktu dari detektor = 80 detik.
1 1
2). ( RTI = 80 5 = 180 ft 2
detik 2
).
0
3). ∆T = Ts – T0 = 135 – 55 = 80 F.
4). Dari tabel C.3.2.1.1.(j):
Untuk DET TC = 75 detik Æ jarak antara = 17 ft.
Untuk DET TC = 100 detik Æ jarak antara = 16 ft.
Dengan interpolasi :
Jarak antara = 17 – { (17.16) (80-75/100-75)} = 16,8 ft.
Catatan ;
Jika ketinggian langit-langit 16 ft, jarak antaranya 8,8 ft. Menggunakan detektor dengan contoh
diatas, pada ketinggian langit-langit 28 ft, tidak ada jarak antara praktis dapat menjamin pendeteksian
api pada ambang ukuran api 500 Btu / detik. Suatu detektor yang lebih peka akan diperlukan untuk
digunakan. Hasil - hasil ini menunjukkan secara jelas kebutuhan untuk mempertimbangkan ketinggian
langit-langit dalam merancang sistem pendeteksian.
C.3.3. Jarak antara detektor panas jenis laju kenaikan temperatur
C.3.3.1. Tabel 3.3.2 dan tabel Tabel 3.3.3 digunakan untuk menentukan jarak terpasang
detektor panas jenis laju kenaikan temperatur. Basis analitikal untuk tabel diberikan pada
butir C.6 dari apendik ini, Butir ini menunjukkan bagaimana tabel - tabel digunakan.
C.3.3.2. Tabel C.3.3.2. menyediakan jarak pemasangan untuk detektor jenis laju
kenaikan temperatur yang disyaratkan untuk mencapai pendeteksian kepada suatu
ambang/batasan ukuran api spesifik, nilai pertumbuhan api, dan ketinggian langit-langit.
Tabel ini dapat digunakan secara langsung untuk menentukan jarak pemasangan untuk
detektor dengan jarak anatara "terdaftar" 5,2 m (50 ft).
C.3.3.3. Untuk detektor panas jenis laju kenaikan temperatur dengan suatu jarak antara
"terdaftar" yang lain dari 15,2 m (50 ft), jarak pemasangan yang diperoleh dari tabel C.3.3.2
harus dikalikan dengan angka "modifier" yang ditunjukkan pada tabel C.3.3.3. untuk
ketepatan jarak terdaftar dan nilai pertumbuhan api. Ini dimaksudkan ke dalam perhitungan
perbedaan dalam kepekaan antara detektor dari suatu 15,2 m (50 ft) detektor jarak
"terdaftar".
Tabel C.3.3.3.: "Spacing Modifier" untuk detektor temperatur jenis laju kenaikan temperatur)
Jarak
Nilai pertumbuhan api
terdaftar
( ft ) Lambat Medium Cepat
15 0,57 0,55 0,45
20 0,72 0,63 0,62
25 0,84 0,78 0,76
30 0,92 0,86 0,85
40 0,98 0,96 0,95
50 1,00 1,00 1,00
70 1,01 1,01 1,02

102 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.3.3.2.
Jarak antara pemasangan untuk detektor panas jenis laju kenaikan tenperatur,
ambang/batasan ukuran api, nilai pertumbuhan api.

C.3.3.4. Dengan telah menentukan ambang/batasan ukuran api (C.2.2.2), nilai


pertumbuhan api (C.2.2.3), jarak detektor terdaftar, dan ketinggian langit-langit, gunakanlah
tabel C.3.3.2. untuk menentukan jarak yang benar detektor dengan jarak anatar "terdaftar"
untuk 15,2 m (50 ft). Gunakan tabel C.3.3.3. Untuk menentukan "spacing modifier" Dapatkan
jarak instalasi yang disyaratkan dengan memperkalikan jarak yang terkoreksi dengan
"spacing modifier".
Contoh C.3.3.4.
a). Diketahui :
1). Ketinggian langit-langit = 3,7 m ( 12 ft ).

103 dari 165


SNI 03-3985-2000

2). Jenis detektor :


Kombinasi laju kenaikan temperatur dan temperatur tetap. Jarak antara terdaftar
= 9,1 m ( 30 ft ).
3). Qd = 500 Btu/detik ( 527 kW ).
4). Nilai pertumbuhan api : sedang.
b). Jarak antara :
1). Dari tabel C.3.3.2, jarak antara pemasangan 5,5 m ( 18 ft ).
2). Dari tabel C.3.3.3, modifikasi jarak antara = 0,86.
3). Jarak antara pemasangan = 5,5 m x 0,86 = 4,7 m ( 15,5 ft ).
C.3.4. Kurva perancangan
C.3.4.1. Kurva Perancangan {Gambar C.3.4. (a) sampai (i) } dapat juga digunakan untuk
menentukan jarak pemasangan dari detektor panas, namun demikian, itu tidak konprehensif
sebagaimana pada tabel karena dalam tabel termasuk tambahan nilai pertumbuhan api,
ukuran api dan kepekaan detektor.
C.3.4.1.1. Detektor panas jenis temperatur-tetap.
Gambar C.3.4.1. (a), (b), (c), (e) dan (f) dapat digunakan secara langsung untuk menentukan
jarak antara pemasangan detektor panas jenis temperatur-tetap yang mempunyai jarak
antara "terdaftar" 9,1 m dan 15,2 m (30 ft dan 50 ft), masing - masing apabila perbedaan
antara temperatur pengenal (rated) detektor (Ts) dan temperatur sekeliling (To) adalah 18,3
°C (65 °F), tabel yang didistribusikan sebelumnya pada bagian C.3.3 dapat digunakan.
C.3.4.1.2. Detektor Panas Laju Kenaikan Temperatur
Gambar C.3.4.1, g, h dan i dapat digunakan secara langsung untuk menentukan jarak
pemasangan untuk detektor panas jenis laju kenaikan temperatur yang mempunyai jarak
antara "terdaftar" 15,2 m (50 ft).
C.3.4.1.3. Untuk menggunakan kurva, format yang sama harus diikuti sebagaimana dengan
tabel . Perancangan pertama-tama harus menentukan sebesar apa suatu api dapat
ditoleransi sebelum pendeteksian terjadi. Ini adalah ambang batas ukuran api, Qd.
Kurva menunjukkan, untuk kebanyakan kasus untuk nilai Qd = 1055,791,527,264 dan 105
kW (atau 1000, 750, 500, 250, 100 Btu / detik). Interpolasi antara nilai Qd diatas suatu grafik
yang diberikan adalah diperbolehkan. Tabel C 2.2.2.1 (a) juga berisi contoh - contoh dari
beragam bahan bakar dan nilai pertumbuhan apinya dibawah kondisi spesifik.
C.3.4.1.4. Sekali suatu ambang/batasan ukuran api dan nilai pertumbuhan api yang
diharapkan sudah diseleksi suatu jarak detektor terpasang dapat diperoleh dari gambar
C.3.4.1.a s/d i untuk suatu jarak antara "terdaftar" tertentu dari detektor, temperatur sekeliling
dan ketinggian langit-langit sebagaimana pada butir C.3.2.5, contoh 1, untuk menentukan
jarak anatara pemasangan dari detektor panas jenis temperatur-tetap. 57,2 °C (135 °F)
dengan jarak antara "terdaftar" 9,1 m (30 ft), untuk mendeteksi suatu perkembangan api
secara perlahan pada suatu ambang/batasan ukuran api 527 kW (500 Btu/detik) dalam
suatu ruangan dengan ketinggian 3 m (10 ft) dengan temperatur sekeliling 21 °C (70 °F),
prosedur berikut digunakan ;
Contoh 1.
a). Diketahui :

104 dari 165


SNI 03-3985-2000

1). Ketinggian langit-langit = 3 m ( 10 ft ).


2). Jenis detektor :
Temperatur tetap 57,20C ( 1350F ), jarak antara terdaftarnya 9,1 m ( 30 ft ).
3). Qd = 500 Btu/detik ( 527 kW ).
4). Laju pertumbuhan api : lambat.
5). Temperatur sekeliling = 21,10C ( 700F ); ∆ T = 36,10C ( 650F )..
b). Jarak antara :
Dari gambar C.3.4.1.a, menggunakan jarak antara pemasangan 5,2 m (17ft).
Perlu dicatat bahwa jika ketinggian langit-langit 4,6 m ( 15 ft ), grafik yang sama memberikan
jarak antara pemasangan 3,5 m ( 12 ft ). Ketinggian langit-langit 6,1 m ( 20 ft ) akan
membutuhkan jarak antara 2,4 m ( 8 ft ). Perubahan jarak antara ini diilustrasikan dengan
jelas kebutuhan tinggi langit-langit yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan sistem
deteksi.
C.3.4.1.5. Contoh 2 :
a). Diketahui :
1). Ketinggian langit-langit = 3 m ( 10 ft ).
2). Jenis detektor :
Kombinasi laju kenaikan temperatur dan temperatur tetap; di daftar jarak
antaranya 15,2 m ( 50 ft ).
3). Qd = 500 Btu/detik ( 527 kW ).
4). Laju pertumbuhan api = cepat.
5). Temperatur sekeliling = 21,10C ( 700 F ).; ∆ T = 36,10C ( 650F ).
b). Jarak antara :
Dari gambar C.3.4.1.i, menggunakan jarak antara 2,5 m ( 7,5 ft ).

9,1 m (30 ft) detektor temperatur tetap akan membutuhkan jarak antara 2,5 m (7,5 ft).
Jika laju pertumbuhan api lambat, seperti contoh 1, detektor laju kenaikan membutuhkan
jarak antara pemasangan 4,88 m ( 16 ft ).

105 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (a) : (Detektor panas temperatur- tetap), jarak "terdaftar" = 9,1 m (30 ft) api
lambat, T= 36,1 ° (65 °F).

106 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (b) : Detektor panas, Temperatur tetap, Jarak antara terdaftar 9,1 m (30 ft),
Api sedang, T = 36,10C ( 650F.

107 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (c): Detektor panas, Temperatur tetap, Jarak antara terdaftar 9,1 m (30 ft).
Api cepat, T = 36,10C (650F).

108 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (d) : Detektor panas, Temperatur tetap. Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft)
Api lambat, T = 36,10C (650F)

109 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (e): Detektor panas; Temperatur tetap, Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft),
Api sedang, T = 36,10C (650F).

110 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (f) : Detektor panas; Temperatur tetap, Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft),
Api cepat

111 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (g) : Detektor panas, Laju kenaikan, Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft),
Api lambat

112 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (h) : Detektor panas, Laju kenaikan, Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft),
Api sedang

113 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.3.4.1. (i) : Detektor panas, Laju kenaikan, Jarak antara terdaftar 15,2 m (50 ft),
Api cepat.

C.4. Analisis terhadap sistem pendeteksian panas existing

C.4.1. Tabel (a) sampaia (nn) dapat digunakan untuk menetukan ukuran api (nilai
pelepasan panas) yang mana pendeteksian panas temperatur-tetap existing akan merespon
terhadapnya.
Penggunaan tabel - tabel analisis adalah serupa dengan apa yang disebutkan untuk
perancangan baru. Perbedaannya adalah bahwa jarak dari detektor existing harus diketahui.

114 dari 165


SNI 03-3985-2000

Suatu perkiraan terhadap koefisien intensitas api (alpha) atau waktu pertumbuhan api, tq
harus juga dibuat untuk bahan bakar yang diperkirakan membakar.
Contoh :
a). Diketahui :
1). Ketinggian langit-langit = 8 ft.
2). Jenis detektor :
Temperatur tetap,
Jarak antara terdaftar UL = 30 ft.
Laju temperatur = 1350F.
3). Qd = 500 Btu/detik.
4). Nilai pertumbuhan api = rendah.
5). t0 = 600 detik ( X = 0,003 Btu/detik3).
6). Temperatur sekeliling minimum = 550F.
b). Ambang ukuran api :
1). Dari tabel C.3.2.1.1., konstanta waktu dari detektor = 80 detik.
2). ∆T = Ts – T0 = 135 – 55 = 800F.
3). Dari tabel C.4.1.(t) :
Untuk DET TC = 75 detik Æ Qd = 418 Btu/detik.
Untuk DET TC = 100 detik Æ Qd = 350.Btu/detik.
4). Dengan interpolasi :
Qd = 418 [ ( 75 – 80 ).( 418 – 350 )/ (75 – 100 )].
Qd = 404 Btu/detik.

115 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel Index Analisis

116 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (a) :


Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

117 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (b)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

118 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. ( c)
Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

119 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (d)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

120 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (e)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

121 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (f)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 10 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

122 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (g)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 10 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

123 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (h)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 8 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

124 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (i)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 10 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

125 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (j)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 10 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

126 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (k)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 12 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

127 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (l)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 12 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

128 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (m)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 12 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

129 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (n)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 12 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

130 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (o)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 12 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

131 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (p)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 15 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

132 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (q)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 15 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

133 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (r)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 15 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

134 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (s)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 15 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

135 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (t)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 15 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

136 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (u)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 20 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

137 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (v)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 20 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

138 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (w)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 20 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

139 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (x)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 20 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

140 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (y)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 20 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

141 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (z)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 25 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

142 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (aa)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 25 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

143 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (bb)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 25 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

144 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (cc)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 25 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

145 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (dd)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 25 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

146 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (ee)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 30 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

147 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (ff)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 30 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

148 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (gg)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 30 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

149 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (hh)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 30 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

150 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (ii)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 30 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

151 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (jj)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 50 ft.
Laju pertumbuhan api = 50 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,400 Btu/detik3

152 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (kk)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 50 ft.
Laju pertumbuhan api = 150 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,044 Btu/detik3

153 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (ll)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 50 ft.
Laju pertumbuhan api = 300 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,011 Btu/detik3

154 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (mm)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 50 ft.
Laju pertumbuhan api = 500 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,004 Btu/detik3

155 dari 165


SNI 03-3985-2000

Tabel C.4.1. (nn)


Jarak antara pemasangan detektor panas = 50 ft.
Laju pertumbuhan api = 600 detik pada 1000 Btu/detik.
Alpha = 0,003 Btu/detik3

156 dari 165


SNI 03-3985-2000

C.5. Jarak detektor asap untuk api menyala


C.5.1. Umum
C.5.1.1. Secara ideal, perletakan detektor asap haruslah didasarkan atas pengetahuan
terhadap jambul api dan pancaran aliran plafon, dari nilai produksi asap, perubahan khusus
yang dikarenakan oleh penuaan (umur alat), dan oleh karakteristik operasi yang unik dari
detektor yang digunakan.
Pengetahuan terhadap jambul dan aliran pancaran memberi kesempatan informasi tentang
jarak detektor panas yang diberikan pada butir C.3 untuk dikembangkan, celakanya,
pengetahuan itu tidak dipakai untuk asap yang berasal dari api yang membara. Pengertian
dari produksi asap dan kelambatan penuaan memandang itu dari produksi panas.
Karakteristik operasi dari detektor asap dalam lingkungan api yang spesifik tidak sering di
ukur atau dibuat ada secara umum untuk selain dari suatu bahan yang mudah terbakar yang
sangat sedikit. Seterusnya basis data existing merintangi pengembangan dari informasi
rancangan enjiniring secara yang lengkap untuk lokasi dan jarak detektor asap.
C.5.1.2. Dalam api menyala, reaksi (respons) detektor asap adalah terganggu
(dipengaruhi) oleh ketinggian langit-langit, ukuran dan nilai dari pertumbuhan api, dalam
banyak hal sama seperti reaksi detektor panas.
Energi termal dari api menyala membawa partikel asap ke pengindera asap sebagaimana itu
terjadi terhadap panas kepada detektor panas.
Sementara hubungan antara jumlah asap dan jumlah dari panas yang diproduksi oleh api
adalah sangat tergantung atas bahan bakar dari caranya terbakar. Penelitian telah
menunjukkan bahwa hubungan antara temperatur dan kerapatan optik dari sisa (bekas-
bekas) asap pada hakekatnya (sesungguhnya) konstan di dalam jambul api dan pada langit-
langit dalam kedekatan dengan jambul.
C.5.1.3. Pada api membara, energi termal juga memberikan suatu kekuatan untuk
membawa partikel asap menuju ke pengindera asap. Bagaimanapun, karena nilai dari
pelepasan energi biasanya kecil dan nilai dari pertumbuhan api adalah kecil, faktor lain
seperti aliran udara dapat mempunyai pengaruh kuat dalam pengiriman partikel asap menuju
ke pengindera asap. Sebagai tambahan, untuk api yang tidak menyala (membara) hubungan
antara temperatur dan kerapatan optik dari asap adalah tidak konstan dan karenanya tidak
begitu berguna.
C.5.1.4. Detektor asap, tanpa memperdulikan apakah mereka mendeteksi oleh
pengindera pemburaman cahaya, hilangnya transmisi cahaya (pemadaman cahaya), atau
pengurangan terhadap arus ion, adalah detektor partikel. Konsentrasi partikel, ukuran,
warna, dan ukuran distribusi mempengaruhi setiap teknologi penginderaan secara berbeda.
Secara umum diterima bahwa konsentrasi dari partikel dengan diameter sub–mikron yang
dihasilkan oleh api nyala (membara). Secara kebalikan, konstentrasi dari partikel yang lebih
besar adalah lebih banyak yang dari api tanpa menyala. Juga telah diketahui bahwa partikel
lebih kecil menimbunkan (menumpukkan) dan suatu ketika membentuk lebih banyak
mengikuti umurnya dan dibawa pergi dari sumber api. Lebih banyak penelitian diperlukan
untuk menyediakan data yang memadai untuk yang pertama memprediksi konsentrasi
partikel dan tingkah laku dan kedua untuk memprediksi refleksi / respon dari detektor khusus
/ tertentu.

157 dari 165


SNI 03-3985-2000

C.5.2. Jarak detektor asap untuk api yang menyala


C.5.2.1. Tidak seperti detektor panas, detektor asap yang terdaftar tidak memberikan
suatu jarak terdaftar. Telah menjadi kepraktisan umum untuk memasang detektor asap pada
9,1 m (30 ft) poros – poros pada langit-langit rata dengan pengurangan dilakukan secara
empiris terhadap jarak tersebut untuk langit-langit dengan balok atau balok melintang dan
untuk daerah yang mempunyai nilai pergerakan udara yang tinggi. Pengaturan terhadap
jarak untuk ketinggian langit-langit adalah juga diperlukan sebagaimana didiskusikan di
dalam ini
C.5.2.1.1. Gambar C.5.2.1.1. (a), (b) dan (c) adalah didasarkan pada pengandaian bahwa
perjalanan asap sampai ke detektor adalah secara menyeluruh dari dinamika jambul api. Itu
di asumsikan bahwa rasio dari kenaikan temperatur gas terhadap kerapatan optik dari asap
adalah tetap (konstant) dan bahwa detektor akan bekerja / bereaksi pada suatu nilai konstan
dari kerapatan optik.
Data yang ditampilkan pada gambar C.5.2.1.1 (a),(b) dan (c) secara jelas menunjukkan
bahwa jarak dipikirkan lebih besar dari 9,1 m (30 ft) dapat diterima untuk mendeteksi
pertumbuhan geometrikal api menyala ketika Qd = 1.000 Btu/detik atau lebih.
C.5.2.1.2. Pada tahap dini dari pengembangan suatu pertumbuhan api, bila nilai pelepasan
panas adalah kira – kira 250 Btu / detik, atau kurang, efek lingkungan di dalam ruang yang
mampunyai langit-langit tinggi dapat mendominasi pengiriman dari asap. Contoh untuk efek
lingkungan demikian adalah pemanasan, pendinginan, kelembaban dan ventilasi. Pelepasan
energi termal lebih besar dari api dapat diperlukan untuk mengatasi efek lingkungan
demikian. Sampai api yang bertumbuh itu mencapai suatu tingkat pelepasan panas yang
cukup tinggi, jarak lebih dekat dari detektor asap pada langit-langit akan kurang memadai
untuk meningkatkan reaksi detektor terhadap api.
Karena itu ketika mempertimbangkan ketinggian plafon sendiri, detektor asap tidak boleh
ditempatkan lebih dekat dari jarak 9,1 m (30 ft) kecuali dalam contoh yang tidak biasa
dimana suatu analisis enjiniring menunjukkan akan dihasilkan keuntungan tambahan.
Karakteristik konstruksi lainnya harus juga dipertimbangkan ; lihat bab 4 dan 9.
C.5.2.2. Metode yang digunakan untuk menentukan jarak dari detektor asap adalah
dengan yang digunakan untuk detektor panas dan ini didasarkan pada ukuran api, nilai
pertumbuhan api dan ketinggian langit-langit.
C.5.2.2.1. Dalam rangka menggunakan gambar C.5.2.1.1 (a), (b) atau (c) untuk
menentukan jarak pemasangan dari suatu detektor asap , perencana harus terlebih dahulu
menyeleksi Qd, ambang ukuran api menyala pada mana pendeteksian dikehendaki.
C.5.2.2.2. Sebagai tambahan pada ambang ukuran api menyala, Qd , perencana harus
mempertimbangkan perkiraan nilai pertumbuhan api. Gambar C.5.2.1.1 (a), (b) dan (c)
digunakan untuk pertumbuhan api yang menyala tingkat cepat, medium dan lambat, pada
gilirannya lihat tabel C.2.2.2.1 (a) untuk nilai pelepasan panas dan nilai pertumbuhan api.
C.5.2.2.3. Sebagai suatu contoh, untuk menentukan jarak pemasangan dari sebuah
detektor asap pada plafon ketinggian 9,1 m (30 ft) yang diperlukan untuk mendeteksi suatu
750 Btu / detik api yang bertumbuh pada nilai medium, gunakan C. 5.2.1.1.

158 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.5.2.1.1.a. Detektor asap – api cepat

159 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.5.2.1.1.b : Detektor asap – api sedang.

160 dari 165


SNI 03-3985-2000

Gambar C.5.2.1.1.c. : Detektor asap – api lambat.

161 dari 165


SNI 03-3985-2000

Contoh 3.
a). Diketahui :
1). Ketinggian langit-langit = 9,1 m ( 30 ft ).
2). Qd = 750 Btu/detik ( 791 kW ).
3). Laju pertumbuhan api = sedang.
b). Jarak antara :
Dari gambar C.4.2.1.1.b, menggunakan kurva 750 Btu/detik ( 791 kW ), jarak
antara pemasangan adalah 12,8 m ( 41 ft ).
Sebagai contoh lain, perhitungan suatu ketinggian langit-langit 6,1 m (20 ft) dengan ambang
ukuran api 250 Btu / detik, pertumbuhannya pada laju medium.
Contoh 4.
a). Diketahui :
1). Ketinggian langit-langit = 6,1 m ( 20 ft ).
2). Qd = 250 Btu/detik = 264 kW.
3). Nilai pertumbuhan api = sedang.
b). Jarak antara :
Dari gambar C.4.2.1.1.b, menggunakan kurva 250 Btu/detik ( 264 kW ), jarak
pemasangan detektor asap adalah 9,1 m ( 30 ft ) dimana perpotongan antara garis
vertikal 6,1 m ( 20 ft ) dan kurva Qd = 250, jatuh di dalam daerah yang remang
(bayang- bayang) di bawah jarak 9,1 m (30 ft), lihat gambar C.4.2.1.2.
Catatan :
Laju pertumbuhan api yang lambat dan cepat, keduanya akan menghasilkan jarak antara yang sama
9,1 m ( 30 ft ), menggunakan gambar C.5.2.1.(c) dan C.5.2.1.(a).
C.5.2.2.4. Jarak antara detektor asap yang kurang dari 9,1 m (30 ft) dapat digunakan untuk
pendeteksian nyala api apabila tidak terdapat detektor jenis lain dan apabila kondisi
lingkungan memungkinkan penggunaan detektor asap.

C.6. Pertimbangan teoritis

C.6.1. Pengenalan
Metode perencanaan dari lampiran ini adalah hasil bersama dari pekerjaan percobaan yang
luas dan model matematis dari panas dan menyertakan proses perpindahan massa. Bagian
ini menggaris-bawahi model dan korelasi data yang digunakan untuk menghasilkan data
perencanaan yang di paparkan dalam lampiran ini. Hanya prinsip – prinsip umum yang
disebutkan. Banyaknya informasi detail dapat ditemukan dari referensi – referensi.
C.6.2. Korelasi temperatur dan kecepatan
Dalam rangka untuk memprediksi operasi dari setiap detektor, adalah perlu untuk
mengkarakteristikkan lingkungan setempat (lokal) yang ditimbulkan oleh api pada lokasi
detektor. Untuk sebuah detektor panas, variable penting adalah temperatur dan kecepatan
dari gas pada detektor. Melalui program pengujian dengan skala penuh dan penggunaan

162 dari 165


SNI 03-3985-2000

tehnik modal matematis, penampilan umum untuk temperatur dan kecepatan pada lokasi
detektor telah di kembangkan (1,2,8,9).
Penampilan adalah berlaku untuk api yang bertumbuh mengikuti Q = Xt2 , dimana Q adalah
nilai pelepasan panas api teoritis, X adalah koefisien kerapatan api, karakteristik dari bahan
bakar tertentu dan karateristik dan t adalah waktu.
Perhitungan yang digunakan untuk memproduksi kurva jarak mengasumsikan bahwa rasio
dari pelepasan panas perpindahan aktual terhadap pelepasan panas teoritis untuk semua
jenis bahan bakar adalah sama dengan rasio untuk api suatu pondok kecil kayu.
C.6.3. Model detektor panas
Pemanas dari detektor panas diberikan oleh persamaan (i) ;
dTd ( 1 )
= ( Tg - Td ).
dt γ

dimana :
Td = Laju temperatur detektor.
Tg = Temperatur gas pada detektor
Υ = Konstant waktu detektor (DET TC)
Konstant waktu adalah ukuran kepekaan detektor dan besarnya ;
MC
γ=
hA

dimana ;
M = Massa elemen detektor
C = Panas spesifik dari elemen detektor
h = Koefisien perpindahan panas konveksi.
A = Luas permukaan dari elemen detektor
h bervariasi kira – kira akar dua dari kecepatan gas, U
Adalah lazim membicarakan konstant waktu γ pada kecepatan referensi U0 = 5 ft / detik.
Υ = γ0. (Uo / U)1/2 .
Υ dapat diukur sangat mudah dengan test coupling [“plunge test (3)]. Itu dapat juga
dihubungkan kepada jarak terdaftar dari detektor melalui perhitungan. Tabel C.3.2.1.1.
adalah hasil dari perhitungan ini.
Model ini menggunakan temperatur dan kecepatan gas pada detektor untuk memprediksi
kenaikan temperatur dari elemen detektor. Bekerjanya detektor terjadi ketika kondisi yang
telah diset lebih dalam sudah tercapai.
Kepekaan detektor dapat juga disampaikan di dalam unit yang bebas dari kecepatan udara
yang digunakan dalam pengetesan untuk menentukan konstanta waktu.
Ini dikenal sebagai indeks waktu respons (RTI).
RTI = τ. U

163 dari 165


SNI 03-3985-2000

Nilai RTI karenanya dapat diperoleh dengan memperkalikan nilai t0 dengan √U0 ; sebagai
contoh, bila U0 = 5 ft/detik, suatu nilai t0 = 30 detik berhubungan dengan suatu RTI = 35,9
detik½ m ½ (atau = 67,1 detik ½ ft ½).
Suatu detektor yang mempunyai RTI =35,9 detik½ m½ (atau=67,1 detik½ ft½) akan
mempunyai nilai t = 23,7 detik, jika diukur di dalam suatu kecepatan udara 8 ft / detik.
C.6.4. Pertimbangan temperatur sekeliling
(Referensi juga pada butir 4.2.1.2). Temperatur sekeliling maksimum yang diperkirakan
untuk terjadi pada langit-langit memerintahkan pemilihan rentang temperatur untuk
pemakaian detektor temperatur-tetap. Tetapi temperatur sekeliling minimum pada langit-
langit memberikan kondisi kasus terjelek untuk reaksi (respons) dari detektor itu terhadap
api. Massa panas spesifik, koefisien perpindahan panas, dan luar permukaan dari elemen
pengindera suatu detektor membentuk karakteristik konstanta waktu detektor itu. Waktu
korelasi oleh suatu detektor yang ada (given) kepada suatu api yang diberikan (given) hanya
tergantung pada konstant waktu detektor dan perbedaan antara rentang temperatur dan
temperatur sekeliling pada detektor ketika api mulai terjadi.
Ketika temperatur sekeliling pada plafon menurun, banyak panas dari suatu api akan
dibutuhkan untuk membawa udara sekitar elemen pengindera detektor naik ke temperatur
pengenalnya (rated); ini menterjamahkan ke reaksi yang lebih rendah dan dalam kasus dari
suatu api yang sedang berkembang, suatu ukuran api yang lebih besar pada saat
pendeteksian. Di dalam suatu ruangan atau area pekerjaan yang mempunyai sistem
pemanasan sentral, temperatur sekeliling minimum biasanya 21,1°C (70°F). Pergudangan
pemilikan tertentu hanya dipanaskan secukupnya untuk menghindari pembekuan pada pipa
air ; pada kasus itu temperatur sekeliling minimum dipertimbangkan 2 °C (35°F) sekalipun
selama beberapa bulan dalam setahun temperatur sekeliling aktual adalah lebih tinggi.
Suatu bangunan yang tidak dipanaskan perlu di asumsikan mempunyai temperatur sekeliling
sangat minimum, atau lebih rendah.
C.6.5. Analogi panas dan asap – model detektor asap.
Untuk detektor asap, temperatur gas pada detektor tidak secara langsung relevan kepada
pendeteksian, tetapi konsentrasi massa dan ukuran distribusi dari partikel adalah relevan.
Untuk banyak jenis asap, konsentrasi massa dari partikel adalah proporsional secara
langsung terhadap kerapatan optik dari asap, Do. Suatu korelasi umum untuk api menyala
telah ditunjukkan keberadaannya antara kenaikan temperatur optik. Jika kerapatan optik
pada mana detektor bereaksi, Do, diketahui dan bebas dari ukuran distribusi partikel, reaksi
dari detektor dapat diperkirakan sebagai suatu fungsi dari nilai pelepasan panas.
Pelepasan panas dari pembakaran bahan bakar, nilai dari pertumbuhan api, dan ketinggian
plafon, mengasumsikan bahwa korelasi diatas itu terjadi.
Namun demikian, ionisasi yang lebih popular dan detektor pencari cahaya menunjukkan
perbedaan yang besar Do ketika ukuran distribusi partikel berubah; selanjutnya, ketika Do
untuk detektor ini diukur dalam rangka memprediksi reaksi, pengujian dengan menggunakan
aerosol harus sangat hati – hati dikontrol agar ukuran distribusi partikel adalah konstant

164 dari 165


SNI 03-3985-2000

Bibliografi
1 Heskestad, G, “The Initial Convective Flow in Fire: Seventeenth Symposium on
Combustion, “The Combustion Institute, Pittsburg, PA ( 1979 ).

2 Heskested, G and Delichatsios, M.A. “Environments of Fire Detector – Phase I :


Effect of Fire Size, Ceiling Heught and Material”. Volume I – “Measurement”
(NBS-GCR-77-86), Volume II – “Analysis” (NBS-GCR-77-95), Natinal Technical
Information Services (NTIS), Springfield, VA 22153.

3 Hekestad, G: “Investigation of a New Sprinkler Sensitivity Approval Test: The


Plunge Test”, FMCR Tech.Report 22485, Factory Mutual Research Corporation,
1151 Providence Turnpike, Norwood, MA 02062.

4 Heskestad, G: “Characterization of Smoke Entry and Response for Products-of-


Combustion Detectors,” Preceeding, 7th International Conference on Problems
of Automatic Fire Detection, Rheinish-Westfalischen Technischen Hochschule
aachen (March 1975).

5 Vytenis babrauskas, J.Randall Lawson, W.D.Walton and Williams H.Twilley :


Natinal Bureau of Standards : “Upholstered Furniture Heat Release Rates
Measured With a Furniture Calorimeter”, Dec. 1982 (NBSIR 82-2604).
U.S.Dept. of Commerce, Natinal Bureau of Stabdards, Natinal Engineering
Laboratory Center for Fire Research, Washington.D.C. 20234.

6 NFPA 204M, Standard on Smoke and Heat Venting, Natinal Fire Protection
Association, Batterymarch Park, Quincy, MA 02269.

7 J.R. Lawson, W.D. Walton and H.W.Twilley, “Fire Performance of Furnishing as


Measured in the NBS Furniture Calorimeter, Part I, “U.S. Departement of
Commerce, National Bureau of Standards, National Engineering Laboratory,
Center for Applied Mathematics, Center of Research, Washington D.C, Number
NBSIR 83-1787, August 1983.

8 R.Schifiliti, “Use of Fire Plume Theory in the Design and Analysis of Fire
Detector and Sprinkler Response”, Masters Thesis, Worcester Polytechnic
Institute, Center of Firesafety Studies, Worcester, M.A, 1986.

9 C.Beyler, “A Design Method for Flaming Fire Detection”, Fire Technology,


Volume 20, Number 4, November 1984.

10 S.D.Evans and D.W.Stroup, “Methods to Calculate Response Tome of Heat and


Smoke Detectors Installed Below Large Unobstructed Ceilings”,
U.S.Department of Commerce, National Bureau of Standards, National
Engineering Laboratory, Washington.D.C, Number NBSIR 85-3167, February
1985, Issued July 1986.

11 Alpert, “Ceiling Jets”, Fire Technology, August 1972. Alpert and Ward, SFPE
Technology Report 1984.

165 dari 165


SNI 03-3989-2000

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan


Sistem Springkler Otomatik untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-3989- 2000

Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik


untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

1. Ruang lingkup.
Standar ini mencakup persyaratan minimal terhadap instalasi pemadam kebakaran sistem
springkler otomatis dengan instalasi pipa basah dengan sasaran penyediaan instalasi pemadam
kebakaran pada bangunan gedung bertingkat, bangunan industri dan bangunan-bangunan
lainnya sesuai dengan klasifikasi sifat hunian.
Sarana pemadam kebakaran sistem springkler dimaksudkan untuk melindungi jiwa dan harta
benda dari bahaya kebakaran. Penggunaan sarana pemadam kebakaran yang sesuai standar,
bertujuan untuk menjamin agar dapat bekerja secara efektif dan effisien.
2. Acuan.
a). Fire Offices’ Committe (Foreign) ; Rules for Automatic Sprinkler Installation, 1974.
b). NFPA 13 : Installation of Sprinkler Systems, 1994 Edition, National Fire Protection
Association. ( sebagai pembanding).
3. Istilah dan definisi.
3.1.
instalasi springkler.
suatu sistem instalasi pemadam kebakaran yang dipasang secara tetap/permanen di dalam
bangunan yang dapat memadamkan kebakaran secara otomatis dengan menyemprotkan air di
tempat mula terjadi kebakaran.

3.2.
kepadatan pancaran.
jumlah debit air ( liter/menit ) yang dikeluarkan oleh 4 kepala springkler yang berdekatan dan
terletak di empat sudut bujur sangkar, persegi panjang atau jajaran genjang (kepala springkler
dipasang selang seling) dibagi oleh 4 x luas bujur sangkar, persegi panjang atau jajaran genjang
tersebut di atas (m2).
Kepadatan pancaran tersebut dalam sistem bahaya kebakaran berat tidak boleh kurang dari
ketentuan butir 4.1.3.c. dan tabel 4.1.3.c.1 dengan catatan bahwa semua kepala springkler terbuka
serentak termasuk empat kepala springkler yang bersangkutan.
Kepadatan pancaran dinyatakan dalam mm/menit.

3.3.
klasifikasi sifat hunian.
klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran yang diklasifikasikan berdasarkan struktur bahan
bangunan, banyaknya bahan yang disimpan di dalamnya, serta sifat kemudahan terbakarnya, juga
ditentukan oleh jumlah dan sifat penghuninya.
Selanjutnya dalam standar ini disebut klasifikasi sifat hunian, yaitu :

3.3.1.
hunian bahaya kebakaran ringan.
macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas rendah, sehingga menjalarnya api lambat.

1 dari 83
SNI 03-3989- 2000

3.3.2.
hunian bahaya kebakaran sedang kelompok I.
macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan
yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 m dan apabila terjadi kebakaran
melepaskan panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang.

3.3.3.
hunian bahaya kebakaran sedang kelompok II.
macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan
yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan
panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang.

3.3.4.
hunian bahaya kebakaran sedang kelompok III.
macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat.

3.3.5.
hunian bahaya kebakaran berat.
macam hunian yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas tinggi, penyimpanan cairan yang mudah terbakar, sampah, serat,
atau bahan lain yang apabila terbakar apinya cepat menjadi besar dengan melepaskan panas
tinggi sehingga menjalarnya api cepat.

3.3.6.
hunian khusus.
untuk hunian khusus seperti penyimpanan atau tempat dimana penggunaan cairan yang
mempunyai kemudahan terbakar tinggi dapat digunakan sistem pancaran serentak.
Karena keadaan yang menguntungkan, beberapa macam hunian dapat memperoleh keringanan
satu kelas lebih rendah dengan persetujuan instansi yang berwenang.

3.4.
penggelontoran.
membilas seluruh jaringan instalasi springkler dengan air bersih dengan tekanan tertentu untuk
membersihkan kotoran-kotoran yang dapat mengganggu bekerjanya sistem dan/atau merusak.

3.5.
pipa cabang.
bagian dari jaringan pemipaan sistem springkler dimulai dari titik penyambungan pipa pembagi
sampai ke kepala springkler terakhir.

3.6.
pipa pembagi utama.
pipa yang menghubungkan pipa tegak dengan pipa pembagi.

3.7.
pipa pembagi.
pipa yang dihubungkan langsung dengan pipa cabang.

2 dari 83
SNI 03-3989- 2000

3.8.
pipa tegak.
pipa yang dipasang tegak untuk penyediaan air pada sistem springkler.

3.9.
springkler sistem pipa basah.
jaringan pipa berisi air dengan tekanan tertentu secara terus menerus.

3.10.
susunan cabang ganda.
susunan sambungan di mana pipa cabang disambungkan ke dua sisi pipa pembagi.

3.11.
susunan cabang tunggal.
susunan sambungan di mana pipa cabang disambungkan ke satu sisi dari pipa pembagi.

3.12.
susunan pemasukan di tengah.
susunan penyambungan di mana pipa pembagi mendapat aliran air dari tengah ( lihat gambar
3.12).

Gambar 3.12. : Susunan pemasukan di tengah

3.13.
susunan pemasukan di ujung.
susunan penyambungan di mana pipa pembagi mendapat aliran dari ujung ( lihat gambar 3.13 ).

3 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 3.13.: Susunan pemasukan di ujung.


4. Ketentuan umum.
4.1. Dasar perencanaan.
4.1.1. Klasifikasi Sistem.
Sistem springkler terdiri dari 3 klasifikasi sesuai dengan klasifikasi Hunian Bahaya kebakaran,
yaitu :
a). sistem bahaya kebakaran ringan,
b). sistem bahaya kebakaran sedang,
c). sistem bahaya kebakaran berat.
(lihat butir 4.2 untuk klasifikasi sifat hunian).
Jaringan pipa untuk dua sistem bahaya kebakaran atau lebih yang berbeda boleh dihubungkan
pada satu katup kendali dengan ketentuan jumlah kepala springkler yang dilayani tidak melampaui
jumlah maksimum.
4.1.2. Perhitungaan Hidrolik.
Perhitungan hidrolik tiap sistem harus direncanakan berdasarkan kepadatan pancaran pada
daerah kerja maksimum yang diperkirakan (banyaknya kepala springkler yang dianggap bekerja)
dibagian hidrolik tertinggi dan terjauh dari gedung yang dilindungi.
4.1.3 Kepadatan pancaran..
Kepadatan pancaran yang direncanakaan dan daerah kerja maksimum yang diperkirakan untuk
ketiga klasifikasi tersebut diatas tercantum dibawah ini :

4 dari 83
SNI 03-3989- 2000

a). Sistem bahaya kebakaran ringan.


Kepadatan pancaran yang direncanakan 2,25 mm/menit.
Daerah kerja maksimum yang diperkirakan : 84 m2.
Catatan :
Tambahan kepadatan sebesar 5 mm/men diberikan untuk daerah tertentu pada hunian bahaya kebakaran
ringan, seperti : ruang atap, ruang besmen, ruang ketel uap, dapur, ruang binatu, ruang penyimpanan, ruang
kerja bengkel dan lain-lain dengan penentuan jarak kepala springkler yang lebih dekat (lihat butir 6.1.1.b).
b). Sistem bahaya kebakaran sedang.
Kepadatan pancaran yang direncanakan 5 mm/menit.
Daerah kerja maksimum yang diperkirakan 72 ~ 360 m2.
Catatan :
Sistem bahaya kebakaran sedang terdiri dari 3 (tiga) kelompok berdasarkan daerah kerja maksimum yang
diperkirakan, yaitu :
kelompok I, (bahaya kebakaran sedang ringan) 72 m2,
kelompok II,144 m (bahaya kebakaran sedang-sedang) 144 m2,
kelompok III, (bahaya kebakaran sedang berat) 216 m2.
Apabila kemungkinan terjadi penyalaan serentak, misalnya yang mungkin terjadi pada proses persiapan di pabrik
tekstil, maka luas maksimumnya 360 m2.
c). Sistem bahaya kebakaran berat
1). Bahaya proses {lihat tabel 4.1.3.c.1) }.
Kepadatan pancaran yang direncanakan 7,5 ~ 12,5 mm/men.
Daerah kerja maksimum yang diperkirakan 260 m2.
Tabel 4.1.3.c.1).
Kepadatan yang Luas daerah kerja
Klasifikasi Hunian direncanakan maksimum, yang
(mm/men) diperkirakan (m2)
Daerah perlindungan (sistem
Hanggar pesawat terbang 7,5
pancaran serentak).
Pabrik selulosa 12,5 260
Pabrik korek api 10,0 260*
Lengkap dengan pancaran
Pabrik petasan 10,0
serentak untuk setiap gedung
Pabrik plastik busa dan karet, pabrik plastik
busa dan barang karet busa (termasuk luas
10,0 260
daerah yang direncanakan dengan
kepadatan yang lebih tinggi).
Pabrik cat, zat pewarna dan Vernis. 7,5 260*
Pabrik pelapis lantai dan sebangsa kertas
7,5 260
minyak.
Pekerjaan dengan damar, terpentin dan
7,5 260*
sulang minyak.
Pabrik karet subtitusi 7,5 260*
Pabrik kayu, wool. 7,5 260
Penyulingan tir. 10 260*

5 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Catatan tabel :
Diperlukan perlengkapan perlindungan dengan pancaran berkecepatan tinggi atau sedang dalam daerah bahaya ini
dimana larutan atau cairan lain yang mudah terbakar disimpan atau diolah.
2). Bahaya pada gudang penimbunan tinggi.
Kepadatan pancaran yang direncanakan 7,5 ~ 30,0 mm/men. Daerah kerja maksimum
yang diperkirakan 260 ~ 300 m2. Kepadatan pancaran yang direncanakan untuk
bahaya pada gudang penimbunan tinggi tergantung pada sifat bahaya barang yang
disimpan dan tinggi penimbunan.
Tabel 4.1.3.c.2) berikut ini menunjukkan kepadatan pancaran yang memadai dan
daerah kerja yang diperkirakan sesuai dengan kategori dan tinggi timbunan dimana
hanya tersedia atap atau langit-langit sebagai pelindungnya.
Tabel 4.1.3.c.2)
Kepadatan pancaran Daerah kerja Tinggi timbunan maksimum (m)
yang diperlukan maksimum yang KategorI
(mm/men) diperkirakan (m2) I II III IV
7,5 5,3 4,1 2,9 1,6
10,0 6,5 5,0 3,5 2,0
12,5 260 7,6 5,9 4,1 2,3
15,0 6,7 4,7 2,7
17,5 7,6 5,2 3,0
20,0 5,7 3,3
22,5 6,3 3,6
25,0 300 6,7 3,8
27,5 7,2 4,1
30,0 7,7 4,4
Catatan : Dipertimbangkan bahwa tinggi penimbunan* seluruhnya tidak melampaui angka berikut ini pada berbagai
kategori yang sesuai untuk sistem bahaya kebakaran sedang dan tidak dianggap sebagai gudang penimbunan tinggi.
Kategori I 4,0 m
Kategori II 3,0 m
Kategori III 2,1 m
Katagori IV 1,2 m
* Istilah penimbunan meliputi pergudangan atau penyimpanan sementara barang atau bahan, sambil menunggu proses
selanjutnya.
KATAGORI - I
Bahan-bahan dengan daya bakar sedang ( dan bahan bakar yang tidak terbakar dalam bungkus yang mudah terbakar )
– di luar jenis itu* spesifikasi di bawah katagori II, III dan IV – penyimpanan dengan tumpukan, palet atau rak, sampai
ketinggian tidak melebihi 4 m.
Contoh katagori I, gudang :
- karpet. - toko makanan.
- baju. - barang-barang logam ( dalam karton ).
- peralatan listrik. - tekstil.
- gelas dan barang dari tembikar - semua bentuk penyimpanan kertas lain dari yang
dispesifikasikan di bawah katagor II dan III

6 dari 83
SNI 03-3989- 2000

* Daftar dari jenis dalam katagori II, III dan IV, tidak lengkap dan harus dianggap bahwa jenis-jenis dari gudang tidak
spesifik disebutkan,diamati otomatis sebagai dibawah katagori I.
Umumnya, jenis-jenis di bawah katagori II, III dan IV digunakan bila pengalaman menunjukkan bahwa bahan-bahan
menghasilkan pengecualian ketahanan apinya dengan laju dan pelepasan panas yang tinggi.
Apabila ada keraguan tentang klasifikasinya, konfirmasi harus diperoleh dari asuransi kebakaran.
KATAGORI II
- Bal – gabus. - plastik ( tidak berbusa) lain dari celluloid.
- Bal – kertas bekas. - rol pulp dan kertas ( penyimpanan horisontal).
- Karton yang mengandung alkohol di dalam - rol kertas aspal (penyimpanan horisontal)
kaleng atau botol.
- Karton dari minuman kaleng yang dikeringkan - wisky dalam pallet.
dengan penguapan larutan.
- Papan chip. - pola kayu
- Cairan mudah menyala dalam kontainer yang - kayu perabot
tidak mudah terbakar.
- produk linoleum - lembaran lapisan kayu halus.
KATAGORI III
- kertas dilapisi bitumen atau lilin. - barang-barang karet.
- esparto - tumpukan kayu dengan ventilasi.
- produk plastik busa dan karet busa (dengan atau - kertas yang dilapisi lilin atau aspal dan
tanpa karton) lain dari yang dispesifikasikan kontainer dalam krton.
pada katagori IV.
- Celluloid - wol, kayu.
- Cairan mudah menyala dalam kontainer mudah - palet kayu dan kayu datar
terbakar.
- Rol pulp dan kertas ( penyimpanan horisontal). - semua bahan yang mempunyai bungkus atau
kontainer yang dibentuk awal dari plastik busa
- Rol kertas aspal (penyimpanan vertikal)
KATAGORI IV
- Pemotongan dan potongan-potongan dari plastik - Rol atau lembaran plastik busa atau karet busa.
busa atau karet busa
4.2. Klasifikasi sifat hunian.
Klasifikasi sifat hunian dalam standar ini hanya terbatas untuk penggunaan sistem springkler dan
penyediaan airnya.
4.2.1. Hunian bahaya kebakaran ringan.
Yang termasuk hunian bahaya kebakaran ringan adalah seperti hunian :
- ibadat - perkantoran
- klub - perumahan
- pendidikan - restoran ( ruang makan ).
- perawatan - perhotelan
- lembaga - rumah sakit
- perpustakaan - penjara.
- museum.

7 dari 83
SNI 03-3989- 2000

4.2.2. Hunian bahaya kebakaran sedang


a). Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok I.
Yang termasuk hunian kebakaran sedang kelompok I adalah seperti hunian :
- parkir mobil dan ruang pamer - pabrik susu
- pabrik minuman tidak - pabrik elekronika
termasuk bagian
pembotolan.
- restoran daerah dapur. - pabrik barang gelas
- pengalengan - pabrik permata

b). Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok II.


Yang termasuk hunian bahaya kebakaran sedang kelompok II, adalah seperti hunian :
- penggilingan produk biji-bijian. - pabrik bahan makanan
- pabrik kimia (bahan kimia dengan - pertokoan dengan pramuniaga kurang
kemudahan terbakar sedang) dari 50 orang
- perdagangan - perakitan barang kayu
- binatu. - pengolahan makanan ternak.
- gudang perpustakaan - pabrik barang keramik
- pabrik cerutu, rokok - pengolahan logam.
- pabrik kembang gula - pabrik barang klontong
- penyulingan - pabrik tekstil
- pabrik barang kulit - pabrik / perakitan kendaraan bermotor
- bengkel mobil.

c). Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok III.


Yang termasuk hunian bahaya kebakaran sedang kelompok III adalah seperti hunian :
- pabrik karet dan barang karet (tidak - pabrik sikat
termasuk karet busa ).
- Pabrik radio dan TV. - pabrik karung (kecuali proses
persiapan serat).
- Pabrik pesawat terbang kecuali - pabrik sabun
hanggar.
- Pabrik gula. - pabrik lilin
- Pabrik pakaian - toko dengan pramuniaga lebih dari
50 orang
- Pabrik tepung terigu. - pabrik plastik dan barang plastik
(tidak termasuk plastik busa)
- Pabrik kertas dan barang kertas. - penggergajian kayu dan pengerjaan
kayu

8 dari 83
SNI 03-3989- 2000

d). Hunian bahaya kebakaran berat.


Yang termasuk hunian bahaya kebakaran berat adalah seperti hunian :
- pabrik kimia (bahan kimia dengan - pengerjaan kayu yang penyelesaiannya
kemudahan terbakar tinggi) menggunakan bahan mudah terbakar
- pabrik kembang api - studio film dan televisi
- pabrik korek api - pabrik karet buatan
- pabrik bahan peledak - hanggar pesawat terbang.
- pabrik cat - penyulingan minyak bumi
- pemintalan benang atau kain - pabrik karet busa atau plastik busa
e). Hunian bahaya kebakaran sedang kelompok III khusus.
Yang dimaksud adalah seperti : pabrik kapas, proses hulu sebelum pemintalan, bangunan
penyulingan minuman keras, studio film dan tv, pengolah serat sebelum pemintalan, pabrik
korek api, kilang minyak bumi.
Catatan :
Dalam daerah dimana digunakan pelarut mudah terbakar diperlukan proteksi tambahan dengan penyemprot
kecepatan sedang untuk mendinginkan tangki.
4.3. Ruang di dalam gedung yang harus dilindungi.
Semua ruang dalam gedung harus dilindungi dengan sistem springkler, kecuali ruang tertentu
yang telah mendapat izin dari pihak yang berwenang seperti :
a) ruang tahan api,
b) kamar kakus,
c) ruang panel listrik,
d) ruangan tangga dan ruangan lain yang dibuat khusus tahan api.
4.4. Pemasangan.
4.4.1. Permohonan persetujuan.
Sebelum mulai dengan pemasangan, gambar perencanaan harus mendapat persetujuan pihak
yang berwenang, perubahan yang terjadi pada gambar perencanaan yang telah disetujui harus
dimintakan persetujuan ulang.
4.4.2. Gambar perencanaan.
Gambar perencanaan harus dibuat dengan skala tertentu, pada kertas gambar yang berukuran
sama dan harus memuat denah tiap lantai. Gambar perencanaan harus dapat diperbanyak
dengan mudah. Hal-hal seperti dibawah ini harus tercantum dalam gambar perencanaan :
a). Nama pemilik dan jenis hunian
b). Alamat.
c). Klasifikasi bahaya kebakaran.
d). Arah mata angin
e). Kontruksi atap dan langit-langit.
f). Potongan gedung.
g). Letak dinding tahan api.

9 dari 83
SNI 03-3989- 2000

h). Letak dinding pemisah.


i). Jenis hunian tiap ruang atau kamar
j). Letak tempat-tempat yang tertutup dan penyimpanan barang
k). Ukuraan pipa dan tekanan air bersih kota dan apakah merupakan ujung buntu atau jaringan
melingkar
l). Penyedian air cara lain dengan tekanan atau gravitasi
m). Merk, ukuran lubang, dan jenis springkler
n). Suhu kerja dan letak springkler
o). Jumlah springkler pada tiap pipa tegak, jumlah springkler pada tiap sistem dan luas daerah
yang dilindungi tiap lantai
p). Jumlah springkler pada setiap pipa tegak dan jumlah keseluruhan tiap lantai
q). Merk, model dan tipe tanda bahaya yang dipakai
r). Macam dan letak lonceng tanda bahaya hidrolis
s). Percabangan, nipel pipa tegak dan ukuran-ukurannya
t). Jenis penggantung
u). Semua katup kendali, pipa pengering, pipa uji
v). Slang kebakaran
w). Nama dan alamat instalatur.
4.4.3. Syarat bahan.
Hanya kepala springkler 100 % baru boleh dipasang. Bahan yang dipakai dalam pemasangan
sistem springkler hanya bahan yang telah disetujui oleh pihak yang berwenang.
4.4.4 Pemasangan instalasi springkler harus dilaksanakan oleh instalatur yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang.
4.5. Pemeriksaan dan pengujian.
4.5.1 Setelah pemasangan selesai harus diadakan pemeriksaan dan pengujian oleh
instalatur dan disaksikan oleh pemilik dan pejabat yang berwenang. Instalatur dapat meninggalkan
pekerjaan apabila semua cacat telah diperbaiki dan sistem springkler siap beroperasi. Berita acara
serah terima harus dibuat dan ditanda tangani oleh semua pihak yang bersangkutan sebagai
tanda bukti penyerahan pekerjaan.
4.5.2 Semua pengujian yang diminta dalam standar ini harus dilakukan oleh instalatur.
Instalatur harus memberitahukannya terlebih dahulu sebelum pengujian dilaksanakan kepada
pemilik dan pejabat yang berwenang. Apabila tidak ada petugas dari pihak yang berwenang dapat
hadir pada waktu pengujian dan ijin pengujian telah diberikan, maka pengujian dapat dilaksanakan
oleh pemilik atau orang yang ditunjuknya. Hasil pengujian harus diserahkan kepada pejabat yang
berwenang untuk disahkan.
4.5.3 Syarat-syarat pengujian.
a). Syarat air.
Air laut atau air lain yang mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan korosi tidak
boleh dipergunakan untuk pengujian.

10 dari 83
SNI 03-3989- 2000

b). Penggelontoran sambungan pipa bawah tanah.


Sambungan pipa bawah tanah pada pipa tegak harus digelontor untuk membersihkan
kotoran-kotoran sebelum dihubungkan dengan sistem springkler sesuai dengan tabel
4.5.3.b.
Penggelontoran harus terus dikerjakan sampai air yang keluar jernih. Pada pelaksanaan, air
dapat dikeluarkan melalui lubang keluar pipa penguji. Apabila sistem penyediaan air bersih
kota tidak dapat mengalirkan air yang dibutuhkan untuk penggelontoran, harus diusahakan
penyediaan dengan sistem yang lain. Untuk pipa bawah tanah yang dibutuhkan dengan
springkler terbuka, pancaran serentak atau sistem springkler yang dihitung dengan tabel,
kapasitas air penggelontor minimum harus sesuai dengan kapasitas yang dihitung untuk
masing-masing sistem.
Tabel 4.5.3.b.
Ukuran Pipa Kapasitas Penggelontoran
(mm) ( liter/detik )
150 50
200 70
250 100
300 130

c). Pengujian Hidrostatik.


Semua sistem perpipaan termasuk perpipaan halaman harus diuji pada tekanan hidrostatik
sebesar 14 kg/cm2 selama 2 jam atau pada tekanan 3 kg/cm2 di atas tekanan statik apabila
tekanan statik yang ada lebih dari 10 kg/cm2. Tekanan hidrostatik harus diukur pada bagian
pipa tegak yang terendah.
d). Kebocoran pada pengujian.
Pada saat diadakan pengujian tekanan hidrostatik pemipaan, springkler tidak boleh
menunjukkan adanya kebocoran yang terlihat.
e). Sambungan pemadam kebakaran.
Pemipaan yang disediakan untuk sambungan pemadam kebakaran harus diuji dengan
tekanan yang sesuai.
4.6. Perubahan dan perbaikan.
Pihak-pihak yang berkepentingan perlu diberitahu, jika sistem penanggulangan bahaya kebakaran
diubah atau diperbaiki hingga mengakibatkan sistem tersebut tidak berfungsi.
Perubahan dan perbaikan tersebut harus diselesaikan secepat mungkin. Selama perubahan dan
perbaikan dikerjakan pada waktu jam kerja, karyawan yang bertanggung jawab sudah siaga untuk
dapat melakukan pemadaman dengan alat pemadam lain bila terjadi kebakaran.
5. Sistem penyediaan air.
5.1. Persyaratan umum.
Setiap sistem springkler otomatis harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya satu jenis sistem
penyediaan air yang bekerja secara otomatis, bertekanan dan berkapasitas cukup, serta dapat
diandalkan setiap saat. Sistem penyediaan air harus dibawah penguasaan pemilik gedung.
Apabila pemilik tidak dapat mengendalikannya harus ditunjuk badan lain yang diberikan kuasa
penuh untuk maksud tersebut. Air yang digunakan tidak boleh mengandung serat atau bahan lain
yang dapat mengganggu bekerjanya springkler. Pemakaian air asin tidak diijinkan, kecuali bila

11 dari 83
SNI 03-3989- 2000

tidak ada penyediaan air lain pada waktu terjadinya kebakaran dengan syarat harus segera dibilas
dengan air bersih.
5.1.1. Syarat penyambungan.
Pipa penyalur untuk sistem springkler tidak boleh dihubungkan pada sistem lain kecuali seperti
yang diatur dalam bagian ini.
a). Jaringan kota.
Sambungan pada sistem jaringan kota dapat diterima apabila kapasitas dan tekanannya
mencukupi. Kapasitas dan tekanan sistem jaringan kota dapat diketahui dengan
mengadakan pengukuran langsung pada jaringan distribusi di tempat penyambungan yang
direncanakan atas ijin Perusahaan Daerah Air Minum. Meter air tidak dianjurkan untuk
dipasang pada sambungan sistem springkler. Apabila ditentukan lain harus digunakan meter
air khusus. Ukuran pipa sekurang-kurangnya harus sama dengan pipa tegak yang
disambungkan, dengan ukuran minimum 100 mm.

Gambar 5.1.1.a. : Jaringan kota.


b). Tangki gravitasi.
Tangki yang diletakkan pada ketinggian tertentu dan direncanakan dengan baik dapat
diterima sebagai sistem penyediaan air. Kapasitas dan letak ketinggian tangki harus
memberikan aliran dan tekanan yang cukup.

12 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 5.1.1.b.(1). : Tangki gravitasi.


Tangki gravitasi yang melayani keperluan rumah tangga, kran kebakaran dan sistem
springkler otomatis harus :
1). direncanakan dan dipasang sedemikian rupa, sehingga dapat menyalurkan air
dalam kuantitas dan tekanan yang cukup untuk sistem tersebut.
2). mempunyai lubang aliran keluar untuk keperluan rumah tangga pada ketinggian
tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimum yang diperlukan untuk
pemadam kebakaran dapat dipertahankan.
3). mempunyai lubang aliran keluar untuk kran kebakaran pada ketinggian tertentu dari
dasar tangki, sehingga persediaan minimum yang diperlukan untuk sistem springkler
otomatis dapat dipertahankan.

Gambar 5.1.1.b.(2) : Sambungan pipa yang melayani keperluan rumah tangga, kran kebakaran,
springkler otomatis pada tangki gravitasi.

13 dari 83
SNI 03-3989- 2000

c). Tangki bertekanan.


Tangki bertekanan yang direncanakan dengan baik dapat diterima sebagai sistem
penyediaan air.
Tangki bertekanan harus dilengkapi dengan suatu cara yang dibenarkan agar tekanan udara
dapat diatur secara otomatis.
Apabila tangki bertekanan merupakan satu-satunya sistem penyediaan air, sistem tersebut
harus juga dilengkapi dengan alat tanda bahaya yang memberikan peringatan apabila
tekanan dan atau tinggi muka air dalam tangki turun melampaui batas yang ditentukan.
Tanda bahaya harus dihubungkan dengan jaringan listrik yang terpisah dengan jaringan
listrik yang melayani kompresor udara.
Tangki bertekanan hanya boleh digunakan untuk melayani sistem springkler dan sistem
slang kebakaran yang dihubungkan pada pemipaan springkler.
Tangki bertekanan harus selalu terisi air 2 3 penuh, dan diberi tekanan udara ditambah
dengan 3 X tekanan yang disebabkan oleh berat air pada perpipaan sistem springkler di atas
tangki kecuali ditetapkan lain oleh pejabat yang berwenang.

Gambar 5.1.1.c. Tangki bertekanan.


d). Sambungan pemadam kebakaran.
Apabila disyaratkan harus disediakan sebuah sambungan yang memungkinkan petugas
pemadam kebakaran memompakan air kedalam sistem springkler, ukuran pipa minimum
adalah 100 m.
Pipa berukuran 80 mm dapat digunakan, apabila dihubungkan dengan pipa tegak berukuran
80 mm juga. Sambungan pemadam kebakaran harus ditempatkan pada bagian sistem
springkler di dekat katup balik.
5.2. Persyaratan kapasitas aliran dan tekanan.
5.2.1. Bahaya kebakaran ringan.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 225 liter/menit dan bertekanan 2,2
kg/cm2 ditambah tekanan air yang ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan
springkler tertinggi.
Tekanan diukur pada katup kendali.

14 dari 83
SNI 03-3989- 2000

5.2.2. Bahaya kebakaran sedang.


a). Bahaya kebakaran sedang kelompok I.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 375 liter/menit dan
bertekanan 1,0 kg/cm2 atau kapasitas 540 liter/menit dan bertekanan 0,7 kg/cm2 ditambah
tekanan air yang ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler
tertinggi.
Tekanan diukur pada katup kendali.
b). Bahaya kebakaran sedang kelompok II.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 725 liter/menit dan
bertekanan 1,4 kg/cm2 atau kapasitas 1000 liter/menit dan bertekanan 1,0 kg/cm2 ditambah
tekanan yang ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler
tertinggi.
Tekanan diukur pada katup kendali.
c). Bahaya kebakaran sedang kelompok III.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 1100 liter/menit dan
bertekanan 1,7 kg/cm2 atau kapasitas 1350 liter/menit dan bertekanan 1,4 kg/cm2 ditambah
tekanan yang ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler
tertinggi.
Tekanan diukur pada katup kendali.
5.2.3. Bahaya kebakaran berat.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas dan tekanan cukup, seperti
tercantum dalam tabel 5.2.3.1. dan tabel 5.2.3.2.
Tabel persyaratan aliran dan tekanan bahaya kebakaran berat.
Tabel 5.2.3.(1).
1). Untuk pemipaan dengan ukuran sesuai tabel 7.5.1.(1) & (2) penggunaan kepala
springkler dengan ukuran nominal 15 mm.
Kepadatan Luas daerah perencanaan tiap springkler (m2)
Kapasitas
aliran tidak 6 7 8 9 10 11 12
aliran
lebih dari Tekanan aliran (kg/cm2) di titik kelompok springkler 48
(liter/men)
(mm/men) pada springkler tertinggi.
7,5 2300 1,80 2,25 2,80 3,35 3,95
10,0 3050 1,80 2,40 3,15 3,90 4,80 5,75 6,80
12,5 3800 2,70 3,65 4,75 6,00 7,30
15,0 4550 3,80 5,20 6,75

2). Untuk pemipaan dengan ukuran sesuai tabel 7.5.2. (1) & (2), penggunaan kepala
springkler dengan ukuran nominal 15 mm.
Kepadatan Luas daerah perencanaan tiap springkler (M2)
Kapasitas
aliran tidak 6 7 8 9 10 11 12
aliran
lebih dari
(liter/men) Tekanan aliran (kg/cm2) di titik kelompok springkler 48
(mm/men) pada springkler tertinggi.
7,5 2300 1,35 1,75 2,15 2,65 3,15
10,0 3050 1,30 1,80 2,35 3,00 3,75 4,55 5,45
12,5 3800 2,00 2,75 3,60 4,60 5,70 7,00 8,35
15,0 4550 2,80 2,85 5,10 6,50

15 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 5.2.3.(2).
1). Untuk pemipaan dengan ukuran sesuai tabel 7.5.3. (1) & (2) penggunaan kepala
springkler dengan ukuran nominal 15 mm.
Kepadatan Luas daerah perencanaan tiap springkler (M2)
Kapasitas
aliran tidak 6 7 8 9 10 11 12
aliran
lebih dari Tekanan aliran (kg/cm2) di titik kelompok springkler 48
(liter/men)
(mm/men) pada springkler tertinggi.
7,5 2300 0,70 0,90 1,10 1,35 1,60
10,0 3050 0,70 0,95 1,25 1,60 1,95 2,35 2,80
12,5 3800 1,10 1,50 1,95 2,45 3,05 3,70 4,35
15,0 4550 1,60 2,15 2,80 3,55 4,35 5,25 6,25 ¼
17,5 4850 2,15 2,90 3,80 4,80 5,90 7,15
20,0 6400 2,80 3,80 5,00 6,30 7,75
22,5 7200 3,50 4,80 6,30 7,95
25,0 8000 4,35 5,90 7,75
27,5 8800 5,25 7,15
30,0 9650 6,20

2). Untuk pemipaan dengan ukuran sesuai tabel 7.5.3. (1) & (2) penggunaan kepala
springkler dengan ukuran nominal 20 mm.
Kepadatan Luas daerah perencanaan tiap springkler (M2)
Kapasitas
aliran tidak 6 7 8 9 10 11 12
aliran 2
lebih dari Tekanan aliran (kg/cm ) di titik kelompok springkler 48
(liter/men)
(mm/men) pada springkler tertinggi.
7,5 2300 0.80 0.85
10,0 3050 0.95 1.15 1.40 1.65
12,5 3800 0.90 1.15 1.45 1.80 2.15 2.55
15,0 4550 0,95 1.25 1.65 2.10 2.55 3.10 3.65
17,5 4850 1,25 1.70 2.25 2.80 3.45 4.20 4.95
20,0 6400 1,65 2.25 2.95 3.70 4.60 5.55 6.55
22,5 7200 2.05 2.85 3.70 4.70 5.75 6.95
25,0 8000 2.55 3.50 4.55 5.75 7.10
27,5 8800 3.05 4.20 5.50 6.90
30,0 9650 3.60 4.95 6.50
5.3. Persyaratan kapasitas minimum penampung penyediaan air.
Kapasitas penampung di bawah ini mencakup semua penampung air untuk springkler, termasuk
slang kebakaran berukuran 20 mm atau 25 mm.
Kapasitas tampung minimum untuk tangki bertekanan diuraikan pada butir 5.4.4.b.
Kapasitas penyediaan air dari jaringan kota dan tangki gravitasi yang digunakan untuk keperluan
lain di samping springkler diatur pada butir 5.4.1. Apabila disyaratkan, maka waktu pengisian
tangki hisap diatur sesuai tabel 5.3.1; 5.3.2; 5.3.3.
Waktu pengisian dalam tabel berlaku untuk kapasitas pompa yang sama dengan kapasitas pompa
tekan untuk springkler.

16 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 5.3.1 : Sistem bahaya kebakaran ringan.


Tinggi maksimum springkler Waktu pengisian maksimum
Kapasitas
tertinggi diatas springkler terendah untuk tangki hidup
minimum (m3)
(m) (menit)
15 9 30
30 10 30
45 11 30
Tabel 5.3.2 : Sistem bahaya kebakaran sedang.
Tinggi maksimum
Kapasitas
springkler tertinggi diatas Waktu pengisian maksimum
minimum
Kelompok springkler terendah untuk tangki hisap
(m3)
(m) (menit)
15 55 60
I 30 70 60
45 80 60
15 105 60
II 39 125 60
45 140 60
15 135 60
III 30 160 60
45 185 60

Tabel 5.3.3 : Sistem bahaya kebakaran berat.


Kepadatan yang Kapasitas Minimum Waktu pengisian maksimum untuk
direncanakan m3 tangki hisap
(mm/men) (menit)
7,5 225 90
10,0 275 90
12,5 350 90
15,0 425 90
17,5 450 90
20,0 575 90
22,5 650 90
25,0 725 90
27,5 800 90
30,0 875 90

Dalam menghitung kapasitas efektif tangki hisap harus diukur dari muka air normal dalam tangki
sampai muka air terendah dalam tangki sesuai tabel 5.3.4 kolom A.
Muka air terendah dalam tabel adalah muka air di atas mulut pipa hisap sedemikian rupa sebelum
terjadi pusaran.
Apabila dipasang alat anti pusaran, maka bilangan-bilangan dalam tabel 5.3.4 dapat diabaikan.

17 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Apabila pipa hisap dipasang di sisi tangki, seperti gambar 5.3.4. contoh (a) dan (b) maka harus
diusahakan adanya jarak antara dasar tangki dan bagian terendah pipa hisap. Jarak minimum
yang disyaratkan dapat dilihat dalam tabel 5.3.4. kolom B.
Apabila pipa hisap dipasang pada dasar tangki seperti gambar 5.3.4 contoh ( c ), akan berlaku
angka dalam tabel 5.3.4. kolom A dan B.

Gambar 5.3.4. Kapasitas efektip tangki hisap

18 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 5.3.4.
Ukuran nominal pipa hisap Kolom A Kolom B
( mm ) ( mm ) ( mm )
65 250 80
80 310 80
100 370 100
150 500 150
200 620 150
250 750 150

5.4. Persyaratan khusus untuk berbagai sistem penyediaan air.


5.4.1. Sistem penyediaan air bersih kota.
Sistem springkler dapat disambungkan pada jaringan air bersih kota yang dapat menyediakan air
selama 24 jam dengan tekanan dan kapasitas yang cukup sesuai dengan persyaratan kapasitas
aliran dan tekanan, butir 5.2.
Pipa kota yang dapat disambungkan pada sistem springkler adalah pipa kota yang mendapat
aliran dari dua arah. Sistem springkler yang melayani sistem bahaya kebakaran sedang Kelompok
III dan sistem bahaya kebakaran berat dapat disambung pada pipa kota yang merupakan ujung
buntu dan mempunyai ukuran minimum 150 mm.
Sistem penyediaan air bersih kota yang mempunyai reservoir dengan daya tampung minimum
1000 m3, ditambah persyaratan yang tercantum dalam butir 5.3. boleh disambungkan pada sistem
springkler untuk sistem bahaya kebakaran berat.
Untuk sistem bahaya kebakaran ringan, reservoir dengan daya tampung lebih kecil dari 1000 m3
masih diperbolehkan.
Setiap katup penutup (selain katup penutup yang menjadi tanggung jawab Perusahaan Daerah Air
Minum) harus selalu diamankan dalam keadaan terbuka dan menjadi tanggung jawab pemilik
gedung.
5.4.2. Sistem tangki gravitasi.
Tangki gravitasi yang dimaksud adalah tangki yang khusus dipasang di dalam gedung guna
pemadam kebakaran.
Tangki dipasang pada ketinggian sedemikian rupa sehingga dapat mengalirkan air dalam
kapasitas dan tekanan cukup pada instalasi pemadam kebakaran.
Tangki gravitasi harus mempunyai kapasitas sesuai dengan tabel 5.3.1; 5.3.2; 5.3.3.
Apabila kapasitas tangki dibuat lebih besar dari yang disyaratkan, penggunaan air untuk keperluan
lain tidak boleh mengurangi kapasitas yang disyaratkan untuk springkler.
Pipa keluar untuk penggunaan lain harus dipasang sedemikian rupa sehingga air dalam tangki
selalu tersisa sesuai dengan kapasitas yang disyaratkan untuk springkler.
Tangki gravitasi harus dilengkapi dengan tanda tinggi muka air.
Air dalam tangki harus selalu diusahakan bersih dan bebas dari bahan-bahan yang mengendap,
tangki harus dibersihkan tiap 3 tahun sekali.
Untuk memudahkan pembersihan harus disediakan tangga permanen.

19 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Sebuah tangki gravitasi tidak boleh dipakai sebagai penyediaan air untuk dua gedung dengan
pemilik yang berlainan.
5.4.3. Sistem pompa otomatis.
Pompa kebakaran harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga mudah dicapai di dalam gedung
atau ditempatkan di dalam bangunan tahan api di luar gedung.
Pompa kebakaran tidak boleh digunakan untuk keperluan lain di luar keperluan kebakaran.
(Dianjurkan pemasangan pompa kebakaran terpisah untuk keperluan instalasi slang kebakaran).
a). Kondisi pipa hisap pompa kebakaran.
Pipa hisap pompa sentrifugal dianggap dalam keadaan tekanan positip, apabila dipasang
pada kedalaman kurang dari 2 meter diukur dari muka air terendah dalam tangki; dalam
keadaan normal muka air harus selalu berada diatas poros pompa. Panjang pipa hisap tidak
boleh lebih dari 30 meter, dengan catatan bahwa belokan diperhitungkan sebagai pipa
dengan panjang 3 meter. Pemasangan pipa harus selalu diusahakan menanjak terus sampai
ke pompa, kecuali pada pemasangan pompa di bawah tekanan positip.
b). Pompa dipasang dengan pipa hisap dalam keadaan tekanan positip.
Keadaan yang perlu diperhatikan apabila pompa dipasang pada pipa hisap dalam keadaan
tekanan positip dan berukuran minimum seperti tercantum dalam tabel 5.4.3.b.
Tabel 5.4.3.b.
Klasifikasi Bahaya Kebakaran Ukuran minimum pipa hisap (mm)
Bahaya kebakaran ringan 65
Bahaya kebakaran sedang
150
Kelompok I dan II
Bahaya kebakaran sedang
200
Kelompok III
Sistem bahaya kebakaran berat harus mempunyai pipa hisap sedemikian rupa, sehingga
kecepatan dalam pipa tidak lebih dari 1,8 m/detik, apabila pompa bekerja pada kapasitas
penuh.
Apabila dipasang lebih dari satu pompa, maka pipa hisap boleh dihubungkan satu sama lain,
asalkan selalu diusahakan pemasangan katup penutup pada setiap bagian pipa hisap, baik
yang disambungkan pada setiap pompa maupun yang disambungkan pada tangki hisap.
c). Pompa dipasang dengan pipa hisap dalam keadaan tekanan negatip.
Apabila pompa dipasang dalam keadaan tekanan negatip, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1). Ukuran pipa hisap harus sesuai dengan tabel 5.4.3.c.
Untuk sistem bahaya kebakaran berat ukuran pipa hisap sedemikian rupa, sehingga
kecepatan air dalam pipa tidak lebih dari 1,5 m/detik, apabila pompa bekerja pada
kapasitas penuh.
2). Jarak tegak antara muka air terendah dan poros pompa tidak boleh lebih dari 3,7 m.
3). Pada bagian pipa hisap yang terendah harus dilengkapi dengan katup ujung.
4). Tiap pompa harus mempunyai pipa hisap yang terpisah.
5). Tiap pompa harus mempunyai perlengkapan air pemancing otomatis.

20 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 5.4.3.c.
Klasifikasi Bahaya Kebakaran Ukuran minimum pipa hisap (mm)
Bahaya kebakaran ringan 80
Bahaya kebakaran sedang
150
Kelompok I
Bahaya kebakaran sedang
200
Kelompok II dan III
d). Air pemancing pompa.
Apabila diperlukan pemancingan otomatis, harus dijamin bahwa pompa selalu dalam
keadaan siap dan terisi air pemancing.
Air pemancing harus diambil dari tangki yang dipasang pada suatu ketinggian, pengisian
tangki air pemancing harus bekerja otomatis. Tiap pompa harus dilengkapi dengan tangki air
pemancing tersendiri dengan pipa penghubung tersendiri.
Ukuran pipa dan kapasitas tangki air pemancing pompa ditunjukkan seperti tercantum pada
tabel 5.4.3.d.
Tabel 5.4.3.d.: Ukuran pipa dan kapas tas tangki air pemancing pompa

Klasifikasi Bahaya Kapasitas Minimum Ukuran minimum pipa


Kebakaran Tangki (m3) (mm)
Bahaya kebakaran
0,100 25
ringan
Bahaya kebakaran
0,500 50
sedang & berat
e). Karakteristik pompa kebakaran.
Karakteristik pompa kebakaran yang disyaratkan harus ditentukan dengan tabel 5.4.3.e (2).
Karakteristik pompa untuk sistem bahaya kebakaran berat.
Karakteristik pompa untuk sistem bahaya kebakaran berat harus sesuai dengan butir 5.2.3.
Untuk sistem yang direncanakan sesuai tabel 7.6.1 dan tabel 7.6.2 harus disediakan pompa
yang dapat memompa air di atas kapasitas yang disyaratkan tanpa mengalami gangguan
dan sesuai tabel 5.4.3.e (1).
Pompa harus dikopel langsung dan harus dapat start secara otomatis ; starter otomatis
harus bekerja, apabila tekanan dalam pipa sudah turun menjadi 80% dari tekanan
maksimum pada waktu pompa sedang bekerja.
Pompa yang bekerja secara otomatis maupun hanya dapat dimatikan secara manual. Harus
disediakan perlengkapan untuk menjalankan secara manual dan perlengkapan menurunkan
tekanan dalam pipa.
Apabila sistem pompa adalah satu-satunya perlengkapan untuk melayani sistem springkler,
maka pompa harus dilengkapi dengan tanda yang dapat dilihat dan didengar untuk
mengingatkan bahwa pompa bekerja. Setiap seminggu sekali harus selalu dilakukan
pengujian perlengkapan start otomatis pompa. Pompa harus dijalankan oleh motor listrik
atau motor diesel.

21 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 5.4.3.e.(1).
Perencana Kapasitas aliran Kapasitas pompa
No.
pemipaan yang direncanakan yang harus disediakan
135% x kapasitas aliran
1 Sesuai tabel 6.6.1 Sesuai tabel 5.2.3.a (1)
yang direncanakan
120% x kapasitas aliran
2 Sesuai tabel 6.6.2 Sesuai tabel 5.2.3.a (2)
yang direncanakan

Tabel 5.4.3.e.(2).
Klasifikasi Ketinggian Nominal Karakteristik minimum
bahaya springkler Tekanan Debit Tekanan Debit Tekanan Debit
kebakaran (m)* (bar) (L/menit) (bar) (L/menit) (bar) (L/menit)
Bahaya 15 1,5 300 3,7
kebakaran 30 1,8 340 5,2
ringan 45 2,3 375 6,7
Bahaya 15 1,2 900 2,2 540 2,5 375
kebakaran 30 1,9 1.150 3,7 540 4,0 375
sedang 45 2,7 1.360 5,2 540 5,5 375
kelompok I
Bahaya 15 1,4 1.750 2,5 1.000 2,9 725
kebakaran 30 2,0 2.050 4,0 1.000 4,4 725
sedang 45 2,6 2.350 5,5 1.000 5,9 725
kelompok II
Bahaya 15 1,4 2.250 2,9 1.350 3,2 1.100
kebakaran 30 2,0 2.700 4,4 1.350 4,7 1.100
sedang 45 2,5 3.100 5,9 1.350 6,2 1.100
kelompok III
• Ketinggian springkler : Letak springkler tertinggi di atas pompa.
f). Pompa listrik.
Tenaga listrik untuk menjalankan pompa harus dari aliran listrik yang dapat diandalkan,
sebaiknya aliran listrik dari pembangkit listrik tenaga diesel yang disediakan khusus. Apabila
listrik kota dapat diandalkan, kebutuhan listrik untuk pompa kebakaran dapat dipenuhi oleh
aliran listrik kota.
Daya listrik yang tersedia harus menjamin tenaga listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan
pompa setiap saat. Tiap tombol listrik yang melayani pompa kebakaran harus diberi tanda
dengan jelas yang bertuliskan “ POMPA KEBAKARAN JANGAN DIMATIKAN WAKTU
KEBAKARAN “.
Lampu tanda harus dipasang untuk menyatakan bahwa ada aliran listrik. Lampu tanda harus
dipasang di dekat pompa sedemikian rupa, sehingga mudah dilihat oleh operator.
Tanda yang dapat dilihat dan didengar untuk memberi peringatan apabila aliran listrik
terputus harus dipasang pada panel start motor listrik pompa. Aliran listrik untuk tanda
dimaksud harus dari aliran listrik lain yang melayani motor listrik.

22 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Apabila aliran listrik dari aki, maka aki harus dilengkapi dengan alat pengisi aki yang selalu
mengisi setiap saat.
Sekering berkapasitas tinggi harus dipasang untuk :
1). melindungi kabel-kabel listrik yang disambung ke motor listrik.
2). melindungi motor listrik sesuai dengan standar yang berlaku.
g). Pompa diesel.
Pompa dengan motor diesel disambung dengan kopling yang memungkinkan masing-
masing bagian dapat dilepas secara tersendiri. Ventilasi yang cukup harus diusahakan
dalam ruang diesel untuk mengurangi panas dan memberikan aliran udara.
Mesin yang digunakan harus dari jenis motor diesel dengan injeksi langsung yang dapat
dijalankan tanpa menggunakan sumbu, busi pemanas, eter atau letupan. Kapasitas penuh
harus dapat dicapai dalam waktu 15 detik sejak start.
Penggunaan super charger atau turbo charger dengan pendingin udara atau air
diperbolehkan.
Pompa diesel harus dapat bekerja terus-menerus pada beban penuh untuk waktu 6 jam dan
harus dilengkapi dengan alat pengatur kecepatan, dalam jangkauan 4,5% dari nilai
kecepatan yang ditentukan pada keadaan nilai beban permulaan sampai beban penuh.
Alat untuk mematikan mesin harus dilengkapi dengan alat manual dan kembali pada
keadaan siap start secara otomatis.
Tangki bahan bakar motor diesel harus dibuat dari baja yang di las.
Tangki harus dipasang lebih tinggi dari pompa bahan bakar (pompa injeksi diesel) untuk
dapat mengalirkan secara gravitasi.
Pada tangki harus dipasang alat yang dapat menunjukkan isi bahan bakar.
Kapasitas tangki harus mampu melayani motor yang bekerja pada beban penuh sesuai
dengan tabel 5.4.3.g.
Tabel 5.4.3.g.
Bahaya kebakaran ringan 3 jam
Bahaya kebakaran sedang 4 jam
Bahaya kebakaran berat 6 jam
Persediaan bahan bakar tambahan harus disediakan untuk waktu bekerja 6 jam disamping
bahan bakar yang telah ada dalam tangki bahan bakar.
Bila terdapat lebih dari satu motor, maka tiap motor harus mempunyai tangki bahan bakar
dan pipa penyalur yang terpisah.
Pipa penyalur bahan bakar tidak boleh dari bahan plastik.
Katup pipa penyalur harus dipasang dekat tangki bahan bakar dan harus selalu dalam
keadaan terbuka.
Harus disediakan dua cara menjalankan motor :
1). Start otomatis dengan cara memasang motor starter yang dilayani oleh aki. Motor
starter akan bekerja, apabila tekanan air dalam sistem springkler turun. Kapasitas aki

23 dari 83
SNI 03-3989- 2000

harus sedemikian rupa, sehingga mampu untuk menghidupkan motor starter 10 kali
berturut-turut tanpa pengisian kembali.
2). Start manual dengan cara engkol apabila motor tidak besar atau motor starter yang
dihidupkan secara manual.
Catatan :
Motor starter untuk start otomatis dapat juga dipakai untuk start manual apabila disediakan dua aki untuk
masing-masing penggunaan.
Pengisian aki harus dilakukan secara perlahan-lahan. Alat pengisi aki harus dilengkapi dengan sakelar
untuk memilih pengisian cepat. Alat pengisi aki harus dapat mengisi dua aki bersama-sama.
Harus selalu disediakan suku cadang yang terdiri dari :
(a). Dua set saringan bahan bakar
(b). Dua set saringan minyak pelumas lengkap dengan karet perapat (seal)
(c). Dua set tali kipas (bila digunakan tali kipas)
(d). Satu set kopling lengkap, gasket-gasket, slang-slang
(e). Dua set pengabut bahan bakar.
Motor harus dijalankan tiap minggu sekali selama sekurang-kurangnya 10 menit.
5.4.4. Sistem tangki bertekanan.
Apabila tangki bertekanan merupakan satu-satunya sistem penyediaan air, maka tangki
bertekanan hanya boleh melayani :
• Sistem bahaya kebakaran ringan
• Sistem bahaya kebakaran sedang kelompok I.
a). Persyaratan umum.
Tangki bertekanan harus diletakkan di tempat yang mudah dicapai dalam gedung atau di
luar gedung dalam ruangan yang tahan api. Ruang tangki bertekanan hanya boleh
digunakan sebagai ruangan untuk perlengkapan pemadam kebakaran.
Apabila tangki bertekanan digunakan sebagai satu-satunya sistem penyediaan air, maka
tangki harus dilengkapi dengan peralatan otomatis yang dapat menjaga tekanan dan tinggi
muka air dalam tangki selalu pada taraf yang disyaratkan.
Tanda yang dapat dilihat dan didengar harus dipasang untuk memberikan tanda bahaya
apabila tekanan dan atau tinggi muka air turun.
Manometer dan gelas penduga harus dipasang pada tangki untuk dapat mengetahui
keadaan tekanan dan tinggi muka air dalam tangki.
Keadaan tekanan dan tinggi muka air dalam tangki harus diperiksa setiap hari.
Katup penutup harus dipasang pada manometer dan gelas penduga, dan harus dalam
keadaan tertutup apabila pembacaan tidak dilakukan.
Katup penutup dan katup balik harus dipasang pada pipa penyalur dan ditempatkan sedekat
mungkin dengan tangki.
Tingkap pengaman tekanan harus dipasang sedemikian rupa, sehingga dudukannya kedap
air. Tingkap pengaman harus dihubungkan dengan udara di atas air dalam tangki untuk

24 dari 83
SNI 03-3989- 2000

dapat menyalurkan udara dengan cepat. Tingkap pengaman tekanan harus disetel untuk
bekerja pada tekanan yang ditentukan.
Sebuah tangki bertekanan tidak boleh melayani dua gedung dengan pemilik yang berbeda.
Tangki bertekanan harus dibersihkan dan dicat kembali setiap tiga tahun sekali.
b). Volume air yang harus selalu dipertahankan dalam tangki.
Apabila tangki bertekanan merupakan sistem penyediaan air satu-satunya, maka volume air
untuk :
Sistem bahaya kebakaran ringan 7 m3
Sistem bahaya kebakaran sedang kelompok I 23 m3

c). Tekanan udara.


Tekanan udara yang harus selalu dipertahankan dalam tangki tergantung pada :
1). Perbandingan udara dan air dalam tangki.
2). Tekanan minimum pada springkler tertinggi apabila air sudah mengalir dari tangki.
3). Kehilangan tekanan apabila tangki terletak dibawah springkler yang tertinggi.
Catatan :
Perbandingan udara terhadap air tidak boleh kurang dari : 1:3.
Tabel 5.4.4.c, menunjukkan tekanan udara dalam pipa dengan anggapan bahwa
perbandingan udara terhadap air adalah 1:3.
Tabel 5.4.4.c.
Tekanan minimum Tambahan tekanan
Perbandingan bila tangki sama tiap meter apabila
Klasifikasi bahaya
udara dalam tinggi dengan tangki di bawah
kebakaran
tangki springkler tertinggi springkler tertinggi.
(kg/cm2) (kg/cm2)
Bahaya kebakaran 1:3 8,60 0,30
ringan 1:2 5,40 0,20
2:3 3,80 0,15
Bahaya kebakaran 1:3 5,00 0,30
sedang kelompok I 1:2 3,00 0,20
2:3 2,00 0,15
Bahaya kebakaran 1:3 6,20 0,30
sedang kelompok II 1:2 3,80 0,20
2:3 2,60 0,15
Bahaya kebakaran 1:3 7,10 0,30
sedang kelompok III 1:2 4,40 0,20
2:3 3,00 0,15

5.5. Pengujian penyediaan air.


5.5.1. Pengujian untuk sistem penyediaan air kota dan tangki gravitasi.
Perlengkapan untuk pengujian penyediaan air harus dipasang pada setiap katup kendali untuk
membuktikan bahwa penyediaan air memberikan tekanan dan kapasitas yang disyaratkan.

25 dari 83
SNI 03-3989- 2000

5.5.2. Pengujian untuk sistem pompa kebakaran dan sistem tangki bertekanan.
Untuk melakukan pengujian secara berkala setiap pipa penguras yang dipasang langsung di atas
katup kendali mempunyai lubang penguji yang standar.
5.5.3. Tabel kehilangan tekanan.
Tabel 5.5.3.(1).: Untuk pipa flens besi cor.

Kapasitas Kehilangan tekanan 0,001 kg/cm2


(Liter/menit) 80 mm 100 mm 150 mm 200 mm 250 mm
540 9,4 2,1 0,32 - -
1.000 29,0 6,7 1,00 0,25 -
1.350 51,0 12,0 1,80 0,43 0,15
2.100 116,0 26,0 4,00 0,98 0,33
2.300 137,0 31,0 4,70 1,20 0,39
3.050 - 52,0 7,90 2,00 0,66
3.800 - 79,0 12,00 2,90 0,99
4.550 - 110,0 17,00 4,10 1,40
4.850 - - 19,00 4,60 1,60
6.400 - - 31,00 7,70 2,60
7.200 - - 39,00 9,50 3,20
8.000 - - 47,00 12,00 3,90
8.800 - - 56,00 14,00 4,70
9.650 - - 67,00 16,00 5,50

Tabel 5.5.3.(2). Panjang ekivalen dalam meter, untuk sambungan flens, bengkokan, belokan
Te, katup kendali dan katup penahan balik.

Ukuran pipa Sambungan flens Katup kendali dan


nominal bengkokan, katup penahan balik
(mm) belokan Te Bentuk aliran lurus Bentuk jamur
50 1,0 1,0 6
65 1,3 1,3 12
100 1,6 1,6 18
125 1,9 1,9 24
150 2,2 2,2 30
175 2,5 2,5 38
210 2,8 2,8 46
225 3,1 3,1 54
250 3,4 3,4 62

6. Penempatan dan Letak Kepala Springkler.


6.1. Penempatan kepala springkler.
Penempatan kepala springkler didasarkan luas lingkup maksimum tiap kepala springkler di dalam
satu deret dan jarak maksimum deretan yang berdekatan.
6.1.1. Bahaya kebakaran ringan.
a). Luas lingkup maksimum tiap kepala springkler :

26 dari 83
SNI 03-3989- 2000

1). springkler dinding 17 m2


2). springkler lain 20 m2

Gambar 6.1.2.a & b. Standar penempatan kepala springkler


b). Jarak maksimum antara kepala springkler dalam satu deretan dan jarak maksimum antara
deretan yang berdekatan :
1). springkler dinding ( lihat butir 6.12 )
2). springkler lain 4,6 m
Di bagian tertentu dari bangunan bahaya kebakaran ringan seperti :ruang langit-langit, ruang
besmen, ruang ketel uap, dapur, ruang binatu, gudang, ruang kerja bengkel dan

27 dari 83
SNI 03-3989- 2000

sebagainya, luas maksimum dibatasi menjadi sebesar 9 m2 tiap kepala springkler dan jarak
maksimum antara kepala springkler 3,7 m.
6.1.2. Bahaya kebakaran sedang.
a). Luas lingkup maksimum tiap kepala springkler :
1). springkler dinding 9 m2
2). springkler lain 12 m2
b). Jarak maksimum kepala springkler dalam satu deretan dan jarak maksimum deretan yang
berdekatan :
1). springkler dinding ( lihat butir 6.11 )
2). springkler lain :
(a). Jika penempatan standar 4 m (lihat gambar 6.1.2.a)
(b). Jika kepala springkler dipasang selang seling :
jarak maksimum antara kepala springkler 4,6 m
Jarak maksimum pipa cabang 4,0 m
( lihat gambar 6.1.2.b)
Untuk gudang pendingin yang memakai metode pendingin dengan sirkulasi udara,
penggilingan padi, studio film, panggung pada gedung pertunjukan, luas lingkup maksimum
tiap kepala springkler 9 m2 dan jarak maksimum antara kepala springkler 3 m.
Pengaturan penempatan kepala springkler selang-seling pada sistem bahaya kebakaran
sedang (butir 6.1.2) dimaksudkan untuk menempatkan kepala springkler terpisah sejauh
lebih dari 4 meter pada pipa cabang.
S = Perencanaan penempatan kepala springkler pada pipa cabang maksimum 1,6 mm
D = Jarak antara kepala springkler maksimum 4,0 m
S x D ∗ 12 m2
6.1.3. Bahaya kebakaran berat
a). Luas lingkup maksimum tiap kepala springkler :
1). umum 9 m2
2). dalam rak penyimpanan :
(a). dengan satu jajar springkler 10 m2
(b). dengan dua jajar springkler 7,5 m2
b). Jarak maksimum antara kepala springkler dalam satu deretan dan jarak maksimum
deretan yang berdekatan :
1). umum 3,7 m2
2). dalam rak penyimpanan 2,5 m2
Catatan : Jika dipasang lebih dari satu lapisan springkler dalam rak penyimpanan, penempatan kepala
springkler dilapis berikutnya harus diselang-seling.

28 dari 83
SNI 03-3989- 2000

6.2. Penempatan kepala springkler selang-seling.


Jarak kepala springkler yang terujung dengan dinding atau pemisah adalah ¼ dari jarak yang
direncanakan antara kepala-kepala springkler dalam satu deretan.
Jarak antara dua kepala springkler terujung dalam deretan tersebut di atas adalah ¾ dari jarak
yang direncanakan antara kepala-kepala springkler dalam satu deretan (lihat gambar 6.1.2.b)
6.3. Jarak minimum kepala springkler.
Jarak minimum antara dua kepala springkler tidak boleh kurang dari 2 m, kecuali jika ditempatkan
penghalang pancaran antara kepala springkler untuk mencegah pembahasan kepala springkler
lain oleh kepala springkler yang bekerja. Penghalang pancaran tersebut terdiri dari plat logam
dengan lebar 200 mm dan tinggi 150 mm dan apabila dipasang di pipa cabang bagian atas,
penghalang pancaran harus 50 ~ 75 mm di atas deflektor kepala springkler (lihat gambar
7.15.5.d).
6.4. Letak kepala springkler.
6.4.1. Dinding dan pemisah.
Jarak antara dinding dan kepala springkler dalam hal sistem bahaya kebakaran ringan tidak boleh
melebihi 2,3 m dan dalam hal sistem bahaya kebakaran sedang atau sistem bahaya kebakaran
berat tidak boleh melebihi dari 2 m.
Apabila gedung tidak dilengkapi langit-langit, maka jarak kepala springkler dan dinding tidak boleh
melebihi 1,5 m.
Gedung yang mempunyai sisi terbuka, jarak kepala springkler sampai sisi terbuka tidak boleh lebih
dari 1,5 m.

Gambar 6.4.2. Penempatan kepala springkler tambahan

29 dari 83
SNI 03-3989- 2000

6.4.2. Kolom.
Pada umumnya kepala springkler harus ditempatkan bebas dari kolom. Apabila hal tersebut tidak
dapat dihindari dan jarak kepala springkler terhadap kolom kurang dari 0,6 m, maka harus
ditempatkan sebuah kepala springkler tambahan dalam jarak 2 m dari sisi kolom yang berlawanan
6.4.3. Balok.
Kepala springkler harus ditempatkan dengan jarak sekurang-kurangnya 1,2 m dari balok.
Apabila balok mempunyai flens sebelah atas dengan lebar kurang dari 200 mm, maka kepala
springkler boleh dipasang di sebelah atas gelagar dengan catatan bahwa deflektor kepala
springkler harus berjarak lebih besar dari 150 mm di atas balok.

Gambar 6.4.3. Jarak kepala springkler terhadap balok


6.4.4. Kuda-kuda.
Pada umumnya kepala springkler harus selalu dipasang pada jarak mendatar sejauh minimum 0,3
m dari balok kuda-kuda yang lebarnya lebih kecil atau sama dengan 100 mm, dan minimum 0,6 m
apabila balok kuda-kuda yang lebarnya lebih besar dari 100 mm.
Apabila pipa cabang ditempatkan menyilang terhadap balok kuda-kuda, maka kepala springkler
boleh ditempatkan disebelah atas sumbu balok kuda-kuda yang lebarnya lebih kecil atau sama
dengan 200 mm dengan ketentuan bahwa deflektor kepala springkler berjarak lebih besar dari 150
mm dari balok kuda-kuda.
Apabila pipa cabang dipasang sejajar dengan balok kuda-kuda, maka jarak kepala springkler
terhadap balok kuda-kuda ditentukan sesuai dengan tabel 6.4.4.

30 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 6.4.4.
Jarak mendatar Tinggi maksimum deflektor kepala springkler dari tepi bawah balok
minimum (a) kepala ke atas (b)
springkler dari balok Kepala springkler Pancaran springkler (jenis pancaran ke
(mm) konvensional dipasang atas dan ke bawah) dan springkler
dengan pancaran ke atas konvensional dipasang dengan
(mm) pancaran ke bawah (mm)
100 - 17
200 17 40
400 34 100
600 51 200
800 68 300
1000 90 415
1200 135 460
1400 200 460
1600 265 460
1800 340 460
6.5. Tempat dan keadaan yang membutuhkan perhatian khusus.
6.5.1. Ruang tersembunyi.
a). Ruang atap.
Ruang atap dan langit-langit yang tingginya melebihi 0,8 m dari bagian atas langit- langit
harus dilindungi dengan springkler. Bila dalam ruang tersebut terdapat konstruksi yang
mudah terbakar dan tingginya kurang dari 0,8 mm disarankan dengan sangat agar dipasang
penyekat angin atau api dengan jarak antara 15 m untuk arah mendatar dan dipasang pada
setiap lantai untuk arah tegak.
b). Ruang antara lantai dan langit-langit di bawahnya.
Apabila terdapat ruang yang luas antara lantai dan langit-langit di bawahnya dengan
ketinggian lebih dari 0,8 m terdapat konstruksi atau barang-barang yang mudah terbakar,
harus dilindungi dengan springkler. Jika ketinggian dari ruang tersebut kurang dari 0,8 m
sangat disarankan agar dipasang penyekat angin atau api dengan jarak antara 15 m.
c). Ruang di bawah lantai permukaan tanah.
Springkler harus dipasang di semua ruang di bawah lantai permukaan tanah yang mudah
terbakar, kecuali :
1). Ruang tersebut tidak dapat dipergunakan untuk penimbunan barang atau dimasuki
oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dan dihindari terkumpulnya sampah.
2). Dalam ruangan tidak terdapat perlengkapan seperti pipa uap, pengawatan listrik
(kecuali kabel dalam pipa logam atau kabel berperisai logam berisolasi mineral dan
ditanahkan), shaft dan conveyor.
3). Lantai di atasnya tertutup rapat.
4). Tidak ada penyimpanan cairan yang mudah menyala di lantai atasnya.
d). Ruang di bawah unit mesin (Pit).
Ruang di bawah unit mesin (pit) dan unit produksi harus dilindungi dengan springkler.

31 dari 83
SNI 03-3989- 2000

e). Keadaan khusus.


Perpipaan untuk sistem pada butir 6.5.1.a. dan 6.5.1.b. dari sistem bahaya kebakaran
sedang dan sistem bahaya kebakaran berat dan bila dalam ruang tersebut hanya terdapat
pipa air, pengawatan listrik atau pemipaan sistem pengkondisian udara yang terbuat dari
bahan tidak mudah terbakar, maka semua perhitungannya berdasarkan sistem bahaya
kebakaran sedang.
Sistem springklernya dapat dipasang berdasarkan sistem bahaya kebakaran ringan dengan
kepala springkler 10 mm dan luas lingkupnya 21 m2, jika keadaannya tidak demikian, maka
pemasangan berdasarkan sistem bahaya kebakaran sedang.
6.5.2. Shaft untuk lift dan saluran peluncur tertutup yang menembus lantai.
Semua shaft untuk lif dan saluran peluncur tertutup yang menembus lantai di dalam gedung atau
berhubungan dengan gedung yang telah mempunyai sistem springkler harus dilengkapi dengan
kepala springkler. Kepala springkler di atas ruang luncur lif harus dilindungi dengan selubung
pelindung dari logam yang kuat.
6.5.3. Penampung debu.
Kepala springkler harus dipasang di dalam tempat penampung debu apabila di tempatkan:
a). di dalam gedung yang dilindungi dengan springkler
b). langsung di atas gedung yang dilindungi dengan springkler, kecuali jika atap gedung dibuat
dari bahan yang tidak mudah terbakar.
c). diluar, tetapi berhubungan dan sangat berdekatan dengan bangunan yang dilindungi
springkler dan dibawah satu penguasaan.
Catatan : Jika penampung debu tidak terletak jauh dari gedung, harus dipasang satu kepala springkler di dalam
saluran peluncur utama pada tempat saluran tersebut masuk gedung.
6.5.4. Penggilingan jagung, gabah, bahan makanan ternak dan pabrik minyak nabati.
a). Dalam saluran debu yang terbuat dari bahan mudah terbakar dan dipasang dengan sudut
yang lebih besar dari 30o terhadap garis tegak harus ditempatkan kepala springkler dengan
jarak masing-masing tidak lebih dari 3 m.

Gambar : 6.5.4. Pemasangan kepala springkler pada mesin sentrifugal yang bertingkat.

32 dari 83
SNI 03-3989- 2000

b). Sebuah kepala springkler harus dipasang pada ujung atas dari setiap saluran debu.
c). Bila sejumlah mesin sentrifugal atau mesin sejenis ditempatkan bertingkat dalam kelompok
dengan jarak masing-masing kurang dari 1 m, kepala springkler harus dipasang sesuai
gambar 6.5.4.
6.6. Ruangan penyimpanan dan silo.
Apabila dalam ruangan penyimpanan dan silo yang dibuat dari bahan mudah terbakar yang
luasnya lebih dari 9 m2 disimpan tepung gandum, sekam, atau bahan sejenis yang telah
mengalami proses dalam pabrik gandum, pabrik minyak nabati, instalasi penyulingan atau serbuk
kayu, serbuk arang atau bahan sejenis yang mudah menyala dan bakarannya dapat dipadamkan
dengan air, bagian dalam ruangan tersebut harus dilindungi dengan kepala springkler, setiap
kepala springkler melindungi 9 m2.
Catatan : Apabila bahan-bahan disimpan dapat mengembang jika basah dan dikhawatirkan ruangan penyimpanan itu
pecah, penyimpangan dari ketentuan tersebut di atas diperkenankan atas ijin khusus dari yang berwenang.
6.7. Eskalator.
Kepala springkler harus dipasang di bawah eskalator, di rongga bawah dan ruangan motor
eskalator.
6.8. Ruang pengecatan, oven pengering dan ruang pengering tertutup.
Dalam ruang pengecatan, oven pengering dan ruang pengeringan yang tertutup harus dipasang
kepala springkler . Untuk tujuan ini dapat digunakan kepala springkler dinding.
6.9. Penghalang pencaran kepala springkler.
6.9.1. Platform, balkon, titian, panggung, berbagai macam tangga dan saluran peluncur
Kepala sringkler diperlukan di bawah konstruksi platform, balkon, titian, panggung dan berbagai
macam tangga, saluran peluncur dan penghalang lain jika lebarnya lebih besar dari 0,8 m.
Apabila ada celah 150 mm bebas dari dinding, lebar konstruksi tersebut boleh sampai 1 m.
6.9.2. Saluran tertutup.
Kepala springkler diperlukan di bawah saluran tertutup berpenampang persegi yang ukuran
lebarnya lebih besar dari 0,8 m atau berpenampang persegi yang berukuran lebih besar dari 1 m.
Apabila ada celah 150 mm bebas dari dinding, batas ukurannya dapat menjadi masing-masing 1 m
dan 1,2 m.
6.9.3. Langit-langit gantung dan yang sejenis.
Segala konstruksi di bawah kepala springkler tidak diijinkan, kecuali jika dapat dibuktikan kepada
yang berwenang, bahwa konstruksi tersebut tidak menghalangi pancaran springkler. Apabila
kepala springkler dipasang pada langit-langit gantung dan yang sejenis, harus dibuktikan kepada
yang berwenang bahwa langit-langit gantung tersebut tidak akan runtuh pada permulaan
kebakaran.
6.9.4. Tudung di atas mesin pembuat kertas.
Bagian dalam dari tudung mesin pembuat kertas pada bagian yang kering harus dilindungi dengan
springkler. Dalam hal ini dapat dipakai kepala springkler pancaran satu arah. Katup sekunder yang
interlok dengan mesin untuk melayani sistem springkler dalam tudung boleh digunakan atas
persetujuan pihak yang berwenang.

33 dari 83
SNI 03-3989- 2000

6.9.5. Meja kerja.


Kepala springkler tambahan dapat dipasang di bawah meja kerja jika terdapat mesin penggerak
atau bahan sisa yang mudah terbakar dapat terkumpul di bawah meja tersebut.
6.9.6. Rak penyimpanan barang.
Kepala springkler harus dipasang pada posisi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan
perlindungan yang efektip kepada barang yang disimpan di rak-rak.
6.9.7. Studio film dan televisi.
a). Pada studio film dan televisi dimana terdapat platform, rak/gantungan atau sejenis untuk
penerangan dan perlengkapan lain yang permanen terbuat dari plat tertutup atau berlubang-
lubang termasuk tangga yang lebarnya lebih dari 0,8 m harus dilengkapi dengan kepala
springkler di bagian bawahnya.
b). 1). Ruangan tersembunyi atau rongga antara dinding atau atap dan pelapis yang
dapat terbakar dengan jarak antara lebih besar dari 10 cm harus dilengkapi dengan
kepala springkler.
2). Dalam ruangan atau rongga tersebut dalam sub ayat b (1) diatas boleh dipasang kabel
listrik dengan syarat bahwa pengawatan dilaksanakan dalam pipa baja berulir atau
menggunakan kabel berisolasi mineral berperisai logam.
6.10. Gedung pertunjukan dan gedung musik.
6.10.1. Perlindungan bagian panggung.
Sebagai tambahan pada pemasangan springkler biasa, harus dipasang kepala springkler pada
setiap bagian panggung, misalnya di bawah konstruksi rangka besi, dibagian bawah lantai antara
atap dan lantai panggung, di bawah panggung, dalam ruangan-ruangan yang berhubungan
langsung dengan panggung kecuali apabila dilengkapi dengan pintu tahan api antara panggung
dan ruangan lainnya.
Apabila dipasang layar tahan api, maka harus dilengkapi dengan sederet kepala springkler terbuka
dan katup kendali harus dari jenis yang cepat terbuka dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga
mudah dicapai.
Penyediaan air untuk melayani springkler terbuka tersebut tidak boleh diambil dari sistem
springkler otomatis.
6.10.2. Perlindungan bagian penonton.
Kepala springkler harus dipasang pada semua bagian dalam ruang penonton seperti :
a). Bar
b). Boks
c). Dalam gang dan ruang pamer
d). Balkon
e). Bagian bawah balkon
f). Di atas tempat penonton
g). Antara atap dan langit-langit di atas ruang penonton
h). Ruang penyimpanan minimum

34 dari 83
SNI 03-3989- 2000

i). Lobi.
6.11. Springkler dinding.
6.11.1. Penggunaan.
Springkler dinding seperti yang diatur dalam bab ini pada umumnya dimaksudkan untuk digunakan
dalam ruangan yang berlangit-langit datar dan rata.
Tidak boleh ada penghalang di sekeliling kepala springkler pada langit-langit dengan jarak 1 mm
sejajar dengan dinding dan 1,8 m tegak lurus pada dinding.
Tinggi balok yang terletak seperti ketentuan tersebut di atas harus kurang dari 100 mm. Perletakan
balok yang mempunyai tinggi lebih dari 100 mm diatur dalam tabel 6.11.
Apabila persyaratan yang tercantum pada tabel 6.11 tidak dapat dipenuhi, maka bagian-bagian
yang terhalang harus mendapat perlindungan tersendiri.
Tabel 6.11.
Tinggi balok minimum yang Jarak minimum dari springkler ke balok
tidak boleh dilampaui (mm) Ke arah tegak lurus Ke arah sejajar
terhadap dinding (m) dinding (m)
100 1,8 1,0
125 2,1 1,2
150 2,4 1,4
175 2,7 1,6
200 3,0 1,8
6.11.2. Penempatan kepala springkler dinding.
Penempatan deflektor kepala springkler dinding tidak boleh lebih dari 150 mm atau kurang dari
100 mm dari langit-langit.
Sumbu kepala springkler tidak boleh lebih dari 150 mm atau kurang dari 50 mm dari dinding
tempat kepala springkler dipasang.
6.12. Jarak maksimum untuk penempatan kepala springkler dinding samping.
6.12.1. Sepanjang dinding.
Sistem bahaya kebakaran ringan 4,6 m.
Sistem bahaya kebakaran sedang :
• 3,4 m (langit-langit tidak tahan api)
• 3,7 m (langit-langit tahan api)
6.12.2. Dari ujung dinding.
• Sistem bahaya kebakaran ringan 2,3 m
• Sistem bahaya kebakaran sedang 1,8 m
6.12.3. Jumlah deretan kepala springkler.
a). Untuk ruangan yang lebarnya lebih kecil atau sama dengan 3,7 m, cukup dilengkapi
dengan sederet springkler sepanjang ruangan. Untuk ruangan yang lebarnya antara 3,7 m
sampai 7,4 m harus dilengkapi dengan deretan springkler sepanjang ruangan pada tiap
sisinya.

35 dari 83
SNI 03-3989- 2000

b). Untuk ruangan yang panjangnya lebih dari 9,2 m (bahaya kebakaran ringan) atau lebih dari
7,4 m (bahaya kebakaran sedang) deretan springkler harus dipasang selang-seling,
sehingga setiap kepala springkler terletak pada garis tengah antara dua kepala springkler
yang berhadapan.
c). Untuk ruangan yang lebarnya lebih dari 7,4 m deretan kepala springkler jenis konvensional
(dipasang pada langit-langit) harus dipasang pada langit-langit di tengah-tengah antara dua
deret kepala springkler sebagai tambahan.
7. Komponen dari sistem springkler.
7.1. Spesifikasi dan standard.
Pipa yang digunakan untuk sistem springkler harus dari jenis yang disebut dibawah ini :
• Pipa baja :
• Pipa baja galbani (pipa putih)
• Pipa besi tuang dengan flens
• Pipa besi tuang dengan mof
• Pipa tembaga
dengan standar minimum klas menengah (medium).
7.2. Ukuran pipa.
7.2.1. Ukuran pipa sebagian ditentukan dengan tabel dan sebagian dengan perhitungan
hidrolik. Untuk sistem bahaya kebakaran, tabel ukuran pipa hanya berlaku untuk pipa cabang
seperti dalam butir 7.3.
Sedang untuk pipa pembagi, pipa tegak dan pipa lainnya harus dihitung. Untuk sistem bahaya
kebakaran sedang dan sistem bahaya kebakaran berat dan dua bagian tabel pipa, satu tabel untuk
semua pipa cabang dan satu tabel untuk sebagian pipa pembagi yang di ujung paling jauh pada
setiap lantai.
Pipa pembagi selebihnya dan pipa tegak utama harus dihitung.
Gambar 7.2.1.a s/d 7.2.1.e memperlihatkan jaringan pipa dan batas dari mana perhitungan hidrolik
dilakukan.
Jika dalam satu susun dalam satu ruangan jumlah kepala springkler lebih kecil atau sama dengan
jumlah hasil perhitungan bagi pipa pembagi, maka perhitungan harus dimulai dari pipa cabang
yang terdekat pada katup kendali.
Jika pipa cabang atau kepala springkler tunggal disambung pada pipa pembagi dengan pipa
tegak, maka pipa tegak dianggap sebagai pipa pembagi.
Titik desain adalah tempat dimana dimulai perhitungan pipa pembagi dan pipa cabang. Dalam
perhitungan ukuran pipa pada sistem springkler, ukuran pipa hanya boleh mengecil sejalan
dengan arah pengaliran air, kecuali yang ditentukan pada butir 7.6.4.

36 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.2.1.a. : Sistem bahaya kebakaran ringan.

37 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Sistem terdiri dare 276 kepala springkler.


Perletakan 1 : 12 m2 ( 3,46 m x 3,46 m ) sepanjang desain hidrolik antara :
Titik A dan katup kendali ± 46 m Titik D dan katup kendali ± 71 m

Titik B dan katup kendali ± 43 m Titik E dan katup kendali ± 69 m

Titik C dan katup kendali ± 64 m Titik D dan katup kendali ± 73 m

Gambar 7.2.1.b. Sistem bahaya kebakaran ringan.

38 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.2.1.c. Sistem bahaya kebakaran berat.


( Sistem dengan ukuran pipa sesuai tabel 7.6.1.a & b )

39 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.2.1.d. : Sistem bahaya kebakaran berat.


( Sistem dengan ukuran pipa menurut tabel 7.6.2. a & b )

40 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.2.1.e : Sistem pada bahaya kebakaran berat


( Sistem dengan ukuran pipa menurut tabel 7.6.3 a & b )

41 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.2.2. Pelat berlubang.


Apabila diperlukan memasang pelat berlubang dalam pipa demi keseimbangan sesuatu sistem
atau demi penyesuaian dengan kurva pompa, garis tengah lubang pelat tidak boleh lebih kecil dari
50% dari ukuran pipa yang bersangkutan dan hanya diizinkan dipasang pada pipa berukuran
sama atau lebih besar dari 50 mm.
Pelat dibuat dari kuningan atau logam tahan korosi dengan bagian lubangnya harus terletak
ditengah dan licin.
Tebal pelat harus sesuai dengan tabel 7.2.2, jarak pelat sampai belokan atau siku tidak boleh lebih
kecil dari 2x ukuran pipa diukur menurut arah arus air.
Pelat berlubang harus mempunyai tonjolan untuk tempat tanda pengenal ukuran nominal pipa dan
faktor “K”. Hubungan antara ukuran lubang pelat, aliran dan kehilangan tekanan dapat dilihat pada
appendiks I.
Tabel 7.2.2. : Pelat berlubang
Ukuran pipa (mm) Tebal pelat berlubang (mm)
50
65 3
80
100
6
150
200 9

7.3. Sistem bahaya kebakaran ringan.


7.3.1. Sistem dengan pengadaan air sesuai dengan debit 225 liter/menit dan tekanan
2,2 kg/cm2 ditambah tekanan statik dari kepala springkler tertinggi terhadap katup kendali.

Tabel 7.3.1.: Pipa cabang untuk bahaya kebakaran ringan

Ukuran pipa Jumlah maksimum


Keterangan
(mm) kepala springkler
Masih dimungkinkan pemakaian pipa berukuran
25 mm di antara “2-3 titik kelompok springkler”
dan katup kendali apabila perhitungan hidrolik
25 3 mengizinkan. Apabila “titik kelompok springkler
2” sebagai titik desain, pipa berukuran 25 mm
tidak boleh dipakai diantara kepala springkler ke
3 dan ke 4.

7.3.2. Perhitungan hidrolik untuk pipa pembagi (Sistem bahaya kebakaran ringan).
Ukuran pipa di antara “titik kelompok springkler 2” (gambar 4.3.1.a) pada ujung-ujung sistem dan
katup kendali harus dihitung secara hidrolik. Jumlah kehilangan tekanan dalam pipa (termasuk
semua pipa tegak dan belokan) diantara “titik kelompok springkler 2” dan katup kendali tidak boleh
lebih besar dari 0,9 kg/cm2.
Apabila terdapat lebih dari 2 kepala springkler pada pipa cabang, kehilangan tekanan di bagian
pipa cabang di antara “titik kelompok springkler 2” dan tiitik tempat masuk dalam pipa pembagi
harus dihitung menurut kehilangan tekanan tiap meter sesuai dengan tabel 7.3.2 kolom 2.

42 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Kehilangan tekanan pada jaringan pipa pembagi di antara sambungan pipa cabang di ujung
terjauh dari sistem dan katup kendali harus dihitung menurut kehilangan tekanan tiap meter sesuai
dengan tabel 7.3.2 kolom 3.
Pemakaian pipa ukuran 25 mm dimungkinkan di antara “titik kelompok springkler 2-3” dan katup
kendali asal sesuai dengan perhitungan.
Hal ini tidak berarti bahwa pipa berukuran 25 mm selalu boleh dipasang antara titik springkler ke 3
dan ke 4 apabila titik desain ditentukan untuk “titik kelompok springkler 2”.
Apabila pipa cabang terdapat 3 kepala springkler atau lebih ditempatkan pada bubungan atap atau
apabila 3 kepala springkler atau lebih di dalam lorong atau ruangan sempit memanjang, maka
kehilangan tekanan yang terjadi,
a). di antara “titik kelompok springkler 3” dan katup kendali dimana terdapat hanya kepala
springkler pada pipa cabang.
b). di antara “titik kelompok springkler 3” dan katup kendali dimana terdapat 4 kepala springkler
atau lebih pada pipa cabang.
c). tidak boleh lebih besar dari 0,7 kg/cm2 untuk “titik kelompok springkler 3” (lihat gambar
7.2.1.a) dan kehilangan tekanan tersebut dihitung sesuai dengan tabel 7.3.2 kolom 3.
Tabel 7.3.2.
Ukuran pipa
Kehilangan tekanan 10-3 atm/m panjang pipa
(mm)
Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3
25 44 200
32 12 51
40 5,5 25
50 1,7 7,8
65 0,49 2,2

Untuk gedung bertingkat atau gedung yang mempunyai ruang bawah tanah, kehilangan tekanan
sesuai dengan perhitungan di atas dapat ditambah dengan tekanan statik antara kepala springkler
bersangkutan dan kepala springkler tertinggi.
Apabila dipakai pipa kualitas berat, maka harus menggunakan tabel A.2.3.1. dengan memakai
aliran 100 liter/men untuk kolom 2 dan 225 liter/men untuk kolom 3. Kehilangan tekanan untuk
belokan, siku, te, sama dengan 2 meter panjang pipa.
7.4. Sistem bahaya kebakaran sedang.
7.4.1. Bahaya kebakaran sedang kelompok I.
Penyediaan air harus mengalirkan air dengan kapasitas 375 liter/menit dan bertekanan 1,0
kg/cm2 atau kapasitas 540 liter/menit dan bertekanan 0,7 kg/cm2 ditambah tekanan air yang
ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler tertinggi. Tekanan diukur
pada katup kendali.
7.4.2. Bahaya kebakaran sedang kelompok II.
Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 725 liter/menit dan bertekanan 1,4
kg/cm2 atau kapasitas 1000 liter/menit dan bertekanan 1,0 kg/cm2 ditambah tekanan yang ekivalen
dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler tertinggi. Tekanan diukur pada
katup kendali.

43 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.4.3. Bahaya kebakaran sedang kelompok III.


Penyediaan air harus mampu mengalirkan air dengan kapasitas 1100 liter/menit dan bertekanan
1,7 kg/cm2 dan kapasitas 1350 liter/menit dan bertekanan 1,4 kg/cm2 ditambah tekanan yang
ekivalen dengan perbedaan tinggi antara katup kendali dengan springkler tertinggi. Tekanan diukur
pada katup kendali.
Tabel 7.4.3. (1).
Pipa cabang untuk sistem bahaya kebakaran sedang.

Ukuran Jumlah maksimum kepala


No. Pipa cabang pipa springkler yang diijinkan
( mm ) pada pipa cabang.
A Pipa cabang pada ujung pipa
pembagi.
1 Susunan cabang tunggal 25 1
dengan 2 kepala springkler.
Dua pipa cabang terakhir. 32 2
2 Susunan cabang tunggal 25 2
dengan 3 kepala springkler.
Tiga cabang terakhir. 32 3
3 Susunan lain. 25 2
Cabang terakhir. 32 3
40 4
50 9
B Pipa cabang lain : 25 3
32 4
40 6
50 9
Catatan :
Pipa cabang yang dipasang memanjang di bawah atap yang mempunyai kemiringan lebih dari 6 derajat tidak
boleh mempunyai lebih dari 6 kepala springkler.
Tabel 7.4.3. (2) : Pipa pembagi untuk sistem bahaya kebakaran sedang

Ukuran Jumlah maksimum kepala


No. Pipa cabang pipa springkler yang diijinkan
( mm ) pada pipa cabang.
A Pipa cabang pada ujung
sistem.
1 Susunan cabang tunggal 32 2
dengan 2 kepala springkler. 40 4
. 50 8
65* 16*
2 Susunan lain 32 3
. 40 6
50 9
65* 18*
B Pipa pembagi di antara ujung Perhitungan hidrolik dihitung
sistem dan katup kendali. tersendiri menurut butir 7.4.4.
Sistem bahaya kebakaran
sedang.

44 dari 83
SNI 03-3989- 2000

* Pada tabel ini masih dimungkinkan pemakaian pipa berukuran 65 mm di antara “titik kelompok springkler 16 ~
18” dan katup kendali apabila hasil perhitungan hidrolik mengijinkan.
7.4.4. Pehitungan hidrolik pipa pembagi ( sistem bahaya kebakaran sedang ).
Ukuran pipa termasuk pipa pembagi utama dan semua pipa tegak di antara “tiitik kelompok
springkler 16-18” pada ujung sistem yang tertinggi dan katup kendali harus dihitung secara hidrolik
agar kehilangan tekanan tidak melebihi 0,5 kg/cm2 dengan kapasitas 1000 liter/men.
Perhitungan kehilangan tekanan dilakukan dengan tabel 7.4.4. Apabila suatu gedung bertingkat
dilindungi oleh sistem springkler, maka perhitungan kehilangan tekanan dapat ditambah dengan
tekanan statis yang besarnya sama dengan beda tinggi antara tingkat yang bersangkutan dan
tingkat tertinggi.
Pada gambar denah blok harus diperlihatkan tekanan yang disyaratkan, diukur di tempat katup
kendali didasarkan pada springkler tertinggi yang diperlukan pada waktu pengujian. Springkler
tertinggi adalah kepala springkler yang dipasang atau akan dipasang pada titik tertinggi.
Tabel 7.4.4.
Ukuran pipa Kehilangan tekanan 10-3 bar/m panjang pipa
(mm) dengan kapasitas 1000 liter/men
65 35
80 16
100 4,4
150 0,65
200 0,16
Catatan : Untuk perhitungan kehilangan tekanan pipa kelas berat dipakai tabel A.2.3.1. dengan kapasitas air 1000
L/menit. Setiap siku, te, belokan dapat diperhitungkan sebagai pipa lurus panjang 3 m.
7.5. Sistem bahaya kebakaran berat.
Penentuan ukuran pipa untuk hunian bahaya kebakaran berat berdasarkan pada :
a). Kepadatan aliran yang diperlukan
b). Jarak kepala springkler
c). Ukuran kepala springkler, lubang standar 15 mm atau lubang besar 20 mm
d). Karakteristik tekanan dan atau aliran dari penyediaan air.
Untuk perhitungan yang ekonomis digunakan 3 cara, dengan tabel 7.5.1.a & b, tabel 7.5.2.a & b
dan tabel 7.5.3.a & b.
7.5.1. Untuk sistem dengan kepadatan aliran yang direncanakan tidak melebihi 15
mm/men.
Penyediaan air sesuai dengan persyaratan tekanan/aliran pada tabel 5.2.3.(1) dan menggunakan
kepala springkler berukuran nominal 15 mm.

45 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 7.5.1.(1).: Pipa cabang untuk bahaya kebakaran berat.


Ukuran pipa Jumlah maksimum kepala
No. Pipa cabang nominal springkler yang diijinkan
( mm ) pada pipa cabang.
Pipa cabang pada ujung pipa
A
pembagi.
Susunan cabang tunggal dengan 25 1
1 2 kepala springkler.
Dua pipa cabang terakhir. 32 2
Susunan cabang tunggal dengan 25 2
2 3 kepala springkler.
Tiga pipa cabang terakhir. 32 3
Susunan lain. 25 2
3 32 3
Pipa cabang terakhir,
40 4
25 3
B Pipa cabang lain
32 4
Catatan :
1. Pada satu pipa cabang tidak diizinkan dipasang lebih dari 4 kepala springkler.
2. Pipa cabang tidak boleh disambung pada pipa pembagi yang berukuran lebih besar dari 150 mm.

Tabel 7.5.1.(2).: Pipa pembagi untuk bahaya kebakaran berat


Ukuran Jumlah maksimum kepala
pipa springkler yang diijinkan
No. Pipa cabang
nominal pada pipa cabang.
( mm )
A Pipa pada ujung sistem. 32 2
40 4
50 8
65 12
80 18
100 48*
B Pipa pembagi di antara ujung sistem Perhitungan hidrolik dihitung
dan katup kendali. tersendiri menurut butir 7.5.4.

* Pemakaian pipa berukuran 100 mm masih dimungkinkan di antara “titik kelompok springkler 48” dan katup
kendali apabila hasil perhitungan hidrolik mengijinkan.
7.5.2. Untuk sistem dengan kepadatan aliran yang direncanakan tidak melebihi
15 mm/men.
Penyediaan air sesuai dengan persyaratan tekanan/aliran pada tabel 5.2.3.(2) dan menggunakan
kepala springkler berukuran nominal 15 mm.

46 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 7.5.2.a.: Pipa cabang untuk bahaya kebakaran berat.


Jumlah maksimum kepala
Ukuran pipa
Pipa cabang springkler yang diijinkan
nominal (mm).
pada pipa cabang.
A Pipa cabang pada ujung.
Susunan cabang tunggal 25 1
1 dengan 2 kepala springkler
Dua pipa cabang terakhir 32 2
Susunan cabang tunggal 25 2
2 dengan 3 kepala springkler.
Tiga pipa cabang terakhir 32 3
Susunan lain. 25 2
3
Pipa cabang terakhir. 40 4
Pipa cabang lain. 25 3
B
32 4
Catatan :
1. Pada satu pipa cabang tidak diizinkan dipasang lebih dari 4 kepala springkler.
2. Pipa cabang tidak boleh disambung pada pipa pembagi yang berukuran lebih besar dari 150 mm.

Tabel 7.5.2.b.: Pipa pembagi untuk bahaya kebakaran berat.


Pipa pembagi Ukuran pipa Jumlah maksimum kepala
nominal springkler yang dapat dilayani
(mm) oleh pipa pembagi
A. Pipa pada ujung sistem. 50 ** 4
65 8
80 12
100 16
150 48*
B. Pipa pembagi di antara ujung Perhitungan hidrolik dihitung
sistem dan katup kendali. tersendiri menurut butir 7.5.4.
• Pemakaian pipa berukuran 150 mm masih dimungkinkan di antara “titik kelompok kepala springkler 48”
dan katup kendali apabila hasil perhitungan hidrolik mengijinkan.
** Tidak boleh dipakai pipa pembagi berukuran kurang dari 65 mm pada susunan cabang tunggal dengan 4
kepala springkler.
7.5.3. Untuk sistem dengan kepadatan aliran yang direncanakan tidak melebihi 30
mm/men.
Penyediaan air sesuai dengan persyaratan tekanan/aliran pada tabel 2.3.3.b.(1) dan
menggunakan kepala springkler berukuran nominal 15 mm.

47 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 7.5.3.a : Pipa cabang untuk bahaya kebakaran berat

Ukuran pipa Jumlah maksimum kepala


Pipa cabang nominal springkler yang diizinkan pada
(mm) pipa cabang.
Cabang Tunggal.
40 1
a. 3 Pipa cabang terakhir pada 50 3
ujung susunan pipa pembagi
65 6
32 1
40 2
b Pipa cabang lain.
50 4
65 6

Cabang Ganda
Susunan cabang dengan 2
kepala springkler.
a. Tiga pipa cabang terakhir pada 32 1
ujung pipa pembagi 40 2
b Pipa cabang lain 32 2
3 dan 4 kepala springkler pada 32 2
susunan cabang. 40 1
Semua pipa cabang 50 2
50 4
Catatan :
Pada susunan cabang tunggal, maksimum 6 kepala springkler boleh dipasang pada satu pipa cabang.
Pada susunan cabang ganda, maksimum 4 kepala springkler boleh dipasang pada satu pipa cabang.
Pipa cabang tidak disambung pada pipa pembagi dengan ukuran lebih besar dari 150 mm.

Tabel 7.5.3.b : Pipa pembagi untuk bahaya kebakaran berat.


Ukuran pipa Jumlah maksimum kepala
Pipa pembagi nominal springkler yang dapat dilayani
(mm) oleh pipa pembagi
50 4
65 8
A. Pipa pada ujung sistem 80 12
100 16
150 48
Pipa pembagi di antara ujung Perhitungan hidrolik dihitung
B.
sistem dan katup kendali. tersendiri menurut ayat 7.5.4.
Catatan :
*). Pemakaian pipa berukuran 150 mm, masih dimungkinkan di antara “titik kelompok kepala springkler 48”
dan katup kendali apabila hasil perhitungan hidrolik mengizinkan.
**). Pada susunan cabang tunggal dengan 4 kepala springkler, tidak boleh dipakai pipa pembagi berukuran
kurang dari 65 mm pada susunan cabang tunggal dengan 4 kepala springkler.

48 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.5.4. Perhitungan hidrolik pada pipa pembagi (Sistem bahaya kebakaran berat).
Pipa pembagi pada pipa tegak di antara katup kendali dan titik akhir pada jaringan pipa (dengan
perkataan lain pada “titik kepala springkler 48”), atau titik pemasukan deretan kepala springkler
dengan jumlah kepala springkler kurang dari 48 (lihat butir 5.2.3) harus dihitung dengan cara
hidrolik berdasarkan kondisi aliran yang tercantum pada tabel 5.2.3.(1). dan 5.2.3.(2).
Kehilangan tekanan dalam pipa yang telah dihitung untuk tekanan seperti tertera dalam tabel
5.2.3.(1) dan 5.2.3.(2) ditambah tekanan statis yang disebabkan oleh letak kepala springkler
tertinggi di atas ketup kendali tidak boleh melebihi sisa tekanan yang tersedia pada sistem
penyediaan air. Bila kepala springkler tertinggi tidak melampaui “titik kelompok kepala springkler
48”, maka bagian tersebut yang memerlukan “tekanan statik” lebih tinggi, harus mempunyai akhir
pipa pembagi tersendiri.
Kehilangan tekanan pada pipa pembagi ke setiap bagian dari sistem pada bahaya kebakaran
berat harus disesuaikan dengan ketentuan tersebut, baik dengan cara penentuan ukuran pipa
pembagi ataupun dengan pemasangan pelat berlubang pada pipa utama (lihat appendix 1) atau
dengan cara gabungan kedua cara tersebut. Kehilangan tekanan yang tercantum pada tabel 7.5.4.
harus digunakan dalam perhitungan tersebut di atas.
Tabel 7.5.4.
Aliran air Kehilangan tekanan 10-3 bar / m panjang pipa
( liter / menit ) 100 mm 150 mm 200 mm 250 mm
1.000 4,4 0,65 0,16 0,054
1.500 9,3 1,4 0,35 0,12
2.000 16 2,4 0,59 1,20
2.300 21 3,0 0,76 0,25
3.050 34 5,1 1,3 0,43
3.800 52 7,7 1,9 0,64
4.550 72 11 2,7 0,90
4.850 81 12 3,0 1,0
6.400 140 20 5,1 1,7
7.200 170 25 6,3 2,1
8.000 210 31 7,7 2,6
8.800 250 36 9,1 3,0
9.650 290 43 11 3,6
Catatan :
Apabila digunakan pipa kwalitas berat, perhitungan kehilangan tekanan yang tercantum pada tabel di atas
diganti dengan tabel A.2.3.1. dengan menggunakan aliran air yang sesuai. Kehilangan tekanan pada setiap
belokan, siku, te, dapat disamakan senilai dengan kehilangan tekanan dalam pipa lurus sepanjang 3 m.
7.5.5. Perhitungan hidrolik untuk sistem bahaya kebakaran berat.
Untuk mendapatkan pemipaan yang ekonomi pada jaringan pipa yang komplek dilakukan
perhitungan hidrolik pada setiap bagian.
Dalam hal ini dibuat diagram perpipaan yang memperlihatkan panjang dan ukuran pipa,
perubahan arah aliran, debit air pada setiap pipa dan setiap kepala springkler, tekanan pada setiap
pertemuan aliran dan juga memperlihatkan setiap pengaruh dari perubahan ketinggian yang harus
disetujui oleh instansi yang berwenang.

49 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Data tersebut harus menunjukkan tekanan dan debit yang disyaratkan dari penyediaan air apabila
sistem springkler dalam keadaan bekerja meliputi daerah lingkup yang direncana kan., yaitu :
a). Debit air minimum; dalam hal ini kepala springkler yang bekerja pada keadaan yang tidak
menguntungkan terhadap penyediaan air.
b). Debit maksimum; dalam hal ini kepala springkler yang bekerja berada pada tempat yang
terdekat dengan penyediaan air.
(lihat appendix 2 untuk cara yang harus diikuti dalam perhitungan).
7.5.6. Pemipaan untuk perlindungan tambahan di dalam rak penyimpanan yang
termasuk sistem bahaya kebakaran berat.
Apabila kepala springkler tambahan dipasang pada tingkat antara di dalam rak, pemipaan cukup
memenuhi persyaratan sistem bahaya kebakaran sedang (tabel 4.5.1.a & b) kecuali apabla
pemipaan disambungkan dengan pipa tegak pada pipa pembagi di langit-langit atau di atap.
Ukuran pipa tegak tersebut harus dihitung secara hidrolik atau digunakan pelat berlubang untuk
membatasi pemakaian air, sehingga kelebihan pemakaian air tidak lebih besar dari 15% dari
permukaan air menurut persyaratan teoritis yang dihitung dengan perhitungan :
“ Daerah lingkup operasi x kepadatan aliran yang direncanakan x jumlah tingkat antara. “
Pipa pembagi untuk kepala springkler tersebut harus disambungkan pada pipa pembagi untuk
kepala springkler atau pada tempat di antara “titik kelompok kepala springkler 48” dan katup
kendali, kecuali jika dilakukan perhitungan hidrolik dan disetujui oleh instansi yang berwenang.
Dalam menentukan ukuran pipa pembagi untuk kepala springkler atap tersebut diatas, debit air
yang dibutuhkan adalah jumlah debit air untuk kepala springkler tingkat antara dan untuk kepala
springkler atap.
Apabila rak-rak berdiri bebas dan kepala springkler tingkat antara disambung dengan pipa tegak
pada pipa pembagi untuk kepala springkler atap, pipa tegak lurus harus disambung dengan pipa
logam fleksibel atau disambungkan universal pada tempat sambungan di pipa pembagi.
7.6. Kepala springkler dalam ruangan tersembunyi.
7.6.1. Sistem bahaya kebakaran ringan.
Kepala springkler untuk ruangan tersembunyi harus dilayani oleh jaringan pipa terpisah dari pipa
yang melayani kepala springkler untuk ruangan dibawahnya.
7.6.2. Sistem bahaya kebakaran sedang.
Kepala springkler untuk ruang tersembunyi boleh dilayani terpisah dari jaringan pipa yang
melayani kepala springkler untuk ruangan di bawahnya, dengan ketentuan bahwa dalam
menentukan ukuran pipa cabang dan pipa pembagi sampai dengan “titik kelompok kepala
springkler 18” harus didasarkan pada jumlah kepala springkler di ruangan tersembunyi dan ruang
bawahnya.
7.6.3. Sistem bahaya kebakaran berat.
Untuk menentukan ukuran pipa yang melayani kepala springkler ke ruang tersembunyi dapat
dipakai tabel 4.5.a & b (sistem bahaya kebakaran sedang). Kepala springkler tersebut harus
dilayani oleh jaringan pipa terpisah dari pipa yang melayani kepala springkler di ruang bawahnya.
Sambungan pipa untuk ruangan tersembunyi tersebut dapat dilakukan pada pipa pembagi utama
antara katup kendali dan “titik kelompok kepala springkler 48” yang terjauh.

50 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Keperluan air untuk ruang tersembunyi tidak diperhitungkan pada pemipaan.


7.6.4. Keadaan khusus.
Pada keadaan yang sesuai dengan ketentuan pada butir 6.4.1.e. ruangan tersembunyi dilindungi
berdasarkan sistem bahaya kebakaran ringan, perpipaannya boleh dihubungkan dengan pipa
pembagi untuk ruangan dibawahnya dengan ketentuan ukuran minimum pipa pembagi 65 mm.
Apabila disyaratkan perlindungan bahaya kebakaran sedang untuk ruangan tersembunyi, dapat
dipakai kepala springkler berukuran nominal 10 mm.
7.7. Penyambungan slang kebakaran ukuran kecil.
7.7.1. Slang kebakaran ukuran kecil.
Slang kebakaran ukuran kecil yang hanya digunakan untuk pemadam kebakaran boleh
disambungkan pada pipa springkler dengan ketentuan sebagai berikut :
a). Ukuran pipa penyambungan sampai 25 mm dengan panjang slang yang memenuhi
tekanan 4 kg/cm2 harus mencapai pancaran 7 m, nozle 6 mm dan mengeluarkan air 28 Liter
/men.
b). Ukuran pipa penyambungan 32 mm untuk panjang slang sampai 25 mm.
c). Ukuran slang tidak boleh lebih dari 40 mm.
d). Kapasitas air yang keluar dari mulut pancar tidak boleh melebihi kapasitas air yang keluar
dari dua kepala springkler ukuran 15 mm.
e). Slang tidak boleh dhubungkan pada pipa sistem springkler yang lebih kecil dari 65 mm.
f). Pipa penyambung harus dihubungkan pada sistem perpipaan springkler sebelum katup
kendali.
7.7.2. Penyambungan untuk slang barisan pemadam kebakaran.
Pada gedung kelompok hunian kebakaran ringan dan hunian bahaya kebakaran sedang
dilengkapi dengan katup untuk slang barisan pemadam kebakaran berukuran 65 mm yang
dihubungkan dengan sistem springkler dengan ketentuan sebagai berikut :
a). Pipa tegak dan katup untuk slang petugas pemadam kebakaran harus ditempatkan dalam
ruang tangga yang tahan api.
b). Springkler harus dikendalikan oleh katup kendali yang terpisah di tiap lantai dan ditempatkan
dalam ruang tangga yang tahan api.
c). Ukuran minimum pipa tegak harus 100 mm kecuali bila perhitungan hidrolik menghasilkan
ukuran pipa yang lebih kecil dan memenuhi kebutuhan air untuk springkler dan slang
sekaligus.
d). Penyediaan air harus mencukupi kebutuhan gabungan springkler dan slang pemadam
kebakaran.
e). Pipa penyambung harus dihubungkan pada perpipaan sistem springkler sebelum katup
kendali.

51 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.8. Pipa penguji sistem.


7.8.1. Persyaratan.
Pada setiap sistem harus dipasang pipa penguji yang berukuran sekurang-kurangnya 25 mm.
Ujung pipa harus licin, tahan karat dan dapat mengalirkan air ekivalen dengan satu kepala
springkler. Pipa ini ditempatkan pada ujung pipa cabang terjauh, kecuali ditentukan lain.
7.8.2. Alat tanda bahaya lebih dari satu.
Apabila alat tanda bahaya aliran air disediakan pada setiap pipa tegak, di setiap lantai pada
gedung bertingkat banyak atau apabila disediakan lebih dari satu alat tanda bahaya aliran air pada
satu sistem springkler, maka pipa penguji sistem harus disediakan pada tiap alat tanda bahaya
aliran air tersebut.
7.9. Perlindungan pipa.
7.9.1. Perlindungan pipa terhadap korosi.
a). Pada tempat-tempat seperti tempat pengelantangan bahan, ruang pengecatan, pengolahan
alat metal, kandang hewan, tempat pengolahan kimia tertentu dan tempat lain yang
menghasilkan gas atau uap yang dapat menimbulkan korosi, maka setiap jenis pipa, tabung,
alat sambung dan penggantung harus diberi lapisan pelindung.
b). Pipa baja yang menghubungkan dua gedung dan dipasang terhadap udara harus digalvanis
atau dilindungi terhadap korosi secara lain.
c). Pipa baja yang menghubungkan dua gedung dan ditanam di dalam tanah harus dilindungi
terhadap korosi sebelum ditanam.
7.9.2. Perlindungan pemipaan terhadap gempa bumi.
Untuk memperkecil atau mencegah pecahnya pipa karena gempa bumi, sistem springkler harus
dilindungi sebagai berikut :
a). Pada gedung yang tidak direncanakan tahan gempa, kopling fleksibel harus dipasang
dengan ketentuan :
1). 60 mm di bawah ujung atas dan di bawah di setiap pipa tegak kecuali ditentukan lain
seperti pada butir 7.9.2.c.
2). Pada bagian pipa yang menembus langit-langit di setiap lantai dalam gedung
bertingkat banyak.
3). Cukup satu buah pipa tegak yang berukuran 65 mm dengan panjang 1 m atau pipa
tegak yang berukuranb lebih dari 65 mm dengan panjang sampai 2 m.
4). Pada tiap ujung dari pemipaan antara dua gedung.
5). Pada tiap sisi sambungan dilatasi gedung.
b). Khusus untuk gedung yang direncanakan tahan gempa bumi, kopling fleksibel harus
dipasang pada bagian gedung tempat keluar atau masuknya pipa.
c). Selubung pipa harus dipasang pada semua bagian yang menembus dinding, lantai, platform
dan pondasi dengan ketentuan :
1). Celah minimum antara pipa dengan selubung pipa sekurang-kurangnya 25 mm untuk
pipa berukuran 25 mm sampai 90 mm dan 50 mm untuk pipa berukuran lebih besar
atau sama dengan 100 mm.

52 dari 83
SNI 03-3989- 2000

2). Celah antara pipa dengan selubung pipa harus diisi dengan bahan elastik yang tidak
mudah terbakar seperti serat kaca atau bahan lain yang setaraf.
3). Selubung pipa pada lantai harus menonjol paling sedikit 80 mm di atas permukaan
laintai.
d). Penahan ayun untuk menghadapi pengaruh gempa bumi.
1). Pipa pemasukan dan pipa pembagi utama yang berukuran lebih besar atau sama
dengan 65 mm harus digantung dengan menggunakan penahan ayun dua arah, untuk
melawan gaya tarik dan tekan yang ekuivalen dengan 50% dari berat air dalam pipa.
2). Bagian teratas dari pipa tegk harus diamankan terhadap goncangan dengan
menggunakan penahan ayun empat arah.
3). Apabila di tempat-tempat tertentu pada pipa cabang digunakan gantungan jenis U,
maka harus digunakan gantungan jenis U ujung melingkar (Gambar 7.9.2.a)

Gambar 7.9.2.a : Gantungan jenis U ujung melingkar.

4). Penggunaan gantungan jenis U untuk menunjang suatu sistem springkler telah
memenuhi sebagian besar persyaratan penahan ayun, kecuali pada umumnya
gantungan memanjang seperti gambar 7.9.2.b dan 7.9.2.c. harus juga digunakan untuk
pemipaan berukuran lebih besar atau sama dengan 65 mm.
Dalam merencanakan penahan ayun, perbandingan kelangsingan I/r tidak boleh
melebihi 200 dengan pengertian “I” adalah jarak ( dalam cm ) antara garis sumbu
penahan dan “r” adalah jari-jari inersia ( dalam cm ) yang terkecil.
Contoh : Suatu batang pipih ukuran 5 cm x 1,0 cm hendaklah jangan lebih dari 54 cm
di antara penguat.
Panjang maksimum penahan ayun dengan berbagai penampang diperlihatkan dalam
tabel 7.9.2.

53 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.9.2.b. Jenis penahan ayun yang dapat diterima.


Tabel 7.9.2.
Ukuran Panjang maksimum (cm)
Penampang penahan ayun
(mm) I / r = 200
40 x 40 x 6 154
50 x 50 x 6 192
50 x 65 x 7 210
Besi siku
65 x 65 x 7 252
65 x 80 x 6 272
80 x 80 x 8 310
19 94
22 109
40 x 6 33
50 x 6 33
Batang bulat 50 x 10 53
25 213
32 274
40 315
50 399

54 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.9.2.c. Lokasi khusus penahan ayun.


Gambar ↔ menunjukkan lokasi yang cocok untuk penahan yang mencegah gerakan
pipa pemasukan utama atau silang dalam arah sepanjang pipa utama.
Sebuah penahan ayun dianggap cukup untuk setiap pipa utama, kecuali bila pipa
tersebut panjang sekali atau bila terdapat ofset atau perubahan arah. Pipa 50 mm atau
pipa yang lebih kecil tidak memenuhi persyaratan penahan ayun ini.
Gambar menunjukkan loksi yang cocok untuk penahan ayun yang mencegah
gerakan tegak lurus dari pipa pemasukan utama atau cabang utama.
Penahan ayun tersebut harus ditempatkan dengan jarak antara 910 cm sampai 1.220
cm. Jenis penahan ayun ini harus dipasang pada bagian ujung akhir pipa cabang
utama atau pemasukan utama.
5). Sudut belokan kaki gantungan jenis U yang dipasang dengan pegangan sisi harus 10
derajat.
6). Apabila pipa pemasukan dan pipa pembagi utama digantung dengan gantungan
batang tunggal yang panjangnya lebih dari 150 mm harus disediakan penahan ayun.
Penahan ayun harus dipasang langsung pada pipa pemasukan dan pipa pembagi
utama.
7). Pengikatan bagian pipa pada bagian-bagian yang mempunyai pergerakan berlainan
seperti pengikatan pada dinding dan pengikatan pada atap harus dihindari.
8). Gantungan pipa.
Penggantung, angker, pilar dan sejenis lainnya yang digunakan dan cukup kuat untuk
menahan beban pipa beserta isinya.

55 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.9.8. : Gantungan pipa


7.10. Drainase.
7.10.1. Pemasangan pipa drainase.
a). Seluruh pemipaan sistem springkler harus dipasang sedemikian rupa sehingga dapat
dikeringkan, sejauh memungkinkan seluruh pemipaan harus diatur untuk dapat dikeringkan
melalui katup pengering yang berukuran sekurang-kurangnya 50 mm untuk hunian bahaya

56 dari 83
SNI 03-3989- 2000

kebakaran sedang dan hunian bahaya kebakaran berat atau berukuran sekurang-kurangnya
40 mm untuk hunian bahaya kebakaran ringan.
b). Seluruh bagian pemipaan yang merupakan perangkap harus dapat dikeringkan melalui pipa
permanen yang dilengkapi dengan katup yang dipasang pada ketinggian kurang dari 3 m di
atas lantai untuk memudahkan pengeringan.
c). Pemipaan dan katup dipasang untuk pengeringan harus memenuhi tabel 7.10.1.
Tabel 7.10.1.
Ukuran pipa yang dikeringkan Ukuran pipa dan katup pengering
(mm) (mm)
sampai 50 20
65 s.d. 90 32
100 ke atas 50
Catatan : Bagian yang terperangkap pada pipa cabang dapat dikeringkan melalui pipa dan katup
pengering berukuran 25 mm.
7.11. Penyambungan pipa dan alat penyambung.
7.11.1. Pipa ulir dan alat penyambung.
a). Perhatian khusus harus diberikan pada pemasangan pipa berulir supaya tidak masuk terlalu
dalam menembus alat penyambung, sehingga mengurangi pengaliran.
b). Setelah pemotongan, pipa harus dibersihkan terhadap semua serpih dan gram.
c). Kompon atau pita penyambung harus digunakan pada ulir jantan pipa dan tidak pada ulir
betina alat penyambung.
7.11.2. Pipa las.
a). Pipa cabang, pipa pembagi, pipa pemasukan utama atau pipa tegak bagian demi bagian
boleh dilas di bengkel sebelum pemasangan.
b). Bagian-bagian dari pemipaan yang dilas harus disambung dengan sambungan flens
(menggunakan mur baut) atau penyambungan gasket fleksibel atau cara penyambungan lain
yang dibenarkan.
c). Pemotongan pipa dengan busur las tidak diijinkan dalam perbaikan dan perubahan sistem
springkler.
d). Penyambungan pipa berukuran kurang dari 50 mm tidak diperbolehkan dengan las.
e). Tukang las dan tukang solder tembaga harus mempunyai sertifikat dari instansi yang
berwenang.
f). Apabila direncanakan suatu pengelasan, kontraktor harus memperinci dalam gambar
bagian-bagian yang akan dilas di bengkel, dan juga jenis alat-alat penyambung las yang
digunakan.
g). Apabila alat penyambung las digunakan untuk membentuk lubang keluar, maka :
1). lubang pada pemipaan luar harus sesuai dengan ukuran alat penyambung.
2). keping hasil perlubangan pipa harus dikeluarkan.
3). kerak dan sisa pengelasan harus dibuang.

57 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.11.3. Sambungan solder tembaga.


a). Sambungan pada pipa tembaga harus disolder tembaga kecuali ditentukan lain.
b). Sambungan solder dapat dijinkan pada hunian bahaya kebakaran ringan dimana klasifikasi
kepala springkler yang terpasang dari hunian bahaya kebakaran sedang.
c). Sambungan solder dapat diijinkan pada hunian bahaya kebakaran sedang kelompok I untuk
pemipaan di tempat yang tersembunyi.
d). Sambungan jenis lain boleh digunakan atau dipasang sesuai dengan persyaratan yang
dikeluarkan instansi yang berwenang.
7.12. Alat penyambung.
7.12.1. Jenis alat penyambung.
a). Alat penyambung yang digunakan dalam sistem springkler harus sesuai dengan bahan yang
tercantum dalam tabel 7.12.1.
Tabel 7.12.1.
Bahan Alat penyambung yang digunakan dalam sistem springkler.
- Alat penyambung berulir.
Besi tuang. - Pipa dan alat penyambung flens.
- Besi lunak alat penyambung berulir.
- Alat penyambung yang dilas.
Baja - Ujung yang dilas untuk pipa, katup, pipa flens dan sambungan flens.
- Penyambungan baja tempa, soket berulir dan soket yang dilas.
- Sambungan perunggu dan tembaga yang disolder.
Tembaga
- Sambungan perunggu tuang yang disolder.

b). Alat penyambung yang digunakan dalam sistem springkler harus direncanakan untuk
menahan tekanan kerja, tetapi tidak boleh lebih kecil dari 12 kg/cm2.
c). Apabila pipa tegak berukuran lebih besar atau sama dengan 80 mm, harus digunakan
sambungan flens pada pipa tegak di setiap lantai.
7.13. Katup.
7.13.1. Jenis katup yang digunakan.
a). Semua katup yang disambungkan pada penyediaan air dan pada pipa penyediaan sistem
springkler harus dari jenis katup penunjuk yng menunjukkan keadaan katup terbuka atau
tertutup yang dibenarkan.
Kalau tidak digunakan katup penunjuk, dapat digunakan katup sorong bawah tanah yang
ditempatkan dalam bak katup jalan yang dilengkapi dengan kunci T yang harus disetujui oleh
instansi yang berwenang. Katup tersebut tidak boleh tertutup dalam waktu kurang dari 5
detik apabila ditutup dengan cepat keadaan terbuka penuh, untuk mencegah terjadinya
kerusakan pipa yang disebabkan pukulan air.
Katup seperti tersebut di bawah ini tidak termasuk jenis katup penunjuk, akan tetapi
pengaturannya dapat memenuhi persyaratan sebagai katup penunjuk.
1). Katup sorong bawah tanah yang dilengkapi dengan tonggak penunjuk yang
menunjukkan posisi terbuka dan menutupnya katup.

58 dari 83
SNI 03-3989- 2000

2). Katup pengatur yang dibenarkan dan diatur terbuka pada keadaan normal dan
memerlukan suatu tenaga untuk menutup dan mempertahankan keadaan tetap
tertutup.
3). Katup pengatur yang dibenarkan dan mempunyai penunjuk yang diandalkan yang
dapat menunjukkan terbuka dan tertutupnya katup dan dihubungkan dengan gardu
pengawas yang jauh.
b). Katup pengering dan penguji harus dari jenis yang dibenarkan.
c). Katup penahan balik harus dari jenis yang dibenarkan dan dapat dipasang pada posisi tegak
dan datar.
7.13.2. Katup pengatur.
a). Setiap sistem harus dilengkapi dengan sebuah katup penunjuk yang dibenarkan dan
ditempatkan sedemikian rupa, sehingga dapat mengatur semua sumber penyediaan air,
kecuali sambungan ke sambungan pemadam kebakaran sesuai dengan apa yang diatur
dalam ayat 7.1.1.d.
b). Pad setiap sumber penyediaan harus dipasang sekurang-kurangnya satu buah katup
penunjuk yang dibenarkan, kecuali sambungan pemadam kebakaran.
c). Kecuali katup sorong bawah jalan, katup pengatur sistem springkler harus diamankan dalam
keadaan terbuka dengan cara sebagai berikut :
1). Pemasangan tanda bahaya lokal yang akan mengeluarkan suara pada suatu tempat
yang selalu dijaga.
2). Penguncian katup pada keadaan terbuka.
3). Penyegelan katup, tiap minggu dicatat apakah segel dalam keadaan baik.
Penyegelan hanya bisa dilakukan apabila katup diletakkan di ruangan tertutup di
bawah penguasaan pemilik gedung.
d). Apabila terdapat lebih dari satu sumber penyediaan air, katup penahan balik harus dipasang
di tiap sambungan. Apabila dipakai pompa kebakaran otomatis yang dilengkapi dengan
tangki udara atau peredam, katup penahan balik tidak diperlukan.
e). Katup penahan balik harus dipasang pada masing-masing sambungan penyediaan air, jika
terdapat sambungan pemadam kebakaran pada sistem.
f). Bila suatu sistem springkler pipa tunggal dilengkapi dengan sambungan pemadam
kebakaran, maka katup kendali dianggap sebagai suatu katup penahan balik dan tidak
diperlukan suatu katup penahan balik lagi.
g). Pada sambungan jaringan kota yang bekerja sebagai satu-satunya sumber penyediaan air,
katup jaringan kota pada sambungan tersebut diatas dapat bekerja sebagai suatu katup
yang disyaratkan. Suatu katup penunjuk yang dibenarkan atau suatu katup dengan tonggak
penunjuk harus dipasang pada sistem di sebelah katup penahan balik.
7.13.3. Penandaan katup.
Apabila terdapat lebih dari satu katup pengatur, harus disediakan tanda yang menunjukkan bagian
sistem yang diatur oleh tiap katup.

59 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.14. Gantungan.
7.14.1. Umum.
a). Pemipaan springkler harus dapat ditahan dengan baik oleh kerangka gedung yang dapat
menahan beban tambahan dari pemipaan yang berisi air, ditambah dengan beban minimum
sebesar 113 kg yang berlaku pada titik gantungan.
b). Jenis gantungan dan cara pemasangannya harus disesuaikan dengan persyaratan pasal ini.
Penyimpangan terhadap pasal ini haerus memenuhi syarat berikut dan disyahkan oleh
asosiasi profesi.
1). Jenis gantungan direncanakan untuk dapat menahan lima kali berat pipa berisi air,
ditambah 113 kg pada masing-masing titik penahan pemipaan.
2). Semua titik-titik penahan cukup kuat untuk menahan sistem springkler.
3). Bahan dari besi digunakan pada komponen gantungan.
Perhitungan detail yang menggambarkan tegangan yang terjadi pada penggantung dan
pemipaan, termasuk faktor keamanan, harus diserahkan, apabila disyaratkan oleh instansi
yang berwenang untuk penilaian.
c). Pemipaan springkler harus digantung terpisah dari gantungan langit-langit, kecuali
ditentukan lain oleh butir 7.14.1.h.
d). Apabila pemipaan springkler dipasang di bawah saluran tertutup, pemipaan harus digantung
dengan kokoh pada kerangka gedung atau pada baja siku yang menahan saluran tertutup
tersebut di atas dengan ketentuan sesuai tabel 7.14.1.
e). Komponen gantungan yang dirakit, dimana dipasang secara langsung pada pipa atau
rangka gedung harus didaftar, kecuali untuk gantungan baja lunak yang terbuat dari besi
batangan.
f). Ukuran minimum besi siku atau pipa pada gantungan trapis yang membentang antara
gordeng atau anak balok tercantum dalam tabel 7.14.1.f, penggunaan besi siku harus
dengan sisi yang lebar pada kedudukan tegak. Ukuran atau bentuk lain yang mempunyai
momen inersia sama atau lebih besar dari besi siku atau pipa boleh digunakan.
g). Ukuran batang gantungan dan mur pengikat untuk menahan besi siku atau pipa yang
ditunjukkan dalam tabel 7.14.1. harus memenuhi butir 7.14.3.
h). Batang kait dan gantungan cincin harus diperkuat dengan mur pengunci untuk mencegah
gerakan lateral pada titik penahan.

60 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel 7.14.1.f.
Ukuran
65 80 90 100 125 150 200 250
pipa (mm)
Jarak
gantungan
Ukuran gantungan trapis : besi siku ( pipa) ( mm )
trapis
(cm)
40x40x5 40x40x5 40x40x5 40x40x5 40x40x5 50x65x5 55x75x5 55x75x7
45
(25) (25) (25) (25) (32) (32) (40) (50)
40x40x5 40x50x5 40x50x5 40x50x6 40x60x6 40x60x6 55x75x5 55x75x7
60
(25) (25) (25) (32) (32) (40) (50) (50)
40x50x5 40x50x5 40x50x5 40x60x6 55x75x5 55x75x5 65x100x7 65x100x7
75
(25) (25) (32) (32) (40) (50) (50) (50)
40x50x5 40x50x5 40x60x6 40x60x6 55x75x5 55x75x5 65x100x7 65x100x7
90
(25) (32) (32) (32) (40) (50) (65) (65)
40x50x6 40x60x6 40x60x6 55x75x5 55x75x5 55x75x5 65x100x7 75x100x7
120
(32) (32) (40) (40) (50) (50) (65) (90)
40x60x6 40x60x5 55x75x5 55x75x5 55x75x5 65x100x7 75x100x7 75x130x8
150
(32) (40) (40) (50) (50) (65) (65) (100)
40x60x6 55x75x5 55x75x7 55x75x7 65x100x7 75x100x7 75x130x8 75x150x9
180
(40) (50) (50) (50) (65) (65) (80) (100)
55x75x5 55x75x5 55x75x7 55x75x7 65x100x7 75x100x9 75x130x8 75x150x9
210
(50) (50) (50) (65) (65) (80) (80) (100)
55x75x5 55x75x7 65x100x7 65x100x7 75x100x7 75x100x9 75x130x8 75x150x9
240
(50) (65) (65) (65) (80) (80) (90) (100)
55x75x5 55x75x7 65x100x9 65x100x9 65x100x9 75x100x9 75x130x8 75x150x9
270
(50) (65) (65) (80) (90) (90) (100) (125)
55x75x7 55x75x7 65x100x9 65x100x9 75x100x9 75x130x8 75x150x9 75x150x9
300
(65) (65) (65) (80) (90) (90) (100) (125)

7.14.2. Gantungan pada beton.


a). Komponen yang dibenarkan yang tertanam dalam beton, boleh dipasang untuk penahan
gantungan. Klos kayu tidak boleh digunakan.
b). Lubang melalui balok beton boleh juga dianggap sebagai suatu pengertian gantungan untuk
menahan pemipaan.
7.14.3. Batang penggantung dan gantungan “U”.
a). Ukuran batang penggantung harus sama dengan ukuran batang pada rakitan yang
dibenarkan, dan ukuran batang tidak boleh kurang dari apa yang tercantum dalam tabel
7.14.3.a.
Tabel 7.14.3.a.
Ukuran pipa (mm). Ukuran batang penggantung (mm).
sampai dengan 100 10
125, 150 dan 200 13
250 dan 300 15

61 dari 83
SNI 03-3989- 2000

b). Gantungan “U”.


Ukuran batang yang dipergunakan untuk membuat gantungan “U” tidak boleh kurang dari
apa yang tercantum dalam tabel 7.14.3.b.
Tabel 7.14.3.b.
Ukuran pipa (mm) Ukuran bahan batang penggantung (mm)
sampai dengan 50 8
65, 80 10
90, 100 11
125 13
150 15
200 20

c). Sekerup.
Kecuali seperti apa yang ditentukan dalam butir 7.14.3.e. ukuran sekerup flens langit-langit
dan gantungan “U” tidak boleh kurang dari apa yang tercantum dalam tabel 7.14.3.c.
Tabel 7.14.3.c.
Ukuran pipa (mm) Ukuran sekerup mm (inci)
Flens dengan 2 sekerup
Sampai dengan 50 Sekerup kayu 18 x 40 ( ¾ x 1½ )
Flens dengan 3 sekerup
sampai dengan 50 sekerup kayu 18 x 40 ( ¾ x 1½ )
65, 80, 90 sekerup putar 10 x 50 ( 3 8 x 2 )
100, 125, 150 sekerup putar 13 x 50 ( ½ x 2 )
200 sekerup putar 15 x 80 ( 5 8 x 3 )
Flens dengan 4 sekerup
sampai dengan 50 sekerup kayu No.18 – 40 ( ¾ x 1½ )
65, 80, 90 sekerup putar 10 – 40 ( 3 8 x 1½ )
100, 125, 150 sekerup putar 13 x 50 ( ½ x 2 )
200 sekerup putar 15 x 80 ( 5 8 x 3)
Gantungan “U”
sampai dengan 50 sekerup kayu 16 x 50 ( 5 8 x 2 )
65, 80, 90 sekerup putar 10 x 65 ( 3 8 x 2½ )
100, 125, 150 sekerup putar 13 x 80 ( ½ x 3 )
200 sekerup putar 15 x 80 ( 5 8 x 3 )
d). Kecuali ditentukan lain seperti dalam butir 6.15.3.g. ukuran baut atau sekerup yang dipasang
untuk batang kait atau flens pada sisi dari suatu balok, tidak boleh kurang dari yang
ditentukan dalam tabel 7.14.3.d.
Tabel 7.14.3.d.
Ukuran pipa Ukuran baut/sekerup Panjang sekerup yang digunakan untuk
( mm ) mm (inci) balok kayu mm (inci).
sampai dengan 50 10 ( 3 8 ) 65 ( 2½ )
65 s.d 150 13 ( ½ ) 80 ( 3 )
200 15 ( 5 8 ) 80 ( 3 )

62 dari 83
SNI 03-3989- 2000

e). Sekerup hanya digunakan dalam posisi datar seperti pada sisi balok. Sekerup kayu tidak
boleh dipukul. Paku tidak boleh digunakan untuk pengikat gantungan.
f). Sekerup pada sisi balok kayu atau balok kuda-kuda untuk penahan pipa cabang tidak boleh
kurang dari 65 mm dari tepi sebelah bawah balok atau tidak kurang dari 80 mm bila
digunakan untuk penahan pipa utama.
g). Apabila sekerup yang panjangnya 50 mm tidak mungkin dipakai untuk papan dan flens,
maka sekerup yang panjangnya 45 mm dapat dipakai dengan jarak penggantung tidak lebih
dari 3 m. Apabila sekerup yang panjangnya 80 mm tidak mungkin dipakai untuk balok atau
balok kuda-kuda maka sekerup yang panjangnya 50 dapat dipakai dengan jarak
penggantung tidak lebih dari 3 m.
h). Tebal minimum papan dan lebar minimum bagian bawah balok atau balok kuda-kuda di
mana digunakan sekerup batang, harus sesuai dengan tabel 6.15..3.h.
Sekerup batang tidak dapat digunakan untuk menahan pipa yang berukuran lebih besar dari
150 mm. Semua lubang untuk sekerup batang harus dibor 3 mm lebih kecil dari ukuran luar
ulir sekerup batang.
Tabel 7.14.3.h.
Ukuran pipa Tebal papan nominal Lebar nominal
(mm) (mm) permukaan balok (mm)
sampai dengan 50 80 50
65 s.d 90 100 50
100 dan 125 100 80
150 100 100

7.14.4. Jarak maksimum antara gantungan.


Jarak maksimum antara gantungan tidak boleh lebih dari 3,5 mm untuk pipa berukuran 25 mm dan
32 mm, serta tidak lebih dari 4,5 m untuk pipa berukuran 40 mm dan yang lebih besar, kecuali
ditentukan lain seperti butir 7.14.7. (lihat gambar 7.14.4).
Jarak maksimum untuk gantungan :

Gambar 7.14.4. Jarak antara gantungan

63 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.14.5. Penempatan gantungan pada pipa cabang.


a). Pada setiap pipa cabang harus terdapat sekurang-kurangnya sebuah gantungan atau
sebuah gantungan pada setiap panjang pipa, kecuali ditentukan lain oleh butir 7.14.5.b. dan
7.14.5.f.
b). Jarak antara gantungan dan poros kepala springkler arah ke atas tidak boleh kurang dari 80
mm.
c). Untuk ukuran pipa berukuran 25 mm, panjang pipa antara kepala springkler ujung sampai ke
gantungan terakhir tidak boleh lebih dari 0,9 m atau untuk pipa berukuran 32 mm tidak boleh
lebih dari 1,2 m. Apabila batas-batas tersebut dilampaui maka pipa harus diperpanjang
sampai melewati springkler ujung dan ditahan dengan gantungan tambahan (lihat gambar
7.14.5.c).
Maksimum:
0,9 m untuk 25 mm.
1,2 mm untuk 32 mm.

Gambar 7.14.5.c. Jarak kepala springkler ke gantungan.


d). Apabila jarak antara kepala springkler kurang dari 1,8 m, gantungan boleh ditempatkan
dengan jarak tidak lebih dari 3,5 m ( lihat gambar 7.14.5.d.).

Gambar 7.14.5.d. : Jarak antara gantungan.


e). Pangkal pipa cabang yang panjangnya kurang dari 1,8 m tidak memerlukan gantungan
kecuali apabila gantungan pada ujung pipa dari sistem pemasukan sisi atau gantungan
tengah dari pipa pembagi ditiadakan.

64 dari 83
SNI 03-3989- 2000

f). Gantungan tidak diperlukan pada lengan pipa cabang yang berukuran 25 mm dan panjang
0,3 m untuk pipa tembaga dan 0,6 m untuk pipa baja diukur dari pipa cabang atau pipa
pembagi.
7.14.6. Penempatan gantungan pada pipa pembagi.
a). Pada pipa pembagi harus terdapat sekurang-kurangnya satu gantungan diantara dua pipa
cabang. Gantungan tengah boleh dihilangkan seperti apa yang diuraikan pada butir 7.14.6.b.
s.d. 7.14.6.d.
b). Pipa pembagi pada trafe yang mempunyai dua pipa cabang, gantungan tengahnya boleh
dihilangkan dengan ketentuan bahwa gantungan yang diletakkan pada gordeng harus
dipasang pada tiap pipa cabang dan diletakkan sedekat mungkin pada pipa pembagi bila
letak gordeng memungkinkannya (lihat gambar 7.14.6.b). Gantungan pipa cabang lainnya
harus dipasang sesuai dengan butir 7.14.6.

Gambar 7.14.6.b. Gantungan pada pipa pembagi.


c). Pipa pembagi pada trafe yang mempunyai tiga pipa cabang atau lebih yang mendapat
pemasukan sisi atau tengah, hanya satu gantungan tengah boleh dihilangkan, dengan
ketentuan bahwa gantungan yang diletakkan pada gordeng dipasang pada tiap pipa cabang
dan diletakkan sedekat mungkin dengan pipa pembagi bila letak gordeng memungkinkannya
(lihat gambar 7.14.6.c).
d). Gantungan trapis tengah harus dipasang pada ujung pipa pembagi kecuali kalau pipa
pembagi diperpanjang sampai tempat penggantungan beriktunya dengan memasang suatu
gantungan biasa, dalam keadaan tersebut gantungan tengah boleh dihilangkan sesuai butir
7.14.6.b dan 7.14.6.c.

65 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 6.15.6.c. Gantungan dihilangkan pada sistem pemasukan sisi.


7.14.7. Penempatan gantungan pada pipa masuk utama.
Pada pipa masuk utama harus terdapat sekurang-kurangnya satu gantungan untuk setiap 4,5 m
panjang pipa.
7.14.8. Penahan pipa tegak.
a). Pipa tegak harus ditahan dengan pengikat langsung pada pipa tegaknya atau dengan
gantungan yang ditempatkan pada ofset datar yang dekat pada pipa tegak.
b). Penahan pipa tegak harus disediakan pada setiap lantai.
c). Pemasangan klem penahan pipa pada bagian gedung harus kuat menahan pipa.
7.15. Kepala Springkler.
7.15.1. Kepala springkler standar.
Kepala springkler yang digunakan harus kepala springkler standar.
7.15.2. Jenis kepala springkler.
a). Kepala springkler yang boleh digunakan hanya kepala springkler yang terdaftar. Perubahan
apapun tidak dibolehkan pada kepala springkler setelah keluar dari pabrik.
b). Sifat-sifat aliran kepala springkler harus dibedakan dalam tiga hal :
1). yang dibenarkan untuk penggunaan sebagai kepala springkler pancaran atas.
2). yang dibenarkan untuk penggunaan sebagai kepala springkler pancaran bawah.
3). yang dibenarkan untuk penggunaan sebagai kepala springkler dinding.
c). Kepala springkler yang digunakan untuk maksud khusus dan ditempatkan sesuai dengan
uraian pada butir 7.15.2.d. s/d 7.15.4. harus dari jenis yang khusus dibenarkan untuk
penggunaan tersebut.

66 dari 83
SNI 03-3989- 2000

d). Kepala springkler terbuka boleh digunakan untuk melindungi bahaya kebakaran khusus
seperti tempat-tempat terbuka atau untuk tempat khusus lainnya.
e). Kepala springkler dengan ukuran lubang yang lebih kecil boleh digunakan untuk daerah atau
keadaan yang tidak membutuhkan air sebanyak yang dipancarkan oleh sebuah kepala
springkler dengan ukuran lubang nominal 10 mm.
f). Kepala springkler dengan ukuran lubang nominal lebih besar dari 10 mm boleh digunakan
untuk daerah atau keadaan yang membutuhkan air lebih banyak dari jumlah yang
dipancarkan oleh sebuah kepala springkler dengan ukuran lubang nominal 10 mm. Kepala
springkler dengan ukuran lubang nominal lebih besar dari 10 mm yang mempunyai ulir pipa
besi 10 mm tidak boleh dipasang pada sistem springkler terbaru.
7.15.3. Kepala springkler tahan korosi.
Pada tempat-tempat pengolahan kertas, pabrik alkali, pabrik pupuk organik, prengepakan,
penyamakan kulit, pengecoran, penempaan, rumah asap, pabrik cuka, kandang hewan, ruang
baterai, ruang penyepuhan secara listrik, runag penggalbani, semua jenis ruang penguapan,
termsuk ruang pengeringan beruap lembab, ruang penyimpanan garam, dipo lokomotif, drive way
(terowongan masuk tempat parkir), bagian yang terbuka terhadap cuaca luar seperti yang terbuka
terhadap udara laut, sekitar alat pengelantang di dalam kilang tepung, semua bagian gedung
pendingin yang menggunakan sistem pemuaian amoniak langsung di setiap bagian dari pabrik di
mana terdapat uap korosif, harus dipasang kepala springkler tahan korosi atau kepala springkler
yang diberi lapisan pelindung sesuai dengan persyaratan pabrik.
7.15.4. Kapasitas pancaran.
a). Perhitungan kapasitas pancaran air di kepala springkler.
Untuk menghitung kapasitas pancaran air di kepala springkler, berlaku rumus :

Q = k. P.

dimana :
Q = kapasitas pancaran tiap kepala springkler, dalam liter/menit.
k = konstanta yang ditentukan oleh ukuran nominal lubang kepala springkler.
P = tekanan air di kepala springkler dalam kg/cm2.
b). Ukuran lubang kepala springkler.
Ukuran nominal lubang kepala springkler yang dibenarkan untuk masing-masing sistem
bahaya kebakaran adalah sebagai berikut :
Ukuran nominal lubang
No. Klasifikasi bahaya kebakaran kepala springkler
( mm ).
1 Sistem bahaua kebakaran ringan. 10
2 Sistem bahaya kebakaran sedang. 15
3 Sistem bahaya kebakaran berat 20
c). Konstanta “k”.
Konstanta “k” untuk ketiga ukuran lubang kepala springkler tersebut di atas adalah sebagai berikut

67 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Ukuran nominal lubang kepala springkler


No. Konstanta “k”
( mm ).
1 10 57 ± 5%
2 15 80 ± 5%
3 20 115 ± 5%

7.15.5. Tingkat suhu kepala springkler.


a). Tingkat suhu kepala springkler otomatis ditunjukkan dalam tabel di bawah ini :
Tingkat suhu untuk jenis sambungan lebur (0C ) Warna tangkai
68 / 74 Tanpa warna
93 / 100 Putih
141 Biru
182 Kuning
227 Merah

Tingkat suhu untuk jenis glass bulb (0C ) Warna cairan dalam gelas
57 Jingga
68 Merah
79 Kuning
93 Hijau
141 Biru
182 Ungu
203 / 260 Hitam
Pemilihan tingkat suhu kepala springkler tidak boleh kurang dari 300C di atas suhu ruangan.
b). Kepala springkler dalam ruangan tersembunyi atau pada ruang peragaan tanpa dilengkapi
ventilasi harus dari tingkat suhu antara 790C ~ 1000C.
c). Kepala springkler yang digunakan untuk melindungi peralatan masak jenis komersial, tutup
mesin pembuat kertas atau yang dipasang dalam dapur pengering harus dari tingkat suhu
tinggi,
d). Apabila ada langit-langit atau atap yang dipasang di atas oven, maka pada langit-langit atau
atap tersebut sampai radius 3 m harus dipasang kepala springkler dengan tingkat suhu yang
sama dengan 1410C.
7.15.6. Jumlah maksimum kepala springkler.
Jumlah maksimum kepala springkler yang dapat dipasang pada satu katup kendali adalah :
Klasifikasi bahaya kebakaran Jumlah kepala springkler (buah).
Sistem bahaya kebakaran ringan. 500
Sistem bahaya kebakaran sedang. 1.000
Sistem bahaya kebakaran berat 1.000
Catatan : Jumlah kepala springkler di tempat tertutup dapat diabaikan.
7.15.7. Penggantian sifat hunian.
Dalam hal ini ada penggantian sifat hunian yang mengakibatkan perubahan suhu, kepala
springkler harus diganti sesuai dengan penggantian dan perubahan tersebut.

68 dari 83
SNI 03-3989- 2000

7.15.8. Persediaan kepala springkler cadangan.


Persediaan kepala springkler cadangan dan kunci kepala springkler harus disimpan dalam satu
kotak khusus yang ditempatkan dalam ruangan yang setiap suhunya tidak lebih dari 380C.
Persediaan kepala springkler cadangan tersebut paling sedikit adalah sebagai berikut :
Persediaan kepala springkler
No. Klasifikasi bahaya kebakaran
cadangan
1 Sistem bahaya kebakaran ringan. 6
2 Sistem bahaya kebakaran sedang. 24
3 Sistem bahaya kebakaran berat. 36
Catatan :
1). Perasediaanan kepala springkler cadangan harus meliputi semua jenis dan tingkat suhu dari kepala
springkler yang terpasang.
2). Apabila terdapat lebih dari 2 sistem, maka jumlah persediaan springkler cadangan harus ditambah 50%
dari ketentuan tersebut di atas.
7.15.9. Perlindungan terhadap kepala springkler.
Kepala springkler yang dipasang di tempat yang mungkin mendapat kerusakan mekanis harus
dilindungi dengan pelindung yang dibenarkan.
7.15.10. Pengecatan dan warna lapisan.
a). Apabila pemipaan sistem springkler diberi suatu macam lapisan seperti pengapuran atau
cat, perlu diperhatikan bahwa kepala springkler otomatis tidak boleh terkena lapisan.
b). Kepala springkler tidak boleh di cat kecuali pemberian lapisan warna yang dilakukan oleh
pabrik, setiap kepala springkler yang kena cat harus diganti dengan kepala springkler baru
yang telah ditentukan.
c). Warna lapisan tidak boleh diberikan pada kepala springkler oleh siapapun, kecuali oleh
pabrik pembuatnya dengan warna lapisan yang diijinkan.
7.16. Tanda bahaya.
7.16.1. Definisi.
Unit tanda bahaya lokal adalah suatu peralatan yang dibenarkan dan dipasang sedemikian rupa,
sehingga dengan aliran air yang sama atau lebih besar dari aliran air untuk satu kepala springkler
dari suatu sistem springkler akan menghasilkan suatu isyarat tanda bahaya dalam bentuk suara.
7.16.2. Alat tanda bahaya.
a). Tanda bahaya lokal dengan aliran air harus digunakan pada semua sistem springkler yang
mempunyai kepala springkler lebih dari 20 buah.
b). Pada sistem springkler yang mempunyai kepala springkler kurang dari 20 buah dapat
dipakai alat deteksi aliran air ( flow switch ).
7.16.3. Alat deteksi aliran air.
a). Perlengkapan tanda bahaya untuk sistem springkler harus terdiri dari katup kendali tanda
bahaya ( alarm control valve ) atau alat deteksi aliran air (flow switch) yang dibenarkan
dengan perlengkapan yang diperlukan untuk memberikan suatu isyarat tanda bahaya.

69 dari 83
SNI 03-3989- 2000

b). Perlengkapan tanda bahaya untuk sistem pancaran serentak harus terdiri dari perlengkapan
tanda bahaya yang dibenarkan yang bekerja karena sistem deteksi dan tergantung oleh
aliran air dalam sistem tersebut.
7.16.4. Perlengkapan umum.
a). Unit tanda bahaya harus meliputi tanda bahaya mekanik atau tanda bahaya listrik yang
tahan cuaca dan dibenarkan, antara lain gong, bel, klakson, sirenen.
b). Tanda bahaya mekanik atau tanda bahaya listrik yang dipasang di luar gedung harus dari
jenis tahan cuaca dan mempunyai pelindung.
c). Pada setiap katup kendali tanda bahaya (alarm control) yang digunakan pada kondisi
tekanan air tidak tetap, harus dipasang suatu tabung pengimbang tekanan air. Pada pipa
tabung pengimbang tekanan harus dipasang sebuah katup yang digunakan pada waktu
perbaikan tabung tanpa menutup aliran ke kepala springkler. Katup tersebut harus dipasang
sedemikian rupa sehingga dapat dikunci atau disegel dalam kedudukan terbuka.
d). Pada pancaran air serentak, harus dipasang sambungan pengujian untuk tanda bahaya
listrik dan atau gong motor air. Sambungan tersebut pada bagian yang berair harus
dilengkapi dengan katup pengatur dan pipa pengering untuk pemipaan tanda bahaya.
e) Katup dari katup kendali harus dipasang di depan kontaktor atau gong motor air yang
bekerja karena tekanan air.
f) Katup dari katup kendali harus dari jenis yang dapat jelas menunjukkan terbuka atau tertutup
dan harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dikunci atau disegel dalam kedudukan
terbuka.
7.16.5. Perlengkapan yang bekerja secara mekanik.
a) Semua sistem springkler yang menggunakan gong motor air, harus dilengkapi saringan air
yang berukuran 19 mm dan dibenarkan. Saringan tersebut harus dipasang pada pipa keluar
alat deteksi aliran air.
Apabila digunakan tabung pengimbang, saringan tersebut dapat dipasang pada bagian pipa
keluar tabung pengimbang. Pada tabung pengimbang yang telah memiliki saringan terpadu
tidak diperlukan saringan tambahan.
b) Gong motor air harus dilindungi terhadap cuaca, disetel setepat-tepatnya dan dipasang
sedemikian rupa, sehingga tidak mudah berubah setelannya.
c) Semua pemipaan yang melayani perlatan tersebut harus dari pipa galbani, pipa perunggu
atau pipa tahan karat lainnya yang dibenarkan dan berukuran tidak kurang dari 19 mm.
7.16.6. Perlengkapan yang bekerja secara listrik.
a) Semua perlengkapan tanda bahaya yang bekerja secara listrik harus sesuai dengan
pedoman sistem tanda bahaya kebakaran otomatis yang berlaku.
b) Sakelar deteksi aliran air dapat digunakan dari jenis rangkaian terbuka.
c) Peralatan deteksi aliran air termasuk rangkaian tanda bahaya, harus diuji denganaliran air
yang sebenarnya dengan membuka sambungan penguji.
d) Semua peralatan listrik harus mengikuti Peraturan Umum Instalasi Listrik yang berlaku di
Indonesia.

70 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar 7.16.4. Tanda bahaya listrik dan gong motor air.

71 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Apendiks – 1.
Plat berlubang.
Tabel A.1.1. dan A.1.2. tersebut di bawah ini digunakan untuk membantu perhitungan ukuran
lubang pelat agar diperoleh keseimbangan hidrolik yang tersebut dalam butir 7.3.2.
Tabel ini menunjukkan ukuran lubang plat yang betul untuk pipa berukuran dari 50 mm sampai
dengan 200 mm, dengan nilai kehillangan tekanan (P0) dalam kg/cm2dan perkiraan debit (Q0)
dalam liter/menit.
TabelA.1.1. digunakan untuk pipa kecil didasarkan pada debit 500 liter/menit dan tabel A.1.2.
digunakan untuk pipa besar dengan debit 5000 liter/menit. Untuk memilih plat berlubang yang
mengakibatkan kehilangan tekanan sebesar Px kg/cm2 dengan debit Qx liter/menit, harus dihitung
nilai P0 menurut rumus berikut dan digunakan tabel yang sesuai guna memperoleh ukuran lubang
yang betul. Bila diperlukan dapat digunakan interpolasi.
Untuk pipa & 50 mm dan & 65 mm :

500
P0 = PX. .................................... [ A.1.(1) ].
QX

Untuk pipa &80 mm sampai dengan & 200 mm :

5.000
P0 = PX. ..................................[ A.1.(2).].
QX

dimana :
P0 = kehilangan tekanan ( kg/cm2 ).
Q0 = debit air (liter/menit).
Tabel A.1.1.: Plat berlubang untuk pipa berukuran 50 mm dan 65 mm.
Kehilangan tekanan Ukuran plat berlubang Faktor “K”
P0 (kg/cm2) 50 mm 65 mm
2,50 25,9 316
2,25 26,5 333
2,00 27,1 354
1,75 27,9 378
1,50 28,8 408
1,25 29,6 447
1,00 30,9 500
0,90 31,5 527
0,80 32,2 34,5 559
0,70 32,8 35,3 598
0,60 33,7 36,3 645
0,50 34,7 37,6 707
0,40 35,9 39,3 791
0,30 37,5 41,2 913
0,20 39,7 44,2 1118
0,10 42,7 49,1 1581
0,05 53,6 2236

72 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Tabel A.1.(2).: Plat berlubang untuk pipa berukuran : 80 mm, 100 mm, 150 mm dan 200 mm

Kehilangan tekanan Ukuran plat berlubang Faktor


PO kg/cm2 80 mm 100 mm 150 mm 200 mm “K”
35 41,9 845
30 43,0 913
25 44,8 1.000
20 46,4 1.118
15 48,9 1.291
10 52,3 55,6 1.581
9 53,2 57,6 1.667
8 54,1 59,0 1.768
7 55,3 60,4 1.890
6 56,6 62,0 2.041
5 58,2 63,9 2.236
4 59,8 66,5 2.500
3 62,0 69,7 2.887
2 65,0 74,2 82,3 3.536
1 81,1 95,8 5.000
0,9 82,2 97,1 105,7 5.270
0,8 83,3 99,3 108,1 5.590
0,7 84,4 101,7 111,1 5.976
0,6 85,7 104,0 113,9 6.455
0,5 87,0 106,8 117,7 7.071
0,4 110,1 122,2 7.906
0,3 115,1 129,1 9.129
0,2 120,6 137,7 11.180
0,1 152,6 15.810
0,05 165,8 22.360
Catatan :
Faktor “K” yang tercantum pada kolom terakhir tabel A.1.(1) dan tabel A.1.(2) tersebut adalah konstanta dalam
rumus K = Q .
P
P adalah kehilangan tekanan dalam kg/cm2 yang disebabkan plat berlubang dengan debit Q liter/menit.
Kehilangan tekanan yang ditimbulkan oleh plat berlubang adalah kehilangan tekanan netto pada plat berlubang
dan bukan perbedaan tekanan yang diukur pada titik penyadap pada flens, belokan, atau diameter.
Plat berlubang harus mempunyai tanda pada tonjolan yang memperlihatkan cap ukuran minimal pipa dan faktor
“K” yang sesuai untuk plat berlubang itu (lihat butir 7.3.2).

73 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Apendiks - 2.
Perhitungan hidrolik lengkap untuk sistem bahaya kebakaran berat.

A.2.1. Kepadatan pancaran.


Kepadatan pancaran ( mm/menit) adalah jumlah debit air ( liter/menit) yang dikeluarkan oleh 4
kepala springkler yang berdekatan dan terletak di empat sudut bujur sangkar, persegi panjang
atau jajaran genjang (kepala springkler dipasang selang seling) dibagi oleh 4 X luas bujur sangkar,
persegi panjang atau jajaran genjang tersebut di atas ( m2 ).
A.2.2. Kepala springkler dalam keadaan bekerja.
A.2.2.1. Daerah kepala springkler yang dianggap terbuka serentak adalah seperti yang
dicantumkan dalam tabel 4.4.2.a dan tabel 4.4.2.b.
A.2.2.2. Jumlah kepala springkler yang terbuka serentak harus ditentukan (dalam bilangan
bulat) dengan membagi luas daerah kerja yang direncanakan dengan luas daerah setiap kepala
springkler.
A.2.2.3. Penempatan daerah kerja yang direncanakan.
a). Keadaan hidrolik yang terburuk.
Untuk perhitungan hidrolik, daerah kerja yang direncanakan harus ditempatkan bergantian
pada keadaan yang terburuk pada setiap pipa pembagi, kecuali jika sudah jelas bahwa
susunan lain yang serupa dengan daerah tersebut di atas secara hidrolik berada lebih dekat
dengan penyediaan air.
Bentuk daerah kerja sedapat mungkin berupa suatu bujur sangkar atau persegi panjang, di
mana satu sisi berbats pada pipa cabang ( atau pipa-pipa cabang dalam susunan cabang
ganda).
Jumlah pipa cabang ( atau jumlah pasangan pipa cabang dalam susunan ganda) yang
melayani kepala springkler yang bekerja serentak dapat dihitung sebagai berikut :
Jumlah kepala springkler yang bekerja
Kepala springkler pada pipa cabang (atau pada satu pasang pipa cabang dalam susunan ganda

= Jumlah pipa cabang + sisa kepala springkler.


Sisa kepala springkler dikelompokkan di sebelah daerah persegi dekat pada pipa pembagi
dan ditempatkan pada pipa cabang berikutnya agar beban pada pipa pembagi bertambah.
Lihat gambar A.2.2.3.a, A.2.2.3.b, dan A.2.2.3.c.
Sistem harus mampu menghasilkan kepadatan maksimum yang disyaratkan dalam daerah
tersebut di mana saja dalam susunan pemipaan.
Dengan demikian, apabila ukuran pipa cabang diganti di mana saja dalam susunan
pemipaan, maka harus dibuktikan bahwa kepadatan pancaran yang direncanakan masih
tercapai di mana pipa cabang tersebut diganti.
Apabila pipa pembagi melayani pipa cabang yang panjangnya melampaui satu bentangan
atap dalam bahaya kebakaran berat, maka daerah perencanaan harus ditentukan oleh

74 dari 83
SNI 03-3989- 2000

panjangnya pipa cabang ( atau dalam susunan cabang ganda oleh panjang sepasang pipa
cabang) dan tidak ditentukan oleh bentangan atap.
Apabila pipa pembagi melayani jumlah kepala springkler lebih kecil dari yang direncanakan,
maka selisihnya dapat diabaikan.
Apabila pipa pembagi utama dan setiap pipa pembagi yang berdekatan yang mungkin
tersambung pada pipa pembagi utama ikut bekerja sampai jumlah kepala springkler yang
direncanakan, maka pipa pembagi tersebut harus disesuaikan ukurannya dengan
perhitungan hidrolik untuk jumlah kepala springkler yang direncanakan tersebut.
Apabila terdapat lebih dari satu pipa pembagi dalam instalasi dengan ketentuan bukan pipa
pembagi terpencil dan tiap pipa cabang melayani hanya satu atau dua kepala springkler (
atau dalam susunan cabang ganda terdapat satu kepala springkler pada masing-masing
cabang) dan pipa cabang tidak melebihi 45 m dari titik pengadaan air, cukup dinyatakan
bahwa pipa cabang tersebut dapat menyalurkan air.
Walaupun demikian pipa pembagi utama yang dihubungkan pada pipa pembagi yang
mempunyai pipa cabang harus pula mengalirkan air yang cukup, sehingga pipa pembagi
utama dan pipa pembagi yang terdekat di mana sisa kepala springkler terpasang dalam
daerah rencana harus bekerja dengan memuaskan.
b). Keadaan hidrolik yang terbaik.
Daerah kerja yang direncanakan sedapat mungkin berbentuk bujur sangkar dengan
ketentuan bahwa kepala springkler yang bekerja mendapat aliran dan hanya satu pipa
pembagi dalam keadaan hidrolik yang terbaik sedemikian rupa, sehingga menghasilkan
beban maksimum pada penyediaan air (lihat gambar A.2.2.3.a) daerah yang bersangkutan
dijelaskan oleh gambar A.2.2.3.d.
Apabila terdapat lebih dari satu pipa pembagi dalam instalasi dengan ketentuan bukan pipa
pembagi terpencil dan tiap pipa cabang melayani hanya satu atau dua kepala springkler
pada satu pipa ( atau pada sepanjang pipa cabang dalam susunan cabang ganda) dan pipa
cabang tidak melebihi 45 m dari titik pengadaan air, cukup dinyatakan bahwa pipa cabang
tersebut dapat menyalurkan air.
Jumlah sisa kepala springkler yang diperkirakan bekerja serentak harus ditempatkan pada
daerah hidrolik yang terbaik dan terpasang dekat pipa pembagi daerah hidrolik terbaik
berikutnya; kepala springkler tersebut dikelompokkan sedemikian rupa, sehingga
membentuk satu daerah bujur sangkar yang terdekat dengan pipa pembagi ( lihat gambar
A.2.2.3.d).
A.2.3. Kehilangan tekanan dalam pipa.
Kehilangan tekanan dalam pipa apabila ada aliran harus dihitung menurut rumus Hazen & William

Q 1,85
p = 6,05 x 1,85 4,87
x 10 8 ............................. ( A.2.3.).
C .d

dimana :
p = kehilangan tekanan dalam 10-3 bar/m panjang pipa.
Q = debit air liter/menit.

75 dari 83
SNI 03-3989- 2000

C = konstanta
100 untuk pipa besi tuang.
120 untuk pipa baja.
d = ukuran pipa nominal dalam mm.
Untuk memudahkan perhitungan, nilai K terdapat pada tabel A.2.3.1., nilai Q1,85 terdapat dalam
tabel A.2.3.2. rumus dapat disingkat menjadi :
p = K.Q1,85. ........................................ [ A.2.3.(2) ].
p = kehilangan tekanan dalam 10-3 bar/m panjang pipa.
Q = debit dalam liter/menit.
K = konstanta dalam tabel A.2.3.1.

Tabel A.2.3.1.
Nilai K
Ukuran pipa
Pipa baja BS 1387 Pipa besi tuang Pipa besi tuang
(nominal)
flens BS 2035 sentrigugal BS
(mm). Kualitas medium Kualitas berat
kelas C 121 kelas C
25 8,80 x 10-3 1,19 x 10-2
32 2,29 x 10-3 2,86 x 10-3
-3
40 1,09 x 10 1,32 x 10-3
-4
50 3,46 x 10 4,06 x 10-4
-5
65 9,79 x 10 1,11 x 10-4
-5
80 4,47 x 10 4,95 x 10-5 8,26 x 10-5 6,32 x 10-5
-5 -5
100 1,23 x 10 1,35 x 10 1,88 x 10-5 1,64 x 10-5
-6 -6
150 1,83 x 10 1,89 x 10 2,82 x 10-6 2,33 x 10-6
-7
200 *4,60 x 10 6,96 x 10-7 5,88 x 10-7
-7
250 *1,54 x 10 2,35 x 10-7 2,01 x 10-7
* BS 3601 tebal dinding 5,38 mm untuk pipa 200 mm dan 7,14 mm untuk pipa 250 mm.
A.2.4. Kehilangan tekanan dalam alat penyambung.
Kehilangan tekanan pada alat penyambung, siku, te, atau silang di mana arah aliran air berubah
900 atau kehilangan tekanan di katup penahan balik, harus diperhitungkan (kecuali untuk siku atau
tempat pemasangan kepala springkler) dengan menambahkan panjang pipa pada pipa
sebenarnya sebesar tekanan yang hilang pada alat penyambung atau katup tersebut. Nilai
ekivalen untuk alat penyambung besi tuang berulir adalah 3 m panjang pipa dan nilai ekivalen
untuk katup dapat dilihat pada tabel 2.5.3.b.
Untuk alat penyambung selain besi tuang berulir harus dilakukan perhitungan hidrolik sesuai butir
7.6.5.
Apabila ada perubahan arah aliran air di siku, te atau silang, kehilangan tekanannya dihitung
berdasarkan panjang pipa ekivalen dengan ukuran lubang keluar.
Apabila air melalui te atau silang di mana tidak ada perubahan arah, kehilangan tekanan dalam
alat penyambung tersebut dapat diabaikan.
A.2.5. Tinggi kecepatan.
Tinggi kecepatan yang timbul dapat diabaikan.

76 dari 83
SNI 03-3989- 2000

A.2.6. Tekanan minimum pada kepala springkler.


Tekanan air di kepala springkler tidak boleh kurang dari 0,5 kg/cm2, apabila semua kepala
springkler di daerah perencanaan terbuka seluruhnya.
A.2.7. Ukuran pipa minimum.
Ukuran pipa cabang atau pipa pembagi tidak boleh kurang dari 25 mm.
Tabel A.2.3.2. : Nilai dari pangkat 1,85.
0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0 20 71 150 255 386 540 719 920 1.140
50 1.390 1.660 1.950 2.260 2.590 2.940 3.320 3.710 4.120 4.560
100 5.010 5.490 5.980 6.490 7.020 7.570 8.140 8.730 9.340 9.970
150 10.610 11.280 11.960 12.860 13.380 14.110 14.870 15.640 16.430 17.240
200 18.070 18.910 19.780 20.650 21.550 22.470 23.400 24.350 25.320 26.300
250 27.300 28.320 29.360 30.410 31.480 32.570 33.670 34.790 35.930 37.080
300 38.250 39.440 40.650 41.870 43.110 44.360 45.630 46.920 48.220 49.540
350 50.880 52.230 53.600 54.990 56.390 57.800 59.240 60.690 62.150 63.640
400 65.130 66.650 68.100 69.730 71.290 72.870 74.460 76.070 77.690 79.340
450 80.990 82.670 84.350 86.060 87.780 89.510 91.260 93.030 94.810 96.610
500 98.420 100.300 102.100 104.000 105.800 107.700 109.600 111.600 113.500 115.400
550 117.400 119.400 121.400 123.400 125.400 127.500 129.500 131.600 133.700 135.800
600 137.900 140.000 142.200 144.400 146.500 148.700 150.900 153.200 155.400 157.700
650 159.900 162.200 164.500 166.800 169.100 171.500 173.800 176.200 178.600 181.000
700 183.400 185.800 188.300 190.800 193.200 195.700 198.200 200.700 203.300 205.800
750 208.400 211.000 213.600 216.200 218.800 221.400 224.100 226.700 229.400 232.100
800 234.800 237.500 240.300 243.000 245.800 248.600 251.400 254.200 257.000 259.900
850 262.700 265.500 269.400 271.300 274.200 277.200 280.100 283.000 286.000 289.000
900 292.000 295.000 298.000 301.000 304.100 307.200 310.200 313.300 316.400 319.600
950 322.700 325.800 329.000 332.200 335.400 338.600 341.800 345.000 348.300 351.500
1000 354.800

77 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar A.2.2.3.a. : Perencanaan hidrolik untuk sistem bahaya kebakaran berat.

78 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar A.2.2.3.b. Perencanaan hidrolik untuk sistem pada bahaya kebakaran berat.

79 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar A.2.2.3.c. Perencanaan hidrolik untuk sistem bahaya kebakaran berat.

80 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar A.2.2.3.d. Perencanaan hidrolik untuk sistem bahaya kebakaran berat.

81 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Gambar A.2.2.3.e. Perencanaan hidrolik sistem bahaya kebakaran berat.

82 dari 83
SNI 03-3989- 2000

Bibliografi

1 NFPA 14 : Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996 Edition,
National Fire Protection Association.

2 NFPA 20 : Centrifugal Fire Pumps, 1993 Edition, National Fire Protection Association.

83 dari 83
SNI 03-6570-2001

Standar Nasional Indonesia

Instalasi Pompa Yang Dipasang Tetap


Untuk Proteksi Kebakaran

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-6570-2001

Instalasi Pompa Yang Dipasang Tetap Untuk Proteksi Kebakaran

1 Pendahuluan.

1.1 Ruang Lingkup dan Acuan.

1.1.1 Ruang Lingkup.


Standar ini berhubungan dengan pemilihan dan instalasi pompa yang memasok air untuk
proteksi kebakaran pada bangunan gedung.
Hal-hal yang dipertimbangkan, termasuk:
a) pasokan air.
b) hisapan, pelepasan, dan peralatan pelengkap.
c) pasokan daya.
d) penggerak elektrik dan kontrol.
e) motor bakar penggerak dan kontrol.
f) turbin uap penggerak dan kontrol.
g) uji serah terima dan pengoperasian.
Standar ini tidak mencakup kapasitas sistem pasokan air dan persyaratan tekanan (lihat
A.2.1.1), maupun persyaratan yang mencakup pemeriksaan berkala, pengujian dan
pemeliharaan sistem pompa kebakaran. Standar ini juga tidak mencakup persyaratan untuk
instalasi pengkabelan unit pompa kebakaran.

1.1.2 Acuan.
NFPA 20, Standar for the installation of stationary pumps for fire protection, 1999, edition,
National Fire Protection Association.

1.2 Tujuan.
1.2.1 Tujuan standar ini untuk menyediakan secara wajar proteksi terhadap jiwa dan
harta milik dari kebakaran melalui persyaratan instalasi pompa yang dipasang tetap untuk
proteksi kebakaran, didasarkan pada prinsip keteknikan, data uji, dan pengalaman lokasi.
Standar ini termasuk pompa satu tingkat dan bertingkat banyak dengan poros yang
dirancang horisontal atau vertikal.
Persyaratan ditentukan untuk perancangan dan pemasangan pompa, penggerak pompa dan
peralatan yang berhubungan dengannya.
Standar ini mengusahakan agar catatan-catatan dari instalasi pompa yang dipasang tetap
dan memenuhi tuntutan perkembangan teknologi terus dipakai.
Standar ini tidak dimaksudkan untuk menghambat teknologi baru atau penggantian
susunannya, asalkan ketentuan tersebut tidak lebih rendah dari standar ini.

1 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.2.2 Instalasi yang sudah ada.


Apabila instalasi pompa yang sudah ada memenuhi standar pada saat pemasangan, pompa
boleh tetap digunakan, di mana pompa ini tidak menimbulkan perbedaan di dalam
memproteksi jiwa atau harta milik yang bersebelahan.

1.3 Pompa lainnya.


Pompa yang lain dari spesifikasi dalam standar ini dan mempunyai fasilitas rancangan yang
berbeda boleh dipasang apabila pompa tersebut telah teruji oleh laboratorium uji. Pompa
tersebut dibatasi sampai kapasitas kurang dari 1.892 liter/menit (500 gpm).

1.4* Syarat persetujuan.


1.4.1 Persetujuan diberikan apabila pompa tetap dipilih berdasarkan pada kondisi
dimana pompa ini dipasang dan digunakan.
1.4.2 Pabrik pembuat pompa atau perwakilan yang ditunjuk harus memberikan
informasi yang lengkap berkaitan dengan karakteristik air dan pasokan daya listrik.
Suatu perencanaan lengkap dan data detail yang menggambarkan pompa, penggerak, alat
kontrol, pasokan daya, sambungan hisap dan pelepasan, dan kondisi pasokan air harus
disiapkan untuk persetujuan.
Setiap pompa, penggerak, alat kontrol peralatan, pasokan daya dan susunannya, dan
pasokan air harus disetujui oleh instansi berwenang untuk kondisi lokasi spesifik yang
dijumpai.

1.5 Pengoperasian pompa.


Dalam kejadian pompa kebakaran beroperasi, petugas yang terlatih harus tanggap terhadap
lokasi pompa kebakaran untuk memastikan bahwa pompa kebakaran beroperasi dengan
memuaskan.

1.6 Kinerja unit.


1.6.1 Unit yang terdiri dari pompa, penggerak, dan alat kontrol harus sepenuhnya
memenuhi standar pemasangan atau bila komponennya diganti.
1.6.2 Untuk memenuhi kinerja sesuai ketentuan standar ini maka unit lengkap harus
diuji sebelum diadakan serah terima lokasi.

1.7 Sertifikat uji pabrik.


Kurva pada sertifikat uji pabrik yang menunjukkan head, kapasitas dan daya poros dari
pompa harus dilengkapi oleh pabrik pembuat untuk pembelinya. Pembeli harus melengkapi
data ini untuk disampaikan kepada instansi berwenang.

1.8 Istilah dan Definisi.

1.8.1 Definisi sebagai berikut digunakan dalam standar ini:


1.8.1.1
aditif
Suatu cairan seperti konsentrat busa, pengemulsi, cairan supresi uap berbahaya dan bahan
berbusa ditujukan untuk disuntikkan ke dalam aliran air pada atau di atas tekanan air.

2 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.2
air tanah
Air yang tersedia pada sumur, yang berasal dari permukaan lapisan penyangga air (aquifer)
1.8.1.3
alat kontrol pompa kebakaran
kelompok peralatan yang berfungsi sebagai pengatur, pada umumnya diset (disetel)
sebelumnya, yang menjalankan dan menghentikan penggerak pompa kebakaran serta
memantau sinyal status dan kondisi unit pompa kebakaran.
1.8.1.4
analisa kinerja aquafer
pengujian yang dirancang untuk menentukan jumlah air di bawah tanah yang tersedia di
lokasi dan mempunyai ruang yang cukup memadai untuk mencegah gangguan di lokasi
tersebut. Pada dasarnya hasil pengujian menyediakan informasi yang berhubungan dengan
kemampuan alir dan koefisien penyimpanan (volume air yang ada) dari aquifer.
1.8.1.5
aquafer
formasi di bawah tanah yang mengandung bahan stabil yang dapat ditembus air untuk
menghasilkan sejumlah air yang cukup.
1.8.1.6
bahan tahan korosi
bahan seperti brass, tembaga, monel, baja tahan karat, atau bahan-bahan setara yang
tahan korosi.
1.8.1.7
daya angkat hisap total
daya angkat hisap ada bila head hisap total di bawah tekanan atmosfer. Daya angkat hisap
total seperti ditentukan pada pengujian, adalah bacaan pada manometer cairan pada nozel
hisap dari pompa, dirubah ke meter ( ft ) cairan, ditunjukkan ke titik duga, dikurangi head
kecepatan pada titik dimana pengukur dipasang.
1.8.1.8
daya poros maksimum pompa
daya poros maksimum pompa yang dipersyaratkan untuk menjalankan pompa pada suatu
kecepatan nominal. Pabrik pembuat pompa menentukan ini dengan uji di pabrik di bawah
kondisi hisapan dan pelepasan yang ditentukan. Kondisi aktual di lokasi dapat berbeda
dengan kondisi pabrik.
1.8.1.9
disetujui
dapat diterima oleh instansi berwenang.
1.8.1.10
faktor pelayanan
perkalian dari motor arus bolak balik yang bila diterapkan ke daya poros menunjukkan beban
daya poros yang diijinkan yang dapat menghantarkan tegangan, frekuensi dan temperatur.

3 dari 142
SNI 03-6570-2001

Untuk contoh perkalian 1,15 menunjukkan motor diijinkan untuk menerima beban lebih 1,15
kali daya porosnya.
1.8.1.11
harus (shall)
menunjukkan persyaratan yang mutlak diikuti (mandatory).
1.8.1.12
head
suatu jumlah yang digunakan untuk menyatakan bentuk (atau kombinasi bentuk) dari energi
yang terkandung air per berat unit air dengan acuan titik duga sembarang.
1.8.1.13
head hisap positip neto (net positive suction head = NPSH)
head hisap total absolut cairan dalam meter (ft), ditentukan pada nozel hisap, dan di acu ke
titik duga (datum), dikurangi tekanan uap absolut cairan dalam meter (ft).
1.8.1.14
head hisap total
head hisap yang ada bila head hisap total di atas tekanan atmosfer.
Head hisap total, seperti ditentukan pada pengujian, adalah acaan dari pengukur pada
hisapan pompa, dirubah ke meter (ft) dari cairan, dan di acu ke titik duga, ditambah head
kecepatan pada titik dimana pengukur yang dipasang.
1.8.1.15
head kecepatan
head kecepatan yang didapatkan dari kecepatan rata-rata yang diperoleh dengan membagi
aliran dalam meter kubik per detik (ft kubik per detik) dengan luas aktual dari penampang
pipa dalam meter persegi (ft persegi) dan ditentukan pada titik dari sambungan pengukur.
1.8.1.16
head nominal total
head total yang ditimbulkan pada kapasitas nominal dan kecepatan nominal untuk pompa
horisontal rumah terpisah atau pompa turbin poros vertikal.
1.8.1.17
head pelepasan total.
bacaan pengukuran tekanan pada pelepasan pompa, diubah ke meter (ft), dan di mengacu
ke titik duga, ditambah head kecepatan pada titik dari pengukur yang dipasang.
1.8.1.18
head total, pompa horisontal
pengukuran kerja untuk menaikkan setiap kg (lb) cairan, diberikan ke cairan oleh pompa,
dan karena itu terjadi perbedaan besaran antara head pelepasan total dan head hisap total.
Head total, seperti ditentukan pada pengujian bila daya angkat hisap ada, merupakan jumlah
dari head pelepasan total dan daya angkat hisap total.
Apabila head hisap positip ada, head total adalah head pelepasan total dikurangi head hisap
total.

4 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.19
head total, pompa turbin vertikal
jarak dari taraf air pemompaan ke pusat dari pengukur pelepasan ditambah head pelepasan
total.
1.8.1.20
hisapan yang meluap (flooded suction)
kondisi dimana aliran air dari sumber yang terbuka ke atmosfer menuju pompa tanpa
menyebabkan tekanan rata-rata pada flens inlet pompa turun di bawah tekanan atmosfer
pada saat pompa beroperasi 150 persen kapasitas nominal.
1.8.1.21*
instansi berwenang
instansi berwenang dan bertanggung jawab untuk menyetujui peralatan, instalasi dan
prosedur.
1.8.1.22
katup pelepasan aliran ( flow unloader valve)
katup yang dirancang untuk melepas kelebihan aliran di bawah kapasitas pompa yang di set
pada tekanan pompa.
1.8.1.23
kopling fleksibel
alat yang digunakan untuk menyambung poros atau komponen pemindah torsi dari suatu
alat penggerak ke pompa, dan yang membolehkan sudut kecil dan ketidak sejajaran
sebagaimana dibatasi oleh pabrik pembuat pompa dan kopling.
1.8.1.24
motor bakar
setiap motor yang media kerjanya terdiri dari hasil pembakaran udara dan bahan bakar yang
dipasok.
Pembakaran biasanya terjadi di dalam silinder yang bekerja, tetapi dapat pula terjadi di
dalam kamar (chamber).
1.8.1.25
motor diesel
motor bakar dimana bahan bakar dinyalakan seluruhnya oleh hasil panas dari kompresi
udara yang dipasok untuk pembakaran. Motor diesel minyak, bekerja dengan
menginjeksikan bahan bakar minyak setelah kompresi praktis lengkap, jenis ini biasanya
digunakan sebagai penggerak pompa kebakaran.
1.8.1.26
motor kedap debu yang dapat terbakar
motor yang tertutup seluruhnya dimana penutupannya dirancang dan dibuat dengan cara
menghalangi masuknya sejumlah debu yang dapat terbakar atau sejumlah yang dapat
merusak kinerja atau nilai dan yang tidak akan menyebabkan busur, percikan, atau panas
selain yang ditentukan atau dilepaskan dari dalam penutup yang dapat menyebabkan
penyalaan dari akumulasi debu di bagian luar, atau debu tertentu yang bertebaran di
atmosfer dalam daerah sekitar penutup.

5 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.27
motor kedap ledakan
motor yang tertutup seluruhnya di mana penutupnya dirancang dan dibuat tahan ledakan
dari gas atau uap tertentu yang dapat timbul di dalamnya dan untuk mencegah nyala dari
gas atau uap tertentu disekeliling motor oleh percikan, semburan atau ledakan dari gas atau
uap tertentu yang timbul di dalam rumah motor.
1.8.1.28
motor kedap tetesan
motor yang terbuka dimana bukaan ventilasinya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu
beroperasi tanpa terganggu oleh tetesan cairan atau partikel padat yang turun atau masuk
ke dalam bagian yang tertutup dengan sudut antara 0 sampai 15 derajat ke arah bawah
terhadap vertikal.
1.8.1.29
motor listrik
Motor listrik diklasifikasikan sesuai untuk proteksi mekanik dan metoda pendinginannya.
1.8.1.30
motor terbuka
motor yang mempunyai bukaan ventilasi, memperkenankan jalur udara pendingin luar
meliwati dan mengelilingi kumparan motor.
Apabila diterapkan pada peralatan yang besar tanpa kualifikasi, istilah ini menunjukkan
motor tidak mempunyai hambatan untuk ventilasi selain dari pada yang dibutuhkan oleh
konstruksi mesin.
1.8.1.31
motor tertutup total
motor yang tertutup seluruhnya untuk mencegah pertukaran bebas dari udara antara bagian
dalam dan luar rumah, tetapi tidak cukup menutup untuk diistilahkan kedap udara.
1.8.1.32
motor tertutup total didinginkan dengan fan
motor yang tertutup seluruhnya dipasang untuk pendinginan luar oleh sarana fan atau fan
yang menyatu dengan motor tetapi di luar dari bagian yang tertutup.
1.8.1.33
motor tertutup total tanpa ventilasi
motor yang tertutup seluruhnya, dimana tidak dipasang untuk pendinginan oleh sarana luar
untuk bagian-bagian yang tertutup.
1.8.1.34
motor yang dilindungi kedap tetesan
motor kedap tetesan di mana bukaan ventilasi dilindungi sesuai definisi motor kedap tetesan.
1.8.1.35
pelayanan
konduktor dan peralatan untuk menyalurkan energi dari sistem pasokan listrik ke sistem
pengkabelan dari bangunan yang dilayani.

6 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.36
pelindung motor
motor yang terbuka di mana semua bukaan terhadap logam yang bergerak atau bagian yang
berputar (kecuali permukaan putar yang halus), dibatasi ukurannya oleh bagian struktural
atau oleh tabir, dinding antara, gril, kasa logam, atau sarana lain untuk mencegah
kecelakaan akibat bersinggungan dengan bagian bagian yang berbahaya. Bukaan yang
menyebabkan hubungan langsung ke bagian-bagian yang bergerak atau berputar, harus
tidak dilalui batang silindris berdiameter 19 mm ( ¾ inch) atau lebih.
1.8.1.37
peralatan pelayanan
peralatan penting, biasanya terdiri dari pemutus tenaga atau sakelar dan pengaman lebur,
dan perlengkapannya, ditempatkan dekat titik masuk konduktor pemasok ke bangunan,
struktur lain, atau sebaliknya area yang ditegaskan, dan ditujukan untuk membentuk kontrol
utama dan sarana pemutus pasokan.
1.8.1.38
permukaan air pemompaan (pumping water level)
permukaan air terhadap pompa, di mana jumlah air berada pada hisapan pada saat pompa
beroperasi. Pengukuran dibuat sama seperti permukaan air statik.
1.8.1.39
permukaan air statik
permukaan, dengan merujuk ke pompa, terhadap badan air dimana hisapan akan terjadi,
dalam keadaan pompa tidak beroperasi.
Untuk pompa turbin dengan poros vertikal, jarak ke permukaan air di ukur tegak lurus dari
garis pusat horisontal dari tekanan pelepasan atau tee.
1.8.1.40
pompa aditif
pompa yang digunakan untuk menyuntik bahan aditif ke dalam aliran air.
1.8.1.41
Pompa can
pompa jenis turbin poros vertikal dalam suatu can (semacam tangki hisap) pada instalasi
pipa untuk menaikkan tekanan air.
1.8.1.42
pompa hisap ujung ( End suction pump )
pompa hisap tunggal mempunyai nozel hisap pada sisi yang berlawanan dengan rumah
pompa dan mempunyai bidang hisap nozel hisap tegak lurus ke sumbu longitudinal dari
poros.
1.8.1.43
pompa horisontal
pompa yang posisi porosnya horisontal.
1.8.1.44
pompa konsentrat busa
lihat definisi “pompa aditif”.

7 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.45
pompa langkah positip
karakteristik pompa yang menghasilkan aliran dengan cara menangkap volume tertemtu dari
cairan pada setiap putaran pompa dan mengurangi rongga cairan oleh sarana mekanik
untuk memindahkan cairan yang dipompakan.
1.8.1.46
pompa putaran baling-baling (vane)
karakteristik pompa langkah positip yang menggunakan rotor tunggal dengan baling-baling
yang bergerak dengan putaran pompa untuk menciptakan rongga dan memindahkan cairan.
1.8.1.47
pompa putaran keping (rotary lobe)
karakteristik pompa langkah positip yang menggunakan keping rotor untuk membawa cairan
antara rongga keping dan rumah pompa dari inlet ke outlet.
1.8.1.48
pompa roda gigi
karakteristik pompa langkah positip yang menggunakan roda gigi dan rumahnya untuk
memindahkan cairan.
1.8.1.49
pompa rumah terpisah horizontal (split case)
jenis pompa sentrifugal yang rumahnya terpisah dan sejajar terhadap porosnya.
1.8.1.50
pompa sejalur (in- line)
pompa sentrifugal yang menjalankan unit, ditunjang oleh pompa yang mempunyai flens
hisap dan flens pelepasan kurang lebih sama dengan garis tengahnya.
1.8.1.51
pompa sentrifugal
pompa yang pada prinsipnya tekanannya ditimbulkan oleh gerakan gaya sentrifugal.
1.8.1.52
pompa torak
karakteristik pompa langkah positip yang menggunakan torak dan silinder untuk memindah-
kan cairan.
1.8.1.53
pompa turbin poros sejalur vertikal
pompa sentrifugal poros vertikal dengan impeller berputar atau impeller dengan pelepasan
dari sumbu elemen pemompaan dan poros.
Elemen pemompaan ditahan oleh sistem konduktor, yang menutup sistem dari poros
vertikal, digunakan untuk memindahkan daya ke impeller, penggerak utama berada di luar
aliran.

8 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.54
sakelar isolasi
sakelar yang ditujukan untuk mengisolasi sirkit listrik dari sumber dayanya. Sakelar ini tidak
memiliki kemampuan memutus dan ditujukan hanya untuk mengoperasikan setelah sirkit di
buka dengan cara lain.
1.8.1.55
sakelar pemindah manual
sakelar yang dioperasikan oleh tenaga manusia langsung untuk memindahkan satu atau
lebih penyambungan konduktor beban dari satu sumber daya ke lainnya.
1.8.1.56
sakelar pemindah otomatik
peralatan yang bergerak otomatik untuk memindahkan satu atau lebih sambungan konduktor
beban, dari satu sumber daya ke sumber daya lainnya.
1.8.1.57
saluran
semua konduktor sirkit antara peralatan yang dilayani atau sumber dari sistem yang terpisah
dengan alat pengaman arus lebih sirkit cabang terakhir.
1.8.1.58
sambungan fleksibel poros
alat yang terdiri dari elemen teleskopik dengan dua sambungan fleksibel.
1.8.1.59
sarana pelepas sambungan
alat pengaman, kelompok alat pengaman, atau sarana lain (contoh : pemutus tenaga pada
alat kontrol pompa kebakaran) dimana konduktor dari suatu sirkit dapat dilepas dari sumber
pasokannya.
1.8.1.60
sebaiknya
menunjukkan rekomendasi atau saran tetapi tidak dipersyaratkan.
1.8.1.61
sirkit cabang
konduktor sirkit antara alat pengaman arus lebih yang terakhir untuk memproteksi sirkit dan
peralatan yang dipakai.
1.8.1.62
standar
dokumen, teks utama yang berisi hanya ketentuan yang mutlak diikuti, menggunakan kata
“harus” untuk menunjukkan persyaratan dan dimana bentuk umumnya cocok untuk referensi
yang mutlak diikuti oleh standar lain atau kode atau untuk di adopsi ke dalam bentuk
“hukum”.
Ketentuan yang tidak mutlak diikuti harus diletakkan pada apendiks, catatan kaki, atau
catatan dengan cetak halus dan tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari persyaratan
standar.

9 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.8.1.63
sumur basah
ruang tertutup dari kayu, beton atau bata, mempunyai saringan masuk, dijaga terpisah di isi
dengan air dari sumber air permukaan seperti kolam, danau, atau sungai kecil.
1.8.1.64
tarikan ke bawah
perbedaan vertikal antara permukaan air pemompaan dan permukaan air statik.
1.8.1.65
teruji
peralatan, bahan, atau pelayanan termasuk dalam daftar teruji dari organisasi yang disetujui
oleh instansi berwenang dan berurusan dengan evaluasi produk atau pelayanan, yang
melakukan inspeksi berkala dari produk peralatan yang teruji atau bahan atau evaluasi
berkala dari pelayanan, dimana bagian yang teruji dari peralatan, bahan atau pelayanan
memenuhi standar atau telah di uji dan diperoleh hasil sesuai tujuan tertentu.
1.8.1.66
unit pompa kebakaran
unit yang dirakit, terdiri dari pompa kebakaran, penggerak, alat kontrol, dan
perlengkapannya.

1.8.2 Definisi tambahan


Definisi tambahan yang dapat digunakan bisa diperoleh pada edisi terakhir dari standar-
standar lain yang berlaku.

1.9 Satuan
Satuan metrik dari ukuran dalam standar ini sesuai dengan sistem metrik yang
dimodernisasi, dikenal sebagai unit Sistem Internasional (SI).
Dua satuan (liter dan bar), di luar tetapi dikenal oleh SI, digunakan bersama dalam proteksi
kebakaran internasional.
Satuan ini terdaftar dalam tabel 1.9 dengan faktor konversinya.
Tabel 1.9 : Faktor Konversi Satuan.
Nama Satuan Simbol Satuan Faktor konversi
meter m 1 ft = 0,3048 m
millimeter mm 1 in = 25,4 mm
liter L 1 gal = 3,785 L
desimeter kubik dm3 1 gal = 3,785 dm3
meter kubik m3 1 ft3 = 0,0283 m3
paskal Pa 1 psi = 6894,757 Pa
bar bar 1 psi = 0,0689 bar
bar bar 1 bar = 105 Pa.
Catatan :
Untuk konversi tambahan dan informasi, lihat ASTM E.380, “Standar for Metric Practice”.

10 dari 142
SNI 03-6570-2001

1.9.1 Jika nilai ukuran seperti diberikan dalam standar ini diikuti oleh nilai ekuivalen
unit lain, bagian pertama dianggap sebagai persyaratan. Nilai ekuivalen yang diberikan
dipertimbangkan sebagai pendekatan.
1.9.2 Prosedur konversi untuk unit SI telah dikalikan dengan faktor konversi dan
kemudian dibulatkan menghasilkan angka pendekatan yang cukup berarti.

2 Umum.

2.1 Pasokan air.

2.1.1* Keandalan.
Kecukupan dan ketergantungan dari sumber air sangat penting dan harus ditentukan
sepenuhnya dengan kelonggaran yang tepat untuk keandalannya di waktu mendatang (lihat
butir A.2.1.1).

2.1.2 Sumber.
Setiap air yang cukup dalam kualitas, kuantitas dan tekanan dapat digunakan untuk
menyediakan pasokan air untuk suatu pompa kebakaran.
Apabila pasokan air dari PDAM tidak cukup kualitas, kuantitas dan tekanannya, sumber air
alternatif perlu disediakan.
Kecukupan pasokan air harus ditentukan dan dikaji spesifikasi dan instalasi dari pompa
kebakarannya.

2.1.3 Permukaan.
Permukaan air minimum dari sumur atau lubang basah harus ditentukan oleh pemompaan
pada tidak kurang 150 persen dari kapasitas nominal pompa kebakaran.

2.1.4 Pasokan Tersimpan.


Pasokan tersimpan harus cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditempatkan padanya
untuk jangka waktu yang diharapkan dan cara yang handal untuk melengkapi pasokan harus
disediakan.

2.1.5 Head.
Adanya head dari pasokan air harus digambarkan pada dasar dari aliran 150 persen
kapasitas nominal dari pompa kebakaran. Head ini harus ditunjukkan oleh suatu uji aliran.

2.2 Pompa dan Penggeraknya.


2.2.1 Pompa kebakaran harus diuji untuk pelayanan proteksi kebakaran.
2.2.2 Penggerak yang dapat diterima untuk pompa pada suatu instalasi tunggal
adalah motor listrik, motor diesel, turbin uap, atau kombinasinya.
2.2.3 Kecuali instalasi yang dibuat sebelum standar ini, unit pompa penggerak ganda
tidak boleh digunakan.
2.2.4 Tekanan pompa saat katup tertutup ditambah tekanan isap statik maksimum,
yang disetel untuk ketinggian, tidak boleh melebihi nominal dari komponen sistem.

11 dari 142
SNI 03-6570-2001

2.3 Kapasitas Nominal Pompa.


Pompa kebakaran harus mempunyai kapasitas nominal dalam liter per menit (gpm) berikut
dan harus pada tekanan nominal neto 2,7 bar (40 psi) atau lebih (lihat tabel 2.3). Pompa
untuk nominal di atas 18.925 liter per menit (5000 gpm) terutama untuk dikaji tersendiri oleh
instansi berwenang atau laboratorium yang terdaftar.
Tabel 2.3 Kapasitas pompa nominal
gpm Liter/menit
25 95
50 189
100 379
150 568
200 757
250 946
300 1.136
400 1.514
450 1.703
500 1.892
750 2.839
1.000 3.785
1.250 4.731
1.500 5.677
2.000 7.570
2.500 9.462
3.000 11.355
3.500 13.247
4.000 15.140
4.500 17.032
5.000 18.925

2.4 Plat Nama.


Pompa harus dilengkapi dengan plat nama.

2.5 Alat Pengukur Tekanan.


2.5.1 Alat pengukur tekanan mempunyai penunjuk tidak kurang dari 89 mm (3½ inci)
diameternya, harus dihubungkan dekat dengan tuangan pelepasan dengan katup alat
pengukur 6,25 mm (¼ inci).
Penunjuk harus menunjukkan tekanan sekurang-kurangnya dua kali tekanan kerja pompa,
tetapi tidak kurang dari 13,8 bar (200 psi). Muka dari penunjuk harus terbaca dalam bar, lb
per inci2, atau keduanya dengan graduasi standar pabrik.
2.5.2 Gambungan pengukur tekanan dan vacuum mempunyai penunjuk tidak kurang
dari 89 mm (3½ inci) diameternya, harus disambung ke pipa hisap yang dekat dengan
pompa dengan katup alat pengukur 6,25 mm (¼ inci).
Pengecualian :
Ketentuan ini tidak harus diterapkan untuk pompa jenis turbin poros vertikal yang mengambil hisapan dari sumur
atau sumur basah terbuka.

12 dari 142
SNI 03-6570-2001

Muka dari penunjuk harus terbaca dalam millimeter kolom air raksa (inch kolom air raksa)
atau lb per inci2 (bar) untuk rentang hisapan.
Pengukur harus mempunyai rentang tekanan dua kali tekanan hisap maksimum pompa,
tetapi tidak kurang dari 7 bar ( 100 psi).

2.6 Katup Relief Sirkulasi.


2.6.1 Setiap pompa harus mempunyai katup relief otomatik teruji untuk melayani
pompa kebakaran yang dipasang dan di set di bawah tekanan menutup pada tekanan hisap
minimum yang diharapkan.
Katup harus dipasang pada sisi pelepasan dari pompa sebelum katup searah pelepasan.
Katup ini harus menyediakan aliran air yang cukup untuk mencegah pompa dari panas lebih
apabila beroperasi dengan tanpa pelepasan. Ketentuan harus dibuat untuk pelepasan ke
saluran pembuangan. Katup relief sirkulasi harus tidak dikencangkan dengan kotak
pembungkus atau pinggiran tetesan pengering. Ukuran minimum dari katup relief otomatik
harus 19 mm (¾ inci) untuk pompa dengan kapasitas nominal tidak lebih dari 9.462
liter/menit (2500 gpm), dan 25,4 mm (1 inch) untuk pompa dengan kapasitas nominal antara
11.355 sampai 18.925 Liter/menit (3.000 sampai 5.000 gpm).
Pengecualian :
Ketentuan ini tidak boleh diterapkan pada pompa yang digerakkan motor dengan pendinginan air yang diambil
dari pelepasan pompa.
2.6.2 Apabila tekanan katup relief telah disalurkan kembali ke hisapan, katup relief
sirkulasi harus disediakan. Ukuran harus sesuai dengan butir 2.6.

2.7 Proteksi Peralatan.


2.7.1* Pompa kebakaran, penggerak, dan alat kontrolnya, harus diproteksi terhadap
kemungkinan gangguan pelayanan terhadap kerusakan yang disebabkan ledakan,
kebakaran, banjir, gempa bumi, serangga, angin ribut, kekerasan, dan kondisi lain yang
merugikan.
2.7.1.1 Unit pompa pemadam kebakaran di dalam bangunan harus dipisahkan dari
semua daerah bangunan dengan konstruksi yang mempunyai Tingkat Ketahanan Api (TKA)
2 jam.
Pengecualian 1 :
Garis besar pompa ditunjukkan pada butir 2.7.1.2.
Pengecualian 2 :
dalam bangunan yang diproteksi sistem springkler otomatik, dipasang sesuai SNI 03-3989-2000, tentang “Tata
cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung“, persyaratan pemisahan dapat dikurangi sampai konstruksi TKA nya 1 jam.
2.7.1.2 Unit pompa kebakaran yang ditempatkan di luar bangunan dan instalasi pompa
kebakaran dalam bangunan lain yang diproteksi oleh pompa kebakaran harus ditempatkan
minimal 15,3 m (50 ft) dari bangunan yang diproteksi.
Pemasangan di luar bangunan juga harus dipersyaratkan untuk disediakan proteksi terhadap
kemungkinan gangguan sesuai butir 2.7.1.

13 dari 142
SNI 03-6570-2001

2.7.2 Sarana yang sesuai harus disediakan untuk menjaga temperatur ruangan pompa
atau rumah untuk pompa, jika dipersyaratkan di atas 50C (400F).
Pengecualian :
lihat butir 8.6.5 untuk persyaratan temperatur yang lebih tinggi untuk motor bakar.
2.7.3 Pencahayaan buatan harus disediakan dalam ruangan pompa atau rumah untuk
pompa.
2.7.4 Pencahayaan darurat harus disediakan dengan tetap atau pencahayaan jinjing
yang dioperasikan dengan baterai, termasuk lampu senter. Pencahayaan darurat tidak harus
dihubungkan ke motor yang distart dengan baterai.
2.7.5 Ventilasi ruangan pompa atau rumah untuk pompa harus mengikuti ketentuan.
2.7.6* Lantai harus dibuat landai/miring untuk pengeringan yang cukup menghilangkan
air menjauhi peralatan yang kritis seperti pompa, penggerak, alat kontrol dan sebagainya.
Ruangan pompa atau rumah untuk pompa harus disediakan dengan pengering lantai yang
akan menyalurkan air ke lokasi di luar.
2.7.7 Pagar jaga harus disediakan untuk kopling fleksibel dan sambungan poros
fleksibel guna mencegah bagian berputar dari kecelakaan pada manusia.

2.8 Pipa dan Fiting.


2.8.1* Pipa baja harus dipakai di atas tanah, kecuali untuk sambungan ke hisapan di
bawah tanah dan pipa pelepasan di bawah tanah.
Apabila terdapat kondisi air yang korosif, pipa hisap baja harus di galvanis atau dicat pada
bagian dalamnya sebelum dipasang dengan bahan cat yang direkomendasikan untuk
pemakaian di bawah permukaan air.
Lapisan bitumen yang tebal tidak boleh digunakan.
2.8.2* Bagian dari pemipaan baja harus disambung dengan sambungan ulir,
sambungan flens, atau fiting lain yang disetujui.
Pengecualian :
Fiting jenis slip dibolehkan untuk dipakai bila digunakan seperti persyaratan pada butir 2.9.6 dan bila pemipaan
secara mekanik dijamin mencegah kelicinan.
2.8.3 Pemipaan bahan konsentrat atau bahan aditif harus dilayani dengan bahan yang
tidak dapat berkarat.
Pipa galvanis tidak boleh dipakai untuk melayani konsentrat busa.
2.8.4* Pemotongan dengan busur api atau dengan las di dalam rumah untuk pompa
dibolehkan sebagai sarana modifikasi atau perbaikan pemipaan bila dilakukan sesuai
ketentuan yang berlaku.

2.9 Pipa Hisap dan Fiting.

2.9.1* Komponen.
Komponen hisap harus terdiri dari semua pipa, katup dan fiting dari flens hisap pompa
sampai sambungan ke pipa utama pelayanan umum atau pipa utama pribadi, tangki
penyimpanan, atau reservoir dan sebagainya, yang menyalurkan air ke pompa.

14 dari 142
SNI 03-6570-2001

Apabila pompa dipasang seri, pipa hisap untuk pompa berikutnya harus mulai pada sisi
sistem dari katup pelepasan dari pompa sebelumnya.

2.9.2 Pemasangan.
Pipa hisap harus dipasang dan diuji sesuai ketentuan yang berlaku.

2.9.3 Ukuran Pipa Hisap.


Ukuran pipa hisap untuk pompa tunggal atau pipa utama hisap untuk pompa jamak (yang
bekerja bersama-sama) seperti itu, dengan semua pompa beroperasi pada 150 persen
kapasitas nominal, tekanan pengukur pada flens hisap pompa harus 0 bar (0 psi) atau lebih
tinggi. Pipa hisap harus ditentukan seperti itu, dengan pompa beroperasi pada 150 persen
kapasitas nominal, kecepatan dalam bagian dari pipa hisap ditempatkan di dalam jarak 10
kali diameter ke arah atas dari flens flens hisap pompa tidak melebihi 4,57 m/detik (15
ft/detik). Ukuran dari bagian pipa hisap yang ditempatkan di dalam jarak 10 kali diameter
aliran ke atas dari flens hisap pompa harus tidak kurang dari yang dispesifikasikan dalam
tabel 2.20.
Pengecualian :
Apabila pasokan air dari tangki hisap dengan dasarnya pada atau diatas ketinggian pompa, pengukur tekanan
pada flens hisap pompa harus dibolehkan turun sampai – 0,14 kPa (-3 psi).

2.9.4* Pompa dengan Bypass.


Apabila pasokan hisap bertekanan cukup untuk disalurkan tanpa pompa, pompa harus
dipasang dengan bypass (lihat gambar A.2.9.4 ). Ukuran bypass harus sedikitnya sebesar
ukuran pipa yang dipersyaratkan untuk pipa pelepasan yang dalam tabel 2.20.

2.9.5* Katup.
Ulir luar yang teruji dan katup sorong harus dipasang pada pipa hisap. Selain katup sorong
tidak ada yang dipasang pada pipa hisap di dalam jarak 16 m (50 ft) dari flens hisap pompa.

2.9.6* Instalasi.
2.9.6.1 Pipa hisap harus diletakkan secara hati-hati untuk mencegah kebocoran udara
dan kantong udara, keduanya dapat berpengaruh serius pada beroperasinya pompa (lihat
gambar A.2.9.6).
2.9.6.2 Pipa hisap harus dipasang dibawah garis beku dari rumah kedap beku.
Apabila pada pipa masuk dari aliran sungai, kolam, atau reservoir, perhatian khusus harus
diberikan untuk mencegah pembekuan di bawah tanah atau dalam air.
2.9.6.3 Elbow dan tee dengan bidang garis pusat sejajar terhadap poros pompa jenis
rumah terpisah harus dihindari. (lihat gambar A.2.9.6).
Pengecualian :
Elbow dan tee dengan bidang pusat garis paralel untuk poros pompa jenis rumah terpisah diijinkan apabila jarak
antara flens dari masukan hisap pompa dan elbow dan tee lebih besar dari 10 kali diameter pipa hisap.
2.9.6.4 Apabila pipa hisap dan flens hisap pompa tidak sama ukurannya, maka harus
dihubungkan dengan reduser atau inkreser eksentrik, dipasang seperti untuk mencegah
kantong udara.

15 dari 142
SNI 03-6570-2001

2.9.6.5 Apabila pompa dan pasokan hisapnya pada pondasi terpisah dengan pipa
penyambungan yang kaku, pipa harus dilengkapi dengan pelepas tegangan (lihat gambar
A.3.3.1).

2.9.7 Pompa Jamak.


Apabila pasokan pipa hisap tunggal lebih dari satu pompa, perletakan pipa hisap pada
pompa harus disusun sehingga setiap pompa akan menerima pasokan yang seimbang.

2.9.8* Saringan Hisap.


Apabila pasokan air diperoleh dari sumber terbuka seperti kolam, sumur basah, saluran dari
bahan yang dapat menyumbat pompa harus dihindari.
Saringan masuk ganda yang mudah dibuka harus disediakan pada pipa masuk hisap.
Dibawah permukaan air minimum saringan ini harus mempunyai luas bersih efektif bukaan
645 mm2 (1 inci2) untuk setiap 3,785 Liter/menit (1 gpm) pada 150 persen kapasitas nominal
pompa.
Saringan harus disusun yang dapat dibersihkan atau diperbaiki tanpa menggangu pipa
hisap. Brass, tembaga, monel, baja tahan karat, atau bahan metal tahan karat lainnya,
saringan kawatnya mempunyai mesh 12,7 mm (½ inci) dan ukuran kawat no.10 Brown &
Sharpe harus dilindungi ke rangka metal geser vertikal pada masuk ke intake. Luas
keseluruhan dari saringan khusus ini harus 1,6 kali luas bersih bukaan saringan (lihat
gambar detail pada gambar A.4.2.2.2).

2.9.9* Alat-Alat dalam Pemipaan Hisap.


Persyaratan untuk alat-alat dalam pemipaan hisap harus sebagai berikut:
a) Tidak ada alat atau rakitan, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk, alat pencegah aliran
balik atau rakitan, yang akan menghentikan, menghalangi pada waktu start, atau
menghalangi pelepasan dari pompa kebakaran atau penggerak pompa yang dipasang
dalam pemipaan hisap.
Pengecualian 1 :
Pengecualian seperti ditentukan dalam butir 2.9.5.
Pengecualian 2 :
Katup searah dan alat pencegah aliran balik dan rakitannya harus dibolehkan apabila dipersyaratkan oleh
standar lain atau oleh instansi berwenang.
Pengecualian 3 :
Katup kontrol aliran yang teruji untuk melayani pompa kebakaran dan yang sensitif terhadap tekanan
hisap harus dibolehkan apabila instansi berwenang mempersyaratkan tekanan positip untuk
dipertahankan pada pemipaan hisap.
b) Alat yang sesuai harus dibolehkan untuk dipasang pada pemipaan pasokan hisap atau
pasokan air tersimpan dan disusun untuk mengaktivasi alarm jika tekanan hisap
pompa atau permukaan air jatuh di bawah minimum yang ditentukan sebelumnya.

2.9.10* Plat Pusaran (Vortex)


Untuk pompa yang menghisap dari pasokan air tersimpan, plat pusaran (vortex) harus
dipasang pada waktu memasuki pemipaan hisap.

16 dari 142
SNI 03-6570-2001

2.10 Pipa Pelepasan dan Fiting.


2.10.1 Komponen pelepasan harus terdiri dari pipa, katup, dan fiting yang memanjang
dari flens pelepasan pompa sampai sisi sistem dari katup pelepasan.
2.10.2* Tekanan nominal dari komponen pelepasan harus bertekanan kerja cukup tetapi
tidak kurang dari nominal sistem proteksi kebakaran. Pipa baja dengan flens, sambungan
ulir, atau sambungan alur mekanik, harus digunakan di atas tanah. Semua pipa pelepasan
pompa harus diuji secara hidrostatik sesuai SNI 03-3989-2000, tentang "Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung" , dan ketentuan lain yang berlaku.
2.10.3* Ukuran pipa pelepasan pompa dan fiting tidak boleh kurang dari yang disebutkan
pada tabel 2.20.
2.10.4* Katup searah yang teruji atau alat pencegah aliran balik harus dipasang dalam
rakitan pelepasan pompa.
2.10.5 Katup sorong dan katup kupu-kupu dengan penunjuk yang teruji harus dipasang
pada sistem proteksi kebakaran di sisi katup searah pelepasan pompa. Apabila dipasang
seri, katup kupu-kupu tidak boleh dipasang di antara pompa.

2.11* Supervisi Katup.


Apabila disediakan, katup hisap, katup pelepasan, katup bypass, dan katup isolasi pada alat
pencegah aliran balik atau rakitannya, harus di supervisi terbuka oleh satu dari cara berikut
ini:
a) Stasiun pusat, daerah pribadi atau pelayanan sinyal stasiun jarak jauh.
b) Pelayanan sinyal lokal yang menyebabkan suara dari sinyal suara pada titik tetap yang
diperhatikan.
c) Membuka katup pengunci.
d) Sekatan dari katup dan catatan inspeksi mingguan yang disetujui apabila katup
ditempatkan di dalam pagar tertutup dibawah kontrol pemilik.

2.12* Proteksi Pipa Terhadap Kerusakan karena Gerakan.


Suatu jarak bebas tidak kurang dari 25,4 mm (1 inci) harus disediakan disekeliling pipa yang
menembus dinding atau lantai.

2.13 Katup Relief .


2.13.1* Apabila pompa kebakaran yang dipasang digerakkan dengan motor diesel, dan
mempunyai tekanan nominal neto 121 persen pada waktu menutup ditambah tekanan hisap
statik maksimum, diatur untuk suatu ketinggian, melebihi tekanan untuk komponen sistem
nominalnya, katup relief harus disediakan.
2.13.2 Ukuran katup relief tidak boleh kurang dari yang diberikan pada tabel 2.20. (lihat
juga butir 2.13.7 dan A.2.13.7 untuk kondisi yang diberikan).
2.13.3 Katup relief harus ditempatkan antara pompa dan katup searah pelepasan
pompa dan harus diletakkan yang dapat mudah dibuka untuk perbaikan tanpa mengganggu
pipa.

17 dari 142
SNI 03-6570-2001

2.13.4 Tekanan pada katup relief harus dari jenis pegas terbebani atau jenis diapragma
penunjuk operasi.
2.13.4.1 Katup relief dengan penunjuk tekanan, apabila dipasang pada pompa turbin
poros vertikal, harus disusun untuk mencegah pelepasan air pada tekanan air kurang dari
seting tekanan pelepasan dari katup.
2.13.5* Katup relief harus melepas ke dalam pipa terbuka atau ke dalam kerucut atau
cerobong yang dipasang ke outlet katup. Pelepasan air dari katup relief harus mudah terlihat
atau mudah di deteksi oleh operator pompa. Cipratan air ke ruangan pompa harus dicegah,
Jika jenis kerucut tertutup digunakan, maka harus dilengkapi dengan sarana untuk
mendeteksi gerakan dari air yang melalui kerucut. Jika katup relief disediakan dengan
sarana untuk mendeteksi gerakan (aliran) air melalui katup, selanjutnya kerucut atau corong
pada outlet tidak dibutuhkan.
2.13.6 Pipa pelepasan katup relief dari kerucut terbuka ukurannya harus tidak kurang
dari yang diberikan pada tabel 2.20. Jika pipa yang dipakai lebih dari satu elbow, ukuran pipa
yang lebih besar harus digunakan.
2.13.7 Apabila katup relief pipanya balik ke sumber pasokan, katup relief dan pemipaan
harus mempunyai kapasitas yang cukup untuk mencegah kelebihan tekanan nominal pada
setiap komponen sistem.
2.13.8* Apabila pasokan air ke pompa mengambil dari reservoir hisap yang kapasitasnya
terbatas, pipa pembuangan harus dilepaskan ke dalam reservoir pada titik sejauh mungkin
dari hisapan pompa, dimana ini penting untuk mencegah pompa dari bagian udara yang
ditimbulkan oleh pelepasan pipa pembuangan.
2.13.9 Katup penutup tidak boleh dipasang dalam katup relief dari pipa hisap atau pipa
pelepasan.

2.14 Alat Uji Aliran Air.

2.14.1 Umum.
2.14.1.1 Instalasi pompa kebakaran harus disusun untuk memungkinkan pompa diuji
pada kondisi nominal pasokan hisapa pada aliran maksimum yang ada dari pompa
kebakaran.
2.14.1.2* Apabila air yang digunakan atau pelepasan tidak diijinkan selama pengetesan
seperti dispesifikasikan dalam bab 11, outlet harus digunakan untuk menguji pompa dan
pasokan hisap dan menentukan bahwa sistem beroperasi sesuai dengan rancangan. Aliran
harus terus menerus sampai aliran stabil.

2.14.2 Meter.
2.14.2.1* Alat meter atau nozel tetap untuk pengujian pompa harus teruji. Meter harus
mampu menerima aliran air tidak kurang dari 175 persen kapasitas nominal pompa.
2.14.2.2 Semua sistem meter pemipaan, ukurannya harus dispesifikasikan oleh pabrik
pembuat meter tetapi tidak kurang dari ukuran alat meter seperti dalam tabel 2.20.
2.14.2.3. Ukuran meter minimum untuk kapasitas pompa yang diberikan boleh digunakan
bila sistem meter pemipaan tidak lebih dari 30 m (100 ft) panjang ekuivalennya. Apabila
sistem meter melebihi 30 m (100 ft), termasuk panjang pipa lurus ditambah panjang
ekuivalen dari fiting, ketinggian, dan kerugian dari meter, selanjutnya ukuran yang lebih

18 dari 142
SNI 03-6570-2001

besar dari pemipaan harus digunakan untuk meminimalkan kerugian gesekan. Elemen
utama harus sesuai untuk ukuran pipa dan pompa. Bacaan pada instrumen harus
disesuaikan dengan kapasitas nominal pompa (lihat tabel 2.20).

2.14.3 Katup Slang.


2.14.3.1* Katup slang harus teruji. Jumlah dan ukuran katup slang yang dipakai untuk
pengujian pompa harus seperti dispesifikasikan dalam tabel 2.20. Katup slang harus
dipasang pada header katup slang dan pemipaan pasokan harus sesuai dengan tabel 2.20.
2.14.3.2 Katup slang harus mempunyai standar ulir luar NH untuk ukuran katup yang
dispesifikasikan sesuai ketentuan yang berlaku untuk sambungan slang kebakaran.
Pengecualian:
Apabila instansi pemadam kebakaran setempat tidak menggunakan ketentuan yang berlaku, instansi berwenang
harus menunjuk jenis ulir yang digunakan.
2.14.3.3 Apabila header katup slang ditempatkan di luar atau pada suatu jarak dari
pompa dan disana ada bahaya pembekuan, katup sorong kupu-kupu dengan penunjuk dan
katup pengering atau tetesan bola harus ditempatkan dalam saluran pipa ke header katup
slang. Katup harus pada titik dalam saluran terdekat ke pompa (lihat gambar A.3.3.1).
2.14.3.4 Apabila pipa antara header katup slang dan sambungan ke pelepasan pompa
lebih dari 4,5 m (15 ft) panjangnya, ukuran pipa yang lebih besar harus digunakan.
Pengecualian:
Pipa ini dibolehkan untuk ditentukan dengan perhitungan hidraulik didasarkan pada aliran total 150 persen dari
kapasitas nominal pompa. Perhitungan ini harus termasuk kerugian gesekan untuk panjang total pipa ditambah
panjang ekuivalen dari fiting, katup kontrol, dan katup slang, ditambah kerugian ketinggian, dari flens pelepasan
pompa ke outlet katup slang. Instalasi harus dibuktikan dengan uji aliran maksimal air yang ada.

2.15 Ketergantungan Pasokan Daya Listrik.

2.15.1 Pasokan Daya Listrik.


Pertimbangan yang hati-hati harus diberikan dalam setiap kasus untuk ketergantungan
sistem pasokan listrik dan sistem pengkabelan. Pertimbangan harus termasuk kemungkinan
pengaruh dari kebakaran pada saluran transmisi pada bangunan yang dimiliki atau dalam
bangunan yang bersebelahan yang dapat mengancam harta milik.

2.15.2 Pasokan Uap.


Pertimbangan yang hati-hati harus diberikan dalam setiap kasus untuk ketergantungan
pasokan uap dan sistem pasokan uap. Pertimbangan harus termasuk kemungkinan
pengaruh dari kebakaran pada pemipaan transmisi pada bangunan yang dimiliki atau dalam
bangunan yang bersebelahan yang dapat mengancam harta milik.

2.16 Uji Pabrik.


2.16.1 Setiap pompa individu harus diuji di pabrik untuk menyediakan data detail kinerja
dan menunjukkan kesesuaian dengan spesifikasi.
2.16.2 Sebelum dikirim dari pabrik, setiap pompa harus diuji secara hidrostatik oleh
pabrik pembuat untuk jangka waktu tidak kurang dari 5 menit. Tekanan tidak boleh kurang
dari 1 ½ kali tekanan pompa dalam kondisi menutup ditambah tekanan hisap maksimum

19 dari 142
SNI 03-6570-2001

yang diijinkan, tetapi dalam hal ini tidak kurang dari 17 bar (250 psi). Rumah pompa harus
betul-betul rapat pada saat uji tekanan. Selama pengujian, harus tidak ada kebocoran yang
terjadi pada setiap sambungan. Dalam hal pompa jenis turbin vertikal tuangan pelepasan
dan rakitan mangkuk pompa harus diuji.

2.17* Putaran Poros Pompa.


Putaran poros pompa harus ditentukan dan dikoreksi secara spesifik apabila memesan
pompa kebakaran dan peralatan yang menyangkut putaran.

2.18* Alarm.
Apabila dipersyaratkan oleh bagian lain dari standar ini, alarm harus memanggil perhatian
untuk kondisi yang tak menentu pada peralatan pompa kebakaran.

2.19* Pompa yang Mempertahankan Tekanan (Jockey atau tambahan).


2.19.1. Pompa yang mempertahankan tekanan harus mempunyai kapasitas nominal
tidak kurang dari setiap nominal kebocorannya. Pompa harus mempunyai tekanan
pelepasan yang cukup untuk mempertahankan tekanan sistem proteksi kebakaran yang
diinginkan.
2.19.2 Katup searah harus dipasang pada pipa pelepasan.
2.19.3* Katup kupu-kupu dan katup sorong dengan penunjuk harus dipasang dalam
kedudukan sedemikian rupa seperti diinginkan untuk tambahan ke pompa, katup searah ,
dan perlengkapan fiting lainnya mudah dibuka untuk diperbaiki (lihat gambar A.2.19.3).
2.19.4* Apabila pompa yang mempertahankan tekanan jenis sentrifugal tekanan
menutup melebihi tekanan kerja dari peralatan proteksi kebakaran, atau apabila pompa jenis
turbin baling-baling digunakan, ukuran katup relief untuk mencegah tekanan lebih dari
sistem harus dipasang pada pelepasan pompa untuk mencegah kerusakan dari sistem
proteksi kebakaran. Alat pengatur jangka waktu berjalannya pompa jockey tidak boleh
dipasang apabila pompa jockey yang tersedia mempunyai kemampuan melebihi tekanan
kerja dari sistem proteksi kebakaran.
2.19.5 Pompa kebakaran utama atau cadangan tidak boleh dipakai untuk pompa yang
mempertahankan tekanan.
2.19.6 Pipa baja harus digunakan untuk pemipaan hisap dan pelepasan pada pompa
jockey, dimana termasuk paket sistem yang dirakit di pabrik.

2.20 Ringkasan Data Pompa Kebakaran.


Ukuran yang ditunjukkan pada tabel 2.20 harus digunakan.

20 dari 142
SNI 03-6570-2001

Tabel 2.20 : Ringkasan Data Pompa Kebakaran


Kapasitas Isapan1,2 Pelepasan1 Katup Katup Alat Jumlah Pasokan
pompa pelepas pelepas ukur dan ukuran header
pelepasan katup untuk
slang slang
(gpm) (inci) (inci) (inci) (inci) (inci) (inci) (inci)
25 1 1 ¾ 1 1¼ 1-1½ 1
50 1½ 1¼ 1¼ 1½ 2 1-1½ 1½
100 2 2 1½ 2 2½ 1-2½ 2½
150 2½ 2½ 2 2½ 3 1-2½ 2½
200 3 3 2 2½ 3 1-2½ 2½
250 3½ 3 2 2½ 3½ 1-2½ 3
300 4 4 2½ 3½ 3½ 1-2½ 3
400 4 4 3 5 4 2-2½ 4
450 5 5 3 5 4 2-2½ 4
500 5 5 3 5 5 2-2½ 4
750 6 6 4 6 5 3-2½ 6
1.000 8 6 4 8 6 4-2½ 6
1.250 8 8 6 8 6 6-2½ 8
1.500 8 8 6 8 8 6-2½ 8
2.000 10 10 6 10 8 6-2½ 8
2.500 10 10 6 10 8 8-2½ 10
3.000 12 12 8 12 8 12-2½ 10
3.500 12 12 8 12 10 12-2½ 12
4.000 14 12 8 14 10 16-2½ 12
4,500 16 14 8 14 10 16-2½ 12
5.000 16 14 8 14 10 20-2½ 12
1 Diameter aktual dari flens pompa diijinkan berbeda dengan diameter pompa.
2 Penerapan hanya untuk bagian dari pipa isap yang dispesifikasikan pada butir 2.9.3.

2.21 Alat Pencegah Aliran Balik dan Katup Searah .


2.21.1 Katup searah dan alat pencegah aliran balik dan rakitannya harus teruji untuk
melayai proteksi kebakaran.
2.21.2 Apabila alat pencegah aliran balik atau rakitannya menyatu dengan katup relief ,
katup relief harus melepas ke saluran pembuangan dengan ukuran yang tepat untuk
mengantisipasi aliran maksimum. Celah udara harus disediakan sesuai rekomendasi pabrik
pembuat. Pelepasan air dari katup relief harus mudah terlihat atau mudah dideteksi. Kinerja
dari persyaratan sebelumnya harus didokumentasikan oleh perhitungan teknik dan
pengujian.
2.21.3 Apabila ditempatkan pada pipa hisap dari pompa, katup searah dan alat
pencegah aliran balik atau rakitannya harus ditempatkan minimum 10 kali diameter pipa dari
flens hisap pompa.
2.21.4 Apabila instansi yang berwenang mempersyaratkan instalasi dari alat pencegah
aliran balik atau rakitannya disambungkan dengan pompa, pertimbangan khusus harus
diberikan untuk kenaikan kerugian tekanan sebagai hasil pemasangan. Di bawah keadaan
ini, kritis untuk menjamin susunan akhir akan menyediakan kinerja efektif pompa dengan

21 dari 142
SNI 03-6570-2001

tekanan isap 0 bar (0 psi ) pada alat ukur pada kapasitas nominal 150 persen. Penentuan
dari kinerja efektif pompa harus didokumentasikan oleh perhitungan teknis dan pengujian.

2.22 Proteksi Terhadap Gempa Bumi.


2.22.1* Apabila standar lokal mempersyaratkan perancangan seismic, pompa
kebakaran, penggerak, tanki bahan bakar diesel (apabila dipasang), dan alat kontrol pompa
kebakaran harus diletakkan pada pondasi dengan bahan yang mampu menahan gerakan
lateral dari gaya horisontal sama dengan setengah dari berat peralatan.
Pengecualian:
Apabila instansi yang berwenang mempersyaratkan faktor gaya horisontal lain dari 0,5 , SNI 03-3989, tentang
"Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan gedung" , harus digunakan.
2.22.2 Pompa dengan titik berat yang tinggi, seperti pada pompa vertikal segaris, harus
dipasang pada dasarnya dan dikaitkan diatas titik berat sesuai dengan persyaratan butir
2.22.1
2.22.3 Apabila sistem pipa tegak juga bagian dari pemipaan pelepas pompa kebakaran,
kopling pipa fleksibel harus dipasang pada dasar dari sistem pipa tegak.

2.23 Uji Serah Terima Unit Pompa di Lokasi.


Penyempurnaan di atas dari seluruh instalsi pompa kebakaran, uji serah terima harus
diadakan sesuai dengan ketentuan standar ini (lihat bab 11).

3 Pompa Sentrifugal.

3.1 Umum.

3.1.1* Jenis.
Pompa sentrifugal harus dirancang impellernya menggantung diantara bantalan. Impeller
yang menggantung harus dihubungkan tertutup atau dihubungkan terpisah satu atau dua
tingkat untuk jenis hisapan ujung. { lihat gambar A.3.1.1 (a) dan (b) } atau pompa jenis
segaris { lihat gambar A.3.1.1 (c) dan (d) }. Rancangan impeller antar bantalan harus
disambungkan terpisah untuk pompa satu tingkat atau axial (horisontal) tingkat jamak jenis
rumah terpisah {lihat gambar A.3.1.1.(f) } atau pompa jenis radial (vertikal) rumah terpisah
{gambar A.3.1.1.(g)}.

3.1.2* Penerapan.
Pompa sentrifugal tidak boleh digunakan apabila daya angkat hisap dipersyaratkan.

3.2* Kinerja di Pabrik dan di Lokasi.


Pompa harus dilengkapi sedikitnya dengan 150 persen kapasitas nominal pompa pada
sedikitnya 65% dari head nominal total. Head pada waktu menutup tidak boleh melebihi 140
persen dari head nominal untuk setiap pompa (lihat gambar A.3.2).

22 dari 142
SNI 03-6570-2001

3.3 Fiting.
3.3.1* Bila perlu, fiting berikut untuk pompa harus disediakan oleh pabrik pembuat
pompa atau perwakilan yang ditunjuk (lihat gambar A.3.3.1).
a) katup release udara otomatik.
b) katup relief sirkulasi.
c) alat pengukur tekanan.
3.3.2 Bila perlu, fiting berikut harus disediakan (lihat gambar A.3.3.1) :
a) reduser esentrik pada inlet hisap.
b) pipa cabang pembagi katup slang dengan katup slang.
c) alat pengukur aliran.
d) katup relief dan kerucut pelepasan.
e) saringan pipa.

3.3.3 Katup Pelepas Udara Otomatik.


Pompa yang dikontrol otomatik harus dilengkapi dengan katup pelepas udara jenis operasi
mengapung yang teruji, mempunyai diameter pelepasan ke udara minimum 12,7 mm (½ inci)
Pengecualian:
Pompa jenis impeller menggantung dipasang dengan pelepasan di tengah bagian atas atau vertikal, untuk
mengalirkan udara secara alami.

3.3.4 Saringan Pipa.


Pompa yang diperlukan bisa dilepas dari penggeraknya untuk membuang karang atau
puing-puing dari impeller pompa, harus mempunyai saringan pipa yang dipasang pada pipa
hisap minimum pada jarak 10 kali diameter pipa dari flens hisap. Saringan pipa harus dari
bahan tuangan atau buatan pabrik dengan penyaring dari bahan tahan korosi yang dapat
dilepas untuk memungkinkan pembersihan dari unsur saringan tanpa melepas penggerak
dari pompa.
Penyaring saringan harus mempunyai luas bebas sedikitnya 4 kali luas sambungan hisap
dan bukaannya harus ditentukan ukurannya untuk menyaring butiran dengan ukuran 7,9 mm
(5/16 inci).

3.4 Pondasi dan Seting.


3.4.1* Pompa yang dirancang dengan impeller yang menggantung dan impeller yang
menggantung antara bantalan dan penggeraknya harus dipasang pada dasar plat yang
permukaaannya diratakan.
Pengecualian :
Pompa dengan impeller jenis menggantung yang terhubung rapat segaris {lihat gambar A.3.1.1.(c)}, plat dasar
pompa boleh dipasang pada dudukannya.
3.4.2 Plat dasar diletakkan dengan aman pada pondasi padat sedemikian rupa
sehingga kesejajaran (alignment) poros pompa dan poros penggerak dapat terjamin.

23 dari 142
SNI 03-6570-2001

3.4.3* Pondasi harus cukup memenuhi sebagai penyangga secara permanen dan kaku
dari plat dasar.
3.4.4 Plat dasar, dengan pompa dan penggerak yang dipasang di atasnya, harus di set
permukaannya terhadap pondasi.

3.5 Sambungan ke Penggerak dan Kesejajaran.


3.5.1 Pompa dan penggeraknya pada jenis pompa yang disambungkan terpisah, harus
disambungkan dengan kopling kaku, kopling fleksibel, atau poros penyambung fleksibel.
Semua jenis kopling harus teruji untuk pemakaian ini.
3.5.2 Pompa dan penggeraknya pada jenis pompa yang disambung terpisah,
kesejajarannya (alignment) sesuai spesifikasi dari pabrik pembuat kopling dan pompa, atau
ketentuan lain yang berlaku (lihat butir A.3.5 ).

4 Pompa Tipe Turbin Poros Tegak

4.1* Pendahuluan

4.1.1* Kesesuaian.
Bila sumber pasokan air berada dibawah garis tengah flens pelepasan dan tekanan air
pasok tidak mencukupi untuk dapat mencapai pompa kebakaran, pompa jenis turbin poros
vertikal harus dipergunakan.

4.1.2 Karakteristik.
Pompa harus berkemampuan tidak kurang dari 150% kapasitas nominalnya pada head total
tidak kurang dari 65% dari head nominal totalnya. Head total pada saat katub tertutup tidak
boleh melebihi 140% dari head nominal total pada pompa turbin vertikal (lhat gambar A.3.2).

4.2 Pasokan Air

4.2.1 Sumber
4.2.1.1* Pasokan air harus cukup, terjamin, dan dapat memenuhi persyaratan dari
instansi yang berwenang.
4.2.1.2* Sumur yang dapat diterima sebagai pasokan air tergantung pada sifat
kemampuan sumur menghasilkan air dan harus ditunjang oleh karakteristik aquifer yang baik
(lihat butir 1.8 untuk definisinya).

4.2.2 Perendaman Pompa

4.2.2.1* Instalasi Sumur.


Perendaman mangkok pompa harus dilaksanakan dengan benar agar unit pompa kebakaran
dapat dioperasikan dengan handal. Keterendaman impeler pada tingkat kedua dari dasar
pasangan mangkok pompa harus tidak kurang dari 3 m (10 ft) dibawah permukaan air yang
dipompa pada 150% kapasitas nominalnya (lihat gambar A-4-2.2.1). Keterendaman harus
bertambah dengan 0,3 m (1 ft) untuk setiap kenaikan 305 m (1000 ft) dari permukaan laut.

24 dari 142
SNI 03-6570-2001

4.2.2.2* Instalasi Bak Hisapan Air.


Guna menjamin rendaman pompa agar dapat menghisap, ketinggian impeler kedua dari
dasar rakitan mangkok pompa harus sedemikian sehingga berada dibawah permukaan air
terendah dari sumber air seperti kolam, danau atau sungai kecil yang memasok bak hisapan
air tersebut. Untuk pompa dengan kapasitas nominal 7570 liter/menit (2000 gpm) atau lebih,
kedalaman yang lebih besar diperlukan untuk mencegah terbentuknya pusaran air dan untuk
menjamin tersedianya head hisap positif neto (NPSH) sebagai pencegah terjadinya kavitasi
berlebihan. Kedalaman yang diperlukan harus dihitung dengan data yang diperoleh dari
pabrik pembuat pompa.

4.2.3 Konstruksi Sumur.


4.2.3.1 Kontraktor pemasok air tanah bertanggung jawab untuk melaksanakan penelitian
yang diperlukan untuk menetapkan keandalan pasokan air, menjamin tersedianya sumur
yang menghasilkan pasokan yang handal, dan melaksanakan semua pekerjaan beserta
pemasangan semua peralatan dengan cara kerja yang baik.
4.2.3.2 Pompa turbin tegak dirancang untuk beroperasi dengan posisi vertikal dimana
semua bagian-bagiannya dipasang dalam kesejajaran yang benar. Oleh karena itu sumur
harus berukuran cukup dan cukup tegak untuk instalasi pompa.

4.2.4 Formasi Yang Tak Terkonsolidasi (Pasir dan Kerikil)


4.2.4.1 Semua selubung (casing) haruslah dari baja dengan diameter sesuai, dan
dipasang pada kedalaman sedemikian sehingga formasinya dapat menjamin dan sebaik
mungkin memenuhi kondisi yang diperlukan. Selubung luar maupun dalam harus
berketebalan dinding minimum 9,5 mm (0,375 inch) (catatan, bila diameter sumur cukup
besar sehingga dapat dilaksanakan demikian). Diameter selubung dalam minimum harus
berdiameter 51 mm ( 2 inch) lebih besar daripada diameter mangkok pompa.
4.2.4.2 Selubung luar harus diperpanjang mendekati bagian puncak dari formasi
penyangga air. Selubung bagian dalam yang berdiameter lebih kecil dan saringan sumur
harus diperpanjang sejauh mungkin sampai formasi lapisan penyangga air yang dapat
dibenarkan dan memenuhi kondisi yang terbaik.
4.2.4.3 Saringan merupakan bagian penting dari konstruksi sumur dan perlu kehati-
hatian dalam pemilihannya. Saringan setidaknya harus berdiameter sama dengan selubung
dalam dan dengan panjang yang cukup, dengan persentasi luas bukaan yang
memungkinkan kecepatan masuk air tidak melebihi 46 mm/detik (0,15 ft/detik). Saringan
harus terbuat dari bahan tahan korosi dan asam seperti halnya baja tahan karat atau monel.
Monel harus dipergunakan bila diperlukan usaha untuk mengatasi klorida air sumur yang
melebihi 1000 ppm. Saringan harus memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan gaya-
gaya luar yang bekerja setelah dilakukan pemasangan dan meminimalkan kemungkinan
kerusakan selama pemasangan.
4.2.4.4 Dasar dari saringan harus disekat dengan pelat dengan benar dengan bahan
yang sama dengan bahan saringannya. Sisi-sisi dari selubung bagian luar harus diisi dengan
semen murni yang dipasang dengan tekanan dari dasar sampai atas. Semen harus
dibiarkan minimum selama 48 jam sebelum pekerjaan-pekerjaan lain dilanjutkan.
4.2.4.5 Tepat di daerah sekeliling saringan sumur tidak boleh kurang dari 152 mm (6
inch) harus diisi dengan kerikil bulat yang bersih. Kerikil harus berukuran dan berkualitas
sedemikian sehingga membentuk saringan kerikil untuk memastikan penyaringan hingga

25 dari 142
SNI 03-6570-2001

hasilnya bebas pasir dan kecepatan air meninggalkan formasi memasuki sumur cukup
rendah.
4.2.4.6 Sumur untuk pompa kebakaran tidak melebihi dari 1703 liter/menit (450 gpm)
yang dihasilkan pada formasi yang tak terkonsolidasi tanpa diisi lapisan kerikil buatan,
seperti sumur berbentuk pipa (tubular), dapat diijinkan sebagai sumber pasokan air untuk
pompa pemadam kebakaran yang tidak melebihi 1703 liter/menit (450 gpm). Hal ini harus
memenuhi semua persyaratan butir 4.2.3 dan semua butir 4.2.4, kecuali butir 4.2.4.4 dan
4.2.4.5.

4.2.5* Formasi Terkonsolidasi.


Bila pengeboran menembus formasi tak terkonsolidasi diatas batu karang, permukaan
selubung harus dipasang, didudukkan pada batuan padat dan disemen.

4.2.6 Pembangunan Sumur.


Pembangunan sumur baru dan membersihkannya dari pasir atau partikel batu karang (yang
tidak melebihi 5 ppm) harus menjadi tanggungjawab kontraktor pembangun sumur air tanah.
Pembangunan tersebut harus disertai dengan pengujian pemompaan menggunakan pompa
uji dan tidak boleh menggunakan pompa kebakaran. Kadar kebebasan kandungan pasir
harus ditentukan pada kapasitas pemompaan 150% dari kapasitas nominal pompa
kebakaran yang akan mempergunakan air sumur yang dipersiapkan.

4.2.7* Pengujian dan Inspeksi Sumur.


Pengujian untuk menentukan kapasitas air sumur harus dilakukan. Alat pengukur air yang
diperkenankan seperti orifis, meter venturi, atau tabung Pitot yang terkalibrasi harus
digunakan. Pengujian harus disaksikan oleh wakil dari pemberi tugas, kontraktor, dan
instansi yang berwenang, seperti yang dipersyaratkan. Pengujian harus berlangsung terus
menerus selama perioda sekurang-kurangnya 8 jam pada 150% kapasitas nominal pompa
kebakaran dengan interval pencatatan setiap 15 menit selama waktu pengujian. Pengujian
harus dievaluasi dengan memperhitungkan pengaruh dari sumur-sumur lain disekitarnya dan
dengan memperhitungkan kemungkinan perubahan akibat perubahan musim pada tabel air
pada lokasi sumur. Data pengujian harus dapat menjelaskan permukaan air statik dan
permukaan air pemompaan pada 100% dan 150% kapasitas nominal pompa kebakaran
berturut-turut dimana sumur dipersiapkan. Semua sumur yang ada (existing) dalam radius
305 m (1000 ft) dari sumur kebakaran harus dimonitor selama perioda pengujian.

4.3 Pompa

4.3.1* Komponen Kepala Pompa Turbin Tegak.


Kepala pompa harus dari jenis diatas maupun dibawah permukaan tanah. Kepala pompa
harus dirancang dapat menahan penggerak, pompanya sendiri, rakitan kolom dan mangkuk
pompa, gaya aksial maksimum dan lain-lainnya.

4.3.2 Kolom Pompa


4.3.2.1 Kolom pompa harus disusun dalam bagian-bagian dengan panjang per bagian
tidak melebihi 3 m (10 ft), harus minimum memiliki berat seperti ditunjukkan pada tabel
4.3.2.1 dan harus dihubungkan menggunakan sambungan ulir atau flens. Ujung dari tiap
bagian dari pipa yang diulir harus berhadapan muka dan dikencangkan dengan ulir untuk
memungkinkan ujungnya tersambung sedemikian sehingga membentuk kesejajaran yang

26 dari 142
SNI 03-6570-2001

teliti dari kolom pompa. Bidang-bidang muka flens kolom harus paralel dan dibubut
membentuk pasangan pasak dan alur (rabbet) untuk memperoleh pasangan muka flens
yang rapat dengan jajaran yang teliti.
Tabel 4.3.2.1 Berat Pipa Kolom Pompa
Ukuran Nominal Diameter Luar Berat per ft Berat per m
(in) - (mm) (in) - (mm) (lb) (kg)
6 150 6,625 168,3 18,97 28,23
7 175 7,625 193,7 22,26 33,126
8 200 8,625 219,1 24,70 36,758
9 225 9,625 244,5 28,33 42,159
10 250 10,75 273,0 31,20 46,413
12 300 12,75 323,8 43,77 65,137
14 350 14,00 355,6 53,57 81,209
4.3.2.2 Bilamana muka air statik lebih dari 15 m (50 ft) dibawah tanah, pompa
berpelumas minyak harus digunakan (lihat gambar A.4-1.1).
4.3.2.3 Bila pompa dari jenis poros tertutup berpelumas minyak, pipa penutup poros dari
bahan pipa ekstra kuat harus disediakan dalam bagian-bagian yang dapat saling ditukar
dengan panjang maksimum tidak lebih dari 3 m (10 ft). Untuk pompa berpelumas minyak,
sistem pelumas otomatik yang dapat diamati harus disediakan dengan pengikat yang sesuai
dan dipasang ke pipa poros (lihat gambar A.4.1.1).
4.3.2.4 Poros pompa harus ditentukan ukurannya sehingga kecepatan putar kritisnya
berada 25% diatas dan dibawah kecepatan putar operasi pompa. Kecepatan operasionalnya
harus termasuk semua kecepatan dari kondisi katup tertutup total sampai 150% kapasitas
nominal pompa, yang juga bervariasi tergantung kecepatan motor penggerak.

4.3.3 Perakitan Mangkuk


4.3.3.1 Mangkuk pompa harus dari jenis besi tuang butiran rapat, bronse atau bahan lain
yang berdasarkan analisis kimiawi air dan pengalaman di lapangan.
4.3.3.2 Impeler harus dari jenis tertutup (enclosed) dan harus dari bronse atau material
lain yang cocok dengan analisis kimiawi air.

4.3.4 Saringan Hisap


4.3.4.1 Saringan jenis kerucut atau keranjang dari bahan metal tahan korosi, dituang
atau hasil pabrikasi, harus dipasang pada pipa hisap pompa. Saringan hisap harus
mempunyai luas bebas setidaknya empat kali luas sambungan pipa hisap dan bukaannya
harus ditentukan ukurannya untuk menghalangi lewatnya bulatan berdiameter 12,7 mm ( ½
inch) .
4.3.4.2 Untuk pemasangannya pada bak hisapan air, saringan hisap ini harus dipasang
sebagai tambahan persyaratan melengkapi kasa saringan intake (lihat gambar A.4.2.2.2).

4.3.5 Fiting (sambungan - Fittings)


4.3.5.1 Fiting berikut harus dipasang untuk kelengkapan pompa:
a) Katup pelepas udara otomatis seperti ditentukan butir 4.3.5.2
b) Detektor permukaan air, seperti ditentukan butir 4.3.5.3

27 dari 142
SNI 03-6570-2001

c) Pengukur tekanan pelepasan, seperti ditentukan butir 2.5.1


d) Katup pelepas tekanan dan kerucut pelepasan, bila dipersyaratkan pada butir 2.13.1
e) Header katup selang dan katup selang, seperti ditentukan dalam butir 2.14.3 atau alat
meter, spesifikasi 2.14.2
4.3.5.2 Suatu katup pelepas udara otomatik yang berukuran pipa 38,1 mm (1½ in) atau
lebih besar harus dipasang untuk melepas udara dari kolom dan kepala pipa pelepasan
pada saat pompa distart. Katup ini harus pula dapat memasukkan udara untuk mendisipasi
tekanan vakum pada saat pompa dimatikan. Katup hendaknya ditempatkan pada sisi teratas
dari pipa pelepasan antara pompa kebakaran dengan katup searah pelepas.
4.3.5.3* Setiap instalasi sumur harus dilengkapi dengan detektor muka air yang sesuai.
Bila detektor pipa udara yang dipakai, maka saluran harus dari bahan brass, copper atau
baja tahan karat seri 300. Pipa udara harus diikat pada kolom pada setiap interval jarak 3 m
(10 ft).

4.4. Instalasi

4.4.1 Rumah Pompa.


Rumah pompa harus dirancang sedemikian rupa sehingga meminimalkan hambatan untuk
memudahkan pemeliharaan dan pengangkatan bagian-bagian pompa secara vertikal.
Persyaratan butir 2.8 dan 8.3 harus pula berlaku.

4.4.2 Penempatan Diluar (outdoor).


Bila dalam hal khusus instansi berwenang menyatakan pemasangan pompa tidak
memerlukan rumah pompa dan unit dapat dipasang diluar, penggerak pompa harus disekat
atau ditutup dan diproteksi secukupnya terhadap benturan. Sekat atau penutup harus mudah
dilepas dan harus memiliki ventilasi yang cukup.

4.4.3 Pondasi
4.4.3.1 Gambar cetak dimensi dan spesifikasi pondasi yang disahkan harus diperoleh
dari pembuat.
4.4.3.2 Pondasi pompa vertikal harus dibuat cukup kuat untuk memikul semua berat
pompa, penggerak dan berat air yang ada didalamnya. Baut pondasi harus disediakan
sebagai angker yang baik pada pondasinya.
4.4.3.3 Pondasi harus memiliki luas dan kekuatan yang cukup sehingga tekanan pada
permukaan beton tidak melebihi standar rancangannya.
4.4.3.4 Sisi atas pondasi harus dilevel secara hati-hati dan datar sedemikian sehingga
memungkinkan pompa dapat digantung bebas diatas bak hisap untuk pompa sambungan
pendek. Untuk pompa sumur kepala pompa harus diposisikan tegak terhadap sumur,
dimana level tidak diperlukan.
4.4.3.5 Bila pompa dipasang diatas sumuran atau pit, balok baja I diperkenankan untuk
digunakan. Bila dipergunakan roda-gigi siku tegak, penggerak harus dipasang sejajar
terhadap rangka.

28 dari 142
SNI 03-6570-2001

4.5 Penggerak.

4.5.1 Metoda Gerakan


4.5.1.1 Penggerak yang disediakan harus dikonstruksi sedemikian rupa sehingga gaya
dorong total pompa, termasuk berat poros, impeler dan gaya dorongan hidrolik dapat dipikul
oleh bantalan dorong dengan kapasitas yang cukup sehingga mampu beroperasi terus
menerus selama 5 tahun. Penggerak harus dikonstruksikan sedemikian sehingga
pengaturan gaya aksial impeler dapat dibuat memungkinkan pemasangan dan
pengoperasian yang sempurna dari peralatan. Pompa harus digerakkan oleh motor listrik
vertikal poros berlubang atau penggerak rodagigi siku tegak bila digerakkan mesin diesel
atau turbin uap.
Perkecualian:
Mesin diesel dan turbin uap yang dirancang dan teruji untuk instalasi vertikal dengan pompa jenis turbin poros
vertikal diijinkan untuk menggunakan poros pejal dan tidak memerlukan rodagigi siku tegak tetapi memerlukan
nonreverse ratchet.
4.5.1.2 Motor harus dari jenis vertikal poros berlubang dan memenuhi butir 6.5.1.5.

4.5.1.3 Penggerak Rodagigi


4.5.1.3.1 Penggerak rodagigi dan poros penyambung fleksibel harus disetujui oleh pihak
yang berwenang. Ini harus dari jenis poros lubang vertikal, memungkinkan penyejajaran
dengan impeler untuk memberikan pemasangan dan pengoperasian peralatan yang
sempurna. Penggerak rodagigi harus dilengkapi dengan lidah penahan putaran balik.
4.5.1.3.2 Semua penggerak rodagigi harus teruji dan ditentukan nominalnya oleh pabrik
pembuat pada beban yang sama dengan dayakuda maksimum dan gaya dorongan pompa
untuk mana rodagigi yang dimaksudkan akan dipergunakan.
4.5.1.3.3 Penggerak rodagigi berpendingin air harus dilengkapi dengan sarana visual
untuk menentukan apakah sirkulasi pendingin terjadi dengan baik.
4.5.1.3.4 Poros hubung fleksibel harus teruji untuk pelayanan ini. Sudut operasi untuk
poros hubung fleksibel harus tidak melebihi batas yang disyaratkan oleh pabrik pembuat
untuk kecepatan dan dayakuda yang ditransmisikan.

4.5.2 Kontrol.
Alat kontrol untuk motor, mesin diesel atau turbin uap harus memenuhi spesifikasi baik untuk
pengendali penggerak elektrik (bab 7) maupun pengendali penggerak mesin (bab 9).

4.5.3 Penggerak.
Setiap pompa kebakaran jenis turbin poros vertikal harus mempunyai penggerak sendiri
yang terdedikasi untuk itu dan setiap penggerak harus memiliki pengendali sendiri yang
terdedikasi untuk itu.

4.6 Pengoperasian dan Pemeliharaan

4.6.1 Pengoperasian
4.6.1.1* Sebelum unit dijalankan untuk pertamakali setelah pemasangannya, semua
sambungan listrik di lapangan dan pipa pelepasan dari pompa harus diperiksa. Dengan

29 dari 142
SNI 03-6570-2001

kopling bagian atas penggerak dilepas, poros penggerak harus diluruskan ke kopling atas
untuk penyempurnaan penyejajarannya dan motor harus dioperasikan sebentar untuk
menjamin apakah dapat berputar dengan arah yang tepat. Dengan kopling atas penggerak
terpasang kembali, impeler harus diset untuk kesempurnaan celah (clearance) menurut
instruksi pabrik.
4.6.1.2* Dengan memperhatikan butir 4.6.1.1, pompa boleh dijalankan. Dalam
pengoperasian ini harus diamati getarannya selama pompa berputar, dengan batasan
getaran yang diijinkan menurut ketentuan yang berlaku. Penggerak harus diamati untuk
pengoperasian yang tepat.

4.6.2 Pemeliharaan
4.6.2.1 Instruksi pabrik pembuat harus diikuti secara seksama untuk perbaikan,
pembongkaran dan perakitannya kembali.
4.6.2.2 Pada saat komponen cadangan atau pengganti dipesan, nomor serie pompa
yang dicetak di plat nama pompa harus disertakan pada surat order supaya dapat menjamin
perolehan komponen yang tepat.
4.6.2.3 Ketinggian ruang dan akses yang cukup untuk membongkar pompa harus dijaga.

5 Pompa Langkah Positif.

5.1* Umum

5.1.1 Jenis.
Pompa langkah positif harus seperti yang dijelaskan pada butir 1.8.

5.1.2* Kesesuaian
5.1.2.1 Tipe pompa langkah positif harus teruji untuk penggunaan yang sesuai.
5.1.2.2* Keterujiannya harus memberikan kurva karakteristik kinerja untuk model pompa
yang dimaksud.

5.1.3 Penggunaan.
Pompa langkah positif digunakan untuk memompa air, busa (foam), atau aditif. Viskositas
cairan mempengaruhi proses pemilihan pompa.

5.1.4 Sil (seal) Pada Pompa.


Jenis sil yang dapat diterima untuk pompa langkah positif adalah jenis mekanikal atau sil
bibir. Sil jenis paking tidak boleh digunakan.

5.1.5 Material Pompa.


Pemilihan material yang digunakan untuk pompa harus didasarkan pada potensi korosi dari
lingkungan, fluida yang dipergunakan, dan kondisi operasinya (lihat definisi pada butir 1.8
untuk material tahan korosi).

5.2 Pompa Konsentrat Busa dan Aditif


5.2.1 Pompa aditif harus memenuhi persyaratan untuk pompa konsentrat busa.

30 dari 142
SNI 03-6570-2001

5.2.2* NPSH tersedia harus melebihi persyaratan dari NPSH yang ditentukan oleh
pabrik pompa ditambah dengan 1,52 m (5 ft) tinggi cairan.
5.2.2.1 Bahan seal harus kompatibel dengan bahan busa atau aditif.
5.2.2.2 Pompa konsentrat busa harus mampu berputar media (kering) selama 10 menit
tanpa kerusakan.
5.2.3* Pompa harus mempunyai laju aliran konsentrat busa untuk memenuhi kebutuhan
laju busa pada kapasitas yang dikehendaki.
5.2.4* Tekanan pelepasan pompa harus melebihi tekanan air maksimum pada setiap
kondisi operasi di titik injeksi konsentrat busa.

5.3 Pompa Sistem Pengabut Air


5.3.1* Pompa langkah positif untuk air harus mempunyai kapasitas cukup untuk
memenuhi kebutuhan maksimum sistem untuk pelayanan tertentu.
5.3.2 NPSH tersedia harus melebihi NPSH yang ditentukan oleh pabrik pembuat
pompa ditambah 1,52 m (5 ft) tinggi kolom air. Tekanan inlet pompa tidak boleh melebihi
tekanan masuk maksimum yang disarankan pabrik pembuat pompa.
5.3.3 Bila output pompa mempunyai potensi melebihi kebutuhan aliran sistem, sarana
untuk melepas kelebihan aliran (release valve) seperti katup pembuang beban atau orifis
harus disediakan. Bila pompa dilengkapi dengan katup pembuang beban, katup ini harus
dipandang sebagai tambahan katup pengaman seperti dibahas di butir 5.4.2.

5.4 Fiting
5.4.1 Gabungan pengukur tekanan hisap dan pelepasan harus disediakan.
5.4.2* Semua pompa harus dilengkapi dengan katup pengaman teruji yang mampu
melepas 100% kapasitas pompa. Katup pelepas tekanan harus diset pada atau dibawah
tekanan nominal terendah dari setiap komponen. Katup pelepasan harus dipasang pada sisi
pelepasan pompa untuk mencegah kerusakan sistem proteksi kebakaran.
5.4.3* Untuk pompa konsentrat busa, katup pengaman harus disambungkan dengan
pipa balik ke tangki konsentrat. Katup yang dipasang pada sisi pelepas katup pengaman
harus selalu tersupervisi membuka.
5.4.4* Untuk pompa pengabut air langkah positif, katup pengaman harus melepas ke
saluran buangan atau ke reservoar pemasok air atau ke sisi hisap pompa.
5.4.5* Pompa harus dilengkapi dengan saringan hisap yang dapat dilepas dan
dibersihkan dipasang sekurang-kurangnya pada jarak 10 kali diameter pipa dari sisi inlet
hisap pompa. Penurunan tekanan akibat saringan harus dihitung cukup untuk memenuhi
NPSH yang ditentukan oleh pabrik pembuat pompa. Luas bukaan bersih saringan harus
sekurangnya empat kali luas area pipa hisap. Ukuran mesh saringan harus memenuhi
rekomendasi pabrik pompa.
5.4.6 Perancangan sistem harus termasuk pencegahan sambungan silang atau
kontaminasi terhadap air bersih.

5.5 Penggerak Pompa


5.5.1* Penggerak harus ditentukan ukurannya agar mempunyai cukup tenaga untuk
mengoperasikan pompa dan rangkaian penggeraknya pada semua titik kerja.

31 dari 142
SNI 03-6570-2001

5.5.2 Bila antara penggerak dan pompa mempergunakan roda gigi reduksi, sistem
harus teruji untuk keperluan tersebut. Roda gigi reduksi harus memenuhi ketentuan yang
berlaku. Bantalan harus sesuai dengan standar yang berlaku dan dapat bekerja untuk
15.000 jam.

5.6 Alat Kontrol.


Lihat bab 7 dan 9 untuk persyaratan alat kontrol.

5.7 Pondasi dan Seting


5.7.1 Pompa dan penggerak harus dipasang pada plat dasar yang dicor.
5.7.2 Plat dasar harus secara aman dipasang, terkunci, pada pondasi yang kokoh
sedemikian sehingga kesejajaran pompa terhadap penggerak yang tepat dapat dijaga.
Pondasi harus menyediakan penyangga yang kokoh untuk plat dasar.

5.8 Sambungan Penggerak dan Kesejajaran


5.8.1 Pompa dan penggerak harus dihubungkan menggunakan kopling tertutup yang
teruji, kopling fleksibel atau kopling penggerak jenis sabuk roda gigi. Kopling harus dipilih
untuk memastikan bahwa mampu memindahkan daya dari penggerak dan tidak melebihi
daya dan kecepatan maksimum yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat.
5.8.2 Pompa dan penggerak harus diperiksa kembali kesejajarannya setelah
penempatan plat dasarnya selesai. Kesejajaran harus memenuhi spesifikasi pembuat
kopling. Sudut operasi kopling fleksibel harus tidak melebihi toleransi yang
direkomendasikan.

6 Penggerak Listrik Untuk Pompa

6.1 Pendahuluan.
Bab ini mencakup persayaratan-persyaratan kinerja minimum dan persyaratan pengujian
dari sumber dan transmisi daya listrik ke motor penggerak pompa kebakaran. Juga
mencakup persyaratan kinerja minimum dari semua peralatan antara sumber dan pompa,
termasuk motor, kecuali alat kontrol listrik pompa kebakaran, saklar pemindah dan
perlengkapannya (lihat Bab 7). Semua peralatan listrik dan cara pemasangannya harus
memenuhi SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-
2000)", dan artikel-artikel lain yang tersedia.

6.2 Sumber Daya.


Daya harus dipasok ke motor listrik pompa kebakaran dari sumber yang terpercaya atau dua
atau lebih sumber yang tak saling bergantung, semua itu harus sesuai dengan butir 6.4.
Pengecualian:
Bilamana motor listrik dipergunakan dan tinggi bangunan diatas kemampuan peralatan dinas pemadam
kebakaran, sumber kedua seperti yang dinyatakan pada butir 6.2.3 harus disediakan.

6.2.1 Pelayanan.
Bilamana daya listrik dipasok oleh suatu pelayanan, harus ditempatkan dan diatur
sedemikian sehingga meminimalkan kemungkinan rusak karena kebakaran dari dalam
bangunan dan menghadap bahaya.

32 dari 142
SNI 03-6570-2001

6.2.2* Fasilitas Produksi Daya Listrik Setempat.


Bila daya dipasok ke pompa kebakaran semata hanya dari fasilitas produksi daya listrik
setempat (sendiri), fasilitas demikian harus ditempatkan dan diproteksi untuk meminimalkan
kemungkinan rusak akibat kebakaran.

6.2.3* Sumber Daya Lain.


Untuk penggerak pompa menggunakan motor listrik, dimana daya listrik yang dapat
diandalkan tidak dapat diperoleh dari satu diantara sumber daya pada butir 6.2.1 atau 6.2.2,
satu diantara yang berikut harus disediakan:
a) Kombinasi yang disetujui dari dua atau lebih sumber daya pada butir 6.2
b) Satu dari sumber-sumber daya yang disetujui dan generator cadangan setempat (lihat
butir 6.2.4.2)
c) Kombinasi yang disetujui dari penyalur yang terdiri dari dua atau lebih sumber daya,
tetapi hanya bila diijinkan oleh butir 6.2.4.3
d) Kombinasi yang disetujui dari satu atau lebih penyalur dalam kombinasi dengan
generator cadangan setempat, tetapi hanya bila diijinkan oleh butir 6.2.4.3
e) Suatu pompa kebakaran berpenggerak motor diesel redundant yang sesuai dengan
bab 8
f) Suatu pompa kebakaran berpenggerak turbin uap redundant yang sesuai dengan bab
10

6.2.4 Sumber Daya Jamak Untuk Pompa Kebakaran Yang Digerakan Motor Listrik

6.2.4.1 Susunan Sumber Daya Jamak.


Bila sumber daya listrik jamak tersedia, maka harus disusun sedemikian sehingga api,
kerusakan struktur, atau kecelakaan operasional yang memutus satu sumber tidak akan
menyebabkan putusnya sumber-sumber yang lain.

6.2.4.2 Generator Pada Lapangan.


Bila daya pengganti dipasok oleh generator di lapangan, generator tersebut harus
ditempatkan dan diproteksi sesuai dengan butir 6.2.1 dan butir 6.6.

6.2.4.3 Sumber-sumber Penyalur.


Persyaratan ini harus dilaksanakan pada komplek bangunan jamak seperti di kampus
dengan pompa kebakaran pada satu atau lebih bangunan. Bila sumber seperti butir 6.2.1
dan 6.2.2 tidak ada, maka dengan persetujuan instansi yang berwenang, dua atau lebih
sumber penyalur harus dibolehkan sebagai satu sumber atau sebagai lebih dari satu sumber
daya apabila penyalur seperti ini diturunkan ke atau diambil dari pelayanan utilitas terpisah.
Sambungan, peralatan proteksi aruslebih, dan sarana pemutus untuk penyalur seperti
demikian harus memenuhi persyaratan butir 6.3.2.2.2 dan 6.3.2.2.3.

6.2.4.4 Konduktor Pasok.


Konduktor pasok harus secara langsung menyambungkan sumber daya ke kombinasi antara
alat kontrol pompa kebakaran teruji dan saklar pemindah daya atau ke sarana pemutus dan
alat proteksi aruslebih yang memenuhi persyaratan butir 6.3.2.2.2 dan 6.3.2.2.3.

33 dari 142
SNI 03-6570-2001

6.3 Jaringan Pemasok Daya

6.3.1* Konduktor Sirkit.


Sirkit penyalur pompa kebakaran dan perlengkapannya harus terdedikasi dan terproteksi
tahan terhadap kemungkinan rusak oleh api, kerusakan struktur atau kecelakaan
operasional.

6.3.2 Susunan Pasokan Daya

6.3.2.1 Sambungan Pasokan Daya.


Pasokan daya ke pompa kebakaran harus tidak terputuskan dari sumber pasokan bila
pembangkit daya terputus.
Perkecualian:
Bila instalasi telah disetujui sesuai dengan butir 6.2.4.3, pemutusan pembangkit daya ke pompa kebakaran dapat
disetujui dalam keadaan dimana secara otomatis ada jaminan tersedianya secara menerus pasokan daya
pengganti.

6.3.2.2 Kelangsungan Daya.


Sirkit yang memasok pompa kebakaran yang digerakkan motor listrik harus disupervisi
terhadap kecerobohan pemutusan sambungan seperti dicakup dalam butir 6.3.2.2.1 atau
6.3.2.2.2 dan 6.3.2.2.3.

6.3.2.2.1* Sambungan Langsung.


Konduktor pasok harus tersambung langsung ke sumber daya baik ke alat kontrol pompa
kebakaran teruji atau ke kombinasi yang teruji alat kontrol pompa kebakaran dan saklar
pemindah daya.

6.3.2.2.2 Sambungan Tersupervisi.


Sarana pemutus tunggal dan alat proteksi aruslebih yang terkait harus dibolehkan dipasang
antara sumber daya yang jauh dan satu dari yang berikut:
a) Alat kontrol pompa kebakaran teruji
b) Saklar pemindah daya pompa kebakaran teruji
c) Kombinasi teruji pengontrol pompa kebakaran dan saklar pemindah daya.

6.3.2.2.3 Sarana Pemutus dan Alat Proteksi Arus Lebih.


Untuk sistem yang dipasang hanya menurut butir 6.2.4.3, penambahan sarana pemutus dan
peralatan proteksi arus lebih yang terkait hanya dibolehkan seperti yang dipersyaratkan
memenuhi ketentuan SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000
(PUIL-2000)". Semua sarana pemutus dan peralatan proteksi arus lebih yang unik untuk
beban pompa kebakaran harus memenuhi semua hal berikut:
a) Pemilihan Alat Proteksi Arus Lebih.
Alat proteksi aruslebih harus dipilih atau diset untuk mampu melayani jumlah tak
tertentu dari arus rotor terkunci (locked rotor current) dari motor-motor pompa
kebakaran, motor pompa untuk mempertahankan tekanan (jockey pump), dan arus

34 dari 142
SNI 03-6570-2001

beban penuh semua peralatan pendukung pompa kebakaran yang dihubungkan ke


sumber pasokan tersebut.
b) Sarana Pemutus.
Sarana pemutus haruslah sebagai berikut:
1) Teridentifikasi cocok untuk digunakan sebagai peralatan servis.
2) Dapat terkunci pada posisi tertutup (closed position).
3) Ditempatkan cukup jauh dari bangunan lain, atau sarana pemutus sumber
pompa kebakaran lain yang mana operasi serempak yang tidak hati-hati, tidak
terjadi.
c) Tanda Putus Arus.
Pemutusan harus secara tetap ditandai dengan: “Sarana Pemutus Pompa Kebakaran”.
Huruf harus setidaknya 25,4 mm ( 1 inch) tingginya dan harus terlihat tanpa membuka
bukaan pintu atau tutup panel.
d) Tanda Pengontrol.
Didekat pengontrol pompa harus dipasang label yang menyatakan lapangan alat
pemutus tersebut dan lapangan kunci (bila alat pemutus terkunci).
e) Supervisi.
Sarana pemutus harus tersupervisi dalam posisi tertutup dengan salah satu dari
metoda berikut:
1) Stasiun pusat, milik pribadi, atau alat sinyal stasiun jarak jauh.
2) Pelayanan sinyal setempat yang akan dapat menyebabkan suara dari sinyal
bunyi pada lapangan yang diawasi secara tetap.
3) Mengunci sarana pemutus dalam posisi tertutup.
4) Penyekatan sarana pemutus dan inspeksi mingguan tercatat yang disahkan
bilamana sarana pemutus berada dalam pagar tertutup atau dalam bangunan
dibawah pengawasan pemilik.

6.3.2.2.4 Koordinasi Hubung Singkat.


Untuk sistem yang dipasang hanya dibawah ketentuan butir 6.2.4.3 dan bilamana lebih dari
satu sarana pemutus dipasok oleh penyalur tunggal, alat proteksi aruslebih pada setiap
sarana pemutus harus dapat terkoordinasi secara terseleksi dengan sisi pasokan yang mana
saja dari alat proteksi aruslebih.

6.3.2.2.5 Transformator.
Apabila tegangan pasok berbeda dengan sistem tegangan motor pompa kebakaran,
transformator yang memenuhi persyaratan SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)" , dan sarana pemutus serta alat proteksi aruslebih yang
memenuhi persyaratan butir 6.3.2.2.2 harus dipasang.

6.4* Penurunan Tegangan.


Tegangan pada jaringan alat kontrol harus tidak boleh turun lebih daripada 15% dibawah
normal (tegangan nominal pengontrol) pada saat motor distart. Tegangan pada terminal

35 dari 142
SNI 03-6570-2001

motor harus tidak turun lebih dari 5% dibawah tegangan nominal motor jika motor
dioperasikan pada beban 115% dari arus beban penuh nominal dari motor.
Pengecualian:
Pembatasan start ini harus tidak berlaku untuk menstart secara mekanik pada kondisi jalan darurat (lihat butir
7.5.3.2).

6.5 Motor

6.5.1 Umum
6.5.1.1 Semua motor harus memenuhi standar yang berlaku dan harus teruji secara
khusus untuk melayani pompa kebakaran (lihat tabel 6.5.1.1).
6.5.1.1.1* Nilai yang sesuai arus rotor terkunci untuk motor pada tegangan lain harus
dihitung dengan mengalikan nilai yang ditunjukkan oleh rasio 380 V ke tegangan nominal
pada tabel 6.5.1.1.
6.5.1.1.2 Huruf kode motor untuk tegangan lain harus sesuai dengan yang ditunjukkan
untuk 380 V pada tabel 6.5.1.1.
6.5.1.2 Semua motor harus memenuhi standar yang berlaku dan harus ditandai sebagai
memenuhi persyaratan standar yang berlaku.
Pengecualian:
Arus searah, tegangan lebih dari 600 V, daya poros lebih dari 400 KW, fasa tunggal, jenis universal atau motor
rotor kumparan dapat dipergunakan bilamana disetujui.
6.5.1.3 Semua motor harus mampu (sesuai dengan rating) bekerja terus menerus.
6.5.1.4 Transient motor listrik induksi harus terkoordinasi dengan ketentuan butir 7.4.3.3
untuk mencegah gangguan tripping yang mengganggu dari alat proteksi kontrol motor.
6.5.1.5 Motor pompa jenis turbin poros vertikal harus kedap tetesan, jenis induksi belitan
sangkar. Motor harus dilengkapi dengan lidah pencegah putaran balik (ratched).

6.5.2 Batas Arus.


6.5.2.1 Kapasitas motor dalam dayakuda harus sedemikian sehingga arus motor
maksimum pada setiap fasa pada setiap kondisi beban pemompaan dan ketidak
seimbangan tegangan harus tidak melebihi arus beban penuh motor dikalikan dengan faktor
kerja. Faktor kerja maksimum untuk mana motor dipergunakan adalah 1,15. Faktor kerja ini
harus memenuhi standar yang berlaku.

36 dari 142
SNI 03-6570-2001

Tabel 6.5.1.1 Daya kuda dan Arus Rotor Terkunci Motor Memenuhi NEMA Design B Motors.
Arus Rotor Terkunci Penggolongan Motor
Tiga phasa (NEC Rotor Terkunci
Daya kuda nominal
460 V menunjukkan Kode Huruf)
(Amper) “F” ke dan termasuk
5 46 J
7½ 64 H
10 81 H
15 116 G
20 145 G
25 183 G
30 217 G
40 290 G
50 362 G
60 435 G
75 543 G
100 725 G
125 908 G
150 1085 G
200 1450 G
250 1825 G
300 2200 G
350 2550 G
400 2900 G
450 3250 G
500 3625 G
Pengecualian :
Motor (terbuka dan kedap tetesan) serbaguna, motor berpendingin kipas tertutup total (TEFC), dan motor tertutup
total tanpa ventilasi harus tidak boleh menggunakan faktor pelayanan lebih dari 1,15.
6.5.2.2 Motor yang digunakan pada ketinggian diatas 1000 m (3.300 ft) harus
dioperasikan atau diturunkan nominalnya sesuai standar yang berlaku.

6.5.3 Penandaan
6.5.3.1 Penandaan terminal motor harus sesuai dengan standar yang berlaku.
6.5.3.2 Diagram penyambungan terminal untuk motor-motor harus disediakan oleh
pabrik pembuat motor.

6.6 Sistem Pembangkit Daya di Lapangan


6.6.1 Bilamana sistem pembangkit di lapangan dipergunakan untuk memasok daya ke
motor pompa kebakaran untuk memenuhi persyaratan butir 6-2.3, sistem harus cukup
kapasitasnya untuk menstart dan menjalankan normal semua motor penggerak pompa
disamping memasok semua beban yang ada secara serentak. Sambungan di muka dari
sarana pemutus pembangkit di lapangan harus tidak dipersyaratkan.

37 dari 142
SNI 03-6570-2001

6.6.2* Sumber daya ini harus memenuhi butir 6.4 dan harus memenuhi standar yang
berlaku. Kapasitas pasok bahanbakar harus cukup memenuhi kebutuhan 8 jam operasi
pompa kebakaran pada 100% kapasitas nominal sebagai tambahan kebutuhan pasokan
untuk keperluan lain.
6.6.3 Urutan (sequencing) otomatis pompa kebakaran dapat dibolehkan sesuai dengan
butir 7.5.2.4.
6.6.4 Pemindahan daya ke alat kontrol pompa kebakaran antara pasokan normal
dengan salah satu pasokan pengganti harus dilakukan di ruangan pompa.
6.6.5 Bilamana peralatan proteksi dipasang di sirkit sumber daya di lapangan pada
generator, alat ini harus mampu secara serentak mengambil semua beban penuh ruangan
pompa.

7 Alat Kontrol Penggerak Listrik dan Perlengkapannya

7.1 Umum

7.1.1 Penerapan.
Bab ini mencakup persyaratan minimum kinerja dan pengujian alat kontrol dan saklar
pemindah untuk motor listrik penggerak pompa kebakaran. Peralatan pelengkap, termasuk
peralatan monitor alarm dan sinyal, adalah termasuk bilamana diperlukan untuk menjamin
kinerja minimum peralatan yang dimaksud.

7.1.2 Kinerja dan Pengujian


7.1.2.1 Semua alat kontrol dan saklar pemindah harus secara khusus teruji untuk
pelayanan motor listrik penggerak pompa kebakaran.
7.1.2.2* Semua alat kontrol dan saklar pemindah harus mampu untuk arus hubung
singkat yang ada pada jalur terminal alat kontrol dan saklar pemindah dan harus ditandai
“Cocok untuk digunakan pada sirkit yang mampu memasok tidak lebih dari ……. Ampere
RMS simetrik pada …….. Volts ac”. Ruang kosong tersebut harus diisi dengan angka yang
sesuai untuk setiap instalasi.
7.1.2.3 Semua alat kontrol harus dirakit lengkap, dikabeli, dan diuji oleh pabrik pembuat
sebelum dikirim dari pabrik.
7.1.2.4 Semua alat kontrol dan saklar pemindah harus teruji “cocok untuk digunakan
sebagai peralatan yang diperlukan” bilamana dipergunakan demikian.
7.1.2.5 Semua alat kontrol harus diberi tanda “Alat Kontrol Pompa Kebakaran” dan diberi
plat nama pabrik pembuat, menunjukkan indikasi dan kapasitas nominal listrik lengkap.
Bilamana pompa jamak melayani daerah yang berbeda atau sebagian dari fasilitas, tanda
yang sesuai harus secara menyolok dipasang di setiap alat kontrol yang menandakan
daerah, zona atau bagian dari sistem yang dilayani oleh pompa atau alat kontrol pompa
tersebut.
7.1.2.6 Adalah tanggung jawab pabrik pembuat pompa atau perwakilan yang ditunjuk
untuk melakukan pelayanan yang diperlukan guna perawatan dan penyesuaian peralatannya
dalam perioda pemasangan, pengujian, dan garansi.

38 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.2 Lapangan
7.2.1* Alat kontrol harus diletakkan sedekat mungkin dengan motor yang dikontrol dan
harus dalam jangkauan pandangan dari letak motor.
7.2.2 Alat kontrol harus diletakkan atau dilindungi sedemikian sehingga tidak rusak bila
terkena percikan air dari pompa atau sambungan pompa. Bagian-bagian yang membawa
arus harus minimum berjarak 305 mm (12 inch) di atas lantai.
7.2.3 Ruang kerja yang disetujui sekitar alat kontrol harus sesuai dengan SNI 04-0225-
2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

7.3 Konstruksi

7.3.1 Peralatan.
Semua peralatan harus sesuai dengan lapangan penempatannya, terutama terhadap
kelembaban bila diletakkan di besmen.

7.3.2 Pemasangan.
Semua peralatan harus dipasang dengan cara yang benar pada struktur penumpu tunggal
yang tak dapat terbakar.

7.3.3 Penutup.
7.3.3.1* Struktur atau panel harus secara aman dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.
Bilamana peralatan ditempatkan di luar atau berada pada kondisi lingkungan khusus,
penutup yang bermutu harus dipergunakan.
7.3.3.2 Penutup harus dibumikan sesuai dengan SNI 04-0225-2000, tentang
"Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

7.3.4 Sambungan dan Pengkabelan


7.3.4.1 Semua basbar dan sambungan harus mudah dicapai untuk pemeliharaanya
sesudah alat kontrolnya dipasang. Penyambungannya harus disusun sedemikian sehingga
pelepasan konduktor sirkit luar tidak diperlukan.
7.3.4.2 Alat kontrol harus disusun sedemikian sehingga penggunaan instrumen penguji
untuk mengukur semua tegangan dan arus kabel dapat dilakukan tanpa harus melepas
konduktor di dalam alat kontrol. Peralatan penunjuk harus dipasang di sisi luar alat kontrol
untuk membaca arus dan tegangan kabel.
7.3.4.3 Basbar dan semua elemen pengkabelan dari alat kontrol harus dirancang
dengan dasar kerja yang menerus (tak terputus).

7.3.5 Proteksi Sirkit Bantu.


Sirkit yang diperlukan untuk menjaga kesempurnaan beroperasinya alat kontrol harus tidak
menggunakan alat proteksi arus lebih yang dihubungkan padanya.

7.3.6* Operasi Dari Luar.


Semua saklar manual untuk menyambung atau memutus, menstart atau menghentikan
motor, harus dapat dioperasikan dari luar.

39 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.3.7 Diagram Listrik dan Instruksi.


7.3.7.1 Diagram skematik listrik harus diberikan dan dipasang secara tetap pada sisi
dalam pintu penutup alat kontrol.
7.3.7.2 Semua terminal pengkabelan dilapangan harus ditandai dengan jelas terhadap
diagram penyambungan dilapangan yang melengkapinya.
7.3.7.3* Instruksi lengkap yang mencakup pengoperasian alat kontrol harus ada dan
secara menyolok dipasang pada alat kontrol.

7.3.8 Penandaan.
Setiap alat kontrol motor dan setiap saklar serta setiap pemutus tenaga harus ditandai
dengan jelas untuk menunjukkan nama dan pembuatnya, nomor identifikasi dan besaran
nominal listrik dalam volt, dayakuda, amper, frekuensi, fasa dan sebagainya yang sesuai.
Penandaan harus dipasang pada tempat yang mudah dilihat sesudah pemasangannya.

7.4 Komponen.

7.4.1* Penangkal Tegangan Kejut (Voltage Surge Arrester).


Penangkal tegangan kejut yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, harus dipasang
untuk setiap fasa ke pembumian (lihat butir 7.3.2) Penangkal kejut harus mampu meredam
tegangan kejut diatas tegangan jaringan.
Pengecualian No. 1:
Penangkal tegangan kejut ini bukanlah merupakan keharusan untuk alat kontrol dengan tegangan nominal lebih
dari 380 V (lihat butir 7.6).
Pengecualian No. 2:
Penangkal tegangan kejut ini bukanlah merupakan keharusan bila alat kontrol dapat menahan tanpa kerusakan
impuls 10 kV sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

7.4.2 Saklar Isolasi.


7.4.2.1 Saklar isolasi harus berupa saklar sirkit motor yang dapat dioperasikan manual
atau saklar MCCB (moulded case circuit breaker) dengan daya kuda nominal yang sama
atau lebih besar daripada daya kuda motor.
Pengecualian No. 1:*
Saklar MCCB yang mempunyai arus nominal tidak kurang dari 115 persen dari arus nominal motor pada beban
penuh dan yang dapat juga digunakan untuk pemutus arus motor rotor terkunci dapat diijinkan.
Pengecualian No. 2:
Saklar MCCB dapat diijinkan untuk dilengkapi dengan proteksi arus lebih hubung singkat yang memproteksi diri
sendiri, bilamana saklar ini tidak lepas (trip) kecuali pemutus sirkit pada alat kontrol yang sama terlepas (trip).
7.4.2.2 Saklar isolasi harus dapat dioperasikan dari luar.
7.4.2.3* Amper nominal dari saklar isolasi harus paling sedikit 115 persen dari arus
nominal beban penuh motor.

40 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.4.2.4 Peringatan berikut harus ada pada atau tepat disekitar saklar isolasi:

PERINGATAN.
DILARANG MEMBUKA ATAU MENUTUP SAKLAR INI PADA SAAT PEMUTUS TENAGA
(SARANA PEMUTUS) BERADA PADA POSISI TERTUTUP.
Pengecualian:
Bilamana saklar isolasi dan pemutus tenaga sedemikian disaling kunci (interlocked) dimana saklar isolasi tidak
dapat dibuka dan atau ditutup pada saat pemutus tenaga tertutup, label peringatan dapat diganti dengan label
instruksi yang menunjukkan urutan operasinya. Label ini dapat diijinkan sebagai bagian dari label yang
diperlukan pada butir 7.3.7.3.
7.4.2.5 Gagang pengoperasian saklar isolasi harus dilengkapi dengan gerendel pegas
yang harus dipasang sedemikian sehingga untuk menahan gerendel terlepas supaya saklar
dapat dibuka atau ditutup, diperlukan penggunaan tangan yang lain.
Pengecualian:
Bila saklar isolasi dan pemutus tenaga sedemikian disaling kunci sehingga saklar isolasi tidak dapat dibuka atau
ditutup pada saat pemutus sirkit tertutup, gerendel ini tidak diperlukan.

7.4.3 Pemutus Sirkit


7.4.3.1* Sirkit cabang motor harus diproteksi menggunakan pemutus tenaga (sarana
pemutus) yang dihubungkan langsung dengan sisi beban saklar isolasi dan harus
mempunyai satu pol untuk setiap konduktor sirkit yang tidak dibumikan.
Pengecualian:
Bila sirkit cabang motor dipindahkan ke sumber alternatif yang dipasok oleh generator setempat dan diproteksi
oleh alat arus lebih pada generator (lihat butir 6.6.5), proteksi arus lebih rotor terkunci pada alat kontrol pompa
kebakaran harus memungkinkan untuk di by-pass pada saat sirkit cabang motor terhubung demikian.
7.4.3.2 Pemutus tenaga harus mempunyai karakteristik mekanikal sebagai berikut:
a) Harus dapat dioperasikan dari luar (lihat butir 7.3.6)
b) Harus dapat terlepas (trip) bebas dari handel.
c) Papan nama dengan tulisan “Pemutus tenaga – sarana pemutus” dalam tinggi huruf
tidak kurang dari 10 mm (3/8 inch) harus ditempatkan pada sisi luar tutup alat kontrol
dekat dengan peralatan untuk mengoperasikan pemutus tenaga.
7.4.3.3* Pemutus tenaga harus mempunyai karakteristik elektrikal sebagai berikut:
a) Arus nominal menerus tidak kurang dari 115 persen dari arus nominal beban penuh
motor.
b) Elemen pengindra arus lebih (overcurrent sensing) dari jenis non termal.
c) Proteksi arus lebih hubung singkat.
d)* Arus interupsi nominal yang cukup untuk menyediakan besaran nominal yang cocok
(lihat butir 7.5.3.2) dari alat kontrol.
e) Kemampuan untuk memungkinkan menjalankan dan menghentikan motor secara
normal maupun darurat tanpa terlepas.

41 dari 142
SNI 03-6570-2001

f) Seting pelepasan sesaat tidak lebih dari 20 kali arus beban penuh.
Pengecualian: *
Pembatas arus, yang merupakan bagian-bagian integral dari pemutus arus, harus dapat dipergunakan untuk
mendapatkan besaran nominal interupsi yang dibutuhkan, dengan semua persyaratan berikut dipenuhi:
a) Pemutus tenaga harus menerima pembatas arus dari hanya satu besaran nominal.
b) Pembatas arus harus dapat menahan tetap 300 persen arus beban penuh motor untuk paling sedikit 30
menit.
c) Pembatas arus, bilamana dipasang pada pemutus, harus tidak terbuka pada saat arus rotor terkunci.
d) Suatu set cadangan pembatas arus dengan besaran nominal yang benar harus selalu tersedia pada
lemari atau rak di dalam penutup alat kontrol.

7.4.4 Proteksi Arus Lebih Rotor Terkunci.


Alat protektif arus lebih yang lain yang hanya diperlukan dan diijinkan antara saklar isolasi
dan motor pompa kebakaran harus ditempatkan didalam alat kontrol pompa kebakaran dan
harus mempunyai karakteristik berikut:
a) Untuk motor sangkar dan motor induksi, alat proteksinya harus sebagai berikut:
1) Dari jenis time-delay yang mempunyai waktu pelepasan antara 8 detik dan 20
detik pada arus rotor terkunci
2) Dikalibrasi dan diset pada minimum 300 persen arus beban penuh motor.
b) Untuk motor arus searah, alat proteksi harus sebagai berikut:
1) Dari tipe sesaat (instantaneous)
2) Dikalibrasi dan diset pada minimum 400 persen arus beban penuh motor
c)* Harus ada sarana yang dapat dilihat atau penandaan yang jelas yang menunjukkan
bahwa seting alat proteksi telah dilakukan dengan tepat.
d) Harus memungkinkan untuk mereset alat pengoperasian tepat setelah pelepasan,
dengan karakteristik pelepasan sesudah pengesetan tetap tidak berubah.
e) Pelepasan harus diselesaikan dengan membuka pemutus tenaga, yang harus dari tipe
dapat direset manual dari luar.
Pengecualian:
Bila sirkit cabang motor dipindahkan ke suatu sistem pasokan alternatif oleh generator setempat dan diproteksi
dengan alat arus lebih pada generator (lihat butir 6.6.5), proteksi arus lebih rotor terkunci pada alat kontrol motor
pompa kebakaran harus dimungkinkan untuk di by-pass pada saat sirkit cabang motor dihubungkan demikian.

7.4.5 Kontaktor Motor


7.4.5.1 Kontaktor motor harus mempunyai dayakuda nominal dan harus dari tipe
magnetik dengan kontak pada setiap konduktor yang tak dibumikan (ungrounded).
7.4.5.2 Untuk operasi elektrikal alat kontrol pengurang tegangan (reduced-voltage)
percepatan otomatik berdasar waktu dari motor harus disediakan. Perioda percepatan motor
harus tidak lebih dari 10 detik.
7.4.5.3 Resistor penstart harus dirancang untuk memungkinkan sekali untuk 5 detik
operasi start setiap 80 detik untuk perioda waktu tidak kurang dari 1 jam.

42 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.4.5.4 Reaktor penstart dan autotransformer harus dirancang untuk memungkinkan


sekali untuk 15 detik operasi penstart setiap 240 detik untuk perioda waktu tidak kurang dari
1 jam.
Pengecualian:
Rancangan harus mengikuti persyaratan berlaku.
7.4.5.5 Untuk alat kontrol 400 V atau kurang, koil operasi untuk kontaktor utama harus
dipasok langsung dari tegangan daya utama dan tidak melalui transformator.
7.4.5.6 Sensor tegangan rendah, fasa hilang, frekuensi sensitif atau sensor-sensor
lainnya yang secara otomatik atau manual menghalangi gerakan kontaktor motor tidak boleh
dipasang.
Pengecualian:*
Sensor harus mencegah motor tiga fasa dari penstartan pada kondisi pasok hanya satu fasa. Sensor seperti ini
harus tidak menyebabkan putusnya arus ke motor pada saat motor bekerja pada terjadinya fasa tunggal. Sensor
tersebut harus dimonitor untuk memberikan alarm lokal yang dapat dilihat pada kejadian tidak berfungsinya
sensor.

7.4.6* Alat Alarm dan Sinyal pada Alat Kontrol

7.4.6.1 Indikator Tampak Yang Menunjukkan Ketersediaan Daya.


Indikator tampak dapat menunjukkan ketersediaan daya pada semua fasa pada jalur
terminal kontaktor motor. Jika indikator tampak berupa lampu pilot, lampu ini harus dapat
dijangkau untuk penggantian.
Pengecualian:
Bila daya dipasok dari sumber daya jamak, pengamatan setiap sumber daya untuk fasa hilang harus
dimungkinkan pada setiap titik hulu elektrikal dari terminal jalur dari kontaktor dengan semua sumber dimonitor.

7.4.6.2 Keterbalikan Fasa.


Keterbalikan fasa sumber daya ke mana terminal jalur kontaktor motor tersambung harus
dapat diamati dari indikator yang tampak.
Pengecualian:
Bila daya dipasok dari sumber daya jamak, pemantauan dari setiap sumber daya fasa terbalik harus
dimungkinkan pada setiap titik hulu listrik jalur terminal dari kontaktor yang disediakan pada semua sumber yang
dimonitor.

7.4.7* Alat Alarm dan Sinyal Jauh dari Alat Kontrol.


Bila rumah pompa tidak secara tetap dijaga (oleh operator), alarm bunyi atau tampak dari
sumber daya tidak lebih dari 220 V harus dipasang pada titik yang dijaga secara tetap. Alat-
alat alarm ini harus dapat menunjukkan:
a) Jalannya Motor atau Pompa.
Alarm harus bekerja bilamana alat kontrol telah dioperasikan pada kondisi motor
sedang berjalan. Sirkit alarm ini harus tersambung pada sumber daya handal yang
terpisah atau dari daya motor pompa, dimana tegangannya tidak terreduksi lebih dari
220 V.

43 dari 142
SNI 03-6570-2001

b) Fasa Hilang
Kehilangan suatu fasa pada terminal jalur pada kontaktor motor harus dapat diamati.
Semua fasa harus dapat diamati.
Pengecualian:
Bila daya dipasok dari sumber daya jamak, pengamatan dari setiap sumber daya untuk fasa hilang harus
dimungkinkan pada setiap titik hulu listrik dari terminal jalur kontaktor bilamana semua sumber diamati.
c) Keterbalikan Fasa (lihat butir 7.4.6.2).
Sirkit alarm ini harus dihubungkan pada sumber daya handal yang terpisah atau dari
daya motor pompa, dimana tegangannya tidak terreduksi lebih dari 220 V.
d). Alat Kontrol Tersambung ke Sumber Pengganti.
Bila dua sumber daya dipasok untuk memenuhi butir 6.2.3, sirkit alarm ini harus
mengindikasikan bahwa sumber pengganti merupakan sumber yang sedang memasok
daya ke alat kontrol. Sirkit alarm ini harus dihubungkan pada sumber daya handal yang
terpisah atau dari daya motor pompa, dimana tegangannya tidak terreduksi lebih dari
220 V.

7.4.8 Kontak Alarm Alat Kontrol untuk Indikasi Jarak Jauh.


Alat kontrol harus dilengkapi dengan kontak (terbuka atau tertutup) untuk mengoperasikan
sirkit untuk kondisi pada butir 7.4.7 a) sampai dengan c) dan bila suatu alat kontrol
dilengkapi dengan saklar pemindah yang sesuai dengan butir 7.8.2.2.d).

7.5 Penstart dan Kontrol

7.5.1* Otomatik dan Tidak Otomatik


7.5.1.1 Alat kontrol otomatik harus bekerja sendiri untuk menstart, menjalankan, dan
memprotek motor. Alat kontrol otomatik harus bekerja menggunakan saklar tekanan atau
saklar non tekanan. Alat kontrol otomatik harus dapat dioperasikan juga sebagai alat kontrol
tidak otomatik.
7.5.1.2 Alat kontrol tidak otomatik harus diaktifkan menggunakan peralatan mekanikal
pengaktif manual.

7.5.2 Alat kontrol Otomatik.

7.5.2.1* Alat Kontrol Tekanan Air.


Pada alat kontrol harus disediakan saklar tekanan yang memiliki penyetelan kalibrasi tinggi-
rendah bebas pada sirkit alat kontrol. Harus tidak ada penghambat tekanan atau orifice
penghambat yang dipasang didalam saklar tekanan. Saklar ini harus peka terhadap tekanan
air didalam sistem proteksi kebakaran. Elemen pengindra tekanan dari saklar harus mampu
menahan tekanan kejut sesaat sampai 27,6 bar ( 400 psi) tanpa kehilangan ketelitiannya.
Harus disediakan perlengkapan yang sesuai untuk melepas tekanan ke saklar tekanan untuk
memungkinkan dilakukannya pengujian kerja unit alat kontrol dan unit pemompaan. [lihat
gambar A.7.5.2.1.a) dan b)].
Alat kontrol tekanan air haruslah sebagai berikut:

44 dari 142
SNI 03-6570-2001

a) Untuk semua instalasi pompa, termasuk pompa-pompa jockey, setiap alat kontrol
harus mempunyai jalur pengindra tekanan individu sendiri.
b) Penghubung jalur pengindra tekanan untuk setiap pompa, termasuk pompa-pompa
jockey harus dibuat antara katup searah pelepasan dan katup kontrol pelepasan. Jalur
ini harus dari pipa brass, tembaga atau baja tahan karat seri 300 dan fitingnya harus
berukuran nominal 12,7 mm ( ½ inch). Harus ada dua katub searah yang dipasang
pada jalur pengindra tekanan setidaknya terpisah 1,5 m (5 ft) jauhnya satu sama lain
dengan lidah katub yang dibor berdiameter 2,4 mm ( 3/32 inch) untuk peredaman. [lihat
gambar A.7.5.2.1 a) dan b)].
Pengecualian No. 1:
Bila airnya bersih, unions dengan diafragma non korosif yang dibor dengan lubang 2,4 mm (3/32 inch)
dapat dipergunakan menggantikan katup searah.
Pengecualian No. 2:
Pada alat kontrol tak bertekanan, saklar tekanan tidak diperlukan.
c) Pada jalur pengindra tekanan harus tidak dipasang katub penutup (shut-off valve).
d) Penggerak saklar tekanan pada seting penyetelan rendah harus mengawali urutan
start pompa (bila pompa belum beroperasi).
e)* Suatu alat pencatat tekanan yang teruji harus dipasang untuk mengindra dan mencatat
tekanan pada setiap jalur pengindra tekanan alat kontrol pompa kebakaran pada sisi
input ke alat kontrol. Pencatat harus mampu beroperasi setidaknya selama 7 hari
tanpa harus direset atau diputar ulang.
Elemen pengindra tekanan dari pencatat harus mampu menahan tekanan kejut sesaat
sekurang-kurangnya 27,6 bar (400 psi) tanpa harus kehilangan ketelitiannya.

7.5.2.2 Alat Kontrol Saklar Otomatik yang Digerakkan Tanpa Tekanan.


Alat kontrol saklar otomatik pompa kebakaran yang digerakkan tanpa tekanan harus
memulai urutan startnya oleh bukaan otomatik kontak jarak jauh. Saklar tekanan tidak
diperlukan. Pada alat kontrol harus tidak ada sarana yang mampu menghentikan motor
pompa kebakaran kecuali alat kontrol pompa kebakarannya sendiri.

7.5.2.3 Kontrol Elektrik Manual pada Stasiun Jarak Jauh.


Bilamana stasiun kontrol tambahan untuk menyebabkan pengoperasian menerus tidak
otomatik unit pemompaan, bebas dari saklar tekanan, disediakan pada lapangan jauh dari
alat kontrol, stasiun tersebut harus tidak dapat dioperasikan untuk menghentikan kerja
motor.

7.5.2.4 Urutan Start Pompa-pompa.


Alat kontrol untuk setiap unit dari unit pompa jamak harus dilengkapi alat pengurut start
berdasar waktu untuk mencegah terjadinya penstartan dua atau lebih pompa secara
serempak. Setiap pompa memasok tekanan hisap ke pompa lainnya harus diatur untuk start
sebelum pompa yang dipasok distart. Jika persyaratan air meminta lebih dari satu unit
pompa untuk beroperasi, unit harus di start pada selang waktu 5 sampai 10 detik. Kegagalan
dari motor yang memimpin di start harus tidak mencegah unit pompa berikutnya untuk start.

45 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.5.2.5 Sirkit Luar Dihubungkan ke Alat Kontrol.


Sirkit kontrol luar yang menyambung di luar ruangan pompa harus diatur sedemikian
sehingga kerusakkan dari tiap sirkit luar (sirkit terbuka atau sirkit pendek) harus tidak
menghalangi operasi pompa(-pompa) dari semua sarana luar atau dalam. Kerusakan,
pemutusan, hubung pendek kabel, atau kehilangan daya ke sirkit tersebut dapat
menyebabkan berjalannya secara menerus pompa kebakaran, tetapi harus tidak
menghalangi alat(-alat) kontrol untuk menstart pompa(-pompa) kebakaran akibat dari sebab-
sebab selain dari sirkit luar tersebut. Semua konduktor kontrol dalam ruangan pompa
kebakaran yang tidak toleran terhadap kesalahan seperti disebutkan harus diproteksi
terhadap kerusakan mekanik.

7.5.3 Alat Kontrol Tidak Otomatik.

7.5.3.1 Kontrol Listrik Manual Pada Alat Kontrol.


Pada panel kontrol harus tersedia saklar dioperasikan manual yang disusun sedemikian
sehingga, bila motor distart manual, operasinya tidak dapat dipengaruhi oleh saklar tekanan.
Susunan harus juga sedemikian sehingga unit akan tetap beroperasi sampai dilakukan
pemutusan secara manual.

7.5.3.2* Kontrol Mekanik Jalan Darurat Pada Alat Kontrol.


Kontrol mekanik jalan darurat harus berisi hal-hal berikut:
a) Alat kontrol harus dilengkapi dengan handel atau lengan jalan darurat yang
menglaksanakan penutupan secara mekanik mekanisme saklar sirkit motor. Handel
atau lengan harus dapat menjamin operasi jalan menerus tidak otomatik motor(-motor),
bebas dari semua sirkit kontrol elektrik, magnit atau alat-alat sejenis dan bebas
terhadap saklar kontrol berdasar tekanan. Sarana harus dilengkapi dengan gerendel
mekanik atau alat penahan handel atau lengan untuk operasi manual pada posisi
bekerja. Gerendel mekanik harus tidak otomatik, tetapi menurut kehendak operator.
b) Handel atau lengan harus disusun untuk bergerak hanya pada satu arah dari posisi off
ke posisi final.
c) Penstart motor harus kembali secara otomatik ke posisi off bilamana operator melepas
handel atau lengan penstart pada setiap posisi kecuali pada posisi jalan penuh.

7.5.4 Cara Menghentikan.


Penutupan harus dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Manual.
Pengoperasian tombol tekan yang terletak pada sisi luar penutup alat kontrol, khusus
untuk alat kontrol otomatik, harus mengembalikan alat kontrol ke posisi otomatik
penuh.
b) Penutupan Otomatik Sesudah Start Otomatik (opsional).
Bila alat kontrol diatur untuk menutup otomatik sesudah sebab-sebab penstartan telah
kembali ke posisi normal, timer perioda waktu operasi yang diset untuk pompa berjalan
paling sedikit 10 menit harus dapat memulai awal operasi.

46 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian:
Penutupan secara otomatik tidak diperbolehkan bila pompa merupakan pompa tunggal yang memasok
sistem sprinkler kebakaran atau pipa tegak (standpipe), atau bilamana instansi yang berwenang
menentukan persyaratan penutupan manual.

7.6 Alat Kontrol Bertegangan Nominal Lebih Dari 380 V.

7.6.1 Peralatan Kontrol.


Alat kontrol bertegangan nominal lebih dari 380 V harus memenuhi persyaratan Bab 7,
kecuali yang ditentukan pada butir 7.6.2 sampai dengan 7.6.8.

7.6.2 Persyaratan untuk Pengujian.


Persyaratan butir 7.3.4.2 harus tidak digunakan. Ameter dapat dipasang pada pada alat
kontrol dengan sarana yang sesuai untuk pembacaan arus tiap fasa. Suatu volmeter,
memperoleh daya dari pemasok yang tidak lebih dari 220 V dari transformator yang
dihubungkan ke pemasok tegangan tinggi, harus juga dipasang dengan sarana pembacaan
tegangan tiap fasa.

7.6.3 Pemutusan Dalam Berbeban.


7.6.3.1 Diperlukan ketentuan untuk mencegah saklar isolasi terbuka dalam keadaan
berbeban.
7.6.3.2 Sarana pemutus untuk memutus beban harus diperbolehkan digunakan sebagai
pengganti saklar isolasi bila nominal alat penutup dan penginterupsi utama sama atau
melebihi persyaratan instalasi.

7.6.4 Lapangan Saklar Tekanan.


Perhatian tertentu harus diambil saat menempatkan saklar tekanan yang ditunjukkan pada
butir 7.5.2.1 untuk mencegah kebocoran air yang dapat menyebabkan terjadinya kontak
dengan komponen bertegangan tinggi.

7.6.5 Sirkit Kontrol Tegangan Rendah.


Sirkit kontrol tegangan rendah harus dipasok dari sumber tegangan tinggi melalui
transformator penurun tegangan yang diproteksi menggunakan sekering tegangan tinggi
pada setiap jalur primer. Pemasok daya harus terputus bila saklar isolasi berada pada posisi
terbuka. Sisi sekunder dari transformer dan sirkit kontrol sebaliknya harus memenuhi butir
7.3.5. Satu jalur sekunder harus dibumikan kecuali bila semua alat kontrol dan perlengkapan
operator cocok untuk digunakan pada tegangan (primer) tinggi.

7.6.6 Alat-alat Alarm dan Sinyal pada Alat Kontrol.


Spesifikasi untuk alat kontrol dengan reting diatas 400V berbeda dengan butir 7.4.6.
Penunjuk mampu nampak harus dipasang untuk menunjukkan bahwa tersedia pasokan.
Pemasok arus untuk penunjuk mampu nampak harus diambil dari sisi sekunder
transformator sirkit kontrol melalui resistor, bila diperlukan, atau dari transformator penurun
tegangan kapasitas kecil, yang dapat menurunkan tegangan sekunder transformator alat
kontrol ke yang diperlukan oleh indikator mampu nampak. Bila indikator mampu nampak
adalah lampu pilot, harus dapat dijangkau untuk penggantiannya.

47 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.6.7 Proteksi Petugas dari Tegangan Tingi.


Persyaratan khusus harus dibuat, termasuk seperti halnya alat saling kunci (interlock)
bilamana diperlukan, untuk memproteksi petugas dari kontak kecelakaan dengan tegangan
tinggi.

7.6.8 Sarana Pemutus.


Alat kontak dalam kombinasi dengan sekering sirkit motor pembatas arus harus
diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai ganti pemutus arus (sarana pemutus) yang
dipersyaratkan pada butir 7.4.3.1 bila semua persyaratan berikut dipenuhi.
a) Sekering sirkit motor pembatas arus harus dipasang pada penutup antara saklar isolasi
dengan kontaktor. Alat tersebut harus memutus arus sirkit pendek yang ada pada
terminal input alat kontrol.
b) Sekering ini harus mempunyai nominal pemutus yang cukup untuk memenuhi nominal
yang sesuai (lihat butir 7.1.1.2) dari alat kontrol.
c) Sekering pembatas arus harus berukuran yang mampu menahan 600 persen arus
nominal beban penuh motor untuk paling tidak 100 detik.
d) Cadangan sekering untuk besaran nominal yang benar harus dijaga siap tersedia
dalam kompartemen atau rak didalam penutup alat kontrol.

7.6.9 Proteksi Arus Lebih Rotor Terkunci.


Jatuhnya alat arus lebih rotor terkunci yang dipersyaratkan pada butir 7.4.4 harus
diperbolehkan dilakukan dengan membuka sirkit koil kontaktor motor untuk menjatuhkan
kontaktor. Sarana harus disediakan untuk mengembalikan alat kontrol ke operasi normal
menggunakan alat reset manual luar.

7.6.10 Kontrol Mekanik Jalan Darurat pada Alat Kontrol.


Alat kontrol harus memenuhi butir 7.5.3.2.a) dan b) kecuali gerendel mekaniknya boleh
otomatik. Bila kontaktor gerendel masuk, proteksi arus lebih rotor terkunci butir 7.4.4 tidak
diperlukan.

7.7* Alat Kontrol Layanan Terbatas.


Alat kontrol layanan terbatas yang berisi alat kontrol otomatik untuk men-start direct on line
motor belitan sangkar untuk daya 25 kW atau kurang, tegangan 380 V atau kurang,
diperbolehkan untuk dipasang bilamana pemasangan seperti tersebut diijinkan oleh instansi
yang berwenang. Persyaratan pada butir 7.1 sampai 7.5 harus dipergunakan.
Pengecualian No. 1:
Sebagai pengganti butir 7.4.3.3.b) dan 7.4.4, pemenuhan persyaratan proteksi arus lebih rotor terkunci dapat
diijinkan dengan memilih waktu pemutusan magnetik (inverse time) dari pemutus sirkit yang tidak dapat disetel,
yang memiliki besaran nominal standar antara 150 dan 250 persen dari arus beban penuh motor.
Pengecualian No.2:
Setiap alat kontrol harus ditandai dengan “Alat Kontrol Layanan Terbatas” dan harus menunjukkan nama pabrik
pembuat, penunjuk tujuan, dan besaran nominal listrik lengkap. (Lihat butir 7.4.2.1).

48 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian No. 3:
Alat kontrol harus memiliki besaran nominal arus hubung pendek tidak kurang dari 10.000 A.
Pengecualian No. 4:
Saklar isolasi yang dioperasikan manual sesuai spesifikasi pada butir 7.4.2 tidak diperlukan.

7.8* Pemindah Daya untuk Pemasok Daya Pengganti.

7.8.1 Umum
7.8.1.1 Bila dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang atau untuk memenuhi
persyaratan butir 7-2.3 dimana suatu alat pemindah daya listrik setempat digunakan untuk
memilih sumber daya, saklar seperti ini harus sesuai dengan ketentuan pada butir 7.8 dan
juga butir 7.1, 7.2 dan 7.4.1.
7.8.1.2 Saklar pemindah manual harus tidak dipergunakan untuk memindah daya antara
pemasok normal dan pemasok pengganti ke alat kontrol pompa.
7.8.1.3 Alat jarak jauh yang dipasang mampu mencegah operasi otomatik saklar
pemindah tidak diperbolehkan.

7.8.2* Susunan Saklar Pemindah dan Alat Kontrol Pompa

7.8.2.1 Susunan I (Kombinasi Teruji Alat Kontrol Pompa Kebakaran dan Saklar
Pemindah Daya)
7.8.2.1.1 Bila saklar pemindah daya terdiri dari rakitan saklar daya berupa paket, rakitan
seperti ini harus ditempatkan pada kompartemen terlindung dari alat kontrol pompa
kebakaran atau pada penutup terpisah yang terpasang pada alat kontrol dan ditandai “Saklar
Pemindah Daya Pompa Kebakaran”.
7.8.2.1.2 Suatu saklar isolasi, memenuhi butir 7.4.2, ditempatkan dalam penutup atau
kompartemen saklar pemindah daya harus dipasang di sisi depan terminal input pengganti
saklar pemindah. Persyaratan saklar isolasi adalah sebagai berikut:
a) Saklar isolasi harus teramati dengan penunjukkan bilamana dalam keadaan terbuka.
b) Adanya alat pengamat yang mengoperasikan sinyal yang dapat didengar atau dilihat
pada kombinasi alat kontrol pompa kebakaran/saklar pemindah otomatik dan pada titik
yang jauh bila diperlukan.
c) Saklar isolasi harus sesuai untuk arus sirkit pendek yang ada dari sumber pengganti.
7.8.2.1.3 Bila sumber pengganti disediakan oleh sumber daya umum yang lain (kedua),
saklar pemindah sisi darurat harus dilengkapi dengan saklar isolasi yang memenuhi butir
7.4.2 dan pemutus sirkit yang memenuhi butir 7.4.3 dan 7.4.4.
7.8.2.2 Susunan II (Alat Kontrol Pompa Kebakaran Teruji Individual dan Saklar
Pemindah Daya).
Harus dilengkapi hal-hal berikut:
a) Saklar pemindah daya alat kontrol pompa kebakaran yang harus memenuhi butir 6.6
dan 7.8 dan suatu alat kontrol pompa.
b) Saklar isolasi, atau pemutus layanan bilamana diperlukan, di sisi depan terminal input
normal dari saklar pemindah.

49 dari 142
SNI 03-6570-2001

c) Proteksi arus lebih saklar pemindah harus dipilih atau diset pada kapasitas tak tertentu
arus rotor terkunci dari motor pompa kebakaran bila sumber pengganti dipasok oleh
utilitas kedua.
d) Saklar isolasi didepan terminal input layanan pengganti dari saklar pemindah yang
memenuhi persyaratan berikut:
1) Saklar isolasi harus dapat dikunci pada posisi “on”.
2) Suatu plakat harus dipasang di bagian luar pada saklar isolasi yang bertuliskan
“Saklar Isolasi Pompa Kebakaran”. Tinggi huruf harus paling sedikit 25,4 mm (1
inch).
3) Suatu plakat harus dipasang dekat ke alat kontrol pompa kebakaran yang
menyatakan lapangan saklar tersebut dan lapangan kunci (bila saklar isolasi
dikunci).
4) Saklar isolasi harus teramati untuk mengindikasikan bila ini tidak tertutup dengan
satu dari cara-cara berikut:
(a). Layanan sinyal stasiun pusat, proprietary atau stasiun jauh.
(b). Layanan sinyal lokal yang dapat membunyikan sinyal suara pada titik yang
dijaga secara tetap.
(c). Penguncian saklar isolasi pada posisi tertutup.
(d). Penyekatan saklar isolasi dan pengawasan tercatat mingguan yang
disetujui bilamana saklar isolasi berada dalam pagar penutup atau di dalam
bangunan yang dikuasai oleh pemiliknya.
5) Pengawasan tersebut harus menjalankan sinyal suara dan nampak pada saklar
pemindah dan pada titik jauh bila diperlukan.
7.8.2.3 Tiap pompa kebakaran harus memiliki saklar pemindah terdedikasi bila
diperlukan.
7.8.2.4 Alat kontrol pompa kebakaran dan saklar pemindah (lihat butir 7.8.2.1 dan
7.8.2.2) harus masing-masing memiliki tanda peringatan yang menunjukkan bahwa saklar
isolasi untuk alat kontrol maupun saklar pemindah adalah terbuka sebelum melayani alat
kontrol, saklar pemindah atau motor.

7.8.3 Persyaratan Saklar Pemindah Daya


7.8.3.1 Saklar pemindah daya harus teruji secara khusus untuk melayani pompa
kebakaran.
7.8.3.2 Saklar pemindah daya harus cocok untuk arus sirkit pendek yang ada pada
terminal saklar pemindah normal dan terminal input pengganti.
7.8.3.3 Saklar pemindah daya harus dioperasikan secara elektrik dan ditahan secara
mekanik.
7.8.3.4 Saklar pemindah daya harus mempunyai dayakuda nominal paling tidak sama
dengan dayakuda motor atau, bila dalam besaran amper, harus memiliki amper nominal
tidak kurang dari 115 persen arus beban penuh motor dan juga sesuai untuk mensaklar arus
rotor terkunci motor.

50 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.8.3.5 Sarana saklar pemindah daya untuk operasi manual (tanpa elektrik) harus
disediakan. Sarana manual ini tidak harus dioperasikan dari luar.
7.8.3.6 Saklar pemindah daya harus disediakan dengan alat pengindra tegangan rendah
untuk mengamati semua jalur tidak dibumikan dari sumber daya normal. Bila tegangan pada
suatu fasa pada terminal beban pemutus sirkit pada alat kontrol pompa kebakaran jatuh
dibawah 85 persen tegangan nominal motor, saklar pemindah daya harus secara otomatik
mengawali pemindahan ke sumber pengganti. Bila tegangan pada semua fasa dari sumber
normal telah balik ke batas yang dapat diterima, alat kontrol pompa kebakaran harus dapat
diperbolehkan dipindahkan kembali ke sumber normal. Keterbalikan fasa daya sumber
normal (lihat butir 7.4.6.2) dapat menyebabkan suatu kerusakan daya sumber normal
tersimulasikan akibat pengindraan fasa terbalik.
Pengecualian:
Bila saklar pemindah daya bekerja secara elektrik di hulu dari pemutus sirkit alat kontrol pompa kebakaran,
tegangan dapat diperbolehkan diindra pada input saklar pemindah daya sebagai pengganti pada terminal beban
pemutus tenaga alat kontrol pompa kebakaran.
7.8.3.7 Alat pengindra frekuensi dan tegangan harus disediakan untuk mengamati
sedikitnya satu konduktor tak dibumikan dari sumber daya pengganti. Pemindahan ke
sumber pengganti harus dicegah sampai adanya tegangan dan frekuensi untuk melayani
beban pompa kebakaran.
Pengecualian:
Bila sumber pengganti tersedia dari sumber daya umum lain (kedua), alat pengindra tegangan rendah harus
mengamati semua konduktor yang tidak dibumikan sebagai pengganti alat pengindra frekuensi.
7.8.3.8 Dua indikator yang terlihat dari luar harus disediakan untuk menunjukkan dari
sumber daya mana alat kontrol pompa kebakaran tersambungkan.
7.8.3.9 Harus disediakan sarana untuk menunda pemindahan kembali dari sumber
pengganti ke sumber normal sampai sumber normal stabil kembali. Penundaan waktu ini
harus dapat di bypass secara otomatik bila sumber pengganti gagal.
7.8.3.10 Harus disediakan sarana untuk mencegah arus masuk yang lebih besar daripada
normal pada saat pemindahan motor pompa kebakaran dari satu sumber ke sumber lainnya.
7.8.3.11 Saklar pemindah daya harus tidak memiliki pemroteksi sirkit pendek integral atau
arus lebih.
7.8.3.12 Hal-hal berikut harus disediakan:
a) Alat untuk menunda start generator pengganti untuk mencegah kegagalan start pada
saat terjadinya penurunan dan pemutusan sementara sumber normal.
b) Suatu lup sirkit ke generator pengganti dimana salah satu pembukaan atau penutupan
sirkit akan menstart generator pengganti (bila diperintah oleh saklar pemindah daya)
(lihat butir 7.8.3.6).
c) Sarana untuk mencegah pengiriman sinyal untuk menstart generator pengganti bila
diperintah oleh saklar pengganti daya, bila saklar isolasi pada sisi sumber pengganti
saklar pemindah dalam keadaan terbuka.
7.8.3.13 Saklar penguji sewaktu-waktu, dapat dioperasikan dari luar, yang akan
mensimulasikan kerusakan sumber daya normal, harus disediakan pada panel.

51 dari 142
SNI 03-6570-2001

7.8.3.14 Kontak buka atau tutup pembantu yang dioperasikan secara mekanik oleh
mekanisme saklar pemindah daya pompa kebakaran harus disediakan untuk menunjukkan
indikasi jarak jauh bahwa alat kontrol pompa kebakaran telah dipindahkan ke sumber
pengganti.

7.9 Alat Kontrol Untuk Motor Pompa Konsentrat Busa

7.9.1 Perlengkapan Kontrol.


Alat kontrol untuk motor pompa konsentrat busa harus memenuhi persyaratan butir 7.1
sampai 7.5, atau 7.7 (dan 7.8, bila diminta) kecuali seperti yang ada pada butir 7.9.2 sampai
7.9.5.

7.9.2 Start Otomatik.


Sebagai pengganti saklar tekanan yang diuraikan pada butir 7.5.2.1, penstartan otomatik
harus mampu dilakukan oleh pengaktifan otomatik salah satu kontak jarak jauh buka normal
atau tutup normal.

7.9.3 Metoda Stop.


Pengatur waktu perioda jalan diuraikan pada butir 7.5.4.b), bila diperlukan, harus diset untuk
paling lama 10 menit tetapi tidak kurang dari 1 menit pada alat kontrol yang digunakan untuk
melayani pompa busa. Harus disediakan alat stop manual. Stop otomatik tidak
diperbolehkan.

7.9.4 Pengunci (lockout).


Bila diperlukan, alat kontrol harus memiliki alat khusus pengunci bila digunakan pada
penerapan siap kerja. Bilamana disediakan, penghenti ini harus ditunjukkan oleh penunjuk
yang nampak dan berkemampuan untuk memberi tanda pada lapangan yang jauh.

7.9.5 Penandaan.
Alat kontrol harus ditandai dengan “Alat Kontrol Pompa Busa”.

8 Penggerak Motor Diesel.

8.1 Umum.

8.1.1 Seleksi.
Seleksi dari peralatan pompa kebakaran dengan penggerak motor diesel untuk setiap situasi
harus didasarkan pada pertimbangan secara teliti faktor berikut:
a) Tipe kontrol yang paling andal.
b) Pasokan bahan bakar.
c) Instalasi.
d) Start dan mengoperasikan motor diesel.

8.1.2 Catatan Pengalaman.


Motor diesel telah terbukti merupakan motor bahan bakar yang dapat diandalkan untuk
menggerakkan pompa kebakaran. Motor bahan bakar yang menggunakan percikan nyala

52 dari 142
SNI 03-6570-2001

(busi) tidak diperkenankan untuk digunakan, kecuali untuk instalasi yang telah dibuat
sebelum standar ini disusun.
Pembatasan ini tidak boleh diartikan tidak termasuk turbin gas sebagai penggerak pompa di
masa mendatang.

8.2 Motor.

8.2.1 Teruji.
8.2.1.1 Motor harus diuji untuk melayani pompa kebakaran.
8.2.1.2 Motor harus diuji secara spesifik oleh laboratorium penguji untuk melayani
pompa kebakaran.

8.2.2 Nilai Nominal Motor.


8.2.2.1* Nilai nominal motor harus berdasarkan kondisi standar Society of Automotive
Engineers (SAE), yaitu pada tekanan 752,1 mm kolom air raksa (29,61 inch Hg) dan
temperatur udara 250C pada ketinggian kurang lebih 91,4 m (300 ft) diatas permukaan laut,
dilakukan lewat pengujian di laboratorium yang diakui.
8.2.2.2 Nilai nominal daya kuda teruji dari motor yang diuji di laboratorium pengujian
dengan kondisi standar SAE, harus dapat diterima.
8.2.2.3 Dalam hal khusus, motor yang berada di luar rentang daya dan tipe motor yang
teruji, harus mempunyai kemampuan daya kuda bila dipakai untuk melayani gerakan pompa
kebakaran, tidak kurang dari 10 persen lebih besar dari daya kuda rem maksimum
dibutuhkan pompa pada setiap kondisi beban pompa. Motor harus memenuhi semua
persyaratan lain dari motor yang teruji.
8.2.2.4* Pengurangan sebanyak 3 persen dari daya kuda nominal motor pada kondisi
standar SAE harus dibuat untuk motor diesel yang dipasang pada ketinggian 305 m (1.000
ft) di atas 91,4 m (300 ft).
8.2.2.5* Untuk motor diesel yang berada pada temperatur udara luar di atas 250C, maka
untuk setiap kenaikan 5,60C (100F) menurut koreksi kondisi standar SAE, pengurangan daya
kuda nominalnya sebesar 1 persen harus dibuat.
8.2.2.6 Bila penggerak dengan roda gigi siku tegak lurus (lihat butir 8.2.3.2) digunakan
antara pompa turbin vertikal dan penggeraknya, daya kuda yang diperlukan oleh pompa
harus diperbesar untuk mengatasi kehilangan daya di roda gigi penggerak.
8.2.2.7 Bila telah memenuhi persyaratan sebagaimana tertera pada butir 8.2.2.1. sampai
dengan butir 8.2.2.6, motor setelah dijalankan minimum 4 jam, harus mempunyai daya kuda
nominal sama atau lebih besar dari daya kuda rem yang dibutuhkan untuk menggerakkan
pompa pada kecepatan nominalnya di bawah setiap kondisi beban pompa.

8.2.3 Sambungan Motor ke Pompa.

8.2.3.1 Pompa Poros Horisontal.


Motor harus disambung ke pompa poros horisontal dengan menggunakan kopling fleksibel
atau poros sambungan fleksibel teruji untuk pelayanan ini. Kopling fleksibel harus dipasang
langsung pada roda gigi terbang (flywheel) motor atau pada bagian terpendek dari poros
(lihat butir 3.5).

53 dari 142
SNI 03-6570-2001

8.2.3.2 Pompa Tipe Turbin Poros Vertikal.


Motor harus disambung ke pompa poros vertikal dengan menggunakan penggerak roda gigi
siku tegak lurus dengan poros sambungan fleksibel teruji yang akan mencegah terjadinya
tegangan yang berlebihan pada motor atau roda gigi penggeraknya (lihat butir 4.5).
Pengecualian :
Motor diesel dan turbin uap yang dirancang dan teruji untuk instalasi vertikal dengan pompa tipe turbin poros
vertikal harus diijinkan untuk menggunakan poros padat dan tidak membutuhkan roda gigi penggerak siku tegak
lurus tetapi membutuhkan lidah untuk mencegah putaran balik.

8.2.4 Instrumentasi dan Kontrol.

8.2.4.1 Governor.
Motor harus dilengkapi dengan governor yang mampu mengatur kecepatan motor dalam
rentang 10 persen antara kondisi pompa tak berbeban sampai beban maksimum pompa.
Governor harus dapat diatur di lapangan dan diset serta diamankan untuk mempertahankan
kecepatan nominalnya pada beban maksimum pompa.

8.2.4.2 Alat Pemutus Kecepatan Lebih.


Motor harus dilengkapi dengan alat pemutus kecepatan lebih. Alat ini harus diatur
sedemikian rupa sehingga menghentikan motor pada saat kecepatan mencapai kurang lebih
20% di atas kecepatan nominal motor dan dapat direset secara manual.
Suatu sarana harus didakan untuk menunjukkan adanya sinyal gangguan kecepatan lebih ke
alat kontrol otomatik sehingga alat kontrol tidak dapat direset sebelum alat pemutus
kecepatan lebih direset secara manual ke operasi normal.

8.2.4.3 Tachometer (=Alat Pengukur Kecepatan Putar).


Suatu tachometer harus diadakan untuk menunjukkan putaran motor per menit. Tachometer
ini harus tipe yang lengkap, atau harus dilengkapi dengan suatu meteran jam untuk
mencatat total waktu operasinya motor.

8.2.4.4 Pengukur Tekanan Minyak.


Motor harus dilengkapi dengan suatu pengukur tekanan minyak untuk menunjukkan tekanan
minyak pelumas.

8.2.4.5 Pengukur Temperatur.


Motor harus dilengkapi dengan pengukur temperatur untuk menunjukkan temperatur media
pendingin motor pada setiap saat.

8.2.4.6 Panel Instrumen.


Semua instrumen motor harus diletakkan pada panel yang sesuai dan diamankan terhadap
motor pada kedudukan yang tepat.

8.2.4.7* Pengkabelan Alat Kontrol Otomatik di Pabrik Motor.


Semua sambungan kabel untuk alat kontrol otomatik harus di tata atau tertutup secara
fleksibel, terpasang pada motor dan disambung dalam suatu kotak penyambung ke motor
dengan terminal yang diberi nomor sesuai dengan nomor terminal alat kontrol.

54 dari 142
SNI 03-6570-2001

8.2.4.8* Pengkabelan Alat Kontrol Otomatik di Lokasi.


Hubungan internal antara alat kontrol otomatik dan kotak penyambung ke motor harus
dilakukan dengan menggunakan kabel jenis berserabut dan ukurannya ditentukan
berdasarkan beban kerja terus menerus.

8.2.4.9* Kontaktor Baterai Utama.


Kontaktor baterai utama yang memasok arus listrik motor ke starter harus mampu
dioperasikan secara manual untuk memberikan arus listrik pada motor starter pada saat
terjadinya kegagalan pada sirkit kontrol.

8.2.4.10 Sinyal untuk Motor Sedang Berjalan dan Berhenti.


Motor harus dilengkapi dengan sakelar yang peka terhadap kecepatan untuk memberi sinyal
motor sedang berjalan atau berhenti. Daya untuk sinyal ini harus diperoleh dari suatu
sumber lain, bukan dari generatornya sendiri.

8.2.4.11 Elemen Pengkabelan.


Semua pengkabelan pada motor termasuk sirkit untuk start ukurannya harus ditentukan
berdasarkan beban kerja terus menerus.
Pengecualian :
Kabel untuk baterai harus disediakan sesuai rekomendasi pabrik pembuat motor.

8.2.5 Metoda start.

8.2.5.1 Alat start.


Motor harus dilengkapi dengan alat start yang handal.

8.2.5.2 Start secara Listrik.


Bila start listrik digunakan, alat start listrik harus mengambil arus listrik dari suatu baterai.

8.2.5.2.1 Jumlah dan Kapasitas Baterai.


Baterai lead acid harus disediakan dalam kondisi kosong dimana cairan elektrolitnya
ditempatkan dalam wadah terpisah. Cairan elektrolit harus ditambahkan pada saat motor
akan dijalankan, dan baterai siap digunakan.
Apabila baterai Nikel-Cadmium akan digunakan, harus disediakan sesuai persyaratan pabrik
pembuat.
Pengecualian:
Baterai jenis lain boleh digunakan untuk dipasang sesuai persyaratan pabrik pembuatnya.

8.2.5.2.3 Pengisian Ulang Baterai.


Harus disediakan dua macam sarana pengisian ulang baterai. Satu harus diperoleh dari
generatornya sendiri dan yang satu lagi diperoleh dari suatu alat pengisi yang alat kontrolnya
secara otomatik mendapatkan daya dari sumber arus bolak balik lainnya.

55 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian:
Bila suatu daya arus bolak balik tidak tersedia atau tidak andal, suatu metoda pengisian tambahan selain dari
generatornya sendiri harus disediakan.

8.2.5.2.4 Alat Pengisi Baterai.


Persyaratan untuk alat pengisi baterai adalah sebagai berikut :
a) Alat pengisi harus secara spesifik teruji untuk melayani pompa kebakaran.
b) Rectifier harus dari tipe semiconductor.
c) Alat pengisi untuk suatu baterai lead-acid harus dari tipe yang secara otomatik dapat
mengurangi arus pengisiannya kurang dari 500 mA bila baterai telah mencapai kondisi
terisi penuh.
d) Alat pengisi baterai pada tegangan nominalnya harus mampu memasok energi pada
baterai yang telah kosong dengan cara yang tidak merusak baterai dan harus dapat
mengembalikan 100 persen kapasitas baterai sebagai cadangan atau amper-jam
nominalnya dalam waktu kurang lebih 24 jam.
e) Alat pengisi harus memberi tanda pada saat kapasitas atau ampere-jam nominalnya
telah terpenuhi, dan dapat diisi ulang sesuai butir 8.2.5.2.4.d).
f) Suatu amper-meter dengan tingkat ketelitian 5 persen dari pengisian normal
nominalnya harus disediakan untuk menunjukkan operasi dari alat pengisi.
g) Alat pengisi harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak merusak atau
memutuskan pengaman lebur selama jangka waktu siklus perputaran motor bila
dioperasikan oleh suatu alat kontrol secara otomatik atau manual.
h) Alat pengisi harus secara otomatik mengisi pada laju maksimum bila diperlukan oleh
baterai.
i). Alat pengisi baterai harus di tata untuk menunjukkan rugi-rugi output pada sisi beban
dari alat proteksi arus lebih arus searah bila tidak tersambung ke panel kontrol {lihat
butir 9.4.1.3.f)}.

8.2.5.2.5* Lokasi Baterai.


Baterai harus ditempatkan pada suatu rak di atas lantai, diamankan terhadap pergeseran
dan diletakkan pada lokasi yang bebas dari temperatur tinggi, getaran, kerusakan mekanis
atau terendam air. Baterai ini harus mudah dijangkau untuk pemeliharaan. Kabel baterai
harus ditentukan ukurannya sesuai dengan rekomendasi dari pembuat motor dengan
memperhatikan panjang kabel yang diperlukan untuk lapangan baterai tertentu.

8.2.5.2.6 Lokasi Bagian Penghantar Arus.


Bagian-bagian penghantar arus harus ditempatkan tidak boleh kurang dari 305 mm (12 inci)
dui atas permukaan lantai.

8.2.5.3 Start secara Hidraulik.


8.2.5.3.1 Bila start dengan hidraulik digunakan, akumulator dan perlengkapan lainnya
harus disimpan dalam lemari dan dilindungi sedemikian rupa sehingga bebas dari kerusakan
mekanik. Lemari ini harus diletakkan sedekat mungkin dengan motor untuk mencegah
penurunan tekanan yang terlalu besar antara motor dan lemari.

56 dari 142
SNI 03-6570-2001

Motor diesel yang terpasang harus tanpa alat bantu untuk start, kecuali harus menggunakan
alat pemanas air listrik pada selubung luar (jacket) motor yang dikontrol secara thermostatik.
Diesel yang terpasang harus mampu memikul beban penuh nominalnya dalam waktu 20
detik detik setelah distart dengan udara intake, temperatur udara ruangan dan semua
peralatannya pada 00C (320F).
8.2.5.3.2 Cara start dengan hidraulik, harus memenuhi kondisi sebagai berikut:
a) alat pemutar poros engkol hidraulik harus sistem yang berdiri sendiri yang dapat
menyediakan gaya untuk memutaran poros engkol yang diperlukan dalam putaran per
menit (rpm) sebagaimana direkomendasikan pabrik pembuat motor.
b) Sarana yang dioperasikan dengan listrik harus secara otomatik menyediakan dan
mempertahankan tekanan hidraulik yang tersimpan dalam batas tekanan yang telah
lebih dahulu ditentukan.
c) Sarana otomatik mempertahankan sistem hidraulik dalam batas tekanan yang telah
lebih dahulu ditentukan, harus dipasok dari jalur utama dan jalur darurat bila tersedia.
d) Sarana harus disediakan untuk mengisi ulang secara manual sistem hidraulik.
e) Kapasitas dari sistem untuk memutarkan poros engkol secara hidraulik harus
menyediakan tidak kurang dari enam kali siklus pemutaran poros engkol.
Setiap siklus pemutaran poros engkol – tiga kali pertama secara otomatik dari sumber
sinyal – harus menyediakan sejumlah putaran per menit yang disyaratkan untuk
memungkinkan motor diesel memenuhi persyaratan memikul beban nominal penuh
dalam waktu 20 detik setelah pemutaran engkol diawali dengan udara intake,
temperatur udara ruangan, dan sistem pemutaran poros engkol pada 00C (320F).
f) Kapasitas dari sistem untuk memutarkan poros engkol secara hidraulik cukup untuk
start tiga kali pada kondisi sebagaimana dijelaskan dalam butir 8.2.5.3.2, harus
tersedia dan diatur sedemikian rupa sehingga operasi dari satu kontrol tunggal oleh
satu orang memungkinkan kapasitas cadangan dapat digunakan.
g) Semua kontrol harus digerakkan oleh sumber listrik arus searah 12 Volt atau 24 Volt
untuk mengakomodasi pemberhentian motor pada saat tekanan minyak pelumas
rendah, kecepatan lebih, dan tempertatur air pada selubung luar motor tinggi.
Pada saat terjadinya kegagalan semacam ini, sistem untuk memutarkan poros engkol
secara hidraulik harus menyediakan suatu “interlock” untuk mencegah motor
melakukan pemutaran poros engkol ulang. “Interlock” ini harus di reset secara manual
untuk kembali dapat distart setelah kegagalan motor diperbaiki.

8.2.5.4 Start dengan Udara.

8.2.5.4.1 Persyaratan yang Telah Ada.


Sebagai tambahan terhadap persyaratan dalam butir 8.1 sampai dengan butir 8.2.4.6,
8.2.5.1, 8.2.6 sampai dengan butir 8.6.2, 8.6.4 dan 8.6.5, peraturan berikut ini juga berlaku.

8.2.5.4.2 Sambungan Alat Kontrol Otomatik di Pabrik Pembuat.


Semua konduktor untuk alat kontrol otomatik harus di tata rapih atau tertutup secara
fleksibel, terpasang pada motor dan disambung dalam suatu kotak penyambung motor ke

57 dari 142
SNI 03-6570-2001

terminal yang diberi nomor sesuai dengan nomor terminal di alat kontrol. Persyaratan ini
harus memastikan siapnya sambungan di lokasi antara kedua pasang terminal.

8.2.5.4.3 Sinyal untuk Motor Sedang Berjalan dan Berhenti.


Motor harus dilengkapi dengan sakelar yang peka terhadap kecepatan untuk memberi sinyal
motor sedang berjalan dan berhenti. Daya dari sinyal ini diperoleh dari suatu sumber lain dari
kompresor motornya sendiri.

8.2.5.4.4* Pasokan Udara untuk Start.


8.2.5.4.4.1 Tabung penyimpan untuk pasokan udara ukurannya harus ditentukan cukup
untuk memutarkan poros engkol secara terus menerus tanpa pengisian ulang selama 180
detik. Harus disediakan terpisah, kompresor udara otomatik atau sarana memperoleh udara
dari beberapa sistem lain, tidak tergantung dari kompresor yang digerakkan oleh motor
pompa kebakaran. Alat pengamat yang cocok harus disediakan untuk menunjukkan kondisi
tekanan udara tinggi dan rendah.
8.2.5.4.4.2 Suatu bypass konduktor dengan katup manual atau sakelar harus dipasang
untuk mengalirkan udara langsung dari tabung penyimpanan udara ke motor starter pada
keadaan terjadinya kegagalan sirkit kontrol.

8.2.6 Pendinginan Motor.


8.2.6.1 Sistem pendinginan motor harus termasuk bagian dari rakitan motor dan harus
merupakan salah satu tipe sirkit tertutup berikut ini :
a) Tipe alat penukar kalor,
termasuk pompa sirkulasi yang digerakkan oleh motor, alat penukar kalor, dan satu
alat pengatur temperatur air pendingin motor.
b) Tipe radiator,
termasuk pompa sirkulasi yang digerakkan oleh motor, radiator, alat pengatur
temperatur air pendingin dan fan yang digerakkan oleh motor untuk pendinginan
radiator.

8.2.6.2 Air Pendingin dan Lubang Penutup untuk Pengisian.


Lubang harus disediakan di sirkit untuk pengisian air, memeriksa ketinggian permukaan air
pendingin bila diperlukan dan menambah air pendingin. Air pendingin harus memenuhi
rekomendasi dari pabrik pembuat motor.

8.2.6.3* Pasokan Air untuk Peralatan Penukar Kalor.

8.2.6.3.1 Pasokan.
Pasokan air pendingin untuk tipe sistem alat penukar kalor harus diambil dari pelepasan
pompa sebelum katup searah pompa.
Pipa kaku berulir harus digunakan untuk sambungan ini. Sambungan pipa pada arah aliran
harus dilengkapi dengan katup penutup manual yang diberi tanda, saringan dari jenis yang
dapat dibersihkan dan disetujui sebagai tambahan yang merupakan bagian dari katup
pengatur tekanan, katup pengatur tekanan, katup otomatik teruji ( dari klas untuk proteksi
kebakaran) dan katup penutup manual kedua yang bertanda. Suatu pengukur tekanan harus
dipasang di sistem pasokan air pendingin setelah katup manual terakhir di sisi motor.

58 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian:
Katup otomatik tidak diperlukan pada pompa turbin poros vertikal atau setiap pompa lainnya bila tidak ada
tekanan pada pelepasan jika pompa tidak bekerja.

8.2.6.3.2 Katup Pengatur Tekanan.


Katup pengatur tekanan harus cukup besar dan dari jenis yang memungkinkan dan dapat
mengatur untuk mengalirkan kurang lebih 120 persen air pendingin yang diperlukan bila
motor beroperasi pada daya kuda rem maksimum dan bila katup pengatur memasok air
dengan tekanan pompa yang memompa 150 persen dari kapasitas nominalnya. Aliran air
pendingin yang diperlukan harus diset berdasarkan air pendingin udara luar maksimum.

8.2.6.3.3 Katup Otomatik.


Katup otomatik harus memungkinkan aliran air pendingin mengalir ke motor bila sedang
berjalan.

8.2.6.4* Bypass Pasokan Air pada Peralatan Penukar Kalor.


Pipa bypass dengan katup manual, saringan yang dapat dibersihkan, dan suatu katup
pengatur tekanan, harus dipasang disekitar katup sekitar katup penutup manual, saringan,
pengatur tekanan dan katup otomatik.

8.2.6.5 Outlet Air Bekas dari Peralatan Penukar Kalor.


8.2.6.5.1 Outlet harus disediakan untuk saluran air bekas dari peralatan penukar kalor dan
saluran pelepasan harus tidak boleh lebih kecil dari satu ukuran lebih besar saluran inlet.
Saluran outlet harus sependek mungkin, harus menyediakan pelepasan ke dalam kerucut air
bekas terbuka yang dapat dilihat dan harus tidak mempunyai katup di dalamnya.
Pengecualian :
Diperkenankan untuk disalurkan ke reservoir hisap yang dilengkapi dengan pemasangan indikator aliran dan
temperatur yang dapat dilihat.
8.2.6.5.2 Bila pipa outlet air bekas lebih panjang dari 4,8 m (15 ft) dan /atau outlet
pelepasannya lebih tinggi 1,2 m (4 ft) dari peralatan penukar kalor, ukuran pipa harus
dinaikkan sedikitnya satu ukuran.

8.2.6.6 Radiator.
8.2.6.6.1 Panas dari sirkit utama radiator harus dikeluarkan oleh suatu fan yang termasuk
di dalamnya, dan digerakkan oleh motor. Radiator harus dirancang untuk membatasi
temperatur maksimum operasi motor dengan temperatur udara inlet 490C (1200F) pada inlet
alat pembersih udara pembakaran.
Radiator harus termasuk plambing ke motor dan flens pada sisi udara pelepasan untuk
sambungan dakting fleksibel dari sisi pelepasan ke ventilator udara pelepasan.
8.2.6.6.2 Fan harus mendorong udara melalui radiator untuk dikeluarkan dari ruangan
melalui ventilator pelepasan udara. Untuk menjamin aliran udara yang cukup melalui
ruangan dan radiator, paket radiator pendingin harus mampu mengatasi tahanan yang
disebabkan oleh kombinasi pasokan udara dan ventilator pelepasan sebesar 13 mm kolom
air (0,5 inch.w.g). Tahanan bagian luar ini merupakan tambahan pada radiator, pelindung fan
dan gangguan komponen motor lainnya. Fan harus dilindungi untuk ptoteksi orang.

59 dari 142
SNI 03-6570-2001

8.3* Pompa dan Proteksi Motor.

8.3.1 Pembuangan Air untuk Ruangan pompa.


Lantai atau permukaan disekitar pompa dan motor harus dibuat landai untuk mengalirkan
dengan baik air yang ke luar dari peralatan yang kritis, seperti pompa, motor, alat kontrol,
tangki bahan bakar dan sebagainya.

8.3.2* Ventilasi.
Ventilasi harus disediakan untuk fungsi berikut ini :
a) Mengontrol temperatur maksimum sampai 490C (1200F) pada inlet alat pembersih
udara pembakaran dengan motor berjalan pada beban nominal.
b) Udara pasok untuk pembakaran motor.
c) Mengeluarkan setiap uap yang berbahaya.
d) Memasok dan membuang udara sebagaimana diperlukan untuk pendinginan radiator
motor bila diperlukan.
Komponen sistem ventilasi harus dikoordinasikan dengan operasi motor.

8.3.2.1* Ventilator Pemasok Udara.


Ventilator pemasok udara harus dipertimbangkan termasuk segala sesuatu yang ada di
dalam jalur pasokan udara menuju ruangan. Jalur pasokan udara total ke ruangan pompa
tidak boleh menghambat aliran udara lebih besar dari 5,1 mm kolom air (0,2 inch w.g).

8.3.2.2* Ventilator Pelepasan Udara.


Ventilator pelepasan udara harus dipertimbangkan termasuk segala sesuatu dalam jalur
pelepasan udara dari ruangan. Ventilator pelepasan udara harus memungkingkan udara
yang cukup untuk ke luar dari ruangan pompa untuk memenuhi butir 8.3.2.
Untuk motor yang didinginkan dengan radiator, pelepasan radiator harus dihubungkan
dengan dakting ke udara luar sebagai suatu cara yang akan mencegah sirkulasi ulang.
Dakting harus dilekatkan pada radiator dengan menggunakan bagian yang fleksibel. Jalur
pelepasan udara untuk motor yang didinginkan dengan radiator, tidak boleh menghambat
aliran udara lebih dari 7,6 mm kolom air (0,3 inch w.g).
Pengecualian :
Dakting sirkulasi ulang yang dapat diterima untuk pengoperasian pada cuaca dingin yang menyediakan
persyaratan yang memenuhi sebagai berikut :
a) Aliran sirkulasi ulang udara diatur oleh damper yang dikontrol oleh termostatik.
b) Damper kontrol menutup penuh pada kegagalan moda.
c) Udara disirkulasai ulang dengan menggunakan dakting untuk mencegah sirkulasi ulang langsung
radiator.
d) Dakting sirkulasi ulang tidak akan menyebabkan temperatur pada inlet pembersih udara pembakaran naik
di atas 490C (1200F).

60 dari 142
SNI 03-6570-2001

8.4 Pasokan Bahan Bakar.

8.4.1 Tinjauan Perencanaan.


Sebelum sistem bahan bakar dipasang, perencanaan harus disiapkan dan diajukan kepada
instansi berwenang untuk disetujui tentang kesesuaian sistem untuk kondisi yang ada.

8.4.2 Pelindung.
Suatu pelindung atau pipa proteksi harus disediakan untuk semua jalur pipa bahan bakar
yang terbuka.

8.4.3* Kapasitas Tangki Bahan Bakar.


Tangki pemasok bahan bakar harus mempunyai kapasitas sedikitnya 5 liter/kW ditambah 5
persen volume untuk ekspansi dan 5 persen volume untuk pengurasan. Kapasitas tangki
yang lebih dapat dipersyaratkan dan harus ditentukan untuk mengatasi kondisi seperti siklus
pengisian ulang dan pemanasan bahan bakar karena sirkulasi ulang, serta harus terutama
untuk kondisi spesifik dalam setiap kasus. Tangki pasokan bahan bakar dan bahan bakar
harus dicadangkan untuk kebutuhan di luar kebutuhan untuk motor diesel pompa kebakaran.

8.4.4 Pompa Jamak.


Jalur pipa bahan bakar harus terpisah dan tangki bahan bakar juga terpisah untuk setiap
motor.

8.4.5* Lokasi Pasokan Bahan Bakar.


Tangki pasokan bahan bakar diesel harus diletakkan di atas tanah sesuai peraturan
setempat atau peraturan lainnya dan harus sesuai dengan persyaratan dari instansi
berwenang, serta tidak boleh di tanam. Sambungan pasokan bahan bakar motor (pipa hisap)
harus dipasang pada tangki sehingga 5 persen dari isi tangki merupakan sisa isi yang tidak
dapat digunakan oleh motor.
Pasokan bahan bakar harus diletakkan pada sisi tangki dimana pada taraf 5 persen
merupakan volume sisa. Inlet ke jalur pipa pasokan bahan bakar harus dipasang, sehingga
bukaannya tidak lebih rendah dari permukaan pompa pengisi bahan bakar. Batas tekanan
statik dari pompa bahan bakar yang dipasok oleh pembuat motor tidak boleh dilampaui bila
permukaan dari bahan bakar di dalam tangki pada keadaan maksimum. Pipa balik bahan
bakar harus dipasang sesuai rekomendasi pembuat motor. Di daerah di mana temperatur
dapat mencapai titik beku 00C (320F) tangki bahan bakar harus diletakkan di ruangan pompa.
Selainnya pipa untuk dapat melihat setiap tangki penyimpanan harus dilengkapi cara lain
untuk dapat menentukan jumlah bahan bakar di setiap tangki. Setiap tangki harus
mempunyai isi yang memadai, sambungan pipa pembuangan dan sambungan penghawaan.

8.4.6* Pemipaan Bahan Bakar.


Slang fleksibel yang tahan api, teruji untuk pelayanan ini, harus disediakan dekat motor
untuk sambungan ke sistem pemipaan bahan bakar.

8.4.7* Jenis Bahan Bakar.


Jenis dan tingkat dari bahan bakar diesel harus sesuai dengan yang ditentukan oleh
pembuat motor. Bahan bakar residu, minyak untuk pemanas tungku dan minyak pelumas
cair tidak boleh digunakan.

61 dari 142
SNI 03-6570-2001

8.4.8 Katup Solenoid Bahan Bakar.


Bilamana suatu katup solenoid listrik digunakan untuk mengatur pasokan bahan bakar
motor, harus mampu juga dioperasikan secara mekanikal manual atau secara manual di
bypass pada saat terjadinya kegagalan sirkit kontrol.

8.5 Saluran Pembuangan (Exhaust) Motor.

8.5.1 Pembuangan Bebas.


Setiap motor pompa harus mempunyai sistem pembuangan bebas.

8.5.2 Lokasi Pelepasan Pembuangan.


Pembuangan dari motor harus disalurkan ke titik yang aman di luar sehingga bebas air. Gas
pembuangan harus tidak dilepaskan di mana dapat mengganggu orang atau
membahayakan bangunan.

8.5.3* Pemipaan Pembuangan.


Suatu sambungan fleksibel yang tanpa klem atau di las berombak harus dibuat antara outlet
pembuangan motor dan pipa pembuangan. Pada pembuangan tidak boleh lebih kecil dari
outlet pembuangan motor dan harus sependek mungkin. Pipa pembuangan harus dilapisi
dengan isolasi temperatur tinggi atau dengan kata lain dilindungi untuk memproteksi agar
tidak melukai orang.
Pipa pembuangan dan peredam suara bila digunakan harus sesuai dengan tujuan
penggunaannya dan tekanan balik pembuangan tidak boleh melampaui rekomendasi
pembuat motor.
Pada pembuangan harus dipasang dengan jarak bebas paling sedikit 229 mm (9 inch) dari
bahan yang mudah terbakar.
Pengecualian 1:
Pipa pembuangan yang lewat langsung melalui atap yang mudah terbakar harus dilindungi pada titik yang dilalui
oleh selongsong metal berventilasi dan diperpanjang 229 mm (9 inch) di atas dan 229 mm (9 inch) di bawah
konstruksi atap dan tidak kurang dari 152 mm (6 inch) lebih besar dalam diameter terhadap pipa pembuangan.
Pengecualian 2:
Pipa pembuangan yang secara langsung lewat langsung melalui dinding mudah terbakar atau partisi, harus
dilindungi pada tempat yang dilalui dengan salah satu metoda di bawah ini:
a) Selongsong metal yang berventilasi dan diameternya tidak kurang dari 305 mm (12 inch) lebih besar dari
pipa pembuangan.
b) Selongsong metal atau keramik dipasang dengan susunan bata atau bahan lain yang disetujui dengan
syarat adanya isolasi tidak kurang dari 203 mm (8 inch) antara selongsong dan bahan konstruksi.
8.5.3.1 Sistem pembuangan harus berhenti di bagian luar bangunan pada titik di mana
gas panas, percikan atau produk hasil pembakaran yang dilepaskan tidak merusak.
8.5.3.2 Pemberhentian sistem pembuangan tidak boleh diarahkan langsung pada bahan
atau konstruksi yang mudah terbakar atau ke dalam atmosfer yang mengandung gas dan
uap yang dapat terbakar atau debu yang mudah terbakar.

62 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian:
Sistem pembuangan yang dilengkapi dengan peralatan penangkap percikan dibolehkan untuk berhenti di lokasi
sebagaimana diuraikan di SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

8.5.4 Manifol Pembuangan.


Manifol pembuangan harus dilengkapi cara untuk menghindari bahaya kepada operator atau
pada bahan mudah terbakar dekat motor.

8.6* Operasi Sistem Penggerak.

8.6.1 Menjalankan Setiap Minggu.


Motor harus dihidupkan tidak kurang seminggu sekali dan dijalankan tidak kurang 30 menit
untuk mencapai temperatur kerja normal. Motor ini harus jalan dengan tenang pada
kecepatan nominalnya.

8.6.2* Kinerja Sistem.


Motor harus dipertahankan tetap bersih, kering dan dilumasi dengan baik untuk menjamin
kinerja yang cukup.

8.6.3 Pemeliharaan Baterai.


8.6.3.1 Baterai harus tetap terisi setiap waktu. Baterai harus sering diuji untuk
menentukan kondisi dari sel baterai dan jumlah isi yang ada pada baterai.
8.6.3.2 Hanya air destilasi yang harus digunakan di dalam sel baterai. Platnya harus
selalu terendam setiap waktu.
8.6.3.3 Fasilitas otomatik dari alat pengisi baterai tidak dapat menggantikan pemelihara
an yang tepat dari baterai dan alat pengisinya. Pemeriksaan secara teratur harus dilakukan
untuk kedua-duanya. Pemeriksaan ini akan menentukan apakah alat pengisi bekerja dengan
benar, permukaan air di baterai benar, dan baterai menyimpan isi yang cukup.

8.6.4 Pemeliharaan Pasokan Bahan Bakar.


Tangki penyimpan bahan bakar harus dipertahankan tetap sepenuh mungkin pada setiap
waktu, tetapi tidak kurang dari 50 persen kapasitas tangki. Tangki harus selalu diisi dengan
cara yang dapat memastikan semua air dan bahan asing dapat tersingkir.

8.6.5* Pemeliharaan Temperatur.


Temperatur ruangan pompa, rumah untuk pompa atau ditempat di mana motor dipasang,
tidak boleh lebih rendah dari minimum yang direkomendasikan oleh pembuat motor. Suatu
alat pemasa air selubung motor (jacket) harus disediakan untuk mempertahankan
temperatur 490C (1200F). Rekomendasi dari pembuat motor untuk pemanas minyak harus
diikuti.

8.6.6 Menghidupkan dan Memberhentikan Secara Darurat.


Urutan untuk operasi darurat secara manual, diatur dengan cara langkah demi langkah,
harus dipasang dekat motor pompa kebakaran. Menjadi kewajiban dari pembuat motor untuk
mencatat setiap instruksi spesifik tentang operasi dari peralatan ini waktu dioperasikan
secara darurat.

63 dari 142
SNI 03-6570-2001

9 Alat Kontrol Menggerakkan Motor.

9.1 Aplikasi
Bab ini menentukan persyaratan untuk kinerja minimum alat kontrol otomatik dan tidak
otomatik dari motor diesel untuk pompa kebakaran yang digerakkan oleh motor diesel.
Alat perlengkapan seperti monitor alarm dan sarana memberi sinyal, termasuk bila perlu
untuk memastikan kinerja minimum dari alat tersebut diatas.

9.1.1 Umum
9.1.1.1 Semua alat kontrol harus secara spesifik teruji untuk pelayanan pompa
kebakaran yang digerakkan oleh motor diesel.
9.1.1.2 Semua alat kontrol harus lengkap terpasang dengan pengkabelan dan diuji oleh
pabrik pembuat sebelum dikapalkan dari pabrik.
9.1.1.3 Semua alat kontrol harus diberi tanda “Alat Kontrol Motor Diesel Pompa
Kebakaran” dan harus terlihat dengan jelas nama dari sipembuat, indentifikasi tujuan dan
“besaran” elektrikal secara lengkap. Bilamana banyak pompa melayani daerah berlainan
atau bagian dari fasilitas yang ditentukan, suatu tanda yang cocok harus dipasang secara
menyolok disetiap alat kontrol menunjukkan daerah, zona atau bagian dari sistem yang
dilayani oleh pompa atau alat kontrol pompa.
9.1.1.4 Adalah tanggung jawab dari pabrik pembuat pompa atau perwakilannya yang
ditunjuk untuk membuat susunan yang diperlukan guna pelayanan alat kontrol. Perwakilan
dari pabrik pembuat bila diperlukan harus melayani dan menyetel peralatan selama
dilakukan pemasangan, pengujian dan dalam masa jaminan.

9.2 Lokasi
9.2.1 Alat kontrol harus diletakkan sedekat mungkin pada motor yang dikontrol dan
harus terlihat dari motor.
9.2.2 Alat kontrol harus diletakkan atau terlindung demikian rupa sehingga tidak dapat
dirusakkan oleh air yang keluar dari pompa atau sambungan pompa. Bagian dari alat kontrol
yang membawa arus harus tidak boleh lebih kurang dari 305 mm (12 inch) diatas permukaan
lantai.
9.2.3 Daerah bebas untuk kerja disekitar alat kontrol harus sesuai SNI 04-0225-2000,
tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

9.3. Konstruksi

9.3.1* Peralatan
Semua peralatan harus cocok untuk digunakan dilokasi seperti besemen yang lembab,
dengan syarat tingkat uap airnya sedang. Keandalan operasi tidak terlalu dipengaruhi oleh
kumpulan debu normal.

9.3.2 Pemasangan
Semua peralatan yang tidak dipasang pada motor harus dipasang dengan cara yang cukup
baik pada struktur penumpu tunggal yang tidak dapat terbakar.

64 dari 142
SNI 03-6570-2001

9.3.3 Panel.

9.3.3.1* Pemasangan
Struktur atau panel harus dipasang dengan aman sesuai ketentuan yang berlaku. Bila
peralatan diletakkan di bagian luar atau berada dilingkungan khusus, panel bermutu yang
cocok harus digunakan.

9.3.3.2 Pembumian.
Panel harus dibumikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

9.3.4 Lemari yang Dapat Dikunci


Semua sakelar yang diperlukan untuk menyimpan alat kontrol dalam posisi otomatik harus
didalam lemari yang dapat dikunci dan memiliki panel kaca yang dapat dipecahkan.

9.3.5 Sambungan dan Pengkabelan

9.3.5.1 Pengkabelan di Lokasi.


Semua pengkabelan antara alat kontrol dan motor diesel harus menggunakan kabel
berserabut dan ukurannya ditentukan cukup membawa arus untuk pengisian atau arus
kontrol sebagaimana ditentukan oleh pabrik pembuat kontrol. Pengkabelan semacam ini
harus dilindungi terhadap kerusakan mekanikal. Spesifikasi dari pabrik pembuat alat kontrol
mengenai jarak dan ukuran kabel harus diikuti.

9.3.5.2 Elemen Pengkabelan


Elemen pengkabelan dan alat kontrol harus dirancang berdasarkan penggunaan secara
terus menerus.

9.3.5.3 Sambungan
Alat kontrol dari motor diesel pompa kebakaran tidak boleh digunakan sebagai kotak
sambungan untuk memasok peralatan lainnya. Konduktor pasokan listrik untuk pompa guna
mempertahankan tekanan (jockey atau make-up) harus tidak disambung ke alat kontrol
motor diesel pompa kebakaran.

9.3.6 Diagram Elektrikal dan Instruksi.


9.3.6.1 Diagram sambungan di lokasi harus disediakan dan di pasang secara tetap pada
bagian dalam dari panel.
9.3.6.2 Terminal sambungan di lokasi harus diberi tanda yang jelas berkaitan dengan
diagram sambungan di lokasi yang disediakan.
9.3.6.3 Untuk sambungan bagian luar motor, terminal sambungan di lokasi harus
dinomori sama antara kontrol dan terminal motor.

9.3.7 Penandaan.
Setiap komponen untuk operasi dari alat kontrol harus ditandai untuk menunjukkan secara
jelas suatu simbol indentifikasi yang tertera pada diagram skematik elektrikal. Tanda harus
diletakkan demikian rupa sehingga tetap terlihat setelah pemasangan.

65 dari 142
SNI 03-6570-2001

9.3.8* Instruksi
Instruksi yang lengkap meliputi cara mengoperasikan alat kontrol harus disediakan dan
terpasang dengan menyolok pada alat kontrol.

9.4 Komponen

9.4.1 Alarm dan Alat Sinyal pada Alat Kontrol.


9.4.1.1 Semua indikator alarm yang tampak harus dapat dilihat dengan jelas.
9.4.1.2* Semua indikator yang dapat dilihat harus disediakan untuk menunjukkan bahwa
alat kontrol berada dalam posisi otomatik. Bila indikator yang dapat dilihat ini suatu lampu
pilot, lampu ini harus mudah dijangkau untuk penggantian.
9.4.1.3 Indikator terpisah yang dapat dilihat serta alarm bunyi biasa yang dapat didengar
waktu motor sedang jalan dan dapat dioperasikan pada semua posisi dari sakelar utama
kecuali mematikan harus disediakan yang menunjukkan adanya penyebab gangguan berikut
ini :
a) Tekanan minyak rendah kritis di sistem pelumasan
Alat kontrol harus menyediakan sarana untuk menguji posisi dari kontak sakelar
tekanan tanpa menyebabkan gangguan alarm.
b) Temperatur cairan pendingin yang tinggi dari selubung motor.
c) Kegagalan dari motor untuk distart secara otomatik.
d) Diberhentikan karena kecepatan lebih.
e) Kegagalan baterai. Setiap alat kontrol harus dilengkapi dengan indikator yang dapat
dilihat dan terpisah untuk setiap baterai.
f) Kegagalan alat pengisi baterai
Setiap alat kontrol harus dilengkapi dengan indikator yang dapat dilihat dan terpisah
untuk setiap pengisi baterai yang gagal.
Pengecualian:
Alarm bunyi tidak diperlukan untuk pengisi baterai yang gagal.
g) Tekanan udara atau hidraulik yang rendah.
Bila udara atau hidraulik disediakan untuk start (lihat butir 8.2.5 dan 8.2.5.4), setiap
tangki tekanan harus disediakan pada alat kontrol indikator yang dapat dilihat dan
terpisah untuk menunjukkan tekanan rendah.
9.4.1.4 Sakelar untuk meredam alarm bunyi tidak diperkenankan, selainnya sakelar
utama alat kontrol untuk alarm sebagaimana dipersyaratkan di butir 9.4.1.3

9.4.2 Alarm dan alat Sinyal Jarak Jauh dari Alat Kontrol.
Bilamana ruangan pompa tidak selalu ditunggui, alarm audibel atau alarm dapat dilihat
mendapat daya dari sumber selain dari baterai untuk start motor dan tidak melampaui 220 V
harus disediakan pada tempat dimana selalau ada penjaganya. Alarm ini harus
menunjukkan hal berikut ini :
a) Motor sedang jalan (sinyal terpisah).

66 dari 142
SNI 03-6570-2001

b) Sakelar utama alat kontrol telah diputar dan berada pada posisi tidak jalan atau posisi
manual (sinyal terpisah).
c) Gangguan pada alat kontrol atau motor (terpisah atau sinyal bersamaan). (lihat butir
9.4.1.3)

9.4.3 Kontak Alat Kontrol Alarm untuk Indikasi Jarak Jauh.


Alat kontrol harus dilengkapi dengan kontak terbuka atau terturtup untuk mengoperasikan
sirkit yang kondisinya dicakup pada butir 9.4.2

9.4.4* Alat Pencatat Tekanan


Alat pencatat tekanan yang teruji harus dipasang untuk mengindera dan mencatat disetiap
saluran pengindera tekanan alat kontrol pompa kebakaran pada input ke alat kontrol. Alat
pencatat harus dapat beroperasi untuk paling sedikit 7 hari tanpa di reset atau diputar
kembali.
Elemen pengindera tekanan dari alat pencatat harus mampu menerima hentakan tekanan
tinggi sesaat sedikitnya 27,6 bar (400 psi) tanpa kehilangan ketelitiannya.
Alat pencatat tekanan harus digerakkan secara mekanis dengan pegas atau digerakkan
dengan cara elektrikal yang handal. Alat pencatat tekanan tidak harus hanya tergantung
pada daya listrik arus bolak balik sebagai sumber daya utamanya. Pada saat hilangnya daya
listrik arus bolak balik, alat pencatat yang digerakkan oleh listrik harus tetap dapat beroperasi
paling sedikit 24 jam.
Pengecualian:
Pada alat kontrol yang digerakkan tanpa tekanan, alat pencatat tekanan tidak disyaratkan.

9.4.5 Voltmeter
Voltmeter dengan ketelitian ± 5 persen harus disediakan untuk setiap kumpulan baterai
untuk menunjukkan tegangan selama dilakukan pemutaran poros engkol.

9.5* Start dan Kontrol

9.5.1 Otomatik dan Tidak Otomatik


9.5.1.1 Alat kontrol otomatik harus dapat juga beroperasi sebagai alat kontrol yang tidak
otomatik.
9.5.1.2 Sumber daya utama alat kontrol bukan daya listrik arus bolak balik.

9.5.2 Operasi Otomatik dari Alat Kontrol

9.5.2.1 Kontrol Tekanan Air


Sirkit kontrol harus disediakan dengan sakelar tekanan yang memiliki pangaturan kaliberasi
tinggi dan rendah yang independen. Tidak boleh digunakan penghambat tekanan atau orifis
pembatas didalam sakelar tekanan. Sakelar ini harus peka terhadap tekanan air di sistem
proteksi kebakaran. Elemen pengindera tekanan dari sakelar harus mampu menerima
hentakan tekanan tinggi sesaat minimum 27,6 bar (400 psi) tanpa kehilangan ketelitiannya.
Harus disediakan alat untuk mengurangi tekanan pada sakelar tekanan guna memungkinkan
pengujian operasi alat kontrol dan unit pemompaan {lihat gambar A.7.5.2.1 (a) dan (b)}.
Pengontrolan tekanan air harus sebagai berikut:

67 dari 142
SNI 03-6570-2001

a) Untuk semua instalasi pompa, termasuk pompa jockey, setiap alat kontrol harus
memiliki saluran pengindera tekanan tersendiri.
b) Sambungan saluran pengindera tekanan untuk setiap pompa termasuk pompa jockey,
harus dibuat antara katup searah pelepasan pompa dan katup kontrol pelepasan
pompa. Saluran ini harus dari pipa atau tabung brass, tembaga atau baja tahan karat
serie 300 dan fiting ukuran nominal 12,7 mm (½ inch). Dua katup searah harus
dipasang pada saluran pengindera tekanan paling tidak 1,6 m (5 ft) terpisah dengan
lobang 2,4 mm (3/32 inch) dibor di lidah katup (clapper) untuk berfungsi sebagai
damper (lihat gambar A.7.5.2.1 (a) dan (b).
Pengecualian No.1 :
Bila air bersih yang dipergunakan, union dengan diafragma tidak berkarat dibor dengan orifis 2,4 mm
(3/32 inch) dibolehkan untuk digunakan sebagai ganti katup searah.
Pengecualian No.2 :
Dalam alat kontrol yang digerakkan tanpa tekanan, sakelar tekanan tidak diperlukan.
c). Tidak ada katup penutup di saluran pengindera tekanan.
d). Gerakkan sakelar tekanan pada seting yang rendah akan mengawali urutan start
pompa, bila pompa belum beroperasi.

9.5.2.2 Kontrol Peralatan Proteksi Kebakaran


Bilamana pompa memasok peralatan kontrol air yang khusus (seperti katup banjir, katup
pipa kering, dan lain-lain) motor harus di start sebelum sakelar tekanan bekerja. Pada
kondisi demikian, alat kontrol harus dilengkapi dengan peralatan untuk start motor pada
pengoperasian peralatan proteksi kebakaran.

9.5.2.3 Kontrol Elektrikal Manual pada Stasiun Jarak Jauh


Stasiun kontrol tambahan yang dapat membuat operasi tidak otomatik, unit pompa bekerja
menerus, tidak tergantung dari sakelar tekanan, harus diperkenankan untuk disediakan pada
lokasi yang berjauhan dari alat kontrol.

9.5.2.4 Urutan Start Pompa


Alat kontrol setiap unit dari unit pompa jamak harus dilengkapi alat untuk mengurut star stop
guna mencegah motor start secara bersamaan. Setiap pompa yang memasok tekanan hisap
pompa yang lain harus diatur untuk start sebelum pompa yang dipasok.
Bila kebutuhan air memerlukan lebih dari satu unit pemompaan beroperasi, unit-unit harus
start pada selang waktu 5 sampai 10 detik. Kegagalan dari motor yang memimpin untuk
start, harus tidak mencegah motor berikutnya untuk start.

9.5.2.5 Sirkit Luar di Sambungkan ke Alat Kontrol


Dengan unit pemompaan beroperasi tunggal atau paralel konduktor kontrol masuk atau ke
luar alat kontrol pompa kebakaran dan diteruskan ke luar ruangan pompa kebakaran harus
diatur sedemikian rupa sehingga mencegah terjadinya kegagalan untuk start akibat suatu
kesalahan. Kerusakan, terputus, hubungan singkat dari kabel atau kehilangan daya pada
sirkit ini dapat menyebabkan pompa kebakaran berjalan secara terus menerus, tetapi tidak
boleh mencegah alat kontrol untuk menstart pompa kebakaran oleh sebab-sebab lain dari

68 dari 142
SNI 03-6570-2001

pada kerusakan sirkit luar ini. Semua konduktor kontrol didalam ruangan pompa yang tidak
di tolerir adanya kesalahan harus dilindungi terhadap kerusakan mekanikal.

9.5.2.6 Pasokan Pompa Tunggal


Mematikan pompa harus dilaksanakan secara manual atau otomatik.
Pengecualian:
Mematikan pompa secara otomatik tidak diperkenankan apabila pompa merupakan satu-satunya sumber air
untuk memasok sprinkler kebakaran atau sistem pipa tegak atau dimana instansi berwenang menentukan cara
mematikan secara manual.

9.5.2.7 Alat Pengatur Waktu untuk Program Mingguan.


Untuk memastikan keandalan operasi motor dan alat kontrolnya, alat kontrol dari peralatan
harus diatur untuk start secara otomatik dan menjalankan motor paling sedikit 30 menit
seminggu sekali. Harus ada sarana didalam alat kontrol untuk dapat secara manual
menghentikan pengujian mingguan bila syarat minimum 30 menit telah terlampaui. Katup
solenoid pembuangan pada saluran kontrol tekanan harus bekerja lebih dulu.
Kinerja alat pengatur waktu program mingguan harus tercatat sebagai indikasi turunnya
tekanan pada alat pencatat tekanan (lihat butir 9.4.4).
Pengecualian :
Pada alat kontrol yang tidak digerakkan oleh tekanan, pengujian mingguan harus diperkenankan di awali dengan
sarana selain dari katup selenoid.

9.5.3 Operasi Tidak Otomatik dari Alat Kontrol


9.5.3.1 Harus ada sakelar yang dioperasikan secara manual pada panel kontrol. Sakelar
ini harus diatur sedemikian rupa sehingga operasi dari motor, bila di start secara manual,
tidak dapat dipengaruhi oleh sakelar tekanan. Alat kontrol ini harus menjaga unit tetap
beroperasi sampai dilakukan penghentian secara manual.
Kegagalan dari salah satu sirkuit otomatik harus tidak mempengaruhi operasi secara
manual.

9.5.3.2 Pengujian Manual


Alat kontrol harus diatur untuk start motor secara manual dengan membuka katup selenoid
pembuangan bila diprakarsai demikian oleh operator.

9.5.4 Susunan Peralatan Start.


Persyaratan untuk susunan peralatan start harus sebagai berikut :
a) Dua unit baterai, masing-masing memenuhi persyaratan butir 8.2.5.2, harus disediakan
dan disusun sedemikian sehingga start manual dan otomatik dari motor dapat
dilaksanakan dengan salah satu dari unit baterai ini. Arus start harus disediakan oleh
baterai yang pertama dan berikutnya oleh yang satu lagi dengan operasi bergantian
untuk menstart. Pemindahan harus dilakukan secara otomatik, kecuali untuk start
manual.
b) Pada kejadian motor tidak dapat di start setelah siklus usaha untuk men-start selesai,
alat kontrol harus menghentikan semua pemutaran poros engkol lebih lanjut dan

69 dari 142
SNI 03-6570-2001

mengoperasikan indikator yang dapat dilihat dan alarm bunyi pada alat kontrol. Siklus
usaha untuk start harus ditentukan dan harus terdiri dari enam perioda pemutaran
poros engkol yang lamanya kurang lebih 15 detik per perioda, diselingi 5 perioda
istirahat selama kurang lebih 15 detik per pperioda .
c) Pada kejadian salah satu dari baterai tidak dapat dioperasikan atau tidak terpasang,
kontrol harus terhubung pada unit baterai yang masih ada.

9.5.5 Metoda untuk Memberhentikan

9.5.5.1 Menghentikan Elektrik secara Manual


Menghentikan secara manual harus dilakukan dengan salah satu cara berikut ini:
a) mengoperasikan dari sakelar utama didalam alat kontrol.
b) mengoperasikan tombol stop pada bagian luar dari penutup alat kontrol. Tombol stop
harus menyebabkan motor berhenti melalui sirkit otomatik hanya jika semua penyebab
start telah dikembalikan pada posisi normal. Alat kontrol harus dikembalikan ke posisi
otomatik penuh

9.5.5.2 Menghentikan Otomatik Setelah Start Otomatik


Persyaratan untuk menghentikan otomatik setelah start otomatik harus sebagai berikut:
a) Bila alat kontrol dipasang untuk menghentikan motor secara otomatik, alat kontrol
harus menghentikan motor hanya bila semua penyebab start telah kembali pada posisi
normal dan 30 menit waktu beroperasi telah dilewati.
b) Bila alat kecepatan lebih motor beroperasikan, alat kontrol harus melepas daya dari
alat-alat yang menjalankan motor, mencegah putaran poros engkol lebih lanjut,
menyalakan alarm kecepatan lebih dan mengunci hingga di reset secara manual.
Reset dari sirkit kecepatan lebih diperlukan pada motor dan dengan mereset pada
sakelar utama dari alat kontrol ke posisi berhenti.
c) Motor harus tidak boleh berhenti otomatik pada temperatur air tinggi atau tekanan
minyak rendah, bila terjadi salah satu penyebab start. Bila tidak ada penyebab start
selama pengujian motor, menghentikan motor dibolehkan.
d) Alat kontrol harus tidak mampu untuk di reset sebelum alat untuk menghentikan
kecepatan lebih dari motor di reset secara manual.

9.5.6 Kontrol Darurat


Sirkit kontrol otomatik, kegagalan sirkit tersebut yang dapat mencegah start dan berjalannya
motor, harus dapat di bypass selama menstart dan menjalankan secara manual.

9.6 Alat Kontrol Menstart Motor Menggunakan Udara

9.6.1 Persyaratan yang Telah Ada


Sebagai tambahan pada persyaratan di butir 9.1 dan 9.1.1.1, 9.1.1.4 sampai dengan 9.3.4,
9.3.8, butir 9.5 sampai dengan 9.5.2.1 (b), 9.5.2.4, 9.5.2.7 dan 9.5.5.2 sampai dengan 9.5.5,
sub bagian berikut ini berlaku.

70 dari 142
SNI 03-6570-2001

9.6.2 Perakitan dan Pengujian


Semua alat kontrol harus dirakit secara lengkap dan diuji oleh pembuat sebelum dikirim dari
pabrik.

9.6.3 Penandaan.
Semua alat kontrol harus diberi tanda “Alat Kontrol Motor Diesel Pompa Kebakaran” dan
harus terlihat dengan jelas nama dari sipembuat, indentifikasi tujuan dan rating lengkap.
Bilamana pompa jamak yang disediakan melayani daerah yang berlainan atau bagian dari
fasilitas, tanda yang cocok harus dipasang secara menyolok disetiap alat kontrol untuk
menujukkan daerah, zona atau bagian dari sistem yang dilayani oleh pompa atau alat kontrol
pompa.

9.6.4 Sambungan

9.6.4.1 Sambungan di Lokasi.


Semua konduktor dari panel ke motor dan penunjang starter harus mempunyai kapasitas
pengaliran arus yang cukup. Konduktor semacam itu harus dilindungi terhadap kerusakan
mekanikal. Spesifikasi dari pembuat alat kontrol untuk jarak dan ukuran konduktor harus
diikuti.

9.6.4.2 Elemen Konduktor


Elemen konduktor dari alat kontrol harus dirancang untuk dapat dioperasikan ber dasarkan
kerja terus menerus.

9.6.5 Diagram Sirkit dan Instruksi


Diagram sirkuit harus disediakan dan dipasang secara tetap pada bagian dalam dari
penutup, memperlihatkan sirkit yang tepat untuk alat kontrol, termasuk mengindentifikasikan
nomor dari komponen individual. Semua terminal sirkit harus ditandai dengan jelas dan
secara umum dan diberi nomor sesuai dengan diagram sirkit yang tersedia.
Untuk sambungan luar motor, plat sambungan harus dinomori secara umum.

9.6.6 Penandaan.
Setiap komponen dari alat kontrol harus diberi tanda untuk menunjukkan dengan jelas nomor
indentifikasi berdasarkan referensi pada diagram sirkit. Tanda harus diletakkan demikian
rupa sehingga masih tampak dengan jelas setelah pemasangan.

9.6.7 Alat Alarm dan Sinyal pada Alat Kontrol


9.6.7.1 Indikator yang dapat dilihat harus disediakan untuk mengindikasikan bahwa alat
kontrol berada pada posisi otomatik. Indikator tersebut harus mudah terlihat dan dijangkau
untuk penggantian.
9.6.7.2 Indikator terpisah yang dapat dilihat dan alarm bunyi yang umum harus
disediakan untuk menunjukkan adanya gangguan yang disebabkan oleh kondisi berikut ini.
a) Tekanan minyak rendah kritis di sistem pelumasan. Alat kontrol harus menyediakan
sarana untuk menguji posisi dari kontak sakelar tekanan tanpa menyebabkan alarm
gangguan.
b) Temperatur cairan pendingin yang tinggi dari selubung motor

71 dari 142
SNI 03-6570-2001

c) Kegagalan dari motor untuk di start secara otomatis


d) Diberhentikan karena kecepatan lebih
e) Tekanan udara rendah. Tabung pasokan udara harus disediakan dengan indikator
terpisah dapat dilihat untuk menunjukkan tekanan udara rendah.
9.6.7.3 Sakelar atau katup untuk meredam alarm bunyi tidak diperkenankan, selain
sakelar atau katup utama untuk alarm pada butir 9.6.7.2.
9.6.7.4 Bilamana alarm bunyi untuk kondisi sebagaimana tercantum didalam butir A.2.18
termasuk alarm motor yang ditentukan didalam butir 9.6.7.2, sakelar atau katup peredam
untuk alarm bunyi pada butir A.2.18 harus disediakan pada alat kontrol. Sirkit harus diatur
sedemikian rupa sehingga alarm bunyi akan diaktipkan bila sakelar atau katup peredam
dalam posisi diam apabila kondisi yang diamati normal.

9.6.8 Alarm untuk Penunjukan Jarak Jauh


Alat kontrol harus dilengkapi untuk mengoperasikan sirkuit penunjukkan jauh dari kondisi
tercakup di butir 9.4.13 dan butir 9.4.2.a) sampai dengan c).

9.6.9* Alat Pencatat Tekanan


Alat pencatat tekanan yang teruji harus dipasang untuk mengindera dan mencatat tekanan
pada setiap saluran pengindera tekanan alat kontrol pompa kebakaran pada input menuju
alat kontrol. Alat pencatat harus mampu beroperasi untuk paling sedikit 7 jam tanpa di reset
atau diputar kembali. Elemen pengindera tekanan dari alat pencatat harus mampu menerima
hentakan tekanan tinggi sesaat sedikitnya 27,6 bar (400 psi) tanpa kehilangan ketelitiannya.
Alat pencatat tekanan harus digerakkan secara mekanis dengan pegas atau digerakkan
dengan sarana elektrikal yang handal. Alat pencatat tekanan tidak boleh tergantung pada
satu-satunya daya listrik arus bolak balik.
Pada saat terputusnya daya listrik arus bolak balik, alat pencatat yang digerakkan oleh listrik
harus mampu tetap beroperasi paling sedikit 24 jam.
Pengecualian:
Pada alat kontrol yang digerakkan tanpa tekanan, alat pencatat tekanan tidak disyaratkan.

9.6.10 Kontrol Peralatan Proteksi Kebakaran


Bilamana pompa memasok air pada peralatan khusus, (seperti katup banjir, katup pipa
kering) motor harus di start sebelum katup atau sakelar yang digerakkan dengan tekanan
dioperasikan. Pada kondisi demikian alat kontrol harus dilengkapi dengan peralatan untuk
menstart motor pada saat peralatan proteksi kebakaran dioperasikan.

9.6.11 Kontrol Manual pada Stasiun Jarak Jauh


Stasiun kontrol tambahan untuk menyebabkan operasi terus menerus dari unit pemompaan
tidak otomatik, tidak terikat pada katup atau sakelar kontrol yang digerakkan oleh tekanan,
dapat disediakan pada lokasi yang jauh dari alat kontrol. Stasiun demikian tidak dapat
dioperasikan untuk memberhentikan unit kecuali melalui operasi tertentu dari sirkit pengatur
waktu perioda berjalan bilamana alat kontrol diatur untuk berhenti secara otomatik (lihat butir
9.5.4.2).

72 dari 142
SNI 03-6570-2001

9.6.12 Sirkit Luar di Sambung pada Alat Kontrol.


Dengan unit pemompaan yang beroperasi tunggal atau paralel, konduktor kontrol yang
masuk atau ke luar dari alat kontrol pompa kebakaran dan yang diteruskan ke luar ruangan
pompa kebakaran, harus diatur demikian rupa sehingga mencegah terjadinya kegagalan
untuk start yang disebabkan oleh adanya kesalahan. Kerusakan, pemutusan, hubung
singkat dari kabel atau hilangnya daya pada sirkit ini, dapat menyebabkan berjalannya
pompa kebakaran secara terus menerus, tetapi tidak mencegah alat kontrol dari menstart
pompa kebakaran disebabkan karena sebab-sebab lain dari pada sirkit bagian luar ini.
Semua konduktor kontrol didalam ruangan pompa yang tidak ditolerir adanya kesalahan
harus dilindungi terhadap kerusakan mekanikal.

9.6.13 Pasokan Pompa Tunggal.


Untuk sistem sprinkler atau pipa tegak dimana kontrol otomatik unit pemompaan merupakan
pasokan satu-satunya, alat kontrol harus diatur untuk memberhentikan secara manual.
Memberhentikan secara manual harus juga disediakan bilamana disyaratkan oleh instansi
berwenang.

9.6.14 Kontrol Manual pada Alat Kontrol


Katup atau sakelar yang dioperasikan secara manual harus dilengkapi pada panel alat
kontrol. Katup atau sakelar ini harus diatur demikian rupa sehingga operasi dari motor, bila di
start secara manual, tidak dapat dipengaruhi oleh sakelar tekanan. Susunan ini harus juga
menyebabkan unit tetap beroperasi sampai diberhentikan secara manual.

9.6.15 Susunan Peralatan Start


Persyaratan untuk susunan peralatan start harus sebagai berikut :
a) Tabung pasokan udara, memenuhi persyaratan butir 8.2.5.4.4, harus disediakan dan
diatur demikian rupa sehingga menstart motor secara manual dan otomatik dapat
dilaksanakan.
b) Pada keadaan dimana motor tidak dapat start setelah siklus (cycle) usaha untuk
menstartnya selesai, alat kontrol harus menghentikan semua pemutaran poros engkol
lebih lanjut dan mengoperasikan alarm bunyi dan tampak. Siklus usaha untuk
menstart harus ditentukan dan terdiri dari satu perioda pemutaran poros engkol selama
kurang lebih 90 detik.

9.6.16 Menghentikan secara Manual


Menghentikan secara manual dapat dilaksanakan dengan salah satu cara berikut ini :
a) Mengoperasikan katup atau sakelar penutup pada panel alat kontrol.
b) Mengoperasikan katup atau sakelar penutup pada bagian luar dari penutup alat
kontrol. Katup penutup harus menyebabkan motor berhenti melalui sirkit otomatik
hanya bila sebab-sebab menstart telah dikembalikan pada posisi normal. Aksi ini harus
mengembalikan alat kontrol pada posisi otomatik.

73 dari 142
SNI 03-6570-2001

10 Penggerak Turbin Uap

10.1 Umum

10.1.1 Hal Yang Dapat Diterima


10.1.1.1 Turbin uap dengan daya yang cukup dapat diterima sebagai penggerak utama
untuk menggerakkan pompa kebakaran. Keandalan dari turbin ini harus sudah terbukti di
pekerjaan komersial.
10.1.1.2 Turbin uap ini harus disambung langsung pada pompa kebakaran.

10.1.2 Kapasitas Turbin


10.1.2.1 Untuk tekanan ketel uap tidak melampui 8 bar (120 psi), turbin harus mampu
menggerakkan pompa pada kecepatan nominalnya dan beban pompa maksimum dengan
tekanan pada throttle turbin serendah 5,5 bar (80 psi) apabila melakukan pembuangan
(exhausting) pada tekanan balik atmosfir dengan katup tangan terbuka.
10.1.2.2 Pada tekanan ketel uap melampaui 8 bar (120 psi), dimana uap dipertahankan
terus menerus, tekanan 70 persen dari tekanan yang digunakan ketel uap harus dapat
menggantikan tekanan 5,5 bar (80 psi) yang dipersyaratkan pada butir 10.1.2.1.
10.1.2.3 Pada pemesanan turbin untuk pompa kebakaran yang dipasang tetap, pembeli
harus menentukan besaran dan beban pompa maximum pada kecepatan nominal, tekanan
ketel uap, tekanan uap throttle turbin (bila mungkin) dan uap panas lanjut (superheat)

10.1.3 Konsumsi Uap


Pertimbangan seksama harus dilakukan pada pemilihan turbin yang mempunyai konsumsi
uap total setaraf dengan pasokan uap yang tersedia. Bila turbin bertingkat banyak
digunakan, turbin ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga pompa dapat mencapai
kecepatannya tanpa memerlukan waktu pemanasan.

10.2 Turbin

10.2.1 Rumah Turbin dan Bagian Lainnya


10.2.1.1* Rumah turbin harus dirancang sehingga memungkinkan bagian atau
pemipaannya dilepas.
10.2.1.2 Katup pengaman harus disambungkan langsung ke rumah turbin untuk
melepaskan tekanan uap tinggi didalam rumah turbin.
10.2.1.3 Katup penghambat (throttle) utama harus diletakkan pada jalur pipa horisontal
disambungkan langsung pada turbin. Harus ada saluran air pada sisi pasok katup
penghambat. Saluran ini harus disambungkan ke perangkap uap (steam trap) yang cocok
untuk secara otomatik membuang semua kondensat dari jalur pasokan uap ke turbin. Pipa
uap dan kamar pembuangan (exhaust chambers) harus dilengkapi dengan saluran
pembuangan kondensat yang cocok. Apabila turbin ini dikontrol secara otomatik, saluran
pembuangan ini harus dilepas melalui perangkap yang memadai. Sebagai tambahan bila
saluran pembuangan (exhaust) dilepas vertikal, harus ada saluran pembuangan terbuka
pada elbow bagian bawah.
Saluran pembuangan ini tidak boleh dilengkapi dengan katup, tetapi harus dilepas ke lokasi
yang aman.

74 dari 142
SNI 03-6570-2001

10.2.1.4 Kamar nozel, rumah katup governor, pengatur tekanan dan bagian-bagian lain
yang dilewati oleh uap harus dibuat dari bahan metal tahan terhadap temperatur maksimum
terkait.

10.2.1 Governor Kecepatan


10.2.2.1 Turbin uap harus dilengkapi dengan perangkat governor kecepatan untuk dapat
mempertahankan kecepatan nominalnya pada beban pompa maksimum. Governor harus
mampu mempertahankan kecepatan nominal di dalam rentang total kurang lebih 8 persen
dari mulai turbin tak berbeban sampai beban nominal penuh turbin, dengan salah satu
metoda berikut ini:
a) Dengan tekanan uap normal dan dengan katup tangan tertutup.
b) Dengan tekanan uap turun sampai 5,5 bar (80 psi) [atau turun sampai 70 persen dari
tekanan penuh apabila kelebihan dari tekanan sebesar 8 bar (120 psi)] dan dengan
katup tangan terbuka.
10.2.2.2 Selagi turbin berjalan pada beban nominal pompa, governor kecepatan harus
mampu melakukan pengaturan untuk kecepatan yang aman kurang lebih 5 persen di atas
dan 5 persen di bawah kecepatan nominal pompa.
10.2.2.3 Harus juga disediakan alat governor darurat yang independen. Governor ini
harus disusun untuk menutup pasokan uap pada kecapatan turbin kurang lebih 20 persen
lebih tinggi dari kecepatan nominal pompa.

10.2.3 Pengukur dan Sambungan Pengukur


10.2.3.1 Pengukur tekanan uap teruji harus disediakan pada sisi masukan dari governor
kecepatan. Pipa 6,4 mm (¼ inch) untuk sambungan pengukur harus disediakan pada kamar
nozel dari turbin.
10.2.3.2 Pengukur harus menujukkan tekanan tidak kurang dari satu setengah kali
tekanan ketel uap, dan dalam hal ini tidak kurang dari 16 bar (240 psi). Pengukur harus
diberi tanda “UAP”.

10.2.4 Rotor
Rotor dan turbin harus dari bahan yang cocok. Unit rotor yang dirancang untuk pertama kali
harus tipe yang diuji di bengkel pabrik pembuat pada 40 persen diatas kecepatan nominal.
Semua unit berikutnya dari rancangan yang sama harus diuji pada 25 persen diatas
kecepatan nominal.

10.2.5 Poros
10.2.5.1 Poros dari turbin harus dari baja bermutu tinggi, seperti baja karbon dapur
terbuka atau baja nikkel.
10.2.5.2 Apabila pompa dan turbin dirakit sebagai unit independen, kopling fleksibel harus
disediakan antara kedua unit.
10.2.5.3 Bila rotor menggantung digunakan, poros untuk unit kombinasi harus dibuat
dalam satu bagian dengan hanya dua bantalan.
10.2.5.4 Kecepatan kritis dari poros harus jauh diatas kecepatan tertinggi dari turbin
sehingga turbin yang akan beroperasi pada semua kecepatan sampai 120 persen dari
kecepatan nominalnya tanpa menimbulkan getaran yang mengganggu.

75 dari 142
SNI 03-6570-2001

10.2.6 Bantalan
Turbin yang mempunyai bantalan bentuk selongsong (sleeve) harus mempunyai tipe
bantalan terpisah terdiri atas rumah dan tutup (shell and cap).
Pengecualian:
Turbin yang mempunyai bantalan bola dapat diterima setelah terbukti mempunyai catatan memuaskan
dikalangan komersial. Sarana harus disediakan untuk memberi indikasi tampak dari permukaan minyak.

10.3* Instalasi
Perincian dari pasokan uap, pembuangan, dan pengisian ketel uap harus direncanakan
secara hati-hati untuk menyediakan operasi yang handal dan effektif dari pompa kebakaran
yang digerakkan oleh turbin uap.

11 Uji Serah Terima, Kinerja dan Pemeliharaan.

11.1 Uji Hidrostatik dan Pembilasan.


11.1.1 Pemipaan hisap dan pelepasan, harus diuji secara hidrostatik pada tekanan tidak
kurang dari 13,8 bar (200 psi) atau pada tekanan melebihi 3,4 bar (50 psi) dari tekanan
maksimum di sistem yang harus dipertahankan, digunakan yang mana yang lebih besar.
Tekanan harus dipertahankan selama 2 jam.
11.1.2 Pemipaan hisap harus dibilas pada laju aliran tidak kurang dari yang tertera di
tabel 11.1.2 (a) dan (b) atau pada kebutuhan nominal yang dihitung secara hidrolik dari
sistem, digunakan yang mana yang lebih besar.
Tabel 11.1.2 (a) Laju Aliran Untuk Pompa Yang Dipasang Tetap.
Ukuran Pipa Besarnya Aliran Ukuran Pipa Besarnya Aliran
mm liter/min Inch Gpm
100 2.233 4 590
125 3.482 5 920
150 5.148 6 1.360
200 8.895 8 2.350
250 13.891 10 3.670
300 20.023 12 5.290

Tabel 11.1.2 (b) Laju Pembilasan Untuk Pemipaan* Hisap


Ukuran Pipa Besarnya Aliran Ukuran Pipa Besarnya Aliran
mm liter/min Inch Gpm
40 385 1½ 100
50 962 2 250
80 1.540 3 400
100 1.732 4 450
150 1.925 6 500
* untuk pompa langkah positip.
11.1.3 Kontraktor yang memasang harus menyediakan sertifikat pengujian sebelum
menjalankan pompa kebakaran untuk uji serah terima di lokasi.

76 dari 142
SNI 03-6570-2001

11.2 Uji Serah Terima di Lokasi.


Pabrik pembuat pompa, pabrik pembuat motor (bila dipasok), pabrik pembuat alat kontrol,
dan pabrik pembuat sakelar pemindahan (bila dipasok) atau perwakilan yang ditunjuk harus
menghadiri uji serah terima di lokasi (lihat butir 1.6).
11.2.1 Semua pengkabelan listrik untuk pompa kebakaran, termasuk pengkabelan
bagian dalam kontrol (pompa jamak), pasokan daya darurat, dan pompa jockey, harus
dilengkapi dan diperiksa oleh kontraktor listrik sebelum menjalankannya untuk pertama kali
dan uji serah terima .
11.2.2* Instansi berwenang harus diberitahu tentang waktu dan tempat bila dan dimana
akan diadakan uji serah terima di lokasi.
11.2.3 Salinan kurva karakteristik pengujian pompa yang disahkan pabrik pembuat
pompa harus tersedia untuk dibandingkan dengan hasil uji serah terima di lokasi. Pompa
kebakaran yang terpasang kinerjanya harus sama dengan yang tertera di kurva karakteristik
pengujian yang disahkan pabrik pembuat dalam batasan ketelitian dari peralatan penguji.
11.2.4 Pompa kebakaran harus dapat bekerja pada beban minimum, nominal dan
penuh tanpa pemanasan berlebihan yang mengganggu setiap komponen.
11.2.5 Getaran pada rakitan pompa kebakaran harus tidak terlalu besar untuk menjamin
kerusakan potensial untuk setiap komponen pompa kebakaran.

11.2.6* Prosedur Uji Serah Terima di Lokasi.

11.2.6.1* Peralatan Pengujian


Peralatan pengujian harus disediakan untuk menentukan tekanan neto pompa, laju aliran
yang melalui pompa, Volt dan Amper dari motor listrik yang menggerakkan pompa dan
kecepatannya.

11.2.6.2 Pengujian Aliran


11.2.6.2.1* Beban minimum, nominal dan puncak dari pompa kebakaran harus ditentukan
dengan mengontrol kuantitas air yang dilepas melalui alat penguji yang disetujui.
Pengecualian :
Bila pasokan hisap yang tersedia tidak mengijinkan mengalirnya 150 persen dari kapasitas nominal pompa,
pompa kebakaran harus dioperasikan pada pelepasan maksimum yang diperkenankan untuk menentukan
penerimaan- nya. Kapasitas yang dikurangi ini harus tidak merupakan pengujian yang ditolak.
11.2.6.2.2 Aliran pompa untuk pompa langkah positip harus diuji dan ditentukan untuk
memenuhi kriteria kinerja nominal sesuai spesifikasi. Satu titik kinerja disyaratkan untuk
menentukan pompa langkah positip yang dapat diterima.

11.2.6.3* Prosedur Pengukuran


Kuantitas air yang dilepas dari rakitan pompa kebakaran harus ditentukan dan distabilkan.
Segara setelah itu harus diukur kondisi operasi dari pompa kebakaran dan penggeraknya.
Pompa konsentrat busa harus diperkenankan untuk diuji dengan air, bagaimanapun, laju
aliran air dapat lebih rendah dari laju aliran busa yang diharapkan, hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan viskositas.

77 dari 142
SNI 03-6570-2001

11.2.6.3.1 Pengujian aliran pompa untuk pompa langkah positip harus dilaksanakan
menggunakan meter aliran atau plat orifis yang dipasang di belakang lup untuk tanki
konsentrat busa atau di sisi inlet dari pompa air.
Pembacaan meter aliran atau tekanan pelepasan harus dicatat dan harus sesuai data kinerja
aliran dari pabrik pembuat pompa. Bila digunakan plat orifis, ukuran orifis dan tekanan
pelepasan yang berkaitan dipertahankan pada sisi hulu dari pelat orifis harus disediakan
untuk instansi berwenang. Laju aliran harus sesuai spesifikasi saat dioperasikan pada
tekanan sistem yang dirancang. Pengujian harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
11.2.6.3.2 Untuk motor listrik dioperasikan pada tegangan dan frekuensi nominal,
kebutuhan amper harus tidak melampaui produk perkalian dari amper beban panuh nominal
dikalikan dengan faktor pelayanan yang diperkenankan sebagaimana tertera di plat nama.
11.2.6.3.3 Untuk motor listrik dioperasikan pada tegangan yang bervariasi, produk dan
tegangan aktual dan kebutuhan arus harus tidak melampaui produk dari tegangan nominal
dan arus beban penuh nominal dikalikan factor pelayanan yang diperkenankan. Tegangan
pada motor tidak boleh bervariasi lebih dari 5 persen dibawah atau 10 persen diatas
tegangan nominal (plat nama) pada waktu pengujian (lihat butir 6.4).
11.2.6.3.4 Unit yang digerakkan dengan motor harus tidak memperlihatkan tanda adanya
beban lebih atau adanya tegangan (stress). Governor dari unit semacam ini harus di set
pada waktu diuji untuk mengatur dengan baik kecepatan motor pada kecepatan nominal
pompa (lihat 8.2.4.1).
11.2.6.3.5 Turbin uap harus mempertahankan kecepatannya dalam batas sebagaimana
ditentukan di butir 10.2.2.
11.2.6.3.6 Perakitan penggerak roda gigi harus beroperasi tanpa menimbulkan suara,
getaran atau panas berlebihan yang mengganggu.

11.2.6.3.7 Pengujian Start dengan Beban


Unit pompa kebakaran harus di start dan dinaikkan kecepatannya hingga mencapai
kecepatan nominal tanpa interupsi pada kondisi dari pelepasan sama dengan beban puncak.

11.2.6.5* Pengujian Fasa Terbalik


Untuk motor listrik, pengujian harus dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi
fasa terbalik di konfigurasi pasokan normal ataupun dari pasokan daya pengganti (dimana
disediakan).

11.2.7 Uji Serah Terima Alat Kontrol.


11.2.7.1* Alat kontrol dari pompa kebakaran harus diuji sesuai dengan prosedur pengujian
yang direkomendasi oleh pabrik pembuat. Minimum, harus tidak kurang dari 6 kali
pengoperasian otomatik dan enam kali pengoperasian manual harus dilakukan selama uji
serah terima.
11.2.7.2 Penggerak pompa kebakaran harus dioperasikan untuk perioda tudak kurang
dari 5 menit pada kecepatan penuh selama setiap pengoperasian seperti dipersyaratkan di
butir 11.2.6.

78 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pengecualian:
Penggerak motor tidak disyaratkan untuk berjalan 5 menit pada beban penuh antara start berturut-turut sampai
waktu start berturut-turut pemutaran poros engkol kumulatip mencapai 45 detik.
11.2.7.3 Urutan operasi otomatik dari alat kontrol harus menstart pompa dengan seluruh
fasilitas yang disediakan. Urutan isi harus termasuk sakelar tekanan atau sinyal start jarak
jauh.
11.2.7.4 Pengujian dari alat kontrol dari penggerak motor harus dibagi antara kedua set
dari baterai.
11.2.7.5 Pemilihan, ukuran dan seting dari semua alat proteksi terhadap arus lebih,
termasuk pemutus tenaga alat kontrol pompa kebakaran, harus ditegaskan sesuai dengan
standar ini.
11.2.7.6 Pompa harus distart sedikitnya sekali menggunakan setiap pelayanan daya dan
dijalankan untuk minimum 5 menit.

PERHATIAN
Operasi darurat secara manual harus dilaksanakan oleh gerakan manual dari gagang
darurat hingga posisi tergrendel betul dengan gerakan secara terus menerus. Gagang ini
harus digrendel selama pengujian dilakukan.

11.2.8 Pasokan Daya Darurat


11.2.8.1 Pada instalasi dengan sumber daya darurat dan sakelar pemindahan otomatik,
hilangnya sumber daya utama harus disimulasikan dan pemindahan harus terjadi pada saat
pompa sedang operasi pada beban puncak. Pemindahan dari sumber normal ke pengganti
dan pemindahan kembali dari sumber pengganti ke normal tidak boleh menyebabkan
membukanya alat proteksi arus lebih di kedua jalur. Paling sedikit setengah dari operasi
manual dan otomatik dari butir 11.2.7.1 harus dilaksanakan dengan pompa kebakaran
disambung pada sumber pengganti.
11.2.8.2 Bila sumber pengganti adalah generator set yang disyaratkan oleh butir 6.2.3,
penerimaan instalasi harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

11.2.9 Governor Darurat


Katup governor darurat untuk uap, harus dioperasikan untuk mendemonstrasikan kinerja
yang memuaskan dari rakitan. Pelepasan dengan tangan dapat diterima.

11.2.10 Kondisi Simulasi


Kondisi alarm lokal dan jarak jauh harus disimulasikan untuk mendemonstrasikan operasi
yang memuaskan.

11.2.11 Lamanya Pengujian


Pompa kebakaran atau pompa konsentrat busa harus dioperasikan tidak kurang dari total
waktu 1 jam setelah semua pengujian sebelumnya dilakukan.

11.3 Buku Petunjuk, Alat Perkakas Khusus, dan Suku Cadang.


11.3.1 Minimum satu set buku petunjuk instruksi untuk semua komponen utama dari
sistem pompa kebakaran harus dipasok oleh pabrik pembuat setiap komponen utama.

79 dari 142
SNI 03-6570-2001

Buku petunjuk harus memuat hal-hal berikut ini:


a) Penjelasan terperinci operasi dari komponen.
b) Instruksi untuk pemeliharaan berkala
c) Instruksi terperinci mengenai perbaikan
d) Daftar suku cadang dan identifikasi suku cadang
e) Gambar skematik elektrikal dari alat kontrol, sakelar pemindahan dan panel alarm.
11.3.2 Setiap perkakas khusus dan alat pengujian yang diperlukan untuk pemeliharaan
berkala harus disediakan untuk inspeksi oleh instansi berwenang pada waktu dilakukan uji
serah terima di lokasi.
11.3.3 Harus dipertimbangkan untuk mengadakan persediaan suku cadang penting
yang tidak selalu siap tersedia.

11.4 Pemeriksaan Berkala, Pengujian dan Pemeliharaan


Pompa kebakaran harus diperiksa, diuji dan dipelihara sesuai ketentuan yang berlaku.

11.5 Penggantian Komponen


Bilamana komponen bergerak di pompa kebakaran langkah positip teruji diganti, pengujian
di lokasi harus dilakukan. Bila komponen yang tidak mempengaruhi kinerja diganti, seperti
poros, hanya pengujian fungsional saja yang disyaratkan untuk memastikan pemasangan
dan rakit ulang dilaksanakan dengan baik. Bila komponen yang mempengaruhi kinerja
diganti, seperti rotor, plunger dan sebagainya, pengujian ulang harus dilakukan oleh pabrik
pembuat pompa atau perwakilan yang ditunjuk atau seorang ahli yang ditunjuk oleh instansi
yang terkait. Hasil pengujian ulang lokasi harus sama dengan kinerja pompa asli
sebagaimana tertera di kurva pengujian asli yang dijamin oleh pabrik, bilamana ini tersedia,
dan hasilnya harus didalam batasan ketelitian pengujian di lokasi sebagaimana tertera
dibagian lain pada standar ini.

80 dari 142
SNI 03-6570-2001

Apendiks A
Bahan penjelasan
Apendiks A bukan bagian yang dipersyaratkan dari standar ini, tetapi dimasukkan untuk tujuan informasi saja.
Apendiks berisi bahan penjelasan, nomor butir yang ditunjukkan berhubungan dengan penerapan teks paragrap
yang diberi tanda *.
A.1.1 Untuk informasi selanjutnya, lihat ketentuan lainnya yang terkait.
A.1.4 Karena sifat keunikan dari unit pompa kebakaran, persetujuan sebaiknya
diperoleh sebelum merakit setiap komponen yang spesifik.
A.1.6.1 Suatu unit dimaksudkan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari pompa,
penggerak, alat kontrol, sakelar pemindah, peralatan dan perlengkapannya. Unit berarti
sesuatu yang mampu menanggapi dan mengatasi semua masalah yang berkaitan dengan
instalasi yang tepat, berkesesuaian, kinerja, dan penerimaan peralatan. Unit ini sebaiknya
tidak diartikan harus membeli semua komponen dari pemasok tunggal.

A.1.8.1.9 Disetujui.
BSN bukan instansi yang menyetujui, memeriksa, atau memberikan sertifikat pada setiap
instalasi, prosedur, peralatan atau bahan. Dalam menentukan persetujuan instalasi,
prosedur, peralatan atau bahan, instansi berwenang menggunakan dasar standar ini atau
standar lain yang setara bila dalam standar ini tidak tersebut.

A.1.8.1.12 Head.
Unit untuk ukuran head adalah meter (foot). Hubungan antara suatu tekanan yang
dinyatakan dalam bar (lb/inch2) dan suatu tekanan yang dinyatakan dalam meter (foot) head
diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
tekanan di dalam bar
head dalam meter =
0,098 x gravitasi spesifik

tekanan dalam psi


head dalam feet =
0,433 x gravitasi spesifik

Dalam satuan meter-kilogram (foot-pounds) energi per kg (pound) air, semua kuantitas head
mempunyai dimensi meter (feet) air. Semua tekanan yang terbaca dirubah ke dalam meter
(feet) air yang dipompakan. {lihat gambar A.1.8.1.12, bagian (a) dan (b)}.

81 dari 142
SNI 03-6570-2001

(a) : Pompa horisontal hisapan ganda

(b) : Pompa vertikal hisapan ganda


Gambar A.1.8.1.12 : Ketinggian titik duga dari rancangan bermacam-macam pompa yang
dipasang tetap

Catatan :
a). Untuk semua jenis pompa poros horisontal (pompa bertingkat tunggal hisapan ganda seperti ditunjukkan).
Titik duga sama untuk tingkat jamak, jenis hisap tunggal ujung (end suction) tipe ANSI atau setiap pompa
dengan poros horisontal.
b). Untuk semua jenis pompa poros vertikal (pompa bertingkat tunggal vertikal hisapan ganda seperti
ditunjukkan). Titik duga sama untuk hisap tunggal ujung (end suction), sejalur (in-line), atau setiap pompa
dengan poros vertikal.

A.1.8.1.15 Head kecepatan (hv ).


Head kecepatan dinyatakan dengan rumus berikut :
v2
hv =
2g

dimana :

g= percepatan gravitasi = 9,78 m/det2 pada permukaan laut di katulistiwa.


v= kecepatan air di dalam pipa m/detik.

82 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.1.8.1.18 Head total (H), pompa horisontal.


Gambar A.1.8.1.18. Pada gambar tidak menunjukkan bermacam-macam jenis pompa yang
dipakai.

Gambar A.1.8.1.18 : Head total dari semua jenis pompa kebakaran yang dipasang
tetap (tidak termasuk jenis turbin vertikal).

A.1.8.1.19 Head total (H), pompa turbin vertikal.


(lihat gambar A.1.8.1.19.

Gambar A.1.8.1.19 : Tekanan total dari pompa kebakaran jenis turbin vertikal.

83 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.1.8.1.21 Instansi berwenang.


Penyebutan “instansi berwenang” digunakan pada dokumen dalam pengertian yang luas,
karena kewenangan dari instansi yang memberi persetujuan beragam, demikian pula
pertanggung jawabannya.
Bila keamanan publik di utamakan, maka instansi berwenang dapat saja pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dinas kebakaran setempat, atau pihak lainnya yang secara hukum
berwenang.

A.1.8.1.35 Pelayanan.
Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

A.1.8.1.37 Peralatan pelayanan.


Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL-2000)" .

A.1.8.1.65 Teruji.
Peralatan, bahan, atau pelayanan, termasuk dalam daftar publikasi dari organisasi yang
diakui oleh instansi berwenang dan berkaitan dengan pengkajian produk atau pelayanan,
yang menjaga pemeriksaan periodik dari produksi peralatan terdaftar atau bahan-bahan atau
pengkajian periodik dari pelayanan dan mendapatkan daftar dari peralatan, bahan atau
pelayanan yang diidentifikasikan memenuhi standar atau telah diuji dan diperoleh
kesesuaian untuk tujuan spesifik.
A.2.1.1 Untuk kapasitas pasokan air dan persyaratan tekanan, lihat standar berikut :
a). SNI 03-1745-2000, tentang “Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem pipa
tegak dan slang untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung”.
b). SNI 03-3989-2000, tentang “Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung”.
c). Ketentuan lain yang berlaku.
A.2.1.2 Apabila pasokan hisap diperoleh dari sistem air yang digunakan di pabrik,
operasi pompa pada 150 persen kapasitas yang diijinkan sebaiknya tidak membahayakan
proses akibat tekanan air yang menjadi rendah.
A.2.1.4 Sumber air yang mengandung garam atau bahan-bahan lain yang merugikan
pada sistem proteksi kebakaran sebaiknya dihindari.
A.2.2.4 Adalah tidak baik merancang pompa kebakaran dan penggeraknya dengan
terlalu berlebihan untuk kemudian menggantungkan pada katup relief tekanan untuk
membuka dan melepas kelebihan tekanan. Katup relief tekanan cara yang tidak dapat
diterima dalam pengurangan tekanan sistem di bawah kondisi operasi normal dan sebaiknya
tidak digunakan demikian.
A.2.3 Pompa yang dipasang tetap untuk proteksi kebakaran sebaiknya dipilih dengan
rentang operasi dari 90 persen sampai 150 persen dari kapasitas nominal. Kinerja pompa
bila dipakai pada kapasitas lebih dari 140 persen dari kapasitas nominalnya dapat
berpengaruh merugikan pada kondisi hisapnya. Pemakaian pompa pada kapasitas kurang
dari 90 persen dari kapasitas nominalnya tidak direkomendasikan.

84 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pemilihan dan pemakaian pompa kebakaran sebaiknya tidak dikacaukan dengan kondisi
beroperasinya pompa. Dengan kondisi hisap yang benar, pompa dapat beroperasi pada
setiap titik pada kurva karakteristiknya dari mulai katup menutup sampai 150 persen
kapasitas nominalnya.
A.2.5.2 Untuk proteksi terhadap kerusakan akibat tekanan lebih, apabila dikehendaki,
proteksi alat pengukur sebaiknya dipasang.
A.2.7 Pertimbangan khusus perlu diberikan pada instalasi pompa kebakaran yang
dipasang di bawah tanah. Pencahayaan, panas, drainase, dan ventilasi adalah beberapa
contoh kebutuhan yang perlu diperhatikan.
Beberapa lokasi atau instalasi mungkin tidak membutuhkan rumah untuk pompa. Apabila
ruangan pompa atau rumah untuk pompa dibutuhkan, sebaiknya ukuran luas dan
penempatannya memungkinkan susunan pemipaan yang sependek mungkin dan benar.
Pemipaan hisap sebaiknya menjadi pertimbangan pertama. Rumah untuk pompa disarankan
merupakan bangunan terpisah dengan konstruksi yang tahan api.
Ruangan pompa satu lantai yang beratap mudah terbakar, terpisah dari bangunan satu
lantai yang berada disebelahnya, dapat disetujui bila ruangan pompa tersebut di springkler.
Apabila bangunan yang terpisah tidak memungkinkan, ruangan pompa sebaiknya
ditempatkan dan dibangun sedemikian rupa sehingga dapat memproteksi unit pompa dan
alat kontrolnya dari kejatuhan lantai atau mesin dan dari kebakaran yang dapat menyulitkan
operator pompa, merusak unit pompa dan alat kontrolnya.
Jalan masuk ke ruangan pompa sebaiknya disediakan dari bagian luar bangunan.
Apabila penggunaan bata atau beton bertulang tidak dimungkinkan, kepingan logam dan
plester direkomendasikan untuk konstruksi ruangan pompa.
Ruangan pompa atau rumah untuk pompa sebaiknya tidak digunakan untuk gudang. Pompa
jenis turbin poros vertikal membutuhkan tutup yang dapat dibuka pada atap rumah untuk
pompa guna memudahkan pompa dilepas untuk pemeriksaan dan perbaikan. Jarak bebas
yang cukup untuk peralatan sebaiknya disediakan sesuai rekomendasi dari gambar pabrik
pembuatnya.
A.2.7.1 Pompa kebakaran yang tidak dioperasikan karena suatu alasan pada setiap
waktu dapat mengakibatkan gangguan pada sistem proteksi kebakaran. Untuk itu sebaiknya
pompa segera diperbaiki untuk digunakan kembali tanpa penundaan.
Hujan dan panas matahari merupakan kondisi yang merugikan untuk peralatan yang tidak
dipasang pada ruangan tertutup seluruhnya.
Dalam kondisi minimum, peralatan yang dipasang di luar sebaiknya dilindungi dengan atap
atau dek.
A.2.7.6 Ruang pompa dan rumah untuk pompa sebaiknya kering dan bebas kondensasi.
Untuk menjadikan lingkungan yang kering, mungkin diperlukan pemanasan.
A.2.8.1 Bagian luar pipa baja yang dipasang di atas tanah sebaiknya dilindungi dengan
cat.
A.2.8.2 Lebih disukan flens di las pada pipa.
A.2.9.1 Bagian luar dari pemipaan hisap dengan bahan baja sebaiknya dilindungi dengan
cat. Pipa besi dan baja yang ditanam sebaiknya dibungkus dan dilapisi atau diproteksi
terhadap korosi sesuai ketentuan yang berlaku.

85 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.2.9.4 Catatan berikut diterapkan untuk gambar A.2.9.4.


a). Pompa jockey biasanya dipersyaratkan dimana pompa di kontrol otomatik.
b). Jika fasilitas pengujian disediakan, juga lihat gambar A.2.14.1.2 .a) dan b).
c). Saluran pengindera tekanan juga perlu dipasang sesuai dengan butir 7.5.2.1 atau
9.5.2.1. Lihat gambar A.7.5.2.1.a) dan b).

Gambar 2.9.4.: Diagram skematik susunan yang diusulkan untuk pompa kebakaran
dengan bypass mengambil isapan dari saluran pipa umum.
A.2.9.5 Apabila pasokan hisap berasal dari saluran pipa umum, katup sorong sebaiknya
ditempatkan sejauh mungkin dari flens hisap pompa. Apabila berasal dari tangki penyimpan
air, katup sorong sebaiknya ditempatkan pada outlet dari tangki. Katup kupu-kupu pada sisi
hisap dari pompa dapat menimbulkan turbulensi yang berpengaruh kurang baik pada kinerja
pompa dan dapat meningkatkan kemungkinan sumbatan pada pipa.

86 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.2.9.6 Lihat gambar A.2.9.6.

Gambar A.2.9.6 : Pemasangan yang benar dan salah dari hisapan pompa.

A.2.9.8 Dalam memilih bahan saringan, sebaiknya mempertimbangkan pencegahan


pengotoran (fouling) dari tumbuhan yang hidup di air. Pembersihan saringan sebaiknya
dilakukan dengan sikat kawat brass atau tembaga.
A.2.9.9 Istilah “alat” sebagaimana yang dipakai dalam sub bagian ini dimaksudkan
termasuk, tetapi tidak terbatas untuk, alat yang mengindera tekanan hisap dan kemudian
menghalangi atau menghentikan pelepasan pompa kebakaran.
Berhubung kerugian tekanan dan potensi mengganggu aliran ke sistem proteksi kebakaran,
pemakaian alat pencegah aliran balik dihindari pada pemipaan pompa kebakaran.
Apabila dipersyaratkan, penempatan alat seperti itu pada sisi pelepasan pompa adalah
untuk memastikan karakteristik aliran yang dapat diterima pada hisapan pompa.
Lebih efisien apabila kehilangan tekanan terjadi setelah pompa mendorong air, daripada
sebelum pompa mendorongnya.
Apabila alat pencegah aliran balik pada sisi pelepasan pompa dan pompa jockey dipasang,
pelepasan pompa jockey dan jalur penginderaan membutuhkan dipasang sehingga
hubungan silang tidak dihasilkan melalui pompa jockey.
A.2.9.10 Untuk informasi lebih lanjut, lihat ketentuan yang berlaku.
A.2.10.2 Flens dilas pada pipa lebih disukai.
A.2.10.3 Ukuran pipa pelepasan sebaiknya seperti itu, dengan pengoperasian pompa
pada 150 persen dari kapasitas nominalnya, kecepatan pada pipa pelepasan tidak melebihi
6,2 m m/detik ( 20 ft/detik).
A.2.10.4 Pada sistem proteksi kebakaran yang besar, pengalaman menunjukkan kadang-
kadang pukulan air (water hammer) yang berat disebabkan aliran balik dapat terjadi jika
kontrol otomatik mematikan pompa kebakaran.
Apabila kondisi yang diharapkan dapat menyebabkan pukulan air tidak dikehendaki, katup
searah anti pukulan air teruji sebaiknya dipasang pada jalur pelepasan pompa kebakaran.

87 dari 142
SNI 03-6570-2001

Pompa yang dikontrol otomatik pada bangunan tinggi dapat memberikan kesulitan akibat
pukulan air bila pompa dimatikan.
Apabila alat pencegah aliran balik sebagai pengganti katup searah pada pelepasan,
penambahan alat pencegah aliran balik pada pemipaan bypass perlu untuk mencegah aliran
balik melalui bypass.
Apabila alat pencegah aliran balik sebagai pengganti katup searah pelepasan, sambungan
untuk jalur pengindera dibolehkan dipasang di antara katup searah terakhir dan katup kontrol
terakhir jika sambungan jalur pengindera tekanan dapat dibuat tanpa mengubah katup aliran
balik atau melanggar keterujiannya.
Cara ini kadang-kadang dapat dilakukan dengan menambah sambungan melalui lubang
pengujian pada katup aliran balik.
Dalam situasi ini, katup kontrol pelepasan tidak penting, karena katup kontrol terakhir pada
alat pencegah aliran balik melayani fungsi ini.
Apabila alat pencegah aliran balik sebagai pengganti katup searah pelepasan dan
sambungan jalur pengindera tidak dapat dibuat di dalam alat pencegah aliran balik, jalur
pengindera sebaiknya disambungkan antara alat pencegah aliran balik dan katup kontrol
pelepasan pompa. Dalam situasi ini, alat pencegah aliran balik tidak dapat menggantikan
katup kontrol pelepasan karena jalur pengindera membutuhkan kemampuan adanya
pemisahan.
A.2.11 Katup isolasi dan katup kontrol dipertimbangkan menjadi identik bila dipakai
dalam kaitannya dengan suatu rakitan pencegah aliran balik.
A.2.12 Patahnya pipa yang disebabkan oleh gerakan, dalam beberapa hal, dapat
dicegah dengan meninggikan fleksibilitas pada sebagian besar dari pemipaan. Satu bagian
dari pemipaan sebaiknya tidak dipegang secara kaku dan lainnya bebas untuk bergerak,
tanpa ketentuan untuk melepas tegangan.
Fleksibilitas dapat disediakan dengan pemakaian kopling fleksibel pada titik kritis dan jarak
antara (clearance) yang diperbolehkan pada dinding dan lantai. Pemipaan hisapan dan
pelepasan pompa kebakaran sebaiknya diperlakukan sama seperti pipa tegak springkler
untuk bagian yang mana saja di dalam bangunan (lihat SNI 03-3989, tentang "Tata cara
perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung" ).
Lubang yang melalui dinding tahan api ruangan pompa, sebaiknya dibungkus dengan bahan
mineral wool atau bahan lain yang sesuai, dipegang di tempat oleh cincin pipa pada setiap
sisi dinding. Pipa yang lewat melalui dinding pondasi atau dinding sumur ke dalam tanah
sebaiknya mempunyai jarak antara (clearance) dari dinding ini, tetapi lubang sebaiknya
kedap air. Ruang sekitar pipa yang lewat melalui dinding ruangan pompa atau lantai rumah
untuk pompa dapat diisi dengan asphal.
A.2.13.1 Tekanan yang dipersyaratkan dievaluasi pada 121 persen tekanan nominal
dimana katup dalam posisi tertutup, karena tekanan proporsional dengan kuadrat kecepatan
putar pompa.
Governor motor diesel dipersyaratkan mampu membatasi kecepatan motor maksimum 110
persen, pada kondisi ini pompa menghasilkan tekanan mencapai 121 persen.
Karena hanya waktu dimana katup relief tekanan dipersyaratkan oleh standar untuk
dipasang apabila motor diesel berputar sangat cepat dari pada putaran normalnya, dan

88 dari 142
SNI 03-6570-2001

karena kejadian ini relatif jarang, dibolehkan untuk pelepasan katup relief tekanan dipasang
pada pipa balik ke sisi hisapan pompa.
A.2.13.5 Corong katup relief sebaiknya dipasang ke suatu titik apabila air dapat bebas
dilepaskan, lebih disukai ke luar bangunan. Jika pipa pelepasan katup relief dihubungkan ke
pembuangan di bawah tanah, sebaiknya dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak ada
pembuangan uap yang cukup dekat untuk balik masuk melalui corong ke dalam ruangan
pompa.
A.2.13.7 Apabila katup relief melepas balik ke sumber pasokan, kemampuan dan
keterbatasan tekanan balik dari katup yang digunakan sebaiknya dipertimbangkan.
Ada kemungkinan perlu membesarkan ukuran katup relief dan pemipaannya di atas
minimum untuk memperoleh kapasitas pelepasan yang cukup akibat hambatan tekanan
balik.
A.2.13.8 Jika pelepasan masuk reservoir di bawah permukaan air minimum, kemungkinan
tidak akan terjadi masalah dengan udara. Jika masuk dari bagian atas reservoir, masalah
udara dapat dikurangi dengan menurunkan pelepasan ke bawah permukaan air normal.
A.2.14.1.2 Outlet dapat disediakan pada header untuk pengujian standar, hidran halaman,
hidran dinding, atau katup slang pipa tegak.
Berikut catatan untuk gambar A.2.14.1.2.(1) dan (2).
a). Jarak seperti direkomendasikan pabrik pembuat meter.
b). Jarak tidak kurang dari 5 kali diameter pipa hisap untuk sambungan atas atau bawah
hisapan. Jarak tidak kurang dari 10 kali diameter pipa hisap untuk sisi penyambungan
(tidak direkomendasikan).
c). Pelepas udara otomatik jika bentuk pemipaan U terbalik, udara terperangkap.
d). Sistem proteksi kebakaran sebaiknya outlet yang tersedia untuk menguji pompa
kebakaran dan pemipaan pasokan hisap (lihat A.2.14.3.1).
e). Susunan meter tertutup hanya akan menguji kinerja pompa neto. Meter ini tidak
menguji kondisi pasokan hisap, katup-katup, pemipaan, dan sebagainya.
f). Pemipaan balik sebaiknya disusun sehingga tidak ada udara dapat terperangkap yang
dapat terjadi pada ujung ke atas dalam lubang impeller pompa..
g). Turbulensi dalam masuknya air ke pompa sebaiknya dihindari untuk mengeliminasi
kavitasi yang akan mengurangi pelepasan pompa dan kerusakan impeller pompa.
Untuk alasan ini, penyambungan sisi tidak direkomendasikan.
h). Memperpanjang sirkulasi ulang dapat menyebabkan kerusakan karena menimbulkan
panas, kecuali sebagian air di buang.
i). Meter aliran sebaiknya dipasang sesuai instruksi pabrik.
j). Jalur pipa pengindera tekanan juga dibutuhkan untuk dipasang sesuai butir 7.5.2.1.
{lihat gambar A.7.5.2.1.a) dan b)}.

89 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar 2.14.1.2.(1) : Susunan yang terbaik untuk mengukur aliran air pompa
kebakaran dengan meter untuk pompa banyak dan pasokan air. Air boleh di lepaskan
ke pengering atau ke sumber air pompa kebakaran.

Gambar 2.14.1.2.(2) : Susunan tipikal untuk mengukur aliran air pompa kebakaran
dengan meter. Pelepasan dari meter aliran di sirkulasi balik ke pipa hisap pompa
kebakaran.

90 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.2.14.2.1 Alat meter sebaiknya pelepasannya ke saluran pembuangan.


Pengecualian :
Dalam hal pasokan air dibatasi, pelepasan sebaiknya dikembalikan ke sumber air (contoh : tangki hisap, kolam
kecil, dan lain-lain). Jika pelepasan ini masuk sumber di bawah permukaan air minimum, ini mungkin akan
menimbulkan masalah udara pada hisapan pompa. Jika masuknya di atas bagian atas sumber, masalah udara
dikurangi dengan memperpanjang pelepasan ke bawah permukaan air normal.
A.2.14.3.1 Katup slang sebaiknya dipasang ke suatu header atau manifold dan dihubungkan
oleh pemipaan yang sesuai untuk pemipaan pelepasan pompa. Titik sambungan sebaiknya
antara katup searah pelepasan dan katup sorong pelepasan. Katup slang sebaiknya
dipasang untuk menghindari setiap kemungkinan gangguan air ke penggerak pompa atau
alat kontrolnya, dan sebaiknya di luar ruangan pompa atau rumah untuk pompa. Jika
tersedia fasilitas lain yang cukup untuk pengujian pompa, header katup slang dapat
dihilangkan jika fungsi utamanya untuk melengkapi metoda pengujian pompa dan pasokan
hisap. Apabila header slang juga melayani sebagai ekuivalen hidran halaman, penghilangan
ini sebaiknya tidak mengurangi jumlah katup slang kurang dari dua.
A.2.17 Rotasi poros pompa dapat ditentukan sebagai berikut :
a). Rotasi pompa.
Pompa dirancang mempunyai rotasi searah jarum jam (CW), atau rotasi yang
berlawanan dengan arah jarum jam (CCW). Motor Diesel umumnya tersedia dan
dipasok dengan rotasi searah dengan jarum jam.
b). Rotasi poros pompa horisontal.
Rotasi dari pompa horisontal dapat ditentukan oleh berdirinya pada ujung penggerak
dan muka pompa { lihat gambar A.2.17.(b) }. Jika bagian atas poros berputar dari kiri
ke kanan, rotasi adalah arah ke kanan tangan { atau searah jarum jam (CW) } . Jika
bagian atas poros berputar dari kanan ke kiri, rotasi adalah arah ke kiri tangan { atau
berlawanan arah jarum jam (CCW)}.

Gambar A.2.17 (b) : Putaran poros pompa horisontal.

91 dari 142
SNI 03-6570-2001

c). Rotasi poros pompa vertikal.


Rotasi pompa vertikal dapat ditentukan dengan melihat ke bawah pada bagian atas
dari pompa. { lihat gambar A.2.17.(c) }. Jika titik dari poros langsung berputar
berlawanan dari kiri ke kanan, rotasi adalah arah ke kanan tangan ( atau searah jarum
jam ). Jika titik dari poros langsung berputar berlawanan dari kanan ke kiri, rotasi
adalah arah ke kiri tangan { atau berlawanan arah jarum jam (CCW)}.

Gambar A.2.17.(c) : Putaran poros pompa vertikal.

A.2.18 Dalam tambahan untuk kondisi dimana membutuhkan sinyal alarm untuk alat
kontrol pompa dan motor, kondisi lain untuk alarm seperti itu dapat direkomendasikan,
tergantung pada kondisi setempat. Beberapa kondisi alarm supervisi, sebagai berikut :
a). Temperatur ruangan pompa rendah.
b). pelepasan pada katup relief .
c). Meter aliran tetap bekerja, pompa bypass.
d). Permukaan air pada pasokan hisap di bawah normal.
e). Permukaan air pada pasokan hisap mendekati kehabisan air.
f). Pasokan bahan bakar Diesel di bawah normal.
g). Tekanan uap di bawah normal.
Penambahan alarm seperti itu dapat disatukan ke dalam alarm kesulitan (trouble alarm) yang
telah tersedia pada alat kontrol, atau dapat juga berdiri sendiri.
A.2.19 Pompa yang mempertahankan tekanan (Jokey atau tambahan) sebaiknya
dipakai apabila dibutuhkan untuk mempertahankan keseragaman atau tekanan tinggi relatif
pada sistem proteksi kebakaran. Pompa jockey sebaiknya ditentukan ukurannya untuk
menambah laju kebocoran yang diijinkan di dalam 10 menit atau 3,8 liter/menit ( 1 gpm),
yang mana lebih besar.

92 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.2.19.3 Lihat gambar A.2.19.3.

Gambar A.2.19.3 : Instalasi pompa jockey dengan pompa kebakaran.

A.2.19.4 Pompa yang mempertahankan tekanan tipe sentrifugal lebih disukai.


Catatan berikut menerapkan pompa yang mempertahankan tekanan tipe sentrifugal :
a). Pompa jockey biasanya dipersyaratkan bersama dengan pompa yang dikontrol secara
otomatik.
b). Hisapan pompa jockey datang dari jalur pipa pasok pengisi tangki. Situasi ini akan
mengijinkan tekanan tinggi dipertahankan pada sistem proteksi kebakaran bahkan bila
tangki pasok kosong untuk perbaikan.
c). Jalur pipa pengindera tekanan juga dibutuhkan dipasang sesuai d butir 7.5.2.1 { lihat
gambar A.7.5.2.1.a) dan b)} .
A.2.22.1 SNI 03-3989, tentang "Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem
springkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung" berisi
petunjuk spesifik untuk perancangan seismic dari sistem proteksi kebakaran. Tabel berlaku
untuk menentukan kekuatan relatif dari bermacam-macam bahan penahan dan pengikatnya.
A.3.1.1 Lihat gambar A.3.1.1.(a) sampai (h).

Gambar A.3.1.1.(a) Impeler menggantung–bertingkat tunggal disambung tertutup

93 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar A.3.1.1.(b) : Impeller menggantung-bertingkat satu disambung terpisah-


dipasang dengan rangka.

Gambar A.3.1.1.(c) : Impeller menggantung-bertingkat satu disambung tertutup-in line


(menunjukkan seal dan packing).

94 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar A.3.1.1.(d) : Impeller menggantung-bertingkat satu disambung terpisah-in-line-


kopling kaku.

Gambar A.3.1.1.(e) : Impeller menggantung-bertinggkat satu disambung terpisah-in


line-kopling fleksibel.

95 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar A.3.1.1.(f) : Impeller antar bantalan –dipasang terpisah-bertinggkat tunggal-


split case axial (horisontal).

Gambar A.3.1.1.(g) : Impeller antar bantalan-dipasang terpisah-bertingkat tunggal-split


case radial(vertikal)

96 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar A.3.1.1.(h) : Jenis-jenis pompa dipasang tetap.


A.3.1.2 Pompa sentrifugal terutama cocok untuk penguat tekanan dari pasokan umum
atau pribadi atau ke pompa dari tangki penyimpan bila menggunakan head statik positip.
A.3.2 Pompa yang teruji dapat mempunyai bentuk kurva kapasitas-head yang berbeda
untuk nilai nominal yang diberikan. Gambar A.3.2. menunjukkan bentuk kurva ekstrim yang
mungkin. Head pada kondisi menutup akan mempunyai rentang dari minimum 101 persen
sampai maksimum 140 persen dari head nominal. Pada kapasitas nominal 150 persen, head
akan mempunyai nilai rentang dari minimum 65 persen sampai maksimum sedikit di bawah
head nominal. Pabrik pembuat pompa dapat memasok kurva yang diinginkan untuk pompa
yang teruji.

97 dari 142
SNI 03-6570-2001

Gambar A.3.2 : Kurva karakteristik pompa.

A.3.3.1 Lihat gambar A.3.3.1.

Gambar A.3.3.1 : Instalasi pompa kebakaran jenis “Horisontal split case” dengan
pasokan air dibawah head positip.
A.3.4.1 Kopling fleksibel dipakai untuk mengkompensasi perubahan temperatur dan
membolehkan gerakan ujung dari poros yang disambung tanpa mengganggu satu sama lain.

98 dari 142
SNI 03-6570-2001

A.3.4.3 Pondasi yang kuat penting dalam mempertahankan kesejajaran. Pondasi lebih
disukai dibuat dari beton yang diperkuat.
A.3.5 Jika pompa dan penggeraknya dikirim dari pabrik dengan kedua mesin dipasang
pada plat dasar bersama-sama, maka kesejajaran (alignment) yang akurat dilakukan
sebelum dikirimkan. Semua plat dasar fleksibel untuk memanjang dan, karena itu, sebaiknya
tidak ditumpuk untuk mempertahankan kesejajaran pabrik.
Kesejajaran ulang penting setelah unit lengkap telah terpasang pada pondasi dan dilakukan
lagi setelah penyemenan dan pada saat pengencangan baut pondasi.
Kesejajaran sebaiknya diperiksa setelah unit disambungkan dengan pipa dan diperiksa
ulang secara periodik.
Untuk fasilitas akurasi kesejajaran di lokasi, pabrik pembuat sering tidak mengencangkan
pompa dan penggeraknya pada plat dasar sebelum pengiriman, atau pengencangan hanya
pada pompanya saja.
Setelah unit pompa dan penggerak dipasang pada pondasi, kopling yang membagi dua
bagian sebaiknya dilepaskan. Kopling sebaiknya tidak disambung kembali sampai operasi
kesejajaran telah dilengkapi.
Tujuan kopling fleksibel adalah mengkompensasi perubahan temperatur dan untuk
membolehkan gerakan pada ujung dari poros tanpa mengganggu sambil memindahkan daya
satu sama lain dari penggerak ke pompa.
Dua bentuk ketidak sejajaran antara poros pompa dan poros penggerak sebagai berikut :
a). Ketidak sejajaran sudut.
Poros dengan sumbu konsentrik, tetapi tidak paralel.
b). Ketidak sejajaran paralel.
Poros dengan sumbu axial, tetapi tidak konsentrik.
Muka dari kopling yang membagi dua sebaiknya berjarak antara sesuai rekomendasi pabrik
pembuat dan sebagian cukup jauh sehingga tidak dapat mengenai setiap bagian lainnya jika
rotor penggerak digerakkan lebih keras terhadap pompa. Oleh sebab itu kelonggaran
(allowance) sebaiknya dibuat dengan memakai bantalan dorong. Alat perkakas penting yang
kurang lebih memeriksa kesejajaran dari kopling fleksibel adalah alat pengukur ujung lurus
dan ketajaman atau pengukur feeler.
Pemeriksaan kesejajaran sudut dibuat dengan menyisipkan alat pengukur ketajaman atau
feeler pada empat titik antara muka kopling dan membandingkan jarak antara muka pada
jarak antara empat titik pada interval 900 sekitar kopling { lihat gambar A.3.5.(a) }. Unit akan
berada dalam kesejajaran sudut bila pengukuran menunjukkan bahwa muka kopling
jaraknya sama ke setiap bagian pada semua titik.
Pemeriksaan kesejajaran paralel dibuat dengan menempatkan alat pengukur ujung lurus
(straight edge) menyilang kedua sisi kopling pada bagian atas, bagian bawah, dan kedua
sisi { lihat gambar A.3.5.(b) }.
Unit akan berada dalam kesejajaran paralel bila ujung lurus rata pada sisi kopling untuk
semua posisi. Kelonggaran (allowance) mungkin penting untuk perubahan temperatur dan
untuk kopling yang terbelah dua yang tidak sama diameter luarnya. Kehati-hatian perlu
diambil untuk kelurusan ujung paralel ke sumbu dari poros.

99 dari 142
SNI 03-6570-2001

Ketidak sejajaran sudut dan paralel dikoreksi oleh plat ganjalan (shim) di bawah kaki
penyangga motor. Setelah setiap perubahan, penting untuk memeriksa ulang kesejajaran
kopling yang terbagi dua. Penyetelan dalam satu arah dapat merusak penyetelan yang telah
dibuat dalam arah yang lain.
Sebaiknya jangan menyetel plat ganjalan yang berada di bawah penyangga pompa.
Pengijinan sejumlah ketidak sejajaran akan mengubah tipe pompa, penggerak dan kopling
dari pabrik pembuatnya , model dan ukurannya.
Metoda terbaik untuk meletakkan kopling yang terbagi dua dalam kesejajaran akurat final,
dengan memakai alat indikator dial.

Gambar A.3.5.(a). : Pemeriksaan kesejajaran sudut.

Gambar A.3.5.(b) : Pemeriksaan kesejajaran paralel.

100 dari 142


SNI 03-6570-2001

Apabila kesejajaran telah betul, baut pondasi sebaiknya dikencangkan tetapi jangan terlalu
kencang. Unit selanjutnya dapat di cor ke pondasi.
Plat dasar sebaiknya diisi dengan adukan semen, dan ini diperlukan untuk mengecor
permukaan potongan-potongan, plat ganjalan, atau pasak pada tempatnya.
Baut pondasi sebaiknya dikencangkan penuh setelah adukan mengeras, biasanya kurang
lebih 48 jam setelah pengecoran.
Setelah adukan semen diset dan baut pondasi dikencangkan dengan benar, unit sebaiknya
diperiksa kembali kesejajaran paralel dan sudutnya, dan jika perlu dilakukan pengukuran
untuk koreksi. Setelah pemipaan dari unit telah disambungkan, kesejajaran sebaiknya
diperiksa lagi.
Arah rotasi penggerak sebaiknya diperiksa untuk memastikan sesuai dengan rotasi pompa.
Hubungan arah rotasi pompa ditunjukkan oleh arah panah pada rumah pompa.
Kopling yang terbagi dua selanjutnya dapat disambung kembali. Dengan pemasangan
pompa yang benar, unit kemudian sebaiknya dioperasikan di bawah kondisi operasi normal
sampai temperaturnya stabil.
Kemudian sebaiknya pompa diberhentikan dan selanjutnya diperiksa kembali kesejajaran
dari kopling.
Semua pemeriksaan kesejajaran sebaiknya dilakukan dengan kopling yang terpisah dua
dilepas dan dilakukan lagi setelah disambungkan kembali.
Setelah unit dioperasikan kurang lebih 10 jam atau 3 bulan, kopling yang terpisah dua
sebaiknya dilakukan pemeriksaan akhir ketidak sejajarannya disebabkan oleh tegangan pipa
atau temperatur.
Jika kesejajaran masih baik, pompa dan penggerak sebaiknya dikencangkan pada plat
dasar. Lokasi pengencangan sangat penting dan instruksi pabrik pembuat sebaiknya
diperoleh, khususnya jika unit ditujukan untuk perubahan temperatur.
Unit sebaiknya diperiksa secara periodik kesejajarannya. Jika unit duduk dalam jalurnya
setelah dipasang dengan benar, berikut ini penyebab yang mungkin :
a). Pengendapan, menua, atau daya elastis pondasi dan tegangan pipa terganggu atau
terjadinya pergeseran mesin.
b). Keausan bantalan.
c). Daya elastisitas plat dasar menjadi berkurang akibat panas dari pipa uap yang
berdekatan atau dari turbin uap.
d). Pergeseran struktur bangunan karena beban variabel atau sebab-sebab lain.
e). Hal tersebut memerlukan pengaturan ulang kesejajaran dari waktu ke waktu, sampai
unit dan pondasi diperbaharui.
A.4.1 Operasi yang memuaskan pompa tipe turbin vertikal sangat tergantung pada
kecermatan dan kebenar instalasi unit pompa tersebut; oleh karenanya, direkomendasikan
dalam mengerjakan instalasi tersebut berada dibawah pengarahan wakil dari pabrik pembuat
pompa.
A.4.1.1 Pompa tipe turbin poros vertikal khususnya cocok untuk pompa kebakaran
dimana sumber air ada di bawah permukaan tanah dan dimana akan ditemui kesulitan untuk
memasang pompa tipe yang lain di bawah muka air minimum. Pompa tipe ini pada mulanya

101 dari 142


SNI 03-6570-2001

dirancang untuk pompa sumur yang di bor, tetapi dapat dipergunakan pula untuk menaikkan
air dari danau, sungai, rawa terbuka dan sumber di bawah permukaan yang lain. Dua tipe
pompa tipe turbin poros vertikal ini yang banyak digunakan adalah tipe poros tertutup
berpelumas minyak dan poros terbuka berpelumas air (lihat Gambar A-4-1.1).

Gambar 4.1.1 : Ilustrasi poros pompa dengan pelumasan air dan pelumasan minyak
Beberapa instansi kesehatan melarang penggunaan pompa berpelumas minyak; instansi
yang demikian ini harus dimintai pendapatnya bila akan menggunakan rancangan
berpelumas minyak.
A.4.2.1.1 Pasokan dari reservoar atau tangki penyimpan air untuk memasok sumuran
basah lebih disukai. Pasokan dari danau, sungai dan air tanah diijinkan bila dari penelitian
menunjukkan bahwa sumber pasokan ini dapat diharapkan mampu memasok secara cukup
dan dapat diandalkan.

102 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.4.2.1.2 Instansi berwenang dapat meminta analisis kinerja aquafer. Sejarah kandungan
air harus diselidiki secara cermat. Jumlah sumur yang sudah berfungsi di area ini dan
kemungkinan jumlah yang dapat dipergunakan sebaiknya diperhitungkan sehubungan
dengan jumlah total air yang tersedia untuk kebutuhan pemadam kebakaran.
A.4.2.2.1 Lihat Gambar A-4-2.2.1

Catatan : Jarak antara dasar dari saringan dan dasar bak basah sebaiknya setengah dari diameter mangkok
pompa tetapi tidak kurang dari 305 mm (12 inci)
Gambar A.4.2.2.1 : Instalasi pompa tipe turbin poros vertikal dalam sumur
A.4.2.2.2 Kecepatan air pada saluran atau pipa intake sebaiknya tidak melebihi kurang
lebih 0,7 m/detik( 2 ft/detik), dan kecepatan pada sumuran basah sebaiknya tidak melebihi
kurang lebih 0,3 m/detik ( 1 ft/detik). (lihat gambar A-4-2.2.2).
Saluran masuk yang ideal adalah saluran lurus masuk langsung kearah pompa. Belokan dan
hambatan akan merugikan karena dapat menyebabkan arus putar dan cenderung untuk
menimbulkan pusaran dengan inti pusaran yang dalam. Tingkat keberhasilan operasi akan
sangat tergantung pada saluran intake dan ukuran pompa.
The Hydraulic Institute Standards for Centrifugal, Rotary and Reciprocating Pumps, telah
merekomendasikan dimensi bak air untuk aliran 11.355 L/menit (3000 gpm) dan lebih besar.
Perencanaan bak air untuk pompa dengan kapasitas pelepasan kurang dari 11.355 L/menit
(300 gpm) sebaiknya mengikuti prinsip umum yang yang sama seperti ditunjukkan dalam
The Hydraulic Institute Standards for Centrifugal, Rotary and Reciprocating Pumps.

103 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.4.2.2.2 Instalasi pompa tipe turbin poros vertikal dalam bak basah.

A.4.2.5 Bila sumur mengambil pasokan dari formasi terkonsolidasi seperti batuan,
spesifikasi sumur harus ditetapkan menurut instansi berwenang setelah berkonsultasi
dengan konsultan air tanah yang diakui pada daerah tersebut.
A.4.2.7 Sebelum pompa permanen dipesan, air dari sumur sebaiknya dianalisis terhadap
tingkat korosinya, termasuk hal-hal seperti pH, garam-garaman seperti klorida, dan gas
berbahaya seperti karbon dioksida (CO2) atau hidrogen sulfida (H2S). Bila airnya korosif,
pompa harus dirancang dari bahan yang tahan korosi atau dilapis dengan lapisan penahan
khusus sesuai dengan rekomendasi pabrik pembuat.
A.4.3.1 Lihat Gambar A.4.3.1

104 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar 4.3.1 : Susunan pelepasan di bawah tanah


A.4.3.5.3 Pendeteksi muka air menggunakan metoda jalur udara adalah sebagai berikut.
a) Metoda menentukan muka air menggunakan jalur udara dalam pipa kecil atau tabung
yang diketahui panjangnya, pengukur tekanan atau kedalaman, dan pompa ban
sepeda atau mobil biasa dipasang seperti ditunjukkan pada Gambar A.4.3.5.3. Pipa
jalur udara sebaiknya diketahui panjangnya dan dapat mencapai sisi terendah
permukaan air yang diamati di dalam sumur supaya dapat memastikan pembacaan
pengukuran yang baik, dan sebaiknya dipasang secara tepat. Seperti terlihat pada
Gambar A.4.3.5.3, pengukur tekanan udara dipakai untuk menunjukkan tekanan pada
jalur udara.
b) Pipa jalur udara diturunkan ke dalam sumur, suatu sambungan T dipasang pada jalur
di atas tanah, dan pengukur tekanan dipasang pada satu sambungan. Sambungan
yang lain dipasang katup ban sepeda (pentiel) biasa, ke mana suatu pompa sepeda
dipasang. Semua sambungan sebaiknya dibuat kedap udara untuk mendapatkan data
yang benar. Pada saat udara dipompakan ke dalam jalur oleh pompa sepeda, tekanan
dari pengukur naik sampai semua air dalam pipa udara keluar. Pada saat kondisi ini

105 dari 142


SNI 03-6570-2001

dicapai, pembacaan di pengukur tekanan akan tetap walaupun pompa terus bekerja.
Tekanan maksimum yang terbaca pada pengukur tekanan adalah sama dengan
tekanan yang diperlukan untuk memompa air keluar dari pipa udara. Panjang kolom air
ini sama dengan panjang pipa air yang terendam.
c) Pengurangan tekanan dikonversi ke m (ft) ( tekanan bar x 10,3 = meter dan tekanan
psi x 2,31 = ft) dari panjang jalur udara yang diketahui akan memberikan panjang pipa
udara yang terendam.

Gambar A.4.3.5.3 : Menentukan ketinggian permukaan air sesuai metoda saluran udara

Contoh : Perhitungan berikut akan menjelaskan gambar A.4.3.5.3.


Dianggap panjang (L) 15,2 m (50 ft).

106 dari 142


SNI 03-6570-2001

Bacaan pengukur tekanan sebelum pompa kebakaran di start (p1) = 0,68 bar (10 psi).
Kemudian A = 0,68 x 10,3 = 7,0 m ( 10 x 2,31 = 23,1 ft). Karena itu, permukaan air dalam
sumur sebelum pompa di start menjadi B = L – A = 15,2 m – 7 m = 8,2 m ( B = L – A = 50 ft –
23,1 ft = 26,9 ft).
Bacaan pengukur tekanan bila memompa (p2) = 0,55 bar (8 psi).
Kemudian C = 0,55 x 10,3 = 5,6 m ( C = 8 x 23,1 = 18,5 ft). Karena itu permukaan air dalam
sumur selama pemompaan menjadi D = L – C = 15,2 m – 5,6 m = 9,6 m ( D = L – C = 50 ft –
18,5 ft = 31,5 ft).
Tarikan ke bawah dapat ditentukan oleh salah satu cara sebagai berikut :
a) D – B = 9,6 m – 8,2 m = 1,4 m (31,5 ft – 26,9 ft = 4,6 ft).
b) A – C = 7,0 m – 5,6 m = 1,4 m (23,1 ft – 18,5 ft = 4,6 ft).
c) p1 – p2 = 0,68 – 0,55 = 0,13 bar = 0,13 x 10,3 = 1,4 m (10 – 8 = 2 psi = 2 x 2,31 = 4,6 ft)
A.4.4 Beberapa cara untuk memasang pompa vertikal dapat diikuti, tergantung pada
lokasi sumur dan fasilitas yang tersedia. Karena bagian terbanyak unit ada di bawah tanah,
kecermatan yang tinggi diperlukan untuk merakit dan memasangnya dan memeriksa
keseluruhan langkah kerja. Metoda sederhana berikut umum dipakai :
a) Gunakan tripod (tiang kaki tiga) atau derek yang dapat dipindah dan gunakan dua set
klem pemasang di atas sumur terbuka dan rumah untuk pompa. Sesudah derek
berada di tempatnya, kesejajaran terhadap sumur atau sumuran basah sebaiknya
diperiksa secara hati-hati untuk menghindari kesulitan saat menset pompa.
b) Pasang set klem pada pipa hisap pada mana saringan telah dipasang dan turunkan ke
dalam sumur sampai klem duduk pada blok disamping rumah sumur atau pada fondasi
pompa.
c) Pasang klem ke rakitan tingkat pompa, pasang tingkat pompa ke pipa hisap, sampai
setiap bagian telah terpasang sesuai dengan instruksi pabrik pembuat pompa.
A.4.6.1.1 Pemasangan impeler harus dilakukan oleh petugas dari pabrik pembuat pompa.
Pemasangan yang tidak sempurna akan menimbulkan kerugian gesek yang berlebihan
akibat gesekan impeler pada penyekat pompa dan menyebabkan naiknya kebutuhan daya.
Bila impeler dipasang terlalu tinggi, akan terjadi pengurangan kapasitas sedangkan
kapasitas penuh adalah vital pada pompa kebakaran. Mur poros teratas harus dikunci atau
dipasak sesudah pemasangan yang sempurna.
A.4.6.1.2 Unit pompa diperiksa di pabrik untuk kehalusan kinerjanya dan sebaiknya dapat
beroperasi dengan memuaskan sesuai tugasnya. Bila ada getaran berlebihan, kondisi
berikut dapat menimbulkan masalah:
a) Pompa atau poros kolom bengkok.
b) Impeler tidak terpasang dengan tepat pada mangkok pompa
c) Pompa tidak tergantung bebas dalam sumur.
d) Tegangan ditransmisikan ke pemipaan pelepasan.
Temperatur motor yang berlebihan pada umumnya disebabkan baik oleh tegangan rendah
sumber listrik terus-menerus atau oleh pemasangan impeler yang tidak cermat di dalam
mangkok pompa.

107 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.5.1 Semua persyaratan pada Bab 2 boleh tidak dipergunakan pada pompa langkah
positif.
A.5.1.2 Perhatian khusus pada ukuran dan panjang pipa inlet pompa sebaiknya dicatat.
A.5.1.2.2 Kurva karakteristik pompa dan contoh cara pemilihan pompa. Karakteristik kurva
kinerja sebaiknya mengikuti standar yang ada.
Contoh : Seorang perencana, merencanakan sistem proteksi kebakaran busa-air. Telah
ditentukan, setelah penggunaan Faktor keamanan yang tersedia, sistem tersebut
membutuhkan pompa konsentrat busa dengan kemampuan 45 gpm pada tekanan sistem
maksimum 230 psi. Menggunakan kurva kinerja (lihat gambar A.5.1.2.2) untuk model pompa
“XYZ-987”, pompa ini dipilih untuk digunakan.
Pertama tama, tentukan 230 psi pada sumbu horisontal di label “Perbedaan tekanan” dan
kemudian tarik garis tegak lurus untuk kurva aliran sampai 45 gpm. Tercatat bahwa pompa
khusus ini menghasilkan 46 gpm pada kecepatan motor standar yang dirancang “RPM-2”.
Pompa ini sangat baik untuk digunakan.
Selanjutnya tarik ke kurva daya untuk kecepatan yang sama “RPM-2” pada 230 psi dan
diperoleh bahwa daya yang dibutuhkan 13,1 HP untuk menggerakkan pompa. Motor listrik
yang akan dipakai untuk penggunaan ini motor dengan 15 HP pada “RPM-2” adalah motor
nominal yang tersedia diatas persyaratan minimum ini.

Gambar A.5.1.2.2 : Contoh pemilihan pompa langkah positip


A.5.1.5 Pompa langkah positif sangat tergantung pada toleransi mesin, korosi dapat
mempengaruhi kinerja dan fungsi pompa.

108 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.5.2.2 Laju aliran spesifik harus ditentukan dengan standar yang berlaku. Konsentrasi
perekat dan aditif dapat menyebabkan kerugian gesek pipa yang besar dari tangki pemasok
ke hisapan pompa.
A.5.2.3 Pada umumnya, kapasitas pompa dihitung dengan mengalikan aliran air
maksimum dengan persentasi konsentrasi yang diinginkan. Hasil perkalian ini kemudian
ditambah 10 persen faktor keamanan (untuk kebutuhan yang melebihi) untuk memastikan
kapasitas pompa cukup pada semua kondisi yang ada.
A.5.2.4 Pada umumnya, tekanan pelepasan pompa konsentrat dipersyaratkan
ditambahkan tekanan 2 bar pada tekanan air maksimum di titik injeksi.
A.5.3.1 Standard ini tidak dimaksudkan untuk melarang penggunaan pompa-pompa
stasioner untuk sistem-sistem kabut air.
A.5.4.2 Pompa langkah positif mampu memberikan tekanan melebihi tekanan pelepasan
rancangan maksimumnya secara cepat bila dioperasikan terhadap sistem pelepasan
tertutup.
Bentuk lain alat proteksi (seperti penghentian otomatik, cakram retak dan lain-lain)
dipertimbangkan sebagai bagian sistem pemompaan dan umumnya di luar lingkup yang
dipasok oleh pabrik pembuat pompa. Komponen ini sebaiknya dirancang aman dan dipasok
oleh perancang dan/atau pengguna. (Lihat Gambar A-5-4.2 untuk usulan skematik
kebutuhan sistem pompa)

Gambar A.5.4.2 : Pemipaan dan fiting tipikal pompa busa


A.5.4.3 Hanya sistem yang mengembalikan aliran ke sumber dan dari jenis external yang
boleh dipergunakan bila saluran keluar (outlet) dari sistem ini dapat ditutup selama lebih dari
beberapa menit. Operasi pompa yang dilengkapi dengan katup relief integral dan jalur outlet
tertutup akan menyebabkan panas lebih dari pompa dan pelepasan busa dari cairan setelah
jalur outlet dibuka kembali.

109 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.5.4.4. Fiting dan pemipaan tipikal pompa sistem pengabut air

A.5.4.4 Tekanan balik pada sisi pelepasan dari katup relief tekanan sebaiknya
dipertimbangkan. (Lihat gambar A.5.4.4 untuk tataletak skematik kebutuhan pompa yang
diusulkan).

A.5.4.5 Ukuran mesh saringan yang direkomendasikan didasarkan pada toleransi pompa
internal. (Lihat gambar A.5.4.5 untuk ukuran mesh standar).

Gambar A.5.4.5 Ukuran mesh standar


A.5.5.1 Pompa langkah positif pada umumnya digerakkan oleh motor listrik, motor bakar
atau motor hidrolik.
A.5.6 Alat kontrol ini dapat dilengkapi sarana pelepas beban atau pelepas tekanan
otomatik pada saat menstart penggerak pompa.
A.6.2.2 Suatu fasilitas penghasil tenaga listrik setempat yang terletak disekitar pompa
kebakaran dapat dipergunakan sebagai fasilitas penyedia daya bila fasilitas ini berada pada
gardu daya yang terpisah atau terpisah dari bangunan utama. Fasilitas tersebut dapat
dipergunakan sebagai satu dari dua sumber penyedia arus. Bilamana dua sumber
digunakan dengan saklar pemindah daya, lihat, lihat SNI 04-0225-2000, tentang
"Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)".

110 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.6.2.3 Sumber yang handal memiliki karakteristik berikut:


a) Jarang mengalami pemutusan daya akibat lingkungan atau kondisi akibat perbuatan
manusia.
b) Memiliki sambungan pelayanan terpisah atau sambungan ke sisi pasok dari pemutus
layanan.
c) Konduktor servis dan feeder baik yang tertanam 50 mm (2 inch) dalam beton atau bata
dalam bangunan
Metoda umum menggelar sistem daya dari sumber ke motor diperlihatkan pada Gambar
A.6.2.3. Susunan lainnya juga diperbolehkan. Penentuan kehandalan pelayanan ditentukan
oleh instansi berwenang.

Gambar 6.2.3. Susunan pasokan daya tipikal dari sumber ke motor


A.6.3 Bila resiko yang ada tinggi dan bila pemutusan layanan pompa kebakaran akan
mengganggu proteksi kebakaran secara nyata, setidaknya sebaiknya disediakan dua sirkit
terpisah dari pusat pembangkit tenaga ke ruangan pompa. Sirkit sebaiknya dijalankan
melalui saluran terpisah atau dengan sedemikian sehingga kerusakan lebih dari satu saluran
pada waktu yang bersamaan akan jarang terjadi.

111 dari 142


SNI 03-6570-2001

Sirkit total di bawah tanah dari stasiun pembangkit ke ruangan pompa sangat dianjurkan dan
harus dilaksanakan bila memungkinkan. Bila cara demikian tidak dimungkinkan, sirkit di atas
kepala diijinkan, tetapi bagian dari sirkit yang dekat dengan pembangkit yang dilayani
pemadam kebakaran atau pembangkit yang terbuka seharusnya dilayani dengan perhatian
khusus terhadap kerusakan akibat kebakaran.
Bila ruangan pompa bagian dari, atau dekat dengan, pembangkit yang mana pompa
dirancang untuk memproteksinya, kabel sebaiknya ditanam untuk jarak tertentu dari ruangan
pompa.
A.6.3.1 Dibawah pengaruh kondisi kebakaran, sambungan pelayanan dan pasokan
mudah terpengaruh oleh kerusakan bangunan, misalnya yang runtuh, atau kerusakan
bagian-bagian lain dalam lingkungan yang sama halnya dengan akibat kebakaran. Dibawah
kondisi kebakaran yang disebabkan oleh arus lebih dalam konduktor pelayanan dan feeder,
karakteristik pada butir 6.3.1 meminimumkan kemungkinan penyebaran api.
Cara tipikal untuk menentukan komponen jalur daya dari sumbernya ke motor ditunjukkan
pada gambar A.6.2.3. Konfigurasi lain juga diijinkan.
A.6.3.2.2.1 Bila daya alternatif dari generator setempat, peralatan pelayanan pengganti tidak
perlu diletakkan pada ruangan pompa kebakaran.
Komisi teknik mempertimbangkan bahwa susunan potensial menyediakan daya listrik pompa
kebakaran dari sisi sekunder transformer, di mana fasilitas pasokan lain untuk beban listrik.
Komisi teknik mengakui bahwa kemungkinan untuk memasok daya pompa kebakaran
dimuka beban bangunan lainnya dan untuk memproteksi sirkit daya pompa kebakaran
dengan koordinasi elektrikal yang tepat.
Bagaimanapun, komisi teknik perduli hal tersebut, dimana merespon keadaan darurat,
petugas pemadam kebakaran mungkin mencari pemutus daya listrik untuk fasilitas membuka
pelepas sisi primer transformer, dimana dalam hal ini akan mengisolasi daya ke pompa
kebakaran secara baik. Sebagai tambahan, komisi teknik perduli bahwa koordinasi elektrikal
dirancang dapat berkompromi dengan tambahan beban listrik dari luar untuk memfasilitasi
sistem distribusi daya. Karena itu, jika pelayanan listrik dipasok ke fasilitas tegangan tinggi
dari pada tegangan biasa, komisi teknik berfikir bahwa pemisahan transformator untuk
menyediakan daya ke pompa kebakaran tepat.
A.6.4 Normal, ukuran konduktor didasarkan pada bab yang sesuai dari SNI 04-0225-
2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)", kecuali ukuran yang
lebih besar dapat dipersyaratkan untuk memenuhi persyaratan NFPA 70, Section 695-8(e)
(NFPA 20, Section 6-4). Ukuran transformer sesuai dengan SNI 04-0225-2000, tentang
"Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)", kecuali ukuran minimum lebih besar
dapat dipersyaratkan untuk memenuhi persyaratan NFPA 70, Section 695-8(e) (NFPA 20,
Section 6-4).
A.6.5.1.1.1 Arus rotor terkunci untuk motor 380 V diperkirakan sama dengan 6 kali arus
beban penuh.
A.6.6.2 Bila generator dimaksudkan juga untuk memasok daya ke beban lain sebagai
tambahan dari satu atau lebih penggerak pompa kebakaran, pemasok bahan bakar harus
mampu memenuhi kebutuhan semua beban yang ada untuk jangka waktu yang diinginkan.
Beban yang tersambung dapat termasuk beban seperti lampu darurat, tanda keluar dan lift.
A.7.1.2.2 Ungkapan yang tepat untuk penggunaan sarana dimana alat kontrol dan sakelar
pemindah prototipenya telah teruji dan telah didemonstrasikan pada pengujian daya tahan

112 dari 142


SNI 03-6570-2001

terhadap hubung singkat dan kapasitas interupsinya dinyatakan dengan besaran arus
hubung singkat dan tegangan listrik yang tersedia pada jalur terminanyal (lihat ANSI/UL 509
Standard for safety industrial control equipment, dan ANSI/UL 1008, standard for safety
automatic transfer switch).
Pengkajian hubung singkat sebaiknya dilakukan untuk menentukan arus hubung singkat
yang ada pada alat kontrol sesuai dengan IEEE 141, Electric power distribution for industrial
plants; IEEE 241, Electric system for commercial buildings; or other acceptable methods.
Setelah alat kontrol dan sakelar pemindah digunakan untuk pengujian kegagalan arus tinggi,
alat ini mungkin tidak cocok untuk digunakan selanjutnya tanpa diperiksa dan diperbaiki
terlebih dahulu (lihat NEMA ICS 2.2), Maintenance of Motor Controllers after a fault
condition).
A.7.2.1 Jika alat kontrol harus ditempatkan di luar ruangan pompa, bukaan kaca
sebaiknya disediakan pada dinding ruangan pompa untuk mengamati motor dan pompa
selama start. Jalur pipa kontrol tekanan sebaiknya diproteksi terhadap kebekuan dan
kecelakaan mekanik.
A.7.3.3.1 Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)".
A.7.3.6 Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)"
A.7.3.7.3 Operator pompa sebaiknya memahami instruksi yang disediakan untuk alat
kontrol dan meneliti semua detail rekomendasinya.
A.7.4.1 Operasi dari penangkal kejut (surge arrester) sebaiknya tidak menyebabkan
sakelar isolasi atau pemutus tenaga membuka.
Penangkal pada ANSI/IEEE C62.11, IEEE Standard for metal oxide surge arresters for AC
Power circuits, biasanya Zink Oxide tanpa celah.
A.7.4.2.1 Pengecualian no.1:
Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL-2000)"
A.7.4.2.3 Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)"
A.7.4.3.1 Untuk informasi lebih lanjut, lihat SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum
Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)"
A.7.4.3.3 Perhatian sebaiknya diberikan untuk tipe pelayanan pembumian dalam
menentukan interupsi pemutus tenaga nominal yang didasarkan pada tipe pembumian yang
dipakai.
A.7.4.3.3.(4) Interupsi nominal dapat berkurang dari nominal yang sesuai apabila alat-alat
lain di dalam alat kontrol membantu proses interupsi arus.
A.7.4.3.3.(6) Pengecualian :
Alat pembatas arus dari tipe sambungan meleleh, bila digunakan sebagai bagian integral
dari pemutus tenaga, membatasi arus selama hubung singkat di dalam kapasitas interupsi
dari pemutus tenaga.

113 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.7.4.4.c) Direkomendasikan bahwa alat pengaman arus lebih rotor terkunci tidak di reset
lebih dari 2 (dua) kali berturut turut jika trip karena rotor terkunci tanpa pemeriksaan pertama
motor karena panas lebih dan untuk mengurangi atau membatasi penyebab yang mencegah
motor mencapai kecepatannya.
A.7.4.5.6 Pengecualian.
Alarm sebaiknya bergabung dengan alat indikasi tampak lokal dan kontak indikasi jarak jauh.
Alarm dapat bergabung sebagai bagian dari alat indikasi daya yang tersedia dan kehilangan
fasa alarm {lihat butir 7.4.6.1 dan 7.4.7.b)}.
A.7.4.6 Lampu pilot untuk pelayanan alarm dan sinyal sebaiknya beroperasi pada
tegangan listrik lebih rendah dari tegangan listrik nominal agar lampu berumur panjang
pemakaiannya. Bila perlu, resistor yang cocok atau trafo tegangan digunakan untuk
mengurangi tegangan listrik dalam pengoperasian lampu.
A.7.4.7 Apabila kondisi yang luar biasa ada menyebabkan pompa beroperasi tidak
menentu, alarm yang menunjukkan “kegagalan operasi” direkomendasikan. Agar supaya
supervisi sumber daya tersupervisi pada sirkit alarm, alat kontrol dapat disusun untuk start
pada kegagalan daya sirkit alarm tersupervisi.
A.7.5.1 Definisi berikut diambil dari NFPA 70, National Electric Code.
a) otomatik.
bergerak sendiri, beroperasi dengan mekaniknya sendiri bila digerakkan oleh
pengaruh tertentu, bukan oleh orang, seperti contoh : perubahan kekuatan arus,
tekanan , temperatur, atau konfigurasi mekanikal.
b) tidak otomatik.
gerakan yang membutuhkan intervensi untuk kopntrolnya. Seperti diterapkan untuk
alat kontrol otomatik, kontrol tidak otomatik tidak berarti menyatakan secara tidak
langsung sebagai alat kontrol manual, tetapi hanya perlu petugas untuk
mengintervensi.
A.7.5.2.1 Pemasangan jalur pengindera tekanan antara katup searah pelepasan dan katup
kontrol perlu untuk memfasilitasi isolasi dari alat kontrol pompa jockey (dan jalur pengindera)
guna pemeliharaan tanpa mengeluarkannya dari seluruh sistem {lihat gambar A.7.5.2.1(a)
dan (b)}

114 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.7.5.2.1.(a).: Sambungan pemipaan untuk setiap sakelar tekanan otomatik


(untuk pompa kebakaran dan pompa jockey).

Gambar A.7.5.2.1.(b): Sambungan pemipaan untuk saluran pengindera tekanan


A.7.5.2.1.e) Alat pencatat tekanan sebaiknya mampu untuk mencatat tekanan sedikitnya 150
persen dari tekanan pelepasan pompa di bawah kondisi tanpa aliran. Pada bangunan
bertingkat tinggi, sebaiknya mudah dibaca tanpa membuka panel alat kontrol pompa
kebakaran. Persyaratan ini tidak harus diikuti oleh alat pencatat yang terpisah dari setiap alat
kontrol ini. Alat pencatat saluran jamak tunggal dapat melayani pengindera jamak.

115 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.7.5.3.2 Kontrol mekanik untuk menjalankan secara darurat, menyediakan sarana di


bagian luar yang menutup kontaktor motor secara manual, memotong jalur untuk start dan
menjalankan motor pompa kebakaran.
Ini dimaksudkan untuk penggunaan darurat apabila pengoperasian secara normal/magnetic
tidak memungkinkan. Bila digunakan pada rancangan alat kontrol, tegangan listrik pada
waktu start akan turun, batas penurunan tegangan listrik 15 persen pada butir 6.4 tidak
digunakan.
A.7.7 Instansi berwenang dapat mengijinkan penggunaan alat kontrol pelayanan
terbatas untuk situasi khusus dimana penggunaan yang dapat diterima disampaikan pada
pihak berwenang.
A.7.8 Susunan Alat kontrol pompa kebakaran tipikal dan sakelar pemindah seperti
ditunjukkan pada gambar A.7.8. Konfigurasi lain dapat juga diterima.

Gambar A.7.8 : Susunan Alat kontrol pompa kebakaran tipikal dan sakelar pemindah
A.7.8.2 Kompartementalisasi atau pemisahan untuk mencegah penyebaran dari
kegagalan salah satu kompartemen dalam kompartemen yang lain.
A.8.2.2.1 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat SAE J-1349, Engine Power Test Code –
Spark Ignition and Compression Engine.
A.8.2.2.4 Lihat gambar A.8.2.2.4.

116 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.8.2.2.4 : Kurva pengurangan nilai karena ketinggian.


A.8.2.2.5 Kenaikan temperatur kamar pompa sebaiknya dipertimbangkan bila menentukan
temperatur udara luar tertentu (lihat gambar A.8.2.2.5).

Gambar A.8.2.2.5 : Kurva pengurangan nilai temperatur.


A.8.2.4.7 Suatu cara menata pada penutup akan memastikan pengkabelan yang siap di
lokasi antara dua set terminal.

117 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.8.2.4.8 Terminal sebaiknya menggunakan penyambungan jenis sepatu kabel dan


diisolasi. Pada terminal jenis sepatu kabel sebaiknya kabelnya dikupas kurang lebih 1,6 mm
(1/16 inch) memperlihatkan kabel telanjang setelah dimasukkan dalam sepatu kabel untuk
menjamin tidak adanya isolasi yang berada di bawah sepatu kabel. Kabel sebaiknya
disentak untuk memastikan agar terminal cukup kuat.
A.8.2.4.9 Operasi mekanikal secara manual dari kontraktor batere utama akan mem
“bypass” semua pengkabelan sirkit kontrol di dalam alat kontrol.
A.8.2.5.2.3 Alat pengisi batere tunggal yang secara otomatik berganti-ganti dari satu batere
ke batere lain dapat digunakan pada instalasi dua batere.
A.8.2.5.2.5 Lokasi pada sisi dan sama tinggi dengan motor direkomendasikan untuk
memperpendek panjang kabel dari batere ke starter.
A.8.2.6.3 Lihat gambar A.8.2.6.3.

Gambar A.8.2.6.3 Saluran air pendingin dengan bypass.


A.8.2.6.4 Apabila pasokan air diperkirakan dapat mengandung bahan-bahan asing seperti
potongan kayu, daun-daun, potongan kain dan lain sebagainya, saringan sebagaimana
disyaratkan dalam butir 8.2.6.3, sebaiknya dari tipe saringan rangkap dua.

118 dari 142


SNI 03-6570-2001

Setiap elemen filter (bersih) sebaiknya mempunyai kapasitas penyaringan yang cukup untuk
memungkinkan aliran penuh untuk jangka waktu 3 jam.
Sebagai tambahan, saringan rangkap dua dengan kapasitas yang sama sebaiknya dipasang
juga di jalur “bypass” (lihat gambar A.8.2.6.3).
A.8.3 Pompa yang digerakkan dengan motor dapat dipasang di dalam rumah untuk
pompa atau di dalam ruangan pompa yang sebaiknya seluruhnya terpisah dari struktur
utama bangunan oleh konstruksi yang tidak mudah terbakar.
A.8.3.2 Untuk mendapatkan ventilasi ruangan yang terbaik, ventilasi untuk pasokan dan
pelepasan udara sebaiknya untuk dipasang di dinding yang berlawanan.
Apabila melakukan perhitungan temperatur maksimum di ruangan pompa, radiasi panas
dari motor, pemipaan pembuangan serta semua sumber lainnya yang menambah panas
sebaiknya dipertimbangkan.
Bila ruangan pompa di ventilasi dengan ventilator yang digerakkan dengan daya listrik,
keandalan dari sumber daya listrik pada waktu terjadi kebakaran sebaiknya untuk
dipertimbangkan. Bila sumber daya listrik tidak dapat diandalkan, perhitungan kenaikan
temperatur sebaiknya berdasarkan asumsi ventilator tidak berfungsi.
Udara yang digunakan motor untuk pembakaran sebaiknya dipertimbangkan sebagai bagian
dari pertukaran udara di dalam ruangan.
Ruangan pompa dengan motor didinginkan oleh alat penukar kalor, membutuhkan khusus
pertukaran udara yang lebih banyak dari konsumsi udara motor yang tersedia.
Untuk mengendalikan naiknya temperatur di ruangan, aliran udara tambahan melalui
ruangan umumnya dibutuhkan { lihat gambar A.8.3.2.(a) }.
Ruangan pompa dengan motor didinginkan radiator mungkin pertukaran udaranya cukup
karena pelepasan dari radiator dan komsumsi motor { lihat gambar A.8.3.2.(b) }.

Gambar A.8.3.2.(a) : Sistem ventilasi tipikal untuk alat penukar kalor pendingin diesel
penggerak pompa.

119 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.8.3.2.(b) : Sistem ventilasi tipikal untuk radiator pendingin diesel penggerak
pompa
A.8.3.2.1 Bila damper yang digerakkan oleh motor digunakan di jalur pasokan udara,
damper ini sebaiknya menggunakan gerakan pegas untuk posisi membuka dan
menggunakan motor untuk menutup. Damper yang dioperasikan oleh diberi sinyal untuk
membuka bila atau sebelum motor mulai memutar poros engkol untuk start.
Batasan hambatan maksimum aliran udara untuk ventilator pasokan udara perlu sesuai
dengan motor yang teruji untuk memastikan aliran udara yang cukup untuk pendinginan dan
pembakaran. Hambatan ini termasuk tipikal seperti burung, damper, dakting, atau apa saja
yang berada di jalur pasokan udara antara ruangan pompa dan di luar.
Damper yang digerakkan dengan motor direkomendasikan untuk motor yang didinginkan
dengan alat penukar kalor untuk meningkatkan sirkulasi konveksi.
Damper yang digerakkan secara gravitasi direkomendasikan untuk digunakan pada motor
yang didinginkan dengan radiator untuk memudahkan koordinasinya dengan aliran udara
dan fan.
A.8.3.2.2 Apabila damper digerakkan dengan motor digunakan di jalur pelepasan udara,
damper ini sebaiknya menggunakan gerakan pegas untuk posisi membuka, dan
menggunakan motor untuk menutup, serta diberi sinyal untuk membuka bila atau sebelum
motor mulai memutar poros engkol untuk start.
Ventilator udara umumnya dapat bekerja melawan angin. Untuk itu, adanya angin sebaiknya
dipertimbangkan bila menentukan lokasi dari ventilator pelepasan udara ( lihat gambar
A.8.3.2.2 untuk rancangan dinding yang menghadap angin yang direkomendasikan).

120 dari 142


SNI 03-6570-2001

Untuk motor yang didinginkan dengan alat penukar kalor, ventilator pelepasan udara dengan
damper yang digerakkan oleh motor dirancang untuk sirkulasi konveksi lebih disukai dari
pada ventilator yang digerakkan oleh listrik.
Susunan ini akan membutuhkan ukuran ventilator yang lebih besar, tetapi tidak tergantung
pada sumber daya yang mungkin tidak tersedia pada waktu pompa beroperasi.
Untuk motor yang didinginkan dengan radiator, direkomendasikan untuk menggunakan
damper yang digerakkan secara gravitasi. Kisi-kisi dan damper yang digerakkan oleh motor
tidak direkomendasikan, karena hambatan pada aliran udara yang ditimbulkannya dan
tekanan udara yang harus dioperasikan untuk melawannya.
Batasan hambatan aliran maksimum untuk ventilator pelepasan udara perlu sesuai dengan
motor yang teruji untuk memastikan aliran udara pendinginan yang cukup.

Gambar A.8.3.2.2. Dinding angin tipikal.

A.8.4.3 Bilamana pengisian ulang bahan bakar dengan cepat diragukan, pasokan
cadangan sebaiknya disediakan dengan fasilitas untuk memindahkan ke tangki utama.
A.8.4.5 Letak tangki penyimpan bahan bakar diesel lebih disukai di dalam ruangan
pompa atau rumah untuk pompa, jika diperkenankan oleh peraturan setempat. Jalur
pengisian dan penghawaan diteruskan sampai ke luar ruangan. Pipa pengisian dapat
digunakan untuk mengukur isi tangki utama (gauging well) dimana dimungkinkan.
A.8.4.6 NFPA 31, Standard for the Installation of Oil burning equipment, dapat digunakan
sebagai pedoman untuk pemipaan bahan bakar. Gambar A.8.4.6 menunjukkan sistem
bahan bakar motor diesel yang disarankan.

121 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.8.4.6 Sistem bahan bakar untuk motor diesel penggerak pompa kebakaran
A.8.4.7 Titik leleh (pour point) dan titik keruh (cloud point) paling tidak 5,60C (100F) di
bawah temperatur bahan bakar yang terendah yang mungkin terjadi (lihat butir 2.7.2 dan
8.4.5).
A.8.5.3 Petunjuk secara konservatif, bila sistem pembuangan panjangnya melebihi 4,5 m
(15 ft), ukuran pipa sebaiknya dibesarkan satu ukuran lebih besar dari ukuran outlet
pembuangan motor untuk setiap penambahan panjang 1,5 m ( 5 ft ).
A.8.6 Motor bakar yang mempunyai bagian-bagian bergerak sesuai rancangan dan
dengan jumlah seperti itu tidak dapat diberikan keandalan pelayanan yang baik kecuali
dilakukan pemeliharaan yang baik. Buku instruksi dari pabrik pembuat mencakup
pemeliharaan dan pengoperasian sebaiknya tersedia, dan operator pompa memahami
isinya. Semua ketentuan-ketentuannya yang terkait sebaiknya diteliti secara detail.
A.8.6.2 Lihat NFPA 25, Standard for the Inspection, Testing, and Maintenance of Water
Based Fire Protection Systems, untuk pemeliharaan yang benar dari motor, batere, pasokan
bahan bakar, dan kondisi lingkungan.
A.8.6.5 Temperatur motor yang tepat bila motor tidak berjalan dapat dipertahankan
dengan sirkulasi dari air panas melalui selubung (jacket) atau melalui pemanas dari air untuk
motor dengan elemen elektrik yang dicelupkan ke dalam blok motor. Sebagai ketentuan
umum, alat pemanas air dan alat pemanas minyak dibutuhkan untuk motor diesel di bawah
210C ( 700F).

122 dari 142


SNI 03-6570-2001

Manfaat yang bisa diperoleh adalah sebagai berikut :


a) Start cepat (motor pompa kebakaran dapat memikul beban penuh segera setelah di
start).
b) Mengurangi keausan motor.
c) Mengurangi pembuangan pada batere.
d) Mengurangi pengenceran minyak.
e) Mengurangi pembentukan karbon, sehingga kemungkinan besar motor dapat di start
setiap saat.
A.9.2.1 Jika alat kontrol harus ditempatkan di luar kamar pompa, bukaan kaca sebaiknya
disediakan pada dinding kamar pompa untuk mengamati motor dan pompa selama start.
Jalur pipa kontrol tekanan sebaiknya diproteksi terhadap kebekuan dan kerusakan mekanik.
A.9.3.1 Dalam daerah yang dipengaruhi oleh kelembaban berlebihan, panas dapat
berguna untuk mengurangi kelembaban.
A.9.3.3.1 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat NEMA 250, Enclosure for electrical
equipment.
A.9.3.8 Operator pompa sebaiknya memahami instruksi yang disediakan untuk alat
kontrol dan mengamati semua detail dari rekomendasinya.
A.9.4.1.2 Direkomendasikan lampu pilot dan pelayanan sinyal menggunakan voltage lebih
rendah dari voltage nominal lampu untuk memastikan lampu berumur panjang. Bila perlu
resistor digunakan untuk mengurangi voltage pada pengoperasian lampu.
A.9.4.2.c) Sinyal gangguan berikut sebaiknya dimonitor dari jarak jauh dari alat kontrol :
a) Sinyal yang umum dapat digunakan untuk mengindikasi gangguan sebagai berikut :
butir 9.4.1.3.a) sampai e) dan kehilangan output pengisi batere pada sisi beban alat
proteksi arus lebih arus searah (dc).
b) Jika tidak ada cara lain untuk mengamati kehilangan daya, alat kontrol dapat
dilengkapi dengan sirkit kegagalan daya, yang menunda waktu start motor pada saat
kehilangan output arus dari pengisi batere.
A.9.4.4 Alat pencatat tekanan sebaiknya mampu mencatat tekanan sekurang kurangnya
150 persen dari tekanan pelepasan pompa di bawah kondisi tanpa aliran. Pada bangunan
bertingkat tinggi persyaratan ini dapat lebih dari 27,6 bar ( 400 psi). Persyaratan ini tidak
harus diikuti alat pencatat terpisah untuk setiap alat kontrol yang dapat melayani pengindera
jamak. Alat pencatat tunggal saluran jamak dapat melayani alat pengindera jamak.
A.9.5 Definisi berikut diturunkan dari NFPA 70, National Electric Code :
a) Otomatik.
bergerak sendiri, beroperasi dengan mekaniknya sendiri bila digerakkan oleh
pengaruh bukan orang, bukan oleh orang, seperti contoh : perubahan kekuatan arus,
tekanan , temperatur, atau konfigurasi mekanikal.
b). Tidak otomatik.
gerakan tak langsung yang membutuhkan intervensi orang untuk kontrolnya. Seperti
diterapkan pada alat kontrol listrik, kontrol tidak otomatik tidak perlu menyatakan

123 dari 142


SNI 03-6570-2001

secara tak langsung sebagai alat kontrol manual, tetapi hanya memerlukan intervensi
orang.
A.9.5.5.2 Memberhentikan secara manual pompa kebakaran lebih disukai.
Memberhentikan secara otomatik pompa kebakaran dapat terjadi selama kondisi aktual
kebakaran jika sinyal alat kontrol menunjukkan kondisi aliran yang relatif rendah dimana
persyaratan tekanan telah dipenuhi.
A.9.6.9 Alat pencatat tekanan sebaiknya mampu mencatat tekanan sekurang kurangnya
150 persen dari tekanan pelepasan pompa di bawah kondisi tanpa aliran. Pada bangunan
bertingkat tinggi persyaratan ini dapat lebih dari 27,6 bar ( 400 psi). Persyaratan ini tidak
harus diikuti alat pencatat terpisah untuk setiap alat kontrol yang dapat melayani pengindera
jamak. Alat pencatat tunggal saluran jamak dapat melayani alat pengindera jamak.
A.10.1.3 Turbin bertingkat tunggal, keandalan maksimum dan kesederhanaannya
direkomendasikan apabila pasokan uap yang ada memungkinkan.
A.10.2.1.1. Rumah pompa bisa terbuat dari bahan besi tuang.
Beberapa penggunaan dapat mempersyaratkan turbin penggerak pompa untuk start secara
otomatik tetapi tidak mempersyaratkan turbin di kontrol dengan tekanan setelah start.
Dalam hal seperti ini katup reset manual membuka cepat yang memuaskan dipasang pada
bypass dari saluran pasokan uap disekitar katup kontrol manual dapat digunakan.
Apabila persyaratan penggunaan unit pompa untuk otomatik start dan setelah start menerus
untuk beroperasi oleh sarana sinyal tekanan, pemakaian katup kontrol tipe pilot yang
memuaskan direkomendasikan.
Katup ini sebaiknya ditempatkan pada bypass disekitar katup kontrol manual dalam jalur
pasokan uap.
Katup kontrol governor turbin, jika di set pada kira-kira 5 persen di atas kecepatan beban
penuh normal, akan menggerakkan kontrol darurat awal.
Dalam susunan yang ditentukan dalam dua bab terdahulu, katup otomatik sebaiknya
ditempatkan dalam bypass disekitar katup kontrol manual, yang mana dalam keadaan
normal ditahan dalam posisi tertutup. Dalam kejadian kegagalan katup otomatik, katup
manual ini dapat dibuka, membolehkan turbin untuk memungkinkan mencapai kecepatan
dan dikontrol oleh katup kontrol governor turbin. Pemakaian “katup pengatur tekanan
gerakan langsung” yang beroperasi pada katup kontrol turbin uap tidak direkomendasikan.
A.10.3 Informasi berikut sebaiknya dipertimbangkan bila perencanaan pasokan uap,
pembuangan, dan pasokan ketel uap digunakan untuk turbin uap penggerak pompa
kebakaran :
a) Pasokan uap untuk pompa kebakaran lebih disukai tidak tergantung jalur dari ketel
uap. Sebaiknya tidak menimbulkan kerusakan pada harta benda pada saat terjadi
kebakaran di mana saja. Jalur uap selain dari ketel uap sebaiknya dikontrol oleh katup
yang ditempatkan dalam ruangan ketel uap. Dalam keadaan darurat, uap dapat cepat
ditutup dari jalur ini, membiarkan seluruh pasokan uap yang ada untuk pompa
kebakaran. Saringan pada aliran ke turbin direkomendasikan untuk dipasang.
b) Tekanan Katup pengatur uap pada pompa sebaiknya mendekati dengan tekanan uap.
Sebaiknya digunakan katup bulat (globe). Jika katup yang dipakai mempunyai cincin
dengan komposisi yang dapat dilepas, cakram sebaiknya dari bahan bronze dan cincin
dibuat cukup keras dan bahannya ulet, dan berada ditempatnya pada cakram dengan

124 dari 142


SNI 03-6570-2001

memuaskan memenuhi kondisi pelayanan yang berat. Katup sorong tidak disukai
untuk pelayanan ini karena tidak mudah untuk dibuat tahan bocor, seperti katup tipe
bulat. Pemipaan uap sebaiknya disusun dan di lekukkan (trap) dimana pipa dapat
dipertahankan bebas dari uap yang terkondensasi.
c). Secara umum, katup penurun tekanan sebaiknya tidak ditempatkan pada pipa uap
yang memasok pompa kebakaran. Tidak ada kesulitan merancang turbin modern
dengan uap tekanan tinggi, dan sangat dapat diandalkan.
Katup penurun tekanan dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya hambatan di jalur
uap bila katup ini mulai mengganggu. Pada banyak kasus turbin dapat diproteksi oleh
pemasangan katup pengaman yang dipersyaratkan pada butir 10.2.1.2 dengan ukuran
sehingga tekanan di rumah pompa tidak melebihi 1,7 bar (25 psi). Katup ini sebaiknya
dipasang di luar ruangan pompa, dan jika mungkin pada titik tertentu di mana
pelepasannya dapat terlihat oleh petugas pompa.
Apabila katup penurunan tekanan dipakai, butir-butir berikut sebaiknya dipertimbang
kan secara hati-hati :
1) Katup penurun tekanan.
(a). Katup penurun tekanan sebaiknya tidak berisi stuffing box atau torak yang
bekerja di dalam silinder.
(b). Katup penurun tekanan sebaiknya disediakan dengan bypass yang berisi
katup bulat yang akan membuka pada kondisi darurat. Bypass dan katup
stop sebaiknya berukuran satu pipa lebih kecil dari katup penurun tekanan,
dan sebaiknya diletakkan ditempat yang mudah terjangkau. Bypass
sebaiknya disusun untuk mencegah pengumpulan kondensat di atas katup
penurun tekanan.
(c). Katup penurun tekanan sebaiknya lebih kecil dari pipa uap yang diper
syaratkan oleh spesifikasi turbin.
2) Pipa pembuangan.
Pipa pembuangan sebaiknya dibuat lurus langsung ke atmosfer dan sebaiknya
tidak ada katup dari tipe apapun. Sebaiknya tidak dihubungkan dengan
kondenser yang mana saja, alat pemanas, atau sistem lain dari pemipaan
pembuangan.
3) Pengisian ketel uap darurat.
Metoda yang mudah untuk memastikan pasokan uap untuk unit pompa
kebakaran, dalam keadaan pengisian ketel uap secara biasa gagal, disediakan
sambungan darurat dari pelepasan pompa kebakaran. Sambungan ini sebaiknya
mempunyai katup pengontrol pada pompa kebakaran dan juga jika diinginkan,
tambahan katup diletakkan dalam ruangan ketel uap. Katup searah sebaiknya
juga ditempatkan pada sambungan ini, lebih disukai dalam ruangan ketel uap.
Sambungan darurat mempunyai diameter kira-kira 51 mm ( 2 inch ).
Metoda ini sebaiknya tidak dipakai jika ada bahaya dari kontaminasi pasokan air
minum. Dalam situasi dimana pompa kebakaran membawa air garam atau air payau,
mungkin juga tidak diinginkan sambungan pasokan darurat ketel uap ini. Dalam situasi
seperti ini, usaha sebaiknya dilakukan untuk mengamankan beberapa saluran
pengisian ketel uap sekunder yang selalu tersedia.

125 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.11.2.2 Sebagai tambahan, perwakilan dari kontraktor pemasang dan pemberi tugas
sebaiknya hadir.
A.11.2.6 Pengoperasian pompa kebakaran sebagai berikut :
a). Motor listrik penggerak pompa.
Untuk menstart motor penggerak pompa, langkah dan urutan berikut sebaiknya
dilakukan :
1) Lihat, apakah pompa siap terpasang secara lengkap dan rapih.
2). Tutup sakelar isolasi dan kemudian tutup pemutus tenaga.
3). Alat kontrol otomatik akan menstart pompa jika kebutuhan sistem tidak terpenuhi
(misalnya tekanan rendah, trip karena tergenang, dan lain-lain).
4) Untuk pengoperasian secara manual, aktifkan sakelar atau tombol tekan, atau
handel start manual.
Pemutus tenaga-mekanisme trip sebaiknya diset sehingga tidak akan beroperasi jika
arus dalam sirkit terlalu besar.
b) Uap penggerak pompa.
Turbin uap yang menggerakkan pompa kebakaran sebaiknya selalu tetap hangat untuk
mengijinkan pengoperasian mendadak pada kecepatan nominal penuh. Start otomatik
dari turbin sebaiknya tidak tergantung pada pengoperasian katup manual atau perioda
pengoperasian pada kecepatan rendah. Jika katup pengaman bekerja pada rumah
pompa, uap sebaiknya ditutup, dan pemipaan buang diperiksa, untuk melihat apakah
katup pembuangan tertutup atau ada hambatan pada bagian dari pemipaan.
Turbin uap dilengkapi dengan governor untuk menjaga kecepatan pada titik yang telah
ditentukan sebelumnya, dan beberapa penyetelan tinggi rendahnya kecepatan.
Kecepatan yang diinginkan berada di bawah rentang ini dapat diperoleh dengan
mengatur katup hambatan (throttle) utama.
c) Motor diesel penggerak pompa.
Untuk menstart motor diesel penggerak pompa, operator sebaiknya memahami
sebelum manangani pengoperasian dari peralatan ini.
Buku instruksi yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat motor dan kontrol sebaiknya
dipelajari seluruhnya.
Batere sebaiknya selalu dijaga dalam kondisi baik, untuk memastikan pengoperasian
dengan cepat dan memuaskan dari peralatan ini (yaitu periksa permukaan elektrolit
dan berat jenis, periksa kondisi kabel, korosi dan lain-lain).
d) Seting pompa kebakaran.
Sistem pompa kebakaran, jika distart dengan penurunan tekanan, sebaiknya disusun
sebagai berikut :
1) Titik stop pompa jockey sebaiknya sama dengan tekanan tanpa aliran (churn)
pompa ditambah tekanan statik pasok minimum.
2) Titik start pompa jockey sebaiknya minimal 0,68 bar (10 psi) lebih rendah dari titik
stop pompa jockey.

126 dari 142


SNI 03-6570-2001

3) Titik start pompa kebakaran sebaiknya 0,34 bar ( 5 psi) lebih rendah dari titik
start pompa jockey. Gunakan 0,68 bar (10 psi) lebih tinggi untuk setiap
penambahan pompa.
4) Apabila waktu jalan minimum tersedia, pompa akan terus menerus beroperasi
setelah mencapai tekanan ini. Tekanan akhir sebaiknya tidak melebihi tekanan
nominal dari sistem.
5) Apabila pengoperasian dengan sakelar tekanan diferensial tidak mengijinkan
seting ini, seting sebaiknya mendekati yang diijinkan peralatan. Seting sebaiknya
ditentukan oleh tekanan yang ditunjukkan pada alat pengukur uji.
6) Contoh :
Pompa 1000 gpm, 100 psi, tekanan pompa tanpa aliran 115 psi. Pasokan hisap
statik minimum dari pasokan air kota (PDAM) = 50 psi, maksimum pasokan
statiknya 60 psi.
Pompa jockey stop = 115 + 50 = 165 psi.
Pompa jockey start = 165 – 10 = 155 psi.
Pompa kebakaran stop = 115 + 50 = 165 psi.
Pompa kebakaran start = 155 – 5 = 150 psi.
Maksimum pompa kebakaran tanpa aliran = 115 + 60 = 175 psi.
(untuk unit SI, 1 psi = 0,0689 bar).
7) Apabila alat pengatur waktu berjalan minimum tersedia, pompa akan terus
menerus beroperasi pada tekanan tanpa aliran (churn) pada seting stop.
Tekanan akhir sebaiknya tidak melebihi tekanan nominal dari komponen sistem.
e). Alat pencatat otomatik.
Kinerja dari semua pompa kebakaran sebaiknya otomatik ditunjukkan pada alat
pencatat tekanan untuk melengkapi laporan pengoperasian pompa dan membantu
pemeriksaan kerugian karena kebakaran.
A.11.2.6.1 Peralatan uji sebaiknya disediakan oleh instansi berwenang atau kontraktor yang
memasang atau pabrik pembuat pompa, tergantung pada susunan yang berlaku dan dibuat
antara ketiga instansi tersebut di atas.
Peralatan sebaiknya termasuk, tetapi tidak perlu dibatasi, sebagai berikut :
a) Menggunakan header katup uji.
Saluran slang dengan panjang 15 m (50 ft), diameter 65 mm (2½ inci). dan pipa nozel
yang memenuhi ketentuan, dibutuhkan untuk mengalirkan volume air yang
dipersyaratkan.
Pengecualian :
Apabila meter uji disediakan, ini mungkin tidak diperlukan.
b) Instrumen.
Instrumen uji berikut ini sebaiknya berkualitas tinggi, akurat dan mudah diperbaiki :
1). Amper/Volt meter.

127 dari 142


SNI 03-6570-2001

2) Pengukur tekanan uji.


3) Tachometer.
4) Tabung pitot dengan pengukur (untuk penggunaan slang dan nozel).
c) Kalibrasi instrumen.
Semua instrumen uji sebaiknya dikalibrasi dengan fasilitas pengujian dan kalibrasi
yang disetujui yang masa berlakunya 12 bulan sebelum pengujian. Dokumentasi
kalibrasi sebaiknya tersedia untuk pengkajian ulang instansi berwenang. Bagian besar
peralatan uji digunakan untuk uji serah terima dan uji tahunan tidak dikalibrasi.
Peralatan yang demikian itu dapat mempunyai kesalahan baca 15 sampai 30 persen.
Penggunaan peralatan yang tidak dikalibrasi dapat menimbulkan ketidak akuratan hasil
uji yang dilaporkan.
A.11.2.6.2.1 Apabila header katup slang digunakan, sebaiknya header ini ditempatkan jika
jumlah hose terbatas yang digunakan untuk mengamankan air yang dilepaskan.
Apabila meter uji aliran digunakan dalam lup tertutup sesuai instruksi pabrik pembuat,
tambahan outlet seperti hidran, katup slang, dan lain-lain sebaiknya ada untuk menentukan
akurasi dari alat meter.
A.11.2.6.3 Prosedur uji sebagai berikut :
a) Lakukan pemeriksaan tampak terhadap unit. Jika slang dan nozel digunakan, lihat
bahwa peralatan terpasang dengan aman. Lihat katup slang tertutup. Jika meter uji
digunakan, katup pada sisi pelepasan dari meter sebaiknya tertutup.
b) Start pompa.
c). Buka secara parsial satu atau dua slang kebakaran, atau buka sedikit katup pelepasan
meter.
d). Periksa pengoperasian secara umum dari unit. Amati getaran, kebocoran (minyak atau
air), kebisingan yang tidak lazim, dan pengoperasian umum. Setel rumah paking.
e) Pelepasan air. Langkah-langkah berikutnya :
1). Apabila header katup uji digunakan, atur pelepasan dengan sarana katup slang
dan seleksi ujung nozel (nozzel tip). Perlu dicatat bahwa pipa yang bergerak
dapat melepas ujung nozel. Ujung ini mempunyai diameter nozel 29 mm (1-1/8
inch), dan bila ujungnya dilepas, pipa yang bergerak mempunyai diameter nozel
45 mm (1¾ inci). Katup slang sebaiknya tertutup sebelum melepas atau
memasang ujung (tip) yang berdiameter 29 mm (1-1/8 inci).
2). Apabila meter uji digunakan, atur katup pelepasan untuk memperoleh bermacam
macam aliran.
3). Titik uji yang penting adalah 150 persen kapasitas nominal, kapasitas nominal,
dan katup yang tertutup. Titik pertengahan dapat diambil jika diinginkan untuk
membantu mengembangkan kurva kinerja.
f). Catat data berikut pada setiap titik uji.
1). Putaran pompa (rpm).
2). Tekanan hisap.
3). Tekanan pelepasan.

128 dari 142


SNI 03-6570-2001

4). Jumlah dan ukuran nozel slang, tekanan pitot untuk setiap nozel, dan L/menit
(gpm). Untuk meter uji, catat Liter/menit (gpm).
5). Amper.
6). Volt.
g). Hitung hasil uji sebagai berikut :
1). Kecepatan nominal.
Tentukan operasi pompa pada putaran nominal (rpm).
2). Kapasitas.
Untuk header katup slang, menggunakan tabel aliran api (Fire stream table),
tentukan Liter/menit (gpm) untuk setiap nozel pada setiap bacaan pitot. Untuk
contoh, 1,1 bar ( 16 psi) tekanan pitot dengan 45 mm ( 1¾ inci) diameter nozel
mnenunjukkan 1380 Liter/menit ( 364 gpm). Tambahkan Liter/menit untuk setiap
saluran slang dalam menentukan volume total.
Untuk meter uji, Liter/menit (gpm) total langsung terbaca.
3) Head total.
(a). Tekanan diukur oleh pengukur pelepasan pada flens pelepasan pompa.
(b). Perbedaan head kecepatan, pelepasan pompa, dan hisapan pompa.
(c). Koreksi ketinggian pengukur terhadap garis tengah pompa (tambah atau
kurang).
(d). Tekanan diukur oleh pengukur hisapan pada flens hisap pompa. Nilainya
negatip bila tekanan di bawah nol.
Untuk pompa vertikal, head total adalah jumlah sebagai berikut :
(a). Tekanan diukur oleh pengukur pelepasan pada flens pelepasan pompa.
(b). Head kecepatan pada pelepasan.
(c). Jarak ke permukaan air pasok.
(d). Koreksi ketinggian pengukur pelepasan ke titik tengah dari pelepasan.
4). Input elektrikal.
Voltage dan Amper terbaca langsung dari Volt/Amper meter. Pembacaan ini
dibandingkan terhadap amper beban penuh dari plat nama.
Hanya dengan perhitungan umum, tentukan amper maksimum seharusnya yang
diijinkan dengan menggunakan faktor pelayanan.
Dalam hal angka faktor pelayanan 1,15, amper maksimum mendekati 1,15 kali
amper motor, karena perubahan daya dan efisiensi tidak dipertimbangkan.
Jika amper maksimum yang tercatat pada pengujian tidak melebihi angka ini,
motor dan pompa dianggap cukup memuaskan.
Sangat penting untuk mengukur voltage dan amper secara akurat pada setiap
fasa, sebaiknya amper yang tercatat pada pengujian melebihi amper maksimum
yang dihitung. Pengukuran ini penting karena pada pasokan daya rendah dengan
tegangan rendah akan menyebabkan amper yang terbaca menjadi tinggi.

129 dari 142


SNI 03-6570-2001

Kondisi ini dapat dikoreksi hanya dengan meningkatkatkan pasokan daya.


Tidak ada yang dapat dilakukan terhadap motor atau pompa.
5). Koreksi terhadap kecepatan nominal.
Untuk tujuan menentukan kapasitas, head dan daya, sebaiknya dikoreksi dari
nilai kecepatan uji terhadap kecepatan nominal pompa.
Koreksi dilakukan sebagai berikut :
Kapasitas :
N2
Q2 = × Q1
N1

dimana :

Q1 = kapasitas pada kecepatan uji dalam Liter/menit (gpm).


Q2 = kapasitas nominal, dalam Liter/menit (gpm).
N1 = kecepatan uji, dalam rpm.
N2 = kecepatan nominal, dalam rpm.
Head :
2
N 
H 2 =  2  × H1
 N1 
dimana :
H1 = head pada kecepatan uji, dalam m (ft).
H2 = head pada kecepatan nominal, dalam m (ft).
Daya kuda :
3
N 
HP2 =  2  × HP1
 N1 
dimana :
HP1 = daya kuda pada kecepatan uji.
HP2 = daya kuda pada kecepatan nominal.

6) Kesimpulan :

Langkah akhir dalam perhitungan pengujian, umumnya menentukan titik-titik uji.


Kurva head-kapasitas digambar, dan kurva amper, kapasitas ditentukan.
Pengkajian kurva ini akan menunjukkan gambaran kinerja pompa sebagai hasil
uji.

A.11.2.6.5 Uji simulasi dari alat pembalik fasa adalah metoda uji yang dapat diterima.

130 dari 142


SNI 03-6570-2001

A.11.2.7.1 Semua alat kontrol untuk menstart yang dipersyaratkan untuk diuji, dijelaskan
pada butir 11.2.6, 11.2.7, 11.2.8, dan 11.2.10, sebaiknya mengikuti butir-butir ini.

131 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar A.11.2.6.3.(f) Data uji serah terima pompa

132 dari 142


SNI 03-6570-2001

Apendiks B
Kemungkinan penyebab kerusakan pada pompa
Apendiks ini bukan bagian yang dipersyaratkan oleh dokumen standar ini, tetapi termasuk di
dalamnya untuk tujuan informasi semata.

B.1 Penyebab kerusakan pompa.


Apendiks ini berisi sebagian pedoman mengenai lokasi kerusakan pompa dan kemungkinan
penyebabnya. Apendiks ini juga berisi sebagian daftar dan cara perbaikan yang disarankan.
Daftar penyebab ditambahkan disini untuk kerusakan mekanik yang mungkin jelas terlihat
pada waktu pemeriksaan. Dalam hal kerusakan tersebut, disarankan bahwa kerusakan yang
mudah diperiksa sebaiknya yang pertama dibetulkan atau menghapus kemungkinan dari
daftar.

B.1.1 Masuknya udara ke sambungan hisap melalui kebocoran.


Masuknya udara ke dalam jalur hisap melalui kebocoran menyebabkan pompa kehilangan
daya hisapnya atau gagal dalam mempertahankan tekanan pelepasannya.
Buka pipa hisap dan temukan serta perbaiki kebocoran.

B.1.2 Sambungan hisap yang terganggu.


Periksa intake hisapan, saringan, dan pipa hisap serta hilangkan gangguan. Perbaiki atau
lengkapi dengan saringan untuk mencegah terulangnya gangguan ( lihat butir 2.9.8).

B.1.3 Kantong udara dalam pipa hisap.


Kantong udara menyebabkan berkurangnya aliran, dan tekanan ke pipa terganggu. Buka
pipa hisap dan susun ulang untuk membatasi kantong udara.

B.1.4 Sumur rusak atau ketidak sejajaran yang serius.


Konsultasikan pada perusahaan pengeboran yang profesional dan pabrik pembuat pompa
untuk memperoleh saran perbaikan.
B.1.5 Tabung paking terlalu kencang atau paking yang dipasang kurang betul,
keausan, tidak efektif, terlalu kencang, atau tipa yang tidak betul.
Lepaskan baut paking dan bongkar paking yang membagi dua tabung paking, ganti paking.

B.1.6 Kerusakan pada Seal Air.


Longgarkan baut penutup paking dan lepaskan tabung paking yang terbagi dua sepanjang
cincin seal air dan paking. Bersihkan jalur air ke dan dalam cincin seal air. Ganti cincin seal
air, penutup paking, dan paking sesuai instruksi pabrik pembuat.

B.1.7 Kebocoran udara ke dalam pompa melalui tabung paking.


Sama seperti kasus yang mungkin pada butir B.1.6.

133 dari 142


SNI 03-6570-2001

B.1.8 Impeller yang terganggu.


Tidak terlihat pada salah satu instrumen, tetapi tekanan cepat turun bila berusaha untuk
menarik sejumlah besar air.
Untuk pompa rumah terpisah (split case) horisontal, lepaskan rumah pompa bagian atas dan
keluarkan gangguan yang menghalangi impeller. Perbaiki atau lengkapi saringan pada
intake hisap untuk mencegah kejadian berulang kembali.
Untuk pompa tipe turbin poros vertikal, angkat ke luar pipa kolom (lihat gambar A.4.2.2.1 dan
A.4.2.2.2) dan mangkok pompa dari bak basah atau sumur dan bongkar mangkok pompa
untuk melepas gangguan yang menghalangi impeller.
Untuk kopel tertutup, pompa sejalur vertikal, angkat motor pada bagian atasnya, lepaskan
gangguan yang menghalangi impeller.

B.1.9 Kerusakan cincin aus (wearing ring).


Lepaskan rumah bagian atas dan sisipkan pengukur raba (feeler) antara cincin aus dan
cincin aus impeller, jaraknya jika masih baru 0,19 mm (0,0075 inci). Jarak yang lebih dari
0,38 mm (0,015 inci) terlalu besar.

B.1.10 Kerusakan impeller.


Lakukan perbaikan kecil atau kembalikan ke pabrik pembuat untuk penggantian. Jika
kerusakan tidak terlalu serius, pesan impeller yang baru dan gunakan impeller yang rusak
sampai penggantinya tiba.

B.1.11 Impeller dengan diameter yang salah.


Ganti dengan impeller yang benar.

B.1.12 Head neto aktual lebih rendah dari nominalnya.


Periksa diameter impeller dan nomor dan nomor model pompa untuk memastikan kurva
head yang betul telah digunakan.
B.1.13 Gasket rumah pompa yang rusak memungkinkan terjadinya kebocoran di
internal (Pompa bertingkat tunggal dan jamak).
Ganti gasket yang rusak. Periksa gambar dari pabrik pembuat untuk melihat gasket apakah
yang dipersyaratkan.

B.1.14 Pengukur tekanan ada pada bagian atas rumah pompa.


Tempatkan pengukur pada lokasi yang benar.
B.1.15 Penyetelan impeller yang kurang benar (Hanya pada pompa tipe turbin
poros vertikal).
Setel impeller sesuai instruksi dari pabrik pembuatnya.

B.1.16 Impeller yang macet.


Untuk pompa tipe turbin poros vertikal, naikkan dan turunkan impeller dengan menyetel mur
di bagian atas poros. Jika penyetelan ini tidak berhasil, ikuti instruksi pabrik pembuat.
Untuk pompa rumah terpisah (split case) horisontal, lepaskan rumah bagian atas dan
temukan dan hilangkan hambatan.

134 dari 142


SNI 03-6570-2001

B.1.17 Pompa yang membeku.


Lengkapi pemanas dalam ruangan pompa. Bongkar pompa dan lepaskan es bila perlu.
Periksa dengan hati-hati bagian-bagian poros yang rusak.

B.1.18 Poros pompa atau selosong poros tertakik, bengkok, atau aus.
Ganti poros atau selongsong poros.

B.1.19 Pompa tidak mengisap.


Jika pompa dioperasikan tanpa air di dalam rumahnya, keausan cincing kemungkinan
terjadi. Peringatan pertama adalah perubahan suara pada penggerak. Berhentikan pompa.
Untuk pompa turbin jenis poros vertikal, periksa permukaan air untuk menentukan apakah
mangkok pompa cukup terbenam.
B.1.20 Penempatan cincin seal kurang betul dalam tabung penutup paking.
Mencegah air dari ruang masuk ke seal.
Longgarkan baut penutup paking dan lepas tabung penutup paking yang terbagi dua
bersamaan cincin seal air dan paking. Ganti, pasang cincing seal dalam posisi yang benar.
B.1.21 Gesekan bantalan yang berlebihan karena kurang pelumasan, aus, kotor,
berkarat, rusak, atau instalasi yang kurang betul.
Lepaskan bantalan dan bersihkan, lumasi, atau ganti bila perlu.

B.1.22 Elemen rotasi yang terikat (bind) terhadap elemen stasioner.


Periksa jarak antara dan pelumasan serta ganti atau perbaiki bagian yang rusak.

B.1.23 Ketidak sejajaran pompa dan penggeraknya.


Poros berputar tidak lurus karena bantalannya aus atau ketidak sejajaran. Sejajarkan pompa
dan penggeraknya sesuai instruksi pabrik pembuatnya. Ganti bantalan sesuai instruksi
pabrik (lihat butir 3.5).

B.1.24 Pondasi yang tidak kokoh.


Kencangkan baut pondasi atau ganti pondasi jika perlu ( lihat butir 3.4).

B.1.25 Sistem pendinginan mesin terganggu.


Alat penukar kalor atau sistem pendinginan air terlalu kecil. Pendinginan pompa gagal.
Lepaskan thermostat. Buka bypass sekitar katup pengatur dan saringan. Periksa bekerjanya
katup pengatur. Periksa saringan. Bersihkan dan perbaiki bila perlu. Lepaskan bagian dari
sistem pendingin untuk menentukan dan buang kotoran yang mungkin menghalangi. Setel
motor - air pendingin - sabuk pompa sirkulasi untuk mendapatkan kecepatan yang benar
tanpa terhambat. Lumasi bantalan dari pompa ini.
Jika panas lebih masih terjadi pada beban sampai dengan 150 persen dari kapasitas
nominalnya, hubungi pabrik pembuat pompa dan motor sehingga langkah yang perlu dapat
diambil untuk membatasi panas lebih.

135 dari 142


SNI 03-6570-2001

B.1.26 Penggerak yang gagal.


Periksa motor listrik, motor bakar atau turbin uap, sesuai instruksi pabrik pembuat, untuk
menentukan sebab kegagalan start.

B.1.27 Kurang pelumasan.


Jika bagian-bagiannya macet, ganti bagian-bagian yang rusak dan sediakan pelumas yang
benar. Jika tidak, hentikan pompa dan sediakan pelumasan yang benar.

B.1.28 Kecepatan terlalu rendah.


Untuk motor listrik sebagai penggerak, periksa kecepatan nominal motor yang berhubungan
dengan kecepatan nominal pompa, tegangan listriknya apa betul, dan peralatan start
beroperasi dengan benar.
Frekuensi rendah dan tegangan listrik rendah dari pasokan listrik ke motor listrik mencegah
motor berjalan pada kecepatan nominalnya.
Tegangan listrik yang rendah dapat dikarenakan kelebihan beban dan kapasitas saluran
yang tidak cukup atau (apabila menggunakan genset pribadi) tegangan generator rendah.
Tegangan listrik dari generator pribadi dapat dikoreksi dengan merubah medan
pembangkitnya. Apabila tegangan listrik rendah karena sebab lain dari yang tersebut di atas,
mungkin dapat dilakukan dengan mengubah tap pada transformator atau menaikkan
kapasitas salurannya.
Frekuensi rendah biasanya terjadi dengan genset pribadi dan sebaiknya dikoreksi pada
sumbernya. Kecepatan rendah dapat terjadi pada motor jenis sangkar yang sudah tua jika
pengencangan batang tembaganya ke ujung cincin menjadi longgar. Perbaiki sambungan ini
dengan las atau patri.
Untuk turbin uap sebagai penggerak, periksa katup pada pipa pasokan uap apakah terbuka
lebar; tekanan uap dari ketel uap cukup; tekanan uap pada turbin cukup; saringan pada
pasokan uap tidak tersumbat; pipa pasokan uap ukurannya cukup; kondensat dibuang dari
pipa pasokan uap, trap, dan turbin; nozel turbin tidak tersumbat; dan seting kecepatan dan
governor darurat sudah benar.
Untuk motor bakar sebagai penggerak, periksa seting dari kecepatan governor apakah
sudah benar; katup hambatan manual terbuka lebar; tidak ada kerusakan mekanik seperti
kemacetan pada katup, timing kurang tepat; busi kotor; dan lain sebagainya. Selanjutnya
dibutuhkan perawatan dan mekanik yang terlatih.

B.1.29 Putaran dalam arah yang salah.


Kejadian putaran impeller terbalik jarang terjadi tetapi dapat jelas dikenali dengan kurang
efisiennya aliran pompa. Arah yang salah dari putaran dapat ditentukan dengan
membandingkan arah putaran kopling fleksibel dengan arah panah dari rumah pompa.
Dengan motor listrik phasa jamak sebagai penggerak, dua kabel harus dibalik; dengan
penggerak arus searah (dc) sambungan armatur harus dibalik dengan pengaruh pada
penyambungan di lokasi. Apabila dua sumber arus listrik tersedia, arah putaran dihasilkan
oleh setiap sumber sebaiknya diperiksa.

136 dari 142


SNI 03-6570-2001

B.1.30 Kecepatan terlalu tinggi.


Lihat apakah pompa kecepatan nominal dari penggerak sesuai. Ganti motor listrik dengan
satu motor listrik dengan kecepatan nominal yang betul. Set governor dari penggerak
dengan kecepatan variabel pada kecepatan yang benar. Frekuensi pada pusat pembangkit
pribadi dapat menjadi lebih tinggi.

B.1.31 Tegangan listrik nominal motor berbeda dengan tegangan listrik jaringan.
Untuk contoh motor listrik 220 Volt atau 440 Volt pada tegangan listrik jaringan 208 Volt atau
416 Volt. Dapatkan motor dengan tegangan nominal yang betul atau motor dengan ukuran
yang lebih besar (lihat butir 6.4).
B.1.32 Sirkit listrik gagal, sistem bahan bakar terganggu, pipa uap terganggu, atau
batere kosong.
Periksa putusnya pengkabelan dengan membuka sakelar, buka pemutus tenaga, atau
batere mati.
Jika pemutus tenaga pada alat kontrol jatuh tanpa alasan yang jelas, pastikan minyak dalam
pot sesuai dengan spesifikasi pabrik pembuatnya. Pastikan pipa bahan bakar bersih,
saringan bersih, dan katup kontrol terbuka pada sistem bahan bakar untuk motor bakar.
Pastikan semua katup terbuka dan saringan bersih pada pipa uap untuk turbin.

B.2 Peringatan.
Bab 6 dan 7 termasuk persyaratan elektrikal yang mencegah instalasi sarana pemutus
sambungan pada pasokan daya listrik untuk motor listrik – menggerakkan pompa kebakaran.
Persyaratan ini dimaksud untuk memastikan tersedianya daya listrik ke pompa kebakaran.
Jika peralatan disambungkan ke sirkit yang dilayani atau dipertahankan, petugas yang tidak
terlindungi terhadap bahaya listrik dan lainnya sebagaimana lazimnya tidak boleh
membongkar listrik karena sangat berbahaya.
Ini perlu untuk keselamatan kerja dan perlindungan keselamatan khusus, serta proteksi
pakaian petugas atau keduanya.

B.3 Pemeliharaan alat kontrol pompa kebakaran setelah kondisi gagal.

B.3.1 Pendahuluan.
Dalam sirkit motor pompa kebakaran yang dipasang dengan benar, terkoordinasi, dan dalam
pelayanan sebelum terjadi kegagalan, jatuhnya pemutus tenaga atau sakelar pemisah
menunjukkan kondisi gagal akibat beroperasi pada beban lebih.
Direkomendasikan prosedur umum berikut diteliti oleh petugas yang porofesional dan
memeriksa serta memperbaiki alat kontrol bersangkutan yang gagal. Prosedur ini tidak
dimaksudkan untuk mencakup elemen lain dari sirkit, seperti pengkabelan dan motor, yang
juga dapat membutuhkan perhatian.

B.3.2 Perhatian.
Semua pemeriksaan dan pengujian dilakukan pada alat kontrol dengan melepaskan dari
terminal jaringan listriknya, dilepas sambungannya, dikunci, dan ditandai, sehingga kontak
tidak dapat dilakukan dengan bagian-bagian yang hidup dan semua prosedur perencanaan
keselamatan dapat dijalankan.

137 dari 142


SNI 03-6570-2001

B.3.2.1 Panel (enclosure).


Apabila kerusakan yang berarti terjadi pada panel, seperti perubahan bentuk, pergeseran
bagian-bagiannya, atau kebakaran terjadi, ganti seluruh alat kontrol.

B.3.2.2 Pemutus tenaga dan sakelar pemisah.


Pemeriksaan panel bagian dalam, pemutus tenaga, sakelar pemisah, untuk melihat sebab
kerusakan yang mungkin terjadi.
Jika sebab kerusakan tidak terlihat, pemutus tenaga dan sakelar pemisah dapat terus
digunakan setelah pintu panel ditutup.
Jika ada indikasi pemutus tenaga membuka karena suatu kegagalan hubung singkat, atau
jika sinyal menunjukkan kemungkinan kerusakan pada panel, pemutus tenaga atau sakelar
pemisah ( contoh : kotoran pada permukaan, perubahan warna pada permukaan, keretakan
pada isolasi, atau tidak berfungsinya handel), ganti komponen-komponennya.
Periksa handel pengoperasian di bagian luar harus mampu membuka dan menutup
pemutus tenaga dan sakelar pemisah.
Jika handel gagal untuk mengoperasikan alat, ini membutuhkan penyetelan atau
penggantian.

B.3.2.3 Terminal dan konduktor bagian dalam .


Apabila indikasi kerusakan karena busur listrik, panas berlebih, atau keduanya, seperti
perubahan warna dan isolasi yang meleleh, ganti bagian-bagian yang rusak.

B.3.2.4 Kontaktor.
Ganti kontak yang menunjukkan kerusakan karena panas, pergeseran metal, atau kerugian
karena kontak aus. Ganti pegas kontak apabila diperlukan. Jika kerusakan terjadi pada
kontak, seperti menempel pada tempatnya atau terlihat kerusakan pada isolasi, ganti bagian-
bagian yang rusak atau seluruh kontaktor.

B.3.2.5 Kembali untuk melayani.


Sebelum alat kontrol kembali melayani, periksa kekencangan dari sambungan listrik dan
untuk meniadakan hubung singkat, kegagalan pembumian, dan kebocoran arus.
Tutup dan amankan panel sebelum alat kontrol, pemutus tenaga dan sakelar pemisah diberi
arus. Ikuti prosedur operasional pada alat kontrol untuk diatur pada kondisi siap siaga.

138 dari 142


SNI 03-6570-2001

Gambar B.1 Penyebab yang mungkin kerusakan pompa kebakaran

139 dari 142


SNI 03-6570-2001

Apendiks C
Apendiks C ini bukan bagian yang dipersyaratkan oleh dokumen standar ini, tetapi termasuk di dalamnya untuk
tujuan informasi, dan untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari peralatan pemadam kebakaran yang berbasis
air.
C.1. Pompa sentrifugal bertingkat jamak.

Gambar C.1 : Pompa sentrifugal bertingkat banyak.


C.2. Unit roda gigi helical-bevel.

Gambar C.2 : Unit roda gigi helical-bevel

140 dari 142


SNI 03-6570-2001

Bibliografi

1 NFPA 13, Standar for the installation of sprinkler systems, 1999 edition.
2 NFPA 14, Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems, 1996
edition.
3 NFPA 15, Standard for Water Spray Fixed Systems for Fire Protection, 1996
edition.
4 NFPA 16,Standard for the Installation of Foam Water Sprinkler and Foam
Water Spray Systems, 1999 edition.
5 NFPA 24, Standar for the installation of Private Fire Service Mains and Their
Appurtenances, 1995 edition.
6 NFPA 25, Standar for the Inspection, Testing, and Maintenance of Water
Based Fire Protection Systems, 1998 edition.
7 NFPA 31, Standard for the Installation of Oil Burning Equipment, 1997
edition.
8 NFPA 37, Standar for the installation and Use of Stationary Combustion
Engines and Gas Turbine, 1998 edition.
9 NFPA 51B, Standar for Fire Prevention During Welding, Cutting and Other
Hot Work, 1999 edition.
10 NFPA 70, National Electrical Code, 1999 edition.
11 NFPA 110, Standar for Emergency and Standby Power Systems, 1999
edition.
12 NFPA 1963, Standar for Fire Hose Connections, 1998 edition.
13 AGMA 390.03, Handbook for Helical and Master Gears, 1995.
14 ANSI/IEEE C62.1, IEEE Standar for Gapped Silicon Carbide Surge Arrester
for AC Power Circuit, 1989.
15 ANSI/IEEE C62.11, IEEE Standar for Metal Oxide Surge Arresters for AC
Power Circuits, 1987.
16 ANSI/IEEE C62.41, Recommended Practice for Surge Voltages in Line
Voltage AC Power Circuits, 1991
17 ANSI/UL 509, Standard for Safety Industrial Control Equipment, 1989
18 ANSI/UL 1008, Standard for Safety Automatic Transfer Switches, 1989.
19 AWWA C104, Cement Mortar Lining for Cast Iron and Ductile Iron Pipe and
Fittings for Water, 1990.
20 ASTM E.380, Standar for Metric Practice, 1991.
21 Hydraulic Institute Standars for Centrifugal, Rotary, and Reciprocating
Pumps, 14th edition, 1983.
22 HI 3.5, Standard for Rotary Pumps for Nomenclature, Design, Application
and Operation, 1994.
23 HI 3.6, Rotary Pump Test, 1994.
24 IEEE 141, Electric Power Distribution for Industrial Plants, 1986.
25 IEEE 241, Electric Systems for Comercial Buildings, 1990.
26 NEMA ICS 2.2, Maintenance of Motor Controllers After a Fault Condition,
1983
27 NEMA 250, Enclosures for Electrical Equipment, 1991
28 NEMA MG-1, Motors and Generators, Parts 2 and 14, 1978.

141 dari 142


SNI 03-6570-2001

29 SAE-J-1349, Engine Power Test Code – Spark Ignition and Compression


Engine, 1990.
30 Torishima Guna Indonesia, Torishima Handbook, 1998.
31 SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-
2000)"
32 SNI 03-1745-2000, “Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Pipa
Tegak dan Slang untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung”.
33 SNI 03-3989-2000, “Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem
Springkler Otomatik untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung.

142 dari 142


SNI 03-6571-2001

Standar Nasional Indonesia

Sistem Pengendalian Asap Kebakaran pada


Bangunan Gedung

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-6571-2001

Sistem Pengendalian Asap Kebakaran pada Bangunan Gedung.

1. Ruang Lingkup.
1.1 Standar ini ditujukan untuk keselamatan jiwa dan perlindungan harta benda
terhadap bahaya kebakaran.
1.2 Standar ini digunakan untuk perancangan, instalasi, pengujian, pengoperasian
dan pemeliharaan dari sistem pengolah udara mekanik baru atau perbaikan yang juga
digunakan sebagai sistem pengendalian asap.
Dalam zona yang besar seperti pada atrium dan mal, dibahas pada standar lain.
1.3 Standar ini menetapkan kriteria minimal untuk perancangan sistem pengendalian
asap, sehingga memungkinkan penghuni menyelamatkan diri dengan aman dari dalam
bangunan, atau bila dikehendaki ke dalam daerah aman di dalam bangunan.
1.4. Tujuan dari standar ini adalah sebagai pedoman dalam menerapkan sistem yang
menggunakan perbedaan tekanan dan aliran udara untuk menyempurnakan satu atau lebih
hal berikut:
a) Menghalangi asap yang masuk ke dalam sumur tangga, sarana jalan ke luar, daerah
tempat berlindung, saf lif, atau daerah yang serupa.
b) Menjaga lingkungan yang masih dapat dipertahankan dalam daerah tempat berlindung
dan sarana jalan ke luar selama waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi.
c) Menghalangi perpindahan asap dari zona asap.
d) Menyediakan kondisi di luar zona kebakaran yang memungkinkan petugas mengambil
tindakan darurat untuk melakukan operasi penyelamatan dan untuk melokalisir dan
mengendalikan kebakaran.
e) Menambah proteksi jiwa dan untuk mengurangi kerugian harta milik.

2. Acuan
NFPA 92 A : Recommended practice for Smoke Control System, 2000 edition. National Fire
Protection Association.

3 Istilah dan Definisi.


Untuk tujuan standar ini, istilah-istilah berikut akan memberikan pengertian pada bab-bab
dalam standar ini.
3.1
asap
zat padat atau cair yang melayang di udara dan gas yang ditimbulkan jika bahan mengalami
pemanasan atau pembakaran, bersama-sama dengan sejumlah udara yang dimasukkan
atau dengan kata lain dicampur ke dalam massanya.

1 dari 57
SNI 03-6571-2001

3.2.
daerah tempat berlindung
daerah pada bangunan yang dipisahkan dari ruang lain oleh penghalang asap kebakaran
dimana lingkungan yang dapat dipertahankan dijaga untuk jangka waktu selama daerah
tersebut masih dibutuhkan untuk dihuni pada saat kebakaran.
3.3*
disetujui
dapat diterima oleh instansi berwenang.
3.4
efek cerobong
aliran udara vertikal di dalam bangunan disebabkan oleh temperatur yang ditimbulkan dari
perbedaan densitas antara bagian dalam bangunan dan bagian luarnya, atau antara dua
ruangan.
3.5*
instansi berwenang
Suatu instansi yang berwenang dan bertanggung jawab untuk menyetujui; peralatan,
instalasi atau prosedur.
3.6
lingkungan yang masih dapat dipertahankan
lingkungan di mana asap dan panas dibatasi atau dengan kata lain dihalangi untuk menjaga
pengaruh terhadap penghuni pada suatu tingkatan yang tidak mengancam jiwa.
3.7
moda pengendalian asap
konfigurasi operasi yang ditentukan terlebih dahulu dari suatu sistem atau alat untuk tujuan
pengendalian asap.
3.8
pedoman
dokumen yang serupa dalam isi dan strukturnya seperti kode atau standar, tetapi isinya
hanya ketentuan yang tidak mengikat, menggunakan kata“ sebaiknya “untuk menunjukkan
rekomendasi dalam bagian dari kalimat.
3.9
pemeriksaan ujung ke ujung
metoda pengujian sendiri yang hasilnya memberikan konfirmasi positip yang diinginkan
(contoh aliran udara atau posisi damper) tercapai, pada saat alat kendali diaktifkan, seperti
selama pengendalian asap, pengujian, atau pengoperasian secara manual. Apabila terjadi
kegagalan atau berhenti, hasil konfirmasi positip menunjukkan normal tidak bekerja.
3.10*
penghalang asap
lapisan yang menerus, vertikal atau horisontal, seperti dinding, lantai, atau rakitan langit-
langit yang dirancang dan dipasang untuk menghalangi gerakan asap.

2 dari 57
SNI 03-6571-2001

3.11*
perbedaan tekanan rancangan
perbedaan tekanan yang dirancang antara ruang yang diproteksi dan ruang yang
bersebelahan, diukur pada batas ruang yang diproteksi di bawah kondisi yang di-atur khusus
dengan beroperasinya sistem pengendalian asap.
3.12*
pusat pengendalian asap petugas pemadam kebakaran
sistem yang menyediakan pemantauan grafik dan kemampuan menguasai secara manual
sistem pengendalian asap dan peralatan pada lokasi yang dirancang di dalam bangunan
untuk digunakan oleh instansi pemadam kebakaran.
3.13
sebaiknya
menunjukkan rekomendasi atau yang disarankan tetapi tidak dipersyaratkan.
3.14*
sistem pembuangan asap
sistem mekanik atau gravitasi ditujukan untuk menggerakkan asap dari zona asap ke luar
bangunan, termasuk sistem pembersihan asap, pembilasan dan ven, seperti fungsi fan
pembuangan yang digunakan untuk mengurangi tekanan dalam zona asap.
3.15
sistem pengendalian asap
sistem keteknikan yang menggunakan fan mekanik untuk menghasilkan perbedaan tekanan
di kedua sisi penghalang asap untuk mencegah aliran asap.
3.16
sistem pengendalian asap terzona
sistem pengendalian asap yang termasuk pembuangan asap untuk zona asap dan diberi
tekanan untuk semua zona pengendalian asap yang berdampingan.
3.17
sumur tangga bertekanan
jenis sistem pengendalian asap dimana saf tangga secara mekanik diberi tekanan, yang
berpengaruh terhadap daerah kebakaran, dengan udara luar untuk menjaga asap dari
kontaminasi selama kejadian kebakaran.
3.18
zona asap
zona pengendalian asap di mana kebakaran dilokalisir.
3.19
zona pengendalian asap
ruang dalam bangunan yang ditutup oleh penghalang asap, termasuk bagian atas dan
bawah, yang merupakan bagian dari zona sistem pengendalian asap.

3 dari 57
SNI 03-6571-2001

4. Informasi umum.

4.1. Pendahuluan.
Semua kebakaran memproduksi asap yang jika tidak dikendalikan akan menyebar keseluruh
bangunan atau bagian bangunan, yang berpotensi mengancam jiwa serta merusak harta
benda.
Sistem pengendalian asap sebaiknya dirancang untuk menghalangi aliran asap ke dalam
sarana jalan ke luar, jalan terusan ke luar, daerah tempat berlindung, atau daerah lain yang
serupa.
Dengan menyediakan springkler otomatik atau sarana pemadaman kebakaran otomatik lain
yang umum diperlukan untuk mengendalikan asap, dapat membatasi penjalaran dan
besarnya kebakaran secara efektif dan ekonomis.
Sistem lain dapat disediakan untuk hunian khusus atau fasilitas yang sudah ada.
Apabila sistem pengendalian asap tersedia, sebaiknya diaktifkan sedini mungkin pada
keadaan darurat kebakaran untuk membatasi penyebaran gas kebakaran dan untuk
menjaga lingkungan yang masih dapat dipertahankan dan pada daerah yang diproteksi.
Sistem pengendalian asap sebaiknya berfungsi selama jangka waktu evakuasi pada daerah
yang diproteksi oleh sistem. Sistem seperti itu ditujukan untuk mengendalikan perpindahan
asap ke dalam daerah yang diproteksi, yang demikian itu berarti menyediakan daerah
tempat berlindung atau waktu tambahan untuk ke luar gedung, tetapi sebaiknya jangan
mengharapkan daerah seperti itu akan bebas dari asap sepenuhnya.
Sistem pengendalian asap sebaiknya secara teknik dirancang untuk hunian khusus dari
suatu bangunan.
Sebagai tambahan, rancangan sistem pengendalian asap sebaiknya dikoordinasikan dengan
sistem keselamatan jiwa lainnya sehingga saling melengkapi, dan tidak saling meniadakan
satu sama lain.

4.2. Prinsip Pengendalian Asap.

4.2.1. Prinsip Dasar


4.2.1.1. Seringkali, aliran asap mengikuti gerakan udara menyeluruh dalam bangunan.
Meskipun suatu kebakaran dimungkinkan dikurung dalam kompartemen tahan api, asap
dapat menyebar ke daerah yang bersebelahan melalui bukaan seperti konstruksi yang retak,
tembusan pipa, ducting, dan pintu yang terbuka.
4.2.1.2. Faktor prinsip yang menyebabkan asap menyebar ke daerah luar kompartemen
adalah sebagai berikut:
a) efek cerobong.
b) efek temperatur kebakaran.
c) kondisi cuaca, khususnya angin dan temperatur.
d) sistem pengolahan udara mekanik.
4.2.1.3 Faktor yang tercantum pada butir 4.2.1.2.a) sampai d) menyebabkan perbedaan
tekanan di kedua sisi partisi, dinding dan lantai yang dapat menghasilkan penjalaran api.

4 dari 57
SNI 03-6571-2001

4.2.1.4 Gerakan asap dapat dikendalikan dengan mengubah perbedaan tekanan ini.
Komponen bangunan dan peralatan seperti dinding, lantai, pintu, damper, dan sumur tangga
tahan asap dapat digunakan bersamaan dengan sistem pemanasan, ventilasi dan
pengkondisian udara untuk membantu dalam mengendalikan gerakan asap.
4.2.1.5 Perancangan bangunan menyeluruh yang memenuhi syarat dan konstruksi yang
kedap asap penting untuk pengendalian asap.
4.2.1.6. Pengenceran asap dalam daerah kebakaran dari bangunan yang di
kompartemenisasi bukan sarana pengendalian asap yang tepat. Pengendalian asap tidak
dapat dicapai secara sederhana dengan pemasokan udara ke dan membuang udara dari
kompartemen.
4.2.1.7 Pengendalian asap dapat dibagi dalam dua prinsip sebagai berikut:
a) Perbedaan tekanan cukup besar yang bekerja di kedua sisi penghalang akan
mengendalikan gerakan asap.
b) Aliran udaranya sendiri akan mengendalikan gerakan asap jika kecepatan udara rata-
rata cukup besar.
4.2.2. Presurisasi.
Sarana utama pengendalian aliran asap adalah dengan menciptakan perbedaan tekanan
udara di kedua sisi partisi, lantai, dan komponen bangunan lain. Konsep dasar dari
presurisasi bangunan adalah menentukan tekanan tertinggi di ruang yang bersebelahan dari
zona asap.
Dengan cara ini, gerakan udara ke dalam zona asap dari daerah yang bersebelahan dan
asap dihalangi dari penyebaran ke seluruh bangunan.

4.2.3*. Aliran Udara.


Aliran udara yang berkecepatan cukup dapat menghalangi gerakan asap. Prinsip ini
umumnya banyak digunakan untuk mengendalikan gerakan asap melalui bukaan.
Aliran udara melalui bukaan ke dalam zona asap harus berkecepatan cukup untuk
membatasi perpindahan asap dari zona itu seperti pada bukaan.
Pintu dalam bukaan ini tidak terbuka untuk jangka waktu yang lama, sehingga kondisi
sementara yang ditunjukkan ini penting untuk menyediakan jalan ke luar dari, atau masuk
ke, daerah zona.

4.3. Parameter Rancangan.

4.3.1. Umum.
Konsultasi teknis dengan instansi berwenang diharapkan dapat menentukan kinerja sistem
dan prosedur uji serah terima pada awal rancangan.

4.3.2. Luas Kebocoran.


Bukaan kecil pada penghalang asap, seperti konstruksi sambungan, keretakan, celah pada
pintu tertutup, dan jarak celah serupa, sebaiknya dijaga agar perbedaan tekanan di kedua
sisi penghalang asap dengan tekanan luar tetap positip terhadap zona asap. Luas
kebocoran tipikal ditunjukkan pada tabel 7.5.

5 dari 57
SNI 03-6571-2001

Bukaan yang besar pada penghalang asap, seperti pintu dan bukaan lainnya yang
digunakan untuk membuka, sebaiknya ditunjukkan. Bukaan ini sebaiknya dikaji didasarkan
pada daerah geometriknya.

4.3.3*. Data Cuaca.


Perbedaan temperatur antara bagian luar dan bagian dalam bangunan menyebabkan efek
cerobong dan menentukan arah dan besarnya. Efek temperatur dan kecepatan angin
beragam dengan ketinggian bangunan, konfigurasi, kebocoran, bukaan dinding dan
konstruksi lantai. Perancang sistem memerlukan temperatur rancangan untuk musim panas
dan hujan.
Untuk analisa keseluruhan, data angin juga perlu dipertimbangkan.

4.3.4. Perbedaan Tekanan.


Perbedaan tekanan maksimum dan minimum yang diijinkan di kedua sisi batas zona
pengendalian asap sebaiknya dipertimbangkan.
Perbedaan tekanan maksimum yang diijinkan sebaiknya tidak menghasilkan gaya membuka
pintu yang melebihi persyaratan pada SNI 03-1746-2000, tentang “Tata cara perencanaan
dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran
pada bangunan gedung”, atau peraturan setempat lainnya.
Perbedaan tekanan minimum yang diijinkan sebaiknya diambil pada keadaan dimana tidak
ada tanda-tanda kebocoran asap selama evakuasi dalam bangunan. Untuk sistem yang
efektif, tekanan sebaiknya cukup yang tidak mengalahkan gaya angin, efek cerobong, atau
daya apung dari asap panas.

4.3.5. Aliran Udara.


Aliran udara dapat digunakan untuk membatasi perpindahan asap jika pintu pada
penghalang pengendali asap terbuka.
Kecepatan rancangan melalui pintu terbuka sebaiknya cukup untuk menghalangi asap
mengalir balik selama evakuasi dalam bangunan. Kecepatan rancangan sebaiknya
dipertimbangkan mempunyai variabel seperti digunakan dalam pemilihan perbedaan
tekanan rancangan.

4.3.6. Jumlah Bukaan Pintu.


Jumlah pintu yang dapat dibuka serempak sebaiknya dipertimbangkan. Jumlahnya
tergantung banyaknya penghuni bangunan dan tipe sistem pengendalian asap. Dalam
beberapa sistem, pintu lebih disukai membuka hanya pada jangka waktu yang pendek dan
kebocoran asap diabaikan.

4.4. Sistem Supresi Kebakaran.


Springkler otomatik dan sistem supresi kebakaran adalah bagian dari sekian banyak
rancangan sistem proteksi kebakaran. Kehandalan dan efisiensi dari setiap sistem dalam
mengendalikan kebakaran pada bangunan perlu didokumentasikan dengan baik.
Penting sekali untuk mengenali fungsi supresi dan sistem pengendalian asap. Sistem
supresi otomatik dapat memadamkan awal kebakaran pada tahap awal pertumbuhannya
sehingga dapat membatasi timbulnya asap.

6 dari 57
SNI 03-6571-2001

Pada sisi yang lain, sistem pengendalian asap yang dirancang dengan baik dapat menjaga
lingkungan yang masih dapat dipertahankan sepanjang rute jalan ke luar yang kritis pada
saat sistem supresi kebakaran beroperasi atau petugas pemadam kebakaran melakukan
pamadaman kebakaran.
Sebagai tambahan, terhadap kenyataan bahwa supresi kebakaran dan sistem pengendalian
asap menunjukkan fungsi yang berbeda, maka untuk itu penting mempertimbangkan
interaksi antara sistem pengendalian asap dan sistem supresi kebakaran.
Sebagai contoh, bangunan yang sepenuhnya menggunakan springkler, perbedaan tekanan
dan aliran udara yang dibutuhkan untuk pengendalian gerakan asap mungkin lebih kecil
daripada bangunan yang tidak berspringkler, karena besarnya api maksimum akan lebih
kecil daripada bangunan tanpa springkler.
Sistem pengendalian asap dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap kinerja
dari zat supresi jenis gas, seperti gas bersih yang didefinisikan pada standar mengenai zat
bersih untuk sistem pemadaman api, apabila pengendalian asap dan sistem supresi
ditempatkan bersamaan dalam suatu ruang.
Pada kejadian dimana kedua sistem diaktifkan bersamaan, sistem pengendalian asap
mungkin akan mencairkan zat gas dalam ruangan. Karena sistem supresi gas yang
digunakan bersama sama menyediakan hanya satu gas, timbul potensi untuk mengobarkan
kembali api.
Sistem pemadaman dengan gas dan sistem pengendalian asap tidak dapat digunakan untuk
fungsi pemadaman serempak apabila keduanya diletakkan di dalam ruangan yang sama.

5. Sistem Pengendalian Asap dan Penerapannya.

5.1. Pendahuluan.
5.1.1. Tujuan.
Bab ini membicarakan bermacam-macam tipe sistem pengendalian asap dan mengkaji ulang
keuntungan dan kerugian dari setiap tipe.
Penentuan sasaran sistem dan kriteria kinerja sebaiknya dibuat terlebih dahulu sebelum
perancangan atau konstruksi.
5.1.2. Sistem Terdedikasi dan Tidak Terdedikasi.
5.1.2.1. Sistem Terdedikasi.
a) Sistem pengendalian asap terdedikasi dipasang dengan tujuan tunggal untuk
menyediakan pengendalian asap. Sistem merupakan sistem terpisah dari penggerakan
udara dan peralatan distribusi yang tidak berfungsi dibawah kondisi pengoperasian
bangunan secara normal. Pada saat diaktifkan, sistem ini beroperasi secara khusus
dalam menjalankan fungsinya sebagai pengendali asap.
b) Keuntungan sistem terdedikasi, termasuk sebagai berikut:
1) Modifikasi dari pengendalian sistem setelah pemasangan jarang dilakukan.
2) Pengoperasian dan pengendalian sistem umumnya sederhana.
3) Ketergantungan pada atau pengaruh oleh sistem bangunan lain dibatasi.
c) Kerugian dari sistem terdedikasi, termasuk sebagai berikut:

7 dari 57
SNI 03-6571-2001

1) Kerusakan sistem mungkin tidak ditemukan pada antara jangka waktu pengujian
atau diantara aktifitas pemeliharaan.
2). Sistem dapat membutuhkan ruangan yang lebih besar.

5.1.2.2. Sistem Tidak Terdedikasi.


a) Keuntungan dari sistem tidak terdedikasi, termasuk sebagai berikut:
1) Kerusakan sampai peralatan yang tergabung yang dibutuhkan untuk
pengoperasian bangunan secara normal, sehingga kerusakan dapat diperbaiki
dengan cepat.
2) Tambahan ruangan yang dibutuhkan terbatas untuk peralatan pengendalian
asap yang penting.
b) Kerugian dari sistem tidak terdedikasi, termasuk sebagai berikut:
1) Pengendalian sistem mungkin menjadi rumit.
2) Modifikasi dari peralatan yang tergabung atau pengendali dapat merusak fungsi
pengendalian asap.

5.1.3. Tipe Sistem Dasar.


Sistem untuk mengendalikan gerakan asap dalam suatu bangunan umumnya dapat dibagi
ke dalam dua tipe yang terpisah, yaitu proteksi saf dan proteksi lantai. Proteksi saf
selanjutnya dapat dibagi menjadi sistem presurisasi sumur tangga dan sistem ruang luncur
lif. Proteksi lantai meliputi variasi beberapa zona pengendalian asap. Penggunaan suatu
sistem khusus atau sistem kombinasi tergantung pada persyaratan bangunan dan
persyaratan hunian khusus serta keselamatan jiwa dari situasi yang dipertimbangkan

5.1.4. Lingkungan yang Masih Dapat Dipertahankan.


Zona tanpa asap dari sistem pengendalian asap terzona dapat digunakan sebagai daerah
yang diharapkan dapat memproteksi penghuni untuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk
evakuasi atau dapat digunakan untuk melengkapi daerah tempat berlindung.

5.1.5. Integritas Sistem.


Sistem pengendalian asap sebaiknya dirancang, dipasang, dan dipelihara sehingga sistem
akan tetap efektif selama evakuasi dari daerah yang diproteksi.
Pertimbangan lain dapat dicatat bahwa suatu sistem seharusnya tetap efektif untuk jangka
waktu yang panjang. Hal-hal yang seharusnya dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Kehandalan sumber-sumber daya.
b) Susunan distribusi daya.
c) Metoda dan proteksi dari kontrol dan sistem pemantauan.
d) Bahan peralatan dan konstruksinya.
e) Penghunian bangunan.

5.2. Perbedaan Tekanan.


5.2.1*. Tabel 5.2.1 menunjukkan saran perbedaan tekanan minimum rancangan yang
dikembangkan untuk temperatur gas 9250C (17000 F) yang berdekatan dengan penghalang

8 dari 57
SNI 03-6571-2001

asap. Perbedaan tekanan ini disarankan untuk perancangan yang didasarkan pada
perbedaan tekanan minimum yang dipertahankan antara ruangan khusus.
Tabel 5.2.1: Perbedaan tekanan minimum rancangan yang disarankan di kedua sisi
penghalang asap1

Perbedaan tekanan
Tipe bangunan 2 Ketinggian langit-langit
rancangan 3 (in.w.g)
SO rendah 0,05
TS 9 ft 0,10
TS 15 ft 0,14
TS 21 ft 0,18

Untuk Unit SI, 1 ft = 0,305 m; 0,1 in.wg = 25 Pa.


1 = Untuk tujuan perancangan, sistem pengendalian asap perbedaan tekanan minimumnya lebih disukai
dijaga di bawah kondisi efek cerobong atau angin.
2 = SO – springkler otomatik, TS – tanpa springkler.
3 = Untuk sistem pengendalian asap yang di zona, perbedaan tekanan diukur antara zona asap dan ruangan
sebelahnya dimana ruangannya dipengaruhi mode pengendalian asap.
Jika diinginkan menghitung perbedaan tekanan untuk temperatur gas yang lain dari 9250C
(17000 F), metoda yang dijelaskan pada butir A.5.2.1 dari apendiks dapat dipakai.
Perbedaan tekanan yang dihasilkan oleh sistem pengendalian asap cenderung berfluktuasi
karena pengaruh angin, pembukaan pintu, penutupan pintu, dan faktor-faktor lain.
Deviasi jangka pendek dari perbedaan tekanan minimum rancangan yang disarankan
mungkin tidak mempunyai pengaruh serius pada proteksi yang disediakan oleh sistem
pengendalian asap. Jadi tidak ada pemotongan nilai yang diijinkan dari deviasi ini.
Ketergantungannya adalah pada kekedapan pintu, kekedapan konstruksi, tingkat racun dari
asap, laju aliran udara dan volume ruangan.
Deviasi yang sebentar-sebentar sampai dengan 50% dari perbedaan tekanan minimum yang
disarankan dapat dipertimbangkan untuk ditolerir dalam banyak kasus.
*
5.2.2 . Serupa untuk perbedaan tekanan di kedua sisi penghalang asap, perbedaan
tekanan di kedua sisi pintu sebaiknya tidak melebihi nilai yang diberikan pada tabel 5.2.2,
sehingga pintu dapat dioperasikan ketika sistem presurisasi dioperasikan.
Nilai perbedaan tekanan ini didasarkan pada gaya maksimum yang diijinkan sebesar 133 N
(20 lbf ) pada saat mulai membuka pintu seperti ditetapkan pada SNI 03-1746-2000, tentang
“Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap
bahaya kebakaran pada bangunan gedung ”

9 dari 57
SNI 03-6571-2001

Tabel 5.2.2 : Perbedaan tekanan maksimum di kedua sisi pintu-pintu1, 2, 3, 4

Gaya Lebar pintu (in. w.g ) 6


menutup
32 36 40 44 48
pintu ( lbf )
6 0,45 0,40 0,37 0,34 0,31
8 0,41 0,37 0,34 0,31 0,28
10 0,37 0,34 0,30 0,28 0,26
12 0,34 0,30 0,27 0,25 0,23
14 0,30 0,27 0,24 0,22 0,21

Untuk unit SI, 1 lbf = 4,4 N; 1 in = 25,4 mm; 0,1 in.w.g = 25 Pa.
Catatan:
1 = Gaya membuka pintu total 30 lbf.
2 = Ketinggian pintu 7 ft.
3 = Jarak dari tombol pintu ke sisi tombol dari pintu 3 inci.
4 = Untuk gaya membuka pintu lain, ukuran pintu lain, atau perangkat keras lain daripada tombol — untuk
contoh, pernagkat keras tombol—menggunakan prosedur yang disediakan dalam ketentuan teknis lain
yang berlaku .
5 = Banyak penutup pintu mempersyaratkan gayanya kurang dalam bagian awal siklus membuka daripada
persyaratan untuk membawa pintu ke posisi pembukaan penuh.
Kombinasi pukulan dari penutup pintu dan kombinasi tekanan yang diadakan hanya sampai pintu cukup
dibuka untuk mengijinkan udara lewat bebas melalui bukaan. Gaya yang diadakan oleh alat penutup
untuk menutup pintu, sering berbeda dari yang diadakan pada pembukaan.
6 = Penerapan lebar pintu hanya jika pintu mempunyai engsel pada satu ujung; sebaliknya menggunakan
prosedur perhitungan yang disediakan pada ketentuan lain yang berlaku.

5.3. Sistem Presurisasi Sumur Tangga.

5.3.1. Umum.
Sasaran kinerja dari presurisasi tangga adalah menyediakan lingkungan yang masih dapat
dipertahankan di dalam sumur tangga pada saat kejadian kebakaran dalam bangunan.
Sasaran kedua adalah untuk menyediakan daerah untuk petugas pemadam kebakaran.
Pada lantai dimana terjadi kebakaran, kebutuhan sumur tangga yang dipresurisasi untuk
menjaga perbedaan tekanan di kedua sisi pintu sumur tangga yang ditutup sehingga infiltrasi
dari asap dibatasi. Sistem presurisasi sumur tangga sebaiknya dirancang untuk memenuhi
atau melebihi perbedaan tekanan minimum rancangan yang diberikan dalam tabel 5.2.1
tetapi sebaiknya tidak melebihi perbedaan tekanan maksimum yang diberikan dalam tabel
5.2.2.

10 dari 57
SNI 03-6571-2001

5.3.2. Sistem Tanpa Kompensasi dan Dengan Kompensasi.


5.3.2.1 Dalam sistem tanpa kompensasi, udara pasok diinjeksi ke dalam sumur tangga
dengan menggerakkan fan kecepatan tunggal, jadi tersedia satu perbedaan tekanan
dengan semua pintu yang ditutup, perbedaan lain dengan satu pintu yang terbuka, dan
seterusnya.
5.3.2.2 Sistem dengan kompensasi mengatur sampai kombinasi variasi dari pintu-pintu
yang dibuka dan ditutup, dimana perbedaan tekanan dijaga tetap positip di kedua sisi
bukaannya. Sistem berganti sesuai perubahan kondisi baik dengan modulasi pasokan aliran
udara maupun dengan melepas tekanan lebih dari sumur tangga.
Waktu tanggap dari sistem pengenalian sebaiknya dikaji untuk menjamin tekanannya tidak
jatuh di bawah nilai jangka pendek yang diberikan dalam tabel 5.2.1. Lokasi dari inlet
buangan dari sumur tangga relatif terhadap outlet pasokan ke dalam sumur tangga
sebaiknya dibuat sedemikian sehingga sirkit pendek tidak akan terjadi.
5.3.2.2.1. Modulasi Pasokan Aliran Udara.
Dalam sistem modulasi pasokan aliran udara, kapasitas pasokan fan diambil untuk
menyediakan sedikitnya kecepatan udara minimum jika jumlah pintu sesuai yang dirancang
terbuka. Gambar 5.3.2.2.1 menunjukkan sistem ini. Laju aliran udara ke dalam sumur tangga
dapat diubah dengan modulasi bypass damper, yang dikendalikan oleh satu atau lebih
sensor tekanan statik yang mengindera perbedaan tekanan antara sumur tangga dan
bangunan. Apabila semua pintu sumur tangga ditutup, perbedaan tekanan naik dan bypass
damper membuka untuk menaikkan bypass udara dan menurunkan aliran dari pasokan
udara ke sumur tangga. Dalam cara ini, kelebihan perbedaan tekanan antara sumur tangga
dan bangunan dapat dicegah. Pengaruh yang sama dapat dicapai dengan menggunakan
damper pelepas pada ducting suplai jika fan ditempatkan di luar bangunan. Modulasi
pasokan aliran udara dapat juga disempurnakan dengan kecepatan fan yang bervariasi,
vane inlet, sudu fan dengan pitch yang variabel, atau bekerja dengan sejumlah fan. Waktu
tanggap dari pengendalian setiap sistem sebaiknya dipertimbangkan.

Gambar 5.3.2.2.1: Presurisasi sumur tangga dengan bypass sekeliling Fan pasok

11 dari 57
SNI 03-6571-2001

5.3.2.2.2. Pelepas Tekanan Lebih


Beroperasinya sistem kompensasi dapat juga disempurnakan dengan pelepas tekanan lebih.
Dalam contoh ini, tekanan dibangun dalam sumur tangga seperti pintu tertutup langsung
dilepas dari sumur tangga ke luar. Sejumlah udara dilepas bervariasi dengan sejumlah pintu
yang terbuka., jadi mengusahakan untuk mencapai tekanan konstan yang penting pada
sumur tangga.
Pelepas bagian luar membuka dapat mempunyai pengaruh merugikan dari angin; jadi
pematah angin atau pelindung angin di rekomendasikan.
Jika pelepasan tekanan lebih dikeluarkan ke dalam bangunan, berpengaruh pada integritas
sumur tangga dan interaksi dengan sistem HVAC bangunan sebaiknya dikaji lebih dekat.
Sistem menggunakan prinsip ini sebaiknya mempunyai kombinasi damper api/asap pada
tembusan dinding sumur tangga.
Pelepasan tekanan lebih dapat disempurnakan dengan satu dari empat cara sebagai berikut:
a) Damper barometrik dengan pengaturan bobot imbang dapat digunakan untuk
membolehkan dampar membuka bila tekanan maksimum di bagian dalam tercapai. Ini
merupakan cara yang sederhana melepas tekanan lebih, dimana tidak ada
interkoneksi antara damper dan fan. Lokasi damper sebaiknya dipilih secara hati-hati,
karena damper yang ditempatkan terlalu menutup ke bukaan pasokan dapat
beroperasi terlalu cepat dan bisa tidak memenuhi persyaratan seluruh tekanan sumur
tangga. Damper dapat bergerak-gerak selama beroperasi.
b) Damper yang dioperasikan dengan motor digerakkan secara pnumatik atau motor
listrik merupakan pilihan lain untuk melepas tekanan lebih. Damper ini dikontrol oleh
kontrol perbedaan tekanan yang ditempatkan dalam sumur tangga. Cara ini
menyediakan kontrol lebih positip terhadap tekanan sumur tangga dibandingkan
damper barometrik. Damper ini membutuhkan kontrol yang komplek dan
membutuhkan biaya dibandingkan damper barometrik.
c) Cara alternatif ven sumur tangga adalah melalui bukaan otomatik pintu sumur tangga
atau ven ke sisi luar lantai bawah.
Di bawah kondisi normal, pintu ini akan ditutup dan, dalam banyak hal, dikunci untuk
alasan keamanan.
Ketentuan sebaiknya dibuat untuk menjamin bahwa kunci ini tidak konflik dengan
pengoperasian otomatik dari sistem.
Mungkin efek angin yang merugikan juga berhubungan dengan sistem yang
menggunakan bukaan ke bagian luar pada lantai bawah seperti ven. Kadang-kadang
kecepatan angin lokal yang tinggi timbul dekat pintu sumur tangga bagian luar. Angin
lokal seperti itu sukar diperkirakan dalam daerah sekitar bangunan baru tanpa model
yang mahal. Sasaran yang berdekatan dapat bertindak menahan angin atau dapat
bertindak menahan angin atau pelindung terhadap angin.
Sistem peralatan ven untuk sisi luar lantai bawah lebih efektip di bawah kondisi udara
dingin, dengan bantuan efek cerobong, sistem presurisasi tangga untuk sumur tangga
utama di atas tanah.
d) Fan pembuangan dapat digunakan untuk mencegah tekanan lebih jika semua pintu
sumur tangga ditutup.

12 dari 57
SNI 03-6571-2001

Fan sebaiknya dikontrol oleh sensor perbedaan tekanan sehingga fan tidak akan
beroperasi jika perbedaan tekanan antara sumur tangga dan bangunan jatuh di bawah
taraf yang dispesifikasikan.
Ini akan mencegah fan menarik asap ke dalam sumur tangga jika jumlah pintu yang
membuka mengurangi presurisasi sumur tangga.
Fan pembuangan seperti itu sebaiknya ukurannya dispesifikasikan sehingga sistem
presurisasi akan berada dalam batas perancangan.
Untuk mencapai kinerja yang diharapkan, dipercaya bahwa kontrol fan pembuangan
sebaiknya jenis modulasi seperti berlawanan untuk jenis ON – OFF.
Karena fan pembuangan akan mempunyai pengaruh merugikan oleh angin, pelindung
angin direkomendasikan.

Gambar 5.3.2.2.2 : Presurisasi sumur tangga dengan ven ke luar

5.3.3. Lokasi Sumber Udara Pasok.


5.3.3.1. Masukan udara pasok sebaiknya dipisahkan dari : semua buangan bangunan,
keluaran dari saf asap dan asap atap dan ven panas, ven terbuka dari saf lif, dan bukaan
lain dari bangunan yang mungkin mengusir asap dari bangunan yang terbakar.
Pemisahan ini sebaiknya sebesar besarnya dilakukan. Karena naiknya asap panas,
pertimbangan sebaiknya diberikan pada lokasi masukan udara pasok di bawah bukaan yang
kritis. Bagaimanapun, gerakan asap di luar mungkin menghasilkan umpan balik asap,
tergantung pada : lokasi kebakaran, lokasi titik kebocoran asap, kecepatan angin dan
arahnya, dan perbedaan temperatur antara asap dan udara luar.
Saat ini, informasi yang cukup tidak ada mengenai gerakan asap luar untuk menjamin
rekomendasi umum yang mendukung bahwa masukan dari lantai bawah lebih baik dari pada
masukan dari lantai atap.
5.3.3.2. Dengan sistem presurisasi sumur tangga, maka berpotensi terjadinya umpan
balik asap ke dalam sumur tangga yang dipresurisasikan terhadap masuknya asap ke sumur
tangga melalui masukan fan presurisasi. Karena itu, kemampuan menutup otomatik pada
kejadian umpan balik asap sebaiknya dipertimbangkan.

13 dari 57
SNI 03-6571-2001

5.3.4. Fan Pemasok Udara.

5.3.4.1. Fan Propeler.


Keuntungan dan pembatasan penggunaan fan propeler dijelaskan pada butir 5.3.4.1.1
sampai 5.3.4.1.3.
5.3.4.1.1. Sistem injeksi titik tunggal sederhana seperti yang digambarkan pada gambar
5.3.4.1.1 dapat menggunakan fan propeler yang dipasang di atap atau dinding luar untuk
memasok udara ke sumur tangga.
Penggunaan fan propeler tanpa pelindung angin tidak direkomendasikan karena pengaruh
ekstrim angin dapat mempengaruhi kinerja fan.

Gambar 5.3.4.1.1 : Presurisasi sumur tangga oleh fan propeler yang dipasang di atap.

5.3.4.1.2. Satu keuntungan besar menggunkan fan propeler untuk presurisasi sumur
tangga adalah kurva respon tekanan relatif datar terhadap beragam aliran. Karena itu,
seperti pintu dibuka dan ditutup, fan propeler cepat merespon ke perubahan aliran dalam
sumur tangga tanpa fluktuasi besarnya tekanan.
Keuntungan kedua, penggunaan propeler fan dapat mengurangi biaya dari pada fan jenis
lain dan dapat menyediakan pengendalian asap yang cukup dengan biaya pemasangan
yang rendah.
5.3.4.1.3. Kerugian penggunaan fan propeler adalah bahwa sering mempersyaratkan
pelindung angin pada masukan karena fan ini beroperasi pada tekanan rendah dan cepat
terpengaruh oleh tekanan angin pada bangunan.
Ini menjadi kurang kritis pada atap apabila fan sering diproteksi oleh parapet dan apabila
arah angin menyudut terhadap sumbu fan.
Fan propeler yang dipasang pada dinding mudah terpengaruh oleh tekanan angin. Pengaruh
kurang baik maksimum terjadi bila arah angin berlawanan dengan arah aliran udara fan,
menghasilkan tekanan pada masukan rendah dan penurunan efektivitas fan sangat berarti.
Intensitas angin variabel dan arahnya juga dapat mengancam terhadap kemampuan dari
sistem untuk menjaga kontrol di atas tekanan statik pada sumur tangga.

14 dari 57
SNI 03-6571-2001

5.3.4.2. Jenis Lain dari Fan.


Sistem injeksi tunggal dan sistem injeksi banyak lainnya mungkin mempersyaratkan
penggunaan fan sentrifugal atau fan axial in-line untuk mengatasi kenaikan tahanan untuk
mengalirkan dalam dakting pemasok ke sumur tangga.

5.3.5. Sistem Injeksi Tunggal dan Jamak.

5.3.5.1. Sistem Injeksi Tunggal.


5.3.5.1.1. Sistem injeksi tunggal adalah satu dari sistem presurisasi udara yang dipasok ke
sumur tangga pada satu lokasi.
Titik injeksi yang umum berada pada puncak dari sumur tangga, seperti ditunjukkan dalam
gambar 5.3.5.1.1.

Gambar 5.3.5.1.1. : Presurisasi sumur tangga oleh injeksi di atas.

5.3.5.1.2. Sistem injeksi tunggal dapat gagal jika beberapa pintu yang dekat titik injeksi
pasokan udara dibuka. Semua udara presurisasi dapat hilang melalui bukaan pintu ini,
selanjutnya sistem gagal untuk menjaga tekanan positip di kedua sisi pintu yang jauh dari
titik injeksi.
5.3.5.1.3. Karena pintu sumur tangga pada lantai bawah lebih disukai terbuka, sistem
injeksi tunggal bawah, cenderung gagal.
Pertimbangan dari situasi spesifik ini perlu analisa rancangan keseluruhan yang hati-hati
yang dipersyaratkan untuk sistem injeksi tunggal bawah dan untuk semua sistem injeksi
tunggal lain untuk sumur tangga dengan ketinggian lebih dari 30,5 m (100 ft ).

5.3.5.2. Sistem Injeksi Jamak.


5.3.5.2.1. Sistem injeksi jamak adalah salah satu dimana udara dipasok ke sumur tangga
pada banyak titik. Gambar 5.3.5.2.1.(a) dan 5.3.5.2.1.(b) adalah dua contoh dari beberapa
sistem injeksi banyak yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan dari sistem
unjeksi tunggal. Fan presurisasi dapat ditempatkan pada lantai bawah, lantai atap, atau pada
setiap lokasi diantaranya.

15 dari 57
SNI 03-6571-2001

Gambar 5.3.5.2.1(a) : Presurisasi sumur tangga dengan injeksi jamak dengan fan yang
ditempatkan pada lantai bawah.

Gambar 5.3.5.2.1.(b) : Presurisasi sumur tangga dengan injeksi jamak dengan fan
yang dipasang di atap.
5.3.5.2.2. Dalam gambar 5.3.5.2.1.(a) dan 5.3.5.2.1.(b), dakting pasok ditunjukkan dalam
saf terpisah. Bagaimanapun sistem telah dibuat dimana pengeluaran dibatasi oleh saf
dakting yang terpisah dengan menempatkan dakting pasok dalam tangga tertutup. Kehati-
hatiannya sebaiknya diambil sehingga dakting tidak mengurangi lebar jalan ke luar yang
dipersyaratkan atau menjadi hambatan untuk melakukan evakuasi dari bangunan.
5.3.5.2.3. Beberapa sistem injeksi jamak telah dibuat dengan titik injeksi udara pasok pada
setiap lantai. Sistem ini mencegah kerugian udara presurisasi melalui beberapa pintu yang
terbuka; bagaimanapun, terlalu banyak titik injeksi mungkin tidak penting.
Untuk rancangan sistem dengan titik injeksi lebih dari tiga lantai terpisah, perancang
sebaiknya menggunakan analisa komputer seperti yang diberikan pada ketentuan standar
lain.
Tujuan analisa ini untuk menjamin bahwa kerugian udara presurisasi melalui beberapa pintu
terbuka menunjukkan kerugian yang berarti pada presurisasi sumur tangga.

16 dari 57
SNI 03-6571-2001

5.3.6. Ruang Antara (Vestibule ).


Sumur tangga yang tidak mempunyai ruang antara dapat di presurisasi cukup dengan sistem
yang telah ada. Beberapa bangunan dikonstruksikan dengan ruang antara karena
persyaratan standar bangunan. Ruang antara ini dapat dipresurisasi atau tidak dipresurisasi.

5.3.6.1. Ruang Antara Tanpa Dipresurisasi.


Sumur tangga yang mempunyai ruang antara tanpa presurisasi dapat diterapkan pada
bangunan yang sudah ada. Dengan kedua pintu ruang antara terbuka, dua pintu yang
berderet menimbulkan kenaikan tahanan aliran udara dibandingkan pintu tunggal. Kenaikan
tahanan akan mengurangi aliran udara yang menghasilkan suatu tekanan dalam sumur
tangga. Subyek ini didiskusikan pada standar lain.
Dalam bangunan dengan beban hunian rendah, mungkin bahwa satu atau dua buah pintu
ruang antara ditutup, atau sekurang-kurangnya ditutup sebagian, selama jangka waktu
evakuasi. Ini selanjutnya akan mengurangi aliran udara yang dipersyaratkan untuk
menghasilkan suatu tekanan.

5.3.6.2. Ruang Antara Dipresurisasi


Kedua pintu yang menutup pada ruang antara dapat membatasi masuknya asap ke ruang
antara dan menyediakan lingkungan yang masih dapat dipertahankan sebagai daerah
tempat berlindung. Sumur tangga yang berdekatan secara tidak langsung dipresurisasikan
oleh aliran udara dari ruang antara yang dipresurisasi. Bagaimanapun, presurisasi ini dapat
hilang jika pintu bagian luar terbuka.
Juga, asap dapat mengalir ke dalam sumur tangga melalui setiap kebocoran bukaan dalam
dinding sumur tangga yang berdekatan dengan ruang lantai. Dinsing seperti itu sebaiknya
dikonstruksi dengan kebocoran minimal untuk sumur tangga yang diproteksi oleh sistem
ruang antara yang dipresurisasi.

5.3.6.3. Ruang Antara Dipresurisasi dan Sumur Tangga.


Untuk meminimalkan sejumlah asap masuk ke dalam ruang antara dan sumur tangga, ruang
antara dan sumur tangga keduanya dapat dipresurisasi. Sistem kombinasi akan menambah
keefektifan dari sistem presurisasi sumur tangga. Juga, ruang antara yang dipresurisasi
dapat menyediakan daerah tempat berlindung sementara.

5.3.6.4. Dibilas atau Ruang antara di Ven.


Sistem pembilasan atau penghawaan ruang antara berada di luar lingkup standar ini.
Analisis bahaya mungkin dipersyaratkan menggunakan prosedur yang disediakan dalam
standar lain. Analisis keteknikan sebaiknya ditunjukkan untuk menentukan manfaat dari,
presurisasi, pembilasan atau pembuangan dalam ruang antara pada sumur tangga.

5.3.7*. Jumlah Pintu yang Terbuka.


Untuk sistem presurisasi sumur tangga yang tidak dirancang untuk mengakomodasi bukaan
pintu, presurisasi akan menurun bila setiap pintu membuka, dan asap dapat masuk ke dalam
sumur tangga. Untuk bangunan dengan densitas penghuni yang rendah, bukaan dan
menutup dari beberapa pintu selama evakuasi mempunyai efek kecil pada sistem. Untuk
bangunan dengan densitas penghuni yang tinggi dan evakuasi bangunan total, dapat
dibutuhkan lebih banyak pintu yang dibuka selama waktu evakuasi. Metoda pada standar
lain dapat digunakan untuk merancang sistem untuk mengakomodasi dimana dari beberapa

17 dari 57
SNI 03-6571-2001

pintu sampai hampir semua pintu dapat dibuka. Efek bukaan pintu ke luar biasanya jauh
lebih besar dari pada bukaan pintu di dalam. Jika sistem dirancang untuk pintu membuka
dan evakuasi bangunan total, jumlah pintu yang terbuka sebaiknya termasuk pintu sumur
tangga bagian luar.

5.4. Pengendalian Asap di Lif.


5.4.1 Secara historis, ruang luncur lif harus dibuktikan mempunyai jalur yang mudah
dilihat untuk gerakan asap ke luar bangunan. Alasannya adalah pintu lif tidak dipasang
secara rapat dan ruang luncur lif disediakan dengan bukaan di atasnya. Efek cerobong
bangunan mendorong dengan gaya yang mampu menggerakkan asap ke dalam dan ke luar
lepas dari konstruksi ruang luncur lif.
Metoda ini termasuk berikut:
a) Pembuangan asap dari lantai yang terbakar.
b) Presurisasi dari lobi lif yang tertutup.
c) Konstruksi lobi lif yang rapat asap.
d) Presurisasi ruang luncur lif.
e)* Menutup pintu lif setelah panggilan otomatik.
5.4.2. Metoda seperti ditunjukkan pada butir 5.4.1.a) sampai e) telah dibahas baik
secara sendiri-sendiri atau secara gabungan. Bagaimanapun juga penerapannya ke proyek
tertentu, termasuk efek dari ven dalam ruang luncur lif, sebaiknya di evaluasi lebih dulu.
Ven terbuka pada puncak dari ruang luncur lif mungkin mempunyai efek yang tidak
diinginkan pada sistem pengendalian asap lif.
5.4.3*. Kebakaran telah menunjukkan kecenderungan asap untuk berpindah ke dalam
ruang luncur. Karena itu, penggunaan lif sebagai jalan ke luar penyelamatan bukan menjadi
pilihan. Penelitian menunjukkan bahwa lif selama kebakaran perlu, dan disediakan sistem lif
yang diproteksi terhadap panas, nyala api, asap, kerugian daya listrik, kerugian pendinginan
ruang mesin lif, gangguan air, dan aktivasi tak sengaja dari alat kontrol.

5.5. Pengendalian Asap Terzona.

5.5.1. Umum.
5.5.1.1. Sumur tangga dengan presurisasi seperti didiskusikan dalam butir 5.3 ditujukan
untuk mengendalikan meluasnya asap dengan menghalangi infiltrasi asap ke dalam sumur
tangga, tetapi dalam bangunan dengan sumur tangga yang dipresurisasi seperti sarana
pengendali asap tunggal, asap dapat mengalir melalui retakan di lantai dan partisi dan
melalui saf lain yang mengancam jiwa dan merusak harta milik pada lokasi yang jauh dari
kebakaran. Konsep pengendalian asap terzona didiskusikan dalam bab ini, ditujukan untuk
membatasi jenis ini dari gerakan asap di dalam bangunan.
5.5.1.2. Pembatasan besarnya ukuran kebakaran ( laju pembakaran massa) menaikkan
kehandalan dan kelangsungan sistem pengendalian asap. Besarnya ukuran kebakaran
dapat dibatasi dengan pengendalian bahan bakar, kompartemenisasi, atau springkler
otomatik. Mungkin penyediaan pengendalian asap dalam bangunan tidak mempunyai
fasilitas pembatasan kebakaran, tetapi dalam contoh ini pertimbangan yang hati-hati harus
dilakukan untuk tekanan kebakaran, temperatur tinggi, laju pembakaran massa, akumulasi

18 dari 57
SNI 03-6571-2001

bahan bakar yang tidak terbakar, dan hasil output lainnya dari kebakaran yang tak
terkendali.

5.5.2. Zona Pengendalian Asap.


5.5.2.1. Beberapa bangunan dapat dibagi ke dalam sejumlah zona pengrendalian asap,
setiap zona dipisahkan satu sama lain oleh partisi, oleh lantai, dan oleh pintu yang dapat
ditutup untuk menghalangi gerakan asap. Zona pengendalian asap dapat terdiri dari satu
atau lebih lantai, atau sebuah lantai dapat terdiri dari satu atau lebih zona pengendalian
asap. Susunan dari beberapa zona pengendalian asap ditunjukkan pada gambar 5.5.2.1.
Sistem pengendalian asap terzona sebaiknya dirancang agar perbedaan tekanan antara
zona tanpa asap yang berdekatan dan zona asap memenuhi atau lebih dari perbedaan
tekanan minimum yang diberikan pada tabel 5.2.1, dan pada lokasi dengan pintu, perbedaan
tekanan sebaiknya tidak melebihi nilai yang diberikan pada tabel 5.2.2.

Gambar 5.5.2.1. : Susunan zona pengendalian asap


Dalam gambar 5.5.2.1., zona asap ditunjukkan oleh tanda kurang (-) dan ruangan yang
dipresurisasi ditunjukkan dengan tanda tambah (+). Pada setiap lantai dapat dibuat zona
pengendalian asap seperti ditunjukkan pada (a) dan (b), atau zona asap dapat terdiri lebih
dari lantai seperti ditunjukkan pada (c) dan (d). Semua zona tanpa asap dalam bangunan
dapat dipresurisasi seperti pada (a) dan (c), atau hanya zona tanpa asap yang berdekatan
ke zona asap dapat dipresurisasi seperti pada (b) dan (d).
Zona asap dapat juga dibatasi untuk sebagian lantai seperti pada (e).
5.5.2.2. Dalam peristiwa kebakaran, perbedaan tekanan dan aliran udara yang dihasilkan
oleh fan mekanis dapat digunakan untuk membatasi penyebaran asap ke zona dimana
dimulainya kebakaran. Konsentrasi asap mungkin membuat zona tidak dapat dipertahankan.

19 dari 57
SNI 03-6571-2001

Pada sistem pengendalian asap terzona, evakuasi penghuni bangunan sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin setelah adanya deteksi kebakaran.
5.5.2.3* Zona asap sebaiknya dijaga sehingga evakuasi dari zona ini dapat mudah terlihat
dan kuantitas udara yang dibutuhkan untuk presurisasi ruangan sekitarnya dapat dijaga
dengan taraf yang terkendali.
Bagaimanapun juga, zona ini sebaiknya cukup besar sehingga panas yang dibangkitkan
oleh kebakaran akan menjadi cukup diencerkan dengan udara disekitarnya untuk mencegah
kegagalan komponen utama dari sistem pengendalian asap.
5.5.2.4. Apabila kebakaran terjadi, semua zona tanpa asap pada bangunan dapat
dipresurisasi seperti ditunjukkan dalam gambar 5.5.2.1, bagian (a), (c) dan (e). Sistem ini
membutuhkan jumlah yang besar dari udara luar. Lokasi yang berkaitan dengan inlet udara
pasok dari sumur tangga yang dipresurisasi tersebut (lihat butir 5.3.3) juga diterapkan untuk
inlet udara pasok untuk zona tanpa asap.
5.5.2.5. Pada cuaca dingin, adanya jumlah yang besar dari udara luar dapat
menyebabkan kerusakan yang serius dari sistem bangunan. Bagaimanapun, pertimbangan
yang serius sebaiknya dilakukan untuk menggunaan sistem pra pemanas darurat dalam
memanaskan udara yang datang dan membantu mencegah atau membatasi kerusakan.
Sebagai alternatif, presurisasi hanya pada zona yang berdekatan dengan zona asap akan
dapat membatasi jumlah udara luar yang dibutuhkan, seperti dalam gambar 5.5.2.1, bagian
(b) dan (d).
Karena itu, kerugian dari pembatasan ini adalah aliran asap mungkin akan melalui saf ke
luar zona terpresurisasi dan ke dalam ruangan yang tidak terpresurisasi.
Apabila alternatif ini dipertimbangkan, penelitian yang hati-hati dari asap yang berpotensi
mengalir sebaiknya dilakukan dan ditentukan mana yang dapat diterima.
5.5.2.6. Sinyal dari sistem alarm kebakaran dapat digunakan untuk mengaktivasi sistem
pengendalian asap terzona yang cocok. Penggunaan sistem alarm kebakaran membutuhkan
penyusunan zona yang tepat dengan zona pengendalian asap, agar aktivasi yang salah dari
sistem pengendalian asap dapat dicegah.
5.5.2.7. Kecuali ven atau buangan disediakan dalam zona kebakaran, perbedaan
tekanan tidak akan ditimbulkan;

5.6*. Daerah Tempat Berlindung.


Pengendalian asap untuk daerah tempat berlindung dapat disediakan presurisasi. Untuk
daerah tempat berlindung yang bersebelahan dengan sumur tangga atau lif, ketentuan
sebaiknya dibuat untuk mencegah kerugian tekanan atau tekanan lebih karena interaksi dari
pengendalian asap daerah tempat berlindung dan pengendalian asap saf.

5.7. Sistem Kombinasi.

5.7.1. Umum.
Pada beberapa kejadian, lebih dari satu sistem pengendalian asap akan beroperasi secara
serempak. Untuk contoh, sumur tangga yang dipresurisasi dapat menyambung ke luas lantai
yang merupakan bagian dari sistem pengendalian asap terzona. Ruang luncur lif yang
merupakan bagian dari sistem pengendalian asap lif dapat menyambung ke luas lantai yang
merupakan bagian dari sistem pengendalian asap terzona. Sistem pengendalian asap lif

20 dari 57
SNI 03-6571-2001

dapat dihubungkan ke daerah tempat berlindung yang mengarah dan dihubungkan dengan
luas lantai yang merupakan bagian dari sistem pengendalian asap terzona. Selanjutnya
dapat mempresurisasi sumur tangga yang juga dihubungkan ke daerah tempat berlindung.
Contoh dari satu sistem yang sederhana terdiri dari sumur tangga yang dipresurisasi seperti
sarana pengendalian asap pada bangunan tunggal .
Kejadian selanjutnya, interaksi antara sumur tangga melalui bangunan, khususnya jika pintu
dibuka dan ditutup, harus dipertimbangkan.
Sering sistem ini dirancang tidak bergantung terhadap pengoperasian yang mendapatkan
gaya dinamik (contoh: pengapungan, efek cerobong, angin). Satu rancangan lengkap perlu
untuk mengkaji pengaruh sistem pengendalian asap satu sama lain.
Untuk contoh, zona pembuangan asap dalam hubungannya dengan sistem presurisasi
sumur tangga dapat cenderung untuk meningkatkan kinerja sistem presurisasi tangga.
Pada waktu yang bersamaan, sistem ini dapat menaikkan perbedaan tekanan di kedua sisi
pintu, menyebabkan sulitnya pembukaan pintu ke dalam sumur tangga. Untuk sistem yang
lengkap, direkomendasikan model jaringan komputer seperti yang dibicarakan dalam Bab 7,
digunakan untuk analisis.

5.7.2 Pembuangan pada Lantai yang Terbakar.


Pembuangan pada lantai yang terbakar dapat meningkatkan kinerja dari presurisasi sumur
tangga. Manfaat dari sistem ini adalah mengurangi tekanan pada lantai yang terbakar, jadi
menaikkan perbedaan tekanan di kedua sisi pintu sumur tangga. Sistem ini mungkin atau
mungkin tidak sebagai bagian dari sistem pengendalian asap terzona. Buangan dari lantai
yang terbakar sebaiknya dilepaskan ke luar bangunan dan dapat digunakan daya fan atau
tidak digunakan daya fan, tergantung pada kondisi bangunannya. Perancangan sistem
seperti ini sebaiknya termasuk analisa keteknikan dari cerobong dan pengaruh angin.

6 Peralatan dan Pengendalian Bangunan.

6.1 Umum.
Dengan beberapa modifikasi, sistem ventilasi dan pengkondisian udara bangunan
konvensional dapat digunakan untuk menyediakan pengendalian asap pada bangunan.
Berbagai jenis peralatan bangunan akan dibicarakan dalam bab ini, namun tidaklah praktis
untuk membicarakan keseluruhannya. Bab ini menyediakan informasi umum mengenai
peralatan dan pengendaliannya, dan menyediakan pedoman yang dapat digunakan untuk
menyesuaikan sebagian besar dari peralatan yang dimaksud.

6.2 Peralatan Ventilasi dan Pengkondisian Udara

6.2.1 Umum.
Peralatan ventilasi dan pengkondisian udara secara normal menyediakan sarana untuk
memasok, menghisap balik dan menghisap buang udara dari suatu ruangan yang
dikondisikan. Peralatan ventilasi dan pengkondisian udara dapat ditempatkan di dalam ruang
yang dikondisikan, dalam ruang bersebelahan atau dalam ruang peralatan mekanikal yang
berjauhan. Pada umumnya sistem ventilasi dan pengkondisian udara dapat disesuaikan dan
digunakan sebagai pengendalian asap terzona.

21 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.2.2 Udara Luar.


Sistem ventilasi dan pengkondisian udara sebaiknya disediakan dengan udara luar yang
cukup untuk memasok sedemikian hingga dapat dicapai perbedaan tekanan yang cukup
untuk mencegah perpindahan asap ke dalam daerah yang tidak mengalami kebakaran/asap.
Pembuangan asap secara mekanis ke udara luar dari zona asap juga sangat penting.
Beberapa sistem ventilasi dan pengkondisian udara mempunyai kemampuan ini tanpa
memerlukan perubahan. Bilamana udara pasok dan udara balik saling berhubungan sebagai
bagian pengoperasian ventilasi dan pengkondisian udara normal, damper asap sebaiknya
disediakan untuk memisahkan pemasokan dan pembuangan selama operasi pengendalian
asap.

6.2.3 Jenis Sistem Pengolah Udara Ventilasi dan Pengkondisian Udara.


Bermacam jenis dan susunan sistem pengolah udara umumnya digunakan pada berbagai
fungsi bangunan. Beberapa jenis dapat dengan mudah disesuaikan untuk penerapan
pengendalian asap daripada yang lain. Contoh jenis sistem pengolah udara diuraikan dalam
butir 6.2.3.1. sampai 6.2.3.8.

6.2.3.1 Sistem Terpisah Tiap Lantai


Penggunaan unit pengolah udara terpisah yang melayani satu lantai atau bagian dari satu
lantai merupakan sesuatu yang biasa dalam pendekatan rancangan. Unit ventilasi dan
pengkondisian udara ini dapat atau dapat tidak mempunyai fan isap balik atau fan isap
buang yang terpisah. Bila fan-fan ini tidak terpisah, sebuah sarana untuk menyediakan
pelepasan tekanan pada lantai kebakaran, bila tidak melalui damper pelepasan pada sistem
dakting atau dengan sarana lain, sebaiknya diteliti. Udara luar dapat dipasok ke masing-
masing unit pengolah udara melalui sarana berikut ini:
a) kisi-kisi dan damper luar
b) sistem dakting bersama yang digunakan untuk menangani jumlah udara yang
dibutuhkan
c) sistem dakting bersama dengan kecepatan fan pemasok yang dapat diubah
d) fan pemasok terpisah dengan kecepatan yang dapat diubah
Unit pengolah udara dapat digunakan untuk pengendalian asap apabila udara luar yang
cukup dan kemampuan pembuangan udara tersedia.

6.2.3.2 Sistem Lantai Jamak Terpusat


Beberapa bangunan menggunakan peralatan ventilasi dan pengkondisian udara terpusat
dalam ruangan mekanikal utama yang melayani lantai jamak dalam bangunan. Sistem
ventilasi dan pengkondisian udara jenis ini memerlukan pemasangan damper pada saf
terhadap api dan asap dalam rangka untuk menyediakan pembuangan dari lantai kebakaran
dan menyediakan presurisasi pada lantai yang bersebelahan dengan menggunakan udara
luar. Karena fan sistem terpusat ini dapat berkapasitas besar, kehati-hatian sebaiknya
diambil dalam merancang sistem, termasuk sarana pencegah tekanan lebih di dalam sistem
dakting, untuk mencegah keretakan, keruntuhan atau kerusakan lainnya. Suatu sarana
sebaiknya disediakan untuk mengendalikan tekanan di dalam eksit dan koridor yang dapat
menghambat buka dan tutup pintu.

22 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.2.3.3 Unit Fan / Koil dan Unit Pompa Panas Sumber Air
Jenis fan/koil dan pompa panas sumber air dari unit pengolah udara seringkali ditempatkan
pada sekitar perimetri lantai bangunan untuk mengkondisikan zona-zona perimetri. Dapat
juga ditempatkan sepanjang daerah keseluruhan lantai untuk memberikan pengkondisian
udara pada seluruh ruangan. Karena unit fan / koil dan pompa panas sumber air ini
mempunyai kemampuan pasokan udara luar yang kecil dan pada umumnya cukup sulit
melakukan konfigurasi ulang untuk tujuan pengendalian asap, jenis ini secara umum tidak
sesuai untuk melakukan fungsi pengendalian asap. Apabila unit ini mempunyai sarana
pemasokan udara luar dalam zona asap, unit seperti ini sebaiknya dimatikan apabila zona
tersebut diberi tekanan negatip.
Unit fan/koil dan pompa panas sumber air biasanya digunakan dalam kombinasi dengan unit
pengolah udara peralatan ventilasi dan pengkondisian udara pusat yang lebih besar atau
bersama dengan unit pengolah udara zona dalam ruangan terpisah. Fungsi pengendalian
asap zona sebaiknya disediakan oleh unit pengolah udara pusat yang lebih besar atau oleh
unit pengolah udara zona dalam ruangan.

6.2.3.4 Sistem Induksi


Unit pengolah udara jenis induksi yang biasanya dipasang disekitar perimetri suatu
bangunan terutama digunakan untuk mengkondisikan zona perimetri dari suatu bangunan
lama bertingkat banyak. Sebuah sistem ventilasi dan pengkondisian udara terpusat
memasok udara bertekanan tinggi yang dipanaskan atau didinginkan ke masing-masing unit
induksi perimetri. Udara dalam ruangan selanjutnya diinduksikan ke dalam unit induksi,
dicampur dengan udara primer dari sistem pengkondisian udara sentral dan melepaskannya
ke dalam ruangan.
Unit induksi dalam zona asap sebaiknya dimatikan atau sebaiknya mempunyai penutupan
udara primer yang diawali dari pengendalian asap dalam zona asap.

6.2.3.5 Sistem Dua Dakting dan Sistem Zona Jamak.


Unit ventilasi dan pengkondisian udara yang digunakan dalam sistem dua dakting dan
sistem zona jamak mempunyai koil pendingin dan pemanas, masing-masing berada pada
kompartemen atau dek yang terpisah.
Sistem dua dakting mempunyai dakting panas dan dakting dingin terpisah yang
menghubungkan dek dengan kotak pencampur yang mencampur udara yang dipasok ke
dalam ruangan yang dilayani. Untuk sistem bertekanan tinggi, kotak pencampur juga
berperan untuk mengurangi tekanan sistem.
Sistem zona jamak mencampur udara dingin dan udara panas pada unit pengolah udara dan
memasokkan campuran ini melalui dakting bertekanan rendah ke masing-masing ruangan.
Pengendalian asap dapat dicapai dengan memasok udara maksimum ke dalam daerah-
daerah yang bersebelahan dengan zona asap. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan
menggunakan dek yang dingin karena ini biasanya dirancang untuk menangani udara dalam
jumlah besar. Untuk zona asap, fan pasok sebaiknya dimatikan.

6.2.3.6 Sistem Volume Udara Variabel


Sistem volume udara variabel bisa sistem terpisah tiap lantai (lihat butir 6.2.3.1) atau sistem
banyak lantai terpusat (lihat butir 6.2.3.2) yang disediakan dengan alat terminal yang secara
tipikal memasok pendinginan saja. Daerah terpisah yang dilayani oleh sistem pada

23 dari 57
SNI 03-6571-2001

umumnya mempunyai sumber pemanasan lain (misal papan pemanas atau lemari
pemanas).
Sistem volume udara variabel memvariasikan jumlah udara dingin yang dipasok ke ruang
hunian berdasarkan kebutuhan nyata ruangan. Beberapa sistem volume udara variabel
mem-bypass udara pasokan ke sisi masukan udara balik dari fan untuk mengurangi volume
dan tekanan resultan udara pasokan untuk menghindari kerusakan pada fan atau dakting.
Pada moda pengendalian asap, pem-bypass-an seperti ini sebaiknya ditutup. Untuk
pengendalian asap, kecepatan fan pasok sistem volume udara variabel sebaiknya dinaikkan
dan pengendali unit terminal volume udara variabel sebaiknya dikonfigurasikan untuk
membuka terminal dalam non zona asap untuk memasok udara luar dalam jumlah
maksimum untuk memberikan penekanan di dalam ruangan apabila jumlah udara
mencukupi. Damper bypass pada sistem yang menggunakan metode ini sebaiknya tertutup.
Hal ini memungkinkan untuk memperoleh pengendalian asap dengan sistem volume udara
variabel memasok jumlah udara minimal, tetapi kehati-hatian sebaiknya diambil untuk
menjamin adanya tekanan yang cukup di dalam ruangan.

6.2.3.7 Sistem Terminal dengan Fan Penggerak


Unit terminal dengan fan penggerak menerima volume udara berubah dari udara dingin
primer dan udara balik yang dipadukan dalam unit terminal untuk memberikan volume
konstan dari udara pasok dengan temperatur yang berubah pada ruang hunian. Unit terminal
ini terdiri dari sebuah fan volume udara konstan untuk memasok udara yang dipadukan ke
ruang hunian, sambungan udara primer dengan pengendali damper, dan bukaan udara
balik. Unit terminal yang melayani zona perimetri dapat mempunyai koil pemanas untuk
memberikan panas tambahan pada zona perimetri tersebut. Dalam moda pengendalian
asap, fan unit terminal yang diletakkan dalam zona asap ini sebaiknya dimatikan dan damper
udara primer ditutup. Unit terminal yang melayani zona yang bersebelahan dengan zona
asap dapat terus beroperasi.

6.2.3.8 Sistem Gabungan


Kombinasi contoh-contoh yang diuraikan pada butir 6.2.3.1. sampai 6.2.3.7. kadang
dipergunakan, khususnya pada daerah bangunan yang diubah untuk pemakaian yang
berbeda dari tujuan semula. Kehatian-hatian sebaiknya dilakukan dalam penerapan jenis
yang berbeda dari unit terminal volume variabel untuk menentukan pengaruhnya pada
pengendalian asap terzona. Rancangan sebaiknya didasarkan pada kemampuan konfigurasi
sistem untuk menghasilkan tekanan positip atau negatip yang diperlukan bagi pengendalian
asap.

6.2.4 Sistem Ventilasi


Pada keadaan tertentu, sistem-sistem yang dikhususkan tanpa udara luar dipergunakan
untuk pendinginan dan pemanasan utama. Dalam sistem ini termasuk pengkondisi udara
berdiri sendiri, sistem panel radiasi panas, dan unit ruang komputer. Karena sistem ini tidak
menyediakan udara luar, maka tidak sesuai untuk penerapan pengendalian asap.
Karena standar mensyaratkan adanya ventilasi untuk semua lokasi yang dihuni, maka sistem
terpisah untuk menyediakan udara luar diperlukan. Sistem pasokan udara luar dapat
digunakan untuk pengendalian asap meskipun jumlah udara yang disediakan mungkin tidak
mencukupi untuk presurisasi penuh.

24 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.2.5 Sistem Penggunaan Khusus


Laboratorium, fasilitas perawatan binatang, beberapa fasilitas rumah sakit dan jenis
penghunian tak lazim lainnya kadang menggunakan sistem udara luar satu arah untuk
menghindari kontaminasi dan dapat memiliki persyaratan proses penyaringan dan
presurisasi yang khusus. Sistem penggunaan khusus ini dapat disesuaikan untuk penerapan
pengendalian asap. Kehati-hatian sebaiknya dilakukan untuk menghindari kontaminasi pada
ruang bebas kuman, ruang percobaan, ruang proses dan daerah sejenis lainnya.

6.3 Damper asap


Damper asap yang digunakan untuk memproteksi bukaan dalam penghalang asap atau
digunakan sebagai damper terkait dengan keselamatan pada sistem pengendalian asap
keteknikan sebaiknya diklasifikasikan dan dilabel sesuai ketentuan berlaku.
Damper dalam sistem pengendalian asap sebaiknya dievaluasi untuk kemampuannya
beroperasi di bawah kondisi-kondisi yang diantisipasi dari pengoperasian sistem.

6.4 Kontrol.

6.4.1 Koordinasi.
Sistem kontrol sebaiknya mengkoordinasikan dengan sepenuhnya fungsi-fungsi sistem
pengendalian asap di antara sistem alarm kebakaran, sistem springkler, sistem
pengendalian asap untuk petugas pemadam kebakaran, dan sistem-sistem lain terkait
dengan sistem ventilasi dan pengkondisian udara dan peralatan pengendalian asap
bangunan yang lain.
6.4.2 Kontrol Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara.
6.4.2.1 Operasi kontrol sistem ventilasi dan pengkondisian udara sebaiknya dirancang
atau dimodifikasi untuk mengakomodasi moda pengendalian asap, yang mana sebaiknya
mempunyai prioritas lebih tinggi melebihi seluruh moda pengendalian lain.
6.4.2.2* Beberapa jenis sistem kontrol biasa dipergunakan untuk sistem ventilasi dan
pengkondisian udara. Sistem kontrol ini menggunakan unit kontrol pneumatik, listrik,
elektronik dan unit berbasis logika terprogram. Semua sistem kontrol ini dapat disesuaikan
untuk menyediakan logika dan urutan kerja kontrol guna mengkonfigurasikan sistem ventilasi
dan pengkondisian udara untuk tujuan pengendalian asap. Unit kontrol elektronik berbasis
logika terprogram (misal berbasis mikroprosesor) yang mengontrol dan memantau sistem
ventilasi dan pengkondisian udara seperti halnya fungsi-fungsi kontrol dan pemantauan
bangunan lainnya, tersedia siap digunakan untuk menyediakan logika dan urutan kerja
pengontrolan yang diperlukan bagi moda operasi pengendalian asap dari sistem ventilasi
dan pengkondisian udara.

6.4.3 Aktivasi dan De-aktivasi Sistem Pengendalian Asap.


Aktivasi sistem pengendalian asap adalah mengawali moda operasional sistem
pengendalian asap. De-aktivasi adalah penghentian moda operasional sistem pengendalian
asap. Sistem pengendalian asap secara normal sebaiknya diaktifkan secara otomatik,
namun pada keadaan tertentu, aktivasi manual mungkin lebih tepat. Baik pada aktivasi
otomatik maupun manual, sistem pengendalian asap sebaiknya mampu dioperasikan secara
manual.

25 dari 57
SNI 03-6571-2001

Berdasarkan rancangan dan kinerja yang diharapkan dari sistem pengendalian asap,
pertimbangan sebaiknya diberikan pada posisi (misal membuka atau tertutup) damper asap
pada kehilangan daya dan pada penghentian dari sistem fan yang melayani damper.

6.4.3.1 Aktivasi Otomatik.


Aktivasi (atau deaktivasi) otomatik termasuk semua sarana di mana alat deteksi kebakaran
khusus atau kombinasi alat tersebut menyebabkan aktivasi satu atau lebih sistem
pengendalian asap tanpa gangguan manual. Untuk tujuan aktivasi otomatik, alat deteksi
kebakaran termasuk alat otomatik seperti detektor asap, saklar aliran air, dan detektor
panas.

6.4.3.2* Aktivasi Manual.


Aktivasi (atau deaktivasi) manual mencakup semua sarana yang di mana petugas
berwenang mengaktifkan satu atau lebih sistem pengendalian asap melalui sarana kontrol
yang tersedia untuk maksud tersebut. Untuk tujuan aktivasi manual, lokasi pengendali dapat
ditempatkan pada alat kontrol, pada panel kontrol lokal, pada pusat kontrol utama bangunan,
atau pada stasiun komando kebakaran. Lokasi-lokasi khusus tersebut sebaiknya sesuai
yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang. Stasiun alarm kebakaran manual
sebaiknya tidak boleh digunakan untuk mengaktifkan sistem pengendalian asap, yang mana,
untuk beroperasi dengan benar, mensyaratkan informasi lokasi kebakaran, oleh sebab
kemungkinan dari seseorang memberikan sinyal alarm dari suatu stasiun di luar zona asal
kebakaran.

6.4.3.3* Waktu Tanggap


Aktivasi sistem pengendalian asap sebaiknya diawali segera setelah menerima perintah
aktivasi otomatik atau manual yang benar. Sistem pengendalian asap sebaiknya
mengaktifkan komponen-komponen terpisah (misal damper, fan) dalam urutan yang
diperlukan untuk mencegah kerusakan fisik dari fan, damper, dakting, dan peralatan lain.
Waktu tanggap total yang diperlukan komponen-komponen terpisah untuk mencapai kondisi
atau moda operasional yang diinginkan sebaiknya tidak boleh melebihi jangka waktu berikut:
a). Pengoperasian fan pada keadaan yang diinginkan: 60 detik
b). Gerakan damper penuh: 75 detik

6.4.3.4* Pos Pengendalian Asap untuk Petugas Pemadam Kebakaran (PPAPPK).


6.4.3.4.1 Suatu Pos Pengendalian Asap untuk Petugas Pemadam Kebakaran (PPAPPK)
sebaiknya disediakan untuk semua sistem pengendalian asap. PPAPPK sebaiknya
menyediakan indikasi status dan kontrol manual yang lengkap pada semua peralatan dan
sistem pengendalian asap. Indikator status dan kontrol sebaiknya disusun dan diberi label
secara logis dan jelas untuk menyampaikan tujuan sistem yang diharapkan pada petugas
pemadam kebakaran yang mungkin tidak mengenal sistem. Operator pengendalian
sebaiknya disediakan untuk tiap zona pengendalian asap, tiap sejumlah peralatan yang
mampu mengaktifvasi pengendalian asap, atau kombinasi dari pendekatan ini. Diagram dan
gambaran grafik sistem sebaiknya dipergunakan; namun mungkin tidak memerlukan
persetujuan instansi berwenang.
6.4.3.4.2 Denah, penandaan dan lokasi PPAPPK sebaiknya ditinjau ulang dan disetujui
instansi pemadam kebakaran atau pejabat terkait sebelum pemasangan.

26 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.4.3.4.3 PPAPPK sebaiknya memiliki prioritas pengendalian tertinggi atas semua sistem
dan peralatan pengendalian asap. Bilamana kontrol manual untuk sistem pengendalian asap
juga tersedia di lokasi lain dari bangunan, moda pengendalian asap yang dipilih dari
PPAPPK sebaiknya lebih unggul. Pengendalian dari PPAPPK sebaiknya mampu
mengabaikan atau mem-bypass pengendalian bangunan lainnya seperti saklar ON - OFF
dan saklar start/stop yang terletak pada pengendali motor fan dan detektor asap pada
dakting. Pengendalian dari PPAPPK sebaiknya tidak mendahului berfungsinya peralatan
supresi kebakaran, peralatan listrik, atau alat proteksi lainnya.
Kemampuan pengendalian fan dari PPAPPK tidak perlu mem-bypass saklar ON-OFF atau
saklar start/stop yang diletakkan pada pengendali motor dari fan sistem pengendalian asap
tak terdedikasi, bilamana kondisi yang ada sebagai berikut:
1). Pengendali motor fan tersebut ditempatkan dalam ruangan peralatan mekanikal atau
ruangan peralatan listrik atau ruangan lain yang hanya dapat dimasuki petugas yang
berwenang
2). Pemakaian saklar pengendali motor tersebut untuk menjalankan atau mematikan fan
akan menyebabkan penunjukkan off-normal pada pusat pengendali bangunan utama
selama pengkondisian udara normal atau pengoperasian pengendali bangunan dari
fan tak terdedikasi.
6.4.3.4.4 Indikasi status positip (ON dan OFF) sebaiknya disediakan untuk fan sistem
pengendalian asap terdedikasi dan untuk semua fan tak terdedikasi yang mempunyai
kapasitas melebihi 57 m3/menit (2000 ft3/menit) dan dipergunakan untuk pengendalian asap.
Status ON sebaiknya diindera oleh beda tekanan, saklar aliran udara, atau indikasi lainnya
yang menunjukkan aliran adanya udara. Indikasi tidak langsung dari status fan bukanlah
pembuktian positip dari aliran udara. Indikasi tambahan seperti misalnya posisi damper
dapat disediakan apabila diperlukan sesuai dengan kompleksitas dari sistem. Status fan
individu tidak perlu disediakan untuk fan yang operasinya sudah termasuk di dalam indikasi
status dari zona pengendalian asap.

6.4.4 Kontrol untuk Sistem Presurisasi Tangga.


Kriteria untuk aktivasi sistem presurisasi tangga sebaiknya seperti yang direkomendasikan
pada butir 6.4.4.1. dan 6.4.4.2.

6.4.4.1 Aktivasi Otomatik.


Pengoperasian setiap zona sistem alarm kebakaran bangunan sebaiknya menyebabkan
semua fan presurisasi tangga start. Pada keadaan tertentu mungkin diinginkan hanya
sebagian sumur tangga yang dipresurisasi sesuai dengan konfigurasi dan kondisi
bangunan. Detektor asap sebaiknya dipasang pada pasokan udara yang menuju ke sumur
tangga yang dipresurisasi. Pada saat mendeteksi adanya asap, fan pemasok sebaiknya
dimatikan.

6.4.4.2 Aktivasi Manual.


Saklar override manual sebaiknya dipasang pada PPAPPK untuk menstart kembali fan
presurisasi sumur tangga yang telah dimatikan oleh detektor asap, bilamana bahwa bahaya
yang terjadi karena masuknya asap ke dalam sumur tangga melalui fan lebih kecil daripada
masuknya asap ke dalam sumur tangga dari ruang yang bersebelahan.

27 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.4.5 Kontrol untuk Sistem Pengendalian Asap Terzona

6.4.5.1 Umum.
Kriteria untuk aktivasi sistem pengendalian asap terzona sebaiknya sesuai dengan butir
6.4.5.1. dan 6.4.5.2.

6.4.5.1.1 Aktivasi Otomatik.


Sistem pendeteksian asap otomatik dapat digunakan untuk mengaktifkan secara otomatik
suatu sistem pengendalian asap terzona. Cakupan terbatas dari sistem deteksi asap dapat
mempunyai luasan lebih besar dari 84 m2 (900 ft2) setiap detektor, apabila detektor asap ini
ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi asap sebelum asap tersebut
meninggalkan zona asap. Penempatan detektor asap dan penetapan zona detektor
sebaiknya dianalisis dengan cermat untuk memperoleh sistem pendeteksian asap yang akan
akurat menunjukkan zona asap yang benar.
Aktuasi otomatik sistem pengendalian asap terzona yang dirancang untuk membuang (asap)
dari daerah kebakaran dan memasok udara ke daerah lain, sebaiknya dipertimbangkan
dengan hati-hati sebelum dilakukan oleh karena adanya kemungkinan aktuasi suatu detektor
di luar zona asal kebakaran.
Saklar aliran air atau detektor panas yang melayani zona asap dapat digunakan untuk
mengaktifkan sistem pengendalian asap terzona apabila pemipaan dan pengkabelan dari
peralatan tersebut sesuai ketentuan zona pengendalian asap.

6.4.5.1.2 Aktivasi Manual.


Kontrol dengan aktivasi dan deaktivasi secara manual terhadap sistem presurisasi tangga
sebaiknya disediakan pada PPAPPK serta juga pada pusat pengendalian bangunan.
Sebagai tambahan, PPAPPK sebaiknya mampu mengesampingkan penghentian secara
otomatik fan presurisasi tangga disebabkan pendeteksian asap, sesuai dengan
pertimbangan komandan regu pemadam kebakaran.
Sistem pengendalian asap terzona sebaiknya tidak diaktifkan dari titik panggil manual yang
terhubung ke sistem alarm kebakaran bangunan. Belum pasti bahwa titik panggil manual
berada dalam zona asap. Titik panggil manual tersebut dapat dipakai untuk menutup pintu
yang terdapat pada dinding pemisah asap sebelum aktivasi sistem pengendalian asap.
Saklar manual yang dioperasikan dengan kunci dan ditempatkan didalam zona asap yang
ditandai secara jelas untuk mengidentifikasi fungsinya dapat digunakan untuk mengaktifkan
secara manual sistem pengendalian asap yang dimiliki oleh zona. Apabila suatu PPAPPK
disediakan, sistem pengendalian asap terzona sebaiknya dapat diaktifkan secara manual
dari PPAPPK dengan saklar yang ditandai dengan jelas untuk mengidentifikasi zona dan
fungsi. Sebagai tambahan, apabila bangunan dilengkapi dengan pusat pengendalian utama,
sistem pengendalian asap terzona sebaiknya juga mampu diaktifkan secara manual dari
pusat pengendali utama bangunan.
Diperlukan kehati-hatian ketika memilih suatu aktivasi manual untuk memastikan tersedianya
petugas terlatih selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Apabila hal ini tidak dapat
dipastikan, suatu sistem otomatik dengan cadangan manual sebaiknya digunakan.

28 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.4.5.2* Urutan Kontrol dan Prioritas.


Aktivasi (atau deaktivasi) otomatik maupun manual dari sistem pengendalian asap terzona
sebaiknya merupakan sasaran dari urutan kontrol dan prioritas sebagaimana diberikan pada
butir 6.4.5.2.1. dan 6.4.5.2.2.

6.4.5.2.1 Aktivasi Otomatik.


Aktivasi otomatik sistem dan peralatan untuk pengendalian asap terzona sebaiknya memiliki
prioritas tertinggi di atas semua sistem pengendalian otomatik dalam bangunan. Apabila
peralatan yang digunakan untuk pengendalian asap juga dipergunakan pada pengoperasian
bangunan secara normal, pengendalian peralatan ini sebaiknya dikembalikan seperti semula
atau dikesampingkan seperti yang dipersyaratkan untuk pengendalian asap. Peralatan ini,
termasuk fan pasok udara/udara balik dan damper, tergantung pada kontrol otomatik sesuai
jadual penghunian bangunan, manajemen energi, atau tujuan lain. Kontrol berikut ini
sebaiknya tidak boleh dikesampingkan secara otomatik:
a) Batas atas (maksimum) tekanan statis
b) Detektor asap dakting pada sistem pasokan udara

6.4.5.2.2 Aktivasi dan Deaktivasi Manual.


Aktivasi atau deaktivasi secara manual sistem dan peralatan pengendalian asap terzona
sebaiknya mempunyai prioritas di atas aktivasi otomatik sistem dan peralatan pengendalian
asap, juga di atas semua sistem kontrol otomatik didalam bangunan. Apabila peralatan yang
digunakan untuk pengendalian asap terzona di bawah kendali dari aktivasi otomatik sebagai
tanggapan terhadap alarm dari suatu detektor kebakaran otomatik dari suatu sistem alarm
kebakaran, atau bila peralatan tersebut tergantung pada kontrol otomatik sesuai jadual
penghunian bangunan, strategi manajemen energi, atau tujuan yang bukan darurat lainnya,
sistem pengendali otomatik yang seperti ini sebaiknya dikembalikan seperti semula atau
dikesampingkan melalui aktivasi atau deaktivasi manual dari peralatan pengendalian asap.
Kontrol manual yang khusus disediakan untuk tujuan ini sebaiknya ditandai dengan jelas
untuk menunjukkan zona dan fungsi yang dilayani. Kontrol manual yang secara bersama
digunakan baik untuk pengendalian asap maupun tujuan pengendalian bangunan lainnya,
seperti yang terdapat pada pusat kontrol utama bangunan, sebaiknya mencakup
sepenuhnya fungsi pengendalian asap sebagai mana tercantum dalam dokumentasi
operasional untuk pusat kontrol.

6.4.5.3 Urutan.
Sistem pengendalian asap yang terpisah sebaiknya diaktifkan dalam suatu keseluruhan
urutan tertentu untuk memastikan manfaat yang maksimum dan meminimalkan setiap
kerusakan atau pengaruh yang tidak diinginkan pada dakting atau peralatan.

6.4.5.4* Jadwal.
Setiap perbedaan konfigurasi sistem pengendalian asap sebaiknya ditentukan sepenuhnya
dalam format jadwal yang termasuk tapi tidak terbatas pada parameter sebagai berikut:
a) Zona kebakaran yang mengaktivasi secara otomatik sistem pengendalian asap.
b) Jenis sinyal yang mengaktifkan sistem pengendalian asap, seperti misalnya aliran air
pada springkler, atau detektor asap.

29 dari 57
SNI 03-6571-2001

c) Zona asap yang menerapkan pembuangan mekanis maksimum ke luar dan tidak
menyediakan udara pasok.
d) Zona pengendalian asap tekanan positip yang menerapkan pasokan udara maksimum
dan tidak menyediakan pembuangan keluar.
e) Fan dalam keadaan “ON” sebagaimana diperlukan untuk mengimplementasikan sistem
pengendalian asap. Fan yang memiliki kecepatan jamak sebaiknya ditandai dengan
tanda “FAST” atau “MAX. VOLUME” untuk memastikan konfigurasi kontrol yang
diinginkan.
f) Fan dalam keadaan “OFF” seperti yang diperlukan untuk mengimplementasikan sistem
pengendalian asap.
g) Damper dalam keadaan “OPEN”, apabila harus dicapai aliran udara maksimum.
h) Damper dalam keadaan “CLOSE”, apabila tidak ada aliran udara.
i) Fungsi tambahan kemungkinan diperlukan untuk mencapai konfigurasi sistem
pengendalian asap atau kemungkinan dikehendaki sebagai tambahan terhadap
pengendalian asap. Perubahan atau pengesampingan titik set pengendalian tekanan
statik operasi normal sebaiknya juga diindikasikan bila diperlukan.
j) Posisi damper pada kegagalan fan.

6.4.5.5* Respon Otomatik terhadap Sinyal Jamak


Dalam kejadian sinyal diterima lebih dari satu zona asap, sistem sebaiknya meneruskan
operasi otomatik di bawah moda yang telah ditentukan oleh sinyal yang pertama diterima.
Meskipun demikian sistem yang dirancang untuk beroperasi pada zona jamak yang hanya
menggunakan peralatan pendeteksi yang diaktifkan oleh panas, dapat memperluas strategi
kontrol untuk menampung zona tambahan, sampai dengan batas rancangan sistem
mekanikal.

6.4.6* Verifikasi Sistem Kontrol.


Setiap sistem pengendalian asap terdedikasi dan elemen pengendalian asap terdedikasi
dalam sistem pengendalian asap tak terdedikasi sebaiknya mempunyai sarana yang
memastikan akan beroperasi bila diaktifkan. Sarana dan frekuensi akan berbeda menurut
kerumitan dan kepentingan sistem.

6.5 Manajemen Energi.


Sistem manajemen energi yang khususnya untuk mengatur siklus fan pasokan, balikan, dan
pembuangan untuk penghematan energi sebaiknya dikesampingkan apabila
pengendaliannya atau pengoperasiannya menimbulkan pertentangan dengan moda
pengendalian asap. Karena moda pengoperasian pengendalian asap adalah sesuatu moda
operasi yang tidak normal tetapi kritis (membahayakan), maka sebaiknya mengambil
prioritas melebihi semua moda pengendalian manajemen energi dan pengendalian bukan
darurat lainnya.

6.6 Bahan
6.6.1 Bahan yang digunakan untuk menyediakan sistem pengendalian asap sebaiknya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

30 dari 57
SNI 03-6571-2001

6.6.2 Bahan dakting sebaiknya terpilih dan dakting sebaiknya dirancang untuk dapat
menyalurkan asap, menahan tekanan tambahan (baik negatip maupun positip) oleh fan
pasok dan fan buang, apabila beroperasi dalam moda pengendalian asap, dan
mempertahankan integritas strukturnya selama jangka waktu dimana sistem sebaiknya
beroperasi.
6.6.3 Peralatan yang termasuk, tetapi tidak terbatas pada fan, dakting, dan damper
balans sebaiknya sesuai dengan tujuan penggunaannya dan kemungkinan temperatur yang
dihadapinya.

6.7 Instalasi Pelayanan Listrik


6.7.1 Semua instalasi elektrikal sebaiknya memenuhi persyaratan SNI 04-0225-2000
tentang Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000).
6.7.2 Daya elektrikal normal yang melayani sistem pengkondisian udara umumnya
cukup handal untuk sistem pengendalian asap terzona tak terdedikasi.
6.7.3 Penentuan kebutuhan daya pengganti sebaiknya mempertimbangkan sistem
pengendalian asap dan sistem kontrolnya.

7 Analisis Sistem Pengendalian Asap.

7.1 Umum.
Analisis rancangan sistem pengendalian asap dapat dilaksanakan dengan persamaan
rancangan atau program aliran jaringan komputer.

7.2 Persamaan Rancangan.


Persamaan yang dapat digunakan untuk analisis presurisasi sumur tangga dan
pengendalian asap di lif berdasarkan idealisasi mengenai kesamaan kebocoran dari lantai ke
lantai dan tidak ada kebocoran melalui lantai.

7.3* Model Jaringan Komputer.


Model jaringan komputer menyediakan cara untuk menghitung aliran udara dan beda
tekanan seluruh bangunan yang menerapkan sistem pengendalian asap. Pada program
jaringan, sebuah bangunan direpresentasikan oleh suatu jaringan ruang dan noda, masing-
masing berada pada tekanan dan temperatur tertentu. Udara mengalir melalui jalur
kebocoran dari daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Jalur kebocoran ini adalah
pintu dan jendela yang dapat di buka dan di tutup. Kebocoran dapat juga terjadi melalui
partisi, lantai dan dinding luar serta atap. Aliran udara melalui jalur kebocoran adalah fungsi
dari beda tekanan di kedua sisi jalur kebocoran.
Pada model jaringan, udara dari luar bangunan dapat dialirkan ke dalam ruang bangunan
melalui sistem presurisasi, dan ruang bangunan dapat dibuang ke luar. Model jaringan
memberikan simulasi pada presurisasi sumur tangga, presurisasi saf lif, pengendalian asap
terzona, dan jenis-jenis lain dari sistem pengendalian asap. Tekanan seluruh bangunan dan
laju aliran mantap yang melalui seluruh jalur aliran diperoleh dengan menyelesaikan jaringan
aliran udara, termasuk tenaga penggerak seperti angin, sistem presurisasi, dan beda
temperatur antara luar dan dalam bangunan. Terdapat banyak model jaringan yang
menggunakan variasi terminologi dan mempunyai sejumlah kelengkapan yang mendukung.

31 dari 57
SNI 03-6571-2001

7.4 Analisis Lanjutan.


Penghitungan rancangan direkomendasikan untuk kondisi berikut:
a) Rancangan pada keadaan cuaca dingin dengan kebocoran yang rendah pada
bangunan.
b) Rancangan pada keadaan cuaca panas dengan kebocoran yang rendah pada
bangunan.
c) Rancangan pada keadaan cuaca dingin dengan kebocoran yang tinggi pada
bangunan.
d) Rancangan pada keadaan cuaca panas dengan kebocoran yang tinggi pada
bangunan.

7.5* Luas Kebocoran.


Pada rancangan sistem pengendalian asap, jalur aliran udara sebaiknya diidentifikasi dan di
evaluasi. Beberapa jalur kebocoran adalah nyata, seperti celah disekeliling pintu tertutup,
pintu terbuka, pintu lif, jendela dan kisi-kisi udara. Retakan pada konstruksi di dalam dinding
dan lantai bangunan kurang tampak tetapi tidak kalah penting. Luas aliran dari bukaan besar
pada umumnya dapat dihitung dengan mudah. Luas aliran retakan tergantung pada keahlian
kerja, sebagai contoh, bagaimana sebaiknya pintu dipasang dengan teliti atau bagaimana
sebaiknya tali air dipasang. Luas kebocoran tipikal dari retakan pada konstruksi di dinding
dan lantai dari bangunan komersial terdapat pada daftar dalam Tabel 7.5.
Tabel 7.5. Luas Kebocoran Tipikal untuk Dinding dan Lantai dari
Bangunan Komersial

Elemen Konstruksi Kerapatan Rasio Luas1

Rapat2 0,50 x 10-4


Dinding luar bangunan (meliputi
Rata-rata2 0,17 x 10-3
retakan konstruksi dan retakan
Longgar2 0,35 x 10-3
sekeliling jendela dan pintu)
Sangat Longgar2 0,12 x 10-2
Dinding sumur tangga (meliputi Rapat3 0,14 x 10-4
retakan konstruksi, tetapi bukan Rata-rata3 0,11 x 10-3
retakan disekeliling jendela dan pintu) Longgar3 0,35 x 10-3
Dinding saf lif (meliputi retakan Rapat3 0,18 x 10-3
konstruksi, tetapi bukan retak dan Rata-rata3 0,84 x 10-3
celah sekeliling pintu) Longgar3 0,18 x 10-2
Rapat4 0,66 x 10-5
Lantai (meliputi retakan konstruksi dan
Rata-rata5 0,52 x 10-4
celah sekeliling penetrasi)
Longgar4 0,17 x 10-3
1Untuk dinding, rasio luas adalah luas kebocoran melalui dinding dibagi oleh total luas dinding. Untuk lantai,
rasio luas adalah luas dari kebocoran melalui lantai dibagi oleh luas total lantai.
2Nilai-nilai tersebut berdasarkan pengukuran dari Tamura dan Shaw (1976a), Tamura dan Wilson (1966), dan
Shaw, Reardon, dan Cheung (1993).
3 Nilai-nilai tersebut berdasarkan pengukuran Tamura dan Wilson (1966) dan Tamura dan Shaw (1976b).

32 dari 57
SNI 03-6571-2001

4 Nilai yang diekstrapolasi dari rata-rata kerapatan lantai berdasarkan rentang kerapatan dari elemen konstruksi
lain.
5 Nilai-nilai tersebut berdasarkan pengukuran Tamura dan Shaw (1978).

7.6 Rugi Gesekan dalam Saf.


Rugi tekanan yang disebabkan oleh pergesekan aliran udara dalam sumur tangga adalah
serupa dengan aliran udara dalam dakting. Data rugi gesek telah dikembangkan oleh
Tamura dan Shaw (1976b) untuk anak tangga terbuka dan tertutup dengan variasi tingkat
kepadatan penghuni.

8 Pengujian

8.1 Pendahuluan
8.1.1* Tidak adanya persetujuan dalam konsensus mengenai prosedur pengujian dan
kriteria serah terima pada masa lalu telah menimbulkan banyak masalah pada saat serah
terima sistem, termasuk keterlambatan dalam memperoleh sertifikat penggunaan gedung.
Direkomendasikan agar pemilik gedung dan perancang gedung mempunyai kesamaan
tujuan dan kriteria rancangan untuk pengendalian asap dengan instansi berwenang pada
tahap perencanaan gedung. Kriteria rancangan sebaiknya memasukkan prosedur untuk
pengujian serah terima.
Dokumen kontrak sebaiknya mencakup prosedur operasional dan pengujian serah terima
sehingga semua pihak - perancang, pelaksana, pemilik dan instansi berwenang, mempunyai
pengertian yang jelas dalam hal tujuan sistem dan prosedur pengujian.
Sistem pengendalian asap yang dibicarakan dalam standar ini dirancang untuk membatasi
perpindahan asap pada batas daerah pengendalian asap dengan menggunakan perbedaan
tekanan. Sistem presurisasi sumur tangga digunakan untuk membatasi pergerakan asap dari
daerah lantai ke dalam sumur tangga dan menyediakan lingkungan yang dapat
dipertahankan selama penyelamatan. Untuk pengendalian asap terzona, perbedaan tekanan
digunakan untuk menahan asap dalam zona asap dan membatasi perpindahan asap dan
gas-gas kebakaran menuju bagian lain dari bangunan. Pengujian yang sesuai dengan
tujuan sistem terdiri dari mengukur perbedaan tekanan antara zona asap dan zona
berdekatan. Prosedur pengujian yang diberikan pada butir 8.3. didasarkan pada pengukuran
perbedaan tekanan dan gaya membuka pintu pada kondisi rancangan yang disetujui pihak
yang berwenang.
8.1.2 Bagian ini memuat rekomendasi untuk pengujian sistem pengendalian asap.
Setiap sistem sebaiknya diuji sesuai terhadap kriteria rancangan spesifik. Prosedur
pengujian yang diuraikan dibagi dalam tiga kategori sebagai berikut:
a) Pengujian komponen sistem
b) Pengujian serah terima
c) Pengujian berkala dan pemeliharaan

8.2 Pengujian Operasional


8.2.1 Maksud dari pengujian operasional adalah menetapkan bahwa instalasi final
memenuhi rancangan spesifik, dapat berfungsi dengan baik, dan siap untuk dilakukan

33 dari 57
SNI 03-6571-2001

pengujian serah terima. Pertanggungjawaban mengenai pengujian sebaiknya ditentukan


dengan jelas sebelum pelaksanaan pengujian operasional.
8.2.2 Sebelum dilakukan pengujian, pihak yang bertanggungjawab mengenai
pengujian tersebut sebaiknya memeriksa kelengkapan konstruksi bangunan, termasuk ciri-
ciri penting arsitektur berikut:
a) Integritas saf
b) Penyetop api
c) Pintu/penutup
d) Bahan kaca
e) Partisi dan langit-langit
8.2.3 Pengujian operasional setiap komponen sistem individual sebaiknya dilakukan
selama masa konstruksi. Pengujian operasional ini umumnya dilaksanakan oleh berbagai
keahlian sebelum dilakukan interkoneksi untuk menyatukan seluruh sistem pengendalian
asap. Hal tersebut sebaiknya tersertifikasi dalam bentuk tertulis di mana tiap pemasangan
komponen sistem individu telah lengkap dan komponen berfungsi dengan baik. Pengujian
tiap komponen sebaiknya terdokumentasi secara tersendiri, meliputi unsur kecepatan,
voltase, dan amper.
8.2.4 Karena sistem pengendalian asap biasanya merupakan bagian integral dari
sistem operasi gedung, pengujian sebaiknya meliputi sub-sub sistem berikut untuk
mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap pengoperasian sistem pengendalian asap:
a) Sistem alarm kebakaran
b) Sistem manajemen energi
c) Sistem manajemen bangunan
d) Peralatan ventilasi dan pengkondisian udara
e) Peralatan listrik
f) Sistem pengendalian temperatur
g) Pasokan daya
h) Daya cadangan
i) Sistem supresi api otomatik
j) Sistem pengoperasian otomatik pintu dan penutup
k) Sistem pengendalian asap terdedikasi
l) Sistem pengendalian asap tak terdedikasi
m) Pengoperasian lif darurat

8.3 Pengujian Serah Terima

8.3.1 Umum.
Maksud pengujian serah terima adalah untuk memperlihatkan bahwa pemasangan instalasi
sistem yang terintegrasi final telah sesuai dengan rancangan yang khusus serta berfungsi
dengan baik. Satu atau lebih dari pihak berikut sebaiknya hadir pada saat serah terima:

34 dari 57
SNI 03-6571-2001

a) Instansi berwenang
b) Pemilik
c) Perancang
Seluruh dokumentasi dari pengujian operasional sebaiknya disediakan untuk pemeriksaan.

8.3.2 Peralatan Pengujian.


Peralatan untuk pengujian serah terima sebaiknya disediakan sebagai berikut:
a) Instrumen terkalibrasi untuk membaca perbedaan tekanan perbedaan ukuran tekanan,
manometer air terinklinasi atau manometer elektronik; rentang ketelitian 0 ~ 62,5 Pa (0
~ 0,25 inch. w.g.) dan. 0 ~ 25 Pa (0 ~ 0,50 inch.w.g.) dengan menggunakan panjang
tabung 15,2 m (50 ft)
b) Timbangan pegas
c) Anemometer
d) Sungkup pengukur aliran (pilihan)
e) Pengganjal pintu
f) Tanda yang menunjukkan bahwa pengujian sistem pengendalian asap sedang
berlangsung dan pintu tidak boleh dibuka atau ditutup.
g) Radio panggil untuk membantu koordinasi pengoperasian peralatan dan pencatatan
data.

8.3.3* Prosedur Pengujian.


Pengujian serah terima sebaiknya mengikuti prosedur sebagaimana dijelaskan pada butir
8.3.3.1. sampai 8.3.3.6.
8.3.3.1 Sebelum dimulainya pelaksanaan pengujian serah terima, semua peralatan
bangunan sebaiknya diletakkan pada moda pengoperasian normal, termasuk peralatan yang
tidak digunakan dalam penerapan pengendalian asap, seperti pembuangan udara di toilet,
ven saf lif, fan ruang mesin lif dan sistem sejenis.
8.3.3.2 Kecepatan angin, arah, dan temperatur udara luar sebaiknya dicatat selama
pengujian berlangsung.
8.3.3.3 Jika tersedia daya listrik cadangan untuk mengoperasikan sistem pengendalian
asap, maka pengujian serah terima sebaiknya dilaksanakan dengan menggunakan kedua
daya listrik yang ada baik daya listrik normal maupun daya listrik cadangan. Pemutusan daya
listrik bangunan normal pada pemutus layanan utama untuk mensimulasi kondisi operasi
yang sebenarnya dalam moda ini.
8.3.3.4 Pengujian serah terima sebaiknya termasuk di dalamnya memperagakan
mengenai dihasilkannya output yang benar untuk input yang diberikan pada tiap urutan
pengendalian yang dispesifikasikan. Urutan pengendalian berikut sebaiknya diberikan
sehingga urutan pengendalian asap yang lengkap dapat diperagakan:
a) Moda normal
b) Moda pengendalian asap otomatik untuk alarm pertama
c) Pengesampingan secara manual dari moda pengendalian asap normal dan otomatik.

35 dari 57
SNI 03-6571-2001

d) Kembali ke normal
8.3.3.5 Pelaksanaan pengujian serah terima untuk sistem alarm kebakaran bisa di
kaitkan dengan sistem pengendalian asap. Satu atau lebih sirkit alat pada sistem alarm
kebakaran dapat mengawali sinyal input tunggal ke sistem pengendalian asap. Oleh karena
itu, diperlukan pertimbangan untuk memastikan jumlah yang tepat dari alat pengawalan
rangkaian rile yang dioperasikan untuk memperagakan operasi sistem pengendalian asap.
8.3.3.6* Banyak yang dapat diselesaikan untuk memperagakan operasi sistem
pengendalian asap tanpa harus menggunakan asap atau produk yang mensimulasikan
asap. Bilamana instansi berwenang mensyaratkan peragaan seperti itu, sebaiknya
didasarkan pada tujuan untuk menghambat asap dari perpindahan melintasi batas zona
asap menuju daerah lain. Kriteria pengujian berdasarkan pada kemampuan sistem untuk
menghilangkan asap dari daerah yang tidak sesuai untuk sistem pengendalian asap terzona,
karena sistem ini dirancang untuk menahan dan bukan menghilangkan asap.

8.3.4 Sistem Presurisasi Sumur Tangga.


Bagian ini diterapkan bilamana presurisasi sumur tangga merupakan satu-satunya sistem
pengendalian asap dalam bangunan. Jika presurisasi sumur tangga digunakan dalam
kombinasi dengan pengendalian asap terzona, maka rekomendasi pada butir 8.3.8.
sebaiknya diterapkan.
8.3.4.1 Dengan seluruh sistem ventilasi dan pengkondisian udara bangunan dalam
operasi normal, ukur dan catat perbedaan tekanan di kedua sisi pintu sumur tangga
sementara pintu ditutup. Setelah mencatat perbedaan tekanan di kedua sisi pintu, ukur gaya
yang diperlukan untuk membuka setiap pintu, menggunakan timbangan pegas. Pastikan
suatu prosedur yang konsisten untuk pencatatan data sampai seluruh pengujian, hingga sisi
pintu yang menghadap sumur tangga akan selalu dipertimbangkan sebagai titik referensi [0
Pa (0 inch.w.g.)] dan sisi pintu yang menghadap lantai bangunan akan selalu mempunyai
nilai perbedaan tekanan (positip bila lebih tinggi dari sumur tangga dan negatip bila kurang
daripada sumur tangga). Karena sistem presurisasi sumur tangga diharapkan untuk
menghasilkan tekanan positip di dalam sumur tangga, seluruh nilai tekanan negatip yang
dicatat pada sisi pintu yang menghadap lantai bangunan menunjukkan aliran udara potensial
dari sumur tangga menuju lantai bangunan.
8.3.4.2 Verifikasi aktivasi yang tepat pada sistem presurisasi sumur tangga sebagai
respon terhadap semua cara aktivasi, baik manual maupun otomatik, sebagaimana
ditetapkan dalam dokumen kontrak. Bilamana aktivasi otomatik dipersyaratkan dalam
merespon sistem alarm kebakaran bangunan, maka tiap sinyal alarm yang terpisah
sebaiknya diawali untuk memastikan aktivasi otomatik yang tepat.
8.3.4.3 Dengan sistem presurisasi sumur tangga diaktifkan, ukur dan catat perbedaan
tekanan di kedua sisi pintu sumur tangga dengan semua pintu bagian dalam ditutup. Apabila
pintu bagian luar akan secara normal dibuka selama evakuasi, sebaiknya dibuka pula pada
saat pengujian. Sistem ventilasi dan pengkondisian udara sebaiknya dimatikan kecuali kalau
moda normal membiarkan sistem ventilasi dan pengkondisian udara hidup selama operasi
pengendalian asap. Gunakan prosedur yang sama sebagaimana ditetapkan pada butir
8.3.4.1. untuk mencatat data keseluruhan pengujian.
8.3.4.4 Setelah mencatat perbedaan tekanan yang di kedua sisi pintu tertutup, ukur dan
catat gaya yang diperlukan untuk membuka setiap pintu sumur tangga, menggunakan
timbangan pegas. Seluruh pintu sumur tangga lain sebaiknya ditutup dan sistem presurisasi
sumur tangga sebaiknya diaktifkan.

36 dari 57
SNI 03-6571-2001

8.3.4.5* Bila sistem presurisasi sumur tangga diaktifkan, buka sejumlah pintu yang
digunakan pada rancangan sistem, dan ukur, serta catat beda tekanan yang di kedua sisi
pintu yang masih tertutup. Setelah mencatat perbedaan tekanan yang di kedua sisi pintu
tertutup, ukur gaya yang diperlukan untuk membuka setiap pintu dengan menggunakan
timbangan pegas. Gunakan prosedur yang sama sebagaimana ditetapkan dalam butir
8.3.4.1. untuk mencatat data sampai keseluruhan pengujian. Peraturan bangunan setempat
dan dokumen kontrak sebaiknya diikuti dengan mempertimbangkan jumlah dan lokasi
semua pintu yang harus dibuka untuk pengujian ini.
8.3.4.6 Semua perbedaan tekanan dan gaya membuka pintu sebaiknya di
dokumentasikan. Hasil dokumentasi sebaiknya memperlihatkan bahwa sistem berfungsi
dengan baik. Sebaiknya tidak ada beda tekanan kurang dari beda tekanan rancangan
minimum pada tabel 5.2.1. atau tekanan yang ditetapkan dalam dokumen perancangan.
Gaya membuka pintu sebaiknya tidak melebihi dari yang diizinkan oleh peraturan bangunan.
Adanya bagian sistem yang tidak bekerja dengan baik sebaiknya diperbaiki dan diuji
kembali.
8.3.4.7 Penekanan ruang antara sumur tangga sebaiknya diperlakukan sebagai suatu
zona dalam sistem pengendalian asap terzona.

8.3.5 Sistem Pengendalian Asap Terzona


8.3.5.1 Verifikasi lokasi yang tepat dari tiap zona pengendalian asap dan bukaan pintu
dalam perimetri tiap zona. Apabila perencanaan tidak secara khusus mengidentifikasi zona
dan pintu-pintu tersebut, sistem alarm kebakaran dizona itu mungkin harus diaktivasi
sehingga setiap pintu yang secara magnetik dipertahankan terbuka akan tertutup dan
mengidentifikasi batas zona.
8.3.5.2 Ukur dan catat perbedaan tekanan di kedua sisi dari seluruh zona pengendalian
asap yang membagi lantai bangunan. Pengukuran sebaiknya dilakukan saat sistem ventilasi
dan pengkondisian udara yang melayani lantai zona asap beroperasi dalam mode normal
(bukan pengendalian asap) dan saat semua pintu penahan asap yang memisahkan zona
lantai ditutup. Satu pengukuran sebaiknya dibuat di kedua sisi setiap pintu penghalang asap
atau susunan pintu, dan data sebaiknya dengan jelas menunjukkan tekanan tertinggi dan
terendah sisi pintu.
8.3.5.3 Verifikasi aktivasi yang tepat pada tiap sistem pengendalian asap terzona dalam
merespon seluruh cara mengaktivasi, baik otomatik maupun manual, sebagaimana
ditetapkan pada dokumen kontrak. Bilamana aktivasi otomatis dipersyaratkan dalam
merespon penerimaan sinyal alarm dari sistem alarm kebakaran bangunan, tiap sinyal alarm
terpisah sebaiknya mengawali untuk memastikan bahwa aktivasi otomatik yang sesuai pada
sistem pengendalian asap terzona yang tepat terjadi. Verifikasi dan catat operasi yang tepat
pada semua fan, damper dan peralatan terkait sebagaimana digariskan oleh skedul yang
mengacu pada butir 8.4.5.4. untuk setiap sistem pengendalian asap terzona terpisah.
8.3.5.4 Simulasikan input alarm kebakaran untuk mengaktifkan semua sistem
pengendalian asap terzona yang sesuai untuk tiap zona pengendalian asap terpisah. Ukur
dan catat perbedaan tekanan yang di kedua sisi semua penghalang asap yang memisahkan
zona asap dari zona yang bersebelahan. Pengukuran sebaiknya dibuat saat semua pintu
penghalang asap yang memisahkan zona asap dari zona lain sepenuhnya tertutup. Satu
pengukuran sebaiknya dibuat di kedua sisi tiap penahan asap atau susunan pintu, dan
datanya sebaiknya secara jelas menunjukkan tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah
dari sisi pintu atau penghalang. Pintu-pintu yang mempunyai kecenderungan membuka

37 dari 57
SNI 03-6571-2001

sedikit karena perbedaan tekanan sebaiknya mempunyai satu pengukuran tekanan yang
dibuat saat dipertahankan tertutup dan lainnya dibuat saat tidak dipertahankan tertutup.
8.3.5.5 Lanjutkan untuk mensimulasikan input alarm kebakaran dengan mengaktifkan
sistem pengendalian asap terzona untuk semua zona sesuai ukurannya dan lakukan
pengukuran perbedaan tekanan seperti dijelaskan pada butir 8.3.5.4. Pastikan bahwa
setelah pengujian zona asap dari sistem pengendalian asap, sistem dideaktifasi dengan
baik dan sistem ventilasi dan pengkondisian udara yang terlibat dikembalikan ke moda
operasi normalnya sebelum mengaktifkan sistem pengendalian asap zona lainnya. Juga
pastikan bahwa semua kontrol yang diperlukan untuk mencegah perbedaan tekanan yang
berlebihan berfungsi sedemikian sehingga mencegah kerusakan pada dakting dan
peralatan bangunan yang terkait.
8.3.5.6 Seluruh perbedaan tekanan dan gaya pada waktu membuka pintu sebaiknya di
dokumentasikan. Hasil dokumentasi memperlihatkan bahwa sistem berfungsi baik.
Sebaiknya tidak ada perbedaan tekanan kurang dari perbedaan tekanan rancangan
minimum pada Tabel 5.2.1 atau tekanan yang ditetapkan dalam dokumen perancangan.
Gaya pada waktu membuka pintu sebaiknya tidak melebihi yang diizinkan oleh peraturan
bangunan. Setiap bagian sistem yang tidak bekerja dengan baik sebaiknya diperbaiki dan
diuji ulang.

8.3.6 Sistem Pengendalian Asap di Lif

8.3.6.1 Sistem Presurisasi Ruang Luncur Lif.


Bagian ini berlaku bilamana presurisasi ruang luncur lif merupakan satu-satunya sistem
pengendalian asap pada bangunan. Bilamana presurisasi ruang luncur lif digunakan dalam
kombinasi dengan pengendalian asap terzona, rekomendasi pada butir 8.3.8. sebaiknya
diterapkan.
8.3.6.1.1 Verifikasi aktivasi yang tepat pada sistem presurisasi lif dalam merespon seluruh
cara aktivasi, baik otomatik maupun manual, seperti ditetapkan dalam dokumen kontrak.
Bilamana aktivasi otomatik yang dipersyaratkan dalam merespon sinyal alarm yang diterima
dari sistem alarm kebakaran bangunan, tiap sinyal alarm terpisah sebaiknya mengawali
untuk memastikan bahwa terjadi aktivasi otomatik yang tepat.
8.3.6.1.2 Dengan sistem presurisasi lif diaktifkan, ukur dan catat perbedaan tekanan yang
di kedua sisi setiap pintu lif dengan seluruh pintu lif tertutup. Bila pintu lif pada lantai
panggilan kembali secara normalnya dibuka selama presurisasi sistem, maka pintu lif
tersebut sebaiknya dibuka selama pengujian. Sistem ventilasi dan pengkondisian udara
sebaiknya di matikan kecuali jika moda normal membiarkan sistem ventilasi dan
pengkondisian udara bekerja selama operasi pengendalian asap.
8.3.6.1.3 Tetapkan suatu prosedur yang konsisten untuk pencatata data sampai pengujian
keseluruhan, supaya sisi pintu yang menghadap saf selalu dipertimbangkan sebagai titik
referensi [0 Pa (0 inch.w.g.)] dan sisi pintu yang menghadap lantai bangunan selalu
mempunyai nilai beda tekanan (positip jika lebih tinggi dari sisi saf dan negatip jika kurang
dari sisi saf).
8.3.6.1.4 Oleh karena sistem presurisasi sumur lif dimaksudkan untuk menghasilkan
tekanan positip dalam ruang luncur lif, semua nilai tekanan negatip yang tercatat pada sisi
pintu yang menghadap lantai bangunan menunjukkan aliran udara potensial dari saf ke lantai
bangunan.

38 dari 57
SNI 03-6571-2001

8.3.6.1.5 Bila sistem presurisasi lif telah dirancang untuk beroperasi selama pergerakan lif,
pengujian sebaiknya diulang pada kondisi seperti ini.

8.3.6.2 Sistem Presurisasi Lobi Lif.


Bagian ini berlaku bilamana persurisasi lobi lif tertutup merupakan satu-satunya sistem
pengendalian asap pada bangunan. Bilamana presurisasi lobi lif digunakan dalam kombinasi
dengan pengendalian asap terzona, rekomendasi pada butir 8.3.8. sebaiknya diterapkan.
8.3.6.2.1 Lobi lif tertutup di presurisasi oleh sistem presurisasi lobi lif, atau bila lobi lif
tertutup menerima presurisasi sekunder dari ruang luncur lif, sebaiknya diperlakukan sebagai
zona dalam sistem pengendalian asap terzona. Secara umum pengujian pada butir 8.3.5.
sebaiknya dijalankan.
8.3.6.2.2 Dengan mengaktifasi sistem presurisasi lobi lif, ukur gaya yang diperlukan untuk
membuka tiap pintu lobi dengan menggunakan timbangan pegas.

8.3.6.3 Hasil Pengujian.


Seluruh perbedaan tekanan dan gaya pada waktu membuka pintu lobi lif sebaiknya
didokumentasikan. Hasil tersebut sebaiknya memperlihatkan bahwa sistem berfungsi
dengan baik. Perbedaan tekanan sebaiknya kurang dari beda tekanan rancangan minimum
pada Tabel 5.2.1 atau tekanan yang ditetapkan pada dokumen rancangan. Gaya membuka
pintu lobi lif sebaiknya tidak melebihi yang diizinkan oleh peraturan bangunan. Apabila ada
bagian sistem tidak bekerja dengan baik sebaiknya diperbaiki dan diuji kembali.

8.3.7 Daerah Tempat Berlindung.


Daerah tempat berlindung sebaiknya diperlakukan sebagai suatu zona pada sistem
pengendalian asap terzona. Pengujian sesuai pada butir 8.3.5. sebaiknya dilaksanakan.

8.3.8 Sistem Pengendalian Asap Kombinasi

8.3.8.1* Sumur Tangga dan Sistem Pengendalian Asap Terzona.


Sistem presurisasi sumur tangga sebaiknya dipertimbangkan sebagai satu zona pada
sistem pengendalian asap terzona. Pengujian sesuai pada butir 8.3.5. sebaiknya dijalankan.
Sebagai tambahan, pengujian sesuai pada butir 8.3.4.3. sampai butir 8.3.4.5. sebaiknya
dijalankan. Semua pengujian dijalankan dengan kedua sistem beroperasi dalam merespon
input alarm kebakaran yang di simulasikan.

8.3.8.2 Daerah Tempat Berlindung dan Sistem Pengendalian Asap Terzona.


Daerah tempat berlindung sebaiknya diperlakukan sebagai suatu zona terpisahkan dalam
sistem pengendalian asap terzona. Pengujian yang digariskan pada butir 8.3.5. sebaiknya
dilaksanakan.

8.3.8.3 Presurisasi di Lif dan Sistem Pengendalian Asap Terzona.


Sistem presurisasi di lif dipertimbangkan sebagai satu zona dalam sistem pengendalian asap
terzona. Tiap lobi lif pada sistem presurisasi lobi lif tertutup dipertimbangkan sebagai satu
zona dalam sistem pengendalian asap terzona. Pengujian sesuai butir 8.3.5. perlu
dilaksanakan. Sebagai tambahan, pengujian sesuai butir 8.3.6.1., 8.3.6.2., atau keduanya
perlu dilaksanakan.

39 dari 57
SNI 03-6571-2001

8.3.9 Dokumentasi Pengujian.


Pada penyelesaian pengujian serah terima, salinan dari semua dokumentasi pengujian
operasional sebaiknya disediakan untuk pemilik gedung. Dokumen ini tersedia sebagai
acuan untuk pengujian berkala dan pemeliharaan.

8.3.10 Manual untuk Pemilik dan Instruksi.


Informasi sebaiknya tersedia untuk pemilik yang menjelaskan pengoperasian dan
pemeliharaan sistem. Instruksi dasar pengoperasian sebaiknya disediakan untuk perwakilan
pemilik. Oleh karena pemilik dapat mengambil manfaat dari penggunaan sistem
pengendalian asap pada penyelesaian pengujian serah terima, instruksi dasar ini sebaiknya
dilengkapi sebelum pelaksanaan pengujian serah terima.

8.3.11 Penghunian Parsial.


Pengujian serah terima perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh sertifikat
penghunian. Namun, apabila bangunan dihuni secara bertahap, beberapa pengujian serah
terima dapat dilaksanakan dalam upaya memperoleh sertifikat penghunian sementara.

8.3.12 Modifikasi.
Seluruh pengujian operasional dan pengujian serah terima perlu dilakukan pada bagian-
bagian sistem yang dapat dilaksanakan bilamana sistem diubah atau dimodifikasi.
Dokumentasi perlu diperbaharui untuk menggambarkan perubahan atau modifikasi ini.

8.4 Pengujian Berkala.


8.4.1 Selama usia pakai bangunan, pemeliharaan merupakan hal mendasar untuk
menjamin bahwa sistem pengendalian asap akan menunjukkan fungsinya sesuai kondisi
yang diinginkan. Pemeliharaan sistem yang tepat, sebaiknya minimal meliputi pengujian
berkala terhadap semua peralatan termasuk alat untuk mengawali, fan, damper, alat
pengendali, pintu dan jendela. Peralatan tersebut perlu dipelihara sesuai dengan
rekomendasi pabrik pembuatnya.
8.4.2 Bagian ini menguraikan pengujian yang perlu dilakukan secara berkala untuk
menentukan bahwa sistem terpasang menerus beroperasi sesuai dengan rancangan yang
disetujui. Apabila sistem pengendalian asap atau batas zona telah dimodifikasi sejak
pengujian terakhir sebelumnya, pengujian serah terima sebaiknya dilaksanakan pada bagian
yang di modifikasi.
8.4.3 Sistem perlu diuji sesuai dengan skedul berikut oleh seseorang yang benar-
benar ahli dalam pengoperasian, pengujian, dan pemeliharaan sistem pengendalian asap.
Hasil pengujian perlu di dokumentasikan dalam buku catatan tentang pengoperasian dan
pemeliharaan disediakan untuk pemeriksaan. Adanya bagian sistem yang tidak berfungsi
sesuai dengan rancangan awal perlu diperbaiki segera dan sistem diuji kembali.
8.4.3.1 Sistem terdedikasi, sekurang-kurangnya setengah tahunan. Operasikan sistem
pengendalian asap untuk tiap urutan pengendalian sesuai kriteria rancangan terbaru dan
amati pengoperasian dengan output yang benar untuk tiap input yang diberikan. Pengujian
juga sebaiknya dilaksanakan dibawah daya listrik cadangan.
8.4.3.2 Sistem tak terdedikasi, sekurang-kurangnya Tahunan. Operasikan sistem
pengendalian asap untuk tiap urutan pengendalian sesuai kriteria rancangan terbaru dan

40 dari 57
SNI 03-6571-2001

amati pengoperasian dengan output yang benar untuk tiap input yang diberikan. Pengujian
juga sebaiknya dilaksanakan dibawah daya listrik cadangan.
8.4.4 Susunan tertentu mungkin perlu dibuat untuk memasukkan/mengalirkan
sejumlah besar udara luar kedalam area hunian atau pusat komputer bila mana kondisi
temperatur luar dan kondisi kelembaban ekstrim. Oleh karena sistem pengendalian asap
mengabaikan kontrol batas seperti, pengujian sebaiknya dilaksanakan saat kondisi udara
luar tidak akan menyebabkan kerusakan pada peralatan dan sistem.

41 dari 57
SNI 03-6571-2001

Apendiks A
Bahan Penjelasan
Apendiks A bukan bagian yang dipersyaratkan dari standar ini, tetapi dimasukkan untuk
tujuan informasi saja. Apendiks berisi bahan penjelasan, nomor butir yang ditunjukkan
berhubungan dengan penerapan teks paragrap.

A.3.3 Disetujui.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) bukan instansi yang menyetujui, memeriksa, atau
memberikan sertifikat pada setiap instalasi, prosedur, peralatan atau bahan. Dalam
menentukan persetujuan instalasi, prosedur, peralatan atau bahan, instansi yang berwenang
menggunakan dasar standar ini atau standar lain yang setara bila dalam standar ini tidak
tersebut.

A.3.5 Instansi Berwenang.


Penyebutan “instansi yang berwenang” digunakan pada dokumen dalam pengertian yang
luas, karena kewenangan dan instansi yang memberi persetujuan beragam, demikian pula
pertanggung jawabannya.
Bila keamanan publik di utamakan, maka instansi berwenang dapat saja pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dinas kebakaran setempat, atau pihak lainnya yang secara hukum
berwenang.

A.3.10 Penghalang Asap.


Penghalang asap mungkin mempunyai atau mungkin juga tidak mempunyai tingkat
ketahanan api. Penghalang seperti ini mungkin mempunyai bukaan yang terproteksi.

A.3.11 Perbedaan Tekanan Rancangan.


Ruangan yang diproteksi termasuk zona tanpa asap dalam sistem pengendalian asap
terzona, sumur tangga dalam sistem sumur tangga yang dipresurisasi, daerah tempat
berlindung, dan saf lif dalam sistem ruang luncur lif.

A.3.12 Pos Pengendalian Asap untuk Petugas Pemadam Kebakaran (PPAPPK)


Sistem lain yang digunakan petugas pemadam kebakaran ( seperti alarm suara, sistem tata
suara, komunikasi dengan instansi pemadam kebakaran, pengendalian dan status lif) tidak
dicakup dalam dokumen ini.

A.3.14 Sistem Pembuangan Asap.


Penjagaan dari lingkungan yang masih dapat dipertahankan dalam zona asap tidak
termasuk kemampuan sistem ini.
A.4.2.3 Aliran udara dapat digunakan untuk membatasi perpindahan asap bila pintu
penghalang asap membuka. Kecepatan rancangan melalui pintu terbuka sebaiknya cukup
untuk membatasi aliran balik asap selama evakuasi bangunan. Aliran udara ini sebaiknya
dipertimbangkan sebagai variabel yang sama seperti yang digunakan untuk pemilihan
perbedaan tekanan rancangan.

42 dari 57
SNI 03-6571-2001

Meskipun aliran udara dapat digunakan untuk menghalangi gerakan asap yang melalui suatu
ruang, laju aliran yang dibutuhkan untuk mencegah aliran balik asap yang demikian
besarnya sehingga ada kekhawatiran tentang jumlah udara untuk pembakaran yang dipasok
ke api.
Apabila aliran udara digunakan untuk mengelola gerakan asap, aliran udara melalui bukaan
ke dalam zona asap harus berkecepatan cukup untuk mencegah asap meninggalkan zona
melalui bukaan seperti ini. Kecepatan udara yang diperlukan untuk menghalangi pergerakan
asap melalui bukaan yang besar menghasilkan sejumlah udara yang cukup untuk
mendukung pertumbuhan api sampai kurang lebih 10 kali besar pertumbuhan api tanpa
tambahan aliran udara ini.
A.4.3.3 Sumber data ASHRAE “Handbook of Fundamentals, Chapter 26, Climatic Design
Information”. Sumber ini menganjurkan 99,6% temperatur pemanasan bola kering (DB) dan
0,4% temperatur pendinginan bola kering (DB) dipakai untuk menunjukkan kondisi
rancangan pada cuaca dingin dan panas. Sumber ini juga menganjurkan bahwa 1%
kecepatan angin yang ekstrim digunakan sebagai kondisi rancangan. Bila ada, data lokasi
tertentu lain sebaiknya dikonsultasikan.
A.4.4 Sasaran kinerja dari springkler otomatik yang dipasang sesuai dengan SNI 03-
3989-2000 tentang "Tata cara perencanaan dan pemasangan sistem springkler otomatik
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung", adalah untuk mengadakan
pengendalian asap, yang dinyatakan sebagai berikut : membatasi ukuran kebakaran dengan
mendistribusikan air sehingga mengurangi laju pelepasan kalor dan pembasahan awal dari
bahan mudah terbakar yang berdekatan, sambil mengendalikan temperatur gas pada langit-
langit untuk mencegah kerusakan bangunan. Sejumlah penelitian terbatas telah dilakukan
dengan uji kebakaran berskala penuh yang dilaksanakan di mana sistem springkler yang
diuji mempunyai tingkat kinerja sesuai yang dipersyaratkan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk suatu situasi pengendalian kebakaran laju
pelepasan kalornya terbatas tetapi asap dapat terus dihasilkan. Bagaimanapun juga
temperatur asap berkurang dan perbedaan tekanan tersedia dalam dokumen untuk sistem
pengendalian asap ini pada bangunan yang terspringkler penuh adalah konservatif. Sebagai
tambahan dengan berkurangnya temperatur asap, persyaratan temperatur untuk komponen
pengendalian asap yang berkaitan dengan gas buang dapat dibatasi.
A.5.2.1 Sistem pengendalian asap dirancang untuk mempertahankan perbedaan
tekanan yang kemungkinan besar disebabkan kondisi angin atau efek cerobong asap.
Perbedaan tekanan rancangan minimum pada tabel 5.2.1 untuk ruangan tanpa springkler
tidak akan dapat mengatasi gaya apung dari gas panas.
Metoda yang digunakan untuk memperoleh nilai pada tabel 5.2.1 untuk ruangan tanpa
springkler sebagai berikut :
Perbedaan tekanan karena gaya apung dari gas panas dihitung dengan persamaan berikut :

1 1
∆P = 7,64 ×  -  × h
 T0 TF 

dimana :
UP = perbedaan tekanan karena gaya apung dari gas panas ( inch.w.g).
T0 = temperatur absolut sekitarnya (0R).

43 dari 57
SNI 03-6571-2001

TF = temperatur absolut dari gas panas (0R).


h = jarak di atas bidang netral (ft).

1 1
∆P = 3460 ×  -  × h
 T0 TF 

dimana :
UP = perbedaan tekanan karena gaya apung dari gas panas (Pa).
T0 = temperatur absolut sekitarnya (K).
TF = temperatur absolut dari gas panas (K).
h = jarak di atas bidang netral (m).
Bidang netral adalah bidang horisontal antara ruang yang terbakar dan ruang sekitarnya
dimana perbedaan tekanan antara ruang yang terbakar dan ruang sekitarnya sama dengan
nol.
Untuk tabel 5.2.1, h dipilih secara konservatif pada 2/3 tinggi lantai ke langit-langit,
temperatur sekitarnya dipilih 200C (700F), temperatur gas panas dipilih 9270C (17000F), dan
faktor keamanan 7,5 Pa (0,03 inci.w.g) digunakan.
Untuk contoh, menghitung perbedaan tekanan rancangan untuk ketinggian langit-langit 12 ft,
sebagai berikut :
T0 = 70 + 460 = 5300R.
TF = 1700 + 460 = 21600R.
h = (12) x (2/3) = 8 ft.
Dari persamaan di atas, UP = 0,087 in.wg.
Penambahan faktor keamanan dan pembulatannya, perbedaan tekanan rancangan
minimum diambil 0,12 in.wg.
A.5.2.2 Gaya pada pintu dalam sistem pengendalian asap ditunjukkan dalam gambar
A.5.2.2. Gaya yang dibutuhkan untuk membuka pintu dalam sistem pengendalian asap
adalah:
5,2 × (W.A) × ∆P
F = Fr +
2 × (W - d)

dimana :
F = gaya membuka pintu total (lb).
Fr = gaya untuk mengatasi alat penutup pintu dan gesekan-gesekan lain (lb).
W = lebar pintu (ft).
A = luas pintu (ft2).
UP = perbedaan tekanan dengan kedua sisi pintu ( in.wg).
d = jarak dari handel pintu ke sisi handel dari pintu (ft).

44 dari 57
SNI 03-6571-2001

Gambar A.5.2.2 Gaya-gaya pada pintu dalam suatu pengendalian asap.

A.5.3.7 Selama waktu penghuni ke luar dari daerah zona asap, kondisi zona asap masih
dapat dipertahankan. Meskipun bukaan pintu sumur tangga pada lantai yang terbakar
selama waktu ini mungkin melepas asap ke dalam sumur tangga, hal tersebut tidak akan
menciptakan kondisi tak dapat dipertahankan disana.
Suatu kondisi dalam daerah zona asap menjadi tidak dapat dipertahankan, kemungkinan
besar karena pintu ke lantai akan di buka oleh penghuni dari lantai tersebut.
Dengan alasan ini, perancangan untuk pintu sumur tangga terbuka pada lantai yang terbakar
secara normal tidak diperlukan.
Pintu yang ditahan terbuka merupakan pelanggaran standar dan akan dapat melampaui
kemampuan sistem.
Penting pintu sumur tangga bagian luar dijelaskan dengan pertimbangan konservatif massa
dari udara presurisasi .
Datangnya udara dari luar dan pada akhirnya harus mengalir kembali ke luar. Untuk pintu
bagian dalam yang terbuka, sisa bangunan pada lantai itu bertindak sebagai tahanan aliran
untuk pengaliran udara ke luar jalur pintu yang terbuka.
Apabila pintu bagian luar terbuka, maka tahanan aliran lainnya tidak ada, dan aliran dapat
menjadi 10 sampai 30 kali lebih besar dari pada yang melalui pintu bagian dalam terbuka.
A.5.4.1.e) Ketentuan yang berlaku, mempersyaratkan bahwa pintu lif terbuka dan tetap
terbuka setelah lif di panggil ulang. Ini menghasilkan bukaan yang besar ke dalam ruang
luncur lif, dimana dapat lebih menaikkan aliran udara yang dibutuhkan untuk presurisasi.
Ketentuan yang berlaku mengijinkan pintu lif menutup setelah waktunya ditentukan
sebelumnya, bila dipersyaratkan oleh instansi berwenang. Persyaratan setempat pada
pengoperasian pintu lif sebaiknya ditentukan dan dimasukkan ke dalam rancangan sistem.
A.5.4.3 Acuan berikut mendiskusikan penelitian yang berhubungan dengan penggunaan
lif selama situasi kebakaran: Klote and Braun (1996); Klote (1995); Klote, Levin, and Groner
(1995); Klote, Levin, and Groner (1994); Klote (1993); Klote, Deal, Donoghue, Levin, and
Groner (1992); dan Klote, Alvord, Levin and Groner (1992).
A.5.5.2.3 Pedoman perancangan pada temperatur pengenceran dapat dibaca pada buku
“ASHRAE/SFPE, “Design of Smoke Management System”.
A.5.6 Metoda perancangan untuk daerah tempat berlindung dapat dibaca pada kertas
kerja ASHRAE, “Design of Smoke Control System for Area of Refuge” (Klote 1993).
A.6.4.2.2 Sistem kontrol sebaiknya dirancang sesederhana mungkin untuk mencapai
fungsi yang dipersyaratkan. Kontrol yang komplek, jika tidak dirancang dan diuji dengan

45 dari 57
SNI 03-6571-2001

benar akan memiliki tingkat kehandalan yang rendah dan akan menyulitkan dalam
pemeliharaan.

A.6.4.3.2 Kontrol untuk Tujuan Pengendalian Bukan Asap.


Kontrol manual yang khusus untuk kegunaan pengendalian bangunan lain, seperti saklar
otomatik yang diletakkan pada termostat, tidak diperhitungkan sebagai kontrol manual dalam
hal pengendalian asap. Aktivasi dan deaktivasi manual untuk maksud pengendalian asap
sebaiknya mengabaikan kontrol manual untuk tujuan-tujuan lain.
Titik Panggil Manual
Pada umumnya, sistem presurisasi sumur tangga dapat diaktifkan dari titik panggil manual,
asalkan memberikan respon umum untuk semua zona. Sistem lain yang merespon secara
identik untuk semua zona alarm dapat juga diaktifkan dari titik panggil manual. Sebuah
sistem presurisasi sumur tangga pelacakan-aktif (active-tracking) yang memberikan
pengendalian berdasarkan pengukuran tekanan pada lantai kebakaran tidak perlu diaktifkan
dari titik panggil manual.
A.6.4.3.3 Aktivasi sistem pengendalian asap sebaiknya terjadi segera setelah menerima
perintah aktivasi. Untuk mencegah kerusakan pada peralatan, mungkin perlu untuk menunda
aktivasi peralatan tertentu hingga peralatan lain telah mencapai pada suatu kondisi yang
telah ditentukan sebelumnya (misal fan dengan start tunda sampai damper terkait terbuka
sebagian atau penuh). Waktu yang diberikan untuk komponen untuk mencapai kondisi yang
diinginkan diukur dari waktu tiap komponen diaktifkan.
A.6.4.3.4 Contoh Pos Pengendalian Asap untuk Petugas Pemadam Kebakaran
(PPAPPK).
Pos pengendalian asap untuk petugas pemadam kebakaran perlu mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut:
a) Lokasi dan Jalan Masuk.
PPAPPK sebaiknya ditempatkan berdekatan dengan sistem yang digunakan oleh
petugas pemadam kebakaran lainnya yang disediakan di dalam bangunan. Sarana
sebaiknya disediakan untuk memastikan hanya petugas berwenang boleh masuk ke
PPAPPK. Apabila instansi berwenang dapat menerima, maka PPAPPK sebaiknya
berada dalam tempat atau ruangan khusus, dipisahkan dari daerah umum dengan
diberi tanda yang sesuai dan pintu terkunci. Jika PPAPPK diletakkan dalam ruangan
terpisah, penempatan ruangan, ukuran, cara jalan masuk dan pertimbangan
rancangan fisik lain sebaiknya dapat diterima oleh instansi berwenang.
b) Susunan Fisik.
PPAPPK sebaiknya dirancang untuk bisa menggambarkan secara grafik susunan fisik
bangunan, sistem pengendalian asap dan peralatan, serta daerah bangunan yang
dilayani oleh peralatan. Berikut ini adalah rangkuman indikator status dan kemampuan
pengendalian asap yang dapat diterapkan terhadap grafik pengendalian asap
PPAPPK. Indikator status sebaiknya disediakan untuk semua peralatan pengendalian
asap dengan indikator jenis lampu pilot sebagai berikut:
1) Fan pengendalian asap dan peralatan pengoperasian kritis lain pada keadaan
pengoperasian: hijau.
2) Peralatan pengendalian asap dan peralatan kritis lain yang mungkin mempunyai
dua atau lebih pernyataan atau posisi, seperti damper: hijau (misal: buka), kuning

46 dari 57
SNI 03-6571-2001

(misal: tertutup). Posisi dari setiap peralatan perlu diindikasikan dengan lampu
dan rambu yang cocok. Posisi tengah-tengah (misal: damper modulasi yang tidak
terbuka atau tertutup sepenuhnya) dapat ditunjukkan tidak dengan iluminasi pada
lampu pilotnya.
3) Kegagalan peralatan atau sistem pengendalian asap: amber.
Posisi dari saklar kontrol posisi jamak sebaiknya tidak digunakan untuk
menunjukkan status dari alat yang dikontrol sebagai pengganti indikator status
jenis lampu pilot seperti diuraikan pada butir A.6.4.3.4. b)1) sampai 3).
Ketentuan sebaiknya termasuk untuk pengujian lampu pilot pada panel kontrol
asap PPAPPK dengan menggunakan satu atau lebih “UJI LAMPU” dengan cara
menekan tombol tekan sesaat atau cara lain yang dapat mengembalikan ke
posisi semula.
c) Kemampuan Pengendalian Asap.
PPAPPK sebaiknya memiliki kemampuan pengendalian untuk seluruh peralatan atau
zona sistem pengendalian asap dalam bangunan.
Untuk lebih praktisnya, direkomendasikan penyediaan kontrol oleh zona, daripada oleh
peralatan individu. Pendekatan ini akan membantu petugas pemadam kebakaran
dalam memahami dengan mudah pengoperasian sistem dan akan menolong untuk
menghindari masalah yang disebabkan oleh pengaktifan peralatan secara manual
dalam urutan yang salah atau oleh pengabaian kontrol komponen kritis. Kontrol oleh
zona sebaiknya dikerjakan sebagai berikut:
Kontrol PRESSURE-AUTO-EXHAUST terhadap setiap zona yang dapat dikontrol
sebagai bentuk tunggal yang mengandalkan sistem pemrograman pada urutan yang
tepat seluruh peralatan dalam zona yang menghasilkan efek yang diinginkan. Dalam
sistem yang menggunakan dakting pasok atau balik bersama, atau keduanya,
termasuk pada moda ISOLASI adalah diinginkan. Untuk memungkinkan penggunakan
sistem menggelontor asap keluar dari zona setelah api dipadamkan, moda
PEMBILASAN (pasok dan pembuangan yang sama) mungkin juga diinginkan.
Apabila kontrol terhadap masing-masing peralatan individu diperlukan pilihan kontrol
berikut ini perlu disediakan:
1) Kontrol ON-AUTO-OFF terhadap setiap jenis peralatan pengendalian asap yang
beroperasi bisa dikendalikan dari sumber lain dalam bangunan. Komponen
terkontrol meliputi seluruh fan presurisasi sumur tangga; fan pembuangan asap;
fan pengkondisian udara dan ventilasi udara pasok, balik, dan buangan yang
melebihi 57 m3/menit (2000 ft3 /menit); fan saf lif; fan pasok dan buang untuk
atrium; dan setiap peralatan pengoperasian lain yang digunakan atau ditujukan
untuk pengendalian asap.
2) Kontrol ON-OFF atau OPEN-CLOSE terhadap seluruh peralatan pengendalian
asap dan peralatan penting lain yang berkaitan dengan darurat kebakaran atau
asap dan yang hanya dikendalikan dari PPAPPK.
3) Kontrol OPEN-AUTO-CLOSE terhadap seluruh damper individu yang
berhubungan dengan pengendalian asap yang juga dikontrol dari sumber lain
didalam bangunan.
4) Unit terminal ventilasi dan pengkondisian udara, seperti kotak pencampur VAV
yang semua diletakkan di dalam dan melayani satu zona pengendalian asap

47 dari 57
SNI 03-6571-2001

yang dirancang, yang dapat dikontrol secara kolektif sebagai pengganti secara
individu. Face bypass damper dari unit koil alat ventilasi dan pengkondisian
udara disusun sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi aliran udara
keseluruhan di dalam sistem.
Kontrol tambahan mungkin dipersyaratkan oleh instansi berwenang.
d) Tindakan dan Prioritas Kontrol.
Tindakan kontrol PPAPPK perlu dilakukan berikut:
1) ON-OFF, OPEN-CLOSE. Tindakan kontrol ini perlu mempunyai prioritas yang
tertinggi dari setiap titik kontrol di dalam bangunan. Sekali sinyal dikeluarkan dari
PPAPPK, sebaiknya tidak ada pengendalian otomatik atau manual dari titik
pengendalian lain yang ada di dalam bangunan berkontradiksi dengan aksi
pengendalian PPAPPK.
Jika sarana otomatik disediakan mengganggu pengoperasian normal peralatan
non darurat atau menghasilkan hasil khusus untuk perlindungan bangunan atau
peralatan (misal: detektor asap dakting, alat pemutus arus temperatur tinggi,
sambungan yang diaktuasi temperatur, dan alat sejenis), sarana-sarana seperti
itu sebaiknya mampu dikesampingkan atau diset ulang ke level yang tidak
melebihi level yang mempengaruhi kegagalan sistem, oleh tindakan kontrol
PPAPPK, dan tindakan kontrol terakhir sebagaimana ditunjukkan oleh tiap posisi
saklar PPAPPK.
Tindakan kontrol dikeluarkan dari PPAPPK sebaiknya tidak mengabaikan atau
mem-bypass alat dan kontrol yang ditujukan untuk melindungi beban lebih listrik,
menyediakan untuk keamanan petugas, dan mencegah kerusakan sebagian
besar sistem. Alat ini termasuk alat proteksi arus lebih dan saklar pemutus listrik,
saklar tekanan statis batas tinggi, dan kombinasi damper api/asap melebihi
penurunan temperatur sesuai dengan klasifikasi standar yang berlaku.
2) AUTO. Hanya posisi AUTO pada tiap tiga posisi pengendali PPAPPK sebaiknya
memungkinkan tindakan kontrol otomatik atau manual dari titik pengendali lain
dalam bangunan. Posisi AUTO sebaiknya posisi pengendali bangunan normal,
bukan darurat. Apabila kontrol PPAPPK dalam posisi AUTO, status nyata alat
(on, off, open, closed) sebaiknya menerus ditunjukkan oleh indikator status.
3) Waktu Tanggap PPAPPK. Untuk tujuan pengendalian asap, waktu tanggap
PPAPPK sebaiknya diawali oleh tindakan pengendalian asap manual atau
otomatik dari setiap titik pengendalian bangunan lain. (Lihat butir 3.4.3.3.).
Penunjukan lampu pilot PPAPPK mengenai status sebenarnya, dari setiap
peralatan sebaiknya tidak melebihi 15 detik setelah operasi alat umpanbalik
terkait.
e) Gambaran Grafik.
Lokasi sistem pengendalian asap dan peralatan dalam bangunan sebaiknya
ditunjukkan dengan simbol dalam panel grafik PPAPPK keseluruhan. Bila
pengendalian asap terzona digunakan, jumlah yang cukup dari komponen
pengendalian asap untuk menyampaikan pengoperasian yang diharapkan dari sistem
pengendalian asap dan peralatan sebaiknya ditunjukkan. Komponen ini secara normal
meliputi sebagian besar dakting, fan, dan damper yang merupakan bagian dari sistem
pengendalian asap. Apabila kontrol yang disediakan terhadap fan dan damper individu

48 dari 57
SNI 03-6571-2001

yang digunakan untuk pengendalian asap, komponen-komponen ini sebaiknya


ditunjukkan pada panel grafik PPAPPK dan, bila sesuai, sebaiknya menunjukkan
sambungan dakting yang terkait, dengan penunjukkan yang jelas dari arah aliran
udara. Dalam setiap kasus lain, luas bangunan yang dilayani oleh sistem pengendalian
asap sebaiknya ditunjukkan pada panel grafik PPAPPK.
Indikasi status untuk posisi damper sebaiknya ditunjukkan apabila pencantuman akan
membantu dalam pergerakan pengoperasian sistem dan dapat diabaikan bila
pencantumannya akan mengganggu pemahaman sistem, seperti pada panel yang
telah padat gambar. Indikasi posisi damper dapat juga dihilangkan bila tidak ada
pengendalian terpisah terhadap posisi damper yang disediakan.
A.6.4.5.2. Kontrol manual yang khusus digunakan untuk tujuan kontrol bangunan lain,
seperti saklar hand-off auto yang diletakkan pada suatu termostat, tidak diperhitungkan
menjadi kontrol manual dalam kaitan pengendalian asap. Aktivasi dan deaktivasi manual
untuk tujuan pengendalian sebaiknya perlu mengesampingkan kontrol manual untuk tujuan
lainnya.
A.6.4.5.4. Contoh fungsi pelengkap yang berguna tetapi tidak dipersyaratkan adalah
pembukaan dan penutupan kotak terminal pada saat presurisasi atau pembuangan zona
asap. Fungsi ini diperhitungkan sebagai pelengkap apabila status yang diinginkan bisa
dicapai tanpa fungsi ini. Fungsi ini dapat, barangkali, membantu untuk mencapai keadaan
yang diinginkan lebih segera.
A.6.4.5.5. Selama kebakaran, cenderung bahwa asap cukup untuk mengaktivasi detektor
asap mungkin berjalan menuju zona lain dan kemudian menyebabkan input alarm untuk
zona lainnya. Sistem yang teraktivasi oleh detektor asap sebaiknya menerus untuk
beroperasi sesuai input alarm pertama yang diterima, daripada mengalihkan kontrol untuk
menanggapi setiap input alarm berikutnya.
Sistem yang diawali oleh alat yang diaktifkan oleh panas, dan dirancang dengan kapasitas
yang cukup untuk membuang zona jamak, dapat memperluas jumlah zona meliputi zona
asal dan zona tambahan selanjutnya, sampai batas kemampuan mekanis sistem untuk
mempertahankan perbedaan tekanan rancangan. Kelebihan kapasitas rancangan akan
cenderung menghasilkan kegagalan sistem untuk membuang zona kebakaran secara
memadai sedemikian untuk mencapai beda tekanan yang dikehendaki. Jika jumlah zona
yang dapat dibuang sambil tetap masih mempertahankan tekanan rancangan yang tidak
diketahui, jumlah ini sebaiknya dianggap menjadi satu.
A.6.4.6. Verifikasi alat termasuk sebagai berikut:
a) Verifikasi ujung ke ujung pada perkabelan, peralatan, dan peralatan dengan cara yang
termasuk ketentuan untuk konfirmasi positip dari aktivasi, pengujian berkala, dan
operasi mengesampingkan secara manual.
b) Adanya pengoperasian daya arah ke bawah dari seluruh pelepas sirkuit.
c) Konfirmasi positip pada aktivasi fan dengan cara penekanan dakting udara, aliran
udara, atau sensor ekivalen yang merespon terhadap kehilangan daya pengoperasian,
permasalahan pada sirkuit perkabelan daya atau pengendalian, hambatan aliran
udara, dan kegagalan pada sabuk, kopling saf, atau motor itu sendiri.
d) Konfirmasi positip pada operasi damper oleh sensor kontak, kedekatan, atau ekivalen
yang merespon pada hilangnya daya pengoperasian atau udara tekanan; masalah-

49 dari 57
SNI 03-6571-2001

masalah pada daya, sirkuit kontrol, atau jalur pneumatik, dan kegagalan pada aktuator
damper, sambungan, atau damper itu sendiri.
e) Alat atau sarana lain yang sesuai kebutuhan.
Butir (a) hingga (e) menguraikan banyak metoda yang dapat dipergunakan, baik salah
satunya atau kombinasi, untuk memverifikasi bahwa semua bagian kontrol dan peralatan
beroperasi. Sebagai contoh, supervisi konvensional (elektrikal) dapat digunakan untuk
memverifikasi integritas konduktor dari unit kontrol sistem alarm kebakaran sampai kontak
rile dalam 1 m (3 ft) dari input sistem kontrol (lihat SNI 03-3985-2000 tentang Tata Cara
Perencanaan dan Pemasangan Sistem Deteksi Kebakaran Untuk Pencegahan Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung), dan verifikasi ujung ke ujung dapat digunakan pada
verifikasi operasi dari input sistem kontrol ke hasil akhir yang diinginkan. Apabila sistem yang
berbeda digunakan untuk verifikasi bagian yang berbeda pada sirkuit kontrol, peralatan yang
dikontrol, atau keduanya, maka tiap sistem akan menjadi berfungsi mengindikasikan kondisi
off-normal dari tiap segmen yang berkaitan.
Verifikasi ujung ke ujung, sebagaimana ditentukan pada butir 3.9, memantau kedua
komponen baik elektrikal maupun makanikal dari sistem pengendalian asap. Verifikasi ujung
ke ujung menyediakan konfirmasi positip bahwa hasil yang diinginkan telah dicapai selama
waktu alat terkontrol diaktifkan. Maksud verifikasi ujung ke ujung menetapkan melebihi
sekedar menentukan apakah kesalahan sirkuit itu ada tetapi malahan mengetahui apakah
hasil akhir yang diinginkan (misal aliran udara atau posisi damper) dicapai. Verifikasi ujung
ke ujung yang benar, karena itu, memerlukan perbandingan antara operasi yang diinginkan
terhadap hasil akhir yang sebenarnya.
Sebuah sirkuit kontrol yang terbuka, kegagalan pada sabuk fan, pelepasan kopling saf,
rintangan pada penyaring udara, kegagalan pada motor, atau kondisi abnormal lain yang
dapat mencegah operasi yang tepat tidak diharapkan untuk menghasilkan dalam suatu
indikasi off-normal jika alat terkontrol tidak diaktifkan, karena hasil yang diukur pada waktu itu
cocok dengan hasil yang diharapkan. Apabila suatu keadaan yang mencegah operasi yang
baik berlangsung selama percobaan aktivasi peralatan berikut, indikasi off-normal sebaiknya
ditunjukkan.
A.7.3 Lebih dari tiga dekade, beberapa model jaringan komputer telah ditulis untuk
menghitung aliran dan tekanan udara keadaan mantap seluruh bangunan.
Model jaringan komputer sebaiknya digunakan untuk rancangan sistem pengendalian asap
pada bangunan kompleks di mana persamaan aljabar tidak dapat diterapkan atau tidak
praktis untuk digunakan. Ini termasuk analisis sistem presurisasi sumur tangga dengan pintu
terbuka, sistem pengendalian asap kombinasi, dan sistem pengendalian asap pada
bangunan yang tidak simetris.
A.7.5 Luas kebocoran untuk dinding bangunan luar secara tipikal didasarkan pada
hasil pengukuran Tamura dan Shaw (1976) dan Tamura dan Wilson (1966). Baru-baru ini,
beberapa bangunan yang telah digunakan dalam studi sebelumnya diuji kembali setelah
bangunan tersebut diretrofit untuk efisiensi energi [Shaw, Reardon, dan Cheung (1933)].
Nilai-nilai untuk luas kebocoran pada dinding luar didasarkan pada nilai-nilai baru tersebut.
A.8.1.1 Gaya pada waktu membuka pintu termasuk gaya gesek, gaya yang dihasilkan
oleh pintu, dan gaya yang dihasilkan oleh sistem pengendalian asap. Dalam hal dimana
gaya gesek berlebihan, pintu perlu diperbaiki.
A.8.1.2 Walaupun tidak ada bagian prosedur pengujian secara formal, pengujian
bangunan untuk menentukan jumlah kebocoran diantara zona asap dapat dinilai dengan

50 dari 57
SNI 03-6571-2001

mengembangkan sistem awal. Pengujian untuk tujuan ini sering mempergunakan peralatan
pengukur aliran udara yang ada dalam sistem. Bagian ini menjelaskan susunan normal dari
metoda sistem dan pengujian beragam dapat digunakan untuk menentukan kebocoran dari
ruangan tertutup. Kebocoran dalam bangunan berasal dari sumber yang beragam, seperti
berikut:
a) Konstruksi dinding pelapis dimana jalur kebocoran terbentuk antara permukaan luar
dan papan lantai.
b) Partisi dinding (drywall) dimana celah pada dinding dibelakang penutup papan hias
tembok dapat membentuk jalur kebocoran.
c) Saklar listrik dan outlet dalam partisi dinding yang membentuk jalur kebocoran melalui
partisi.
d) Pemasangan pintu dengan celah di bagian bawah pintu (undercut), mekanisme
memasang gerendel, dan celah-celah lain yang membentuk jalur kebocoran.
e) Sambungan partisi dinding pada dek metal beralur yang memerlukan sil pada alurnya.
f) Outlet listrik pada plat lantai dalam ruangan atau di atas ruangan dan menimbulkan
kebocoran ke lantai lain pada bangunan.
g) Tembusan dakting melalui dinding dimana terdapat kebocoran sekeliling dakting di
belakang siku-siku yang memegang damper api ditempatnya.
h) Sistem induksi perimetri yang sering memiliki celah disekitar dakting melalui plat lantai
yang tersembunyi di belakang distribusi udara tertutup.
i) Tembusan pipa, konduit, dan jalur kabel melalui dinding dan lantai yang memerlukan
sil penembusan yang teruji.
Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara Bangunan Yang Sesuai untuk Pengujian
Kerapatan Ruang Tertutup.
Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara dari beberapa bangunan dapat digunakan untuk
mengukur kebocoran melalui ruang tertutup. Sistem ini secara tipikal berisi fan terpusat yang
dapat menarik sejumlah besar udara luar ke dalam bangunan untuk presurisasi. Oleh karena
seluruh sistem tersebut memiliki bukaan, dakting, dan kadang-kadang fan untuk
mengembalikan udara dari ruang tertutup ke pengolah udara pusat, penting bagi sistem ini
untuk dimatikan selama pengujian. Penggunaan damper asap pada titik dimana damper
meninggalkan ruang tertutup akan memberikan jaminan lebih bahwa kebocoran ruang
melalui sumber ini akan terminimalkan.
a) Sistem Volume Udara Variabel (VAV = Variable Air Volume) Lantai Tunggal.
Beberapa bangunan perkantoran modern diperlengkapi dengan pengolah udara
terpisah pada setiap lantai bangunan untuk memasok udara yang dikondisikan
kedalam ruang. Sistem ini disusun sebagai sistem volume variabel, dimana termostat
mengubah jumlah udara yang dialirkan ke ruang daripada merubah temperatur dari
udara itu. Susunan ini membutuhkan alat kontrol frekwensi variabel pada fan yang
merespon terhadap tekanan dalam sistem dakting. Dalam hal damper alat kontrol
volume variabel menutup, tekanan meningkat dan kecepatan fan akan turun sesuai
dengan tekanan. Dalam keadaan normal sistem ini memiliki alat pengukur udara dalam
dakting pasok dan balik yang digunakan untuk mensinkronkan operasi fan balik
dengan fan pasok, sehingga jumlah udara luar yang konstan dapat dialirkan kedalam
ruangan untuk mempertahankan kualitas udara dalam ruang. Alat pengukur aliran

51 dari 57
SNI 03-6571-2001

udara ini dapat digunakan untuk mengukur aliran udara yang masuk kedalam ruang
dan kecepatan fan dapat diatur untuk mengontrol tekanan di kedua sisi ruang
penghalang ruang tertutup.
b) Sistem VAV Fan Terpusat.
Sistem VAV fan terpusat adalah variasi dari sistem VAV lantai tunggal. Fan tunggal
akan memasok 10 lantai atau lebih, dimana setiap lantai mempunyai sejumlah kotak
volume variabel. Seperti pada kasus sistem lantai tunggal, fan merespon sensor
terhadap tekanan dalam dakting. Pusat pengukur aliran pada fan digunakan untuk
melacak fan balik dengan fan pemasok untuk mempertahankan udara luar yang
konstan, sebagaimana dalam kasus sistem VAV lantai tunggal. Umumnya, sistem ini
dilengkapi dengan damper yang dapat ditutup dengan mengoperasikan motor pada
setiap lantai, maka sistem dapat secara ekonomis digunakan untuk memasok hanya
sebagian dari lantai ketika lantai yang lain kosong.
Sistem ini dapat digunakan untuk pengujian ruang dengan memerintahkan seluruh
damper pasok ke lantai bangunan menutup kecuali pada lantai yang sedang diuji.
Dengan cara ini, aliran udara kedalam ruangan lantai tersebut dapat diukur dengan
pengaturan tekanan di kedua sisi penghalang.
Karakteristik kebocoran pada sistem dakting utama sebagaimana juga pada damper
yang ditutup harus diketahui sehingga koreksi kebocoran pada dakting dan damper
dalam sistem pada lantai yang diuji dapat ditentukan lebih cepat. Ini dapat dilakukan
dengan menutup seluruh damper pada sistem, presurisasi sistem dakting dengan
beragam tekanan dengan menggunakan fan pasok, dan mengukur laju aliran pada
stasiun pengukuran aliran dalam dakting pasok.
Satu variasi sistem VAV lantai banyak adalah menempatkan pusat pengukuran udara
pada setiap lantai bangunan. Tujuan pusat ini adalah untuk memverifikasi bahwa
penyewa tertentu tidak membuat begitu banyak beban pada lantai bahwa banyak
aliran udara yang digunakan melebihi yang dirancang untuk sistem. Apabila beban
lebih dijumpai, aliran udara dapat diukur secara langsung pada lantai sehingga
penyesuaian untuk kebocoran dakting utama tidak lagi diperlukan.
c) Sistem Zona Jamak Volume Konstan.
Sistem zona jamak volume konstan mencampur udara panas dan dingin pada unit
pengolah udara terpusat dan memiliki sistem dakting terpisah yang mendistribusikan
ke berbagai ruangan. Secara tipikal, tidak dilengkapi dengan pusat pengukur udara
yang harus di diperbaiki ke arah dakting yang mengalirkan udara ke ruang. Ruang
tersebut perlu bersesuaian dengan ruang tertutup yang diuji. Secara tipikal, juga tidak
ada sarana untuk mengubah aliran ke setiap ruang. Pengubahan aliran memerlukan
penambahan baik damper manual atau damper yang digerakkan motor dalam sistem
dakting yang diatur untuk mencapai tekanan uji atau tekanan yang dikehendaki.
d) Sistem Volume Konstan Dengan Terminal Pemanasan Ulang.
Sistem volume konstan dengan terminal ulang merupakan yang paling sulit digunakan
untuk pengujian kerapatan ruang tertutup. Secara tipikal, sistem ini memilik fan
terpusat yang mengalirkan udara ke sistem dakting pada temperatur yang ditentukan.
Sistem dakting didistribusikan ke seluruh bangunan, dan koil pemanasan ulang
ditempatkan pada beberapa lokasi untuk memanaskan udara untuk mempertahankan
kondisi ruang. Secara tipikal tidak ada satupun pusat pengukur atau damper otomatik
dalam sistem. Untuk menggunakan sistem ini bagi pengujian, penting untuk

52 dari 57
SNI 03-6571-2001

memperbaiki (retrofit) dengan pusat pengukur udara dan damper yang disesuaikan
dengan ruang tertutup yang diuji.
Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara Bangunan yang Tidak Sesuai untuk
Pengujian Kerapatan Ruang Tertutup.
Sejumlah sistem ventilasi dan pengkondisian udara sedikit atau tak berarti dalam pengujian
kerapatan ruang tertutup, karena sistem tersebut mengalirkan sejumlah terbatas aliran udara
kedalam ruang atau disusun sehingga terdapat pintu masuk dakting yang jamak kedalam
ruang. Oleh karena itu, melakukan pengukuran aliran udara dalam sistem seperti ini tidak
praktis. Rangkuman sistem seperti itu adalah sebagai berikut:
a) Sistem Pompa Kalor Unitari/Unit Fan Koil.
Sistem pompa kalor unitari/unit fan koil muncul dalam banyak konfigurasi. Sistem ini
serupa, dimana ruang dilengkapi dengan sejumlah unit terpisah, masing-masing
dengan kapasitas aliran udara terbatas. Udara luar masuk ke ruang dialirkan dengan
salah satu dari tiga cara berikut:
1) Unit diletakkan pada perimetri dengan dakting udara luar terpisah untuk setiap
unit. Ini secara tipikal, memiliki tembusan kecil melalui dinding sisi luar bangunan
dengan tidak ada dakting yang terpasang. Jumlah udara luar yang dialirkan
adalah begitu kecil dan kapasitas sistem untuk presurisasi ruang begitu terbatas
sehingga sistem tidak dapat digunakan untuk pengujian integritas ruang. Dalam
hal contoh ini, unit-unit akan mengalami kerugian terhadap operasi banyak
sistem dalam ruang yang dirancang untuk presurisasi kecuali jika setiap dakting
udara luar dipasang dengan damper yang menutup rapat secara otomatik.
2) Unit diletakkan hanya pada perimetri, dan udara luar dimasukkan melalui sistem
dakting terpisah. Pada contoh ini, unit digunakan bersama-sama dengan sistem
dakting bagian dalam. Dakting udara luar untuk perimetri kapasitasnya terbatas
dan sebaiknya dilengkapi dengan damper yang menutup rapat secara otomatik
untuk mempertahankan integritas ruang tertutup. Pengujian ruang sebaiknya
dilakukan melalui sistem dakting bagian dalam.
3) Unit didistribusikan keseluruh perimetri maupun bagian dalam bangunan. Pada
contoh ini, udara luar dimasukkan kedalam ruang melalui sistem dakting terpisah
yang mendistribusikan keseluruh ruang. Sistem dakting ini ditentukan ukurannya
untuk menangani jumlah udara luar minimal yang diperlukan dalam ruang dan
mungkin atau tidak mungkin memiliki aliran yang cukup untuk menyediakan
tekanan dalam ruang. Apakah sistem ini dapat dipakai untuk pengujian tekanan
harus diputuskan berdasarkan kasus demi kasus. Adalah menjadi penting untuk
melengkapi sistem dengan pusat pengukur udara dan memungkinkan damper
menutup apabila sistem melayani lantai jamak.
b) Sistem Induksi Perimetri.
Sistem induksi perimetri secara tipikal disusun untuk menangani hanya perimetri
bangunan. Sistem ini disusun dengan unit terminal sepanjang perimetri dibawah
jendela, dimana setiap unit dilengkapi dengan dakting menuju sistem distribusi udara
terpusat. Ukuran dakting secara tipikal adalah kecil [dibawah 129 cm2 (20 in2)per unit]
dan masing-masing menembus lantai menuju sistem distribusi pada lantai dibawah
atau dihubungkan tegak vertikal yang memanjang ke dinding dan memasok empat
sampai enam unit per lantai. Sistem ini tidak cocok untuk pengujian ruang oleh karena
ada sambungan jamak di setiap lantai. Sambungan dakting sebaiknya dilengkapi

53 dari 57
SNI 03-6571-2001

dengan damper otomatik yang menutup rapat hingga memungkinkan presurisasi ruang
menjadi mungkin dilakukan.
Umumnya tersedia sistem interior, dimana salah satu tipe diuraikan sebelumnya, yang
dapat digunakan untuk pengujian dan presurisasi.
A.8.3.3 Pedoman prosedur uji dapat dijumpai dalam publikasi organisasi seperti
Associated Air Balance Council (AABC); National Environmental Balancing Bureau (NEBB);
the American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers (ASHRAE);
dan the Sheet Metal and Air Conditioning Contractors National Association (SMACNA).
A.8.3.3.6 Metoda uji sebagaimana diuraikan dalam bab 8 sebaiknya menyediakan cara
yang memadai untuk mengevaluasi kinerja sistem pengendalian asap. Metoda pengujian
lainnya secara historis telah digunakan dimana instansi berwenang memerlukan pengujian
tambahan. Metoda uji ini mempunyai nilai terbatas dalam mengevaluasi kinerja sistem
tertentu, dan validitasnya sebagai metoda pengujian sistem pengendalian asap masih
dipertanyakan. Contoh metoda uji lainnya yang dipakai adalah sebagai berikut:
1) Uji asap kimia
2) Uji gas pelacak
3) Uji kebakaran sesungguhnya
Uji asap kimia memiliki derajat kepopuleran melebihi proporsi informasi terbatas yang dapat
disediakannya. Sumber asap kimia yang lazim digunakan yang keberadaan secara
komersial disebut “lilin asap” (kadang-kadang disebut bom asap) dan aparatus pembangkit
asap. Dalam pengujian ini, lilin asap biasanya diletakkan dalam tabung metal dan
dinyalakan. Tujuan dari tabung metal adalah melindungi dari kerusakan panas setelah
penyalaan; hal ini tidak menghalangi pengamatan pergerakan asap kimia. Kehati-hatian
perlu dilakukan selama pengamatan, oleh karena penghisapan asap kimia dapat
menyebabkan mual.
Jenis pengujian ini kurang realistik daripada pengujian kebakaran sesungguhnya oleh
karena asap kimia adalah dingin dan gaya apung asap dari api yang menyala. Gaya apung
semacam itu dapat cukup besar untuk mengatasi sistem pengendalian asap yang tidak
dirancang untuk menahannya. Asap dari kebakaran yang dilindungi springkler mempunyai
daya apung kecil, dan bisa diharapkan bahwa pergerakkan asap seperti itu adalah serupa
dengan pergerakan asap kimia yang tidak dipanasi. Ini yang belum bisa didukung oleh data
pengujian. Pengujian asap kimia dapat menunjukkan jalur kebocoran, dan pengujian seperti
ini adalah sederhana dan tidak mahal untuk dilakukan.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah informasi yang dapat diperoleh dari pengujian asap
kimia dingin. Jika sistem pengendalian asap tidak mencapai level presurisasi yang cukup
tinggi, tekanan oleh panas, panas asap yang mengapung dapat mengatasi sistem tersebut.
Kemampuan pengendalian asap kimia dingin tidak menjamin kemampuan pengendalian
asap panas pada kebakaran yang sebenarnya.
Asap kimia juga digunakan untuk mengevaluasi keefektifan dari sistem yang disebut sistem
“pembilasan” asap. Meskipun demikian sistem tersebut bukan sistem pengendalian asap,
sistem tersebut terkait erat dan karenanya dijelaskan secara ringkas disini. Sebagai contoh,
tinjau suatu sistem yang memiliki enam kali pertukaran udara per jam ketika dalam moda
pembilasan asap. Beberapa pelaksana pengujian keliru untuk mengartikan udara bertukar
seluruhnya setiap 10 menit dan 10 menit sesudahnya asap lilin keluar, seluruh asap
sebaiknya pergi dari ruangan. Tentu saja, kejadiannya tidak demikian. Dalam sistem

54 dari 57
SNI 03-6571-2001

pembilasan, udara yang memasuki ruangan bercampur dengan udara dan asap dalam
ruangan. Jika sistem pembilasan adalah bagian dari sistem ventilasi dan pengkondisian
udara, telah dirancang untuk tingkat campuran agak lengkap. Jika konsentrasi asap hampir
rata dalam ruangan, maka metoda analisis untuk pembilasan sebagaimana diuraikan dalam
butir 5.3 pada ASHRAE/SFPE, Design of Smoke Management Systems, yang sesuai.
Berdasarkan pencampuran yang sempurna, setelah 10 menit, 37 persen dari asap asal
tertinggal di ruangan.
A.8.3.4.5 Sebagai pengganti petunjuk khusus dalam peraturan lokal atau dokumen
kontrak, pilihlah pintu-pintu untuk dibuka sebagai berikut untuk menghasilkan kondisi yang
paling jelek:
a) Untuk pengujian beda tekanan, pintu yang terbuka sebaiknya termasuk pintu-pintu
dengan beda tekanan terbesar diukur dalam pengujian dengan seluruh pintu tertutup
(lihat butir 8.3.4.3). Bilamana diukur dengan sumur tangga sebagai referensi
sebagaimana diuraikan dalam butir 8.3.4.1, pintu-pintu ini memiliki nilai negatif
terbesar.
b) Bilamana sistem dirancang untuk pintu sumur tangga terbuka dan evakuasi bangunan
total, jumlah pintu yang terbuka sebaiknya termasuk pintu sumur tangga bagian luar.
c) Oleh karena tekanan dalam sumur tangga harus lebih besar daripada tekanan dalam
daerah yang dihuni, maka tidak diperlukan untuk mengulang uji gaya pada waktu
membuka pintu dengan pintu terbuka. Pembukaan setiap pintu akan mengurangi
tekanan dalam sumur tangga dan oleh karena itu menurunkan gaya pada waktu
membuka pintu pada pintu-pintu yang tersisa.
A.8.3.8.1 Bilamana dilakukan pengujian terhadap kombinasi sistem pengendalian asap
terzona dan sistem presurisasi sumur tangga, pengujian yang dapat diterapkan pada setiap
sistem yang berdiri sendiri sebaiknya dilakukan. Pengujian beda tekanan ditetapkan dalam
butir 8.3.4. maupun 8.3.5. Bilamana dua sistem tersebut digunakan dalam kombinasi, sumur
tangga sebainya diperlakukan sebagai satu zona dalam sistem pengendalian asap terzona.
Tekanan rancangan minimum sebagaimana ditetapkan dalam Tabel 5.2.1. hanya diterapkan
untuk pengujian beda tekanan sebagaimana ditetapkan dalam butir 8.3.5.
Pengujian beda tekanan dilaksanakan sesuai butir 8.3.4.3. digunakan untuk menentukan
pintu yang sebaiknya dibuka selama pengujian yang ditetapkan dalam butir 8.3.4.4. dan
8.3.4.5. Adalah tidak diharapkan bahwa nilai-nilai tersebut akan memenuhi tekanan
rancangan minimum yang ditetapkan dalam Tabel 5.2.1., kecuali pada lantai yang terbakar.
Sebagai pengganti petunjuk khusus dalam peraturan setempat atau dokumen kontrak, pilih
pintu yang dibuka berikut ini untuk menghasilkan kondisi yang paling jelek:
a) Untuk pengujian beda tekanan, pintu yang terbuka sebaiknya termasuk pintu-pintu
dengan beda tekanan terbesar diukur dalam pengujian dengan seluruh pintu tertutup
(lihat butir 8.3.4.3), tidak termasuk pintu pada lantai yang terbakar (lihat butir A.8.3.7
untuk dasar pemikiran). Bilamana diukur dengan sumur tangga sebagai referensi,
sebagaimana diuraikan dalam butir 8.3.4.1., pintu-pintu ini memiliki nilai negatip
terbesar.
b) Bilamana sistem dirancang untuk pintu sumur tangga terbuka dan evakuasi bangunan
total, jumlah pintu terbuka perlu memasukkan pintu sumur tangga bagian luar.
Untuk pengujian gaya pada waktu membuka pintu, pintu yang terbuka sebaiknya
menyertakan setiap pintu (sampai jumlah yang ditetapkan) yang ditemukan dalam

55 dari 57
SNI 03-6571-2001

pengujian dengan seluruh pintu tertutup (lihat butir 8.3.4.3) untuk mendapatkan
tekanan dalam daerah yang dihuni lebih besar dari tekanan dalam sumur tangga.
Pembukaan pintu-pintu ini menambah tekanan pada sumur tangga, oleh karenanya
menaikkan gaya pada waktu membuka pintu pada pintu-pintu yang tersisa. Bilamana
diukur dengan sumur tangga sebagai referensi, sebagaimana diuraikan dalam butir
8.3.4.1., pintu-pintu ini memiliki nilai positip terbesar. Jika tidak ada pintu yang
memenuhi kriteria ini, adalah tidak diperlukan untuk mengulang pengujian gaya pada
waktu membuka pintu dengan pintu terbuka, karena pembukaan sejumlah pintu akan
menurunkan tekanan dalam sumur tangga dan dengan demikian menurunkan gaya
pada waktu membuka pintu pada pintu-pintu yang tersisa.

56 dari 57
SNI 03-6571-2001

BIBLIOGRAFI

1 NFPA 13, Standard for the Installation of Sprinkler Systems, 1999 edition.

2 NFPA 72, National Fire Alarm Code, 1999 edition.

3 NFPA 80, Standard for Fire Doors and Fire Windows, 1999

4 ASHRAE/SFPE, Design of Smoke Management Systems, 1992.

5 ASHRAE, Handbook of Fundamentals, 1997.

6 ASME/ANSI A.17.1, Safety Code for Elevators and Escalators.

7 SFPE, Handbook of Fire Protection Engineering, 1995.

8 UL 555, Standard for Safety Fire Dampers, 1999.

9 UL 555S, Standard for Safety Leakage Rated Dampers for Use in Smoke
Control Systems, 1999.

57 dari 57
SNI 03-6574-2001

Standar Nasional Indonesia

Tata Cara Perancangan Pencahayaan


Darurat, Tanda arah dan Sistem Peringatan
Bahaya pada Bangunan Gedung.

Badan Standardisasi Nasional


SNI 03-6574-2001

Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda arah dan


Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung.

1 Ruang Lingkup.

1.1 Standar pencahayaan darurat, tanda arah dan sistem peringatan bahaya pada
bangunan gedung ini dimaksudkan sebagai standar minimal bagi semua pihak yang terlibat
dalam perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan gedung.

1.2 Dengan mengikuti standar ini diharapkan diperoleh bangunan gedung yang
memenuhi syarat keamanan sesuai ketentuan yang berlaku untuk bangunan.

2 Acuan

- NFPA 101, Life Safety Code, 1997 edition, National Fire Protection Association.

3 Istilah dan Definisi.


3.1
lampu darurat (emergency luminaire).
sebuah lampu yang di rancang untuk digunakan pada sistem pencahayaan darurat.
Catatan :
a). Sebuah tanda arah “Eksit”, dapat juga berfungsi sebagai sebuah lampu darurat apabila telah didesain
untuk tujuan itu.
b). Lampu darurat dapat dikombinasikan dengan lampu pencahayaan normal atau dapat juga sebagai unit
lengkap yang terpisah.
3.2
lux
nilai tingkat pencahayaan dari suatu sumber cahaya terhadap bidang kerja .
3.3
pencahayaan darurat (emergency lighting).
suatu pencahayaan yang mempunyai pasokan daya cadangan.
3.4
perangkat penguat suara.
peralatan komunikasi satu arah yang digunakan petugas kendali keadaan bahaya dalam
upaya mengendalikan evakuasi/penyelamatan penghuni.
3.5
ruang pusat kendali keadaan bahaya.
ruang dimana dipasang perangkat penguat suara (seperti amplifier, zone selector switch,
dan lain-lain), dan sistem komunikasi internal. Biasanya dipilihkan ruang di lantai dasar.

1 dari 22
SNI 03-6574-2001

3.6
sambungan seamese (seamese connection).
sambungan pipa untuk mobil instansi pemadam kebakaran.
3.7
sarana jalan keluar bangunan (means of egress) :
jalan menerus dan jalan yang tidak terhalangi dari suatu titik dalam bangunan atau struktur
menuju jalan umum, terdiri dari tiga bagian :

a) akses eksit (exit access).

sarana menuju jalan yang aman.

b). eksit (exit).

sarana jalan keluar yang aman

c). lepas eksit (exit discharge).

bagian dari sarana menuju jalan keluar ke arah jalan umum


3.8
sistem komunikasi internal.
peralatan komunikasi dua arah yang digunakan oleh penghuni atau petugas untuk
menghubungi Pusat Kendali Keadaan Bahaya.
3.9
sumber daya darurat.
sumber daya cadangan yang disediakan khusus untuk Sistem Peringatan Bahaya. Bisa saja
sumber daya darurat merupakan gabungan untuk keperluan darurat lainnya.
3.10
tanda arah.
tanda yang menunjukkan arah menuju jalan keluar yang aman.

4 Pencahayaan Darurat.

4.1 Umum.

4.1.1 Pencahayaan darurat pada sarana menuju jalan keluar (means of egress) harus
disediakan untuk :

a). setiap bangunan pada :

1). jalan lintas.

2). ruangan yang luasnya lebih dari 300 m2.

3). ruangan yang mempunyai luas lebih dari 100 m2 tetapi kurang dari 300 m2 yang
tidak terbuka ;

2 dari 22
SNI 03-6574-2001

4). ke koridor, atau

5). ke ruang yang mempunyai lampu darurat, atau

6). ke jalan raya, atau

7). ke ruang terbuka.

8). bangunan kelas 2 atau 3 dan pada setiap jalan lintas yang mempunyai panjang
lebih dari 6 m dipasang lampu darurat.

9). bangunan kelas 9a, yaitu pada :

(a). setiap lorong, koridor, hal atau sejenisnya yang digunakan pasien.

(b). setiap ruangan dengan luas lantai lebih dari 120 m2 yang digunakan
pasien.

(c). Selain disebutkan 4.1.1.a) diatas, pencahayaan darurat harus dipasang


pada lokasi :

(1) kereta lif.

(2) halaman parkir di besmen.

(3) ruang generator.

(4) ruang pompa kebakaran.

(d). Pada pintu yang dipasang dengan kunci keluar tunda, dan

(e). Saf tangga dan ruang depan dari selubung tahan asap.

4.1.2 Pencahayaan darurat pada sarana jalan keluar harus terus menerus menyala
selama penghuni membutuhkan sarana jalan keluar. Pencahayaan buatan yang
dioperasikan sebagai pencahayaan darurat dipasang pada tempat-tempat tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan untuk menjaga pencahayaan sampai ke
tingkat minimum yang ditentukan.
Pengecualian :
Sensor gerakan otomatis untuk mengoperasikan lampu dibolehkan dan harus disediakan sakelar pengendali bila
terjadi kegagalan operasi. “Timer” pencahayaan di set minimum 15 menit lamanya, dan sensor gerakan otomatis
bekerja dengan gerakan penghuni sebelum memasuki daerah yang dilayani oleh unit lampu darurat tersebut.
4.1.3 Lantai dan permukaan untuk berjalan pada tempat yang aman, sarana menuju
tempat yang aman dan sarana menuju jalan umum, tingkat intensitas cahayanya minimal 10
Lux di ukur pada lantai..
Pengecualian :
Pada ruang pertemuan, pencahayaan dari lantai pada sarana menuju tempat aman, minimal 2 Lux selama
jangka waktu tertentu.

3 dari 22
SNI 03-6574-2001

4.1.4 Setiap pencahayaan yang dibutuhkan harus diatur sehingga kegagalan dari
setiap unit pencahayaan tunggal tidak boleh menyebabkan ruangan menjadi gelap.

4.1.5 Peralatan atau unit-unit yang dipasang untuk memenuhi bab 5, dimungkinkan
berfungsi sebagai pencahayaan darurat pada sarana menuju jalan keluar, seperti halnya
pencahayaan darurat pada bab 4 ini.

4.2 Sumber-sumber Pencahayaan.

4.2.1 Pencahayaan pada sarana menuju jalan keluar harus dari sumber daya listrik
yang dijamin kehandalannya.

4.2.2 Lampu yang dioperasikan dengan batere dan lampu jenis lain seperti lampu-
lampu jinjing atau lentera tidak boleh dipakai untuk pencahayaan primair pada sarana
menuju jalan keluar. Lampu yang dioperasikan dengan batere dimungkinkan dipakai sebagai
sumber darurat seperti dijelaskan pada bab 5.

4.3 Lampu Darurat.

4.3.1 Ketentuan Teknis.

a). Setiap lampu darurat harus ;

1). bekerja secara otomatis.

2). mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.

3). jika mempunyai sistem terpusat, catu daya cadangan dan kontrol otomatisnya
harus dilindungi dari kerusakan karena api dengan konstruksi penutup yang
mempunyai Tingkat Ketahanan Api (TKA) tidak kurang dari -/60/60.

4). Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku .

Ib) Identifikasi lampu darurat.

1). Identifikasi simbol di ilustrasikan seperti gambar 4.3.1.b.

2). Diameter simbol minimum 10 mm.

3). Simbol harus diletakkan di tempat yang mudah dilihat.

4). Simbol tidak boleh diletakkan pada diffuser lampu darurat atau tutup plafon yang
dapat dibuka.

Gambar 4.3.1.b : Identifikasi simbol lampu darurat

4 dari 22
SNI 03-6574-2001

4.3.2 Lokasi Pemasangan.

a). Lampu darurat dipasang pada :

1). tangga-tangga.

2). gang.

3). koridor.

4). ram.

5). lif.

6). jalan lorong menuju tempat aman, dan

7). jalur menuju jalan umum.

b). Sepanjang jalan kearah koridor, lobi dan jalan keluar dengan jarak langsung dari titik
masuk gang, lobi atau jalan keluar melebihi 13 meter (lihat gambar 4.3.2.b ), atau;

Gambar 4.3.2.b : Lokasi pemasangan lampu darurat dalam ruangan.

c). pada seluruh daerah jika tidak ada jalan yang jelas kearah koridor, lobi dan jalan keluar
(lihat gambar 4.3.2.b).

4.3.3 Lampu Darurat untuk Fasilitas Pemadam Kebakaran.

a). Panel Isyarat kebakaran, titik panggil manual dan peralatan pemadam kebakaran
harus cukup terang setiap saat sehingga mudah ditemukan.

5 dari 22
SNI 03-6574-2001

b). Tingkat iluminasi minimum harus sesuai dengan ketentuam yang berlaku. Waktu tunda
antara kegagalan pasokan listrik untuk lampu normal dengan penyalaan lampu darurat
untuk fasilitas pemadam kebakaran tidak boleh melebihi 15 detik.

c). Lampu darurat harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat memberikan
pencahayaan secara otomatis saat diperlukan pada tempat fasilitas peralatan proteksi
kebakaran seperti : sambungan regu pemadam kebakaran (seamese connection),
panel kebakaran, titik panggil manual, dan sebagainya. Hal ini untuk memudahkan
penghuni dan petugas instansi kebakaran menemukan lokasi peralatan proteksi
kebakaran (lihat gambar 4.3.3.c).

Gambar 4.3.3.c : Lampu darurat untuk fasilitas lokasi proteksi kebakaran

4.3.4 Sistem Pengoperasian.

a). Generator cadangan yang dipasang untuk mengoperasikan peralatan ventilasi


mekanis yang berselubung kedap asap dimungkinkan dipakai sebagai pasokan tenaga
listrik untuk saf tangga dan ruang depan.

b). Pencahayaan perlu dijaga tidak boleh mati pada saat pergantian dari satu sumber
energi ke sumber energi lain. Lampu darurat disediakan oleh tenaga penggerak yang
menggerakkan generator listrik dengan waktu tunda yang diijinkan tidak boleh lebih
dari 15 detik.

c). Pencahayaan darurat harus disediakan untuk jangka waktu 1½ jam dalam kejadian
gagalnya pencahayaan normal. Fasilitas lampu darurat harus mampu untuk dapat
menyediakan pencahayaan awal tidak kurang dari rata-rata 10 Lux dan minimum pada
setiap titik 1 Lux diukur sepanjang lintasan jalan keluar dari permukaan lantai.
Intensitas pencahayaan dibolehkan menurun sampai 6 Lux rata-rata dan minimum
pada setiap titik 0,6 Lux pada akhir waktu beroperasinya lampu darurat. Perbandingan
intensitas pencahayaan maksimum dan minimum pada sembarang titik dimana saja
tidak boleh melebihi 40 : 1.

d). Sistem lampu darurat harus mampu untuk menyediakan pencahayaan darurat secara
otomatis bila pencahayaan normal terganggu, seperti misalnya kegagalan pasokan
daya listrik PLN, terbukanya pemutus tenaga (Circuit breaker) atau putusnya

6 dari 22
SNI 03-6574-2001

pengaman lebur (fuse), atau secara sengaja fasilitas sakelar kontrol lampu normal di
buka (OFF).

e). Generator darurat beserta instalasi tahan api dan switsing (switching) yang
menyediakan tenaga listrik untuk sistem lampu darurat harus dipasang, di uji dan di
pelihara sesuai ketentuan yang berlaku. Sistem penyimpanan energi listrik bila
dibutuhkan dalam Petunjuk Teknis ini harus dipasang dan di uji sesuai ketentuan yang
berlaku.

f). Lampu darurat yang dioperasikan dengan battery dipakai hanya dari jenis yang handal
dan dapat di isi ulang (rechargeable), tersedia selalu dalam kondisi terisi. Battery yang
dipakai disetiap lampu atau unit-unit untuk pemakaian lampu darurat harus memenuhi
ketentuan yang berlaku dan disetujui oleh instansi yang berwenang.

g). Sistem lampu darurat harus siap beroperasi dan mampu otomatis menyala tanpa
bantuan.

4.3.5 Jangka waktu uji peralatan lampu darurat.

a). Uji fungsi harus dilakukan pada setiap lampu darurat yang menggunakan sistem
tenaga battery pada setiap 30 hari, selama 30 detik.

b). Uji tahunan harus dilakukan dengan waktu uji selama 1½ jam.

c). Peralatan harus beroperasi penuh selama jangka waktu pengujian.

d). Laporan tertulis hasil pengujian disiapkan oleh pemilik bangunan untuk selanjutnya di
sampaikan pada instansi yang berwenang.

5 Tanda Arah “EKSIT”

5.1 Umum.

5.1.1 Sarana menuju jalan keluar harus diberi tanda arah sesuai dengan ketentuan
pada bab ini, dimana dibutuhkan pada bangunan dengan klasifikasi seperti disebutkan
dalam butir 2.1.1.

5.1.2 Tanda arah tidak dibutuhkan untuk bangunan kelas 2 dimana setiap pintu diberi
label pada sisi yang menuju jalan keluar atau balkon;

a). dengan kata “EKSIT (EXIT)” huruf besar, tinggi minimal 25 mm dan warna kontras
serta dengan latar belakang, atau ;

b). cara lain yang sesuai, dan ;

5.1.3 pintu masuk pada bagian penjualan dari bangunan kelas 2 atau kelas 3 atau
kelas 4.

7 dari 22
SNI 03-6574-2001

5.2 Lokasi Pemasangan.

5.2.1 Arah menuju tempat yang aman harus diberi tanda arah dengan tanda arah yang
disetujui, di lokasi yang mudah dibaca dari segala arah jalan.

5.2.2 Pada setiap pintu menuju tangga yang aman, harus dipasang tanda “EKSIT
(EKSIT)” diatas gagang pintu setinggi 150 cm dari permukaan lantai terhadap garis tengah
tanda arah tersebut seperti ditunjukkan pada gambar 5.2.2.

Gambar 5.2.2. : Lokasi pemasangan tanda “EKSIT (EXIT)” pada pintu dan dinding.

5.2.3 Jalan masuk ketempat aman harus diberi tanda arah pada lokasi yang mudah
dibaca dari semua arah, bila jalan menuju tempat tersebut tidak mudah terlihat oleh
penghuninya (lihat gambar 5.2.3).

8 dari 22
SNI 03-6574-2001

Gambar 5.2.3 : Lokasi pemasangan tanda arah “EKSIT (EXIT)” pada koridor.

5.2.4 Apabila tanda arah menuju jalan keluar dibutuhkan di dekat lantai, tanda arah
jalan keluar harus dipasang dekat dengan permukaan lantai sebagai tambahan tanda arah
pada pintu dan koridor (lihat gambar 5.2.2).

Tanda arah ini :

a). ukurannya dan pencahayaannya sesuai dengan butir 5.2 dan 5.3.

b). dasar dari tanda arah ini minimal 15 cm dan tidak lebih dari 20 cm diatas lantai.

9 dari 22
SNI 03-6574-2001

c). untuk pintu menuju jalan keluar yang aman, tanda arah dipasang pada pintu atau yang
berdekatan ke pintu dengan ujung yang terdekat dari tanda arah ini 10 cm dari rangka
pintu.

5.2.5 Penempatan tanda arah yang dibutuhkan dalam Bagian ini, harus berukuran,
berwarna khusus, dirancang untuk mudah dibaca dan harus kontras terhadap dekorasi,
penyelesaian interior, atau tanda-tanda lain. Tidak ada dekorasi, perabotan, atau peralatan
yang menggangu pandangan tanda arah diijinkan kecuali tanda arah jalan keluar, dan harus
tidak ada tanda arah dengan pencahayaan yang tajam, display, atau obyek didalam atau
berdekatan dengan garis pandang tanda arah jalan keluar yang dibutuhkan yang mempunyai
karakter mengurangi perhatian tanda arah tersebut.

5.2.6 Apabila lantai yang berdekatan dengan lintasan menuju jalan keluar perlu diberi
tanda arah, harus diterangi dari dalam pada jarak 20 cm dari lantai. Sistem yang dibutuhkan
dirancang mudah dilihat sepanjang lintasan jalan menuju tempat aman dan meneerus,
kecuali dipotong oleh jalan pintu, jalan hall, koridor, atau lain-lain yang berkaitan dengan
arsitektur. Sistem dapat beroperasi terus menerus atau bila sistem alarm kebakaran bekerja.
Pengaktifan, lamanya dan kelangsungan operasi dari sistem harus sesuai butir 4.2.

5.2.7 Apabila pihak berwenang mengijinkan, tangga dari lantai atas yang menerus ke
lantai Basemen, tanda arah yang cocok termasuk tanda arah yang bergambar harus
ditempatkan pada lokasi yang strategis di dalam tangga ke arah jalan keluar penghuni dalam
keadaan darurat (lihat gambar 5.2.7.a dan gambar 5.2.7.b).

Gambar 5.2.7. (a).

10 dari 22
SNI 03-6574-2001

Gambar 5.2.7.(b).: Tanda arah “EKSIT (EXIT)” pada tangga.

5.3 Ukuran Tanda Arah.

5.3.1 Tanda arah yang diterangi dari luar dibutuhkan oleh butir 5.2 dan 5.5.1,
bertuliskan “EKSIT’ atau kata lain yang cocok, dengan huruf yang mudah dilihat, tingginya
minimal 15 cm, tebal huruf minimal 2 cm. Kata “EKSIT” harus mempunyai lebar huruf
minimal 5 cm kecuali huruf “I” dan jarak minimum antar huruf minimum 1 cm. Tanda arah
yang lebih besar dibuat dengan lebar, tebal dan jarak huruf yang proportional dengan
tingginya (gambar 5.3.1).

Gambar : 5.3.1.

5.3.2 Tanda arah yang diterangi dari dalam yang dibutuhkan oleh butir 5.2 dan 5.5.1
bertuliskan kata “EKSIT” atau kata lain yang cocok dengan huruf yang mudah dibaca dari
jarak minimum 30 m dalam kondisi pencahayaan normal (300 Lux) dan darurat (10 Lux).
Tanda arah yang diterangi dari dalam harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

5.4 Pencahayaan Tanda Arah.

a). Setiap tanda arah yang dibutuhkan dalam butir 5.3.1 atau 5.2.4 harus memperoleh
pencahayaan yang sesuai dari sumber cahaya yang handal. Tanda arah yang di
terangi dari luar atau dari dalam harus mudah dibaca pada keadaan lampu normal dan
darurat.

11 dari 22
SNI 03-6574-2001

b). Tanda arah yang diterangi dari luar tingkat pencahayaannya harus minimal 50 Lux dan
perbandingan kontrasnya minimal 0,5.

c). Tanda arah yang diterangi dari dalam harus dapat dibaca setara dengan tanda arah
yang diterangi dari luar dan memenuhi butir 5.4.2.

d). Setiap pencahayaan tanda arah yang dibutuhkan dalam butir 5.4., harus diterangi
secara terus menerus seperti ditentukan pada Bagian 4.

e). Apabila fasilitas lampu darurat dibutuhkan pada bangunan seperti disebutkan pada
butir 4.1.1 untuk hunian individu, tanda arah keluar harus diterangi oleh fasilitas lampu
darurat. Tingkat pencahayaan tanda arah jalan keluar harus sesuai butir 5.4.2 atau
5.4.3, dan lamanya waktu operasi lampu darurat dijelaskan pada butir 5.3.1. Tingkat
pencahayaannya boleh menurun sampai 60% pada akhir jangka waktu nyalanya
lampu darurat.

5.5 Kebutuhan Khusus.

5.5.1 Tanda Arah.

Tanda arah yang memenuhi butir 5.3 dan terbaca “EKSIT atau EXIT’ atau penunjukan
serupa dengan indikator arah menunjukkan arah jalan harus ditempatkan di setiap lokasi
dimana arah untuk mencapai jalan keluar yang terdekat tidak kelihatan (lihat contoh pada
lampiran).

5.5.2 Indikator Arah.

a). Indikator arah harus ditempatkan di luar tulisan “EKSIT (EXIT)” ,

b). minimal 1 cm dari setiap huruf, dan ;

c). harus dimungkinkan menyatu atau terpisah dari papan tanda arah.

d). Indikator arah harus bergambar “Chevron” seperti ditunjukkan dalam gambar 5.5.2.d,
dan ;

Gambar 5.5.2.d : “ Chevron”

e). harus terlihat sebagai tanda arah pada jarak minimum 12 m pada tingkat pencahayaan
rata-rata 300 Lux dalam kondisi normal dan 10 Lux dalam kondisi darurat di lantai.

f). Indikator arah harus ditempatkan pada ujung tanda arah untuk arah yang ditunjukkan
(gambar 5.5.2.f).

12 dari 22
SNI 03-6574-2001

Gambar : 5.5.2.f : Tanda arah dan “Eksit”

5.5.3 Tanda Arah Khusus.

Setiap pintu, lorong, tangga yang bukan merupakan jalan keluar dan di tempatkan atau
diatur sehingga dapat mengakibatkan kesalahan, harus diberi tanda ‘BUKAN EKSIT”. Kata
“BUKAN” tinggi hurufnya minimal 5 cm, tebal 1 cm, dan kata ‘EKSIT” , tinggi hurufnya 2,5 cm
dimana kata “EKSIT’ diletakkan dibawah kata ‘BUKAN”.

Gambar : 5.5.3.

5.5.4 Tanda Arah Elevator.

Elevator adalah bagian dari sarana jalan keluar yang mempunyai tanda arah dengan
ketinggian huruf minimal 1,6 cm di setiap lobi elevator;

Tanda arah Elevator dipasang untuk :

a). tanda arah yang menunjukkan elevator yang dapat dipakai untuk jalan keluar,
termasuk ;

b). tanda arah yang menunjukkan status beroperasinya elevator.

13 dari 22
SNI 03-6574-2001

5.6 Pengujian dan Pemeliharaan.

a). Tanda arah jalan keluar harus diperiksa setiap jangka waktu maksimum 30 hari.

b). Tanda arah jalan keluar yang pencahayaannya diperoleh dari batere sebagaimana
dibutuhkan dalam butir 5.4.5, harus diuji dan dipelihara sesuai butir 5.6.a.

6 Sistem Peringatan Bahaya.

6.1 Umum.

6.1.1 Sistem peringatan bahaya dapat juga difungsikan sebagai sistem penguat suara
(public address) diperlukan guna memberikan panduan kepada penghuni dan tamu sebagai
tindakan evakuasi atau penyelamatan dalam keadaan darurat. Ini dimaksudkan agar
penghuni bangunan memperoleh informasi panduan yang tepat dan jelas, serta diyakinkan
bahwa mereka dalam perlindungan yang handal, sehingga tidak timbul kepanikan diantara
mereka yang bisa mencelakakan.

6.1.2 Sistem peringatan bahaya dimaksud terdiri dari :

a). Perangkat penguat suara.

b). Sistem komunikasi internal.

6.2 Lokasi Pemasangan.

6.2.1. Sistem peringatan bahaya dan sistem komunikasi internal, mengacu pada
ketentuan yang berlaku dan harus dipasang :

a). Secara umum pada bangunan berketinggian kurang dari 24 meter, kecuali :

b). bangunan kelas 2 yang mempunyai ketinggian lebih dari dua lapis dan dipergunakan
untuk :

1). bagian rumah dari sekolahan, atau

2). akomodasi untuk orang usia lanjut, anak-anak, atau penyandang cacat.

3). bangunan kelas 2 yang dipergunakan untuk perawatan orang usia lanjut, kecuali
bila :

(a). sistem alarmnya langsung memberikan peringatan kepada petugas, atau :

(b). sistem alarmnya telah diatur sedemikian rupa tidak akan menimbulkan
kepanikan dan trauma, sesuai dengan kondisi pasien.

4). bangunan kelas 9a yang luas lantainya lebih dari 1.000 m2 atau tingginya lebih
dari dua lantai dengan pengaturan sebagai berikut :

(a). sistemnya dirancang memberikan peringatan langsung kepada petugas.

14 dari 22
SNI 03-6574-2001

(b). di daerah bangsal perawatan, sistem alarmnya diatur volume dan isi
pesannya agar meminimalkan kepanikan dan trauma, sesuai dengan jenis
dan kondisi pasien.

5). bangunan kelas 9b :

(a). untuk sekolah yang ketinggiannya tidak lebih dari tiga lantai.

(b). untuk gedung pertunjukan, hall umum, atau sejenisnya yang luas lantainya
lebih dari 1.000 m2 atau ketinggiannya lebih dari dua lantai.

6.2.2 Secara spesifik, sistem peringatan bahaya harus dipasang :

a). pada gedung dengan ketinggian antara 24 meter sampai dengan 60 meter ;

1). cukup sistem tata suara biasa.

2). harus tersedia Pusat Pengendali Kebakaran.

3). harus ada sistem komunikasi dua arah antara Pusat Pengendali Kebakaran dan
setiap lobi untuk pemadaman kebakaran.

b). pada gedung dengan ketinggian lebih dari 60 meter ;

1). harus ada sistem komunikasi satu arah.

2). harus tersedia Pusat Pengendali Kebakaran.

3). harus ada sistem komunikasi dua arah antara Pusat Pengendali Kebakaran dan
daerah sebagai berikut :

(a). setiap lobi untuk pemadaman kebakaran.

(b). setiap ruangan yang berisi alat-alat untuk pemadaman kebakaran, seperti
ruang pompa.

(c). setiap ruangan yang berisi alat-alat untuk pengendalian asap.

(d). setiap ruang mesin lif.

(e). ruangan-ruangan lain yang mungkin dipersyaratkan oleh Instansi


Pemadam Kebakaran.

c). Untuk hotel dan rumah sakit dengan ketinggian gedung lebih kecil dari 24 meter, harus
disediakan ;

1). sistem tata suara biasa.

2). loud speaker untuk pengumuman di setiap lobi, tangga dan tempat-tempat
strategis lainnya, sedemikian sehingga pengumuman dapat didengar di setiap
bagian dari gedung.

15 dari 22
SNI 03-6574-2001

d). Gedung yang digunakan untuk hunian campuran (rumah tinggal dan komersial),
persyaratan pada butir 6.2.2.a dan 6.2.2.b berlaku bila ;

1). hunian komersial berada hanya pada bagian bawah gedung.

2). jika hunian komersial berada diatas hunian rumah tinggal, maka persyaratan
pada butir 6.2.2.a dan 6.2.2.b hanya berlaku bila diminta oleh Instansi Pemadam
Kebakaran.

6.3 Intensitas Suara.

6.3.1 Suara yang dikirimkan harus cukup kuat menjangkau setiap titik hunian.

6.3.2 Intensitas suara tidak boleh mengagetkan sehingga dapat menimbulkan


kepanikan.

6.3.3 Isi pesan harus bersifat menenangkan penghuni, menuntun dan memberi
petunjuk yang tepat dan jelas, tidak membingungkan.

6.4 Pusat Pengendali Kebakaran.

6.4.1 Satu Pusat Pengendali Kebakaran harus tersedia selain atas permintaan Instansi
Pemadam Kebakaran, jika gedung tersebut mempunyai :

a). Lif kebakaran.

b). Sistem komunikasi suara.

c). Sistem pengendali asap.

6.4.2 Ukuran ruangan untuk Pusat Pengendali Kebakaran harus cukup besar untuk
pemasangan instalasi alat-alat kontrol dan lain-lain, termasuk alat-alat sistem isyarat bahaya
kebakaran (Fire alarm), ditambah ruangan kerja sebesar 6 m2. (lihat gambar 6.4.2).

Gambar 6.4.2 : Ruang Pusat Pengendali Kebakaran dilihat dari atas.

16 dari 22
SNI 03-6574-2001

6.4.3 Lokasi Pusat Pengendali Kebakaran harus terletak dekat lobi lif kebakaran (lihat
gambar 6.4.3).

Gambar 6.4.3: Letak Ruang Pusat Pengendali Kebakaran.

6.4.4 Konstruksi, fasilitas dan pencahayaan ruangan untuk Pusat Pengendali


Kebakaran harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.

6.4.5 Pusat Pengendali Kebakaran harus mempunyai :

a). Sumber daya listrik cadangan untuk menjalankan alat-alat ventilasi mekanis.

b). Dakting tersendiri (terpisah dari dakting untuk ruangan lain), lihat gambar 6.4.5.

Gambar 6.4.5 : Ventilasi Mekanis pada Ruang Pusat Pengendali Kebakaran

17 dari 22
SNI 03-6574-2001

6.5 Komunikasi Radio.

6.5.1 Jika diminta oleh Instansi Pemadam Kebakaran, maka di besmen harus ada
Fasilitas Komunikasi Radio.

6.5.2 Lokasinya harus berada di daerah yang aman seperti di Pusat Pengendali
Kebakaran.

6.5.3 Rentang frekuensinya : 470 ~ 490 MHz, kecuali ditentukan lain oleh pihak yang
berwenang.

18 dari 22
SNI 03-6574-2001

Apendiks

Klasifikasi bangunan.
Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.

A.1. Kelas 1 : Bangunan Hunian Biasa.

satu atau lebih bangunan yang merupakan :

a). Klas 1a : Bangunan Hunian Tunggal, berupa :

1). satu rumah tunggal ; atau

2). satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing bangunannya
dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah
taman, unit town house, villa, atau

b). Klas 1b : Rumah Asrama/kost, Rumah Tamu, Hostel,

atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih
dari 12 orang secara tetap,

dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan klas lain
selain tempat garasi pribadi.

A.2. Klas 2 : Bangunan Hunian yang terdiri atas 2 atau lebih Unit Hunian,

yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

A.3. Klas 3 : Bangunan Hunian di Luar Bangunan klas 1 atau 2,

yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang
yang tidak berhubungan, termasuk :

a). rumah asrama, rumah tamu, losmen ; atau

b). bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau

c). bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

d). panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau

e). bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.

19 dari 22
SNI 03-6574-2001

A.4. Klas 4 : Bangunan Hunian Campuran.

tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan
tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.

A.5. Klas 5 : Bangunan Kantor.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan


administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan klas 6, 7, 8 atau 9.

A.6. Klas 6 : Bangunan Perdagangan.

bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-
barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk :

a). ruang makan, kafe, restoran ; atau

b). ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel ;
atau

c). tempat gunting rambut/salon, tempat cuci umum; atau

d). pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

A.7. Klas 7 : Bangunan Penyimpanan/gudang.

bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk :

a). tempat parkir umum; atau

b). gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

A.8. Klas 8 : Bangunan Laboratorium/Industri/Pabrik.

bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan
suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan
barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.

A.9. Klas 9 : Bangunan Umum.

bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu :

a). Klas 9a : bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan


tersebut yang berupa laboratorium.

b). Klas 9b : bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya
di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hal, bangunan peribadatan, bangunan budaya
atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan klas
lain.

20 dari 22
SNI 03-6574-2001

A.10. Klas 10 : Bangunan atau Struktur yang Bukan Hunian.

a). Klas 10a : bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya.

b). Klas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

A.11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus.

Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1
sampai dengan 10 tersebut, dalam standar ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai peruntukannya.

A.12. Bangunan yang penggunaannya insidentil.

Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan


gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan
dengan bangunan utamanya.

A.13. Klasifikasi Jamak.

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan :

a). bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai
dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan
klasifikasi utamanya ;

b). klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a, dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

c). Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang ketel uap, atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.

21 dari 22
SNI 03-6574-2001

Bibliografi

1 NFPA 101, Life Safety Code, 1997 edition, National Fire Protection Association.

2 Ron Cote, PE : Life Safety Code Handbook, National Fire Protection


Association.

3 Handbook on Fire Precautions in Buildings, 1997, Fire Safety Bureau,


Singapore Civil Defence Force.

22 dari 22
SNI 09-7053-2004

Standar Nasional Indonesia

Kendaraan dan Peralatan


Pemadam Kebakaran - Pompa

Badan Standardisasi Nasional


SNI 09-7053-2004

Daftar isi

Daftar isi ........................................................................................................................... i


Prakata ...............................................................................................................................iii
1 Ruang lingkup ................................................................................................................. 1
2 Acuan normatif................................................................................................................ 1
3 Istilah dan definisi ........................................................................................................... 1
4 Faktor konversi ............................................................................................................. 11
5 Persyaratan umum........................................................................................................ 11
5.1 Komponen-komponen kendaraan pemadam kebakaran.............................................. 11
5.2 Proteksi personel .......................................................................................................... 11
5.3 Alat-alat kontrol dan instruksi........................................................................................ 11
5.4 Proteksi komponen ....................................................................................................... 12
5.5 Stabilitas kendaraan ..................................................................................................... 12
5.6 Kinerja kendaraan......................................................................................................... 12
5.7 Kemampuan di jalan (roadability) ................................................................................. 12
5.8 Kemudahan pemeliharaan............................................................................................ 13
5.9 Uji jalan ......................................................................................................................... 13
5.10* Pengujian saat penyerahan .......................................................................................... 14
5.11 Data yang diperlukan dan pihak pemasok.................................................................... 14
6 Persyaratan kendaraan pompa (pumper) ..................................................................... 15
6.1 Pompa kebakaran......................................................................................................... 15
6.2* Tangki air ...................................................................................................................... 15
6.3* Tempat penyimpanan peralatan ................................................................................... 15
6.4* Tempat penyimpanan slang.......................................................................................... 15
6.5 Peralatan yang disuplai oleh pemasok ......................................................................... 15
6.6* Tangga.......................................................................................................................... 15
6.7* Slang hisap ................................................................................................................... 15
6.8 Peralatan kecil .............................................................................................................. 16
7 Casis dan komponen kendaraan .................................................................................. 17
7.1* Kapasitas angkut .......................................................................................................... 17
7.2 Rancangan mesin dan sistemnya................................................................................. 17
7.3 Komponen kendaraan................................................................................................... 19
8 Sistem kelistrikan tegangan rendah dan alat peringatan .............................................. 21
8.1* Umum ........................................................................................................................... 21
8.2 Pengawatan (wiring) ..................................................................................................... 21
8.3 Suplai daya ................................................................................................................... 22
8.4* Batere ........................................................................................................................... 22
8.5 Alat penghidup mesin (starter)...................................................................................... 23
8.6 Paparan panas (temperature exposure) ....................................................................... 23
8.7 Peralatan peringatan optis ............................................................................................ 23
8.8 Peralatan peringatan suara yang dapat di dengar........................................................ 24
8.9 Penerangan ditempat kerja........................................................................................... 24
8.10 Lampu tanda bahaya/peringatan .................................................................................. 25
8.11 Lampu untuk berhenti, belakang dan sein .................................................................... 25
8.12 Dokumentasi................................................................................................................. 25
9 Area tempat pengemudi dan awak kendaraan ............................................................. 26
9.1 Umum ........................................................................................................................... 26
9.2 Sistem penjungkit kabin ................................................................................................ 26
9.3 Kompartemen pengemudi............................................................................................. 27
10 Badan kendaraan (body), kompartemen, dan pemasangan peralatan......................... 27
10.1 Kompartementasi.......................................................................................................... 27

i
SNI 09-7053-2004

10.2* Tempat untuk radio ....................................................................................................... 28


10.3* Penempatan peralatan.................................................................................................. 28
10.4 Rak peralatan bermotor ................................................................................................ 28
10.5* Penyimpanan SCBA ..................................................................................................... 28
10.6 Akses ke pompa dan pemipaan.................................................................................... 29
10.7 Permukaan untuk tangga berdiri, dan berjalan ............................................................. 29
10.8* Pegagan akses ............................................................................................................. 30
10.9 Pelapisan logam (metal finish)................................................................................... 30
10.10* Tempat penyimpanan slang ....................................................................................... 30
11 Pompa kebakaran dan peralatan pendukungnya ......................................................... 30
11.1 Aplikasi.......................................................................................................................... 30
11.2 Persyaratan rancangan dan kinerja .............................................................................. 31
11.3 Persyaratan mesin pompa ............................................................................................ 35
11.4 Kemampuan rangkaian daya ........................................................................................ 35
11.5 Persyaratan konstruksi.................................................................................................. 35
11.6 Sambungan intake pompa ......................................................................................... 36
11.7 Outlet pelepasan (discharge) pompa............................................................................. 37
11.8 Katup pembuanagn pompa (drain) ............................................................................... 38
11.9 Panel operator pompa................................................................................................... 38
11.10* Alat kontrol pompa..................................................................................................... 39
11.11* Alat kontrol mesin pompa .......................................................................................... 41
11.12 Instrumentasi .............................................................................................................. 41
11.13 Pengujian yang dipersyaratkan................................................................................... 43
12 Tangki air ...................................................................................................................... 48
12.1 Pemberlakuan ............................................................................................................... 48
12.2 Konstruksi tangki........................................................................................................... 48
12.3 Saluran dari tangki ke intake pompa.............................................................................. 49
12.4 Pengisian air dan ven.................................................................................................... 49
12.5* Sertifikasi kapasitas tangki air....................................................................................... 49
Lampiran A Bahan penjelasan.............................................................................................. 51

ii
SNI 09-7053-2004

Prakata

Standar Nasional Indonesia “Kendaraan dan peralatan pemadam kebakaran – Pompa” ini
sebagai upaya untuk operasi pemadam kebakaran pada bangunan atau untuk menunjang
kegiatan operasi pemadaman, yang dipersiapkan dan disusun oleh Panitia Teknis 95,
Kendaraan dan Peralatan Pemadam Kebakaran.

SNI ini dalam tahap perumusannya telah melalui rapat teknis, prakonsensus dan terakhir
dibahas dalam rapat konsensus yang diselenggarakan pada tanggal 15 November 2003 di
jakarta, yang dihadiri oleh stakeholder.

SNI ini disusun dengan mengacu pada NFPA 1901, Standar for Automotive Fire Apparatus,
1999, Edition, National Fire Protection Assosiation.

Apabila dalam penerapan Standar ini terdapat hal-hal yang meragukan dalam
terjemahannya, diharapkan dapat membandingkan secara langsung dengan substansi yang
terdapat dalam acuan tersebut, atau dengan edisi yang terakhir.

iii
SNI 09-7053-2004

Kendaraan dan peralatan pemadam kebakaran – Pompa

1* Ruang lingkup

1.1 Ruang lingkup Standar ini berlaku untuk kendaraan pemadam kebakaran – pompa
baru yang dirancang untuk operasi pemadaman kebakaran pada bangunan atau untuk
menunjang kegiatan operasi pemadaman, termasuk persyaratan administrasi dan umum.

Maksud Standar ini memuat persyaratan minimum bagi kendaraan pemadam kebakaran -
pompa yang baru.

1.2 Kesetaraan

Pemberlakuan standar ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi penggunaan sistem,


metoda serta sarana yang setara atau memiliki kelebihan dalam kualitas, kekuatan,
ketahanan terhadap api, efektivitas, keawetan dan keamanan dengan isi standar ini, dengan
syarat bahwa dokumentasi teknis mengenai hal-hal tersebut disampaikan ke instansi yang
berwenang untuk dapat diperagakan atau dibuktikan adanya kesetaraan sistem, metoda
atau sarana untuk tujuan yang dikehendaki.

1.3 Aplikasi

Standar ini berlaku bagi kendaraan pemadam baru yang dilakukan pengadaannya setelah
keluarnya standar ini meskipun bisa berlaku pula bagi pengadaan sebelumnya asalkan
disetujui oleh pihak pembeli dan pemasok.

1.4* Tanggung jawab pembeli

Pembeli bertanggung-jawab menentukan spesifikasi kendaraan, kinerja yang dibutuhkan,


kebutuhan penggunaan untuk ketinggian lebih dari 610 m (2000 ft) di atas permukaan laut
atau pada tanjakan lebih besar dari 6%, jumlah petugas maksimal yang naik kendaraan,
beban-beban listrik yang mungkin melebihi minimum yang dipersyaratkan, serta spesifikasi
peralatan lainnya seperti slang air, tangga dan kelengkapan lainnya.

1.5 Tanggung jawab pemasok

1.5.1 Pemasok harus memberikan deskripsi rinci dari kendaraan, daftar kelengkapan
peralatan pada kendaraan tersebut dan uraian rinci tentang konstruksi dan kinerja
kendaraan untuk memperkirakan kecocokan dengan kebutuhan. Ini termasuk (namun tidak
terbatas pada) berat kendaraan, jarak as roda, dimensi-dimensi pokok, radius putar,
transmisi dan bilamana terdapat kecocokan dengan kebutuhan, perlu keterangan mengenai
kapasitas angkut dari peralatan pengangkut personil maupun barang dan alat pemadam.
Spesifikasi barang yang diajukan oleh Pemasok harus menjelaskan mengenai hal-hal yang
ditawarkan dan disediakan kepada pembeli.

1.5.2 Tanggung-jawab untuk kendaraan dan peralatan yang ditawarkan masih tetap pada
Pemasok sampai saat kendaraan dan peralatan tersebut diterima oleh Pembeli, sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

1.5.3 Pihak pemasok mempunyai kewajiban untuk memberikan pelatihan kepada personil
yang ditunjuk pihak pembeli mengenai cara-cara pengoperasian, perawatan dan
pemeliharaan dari kendaraan dan peralatan yang dipasok.

1 dari 69
SNI 09-7053-2004

2 Acuan normatif

NFPA 1961, Fire hose.


NFPA 1901, Standar for Automotive Fire Apparatus, 1999, Edition, National Fire Protection
Assosiation.

3 Istilah dan definisi

3.1
alarm mundur
suatu alat yang menimbulkan bunyi yang dirancang untuk mengingatkan bahwa kendaraan
sedang bergerak mundur

3.2
alat peringatan optis
suatu rakitan manufaktur dari satu atau lebih sumber optis

3.3 *
alat ukur gabungan
sebuah alat ukur yang menunjukkan tekanan baik di atas maupun di bawah tekanan
atmosfir

3.4
alat ukur tekanan
suatu alat pengindikasi tekanan secara analog yang menggunakan sarana mekanis untuk
mengukur tekanan

3.5
beban listrik kontinyu minimum
arus listrik kontinyu yang diperlukan untuk meng-operasikan persyaratan minimum peralatan
listrik yang ditentukan dalam standar ini

3.6
beban listrik terhubung total (total connected electrical load)
arus total yang diperlukan untuk mengoperasikan semua alat yang dihubungkan secara
permanen ke kendaraan pemadam yang secara serentak dapat dialiri energi tetapi tidak
termasuk beban yang sewaktu-waktu ada

3.7 *
berat kotor kendaraan (GVWR)
kapasitas mengangkut beban maksimum dari kendaraan sebagaimana ditentukan oleh
manufaktur pembuat casis kendaraan yang memiliki sistem dua sumbu (suatu instalasi
sistem multi sumbu adalah satu sistem)

3.8 *
berat kotor sumbu kendaraan (GAWR)
kapasitas membawa beban maksimum pada sumbu kendaraan pemadam kebakaran,
sebagaimana ditentukan oleh manufaktur casisnya yang diukur pada batas antara tanah
dengan roda
3.9
berat layanan (in-service weight)
berat kendaraan maksimum yang sesungguhnya pada setiap kondisi operasi yang kadang-
kadang disebut sebagai berat kotor kendaraan

2 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.10
busa klas-B
busa yang digunakan utamaya untuk pemadaman kebakaran Klas-B

3.11
cacat
tidak adanya kesinambungan dalam suatu bagian atau kegagalan dari fungsi yang
mempengaruhi pelayanan atau kehandalan sistem

3.12
casis
landasan kendaraan bermotor termasuk mesin, kerangka dan bagian penting struktural dan
mekanikal lainnya tetapi tidak termasuk karoseri dan semua kelengkapan untuk akomodasi
pengemudi, barang, atau penumpang, perlengkapan atau peralatan terkait di luar peralatan
kontrol

3.13
cekungan pembuang (sump)
suatu lokasi cekungan dari rakitan tangki yang dirancang utamanya sebagai perangkap
lumpur atau kotoran yang selanjutnya dibuang dan berfungsi sebagai pusat pengumpul
cairan

3.14
daya angkat hisap (suction lift)
jumlah angkatan vertikal dan rugi gesek dan pemasukan yang disebabkan oleh aliran lewat
katup saringan air masuk dan slang yang dinyatakan dalam meter head

3.15
daya optis
suatu unit ukuran yang dinyatakan dalam kandela detik / menit yang menggabungkan energi
kilat dan laju kilat dari suatu sumber optis kedalam kesuatu sumber daya yang
memperlihatkan efektivitas visual nyata dari cahaya yang dipancarkan

3.16 *
disetujui
dapat diterima oleh instansi yang berwenang

3.17
eduktor
suatu alat yang dipasang di jalur slang atau pipa pemancar yang menggunakan venturi dan
membagikan konseritrat busa ke dalam aliran air

3.18
eksterior
suatu lokasi yang tidak tertutupi yang terekspos keluar secara kontinyu atau sewaktu –
waktu

3.19
elemen optis
setiap lampu individu atau sumber penghasil cahaya lainnya yang terletak di dalam suatu
sumber optis

3 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.20
generator (alternator), jinjing
sumber listrik yang digerakkan secara mekanis, umumnya kurang dari 7 kW, yang dapat
dipindah-pindahkan dari kendaraan dan dapat dioperasikan pada lokasi yang cukup jauh dari
kendaraan. Alat tersebut mempunyai panel distribusi integral dilengkapi dengan pelindung
arus lebih serta outlet kotak tusuk

3.21
generator (alternator), terpasang
motor listrik yang digerakkan secara mekanis, pada umumnya 7 kW atau lebih yang
ditempatkan secara permanen di kendaraan

3.22
gpm
US gallon per menit

3.23
harus (shall)
diartikan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi

3.24 *
instansi yang berwenang
organisasi, kantor atau perorangan yang berwenang di dalam memberikan persetujuan
mengenai peralatan, bahan, instalasi atau prosedur, sesuai dengan ketentuan yang berlaku

3.25
interior
suatu lokasi terlindung yang tidak ter-ekspos ke lingkungan luar

3.26
interlok
alat atau pengaturan sedemikian hingga fungsi dari satu bagian dikendalikan melalui fungsi
dari bagian lain

3.27
isolasi terhadap getaran
bahan isolasi yang digunakan untuk mencegah getaran struktur yang mencapai permukaan

3.28
jarak radius putar (turning clearance radius)
setengah dari diameter putaran penuh ke kiri atau ke kanan, dipilih mana yang lebih besar

3.29
jarak terendah
jarak yang diukur dari bagian bawah kendaraan pemadam ke permukaan tanah pada semua
bagian bawah kendaraan kecuali gardan dan sumbu penyambung ke gardan (driveshaft
connections)

3.30
kapasitas cadangan
kemampuan batere untuk mempertahankan beban listrik minimum pada saat terjadi
kegagalan sistem pengisian atau kekurangan sistim pengisian yang berkepanjangan

4 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.31
kapasitas nominal
laju aliran yang disertifikasi oleh manufaktur pompa berdasarkan kecocokan dengan
persyaratan yang dimuat dalam standar ini

3.32
katup operasi lambat (slow operating valve)
katup yang mempunyai mekanisme untuk mencegah gerakan elemen pengatur aliran dari
posisi menutup penuh ke posisi terbuka penuh atau sebaliknya dalam waktu kurang dari 3
detik

3.33
kebakaran klas-A
kebakaran yang melibatkan bahan-bahan mudah terbakar dalam bangunan seperti kayu,
kertas, kain, karet dan banyak jenis plastik

3.34
kebakaran klas-B
kebakaran pada cairan mudah menyala, oli, lemak, cat berbasis minyak, terlak dan gas-gas
mudah menyala

3.35
keleluasaan jangkauan
kemampuan operator untuk mengubah-ubah atau memperlakukan kendali dari posisi
mengemudi tanpa harus pindah dari tempat duduknya atau tanpa kehilangan kontak mata di
depannya seperti di jalan raya

3.36
kemampuan akses langsung (readily accessible)
mudah diaksesnya komponen atau bagian lain dari kendaraan pemadam untuk dicapai,
dirawat atau dipindahkan tanpa harus memindahkan komponen atau bagian lain dari
kendaraan pemadam tersebut serta tidak membutuhkan peralatan khusus untuk membuka
ruang atau kompartemen

3.37
kendaraan pemadam kebakaran
kendaraan dengan berat kotor kendaraan atau GVWR 4540 kg (10000 lb) atau lebih,
digunakan untuk pemadaman kebakaran atau untuk menunjang operasi instansi pemadam
kebakaran atau badan – badan lain yang memiliki kewenangan proteksi terhadap kebakaran

3.38
kendaraan pompa (pumper)
kendaraan pemadam yang dipasangi pompa kebakaran secara permanen dengan kapasitas
sekurang-kurangnya 1900 L/menit (500 gpm), tangki air dan rumah slang yang tujuan
utamanya adalah untuk memadamkan kebakaran dalam bangunan atau di lokasi lainnya

3.39
kendaraan tanpa peralatan
kendaraan lengkap tanpa personil, air dan setiap peralatan yang dapat dipindahkan tanpa
menggunakan alat

3.40
ketidak-stabilan
kondisi unit kendaraan dimana jumlah momen yang cenderung membalikkan unit kendaraan
melebihi jumlah momen yang cenderung menahan kondisi terbalik dari kendaraan

5 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.41
kontrol kecepatan putaran mesin (High - Idle Speed Control)
sistem kendali atau sistem pemindah yang memberikan suatu cara untuk meningkatkan
kecepatan putaran mesin dari kondisi idle ke kondisi kecepatan tinggi yang telah disetel
sebelumnya

3.42
label
suatu indikasi visual baik berbentuk tanda gambar atau format huruf yang memberikan
identifikasi untuk fungsi kontrol, saklar, penunjuk atau alat ukur, atau tampilan informasi
yang berguna bagi operator

3.43
lokasi basah
lokasi yang tidak terlindung dalam kompartemen dengan dilengkapi pintu atau penutup, yang
apabila terbuka, menghadapkan lemari elektrikal atau papan panel ke lingkungan luar yang
kondisinya sama dengan bagian luar dari kendaraan pemadam. Suatu lokasi pada
permukaan luar kendaraan pemadam yang tidak tertutup dimana penutup atau panelnya
langsung berhubungan dengan lingkungan luar

3.44
lokasi kering
suatu tempat yang secara normal tidak pernah terkena uap air/kelembaban seperti di bagian
dalam dari tempat pengemudi atau ruang awak kabin, bagian dalam dari badan kendaraan
yang seluruhnya tertutup atau ruangan kedap air yang dibuka hanya saat pekerjaan
pemeliharaan

3.45
lokasi percikan jalan (road spray location)
setiap bagian bawah kendaraan atau casis yang tekena percikan dari jalan

3.46
manufaktur
orang atau kumpulan orang, perusahaan, firma, korporasi, kemitraan atau organisasi lain
yang bertanggung-jawab dalam mengubah bahan atau komponen mentah menjadi produk
akhir

3.47
operasi kontinyu
pengoperasian pada beban konstan pada jangka waktu yang lama

3.48
override
suatu sistem atau alat yang digunakan untuk menetralisasi suatu kegiatan atau gerakan

3.49
panel operator
suatu panel yang berisi alat ukur, saklar, instrumen atau alat kendali yang dapat digunakan
oleh operator dalam rangka memantau fungsi-fungsi operasi

3.50
panel operator pompa
suatu tempat pada kendaraan pemadam yang didalamnya terdapat alat pengukur, alat
kendali, dan instrumen lainnya yang digunakan untuk pengoperasian pompa

6 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.51
papan panel (panel board)
suatu panel tunggal atau kelompok unit panel yang dirancang untuk suatu rakitan dalam
bentuk panel tunggal, termasuk didalamnya saluran-saluran kabel, alat penyetop arus
berlebih otomatis yang dilengkapi atau tidak dilengkapi dengan saklar untuk mengendalikan
cahaya, panas atau sirkit daya; yang dirancang untuk ditempatkan di lemari atau kotak yang
ditempatkan di dalam atau pada dinding atau partisi dan hanya dapat dijangkau dari arah
depan

3.52
partisi pengaman (swash partition)
suatu dinding vertikal yang berada di dalam suatu struktur tangki yang dirancang untuk
mengendalikan gerakan cairan yang tidak dikehendaki dalam tangki

3.53
pelat (plate)
suatu indikator visual baik dalam bentuk gambar atau format kata yang memberikan instruksi
bagi operator dalam menggunakan suatu komponen dalam kendaraan

3.54
pembeli (purchaser)
pihak yang bertanggung jawab dalam menentukan spesifikasi dan penerimaan kendaraan
pemadam

3.55
pemberian label
peralatan atau bahan yang telah diberi label, simbol atau tanda identifikasi dari suatu
organisasi yang dapat diterima oleh instansi yang berwenang,dimana organisasi tersebut
peduli dengan evaluasi produk dan melaksanakan kegiatan pemeriksaan berkala terhadap
produksi dan peralatan sehingga dengan pemberian label tersebut manufaktur menunjukan
aspek pemenuhan standar atau kinerja dalam cara yang terspesifikasi

3.56
penerimaan
suatu persetujuan antara pihak pembeli dan pemasok mengenai telah dipenuhinya
ketentuan dan syarat-syarat kontrak atau perjanjian

3.57
peralatan listrik, jinjing
setiap peralatan listrik yang bukan dari jenis terpasang

3.58
peralatan listrik, terpasang tetap
setiap peralatan listrik yang tidak dapat dipindahkan tanpa bantuan peralatan atau terhubung
/tersambung dengan sistem kelistrikan kendaraan pemadam

3.59
personil berkualifikasi
seseorang yang karena memiliki latar belakang pendidikan, sertifikat, kemampuan profesi
atau keahlian yang diakui dan yang melalui pengetahuan, pelatihan dan pengalaman telah
menunjukkan kemampuan mengatasi masalah yang berkaitan dengan bidang keahlian,
pekerjaan atau proyek tertentu

7 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.60
pompa kebakaran
suatu pompa air yang dipasang pada kendaraan dengan laju kapasitas 1900 l/menit (500
gpm) atau lebih besar pada tekanan pompa bersih 1035 kPa (150 psi) dan digunakan untuk
pemadaman kebakaran

3.61
pompa tambahan
pompa air yang dipasang pada kendaraan pemadam sebagai kelengkapan tambahan
pompa kebakaran dan digunakan untuk pemadaman kebakaran baik tersambung ataupun
terpisah dari pompa kebakaran utama

3.62
posisi operator pompa
lokasi tempat operator pompa mengoperasikan pompa

3.63
psi (pound per square inch)

3.64
pto
sistem penggerak PTO (power take-off) yang diselipkan di antara transmisi casis dan gardan
yang mempunyai mekanisme pemindahan yang diperlukan untuk meneruskan daya mesin
casis ke gardan atau ke pompa kebakaran atau ke peralatan lainnya

3.65
pusat gravitasi
suatu titik dimana seluruh berat kendaraan pemadam kebakaran dianggap terkonseritrasikan
di titik tersebut sedemikian hingga apabila disangga di titik ini, kendaraan akan tetap tinggal
dalam kondisi seimbang pada setiap posisi

3.66
pusat optis
titik intensitas tertinggi yang ditentukan oleh manufaktur alat peringatan optis pada saat
mengukur output dari alat peringatan optis

3.67
reaksi pipa pemancar
gaya yang terjadi saat arus air dilepaskan dari pipa pemancar (nozzle)

3.68
ruang personil terbuka
ruang bagi personil kendaraan pemadam yang terbuka pada sisi atasnya dan dilengkapi
dengan sarana dan peralatan untuk memenuhi persyaratan keselamatan

3.69
ruang personil tertutup
ruang bagi pengemudi atau penumpang kendaraan pemadam yang tertutup pada semua
sisi, atas maupun bawah serta memiliki penutup positif pada semua pintu masuk ke ruang
tersebut

3.70
ruangan tertutup
suatu ruangan yang dirancang untuk melindungi benda-benda yang tersimpan terhadap
gangguan luar (tahan cuaca) yang tertutup pada 6 sisi dan dilengkapi dengan pintu yang
bisa ditutup dan dikunci

8 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.71
saklar
setiap perangkat kontak jaringan yang memutus atau mengendalikan aliran arus melalui
sirkit elektrikal

3.72
saklar seketika
suatu saklar yang akan kembali ke posisi netral (off) apabila dilepaskan

3.73
saluran slang tersambung (pre-connected hose line)
saluran slang air yang disimpan di atas kendaraan pemadam yang sudah disambungkan
terlebih dahulu dengan sebuah pompa sehingga dapat langsung dapat dioperasikan melalui
aktivasi dari sebuah katup pelepasan

3.74
sambungan (bonding)
sambungan tetap dari bagian-bagian metalik untuk membentuk jalur konduksi listrik yang
menjamin kontinuitas penyaluran listrik dan kemampuan mengatasi secara aman setiap arus
yang mungkin timbul

3.75
sebaiknya (should)
diartikan sebagai suatu rekomendasi atau sesuatu yang disarankan namun bukan keharusan

3.76 *
sirine elektrik
suatu alat peringatan lewat suara yang menghasilkan bunyi melalui penggunaan motor listrik
yang dilekatkan pada suatu piringan atau cakram yang berputar

3.77*
sirine elektronik
suatu alat peringatan lewat suara yang menghasilkan suara secara elektronik lewat
penggunaan pengeras suara atau pengeras elektromagnetis

3.78
sirkit tegangan rendah, peralatan atau sistem
suatu peralatan atau sistem sirkit elektris dimana tegangan tidak melebihi 30 Volt (V)
rms (ac) atau 42,4 V puncak (dc), biasanya 12 V (dc) pada kendaraan pemadam kebakaran

3.79
sistem pasok udara
suatu sistem yang mampu meningkatkan tekanan udara dari suatu sistem penyimpan udara
atau kompresor

3.80
sistem pengaturan beban listrik otomatis
suatu peralatan yang secara kontinyu memantau tegangan sistem listrik dan membuang
beban-beban yang ditentukan sebelumnya dalam suatu urutan yang terseleksi guna
mencegah muatan berlebih pada batere. Pembuangan beban dapat dilakukan tanpa campur
tangan unsur personil dan mampu secara manual dihentikan

9 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.81
sistem rem tambahan
suatu sistem pengereman sebagai kelengkapan tambahan dari rem-rem layanan seperti
penahan mesin, penahan transmisi, penahan bantingan kemudi atau penahan aus

3.82
standar keselamatan kendaraan bermotor
adalah standar kendaraan bermotor yang berlaku di wilayah Indonesia

3.83
sudut datang
sudut terkecil antara permukaan jalan dengan garis yang ditarik dari titik terdepan dari
kontak antara roda depan dengan tanah ke tiap proyeksi kendaraan didepan poros bagian
depan

3.84
sudut pergi
sudut terkecil yang dibentuk antara permukaan jalan dengan garis yang ditarik dari titik
belakang dari kontak antara ban belakang dengan tanah ke setiap proyeksi kendaraan
dibelakang poros bagian belakang

3.85*
sumber optis
setiap komponen tunggal dari sistem pencahayaan yang terpasang bebas dan menghasilkan
cahaya

3.86
tanda (sign)
indikasi visual baik dalam bentuk gambar maupun format huruf yang memberikan peringatan
bagi operator atau orang-orang lainnya yang berada di dekat kendaraan pemadam

3.87*
tanjakan
suatu ukuran sudut kemiringan yang digunakan dalam perencanaan jalan yang dinyatakan
dalam prosentase perubahan deviasi ketinggian permukaan tanah terhadap jarak
(kemiringan 45 derajat = 100 % tanjakan)

3.88
tekanan alat ukur
tekanan yang diukur oleh suatu instrumen dimana tekanan yang diindikasikan adalah relatif
terhadap tekanan atmosfir

3.89
tekanan pecah
tekanan dimana sebuah komponen hidraulik pecah karena regangan yang diakibatkan oleh
tekanan

3.90*
tekanan pompa bersih
jumlah tekanan pelepasan dan daya angkat hisap yang dikonversikan ke psi atau kPa pada
saat pemompaan pada penghisapan negatif (sumber air terbuka), atau perbedaan antara
tekanan pelepasan dan tekanan pemasukan pada saat pemompaan dari suatu hidran atau
sumber air lainnya pada kondisi tekanan positif

10 dari 69
SNI 09-7053-2004

3.91
tekanan pompa maksimum
tekanan pelepasan pompa maksimum yang diperoleh dengan cara menutup saluran
pelepasan, dengan kondisi mesin pengerak pompa bekerja maksimum yang dapat dicapai,
dan dengan tekanan isap pompa pada tekanan atmosfir atau kurang. Pompa seri atau
paralel diukur dengan pompa dalam penyetelan tekanan (seri)

3.92
terdaftar (listed)
peralatan, bahan atau layanan jasa yang termasuk dalam suatu daftar (list) yang
dipublikasikan oleh suatu organisasi, yang dapat diterima oleh instansi berwenang, dimana
organisasi tersebut perduli dengan evaluasi produk atau jasa dan melaksanakan inspeksi
periodik dari produksi peralatan atau bahan yang didaftar atau evaluasi periodik terhadap
jasa, sehingga daftar tersebut menyatakan bahwa setiap peralatan, bahan dan jasa telah
memenuhi standar yang berlaku atau telah diuji dan terbukti cocok dengan tujuan
terspesifikasi

3.93
uji serah terima
pengujian yang dilakukan oleh pembeli atau pihak yang mewakili-nya pada saat penyerahan
kendaraan pemadam untuk memastikan apakah spesifikasi dari kendaraan tersebut telah
dipenuhi

3.94
ukuran outlet pelepasan
ukuran nominal dari outlet kopling slang pertama dari pompa

3.95
ukuran sambungan saluran masuk (intake connection size)
ukuran nominal sambungan pertama slang dari saluran masuk pompa

4 Faktor konversi

1 gpm = 3,785 L/menit


1 psi = 6,895 kilo Pascal (kPa)
1 psi = 0,069 bar
1 in Hg = 3,386 kPa
1 in = 2,54 cm
1 ft = 0,305 m
1 ft3 = 0,0283 m3
1 in2 = 645,2 mm2
1 mph = 1,6 km/jam
1 lb = 0,454 kg
1 hp = 0, 746 kW

5 Persyaratan umum

5.1 Komponen-komponen kendaraan pemadam kebakaran

Semua komponen harus dipasang sesuai petunjuk pemasangan dari manufaktur.

11 dari 69
SNI 09-7053-2004

5.1.1 Pompa kebakaran

Apabila kendaraan dilengkapi dengan pompa kebakaran, maka pompa dengan


kelengkapannya harus memenuhi persyaratan pasal 11.

5.1.2 Tangki air

Apabila kendaraan dilengkapi dengan tangki air, maka tangki tersebut harus memenuhi
persyaratan pasal 12.

5.2 Proteksi personil

5.2.1* Alat-alat pelindung, penutup dan kelengkapan proteksi lainnya harus disediakan
menurut keperluan untuk mencegah kecelakaan pada personil sebagai akibat dan bagian-
bagian mesin yang bergerak, berputar maupun temperatur tinggi selama operasi. Isolasi
listrik harus diadakan sesuai kebutuhan guna mencegah terjadinya kejutan listrik dari sistem
kelistrikan pada kendaraan pemadam.

5.2.2 Hasil pekerjaan yang menyangkut pembuatan badan kendaraan harus menjamin
lingkungan operasi yang aman terhadap bagian-bagian dinding yang tajam, ujung-ujung
yang bisa melukai personil dan sebagainya.

5.2.3 Kelengkapan tanda-tanda peringatan yang berhubungan dengan keselamatan harus


memenuhi ketentuan dan standar yang berlaku.

5.3 Alat-alat kontrol dan instruksi

5.3.1 Alat-alat kontrol, sakelar, plat instruksi, alat ukur, dan instrumen - instrumen yang
diperlukan untuk pengoperasian Kendaraan kebakaran dan peralatan penunjangnya harus
diberi penerangan yang cukup agar bisa jelas terlihat. Bilamana tersedia penerangan
pencahayaan eksternal, maka harus minimal 54 lux pada permukaan alat tersebut. Bilamana
tersedia pencahayaan internal, maka harus minimal 14 candela / m2.

5.3.2 Semua tanda-tanda yang diperlukan, pelat dan label harus dibuat permanen,
dilekatkan rapat-rapat dan harus tahan terhadap kondisi cuaca dan temperatur tinggi.

5.3.3 Semua alat ukur atau peragaan visual harus dipasang tidak boleh lebih tinggi dari
2,10 m di atas permukaan di mana operator berdiri untuk membaca instrumen-instrumen
tersebut.

5.3.4 Titik tengah atau garis tengah setiap alat kontrol tidak boleh melebihi 1,8 m diukur
vertikal dari tanah atau landasan yang dirancang untuk tempat atau posisi operator berdiri.

5.4 Proteksi komponen

Jalur pipa hidraulik, pemipaan sistem udara, kabel-kabel kontrol dan jaringan listrik harus
dilekatkan ke rangka atau tubuh kendaraan dan harus dilengkapi dengan alat pelindung di
tiap titik saat menembus dinding atau rangka kendaraan terkecuali bila telah dilindungi oleh
konektor atau penyambung khusus.

5.5 Stabilitas kendaraan

5.5.1 Ketinggian pusat gravitasi kendaraan pada beban penuh harus tidak melebihi batas
maksimum yang telah ditetapkan oleh manufaktur casis.

12 dari 69
SNI 09-7053-2004

5.5.2* Distribusi berat kendaraan pada beban penuh dari ujung depan hingga bagian
belakang kendaraan sebagaimana dijelaskan di butir 7.1 harus tidak melebihi batas yang
ditetapkan oleh manufaktur casis. Beban pada poros depan harus tidak boleh kurang dari
beban poros minimum yang telah ditetapkan oleh manufaktur casis pada kondisi beban
penuh dan kondisi beban lainnya.

5.5.3 Perbedaan berat pada ujung tiap poros, dari sisi ke sisi, bilamana kendaraan
dibebani penuh dan dilengkapi sebagaimana diuraikan pada butir 7.1 tidak boleh
melebihi 7 %.

5.6 Kinerja kendaraan

5.6.1* Kendaraan harus memenuhi persyaratan dalam standar ini pada ketinggian 610 m
(2000 ft) di atas permukaan laut.

5.6.2* Kendaraan harus memenuhi semua persyaratan dalam standar ini sementara
berhenti (stationary) pada setiap tanjakan sampai dengan 6 % pada setiap arah.

5.6.3 Kendaraan kebakaran harus memenuhi persyaratan dalam standar ini pada kondisi
temperatur ambien antara 0° C - 43° C.

5.7 Kemampuan di jalan (roadability)

Pada kondisi beban penuh dan peralatan Iengkap sebagaiama disebutkan pada butir 7.1,
kendaraan harus mampu memperlihatkan kinerja berikut, saat melintas di jalan diperkeras
yang kering dan kondisinya baik:
1) Kendaraan harus mampu mencapai kecepatan 56 km/jam (35 mph) dalam waktu
25 detik dari awal bergerak pada jalan yang rata.
2)* Kendaraan harus mampu mencapai kecepatan puncak minimum 80 km/jam (50 mph)
pada jalan yang rata.
3)* Kendaraan harus mampu mempertahankan kecepatan minimum 32 km/jam 20 mph)
pada jalan tanjakan sampai dengan 6% pada setiap arah.

5.8 Kemudahan pemeliharaan

5.8.1* Kendaraan pemadam kebakaran harus dirancang sedemikian sehingga semua


pengecekan rutin untuk pemeliharaan bahan pelumas dan cairan sebagaimana
direkomendasi oleh manufaktur dapat dilaksanakan oleh operator tanpa harus mengungkit
kabin kendaraan atau tanpa memerlukan peralatan. Komponen kendaraan yang
berhubungan dengan perbaikan atau pengangkatan komponen utama lainnya harus
dipasang dengan pengikat seperti baut atau sekrup, dengan demikian komponen tersebut
dapat dipindahkan atau dipasang dengan memakai peralatan biasa. Komponen-komponen
tersebut harus tidak dilas atau dengan kata lain terpasang secara permanen ditempatnya.

5.8.2 Bilamana beberapa peralatan khusus diperlukan untuk pemeriksaan rutin, maka
peralatan tersebut harus disediakan dalam kendaraan.

5.8.3 Pemasok Kendaraan pada saat penyerahan kendaraan harus menyerahkan


sedikitnya 2 (dua) rangkap buku petunjuk lengkap untuk pengoperasian dan perawatan
Kendaraan yang diserahkan dan diterima.
Petunjuk atau manual tersebut harus memuat hal-hal sebagai berikut:
1) Uraian, spesifikasi dan tingkat kinerja ( rating) casis dan pompa,
2) Diagram pengkabelan (wiring diagram),
3) Bagan pelumasan,

13 dari 69
SNI 09-7053-2004

4) Petunjuk pengoperasian untuk casis, dan komponen utama seperti pompa, dan sistem
pelengkap lainnya,
5) Petunjuk berkaitan dengan frekuensi dan prosedur rekomendasi pemeliharaan,
6) Informasi mengenai penggantian suku cadang.

5.8.4* Pemasok harus menyerahkan bersama dengan kendaraan semua dokumen


mengenai pengoperasian dan pemeliharaan semua komponen dan peralatan yang dipasang
atau dipasok oleh pemasok.

5.9 Uji jalan

5.9.1 Uji jalan harus dilaksanakan untuk verifikasi apakah kendaraan secara Iengkap
mampu memenuhi persyaratan sebagaimana dicantumkan pada butir 5.7. Pengujian harus
dilakukan pada sebuah lokasi dengan cara yang tidak melanggar Undang-undang dan
peraturan lalu-lintas yang berlaku.

5.9.2 Kendaraan harus dilengkapi dan sesuai ketentuan pada sub butir 7.1. Pengujian
harus dilaksanakan di jalan yang di perkeras dan kering serta kondisinya yang baik. Mesin
idle boleh dioperasikan melampaui kecepatan rata – rata maksimum yang diperbolehkan.

5.9.3 Kendaraan harus mampu mencapai kecepatan 56 km/jam (35 mph) dari titik mulai
jalan dalam waktu 25 detik.

5.9.4 Kendaraan harus mampu mencapai kecepatan puncak minimum tidak kurang dari
80 km/jam (50 mph).

5.9.5 Uji coba percepatan

5.9.5.1 Bilamana kendaraan dilengkapi dengan sistem rem tambahan, maka pihak
menufaktur harus melakukan uji di jalan raya terhadap sistem untuk mengkonfirmasikan
bahwa sistem tersebut berfungsi sesuai yang dikehendaki oleh manufaktur sistem rem
tambahan tersebut.

5.9.5.2 Sistem rem harus mampu untuk menghentikan kendaraan yang dimuati penuh
menuju ke kondisi berhenti total dari suatu kecepatan awal sebesar 32 km/jam (20 mph),
dalam jarak tidak melebihi 10,7m (35ft) lewat pengukuran nyata, di atas permukaan jalanan
keras dan rata dan bebas dari benturan, minyak pelumas atau gemuk (greast).

5.10* Pengujian saat penyerahan

Bila diinginkan diadakannya uji coba serah terima pada tempat penyerahan maka uji coba
tersebut harus sesuai dengan uji coba yang dilakukan pembeli sesuai ketentuan dalam
standar minimal dan harus diadakan pengulangan terhadap pengujian yang dikehendaki
pihak pembeli.

5.11 Data yang diperlukan dan pihak pemasok

Pemasok harus menyerahkan, sedikitnya 1 (satu) copy dokumen–dokumen sebagai berikut:


a) Dokumen resmi dari manufaktur mengenai detail konstruksi kendaraan, termasuk
informasi tentang:
1) Nama dan alamat pemilik kendaraan;
2) Nama manufaktur kendaraan, model dan nomor seri;
3) Komposisi casis, model dan nomor seri;
4) Berat Kotor Sumbu (GAWR) pada sumbu depan dan belakang;
5) Ukuran ban depan dan total kapasitas pengenal nominal total dalam kg;

14 dari 69
SNI 09-7053-2004

6) Ukuran ban belakang dan tingkat kapasitas pengenal total dalam kg;
7) Distribusi berat casis (dalam kg) dengan dimuati air serta peralatan terpasang
(depan dan belakang);
8) Merek mesin, model, nomor seri, daya kuda (Hp) dan kecepatan sesuai ketentuan
standar yang berlaku;
9) Jenis bahan bakar dan kapasitas tangki bahan bakar;
10) Tegangan sistem kelistrikan dan output alternator dalam Ampere;
11) Merek batere, model dan kapasitas dalam Ampere (CCA);
12) Merek transmisi casis, model, dan nomor seri;
13) Pompa, model, nilai kapasitas dalam nominal putaran gpm (liter per-menit (gpm)
serta nomor seri;
14) Merek transmisi pompa, model, nomor seri dan rasio dan perbandingan gigi;
15) Kapasitas tera tangki air dalam liter;
16) Indentifikasi cat;
17) Nama perusahaan dan tanda tangan dari perwakilan perusahaan yang
bertanggung jawab.
b) Bila kendaraan dilengkapi dengan kendaraan pompa perlu diserahkan sertifikat
kemampuan hisap pompa dari manufaktur lihat butir butir 11.2.4.1.
c) Bila kendaraan memiliki pompa kebakaran, I (satu) copy mengenai persetujuan
(approval) perusahaan manufaktur kendaraan untuk aplikasi pemompaan pada kondisi
stasioner (lihat butir 11.3.1).
d) Bila kendaraan mempunyai pompa kebakaran, perlu diserahkan sertifikat Kurva Brake
Horse Power (BHP) yang disertifikasi oleh manufaktur untuk mesin yang diserahkan
yang memperlihatkan kecepatan maksimum yang dapat dikendalikan (lihat butir 11.3.2).
e) Bila kendaraan memiliki pompa kebakaran, sertifikat uji coba hidrostatis pompa
manufaktur (lihat butir 11.5.2).
f) Dokumen keterangan tentang berat kendaraan dari alat timbangan yang disertifikasi
yang memperlihatkan pembebanan aktual di atas poros depan, poros belakang dan
keseluruhan kondisi kendaraan (dengan tangki air penuh terisi namun tanpa personil,
peralatan dan slang air) harus diserahkan bersama dengan kendaraan selengkapnya
sesuai ketentuan butir 7.1.
g) Dokumen tertulis mengenai analisis beban dan hasil uji coba kinerja sistem kelistrikan
sesuai persyaratan di pasal 8.
h) Sertifikat kapasitas tangki air harus diserahkan bilamana kendaraan dilengkapi dengan
tangki air (lihat butir 12.5).

6 Persyaratan kendaraan pompa (pumper)

6.1 Pompa kebakaran

Kendaraan pompa harus dilengkapi dengan pompa kebakaran yang memenuhi persyaratan
dalam bagian 11 dan mempunyai kapasitas nominal minimum 1900 l/menit (500 gpm).

6.2* Tangki air

Kendaraan pompa harus dilengkapi dengan tangki atau tangki-tangki air yang memenuhi
persyaratan pada pasal 12 dan mempunyai kapasitas minimum yang disyaratkan
(kombinasi, bila dapat diterapkan) sebesar 1136 l (300 gallon).

6.3* Tempat penyimpanan peralatan

Untuk penempatan peralatan perlu disediakan suatu ruang atau kompartemen tertutup yang
tahan terhadap cuaca berukuran minimum 1,33 m3 (40 ft3 ) yang mempunyai persyaratan
pada pasal 10.

15 dari 69
SNI 09-7053-2004

6.4* Tempat penyimpanan slang

Lemari-lemari penyimpan slang air, kompartemen atau tempat gulungan slang yang
memenuhi persyaratan butir 10.10 harus disediakan untuk mengakomodasi hal-hal berikut.
Ruang-ruang tempat penyimpan tersebut tidak perlu berdekatan.
1) Suatu ruang penyimpan slang minimum luasnya 0,85 m3 (30 ft3 ) untuk ukuran slang
65 mm (2½ in.) atau slang yang lebih besar.
2) Dua ruangan, tiap ruangan berukuran minimum 0,1 m3 (3,5 ft3) untuk mengakomodasi
slang 38 mm (1½ in.) atau jalur slang sambungan awal yang Iebih besar.

6.5 Peralatan yang disuplai oleh pemasok

Peralatan atau kelengkapan berikut harus disuplai dan dipasang oleh Pemasok. Pemasok
harus menyediakan sarana penopang (bracket) atau kompartemen-kompartemen yang
diperlukan untuk memasang peralatan-peralatan atau kelengkapan tersebut.

6.6* Tangga

Semua tangga yang dibawa di atas kendaraan kebakaran harus memenuhi standar yang
berlaku. Minimal jenis tangga berikut harus dibawa di atas kendaraan kebakaran:
− satu tangga lurus yang dilengkapi pengait atap;
− satu tangga julur (extention ladder).

6.7* Slang hisap

Slang hisap jenis lunak dengan panjang minimum 4,6 m atau jenis keras dengan panjang
minimum 6 m harus dibawa ke atas kendaraan pompa. Slang hisap harus memenuhi
persyaratan standar yang berlaku. Pemesan atau Pembeli harus merinci jenis slang hisap
yang dibutuhkan, panjang dan ukurannya, ukuran kopling, cara mengangkut atau membawa
slang tersebut di kendaraan dan model penopang (bracket) yang diinginkan.

6.7.1 Bila slang hisap jenis keras yang diberikan, harus dilengkapi dengan saringan
(strainer). Rugi friksi (friction loss) dan rugi pemasukan (entrance loss) kombinasi slang dan
saringan (strainer) tidak boleh melebihi angka rugi sebagaimana pada Tabel 2
6.7.2 Bila slang hisap jenis lunak yang disediakan, harus memiliki kopling sesuai standar
yang berlaku dan dilengkapi adaptor yang sesuai dengan jenis koplingnya dengan
sambungan outlet hidran pada satu ujungnya dan sambungan jalur masuk (intake) pompa
pada ujung lainnya.
6.8 Peralatan kecil
Daftar peralatan pada butir 6.8.1 dan 6.8.2 dibawah ini harus tersedia di dalam kendaraan
pompa sebelum kendaraan pompa tersebut dioperasikan. Penopang (bracket) atau
kompartemen harus disediakan untuk menata dan melindungi peralatan. Daftar yang rinci
mengenai siapa yang harus melengkapi peralatan tersebut dan cara untuk menata dan
melindungi peralatan tersebut akan disediakan oleh pihak pembeli.
6.8.1* Slang semprot (fire hose) dan pipa pemancar (nozzle)
Slang semprot dan pipa pemancar berikut harus dibawa pada kendaraan pemadam
kebakaran (fire apparatus).
− 200 m diameter 65 mm atau lebih
− 120 m diameter 38 mm
− Satu buah pipa pemancar kombinasi (spray and jet), minimum 757 l/menit
− Dua buah pipa pemancar, minimum 360 l/menit.

16 dari 69
SNI 09-7053-2004

6.8.2* Peralatan lain-lain

Peralatan tambahan lainnya yang harus dibawa di dalam kendaraan pompa adalah sebagai
berikut.
− Satu buah kapak kepala runcing (pick-head axe), berat 2,7 kg yang dipasang pada
penopang (bracket) melekat di kendaraan
− Satu buah Kapak Kepala Rata (flat-head axe), berat 2,7 kg yang dipasang pada
penopang (bracket) melekat di kendaraan
− Sebuah Lembing berkait (pike pole) panjang 2 m dengan ujung berkait atau galah kait
(plaster hook) yang terpasang pada penopang (bracket) melekat di kendaraan
− Dua buah lampu senter (portable lamp) terpasang pada penopang (bracket) yang
melekat di badan kendaraan
− Satu buah alat pemadam api ringan jenis bubuk kimia kering dengan daya pemadaman
(rating) minimum 80 B:C yang dipasang pada penopang (bracket) melekat di kendaraan
− Minimal satu buah alat bantu pernapasan (SCBA) yang memenuhi standar yang berlaku,
dengan jumlah satu untuk tiap tempat duduk, namun tidak kurang dan 4 (empat)
terpasang pada penopang (bracket) yang dilekatkan di badan kendaraan atau tersimpan
di kontainer yang telah disediakan oleh manufaktur
− Satu buah silinder SCBA cadangan untuk setiap SCBA yang dibawa dan setiap silinder
cadangan tersebut terpasang pada penopang melekat kencang di badan kendaraan atau
tersimpan dalam kontainer yang disediakan oleh manufaktur SCBA
− Satu buah kotak Obat P3K
− Dua buah kunci (spanner wrench) pembuka kopling slang hisap yang dipasang pada
penopang melekat kencang di badan kendaraan. Dua buah kunci hidran yang dipasang
pada penopang (bracket) melekat kencang di badan kendaraan
− Dua buah adaptor kopling untuk menghubungkan antara outlet pompa dengan slang
semprot berukuran 65 mm dan yang dipasang pada penopang (bracket) yang melekat di
badan kendaraan
− Dua buah adaptor kopling untuk menghubungkan antara inlet tangki dengan selang
semprot yang berasal dari hydrant berukuran 65 mm dan yang dipasang pada penopang
(bracket) yang melekat di badan kendaraan
− Satu buah sambungan cabang berukuran 2½ * 1½ * 1½ dengan kopling yang telah
disesuaikan dengan kopling slang semprot yang terdapat pada kendaraan
− Satu buah palu karet, cocok digunakan pada sambungan slang hisap, dipasang pada
penopang (bracket) yang melekat kencang di badan kendaraan
− Dua buah selimut api (fire blanket) untuk penyelamatan
− Dua buah ganjal ban yang sesuai dengan diameter ban, ditempatkan di lokasi yang
mudah dicapai
− Empat buah jembatan slang semprot (hose ramp) sesuai ukuran slang 65 mm, dipasang
pada penopang (bracket) yang melekat kencang di badan kendaraan
− Satu buah sekop, dipasang pada penopang (bracket) yang melekat kencang di badan
kendaraan
− Satu buah linggis
− 15 meter tali tambang manila.

7 Casis dan komponen kendaraan

7.1* Kapasitas angkut

Nilai Berat Poros Kotor (GAWR) dan nilai Berat Kombinasi Kotor (GCWR) atau nilai Berat
Kendaraan Kotor (GVWR) dari casis harus mampu untuk mengangkut berat kendaraan
tanpa peralatan, berat tangki air dengan kondisi terisi penuh dan tangki lainnya, berat slang
yang telah ditetapkan, berat personil tanpa peralatan, berat tangga, dan peralatan penunjang

17 dari 69
SNI 09-7053-2004

lainnya yang diizinkan sebesar beban hingga maksimum 908 kg.

7.1.1* Beban personil tanpa peralatan harus dihitung berdasarkan beban per-orang sebesar
70 kg dikalikan dengan jumlah tempat duduk pada kendaraan.

7.1.2 Sertifikat final manufaktur mengenai GVWR atau GCWR bersama dengan sertifikat
GAWR sesuai ketentuan yang berlaku harus dimuat pada label yang tertera di kendaraan.

7.2 Rancangan mesin dan sistemnya

7.2.1* Mesin casis

7.2.1.1* Suatu alat pengatur mesin (governor) atau sistem elektronik pengontrol bahan
bakar harus dipasang untuk membatasi kecepatan maksimum putaran mesin kepada yang
ditentukan oleh manufaktur mesin pada semua kondisi operasi,

7.2.1.2 Alat peringatan yang dapat didengar dan dapat dilihat (visual) yang bisa terlihat dari
posisi pengemudi harus disediakan untuk mengingatkan pengemudi terhadap suhu tinggi
mesin atau kondisi tekanan Rendah pelumas (oil pressure).

7.2.1.3* Sistem penyetop mesin otomatis tidak diperkenankan.

7.2.1.4* Suatu alat pengontrol kecepatan mesin harus dipasang agar memungkinkan
dibolehkan adanya kenaikan kecepatan mesin saat kendaraan diparkir. Bila casis
memungkinkan harus dipasang suatu interlok yang akan mencegah beroperasinya alat
pengontrol kecepatan mesin kecuali jika rem parkir difungsikan secara penuh dan transmisi
berada dalam kondisi netral atau parkir, atau kecuali jika alat pengontrol kecepatan mesin
tersebut digunakan dengan komponen pengendali mesin casis, dalam kondisi manapun
maka harus di-interlok dengan pengoperasian komponen tersebut.

7.2.1.5 Instalasi mesin, sistem transmisi dan kelengkapan yang digerakan oleh mesin dan
transmisi (Power Take Off / PTO dan lain-lain) harus memenuhi rekomendasi instalasi yang
dikeluarkan oleh manufaktur mesin dan transmisi untuk layanan yang dimaksud.

7.2.1.6 Alat pengukur waktu kerja (hourmeter) untuk mesin harus disediakan.

7.2.2 Sistem pendingin

7.2.2.1* Sistem pendingin mesin harus mampu mempertahankan temperatur mesin pada
atau di bawah temperatur maksimum mesin sebagaimana ditetapkan oleh manufaktur pada
semua kondisi operasi di mana kendaraan telah dirancang.

7.2.2.2 Bila penutup otomatis radiator disediakan, maka cara harus diberikan untuk
mengembalikan penutup ke posisi “BUKA” pada saat terjadi kegagalan pada kontrol
otomatis. Kalau hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka harus disediakan kontrol secara
manual.

7.2.2.3 Katup pembuang yang mudah dijangkau harus dipasang pada tempat terendah
dan tempat-tempat lainnya yang diperlukan untuk membuang habis cairan sistem pendingin.
Katup pembuangan harus dirancang sedemikian hingga tidak mudah terbuka secara tiba-
tiba karena vibrasi atau getaran.

7.2.2.4 Radiator harus dipasang sedemikian untuk mencegah terjadinya kebocoran karena
puntiran atau regangan ketika kendaraan beroperasi di atas tanah yang bergelombang.

18 dari 69
SNI 09-7053-2004

7.2.3 Sistem pelumasan

7.2.3.1* Mesin harus dilengkapi dengan saringan pelumas dari jenis yang disetujui
manufaktur mesin.

7.2.3.2 Pipa pengisian pelumas mesin harus cukup besar dan memudahkan pengisian.

7.2.3.3 Suatu pelat permanen di dalam kabin pengemudi harus merinci jumlah dan jenis
cairan yang digunakan dalam kendaraan sebagai berikut :
1) pelumas mesin,
2) pendingin mesin,
3) pelumas transmisi casis,
4) pelumas transmisi pompa,
5) pelumas primer pompa,
6) pelumas gardan,
7) refrigeran sistem A/C,
8) pelumas pendingin udara,
9) pelumas power steering,
10) pelumas untuk mekanisme pengungkit kabin,
11) pelumas kotak transfer,
12) pelumas rak peralatan,
13) pelumas sistem kompresor udara,
14) pelumas sistem generator.

7.2.4 Sistem bahan bakar dan udara

7.2.4.1* Mesin diesel

7.2.4.1.1* Suatu saringan udara harus disediakan dalam sistem pemasok udara (air intake)
mesin. Hambatan pada lubang masukan (inlet) udara tidak boleh melebihi rekomendasi yang
diberikan oleh manufaktur mesin. Inlet udara harus dilindungi sedemikian hingga bisa
mencegah air dan bara-api masuk ke sistem intake udara. Suatu indikator hambatan udara
harus dipasang di dalam kabin dan jelas terlihat dari tempat duduk pengemudi.

7.2.4.1.2* Pipa saluran suplai bahan bakar dan saringan bahan bakar harus memenuhi
rekomendasi manufaktur mesin.

7.2.4.2 Mesin bensin

7.2.4.2.1 Suatu saringan udara harus disediakan pada sistem udara intake mesin.
Pembatasan inlet udara harus tidak melebihi rekomendasi yang diberikan oleh manufaktur.
Inlet udara harus dilindungi agar dapat mencegah air dan bara-api memasuki sistem intake
udara. Suatu indikator hambatan udara harus dipasang di dalam ruang pengemudi (cabin)
dan jelas terlihat dari tempat duduk pengemudi.

7.2.4.2.2 Pipa saluran bahan bakar dan saringan (filter) harus memenuhi rekomendasi
pihak manufaktur mesin. Filter harus dari jenis yang mudah dirawat dan dipasang pada
lokasi yang mudah dijangkau. Bilamana dua atau lebih pipa bahan bakar dipasang, maka
harus disediakan pula pompa bahan bakar terpisah yang bekerja secara paralel dengan
dilengkapi katup searah (check valves) dan peralatan saringan. Pipa saluran bahan bakar
harus ditempatkan atau diproteksi sedemikian hingga tidak terkena panas yang tinggi dari
setiap bagian sistem pembuangan gas (knalpot). Pipa harus dilindungi terhadap kerusakan
mekanis. Sistem suplay bensin harus mencakup pompa bahan bakar listrik yang
ditempatkan di dalam atau dekat dengan tangki bahan bakar.

19 dari 69
SNI 09-7053-2004

7.2.5* Sistem gas buang (knalpot)

Pipa gas buang dan lubang keluaran (outlet) harus ditempatkan atau diberi pelindung
sehingga setiap bagian kendaraan pemadam kebakaran dan perlengkapannya terlindungi
dari panas yang tinggi. Lubang keluaran gas buang harus diarahkan jauh dari posisi
operator. Bilamana kendaraan dlengkapi dengan stabilizer, maka lubang keluaran gas buang
harus diarahkan jauh dari daerah sentuh (contact area) antara stabilizer dan tanah. Alat
peredam suara harus disediakan. Tekanan balik gas buang tidak boleh melebihi batas yang
ditentukan oleh manufaktur mesin. Dimana bagian sistem pembuangan menonjol sehingga
mungkin dapat menimbulkan luka terhadap personil, maka perlu diberikan pelindung atau
pengaman.

7.3 Komponen kendaraan

7.3.1 Sistem rem

7.3.1.1 Kendaraan harus dilengkapi dengan sistem rem anti slip pada semua roda
(all-wheel antilock braking sistem) apabila sistem tersebut tersedia dari manufaktur casis.

7.3.1.2* Rem kaki dan rem parkir harus merupakan sistem yang berdiri sendiri dan terpisah.
Semua rem harus selalu dapat dijangkau untuk penyetelan.

7.3.1.3 Katup aplikasi rem kaki, bilamana digunakan harus dapat mengoperasikan semua
rem kaki pada kendaraan atau kendaraan kombinasi.
7.3.1.4* Bilamana kendaraan pemadam kebakaran dilengkapi dengan sistem rem angin
(air-actuated bracking sistem), maka sistem tersebut harus mencakup unsur-unsur berikut:
a. Pembuang (ejector) uap air otomatis,
b. Pengering udara,
c. Katup proteksi tekanan untuk mencegah pemakaian semua kelengkapan yang
menggunakan udara kecuali penghapus kaca dan kemudi , bila tersedia, ketika tekanan
udara sistem turun di bawah 552 kPa,
d. Sebuah bagian dalam sistem reservoir udara yang bisa secara cepat memulihkan
tekanan kembali sedemikian sehingga bila sistem udara kendaraan telah kosong,
kendaraan dapat bergerak dalam waktu 60 detik sejak mesin dihidupkan (start). Sistem
pembangkit cepat ini harus mampu memberikan tekanan udara cukup sehingga
kendaraan tidak mengalami hambatan rem dan bisa berhenti pada kondisi operasi yang
dikehendaki setelah waktu pembangkitan 60 detik tersebut. Pada suatu casis yang tidak
dapat dilengkapi dengan sistem pembangkit rem udara, maka diperkenankan pemakaian
kompresor elektrik otomatis pada kendaraan yang dilengkapi dengan sambungan listrik
yang dapat terlepas secara otomatis atau sambungan pipa udara bertekanan dari stasiun
pemadam kebakaran yang dapat terlepas secara otomatis agar dapat mempertahankan
tekanan udara operasi secara penuh saat kendaraan dalam keadaan tidak jalan.

7.3.1.5* Rem parkir harus mengendalikan roda belakang atau semua roda dan harus dari
jenis mekanis positif. Sistem rem parkir harus mampu menahan kendaraan dalam kondisi
beban penuh pada sedikitnya 20 % tanjakan. Suatu alat pengunci untuk mempertahankan
tekanan yang diberikan pada sistem rem kaki hidrolis atau penggunaan posisi parkir (park)
pada transmisi otomatis tidak boleh menggantikan fungsi sistem rem parkir yang terpisah.

7.3.1.6 Rem kaki harus mampu menghentikan kendaraan pemadam kebakaran yang
bermuatan penuh untuk berhenti sempurna dari kecepatan awal 32 km/jam dalam jarak tidak
lebih dari 10,7 m pada suatu permukaan jalan yang keras, rata, dan bebas dari kerikil,
minyak atau gemuk (grease).
7.3.1.7* Semua kendaraan pemadam kebakaran dengan berat kotor kendaraan GVWR
16.330 kg atau lebih harus dilengkapi dengan sistem rem pembantu.

20 dari 69
SNI 09-7053-2004

7.3.2 Suspensi dan roda

7.3.2.1* Setiap ban dan pelek kendaraan tidak boleh membawa beban melampaui beban
yang direkomendasikan oleh manufaktur ban sebagaimana tercantum pada butir 7.1.

7.3.2.2 Gardan dan tiap komponen selain roda dan ban harus berjarak sedikitnya 203 mm
dari permukaan jalan.

7.3.2.3* Suatu sudut datang dan sudut pergi sebesar minimal 8° harus dipertahankan pada
bagian depan dan belakang kendaraan ketika kendaraan dimuati seperti tercantum pada
butir 7.1.

7.3.2.4 Untuk kendaraan yang tidak berpenggerak roda depan mekanisme kemudi harus
mampu untuk membelokkan roda depan pada sudut sekurang-kurangnya 30° baik ke kanan
maupun ke kiri, dan paling tidak 28° untuk yang berpenggerak roda depan. Power steering
atau power assisted steering harus disediakan.

7.3.3* Transmisi

Transmisi harus teruji untuk penggunaan berat dan dirancang untuk menyesuaikan torsi dan
kecepatan mesin dengan kebutuhan beban. Transmisi harus memberikan bagi pengemudi
pilihan gigi individu atau slang gigi yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan kinerja
standar ini.

7.3.4 Tangki bahan bakar

7.3.4.1* Kapasitas bahan bakar harus cukup untuk menjalankan pompa selama 2½ jam
pada kapasitas nominal pompa pada tekanan bersih pompa 1035 kPa (150 psi), dan pada
kondisi hisap yang dispesifikasikan dalam standar ini, atau untuk beroperasi pada 60%
tenaga kuda kotor mesin (gross engine horse power), tergantung yang mana yang lebih
besar. Lubang pengisian tangki harus ditandai dengan label yang menunjukkan jenis bahan
bakar yang benar.

7.3.4.2 Bila dua tangki bahan bakar disediakan, sistem bahan bakar harus tidak
memerlukan intervensi manual untuk menyalurkan bahan bakar ke mesin. Sebuah alat
pengukur bahan bakar tunggal harus menunjukkan proporsi jumlah proposional bahan bakar
di dalam sistem bahan bakar.

7.3.4.3 Pipa pengisian tangki harus ditempatkan sedemikian sehingga terlindung dari
kerusakan mekanis selama pemakaian normal kendaraan pemadam. Tangki dan pipa
pengisian keduanya harus ditempatkan sedemikian sehingga tidak terkena pancaran panas
yang diakibatkan oleh sistem saluran gas buang atau sumber penyalaan. Tangki harus
dipasang hingga dapat dipindahkan untuk reparasi. Suatu cara membuang/mengeringkan isi
tangki tanpa memindahkan tangki harus disediakan.

7.3.5* Kait penarik

Kait atau mata kait depan dan belakang harus dilekatkan ke struktur rangka kendaraan untuk
memudahkan penarikan atau menyeret kendaraan (bukan pengangkatan) tanpa
menimbulkan kerusakan.

21 dari 69
SNI 09-7053-2004

8 Sistem kelistrikan tegangan rendah dan alat peringatan

8.1* Umum

Setiap sistem kelistrikan 12 volt atau 24 volt atau alat peringatan yang dipasang di
kendaraan pemadam kebakaran harus cocok dengan fungsi yang dikehendaki dan harus
memenuhi persyaratan dalam bagian ini.

8.2 Pengawatan (wiring)

Semua pengawatan sirkit listrik yang disuplai dan dipasang oleh manufaktur kendaraan
harus memenuhi standar ini.
Penurunan tegangan pada semua pengawatan dari sumber daya ke alat yang
menggunakannya tidak boleh melebihi 10%.

8.2.1 Konstruksi pengawatan dan kelengkapannya

8.2.1.1 Kabel dan kawat yang diisolasi

Semua kabel dan kawat yang diisolasi harus memenuhi standar dan ketentuan yang
berlaku.

8.2.1.1.1 Semua penghantar konduktor harus dikonstruksi sesuai standar yang berlaku.

8.2.2 Penutup luar konduktor harus dari anyaman tahan uap air. Penutup ini harus memiliki
kapasitas nilai nominal kontinyu minimal 900 C kecuali jika diisyaratkan untuk tahan terhadap
temperatur tinggi.

8.2.3 Penutup luar kabel harus tahan uap air dan harus memiliki kapasitas nominal
kontinyu minimal 90° C kecuali bila disyaratkan untuk tahan terhadap temperatur lebih tinggi.

8.2.4 Sambungan dan terminasi pengawatan harus menggunakan metode yang


memberikan sambungan positif mekanikal dan elektrikal dan harus dipasang sesuai dengan
petunjuk manufaktur peralatan.

8.2.5 Pengawatan harus diikat atau ditahan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan
oleh gesekan, dan diproteksi terhadap suhu panas (kontaminasi cairan kimia dan faktor
lingkungan lainnya).

8.2.6* Pengawatan harus ditandai secara unik minimal pada setiap 0,6 m bertanda khusus
atau dengan kode warna. Identifikasi harus mengacu pada diagram pengawatan.

8.2.7 Sirkit harus dilengkapi dengan alat pengaman arus lebih tegangan rendah yang
sesuai. Alat pengaman tersebut harus mudah dijangkau dan dilindungi terhadap panas yang
melebihi temperatur kerja alat, kerusakan mekanik dan percikan/semprotan air. Proteksi
sirkit dapat diwujudkan melalui pemakaian sikring, pemutus sirkit, sambungan lebur atau
jenis elektronik yang setara. Bila jenis mekanikal yang digunakan maka harus mengikuti
standar dan ketentuan yang berlaku.

8.3 Suplai daya

8.3.1* Dalam kendaraan harus disediakan alternator listrik 12 volt atau 24 volt, yang
memiliki keluaran minimum dalam keadaan mesin stasioner (idle) untuk memenuhi beban
listrik kontinyu minimum dari kendaraan seperti diuraikan pada butir 8.3.2, pada suhu
ruangan mesin 930C, dan harus dilengkapi dengan regulator otomatis penuh.

22 dari 69
SNI 09-7053-2004

8.3.2 Beban listrik kontinyu minimum harus merupakan total arus yang diperlukan guna
mengoperasikan pada moda stasioner selama keadaan darurat secara serempak untuk:
a Mesin propulsi dan transmisi,
b Sistem lampu kendaraan,
c Radio dengan 10% transmisi dan 90% menerima. Untuk maksud perhitungan dan uji
coba, ditetapkan sebuah nilai 5 ampere kontinyu,
d Penerangan yang diperlukan untuk menghasilkan pencahayaan 11 lux pada semua
landasan tempat berjalan pada kendaraan, dan pada titik di tanah tempat keluar dari
kendaraan, 54 lux pada semua panel kontrol dan instrumen, dan 50% dari total beban
penerangan kompartemen,
e Sistem peringatan optis minimum (Optical warning system) yang dipersyaratkan di dalam
butir 8.7.1 dimana kendaraan memblokir jalan,
f Arus listrik kontinyu yang diperlukan untuk secara bersama-sama mengoperasikan setiap
pompa kebakaran dan pompa hidrolik,
g* Peralatan peringatan dan beban listrik lainnya yang ditetapkan oleh pembeli untuk fungsi
penting kendaraan.

8.4* Batere

8.4.1 Batere harus dari tipe siklus tinggi (high-cycle).

8.4.2 Sistem batere harus bisa start mesin kembali setelah memberikan beban listrik
kontinyu minimal pada sedikitnya 10 menit dengan mesin mati. Minimum beban listrik
kontinyu tidak boleh menguras sistem batere lebih dari 50% dari kapasitas cadangan
minimal selama periode 10 menit tersebut.
8.4.3 Kapasitas nominal (Ampere hour) sistem batere harus memenuhi atau melampaui
rekomendasi ampere hour minimal dari manufaktur mesin.

8.4.4 Batere harus dipasang sedemikian untuk mencegah pergerakan atau perpindahan
selama operasi kendaraan dan harus dilindungi terhadap percikan air.

8.4.4.1 Batere harus mudah dijangkau untuk pemeriksaan, pengujian dan perawatan.

8.4.4.2 Bilamana batere terpasang dalam kompartemen tertutup, maka kompartemen


harus diberi ventilasi untuk mencegah penumpukan panas dan uap yang eksplosif (explosive
fumes). Batere pun harus diproteksi terhadap vibrasi/getaran dan temperatur yang
melampaui rekomendasi manufaktur.

8.5 Alat penghidup mesin (starter)

8.5.1 Suatu alat penghidup mesin listrik harus disediakan untuk mesin kendaraan.

8.5.2 Bilamana alat penghidup mesin beroperasi pada beban maksimum, penurunan
tegangan konduktor antara batere dan alat penghidup mesin harus memenuhi persyaratan
atau standar yang berlaku.

8.6 Paparan panas (temperature exposure). Setiap alternator, alat penghidup mesin
listrik, pengawatan penyalaan, distributor atau kumparan penyalaan (coil ignition) harus
tahan terhadap uap air dan harus diproteksi dari temperatur yang melebihi batas
rekomendasi manufaktur komponen.

8.7 Peralatan peringatan optis. Setiap kendaraan harus mempunyai sistem alat
peringatan optis yang memenuhi atau melampaui persyaratan dalam standar ini.

23 dari 69
SNI 09-7053-2004

8.7.1* Alat peringatan optis harus dipasang pada setiap kendaraan dan disambungkan ke
sistem listrik kendaraan sesuai dengan persyaratan standar ini dan persyaratan yang
diberikan oleh manufaktur alat. Sistem peringatan optis harus terdiri dari bagian atas dan
bagian bawah.

8.7.2 Suatu saklar utama untuk peringatan optis yang menyalurkan energi ke semua alat
peringatan optis harus disediakan.

8.7.3 Sistem peringatan optis yang dipasang pada kendaraan harus mampu memberikan
2 (dua) buah jenis sinyal peringatan yang terpisah. Satu moda sinyal adalah untuk
pengemudi kendaraan lainnya dan pejalan kaki yang menandakan bahwa kendaraan sedang
menerima panggilan adanya kebakaran, sedang jenis kedua adalah bahwa kendaraan
berhenti dan memblokir jalan.

8.7.4 Sistem peringatan optis harus dibuat atau diatur sedemikian sehingga menghindari
proyeksi cahaya, baik secara langsung maupun lewat kaca ke kompartemen
kemudi/penumpang.

8.7.5 Sistem peringatan optis bagian depan harus ditempatkan sedemikian untuk menjaga
pemisahan maksimum dari lampu utama.

8.7.6 Frekuensi kedip (flash rate)

8.7.6.1 Frekuensi Kedip (flash rate) minimum untuk setiap sumber optis haruslah
75 kedipan/menit dan jumlah minimum kedipan pada setiap pengukuran haruslah
150 kedipan/menit.

8.7.6.2 Warna atau kombinasi warna yang diperbolehkan harus mengikuti ketentuan yang
berlaku.

8.7.7* Persyaratan untuk kendaraan besar

Bilamana kendaraan pemadam memiliki jarak panjang antara bumper ke bumper adalah
6,7 m atau lebih atau memiliki pusat optis pada alat peringatan optis lebih dari 2,4 m di atas
permukaan tanah, persyaratan 8.7.7.1 sampai dengan 8.7.7.2 di bawah ini berlaku.

8.7.7.1 Alat peringatan optis yang berada pada bagian atas harus dipasang tinggi dan
dekat dengan titik ujung kendaraan pemadam kebakaran untuk menentukan batas
kendaraan.

8.7.7.2 Untuk menetapkan jarak aman bagi kendaraan, pusat optis bawah di bagian depan
kendaraan harus dipasang di depan dari garis tengah sumbu depan dan berjarak sedekat
mungkin dengan sudut bagian depan kendaraan. Sedangkan pusat optis bawah yang
berada dibagian belakang kendaraan harus dipasang di belakang garis tengah sumbu
belakang dan sedekat mungkin dengan ujung bagian belakang kendaraan. Pusat optis
bawah harus diantara 457 mm (18 in) dan 1575 mm (62 in) di atas tanah.

8.7.8* Persyaratan untuk kendaraan kecil

Apabila kendaraan mempunyai jarak bemper ke bemper tidak kurang dan 6,7 m dan
mempunyai pusat optis dan semua alat peringatan optis pada 2,4 m atau kurang di atas level
tanah, maka persyaratan 8.7.8.1 sampai dengan 8.7.8.2 di bawah ini berlaku.

24 dari 69
SNI 09-7053-2004

8.7.8.1 Alat peringatan optis level atas harus dipasang tinggi namun tidak melebihi 2,4 m
pada pusat optis. Alat-alat tersebut bisa digabungkan pada satu atau lebih ruangan dan
diperbolehkan untuk dipasang pada atap kendaraan atau lokasi lainnya yang leluasa.

8.7.8.2 Satu atau lebih alat-alat peringatan optis yang mempunyai level lebih rendah harus
dipasang dekat dengan setiap sudut kendaraan dengan pusat optisnya berjarak 457 mm dan
1220 mm di atas permukaan tanah.

8.8 Peralatan peringatan suara yang dapat didengar

8.8.1* Perlengkapan peringatan suara yang dapat didengar dalam bentuk sebuah klakson
mobil dan sebuah sirene elektrik atau elektronik harus disediakan. Sirine harus mempunyai
sertifikat sesuai ketentuan atau standar yang berlaku. Alat membunyikan sirine harus
terjangkau pengemudi.

8.8.2 Bilamana peralatan peringatan suara tersebut disediakan, maka klakson kendaraan,
sirene elektronik, sirene listrik dsb, harus dipasang sedapat mungkin pada lokasi yang
rendah dan di depan kendaraan. Alat peringatan suara tersebut tidak boleh dipasang di atas
atap kendaraan.
8.9 Penerangan di tempat kerja
8.9.1 Area kerja yang terletak langsung di belakang kendaraan berukuran 3 m x 3 m harus
diberi pencahayaan minimal 33 lux.

8.9.2 Kendaraan harus dilengkapi dengan penerangan yang mampu memberikan


pencahayaan minimum 11 lux pada daerah tanah dalam jarak 762 mm dari sisi kendaraan
dalam daerah yang dirancang untuk personil untuk naik atau turun dari kendaraan ke tanah.
Penerangan yang dirancang untuk memberikan pencahayaan pada area di bawah posisi
pintu keluar sopir dan awak harus menyala secara otomatis saat pintu keluar dibuka. Semua
penerangan yang lain harus dihidupkan lewat saklar.

8.9.3 Kendaraan harus mempunyai penerangan yang cukup untuk memberikan


pencahayaan minimum rata-rata sebesar 11 lux di kompartemen awak kendaraan,
kompartemen mesin, ruang pompa, dan di tiap ruang peralatan tertutup yang berukuran
lebih besar dari 0,11 m3 dan mempunyai bukaan lebih besar dari 92.900 mm2,serta pula di
ruang kerja, anak tangga dan landasan jalan.

8.9.4 Sakelar untuk semua lampu penerangan di ruang kerja harus mudah dijangkau.
Lampu harus diatur untuk meminimasi terjadinya kerusakan yang tidak disengaja.

8.10 Lampu tanda bahaya/peringatan. Sebuah lampu kedip warna merah atau lampu
rotasi yang ditempatkan di kompartemen kemudi harus menyala secara otomatis bila rem
parkir kendaraan tidak sepenuhnya dioperasikan/digunakan dan kondisi berikut terjadi:
1) Pintu ruang alat dan penumpang terbuka,
2) Rak tangga atau alat tidak dalam posisi teratur tersimpan,
3) Sistem stabilisasi tidak dalam posisi yang dikehendaki,
4) Menara lampu dalam posisi menjulur keatas,
5) Setiap alat lain yang dibuka, diperpanjang atau dipasang yang dapat menimbulkan
bahaya atau cenderung mengakibatkan kerusakan terhadap kendaraan bila kendaraan
bergerak.
Lampu harus diberi tanda dengan tulisan yang terbaca sebagai berikut.
JANGAN MENJALANKAN KENDARAAN
BILA LAMPU MASIH MENYALA

25 dari 69
SNI 09-7053-2004

Alarm mundur (alarm back-up). Suatu alarm mundur (alarm back-up) elektronik atau elektrik
harus disediakan yang memenuhi persyaratan atau standar yang berlaku.

8.11 Lampu untuk berhenti, belakang dan sein. Kendaraan harus dilengkapi dengan
lampu tanda rem (stop), lampu belakang dan lampu sein sesuai persyaratan. Kelengkapan
lain atau penunjang harus dipasang pada penopang (bracket) sehingga tidak menghalangi
atau menghalangi lampu belakang, lampu berhenti di belakang dan lampu sein. Lampu sein
harus mudah terlihat dari depan, samping dan belakang kendaraan. Pada kendaraan yang
memiliki panjang 10 m atau lebih, sein harus dipasang kira-kira di bagian tengah kendaraan
pada ketinggian yang cukup.

8.12 Dokumentasi

Pada saat penyerahan, pihak manufaktur harus memberikan hal-hal berikut.


1) Dokumentasi hasil uji kinerja kelistrikan.
2) Laporan analisis beban (laporan tertulis), termasuk hal-hal berikut:
a. Pelat nama nominal dari alternator
b. Nominal alternator pada kondisi yang diuraikan oleh butir 8.3.1
c. Tiap beban komponen sebagaimana diuraikan pada butir 8.3.2 mengandung
beban kontinyu minimal
d. Beban tambahan, bila ditambahkan kepada beban kontinyu minimal, menentukan
beban tersambung total

9 Area tempat pengemudi dan awak kendaraan

9.1 Umum

9.1.1* Setiap posisi awak kendaraan harus diberi tempat duduk dan sabuk keselamatan
yang dirancang untuk mengakomodir orang/personil dengan ataupun tanpa pakaian
pelindung diri. Setiap posisi awak kendaraan harus dalam kabin tertutup. Bahan yang
digunakan dalam kompartemen awak dan pengemudi harus memenuhi ketentuan dan
standar keselamatan yang berlaku.

9.1.2 Tanda peringatan yang berbunyi: PENUMPANG HARUS DUDUK DAN


MENGENAKAN SABUK KESELAMATAN SAAT KENDARAAN BERJALAN, harus
disediakan.
Tanda tersebut harus dapat terlihat dari tiap posisi tempat duduk. Suatu label yang
menyatakan jumlah personil yang dirancang dibawa kendaraan harus ditempatkan di area
yang mudah terlihat oleh pengemudi.
9.1.3 Pada setiap lokasi tempat duduk, tingkat kebisingan maksimum yang diperkenankan
adalah 85 dBA tanpa ada peralatan peringatan yang dioperasikan.
9.1.4 Semua pegangan (handle) pintu interior kompartemen, ruang kemudi dan awak
harus dirancang dan dipasang untuk melindungi terhadap pembukaan tidak hati-hati atau tak
sengaja.
9.1.5 Tinggi kepala pada setiap tempat duduk minimum 940 mm (37 in) dari tempat duduk
ke langit-langit dengan kursi tertekan 25 mm (1 in). Setiap ruang tempat duduk harus
memiliki lebar minimal 560 mm (22 in) pada tinggi bahu. Ukuran jok harus memiliki lebar
minimum 457 mm (18 in) dan jarak minimum 381 mm (15 in) dari depan busa hingga muka
sandaran tempat duduk. Tinggi sandaran minimum 457 mm (18 in.) dan lebarnya minimum
457 mm (18 in). Bantal sandaran diperbolehkan untuk diberi belahan untuk menampung
SCBA dan penopangnya. Bila bantal sandaran diberi belahan, maka sandaran kepala harus
disediakan.
26 dari 69
SNI 09-7053-2004

9.1.6* Bila unit-unit SCBA dipasang dalam kompartemen pengemudi atau awak kendaraan,
maka perlu disediakan sarana mekanis untuk memegang alat SCBA dalam posisi tersimpan
bila terkena gaya sebesar 9-G pada saat terjadi tabrakan atau pengereman mendadak.

9.1.7 Semua peralatan yang diperlukan untuk digunakan selama tindakan darurat harus
terpasang aman. Semua peralatan yang tidak diperlukan dalam penanggulangan keadaan
darurat kecuali unit SCBA, tidak diperkenankan dipasang di area pengemudi atau area awak
kendaraan kecuali bilamana peralatan tersebut tersimpan dalam kompartemen tertutup dan
terkunci yang mampu menahan isinya bilamana terkena gaya 9-G pada arah longtudinal
kendaraan atau gaya sebesar 3-G pada arah lainnya, atau peralatan dipasang dengan
penopang yang dapat menahan peralatan dengan gaya sebesar tersebut diatas.

9.1.8 Anak tangga dan pegangan tangga akses yang memenuhi persyaratan 10.7.1 hingga
10.7.3 dan butir 10.8 harus disediakan sesuai keperluan untuk akses ke kompartemen
pengemudi dan awak kendaraan.

9.1.9 Bilamana kompartemen pengemudi dan kompartemen awak kendaraan terpisah,


sehingga tidak memungkinkan komunikasi dua arah maka harus disediakan alat komunikasi
dua arah, bel atau interkom.

9.2 Sistem penjungkit kabin. Apabila kendaraan memiliki sistem penjungkit kabin,
maka sistem tersebut harus memenuhi persyaratan 9.2.1 hingga 9.2.3.

9.2.1 Apabila pengoperasian sistem penjungkit kabin ini dilakukan melalui sarana hidrolis,
maka sistem harus dilengkapi dengan alat pencegah gerakan kabin tersebut pada saat
terjadi kegagalan atau kerusakan slang hidrolik.

9.2.2 Pengendalian mekanisme penjungkit kabin harus disediakan untuk menahan kabin
pada posisi terangkat penuh. Apabila kabin bisa diangkat ke posisi sedang, maka sarana
mekanik juga harus disediakan untuk menahan kabin pada posisi sedang tersebut.

9.3* Kompartemen pengemudi

9.3.1* Suatu kompartemen atau kabin pengemudi yang tertutup dengan kapasitas tempat
duduk minimal 2 (dua) orang harus disediakan.

9.3.2 Tempat duduk pengemudi harus bisa distel atau diatur kenyamanannya oleh
pengemudi.

9.3.3* Kaca spion pada sisi penumpang harus dipasang sedemikian sehingga pengemudi
memperoleh gambar jelas dari kaca tersebut saat penumpang berada pada posisi duduk
normal.

9.3.4 Instrumen dan sarana kontrol berikut harus dipasang di ruang kemudi dan harus
dapat diidentifikasi dan dilihat oleh pengemudi saat duduk. Sarana kontrol dan sakelar yang
dioperasikan oleh pengemudi ketika kendaraan melaju harus dalam jangkauan pengemudi.
Instrumen atau sarana kontrol tersebut meliputi:
1) Speedometer,
2) Tachometer,
3) Odometer,
4) Indikator atau pengukur tekanan oli,
5) lndikator atau pengukur temperatur mesin,
6) Pengukur temperatur transmisi otomatis, bila berlaku,
7) Voltmeter,
8) Lampu indikator bahaya,

27 dari 69
SNI 09-7053-2004

9) Pengukur tekanan udara, bila diperlukan,


10) Kontrol dan lampu indikator sinyal belok,
11) Lampu utama (headlight),
12) Saklar dan indikator lampu utama jauh,
13) Pengukur jumlah bahan bakar,
14) Saklar starter utama (bila kunci disediakan, hal tersebut tidak dapat dipindahkan dari
interior kap),
15) Saklar lampu peringatan tanda bahaya dan sirene,
16) Saklar utama beban listrik ,
17) Lampu indikator “Batere Hidup” (“Battery On”),
18) Penghapus kaca dan kontrolnya,
19) Indikator PTO aktif, bila ada,
20) Tanda tinggi kendaraan.

10 Badan kendaraan (body), kompartemen, dan pemasangan peralatan

10.1 Kompartementasi

10.1.1* Setiap kompartemen luar tertutup (eksternal) harus tahan cuaca, berventilasi dan
mempunyai sarana pembuangan air.

10.1.2 Semua sambungan atau pengawatan listrik dalam kompartemen harus dilindungi
terhadap kerusakan mekanis yang diakibatkan oleh penyimpanan peralatan di dalam
kompartemen.

10.2* Tempat untuk radio. Suatu tempat terlindung harus disediakan untuk instalasi
peralatan radio.

10.3 * Penempatan peralatan

Tempat peralatan atau kompartemen peralatan harus disediakan untuk semua alat,
perlengkapan dan benda-benda lain yang dibawa di kendaraan. Tempat peralatan harus
dipasang dan dirancang sedemikian sehingga peralatan tersebut selalu berada ditempatnya
pada semua kondisi operasi kendaraan. Di samping itu semua alat dan perlengkapan harus
mudah dijangkau.
10.4 Rak peralatan bermotor
Bila disediakan rak peralatan yang memakai motor, harus memenuhi persyaratan dalam
butir ini.
10.4.1 Rak peralatan harus dibuat dari bahan yang mampu untuk membawa peralatan
yang dipasang atau ditempatkan pada rak tersebut.

10.4.2 Suatu pengunci harus disediakan pada rak tersebut untuk tetap menahan
peralatan ditempatnya saat kendaraan bergerak atau berjalan. Suatu interlok harus
disediakan untuk mencegah pengoperasian rak peralatan kecuali rem parkir kendaraan telah
diaktifkan.

10.4.3 Peralatan kontrol harus disediakan pada suatu posisi sehingga operator dapat
secara visual mengikuti pergerakan rak peralatan.

10.4.4 Suatu sinyal visual harus disediakan pada posisi pengemudi untuk menunjukkan
bahwa rak peralatan dalam posisi bergerak atau dalam posisi di bawah dan bahwa rem
parkir belum diaktifkan.

28 dari 69
SNI 09-7053-2004

10.4.5 Lampu kedip mengarah ke depan dan belakang harus dipasang pada rak
peralatan dan harus menyala bilamana rak peralatan dalam posisi keluar.

10.4.6 Ujung terluar rak peralatan yang menonjol melewati badan kendaraan harus
mempunyai bahan reflektif untuk indikasi bahaya dan gangguan.

10.5* Penyimpanan SCBA

Bila kendaraan pemadam kebakaran dilengkapi dengan unit SCBA maka penyimpanannya
harus diatur sedemikian untuk mencegah kerusakan, luka ataupun pengikisan SCBA oleh
peralatan lain yang disimpan di kendaraan.

10.5.1 Apabila sebuah SCBA unit atau silinder disimpan dalam kompartemen pengemudi
atau awak kendaraan, pemasangannya harus memenuhi persyaratan 9.1.6. Alat penopang
yang mengelilingi silinder harus dari jenis yang dapat dikunci, dengan pelepas yang
terjangkau oleh pemakai.

10.5.2 Apabila tabung SCBA dipasang pada posisi vertikal dengan katup di bawah, maka
tabung harus disangga dengan kait atau penopang (bracket) untuk mencegah gerakan
tabung melorot ke bawah.

10.5.3 Alat penahan, penjepit dsb. tidak boleh menimbulkan kerusakan pada SCBA
termasuk kerusakan terhadap cat tabung sementara tabung SCBA dipasang, disimpan atau
dipindahkan.

10.5.4 Area penyimpan SCBA harus berventilasi

10.5.5* Penyimpanan vertikal silinder SCBA dalam tabung

10.5.5.1 Pada alas tabung penyimpan harus ada karet, plastik, atau alat untuk mencegah
keausan pada silinder dan untuk mencegah kerusakan bila silinder jatuh secara tidak
sengaja ke posisi penyimpanan.

10.5.5.2 Setiap tabung penyimpan harus memiliki saluran pembuangan untuk mencegah
akumulasi uap air.

10.5.6* Penyimpanan horizontal dan silinder SCBA

10.5.6.1 Rak penyimpan atau susunan tabung harus dirancang untuk mencegah silinder
meluncur keluar secara tidak sengaja dari rak penyimpan atau tabung, dan harus dipasang
sedemikian untuk mencegah silinder mengenai atau menggesek pintu kompartemen dengan
cara mencegah gerakan atau perpindahan saat transit.

10.5.6.2 Dinding belakang dari rak atau tabung penyimpan SCBA harus ditutupi dengan
karet, plastik atau material sejenis untuk mencegah keausan silinder.

10.6 Akses ke pompa dan pemipaan

10.6.1 Sebuah panel akses harus disediakan untuk memberikan akses cepat ke pompa
dan pemipaan. Panel harus berukuran minimum 290.000 mm2 (450 in2) dan tidak satupun
dimensi berukuran kurang dari 457 mm (18 in).

10.6.2 Panel akses tersebut harus mampu untuk dibuka atau dipindahkan tanpa
menggunakan alat khusus.

29 dari 69
SNI 09-7053-2004

10.6.3 Ruang bebas yang dipersyaratkan oleh manufaktur pompa untuk melakukan
pemeliharaan dan pembongkaran di atas kendaraan harus disediakan.

10.7 Permukaan untuk tangga berdiri, dan berjalan

10.7.1* Anak tangga, landasan atau tangga yang dipasang permanen harus disediakan
sehingga Petugas Pemadam Kebakaran memiliki akses ke semua area kerja dan area
penyimpanan di kendaraan. Tinggi langkah maksimum anak tangga harus tidak melebihi 457
mm (18 in), kecuali anak tangga pertama dari tanah tidak boleh melebihi 610 mm (24 in.).
Bila jarak dari tanah ke pijakan pertama, landasan atau tangga lebih dari 610 mm (24 in.)
maka harus disediakan suatu sarana akses tambahan yang permanen atau tangga
permanen. Sarana akses tambahan permanen tersebut harus terdiri dari : pijakan, landasan
atau tangga. Tinggi dari tanah ke pijakan pertama harus ditentukan dengan kendaraan pada
tanah datar. Semua pijakan harus mempunyai luas minimum 22.580 mm2 (35 in.2), lebar
minimum 127 mm (5 in.) dan harus disusun untuk memberikan jarak bebas paling tidak 203
mm (8 in.) antara pinggir luar pijakan dan setiap halangan. Semua pinggir luar dari landasan
harus berjarak 203 mm (8 in.) ke semua halangan. Semua tangga harus mempunyai jarak
bebas paling tidak 178 mm (7 in.) antara setiap anak tangga dan badan kendaraan atau
halangan lain.

10.7.2 Semua pijakan, landasan atau tangga, harus mampu menahan beban statis
minimum 227 kg (500 lb) tanpa deformasi.

10.7.3* Semua permukaan eksterior yang digunakan untuk naik, berdiri dan berjalan harus
mempunyai permukaan anti slip meskipun dalam kondisi basah dan berminyak.

10.7.4 Suatu label harus ditempatkan pada kendaraan pada area anak tangga belakang
dan pada setiap permukaan untuk berjalan, apabila ada. Label tersebut mengingatkan
bahwa berada di area tersebut saat kendaraan melaju adalah berbahaya.

10.8* Pegangan akses

Pegangan akses harus disediakan pada setiap pintu masuk ke kompartemen atau ruang
pengemudi serta ruang awak kendaraan (crew) dan pada setiap posisi di mana terdapat
anak tangga atau tangga untuk naik ke atas. Pegangan akses harus memiliki diameter
antara 25 mm hingga 41 mm dan memiliki jarak bebas minimum 51 mm ke setiap
permukaan. Semua pegangan akses harus dirancang dan dipasang untuk mengurangi
kemungkinan licin dan menghindari kerobekan slang, peralatan ataupun pakaian.

10.9 Pelapisan logam (metal finish)

10.9.1 Semua permukaan metal terbuka yang tidak dilapisi atau bukan baja tahan karat
harus dibersihkan dan harus dicat atau dilapisi. Cat atau pelapis termasuk pelapis primer
harus diterapkan sesuai rekomendasi manufaktur. Pembeli harus membuat spesifikasi bila
komponen badan kendaraan bukan metal harus di cat, dan untuk setiap penamaan,
penomoran, atau garis dekoratif .

10.9.2 Suatu garis reflektif harus dilekatkan di sekeliling kendaraan. Garis atau kombinasi
garis harus memiliki kelebaran minimal 100 mm. Paling sedikit 50% dari kabin dan panjang
badan pada setiap sisi, dan 50% lebar belakang dan paling sedikit 25% lebar depan
kendaraan harus memiliki permukaan yang reflektif. Rancangan grafis yang memenuhi
persyaratan reflektifitas dari butir ini diperbolehkan untuk menggantikan semua atau
sebagian dari bahan garis yang dipersyaratkan bila rancangan atau kombinasinya mencakup
paling tidak panjang keliling yang sama.

30 dari 69
SNI 09-7053-2004

10.10* Tempat penyimpan slang

10.10.1 Rak dan ruang tempat penyimpanan slang semprot harus diperkuat pada sudut -
sudutnya. Bagian bawahnya harus dibuat dari potongan yang bisa dilepas, difabrikasi dari
bahan tahan karat. Bagian bawah tersebut harus dibuat untuk mencegah akumulasi air dan
memberikan ventilasi untuk mengeringkan slang. Bagian dalam tempat penyimpanan harus
halus dan bebas dari benda-benda tajam seperti sekrup, sudut tajam, penopang (bracket)
yang mungkin menimbulkan kerusakan pada slang. Gulungan, pegangan tangga, tangga
dan pemegang peralatan harus ditempatkan sedemikian sehingga tidak menghalangi
penarikan atau pemindahan slang yang dibawa ke luar dari tempat penyimpan.

10.10.2 Setiap tempat penyimpanan slang, yang dirancang untuk membawa slang air 65
mm (2½ in.) atau lebih besar, harus memiliki panjang minimal 1½ m (5 ft).

11 Pompa kebakaran dan peralatan pendukungnya

11.1 Aplikasi

Apabila kendaraan pemadam dilengkapi dengan pompa kebakaran, maka ketentuan-


ketentuan berikut berlaku.

11.2 Persyaratan rancangan dan kinerja

11.2.1 Pompa kebakaran harus dipasang di atas kendaraan dan harus memiliki kapasitas
pengenal minimum 1900 l/menit (500 gpm) pada 1035 kPa (150 psi) tekanan bersih. Pompa
yang berkapasitas lebih besar harus dinilai pada salah satu kapasitas yang dispesifikasikan
di dalam Tabel 1

11.2.2 Apabila kendaraan dirancang untuk operasi pompa waktu kendaraan berjalan, maka
kinerja minimal harus 76 L/menit (20 gpm) pada 690 kPa (100 psi) pada kecepatan
kendaraan 3,2 kph (2 mph).

11.2.3 Kemampuan sistem pemompaan

11.2.3.1 Sistem pompa yang disediakan harus mampu mengalirkan sebagai berikut:
− 100 % kapasitas nominal pada 1035 kPa (150 psi ) tekanan bersih pompa.
− 70 % kapasitas nominal pada 1380 kPa (200 psi ) tekanan bersih pompa.
− 50 % kapasitas nominal pada 1725 kPa (250 psi ) tekanan bersih pompa.

CATATAN Khusus untuk 50% kapasitas nominal pada tekanan 1725 kPa dibolehkan pada
tekanan yang ditetapkan oleh manufaktur, minimum 200 psi.

11.2.3.2* Bilamana kering, sistem pompa (pada operasi paralel dan seri di mana pompa-
pompa adalah dari tipe seri dan paralel) harus mampu menghisap melalui slang hisap 6 m
(20 ft) pada kondisi yang ditetapkan pada Tabel 1 untuk kapasitas nominal pompa dan
pelepasan air tidak lebih dari 30 detik untuk pompa-pompa yang kurang dari 5678
l/menit (150 gpm) dan tidak lebih dari 45 detik untuk pompa 5678 L/menit (1500 gpm) atau
lebih besar. Setiap tambáhan 15 detik adalah diperbolehkan untuk memenuhi persyaratan ini
di mana sistem pompa mencakup pipa intake sebesar 100 mm (4 in.) atau lebih yang
memiliki volume 1 ft3 (28.316 cm3) atau lebih.

11.2.3.3 Sistem pompa yang lengkap harus mampu menghasilkan tekanan vakum sebesar
74,5 kPa (22 in.Hg) dengan menggunakan pompa pemancing (priming pump) dan
mempertahankan vakum untuk sedikitnya 5 menit dengan kehilangan tekanan tidak melebihi

31 dari 69
SNI 09-7053-2004

33,9 kPa (10 in.Hg). Persyaratan ini harus dipenuhi dengan semua katup intake terbuka,
semua pipa intake diberi penutup atau disumbat, semua tutup katup pelepasan dibuka dan
tanpa menggunakan pompa pemancing selama waktu 5 menit tersebut.

11.2.4 Kapabilitas hisap pompa

11.2.4.1* Manufaktur pompa harus memastikan melalui sertifikasi bahwa pompa kebakaran
mampu memompa 100 % kapasitas pada 1035 kPa (150 psi) tekanan bersih pompa melalui
slang hisap 6 m (20 ft) dengan sebuah saringan (strainer) pada kondisi sebagai berikut.
1) Ketinggian 610 m (2000 ft ) di atas permukaan laut.
2) Tekanan atmosfir 101 ,2 kPa (29.9 in.Hg).
3) Temperatur air pada 15,6° C.
4) Ukuran slang hisap, jumlah slang dan daya angkat ditunjukkan pada Tabel 1
5) Gesekan dan rugi aliran masuk pada slang hisap, termasuk strainer, diberikan pada
Tabel 2

11.2.4.2* Manufaktur pompa harus memastikan lewat sertifikasi bahwa pompa mampu
melakukan pemompaan pada kapasitas nominal 1035 kPa (150 psi) tekanan bersih pompa
pada setiap kondisi berikut bilamana kondisi-kondisi tersebut ditentukan oleh Pembeli.
1) Pada ketinggian di atas 610 m (2000 ft).
2) Pada daya angkat lebih tinggi dari yang tercantum pada Tabel 1 atau melalui lebih dari 6
m (20 ft) slang hisap atau keduanya.
3) Untuk pompa-pompa yang memiliki kapasitas nominal 5678 L/menit (1500 gpm) atau
lebih melalui slang hisap tunggal atau melalui sejumlah slang yang terdaftar pada
Tabel 1 yang terpasang hanya pada satu sisi kendaraan.

Tabel 1 Ukuran slang hisap, jumlah pipa hisap dan


daya angkat untuk pompa kebakaran

Ukuran maksimum Jumlah Daya angkat


Kapasitas terdaftar
slang hisap maksimum minimum
dari
gpm l/menit Inc Mm ft m
pipa-pipa hisap
250 950 3 76 1 10 3
300 1136 3 76 1 10 3
350 1325 4 100 1 10 3
450 1700 4 100 1 10 3
500 1900 4 100 1 10 3
600 2270 4 100 1 10 3
700 2650 4 100 1 10 3
750 2850 4½ 113 1 10 3
1000 3785 5 125 1 10 3
1250 4732 6 150 1 10 3
1500 5678 6 150 2 10 3
1750 6624 6 150 2 8 24
2000 7570 6 150 2 6 1,8
2000 7570 8 200 1 6 1,8
2250 8516 8 200 3 6 1,8
2500 9463 8 200 3 6 1,8
2750 10410 8 200 4 6 1,8
3000 11356 8 200 4 6 1,8

32 dari 69
SNI 09-7053-2004

Tabel 2 Rugi aliran masuk dan friksi pada 6 m(20 ft) slang hisap termasuk saringan

Ukuran slang hisap (diameter dalam)


Laju 3 inch 3½ inch 4 inch 4 ½ inch 5 inch
Aliran inch inch inch inch inch
Ft ft Ft ft ft
(gpm) Air Air Air Air Air
Air air Air air air
Raksa Raksa Raksa Raksa Raksa
250 5,2(1,2) 4,6
175 2,6(0,6) 2,3
125 1,4(0,3) 1,2

300 7,5(1,7) 6,6 3,5(0,8) 3,1


210 3,8(0,8) 3,4 1,8(0,4) 1,16
150 1,9(0,4) 1,7 0,9(0,2) 0,8

350 4,8(1,1) 4,2 2,5(0,7) 2,1


245 2,4(0,5 2,1 1,2(0,3) 1,1
175 1,2(0,3) 1,1 0,7(0,1) 0,6

450 4,1(1,0) 3,6 2,7(0,4) 2,6


315 2,0(0,5) 1,8 1,2(0,2) 1,1
225 1,0(0,2) 0,9 0,6(0,1) 0,5

500 5,0(1,3) 4,4 3,6(0,8) 3,2


350 2,5(0,7) 2,1 1,8(0,4) 1,6
250 1,3(0,4) 1,1 0,9(0,3) 0,8

600 7,2(1,8) 6,4 5,3(1,0) 4,7 3,1(0,6) 2,7


420 3,5(1,0) 3,1 2,5(0,5) 2,2 1,6(0,3) 1,4
300 1,8(0,4) 1,6 1,3(0,2) 1,0 0,6(0,1) 0,5

700 9,7(2,7) 8,6 7,3(1,3) 6,4 4,3(0,8) 3,8


490 4,9(1,1) 4,3 3,5(0,7) 3,1 2,0(0,4) 1,8
350 2,5(0,7) 2,2 1,6(0,3) 1,4 0,9(0,2) 0,8

750 11,4(2,9) 9,8 8,0(1,6) 7,1 4,7(0,9) 4,2 1,9(0,4) 1,7


525 5,5(1,5) 4,9 3,9(0,8) 3,4 2,3(0,5) 2,0 0,9(0,2) 0,8
375 2,8(0,7) 2,5 2,0(0,4) 1,8 1,2(0,2) 1,1 0,5(0,1) 0,5

1000 14,5(2,8) 12,5 8,4(1,6) 7,4 3,4(0,6) 3,0


700 7,0(1,4) 6,2 4,1(0,8) 3,7 1,7(0,3) 1,5
500 3,6(0,8) 3,2 2,1(0,4) 1,9 0,9(0,2) 0,8
1250 13,0(2,4) 11,5 5,2(0,9) 4,7 5,5(1,2) 4,9
875 6,5(1,2) 5,7 2,6(0,5) 2,3 2,8(0,7) 2,5
625 3,3(0,7) 2,9 1,3(0,3) 1,1 1,4(0,3) 1,2

1500 7,6(1,4) 6,7 8,0(1,6) 7,1


1050 3,7(0,7) 5,3 3,9(0,8) 3,4
750 1,9(0,4) 1,7 2,0(0,4) 1,8

33 dari 69
SNI 09-7053-2004

Tabel 2 (lanjutan)

Ukuran slang hisap (diameter dalam)


Laju 4 inch 4½ inch 5 inch 6 inch Dua 4½ inch
Aliran inch inch inch inch inch
ft ft ft ft ft
(gpm) Air Air Air Air Air
air air air air air
Raksa Raksa Raksa Raksa Raksa
1750 10,4(1,8) 9,3 11,0(2,2) 9,7
1225 5,0(0,9) 4,6 5,3(1,1) 4,7
875 2,6(0,5) 2,3 2,8(0,6) 2,5

2000 14,5(2,8) 12,5


1400 7,0(1,4) 6,2
1000 3,6 3,2
2250
1575
1125

2500
1750
1250
1500 4,7(0,9) 4,2 1,9(0,4) 1,7
1050 2,3(0,5) 2,0 0,9(0,3) 0,8
750 1,2(0,2) 1,1 0,5(0,1) 0,5

1750 6,5(1,2) 5,7 2,6(0,5) 2,3


1225 3,1(0,7) 2,7 1,2(0,3) 1,1
875 1,6(0,3) 1,4 0,7(0,2) 0,6

2000 8,4(1,6) 7,4 3,4(0,6) 3,0 4,3(1,1) 3,8


1400 4,1(0,8) 3,7 1,7(0,3) 1,5 2,0(0,6) 1,8
1000 2,1(0,4) 1,9 0,9(0,2) 0,8 1,0(0,3) 0,9

2250 10,8(2,2) 9,5 4,3(0,8) 3,8 2,0(0,5) 1,8 5,6(1,4) 5,0 1,20(0,4) 1,1
1575 5,3(1,1) 4,7 2,2(0,4) 1,9 1,0(0,2) 0,9 2,5(0,9) 2,2 0,6(0,2) 0,5
1125 2,8(0,5) 2,5 1,1(0,2) 1,0 0,5(0,1) 0,5 1,2(0,4) 1,1 0,3(0,1) 0,3

2500 13,0(2,4) 11,5 5,2(0,9) 4,7 2,3(0,6) 2,0 7,0(1,7) 6,2 1,5(0,4) 1,3
1750 6,5(1,2) 5,7 2,6(0,5) 2,3 1,2(0,2) 1,1 3,2(1,0) 2,8 0,8(0,2) 0,7
1250 3,3(0,7) 2,9 1,3(0,3) 1,1 0,6(0,1) 0,5 1,5(0,4) 1,3 0,4(0,1) 0,4

3000 7,6(1,4) 6,9 3,4(0,6) 3,0 10,1(3,0) 9,0 2,3(0,6) 2,1


2100 3,7(0,7) 3,4 1,7(0,3) 1,5 4,7(1,3) 4,2 1,0(0,3) 0,9
1500 1,9(0,4) 1,7 0,9(0,2) 0,8 2,3(0,7) 2,1 0,6(0,2) 0,5

CATATAN Angka dalam tanda kurung menunjukkan angka yang harus dikurangkan atau
ditambahkan untuk setiap 3 m (10 ft) dari slang lebih besar dari atau kecil dari 6 m (20 ft).

34 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.3 Persyaratan mesin pompa

11.3.1 Manufaktur kendaraan harus menyetujui penggunaan mesin pompa untuk


penerapan pemompaan stasioner berdasarkan ukuran kendaraan dan kapasitas pompa
yang disediakan.

11.3.2 Mesin pompa harus memenuhi syarat kinerja yang ditunjukkan dalam hasil
pengujian kinerja yang mengikuti ketentuan dari manufaktur.

11.3.3 Pada pompa kebakaran 2850 L/menit (750 gpm) atau lebih besar, kombinasi
mesin/pompa harus mampu mengalirkan air pada laju kapasitas nominal pompa pada 1138
kPa (165 psi) tekanan bersih.

11.3.4* Apabila disediakan mesin pompa yang terpisah, maka harus memenuhi persyaratan
7.2.1.1, 7.2.1.2, 7.2.1.6, 7.2.2, 7.2.3.1, 7.2.3.2, 7.2.4, 7.2.5, dan butir 8.4 dan 8.5.

11.3.5 Sistem pendingin tambahan jenis pertukaran kalor (heat exchanger) harus dipasang
pada mesin penggerak pompa. Sistem katup harus dipasang untuk mengalirkan air dari sisi
pelepasan pompa untuk mendinginkan cairan pendingin yang bersikulasi melalui sistem
pendingin mesin tanpa pencampuran. Sistem pendingin jenis pertukaran kalor harus
mempertahankan temperatur pencairan pendingin di dalam mesin penggerak pompa tidak
melebihi temperatur nominal pada semua kondisi pemompaan yang ditetapkan oleh
manufaktur mesin. Sistem pertukaran kalor perlu dilengkapi dengan pembuangan untuk
pengurasan.

11.3.6 Apabila mesin pompa terpisah digunakan untuk menggerakkan pompa, harus
disediakan suatu indikator atau lampu pada kompartemen pengemudi yang akan dialiri
energi saat mesin pompa berjalan. Indikator tersebut harus diberi tanda dengan label yang
tertulis MESIN POMPA JALAN.

11.4 Kemampuan rangkaian daya

11.4.1 Semua komponen dalam rangkaian daya dari mesin hingga pompa kebakaran
harus mampu untuk menyalurkan torsi yang diperlukan untuk menggerakan pompa, yang
terpasang pada kendaraan, untuk titik kerja pompa sebagaimana ditetapkan pada butir
11.2.3.1 tanpa melampaui peringkat torsi operasi kontinyu dari pabrik pembuat komponen
rangkaian daya tersebut.

11.4.2 Ketika memompa secara kontinyu pada setiap titik kerja pompa sebagaimana di
tetapkan pada butir 11.2.3.1, temperatur minyak pelumas pada setiap komponen rangkaian
daya yang terpasang pada kendaraan dari mesin hingga pompa tidak boleh melampaui
temperatur maksimum yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat komponen tersebut.
11.4.3* Ketika mesin dan sistem pemompaan, dalam kondisi pemompaan mempunyai
kemampuan untuk melampaui peringkat torsi kerja kontinyu dari pabrik pembuat komponen,
harus disediakan suatu sarana untuk mengendalikan keluaran mesin hingga tingkat yang
setara atau dibawah peringkat torsi kerja kontinyu dari pabrik pembuat komponen rangkaian
daya tersebut.
11.5 Persyaratan konstruksi
11.5.1* Bagian bergerak yang basah dari kendaraan harus dibuat dari bahan tahan karat.
11.5.2 Badan pompa harus mampu menahan tekanan ukur uji hidrostatis 3450 kPa (500
psi) selama minimum 10 menit yang dinyatakan dalam sertifikat hasil uji yang dikeluarkan
oleh manufaktur pompa.

35 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.5.3 Apabila disediakan pompa tambahan yang dikombinasikan dengan pompa


kebakaran dan kedua pompa tersebut dihubungkan sehingga tekanan dari satu pompa
dapat disalurkan ke pompa lainnya maka harus disediakan katup tahan balik, katup relief
masuk dan pelepasan pompa, rasio gigi penggerak pompa atau sarana otomatis lainnya
untuk menghindari penambahan tekanan yang melebihi tekanan hidrostatik maksimum di
setiap pompa.

11.5.4 Seluruh sistem pipa pelepasan dan pemasukan, katup, saluran dan katup buang,
tutup pipa masuk dan keluar, tidak termasuk saluran pengisian tangki dan saluran dari tangki
ke pompa di sisi tangki dari katup di saluran tersebut , harus mampu menahan tekanan ukur
pecah hidrostatik 3450 kpa (500 psi).

11.5.5 Pompa harus mampu menghasilkan semprotan air kontinyu dan apabila
digunakan akumulator untuk menghasilkan semprotan tersebut maka akumulator harus
dibuat dan di uji sesuai standar yang berlaku.

11.5.6 Pompa harus dapat menerima tekanan positif sumber air yang secara langsung
ditambahkan ke tekanan bersih pompa.

11.5.7 Pompa harus dirancang untuk membolehkan pelepasan (discharge) pada tingkat
kinerja nominal ditutup secara total dalam waktu 3 detik tanpa menimbulkan kejutan atau
kerusakan yang tidak semestinya dengan semua sistem relief tidak diaktifkan.

11.6 Sambungan intake pompa

11.6.1* Untuk ukuran slang hisap dan jumlah saluran hisap harus disediakan intake
dengan ukuran dan jumlah yang sama atau lebih besar dari spesifikasi maksimum yang
ditetapkan Tabel 1

11.6.1.1 Sambungan intake sebagaimana disebut dalam 11.6.1 harus memiliki kopling
penyambung sesuai standar yang berlaku.

11.6.1.2 Apabila kopling pada slang hisap yang dibawa di kendaraan pemadam berbeda
ukurannya dengan pipa masuk pompa atau mempunyai alat penyambung slang yang
berbeda dengan yang disediakan pada pipa masuk, maka diperlukan adaptor untuk
menyambung slang hisap ke pompa intake.

11.6.1.3 Apabila suatu inlet terletak pada posisi operator pompa yang diberi katup, maka
harus pula dipasang tanda peringatan berbunyi:

AWAS - BAHAYA
DILARANG MEMASUKAN AIR BERTEKANAN SAAT KATUP TERTUTUP

11.6.2* Setiap intake harus memiliki saringan di dalam sambungan yang dapat dilepas
atau di jangkau. Saringan tersebut harus mampu menahan kotoran yang bisa menggangu
kinerja pompa.

11.6.3 Sekurang – kurangnya harus disediakan satu intake berkatup yang dapat
dikendalikan dari posisi operator pompa. Katup dan pemipaan harus berukuran nominal
minimum 65 mm (2,5 in.). Jika ukuran nominal intake 65 mm (2,5 in.), maka intake tersebut
harus dilengkapi dengan kopling berputar (swivel) sesuai standar yang berlaku.

11.6.4 Setiap katup pipa masuk berukuran 76 mm atau lebih besar harus dari jenis katub
operasi lambat.
Pengecualian: Persyaratan ini tidak berlaku bagi katup intake dari tangki ke pompa

36 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.6.5 Setiap intake berkatup harus dilengkapi dengan katup pembuang udara (bleeder)
yang mempunyai sambungan ulir pipa berukuran minimum 19 mm (3/4 in.). Sambungan ulir
untuk membuang air atau udara dari slang yang disambungkan ke intake. Katup relief udara
harus dapat dioperasikan tanpa operator harus masuk kolong kendaraan. Apabila sebuah
alat yang dipasangi katup dipasang ke pipa masuk, maka harus dilengkapi dengan katup
pembuang berukuran minimum 19 mm (3/4 in.) pada setiap intake.

11.6.6 Setiap intake berkatup yang memiliki penyambung berukuran 89 mm (3½ in.) atau
lebih besar harus dilengkapi dengan alat pemindah tekanan (pressure relief valve) otomatis
yang dapat distel yang dipasang pada sisi suplai dari katup untuk melepaskan tekanan dari
slang yang disambungkan intake berkatup tersebut. Alat pelepas tersebut harus melepas
tekanan tersebut ke atmosfir.

11.6.7 Semua intake harus dilengkapi dengan penutup yang mampu menahan tekanan
ukuran pecah hidrostatik sebesar 3450 kPa (500 psi). Intake yang mempunyai ulir jantan
harus dilengkapi dengan topi (caps) sedangkan intake ulir betina harus dilengkapi dengan
pasak (plug). Bila pada intake dipasang adaptor untuk penyambungan slang dengan cara ulir
khusus atau cara lainnya maka adaptor harus dilengkapi dengan penutup sebagai ganti topi
atau pasak.

11.6.8 Topi atau penutup untuk intake berukuran 89 mm (3,5 in.) atau kurang harus diikat
ke kendaraan dengan rantai atau kawat.

11.7 Outlet pelepasan (discharge) pompa

11.7.1* Outlet pelepasan berukuran 65 mm (2½ in.) atau lebih besar harus disediakan
untuk pelepasan dengan kapasitas pengenal pompa nominal pada laju pelepasan
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Laju aliran pelepasan berdasarkan ukuran outlet

Ukuran outlet Laju aliran


Inch Mm Gpm Liter/menit
2½ 65 250 950
3 76 375 1420
3½ 89 500 1900
4 100 625 2365
4½ 113 750 2850
5 125 1000 3785
6 150 1440 5450

11.7.1.1 Pada setiap pompa dengan kapasitas pengenal 2850 L/menit (750 gpm) atau
lebih harus dilengkapi dengan minimum dua buah outlet berukuran 65 mm (2½ in.) dan
pada setiap pompa dengan kapasitas pengenal kurang dari 2850 L/menit (750 gpm). Harus
disediakan minimum satu buah outlet berukuran 65 mm (2½ in.).

11.7.2* Semua outlet berukuran 65 mm (2½ in.) atau lebih besar harus dilengkapi dengan
ulir jenis jantan sesuai ketentuan dan standar yang berlaku. Kopling adaptor dengan ulir
khusus atau cara lain untuk sambungan slang perlu disediakan pada setiap atau seluruh
outlet.
11.7.3* Setiap slang yang telah tersambungkan ke pompa (pre-connected) dengan ukuran
25 mm (1 in.), harus tersambung dengan pipa dan katup sekurang-kurangnya berukuran
minimum 38 mm (1.5 in.).

37 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.7.4 Semua outlet pelepasan, kecuali outlet yang telah disambungkan ke slang (pre-
connected), harus dilengkapi dengan topi atau penutup yang mampu menahan tekanan
ukuran pecah hidrostatik minimum sebesar 690 kPa (100 psi) di atas tekanan pompa
tertutup maksimum atau 3450 kPa (500 psi), tergantung mana yang lebih besar. Apabila
pada outlet pelepasan dipasang adaptor, maka penutupnya harus cocok dengan adaptor
tersebut. Topi penutup outlet berukuran 65 mm (2.5 in.) atau lebih kecil harus diikatkan ke
kendaraan dengan rantai atau kawat.

11.7.5 Setiap outlet pelepasan harus dilengkapi dengan katup yang dapat dibuka dan
ditutup dengan mudah pada aliran sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3 pada tekanan
ukur pelepasan pompa sebesar 1724 kPa (250 psi). Alat pengatur aliran dari setiap katup
tidak boleh berubah posisinya pada setiap kondisi operasi yang melibatkan tekanan
pelepasan hingga tekanan maksimum pompa, sarana untuk mencegah perubahan posisi
harus dihubungkan dengan mekanisme operasi dan dapat dikendalikan secara manual
ataupun otomatis. Setiap katup pelepasan berukuran 65 mm (2.5 in.) atau lebih besar harus
dari jenis katup operasi lambat.

11.7.6 Semua outlet pelepasan berukuran 38 mm (1½ in.) atau lebih besar harus
dilengkapi dengan katup pembuang atau katup relief udara yang mempunyai sambungan ulir
berukuran minimum 19 mm (¾ in.) untuk membuang air atau mengurangi tekanan dari
slang yang dihubungkan ke outlet.

11.7.7 Setiap outlet pelepasan berukuran 65 mm (2.5 in.) yang terletak lebih dari 1067 mm
(42 in.) diatas permukaan tanah yang akan disambungkan ke slang dan bukan berada di
area penyimpanan slang, harus disuplai dari pipa lengkung (sweep elbow) dengan sudut
minimum 30° ke arah bawah.

11.7.8 Setiap pelepasan pompa harus mempunyai satu katup yang dapat dikendalikan
dari posisi operator pompa. Satu katup sekunder boleh dipasang pada satu outlet pelepasan
untuk keperluan khusus.

11.7.9* Pada panel operator pompa tidak boleh ditempatkan outlet pelepasan berukuran
lebih besar dari 65 mm (2.5 in.) . Apabila kendaraan mempunyai panel pompa dari jenis top
console maka boleh dipasang outlet pelepasan vertikal berukuran lebih besar dari 65 mm
(2.5 in.) pada posisi tengah kendaraan dimana outlet tersebut secara langsung
disambungan ke monitor dan komponen monitor tersebut tidak dimaksudkan untuk
disambungkan dengan slang kebakaran.

11.7.10 Bila mekanisme operasi katup tidak mengindikasikan posisi katup, maka harus
dipasang suatu indikator untuk menunjukkan bilamana katup tertutup.

11.8 Katup pembuangan pompa (drain)

Suatu katup pembuang air (drain) yang mudah dijangkau yang diberi label sesuai fungsinya
harus disediakan untuk mengeringkan pompa, seluruh saluran air, dan asesoris pompa.
Katup pembuangan harus dapat dioperasikan tanpa operator harus masuk kolong
kendaraan.

11.9 Panel operator pompa

11.9.1* Setiap alat kontrol pompa, alat ukur dan instrumen lainnya yang diperlukan untuk
mengoperasikan pompa harus ditempatkan pada sebuah panel yang dikenal sebagai panel
operator pompa dan harus diberi label sesuai dengan fungsinya.

38 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.9.2 Semua alat ukur, outlet pelepasan, intake pompa dan alat kontrol harus diberi
pencahayaan hingga minimal 54 lux. Kompartemen pompa dan pelumas pemancing atau
daerah tangkinya, bila ada, juga harus diterangi.

11.10* Alat kontrol pompa

11.10.1 Untuk mengoperasikan pompa dipersyaratkan penggunaan alat kontrol dan sakelar
yang dapat dikenali dan berada pada jangkauan aman operator. Sistem indikator dan
interlok harus disediakan sesuai persyaratkan butir alat kontrol pompa.

11.10.1.1 Bila pompa digerakkan oleh mesin kendaraan dan dilengkapi dengan
pengereman kompresi mesin atau pengereman gas buang, maka pengereman tersebut
harus secara otomatis dilepas saat operasi pemompaan. Demikian pula bila mesin
dilengkapi dengan fan otomatis , maka fan harus bekerja saat operasi pemompaan.

11.10.1.2* Setiap sarana kontrol yang digunakan, dalam rangkaian daya sistem
pemompaan antara mesin dan pompa harus dilengkapi dengan sarana untuk mencegah
gerakan tak sengaja dari alat kontrol dari posisi yang ditentukan pada moda pemompaan.

Kecuali: Alat pemindah (override) manual tambahan pompa tidak dipersyaratkan menggunakan
sarana tersebut.

11.10.1.3 Suatu label yang menunjukkan posisi selektor perpindahan gigi yang digunakan
untuk pemompaan, harus disediakan dalam kompartemen pengemudi dan ditempatkan
sedemikian hingga dapat dibaca dari posisi pengemudi.
11.10.1.4 Bila pompa digerakkan oleh mesin kendaraan dan transmisi melalui sebuah split
shaft PTO, ketika sistem penggerak pompa terhubung speedometer di dalam ruang
pengemudi harus bekerja. Bila dilengkapi pelambat transmisi, harus secara otomatis terlepas
untuk operasi pemompaan.
11.10.2 Apabila kendaraan dilengkapi dengan transmisi otomatis, pompa air digerakkan
oleh mesin casis melalui penggerak transmisi utama dan kendaraan digunakan hanya untuk
pemompaan stasioner, maka sistem interlok harus disediakan untuk memastikan bahwa
komponen sistem penggerak pompa telah dihubungkan secara benar pada moda operasi
pemompaan sehingga sistem pemompaan dapat dioperasikan secara aman dari posisi
operator pompa.
11.10.2.1 Suatu indikator bertuliskan “POMPA TERHUBUNG” (pump engaged) harus
disediakan di kompartemen pengemudi yang menunjukkan bahwa pemindahan transmisi
telah berhasil.
11.10.2.2 Suatu indikator bertuliskan “POMPA SIAP” (ok to pump) harus pula disediakan di
kompartemen pengemudi untuk menunjukkan bahwa pompa telah terhubung, transmisi casis
sudah di gigi pompa, dan rem parkir sudah difungsikan.
11.10.2.3 Suatu indikator bertuliskan “GAS TANGAN SIAP” (throttle ready) harus
disediakan pada panel operator pompa yang menunjukkan bahwa mobil pemadam sudah
dalam moda “POMPA SIAP” atau bahwa transmisi casis dalam kondisi netral dan rem parkir
sudah difungsikan.
11.10.3 Apabila pompa air digerakkan oleh transminission mounted PTO, front of engine
crank shaft PTO, engine flywheel PTO, dan kendaraan hanya digunakan untuk pemompaan
stasioner dengan transmisi casis pada kondisi netral, maka suatu sistem interlok harus
disediakan untuk memastikan agar komponen sistem penggerak pompa terhubung benar
pada moda operasi pemompaan sehingga sistem pompa dapat dioperasikan secara aman
dari posisi operator pompa.

39 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.10.3.1 Suatu indikator bertuliskan “POMPA TERHUBUNG” (pump engaged) harus


disediakan di kompartemen pengemudi maupun di panel operator pompa yang menunjukkan
bahwa pemindahan transmisi telah berhasil.

11.10.3.2 Suatu indikator bertuliskan “POMPA SIAP” (ok to pump) harus disediakan di
kompartemen pengemudi untuk menunjukkan bahwa pompa telah terhubung, transmisi casis
sudah netral, dan rem parkir sudah difungsikan.

11.10.3.3 Suatu indikator bertuliskan “GAS TANGAN SIAP” (throttle ready) harus
disediakan pada panel operator pompa yang akan menyala bila indikator “POMPA SIAP”
telah menyala, atau jika transmisi sudah netral dan rem parkir sudah difungsikan.

11.10.4 Apabila pompa air digerakkan oleh transmission mounted PTO, front of engine
crank shaft PTO, engine flywheel PTO, dan kendaraan akan digunakan untuk pemompaan
stasioner atau pemompaan “pump and roll ” dengan transmisi otomatis pada netral untuk
pemompaan stasioner atau gigi jalan untuk “pump and roll”, maka suatu sistem interlok
harus disediakan untuk memastikan komponen sistem penggerak pompa telah terhubung
dengan benar dalam moda operasi pemompaan sehingga kendaraan dapat dioperasikan
secara aman pada kondisi moda pemompaan stasioner atau “pump and roll ”.

11.10.4.1 Suatu indikator bertuliskan “POMPA TERHUBUNG” (pump engaged) harus


disediakan di kompartemen pengemudi dan di panel operator pompa yang menunjukkan
bahwa pemindahan transmisi telah berhasil.

11.10.4.2 Suatu indikator bertuliskan “POMPA SIAP” (ok to pump) harus disediakan di
kompartemen pengemudi untuk menunjukkan bahwa pompa telah terhubung, transmisi casis
sudah netral, dan rem parkir sudah difungsikan. Suatu indikator bertuliskan “POMPA SIAP“
(OK TO PUMP AND ROLL) harus disediakan di kompartemen pengemudi dan harus
menyala saat pompa telah terhubung, transmisi casis berada pada gigi jalan dan rem parkir
dilepas. Ketika indikator OK TO PUMP AND ROLL telah menyala, maka indikator OK TO
PUMP harus padam.

11.10.4.3 Suatu indikator bertuliskan “GAS TANGAN SIAP” (throttle ready) harus
disediakan pada panel operator pompa yang akan menyala bila indikator “POMPA SIAP”
telah menyala, atau jika transmisi sudah netral dan rem parkir sudah difungsikan.

11.10.5 Suatu sistem interlok harus disediakan pada panel operator pompa untuk
mencegah meningkatnya kecepatan mesin kecuali transmisi casis ada pada posisi netral
dan rem parkir telah difungsikan atau kendaraan berada pada moda “POMPA SIAP” (ok to
pump).

11.10.6* Sistem kontrol tekanan

11.10.6.1 Suatu sistem kontrol tekanan yang apabila distel sesuai instruksi manufaktur,
akan secara otomatis mengendalikan tekanan pelepasan sampai nilai maksimum 207 kPa
(30 psi) diatas tekanan yang ditentukan bila semua katup pelepasan ditutup tidak lebih cepat
dari 3 detik, dan tidak lebih lambat dari 10 detik selama semua kondisi berikut:
1) Sepanjang rentang tekanan pompa bersih alat ukur dari 690 kPa hingga 2069 kPa
(100 psi ke 300 psi), dengan tekanan intake alat ukur antara -69 kPa hingga 1276 kPa
(-10 psi dan 185 psi) dan tekanan pelepasan alat ukur antara 621 kPa dan 2069 kPa
(90 psi dan 300 psi)
2) Sepanjang rentang aliran dari 568 L/detik (150 gpm) sampai ke kapasitas nominal
pompa.

40 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.10.6.2 Apabila pompa dilengkapi dengan sistem katup relief yang tidak mengatur
putaran mesin, maka sistem relief ini harus dilengkapi dengan alat untuk menunjukkan
bahwa sistem bekerja untuk mengendalikan tekanan. Apabila pompa dilengkapi dengan
sistem pembatas putaran mesin (governor system ) yang mengendalikan kecepatan mesin,
maka suatu indikator menunjukkan kapan sistem bekerja dan apakah sistem tersebut
mengendalikan kecepatan mesin atau tekanan pompa. Kedua sistem ini harus dapat
dikendalikan oleh satu orang pada posisi operator pompa.

11.10.6.3 Apabila sistem melepas air ke atmosfir, pelepasan tersebut harus dalam suatu
cara dimana arus air bertekanan tinggi tidak membahayakan personil.

11.10.6.4* Sistem kontrol tekanan harus disertifikasi memenuhi persyaratan sebagaimana


disebut pada butir 11.10.6.1.

11.10.7* Suatu pompa pemancing (priming) harus disediakan dan dikontrol dari posisi
operator pompa. Alat tersebut harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebut pada butir
11.2.3.2 dan mampu menghasilkan vakum 74,5 kPa (22 in.Hg ) pada ketinggian 610 m
(2000 ft). Pompa pemancing (priming) yang digerakkan oleh gas buang tidak boleh
digunakan. Pompa tersebut harus mampu beroperasi dengan pelumas bio yang dapat
terurai dan tidak beracun dan dapat beroperasi walaupun tanpa pelumas.

11.10.8 Semua alat kontrol pompa dan perlengkapannya harus dipasang sedemikian
sehingga terlindung dari kerusakan mekanis atau akibat kondisi cuaca pada
pengoperasiannya.

11.11* Alat kontrol mesin pompa

Suatu alat kontrol putaran mesin (gas tangan) yang dapat mempertahankan posisi yang
telah ditetapkan harus disediakan untuk mengendalikan putaran mesin penggerak pompa.
Alat kontrol tersebut harus diletakkan tidak lebih tinggi dari 1829 mm (72 in.) atau lebih
rendah dari 1067 mm (42 in.) dari posisi berdiri operator dengan semua instrumen terlihat
jelas dalam pandangan operator.

11.12 lnstrumentasi

11.12.1* Alat kontrol dan instrumen berikut harus disediakan dan dipasang sebagai satu
kelompok pada panel operator pompa:
1) Alat penunjuk utama tekanan pada pipa intake pompa
2) Alat penunjuk utama tekanan pada pipa pelepasan pompa
3) Tachometer mesin pemompaan
4) lndikator temperatur cairan pendingin mesin pemompaan
5) lndikator tekanan pelumas mesin pemompaan
6) Voltmeter
7) Alat kontrol tekanan pompa
8) Gas tangan mesin pemompaan
9) Alat kontrol pompa pemancing (primer).
10) Katup kendali dari tangki air ke pompa
11) Katup kendali pengisian tangki air
12) lndikator tinggi muka air dalam tangki air.
Instrumen dan alat kontrol ini harus ditempatkan sedemikian untuk menjaga operator pompa
sejauh mungkin dari semua sambungan pelepasan dan sambungan intake, dan berada di
lokasi dimana semua peralatan instrumen dan kontrol bisa terlihat dan berfungsi sementara
operator tetap ditempatnya.

41 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.12.1.1 Setiap instrumen yang terbuka harus tahan cuaca.

11.12.1.2 Indikator tekanan oli mesin pemompaan dan indikator temperatur cairan
pendingin mesin harus dilengkapi dengan tanda peringatan yang dapat didengar maupun
yang dapat dilihat.

11.12.1.3 Semua indikator pengoperasian mesin pada panel instrumen kendaraan harus
juga ada pada panel operator pompa.

11.12.2 Alat penunjuk utama tekanan intake dan pelepasan pompa

11.12.2.1 Alat penunjuk tekanan utama intake dan pelepasan pompa harus ditempatkan
dalam jarak 200 mm ( 8 in.) satu sama lain, sisi ke sisi, dengan alat penunjuk tekanan intake
berada di sebelah kiri dari alat penunjuk tekanan pelepasan pompa. Pembacaan alat
penunjuk tekanan intake harus dari 101 ,6 kPa (30 in.Hg) vakum ke sekurang-kurangnya
tekanan alat ukur 2070 kPa (300 psi).
Pembacaan alat penunjuk tekanan pelepasan harus dari tekanan alat ukur 0 kPa (0 psi) atau
kurang hingga ke tekanan alat ukur sedikitnya 2070 kPa (300 psi). Alat penunjuk tekanan
tidak boleh rusak oleh vakum 101,6 kPa (30 in.Hg). Alat penunjuk tekanan harus diberi label
dengan tulisan berbunyi INTAKE POMPA (Pump Intake) untuk alat penunjuk tekanan intake
dan PELEPASAN POMPA (Pump Discharge) untuk alat penunjuk tekanan pelepasan.

11.12.2.1.1 Bilamana digunakan alat ukur jenis analog, sedikitnya harus terdapat beda
diameter 25 mm (1 in.) pada area pengamatan antara alat ukur utama (master) dengan alat
ukur pelepasan individual, dengan alat ukur utama adalah yang lebih besar. Tinggi bilangan
penunjukan alat ukur utama harus berukuran minimum 6,4 mm (0,25 in.). Harus terdapat
garis gradasi pembacaan untuk setiap 69 kPa (10 psi) dengan garis gradasi utama dan
menengah untuk setiap 690 kPa (100 psi) yang lebih tebal. Alat ukur jenis analog harus
memiliki peredaman vibrasi dan pulsa tekanan, tahan terhadap korosi, kondensasi dan
guncangan serta mempunyai mekanisme internal berpelumas dari pabrik pembuatnya.

11.12.2.1.2 Apabila alat-alat penunjuk tekanan utama adalah jenis digital, tinggi tampilan
dijit harus sedikitnya 12,7 mm (½ in.). Alat penunjuk tekanan digital harus menunjukkan
penambahan penunjukan tekanan tidak lebih dari 69 kPa (10 psi). Alat-alat penunjuk
tekanan utama digital harus mempunyai ketepatan ± 3% dari skala penuh.

11.12.3* Instrumen outlet pelepasan

Suatu alat ukur aliran (flow-meter) ataupun alat penunjuk tekanan harus disediakan atau
dipasang pada setiap outlet pelepasan dengan ukuran 38 mm (1½ inch) atau lebih dan harus
diberi label untuk menunjukkan outlet mana yang tersambung. Setiap outlet pelepasan
berukuran 89 mm3 (½ in.) atau lebih yang dilengkapi dengan flow-meter harus pula dipasangi
alat penunjuk tekanan. AIat penunjuk tekanan ataupun tampilan aliran (flow-meter display)
harus ditempatkan berdekatan dengan katup kontrol yang berkaitan dengan jarak tidak lebih
dari 150 mm (6 in.) yang memisahkan alat penunjuk tekanan atau flow-meter dengan garis
tengah katup kontrol. Apabila kedua alat baik flow-meter maupun alat penunjuk tekanan
disediakan untuk satu outlet pelepasan individu, maka alat penunjuk tekanan harus
ditempatkan dalam jarak 150 mm (6 in.) dari garis tengah katup kontrol, dan tampilan flow-
meter harus berdekatan dengan atau dalam jarak 50 mm (2 in.) dari alat penunjuk tekanan.
Alat penunjuk tekanan harus dihubungkan ke sisi outlet dari katup. Flow-meter harus
menunjukan aliran dalam gradasi tidak lebih besar dari 38 L/menit (10 gpm ).

11.12.3.1 Apabila digunakan pengukur tekanan jenis analog, maka harus memiliki tingkat
ketelitian tidak lebih dari 10% (atau setara dengan grade B ASME B-40.100). Tinggi angka
penunjukan untuk alat pengukur harus berukuran minimum 4 mm (5/32 in.). Harus terdapat

42 dari 69
SNI 09-7053-2004

garis gradasi pembacaan untuk setiap 70 kPa (10 psi) dengan garis gradasi utama dan
menengah untuk setiap 700 kPa (100 psi) yang lebih tebal. Alat ukur jenis analog harus
memiliki peredaman vibrasi dan pulsa tekanan, tahan terhadap korosi, kondensasi dan
guncangan serta mempunyai mekanisme internal berpelumas dari pabrik pembuatnya

11.12.3.2 Apabila alat-alat penunjuk tekanan adalah jenis digital, tinggi tampilan dijit harus
sedikitnya 6,4 mm (1/4 in.). Alat penunjuk tekanan digital harus menunjukkan penambahan
penunjukan tekanan tidak lebih dari 70 kPa (10 psi). Alat-alat penunjuk tekanan utama digital
harus mempunyai ketepatan ± 3% dari skala penuh.

11.12.3.3 Setiap flow-meter harus dikalibrasi dan diuji berdasarkan ukuran pipa dimana
flow-meter tersebut terpasang pada titik aliran sebagaimana dicantumkan pada Tabel 4
Pada titik aliran ini, tingkat ketepatan harus dalam batas-batas ± 5 %.

Tabel 4 Analisa kalibrasi flow-meter untuk setiap ukuran pipa

Ukuran pipa Aliran


In. Mm gpm L/menit
1 25 40 150
1½ 38 90 340
2 52 160 600
2½ 65 250 950
3 75 375 1400
4 100 625 2400
5 125 1000 4000
6 150 1440 5500

11.12.4 Setiap alat penunjuk tekanan ataupun flow-meter dan tampilannya harus terpasang
dan ditempatkan sedemikian hingga terlindung dari kerusakan aksidental dan dari getaran
yang berlebihan.

11.12.5 Pada panel operator pompa harus dipasang sambungan untuk alat ukur pengujian.
Satu sambungan harus dihubungkan ke sisi intake dari pompa, dan sambungan lainnya
disambungkan ke manifol pelepasan pompa. Sambungan tersebut harus mempunyai ukuran
ulir pipa standar 6,4 mm (0,25 in.) dan harus diberi sumbat dan ditandai dengan label.

11.13 Pengujian yang dipersyaratkan

11.13.1 Untuk menjamin kinerja pompa, maka diperlukan beberapa uji coba yakni:
a. Uji coba pemompaan (Pumping Test).
b. Uji coba kelebihan Beban Mesin Pemompa (Pumping Engine Overload Test).
c. Uji coba Sistem Kontrol Tekanan (Pressure Control System Test).
d. Uji coba Alat Pemancing (Priming Device Test).
e. Uji coba Vakum (Vacuum Test).
f. Uji coba Aliran dari Tangki ke Pompa (Water Tank to Pump Flow Test).
g. Uji coba Pra Pengiriman oleh Manufaktur (Manufacture’s Pre Delivery Test).

Masing-masing uji coba memiliki ketentuan tersendiri.

43 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.13.2 Sertifikasi pompa

11.13.2.1 Apabila pompa kebakaran memilki kapasitas nominal 2850 L/menit (750 gpm)
atau lebih besar, maka pompa harus diuji setelah pompa dan pemipaannya serta peralatan
penunjangnya telah dipasang di kendaraan. Uji coba dilaksanakan di tempat manufaktur
yang telah disetujui dan disertifikasi oleh organisasi penguji independen yang disetujui
pembeli. Sertifikasi harus meliputi sedikitnya uji coba pemompaan (lihat 11.13.3), uji coba
beban lebih mesin (lihat 11.13.4), uji coba sistem kontrol tekanan (lihat 11.13.5), uji coba alat
priming (11.13.6), dan uji coba vakum (lihat 11.13.7). Apabila kendaraan dilengkapi dengan
sebuah tangki air, maka harus termasuk uji coba aliran tangki ke pompa (lihat 11.3.8).

11.13.2.2* Apabila pompa mempunyai kapasitas nominal kurang dari 2850 l/menit
(750 gpm), maka pompa harus diuji setelah pompa dan pipa-pipa yang berkaitan dengan
pompa tersebut serta peralatan penunjangnya telah dipasangkan di kendaraan. Pengujian
harus dilakukan di tempat manufaktur yang telah disetujui dan disertifikasi oleh pemasok.
Sertifikasi mencakup sekurang-kurangnya uji coba pemompaan (lihat 11.13.3), uji coba
sistem kontrol tekanan (Iihat 11.13.5), uji coba alat pemancing (priming) (lihat 11.13.6); dan
uji coba vakum (lihat 11.13.7). Apabila kendaraan dilengkapi dengan tangki air, maka harus
termasuk uji coba aliran tangki air ke pompa ( lihat 11.13.8 ).

11.13.2.3 Suatu pelat uji harus disediakan pada panel operator pompa yang menunjukkan
nilai nominal pelepasan dan tekanan bersama dengan kecepatan mesin sebagaimana
ditentukan oleh uji coba sertifikasi untuk tiap unit, pompa yang digunakan dan kecepatan
mesin sebagaimana ditetapkan pihak manufaktur mesin pada kurva brake horse power
(BHP) yang disertifikasi. Pelat tersebut harus dicetak dengan semua informasi di pabrik dan
pasang di kendaraan sebelum pengiriman.

11.13.3 Uji pemompaan

11.13.3.1 Kondisi untuk pengetesan

11.13.3.1.1 Lokasi uji coba harus diupayakan dekat ke suplai air bersih dengan
kedalaman sekurang-kurangnya 1,2 m (4 ft), dengan tinggi muka air tidak lebih dari 3 m (10
ft) di bawah garis tengah intake pompa dan cukup dekat sehingga memungkinkan saringan
hisap tercelup di air sedikitnya 0,6 m (2 ft) di bawah permukaan air saat disambungkan ke
pompa melalui slang hisap sepanjang 6 m (20 ft).

11.13.3.1.2* Pengujian harus dilaksanakan pada kondisi sebagai berikut .


Temperatur udara : -180 C – 430 C (0o F - 1100 F).
Temperatur air : 20 C – 320 C (35o F - 900 F).
Tekanan Barometer : 98,3 kPa (29 in.Hg ), minimum terkoreksi terhadap
tinggi muka air laut

11.13.3.1.3 Asesoris yang digerakkan mesin tidak boleh dilepas atau dibiarkan tidak
beroperasi selama pengujian. Apabila mesin casis menggerakkan pompa, maka beban
elektrikal harus diberlakukan selama pengujian pemompaan berlangsung.
11.13.3.1.4 Semua penutup struktur, seperti papan lantai, kisi-kisi, lubang-lubang udara,
dan pelindung panas yang tidak dilengkapi dengan sarana pembuka harus tetap berada di
tempatnya selama pengujian berlangsung.
11.13.3.2 Peralatan
11.13.3.2.1 Slang hisap harus memiliki ukuran yang sesuai untuk kapasitas nominal
pompa (lihat Tabel 1). Harus digunakan slang dan saringan hisap dengan total rugi gesekan
dan intake tidak lebih besar dari yang tercantum di Tabel 2.

44 dari 69
SNI 09-7053-2004

11.13.3.2.2 Slang dalam jumlah yang cukup harus disediakan untuk melepaskan
kapasitas nominal pompa ke nosel atau peralatan ukur aliran lainnya tanpa melebihi
kecepatan aliran sebesar 10,7 m/detik (35 ft/detik) [kira-kira 1900 L/menit atau 500 gpm
untuk ukuran slang 65 mm (2½ in.).

11.13.3.2.3 Bila digunakan nosel, maka nosel tersebut harus berdinding halus dengan
diameter dalam berukuran dari 19 mm ke 63,5 mm (3/4 in. ke 2½ in.).

11.13.3.2.4 Semua alat ukur untuk pengujian harus memenuhi persyaratan standar atau
setara dengan ASME B.40. 100, Gauges – Pressure Indicating Dial Type – Elastic Element.
Alat ukur intake pompa harus memiliki rentang pembacaan 100 kPa (30 in.Hg ) vakum ke
zero untuk pengukur vakum , atau 100 kPa (30 in.Hg ) vakum ke tekanan pengukur sebesar
1035 kPa (150 psi ) untuk alat ukur gabungan. Alat ukur tekanan pelepasan harus
mempunyai rentang tekanan ukur dari 0 kPa hingga 2758 kPa (0 hingga 400 psi). Alat ukur
awal (pilot gauges) harus mempunyai rentang pembacaan tekanan ukur sekurang –
kurangnya dari 0 kPa hingga 1103 kPa (0 psi ke 160 psi ). Sebuah manometer air raksa
diperbolehkan untuk digunakan sebagai pengganti alat ukur intake pompa. Semua alat ukur
harus dikalibrasi pada bulan sebelum pengujian. Peralatan kalibrasi harus terdiri atas alat
ukur berat mati atau alat ukur acuan (master gauge) yang memenuhi persyarakat untuk grad
3.a atau 4.a sebagaimana tercantum ASME B40.100 Gauges – Pressure Indicating Dial
Type – Elastic Element, yang telah dikalibrasi oleh manufaktur alat pada tahun sebelumnya.

11.13.3.2.5 Semua sambungan alat ukur pengujian harus mencakup sarana untuk
menahan gerakan seperti katup jarum untuk meredam pergerakan cepat dari jarum penunjuk
alat ukur.

11.13.3.2.6 Apabila input sinyal untuk tachometer panel pompa dipasok dari mesin atau
elektronik transmisi dan tachometer tersebut tidak dapat disetel, maka sinyal input tersebut
harus digunakan sebagai indikator untuk penggunaan dalam perhitungan kecepatan poros
impeller. Apabila input sinyal untuk tachometer bukan dari mesin atau elektronik transmisi
atau apabila tachometer dapat distel di lapangan, maka alat pengukur kecepatan di luar
kompartemen kendali atau tachometer panel pompa dapat digunakan untuk mengukur
kecepatan input pompa. Sarana pengukur kecepatan tersebut harus memiliki akurasi angka
kecepatan dalam batas-batas ± 50 rpm dari kecepatan aktual.

11.13.3.3* Prosedur

Temperatur udara ambien, temperatur air, daya angkat vertikal, elevasi dari tempat
pengujian dan tekanan atmosfir (di koreksi ke permukaan air laut) harus ditentukan dan
direkam sebelum dan sesudah setiap pengujian pompa. Mesin, pompa, transmisi dan semua
bagian kendaraan harus tidak menunjukkan panas yang tidak terkendali, kehilangan daya
atau kerusakan lain selama keseluruhan pengujian.

11.13.3.3.1 Apabila kendaraan dilengkapi dengan pompa kebakaran dengan kapasitas


pengenal 2850 L/menit (750 gpm) atau Iebih besar, maka pada pompa harus dilakukan
pengujian pemompaan selama 3 jam terdiri atas 2 jam pemompaan kontinyu pada kapasitas
nominal 1035 kPa (150 psi ) tekanan bersih pompa, diikuti oleh ½ jam pemompaan kontinyu
pada 70% kapasitas nominal pada 1380 kPa (200 psi ), dan ½ jam pemompaan kontinyu
pada 50% kapasitas nominal pada 1725 kPa (250 psi ). Khusus untuk ½ jam pemompaan
kontinyu 50% kapasitas nominal dibolehkan sesuai tekanan maksimum yang ditetapkan oleh
manufaktur. Pompa tidak boleh dihentikan sampai setelah 2 jam pengujian pada kapasitas
nominal, kecuali jika diperlukan untuk membersihkan saringan hisap. Pompa boleh
dihentikan antara pengujian untuk mengganti slang atau nosel, membersihkan saringan
atau menambah bahan bakar untuk mesin penggerak pompa.

45 dari 69
SNI 09-7053-2004

Kapasitas, tekanan pelepasan, tekanan intake, dan kecepatan mesin harus direkam
sekurang – kurangnya setiap 15 menit. Tekanan bersih pompa rata-rata harus dihitung dan
direkam berdasarkan harga rata-rata untuk tekanan pelepasan dan tekanan intake.

11.13.3.3.2 Apabila kendaraan dilengkapi dengan pompa kebakaran dengan kapasitas


kurang dari 2850 L/menit (750 gpm), maka pada pompa harus dilakukan pengujian
pemompaan selama 50 menit yang terdiri atas ½ jam pemompaan kontinyu pada kapasitas
nominal 1035 kPa (150 psi) tekanan bersih pompa, diikuti dengan 10 menit pemompaan
kontinyu pada 70% kapasitas nominal pada 1380 kPa (200 psi ), dan 10 menit pemompaan
kontinyu pada 50% kapasitas nominal pada 1725 kPa (250 psi ) tekanan bersih pompa.
Khusus untuk cjam pemompaan kontinyu 50% kapasitas nominal dibolehkan sesuai tekanan
maksimum yang ditetapkan oleh manufaktur. Pompa tidak boleh dihentikan sampai setelah
½ jam pengujian pada kapasitas nominal, kecuali jika diperlukan untuk membersihkan
saringan hisap. Pompa boleh dihentikan antara pengujian untuk mengganti slang atau
nosel, atau membersihkan saringan.

Kapasitas, tekanan pelepasan, tekanan intake, dan kecepatan mesin harus direkam
sekurang – kurangnya setiap 10 menit. Pada setiap urutan pengujian, sekurang – kurangnya
tiga pembacaan harus direkam. Tekanan bersih pompa rata-rata harus dihitung dan direkam
berdasarkan harga rata-rata untuk tekanan pelepasan dan tekanan intake.

11.13.4 Pengujian beban lebih mesin pompa

Apabila pompa memiliki kapasitas nominal 2850 L/menit (750 gpm) atau lebih besar, maka
pada kendaraan harus dilakukan pengujian beban lebih yang terdiri atas pemompaan pada
kapasitas nominal 1138 kPa (165 psi ) tekanan bersih pompa untuk selama sekurang –
kurangnya 10 menit. Pengujian ini harus dilaksanakan segera setelah pengujian
pemompaan kapasitas nominal pada 1035 kPa (150 psi ).

Kapasitas aliran, tekanan pelepasan, tekanan intake, dan putaran mesin harus dicatat
sekurang – kurangnya 3 (tiga) kali selama pengujian beban lebih.

11.13.5 Pengujian sistem kontrol tekanan

Pada sistem kontrol tekanan pompa harus dilakukan pengujian sebagai berikut.
a) Pompa harus dioperasikan pada sumber air terbuka (draft), yang memberikan
kapasitas nominal pada tekanan alat ukur pelepasan sebesar 1035 kPa (150 psi).
b) Sistem kontrol tekanan harus disetel sesuai dengan instruksi manufaktur untuk
mempertahankan tekanan alat ukur pelepasan pada 1035 kPa (150 psi ) ± 5 %.
c) Semua katup pelepasan harus ditutup tidak boleh lebih cepat dari 3 detik dan tidak lebih
lambat dari 10 detik. Kenaikan tekanan pelepasan tidak boleh melebihi 207 kPa (30 psi)
dan harus dicatat.
d) Kondisi awal pemompaan kapasitas nominal pada tekanan alat ukur pelepasan sebesar
1035 kPa (150 psi) harus dikembalikan. Tekanan alat ukur pelepasan harus diturunkan
hingga 620 kPa (90 psi ) dengan menutup gas tangan tanpa perubahan pada setelan
katup pelepasan, slang ataupun nosel.
e) Sistem kontrol tekanan harus distel sesuai dengan petunjuk manufaktur untuk
mempertahankan tekanan alat ukur pelepasan pada 620 kPa (90 psi ) ± 5 %.
f) Semua katup pelepasan harus ditutup tidak lebih cepat dari 3 detik dan tidak lebih
lambat dari 10 detik. Kenaikan tekanan alat ukur pelepasan tidak boleh melebihi 207
kPa (30 psi ) dan harus dicatat.
g) Pompa harus dioperasikan pada sumber air terbuka (draft), memompa 50% dari
kapasitas nominal pada tekanan alat ukur pelepasan sebesar 1725 kPa (250 psi).
h) Sistem kontrol tekanan harus disetel sesuai dengan instruksi manufaktur untuk menjaga
tekanan alat ukur pelepasan pada 1725 kPa (250 psi ) ±5%.

46 dari 69
SNI 09-7053-2004

i) Semua katup pelepasan harus ditutup tidak lebih cepat dari 3 detik dan tidak lebih
lambat dari 10 detik. Kenaikan tekanan pelepasan tidak boleh melebihi 207 kPa (30 psi)
dan harus dicatat.

11.13.6 Pengujian alat pemancing (priming device)

11.13.6.1 Dengan semua katup intake terbuka, semua intake berpenutup atau bersumbat,
dan semua penutup pelepasan dibuka; alat pemancing (primer) harus dioperasikan sesuai
dengan instruksi manufaktur. Maksimum vakum yang dicapai harus sekurang – kurangnya
74,5 kPa (22 in.Hg). Pada ketinggian di atas 610 m(2000 ft) vakum yang dicapai
dperbolehkan kurang dari 74,5 kPa (22 in.Hg) berkurang 3,4 kPa (1 in.Hg) untuk setiap
ketinggian 305 m(1000 ft) diatas 610 m (2000 ft).

11.13.6.2 Dengan kendaraan disetel untuk pengujian pemompaan, alat pemancing harus
dioperasikan menurut petunjuk manufaktur sampai pompa berhasil mengalirkan air. Waktu
yang diperlukan sejak alat pemancing dihidupkan sampai pompa mengalirkan air harus
dicatat. Pengujian ini boleh dilakukan bersamaan dengan pengujian pompa.
Waktu yang diperlukan untuk memancing pompa tidak boleh melebihi 30 detik apabila
kapasitas nominal pompa 4732 L/menit (1250 gpm) atau kurang. Apabila kapasitas nominal
5678 L/menit (1500 gpm) atau lebih, maka waktu tersebut tidak boleh melebihi 45 detik.
Tambahan waktu 15 detik diijinkan untuk memenuhi persyaratan ini bila sistem pompa
mencakup sebuah intake pompa 100 mm (4 in.) atau lebih yang mempunyai volume I ft3 (
0,0283 m3 ) atau lebih.

11.13.7 Pengujian vakum

Sebuah pengujian vakum harus dilakukan dan terdiri dari pengujian bagian dalam pompa
dengan semua katup intake dibuka, semua intake ditutup atau di sumbat dan semua
penutup pelepasan dibuka, pada vakum sebesar 74,5 kPa (22 in.Hg) dengan menggunakan
alat pemancing (priming device). Vakum tidak boleh turun lebih dari 33,9 kPa (10 in.Hg)
dalam waktu 5 menit. Alat pemancing (primer) tidak boleh dihidupkan dalam periode 5 menit
pengujian tersebut. Selama pengujian ini mesin tidak boleh dioperasikan pada setiap
kecepatan yang lebih besar dari kecepatan yang diatur, selama pengujian ini berlangsung.

11.13.8 Pengujian aliran air dari tangki ke pompa

Pengujian dilakukan sebagai berikut:


a) Tangki air harus diisi sampai meluap.
b) Semua intake pompa harus ditutup.
c) Saluran pengisian tangki dan saluran pintas (bypass) pendingin harus ditutup.
d) Slang dan nosel untuk penyemprotan air pada laju aliran nominal tangki ke pompa harus
disambung ke satu atau lebih outlet pelepasan.
e) Katup dari tangki ke pompa dan katup pelepasan yang menuju ke slang dan nosel harus
terbuka penuh.
f) Gas tangan harus diatur sampai persyaratan laju aliran -0/+5% tercapai. (lihat Bab
12.3.2.). Tekanan pelepasan harus dicatat.
g) Katup pelepasan harus ditutup dan tangki air diisi kembali. Saluran pintas (bypass) boleh
dibuka sementara, bila diperlukan, untuk menjaga temperatur di dalam pompa pada
batas yang dapat diizinkan.
h) Katup pelepasan harus dibuka kembali secara penuh dan dicatat waktunya. Bila perlu,
gas tangan harus diatur untuk menjaga tekanan pelepasan yang dicatat seperti
disebutkan dalam butir (f).
i) Apabila tekanan pelepasan turun 34 kPa (5 psi) atau lebih, harus dicatat waktunya dan
waktu berjalan dari pembukaan harus dihitung dan dicatat. Laju aliran nominal dari tangki
ke pompa harus dipertahankan sampai 80% dari kapasitas nominal tangki telah

47 dari 69
SNI 09-7053-2004

dikeluarkan. Volume air yang dikeluarkan harus dihitung dengan cara mengalirkan laju
pengeluaran dalam Liter per menit dikalikan lama waktu (dalam menit) yang diperlukan
dari saat terbukanya katup pelepasan sampai tekanan turun sekurang-kurangnya 34 kPa
(5 psi).

11.13.9* Pengujian pra-pengiriman oleh manufaktur

Pihak manufaktur harus melakukan uji coba hidrostatik pemipaan sebelum pengiriman
kendaraan dilaksanakan. pengujian dilakukan sebagai berikut. Pompa dan semua sistem
pipa tersambung harus diuji coba secara hidrostatik pada tekanan alat ukur sebesar
1725 kPa (250 psi). Uji hidrostatik ini harus dilakukan dengan katup saluran pengisian tangki,
katup pipa saluran bypass bila dilengkapi, dan katup dari tangki ke pompa, ditutup. Semua
katup pelepasan dibuka dan outlet ditutup. Semua katup intake harus ditutup, dan intake
yang tidak berkatup harus ditutup. Tekanan ini harus dipertahankan selama 3 (tiga) menit.

12 Tangki air

12.1 Pemberlakuan

Pada kendaraan kebakaran yang dilengkapi dengan tangki air, berlaku ketentuan berikut.

12.2 Konstruksi tangki

12.2.1* Semua tangki air harus dibuat dari bahan tahan korosi atau bahan lain yang
diproteksi terhadap korosi dan proses deteriorisasi. Tangki air harus dilengkapi dengan
sarana untuk membersihkan tangki secara menyeluruh termasuk lubang manhole
berdimensi minimal 500 mm.

12.2.2* Apabila tangki terpisah dari badan kendaraan dan ruang kemudi, maka tangki
tersebut harus dilengkapi dengan suatu sarana untuk melepas dan mengangkatnya dari
casis.

12.2.3 Tangki harus duduk diatas bantalan di antara tangki dan casis (cushioned), atau
dengan cara lain yang bisa melindungi dari benturan yang mengganggu akibat melintasi
permukaan yang tidak rata, sesuai dengan persyaratan manufaktur.

12.2.4* Semua tangki air harus dilengkapi dengan penyekat (baffles) atau partisi penahan
goncangan air (swash) yang dinamis.

12.2.4.1 Apabila digunakan metoda penyekatan (baffling) minimum dua penyekat vertikal
transversal atau longitudinal harus disediakan. Harus ada jarak maksimum 1220 mm (48 in.)
di antara setiap kombinasi dinding vertikal dan dinding penyekat . Tiap penyekat harus
menutupi sedikitnya 75 persen dari luasan bidang yang mewadahi penyekat.

12.2.4.2 Apabila digunakan metoda partisi dinamis, tangki harus memiliki partisi vertikal
dalam arah transversal dan longitudinal. Partisi vertikal harus dipasang secara kuat dan
menyatu pada bagian langit-langit dan dasar tangki. Partisi longitudinal harus menjulur
minimum 75 persen dari panjang tangki. Partisi harus disusun sedemikian rupa sehingga
bidang vertikal pada tiap partisi harus membuat sel-sel dengan dimensi tidak melebihi
1220 mm (48 in.).

12.2.5 Tangki harus dilengkapi dengan satu atau lebih cekungan pembersihan (clean-out
sump). Pada tiap cekungan tersebut harus dilengkapi dengan sumbat pipa
pembuangan atau katup (pipe plug and/or valve) yang dapat dilepaskan atau dibuka
sebesar 76 mm (3 in.) atau lebih.

48 dari 69
SNI 09-7053-2004

12.2.6 Sebuah indikator yang menunjukkan tinggi muka air atau jumlah air dalam tangki
harus disediakan.

12.3 Saluran dari tangki ke intake pompa

12.3.1 Bila kendaraan dilengkapi dengan sebuah pompa, tangki air harus dihubungkan ke
sisi intake dari pompa dengan katup yang dapat dikontrol pada posisi operator pompa.

12.3.2* Bila tangki air mempunyai kapasitas yang disertifikasi (certified capacity) kurang
dari 1900 l (500 gal), susunan pipa dan katup harus mampu mengalirkan air ke pompa pada
laju minimum 950 L/menit (250 gpm). Bila kapasitas tangki air yang disertifikasi sebesar 500
gal (1900 L) atau lebih, susunan pipa dan katup harus mampu mengalirkan air ke pompa
pada laju minimum 1900 L/menit (500 gpm) atau pada kapasitas nominal pompa, tergantung
mana yang lebih kecil. Aliran ini harus dapat dipertahankan selama pemompaan pada
minimum 80 persen dari kapasitas tangki yang disertifikasi dengan kendaraan pada
permukaan tanah rata.

12.3.3* Saluran tangki ke pompa harus di lengkapi sarana otomatis yang mencegah
pengisian balik air yang tidak dikehendaki melalui saluran tersebut.

12.3.4 Sambungan atau outlet dari tangki ke pompa harus dirancang untuk mencegah
udara terbawa masuk saat pemompaan air dari tangki. Jika cekungan (sump) digunakan
sebagai sambungan tangki ke pompa, rancangan cekungan air tersebut harus mencegah
kerak atau kotoran lain memasuki pompa.

12.4 Pengisian air dan ven

12.4.1* Tangki harus dilengkapi dengan sebuah bukaan pengisian tertutup yang dirancang
untuk mencegah peluapan (spillage) dan dirancang untuk dapat dimasuki slang 65 mm (2 ½
in.) dengan koplingnya. Penutup harus ditandai dengan label yang bertuliskan ” Lubang
Pengisian Air ”. Pada bukaan tangki harus dipasang filter yang dapat dengan mudah dilepas
dan dibersihkan. Penutup, atau alat lainnya, harus terbuka seperti sebuah ven untuk
melepaskan tekanan yang timbul di dalam tangki.

12.4.2* Harus disediakan ven tangki untuk membolehkan penghisapan air dari tangki pada
laju sekurang-kurangnya sama dengan yang dibutuhkan dalam butir 12.3.2 Outlet
pembuangan kelebihan air (overflow) harus dirancang untuk mengalirkan air ke arah
belakang as roda belakang sehingga tidak mempengaruhi daya tarik (traction) ban belakang.

12.4.3* Apabila kendaraan dilengkapi dengan sebuah pompa, harus dipasang sebuah
saluran pengisian tangki yang dilengkapi katup berdiameter dalam sekurang-kurangnya 25
mm (1 in). Apabila ukuran tangki lebih besar dari 1000 gal (3785 L), saluran pengisian harus
memiliki diameter dalam sekurang-kurangnya 51 mm (2 in). Katup tersebut harus mampu
mengatur aliran dan harus dapat dikendalikan dari posisi operator pompa.

12.5* Sertifikasi kapasitas tangki air

Manufaktur harus membuat sertifikat kapasitas tangki sebelum penyerahan kendaraan.


Kapasitas ini harus dicatat pada arsip konstruksi manufaktur (lihat butir 5.11), dan
sertifikatnya harus diberikan kepada pembeli saat kendaraan diserahkan.

49 dari 69
SNI 09-7053-2004

Lampiran A
(Informatif)
Bahan penjelasan

Lampiran A bukan bagian yang dipersyaratkan dari standar ini, tetapi dimaksudkan untuk
tujuan informasi. Lampiran berisi bahan penjelasan, nomor butir yang ditunjukkan
berhubungan dengan penerapan teks paragrap yang diberi tanda *.

A.1 Terminologi “baru” yang berlaku di dalam standar ini adalah dimaksudkan untuk
menunjuk kepada pembuatan baru sebuah kendaraan pemadam kebakaran. Standar ini
tidak dimaksudkan untuk berlaku mundur kepada kendaraan yang ada. Tetapi bila
pembaharuan dikerjakan kepada kendaraan yang ada, dianjurkan bahwa kendaraan
tersebut sejauh mungkin mengikuti standar ini.

Terminologi kendaraan kebakaran didefinisikan di dalam standar ini sebagai sebuah


kendaraan dengan berat kotor (GVWR) 10,000 lb (4540 kg) atau lebih. Meskipun standar ini
tidak ditulis secara khusus untuk mencakup kendaraan dibawah ukuran itu, instansi
kebakaran sebaiknya mempertimbangkan menggunakan bagian standar yang merujuk soal
keselamatan dengan kendaraan yang lebih kecil. Ini berlaku terutama sekali kepada
pengekangan peralatan di dalam daerah kemudi dan awak dan untuk penyediaan peralatan
peringatan optis yang memadai dan garis reflektif untuk meningkatkan visibilitas kendaraan.

A.1.4 Pembelian sebuah kendaraan pemadam kebakaran kebakaran baru adalah suatu
investasi yang besar dan sebaiknya diberlakukan seperti itu. Kendaraan pemadam
kebakaran adalah sebuah peralatan mekanikal yang kompleks yang sebaiknya tidak dibeli
secara sembrono. Sebuah pembelian sebaiknya dibuat hanya setelah sebuah kajian
terperinci dari kebutuhan kendaraan instansi kebakaran dibuat, dengan mempertimbangkan
peralatan lain yang telah dimiliki atau direncanakan untuk dibeli.

Kepala instansi kebakaran dan staf-nya tahu kondisi di mana kendaraan akan digunakan.
Namun nasihat yang kompeten sebaiknya didapatkan juga dari sumber lain yang mengerti
seperti personil instansi kebakaran lain yang berpengalaman, majalah teknik, instruktur
pelatihan, personil perawatan, dan pabrik komponen dan peralatan kebakaran. Juga
sebaiknya berkonsultasi dengan otoritas asuransi kebakaran.

Kajian sebaiknya tidak hanya melihat operasional sekarang dan resiko yang diproteksi tetapi
juga bagaimana keadaan ini mungkin berubah sepanjang umur kendaraan pemadam
kebakaran.

Penulisan Spesifikasi. Standar ini memberikan persyaratan teknis minimum yang


diharapkan dipenuhi oleh kendaraan pemadam kebakaran yang baru. Disadari bahwa
banyak pembeli akan menginginkan tambahan fitur operasional di atas persyaratan minimum
ini. Persyaratan di dalam standar ini bersama-sama dengan Lampiran penjelasan, sebaiknya
dipelajari secara hati-hati. Rincian, seperti dimana kendaraan yang sedang dibuat
spesifikasinya perlu melebihi persyaratan minimum atau dimana suatu pengaturan spesifik
diinginkan, sebaiknya didefinisikan secara hati-hati di dalam spesifikasi kendaraan. Ini
mungkin termasuk persyaratan kinerja khusus, jumlah kursi dan pengaturan tempat duduk
anggota instansi kebakaran yang ikut, atau penyediaan ruangan untuk slang ekstra atau
peralatan yang akan dipersyaratkan dibawa.

Pertimbangan pertama dalam rancangan sebuah kendaraan pemadam adalah komponen


yang terpasang tetap. Komponen utama “fungsi pendukung” ini dapat merupakan elemen
beban kendaraan yang paling terkonsentrasi dan berat. Sangat penting bahwa elemen-
50 dari 69
SNI 09-7053-2004

elemen ini dalam rancangan awal diatur dan diletakkan pada kendaraan untuk memberikan
sebagai berikut:
1) Distribusi beban yang bagus
2) Keseimbangan (sekaligus depan ke belakang dan kanan ke kiri)
3) Pusat graviti rendah

Komponen terpasang tetap ini dapat diletakkan di bagian luar atau dalam kendaraan untuk
dapat berfungsi dan diatur di dalam sebuah denah untuk dapat mudah digunakan (user-
friendly) dalam keadaan darurat. Secara spesifik, berikut adalah contohnya peralatan
terpasang tetap:
1) Generator listrik
2) Tangki air, pompa kebakaran dan peralatan pemadaman lainnya
3) Kompresor
4) Semua jenis alat gulung

Fungsi pendukung utama dari sebuah kendaraan pemadam kebakaran, tidak tergantung
jenisnya, adalah peralatan portabel. Karena itu pedoman ini memberi perhatian begitu
banyak kepada berat kotor (GVWR) dan daya angkut akhir dari kendaraan yang telah
selesai dibuat, dimana termasuk sekaligus peralatan terpasang tetap dan portabel.

Daftar peralatan portabel dan terpasang tetap sangat bervariasi, tergantung kepada misi
kendaraan, sehingga instansi kebakaran perlu untuk mengukur dan menimbang peralatan
spesifik mereka.

Instansi kebakaran sebaiknya mengklasifikasikan peralatan sebagai berikut:


Yang telah ada ― peralatan yang sekarang mereka miliki yang akan dibawa
Diusulkan ― peralatan baru yang akan dibawa ketika kendaraan dimasukkan dalam tugas
Masa depan ― peralatan yang mungkin dibawa di masa depan

Dengan cara ini, sebuah casis dengan berat kotor (GVWR) yang memadai dapat disediakan
untuk menjamin bahwa kendaraan tidak akan bermuatan lebih di masa depan.

Setelah menentukan daftar dari peralatan sekarang, diusulkan dan masa depan, instansi
kebakaran sebaiknya meng-analisa kubikasi “aktual” dari ruangan yang diperlukan untuk
peralatan. Ruang aktual yang dapat dipakai di dalam kompartemen juga sebaiknya
dipertimbangkan, disamping meter kubik untuk setiap barang peralatan yang dibawa. Faktor
berikut mungkin dapat menambah keperluan meter kubik ruang penyimpanan dan demikian
juga ukuran badan kendaraan:
1) Gangguan antara pintu kompartemen dan kotak baki
2) Implikasi pemasangan
3) Rak kompartemen
4) Baki dorong
5) Komponen badan kendaraan seperti flens kompartemen, takik, dan gangguan lain yang
mempengaruhi pemindahan peralatan dari kompartemen
6) Ventilasi generator, kompresor udara, atau peralatan lain

Bila kondisi operasional setempat memerlukan kendaraan dengan rancangan tidak biasa,
pembeli perlu untuk secara hati-hati merumuskan persyaratan khusus di dalam spesifikasi.
Tinggi, lebar, tinggi bebas kolong kendaraan, jarak antara sumbu roda, radius belok,
panjang, dan seterusnya kadang-kadang mungkin memerlukan perhatian khusus. Sebagai
contoh, sebuah wilayah dengan dengan banyak jalan yang sempit dan berkelok-kelok
sebaiknya mempunyai kendaraan yang mampu untuk menangani pembalikan dengan
segera.

51 dari 69
SNI 09-7053-2004

Pedoman atau standar ini dirancang untuk menjamin peralatan yang bagus yang mampu
memberikan kinerja bagus, dengan pencantuman restriksi hanya bila diperlukan untuk
spesifikasi minimum. Pengujian adalah sebuah segi yang penting dan hasilnya sebaiknya
dianalisa secara hati-hati untuk menjamin bahwa kendaraan yang telah dibuat memenuhi
kinerja spesifikasi yang ditetapkan.

Undang-undang, peraturan dan ketentuan untuk kendaraan bermotor pengangkut barang


berlaku pula untuk kendaraan pemadam.

Banyak pembeli kendaraan yang mendapat keuntungan dari kunjungan inspeksi interim
pada pabrik kendaraan. Keuntungannya berupa kesempatan untuk meng-evaluasi konstruksi
sebelum pemasangan dan pengecatan akhir. Spesifikasi sebaiknya merinci hal – hal khusus
mengenai inspeksi tersebut.

Kepala instansi kebakaran (atau wakilnya yang ditunjuk) biasanya melakukan kewenangan
serah terima menyusul penyelesaian pengujian dan inspeksi untuk pemenuhan spesifikasi
pembelian. Spesifikasi sebaiknya memberikan rincian penyerahan yang diharapkan,
termasuk pelatihan yang diinginkan, persyaratan pengujian serah terima, dan pihak yang
bertanggung jawab untuk berbagai macam biaya yang terkait dengan penyerahan dan serah
terima.

Pelatihan untuk personil instansi kebakaran yang ditetapkan adalah perlu untuk menjamin
bahwa pembeli dan pengguna tahu dan mengerti tentang operasi yang benar, pemeliharaan,
dan perawatan dari kendaraan yang diperoleh. Pelatihan sebaiknya memberikan instruksi
awal untuk kendaraan baru. Secara tipikal pelatihan diberikan oleh seorang wakil pemasok
yang berkualifikasi di tempat pengguna. Spesifikasi sebaiknya mengidentifikasi dengan jelas
pengaturan pemberian pelatihan, termasuk di mana diberikan, lamanya, dan alat bantu
pelatihan yang disediakan seperti video tape atau manual pelatihan.

Pembeli harus juga mendefinisikan di dalam spesifikasi jaminan (warranty) yang diinginkan
untuk kendaraan. Jaminan adalah garansi tertulis atas integritas kendaraan atau
komponennya yang mendefinisikan tanggung jawab manufaktur di dalam periode waktu
tertentu. Kadang-kadang jaminan diperpanjang untuk sebuah perioda jaminan kedua
melewati persyaratan jaminan dasar untuk komponen spesifik, seperti mesin, pompa,
rangka, tangki air, dan seterusnya. Bila ada manufaktur kedua yang terlibat di dalam
modifikasi komponen yang dijamin manufaktur utama, tanggung jawab untuk jaminan
pekerjaan harus dimengerti secara jelas oleh manufaktur utama, manufaktur kedua,
pemasok dan pembeli.

Pembeli mungkin menginginkan sebuah surat jaminan (warranty bond) untuk menjamin
bahwa setiap pekerjaan jaminan akan dilaksanakan meskipun manufaktur kendaraan
kebakaran mungkin telah keluar dari bisnis. Sebuah surat tanggungan jaminan adalah surat
tanggungan yang dijamin pihak ketiga yang dibuat oleh manufaktur sebelum penyerahan
kendaraan untuk garansi kecakapan kerja pembuatan (workmanship), kualitas bahan, atau
kinerja lain yang dinyatakan dari komponen kendaraan.

Terakhir, direkomendasikan bahwa kepala instansi kebakaran, staf instansi kebakaran, atau
komite yang ditugaskan untuk mengembangkan spesifikasi berkonsultasi dengan biro
hukum, ahli teknik, dan pejabat yang tepat dari pembeli untuk pertolongan dalam
pengembangan spesifikasi yang rinci.

Mendapatkan dan Mempelajari Proposal. Bila spesifikasi telah selesai sebaiknya


didistribusikan ke manufaktur kendaraan dan pemasok dengan permintaan untuk
penyediaan kendaraan sesuai spesifikasi. Permintaan sebaiknya memuat sebuah tanggal,
waktu, dan tempat untuk pembukaan resmi penawaran. Tanggal ini sebaiknya memberikan

52 dari 69
SNI 09-7053-2004

waktu paling sedikit 1 (satu) bulan bagi manufaktur untuk mempelajari spesifikasi dan
estimasi biaya. Lebih banyak waktu mungkin diperlukan bila dipersyaratkan gambar teknik
dari kendaraan yang diusulkan.

Permintaan sebaiknya juga menyatakan perioda waktu harga penawaran berlaku dan
apakah sebuah surat tanggungan jaminan penawaran (bid bond) diperlukan. Surat
tanggungan jaminan penawaran menjamin bahwa bila sebuah kontrak ditawarkan kepada
penawar/peserta tender dalam waktu yang ditetapkan, penawar/peserta tender akan
menerima kontrak dibawah persyaratan penawaran.

Direkomendasikan bahwa sebuah rapat pra-penawaran (pre-bid meeting) diadakan antara


pembeli dan para manufaktur kendaraan pemadam atau agen/wakilnya atau pemasok
sebelum pengumuman resmi spesifikasi kendaraan. Rapat semacam itu dirancang untuk
membolehkan suatu kaji ulang rinci dari konsep spesifikasi oleh semua yang hadir di dalam
rapat. Masalah dengan spesifikasi, gagasan untuk bagaimana menyediakan kendaraan
kepada pembeli dengan cara lain, klarifikasi dari maksud pembeli, dan pertanyaan lain dapat
diselesaikan sebelum proses penawaran resmi. Rapat sering dapat memecahkan masalah
salah pengertian atau menyelesaikan masalah sebelum terjadi.

Dengan sebuah spesifikasi kinerja/unjuk kerja, biasanya mungkin untuk mendapatkan


penawaran yang lebih menguntungkan, karena sungguh-sungguh ada kompetisi dan
spesifikasi tidak terlalu restriktif. Penawaran harus disertai dengan sebuah deskripsi rinci
kendaraan, sebuah daftar peralatan yang disediakan, dan rincian lain konstruksi dan kinerja,
termasuk tetapi tidak terbatas pada, perkiraan berat, jarak sumbu roda, dimensi utama,
transmisi, dan axle ratio. Guna spesifikasi pemasok adalah untuk mendefinisikan apa yang
pemasok bermaksud untuk menyediakan dan menyerahkan kepada pembeli.

Proposal manufaktur mungkin termasuk amandemen dan pengecualian. Seringkali,


perubahan ini ditawarkan untuk memenuhi persyaratan harga atau karena manufaktur
memilih untuk membuat kendaraan dalam cara yang lebih cocok bagi mereka. Bila maksud
dari spesifikasi asli tidak diubah dan penawaran menguntungkan, pembeli sebaiknya
mempertimbangkan amandemen ini dengan persetujuan dari otoritas pembelian. Sebaliknya,
kehati-hatian yang sangat sebaiknya diambil untuk menghindari membolehkan pengecualian
yang hanya menurunkan nilai kendaraan dan memberikan keuntungan kepada penawar.

Pembeli sebaiknya mempelajari proposal, mencari deviasi dari spesifikasi, dan mendapatkan
klarifikasi bila perlu. Bila pembeli telah secara spesifik memberikan alternatif dalam
permintaan penawaran, kehati-hatian ekstra perlu dilakukan ketika mengevaluasi proposal
seperti kombinasi dari penawaran yang ruwet akan memerlukan analisa yang hati-hati.
Pengaturan finansial, sebuah tanggal penyerahan, dan cara penyerahan sebaiknya
ditetapkan dan disetujui oleh otoritas pembelian.

Penyerahan Kontrak. Dengan penyerahan dari sebuah kontrak, penting bagi otoritas
pembelian untuk mengerti secara pasti dengan siapa kontrak itu, dan sifat hubungannya
dengan manufaktur kendaraan. Beberapa manufaktur kendaraan bekerja melalui sebuah
jaringan pedagang kendaraan (dealer} dimana pedagang kendaraan membeli kendaraan
dari seorang manufaktur, termasuk pengambilan hak, dan kemudian menjual kembali
kendaraan ke otoritas pembelian. Manufaktur lain bekerja melalui agen penjualan atau
perwakilan yang berusaha mendapatkan dan menegosiasikan sebuah kontrak antara
otoritas pembelian dan manufaktur tetapi tidak pernah mengambil hak atas kendaraan
tersebut. Perbedaan ini dapat berpengaruh terhadap letak pertanggungjawaban untuk
pemenuhan yang benar dari kontrak.

53 dari 69
SNI 09-7053-2004

Beberapa otoritas pembelian mempersyaratkan sebuah surat tanggungan unjuk kerja


(performance bond) sebagai bagian dari kontrak. Sebuah surat tanggungan unjuk kerja
adalah sebuah tanggungan yang dilaksanakan dalam hubungan dengan sebuah kontrak
yang menjamin bahwa pemasok akan memenuhi semua pengusahaan, perjanjian/akad,
persyaratan, kondisi dan persetujuan yang termasuk di dalam kontrak. Bila pemasok gagal
memenuhi persyaratan kontrak, perusahaan tanggungan akan bertanggung jawab untuk
perbedaan biaya harga orisinil kontrak dan harga baru dari kendaraan bila harus dipasok
oleh pemasok lain.

Sebelum menandatangani sebuah kontrak, pembeli sebaiknya memastikan bahwa penawar


yang berhasil / pemenang tender mempunyai pengertian yang komplit dan menyeluruh dari
spesifikasi. Bila ada ketidaksetujuan, sebaiknya diselesaikan secara tertulis dan dimasukkan
sebagai bagian dari kontrak. Setiap perubahan yang disetujui harus dinyatakan secara
tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Kontrak sebaiknya tidak ditandatangani
sampai kepala instansi kebakaran (atau yang ditunjuk) dan otoritas pembelian puas atau
yakin.

Serah Terima. Bila kendaraan telah siap untuk penyerahan dan serah terima, pembeli
mempunyai tanggung jawab untuk memeriksa kendaraan yang telah selesai terhadap
spesifikasi dan kontrak untuk menjamin bahwa semua yang dipersyaratkan telah diserahkan.
Ini termasuk penyaksian setiap pengujian serah terima dan verifikasi bahwa berat kotor dan
distribusi berat sumbu kendaraan adalah di dalam nilai nominal (rating) casis dan sumbu.

Pembeli juga sebaiknya mengatur setiap pelatihan yang termasuk penyerahan dan
menjamin bahwa telah diserahkan secara benar.

Sebaiknya pembayaran diotorisasi hanya bila pembeli telah puas secara penuh bahwa
kontrak telah dipenuhi.

A.3.3 Alat ukur gabungan

Pada kebanyakan alat ukur, nol sama dengan tekanan atmosfir. Alat ukur pada umumya
mengukur tekanan diatas tekanan atmosfir dalam pon per inci kuadrat (psi) dan dibawah
atmosfir dalam inci air raksa (Hg).

A.3.7 Nilai nominal berat kotor kendaraan (GVWR-Gross Vehicle Weight Rating)

Dipersyaratkan oleh Departemen Perhubungan bahwa nilai nominal berat kotor kendaraan
harus dipasang di kendaraan dengan label terpasang permanen. Nilai nominal berat
kendaraan dalam penggunaan dapat sama dengan atau kurang dari jumlah nilai nominal
berat kotor sumbu depan dan nilai nominal berat kotor sumbu belakang. Berat kendaraan
dalam penggunaan sebaiknya selalu sama dengan atau kurang dari nilai nominal berat kotor
kendaraan.

A.3.8 Nilai nominal berat kotor sumbu (GAWR-Gross Axle Weight Rating)
Dipersyaratkan oleh Departemen Perhubungan bahwa nilai nominal berat kotor sumbu harus
dipasang di kendaraan dengan label terpasang permanen. Sistem sumbu termasuk, tetapi
tidak terbatas pada, sumbu, ban, suspensi, roda, rem, dan torsi mesin yang diaplikasikan.
A.3.16 Disetujui
BSN bukan instansi yang menyetujui, atau memberikan sertifikat pada setiap instalasi,
prosedur, peralatan atau bahan. Dalam menentukan persetujuan instalasi, prosedur,
peralatan atau bahan, instansi berwenang menggunakan dasar standar ini atau standar lain
yang setara bila dalam standar ini tidak tersebut.

54 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.3.24 Instansi berwenang

Penyebutan “instansi berwenang” digunakan pada dokumen dalam pengertian yang luas,
karena kewenangan dari instansi yang memberi persetujuan beragam, demikian pula
pertanggung jawabannya.

Bila kepentingan publik diutamakan, maka instansi berwenang dapat saja pemerintah pusat,
instansi kebakaran setempat, atau pihak lainnya yang secara hukum berwenang.

A.3.76 Sirene elektrik (Elektromekanik)

Hanya satu jenis suara peringatan dapat diproduksi oleh sirene elektrik, tetapi keras dan
tinggi nada (pitch) suara dapat diatur oleh putaran motor.

A.3.77 Sirene elektronik

Bermacam jenis suara peringatan dapat diproduksi oleh sirene elektronik, seperti lengkingan
(wail), dengkingan (yelp), atau simulasi klakson angin.

A.3.85 Sumber optis

Sumber optis dapat terdiri dari sebuah elemen optis tunggal atau sebuah susunan tetap
sebarang jumlah elemen optis yang posisi geometriknya relatif satu sama lain telah
ditentukan oleh manufaktur sumber optis dan tidak dimaksudkan untuk dimodifikasi.

A.3.87 Tanjakan

Suatu kemiringan 45-derajat adalah sama dengan suatu tanjakan 100 persen.

A.3.90 Tekanan bersih pompa

Bila beroperasi dari sebuah hidran, tekanan bersih pompa secara khas kurang dari tekanan
pelepasan. Sebagai contoh, bila alat ukur tekanan pelepasan menunjukkan 1034 kPa (150
psi) dan alat ukur tekanan pasokan (hisap) menunjukkan 13 kPa (20 psi), tekanan bersih
pompa sama dengan 896 kPa (130 psi). Bila beroperasi dengan tekanan hisap negatif,
tekanan bersih pompa akan di atas tekanan pelepasan. Sebagai contoh, bila alat ukur
tekanan pelepasan menunjukkan 1000 kPa (145 psi) dan alat ukur tekanan pasokan (hisap)
menunjukkan 34 kPa (10 in. Hg) vakum, tekanan bersih pompa akan menjadi 1034 kPa (150
psi) (1 in. Hg = 0,5 psi = 3,38 kPa).

A.5.2.1 Kompartemen mesin dan kolong kendaraan tidak dianggap daerah operasi non-
perawatan normal.

A.5.5.2 Distribusi berat antara roda depan dan belakang sebaiknya menjadi pertimbangan
penting, karena rancangan yang salah akan mempengaruhi karakteristik pengemudian
kendaraan. Berat yang terlalu kecil di roda depan dapat menyebabkan slip ujung depan dan,
di atas jalan bergelombang, dapat menyebabkan bagian depan kendaraan membelok dari
sisi ke sisi. Paling tidak, akan sukar untuk mempertahankan pengendalian kendaraan. Berat
yang terlalu banyak di roda depan akan menurunkan traksi roda belakang dan dapat
menghasilkan slip ujung belakang atau kesulitan dalam perjalanan di atas jalan tidak
beraspal atau di dalam lumpur.

A.5.6.1 Daya yang dihasilkan oleh motor bakar dapat berkurang dengan bertambahnya
ketinggian dari muka laut. Kerugian daya bervariasi dengan jenis mesin, bahan bakar yang
digunakan, dan jumlah udara masukan alat penambah tenaga (supercharging). Bila

55 dari 69
SNI 09-7053-2004

kendaraan akan digunakan secara tetap pada elevasi di atas 610 m (2000 ft), manufaktur
perlu mengetahui elevasi operasi untuk menyediakan motor yang akan memberikan kinerja
yang benar. (Lihat Butir 1-4).

A.5.6.2 Meskipun pembeli perlu mempersyaratkan tanjakan melebihi 6 persen (Lihat Butir
1-4), instansi kebakaran sebaiknya mengevaluasi apakah kendaraan akan diharapkan
beroperasi dalam posisi berhenti pada tanjakan seperti itu. Ekspos yang kadang-kadang ke
tanjakan yang berlebihan sementara bergerak di jalan adalah berbeda dari operasi stasioner
yang lama. Kendaraan mungkin memerlukan sistem pelumasan khusus untuk mesin dan
modifikasi lain untuk menjamin bahwa kendaraan tidak akan rusak oleh operasi pada
tanjakan.

A.5.7(2) Meskipun standar ini mengakui keperluan kendaraan untuk dapat berakselerasi ke
suatu kecepatan tinggi sementara melintas di jalan umum, sebaiknya berhati-hati berapa
cepat kendaraan akan berjalan. Untuk keselamatan sebaiknya dipertimbangkan kecepatan
maksimum kendaraan yang dapat dicapai.

Di mana kendaraan pemadam harus beroperasi di luar jalan beraspal, penggerak semua
roda, sumbu belakang dua-kecepatan, atau sebarang kombinasinya, mungkin menambah
kapabilitas kendaraan untuk bergerak di semua medan.

A.5.7(3) Pembeli sebaiknya membuat spesifikasi kinerja yang dipersyaratkan pada


tanjakan melebihi 6 persen. Penggunaan yang kadang-kadang pada tanjakan yang curam
berbeda dengan penggunaan pada setiap hari. Sebuah kombinasi dari tanjakan curam dan
jalan sempit berkelok-kelok mungkin memerlukan konsultasi dengan manufaktur sebelum
finalisasi spesifikasi kendaraan, dan kemudian perencanaan dari tes jalan yang khusus. Bila
kendaraan akan dimaksudkan untuk sebuah kelas penggunaan di luar dari biasanya,
manufaktur tidak dapat diharapkan untuk antisipasi kebutuhannya tanpa rincian spesifikasi
yang cukup.

A.5.8.1 Pembeli mungkin ingin untuk mempersyaratkan bahwa semua pemeriksaan rutin
pelumas dan cairan pendingin dapat dikerjakan dari permukaan tanah untuk mengurangi
resiko luka-luka akibat jatuh dari kendaraan.

A.5.8.4 Pemasok komponen dan peralatan yang terpasang atau yang dipasok oleh
pemasok sering menyerahkan dokumen pemeliharaan dan operasi bersama-sama dengan
komponen atau peralatan. Standar ini mempersyaratkan bahwa pemasok meneruskan
dokumen-dokumen ini kepada pembeli. Pembeli sebaiknya mempersyaratkan sejumlah
salinan dokumen yang diperlukan.

A.5.10 Di mana tempat penyerahan pada ketinggian 610 m (2000 ft) di atas muka laut dan
sebuah pompa kebakaran disediakan, pengujian beban lebih mesin pemompaan yang
dijelaskan di butir 11.3.3 sebaiknya dilakukan untuk menjamin bahwa mesin akan
menghasilkan daya yang cukup pada titik kerja. Pengujian ini sebaiknya dilakukan dengan
pompa dipasok dari sumber air terbuka sesuai Tabel 11.2.4.1(a), dengan tekanan bersih
dipertahankan pada 1138 kPa (165 psi).

A.6.2 Instansi kebakaran sebaiknya secara hati-hati mengevaluasi kebutuhan pasokan


airnya dan sistem pasokan air yang ada ketika mempertimbangkan besar tangki air. Seribu
seratus tiga puluh enam liter air (300 gal) adalah kapasitas tangki minimum dan mungkin
tidak memenuhi keperluan instansi kebakaran. Daerah dengan jarak antara hidran kota yang
jauh atau tidak ada hidran kota sebaiknya sangat mempertimbangkan untuk menambah
kapasitas tangki air. Instansi kebakaran sebaiknya memilih ukuran tangki terbaik untuk
mendukung secara efisien dan efektif operasi pemadaman.

56 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.6.3 Kompartemen tambahan mungkin diperlukan untuk akomodasi ukuran, bentuk, dan
berat peralatan khusus. Setiap peralatan khusus yang dibawa oleh kendaraan sebaiknya
diidentifikasikan di dalam spesifikasi sehingga manufaktur kendaraan dapat menjamin
bahwa peralatan tersebut akan diakomodasikan secara benar dalam rancangan kendaraan.
A.6.4 Instansi kebakaran sebaiknya mempertimbangkan untuk mempersyaratkan suatu
jenis tutup untuk penutup kompartemen slang. Penutup ber-engsel atau dapat dipindah
mungkin menguntungkan.
A.6.6 Bila tidak ada kendaraan tangga dalam tugas, kendaraan pompa sebaiknya biasanya
dilengkapi dengan sebuah tangga julur minimal 6 m (19,6-ft). Mungkin menguntungkan untuk
standarisasi tangga tersebut pada 8 m (26-ft), tanpa memperhatikan ada kendaraan tangga
dalam tugas. Instansi kebakaran sebaiknya mempertimbangkan spesifikasi panjang tangga
tersebut yang membolehkan ujung tangga diulur minimum 0,6 m (2 ft) di atas atau ke dalam
daerah bahaya supaya menjadi sebuah jalan keluar darurat yang kelihatan dan dapat
diakses.
A.6.7 Ukuran slang hisap yang dispesifikasi dalam Tabel 11.2.4.1(a) hanya menunjuk
kepada sertifikasi pompa saja. Ukuran lain slang hisap yang cocok dengan operasi lokal
dapat dipakai dan sebaiknya dispesifikasi bila diinginkan.
A.6.8.1 Sekarang banyak instansi kebakaran yang merasakan manfaat menggunakan
slang pasokan diameter besar untuk secara efektif mengalirkan air dari sumber ke tempat
kebakaran. Instansi kebakaran yang melayani daerah dengan jarak antara hidran kota yang
jauh atau tidak ada hidran kota sering merasakan manfaat membawa slang tambahan.
Bila operasi disesuaikan untuk penggunaan banyak slang ukuran besar dari sebuah
kendaraan tunggal, instansi kebakaran sebaiknya mempertimbangkan lebih banyak slang 65
mm (2 ½ in.) dan nosel tambahan. Demikian pula, jumlah dan ukuran slang yang dipakai
untuk memasok alat aliran besar sebaiknya dipertimbangkan dalam perencanaan jumlah dan
ukuran slang yang yang akan dibawa.
Instansi kebakaran sebaiknya mengevaluasi kebutuhannya dan memilih ukuran dan jumlah
slang yang akan paling baik mendukung operasinya dan kemudian mendiskusikan
kebutuhan ruang penyimpanan slang dengan pemasok untuk menjamin bahwa ruang
penyimpanan slang kendaraan pemadam kebakaran akan disusun secara benar dan
ukurannya cukup untuk memuat kebutuhan instansi kebakaran.
A.6.8.2 Persyaratan tugas di komunitas yang berbeda akan mengharuskan penambahan
peralatan yang dibawa. Tujuan operasional adalah untuk tiba di tempat kejadian darurat
dengan peralatan yang diperlukan untuk dengan segera melakukan operasi penyelamatan
jiwa dan pengendalian keadaan darurat.
Peralatan wajib yang dipersyaratkan untuk dibawa kendaraan pompa pemadam kebakaran
mempunyai berat kira-kira 272 kg (600 lb). Ini meninggalkan kapasitas sisa sebesar kira-kira
635 kg (1400 lb) untuk pemuatan peralatan bebas pilih, sementara tetap dalam batas
kelonggaran 908 kg (2000 lb). Bila peralatan dengan berat melebihi 908 kg (2000 lb) akan
dibawa, pembeli sebaiknya memberitahu pemasok sehingga pemasok dapat menyediakan
casis dengan ukuran cukup.
A.7.1 Kapasitas angkut kendaraan merupakan satu segi rancangan yang paling tidak
dimengerti dan yang paling penting. Sebuah kendaraan dirancang untuk sebuah GVWR
maksimum atau berat total maksimum, yang tidak boleh dilampaui oleh manufaktur
kendaraan atau pembeli setelah kendaraan tersebut digunakan. Banyak faktor yang
menentukan GVWR, termasuk rancangan dari per atau sistem suspensi, nilai kapasitas
sumbu, nilai pembebanan ban dan roda, dan distribusi berat antara roda depan dan
belakang.

57 dari 69
SNI 09-7053-2004

Satu faktor yang paling kritis adalah ukuran tanki air. Berat air adalah kira-kira 1 kg/L (8.3
lb/gal). Dapat dipakai patokan 1,2 kg/L (10 lb/gal) untuk memperkirakan berat tanki dan isi
airnya, sehingga untuk tanki 1900L (500 lb/gal) berat tanki termasuk airnya adalah sekitar
2268 kg (2,5 ton).

Untuk menghindari kendaraan dimuati secara berlebih, pembeli harus memberikan


kepada pemasok berat peralatan yang akan dibawa bila melebihi jumlah yang diijinkan
sebesar 908 kg.

Pemuatan kendaraan secara berlebih oleh manufaktur karena rancangan, atau oleh pembeli
dengan menambahkan jumlah besar peralatan setelah digunakan, akan menurunkan umur
kendaraan dan pasti berakibat kepada penambahan biaya pemeliharaan, khususnya
berkenaan dengan transmisi, kopling dan rem. Pemuatan kendaraan secara berlebih juga
secara serus dapat mempengaruhi karakteristik pengendalian kendaraan, khususnya
membuat sukar pengemudian kendaraan.

Kendaraan pemadam harus mampu untuk bertugas di bawah kondisi yang mungkin
memerlukan operasi di luar jalan beraspal. Komponen casis harus dipilih dengan
pertimbangan kondisi tugas yang berat.

A.7.1.1 Berat per personil 70 kg tidak termasuk berat SCBA dan peralatan yang dibawa
oleh seorang petugas pemadam kebakaran, karena berat peralatan tersebut sudah
dibicarakan di bagian lain.

A.7.2.1 Standar ini tidak memberikan besar mesin minimum karena besar mesin perlu
dipilih untuk disesuaikan dengan kondisi rancangan dan penugasan.

Banyak dinas kebakaran menyukai mesin putaran-rendah torsi-tinggi untuk tugas dinas
kebakaran sebab mesin semacam itu mempunyai karakteristik kinerja bagus ketika
menjalankan kendaraan melalui lalu lintas kota dan ketika menggerakkan pompa. Akan
tetapi mesin putaran-tinggi juga kerap digunakan untuk kendaraan pemadam, khususnya
pada kasus casis kendaraan komersial. Bila mesin bensin putaran tinggi dipilih untuk
digunakan dalam kendaraan pemadam, direkomendasikan bahwa satu dari komponen
berikut dispesifikasikan: sumbu belakang dua-kecepatan dengan bilangan rasio tinggi atau
transmisi tambahan.

A.7.2.1.1 Kecepatan maksimum yang diatur ditentukan oleh manufaktur mesin sebagai
sebuah batas aman dari putaran mesin. Alat pengatur atau sistem pengendalian bahan
bakar elektronik seharusnya mencegah mesin dari melampaui putaran yang aman. Sebagian
besar manufaktur mesin mengijinkan toleransi plus 2 persen untuk putaran maksimum yang
diatur.

A.7.2.1.3 Penyetopan mesin yang di luar kendali operator pompa selama operasi
pemadaman kebakaran dapat mengakibatkan kehilangan tekanan aliran air pompa yang
dapat membahayakan personil.

A.7.2.1.4 Penambahan putaran mesin memberikan penambahan output alternator,


penambahan pendinginan mesin, penambahan output alat tata udara, dan penambahan
output atau kinerja dari peralatan lain yang mendapat daya dari mesin casis. Maksud dari
interlok adalah untuk menjamin bahwa putaran mesin casis tidak dapat ditambah tanpa
melepaskan roda penggerak kendaraan pada transmisi (dalam posisi parkir atau netral) atau
dengan mempunyai sebuah split shaft PTO yang terhubung penuh dalam posisi yang benar
untuk menggerakkan komponen.

58 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.7.2.2.1 Bila sebuah casis komersial model produksi reguler digunakan,


direkomendasikan bahwa pilihan radiator untuk tugas berat dimasukkan bila pilihan
semacam itu tersedia. Bila tersedia, lebih disukai radiator dengan bagian puncak dan dasar
yang disekrup dan pemegang samping yang dapat dilepas. Segi lain yang boleh dipilih yang
mungkin dikehendaki termasuk pengolah air pendingin (coolant conditioner) dan alat ukur
permukaan air radiator, yang bila dipakai harus dari jenis yang disetujui oleh manufaktur
mesin.

Bila terdapat kondisi lokal yang ekstrim, yaitu temperatur dan humiditas tinggi atau
temperatur yang sangat rendah, pembeli harus secara khusus menyatakan di bawah kondisi
lingkungan apa kendaraan diharapkan untuk beroperasi.

A.7.2.3.1 Saringan minyak pelumas aliran penuh adalah wajib dengan beberapa mesin
diesel.

A.7.2.4.1 Penyetopan mesin darurat manual mungkin tersedia disamping saklar


penyetopan mesin normal, dan dapat merupakan jenis yang akan menutup pasokan udara
atau aliran gas buang dari mesin. Mekanisme aktivasi harus diberi tutup dan ditandai dengan
tulisan “Penyetopan Darurat”. Harus termasuk cara untuk mencegah start mesin kembali
tanpa sebuah prosedur re-set khusus.

A.7.2.4.1.1 Tingkat di mana proteksi udara inlet dipersyaratkan dapat bergantung kepada
operasi spesifik dinas kebakaran. Kehati-hatian perlu dilakukan karena saringan udara intake
dapat mempengaruhi persyaratan restriksi udara manufaktur.

A.7.2.4.1.2 Untuk pencegahan penyetopan mesin yang disebabkan oleh kontaminasi


bahan bakar, mungkin dapat dipilih saringan ganda paralel, dengan pengaturan katup yang
benar sehingga setiap saringan dapat digunakan secara terpisah. Pembeli harus
mempersyaratkan apabila saringan ganda dikehendaki. Pemasangan dua atau lebih pompa
harus dirancang sedemikian sehingga kegagalan satu pompa tidak menghilangkan kinerja
pompa lain. Harus diingat bahwa kendaraan komersial dirancang untuk operasi di jalan
biasa, dan bahwa sistem bahan bakar dan batere didinginkan paling tidak sebagian oleh
aliran udara karena gerakan kendaraan.

A.7.2.5 Pengeluaran dari pipa pelepasan gas buang harus diarahkan menjauhi setiap
peralatan pemadaman kebakaran karena pengeluaran semacam itu mengandung substansi
yang berminyak yang dapat membuat peralatan sulit untuk dipegang dan mungkin
berbahaya untuk digunakan.

A.7.3.1.2 Sistem rem kaki dan rem parkir dipersyaratkan merupakan sistem yang berdiri
sendiri dan terpisah sehingga setiap kegagalan salah satu sistem tidak akan mencegah
penyetopan kendaraan melalui penggunaan sistem lainnya.

A.7.3.1.4 Kapasitas pengereman yang cukup adalah penting bagi pengoperasian


kendaraan pemadam. Meskipun soal ini biasanya sudah termasuk dalam peraturan yang
berlaku, harus diperhatikan bahwa kendaraan pemadam mungkin mempunyai masalah
khusus dibandingkan dengan kendaraan biasa dengan berat kotor kendaraan yang sama.
Kendaraan pemadam mungkin harus menggunakan pengereman berturut-turut dalam
selang waktu yang pendek ketika berusaha untuk menanggapi alarm dengan kehilangan
waktu yang minimum. Jadi masalah rem “blong” (“brake fade”} dan kapasitas pengereman
dapat menjadi kritis kecuali rem yang tersedia memperhitungkan keperluan dinas kebakaran
tersebut. Rem angin direkomendasikan untuk kendaraan dinas kebakaran dengan berat
kotor kendaraan (GVWR) di atas 11.350 kg (25,000 lb).
Bila rem angin tersedia, penting bahwa rem angin adalah jenis pembangkit kekuatan cepat
dengan tanki ganda dan katup pengaturan tekanan. Kapasitas nominal kompresor harus

59 dari 69
SNI 09-7053-2004

tidak kurang dari 0,34 m3/menit (12 ft3/menit ) untuk kelas layanan ini. Rem angin
memerlukan perhatian untuk menjaga kandungan uap air dari udara. Direkomendasikan
pembuang uap air otomatik dari jenis non beku. Penurunan tekanan udara harus dibatasi ke
rugi tekanan yang normal. Terdapatnya kondisi berikut menunjukkan kebutuhan perawatan
dengan segera:
1) Penurunan tekanan udara rem lebih dari 13,8 kPa (2 psi) dalam 1 menit untuk kendaraan
tunggal atau lebih dari 20,7 kPa (3 psi) dalam 1 menit untuk kombinasi kendaraan,
dengan mesin stop dan rem dilepas.
2) Penurunan tekanan udara rem lebih dari 20,7 kPa (3 psi) dalam 1 menit untuk kendaraan
tunggal atau lebih dari 27,6 kPa (4 psi) dalam 1 menit untuk kombinasi kendaraan,
dengan mesin stop dan rem diaplikasikan penuh.

A.7.3.1.5 Sudah ada kejadian di mana pengemudi menjadi tidak mampu ketika
mengemudikan kendaraan. Pembeli mungkin ingin mempersyaratkan lokasi penempatam
rem parkir sehingga mudah dicapai oleh awak kendaraan atau sebuah alat kontrol lain
sehingga awak kendaraan dapat menghentikan kendaraan bilamana pengemudi menjadi
tidak mampu.

A.7.3.1.7 Pembeli kendaraan dengan berat kotor kendaraan 14.061 kg (31.000 lbs) atau
lebih harus mempertimbangkan kelengkapan sistem rem tambahan. Kendaraan pemadam
biasanya berulangkali berhenti dari kecepatan tinggi yang menyebabkan keausan yang
cepat dari kanvas rem dan rem blong kadang-kadang menyebabkan kecelakaan. Sistem rem
tambahan direkomendasikan untuk kendaraan yang secara reguler beroperasi di tanjakan
curam atau panjang, di daerah yang padat di mana berulangkali berhenti adalah normal,
atau di daerah dengan jumlah keadaan darurat yang tinggi. Contoh dari sistem rem
tambahan termasuk: pengereman mesin, pengereman transmisi, pengereman gas buang,
dan pengereman poros penggerak. Beberapa sistem rem tambahan harus dilepas bila
kendaraan dioperasikan di permukaan yang licin. Ikuti rekomendasi dari manufaktur sistem
rem tambahan untuk petunjuk yang benar.

A.7.3.2.1 Instansi kebakaran dengan pemakaian jarak kilometer yang jauh secara kontinyu,
perlu untuk mempersyaratkan nilai pengenal ban untuk operasi kontinyu dari pada untuk
operasi sebentar-sebentar.

A.7.3.2.3 Sudut datang dan sudut pergi mempengaruhi tinggi bebas ke jalan dari kendaraan
ketika melewati tanjakan curam yang pendek seperti yang dapat dijumpai di jalan pintu
masuk, menyeberangi secara tegak lurus jalan dengan puncak yang tinggi, atau dalam
penggunaan di luar jalan. Sudut datang dan sudut pergi yang terlalu rendah akan
menyebabkan pergesekan badan kendaraan. Pada kasus di mana peralatan disimpan
disimpan di bawah badan, sudut datang dan sudut pergi harus diukur ke garis di bawah
peralatan.

A.7.3.3 Bila transmisi otomatis dipakai, aplikasi PTO mungkin memberikan masalah,
terutama ketika penggerak PTO ganda diperlukan. Dalam beberapa hal, penggerak PTO
hanya dapat dihubungkan dalam selang pengubah torsi dengan akibat resiko menjadi terlalu
panas dalam penggunaan yang lama. Bila terjadi putaran mesin tinggi, terdapat
kemungkinan, bila kendaraan secara tidak sengaja ditinggalkan dalam posisi gigi masuk,
torsi output akan mengatasi rem parkir dan menggerakkan kendaraan. Petunjuk operasional
yang benar adalah penting bagi transmisi otomatis.

A.7.3.4.1 Bila tangki bahan bakar berkapasitas besar diinginkan seperti pada kasus
kendaraan direncanakan untuk pelayanan daerah yang luas, kapasitas tersebut harus
dipersyaratkan oleh pembeli.
A.7.3.5 Bila pembeli menginginkan kait atau cincin dapat di akses tanpa harus membuka
pintu kompartemen, spesifikasi harus menyatakan hal tersebut.

60 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.8.1 Bagian ini mendefinisikan persyaratan untuk alternator, batere, manajemen beban,
dan instrumentasi untuk mendeteksi kegagalan mula sistem elektrikal. Maksudnya adalah
untuk mempersyaratkan sebuah sistem elektrikal yang akan mengoperasikan kendaraan
menggunakan daya yang dipasok alternator, bila perlu membuang beban listrik yang tidak
penting, dan memberikan peringatan dini kegagalan elektrikal dalam waktu untuk
membolehkan tindakan korektif.

A.8.2.6 Maksud butir ini adalah untuk memberikan sarana yang unik untuk identifikasi
kawat atau sirkit untuk mencegah kekeliruan pengenalan dari kawat atau sirkit lain jika
reparasi sistem elektrikal diperlukan. Bila sebuah skema kode warna dipakai daripada
identifikasi unik lainnya, warna tersebut harus tidak dipakai kembali untuk kawat di dalam
setiap sirkit yang tidak berkaitan dalam rangkaian yang sama. Akan tetapi butir ini hanya
mencakup pengawatan tegangan rendah dan tidak berlaku untuk kabel terlindung yang
biasa dipakai untuk penggunaan komunikasi atau pengawatan dalam sirkit tegangan
jaringan.

A.8.3.1 Ukuran alternator minimum ditentukan dengan memakai beban yang dipersyaratkan
untuk memenuhi beban elektrikal kontinyu minimum. Dalam keadaan sebenarnya sebagian
besar kendaraan akan mempunyai beban melebihi persyaratan minimum standar ini.
Pembeli seharusnya melakukan kaji ulang output arus maksimum alternator dibandingkan
dengan penyelidikan beban untuk kendaraan yang diberikan manufaktur, untuk moda
tanggap dan tempat kejadian.

A.8.3.2(g) Pembeli seharusnya menganalisa beban elektrikal yang perlu untuk


dipertahankan untuk memenuhi tugas kendaraan dan mendefinisikan beban-beban tersebut
bagi manufaktur kendaraan. Tetapi pembeli perlu mengerti bahwa ada batas kapasitas
output dari sebuah sistem alternator pada mesin kendaraan, dan standar ini
mempersyaratkan bahwa kendaraan mampu mempertahankan beban elektrikal kontinyu
minimum di bawah kondisi yang didefinisikan dalam butir 8-3.1. Bila beban tersebut
dilampaui dan tidak tersedia alternator yang lebih besar, pembeli dan manufaktur perlu
bekerja sama untuk menentukan bagaimana mengurangi beban elektrikal kontinyu minimum
kepada yang dapat dipertahankan di bawah kondisi yang didefinisikan dalam butir 8.3.1.

A.8.4 Batere pada kendaraan pemadam harus lebih besar dari pada batere yang biasa
dipakai pada kendaraan komersil karena selain dipakai untuk starter kendaraan, batere perlu
menyediakan energi tambahan untuk daya peralatan dengan kuat arus tinggi, yang
beroperasi sekali - sekali, seperti misalnya sirene mekanik dan penggulung slang elektrik.

Batere pada kendaraan pemadam harus dipilih yang mempunyai kuat arus untuk start
kendaraan dan kapasitas cadangan yang cukup untuk start kembali mesin setelah
pengeluaran yang besar.

A.8.7.1 Alat peringatan optis bagian atas memberikan peringatan pada suatu jarak dari
kendaraan dan alat peringatan optis bagian bawah memberikan peringatan dalam jarak
dekat kendaraan.

Di bawah kondisi tipikal, sistem peringatan optis yang dipersyaratkan memberikan


peringatan yang efektif dan seimbang. Akan tetapi dalam beberapa situasi, keselamatan
kendaraan dapat ditambah dengan mematikan beberapa peralatan peringatan. Sebagai
contoh, bila kendaraan lain perlu lewat dalam jarak dekat dari kendaraan pemadam yang
diparkir, kemungkinan membingungkan pengendara lain dapat dikurangi bila lampu utama
dan lampu peringatan bagian bawah dimatikan. Bila sedang bertugas dalam salju atau
kabut, mungkin lebih diinginkan untuk mematikan lampu kedip atau putar yang mengarah ke
depan untuk mengurangi disorientasi visuil pengemudi kendaraan pemadam.

61 dari 69
SNI 09-7053-2004

Maksud dari sistem lampu peringatan adalah untuk memberikan sinyal menyeluruh melalui
operasi dari sebuah saklar utama tunggal ketika sedang menanggapi atau memblokir jalan.
Tidak ada maksud untuk mencegah penggunaan lampu peringatan bagian bawah ketika
pengemudi kendaraan pemadam percaya bahwa pengurangan semacam itu sesuai dengan
misi kendaraan, cuaca, atau faktor operasional lainnya. Pembeli dapat mempersyaratkan
saklar tambahan di sebelah hilir saklar utama untuk mengendalikan peralatan individuil atau
kelompok peralatan.
Pembeli mungkin ingin mempersyaratkan lampu lalu lintas jenis aliran seperti lampu
penunjuk arah warna amber untuk digunakan memberi sinyal kepada pengendara yang
mendekati jalan yang diblokir.
A.8.7.7 Sistem peringatan optis minimum harus membutuhkan tidak lebih dari rata – rata 40
Amper untuk operasi peralatan optis bagian atas dan bagian bawah pada moda
pemblokiran. Pada kendaraan yang karena panjangnya memerlukan lampu di tengah, harus
membutuhkan tidak lebih dari 5 Amper arus tambahan untuk setiap set lampu tengah.
Sistem peringatan optis yang menarik arus lebih dari 40 Amper mungkin memerlukan
modifikasi dari sistem elektrikal yang dipersyaratkan dalam butir 8.3 agar dapat memasok
daya tambahan yang dibutuhkan.
A.8.7.8 Sistem peringatan optis minimum harus membutuhkan tidak lebih dari rata – rata
35 Amper untuk operasi peralatan optis pada moda pemblokiran.
A.8.8.1 Bila pembeli ingin mendapatkan kontrol sirene dalam jangkauan dekat dari orang
di posisi tempat duduk depan kiri dan kanan, maka pembeli harus mempersyaratkan hal
tersebut. Pada beberapa kendaraan, saklar kontrol yang banyak mungkin diperlukan untuk
mendapatkan jangkauan yang nyaman dari kedua posisi tersebut. Bila alat sinyal lain,
seperti tambahan sirene, bel, klakson udara, atau alarm dengung (buzzer) diinginkan, jenis
alat dan lokasi kontrolnya harus juga dipersyaratkan.
A.9.1.1 Pembeli akan perlu untuk menentukan jumlah kursi yang diperlukan untuk
membawa personil dan mungkin ingin mempersyaratkan susunan posisi duduk.
Perpanjangan atap kabin dengan penutup jenis pintu serambi (patio door-type) atau penutup
ruangan personil jenis kamar telepon (phone-booth type) yang terpisah adalah cara yang
dapat diterima untuk memberikan posisi tempat duduk yang tertutup penuh.
A.9.1.6 Unit SCBA atau peralatan lain yang disimpan di dalam kompartemen awak dapat
menyebabkan luka yang serius kepada awak ketika peralatan tersebut terlempar ke
sekeliling kompartemen sebagai akibat dari sebuah kecelakaan atau tabrakan. Semua
peralatan yang disimpan di dalam kompartemen awak harus diberi penopang atau
disediakan kompartemen untuk meminimalkan resiko luka-luka.
A.9.3 Pembeli seharusnya mempertimbangkan untuk mempersyaratkan kontrol jauh pada
kaca spion untuk fasilitasi penyetelan kaca yang benar. Bila diperlukan, pemanas kaca juga
harus dipertimbangkan.
A.9.3.1 Dengan persyaratan untuk kompartemen pengemudi dan awak yang tertutup
penuh, potensi untuk penumpukan panas di daerah ini menjadi lebih besar. Pembeli harus
menyadari hal ini dan mungkin ingin untuk mempersyaratkan fan ventilasi atau sistem tata
udara (AC) untuk menjaga temperatur kompartemen pengemudi dan awak lebih rendah.
A.9.3.3 Pembeli harus menyadari bahwa kondisi dan prosedur operasi lokal dapat
menyebabkan penumpang bergerak maju menghalangi penglihatan pengemudi. Tempat
duduk harus diatur agar supaya SCBA dan setiap penumpang yang memakai pakaian
pelindung tidak menyebabkan halangan penglihatan. Pergerakan penumpang harus
dipertimbangkan ketika memasang radio, komputer, dan peralatan lain sehingga gerakan ke
depan atau ke samping dikurangi dan tidak menghalangi penglihatan pengemudi.

62 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.10.1.1 Mungkin diperlukan kompartementasi yang diukur untuk memenuhi persyaratan


besar, bentuk, dan berat peralatan khusus. Setiap peralatan khusus yang akan dibawa di
kendaraan harus diidentifikasi di dalam spesifikasi sehingga manufaktur kendaraan dapat
menjamin bahwa peralatan tersebut akan diakomodasikan secara benar dalam perancangan
kendaraan.

A.10.2 Pembeli perlu untuk memberikan kepada manufaktur kendaraan berupa rincian dari
kebutuhan khusus untuk peralatan komunikasi seperti ukuran radio, konsumsi daya, dan
lokasinya.

A.10.3 Luka-luka petugas pemadam kebakaran yang diakibatkan dari memanjat kendaraan
untuk mengambil, menyimpan, dan mengoperasikan peralatan dapat diminimalkan bila
spesifikasi mempersyaratkan bahwa peralatan dapat diakses dari permukaan tanah. Contoh
dari cara untuk mengurangi perlunya memanjat kendaraan juga termasuk, tetapi tidak
terbatas kepada, menggunakan rak peralatan bermotor listrik, menggunakan monitor dengan
kontrol jauh, menurunkan ruang penyimpanan untuk slang pemadaman yang telah
disambung dan menggunakan baki tarik keluar, menggunakan baki penyimpanan sorong
keluar atau tarik ke bawah, dan menyediakan pemeriksaan permukaan cairan dari
permukaan tanah.

Bila peralatan selain dari peralatan yang awalnya sudah terpasang di kendaraan akan
dibawa, pengguna kendaraan harus menjamin bahwa peralatan tersebut harus dipasang
secara aman di kendaraan dengan pemegang yang benar.

A.10.5 Unit SCBA biasanya disimpan di belakang tempat duduk awak, dan pada dinding,
pintu, atau rak dari kompartemen penyimpanan.

Ruang di mana unit komplit SCBA akan dipasang harus diatur untuk mencegah kerusakan
pada slang, tali pengikat bahu, tali pinggang, masker, regulator, dan alat pelengkap
tambahan lainnya. Aturan ini harus termasuk pencegahan keausan dan kerobekan karena
gerakan kendaraan pada masker yang lembut. Masker harus disimpan di dalam kantung
nilon atau plastik untuk mencegah abrasi semacam itu.

Penyimpanan untuk cadangan slang, masker, regulator, dan aksesori SCBA lainnya harus di
dalam sebuah tempat yang bersih dan kering, jauh dari peralatan yang menghasilkan panas
atau kerusakan mekanik. Lebih disukai peralatan tersebut harus disimpan secara individual
dalam plastik atau kotak non korosif dengan tutup bebas debu. Isi setiap kotak harus
ditandai pada bagian luar dengan label.

A.10.5.5 Silinder SCBA selalu harus disimpan dengan katup terpasang di atas silinder.

A.10.5.6 Silinder SCBA harus disimpan dengan katup terekspos ke bukaan kompartemen
atau ruang penyimpanan untuk membolehkan inspeksi katup atau alat ukur.

A.10.7.1 Maksud dari persyaratan besar dan penempatan anak tangga adalah untuk
menjamin bahwa telapak petugas pemadam kebakaran akan ditopang sepanjang 178 mm
sampai 203 mm (7 in. sampai 8 in.) dari jari kaki bila kaki ditempatkan pada anak tangga
dalam posisi memanjat normal. Pinggir utama anak tangga tidak perlu sisi berseberangan
dari lokasi pemegang.
Naik ke dalam dan turun dari kompartemen pengemudi dan awak jenis tertentu adalah sulit
secara ergonomis dan telah mengakibatkan kejatuhan dan luka-luka petugas pemadam
kebakaran. Ketika merencanakan dan membuat spesifikasi kendaraan, sangat disarankan
bahwa manufaktur kendaraan dan casis dikonsultasikan mengenai alternatif yang ada agar
supaya membuat akses kompartemen pengemudi dan awak nyaman secara ergonomis dan
seaman mungkin.

63 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.10.7.3 Kendaraan dibangun dengan daerah permukaan yang tidak dimaksudkan untuk
dipakai sebagai tempat anak tangga, berdiri, dan berjalan. Daerah tersebut termasuk
penutup kosmetik dan protektif pada permukaan horisontal. Selama tahap perancangan
kendaraan, pembeli harus menentukan daerah mana sebagai tempat anak tangga, berdiri,
dan berjalan. Adalah penting bahwa bahan yang sesuai dipilih untuk aplikasi dan kondisi
lokal.
Ketika memilih permukaan anak tangga, berdiri, dan berjalan, pembeli harus
mempertimbangkan pemakaian jangka panjang kendaraan. Tahanan slip dari permukaan
tertentu dapat rusak karena waktu. Adalah juga penting bagi pengguna untuk memelihara
dengan benar atau mengganti bahan anti slip ketika bahan tersebut rusak karena waktu.
A.10.8 Pegangan tangan harus dipasang dalam sebuah cara untuk meminimalkan resiko
rusak atau terlepas karena pergesekan oleh obyek lain seperti pohon-pohon.
A.10.10 Kendaraan yang dilengkapi dengan gulungan slang 1 ½ in. harus mempunyai
kapabilitas penggulungan kembali yang bermotor. Tetapi bila dilengkapi dengan
penggulungan kembali manual, harus diperhatikan lokasi dari engkol tangan. Engkol
tersebut harus diletakkan di lokasi yang memudahkan operator menggulung kembali slang
tanpa harus memanjat kendaraan.
A.11.2.3.2 Operasi paralel dapat disebut sebagai “volume” dan operasi seri sebagai
“tekanan”.
A.11.2.4.1 Pada ketinggian 610 m (2000 ft), tekanan atmosfir sebenarnya (tanpa
koreksi) yang ekivalen ke permukaan laut pada 101,2 kPa (29,9 in. Hg) adalah 94,1 kPa Hg
(27,8 in.).
Nilai yang diberikan dalam Tabel 11.2.4.1(b) adalah nilai rugi tekanan karena pintu masuk
aliran, kecepatan, dan friksi sepanjang 6 m (20 ft) selang hisap (termasuk strainer) dari
diameter yang ditunjuk.
Dasar dari tabel rugi friksi adalah data pengujian tahun 1953 dan data pengujian terhimpun
lainnya. Pada tahun 1976, data ini dikaji kembali dan dimasukkan ke dalam tabel 11.2.4.1(b).
Data sudah termasuk komponen head kecepatan dan sudah termasuk belokan karena nilai
sebenarnya didapat dari slang hisap yang berbelok dari hisapan masuk ke dalam lubang
tangki pengujian.
A.11.2.4.2 Bila kendaraan akan diserahkan ke daerah yang terletak jauh lebih tinggi dari
lokasi pabrik atau pengujian lainnya, daya berlebih yang cukup harus disediakan untuk
kompensasi daya motor bakar biasa - tanpa turbo, yang berkurang dengan elevasi diatas
permukaan laut. Kinerja sebuah pompa kebakaran dapat dirugikan oleh rancangan
pemipaan hisap atau penambahan katup pada sisi hisap pompa. Kerugian karena
penambahan pipa atau katup pada hisapan pompa dapat dihitung dan dipakai untuk
menentukan kinerja pompa.
A.11.3.4 Sebuah mesin pemompaan yang terpisah dapat memakai sistem batere casis
kendaraan, atau dapat mempunyai batere sendiri yang terpisah. Apapun sistem yang
digunakan, pengisian batere dan pasokan listrik sebaiknya dirancang untuk memenuhi
standar ini.

A.11.4.3 Setiap komponen di jalur penggerak (driveline) mempunyai nilai nominal torsi
untuk tugas terus-menerus. Pada tingkat penggunaan ini, setiap komponen juga mempunyai
umur rancangan yang dinyatakan sebagai jumlah jam pemakaian pada nilai nominal torsi.
Umur rancangan beberapa komponen dapat jauh lebih sedikit dari pada komponen sistem
jalur penggerak lainnya. Sebuah hourmeter yang diaktivasikan oleh sistem pompa dan diberi
label sebaiknya disediakan untuk mencatat jumlah jam penggunaan sistem jalur penggerak.

64 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.11.5.1 Pompa dan pemipaan yang sering digunakan untuk memompa air laut, air dengan
bahan tambahan (additive), atau air yang bersifat korosif lainnya sebaiknya dibuat dari
perunggu (bronze) atau bahan tahan karat lainnya. Untuk pemompaan kadang-kadang air
seperti itu, pompa yang terbuat dari bahan lain dapat digunakan bila setelah dipakai dikuras
secara benar dengan air bersih. Dimana air korosif dipompa dan pompa serta pemipaan
tidak terbuat dari bahan tahan karat, penempatan anoda di dalam pompa dapat
meminimalkan efek korosif.

Terminologi “all bronze” menunjukkan bahwa rumah pompa, impeller, manifol hisap dan
pelepasan, dan komponen utama lainnya yang terekspos ke air yang dipompa, kecuali
bantalan poros dan seal, terbuat dari bahan campuran dengan kandungan tembaga tinggi.
Lebih disukai untuk menggunakan bahan yang sama untuk pompa dan pemipaan.

Efek korosif adalah proporsional ke pada perbandingan massa perunggu ke besi. Karena itu
lebih disukai untuk menggunakan bahan yang sama untuk pompa dan pemipaan. Dimana
keduanya besi dan perunggu digunakan, lebih disukai untuk mempertahankan massa besi
lebih besar dari perunggu.

A.11.6.1 Intake dapat lebih besar dari ukuran slang hisap yang dispesifikasi dalam Tabel
11.2.4.1(a). Juga menguntungkan untuk mempunyai katup di satu atau lebih intake. Pembeli
sebaiknya mempersyaratkan bila harus disediakan intake yang lebih besar dan bila intake
harus dilengkapi dengan katup.

Intake pada bagian depan atau belakang kendaraan, atau yang lokasinya khusus, mungkin
tidak membolehkan kapasitas pemompaan dari sumber air terbuka (drafting) pada nilai
tekanan. Pembeli sebaiknya mempersyaratkan laju aliran dari intake pembantu, terutama
intake depan dan belakang atau intake lainnya yang terletak 3 m (10 ft) atau lebih dari
pompa.

A.11.6.2 Ukuran lubang saringan dimaksudkan untuk kotoran dengan dimensi umumnya
uniform. Disadari bahwa kotoran dengan dimensi nonuniform, yaitu lebih panjang
sehubungan dengan luas penampangnya, mungkin dapat melewati strainer tetapi tidak
dapat melalui pompa.

A.11.7.1 Aliran yang tertera untuk setiap ukuran pelepasan adalah minimum, dan hanya
untuk tujuan penilaian saja. Bila pemipaan dan katup memadai, aliran yang jauh lebih besar
untuk suatu ukuran pelepasan mungkin dapat tercapai.

A.11.7.2 Supaya memberikan standarisasi, jenis ulir/sambungan dipersyaratkan. Adaptor


kemudian dapat dipakai untuk menyesuaikan dengan sambungan slang setempat.

A.11.7.3 Bila diperlukan aliran lebih besar dari 757 L/menit (200 gpm) melalui saluran yang
telah disambung, pemipaan dari pompa ke saluran tersebut sebaiknya lebih besar dari 51
mm (2 in.) supaya rugi gesek masih layak. Bila diinginkan tambahan saluran yang telah
disambung, lokasi dan ukuran slang sebaiknya dispesifikasikan.
A.11.7.9 Bila mungkin, lubang pelepasan sebaiknya diposisikan di tempat jauh dari posisi
operator.

A.11.9.1 Idealnya, tidak terdapatnya intake atau pelepasan pada posisi operator akan
menyederhanakan dan memperbaiki keselamatan operator. Bila pemindahan keseluruhan
sambungan tersebut tidak praktis, pengurangan dan penempatan sambungan tersebut
secara hati-hati, dengan keselamatan operator dalam perhatian, akan sangat memperbaiki
situasi.

65 dari 69
SNI 09-7053-2004

Banyak instansi kebakaran mendapati kegunaan kode warna pada label identifikasi berbagai
macam pengendalian intake dan pelepasan. Meskipun proses ini dapat menyederhanakan
operasi pompa, ini dapat juga menyebabkan kekacauan bila pola yang sama tidak
diterapkan kepada semua kendaraan di instansi kebakaran. Untuk standardisasi, skema
kode warna dalam Tabel B.1 direkomendasikan untuk semua kendaraan baru.

Tabel A.1 Kode warna untuk label kontrol pipa masuk (intake) dan pelepasan

Kontrol Warna Label


Preconnect #1 atau saluran bumper depan Oranye*
Preconnect #2 Merah*
Preconnect #3 atau pelepasan/discharge #1 Kuning*
Preconnect #4 atau pelepasan/discharge #2 Putih*
Pelepasan/discharge #3 Biru
Pelepasan/discharge #4 Hitam
Pelepasan/discharge #5 Hijau
Deluge/meriam dek Perak
Menara air Ungu
Slang diameter besar Kuning dengan batas putih
Saluran busa/foam Merah dengan batas putih
Booster reel Kelabu
Inlet Burgundy

Karena sebagian besar kebakaran dipadamkan menggunakan saluran preconnected, dinas


kebakaran sebaiknya mempertimbangkan untuk menyamakan warna jaket slang dengan
kode warna ini. Dinas kebakaran yang telah menggunakan sistem ini melaporkan dicapainya
suatu peningkatan perbaikan operasi lapangan.
A.11.10 Lampu indikator dan interlok yang dispesifikasikan dalam standar ini adalah
minimum. Beberapa manufaktur atau pengguna mungkin memilih untuk menambah lampu
indikator atau interlok.
A.11.10.1.2 Pompa dioperasikan dari samping, atas, depan, atau belakang kendaraan, dan
pemompaan dalam keadaan berhenti mempersyaratkan bahwa tidak ada daya yang
diaplikasikan kepada roda waktu pemompaan. Karena itu sangat penting bahwa setiap
pengendalian sistem pemompaan, yang mengalihkan kendaraan keluar dari moda operasi
jalan dan menempatkan sistem pemompaan dalam operasi, dilengkapi dengan suatu cara
untuk mencegah dislokasi kendali dalam moda pemompaan dari posisinya yang sudah diset.
A.11.10.6 Tujuan dari sebuah sistem kontrol tekanan adalah untuk mengawasi tekanan
pelepasan untuk melindungi petugas pemadam kebakaran yang mengoperasikan slang
semprot dan juga untuk melindungi rusaknya slang bila slang ditutup atau katup lainnya
ditutup, yang mengurangi laju aliran.
Sistem dapat terdiri dari sebuah katup relief, regulator tekanan yang mengendalikan
kecepatan pompa, katup relief intake (intake relief valve), atau kombinasi alat-alat tersebut.
Sistem kontrol tekanan akan membuang kelebihan tekanan bilamana katup ditutup secara
normal, namun beberapa kondisi water hammer dapat terjadi karena katup ditutup
sedemikian cepatnya sehingga sistem tidak cukup cepat menanggapi untuk mengeliminasi
kerusakan peralatan. Prosedur lapangan yang benar masih diperlukan.
A.11.10.6.4 Sistem kontrol tekanan dapat disediakan dalam bentuk sebagai berikut:
1) Terintegrasi dengan pompa dan dipasok oleh manufaktur pompa
2) Sebagai sebuah sistem eksternal dipasok oleh manufaktur kendaraan
3) Sebagai sebuah sistem eksternal dipasok oleh manufaktur sistem kontrol tekanan

66 dari 69
SNI 09-7053-2004

Pengatur tekanan (pressure governor) mengatur kecepatan/putaran mesin, berhubungan


langsung dengan tekanan bersih pompa; bila kecepatan/putaran dinaikkan, tekanan naik;
bila kecepatan/putaran diturunkankan, tekanan turun.

Katup relief pelepasan (discharge relief valve) mengatur tekanan dengan melewatkan air dari
sisi pelepasan pompa kembali ke sisi intake pompa. Jenis sistem ini bekerja dalam tekanan
yang berbeda kira-kira 483 – 621 kPa (70 – 90 psi) antara intake dan pelepasan pompa. Bila
tidak ada terdapat katup relief diferensial tekanan (pressure differential relief valve), katup
relief pelepasan mungkin tidak dapat mengatur secara penuh kenaikan tekanan.

Bila salah satu, katup relief pelepasan atau pengatur tekanan, digunakan dengan tekanan
inlet tinggi, sebuah katup relief intake atau sistem kontrol total harus ditambahkan.

Dalam kasus dimana katup relief intake yang dipilih, maka harus mempunyai ukuran dan
waktu tanggap cukup untuk menangani rentang kinerja pompa. Juga harus dapat dengan
mudah dikontrol oleh operator pompa sehingga tekanan yang masuk dapat disetel untuk
setiap peristiwa. Untuk hasil paling baik, operator sebaiknya menyetel katup relief untuk
beroperasi pada 620 kPa (90 psi) dibawah tekanan operasi pelepasan yang diiinginkan.

Sistem kontrol tekanan seharusnya disertifikasi oleh manufakturnya atau oleh sebuah
organisasi pengujian independen yang disetujui oleh instansi berwenang. Karena pentingnya
sistem ini, instansi berwenang mungkin menghendaki pengujian kinerja dilakukan pada
sistem yang telah terpasang.

A.11.10.7 Instansi kebakaran yang memerlukan penyedotan sumber air terbuka (draft)
waktu melakukan operasi di luar tangki air akan mendapati bahwa penambahan katup
selektor alat pemancing (primer) atau katup kontrol priming kedua pada sisi luar katup hisap
pompa akan menghilangkan bahaya kavitasi waktu memasok saluran semprot. Sebuah
saluran vakum ditarik ke sisi luar katup dan disambung ke alat pemancing melalui sebuah
katup selektor. Pengaturan selektor samping, depan dan belakang dapat diatur untuk
membolehkan pancingan dari setiap sisi unit dengan satu pemancing.

A.11.11 Sistem kontrol gas elektronik yang tersedia akan memberikan lebih besar
fleksibilitas kepada operator karena dapat diset seperti sebuah pedal gas kaki atau sebuah
pengatur tekanan (pressure governor).

A.11.12.1 Sebuah indikator permukaan bahan bakar mesin pemompaan atau lampu
peringatan warna merah yang menunjukkan bila permukaan bahan bakar turun di bawah
¼ kapasitas tangki sebaiknya disediakan di panel operator pompa.

A.11.12.3 Nilai tekanan operasi dari slang diameter besar adalah jauh di bawah dari pada
sebuah slang standar. Karena itu, sebuah alat ukur tekanan individual diperlukan untuk
membolehkan operator untuk mengawasi tekanan pelepasan meskipun tersedia sebuah
meter aliran.
A.11.13.2.2 Pembeli mungkin menghendaki sertifikasi oleh sebuah organisasi pengujian
independen, terutama sekali bila pompa dipersyaratkan untuk memenuhi aplikasi
pemompaan terus-menerus secara luas.

A.11.13.3.1.2 Bila pengujian dilakukan di dalam sebuah bangunan atau tempat lain yang
mempunyai sirkulasi udara terbatas, peralatan monitor karbon monoksida sebaiknya
digunakan. Peralatan semacam itu sebaiknya diperiksa dan dikalibrasi secara reguler dan
sebaiknya mencakup sebuah alat peringatan yang sesuai.

67 dari 69
SNI 09-7053-2004

A.11.13.3.3 Bila sebuah mesin beroperasi pada atau dekat daya penuh waktu stasioner,
panas yang dihasilkan dapat menaikkan temperatur komponen tertentu casis atau sistem
pemompaan di atas suatu nilai, sehingga bila disentuh, dapat menyebabkan
ketidaknyamanan yang sangat atau luka-luka; tetapi, sepanjang kendaraan dapat
dioperasikan dan dipergunakan dengan memuaskan untuk selama persyaratan pengujian di
bawah kondisi seperti itu, kondisi ini sebaiknya dianggap dapat diterima.

Daya angkat hisap (suction lift) dapat ditentukan oleh salah satu: pengukuran tekanan
negatif (vakum) di manifol intake pompa dengan sebuah manometer, atau alat ukur lain yang
sesuai yang mengukur vakum secara akurat, atau dengan menambahkan daya angkat
vertikal (vertical lift) dan nilai rugi gesek dan masuk (entrance) dari Tabel 11.2.4.1(b). Untuk
akurasi, bacaan alat ukur sebaiknya dikoreksi untuk perbedaan elevasi alat ukur dengan
garis pusat intake pompa, tetapi biasanya jumlah ini kecil dan dapat diabaikan. Jadi, tekanan
net pompa dapat dikalkulasi menggunakan rumus berikut:

P = D + (H x 0,5)
atau

P = D + 0,43 (L + F)

dimana:
P = tekanan net pompa (psi)
D = tekanan pelepasan (psi alat pengukur (gauge))
H = bacaan manometer (in. Hg)
L = daya angkat vertikal (vertical lift)
F = rugi gesek dan masuk (entrance) (ft air)

A.11.13.9 Bila pengujian beberapa komponen kendaraan disertifikasi oleh sebuah


organisasi pengujian independen, pembeli mungkin menghendaki untuk mempersyaratkan
bahwa pengujian ini juga disertifikasi oleh organisasi tersebut.

A.12.2.1 Tangki sebaiknya mempunyai kemudahan untuk membolehkan pembersihan


menyeluruh bagian dalamnya guna pengurasan. Pembeli sebaiknya menyatakan di dalam
spesifikasi bila akses ke bagian dalam tangki diperlukan.

A.12.2.2 Tangki air dapat mempunyai beberapa konfigurasi seperti bulat, eliptikal, persegi
empat, atau huruf-T. Karakteristik pengemudian kendaraan kendaraan dapat sangat
dipengaruhi oleh pusat gravitasi vertikal dan horizontal kendaraan. Pembeli sebaiknya
menyatakan persyaratan laju pengisian dan pengeluaran bila laju tersebut melebihi standar
ini atau kebutuhan lokal lainnya dan membiarkan manufaktur kendaraan merancang bentuk
tangki untuk secara paling baik memenuhi persyaratan beban sumbu dan pusat gravitasi.

Bila tangki dibuat sebagai satu kesatuan dengan badan dan kompartemen, bahan yang
dipakai adalah penting. Bahan harus anti karat dan mempunyai sifat tidak mudah
berkeringat.

A.12.2.4 Rancangan dari tangki air dapat menjadi sebuah faktor yang sangat kritis
dalam karakteristik pengemudian kendaraan pemadam. Bila air bebas bergerak pada salah
satu arah longitudinal atau lateral di dalam tangki, pada kasus di mana tangki setengah
penuh, inersia yang sangat besar dapat timbul yang cenderung memaksa kendaraan dalam
arah pergerakan air. Bila air sampai pada ujung tangki, aplikasi tiba-tiba dari gaya dapat
menyebabkan kendaraan lepas kendali, dan telah diketahui dapat menyebabkan kendaraan
pemadam terguling atau slip ketika sedang membelok atau berhenti mendadak. Hanya ada
satu metoda untuk mencegah kecelakaan seperti itu yaitu membatasi atau mengacaukan
pergerakan air sehingga inersia tidak akan terjadi ke satu arah. Caranya dengan memasang

68 dari 69
SNI 09-7053-2004

partisi untuk salah satu, membatasi air dalam ruangan-ruangan kecil di dalam tangki
(metoda pengurungan), atau mengacaukan momentum air dengan mengubah arah
gerakannya (metoda dinamik). Partisi di dalam sebuah sistem pengurungan membuat
kompartemen-kompartemen saling berhubungan oleh bukaan di antaranya sehingga udara
dan air dapat mengalir pada laju yang dispesifikasi ketika mengisi atau mengosongkan
tangki. Partisi di dalam sebuah sistem dinamik sering diselang-seling dalam sebuah susunan
yang dirancang untuk mengubah arah air dan menukarnya ke dalam gerakan turbulen yang
banyak menyerap energi air sendiri.

A.12.3.2 Untuk sebuah kendaraan pompa, standar ini menentukan aliran minimum sebesar
1900 L/menit (500 gpm) dari tangki air. Ini untuk membolehkan pasokan dua 38 mm (1 ½
in.) atau 44 mm (1 ¾ in.) atau satu 65 mm (2 ½ in.) saluran slang dari tangki untuk
serangan pemadaman awal.

Bila menginginkan laju dari tangki ke pompa yang lebih besar dari laju minimum ini, instansi
kebakaran harus mempersyaratkan laju yang lebih besar.

A.12.3.3 Sebuah katup satu arah (check valve) dipasang pada sambungan tangki ke pompa
adalah metoda yang paling biasa digunakan untuk mencegah air mengalir balik ke dalam
tangki pada sebuah laju yang berlebihan bila pompa sedang dipasok dari sebuah hidran atau
kendaraan pompa estafet (relay pumper) dan katup sambungan tangki ke pompa dibiarkan
dalam posisi terbuka secara tidak sengaja.

Sebuah lubang sampai sebesar 6 mm (¼ in.) kadang-kadang disediakan di katup tahan


balik untuk melepaskan uap atau penambahan tekanan lainnya.

A.12.4.1 Sebuah laju aliran berlebihan ketika mengisi tangki dapat menghasilkan
penambahan tekanan di dalam tangki yang dapat menyebabkan kerusakan yang permanen
atau kegagalan.

A.12.4.2 Sebuah lubang pembuangan udara/limpahan perlu supaya luapan tekanan tidak
terjadi di dalam tangki ketika sedang diisi, dengan kemungkinan air akan dapat tumpah
keluar dari lubang pembuangan udara/limpahan waktu kendaraan sedang bergerak (misal
sedang berakselerasi, mengerem, atau membelok). Menara pengisian dan lubang
pembuangan udara/limpahan sebaiknya disusun sedemikian sehingga tumpahan air
diminimalkan dan diarahkan di belakang roda belakang.

A.12.4.3 Adalah perlu untuk merancang tangki dengan kemampuan pembuangan


udara/limpahan untuk laju maksimum pengisian. Sebaiknya dipakai katup ball, globe, needle
atau katup pengatur aliran lain dengan jenis dapat dikunci. Katup penutup (gate) tidak
direkomendasikan. Bila sebuah saluran pengisian yang lebih besar diinginkan, pembeli
sebaiknya berkonsultasi dengan manufaktur tentang konstruksi lokasi lubang asupan tangki
dan setiap perkuatan yang diperlukan atau perubahan sekat tangki.

Pertimbangan sebaiknya diberikan untuk menyediakan tambahan pendinginan/saluran


resirkulasi pompa yang beroperasi secara otomatis, karena pompa pada kendaraan
pemadam sering ditinggalkan tanpa dijaga dan saluran yang otomatis akan menjamin pompa
tidak akan menjadi terlalu panas.

A.12.5 Bila pengujian beberapa komponen kendaraan disertifikasi oleh sebuah organisasi
pengujian independen, pembeli mungkin menghendaki untuk mempersyaratkan bahwa
kapasitas tangki air juga disertifikasi oleh organisasi tersebut.

69 dari 69
B UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
1. UU RI No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
UU NO.: 28 TAHUN 2002

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002


TENTANG
BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat


adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa bangunan gedung penting sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya untuk mencapai berbagai sasaran yang menunjang
terwujudnya tujuan pembangunan nasional;
c. bahwa bangunan gedung harus diselenggarakan secara tertihuruf b,
diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan
administratif dan teknis bangunan gedung;
d. bahwa agar bangunan gedung dapat terselenggara secara tertib dan
terwujud sesuai dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan
upaya pembinaan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d di atas perlu membentuk Undang-undang
tentang Bangunan Gedung;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di

1 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan
usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi
proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan,
pelestarian, dan pem-bongkaran.
3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai
dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan secara berkala.
4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta
prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan
gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan
gedung tetap laik fungsi.
6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam
tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung.
7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan
gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut
sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang
dikehendaki.
8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.
9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik
bangunan gedung berdasarkan kesepa-katan dengan pemilik bangunan gedung, yang
menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
11. Pengkaji teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum yang mempunyai
sertifikat keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi
bangunan gedung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
12. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga
atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat
hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan
bangunan gedung.
13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di
luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi
bangunan gedung.
14. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah erangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri.
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali untuk Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta adalah gubernur.

2 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP

Pasal 2
Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.

Pasal 3
Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk:
1. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan
gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan
teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan;
3. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

Pasal 4
Undang-undang ini mengatur ketentuan tentang bangunan gedung yang meliputi fungsi,
persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat, dan pembinaan.

BAB III
FUNGSI BANGUNAN GEDUNG

Pasal 5
1. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya, serta fungsi khusus.
2. Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah
tinggal sementara.
3. Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.

4. Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bangunan
gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,
terminal, dan penyimpanan.
5. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan,
laboratorium, dan pelayanan umum.

3 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

6. Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan
sejenis yang diputuskan oleh menteri.
7. Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.

Pasal 6
(1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sesuai dengan
peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin mendirikan bangunan.
(3) Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh
Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan dan perubahan fungsi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IV
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama
Umum

Pasal 7
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan
izin mendirikan bangunan.
(3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
(4) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan
gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung
semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada
daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan
budaya setempat.

Bagian Kedua
Persyaratan Administratif Bangunan Gedung

4 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pasal 8
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung;
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung.
(3) Pemerintah Daerah wajib mendata bangunan gedung untuk keperluan tertib
pembangunan dan pemanfaatan.
(4) Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Persyaratan Tata Bangunan
Paragraf 1
Umum

Pasal 9
(1) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) meliputi
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.
(2) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut dalam rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 2
Persyaratan Peruntukan dan
Intensitas Bangunan Gedung

Pasal 10
(1) Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak
bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang ber-sangkutan.
(2) Pemerintah Daerah wajib menyediakan dan memberikan informasi secara terbuka
tentang persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung bagi masyarakat yang

5 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

memerlukannya.
Pasal 11
(1) Persyaratan peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan ketentuan tentang tata ruang.
(2) Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau
prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi
lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12
(1) Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan ketinggian
bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.
(2) Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan
gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan
keamanan, kesehatan, dan daya dukung lingkungan yang dipersyaratkan.
(3) Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian
yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan dan penetapan kepadatan dan ketinggian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
(1) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) meliputi:
a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan
kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi;
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan
dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.
(2) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun
di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas-batas lokasi, keamanan,
dan tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

Pasal 14
(1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)

6 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan,


keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta
pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap
penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.
(2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di
sekitarnya.
(3) Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan
gedung.
(4) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi,
dan selaras dengan lingkungannya.
(5) Ketentuan mengenai penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan,
dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

Pasal 15
(1) Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi bangunan
gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(2) Persyaratan pengendalian dampak lingkungan pada bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Paragraf 1
Umum

Pasal 16
(1) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3), meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
(2) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung.

7 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Paragraf 2
Persyaratan Keselamatan

Pasal 17
(1) Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung
beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
(2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur bangunan
gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan.
(3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi
bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat merupakan kemampuan
bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui
sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif.
(4) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung
untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir.

Pasal 18
(1) Persyaratan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam
mendukung beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan
kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi
pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan
mati, serta untuk daerah/zona tertentu kemampuan untuk mendukung beban muatan
yang timbul akibat perilaku alam.
(2) Besarnya beban muatan dihitung berdasarkan fungsi bangunan gedung
(3) pada kondisi pembebanan maksimum dan variasi pembebanan agar bila terjadi
keruntuhan pengguna bangunan gedung masih dapat menyelamatkan diri.
(4) Ketentuan mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa bumi dan/atau angin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

(1) Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan sistem proteksi pasif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan stabilitas
struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta
proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya
api dan asap kebakaran.
(2) Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan sistem proteksi aktif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan peralatan dalam

8 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan


kebakaran.
(3) Bangunan gedung, selain rumah tinggal, harus dilengkapi dengan sistem proteksi pasif
dan aktif.
(4) Ketentuan mengenai sistem pengamanan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

(1) Pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk
melindungi semua bagian bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya
terhadap bahaya sambaran petir.
(2) Sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)merupakan instalasi
penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang karena letak,
sifat geografis, bentuk, dan penggunaannya mempunyai risiko terkena sambaran petir.
(3) Ketentuan mengenai sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Persyaratan Kesehatan

Pasal 21
Persyaratan kesehatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan
bangunan gedung.

Pasal 22
(1) Sistem penghawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan
sirkulasi dan pertukaran udara yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui
bukaan dan/atau ventilasi alami dan/atau ventilasi buatan.
(2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidik-an, dan bangunan
pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan untuk ventilasi alami.
(3) Ketentuan mengenai sistem penghawaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
(1) Sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan
pencahayaan yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui pencahayaan alami
dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat.

9 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

(2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan
pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
(3) Ketentuan mengenai sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Sistem sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 merupakan kebutuhan sanitasi
yang harus disediakan di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi
kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah,
serta penyaluran air hujan.
(2) Sistem sanitasi pada bangunan gedung dan lingkungannya harus dipasang sehingga
mudah dalam pengoperasian dan pemeliharaannya, tidak membahayakan serta tidak
mengganggu lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai sistem sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25
(1) Penggunaan bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus
aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan.
(2) Ketentuan mengenai penggunaan bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Persyaratan Kenyamanan

Pasal 26
(1) Persyaratan kenyamanan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara
dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan.
(2) Kenyamanan ruang gerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat
kenyamanan yang diperoleh dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan
kenyamanan bergerak dalam ruangan.
(3) Kenyamanan hubungan antarruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tingkat kenyamanan yang diperoleh dari tata letak ruang dan sirkulasi antarruang dalam
bangunan gedung untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
(4) Kenyamanan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari temperatur dan kelembaban di dalam
ruang untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
(5) Kenyamanan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kondisi
dimana hak pribadi orang dalam melaksanakan kegiatan di dalam bangunan gedungnya

10 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

tidak terganggu dari bangunan gedung lain di sekitarnya.


(6) Kenyamanan tingkat getaran dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh suatu keadaan yang tidak
mengakibatkan pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran
dan/atau kebisingan yang timbul baik dari dalam bangunan gedung maupun
lingkungannya.
(7) Ketentuan mengenai kenyamanan ruang gerak, tata hubungan antarruang, tingkat
kondisi udara dalam ruangan, pandangan, serta tingkat getaran dan kebisingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Persyaratan Kemudahan

Pasal 27
(1) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi
kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan
prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.
(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan
nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
(3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada
bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup
untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta
fasilitas komunikasi dan informasi.
(4) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung,
serta kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Kemudahan hubungan horizontal antarruang dalam bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk
menyediakan pintu dan/atau koridor antar ruang.
(2) Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan
dengan fungsi ruang bangunan gedung.
(3) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan horizontal antarruang dalam bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 29
(1) Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi
vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) berupa penyediaan tangga,

11 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

ram, dan sejenisnya serta lift dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan
lantai yang satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan,
keamanan, keselamatan, dan kesehatan pengguna.
(3) Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan kemiringan tertentu
dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan
keamanan pengguna sesuai standar teknis yang berlaku.
(4) Bangunan gedung dengan jumlah lantai lebih dari 5 (lima) harus dilengkapi dengan
sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
bangunan gedung.
(5) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
(1) Akses evakuasi dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2) harus disediakan di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi
pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran
dan/atau bencana lainnya, kecuali rumah tinggal.
(2) Penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat
dicapai dengan mudah dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
(1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung,
kecuali rumah tinggal.
(2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung
dan lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 32
(1) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum.
(2) Ketentuan mengenai kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

12 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Bagian Kelima
Persyaratan Bangunan Gedung Fungsi Khusus

Pasal 33
Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung fungsi khusus, selain harus
memenuhi ketentuan dalam Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat pada
Bab ini, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis khusus yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.

BAB V
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

Bagian Pertama
Umum
Pasal 34
(1) Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan pembangun-an, pemanfaatan,
pelestarian, dan pembongkaran.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyelenggara berkewajiban memenuhi persyaratan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Bab IV undang- undang ini.
(3) Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa
konstruksi, dan pengguna bangunan gedung.
(4) Pemilik bangunan gedung yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Bab IV undang-undang ini, tetap harus memenuhi ketentuan
tersebut secara bertahap.

Bagian Kedua
Pembangunan

Pasal 35
(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan dan
pelaksanaan beserta pengawasannya.
(2) Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah milik sendiri maupun
di tanah milik pihak lain.
(3) Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemilik
bangunan gedung.
(4) Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan
gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan,
kecuali bangunan gedung fungsi khusus.

13 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pasal 36
(1) Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah setelah mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli.
(2) Pengesahan rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh pemerintah
setelah mendapat pertimbangan teknis tim ahli.
(3) Keanggotaan tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) bersifat ad hoc terdiri atas para ahli yang diperlukan sesuai dengan kompleksitas
bangunan gedung.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana teknis bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan keanggotaan tim ahli bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian
Ketiga Pemanfaatan

Pasal 37
(1) Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan
gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi.
(2) Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi
persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud dalam Bab IV undang-undang ini.
(3) Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus
dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi.
(4) Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik atau pengguna bangunan gedung
mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pelestarian

Pasal 38
(1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
(2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan

14 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang
dikandungnya.
(4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya
yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus
dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kelima
Pembongkaran

Pasal 39
(1) Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:
a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
b. dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau
lingkungannya;
c. tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
(2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
dan huruf b ditetapkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil pengkajian teknis.
(3) Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), kecuali
untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis dan pengadaannya menjadi
kewajiban pemilik bangunan gedung.
(4) Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan
umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran
yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pemilik dan Pengguna Bangunan Gedung

Pasal 40
(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai
hak:
a. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis bangunan
gedung yang telah memenuhi persyaratan;

15 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

b. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan perizinan yang telah


ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;
c. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi
dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
d. mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan perundang- undangan dari
Pemerintah Daerah karena bangunannya ditetapkan sebagai bangunan yang harus
dilindungi dan dilestarikan;
e. mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah;
f. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang- undangan apabila
bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan
diakibatkan oleh kesalahannya.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai
kewajiban:
a. menyediakan rencana teknis bangunan gedung yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
b. memiliki izin mendirikan bangunan (IMB);
c. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis yang
telah disahkan dan dilakukan dalam batas waktu berlakunya izin mendirikan
bangunan;
d. meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan rencana teknis
bangunan gedung yang terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan.

Pasal 41
(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna bangunan gedung
mempunyai hak :
a. mengetahui tata cara/proses penyelenggaraan bangunan gedung
b. mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan
pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
c. mendapatkan keterangan tentang ketentuan persyaratan keandalan bangunan
gedung;
d. mendapatkan keterangan tentang ketentuan bangunan gedung yang laik fungsi;
e. mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus
dilindungi dan dilestarikan.

(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna


bangunan gedung mempunyai kewajiban:
a. memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;
b. memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala;
c. melengkapi pedoman/petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan
bangunan gedung;

16 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

d. melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan


gedung.
e. memperbaiki gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi;
f. membongkar gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak dapat
diperbaiki, dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatannya, atau tidak memiliki
izin mendirikan bangunan, dengan tidak mengganggu keselamatan dan ketertiban
umum.

BAB VI
PERAN MASYARAKAT

Pasal 42
(1) Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat :
a. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan;
b. memberi masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam
penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang bangunan
gedung;
c. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang
terhadap penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan, rencana teknis
bangunan gedung tertentu, dan kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan;
d. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu,
merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 43
(1) Pemerintah menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung secara nasional untuk
meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung.
(2) Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di daerah.
(3) Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan
bangunan gedung.
(4) Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) melakukan Pemberdayaan masyarakat yang belum
mampu untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab IV.

17 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

(5) Ketentuan mengenai pembinaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
SANKSI

Pasal 44
Setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi,
dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

Pasal 45
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:
a. peringatan tertulis,
b. pembatasan kegiatan pembangunan,
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan,
d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.
(2) Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dikenai sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan
yang sedang atau telah dibangun.
(3) Jenis pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat ditentukan oleh
berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 46
(1) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan
dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan, jika
karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.
(2) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan
dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan
gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang

18 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

mengakibatkan cacat seumur hidup.


(3) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan
dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan
gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
(4) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) hakim memperhatikan pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47
(1) Setiap orang atau badan yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan yang telah
ditetapkan dalam undang-undang ini sehingga mengakibatkan bangunan tidak laik
fungsi dapat dipidana kurungan dan/atau pidana denda.
(2) Pidana kurungan dan/atau pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
1% (satu per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan
kerugian harta benda orang lain;
b. pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 2%
(dua per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan
kecelakaan bagi orang lain sehingga menimbulkan cacat seumur hidup
c. pidana kurungan paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
3% (tiga per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48
(1) Peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung yang telah ada dan tidak
bertentangan dengan undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Bangunan gedung yang telah memperoleh perizinan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah sebelum berlakunya undang-undang ini izinnya dinyatakan masih
tetap berlaku.
(3) Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan bangunan
pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan
harus mendapatkan sertifikat laik fungsi berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

19 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 49
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 134

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

Lambock V.
Nahattands

20 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002
TENTANG BANGUNAN GEDUNG

UMUM
Pembangunan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada hakekatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang
menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahiriah dan kepuasan
batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial
berdasarkan Pancasila.
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai
peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas,
dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur
dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan
masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal,
berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan
gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan adm inistratif dan teknis
bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.
Undang-undang tentang Bangunan Gedung mengatur fungsi bangunan gedung,
persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan
kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyeleng-garaan
bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah,
sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kemanfaatan,
keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya,
bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam
rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka
sendiri,
tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib
penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
Perwujudan bangunan gedung juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai
perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa
pengembangannya, termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Oleh
karena itu, pengaturan bangunan gedung ini juga harus berjalan seiring dengan
pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

21 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka semua penyelenggaraan bangunan


gedung baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, serta oleh
pihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang
tentang Bangunan Gedung.
Dalam menghadapi dan menyikapi kemajuan teknologi, baik informasi maupun
arsitektur dan rekayasa, perlu adanya penerapan yang seimbang dengan tetap
mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik
arsitektur dan lingkungan yang telah ada, khususnya nilai-nilai kontekstual, tradisional,
spesifik, dan bersejarah.
Pengaturan dalam undang-undang ini juga memberikan ketentuan pertimbangan kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berkaitan
dengan hal tersebut, pemerintah terus mendorong, memberdayakan dan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini
secara bertahap sehingga jaminan keamanan, keselamatan, dan kesehatan masyarakat
dalam menyelenggarakan bangunan gedung dan lingkungannya dapat dinikmati oleh
semua pihak secara adil dan dijiwai semangat kemanusiaan, kebersamaan, dan saling
membantu, serta dijiwai dengan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik.
Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan
ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan
tetap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam
pelaksanaan undang-undang ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung
dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta
sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang
berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan.
Asas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung
memenuhi persyaratan bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis
untuk menjamin keselamatan pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, di samping persyaratan yang bersifat
administratif.
Asas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan
gedung berkelanjutan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan
lingkungan di sekitar bangunan gedung.

22 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan


bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan
gedung dengan lingkungan di sekitarnya.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Dalam tiap tahapan penyelenggaraan bangunan gedung termasuk dengan
pertimbangan aspek sosial dan ekologis bangunan gedung.
Pengertian tentang lingkup pembinaan termasuk kegiatan pengaturan,
pemberdayaan, dan pengawasan.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rumah tinggal sementara adalah bangunan gedung fungsi hunian yang tidak
dihuni secara tetap seperti asrama, rumah tamu, dan sejenisnya.
Ayat (3)
Lingkup bangunan gedung fungsi keagamaan untuk bangunan masjid
termasuk mushola, dan untuk bangunan gereja termasuk kapel.
Ayat (4)
Lingkup bangunan gedung fungsi usaha adalah:
a. perkantoran, termasuk kantor yang disewakan;
b. perdagangan, seperti warung, toko, pasar, dan mal;
c. perindustrian, seperti pabrik, laboratorium, dan perbengkelan;
d. perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, dan hotel;
e. wisata dan rekreasi, seperti gedung pertemuan, olah raga, anjungan,
bioskop, dan gedung pertunjukan;
f. terminal, seperti terminal angkutan darat, stasiun kereta api, bandara,
dan pelabuhan laut;
g. penyimpanan, seperti gudang, tempat pendinginan, dan gedung parkir.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Bangunan gedung fungsi khusus adalah bangunan gedung yang fungsinya
mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional atau yang

23 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau


mempunyai risiko bahaya tinggi, dan penetapannya dilakukan oleh menteri
yang membidangi bangunan gedung berdasarkan usulan menteri terkait.
Bangunan instalasi pertahanan misalnya kubu-kubu dan atau pangkalan-
pangkalan pertahanan (instalasi peluru kendali), pangkalan laut dan pangkalan
udara, serta depo amunisi.
Bangunan instalasi keamanan misalnya laboratorium forensik dan depo
amunisi.
Ayat (7)
Kombinasi fungsi dalam bangunan gedung misalnya kombinasi fungsi hunian
dan
fungsi usaha, seperti bangunan gedung rumah-toko, rumah-kantor, apartemen-
mal, dan hotel-mal, atau kombinasi fungsi-fungsi usaha seperti bangunan
gedung kantor- toko dan hotel-mal.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan fungsi bangunan gedung oleh Pemerintah Daerah diberikan dalam
proses perizinan mendirikan bangunan gedung.
Ayat (3)
Setiap perubahan fungsi bangunan gedung harus diikuti oleh pemenuhan
persyaratan bangunan gedung terhadap fungsi yang baru, dan diproses kembali
untuk mendapatkan perizinan yang baru dari Pemerintah Daerah.
Perubahan fungsi bangunan gedung termasuk perubahan pada fungsi yang
sama, misalnya fungsi usaha perkantoran menjadi fungsi usaha perdagangan
atau fungsi sosial pelayanan pendidikan menjadi fungsi sosial pelayanan
kesehatan.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

24 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Ayat (4)
Misalnya pembangunan bangunan gedung seperti mal, terminal, dan
perkantoran yang dibangun di atas atau di bawah jalan atau sungai, termasuk
yang berada di atas atau di bawah ruang publik.
Izin penggunaan atau pemanfaatan ruang diberikan oleh instansi yang
berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan prasarana dan sarana
umum atau fasilitas lainnya tempat bangunan gedung tersebut akan dibangun
di atasnya atau di bawahnya.
Ayat (5)
Bangunan gedung adat adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan
kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya
bangunan rumah adat.

Bangunan gedung semi permanen adalah bangunan gedung yang digunakan


untuk fungsi yang ditetapkan dengan konstruksi semi permanen atau yang
dapat ditingkatkan menjadi permanen.

Bangunan gedung darurat adalah bangunan gedung yang fungsinya hanya


digunakan untuk sementara, dengan konstruksi tidak permanen atau umur
bangunan yang tidak lama, misalnya direksi keet dan kios penampungan
sementara.

Pemerintah Daerah dapat menetapkan suatu lokasi sebagai daerah bencana dan
menetapkan larangan membangun pada batas waktu tertentu atau tak terbatas
dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan demi kepentingan umum
atau menetapkan persyaratan khusus tata cara pembangunan apabila daerah
tersebut telah dinilai tidak membahayakan.

Bagi bangunan gedung yang rusak akibat bencana diperkenankan mengadakan


perbaikan darurat atau mendirikan bangunan gedung sementara untuk
kebutuhan darurat dalam batas waktu penggunaan tertentu, dan Pemerintah
Daerah dapat membebaskan dan/atau meringankan ketentuan perizinannya
namun dengan tetap memperhatikan keamanan, keselamatan, dan kesehatan
manusia.

Pemerintah Daerah bersama-sama masyarakat berkewajiban menata bangunan


tersebut di atas agar menjamin keamanan, keselamatan, dan kemudahannya,
serta keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan arsitektur dan
lingkungan yang ada di sekitarnya.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Hak atas tanah adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk
sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik,
hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan, dan hak

25 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

pakai. Status kepemilikan atas tanah dapat berupa sertifikat, girik, pethuk, akte
jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya.
Izin pemanfaatan pada prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan
dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah
dan pemilik bangunan gedung.
Huruf b
Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan
bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil
kegiatan pendataan bangunan gedung.
Dalam hal terdapat pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung, pemilik
yang baru wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Huruf c
Izin mendirikan bangunan (IMB) adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah
bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi
yang telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang
telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan orang atau badan hukum dalam undang-undang ini
meliputi orang perorangan atau badan hukum.
Badan hukum privat antara lain adalah perseroan terbatas, yayasan, badan
usaha yang lain seperti CV, firma dan bentuk usaha lainnya, sedangkan badan
hukum publik antara lain terdiri dari instansi/lembaga pemerintahan,
perusahaan milik negara, perusahaan milik daerah, perum, perjan, dan persero
dapat pula sebagai pemilik bangunan gedung atau bagian bangunan gedung.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah instansi teknis di
kabupaten/kota yang berwenang menangani pembinaan bangunan gedung.
Pendataan, termasuk pendaftaran bangunan gedung, dilakukan pada saat
proses perizinan mendirikan bangunan dan secara periodik, yang dimaksud-
kan untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung,
memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan bangunan gedung,
dan sistem informasi.
Berdasarkan pendataan bangunan gedung, sebagai pelaksanaan dari asas
pemisahan horizontal, selanjutnya pemilik bangunan gedung memperoleh
surat bukti kepemilikan bangunan gedung dari Pemerintah Daerah.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rencana tata bangunan dan lingkungan digunakan untuk pengendalian

26 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

pemanfaatan ruang suatu lingkungan/kawasan, menindaklanjuti rencana rinci


tata ruang dan sebagai panduan rancangan kawasan dalam rangka perwujudan
kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang berkelanjutan dari aspek
fungsional, sosial, ekonomi, dan lingkungan bangunan gedung termasuk
ekologi dan kualitas visual.
Rencana tata bangunan dan lingkungan memuat persyaratan tata bangunan
yang terdiri atas ketentuan program bangunan gedung dan lingkungan, rencana
umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian
rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.
Rencana tata bangunan dan lingkungan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
dan dapat disusun berdasarkan kemitraan Pemerintah Daerah, swasta, dan/atau
masyarakat sesuai tingkat permasalahan pada lingkungan/kawasan yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Intensitas bangunan gedung adalah ketentuan teknis tentang kepadatan dan
ketinggian bangunan gedung yang dipersyaratkan pada suatu lokasi atau
kawasan tertentu, yang meliputi koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien
lantai bangunan (KLB), dan jumlah lantai bangunan.
Ketinggian bangunan gedung adalah tinggi maksimum bangunan gedung yang
diizinkan pada lokasi tertentu.
Jarak bebas bangunan gedung adalah area di bagian depan, samping kiri dan
kanan, serta belakang bangunan gedung dalam satu persil yang tidak boleh
dibangun.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peruntukan lokasi adalah suatu ketentuan dalam
rencana tata ruang kabupaten/kota tentang jenis fungsi atau kombinasi fungsi
bangunan gedung yang boleh dibangun pada suatu persil/kavling/blok
peruntukan tertentu.
Ayat (2)
Bangunan gedung dimungkinkan dibangun di atas atau di bawah tanah, air,
atau prasarana dan sarana umum seperti jalur jalan dan/atau jalur hijau setelah
mendapatkan izin dari pihak yang berwenang dalam penyelenggaraan
prasarana dan sarana yang bersangkutan, dengan pertimbangan tidak
bertentangan dengan rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan

27 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

lingkungan, tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang ber-


sangkutan, serta tetap mempertimbangkan keserasian bangunan gedung
dengan lingkungannya.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan koefisien dasar bangunan (KDB) adalah koefisien
perbandingan antara luas lantai dasar bangunan gedung dan luas persil/
kaveling/blok peruntukan.
Yang dimaksud dengan koefisien lantai bangunan (KLB) adalah koefisien
perbandingan antara luas keseluruhan lantai bangunan gedung dan luas persil/
kaveling/blok peruntukan.
Penetapan KDB, KLB, dan ketinggian bangunan gedung pada suatu lokasi
sesuai ketentuan tata ruang dan diatur oleh Pemerintah Daerah melalui rencana
tata bangunan dan lingkungan (RTBL).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan garis sempadan adalah garis yang membatasi jarak
bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan gedung terhadap
batas lahan yang dikuasai, antar massa bangunan lainnya, batas tepi sungai/
pantai, jalan kereta api, rencana saluran, dan/atau jaringan listrik tegangan
tinggi.
Tepi sungai adalah garis tepi sungai yang diukur pada waktu pasang tertinggi.
Tepi pantai adalah garis pantai yang diukur pada waktu pasang tertinggi dan
waktu bulan purnama.
Penetapan garis sempadan bangunan gedung oleh Pemerintah Daerah dengan
mempertimbangkan aspek keamanan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan,
serta keseimbangan dan keserasian dengan lingkungan.
Ayat (2)
Untuk bangunan gedung fasilitas umum seperti bangunan sarana transportasi
bawah tanah, penetapan jarak bebas bangunan ditetapkan secara khusus oleh

28 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pemerintah Daerah setelah mempertimbangkan pendapat para ahli.


Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)

Persyaratan arsitektur bangunan gedung dimaksudkan untuk mendorong


perwujudan kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang mampu
mencerminkan jati diri dan menjadi teladan bagi lingkungannya, serta yang
dapat secara arif mengakomodasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Ayat (2)
Pertimbangan terhadap bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan
yang ada di sekitar bangunan gedung dimaksudkan untuk lebih menciptakan
kualitas lingkungan, seperti melalui harmonisasi nilai dan gaya arsitektur,
penggunaan bahan serta warna bangunan gedung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung
pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan
bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung fungsi
bangunan gedung dan daerah hijau di sekitar bangunan.
Ruang terbuka hijau diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur
alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun,
tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis,
sosial, ekonomi serta estetika.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dampak penting adalah perubahan yang sangat
mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan.
Bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan
adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan:
a. perubahan pada sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang
melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang-
undangan;
b. perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria

29 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah;


c. terancam dan/atau punahnya spesies-spesies yang langka dan/atau
endemik, dan/atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan atau
kerusakan habitat alaminya;
d. kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan
lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka margasatwa) yang ditetap-
kan menurut peraturan perundang-undangan;
e. kerusakan atau punahnya benda-benda dan bangunan gedung peninggal-an
sejarah yang bernilai tinggi;
f. perubahan areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi;
g. timbulnya konflik atau kontroversi dengan masyarakat dan/atau
pemerintah.
Ayat (2)
Huruf a
Persyaratan lingkungan bangunan gedung meliputi persyaratan-per-syaratan
ruang terbuka hijau pekarangan, ruang sempadan bangunan, tapak basement,
hijau pada bangunan, sirkulasi dan fasilitas parkir, pertandaan, dan
pencahayaan ruang luar bangunan gedung.
Huruf b
Persyaratan terhadap dampak lingkungan berpedoman kepada Undang-undang
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tentang kewajiban setiap usaha
dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup
untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c
Persyaratan teknis pengelolaan dampak lingkungan meliputi persyaratan
teknis bangunan, persyaratan pelaksanaan konstruksi, pembuangan limbah cair
dan padat, serta pengelolaan daerah bencana.

Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keandalan bangunan gedung adalah keadaan bangunan
gedung yang memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan fungsi yang telah
ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas

30 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Sistem proteksi pasif adalah suatu sistem proteksi kebakaran pada bangunan
gedung yang berbasis pada desain struktur dan arsitektur sehingga bangunan
gedung itu sendiri secara struktural stabil dalam waktu tertentu dan dapat
menghambat penjalaran api serta panas bila terjadi kebakaran.
Sistem proteksi aktif dalam mendeteksi kebakaran adalah sistem deteksi dan
alarm kebakaran, sedangkan sistem proteksi aktif dalam memadamkan
kebakaran adalah sistem hidran, hose-reel, sistem sprinkler, dan pemadam api
ringan.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Persyaratan kemampuan mendukung beban muatan selain beban berat sendiri,
beban manusia, dan beban barang juga untuk mendukung beban yang timbul
akibat perilaku alam seperti gempa (tektonik/vulkanik) dan angin ribut/badai,
menurunnya kekuatan material yang disebabkan oleh penyusutan, relaksasi,
kelelahan, dan perbedaan panas, serta kemungkinan tanah longsor, banjir, dan
bahaya kerusakan akibat serangga perusak dan jamur.
Ayat (2)
Variasi pembebanan adalah variasi beban bangunan gedung pada kondisi
kosong, atau sebagian kosong dan sebagian maksimum. Bangunan gedung
dengan jumlah lantai lebih dari dua lantai harus disertai dengan perhitungan
struktur dalam menyusun rencana teknisnya.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Konstruksi tahan api adalah konstruksi yang unsur struktur pembentuknya
tahan api dan mampu menahan secara struktural terhadap beban muatannya
yang dinyatakan dalam tingkat ketahanan api (TKA) elemen bangunan, yang
meliputi ketahanan dalam memikul beban, penjalaran api (integritas), dan
penjalaran panas (isolasi).
Kompartemenisasi adalah penyekatan ruang dalam luasan maksimum dan/atau
volume maksimum ruang sesuai dengan klasifikasi bangunan dan tipe
konstruksi tahan api yang diperhitungkan. Dinding penyekat pembentuk
kompartemen dimaksudkan untuk melokalisir api dan asap kebakaran, atau
mencegah penjalaran panas ke ruang bersebelahan.

31 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pemisahan adalah pemisahan vertikal pada bukaan dinding luar, pemisahan


oleh dinding tahan api, dan pemisahan pada shaft lift.
Bukaan adalah lubang pada dinding atau lubang utilitas (ducting AC,
plumbing, dsb.) yang harus dilindungi atau diberi katup penyetop api/asap
untuk mencegah merambatnya api/asap ke ruang lainnya.
Untuk mendukung efektivitas sistem proteksi pasif dipertimbangkan adanya
jalan lingkungan yang dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran dan/atau
jalan belakang (brandgang) yang dapat dipakai untuk evakuasi dan/atau
pemadaman api.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana
sehat, tidak diwajibkan dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan aktif,
tetapi disesuaikan berdasarkan kemampuan setiap pemilik bangunan gedung
serta pertimbangan keselamatan bangunan gedung dan lingkungan
disekitarnya.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Sistem penghawaan juga mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan
energi dalam bangunan gedung.
Ayat (2)
Ketentuan bukaan untuk ventilasi alami bangunan gedung juga disesuaikan
terhadap ketinggian bangunan gedung dan kondisi geografis.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Sistem pencahayaan juga mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan

32 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

energi dalam bangunan gedung.


Pencahayaan buatan adalah penyediaan penerangan buatan melalui
instalasi listrik dan/atau sistem energi dalam bangunan gedung agar orang
di dalamnya dapat melakukan kegiatannya sesuai fungsi bangunan gedung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Penyaluran air hujan harus dialirkan ke sumur resapan dan/atau ke saluran
jaringan sumur kota sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pada bangunan gedung yang karena fungsinya mempersyaratkan tingkat
kenyamanan tertentu, untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban
udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara.
Pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
penghematan energi dalam bangunan gedung.
Ayat (5)
Kenyamanan pandangan dapat diwujudkan melalui gubahan massa bangunan,
rancangan bukaan, tata ruang dalam dan ruang luar bangunan, serta dengan

33 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

memanfaatkan potensi ruang luar bangunan, ruang terbuka hijau alami atau
buatan, termasuk pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.
Ayat (6)
Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan tingkat getaran
yang tidak menimbulkan gangguan bagi kesehatan dan kenyamanan seseorang
dalam melakukan kegiatannya. Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran
mekanik atau seismik baik yang berasal dari dalam bangunan maupun dari
luar bangunan.
Kenyamanan terhadap kebisingan adalah keadaan dengan tingkat kebisingan
yang tidak menimbulkan gangguan pendengaran, kesehatan, dan kenyamanan
bagi seseorang dalam melakukan kegiatan.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan aksesibilitas pada bangunan gedung meliputi jalan
masuk, jalan keluar, hubungan horizontal antarruang, hubungan vertikal dalam
bangunan gedung dan sarana transportasi vertikal, serta penyediaan akses
evakuasi bagi pengguna bangunan gedung, termasuk kemudahan mencari,
menemukan, dan menggunakan alat pertolongan dalam keadaan darurat bagi
penghuni dan terutama bagi para penyandang cacat, lanjut usia, dan wanita
hamil, terutama untuk bangunan gedung pelayanan umum.
Aksesibilitas harus memenuhi fungsi dan persyaratan kinerja, ketentuan
tentang jarak, dimensi, pengelompokan, jumlah dan daya tampung, serta
ketentuan tentang konstruksinya.
Yang dimaksud dengan :
- mudah, antara lain kejelasan dalam mencapai ke lokasi, diberi
keterangan dan menghindari risiko terjebak;
- nyaman, antara lain melalui ukuran dan syarat yang memadai;
- aman, antara lain terpisah dengan jalan ke luar untuk kebakaran,
kemiringan permukaan lantai, serta tangga dan bordes yang mempunyai
pegangan atau pengaman.
Ayat (3)
Kelengkapan prasarana dan sarana bangunan gedung, yaitu jenis, jumlah/
volume/kapasitas, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan per-
syaratan lingkungan lokasi bangunan gedung sesuai ketentuan yang berlaku.
Fasilitas komunikasi dan informasi seperti sistem komunikasi, rambu
penuntun, petunjuk, dan media informasi lain.

34 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bencana lain, seperti bila terjadi gempa, kerusuhan,
atau kejadian darurat lain yang menyebabkan pengguna bangunan gedung
harus dievakuasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana
sehat, tidak diwajibkan dilengkapi dengan fasilitas dan aksesibilitas bagi
penyandang cacat dan lanjut usia.
Bangunan gedung fungsi hunian seperti apartemen, flat atau sejenisnya tetap
diharuskan menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Instansi yang berwenang adalah instansi yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bertugas membina dan/atau

35 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

menyelenggarakan bangunan gedung dengan fungsi khusus.


Pasal 34
Ayat (1)
Kegiatan pengawasan bersifat melekat pada setiap kegiatan penyelenggaraan
bangunan gedung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan mengenai penyedia jasa konstruksi mengikuti peraturan perundang-
undangan tentang jasa konstruksi.
Ayat (4)
Pelaksanaan penahapan pemenuhan ketentuan dalam undang-undang ini diatur
lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat.

Pasal 35
Ayat (1)
Perencanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan penyusunan
rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis
yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pendirian,
perbaikan, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi bangunan
gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung sesuai
dengan rencana teknis yang telah disusun.
Pengawasan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pengawasan
pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan
penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi
pembangunan gedung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perjanjian tertulis adalah akta otentik yang memuat
ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya
perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan
fungsi bangunan gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan
maupun sebagian.
Ayat (4)
Rencana teknis bangunan gedung dapat terdiri atas rencana-rencana teknis
arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata

36 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

ruang dalam, dan disiapkan oleh penyedia jasa perencanaan yang memiliki
sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam bentuk gambar
rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat
administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya
pembangunan, dan laporan perencanaan.
Persetujuan rencana teknis bangunan gedung dalam bentuk izin mendirikan
bangunan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan asas kelayakan administrasi
dan teknis, prinsip pelayanan prima, serta tata laksana pemerintahan yang
baik.
Perubahan rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada tahap
pelaksanaan harus dilakukan oleh dan/atau atas persetujuan perencana teknis
bangunan gedung, dan diajukan terlebih dahulu kepada instansi yang
berwenang untuk mendapatkan pengesahan.
Untuk bangunan gedung fungsi khusus izin mendirikan bangunannya
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.

Pasal 36
Ayat (1)
Tim ahli dibentuk berdasarkan kapasitas dan kemampuan Pemerintah Daerah
untuk membantu memberikan nasihat dan pertimbangan profesional atas
rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum atau tertentu.
Ayat (2)
Untuk bangunan gedung fungsi khusus, rencana teknisnya harus mendapat-
kan pertimbangan dari tim ahli terkait sebelum disetujui oleh instansi yang
berwenang dalam pembinaan teknis bangunan gedung fungsi khusus.
Ayat (3)
Keberadaan tim ahli bangunan gedung disesuaikan dengan kompleksitas
bangunan gedung yang memerlukan nasihat dan pertimbangan profesional,
dapat mencakup masyarakat ahli di luar disiplin bangunan gedung sepanjang
diperlukan, bersifat independen, objektif, dan tidak terdapat konflik
kepentingan.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud laik fungsi, yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari
bangunan gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata
bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Ayat (2)
Suatu bangunan gedung dinyatakan laik fungsi apabila telah dilakukan

37 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

pengkajian teknis terhadap pemenuhan seluruh persyaratan teknis bangunan


gedung, dan Pemerintah Daerah mengesahkannya dalam bentuk sertifikat laik
fungsi bangunan gedung.
Ayat (3)
Pemeriksaan secara berkala dilakukan pemilik bangunan gedung melalui
pengkaji teknis sebagai persyaratan untuk mendapatkan atau perpanjangan
sertifikat laik fungsi bangunan gedung.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang terkait adalah Undang-undang tentang
Cagar
Budaya.
Ayat (2)
Bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dapat
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang
berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai
penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, termasuk nilai arsitektur
dan teknologinya.
Ayat (3)
Yang dimaksud mengubah, yaitu kegiatan yang dapat merusak nilai cagar
budaya bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan
dilestarikan.
Perbaikan, pemugaran, dan pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungan
yang harus dilindungi dan dilestarikan harus dilakukan dengan memperhatikan
nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya sehingga dapat
dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya semula, atau dapat dimanfaatkan sesuai
dengan potensi pengembangan lain yang lebih tepat berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

38 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pasal 39
Ayat (1) Huruf a
Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti
akan membahayakan keselamatan pemilik dan/atau pengguna apabila
bangunan gedung tersebut terus digunakan.
Dalam hal bangunan gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat
diperbaiki, pemilik dan/atau pengguna diberikan kesempatan untuk
memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi.
Dalam hal pemilik tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi
dan tidak dapat diperbaiki serta membahayakan keselamatan penghuni atau
lingkungan, bangunan tersebut harus dikosongkan. Apabila bangunan tersebut
membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Huruf b
Yang dimaksud dapat menimbulkan bahaya adalah ketika dalam pemanfaatan
bangunan gedung dan/atau lingkungannya dapat mem-bahayakan keselamatan
masyarakat dan lingkungan.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian bangunan gedung yang tidak sesuai
peruntukannya berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota,
sehingga tidak dapat diproses izin mendirikan bangunannya.
Ayat (2)
Pemerintah Daerah menetapkan status bangunan gedung dapat dibongkar
setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis bangunan gedung yang
dilaksanakan secara profesional, independen dan objektif.
Ayat (3)
Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan
rumah sederhana sehat.
Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada
kompleksitas dan fungsi bangunan gedung.
Ayat (4)
Rencana teknis pembongkaran bangunan gedung termasuk gambar-gambar
rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan
pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan.
Pelaksanaan pembongkaran yang memakai peralatan berat dan/atau bahan
peledak harus dilaksanakan oleh penyedia jasa pembongkaran bangunan
gedung yang telah mendapatkan sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas

39 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pasal 40
Ayat (1) Huruf a
Persetujuan rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi
persyaratan merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang melekat pada
Pemerintah Daerah.
Persetujuan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis bangunan gedung
yang telah memenuhi persyaratan diperoleh secara cuma-cuma dari instansi
yang berwenang.
Huruf b
Perizinan pembangunan bangunan gedung berupa izin mendirikan bangunan
gedung yang diperoleh dari Pemerintah Daerah secara cepat dan
murah/terjangkau setelah rencana teknis bangunan gedung disetujui.
Biaya izin mendirikan bangunan gedung bersifat terjangkau disesuaikan
dengan fungsi, kepemilikan, dan kompleksitas bangunan gedung, serta
dimaksudkan untuk mendukung pembiayaan pelayanan perizinan,
menerbitkan surat bukti kepemilikan bangunan gedung dan pembinaan teknis
penyelenggaraan bangunan gedung.
Huruf c
Surat ketetapan bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan
dilestarikan diperoleh dari Pemerintah Daerah secara cuma-cuma.
Huruf d
Penetapan insentif dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau Peraturan Daerah.
Huruf e
Izin tertulis dari Pemerintah Daerah berupa perubahan izin mendirikan
bangunan gedung karena adanya perubahan fungsi bangunan gedung.
Huruf f
Penetapan ganti rugi dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan/atau Peraturan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Pemilik dan pengguna bangunan gedung dapat memperoleh secara cuma-cuma
informasi pedoman tata cara, keterangan persyaratan dan penyelenggaraan
serta peraturan bangunan gedung yang tersedia di Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Tidak dibenarkan memanfaatkan bangunan gedung yang tidak sesuai

40 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

dengan fungsi yang telah ditetapkan.


Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi
pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis
bangunan gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan pemeriksaan
berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta
kelengkapan bangunan gedung.
Pemeriksaan secara berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena
adanya perubahan fungsi bangunan gedung, atau karena adanya bencana yang
berdampak penting pada keandalan bangunan gedung, seperti kebakaran dan
gempa.
Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis
yang kompeten dan memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, serta melaporkan kepada Pemerintah Daerah atas hasil pemeriksaan
yang dilakukannya.
Pemerintah Daerah mengatur kewajiban pemeriksaan secara berkala, dan
dapat secara acak melakukan pemeriksaan atas hasil pengkajian teknis yang
dilakukan oleh pengkaji teknis.
Huruf e
Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan
bangunan gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan
yang dilakukan oleh pengkaji teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik
fungsi.
Huruf f
Selain pemilik, pengguna juga dapat diwajibkan membongkar bangunan
gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perjanjian menggunakan
bangunan yang tidak laik fungsi.

Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Apabila terjadi ketidaktertiban dalam pembangunan, pemanfaatan, pelestarian,
dan pembongkaran bangunan gedung, masyarakat dapat menyampaikan
laporan, masukan, dan usulan kepada Pemerintah Daerah.
Setiap orang juga berperan dalam menjaga ketertiban dan memenuhi
ketentuan yang berlaku, seperti dalam memanfaatkan fungsi bangunan gedung
sebagai pengunjung pertokoan, bioskop, mal, pasar, dan pemanfaat tempat
umum lain.

41 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Huruf b
Yang dimaksud dengan penyempurnaan termasuk perbaikan Peraturan Daerah
tentang bangunan gedung sehingga sesuai dengan undang-undang ini.
Huruf c
Penyampaian pendapat dan pertimbangan dapat melalui tim ahli bangunan
gedung yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau melalui forum dialog dan
dengar pendapat publik.
Penyampaian pendapat tersebut dimaksudkan agar masyarakat yang
bersangkutan ikut memiliki dan bertanggung jawab dalam penataan bangunan
dan lingkungannya.
Huruf d
Gugatan perwakilan dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan oleh perorangan atau kelompok orang yang mewakili para pihak
yang dirugikan akibat adanya penyelenggaraan bangunan gedung yang
mengganggu, merugikan, atau membahayakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui
kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan sehingga setiap
penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai
keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya
kepastian hukum.
Pengaturan dilakukan dengan pelembagaan peraturan perundang-undangan,
pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai dengan di
daerah dan operasionalisasinya di masyarakat.
Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara bangunan gedung dan
aparat Pemerintah Daerah untuk menumbuh-kembangkan kesadaran akan hak,
kewajiban, dan perannya dalam penyelenggaraan bangunan gedung.
Pengawasan dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan
peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya
penegakan hukum.
Ayat (2)
Pelaksanaan pembinaan oleh Pemerintah Daerah berpedoman pada peraturan
perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan atas pemerintahan
daerah.
Ayat (3)
Masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung seperti masyarakat ahli,
asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, masyarakat pemilik dan pengguna
bangunan gedung, dan aparat pemerintah.
Ayat (4)

42 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Pemberdayaan masyarakat yang belum mampu dimaksudkan untuk


menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan bangunan
gedung melalui upaya internalisasi, sosialisasi, dan pelembagaan di tingkat
masyarakat.

Pasal 44
Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan pemilik dan/atau pengguna
bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan sanksi administratif adalah sanksi yang diberikan oleh
administrator (pemerintah) kepada pemilik dan/atau pengguna bangunan
gedung tanpa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan
undang-undang ini.
Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung
pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna
bangunan gedung.
Yang dimaksud dengan nilai bangunan gedung dalam ketentuan sanksi adalah
nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang
dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu bangunan
gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung
yang telah berdiri.

Pasal 45
Ayat (1)
Sanksi administratif ini bersifat alternatif.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pemba- ngunan
adalah surat perintah penghentian pekerjaan pelaksanaan sampai dengan
penyegelan bangunan gedung.
Huruf d
Penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung adalah
surat perintah penghentian pemanfaatan sampai dengan penyegelan bangunan
gedung.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

43 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Pelaksanaan pembongkaran dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab
pemilik bangunan gedung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Untuk membantu proses peradilan dan menjaga objektivitas serta nilai
keadilan, hakim dalam memutuskan perkara atas pelanggaran tersebut dengan
terlebih dahulu endapatkan pertimbangan dari tim ahli di bidang bangunan
gedung.

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bangunan gedung yang telah memiliki izin mendirikan bangunan sebelum
disahkannya undang-undang ini, secara berkala tetap harus dinilai kelaikan

44 dari 45
UU NO.: 28 TAHUN 2002

fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.


Bangunan gedung yang telah memiliki izin mendirikan bangunan sebelum
disahkannya undang-undang ini, juga harus didaftarkan bersamaan dengan
kegiatan pendataan bangunan gedung secara periodik yang dilakukan oleh
Pemerintah aerah, atau berdasarkan prakarsa masyarakat sendiri.
Ayat (3)
Bangunan gedung yang belum memiliki izin mendirikan bangunan pada saat
dan setelah diberlakukannya undang-undang ini, diwajibkan mengurus izin
mendirikan bangunan melalui pengkajian kelaikan fungsi bangunan gedung
dan mendapatkan sertifikat laik fungsi.
Pengkajian kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis
dan dapat bertahap sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat berdasarkan penetapan oleh Pemerintah Daerah.
Dalam hal belum terdapat pengkaji teknis dimaksud, pengkajian teknis
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan dan memberikan kemudahan
serta pelayanan yang baik kepada masyarakat yang akan mengurus izin
mendirikan bangunan atau sertifikat laik fungsi bangunan gedung.

Pasal 49
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4247

45 dari 45
C KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
1. Kepmen PU No.: 441/KPTS/1998 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
2. Kepmen PU No.: 11/KPTS/2000 Ketentuan Teknis Manajemen
Penanggulangan Kebakaran Di Perkotaan.
3. Kepmen PU No.: 10/KPTS/2000 Ketentuan teknis pengamanan terhadap
bahaya kebakaran pada bangunan gedung
dan lingkungan.
KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR : 441/KPTS/1998

TENTANG

PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

MENTERI PEKERJAAN UMUM,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987


tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di bidang
Pekerjaan Umum kepada Daerah, urusan penyelenggaraan
bangunan gedung telah diserahkan kepada Daerah baik Daerah
Tingkat I maupun Daerah Tingkat II;

b. bahwa perkembangan penyelenggaraan bangunan gedung dewasa


ini semakin kompleks sehingga perlu adanya pengaturan mengenai
ketentuan teknis yang menyangkut peruntukan dan intensitas
bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta keandalan bangunan
yang menjadi persyaratan pokok suatu bangunan gedung;

c. bahwa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun


1987, kepada Menteri Pekerjaan Umum diberi wewenang untuk
melakukan pembinaan teknis dan pengawasan teknis dalam
penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah;

d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pertimbangan tersebut


diatas perlu mengatur persyaratan teknis bangunan gedung, dengan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah;
2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Parumahan dan
Permukiman;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum
kepada Daerah;
6. Keputusan Presiden Rl Nomor 44 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Organisasi Departemen;
7. Keputusan Presiden Rl Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Keputusan Rl Nomor 15 tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen Sebagaimana Telah Tiga Puluh Kali
Diubah Terakhir Dengan Keputusan Rl Nomor 23 Tahun 1994
8. Keputusan Presiden Rl Nomor 122/M Tahun 1998 tentang
Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan;
9. Keputusan Menteri PU Nomor 211/KPTS/1994 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG


PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu
lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, diatas, atau di dalam tanah dan atau perairan
secara tetap yang berfungsi sebagai tampat manusia melakukan kegiatannya.

2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah proses kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan


pemanfaatan bangunan gedung

3. Daerah adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Kabupaten/Kotamadya Daerah


Tingkat II.

4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah T'ngkat II.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2

(1) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung dimaksudkan untuk mewujudkan


bangunan gedung yang berkualitas sesuai dengan fungsinya.

(2) Pengaturan persyaratan teknis bangunan gedung bertujuan terselenggaranya fungsi


bangunan gedung yang aman, sehat, nyaman, efisien, seimbang, serasi dan selaras dengan
lingkungannya
BAB II

PENGATURAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

Bagian Pertama
Persyaratan Teknis

Pasal 3

(1) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan mengenai :

a. Peruntukan dan Intensitas Bangunan.


b. Arsitektur dan lingkungan.
c. Struktur Bangunan Gedung.
d. Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran.
e. Sarana Jalan Masuk dan Keluar.
f. Transportasi dalam Gedung.
g. Pencahayaan Darurat, Tanda Arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya.
h. Instalasi Listrik Penangkal Petir, dan Komunikasi dalam Gedung
i. Instalasi Gas.
j. Sanitasi dalam gedung.
k. Ventilasi dan Pengkondisian Udara
I. Pencahayaan.
m. Kebisingan dan Getaran.

(2) Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal ini tercantum pada lampiran Keputusan Menten ini yang merupakan satu
kesatuan pengaturan dalam keputusan ini

(3) Setiap orang atau badan termasuk instansi Pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal ini.

Pasal 4

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dilakukan sesuai dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengaturan Pelaksanaan di Daerah

Pasal 5

(1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah perlu dibuat
Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri
ini.

(2) Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini maka terhadap penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah
diberlakukan ketentuan-ketentuan Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3.

(3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang persyaratan teknis bangunan
gedung sebelum Keputusan Menteri ini diterbitkan harus menyesuaikannya dengan
ketentuan-ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3.
Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan bangunan gedung, Pemerintah Daerah


melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah maupun masyarakat dalam
memenuhi ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 untuk
terwujudnya tertib pembangunan bangunan gedung.

(2) Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan bangunan gedung, Pemerintah


Daerah wajib menggunakan persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada Pasal 3 sebagai landasan dalam mengeluarkan persetujuan atau
perizinan yang diperlukan.

(3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian pembangunan
bangunan gedung yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan
sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 7

(1) Penyelenggaraan bangunan gedung yang melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 3 dan


Pasal 4 Keputusan Menteri ini dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5.

(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran dapat berupa:

a. Peringatan tertulis
b. Pembatasan kegiatan
c. Penghentian sementara kegiatan sampai dilakukannya pemenuhan persyaratan
teknis bangunan gedung.
d. Pencabutan izin yang telah dikeluarkan untok menyelenggarakan pembangunan
bangunan gedung.

(3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di dalam Peraturan
Daerah dapat diatur mengenai pengenaan denda dan tindakan Pembongkaran atas
terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan teknis bangunan gedung.
BAB III

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS

Pasal 8

(1) Pembinaan dan Pengawasan Teknis untuk pelaksanaan ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 58/PRT/1991 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Teknis
dan Pengawasan Teknis Bidang Pekerjaan Umum kepada Dinas Pekerjaan Umum.

(2) Pelaksanaan pembinaan teknis dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini didasarkan pada Rencana dan program yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Cipta Karya.

BAB IV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 9

Dengan berlakunya Keputusan Menteri inl, maka semua ketentuan persyaratan teknis
bangunan gedung yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri ini
masih tetap berlaku, sampai digantikan dengan yang baru.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10

(1) Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

(2) Keputusan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan.

DITETAPKAN Dl : JAKARTA
PADA TANGGAL : 10 NOPEMBER 1998

MENTERI PEKERJAAN UMUM

RACHMADI BAMBANG SUMADHIJO


LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
NOMOR 441/KPTS/1998
TANGGAL 10 NOPEMBER 1998

DAFTAR ISI
BAGIAN I
KETENTUAN UMUM

I. 1 PENGERTIAN
1. Umum
2. Teknis
I.2 MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
2. Tujuan

BAGIAN II
PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN

II.1 PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN


1. Peruntukan Lokasi
2. Fungsi Bangunan
3. Klasifikasi Bangunan

II.2 INTENSITAS BANGUNAN


1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan
2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB
3. Perhitungan KDB dan KLB

II.3 GARIS SEMPADAN BANGUNAN


1. Garis Sempadan (muka) Bangunan
2. Garis Sempadan Samping dan Belakang Bangunan
3. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan, Samping, dan Belakang Bangunan

BAGIAN III
ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN

III.1 ARSITEK BANGUNAN


1. Tata Letak Bangunan
2. Bentuk Bangunan
3. Tata Ruang Dalam
4. Kelengkapan Bangunan

III.2 RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN


1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Tebuka Hijau Pekarangan
2. Ruang Sempadan Bangunan
3. Tapak Basement
4. Hijau Pada Bangunan
5. Tata Tanaman

III.3 SIRKULASI, PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN


1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir
2. Pertandaan (Signage)
3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan
III.4 PENGELOLAAN DAMPAK LINGKUNGAN
1. Dampak Penting
2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Ligkungan
3. Ketentuan UPL dan UKL
4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan
5. Pengelolaan Daerah Bencana

BAGIAN IV
STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG

IV.1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN


1. Persyaratan Struktur
2. Persyaratan Bahan

IV.2 PEMBEBANAN

IV.3 STRUKTUR ATAS


1. Kontruksi Bangunan
2. Kontruksi Baja
3. Kontruksi Kayu
4. Kontruksi Dengan Bahan dan Teknologi Khusus
5. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi

IV.4 STRUKTUR BAWAH


1. Pondasi Langsung
2. Pondasi Bawah

IV.5 KEANDALAN STRUKTUR


1. Keselamatan Struktur
2. Keruntuhan Struktur

IV.6 DEMOLISI STUKTUR


1. Kriteria Demolisi
2. Prosedur dan Metoda

BAGIAN V
PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN

V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF


1. Ketahanan Api dan Stabilitas
2. Tipe Konstruksi Tahan Api
3. Tipe Konstruksi Yang Diwajibkan
4. Kompartemensasi dan Pemisahan
5. Proteksi Bukaan

V.2 SISTEM PROTEKSI AKTIF


1. Sistem Pemadam Kebakaran
2. Sistem Diteksi & Alarm Kebakaran
3. Pengendalian Asap Kebakaran
4. Pusat Pengendali Kebakaran
BAGIAN VI
SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR

VI.1 FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA


1. Fungsi
2. Pesyaratan Kinerja

VI.2 KETENTUAN JALAN KELUAR


1. Persyaratan Keamanan
2. Kebutuhan Jalan Keluar
3. Jalan Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
4. Jarak Jalur Menuju Pintu Keluar
5. Jarak antara Pintu-pintu Keluar Alternatif
6. Dimensi/ukuran Pintu Keluar
7. Jalur Lintasan Melalui Jalan Keluar Yang Diisolasi Tehadap Kebakaran
8. Tangga Luar Bangunan
9. Lintasan Melalui Tangga/ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran
10. Keluar Melalui Pintu-pintu Keluar
11. Pintu Keluar Horisontal
12. Tangga, Ramp atau Eskalator Yang Tidak Disyaratkan
13. Ruang Peralatan dan Ruang Motor Lift
14. Jumlah Orang Yang Ditampung

VI.3 KONTRUKSI JALAN KELUAR


1. Penerapan
2. Tangga dan Ramp Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
3. Tangga dan Ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran
4. Pemisahan Tanjakan dan Turunan Tangga
5. Ramp dan Balkon Akses Yang Terbuka
6. Lobby Bebas Asap
7. Instalasi pada Pintu Keluar dan Jalan Lintasan
8. Perlindungan pada Ruang di Bawah Tangga dan Ramp
9. Lebar Tangga
10. Ramp Pejalan Kaki
11. Lorong Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
12. Atap sebagai Ruang Terbuka
13. Injakan dan Tanjakan Tangga
14. Bordes
15. Ambang Pintu
16. Balustrade
17. Pegangan Rambat pada Tangga
18. Pintu
19. Pintu Ayun
20. Pengoperasian Gerendel Pintu
21. Masuk dari Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran
22. Rambu pada Pintu

VI.4 AKSES BAGI PENYANDANG CACAT


BAGIAN VII
TRANSPORTASI DALAM GEDUNG

VII.1 LIF
1. Kapasitas Lif
2. Lif Kebakaran
3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif pada Saat Terjadi Kebakaran
4. Lif untuk Rumah Sakit
5. Sangkar Lif
6. Saf Lif
7. Mesin Lif dan Ruang Mesin Lif
8. Instalasi Listrik
9. Pemeriksaan, Pengujian dan Pemeliharaan

VII.2 TANGGA BERJALAN DAN LANTAI BERJALAN

BAGIAN VIII
PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR, SISTEM PERINGATAN BAHAYA

VIII.1 1SISTEM PENCAHAYAAN DARURAT

VIII.2 TANDA ARAH KELUAR

VIII.3 SISTEM PERINGATAN BAHAYA

BAGIAN IX
INSTALANSI LISTRIK, PENANGKAL PETIR, DAN KOMUNIKASI DALAM GEDUNG

IX.1 INSTALANSI LISTRIK


1. Perencanaan Instalansi Listrik
2. Jaringan Distribusi Listrik
3. Beban Listrik
4. Sumber Daya Listrik
5. Transformator Distribusi
6. Pemerikasaan dan Pengujian
7. Pemeliharaan

IX.2 INSTALANSI PENANGKAL PETIR


1. Perencanaan Penangkal Petir
2. Instalansi Penangkal Petir
3. Pemeriksaan dan Pengujian
4. Pemeliharaan

IX.3 INSTALASI KOMUNIKASI DALAM GEDUNG


1. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung
2. Instalansi Telepon
3. Instalansi Tata Suara
BAGIAN X
INSTALANSI GAS

X.1 INSTALANSI GAS PEMBAKARAN


1. Jenis Gas
2. Jaringan Distribusi Gas Kota
3. Pemeriksaan dan Pengujian

X.2 INSTALANSI GAS MEDIK


1. Jenis Gas
2. Jaringan Distribusi Gas Medik
3. Pemeriksaan dan Pengujian

BAGIAN XI
SANITASI DALAM GEDUNG

XI. 1 SISTEM PLAMBING


1. Perencanaan Sistem Plumbing
2. Sistem Penyediaan Air Bersih
3. Sistem Pembuangan Air Kotor
4. Alat Plambing
5. Tangki Penyediaan Air Bersih
6. Pompa Air Bersih

XI. PERSAMPAHAN
1. Penempatan pada Bangunan
2. Pewadahan
3. Sampah Berbahaya

BAGIAN XII
VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA

XII.1 VENTILASI
1. Kebutuhan Ventilasi
2. Ventilasi Alami
3. Ventilasi Buatan

XII.2 PENGKONDISIAN UDARA


1. Kebutuhan Pengkondisian Udara
2. Konservaasi Energi
3. Perhitungan Perkiraan Beban Pendinginan

BAGIAN XIII
PENCAHAYAAN

XIII.1 KEBUTUHAN PENCAHAYAAN

XIII.2 PENCAHAYAAN BUATAN

XIII.3 PENCAHAYAAN ALAMI


XIII.4 PENGENDALIAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN

BAGIAN XIV
KEBISINGAN DAN GETARAN

XIV.1 KEBISINGAN

XIV.2 GETARAN

BAGIAN XV
PENUTUP

LAMPIRAN
I. KETENTUAN UMUM

1. PENGERTIAN

1. Umum
Dalam pedoman teknis ini yang dimaksud dengan:

a. Daerah adalah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II atau Daerah Khusus


Ibukota Jakarta.

b. Kepala Daerah adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, atau


Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

c. Dinas Bangunan adalah salah satu Dinas Teknis di Daerah yang diantaranya
mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengaturan, pembinaan, dan
pengendalian pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung yang berada di
Daerah yang bersangkutan.

d. Pengawas/Penilik Bangunan adalah pejabat atau tenaga teknis profesional


yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah atau ketentuan yang
berlaku untuk bertugas mengawasi/menilik bangunan gedung.

2. Teknis

a. Air kotor adalah semua air yang bercampur dengan kotoran-kotoran dapur,
kamar mandi, kakus dan peralatan-peralatan pembuangan lainnya.

b. Atrium adalah suatu ruang dalam suatu bangunan yang menghubungkan 2 atau
lebih tingka/lantai, di mana:
i. seluruh atau sebagian ruangnya tertutup pada bagian atasnya oleh lantai atau
atap, termasuk struktur atap kaca;
ii. termasuk setiap ruang yang berbatasan/ berdekatan tetapi tidak terpisahkan
oleh pembatas;
iii. tidak termasuk lorong tangga, lorong ramp, atau ruang dalam shaft.

c. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam
suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di daiam tanah
dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia untuk
melakukan kegiatan bertempat tinggal, berusaha, bersosial-budaya, dan
kegiatan lainnya.

d. Bangunan turutan adalah bangunan sebagai tambahan atau pengembangan


dari bangunan yang sudah ada.

e. Bangunan umum adalah bangunan yang berfungsi untuk tempat manusia


berkumpul, mengadakan pertemuan, dan melaksanakan kegiatan yang bersifat
publik lainnya, seperti keagamaan, pendidikan, rekreasi, olah raga,
perbelanjaan, dsb.
f. Bangunan Induk adalah bangunan yang mempunyai fungsi dominan dalam
suatu persil.

g. Baku Tingkat Getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dan usaha atau kegiatan pada
media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan
kesehatan serta keutuhan bangunan.

h. Baku tingkat Kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang


diperbolehkan dituang kelingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

a. Daerah Hijau Bangunan, yang selanjutnya disebut DHB adalah ruang terbuka
pada bangunan yang dimanfaatkan untuk penghijauan.

b. Demolisi adalah kegiatan merobohkan atau membongkar bangunan secara total.

c. Dinding Pembatas adalah dinding yang menjadi pembatas antara bangunan.

d. Dinding Luar adalah suatu dinding bangunan terluar yang bukan merupakan
dinding pembatas.

e. Dinding Luar Non-struktural adalah suatu dinding luar yang tidak memikul
beban dan bukan merupakan dinding panel.

f. Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bebas minimum dari bidang


terluar suatu massa bangunan terhadap:
i. Batas lahan yang dikuasai,
ii. Batas tepi sungai/pantai,
iii. Antar massa bangunan lainnya, atau
iv. Rencana saluran, jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas dan
sebagainya.

g. Garis sempadan pagar adalah garis bagian luar dari pagar persil atau pagar
pekarangan.

h. Garis sempadan loteng adaiah garis yang terhitung dan tepi jalan berbatasan
yang tidak diperkenankan didirikan tingkat bangunan.

i. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang


terhadap suatu titik acuan.

j. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat.

k. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan
kegiatan manusia.

l. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam
dan kegiatan manusia.
m. Jarak antara bangunan adalah jarak terkecil antara bangunan yang diukur
antara permukaan-permukaan denah bangunan.

n. Jaringan persil adalah jaringan sanitasi dan jaringan drainasi dalam persil.

o. Jaringan saluran umum kota adalah jaringan sarana dan prasarana saluran
umum perkotaan, seperti jaringan sanitasi dan jaringan drainasi.

p. Kamar adalah ruangan yang tertutup seluruhnya atau sebagian, untuk tempat
kegiatan manusia, selain kamar untuk MCK dan dapur.

q. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.

r. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah koefisien perbandingan antara luas


lantai dasar bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan.

s. Koefisien Daerah Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara


luas ruang terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/
penghijauan dengan luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

t. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah koefisien perbandingan antara luas


keseluruhan lantai bangunan terhadap luas persil/ kaveling/ blok peruntukan.

u. Koefisien Tapak Basement (KTB) adalah angka prosentasi perbandingan luas


tapak basement dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

v. Lubang Atrium adalah ruang dari suatu atrium yang dikelilingi oleh batas
pinggir bukaan lantai atau oleh batas pinggir lantai dan dinding luar.

w. Mendirikan Bangunan
i. Mendirikan, memperbaiki, memperluas, mengubah atau membongkar secara
keseluruhan atau sebagian suatu bangunan;
ii. Melakukan pekerjaan tanah untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan yang
dimaksud pada butir 2.w.i.

x. Pekarangan adalah bagian yang kosong dari suatu persil/ kaveling/blok


peruntukan bangunan.

y. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah pedoman rencana


teknik, program tata bangunan dan lingkungan, serta pedoman pengendalian
pelaksanaan yang umumnya meliputi suatu lingkungan/kawasan (urban design
and development guidelines).
z. Ruang persiapan adalah ruang yang berhubungan dengan, dan berbatasan ke
suatu panggung pada bangunan klas 9b yang dipergunakan untuk barang-barang
dekorasi panggung, peralatan, ruang ganti, atau sejenisnya.

aa. Rumah adalah bangunan yang terdiri atas ruangan atau gabungan ruangan yang
borhubungan satu sama lain, yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga.

bb. Sambungan jaringan adalah penghubung antara sesuatu jaringan persil dengan
jaringan saluran umum kota.

cc. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang akan dinyatakan dalam
satuan Desibel disingkat dB.

dd. Tinghat Ketahanan Api (TKA), adalah tingkat ketahanan api yang
dipersyaratakan pada bagian atau komponen bangunan sesuai ketentuan butir
V.1.2 dalam ukuran waktu satuan menit, dengan kriteria-kriteria berurut yaitu
aspek ketahanan struktural, integritas, dan insulasi. Contoh: TKA 90/-/60
berarti hanya terdapat persyaratan TKA untuk ketahanan struktural 90 menit
dan insulasi 60 menit.

ee. Tinggi bangunan adalah jarak antara garis potong permukaan atap dengan
muka bangunan bagian luar dan permukaan lantai denah bawah.

I.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung ini dimaksudkan sebagai acuan persyaratan


teknis yang diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan
bangunan gedung di Indonesia, termasuk dalam rangka proses perijinan pelaksanaan
dan pemanfaatan bangunan, serta pemeriksaan kelaikan fungsi/keandalan bangunan
gedung.

2. Tujuan.
Tujuan Pedoman Teknis ini bertujuan untuk dapat terwujudnya bangunan gedung
sesuai fungsi yang ditetapkan dan yang memenuhi persyaratan teknis, yaitu meliputi
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan, arsitektur dan lingkungan, serta
keandalan bangunan.
Adapun tujuan dari pengaturan per-bagian adalah:

a. Peruntukan dan Intensitas:

i. menjamin bangunan gedung didirikan berdasarkan ketentuan tata ruang dan tata
bangunan yang ditetapkan di Daerah yang bersangkutan,

ii. menjamin bangunan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya,


iii. menjamin keselamatan pengguna, masyarakat, dan lingkungan.

b. Arsitektur dan Lingkungan:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang didirikan berdasarkan


karakteristik lingkungan, ketentuan wujud bangunan, dan budaya daerah,
sehingga seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

ii. menjamin terwujudnya tata ruang hijau yang dapat memberikan keseimbangan
dan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

iii. menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan tidak


menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

c. Strukfur Bangunan:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang


timbul akibat perilaku alam dan manusia.

ii. menjamin keselamatan manusia dari kemungkinan kecelakaan atau luka yang
disebabkan oleh kegagalan struktur bangunan.

iii. menjamin kepentingan manusia dari kehilangan atau kerusakan benda yang
disebabkan oleh perilaku struktur.

iv. menjamin perlindungan properti lainnya dari kerusakan fisik yang disebabkan
oleh kegagalan struktur.

d. Ketahanan terhadap Kebakaran:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dapat mendukung beban yang


timbul akibat perilaku alam dan manusia pada saat terjadi kebakaran.

ii. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dibangun sedemikian rupa


sehinga mampu secara struktural stabil selama kebakaran, sehingga:

(1) cukup waktu bagi penghuni melakukan evakuasi secara aman;

(2) cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk
memadamkan api;

(3) dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya.

e. Sarana Jalan Masuk dan Keluar:

i. menjamin terwujudnya bangunan gedung yang mempunyai akses yang layak,


aman dan nyaman ke dalam bangunan dan fasilitas serta layanan di dalamnya.

ii. menjamin terwujudnya upaya melindungi penghuni dari cedera atau luka saat
evakuasi pada keadaan darurat
iii. menjamin tersedianya aksesibilitas bagi penyandang cacat, khususnya untuk
bangunan fasilitas umum dan sosial.

f. Transportasl dalam Gedung:

i. menjamin tersedianya alat transportasi yang layak, aman, dan nyaman di dalam
bangunan gedung.

ii. menjamin tersedianya aksesibiltas bagi penyandang cacat khususnya untuk


bangunan fasilitas umum dan sosial.

g. Pencahayean Darurat, Tanda arah Keluar, dan Sistem Peringatan Bahaya:

i. menjamin tersedianya pertandaan dini yang informatif di dalam bangunan


gedung apabila terjadi keadaan darurat;

ii. menjamin penghuni melakukan evakuasi secara mudah dan aman, apabila
terjadi keadaan darurat.

h. Instalasi Listrik, Penangkal Petir dan Komunikasi:

i. menjamin terpasangnya instalasi listrik secara cukup dan aman dalam


menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan
fungsinya;

ii. menjamin terwujudnya keamanan bangunan gedung dan penghuninya dari


bahaya akibat petir;

iii. menjamin tersedianya sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya.

i. Instalasi Gas:

i. menjamin terpasangnya instalasi gas secara aman dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin terpenuhinya pemakaian gas yang aman dan cukup;

iii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan secara baik.

j. Sanitasi dalam Bangunan:

i. menjamin tersedianya sarana sanitasi yang memadai dalam menunjang


terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin terwujudnya kebersihan, kesehatan dan memberikan kenyamanan


bagi penghuni bangunan dan lingkungan;

iii menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan sanitasi secara baik.
k Ventilasi dan Pengkondisian Udara:

i. menjamin terpenuhinya kebutuhan udara yang cukup, baik alami maupun


buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan dalam bangunan gedung
sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan tata udara secara
baik.

l. Pencahayaan:

i. menjamin terpenuhinya kebutuhan pencahayaan yang cukup, baik alami


maupun buatan dalam menunjang terselenggaranya kegiatan di dalam bangunan
gedung sesuai dengan fungsinya;

ii. menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan pencahayaan secara


baik.

m. Kebisingan dan Getaran:

i. menjamin terwujudnya kehidupan yang nyaman dari gangguan suara dan


getaran yang tidak diinginkan;

ii. menjamin adanya kepastian bahwa setiap usaha atau kegiatan yang
menimbulkan dampak negatif suara dan getaran perlu melakukan upaya
pengendalian pencemaran dan atau mencegah perusakan lingkungan.
II. PERUNTUKAN DAN INTENSITAS BANGUNAN

II.I. PERUNTUKAN, FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN

1. Peruntukan Lokasi
a. Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang
diatur dalam ketentuan tata ruang dan tata bangunan dari lokasi yang
bersangkutan.

b. Ketentuan tata ruang dan tata bangunan ditetapkan melalui:


i. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah,
ii. Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR),
iii. Peraturan bangunan setempat dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL).

c. Peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam butir a, merupakan peruntukan


utama, sedangkan peruntukan penunjangnya sebagaimana ditetapkan di dalam
ketentuan tata bangunan yang ada di Daerah setempat atau berdasarkan
pertimbangan teknis Dinas Bangunan.

d. Setiap pihak yang memerlukan keterangan atau ketentuan tata ruang dan tata
bangunan dapat memperolehnya secara terbuka melalui Dinas Bangunan.

e. Keterangan atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir d meliputi


keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan, seperti
kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan.

f. Dalam hal rencana-rencana tata ruang dan tata bangunan sebagaimana


dimaksud pada butir b belum ada, Kepala Daerah dapat memberikan
pertimbangan atas ketentuan yang diperlukan, dengan tetap mengadakan
peninjauan seperlunya terhadap rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada
di Daerah.

g. Bagi Daerah yang belum memiliki RTRW, RRTR, ataupun peraturan bangunan
setempat dan RTBL, maka Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan
membangun bangunan gedung dengan pertimbangan:

i. Persetujuan membangun tersebut berstfat sementara sepanjang tidak


bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tata ruang yang lebih makro,
kaidah perencanaan kota dan penataan bangunan

ii. Kepala Daerah segera menyusun dan menetapkan RRTR, peraturan


bangunan setempat dan RTBL berdasarkan rencana tata ruang yang lebih
makro.

iii. Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidak sesuaian dengan
rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu
diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik
bangunan.
iv. Bagi Daerah yang belum memilih RTRW Daerah, Kepala Daerah dapat
memberikan persetujuan membangun bangunan pada daerah tersebut untuk
jangka waktu sementara.

v. Apabila di kemudian hari terdapat penetapan RTRW Daerah yang


bersangkutan, maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana
tata ruang yang ditetapkan.

h. Pembangunan bangunan gedung diatas jalan umum, saluran, atau sarana lain
perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai
berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun
barang;

iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah dan
atau diatas tanah;

iv. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

i. Pembangunan bangunan gedung dibawah tanah yang melintasi sarana dan


prasarana jaringan kota perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan
pertimbangan sebagai berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

iii. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada dibawah tanah;

iv. penghawaan dan pencahayaan bangunan telah memenuhi persyaratan


kesehatan sesuai fungsi bangunan;

v. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi


pengguna bangunan.

j. Pembangunan bangunan gedung dibawah atau diatas air perlu mendapatkan


persetujuan Kepala Daerah dengan pertimbangan sebagai berikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi indung kawasan;

iii. tidak menimbulkan perubahan atau arus air yang dapat merusak
lingkungan;
iv. tidak menimbulkan pencemaran;
v. telah mempertimbangkan faktor keamaan, kenyamanan, kesehatan dan
aksesibilitas bagi pengguna bangunan.

k. Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara (transmisi


tegangan tinggi perlu mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dengan
pertimbangan sebagai perikut:

i. tidak bertentangan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan Daerah;

ii. letak bangunan minimal 10 (sepuluh) meter diukur dari as (proyeksi) jalur
tegangan tinggi terluar;

iii. letak bangunan tidak boleh melebihi atau melampaui garis sudut 45° (empat
puluh lima derajat) diukur dari as (proyeksi) jalur tegangan tinggi terluar;

iv. setelah mendapat pertimbangan teknis dari para ahli terkait.

2. Fungsi Bangunan

a. Fungsi dan klasifikasi bangunan merupakan acuan untuk persyaratan teknis


bangunan gedung, baik ditinjau dari segi intensitas banguanan arsitektur dan
lingkungan, keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, maupun dari segi
keserasian bangunan terhadap lingkungannya.

b. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan yang bersifat sementara harus dengan
mempertimbangkan tingkat permanensi, keamanan, pencegahan dan
penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, dan sanitasi yang memadai.

c. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan.

d. Fungsi bangunan dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi
sosial dan budaya, dan fungsi khusus.

e. Bangunan dengan fungsi hunian meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
hunian yang merupakan:

i. Rumah tinggal tunggal


ii. Rumah tinggal deret
iii. Rumah tinggal susun
iv. Rumah tinggal vila
v. Rumah tinggal asrama

f. Bangunan dengan fungsi usaha meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
untuk:

i. Bangunan perkantoran: perkantoran pemerintah, perkantoran niaga, dan


sejenisnya.
ii. Bangunan perdagangan: pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal, dan
sejenisnya.

iii. Bangunan Perhotelan/Penginapan: hotel, motel, hostel, penginapan, dan


sejenisnya.

iv. Bangunan Industri : industri kecil, industri sedang, industri besar/berat.

v. Bangunan Terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara, halte bus,
pelabuhan laut.

vi. Bangunan Penyimpanan: gudang, gedung tempat parkir, dan sejenisnya.

vii Bangunan Pariwisata: tempat rekreasi, bioskop, dan sejenisnya.

g. Bangunan dengan fungsi umum, sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung
dengan fungsi utama untuk :

i. Bangunan pendidikan: sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah


lanjutan, sekolah tinggi/universitas.

ii. Bangunan pelayanan kesehatan: puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah


sakit klas A, B. & C, dan sejenisnya.

iii. Bangunan peribadatan: mesjid, gereja, pura, kelenteng, dan vihara.

iv. Bangunan kebudayaan : museum, gedung kesenian, dan sejenisnya

h. Bangunan dengan fungsi khusus meliputi bangunan gedung dengan fungsi utama
yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi :
seperti bangunan kemiliteran, bangunan reaktor, dan sejenisnya.

i. Dalam suatu persil, keveling, atau blok peruntukan dimungkinkan adanya fungsi
campuran (mixed use), sepanjang sesuai dengan peruntukan lokasinya dan standar
perencanaan lingkungan yang berlaku.

j. Setiap bangunan gedung, selain terdiri dari ruang-ruang dengan fungsi utama, juga
dilengkapi dengan ruang fungsi penunjang, serta dilengkapi pula dengan instalasi
dan kelengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya fungsi bangunan,
sesuai dengan persyatatan pokok yang diatur dalam Pedoman Teknis ini.

3. Klasifikasi Bangunan

Klasifikasi bangunan atau bagian dari bangunan ditentukan berdasarkan fungsi yang
dimaksudkan di dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada
bangunan.

a. Klas 1 : Bangunan Hunian Biasa


Adalah satu atau lebih bangunan yang merupakan:
i. Klas 1a : bangunan hunian tunggal yang berupa:

(1) satu rumah tunggal; atau


(2) satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing
bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk
rumah deret, rumah taman, unit town house , villa, atau

ii. Klas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hostel, atau sejenisnya dengan luas
total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara
tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau
bangunan klas lain selain tempat garasi pribadi.

b. Klas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

c. Klas 3: Bangunan hunian diluar bangunan klas 1 atau 2, yang umum digunakan
sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak
berhubungan, termasuk:

i. rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau


ii bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
iii. bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
iv. panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau
v. bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
menampung karyawan-karyawannya.

d. Klas 4 : Bangunan Hunian Campuran

Adalah tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan
merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut

e. Klas 5: Bangunan kantor

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional,


pengurusan administrasi, atau usaha komersial, diluar bangunan klas 6, 7, 8, atau 9.

f. Klas 6: Bangunan Perdagangan

Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat
penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada
masyarakat, termasuk

i. ruang makan, kafe, restoran,; atau


ii. ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau
motel; atau
iii. tempat potong rambut /salon, tempat cuci umum; atau
iv. pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
g. Klas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk:

i. tempat parkir umum; atau


ii. gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.

h. Klas 8 : Bangunan Laboratorium/lndustri/Pabrik

Adalah bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk


tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan,
finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau
penjualan.

i. Klas 9: Bangunan Umum

Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat


umum, yaitu:

i. Klas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan


tersebut yang berupa laboratorium;
ii. Klas 9b: bangunan pertemuan, temmasuk bengkel kerja, laboratorium atau
sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan,
bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak temmasuk setiap bagian dari
bangunan yang merupakan klas lain.

j. Klas 10 : Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian:

i. Klas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau
sejenisnya;
ii. Klas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau
dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya.

k. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus

Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan
1 s/d 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis dimaksudkan dengan klasifikasi yang
mendekati sesuai dengan peruntukannya

l. Bangunan yang penggunaannya insidentil

Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang mengakibatkan


gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama
dengan bangunan utamanya.

m. Klasifikasi jamak

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
diklasifikasikan secara terpisah, dan:
i. bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas
lantai dari suatu tingkat bangunan, dan b' laboratorium, klasifikasinya disamakan
dengan klasifikasi bangunan utamanya;

ii. Klas-klas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

iii. Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lift, ruang boiler atau sejenisnya
diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak

II.2 INTENSITAS BANGUNAN

1. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan

a. Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan kepadatan dan


ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah Daerah
yang bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan
peraturan bangunan setempat.

b. Kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan


tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam tingkatan KDB
padat, sedang, dan renggang.

c. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a, meliputi ketentuan


tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah.

d. Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan


oleh:

i. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan


optimalnya intensitas pembangunan,

ii. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan


lingkungan,

iii. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta


masyarakat pada umumnya.

e. Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata,


pelestarian dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan
persetujuan Kepala Daerah dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan
terhadap ketentuan kepadatan, ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan
lainnya dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan.

f. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud pada butir c tidak diperkenankan


mengganggu lalu-lintas udara.
2. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB

a. Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana


dimaksud dalam II.2.1 butir b dan c, ditetapkan dengan mempertimbangkan
perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/
lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.

b. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana
tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala
Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.

c. Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbanui sejalan dengan


pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanasn intensitas pembangunan, daya
dukung lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli
terkait.

d. Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan, Kepala


Daerah dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan
dengan persyaratan:
i. setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang
telah diatur di dalam rencana tata ruang,
ii. apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan
berdasarkan luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki.
iii. untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau
disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil
tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut
dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya.
iv. penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan
KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan
lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan
teknis yang telah ditetapkan.
v. dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara
perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga keseimbangan daya
dukung lahan dan keserasian lingkungan.

e. Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB JLB/KLB


bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk
kepentingan umum.

f. Penetapan besamya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung


diatas fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian,
keseimbangan dan persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para
ahli terkait.

3. Perhitungan KDB dan KLB

Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:


a. perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan
sampai batas dinding terluar;

b. luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya
lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihiitung penuh 100 %;

c. luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi
oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m diatas lantai ruangan dihitung 50 %, selama
tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB
yang ditetapkan;

d. overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya
tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;

e. teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas
lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai;

f. luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan


dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan,
selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB;

g. ramp dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi l0% dari luas
lantai dasar yang diperkenankan;

h. Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang
dibelakang GSJ;

i. Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan Kepala


Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat
teknis para ahli terkait;

j. Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan


KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total
keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut tehadap total
keseluruhan luas kawasan;

k. Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh
ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut
dianggap sebagai dua lantai;

l. Mezanine yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai
lantai penuh;

I.3 GARIS SEMPADAN BANGUNAN

1. Garis Sempadan (muka) Bangunan

a. Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata
bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.
b. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu
bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar.

c. Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a.


tersebut belum ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang
bersifat sementara untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perijinan
mendirikan bangunan.

d. Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan


keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta
ketinggian bangunan.

e. Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka


bangunan, garis sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan
menara, begitu pula garis-garis sempadan untuk pantai, sungai, danau,
jaringan umum dan lapangan umum.

f. Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas


bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas
bangunan dapat ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing.

g. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan
berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus
ditempatkan pada garis tersebut.

h. Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir


g, sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu jalan dan penataan
bangunan sekitarnya.

i Ketentuan besarnya GSB dapat diperbarui dengan pertimbangan


perkembangan kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan,
maupun pertimbangan lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli
terkait.

2. Garis sempadan samping dan belakang bangunan

a. Kepala Daerah dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan dan


kenyamanan, juga menetapkan garis sempadan samping kiri dan kanan, serta
belakang bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata
ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan
setempat.

b. Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang
ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan
tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan kesehatan dan
kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perijinan mendirikan
bangunan.
c. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-
bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan atau bahan berbahaya, maka
Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-
jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir a.

d. Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping


dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:

i. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;

ii. struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya


10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah
tinggal;

iii. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan


bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya,
disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding
batas terdahulu;

iv. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping,
sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari
besarnya garis sempadan muka bangunan.

e. Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping


dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:

i. jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m


pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan,
jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya
sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan
rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat
diatur tersendiri.

ii. sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak
dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang
yang berbatasan dengan pekarangan.

f. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk
apapun.

g Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
i. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan,
maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak
bebas yang ditetapkan;

ii. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok
tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan atau berlubang, maka
jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang
ditetapkan;
iii. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan,
maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang
ditetapkan.

3. Pemisah disepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan

a. Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan,
kenyamanan, serta keserasian lingkungan.

b. Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka.

c. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan
desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir a.

d. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari
ketentuan-ketentuan dalam butir a dan b, dengan setelah mempertimbangkan
hal teknis terkait.

e. Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar pada GSJ dan antara
GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas
permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk
bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan.

f. Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan


bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m diatas
permukaan tanah pekarangan.

g Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan lain


terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir e dan f.

h Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum


tidak diperkenankan.

i. Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang


untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan,
dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal
bertingkat tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan, atau
ditetapkan lebih rendah setelah mempertimbangkan kenyamanan dan
kesehatan lingkungan.

j. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan
pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk,
kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan
belakang untuk umum .

k. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang


berkaitan dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman
depan, samping, dan belakang bangunan.
l. Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman
depan, samping maupun belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau
kawasan tertentu, dengan pertimbangan kepentingan kenyamanan kemudahan
hubungan (aksesibilitas), keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan
lingkungan yang diharapkan.
III. ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN

III.1. ARSITEKTUR BANGUNAN

1. Tata Letak Bangunan

a. Ketentuan Umum
i. Penempatan bangunan gedung tidak boleh mengganggu fungsi prasarana
kota, lalu lintas dan ketertiban umum.
ii. Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan secara
khusus arahan rencana tata bangunan dan lingkungan.
iii. Pada jalan-jalan tertentu, perlu ditetapkan penampang-penampang (profil)
bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi syarat
keindahan dan keserasian.
iv. Bilamana dianggap perlu, persyaratan lebih lanjut dari ketentuan-
ketentuan ini dapat ditetapkan pelaksanaaannya oleh Kepala Daerah
dengan membentuk suatu panitia khusus yang bertugas memberi nasehat
teknis mengenai ketentuan tata bangunan dan lingkungan.

b. Tapak Bangunan
i. Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan tetap menjaga
keserasian lingkungan serta tidak merugikan pihak lain.
ii. Penambahan lantai atau tingkat suatu bangunan gedung diperkenankan
apabila masih memenuhi batas ketinggian yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang kota, dengan ketentuan tidak melebihi KLB, harus memenuhi
persyaratan teknis yang berlaku dan keserasian lingkungan.
iii. Penambahan lantai/tingkat harus memenuhi persyaratan keamanan struktur.
iv. Pada daerah / lingkungan tertentu dapat ditetapkan:
(1) ketentuan khusus tentang pemagaran suatu pekarangan kosong atau
sedang dibangun, pemasangan nama proyek dan sejenisnya dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan,
(2) larangan membuat batas fisik atau pagar pekarangan.
(3) ketentuan penataan bangunan yang harus diikuti dengan
memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian
lingkungan.
(4) Kekecualian kelonggaran terhadap ketentuan butir III.1.1 b.iv.(2) dapat
diberikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.

2. Bentuk Bangunan

a. Ketentuan Umum
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya, atau yang
mampu sebagai pedoman arsitektur atau teladan bagi lingkungannya.
ii. Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan
yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan
tersebut.
iii. Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil tampak
bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak bangunan
atau dinding yang telah ada di sebelahnya.
iv. Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
v. Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan harus
dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian lingkungan yang
telah ada dan atau yang direncanakan kemudian dengan tidak
menyimpang dari persyaratan fungsinya.
vi. Bentuk bangunan gedung sesuai kondisi daerahnya harus dirancang
dengan mempertimbangkan kestabilan struktur dan ketahanannya
terhadap gempa.
vii. Syarat-syarat lebih lanjut mengenai tinggi/tingkat dan sesuatunya
ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan rencana tata ruang, dan atau
rencana tata bangunan lingkungan yang ditetapkan untuk daerah/lokasi
tersebut.

b. Perancangan Bangunan
i. Bentuk bangunan gedung harus dirancang sedemikian rupa sehingga
setiap nuang dalam dimungkinkan menggunakan pencayahayaan dan
penghawaan alami.
ii. Ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir II 1.1.2.b.i tidak berlaku
apabila sesuai fungsi bangunan diperlukan sistem pencahayaan dan
penghawaan buatan.
iii. Ketentuan pada butir II.1.1.2.b.ii harus tetap mengacu pada prinsip-
prinsip konservasi energi.
iv. Untuk bangunan dengan lantai banyak, kulit atau selubung bangunan
harus memenuhi persyaratan konservasi energi.
v. Aksesibilitas bangunan harus mempertimbangkan kemudahan bagi semua
orang, termasuk para penyandang cacat dan usia lanjut.
vi. Suatu bangunan gedung tertentu berdasarkan letak ketinggian dan
penggunaannya, harus dilengkapi dengan perlengkapan yang berfungsi
sebagai pengaman terhadap lalu lintas udara dan atau lalu lintas laut.

3. Tata Ruang Dalam

a. Ketentuan Umum
i. Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari permukaan
bawah langit-langit ke permukaan lantai.
ii. Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup untuk
fungsi yang diharapkan.
iii. Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan
arsitektur bangunannya.
iv. Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari permukaan atas
lantai sampai permukaan bawah dari lantai di atasnya atau sampai
permukaan bawah kaso-kaso.
v. Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan,
perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya
fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian
bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana
jalan keluar/masuk.
vi. Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian
bangunan dapat diijinkan apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan
jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan
serta penghuninya.
vii Ruang penunjang dapat ditambahkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
kegiatan bangunan, sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama
bangunan.
viii.Jenis dan jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan
pada setiap jenis penggunann bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah.
ix. Tata ruang dalam untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental,
gedung serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung
sekolah, gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya diatur secara
khusus.

b. Perancangan Ruang Dalam


i. Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi
utama yang mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga bersama dan
kegiatan pelayanan.
ii. Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama
yang mewadahi kegiatan kerja, ruang umum dan ruang pelayanan.
iii. Bangunan toko sekurang-kurang memiliki ruang-ruang fungsi utama yang
mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan pelayanan.
iv. Suatu bangunan gudang, sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan kamar
mandi dan kakus serta nuang kebutuhan karyawawan
v. Suatu bangunan pabrik sehurang-kurangnya harus dilengkapi dengan fasilitas
kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan, ruang
istirahat, serta ruang pelayanan kesehatan yang memadai.
vi. Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke
lantai penuh berikutnya lebih dari 5 meter, maka ketinggian bangunan
dianggap sebagai dua lantai, kecuali untuk penggunaan ruang lobby, atau
ruang pertemuan dalam bangunan komersial (antara lain hotel, perkantoran,
dan pertokoan).
vii. Mezanin yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar dianggap sebagai
lantai penuh. ;
viii. Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus
terpisah.
ix. Ruang rongga atap hanya dapat diijinkan apabila penggunaannya tidak
menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi
kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan.
x. Ruang-rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan
pencahayaan alami yang memadai.
xi. Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau kegiatan lain
yang potensial menimbulkan kecelakaan/ kebakaran
xii. Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari
luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat
bangunan.
xiii Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan karakter
arsitektur bangunannya.
xiv Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan atau gas harus
disediakan lobang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya, kecuali
menggunakan alat bantu mekanis.
xv. Cerobong asap dan atau gas harus dirancang memenuhi persyaratan
pencegahan kebakaran.
xvi. Tinggi ruang dalam bangunan tidak boleh kurang dari ketentuan minimum
yang ditetapkan.
xvii. Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m
di atas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan
memperhatikan keserasian lingkungan.
xviii Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas
banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar
pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar
ditetapkan tersendiri. –
xix. Tinggi Lantai Denah:
(1) Permukaan atas dari lantai denah (dasar) harus:
(a) Sekurang-kurangnya 15 cm diatas titik tertinggi dari pekarangan yang
sudah dipersiapkan.
(b) Sekurang-kurangnya 25 cm diatas titik tertinggi dari sumbu jalan
yang berbatasan.
(2) Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam butir (1) tersebut, tidak
berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari 60 cm di atas tanah
yang ada di sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring.
xx. Lantai tanah atau tanah dibawah lantai panggung harus ditempatkan
sekurang-kurangnya 15 cm diatas tanah pekarangan serta dibuat kemiringan
supaya air dapat mengalir.

4. Kelengkapan Bangunan
a. Ketentuan Umum
i. Bangunan tertentu berdasarkan letak, ketinggian dan penggunaannya harus
dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan bangunan, termasuk
pengaman/ rambu-rambu terhadap lalu-lintas udara dan atau laut.
ii. Syarat-syarat teknis lebih lanjut terhadap ketentuan tersebut di atas mengikuti
standar teknis yang berlaku.

b. Sarana dan Prasarana Bangunan Gedung


i. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung
yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan, kenyamanan, kesehatan dan
keselamatan pengguna bangunan gedung.
ii Prasarana-prasarana pendukung bangunan harus direncanakan secara
terintegrasi dengan sistem prasarana lingkungan sekitarnya
iii. Sarana dan prasarana pendukung harus menjamin bahwa pemanfaatan
bangunan tersebut tidak mengganggu bangunan gedung lain dan lingkungan
sekitarnya.
iv. Bangunan gedung harus direncanakan dan dirancang sebaik-baiknya,
sehingga dapat menjamin fungsi bangunan juga dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh semua orang, termasuk para penyandang cacat dan warga usia
lanjut.
v. Pintu masuk dan keluar area bangunan gedung harus direncanakan secara
terintegrasi serta tidak mengganggu tata sirkulasi lingkungannya.

III.2 RUANG TERBUKA HIJAU PEKARANGAN

1. Fungsi dan Persyaratan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan

a. Ruang Terbuka Hijau adalah ruang yang diperuntukkan sebagai daerah


penanaman di kota/wilayah/halaman yang berfungsi untuk kepentingan
ekologis, sosial, ekonomi maupun estetika.

b. Ruang Terbuka Hijau yang berhubungan langsung dengan bangunan gedung


dan terletak pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka Hijau Pekarangan
(RTHP).

c. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan berfungsi sebagai tempat tumbuhnya


tanaman, peresapan air, sirkulasi, unsur-unsur estetik, baik sebagai ruang
kegiatan dan maupun sebagai ruang amenity.

d. Sebagai ruang transisi, RTHP menupakan bagian integral dari penataan


bangunan gedung dan sub-sistem dari penataan lansekap kota.

e. Syarat-syarat Ruang Terbuka Hijau Pekarangan ditetapkan dalam rencana tata


ruang dan tata bangunan baik langsung maupun tidak langsung dalam bentuk
ketetapan GSB, KDB, KDH, KLB, Parkir dan ketetapan lainnya.

f. Ruang Terbuka Hijau Pekarangan yang telah ditetapkan dalam rencana tata
ruang dan tata bangunan tidak boleh dilanggar dalam mendirikan atau
rnemperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan.

g. Apabila Ruang Terbuka Hijau Pekarangan sebagaimana dimaksud pada butir


111.2.1.e ini belum ditetapkan dalam rencana tata ruang dan tata bangunan,
maka dapat dibuat ketetapan yang bersifat sementara untuk lokasi/lingkungan
yang terkait dengan setiap pemmohonan bangunan.

h. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir III.2.1.e dapat dipertimbangkan


dan disesuaikan untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.

i. Setiap perencanaan bangunan baru harus memperhatikan potensi unsur-unsur


alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun,
tanah dan permukaan tanah.

j. Dalam hal terdapat makro lansekap yang dominan seperti laut, sungai besar,
gunung dan sebagainya, terhadap suatu kawasan/daerah dapat diterapkan
pengaturan khusus untok orientasi tata letak bangunan yang
mempertimbangkan potensi arsitektural lansekap yang ada.

k. Sebagai perlindungan atas sumber-sumber daya alam yang ada, dapat


ditetapkan persyaratan khusus bagi permohonan ijin mendirikan bangunan
dengan mempertimbangkan hal-hal pencagaran sumber daya alam,
keselamatan pemakai dan kepentingan umum.

1. Ketinggian maksimum/minimum lantai dasar bangunan dari muka jalan


ditentukan untuk pengendalian keselamatan bangunan, seperti dari bahaya
banjir, pengendalian bentuk estetika bangunan secara keseluruhan/ kesatuan
lingkungan, dan aspek aksesibilitas, serta tergantung pada kondisi lahan.

2. Ruang Sempadan Bangunan

a. Pemanfaatan Ruang Sempadan Depan Bangunan harus mengindahkan


keserasian lansekap pada ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan
rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. Keserasian tersebut antara
lain mencakup: pagar dan gerbang, vegetasi besar / pohon, bangunan
penunjang seperti pos jaga, tiang bendera, bak sampah dan papan nama
bangunan.

b. Bila diperlukan dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan
dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan ruang
sempadan depan bangunan, pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan
jalur hijau median jalan berikut utilitas jalan lainnya seperti tiang listrik, tiang
telepon di kedua sisi jalan / ruas jalan yang dimaksud.

c. Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditetapkan sesuai dengan peruntukan dalam


rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. KDH minimal 10% pada
daerah sangat padat/padat. KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya
ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah.

d. Ruang terbuka hijau pekarangan sebanyak mungkin diperuntukkan bagi


penghijauan / penanaman di atas tanah. Dengan demikian area parkir dengan
lantai perkerasan masih tergolong RTHP sejauh ditanami pohon peneduh
yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah / container yang kedap air.

e. KDH tersendiri dapat ditetapkan untuk tiap-tiap klas bangunan dalam


kawasan-kawasan bangunan, dimana terdapat beberapa klas bangunan dan
kawasan campuran.

3. Tapak Basement

a. Kebutuhan basement dan besaran koefisien tapak basement (KTB) ditetapkan


berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis dan kebijaksanaan
Daerah setempat.
b. Untuk keperluan penyediaan RTHP yang memadai, lantai basement pertama
(B-1) tidak dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap
basement kedua (B-2) yang di luar tapak bangun harus berkedalaman
sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tempat penanaman.

4. Hijau Pada Bangunan

a. Daerah Hijau Bangunan (DHB) dapat berupa taman-atap (roof-garden)


maupun penanaman pada sisi-sisi bangunan seperti pada balkon dan cara-cara
perletakan tanaman lainnya pada dinding bangunan.

b. DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohon bangunan untuk


menyediakan RTHP. Luas DHB diperhitungkan sebagai luas RTHP namun
tidak lebih dari 25% luas RTHP.

5. Tata Tanaman

a. Pemilihan dan penggunaan tanaman harus memperhitungkan karakter


tanaman sampai pertumbuhannya optimal yang berkaitan dengan bahaya yang
mungkin ditimbulkan. Potensi bahaya terdapat pada jenis-jenis tertentu yang
sistem perakarannya destruktif, batang dan cabangnya rapuh, mudah terbakar
serta bagian-bagian lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

b. Penempatan tanaman harus memperhitungkan pengaruh angin, air, kestabilan


tanah / wadah sehingga memenuhi syarat-syarat keselamatan pemakai.

c. Untuk memenuhi fungsi ekologis khususnya di perkotaan, tanaman dengan


struktur daun yang rapat besar seperti pohon menahun harus lebih
diutamakan.

d. Untuk pelaksanaan kepentingan tersebut pada butir III.2.5.a dan III.2.5.b


Kepala Daerah dapat membentuk tim penasehat untuk mengkaji rencana
pemanfaatan jeni-jenis tanaman yang layak tanam di Ruang terbuka Hijau
Pekarangan berikut standar perlakuannya yang memenuhi syarat keselamatan
pemakai.

III.3 PERTANDAAN, DAN PENCAHAYAAN RUANG LUAR BANGUNAN

1. Sirkulasi dan Fasilitas Parkir

a. Ketentuan Umum

i. Setiap bangunan bukan rumah hunian diwajibkan menyediakan area


parkir kendaraan sesuai dengan jumlah area parkir yang proporsional
dengan jumlah luas lantai bangunan.
ii. Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah
penghijauan yang telah ditetapkan.
iii. Prasarana parkir untuk suatu rumah atau bangunan tidak diperkenankan
mengganggu kelancaran lalu lintas, atau mengganggu lingkungan di
sekitarnya.
iv. Jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan sesuai dengan
standar teknis yang berlaku.
b. Sirkulasi

i. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus saling mendukung, antara


sirkulasi eksternal dengan internal bangunan, serta antara individu
pemakai bangunan dengan sarana transportasinya. Sirkulasi harus
memberikan pencapaian yang mudah dan jelas, baik yang bersifat
pelayanan publik maupun pribadi.
ii. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus telah memperhatikan
kepentingan bagi aksesibilitas pejalan kaki.
iii. Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance)
dan lebar jalan yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan
pemadam kebakaran, dan kendaraan pelayanan lainnya.
iv. Sirkulasi pertu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan,
rambu-rambu, papan informasi sirkulasi, elemen pengarah sirkulasi (dapat
berupa elemen perkerasan maupun tanaman), guna mendukung sistim
sirkulasi yang jelas dan efisien serta memperhatikan unsur estetika.

c. Jalan

i. Penataan jalan tidak dapat terpisahkan dari penataan pedestrian,


penghijauan, dan ruang terbuka umum.
ii. Penataan ruang jalan dapat sekaligus mencakup ruang-ruang antar
bangunan yang tidak hanya terbatas dalam Damija, dan termasuk untuk
penataan elemen lingkungan, penghijauan, dll.
iii. Pemilihan bahan pelapis jalan dapat mendukung pembentukan identitas
lingkungan yang dikehendaki, dan keJelasan kontinyuitas pedestrian.

d. Pedestrian

i. Jalur utama pedestrian harus telah mempertimbangkan sistem pedestrian


secara keseluruhan, aksesibilitas terhadap subsistem pedestrian dalam
lingkungan, dan aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya.
ii. Jalur pedestrian harus berhasil menciptakan pergerakan manusia yang
tidak terganggu oleh lalu lintas kendaraan.
iii. Penataan pedestrian harus mampu merangsang terciptanya ruang yang
layak digunakan/manusiawi, aman, nyaman, dan memberikan
pemandangan yang menarik.
iv. Elemen pedestrian (street fumiture) harus berorientasi pada kepentingan
pejalan kaki.

e. Parkir

i. Penataan parkir harus berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki,


memudahkan aksesibilitas, dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan.
ii. Luas, distribusi dan perletakan fasilitas parkir diupayakan tidak
mengganggu kegiatan bangunan dan lingkungannya, serta disesuaikan
dengan daya tampung lahan.
iii. Penataan parkir tidak terpisahkan dengan penataan lainnya seperti untuk
jalan, pedestrian dan penghijauan.
2. Pertandaan (Signage)

a. Penempatan signage termasuk papan iklan/ reklame, harus membantu


orientasi tetapi tidak mengganggu karakter lingkungan yang ingin diciptakan/
dipertahankan, baik yang penempatannya pada bangunan keveling, pagar,
atau ruang publik.

b. Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/


kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat mengatur pembatasa-pembatasan
ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari signage.

3. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan

a. Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan


karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan estetika amenity, dan
komponen promosi.

b. Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan


pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan umum

c. Pencahayaan yang dihasilkan dengan telah menghindari penerangan ruang


luar yang berlebihan, silau, visual yang tidak menarik, dan telah
memperhatikan aspek operasi dan pemeliharaan.

III.4 PENGELOLAAN DAMPAK LAINGKUNGAN

1. Dampak Penting

a. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang mengganggu


dan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilengkapi
dengan AMDAL sesuai ketentuan yang berlaku.

b. Setiap kegiatan dalam bangunan dan atau lingkungannya yang menimbulkan


dampak tidak penting terhadap lingkungan, atau secara teknologi sudah dapat
dikelola dampak pentingnya, tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL, tetapi
diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai ketentuan yang berlaku.

c. Kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan


adalah bila rencana kegiatan tersebut akan:
i. menyebabkan perubahan pada sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan,
yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan
penundang-undangan yang bertaku;
ii. menyebabkan perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang
melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan pertimbangan ilmiah;
iii. mengakibatkan spesies-spesies yang langka dan atau endemik, dan atau
dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku terancam
punah; atau habitat alaminya mengalami kerusakan;
iv. menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan
lindung, cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, dan sebagainya)
yang telah ditetapkan menunut peraturan perundang-undangan;
v. merusak atau memusnahkan benda-benda dan bangunan peninggalan
sejarah yang bernilai tinggi;
vi. mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan
alami yang tinggi;
vii. mengakibatkan/ menimbulkan konflik atau kontroversi dengan
masyarakat, dan atau pemerintah.

d. Kegiatan yang dimaksud pada butir III.3.1.c merupakan kegiatan yang


berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup.

2. Ketentuan Pengelolaan Dampak Lingkungan

Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya


yang wajib AMDAL, adalah sesuai Ketentuan pengelolaan Dampak Lingkungan
yang berlaku.

3. Ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan


Lingkungan (UPL)

Jenis-jenis kegiatan pada pembangunan bangunan gedung dan atau lingkungannya


yang harus melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) adaiah sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Persyaratan Teknis Pengelolaan Dampak Lingkungan

a. Persyaratan Bangunan
i. Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan
menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang
sifatnya mudah meledak, dapat diberikan ijin apabila:
(1) Lokasi bangunan terletak di luar lingkungan perumahan atau berjarak
tertentu dari jalan umum, jalan kereta api dan bangunan lain di
sekitarnya sesuai rekomendasi dinas teknis terkait.
(2) Bangunan yang didirikan harus terletak pada jarak tertentu dari
batas-batas pekarangan atau bangunan lainnya dalam pekarangan
sesuai rekomendasi dinas terkait.
(3) Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke
daerah yang paling aman.
ii. Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau
memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan lain
yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan keselamatan serta
kesehatan penghuni dan lingkungannya.
iii. Pada bangunan yang menggunakan kaca pantul pada tampak bangunan,
sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dan dengan
memnperhatikan tata letak serta orientasi bangunan terhadap matahari.
iv. Bangunan yang menurut fungsinya memerlukan pasokan air bersih
dengan debit > 5 l/dt atau > 500 m3/hari dan akan mengambil sumber air
tanah dangkal dan atau air tanah dalam (deep well) harus mendapat ijin
dari dinas terkait yang bertanggung jawab serta menggunakan hanya
untuk keperluan darurat atau alternatif dari sumber utama PDAM.
v. Guna pemulihan cadangan air tanah dan mengurangi debit air larian, maka
setiap tapak bangunan gedung harus dilengkapi dengan bidang resapan
yang ukurannya disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku.
vi. Apabila bangunan yang menurut fungsinya akan membangkitkan LHR >=
60 SMP per 1000 ft2 luas lantai, maka rencana teknis sistem jalan akses
keluar masuk bangunan gedung harus mendapat ijin dari dinas teknis yang
berwenang.

b. Persyaratan Pelaksanaan Konstruksi

i. Setiap kegiatan konstruksi yang menimbulkan genangan baru sekitar


tapak bangunan harus dilengkapi dengan saluran pengering genangan
sementara yang nantinya dapat dibuat permanen dan menjadi bagian
sistem drainase yang ada.
ii. Setiap kegiatan pelaksanaan konstruksi yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap lalu lintas umum harus dilengkapi dengan
rambu-rambu lalu lintas yang dioperasikan dan dikendalikan oleh tim
pengatur lalu lintas.
iii. Penggunaan hammer pile untuk pemancangan pondasi hanya diijinkan
bila tidak ada bangunan rumah sakit di sekitarnya, atau tidak ada
bangunan rumah yang rawan keretakan.
iv. Penggunaan peralatan konstruksi yang diperkirakan menimbulkan
keretakan bangunan, sekelilingnya harus dilengkapi dengan kolam
peredam getaran.
v. Setiap kegiatan pengeringan (dewatering) yang menimbulkan kekeringan
sumur penduduk harus memperhitungkan pemberian kompensasi berupa
penyediaan air bersih kepada masyarakat selama pelaksanaan kegiatan,
atau sampai sumur penduduk pulih seperti semula.

c. Pembuangan limbah cair dan padat

i. Setiap bangunan yang menghasilkan limbah cair dan padat atau buangan
lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran air dan tanah, harus
dilengkapi dengan sarana pengumpulan dan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke tempat pembuangan yang diijinkan dan atau ditetapkan oleh
instansi yang berwenang.
ii. Sarana pongumpulan dan pongolahan air limbah harus dipelihara secara
berkala untuk menjamin kualitas effluen yang memenuhi standar baku
mutu limbah cair.
iii. Sampah yang dikumpulkan di sarana pengumpulan sampah padat harus
selalu dikosongkan setiap hari untuk menjamin agar lalat tidak
berkembang biak dan mengganggu kesehatan lingkungan bangunan
gedung.
5. Pengelolaan Daerah Bencana

a. Suatu daerah dapat ditetapkan sebagai daerah bencana, daerah Banjir dan
yang sejenisnya.

b. Pada daerah bencana sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a dapat


ditetapkan larangan membangun atau menetapkan tata cara dan persyaratan
khusus di dalam membangun, dengan memperhatikan keamanan, keselamatan
dan kesehatan lingkungan.

c. Lingkungan bangunan yang mengalami kebakaran dapat ditetapkan sebagai


daerah tertutup dalam jangka waktu tertentu, dibatasi, atau dilarang
membangun bangunan.

d. Bangunan-bangunan pada lingkungan bangunan yang mengalami bencana,


dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan dapat
diperkenankan mengadakan perbaikan darurat, bagi bangunanan yang rusak
atau membangun bangunan sementara untuk kebutuhan darurat dalam batas
waktu penggunaan tertentu dan dapat dibebaskan dari izin.

e. Daerah sebagaimana dimaksud pada butir III.3.5.a, dapat ditetapkan sebagai


daerah peremajaan kota.
IV. STRUKTUR BANGUNAN GEDUNG

IV. 1 PERSYARATAN STRUKTUR DAN BAHAN

1. Persyaratan Struktur

a. Struktur bangunan yang direncanakan secara umum harus memenuhi


persyaratan keamanan (safety) dan kelayakan (serviceability).

b. Struktur bangunan harus direncanakan dan dilaksanakan sedemikian rupa,


sehingga pada kondisi pembebanan maksimum, keruntuhan yang terjadi
menimbulkan kondisi struktur yang masih dapat mengamankan penghuni,
harta benda dan masih dapat diperbaiki.

c. Struktur bangunan harus direncanakan mampu memikul semua beban dan /


atau pengaruh luar yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan
struktur, termasuk kombinasi pembebanan yang kritis (antara lain: meliputi
beban gempa yang mungkin terjadi sesuai zona gempanya), dan beban-beban
lainnya yang secara logis dapat terjadi pada struktur.

2. Persyaratan Bahan

a. Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan


keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna
bangunan, serta sesuai standar teknis (SNI) yang terkait.

b. Dalam hal bilamana bahan struktur bangunan belum mempunyai SNI maka
bahan struktur bangunan tersebut harus memenuhi ketentuan teknis yang
sepadan dari negara/ produsen yang bersangkutan.

c. Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai


dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud.

d. Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem


hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan-bahan
yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat
pemasangan/pelaksanaan.

IV.2 PEMBEBANAN

1 Analisa struktur harus dilakukan untuk memeriksa tanggap struktur terhadap


beban - beban yang mungkin bekerja selama umur layan struktur, termasuk beban
tetap, beban sementara (angin, gempa) dan beban khusus.

2. Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus sesuai
dengan standar teknis yang berlaku, seperti :
a. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SNI
1726;

b. Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung SNI 1727.

IV.3 STRUKTUR ATAS

1. Konstruksi beton

Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar-standar teknis yang


berlaku, seperti:

a. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 2847;

b. Tata Cara Perencanaan Dinding Struktur Pasangan Blok Beton Berongga


Bertulang untuk Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-3430.

c. Tata Cara Pelaksanaan Mendirikan Bangunan Gedung, SNI-1728

d. Tata Cara Perencanaan Beton dan Struktur Dinding Bertulang untuk Rumah
dan Gedung, SNI -1734.

e. Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal, SNI-2834

f. Tata Cara Pengadukan dan Pengecoran Beton, SNI-3976.

g. Tata Cara Rencana Pembuatan Campuran Beton Ringan dengan Agregat


Ringan, SNI-3449.

2. Konstruksi Baja

Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar-standar yang berlaku


seperti:

a. Tata Cara Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung, SNI-1729

b. Tata cara / pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
baja.

c. Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja.

d. Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan Konstruksi.

3. Konstruksi Kayu

Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar-standar teknis yang


berlaku. seperti:

a. Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung.


b. Tata cara/ pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi
kayu.

c. Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu

d. Tata Cara Pengecatan Kayu untuk Rumah dan Gedung, SNI-2407.

4. Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus

a. Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus harus


dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan
teknologi khusus tersebut.

b. Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar-standar teknis


padanan untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan
teknologi khusus tersebut.

5. Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi

Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar


teknis lainnya yang terkait dalam perencanean suatu bangunan yang harus
dipenuhi, antara lain:

a. Tata Cara Perencanaan Bangunan dan Lingkungan untuk Pencegahan


Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1735.

b. Tata Cara Perencanaan Struktur Bangunan untuk Pencegahan Bahaya


Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1736.

c. Tata Cara Pemasangan Sistem Hidran untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran


pada Bangunan Rumah dan Gedung, SNI-1745.

d. Tata Cara Dasar Koordinasi Modular untuk Perancangan Bangunan Rumah


dan Gedung, SNI-1963.

e. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Radiologi di Rumah


Sakit, SNI-2395.

f. Tata Cara Perencanaan dan Perancangan Bangunan Kedokteran Nuklir di


Rumah Sakit, SNI-2394.

g. Tata Cara Perancangan Bangunan Sederhana Tahan Angin, SNI-2397.

h. Tata Cara Pencegahan Rayap pada Pembuatan Bangunan Rumah dan


Gedung, SNI-2404.

i. Tata Cara Penanggulangan Rayap pada Bangunan Rumah dan Gedung


dengan Temmitisida, SNI-2405
IV.4 STRUKTUR BAWAH

1. Pondasi Langsung

a. Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga


dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung
tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami
penurunan yang melampaui batas.

b. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori


mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter
tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai
tipikal dan korelasi tipikal dengan korelasi tipikal parameter tanah yang lain.

c. Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan


spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang
memiiki sertifikasi sesuai.

d. Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton
bertulang.

2. Pondasi Dalam

a. Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan
daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga
penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang
berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.

b. Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori


mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter
tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai
tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.

c. Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan


percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan
dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang
lazim.

d. Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan


berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh
perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

e. Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1 % dari jumlah


titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random,
kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta disetujui oleh Dinas
Bangunan.
IV.5 KEANDALAN STRUKTUR

1. Keselamatan Struktur

a. Keselamatan struktur tergantung pada keandalan struktur tersebut terhadap


gaya-gaya yang dipikulnya, beban akibat perilaku manusia maupun beban
yang diakibatkan oleh perilaku alam.

b. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan


pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan
dalam Pedoman/ Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan
Bangunan Gedung.

c. Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai


rekomendasi hasil pemeriksaan keandaian bangunan gedung, sehingga
bangunan gedung selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.

d. Pemeriksaan keandalan bangunan gedung dilaksanakan secara berkala sesuai


klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang
memiliki sertifikasi sesuai.

2. Keruntuhan Struktur

a. Keruntuhan sruktur adalah diakibatkan oleh ketidak andalan suatu sistem


atau komponen stnuktur untuk memikul beban sendiri, beban yang
didukungnya, beban akibat perilaku manusia, dan atau beban yang
diakibatkan oleh perilaku alam.

b. Ketidak andalan struktur akibat beban sendiri dan atau beban yang
didukungnya disebabkan oleh karena umur bangunan yang secara teknis
telah melebihi umur yang direncanakan, atau karena dilampauinya beban
yang harus dipikulnya sesuai rencana sebagai akibat berubahnya fungsi
bangunan atau kesalahan dalam pemanfaatannya.

c. Ketidak andalan struktur akibat beban perilaku alam dan atau manusia dapat
diakibatkan oleh adanya kebakaran, gempa, maupun bencana lainnya.

d. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan


pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai
dengan pedoman/ petunjuk teknis yang berlaku.

IV.6 DEMOLISI STRUKTUR

1. Kriteria Demolisi

Demolisi struktur dilakukan apabila:

a. Struktur bangunan sudah tidak andal, dan kerusakan struktur sudah tidak
memungkinkan lagi untuk diperbaiki karena alasan teknis dan atau
ekonomis, serta dapat membahayakan pengguna bangunan, masyarakat dan
lingkungan.

b. Adanya perubahan peruntukan lokasi/fungsi bangunan, dan secara teknis


struktur bangunan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

2. Prosedur dan Metoda


a. Prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur harus memenuhi persyaratan
teknis untuk pencegahan korban manusia dan untuk mencegah kerusakan
serta dampak lingkungan.

b. Penyusunan prosedur, metoda dan rencana demolisi struktur dilakukan atau


didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
V. PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN

V.1 SISTEM PROTEKSI PASIF

1. Ketahanan Api dan Stabilitas.

a. Bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran,


sehingga:
i. cukup waktu untuk evakuasi penghuni secara aman;
ii. cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi untuk
memadamkan api;
iii. dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya.

b. Bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana/ prasarana pengamanan dan


pencegahan penyebaran api, terutama pada bangunan klas 2, 3 atau bagian dan
bangunan klas 4:
i. yang menghubungkan kompartemen api, dan
ii. antara bangunan.

c. Bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada
tingkat tertentu akan mempertahankan stabilitas struktural selama kebakaran,
yang sesuai dengan:
i. fungsi atau penggunaan bangunan;
ii. beban api;
iii. intensitas kebakaran;
iv. tingkat bahaya api;
v. ketinggian bangunan;
vi. kedekatan dengan bangunan lain;
vii sistem proteksi aktif yang dipasang pada bangunan;
viii.ukuran setiap kompartemen api;
ix intervensi pasukan pemadam kebakaran; dan
x. elemen bangunan lainnya.

d. Ruang perawatan pasien dari bangunan klas 9a harus dilindungi dari


penyebaran api dan asap untuk memberi waktu cukup untuk evakuasi yang
tertib dalam keadaan darurat.

e. Bahan dan komponen bangunan harus tahan-penyebaran api, membatasi


berkembangnya asap dan panas, serta gas-gas beracun yang mungkin timbul,
sampai dengan tingkat tertentu, yang sesuai dengan:
i. waktu evakuasi
ii. jumlah, mobilitas dan karakteristik penghuni lainnya;
iii. fungsi atau penggunaan bangunan;
iv. sistem proteksi aktif yang dipasang dalam bangunan.
f. Dinding luar beton yang dapat runtuh dalam bentuk panel yang utuh (misalnya
beton pracetak) harus dirancang sehingga pada kejadian kebakaran dalam
bangunan, keruntuhan tersebut dapat dihindari.

g. Bangunan gedung harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkat


tertentu menghindarkan penyebaran api dari peralatan utilitas yang mempunyai
pengaruh bahaya api yang tinggi, atau potensial dapat meledak.

h. Bangunan gedung harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkat


tertentu menghindarkan penyebaran api, sehingga peralatan darurat yang
tersedia dalam bangunan tetap beroperasi pada jangka waktu yang diperlukan
pada waktu terjadi kebakaran.

i. Setiap elemen bangunan yang disediakan untuk menahan penyebaran api, yaitu
pada bukaan, sambungan konstruksi, dan lubang untuk instalasi harus
dilindungi sedemikian, sehingga diperoleh tingkat kinerja yang memadai dari
elemen tersebut.

j. Akses ke dan sekeliling bangunan harus disediakan bagi kendaraan dan personil
pemadam kebakaran, untuk memudahkan tindakan pasukan pemadam
kebakaran secara memadai, sesuai dengan:
i. fungsi bangunan,
ii. beban api,
iii. intensitas kebakaran,
iv. tingkat bahaya api,
v. sistem proteksi aktif, dan
vi. ukuran kompartemen.

2. Tipe Konstruksi Tahan Api.

Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi yaitu:

a. Tipe A:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuknya adalah tahan api dan
mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran pada bangunan minimal
2 (dua) jam. Pada konstruksi ini terdapat dinding pemisah pembentuk
kompartemen untok mencegah penjaiaran panas ke ruang-ruang yang
bersebelahan di dalam bangunan dan dinding luar untuk mencegah penjalaran
api ke dan dari bangunan didekatnya.

b. Tipe B:
Konstruksi yang unsur-unsur struktur pembentuk kompartemen penahanan api
mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam
bangunan dan unsur dinding luarnya mampu menahan penjalaran kebakaran
dari luar bangunan selama sekurang kurangnya 1 (satu) jam.

c. Tipe C:
Konstruksi yang terbentuk dari unsur-unsur struktur yang dapat terbakar dan
tidak dimaksudkan untuk mampu bertahan terhadap api.
3. Tipe konstruksi yang diwajibkan

Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan
ketentuan pada tabel berikut:

Tabel V.1.3
Tipe Konstruksi yang diwajibkan

KETINGGIAN KLAS BANGUNAN


(dalam jumlah lantai) 2,3,9 5,6,7,8
4 atau lebih A A
3 A B
2 B C
1 C C

4. Kompartemenisasi dan Pemisahan

a. Ukuran Kompartemen
Ukuran kompartemenisasi dan konstruksi pemisah harus dapat membatasi kobaran
api yang potensial, perambatan api dan asap, agar dapat:
i. melindungi penghuni yang berada di suatu bagian bangunan terhadap dampak
kebakaran yang terjadi ditempat lain di dalam bangunan.
ii. mengendalikan kebaran api agar tidak menjelar ke bangunan lain yang
berdekatan.
iii. menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam kebakaran.

Tabel V.1.4
Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran

Tipe Konstruksi bangunan


Klasifikasi Bangunan
Tipe A Tipe B Tipe C
Maksimum 8.000 m2 5.500 m2 3.000 m2
luasan lantai
Klas 5 atau 9b
Maksimum 48.000 m3 33.500 m3 18.000 m3
volume
Maksimum 5.000 m2 3.500 m2 2.000 m2
Klas 6,7,8 atau 9a luasan lantai
(kecuali daerah
perawatan pasien
Maksimum 30.000 m3 21.500 m3 12.000 m3
volume

b Pemberlakuan.
i. bagian ini tidak berlaku untuk bangunan klas 1 atau 10, dan
ii. ketentuan pada butir c, d dan e tidak berlaku untuk tempat parkir umum yang
dilengkapi dengan sistem sprinkler, tempat parkir tak beratap atau suatu
panggung terbuka.

c. Batasan umum luas lantai.


i. Ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan klas 5, 6, 7, 8
atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume maksimum
seperti ditunjukkan dalam Tabel V.1.4 dan butir f, kecuali seperti yang diijinkan
pada butir d.
ii. Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara,
ventilasi, atau peralatan Lift, tanki air, atau unit utilitas sejenis dan berada di
puncak bangunan, tidak diperhitungkan sebagai luas lantai atau volume dari
kompartemen atau atrium
iii. Untuk bangunan yang memiliki lubang atrium, maka bagian dari ruang atrium
yang dibatasi oleh sisi tepi di sekeliling bukaan pada lantai dasar sampai dengan
langit-langit dari lantai tidak diperhitungkan sebagai volume atrium.
iv. Bagian bangunan, ruang dalam bangunan yang karena fungsinya mempunyai
risiko tinggi terhadap bahaya kebakaran, harus merupakan suatu kompartemen
terhadap penjalaran api, asap dan gas beracun.

d. Bangunan-bangunan besar yang diisolasi.


Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan dari yang tersebut
dalam Tabel v.1.4 bila:
i. Bangunan dengan luas tidak melebihi 18.000 m2 dan volumenya tidak melebihi
108.000 m3 dengan ketentuan:
(1) bangunan klas 7 atau 8 kurang dari 2 lantai dan terdapat ruang terbuka
disekeliling bangunan tersebut, yang memenuhi persyaratan sebagaimana
tersebut pada butir 4.e.i yang lebamya tidak kurang dari 18 meter,
(2) bangunan klas 5 s.d. 9 yang dilindungi seluruhnya dengan sistem sprinkler
serta terdapat jalur kendaraan sekeliling bangunan yang memenuhi
ketentuan butir 4.e.ii, atau:
ii. Bangunan dengan luasan melebihi 18.000 m2 atau 108.000 m3 dengan sistem
sprinkler, dan dikelilingi jalan masuk kendaraan sesuai dengan butir 4.e.ii, dan
apabila:
(1) ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari 12 meter, dilengkapi
dengan sistem pembuangan asap atau ventilasi asap dan panas sesuai
pedoman dan standar teknis yang berlaku; atau
(2) ketinggian langit-langit lebih dari 12 meter, dilengkapi dengan sistem
pembuang asap sesuai ketentuan yang berlaku.
iii. Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling, dan
(1) setiap bangunan harus memenuhi ketentuan butir i atau ii di atas;
(2) bila jarak antara bangunan satu dengan lainnya kurang dari 6 meter, maka
seluruhnya dianggap sebagai satu bangunan dan secara bersama harus
memenuhi ketentuan butir i, atau ii.

e. Kebutuhan ruang terbuka dan jalan masuk kendaraan.


i. Ruang terbuka yang diperlukan harus:
(1) Seluruhnya berada di dalam kapling yang sama kecuali jalan, sungai, atau
tempat umum yang berdampingan dengan kapling tersebut, namun berjarak
tidak lebih dari 6 meter dengannya;
(2) termasuk jalan masuk kendaraan sesuai ketentuan butir 4.e.ii
(3) tidak untuk penyimpanan dan pemrosesan material; dan
(4) tidak ada bangunan diatasnya, kecuali untuk gardu jaga dan bangunan
penunjang ( seperti gardu listrik dan ruang pompa), yang tidak melanggar
batas lebar dari ruang terbuka, tidak menghalangi penanggulangan
kebakaran pada bagian manapun dari tepian kapling, atau akan menambah
risiko merambatnya api ke bangunan yang berdekatan dengan kapling
tersebut.
ii. Jalan masuk kendaraan harus:
(1) sebagai jalan masuk bagi kendaraan darurat dan lintasan dari jalan umum,
(2) lebar bebas minimum 6 meter dan tidak ada bagian yang lebih jauh dari 18
meter terhadap bangunan, serta di atas jalan tersebut tidak boleh dibangun
apapun kecuali hanya untuk kendaraan dan pejalan kaki
(3) dilengkapi jalan untuk pejalan kaki yang memadai;
(4) memiliki kapasitas beban dan tinggi bebas yang memudahkan operasi
mobil pemadam kebakaran, dan ;
(5) bila terdapat jalan umum yang memenuhi (1) s.d. (4) di atas maka jalan
tersebut dapat beriaku sebagai jalan lewatnya kendaraan atau bagian dari
padanya.

f. Pemisahan
Pemisahan vertikal pada bukaan di dinding luar, pemisahan oleh dinding tahan api,
dan pemisahan pada shaft lift mengikuti syarat teknis sesuai ketentuan yang
berlaku.

g. Tangga dan Lift pada satu shaft.


Tangga dan lift tidak boleh berada pada satu shaft yang sama, bila salah satu tangga
atau lift tersebut diwajibkan berada dalam suatu shaft tahan api.

h. Koridor umum pada bangunan klas 2 dan 3.


Pada bangunan klas 2 dan 3, koridor umum yang panjangnya lebih dari 40 meter
harus dibagi menjadi bagian yang tidak lebih dari 40 meter dengan dinding yang
tahan asap, mengikuti syarat teknis sesuai ketentuan yang berlaku.

5. Proteksi Bukaan

a. Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi penyetop api
untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan
kompartemenisasi bangunan.

b. Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk shaft pipa, shaft ventilasi,
dan shaft instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari bawah
sampai atas, dan tertutup pada setiap lantai.

c. Apabila harus diadakan bukaan pada dinding sebagaimana dimaksud pada butir b,
maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan minimal sama dengan
ketahanan api dinding atau lantai.
d. Sarana dan atau peralatan proteksi seperti penyetop api, damper, dan sebagainya
harus memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan melalui pengujian oleh lembaga
uji yang diakui dan terakreditasi.

e. Ketentuan proteksi pada bukaan ini tidak berlaku untuk:


i. bangunan-bangunan klas 1 atau klas 10;
ii sambungan pengendali, lubang tirai, dan sejenisnya di dinding luar dari
konstruksi pasangan, dan sambungan antara panel di dinding luar dari beton
pracetak, bila luas lubang/sambungan tersebut tidak lebih luas dari yang
diperlukan;
iii. lubang ventilasi yang tidak mudah terbakar (non combustible ventilators), bila
luas penampang masing-masing tak melebihi 45.000 mm2, dan jarak antara
lubang ventilasi tak kurang dari 2 m pada dinding yang sama.

f. Proteksi Bukaan Pada Dinding Luar.


Bukaan pada dinding luar yang perlu memiliki TKA harus:
i. berjarak dari suatu obyek sumber api tidak kurang dari:
(1) 1 m pada bangunan dengan 1 (satu) lantai; atau
(2) 1,5 m pada bangunan dengan lebih dari 1 (satu) lantai; dan
ii. bila bukaan di dinding luar tersebut terhadap suatu sumber api terletak kurang
dari:
(1) 3 m dari batas belakang persil bangunan; atau
(2) 6 m dari sempadan jalan yang membatasi persil, dan tidak berada pada atau
dekat dengan lantai dasar bangunan; atau
(3) 6 m dari bangunan lain pada persil yang sama, yang bukan dari klas 10,
maka harus dilindungi sesuai dengan ketentuan butir h, dan bila digunakan
sprinkler pembasah-dinding maka sprinkler tersebut harus ditempatkan di
bagian luar bangunan, dan
iii. bila bukaan tersebut wajib dilindungi sesuai dengan butir ii, maka tidak boleh
menempati lebih dari 1/3 luas dinding luar dari lantai dimana bukaan tersebut
berada, kecuali bila bukaan-bukaan tersebut pada bangunan klas 9b dan
diberlakukan seperti bangunan panggung terbuka.

g. Pemisahan Bukaan Pada Kompartemen Kebakaran. Kecuali bila dilindungi sesuai


ketentuan tersebut pada butir 9, jarak antara bukaan pada dinding luar pada
kompartemen kebakaran harus tidak kurang dari yang tercantum pada Tabel V.1.5.

Tabel V.1.5
JARAK ANTARA BUKAAN
PADA KOMPARTEMEN KEBAKARAN YANG BERBEDA

Sudut Terhadap Dinding Jarak Minimal Antara Bukaan


0° (dinding-dinding saling berhadapan) 6m
Lebih dari 0° s.d. 45° 5m
Lebih dari 45° s.d. 90° 4m
Lebih darii 90° s.d. 135° 3m
Lebih dari 134° s.d kurang dari 180° 2m
180° atau lebih nol
h. Metoda Proteksi Yang Diperbolehkan.

i. Bila diperlukan proteksi, maka jalan masuk, jendela dan bukaan lainnya harus
dilindungi sebagai berikut:
(1) Jalan masuk/pintu : sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau memasang pintu kebakaran dengan TKA -/60/30 (dapat
menutup sendiri secara otomatis);
(2) Jendela: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai keperluan,
atau jendela kebakaran dengan TKA -/60/- (menutup otomatis atau secara
tetap dipasang pada posisi tertutup), atau memasang penutup api otomatis
dengan TKA -/60/-
(3) Bukaan-bukaan lain: sprinkler pembasah dinding dalam atau luar sesuai
keperluan, atau konstruksi dengan TKA tidak kurang dari-/60/-.

ii. Pintu, jendela, dan penutup kebakaran harus memenuhi ketentuan butir i di
atas dan standar teknis yang berlaku.

V.2 SISTEM PROTEKSI AKTIF

1. Sistem Pemadam Kebakaran

a. Hidran kebakaran.
i. Sistem hidran harus dipasang pada bangunan:
(1) yang memiliki luas lantai total lebih dari 500 m2, dan
(2) terdapat regu pemadam kebakaran.
ii. Sistem hidran kebakaran,
(1) harus dipasang sesuai dengan standar yang berlaku, SNI 1745; dan
(2) hidran dalam bangunan harus melayani hanya di lantai hidran
tersebut ditempatkan, kecuali pada satuan peruntukan bangunan, di
mana:
(a) bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian klas 4, dilayani oleh
hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana ada jalur
keluar, atau
(b) bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang berlantai tidak lebih dari 2
(dua), dilayani oleh hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai
dimana ada jalur keluar, asalkan hidran dapat menjangkau
seluruh satuan peruntukan bangunan.
(3) bila dilengkapi dengan pompa kebakaran harus terdiri dari:
(a) 2 (dua) pompa, yang sekurang-kurangnya satu pompa
digerakkan oleh motor bakar atau motor listrik yang dicatu dari
daya generator darurat,
(b) 2 (dua) pompa yang digerakkan oleh motor listrik yang
dihubungkan dengan sumber tenaga yang terpisah satu sama
lain,
(4) bila pompa kebakaran dihubungkan dengan jaringan pasokan air dan
dipasang pada bangunan dengan ketinggian efektif kurang dari 25 m,
satu pompa digerakkan oleh:
(a) motor-bakar, atau
(b) motor listrik yang dicatu dari generator darurat, atau
(c) motor listrik yang dihubungkan pada sumber tenaga yang
terpisah satu sama lain melalui fasilitas pemindah daya otomatis;
(5) pemasangan pompa kebakarannya dalam bangunan harus pada
tempat yang:
(a) mempunyai jelur keluar ke jalan atau ruang terbuka, atau
(b) jika bangunan tidak dilindungi seluruhnya dengan sistem
sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku, tempat pompa harus
terpisah dari bangunan, dan dengan konstruksi yang mempunysi
TKA tidak kurang dari yang dipersyaratkan bagi suatu dinding
tahan api untuk klasifikasi bangunannya;
(6) untuk pompa yang ditempatkan di luar bangunan, maka bangunan
rumah pompa tersebut harus jelas terlihat, tahan cuaca, mempunyai
jalur keluar langsung ke jalan atau ruang terbuka, dan jika dalam
jarak 6 m dari bangunan, maka dinding rumah pompa dan bagian
dinding luar yang berjarak 2 m dari samping rumah pompa dan 3 m
di atas rumah pompa, atau dinding antara bangunan dan rumah
pompa yang berjarak 2 m dari sisi rurnah pompa dan 3 m di atas
rumah pompa harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang
dipersyaratkan untuk dinding tahan api sesuai klas bangunannya.
(7) bila sistem pasokan air mengambil air dari sumber statis, maka harus
disediakan sambungan yang cocok dan jalan masuk kendaraan
pemadam kebakaran untuk memudahkan petugas pemadam
kebakaran memompa air dari sumber tersebut dan harus disediakan
sambungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut untuk
meningkatkan tekanan air dalam sistem gedung, serta harus dirancang
untuk memenuhi tekanan dan laju aliran yang disyaratkan untuk
operasi petugas pemadam kebakaran.

b. Hose Reel

i. Sistem Hose Reel harus disediakan:


(1) untuk melayani seluruh bangunan, dimana satu atau lebih hidran
dalam dipasang, atau:
(2) bila hidran dalam tidak dipasang, untuk melayani setiap
kompartemen kebakaran dengan luas lantai lebih dari 500 m2 dan
untuk maksud butir ini, satu unit hunian bangunan klas 2 atau klas 3
atau sebagian bangunan klas 4, dipertimbangkan sebagai
kompartemen kebakaran.
ii. Sistem Hose Reel, harus:
(1) dipasang sesuai dengan standar yang berlaku.
(2) melayani hanya lantai dimana alat ini ditempatkan, kecuali pada satu
unit hunian,
(a) pada bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian Klas 4 dilayani
oleh Hose Reel tunggal yang ditempatkan pada jalur keluar dari
unit hunian tersebut, dan
(b) pada bangunan klas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang tidak lebih dari 2
(dua) lantai, dilayani oleh Hose Reei tunggal yang ditempatkan
pada jalur keluar dari satu unit hunian tersebut dengan syarat
Hose Reel melayani seluruh unit hunian.
(3) Memiliki slang kebakaran yang harus diletakkan sedemikian rupa
untuk menghindari partisi atau penghalang di dalam mencapai setiap
bagian lantai dari tingkat yang bersangkutan
(4) Hose reel yang dipasang mengikuti butir (3) diatas ditempatkan:
(a) di luar bangunan, atau
(b) di dalam bangunan sekitar 4 m dari pintu keluar, atau
(c) di dalam bangunan berdekatan dengan hidran dalam (selain
hidran yang dipasang di pintu keluar yang diisolasi tahan api);
atau
(d) kombinasi (a), (b), dan (c), sehingga hose tidak perlu melintasi
pintu keluar masuk yang dilengkapi dengan pintu kebakaran
atau pintu asap.
(5) Bila dihubungkan dengan meteran air, maka:
(a) dipelihara kebutuhan kecepatan aliran dari hose reel;
(b) diameter pipa dari meteran air atau instalasi PAM berdiameter
tidak kurang dari 25 mm;
(c) jaringan pipa memenuhi syarat pembagian pasokan air;
(d) tiap katup yang mengatur aliran air dari sumber air utama ke
Hose Reel harus dijaga pada posisi terbuka oleh pengunci dari
logam.
(6) Bila dipasok oleh sumber air utama dengan diameter nominal lebih
besar dari 25 mm dan yang dihubungkan dengan sumber air untuk
hidran, sebuah katup yang memenuhi butir 5.d harus dipasang pada
sambungan ke saluran utama.

c. Sistem Sprinkler
i. Sistem sprinkler harus dipasang pada bangunan sebagaimana ditunjukkan
pada tabel berikut:

Tabel V.2.1
Persyaratan Pemakaian Sprinkler

Jenis bangunan Kapan Sprinkler diperlukan:

Semua klas bangunan:


1. Termasuk lapangan parkir terbuka dalam
bangunan campuran, Pada bangunan yang tinggi efektifnya
2. Tidak termasuk lapangan parkir terbuka, lebih dari 25 m
yang merupakan bangunan terpisah

Dalam kompartemenisasi dengan salah satu


Bangunan pertokoan (kbs 6). ketentuan berikut:
(a) luas lantai lebih dari 3.500 m2.
(b) volume ruangan lebih dari 21.000 m3.
Bangunan Rumah Sakit. Lebih dari 2 (dua) lantai.
Ruang Pertemuan Umum, Luas panggung dan belakang panggung
Ruang Pertunjukan, Teater. lebih dari 200 m
Konstruksi Atrium. Tiap bangunan beratrium
Untuk memperoleh ukuran kompartemen
yang lebih besar:
(a) bangunan klas 5 - 9 dengan luas
Bangunan berukuran begar den terpisah. maksimum 18.000 m2 den volume
108.000 m3.
(b) semua bangunan dengan luas lantai lebih
besar dari 18.000 m2 dan volume
108.000 m3.
Ruang parkir, selain nuang parkir terbuka Bila menampung lebih dari 40
kendaraan.
Bangunan dengan risiko bahaya kebakaran Pada kompartemen, dengan salah satu dari
2 (dua) persyaratan berikut: 2(dua) persyaratan :
amat tinggi. ·) (a) Luas lantai melebihi 2.000 m2.
(b) Volume lebih dari 12.000 m3.
*) Jenis bangunan dengan resiko bahaya kebakaran tinggi sesuai standar teknis yang berlaku.

ii. Sistem sprinkler harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:


(1) Standar perancangan dan pemasangan sprinkler otomatis sesuai
standar teknis yang berlaku, SNI-3989.
(2) Bangunan bersprinkler.
Tanpa mengurangi ketentuan atau standar yang berlaku bangunan
atau bagian bangunan dianggap bersprinkler, jika:
(a) sprinkler terpasang diselunuh bangunan, atau:
(b) dalam hal sebagian bangunan:
(i) sebagian bangunan dipasang sprinkler dan diberi
kompartemen kebakaran pada bagian yang tanpa sprinkler,
dan
(ii) setiap bukaan pada konstruksi pemisah antara bagian
ter-sprinkler dan bagian tak ter-sprinker diproteksi sesuai
ketentuan proteksi pada bukaan
(3) Katup kontrol sprinkler.
Katup kontrol sprinkler harus ditempatkan dalam suatu ruang yang
aman atau ruang tertutup yang berhubungan langsung ke jalan atau
ruang terbuka.
(4) Pasokan air.
Tanpa mengurangi ketentuan dalam standar teknis yang berlaku
mengenai sprinkler, pasokan air untuk sistem sprinkler harus
memperhatikan tinggi efektif bangunan, luar bangunan yang
diisyaratkan menggunakan sprinkler, dan klasifikas bangunan sesuai
standar teknis yang berlaku.
(5) Sambungan dengan peralatan alarm lainnya.
Sistem sprinkler harus disambung atau dihubungkan ke dan dapat
mengaktifkan:
(a) setiap peringatan darurat dan sistem komunikasi intema yang
disyaratkan; atau
(b) sistem pengeras suara atau peralatan lainnya yang dapat
didengar bila peringatan darurat dan sistem komunikas intemal
tidak disyaratkan,
(6) Peralatan anti gangguan (Anti Tamper).
Untuk sistem sprinkler yang dipasang di teater, ruang pertemuan
umum atau semacamnya, maka pada tiap katup yang berfungsi
mengendalikan sprinkler didaerah panggung harus dipasang
peralatan anti gangguan yang dihubungkan ke panel pemantau.
7) Sistem sprinkler di ruang parkir.
Sistem sprinkler yang dipasang pada ruang parkir pada bangunan
multi-klas, harus:
(a) berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan sistem sprinkler di
bagian bangunan lainnya.
(b) bila berhubungan dengan sistem sprinkler yang melindungi
bagian bangunan bukan ruang parkir, harus dirancang sehingga
sistem sprinkler yang melindungi bagian bukan nuang parkir
dapat diisolasi dengan tanpa mengganggu aliran air, ataupun
mempengaruhi efektivitas operasi sprinkler yang melindungi
ruang parkir.

d. Pemadam Api Ringan (PAR)


i. PAR yang jenisnya sesuai kebutuhan harus dipasang diseluruh bangunan,
kecuali di dalam unit hunian bangunan klas 2 atau klas 3 atau sebagian
bangunan klas 4, yang memungkinkan dilakukannya pemadaman awal
efektip terhadap kebakaran oleh penghuni bangunan.
ii. PAR memenuhi butir i, jika:
(1) Disediakan dengan mengikuti standar teknis yang berlaku, SNI-3987
kecuali PAR jenis air yang tidak perlu dipasang di dalam bangunan
atau bagian bangunan yang dilayani oleh Hose Reel, dan
(2) PAR dari jenis bukan klas A harus ditempatkan pada lokasi yang
dapat menjangkau lokasi yang mengandung jenis bahaya yang harus
diatasi.

2. Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran


a. Sistem deteksi dan alarm kebakaran otomatis harus dipasang di:
i. bangunan klas 1b; dengan
ii. bangunan klas 2 dengan persyaratan khusus;
iii. bangunan klas 3 yang menampung lebih dari 20 penghuni yang
digunakan sebagai:
(1) bagian hunian dari bangunan sekolah; atau
(2) akomodasi bagi lanjut usia, anak-anak atau orang cacat; dan
iv. bangunan klas 9a.
b. Spesifikasi Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran.
i. Perancangan dan pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran harus
memenuhi standar teknis yang berlaku, SNI-3985.
ii. Sistem deteksi kebakaran dan sistem alarm otomatis harus dihubungkan
dan mengaktifkan:
(1) sistem peringatan keadaan darurat dan sistem komunikasi internal
sebagaimana dipersyaratkan oleh ketentuan Bab VIII; atau
(2) bila sistem peringatan darurat dan sistem komunikasi intemal tidak
dipersyaratkan, maka dapat dihubungkan dengan sistem pengeras
suara, alarm pengindera asap ataupun peralatan untuk peringatan
lainnya yang dapat didengar dan yang ditempatkan disetiap lantai
sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Penempatan Alat Pendeteksi Asap.
i. dipasang dengan permukaan menghadap ke bawah dan di luar saluran
unit pengkondisian udara, atau menggunakan sistem point sampling yang
mempunyai derajat kepekaan maksimum 0,5 % smoke obscuration/m;
ii. ditempatkan pada lokasi berkumpulnya asap panas dengan memper-
timbangkan geometri langit-langit dan efeknya pada lintasan perpindahan
asap;
iii. ditempatkan kurang dari 1,50 meter jaraknya dari pintu kebakaran; dan
iv. dipilih tipe foto-elektrik, jika dipasang di dalam saluran udara (ducts)
atau udara yang terkontaminasi partikel debu dengan ukuran kurang dari
1 µm, dan bila terdapat partikel jenis lainnya harus menggunakan
detektor tipe ionisasi. :
d. Batas Ambang.
i. Sistem sampling harus memenuhi Ketentuan yang berlaku tentang Tata
Cara Perencanaan, Pemasangan, dan Pemeriksaan Alat Deteksi dan
Alarm Kebakaran Otomatis.
ii. Penetapan batas ambang alarm bagi sistem detektor harus mengikuti
ketentuan yang berlaku, yaitu:
(1) ketentuan yang berlaku tentang Tata Cara Perencanaan Ventilasi
Mekanik dan Pengkondisian Udara dalam Bangunan Gedung; dan
(2) ketentuan yang berlaku tentang Spesifikasi Alat Pendeteksi dan
Alarm Kebakaran otomatis pada Bangunan Gedung.

3. Pengendalian Asap Kebakaran

a. Ketentuan pengendalian asap ini tidak berlaku untuk:


i. bangunan klas 1 atau 10; dan
ii. setiap ruangan yang tidak digunakan oleh penghuni untuk waktu yang
cukup lama, seperti gudang dengan luas lantai 30 m2, ruang
kompartemen sanitasi, ruang tanaman atau sejenisnya; dan
iii. ruang parkir terbuka atau panggung terbuka.
b. Persyaratan umum
i. Pada saat terjadi kebakaran, setiap rute evakuasi harus dijaga dengan
ketinggian asap sekurang-kurangnya 2.10 m di atas level lantai, sehingga
(1) temperatur ruang tidak membahayakan manusia;
(2) tingkat penglihatan memungkinkan diketahui rute evakuasinya,
(3) tingkat racun asap yang timbul tidak membahayakan manusia, untuk
selama tenggang waktu sampai dengan seluruh penghuni dapat
terevakuasi dari bangunan.
ii. Perioda tenggang waktu harus memperhitungkan keadaan bangunan dan
mobilitas manusia.
iii. Rute evakuasi merupakan jarak lintasan menerus perjalanan evakoasi/
penyelamatan dari suatu tempat (seperti pintu/ jalan keluar, ramp dan
jalur sirkulasi yang terisolasi dari kebakaran serta koridor umum) pada
setiap bagian bangunan, termasuk didalam satuan numah hunian
bangunan klas 2 atau 3 atau sebagian klas 4, sampai ke jalan atau ruang
terbuka bebas.
iv. Pada sistem pengkondisian udara terpusat yang memutar udara untuk
lebih dari satu ruangan kompartemen kebakaran:
(1) pada bangunan yang termasuk dalam butir v, harus:
(a) beroparasi seperti sistem pengendali asap; atau
(b) diatur sehingga pada kondisi kebakaran, setiap bagian yang
menyebabkan penyebaran asap yang serius antar kompartemen;
(2) pada bangunan yang termasuk dalam butir vi, harus:
(a) beroperasi seperti sistem pengendali asap sesuai ketentuan,
bersama-sama dengan kelengkapan pengendalian asap lainnya
yang dipasang untuk memenuhi ketentuan pada Tabel V.2.3.,
atau ketentuan pada butir b; atau
(b) diatur sehingga pada kondisi kebakaran, sistem tidak
mengganggu beroperasinya peralatan pengendalian asap yang
dipasang untuk memenuhi ketentuan pada Tabel V.2.3., atau
ketentuan pada butir b, dan tidak mensirkulasikan asap diantara
kompartemen kebakaran.
Untuk keperluan ketentuan ini, setiap hunian tunggal pada bangunan
klas 2 atau 3 harus diberlakukan sebagai kompartemen terpisah.
v. Untuk sistem pengatur udara lainnya, dan tidak membentuk bagian
sistem pengendali asap harus memenuhi ketentuan standar yang berlaku.
vi. Berkaitan dengan butir c berikut tentang Persyaratan Untuk Bahaya
Khusus, bila suatu bangunan tidak termasuk dalam Tabel V.2.3 pada
lampiran persyaratan teknis ini maka harus memenuhi ketentuan i, dan
persyaratan lain dari pedoman teknis ini.

c. Persyaratan untuk bahaya khusus


Upaya tambahan dalam pengendalian bahaya asap mungkin dipersyaratkan
bilamana berkaitan dengan:
i. tata letak bangunan;
ii sifat penggunaan bangunan;
iii. sifat dan jumlah bahan yang disimpan, ditaruh atau dipakai di dalam bangunan.

d. Ketentuan lebih teknis dalam pengendalian asap kebakaran untuk setiap klas
bangunan mengikuti petunjuk dan standar teknis yang berlaku.

4. Pusat Pengendali Kebakaran

a. Kegunaan dan sarana yang ada di Pusat Pengendali Kebakaran adalah:


i. sebuah ruang untuk pengendalian dan pengarahan selama berlangsungnya
operasi penanggulangan kebakaran atau penanganan kondisi darurat lainnya;
ii. dilengkapi sarana alat pengendali, panel kontrol, telepon, meubel, peralatan
dan sarana lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi kebakaran;
iii. tidak digunakan bagi keperluan lain, selain:
(1) kegiatan pengendalian kebakaran; dan
(2) kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan
bagi penghuni bangunan.

b. Konstruksi.
Ruang Pusat Pengendaii Kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter harus merupakan ruang terpisah, dimana:
i. konstruksi penutupnya dari beton, dinding atau sejenisnya mempunyai
kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
ii. bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya harus memenuhi persyaratan
terhadap kebakaran;
iii. peralatan utilitas, pipa, saluran udara dan sejenisnya, yang tidak diperlukan
untuk berfungsinya nuang pengendali, tidak boleh lewat ruang tersebut;
iv. bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang
pengendali dengan ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi
dan lubang perawatan lainnya, yang khusus untuk melayani fungsi ruang
pengendali tersebut.

c. Proteksi pada bukaan.


Setiap bukaan pada ruang pengendali kebakaran, seperti pada lantai, langit-langit
dan dinding dalam, untuk jendela, pintu, ventilasi, saluran, dan sejenisnya harus
mengikuti syarat teknis proteksi bukaan pada Bab V.1.5

d. Pintu Keluar.
i. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka ke arah dalam ruang
tersebut, dapat dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang
menggunakan rute evakuasi dari dalam bangunan tidak menghalangi atau
menutupi jalan masuk ke ruang pengendali tersebut.
ii. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari (2) dua arah
(1) arah pintu masuk di depan bangunan; dan
(2) arah langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang
dilindungi terhadap api, yang menuju ke tempat umum dan mempunyai
nilai TKA tidak kurang dari -/120/30.

e. Ukuran dan sarana.


i. Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya:
(1). Panel indikator kebakaran, sakelar kontrol dan indikator visual yang
diperlukan untuk semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan
peralatan pengamanan kebakaran lainnya yang dipasang di dalam
bangunan;
(2) telepon sambungan langsung,
(3) sebuah papan tulis dan sebush papan tempel (pin-up board) berukuran
cukup; dan
(4) sebuah meja berukuran cukup untuk menggelar gambar dan rencana
taktis yang disebutkan dalam (5); dan
(5) rencana taktis penanggulangan kebakaran.
ii. Sebagai tambahan, di ruang pengendali dapat disediakan:
(1) Panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh
untuk gas atau catu daya listrik, genset darurat; dan
(2) sistem keamanan bangunan, sistem pengamatan, dan sistem manajemen,
jika dikehendaki terpisah total dari sistem lainnya.

iii. Ruang pengendali harus:


(1) mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m2, dan salah satu panjangnya dari
sisi bagian dalam tidak kurang dari 2,50 m;
(2) jika hanya menampung peralatan minimum, luas lantai bersih tidak kurang dari
8 m dan luas ruang bebas di depan panel indikator tidak kurang dari 1,50 m2,
(3) jika dipasang peralatan tambahan, luas lantai bersih daerah tambahan adalah 2
m2 untuk setiap penambahan alat, ruang bebas di depan panel indikator tidak
kurang dari 1,50 m2 dan ruang untuk tiap rute evakuasi penyelamatan dari
ruang pengendali ke ruang lainnya harus disediakan sebagai tambahan
persyaratan (2) dan (3) diatas.

f. Ventilasi dan pemasok daya.


Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:
i. ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding luar bangunan yang membuka
langsung ke ruang pengendali; atau
ii. Sistem udara bertekanan yang hanya melayani ruang pengendali, dan
(1) dipasang sesuai ketentuan yang berlaku seperti untuk tangga kebakaran yang
dilindungi;
(2) beroperasi otomatis melalui aktivitas sistem alarm atau sistem sprinkler yang
dipasang pada bangunan;
(3) mengalirkan udara segar ke ruangan tidak kurang dari 30 kali pertukaran udara
perjamnya pada waktu sistem beroperasi dengan dan salah satu pintu ruangan
terbuka;
(4) mempunyai kipas, motor dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk bagian
dari sistem, tetapi tidak berada di dalam ruang pengendali dan diproteksi oleh
dinding yang mempunyai TKA tidak lebih kecil dari 120/120/120;
(5) mempunyai catu daya listrik ke ruang pengendali atau peralatan penting bagi
beroperasinya ruang pengendali.

g. Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang pusat
pengendali, dan tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.

h. Beberapa peralatan seperti Motor bakar, pompa pengendali sprinkler, pemipaan dan
sambungan-sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang pengendali, tetapi boleh
dipasang di ruangan-ruangan yang dapat di capai dari ruang pengendali tersebut.

i. Tingkat suara (ambient) dalam ruang pengendali kebakaran yang diukur pada saat semua
peralatan penanggulangan kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat berlangsung
tidak melebihi 65 dbA bila ditentukan berdasarkan ketentuan tingkat kebisingan didalam
bangunan.
VI. SARANA JALAN MASUK DAN KELUAR

VI.1 FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA

1. Fungsi
a. Melengkapi bangunan dengan akses yang layak, aman, nyaman, dan
memadai bagi semua orang.
b. Melengkapi bangunan dengan sarana evakuasi yang memungkinkan
penghuni punya waktu untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa
meraskan keadaan darurat.
c. Fungsi tersebut pada butir b di atas tidak berlaku untuk unit hunian tunggal
pada bangunan klas 2, 3, atau 4.

2. Persyaratan kinerja:
a. Akses ke dan di dalam bangunan harus tersedia yang memungkinkan
pergerakan manusia secara aman, nyaman dan memadai.
b. Agar manusia dapat bergerak dengan aman ke dan di dalam bangunan maka
bangunan harus mempunyai antara lain:
i. Kemiringan permukaan lantai harus aman bagi pejalan kaki.
ii. Setiap pintu dibuat agar penghuni mudah mencapai akses keluar dan
menghindari risiko terjebak di dalam bangunan.
iii. Setiap tangga dan ramp memiliki:
(1) Permukaan lantai tidak licin pada ramp, injakan dan akhiran
injakan tangga.
(2) Pegangan rambat (handrails) yang memadai untuk membantu
kestabilan pemakai tangga/ramp
(3) Lantai bordes yang memadai uniuk menghindari keletihan
(4) Pintu di lantai bordes sedemikian hingga pintu tersebut tidak
menjadi rintangan.
(5) Tangga yang memadai untuk menampung volume dan frekwensi
penggunaan.
c. Pada area dimana orang bisa jatuh dari ketinggian 1m atau lebih dari
lantai/atap/melalui bukaan pada dinding luar bangunan, atau karena
perbedaan tinggi lantai dalam bangunan, harus dibuatkan penghalang yang:
i. menerus sepanjang area yang berbahaya.
ii. tinggi disesuaikan dengan risiko orang tanpa disengaja jatuh dari lantai
/atap.
iii. mampu menjaga lintasan anak-anak.
iv. Kuat dan kokoh menahan pengaruh orang yang menabrak, dan tekanan
orang pada penghalang tersebut.
d. Butir c tersebut di atas tidak berlaku bila penghalang tersebut digunakan
untuk panggung, tempat bongkar muat barang dan sejenisnya.
e. Butir c tersebut tidak berlaku juga untuk:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran dan area lain untuk tujuan
darurat, kecuali tangga/ramp di luar bangunan.
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir mobil) dan klas 8.
f. Jumlah, lokasi dan dimensi pintu keluar yang tersedia pada bangunan
disediakan agar penghuni dapat menyelamatkan diri dengan aman, sesuai
dengan:
i. Jarak tempuh
ii. Jumlah, mobilitas dan karakter penghuni.
iii. Fungsi bangunan
iv. Tinggi bangunan

g. Jalan keluar harus diisolasi terhadap kebakaran dan sesuai dengan:


i. Jumlah lantai yang dihubungkan dengan pintu tersebut
ii. Sistem kebakaran yang dipasang dalam bangunan
iii. Fungsi bangunan
iv. Intervensi pasukan pemadam kebakaran

h. Agar penghuni dapat keluar dengan aman dari bangunan, dimensi jelur
lintasan menuju ke pintu keluar harus sesuai dengan .
i. Jumlah, mobilitas dan karakter lain dan penghuni
ii. Fungsi bangunan

i. Butir h tersebut di atas tidak berlaku di dalam unit hunian tunggal pada
bangunan klas 2, 3 dan 4.

VI.2 KETENTUAN JALAN KELUAR

1. Persyaratan Keamanan
a. Tangga, ramp dan lorong (gang) harus aman bagi lalu lintas pengguna
bangunan.
b. Tangga, ramp, lantai, balkon, dan atap yang dapat dicapai oleh manusia
harus mempunyai dinding pembatas, balustrade atau penghalang lainya yang
untuk melindungi pengguna bangunan terhadap risiko jatuh .
c. Ramp kendaraan dan lantai yang dapat dilewati kendaraan harus mempunyai
pembatas pinggir atau penghalang lainnya untuk melindungi pejalan kaki
dan struktur bangunannya.

2 Kebutuhan Jalan Keluar


a. Semua bangunan : Setiap bangunan harus mempunyai sedikitnya 1 jalan
keluar dari setiap lantainya.
b Bangunan klas 2 s.d. 8: Minimal harus tersedia 2 jalan ke!uar pada setiap
lapis lantainya apabila tinggi efektif bangunannya lebih dari 25 m
c. Basement: Minimal harus tersedia 2 jalan keluar pada lapis lantai manapun,
bila jalan keluar dari lapis lantai di dalam bangunan dimaksud naik lebih dari
1,5 m, kecuali:
i. luas lapis lantainya tak lebih dari 50 m2, dan
ii. jarak tempuh dari titik manapun pada lantai dimaksud ke suatu jalan
keluar tunggal tak lebih dari 20 m.
d. Bangunan klas 9: Minimal harus tersedia 2 jalan keluar pada:
i. setiap lapis lantai bila bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 6,atau
yang ketinggian efektifnya lebih dari 25 m.
ii. setiap lapis lantai termasuk area perawatan pasien pada bangunan klas
9a.
iii. setiap lapis lantai pada bangunan klas 9b yang digunakan sebagai pusat
asuhan balita.
iv. setiap lapis lantai pada bangunan sekolah dasar dan sekolah lanjutan
pertama dengan ketinggian 2 lantai atau lebih.
v. setiap lapis lantai atau mesanin yang dapat menampung lebih dari 50
orang sesuai fungsinya.

e. Area perawatan pasien: Pada bangunan klas 9a sedikitnya harus ada 1 jalan
keluar dari setiap bagian pada lapis lantai yang telah disekat menjadi
kompartemen tahan api.

f. Panggung terbuka: Pada panggung terbuka dan menampung lebih dari 1


deret tempat duduk, setiap deret harus mempunyai minimal 2 tangga atau
ramp, masing-masing merupakan bagian jelur lintasan ke minimal 2 buah
jalan keluar.

g. Akses ke jalan keluar: Tanpa harus melalui hunian tunggal lainnya, setiap
penghuni pada lapis lantai atau bagian lapis lantai bangunan harus dapat
mencapai ke:
i. 1 jalan keluar, atau
ii. sedikitnya 2 jalan keluar, bila 2 atau lebih jalan keluar diwajibkan.

3. Jalan keluar yang diisolasi terhadap kebakaran


a. Bangunan klas 2 dan 3: Setiap jalan keluar harus diisolasi terhadap kebakaran,
kecuali jalan tersebut menghubungkan tidak lebih dari:
i. 3 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan klas 2, atau
ii. 2 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan klas 3, dan termasuk 1 lapis
lantai tambahan bila digunakan sebagai tempat menyimpan kendaraan
bermotor atau tempat pelengkap lainnya.
b. Bangunan kelas 5 s.d. 9 : Setiap jalan keluar harus diisolasi terhadap bahaya
kebakaran kecuali:
i. pada bangunan klas 9a: tidak menghubungkan lebih dari 2 lapis lantai secara
berurutan pada suatu tempat, selain area perawatan pasien;
ii. merupakan bagian dari tribun penonton terbuka;
iii. tidak menghubungkan lebih dari 2 lapis lantai secara berurutan, bila
bangunan tersebut mempunyai sistem sprinkler yang menyeluruh.

4. Jarak jalur menuju pintu keluar


a. Bangunan klas 2 dan 3
i. Pintu masuk dari setiap hunian tunggal harus berjarak tidak lebih dari:
(1) 6 m dari jalan keluar atau dari tempat dengan jalur yang berbeda arah
menuju ke 2 pintu keluar tersedia, atau
(2) 20 m dari pintu keluar tunggal pada lapis lantai yang merupakan jalan
keluar ke jalan atau ke ruang terbuka.
ii. Setiap tempat dalam ruangan yang bukan pada unit hunian tunggal, harus
kurang dari 20 m dari pintu keluar atau tempat jalur dua arah menuju ke 2
pintu keluar tersedia.

b. Bagian bangunan klas 4: Pintu masuk harus tidak lebih dari 6 m dari pintu keluar,
atau dari tempat dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia.
c. Bangunan klas 5 s.d. 9: Terkena aturan butir d, e, f, dan:
i. Setiap tempat harus berjarak tidak lebih 20 m dari pintu keluar, atau tempat
dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar tersedia, jika jarak
maksimum ke salah satu pintu keluar tersebut tidak melebihi 40 m, dan
ii. Pada bangunan klas 5 atau 6, jarsk ke pintu keluar tunggal pada lapis lantai
yang merupakan akses ke jalan atau ke ruang terbuka dapat diperpanjang
sampai 30 m.

d. Bangunan klas 9a: Area perawatan pasien pada bangunan klas 9a.
i. Setiap tempat pada lantai harus berjarak tidak lebih 12 m dari tempat dengan
jalur dua arah menuju ke 2 pintu keluar yang dipersyaratkan tersedia.
ii. Jarak maksimum dari satu tempat ke salah satu dari pintu keluar tersebut
tidak lebih dari 30 m.

e. Panggung Terbuka: Jarak jalur lintasan menuju ke pintu keluar pada bangunan
klas 9b yang dipakai sebagai panggung terbuka harus tidak lebih dari 60 m.

f. Gedung Pertemuan: Pada bangunan klas 9b selain gedung sekolah atau pusat
asuhan balita, jarak ke salah satu pintu keluar dimungkinkan 60 m, bila :
i. jalur lintasan dari ruang tersebut ke pintu keluar melalui lorong/koridor.
lobby, ramp, atau ruang sirkulasi lainnya, dan
ii. konstruksi ruang tersebut bebas asap, memiliki TKA tidak kurang dari
60/60/60 dan konstruksi setiap pintunya terlindung serta dapat menutup
sendiri dengan ketebalan tidak kurang dari 35 mm.

5. Jarak Antara Pintu-pintu Keluar Alternatif.


Pintu yang disyaratkan sebagai alternatif jalan keluar harus:
a. tersebar merata di sekeliling lantai dimaksud sehingga akses ke minimal dua pintu
keluar tidak terhalang dari semua tempat termasuk area lif di lobby;
b. berjarak tidak kurang dari 9 m;
c. berjarak tidak lebih dari:
i. 45 m pada bangunan klas 2 atau klas 3, atau
ii. 45 m pada bangunan klas 9a, bila disyaratkan untuk pintu keluar pada tempat
perawatan pasien, atau
iii. 60 m, untuk bangunan lainnya.
d. terletak sedemikian hingga alternatif jalur lintasan tidak bertemu hingga berjarak
kurang dari 6 m.

6. Dimensi/ukuran Pintu Keluar.


Pintu keluar yang disyaratkan atau jalur sirkulasi ke jalan keluar:
a. tinggi bebas seluruhnya harus tidak kurang dari 2 m;
b. jika lapis lantai atau mesanin menampung tidak lebih dari 100 orang, lebar bebas,
kecuali pintu keluar harus tidak kurang dari:
i. 1 m, atau
ii. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang digunakan untuk jalur sirkulasi
pasien di tempat tidur pada area atau bangsal perawatan
c. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 100 orang tetapi tidak lebih
dari 200 orang, lebar bebas, kecuali pintu keluar harus tidak kurang dari:
i. 1 m ditambah 250 mm untuk setiap kelebihan 25 orang, atau
ii. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang digunakan untuk jalur sirkulasi
pasien di tempat tidur pada area atau bangsal perawatan.
d. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 200 orang, lebar bebas,
kecuali pintu keluar harus ditambah menjadi:
i. 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 60 orang jika jalan keluar
mencakup perubahan ketinggian lantai oleh tangga atau ramp dengan tinggi
tanjakan 1:12, atau
ii. pada kasus lain, 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 75 orang.
e. pada panggung penonton yang menampung lebih dari 2000 orang, lebar bebas,
kecuali untuk pintu keluar harus diperlebar sampai 17 m ditambah dengan angka
kelebihan tersebut dibagi 600.
f. lebar pintu keluar:
i. pada area perawatan pasien, jika membuka ke arah koridor dengan
(1) lebar koridor antara 1,8 m - 2,2 m: 1200 mm.
(2) lebar koridor lebih dari 2,2 m: 1070 mm.
(3) pintu keluar horisontal: 1250 mm.
ii. lebar dari setiap pintu keluar yang memenuhi ketentuan butir b, c, d atau e,
minus 250 mm;
iii. 750 mm, bila pintu tersebut untuk kompartemen sanitasi atau kamar mandi.
g. lebar pintu keluar tidak boleh berkurang pada jalur lintasan ke jalan atau ruang
terbuka.

7. Jalur Lintasan Melalui Jalan Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran,


a. Pintu dalam ruangan harus tidak membuka langsung ke arah tangga, lorong, atau
ramp yang disyaratkan diisolasi terhadap kebakaran, kecuali kalau pintu tersebut
dari:
i. lobby umum, koridor, hall atau yang sejenisnya;
ii. unit hunian tunggal yang menempati seluruh lapis lantai;
iii. komponen sanitasi, ruang transisi atau yang sejenisnya.

b. Setiap tangga atau ramp tahan api harus menyediakan pintu keluar tersendiri dari
tiap lapis lantai yang dilayani dan keluar secara langsung atau melawati lorong
yang diisolasi terhadap kebakaran yang ada di lantai tersebut:
i. ke jalan atau ruang terbuka, atau
ii. ketempat:
(1) ruang atau lantai yang digunakan hanya untuk pejalan kaki, parkir
kendaraan atau sejenisnya, dan tertutup tidak lebih dari 1/3 kelilingnya.
(2) lintasan tanpa rintangan, tidak lebih dari 20 m, tersedia menuju ke jalan
atau ruang terbuka.
iii. ke area tertutup yang:
(1) berbatasan dengan jalan atau ruang terbuka,
(2) terbuka untuk sedikitnya 1/3 dari keliling area tersebut;
(3) mernpunyai ketinggian bebas rintangan di semua bagian termasuk
bukaan pada keliling area yang tidak kurang dari 3 m;
(4) mempunyai lintasan bebas rintangan dari tempat keluar ke jalan atau
ruang terbuka yang tidak lebih dan 6 m.

c. Bila lintasan keluar bangunan mengharuskan melewati 6 m dari dinding luar


bangunan dimaksud, diukur tegak lurus ke jalur lintasan, bagian dinding tersebut
harus mempunyai:
i. TKA sedikitnya 60/60/60,
ii. bukaan terlindung di bagian dalam dilindungi sesuai ketentuan Proteksi
Bukaan pada Bab V.1.5.

d. Jika Jebih dari dua akses pintu, bukan dari komponen sanitasi atau sejenisnya,
membuka ke pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran pada lantai dimaksud
i lobby bebas asap sesuai dengan Bab V.2.3 harus tersedia
ii. pintu keluar bertekanan udara sesuai standar yang berlaku.

e. bangunan klas 9a : Ramp harus tersedia untuk setiap perubahan ketinggian kurang
dari 600 mm pada lorong yang diisolasi terhadap kebakaran.

8. Tangga Luar Bangunan


Tangga luar bangunan dapat berfungsi sebagai pintu keluar yang disyaratkan
menggantikan pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran, pada bangunan dengan
ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m, bila konstruksi tangga tersebut (termasuk
jembatan penghubung) secara keseluruhan dari bahan yang tidak mudah terbakar, dan
memenuhi ketentuan teknis yang berlaku.

9. Lintasan Melalui Tangga/Ramp Yang Tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran


a. Tangga/ramp, yang tidak diisolasi terhadap kebakaran, yang berfungsi sebagai
pintu keluar yang disyaratkan harus mempunyai jalan lintasan menerus, dengan
injakan dan tanjakan dari setiap lantai yang dilayani menuju ke lantai dimana pintu
keluar ke jalan atau ruang terbuka disediakan

b. Pada bangunan klas 2, 3 atau 4, jarak antara pintu keluar dari ruang atau unit
hunian tunggal dan tempat keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui
tangga atau ramp yang tidak diisolasii terhadap kebakaran harus tidak melampaui:
i. 30 m pada konstruksi bangunan tipe C, atau
ii. 60 m pada konstruksi bangunan lainnya.

c. Pada bangunan klas 5 s.d. 9, jarak antara sembarang tempat pada lantai ke tempat
keluar menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui tangga/ramp yang tidak
diisolasi terhadap kebakaran harus tidak melebihi 80 m.

d. Pada bangunan klas 2, 3 atau 9a, tangga/ramp yan tidak diisolasi terhadap
kebakaran harus keluar pada tempat yang tidak lebih dari
i. 15 m dari pintu keluar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
Jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 30 m dan salah satu dari dua pintu atau lorong keluar bila arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.

e. Pada bangunan klas 5 s d. 8 ata u 9b, tangga/ramp yang tidak diisolasi torhadap
kebakaran harus keluar ke tempat yang tidak lebih dari:
i. 20 m dari pintu keluaar yang menyediakan jalan keluar menuju ke jalan atau
ruang terbuka, atau dari lorong yang diisolasi terhadap kebakaran menuju ke
jalan atau ruang terbuka, atau
ii. 40 m dari salah satu dari dua pintu atau lorong keluar: arah tangga/ramp
yang tidak diisolasi terhadap kebakaran berlawanan atau hampir berlawanan
arah.

f. Pada bangunan klas 2 atau 3, bila dua atau lebih pintu keluar disyaratkan dan
disediakan sebagai sarana tangga/ramp yang tidak diisolasi. terhadap kebakaran
dalam bangunan, maka masing-masing pintu keluar tersebut harus :
i menyediakan jalan keluar terpisah menuju ke jalan atau ruang terbuka;
ii. bebas asap.

10. Keluar Melalui Pintu-Pintu Keluar


a. Pintu keluar harus tidak terhalang, dan bila perlu dibuat penghalang untuk
mencegah kendaraan menghalangi jalan keluar atau akses menuju ke pintu keluar
tersebut.
b. Jika pintu keluar yang disyaratkan menuju ke ruang terbuka, lintasan ke arah jalan
harus mempunyai lebar bebas tidak kurang dan 1 m, atau lebar minimum dari
pintu keluar yang disyaratkan, atau mana yang lebih lebar.
c. Jika pintu keluar menuju ke ruang terbuka yang terletak pada ketinggian berbeda
dengan jalan umum yang menghubungkannya, jalur lintasan menuju ke jalan harus
i. berupa ramp atau lereng dengan kemiringan kurang dari 1:8, atau tidak
setinggi 1.14 bila disyaratkan oleh ketentuan Bab. Vl.2.4;
ii. kecuali bila pintu keluar dari bangunan klas 9a, tangga memenuhi ketentuan
dari pedoman ini.
d. Pada bangunan klas 9b, panggung terbuka yang menampung lebih dari 500 orang,
tangga atau ramp yang disyaratkan harus tidak keluar ke arah area di depan
panggung tersebut.

e. Pada bangunan klas 9b dengan auditorium yang menampung lebih dan 500 orang,
tidak lebih dari 2/3 lebar pintu keluar yang disyaratkan harus terletak di area pintu
masuk utama.

11 Pintu Keluar Horisontal.


a. Pintu keluar horisontal bukan merupakan pintu keluar yang disyaratkan apabila:
i. antara unit hunian tunggal;
ii. pada bangunan klas 9b yang digunakan untuk pusat asuhan balita bagunan
SD atau SLTP.

b. Pada bangunan klas 9a, pintu keluar horisontal dapat dianggap sebagai pintu
keluar yang disyaratkan, bila jalur lintasan dari kompartemen kebakaran menuju
ke satu atau lebih pintu keluar horisontal langsung menuju ke kompartemen
kebakaran lainnya, dan mempunyai sedikitnya satu pintu keluar yang disyaratkan
yang bukan pintu keluar horisontal

c. Kasus selain butir b di atas, pintu keluar horisontal harus tidak lebih dari separuh
pintu keluar yang disyaratkan pada lantai yang dipisahkan oleh dinding tahan api

d. Pintu keluar horisontal harus mempunyai area bebas disetiap sisi dinding tahan api
untuk menampung jumlah orang dari seluruh bagian lantai dengan tidak kurang
dari:
i. 2.5 m2 tiap pasien pada bangunan klas 9a, dan
ii. 0,5 m2 tiap orang pada klas bangunan lainnya.

12. Tangga, Ramp Atau Eksalator Yang Tidak Disyaratkan


Eskalator dan tangga/ramp pejalan kaki yang ditetapkan tidak diisolasi terhadap
kebakaran
a. harus tidak digunakan di area perawatan pasien pada bangunan klas 9a
b. dapat menghubungkan sejumlah lantai bangunan bila tangga, ramp atau eskalator
tersebut
i. pada panggung terbuka atau stadion olah raga tertutup;
ii pada area parkir kendaraan atau atrium;
iii. di luar bangunan;
iv. pada bangunan klas 5 atau 6 yang dilengkapi dengan fasilitas sprinkler
menyeluruh, dan eskalator, tangga atau ramp disyaratkan memenuhi
ketentuan butir 12 ini
c. kecuali diijinkan sesuai butir b di atas; tidak harus menghubungkan lebih dari
i. 3 lantai, bila tiap lantai tersebut dilengkapi dengan sprinkler menyeluruh
sesuai ketentuan Bab V.2. 1.c, atau
ii. 2 lantai
dengan ketentuan lantai bangunan tersebut harus berurutan, dan satu dari
lapis lantai tersebut terletak pada ketinggian yang terdapat jalan keluar
langsung ke arah jalan atau ruang terbuka.
d. kecuali bila dijinkan sesuai butir b atau c di atas, harus tidak menghubungkan
secara langsung atau tidak langsung ke lebih dari 2 lapis lantai pada bangunan klas
5, 6, 7, 8 atau 9.

13. Ruang Peralatan Dan Ruang Motor Lift


a. Bila ruang peralatan atau ruang, motor lif mempunyai luasan
i. tidak lebih dari 100 m2, tangga pengait (ladder) dapat dipakai sebagai
pengganti tangga (stairway) dari setiap tempat jalan keluar dari ruangan;
ii. lebih dari 100 m2 dan tidak lebih dari 200 m2, dan bila 2 atau lebih tempat
jalan keluar tersedia dalam ruangan tersebut, tangga pengait dapat dipakai
sebagai pengganti tangga seluruhnya, kecuali satu dari jalan keluar tersebut.
b. Tangga pengait diijinkan menurut (a) di atas, bila:
i. merupakan bagian dari jalan keluar yang tersedia pada tangga yang diisolasi
terhadap kebakaran yang terdapat dalam saf;
ii. dapat keluar pada lantai dan dipertimbangkan sebagai bagian dari jalur
lintasan;
iii. harus memenuhi standar teknis terkait bila untuk ruang peralatan dan untuk
ruang motor lift.

14. Jumlah Orang Yang Ditampung


Jumlah orang yang ditampung dalam satu lantai, ruang atau mesanin harus ditentukan
dengan mempertimbangkan kegunaan atau fungsi bangunan, tata letak lantai tersebut,
dan luas lantai dengan:
a. menghitung total jumlah orang tersebut dengan membagi luas lantai dari tiap lapis
menurut Tabel Vl.2 sesuai jenis penghunian, tidak termasuk area yang dirancang
untuk:
i. lift, tangga, ramp, eskalator, koridor, hall, lobby dan yang sejenis, dan
ii. service duct dan yang sejenis, kompartemen sanitasi atau penggunaan
tambahan, atau
b. mengacu kepada kapasitas tempat duduk di ruang atau bangunan gedung
pertemuan, atau
c. cara lain yang sesuai untuk menilai kapasitasnya.

Tabel VI.2
LUASAN PER-ORANG SESUAI PENGGUNAANNYA (BEBAN PENGHUNIAN)

Jenis Penggunaan m2/orang Jenis Penggunaan m2/orang


Galeri seni, ruang pamer, museum 4 Kantor (pengetikan dan fotokopi) 10
Bar, café, gereja, ruang makan 1 Ruang Perawatan Pasien 10
Ruang pengurus 2 Ruang industri : - ventilasi, listrik, dll 30
Pemondokan/losmen 15 - boiler/sumber tenaga 50
Ruang komputer 25
Ruang sidang pengadilan: r. 10 Ruang baca 2
tunggu 1 Restoran 1
r. sidang 0,5 Sekolah : r. kelas umum 2
Ruang dansa 5 gedung serba guna 1
Asrama 4 ruang staf 10
Pusat Penitipan Balita ruang praktek: SD 4
Pabrik: 5 SLTP bengkel
- r. manufaktur, prosesing , Pertokoan, r. penjualan:
r. kerja, workshop 50 Level langsung dari luar 3
- ruang untuk fabrikasi dan Level lainnya 5
proses selain di atas 30 r. pamer : r. peragaan,mall, arcade 5
Garasi-garasi umum 3 Panggung penonton: darah panggung 0,3
Ruang senam/gymnasium 15 Kursi penonton 1
Hotel, hostel, motel, guest-house 10 R. penyimpanan r. elktrikal, r. telepon 30
Stadion indoor area 1 Kolam renang 1,5
Kios 10 Teater dan Hall 1
Dapur, laboratorium, tempat cuci 2 R. ganti di teater 4
Perpustakaan : - r. baca, 30 Terminal 2
- r penyimpanan Bengkel / workshop : staf pemeliharaan 30
Proses manufaktur pabrik

VI.3 KONSTRUKSI JALAN KELUAR

1. Penerapan
Kecuali ketentuan butir 13 den 16, persyaratan ini tidak berlaku untuk unit
hunian tunggal pada bangunan klas 2 atau 3 atau bagian klas 4.

2. Tangga Dan Ramp Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


Tangga atau ramp yang disyaratkan berada di dalam saf tahan api harus dengan
konstruksi:
a. dari material tidak mudah terbakar;
b. bila terjadi kenusakan setempat tidak merusak struktur yang dapat
melemahkan ketahanan saf terhadap api.

3. Tangga Dan Ramp Yang tidak Diisolasi Terhadap Kebakaran


Untuk bangunan dengan ketinggian lebih dari 2 lantai, tangga dan ramp yang
tidak disyaratkan berada di dalam saf tahan api harus dengan konstruksi sesuai
ketentuan butir 2 diatas, atau dengan konstruksi:
a. beton bertulang atau beton prestressed,
b. baja dengan tebal minimal 6 mm
c. kayu:
i. dengan ketebalan minimal 44 mm setelah finishing
ii. dengan berat jenis rata-rata tidak kurang dari 800 kg/m3 pada
kelembaban 12%
iii. yang direkatkan dengan perekat khusus seperti resorcinol formaldehyde
atau resorcinol phenol formaldehyde

4. Pemisahan tanjakan dan turunan tangga


Bila tangga dipakai sebagai jalan keluar, disyaratkan untuk diisolasi terhadap
kebakaran, dan:
a. harus tidak ada hubungan langsung antara
i. tanjakan tangga dari lantai di bawah lantai dasar ke arah jalan atau ruang
terbuka; dan
ii. turunan tangga dari lantai di atas lantai dasar;
b. setiap konstruksi yang memisahkan tanjakan dan turunan tangga harus tidak
mudah terbakar dan mempunyai TKA minimal 60/60/60.

5. Ramp dan Balkon Akses yang Terbuka


Bila ramp dan balkon akses yang terbuka merupakan bagian dari jalan keluar
yang disyaratkan, maka harus:
a. mempunyai bukaan ventilasi ke udara luar dimana:
i. luas total area bebas minimal seluas ramp atau balkon
ii. tersebar merata sepanjang sisi terbuka ramp atau balkon
b. pada area terbuka dengan ketinggian 1 m tidak tertutup, kecuali dengan grill
atau sejenisnya dengan ruang bebas udara minimal 75% dari area tersebut.

6. Lobby Bebas Asap


Lobby bebas asap yang disyaratkan sesuai Bab VI.2.7 harus:
a. mempunyai luas minimal 6 m2,
b. terpisah dari area hunian dengan dinding kedap asap, di mana:
i. mempunyai TKA minimal 60/60/-;
ii. terbentang antar balok lantai, atau ke bagian bawah langit-langit yang
tahan penjalaran api sampai 60 menit;
iii. setiap sambungan konstruksi antara bagian atas dinding balok lantai,
atap atau langit-langit harus ditutup dengan bahan yang bebas asap;
c. di setiap bukaan dari area hunian, mempunyai pintu bebas asap sesuai
standar teknis yang berlaku, atau terdapat alat sensor asap diletakkan dekat
dengan sisi bukaan;
d. diberi tekanan udara sebagai bagian dari pintu keluar, bila pintu keluar
disyaratkan harus diberi tekanan udara.

7. Instalasi Pada Jalan Keluar Dan Jalur Lintasan


a. Jalan masuk ke saf servis dan lainnya, kecuali ke peralatan pemadam atau
deteksi kebakaran sesuai yang diijinkan dalam pedoman ini, tidak harus
disediakan dari tangga, lorong atau ramp yang diisolasi terhadap kebakaran.
b. Bukaan pada saluran atau duct yang membawa hasil pembakaran yang
panas harus tidak diletakkan di bagian manapun dari jalan keluar yang
disyaratkan, koridor, gang, lobby, atau sejenisnya yang menuju ke jalan
keluar tersebut.
c. Gas atau bahan bakar lainnya harus tidak dipasang di jalan keluar yang
disyaratkan.
d. Peralatan harus tidak dipasang di jalan keluar yang disyaratkan, atau
koridor, gang, lobby atau sejenisnya yang menuju ke jalan keluar tersebut,
bila peralatan dimaksud terdiri atas:
i. meter listrik, panel atau saluran distribusi,
ii. panel atau peralatan distribusi telekomunikasi sentral, dan
iii. motor listrik atau peralatan motor lain dalam bangunan, kecuali
terlindung oleh konstruksi yang tidak mudah terbakar atau tahan api
dengan pintu atau bukaan yang terlindung dari penjalaran asap.

8. Perlindungan Pada Ruang Di Bawah Tangga Dan Ramp


a. Tangga dan ramp tahan api: Bila ruang di bawah tangga atau ramp tahan api
yang disyaratkan berada di dalam saf tahan api, maka bagian tangga atau
ramp tersebut harus tidak tertutup.
b. Tangga dan ramp tidak tahan api: Ruang di bawah tangga atau ramp tidak
tahan api yang disyaratkan (termasuk tangga luar) harusnya tidak tertutup,
kecuali:
i. dinding dan langit-langit sekelilingnya mempunyai TKA minimal
60/60/60
ii. setiap pintu masuk ke ruang tertutup tersebut dilengkapi dengan pintu
tahan api dengan TKA -/60130 yang dapat menutup secara otomatis

9. Lebar Tangga
a. Lebar tangga yang disyaratkan harus:
i. bebas halangan, seperti pegangan rambat (handrail), bagian dari
balustrade, dan sejenisnya,
ii. lebar bebas halangan, kecuali untuk list langit-langit, sampai ketinggian
tidak kurang dari 2 m, vertikal di atas garis sepanjang nosing injakan
tangga atau lantai bordes.
b. Lebar tangga melebihi 2m dianggap mempunysi lebar hanya 2 m, kecuali
dipisahkan oleh balustrade atau pegangan rambat menerus antara lantai
bordes dan lebar masing-masing bagian kurang dari 2 m.

10. Ramp Pejalan Kaki


a. Ramp yang diisolasi terhadap kebakaran dapat menggantikan tangga, bila
konstruksi yang menutup ramp, lebar dan tinggi langit-langit sesuai
persyaratan untuk tangga yang diisolasi terhadap kabakaran.
b. Ramp yang berfungsi sebagai jalan keluar yang disyaratkan harus
mempunyai tinggi tanjakan tidak kurang dari:
i. 1:12 pada area perawatan pasien di bangunan klas 9a
ii. disyaratkan sesuai ketentuan Bab VI.4
iii. 1:8 untuk kasus lainnya
c. Permakaan lantai ramp harus dengan bahan yang tidak licin.

11. Lorong Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


a. Konstruksi lorong yang diisolasi terhadap kebakaran harus dari material
yang tidak mudah terbakar, di mana:
i. Iorong keluar dari tangga atau ramp yang diisolasi terhadap kebakaran,
TKA tidak kurang dari yang disyaratkan untuk saf tangga atau ramp,
ii. pada kasus lain TKA tidak kurang dari 60/60/60.
b. Meskipun dengan ketentuan butir a.ii, konstruksi atas dari lorong yang
diisolasi terhadap kebakaran tidak perlu punya TKA, bila dinding lorong
tersebut merupakan perluasan dari:
i. penutup atap yang tidak mudah terbakar
ii. langit-langit dengan ketahanan terhadap penjalaran api tidak kurang dari
60 menit dan dalam kompartemen kebakaran.

12. Atap Sebagai Ruang Terbuka


Jika pintu keluar menuju ke atap bangunan, atap tersebut harus
a. mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120,
b. tidak terdapat pencahayaan atau bukaan atap iainnya sepanjang 3 m dari
jalur lintasan yang dipakai untuk keluar mencapai jalan atau ruang terbuka.

13. Injakan Dan Tanjakan Tangga


Tangga harus mempunyai:
a. tidak lebih dari 18 atau kurang dari 2 tanjakan;
b. injakan, tanjakan, dan jumlah sesuai standar teknis;
c. injakan dan tanjakan konstan;
d. bukaan antara injakan maksimum 125 mm;
e. ujung injakan dekat nosing diberi finishing yang tidak licin;
f. injakan harus kuat bila tinggi tangga lebih dari 10 m atau menghubungkan
lebih dari 3 lantai.

14. Bordes
a. Bordes tangga dengan maksimum kemiringan 1: 50 dapat digunakan, untuk
mengurangi jumlah tanjakan dan setiap bordes harus:
i. panjangnya tidak kurang dari 550 mm diukur dari tepi dalam bordes,
ii. tepi bordes diberi finishing yang tidak licin.
b. Bangunan klas 9a:
i. Luas bordes harus cukup untuk gerakan usungan yang berukuran
panjang 2 m dan lebar 60 cm,
ii. Sudut arah naik dan turun tangga harus 180°, lebar minimal bordes 1,6
m dan panjangnya minimal 2,7 m.

15. Ambang Pintu


Ambang pintu tidak mengenai anak tangga atau ramp minimal selebar daun
pintu kecuali:
a. ruang perawatan pasien bangunan klas 9a, ambang pintu tidak lebih dan 25
mm di atas ketinggian lantai dimana pintu membuka,
b. kasus lainnya
i. pintu terbuka ke arah jalan atau ruang terbuka, tangga atau balkon luar
ii. ambang pintu tidak lebih dari 190 mm di atas permukaan tanah, balkon
atau yang sejenis dimana pintu membuka.

16. Balustrade
a Balustrade menerus harus tersedia sekeliling atap yang terbuka untuk
umum, tangga, ramp, lantai, koridor, balkon dan sejenisnya, bila:
i. tidak dibatasi dengan dinding,
ii. tinggi lebih dari 1 m di atas lantai atau dibawah muka tanah, kecuali
sekeliling panggung, tempat bongkar muat barang atau tempat lain bagi
staf untuk pemeliharaan.
b. Balustrade pada:
i. tangga/ramp yang diisolasi terhadap kebakaran atau area lain untuk
keadaan darurat, kecuali tangga/ramp luar bangunan, dan
ii. bangunan klas 7 (kecuali tempat parkir) serta klas 8, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
c. Balustrade, tangga, dan ramp di luar ketentuan butir b harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.i.
d. Balustrade sepanjang sisi atau dekat permukaan horisontal seperti:
i. atap, yang tersedia akses untuk umum dan jalur masuk ke bangunan,
ii. lantai, koridor, balkon, lorong, mesanin dan sejenisnya, harus mengikuti
ketentuan butir f dan g.ii.
e. Balustrade atau penghalang lain di depan tempat duduk permanen pada
balkon atau mesanin auditorium bangunan klas 9b harus sesuai ketentuan
f.iii dan g.ii.
f. Tinggi balustrade:
i. minimal 865 mm di atas nosing injakan tangga atau lantai ramp
ii. tidak kurang dari 1 m di atas lantai akses masuk, balkon dan sejenisnya,
iii. Balustrade sesuai ketentuan butir e, tinggi di atas lantai tidak kurang
dari 1m, atau 700 mm bila tonjolan keluar dari bagian atas balustrade
diproyeksikan mendatar tidak kurang dari 1 m.
g. Bukaan pada balustrade memenuhi ketentuan butir b, bila dibuat sesuai
i. Jarak antara lebar bukaan tidak lebih dari 300 mm
ii. Bila menggunakan jeruji, tinggi jeruji tidak lebih dan 150 mm di atas
nosing injakan tangga atau lantai bordes, balkon atau sejenisnya dan
jarak antar jeruji tidak lebih dari 460 mm.

17. Pegangan Rambat Pada Tangga


a. Pegangan rambat harus tersedia untuk membantu orang agar aman
menggunakan tangga atau ramp.
b. Pegangan rambat memenuhi ketentuan butir a tersebut bila:
i. sedikitnya dipasang sepanjang satu sisi ramp/tangga
ii dipasang pada dua sisi bila lebar tangga/ramp 2 m atau lebih
iii. bangunan klas 9b untuk sekolah dasar, dipasang permanen dengan
tinggi minimal 865 mm dengan jeruji pendukung permanen setinggi
minimal 700 mm.
c. Pada bangunan klas 9a harus tersedia sedikitnya sepanjang satu sisi dari
setiap lorong atau koridor yang digunakan oleh pasien, dan harus:
i. permanen sedikitnya 50 mm dari dinding
ii. dibuat menerus

18. Pintu
Sebagai pintu keluar yang disyaratkan:
a. bukan pintu berputar
b. bukan pintu gulung,
i. kecuali dipasang pada bangunan atau bagian bangunan klas 6, 7, 8
dengan luas lantai tidak lebih dari 200 m2,
ii. merupakan satu-satunya pintu keluar yang disyaratkan dalam bangunan
c. bukan pintu sorong, kecuali:
i membuka secara langsung ke arah jalan atau ruang terbuka
ii. pintu dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dari 110 N.
d. bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik:
i. harus dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dan 110 N.
bila terjadi kerusakan atau tidak berfungsinya tenaga listrik
ii. membuka langsung ke arah jalan atau ruang terbuka harus dapat
membuka secara otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik, alarm
kebakaran dan lainnya.

19. Pintu Ayun


a. Tidak mengganggu lebih dari 500 mm pada lebar yang disyaratkan dari
tangga, lorong atau ramp, termasuk bordes.
b. Bila terbuka sempurna, lebih dari 100 mm pada lebar pintu keluar yang
disyaratkan.
c. Ayunan harus searah akses keluar, kecuali:
i. melayani bangunan atau bagian bangunan dengan luas tidak lebih dari
200 m2, merupakan satu-satunya pintu keluar dari bangunan dan
dipasang alat pegangan pada posisi membuka,
ii. melayani kompartemen saniter.

20. Pengoperasian Gerendel Pintu


Pintu yang disyaratkan sebagai lintasan, bagian atau jalan keluar harus siap
dibuka tanpa kunci dari sisi dalam dengan satu tangan, dengan mendorong alat
yang dipasang pada ketinggian antara 0,9 - 1,2 m dari lantai, kecuali bila:
a. melayani komponen sanitasi atau sejenisnya,
b. hanya melayani:
i. unit hunian tunggal pada bangunan klas 2, 3, atau bagian klas 4,
ii. unit hunian tunggal dengan luas area tidak lebih dari 200 m2 pada
bangunan klas 5, 6, 7, atau 8,
iii. ruangan yang tidak aksesibel sepanjang waktu bila pintu terkunci.
c. melayani hunian yang perlu pengamanan khusus dan dapat segera dibuka:
i. dengan mengoperasikan alat pengontrol untuk mengaktifkan alat untuk
membuka pintu,
ii. dengan tangan, khususnya oleh pemilik, sehingga orang dalam
bangunan segera dapat menyelamatkan diri bila terjadi kebakaran atau
keadaan darurat lainnya.
d. melayani lantai atau ruang yang menampung lebih dari 100 orang, pada
bangunan klas 9b, kecuali bangunan sekolah, panti asuhan balita atau
bangunan keagamaan.

21. Masuk Dari Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran


Pintu harus tidak terkunci dari dalam tangga/ramp/lorong yang diisolasi
terhadap kebakaran untuk melindungi orang yang masuk kembali ke lantai atau
ruang yang dilayani pada
a. bangunan klas 9a
b. bangunan dengan tinggi efektif lebih 25 m, kecuali semua pintu secara
otomatis terkunci dengan alat yang mengaktifkan alarm kebakaran, dan
i. sedikitnya setiap 4 tingkat terdapat pintu tidak terkunci dan terdapat
rambu permanen bahwa dapat dilalui;
ii. tersedia sistem komunikasi internal, sistem audibel/visual alarm yang
droperasikan dari dalam ruangan khusus dekat pintu, dan juga rambu
permanen tentang cara mengoperasikannya.

22. Rambu Pada Pintu


a. Rambu, untuk memberi tanda pada orang bahwa pintu tertentu harus tidak
dihalangi, dipasang ditempat yang mudah dilihat atau dekat dengan
pintu-pintu tahan api dan asap.
b. Rambu tersebut harus dibuat dengan huruf kapital minimal tinggi huruf 20
mm, warna kontras dan menyatakan bahwa pintu jangan dihalangi.

VI.4 AKSES BAGI PENYANDANG CACAT

1. Untuk bangunan yang digunakan untuk pelayanan umum harus dilengkapi


dengan fasilitas yang memberikan kemudahan akses dan sirkulasi bagi semua
orang, termasuk penyandang cacat.

2. Ketentuan-ketentuan teknis lebih lanjut mengenai akses bagi penyandang cacat


pada butir a di atas mengikuti Pedoman Teknis Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan.
VII. TRANSPORTASI DALAM GEDUNG

VII. 1 LIF

1. Kapasitas Lif

a. Kapasitas angkut yang dinyatakan dalam izin, harus menjadi kapasitas


angkut dari lif dimaksud.
b. Kapasitas angkut lif penumpang yang diizinkan, harus tertulis pada sangkar
dan dinyatakan dalam jumlah orang yang dapat diangkut.
c. Kapasitas angkut lif barang yang diizinkan, harus tertulis dalam sangkar dan
dinyatakan dalam Kg.
d. Jumlah dan kapasitas lif harus mampu melakukan pelayanan yang optimal
untak sirkulasi vertikal pada bangunan.
e. Waktu tunggu lif, harus disesuaikan dengan standar teknis yang berlaku.

2. Lift Kebakaran

a. Lif kebakaran dapat berupa lif penumpang biasa atau lif barang yang dapat
diatur, sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh
petuugas Kebakaran, tanpa terganggu oleh sakelar panggil lainnya.
b. Persyaratan teknis dari lif yang digunakan sebagai lif kebakaran harus
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
c. Untuk mengubah fungsi lif penumpang atau lif barang menjadi lif
kebakaran, harus dengan cara menekan sakelar kebakaran (Fire Switch)
terlebih dahulu.
d. Kecepatan dan ukuran sangkar lif kebakaran disesuaikan dengan standar
teknis yang berlaku.
e. Pintu saf lif kebakaran harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang
berlaku di Indonesia.
f. Lif kebakaran harus dapat berhenti di setiap lantai.
g. Sumber daya listrik untuk lif kebakaran harus direncanakan dari sumber
yang berbeda, dan menggunakan kabel tahan api.

3. Peringatan Terhadap Pengguna Lif Pada Saat Terjadi Kebakaran

Tanda peringatan harus:


a. dipasang ditempat yang mudah terbaca:
i. dekat setiap tombol panggil untuk lif penumpang atau kelompok dari lif
ada bangunan, kecuali
ii. lif kecil seperti dumb waiter atau sejenisnya yang digunakan untuk
mengangkut hanya barang-barang,
DILARANG MENGGUNAKAN LIF
BILA TERJADI KEBAKARAN

ATAU

10 mm
Dilarang menggunakan Lif
bila terjadi Kebakaran

8 mm
Gambar VII. 1
Tanda Peringatan Lif Penumpang

b. sesuai dengan detail dan dimensi minimum seperti pada gambar Vll. 1, dan
terdiri dari
i. huruf yang diukir, ditatah atau huruf timbul pada logam, kayu, plastic
atau sejenisnya dan dipasang tetap didinding, atau
ii huruf yang diukir atau ditatah langsung dipermukaan bahan dinding
iii. bila diperlukan, dengan penampilan khusus sehingga dapat terbaca
pada keadaan gelap atau sewaktu terjadi kebakaran.

4. Lif Untuk Rumah Sakit

a. Satu atau beberapa lif harus di pasang sebagai lif pasien untuk melayani
setiap lantai dalam bangunan yang tidak menggunakan ramp, misalnya
bangunan Kelas 9a, yang ruang rawat pasiennya tidak berada di lantai
b. Lif pasien yang dibutuhkan pada butir a, harus:
i. berukuran cukup untuk meletakkan fasilitas kereta dorong ( wheel
strecther) secara horisontal
ii. Lif yang melayani ruang rawat pasien dihubungkan juga ke sistem
tenaga listrik cadangan, dan
iii. Mempunyai kapasitas beban tidak kurang dari 600 Kg.

5. Sangkar Lif

Sangkar pada setiap lif harus dilengkapi dengan peralatan tanda bahaya yang
dapat dioperasikan dari dalam sangkar, berupa bel listrik, telepon, atau alat-alat
lainnya yang dipasang dalam gedung ditempat yang mudah didengar oleh
pengelola bangunan gedung yang bersangkutan.

6. Saf Lif

a. Dalam saf lif dilarang memasang pipa atau peralatan lain yang tidak
merupakan bagian dari instalasi lif.
b. Untuk saf lif yang menerus dan tidak memiliki pintu keluar pada setiap
lantainya, setiap 3 lantai harus memiliki bukaan untuk digunakan dalam
kondisi darurat,
7. Mesin Lif Dan Ruang Mesin Lif

a. Bangunan ruang mesin lif harus kuat dan kedap air serta berventilasi
cukup. Ruang mesin harus mempunyai sirkulasi udara, untuk
mempertahankan suhu udara dan panas dari peralatan mesin.
b. Minimum satu jalan keluar harus dibuat pada setiap nuang mesin lif.
c. Balok, lantai dan penyangga di Ruang mesin harus di rencanakan dengan
memenuhi:
i. Beban balok dan penyangga harus sudah termasuk beban mesin lif,
motor generator, panel kontrol, governor dan peralatan lain, termasuk
lantai ruang mesin.
ii. Dua kali jumlah beban komponen yang bergerak vertikal dari tromol
(dihitung dari dua sisi), atau dihubungkan ke tali yang disangga oleh
balok, dengan beban sangkar lif.
iii. Beban diperhitungkan pada saat bandul mekanis governor) bekerja.
d. Jika mesin lif dan tali diempatkan di lantai bawah, atau disamping ruang
luncur di lantai bawah, pondasi untuk mesin, tromol, dan penyangga harus
direncanakan sesuai beban dibawah ini:
i. Pondasi harus menyangga berat mesin, tromol tali, peralatan lain dan
lantai diatasnya.
ii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada arah tegak.
iii. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali baban berat
pada arah sejajar.
iv. Balok penahan tali dan pondasi harus dihitung dua kali beban berat
pada semua arah gaya

8. Instalasi Listrik
a. Semua hantaran listrik harus dipasang dalam pipa atau saluran kabel (duct)
kecuali hantaran lemas (fleksibel) yang khusus.
b. Instalasi listrik untuk lif harus dilengkapi dengan pengaman harus lebih
atau sakelar otomatis.
c. Semua bagian logam dari lif pada keadaan bekerja normal tidak boleh
bertegangan.

9. Pemeriksaan, Pengujian Dan Pemeliharaan


a. Instalasi lif yang telah selesai dipasang atau yang telah mengalami
perubahan teknis, sebelum dioperasikan harus diperiksa dan diuji terlebih
dahulu oleh instansi yang berwenang.
b. Prosedur pemeriksaan, pengujian dan pemeliharaan instalasi lif sesuai
dengan SNI 03-1718-1989 dan SNI 03-2190-1991.

Vll.2 TANGGA DAN LANTAI BERJALAN

Persyaratan Teknis tangga dan lantai berjalan harus mengikuti pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
VIII. PENCAHAYAAN DARURAT, TANDA ARAH KELUAR,
DAN SISTEM PERINGATAN BAHAYA

VIII.1 SISTEM PENCAHAYAAN DARURAT

1. Sistem lampu darurat dipasang pada:

a jalan lintas.
b. ruang yang mempunyai luas lebih dari 300 m2,
c ruangan yang mempunyai luas lebih dari 100 m2 tetapi kurang 300 m2
yang terbuka:
i. ke koridor, atau
ii ke ruang yang mempunyai lampu darurat, atau
iii. ke jalan raya, atau
iv. ke ruang terbuka.
d. bangunan kelas 2 atau 3, dan pada setiap jalan lintas yang mempunyai
panjang lebih dari 6 meter diberikan sistem lampu darurat;
e. bangunan kelas 9a, yaitu pada:
i. setiap lorong, koridor, hall, atau sejenisnya yang digunakan pasien.
ii. setiap ruang dengan luas lantai lebih dari 120 m2 yang digunakan
pasien

2. Setiap lampu darurat, harus:


a. bekerja secara otomatis
b. mempunyai tigkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman,
c. jika menggunakan sistem terpusat, catu daya cadangan dan kontrol
otomatisnya harus dilindungi daari kerusakan karena api dengan
konstsruksi penutup yang mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/60.

3. Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku.

VIII.2 TANDA ARAH KELUAR

1. Setiap tanda “KELUAR” dibutuhkan, harus :

a. Jelas, mudah dibaca, mempunyai huruf dan simbol dengan ukuran yang
cukup
b diterangi dengan pencahayaan cukup sehingga jelas terbaca setiap waktu
oleh orang yang masuk dan berada di dalam bangunan,
c. dipasang sehingga jika tenaga listrik normal terganggu, pencahayaan
darurat digunakan pada tanda KELUAR.

2. Tanda KELUAR harus jelas kelihatan untuk orang yang menuju keluar, dan
harus dipasang diatas atau di dekat setiap:
a. Pintu yang digunakan untuk jalan keluar dari setiap lantai keluar
i. tangga yang tertutup, lorong, atau ramp yang digunakan untuk
ii tangga luar, lorong atau ramp yang digunakan untuk Keluar
iii. jalan keluar di balkon yang menuju Keluar.
b. Pintu dari tangga tertutup, lorong, atau ramp pada setiap tingkat yang
menuju Jalan raya atau ruang terbuka, dan:
c. Jalan keluar horisontal, dan:
d. Pintu yang digunakan sebagai atau merupakan bagian dari jalan KELUAR"
pada setiap lantai yang harus dilengkapi dengan lampu darurat sesuai
VIII.1

3. Jika tanda “KELUAR" tidak segera diketahui oleh penghuni atau pengunjung
bangunan, maka tanda Keluar dengan arah panah harus dipasang pada posisi
yang tepat di koridor, hall, lobi, atau sejenisnya yang menunjukkan arah keluar
yang disyaratkan.

VIII.3 SISTEM PERINGATAN BAHAYA

Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal mengacu pada standar yang
berlaku dan harus dipasang pada:

1. Bangunan dengan ketinggian lebih dari 25 m

2. Bangunan Kelas 2 yang mempunyai ketinggian lantai lebih dari dua lapis dan
a. bagian rumah dari sekolahan,
b. akomodasi untuk orang tua, anak-anak, atau orang cacat.

3. Bangunan kelas 2 sebagai rumah perawatan orang tua, kecuali bila sistemnya
a. langsung memberikan peringatan pada petugas, atau
b. sistem alarm diatur volume dan isi pesannya untuk meminimalkan
kepanikan dan trauma, sesuai dengan tipe dan kondisi penghuni.

4. Bangunan Kelas 9a yang mempunyai luas lantai lebih dari 1000 m2 atau
ketinggian lantai lebih dari dua:
a. sistemnya harus diatur memberikan peringatan pada petugas
b. di daerah bangsal perawatan, sistem alarm dapat diatur volume dan isi
pesannya untuk meminimalkan kepanikan sesuai dengan tipe dan kondisi
pasien

5. Bangunan Kelas 9b
a. untuk sekolah, mempunyai ketinggian lantai tidak lebih dari tiga
b. untuk gedung pertunjukan, hall umum, atau sejenisnya, yang mempunyai
luas lantai lebih dari 1000 m2 atau ketinggian lantai lebih dari dua.
IX. INSTALASI LISTRIK, PENANGKAL PETIR DAN
KOMUNIKASI DALAM GEDUNG

IX.1 INSTALASI LISTRIK

1. Perencanaan Instalasi Listrik


Instalasi listrik harus memenuhi ketantuan:
a. Sistem instalasi listrik terdiri dari sumber daya, jaringan distribusi, papan
hubung bagi dan beban listrik. Sistem instalasi listrik dan penempatannya
harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan
merugikan bagi manusia, lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lainnya.
b. Kecuali untuk hal-hal yang dianggap khusus atau yang tidak disebutkan,
maka segala sesuatu yang bersangkutan dengan instalasi dan perlengkapan
listrik harus sesuai dengan buku Peraturan Umum Instalasi Listrik dan
SNI-0225 yang berlaku. Untuk hal-hal yang belum dicakup atau tidak disebut
dalam PUIL, dapat menggunakan ketentuan/ standar dari negara lain atau
badan international, sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku.
c. Sistem tegangan rendah dalam gedung adalah 220/380 volt, dengan frekuensi
50 Hertz. Sistem tegangan menengah dalam gedung adalah 20 kV atau
kurang, dengan frekuensi 50 Hertz.
d. Semua peralatan listrik diantaranya penghantar, papan hubung bagi dan
isinya , transformator dan peralatan lainnya, tidak boleh dibebani melebihi
batas kemampuannya
e. Dalam menentukan tipe peralatan yang dipakai untuk instalasi listrik harus
kuat harus diperhatikan bahaya kebakaran yang mungkin dapat terjadi dan
kerusakan yang mungkin terjadi akibat kebakaran.

2. Jaringan Distribusi Listrik


a. Jaringan distribusi listrik terdiri dari kabel dengan inti tunggal atau banyak
dan busduct dari berbagai tipe, ukuran dan kemampuan. Tipe dari kabel harus
disesuaikan dengan sistem yang dilayani.
b. Peralatan pada papan hubung bagi seperti sakelar, tombol, alat ukur, dan
lain-lain harus ditempatkan dengan baik sehingga memudahkan
pengoperasiannya oleh petugas.
c. Jaringan yang melayani beban penting, seperti pompa kebakaran, lif
kebakaran, peralatan pengendali asap, sistem deteksi dan alarm kebakaran,
sistem komunikasi darurat, dan beban penting lainnya harus terpisah dari
instalasi beban lainnya, dan dilindungi terhadap kebakaran atau terdiri dari
penghantar tahan api.
3. Beban Listrik
Beban maksimum suatu instalasi listrik arus kuat harus dihitung dengan
memperhatikan besarnya beban terpasang, faktor kebersamaan (coincident factor)
atau faktor ketidak bersamaan (diversity factor).

4. Sumber Daya Listrik


a. Sumber daya utama gedung harus menggunakan tenaga listrik dari
Perusahaan Listrik Negara.
b. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada butir 1 di atas tidak
momungkinkan, dengan ijin instansi yang bersangkutan, sumber daya utama
dapat menggunakan sistem pembangkit tenaga sendiri, yang penempatannya
harus aman dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan serta harus
mengikuti standar dan atau nomalisasi dari peraturan yang berlaku, di
antaranya Peraturan Umum Instalasi Listrik dan SNI-0225 yang berlaku.
c. Bangunan dan ruang khusus yang pelayanan daya listrik tidak boleh putus,
harus memiliki pembangkit tenaga cadangan yang dayanya dapat memenuhi
kelangsungan pelayanan dari seluruh atau sebagian dari bangunan atau ruang
khusus tersebut.
d. Sistem instalasi listrik pada bangunan gedung tinggi dan bangunan umum
harus memiliki sumber daya listrik darurat yang mampu melayani
kelangsungan pelayanan seluruh atau sebagian beban pada gedung apabila
tajadi gangguan sumber utama.
e. Sumber daya listrik darurat yang digunakan harus mampu melayani semua
beban penting yang disebut dalam butir 3, secara otomatis.
f. Instalasi dan peralatan listrik yang dipasang harus mempertimbangkan dan
diamankan terhadap dampak seperti interferensi golombang elektromanetik
dan lain-lain.
g. Beban dan peralatan listrik yang dipasang harus mempertimbangkan hal-hal
yang menyangkut konservasi energi dan lain-lain.

5. Transformator Distribusi
a. Transformator distribusi yang berada dalam gedung harus ditempatkan dalam
ruangan khusus yang tahan api dan terdiri dari dinding, atap dan lantai yang
kokoh, dengan pintu yang hanya dapat dimasuki oleh petugas.
b. Ruangan trafo harus diberi ventilasi yang cukup, dengan ruangan yang cukup
untuk perawatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Umum Instalasi Listrik
dan SNI-0225 yang berlaku.
c. Bila ruang transformator dekat dengan ruang yang rawan kebakaran maka
diharuskan mempergunakan transformator tipe kering.

6. Pemeriksaan Dan Pengujian


Instalasi listrik yang dipasang, sebelum dipergunakan, harus terlebih dahulu
diperiksa dan diuji mengikuti prosedur dan peraturan yang berlaku.
7. Pemeliharaan
a. Pada ruang panel hubung bagi, harus terdapat ruang yang cukup untuk
memudahkan pemeriksaan, perbaikan dan pelayanan, serta diberi ventilasi
cukup.
b. Pemeliharaan instalasi listrik harus dilaksanakan dan diperiksa setiap lima
tahun serta dilaporkan secara tertulis kepada instansi yang berwenang
c. Pembangkit tenaga listrik darurat secara periodik harus dihidupkan untuk
menjamin agar pembangkit tersebut dapat dioperasikan bila diperlukan.

IX.2 INSTALASI PENANGKAL PETIR

1. Perencanaan Penangkal Petir


a. Setiap bangunan atau yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk dan
penggunaannya diperhitungkan mempunyai risiko terkena sambaran petir,
harus diberi instalasi penangkal petir.
b. Pemasangan penangkal petir harus diperhitungkan berdasarkan standar,
normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku, antara lain SNI-3990
tentang Tata Cara Instalasi Penangkal Petir Untuk Bangunan dan SNI-3991
tentang Tata Cara Instalasi Penyalur Petir. Ha-hal yang belum diatur didalam
peraturan tersebut diatas baik yang menyangkut perhitungan maupun
peralatan dan instalasinya, harus mengacu pada rekomendasi dari badan
International seperti IEC.

2. Instalasi Penangkal Petir


a. Suatu instalasi penangkal petir harus dapat melindungi semua bagian dari
bangunan, termasuk manusia yang ada di dalamnya, dan instalasi lainnya,
terhadap bahaya sambaran petir.
b. Pemasangan instalasi penangkal petir pada bangunan, harus memperhatikan
arsitektur bangunan, tanpa mengurangi nilai perlindungan yang efektif
terhadap sambaran petir.
c. Instalasi penangkal petir harus disesuaikan dengan adanya perluasan atau
penambahan bangunan.

3. Pemeriksaan dan Pemeliharaan


a. instalasi penangkal petir harus diperiksa dan dipelihara secara berkala.
b. Apabila terjadi sambaran pada instalasi penangkal petir, harus diadakan
pemeriksaan dari bagian-bagiannya dan harus segera dilaksanakan perbaikan
terhadap bangunan, bagian atau peralatan dan perlengkapan bangunan yang
mengalami kerusakan.

IX.3 INSTANSI KOMUNIKASI DALAM GEDUNG.

1. Perencanaan Komunikasi dalam Gedung


a. Sistem instalasi komunikasi telepon dan tata gedung dan penempatannya
harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan
merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta direncanakan
dan dilaksanakan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan yang
berlaku.
b. Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi dampak, dan
harus diamankan terhadap gangguan seperti interferensi gelombang elektro
magnetik, dan lain-lain.

c. Secara berkala dilakukan pengukuran/ pengujian terhadap EMC (Electro


Magnetic Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap EMC
melampaui ambang batas yang ditentukan, maka langkah penanggulangan dan
pengamanan harus dilakukan.

2. Instalasi Telpon
a. Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi Persyaratan:
i. Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air,
aman dan mudah dikerjakan.
ii. Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke dalam
gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80m.
iii. Dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan jalan
besar.
b. Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak
0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Ruang PABX dan TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
i. Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan
tidak boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan
untuk tempat peralatan.
ii. Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas.
iii. Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
d. Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan
lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan tidak boleh kena sinar matahari
langsung.

3. Instalasi Tata Suara


a. Setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas, harus dipasang
sistem tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman
dan instruksi apabila terjadi kebakaran.
b. Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir a
diatas harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara
umum rusak, maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja.
c. Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya dan
dilindungi terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api.
X. INSTALASI GAS

X.1 INSTALASI GAS PEMBAKARAN

1. Jenis Gas
Jenis gas pembakaran yang dimaksud meliputi:
a. Gas Kota
Gas kota yang dipakai umumnya berupa gas alam (natural gas), yang terdiri
dari kandungan methane (CH4) dan ethane (C2He ). Ketentuan teknis dari gas
ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.
b. Gas elpiji (LPG = Liquefied Petroleum Gasses).
Gas elpiji, terdiri dari propane (C3H8) dan Butane (C4H10). Ketentuan teknis
dari gas ini mengikuti standar yang dikeluarkan oleh pemasok gas tersebut.

2. Jaringan Distribusi Gas Kota


a. Rancangan sistem distribusi gas pembakaran, pemilihan bahan dan
konstruksinya disesuaikan dengan penggunaannya.
b. Instalasi pemipaan untuk rumah dan gedung (mulai dari meter-gas)mengikuti
peraturan yang berlaku dari instansi yang berwenang, atau ketentuan lainnya
sepanjang tidak bertentangan.
c. Ukuran pipa gas harus mencukupi dan dipasang untuk melayani pasokan gas
dalam rangka memenuhi kebutuhan maksimum tanpa terlalu banyak kerugian
tekanan antara meter-gas dan peralatan-peralatan pengguna gas, serta
mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
i. Kerugian tekanan yang diperbolehkan dari meter-gas ke peralatan
ii. Konsumsi gas maksimum yang perlu disediakan.
iii. Panjang pipa dan jumlah sambungan.
iv. Berat jenis dari gas.
v. Faktor diversifikasi (diversity factor).
vi. Pada instalasi gas untuk pembakaran, harus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk mengetahui kebocoran gas yang secara otomatis
mematikan aliran gas.

3. Pemeriksaan dan Pengujian


Instalasi gas beserta kelengkapannya harus diperiksa dan diuji sebelum digunakan
dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan yang
berlaku, serta merupakan bagian pertimbangan keandalan bangunan.

X.2 INSTALASI GAS MEDIK

1. Jenis Gas
Jenis gas medik yang dimaksud, adalah :
a. Gas oxigen
b. Gas nitrous Oxida (N2O)
c. Udara tekan
d. Vakum

2. Jaringan Distribusi Gas Medik


a. Rancangan sistem distribusi gas medik, pemilihan bahan dan kontruksinya
disesuaikan dengan penggunaannya.
b. Instalasi pemipaan untuk bangunan gedung mengikuti peraturan yang berlaku
dari instansi yang berwenang, atau ketentuan lainnya sepanjang tidak
bertentangan.
c. Pada instalasi pipa gas medik harus dilengkapi dengan biofilter, khususnya
untuk instalasi pipa oksigen, pipa Nitrous Oxida dan pipa udara tekan.
d. Pada instalasi gas medik harus dilengkap peralatan khusus untuk mengetahui
kebocoran gas dan dilengkapi dengan sistem isyarat tanda kebocoran gas.
e. Kebutuhan gas medik garus disesuaikan dengan kebutuhan untuk asien rawat
inap dan kebutuhan lain, seperti untuk ruang bedah orthopedi, peralatan rawat
gigi dan sebagainya.

3. Pemeriksaan dan Pengujian


Instalasi gas beserta kelengkapannya harus diperiksa dan diuji sebelum digunakan
dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang
XI. SANITASI DALAM GEDUNG

XI.1. SISTEM PLAMBING

1. Perencanaan Sistem Plambing

a. Setiap pembangunan baru dan atau perluasan bangunan harus diperlengkapi


dengan sistem plambing, meliputi sistem air bersih, sistem air kotor dan alat
plambing yang memadai.

b. Sistem plambing harus direncanakan dan dipasang sedemikian rupa sehingga


mudah dalam operasional dan pemeliharaannya, tidak mengganggu
lingkungan, serta diperhitungkan berdasarkan standar, petunjuk teknik, dan
Pedoman Plambing Indonesia yang berlaku.

2. Sistem Penyediaan Air Bersih

a. Kebutuhan air bersih untuk perumahan berkisar antara 60-250


liter/orang/hari, sedangkan untuk kelas bangunan lainnya disesuaikan dengan
standar kebutuhan air bersih yang berlaku di Indonesia.

b. Sumber air bersih pada bangunan harus diperoleh dari sumber air PAM
(Perusahaan Air Minum), dan apabila sumber air bukan dari PAM, sebelum
digunakan harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.

c. Kualitas air bersih yang dialirkan ke alat plambing dan perlengkapan


plambing harus memenuhi standar kualitas air minum yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.

d. Sistem distribusi air harus direncanakan sehingga dengan kapasitas dan


tekanan air yang minimal, alat plambing dapat bekerja dengan baik.

e. Apabila kapasitas dan atau tekanan sumber yang digunakan tidak memenuhi
kapasitas dan tekanan minimal pada titik pengaturan keluar, maka harus
dipasang sistem tanki persediaan air dan pompa yang direncanakan dan
ditempatkan sehingga dapat memberikan kapasitas dan tekanan yang
optimal.

f. Bangunan yang dilengkapi dengan sistem penyediaan air panas, dimana pipa
pembawa air panas dari sumber air panas ke alat plambing cukup panjang,
maka harus dilengkapi dengan pipa sirkulasi. Pipa pembawa air panas yang
cukup panjang tersebut harus dilapisi dengan bahan isolasi.

g. Temperatur air panas yang keluar dari alat plambing harus diatur,
maksimum 60° C, kecuali untuk penggunaan khusus.
h. Bahan pipa yang digunakan dapat berupa PVC, PE (poli-etilena), besi lapis
galvanis atau Tembaga, mampu menahan tekanan sekurang-kurangnya 2 kali
tekanan kerja, tidak mengandung bahan beracun dan pemasangannya harus
sesuai dengan petunjuk teknis bahan pipa yang bersangkutan.

i. Semua sistem pelayanan air bersih harus direncanakan, dipasang dan


dipelihara sedemikian rupa sehingga tidak mudah rusak dan tidak
terkontaminasi dari bahan yang dapat memperburuk kualitas air bersih.

j. Diameter pipa sambungan pelanggan dari jaringan pipa distribusi kota harus
disesuaikan dengan kelas bangunan.

3. Sistem Pembuangan Air Kotor

a. Pada dasarnya air kotor berasal dari aktivitas manusia, baik tempat mandi
cuci, kakus maupun kegiatan lainnya.

b. Semua air kotor harus diolah sebelum dibuang ke saluran air kotor umum
kota atau disalurkan ke bangunan pengolahan air kotor komunal bila
tersedia.

c. Air kotor yang mengandung bahan buangan berbahaya dan beracun, serta
yang mengandung radioaktif, harus ditangani secara khusus, sesuai peraturan
yang berlaku di Indonesia.

d. Sistem pengaliran air kotor direncanakan dengan menggunakan saluran


tertutup dan kemiringan tertentu, sehingga dapat mengalirkan air kotor
secara gravitasi. Apabila cara gravitasi ini tidak dapat dilaksanakan, maka
dapat menggunakan sistem perpompaan.

e. Saluran air kotor dapat benupa pipa atau saluran lainnya, baik dari bahan
PVC, PE, tanah liat, beton, tembaga, besi tuang, baja maupun bahan lainnya
yang tidak mudah rusak, tahan terhadap karat dan panas.

f. Pemilihan bahan dan pemasangan saluran harus disesuaikan dengan


penggunaannya dan sifat cairan yang akan dialirkan, sesuai dengan petunjuk
teknis dari bahan pipa yang bersangkutan dan ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku di Indonesia.

g. Penentuan diameter saluran dibuat seekonomis mungkin sesuai dengan


kapasitas dan bahan buangan yang akan dialirkan.

h. Sistem air kotor didalam bangunan harus dilengkapi dengan pipa ven untuk
menetralisir tekanan udara didalam saluran tersebut.

i. Pemeliharaan sistem air kotor dilakukan secara berkala untuk mencegah


terjadinya penyumbatan, karat dan kebocoran.
4. Alat Plambing

a. Jumlah dan jenis alat plambing serta perlengkapannya harus disediakan


sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya.

b. Bahan alat plambing harus mempunyai permukaan yang halus dan rapat air,
tahan lama untuk digunakan, babas dari kerusakan dan tidak mempunyai
bagian kotor yang tersembunyi.

c. Semua alat plambing harus direncanakan dan dipasang sehingga memenuhi


aspek kebersihan, kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni bangunan.

d. Pipa pembuangan dari alat plambing yang digunakan untuk menyimpan atau
mengolah makanan, minuman bahan steril atau bahan sejenis lainnya, harus
dilengkapi dengan celah udara yang cukup untuk mencegah kemungkinan
terjadinya kontaminasi.

e. Peralatan plambing yang mengalirkan air bersih ke tempat-tempat yang dapat


menimbulkan pencemaran, harus dilengkapi dengan alat pencegah
kontaminasi, seperti katup penahan aliran balik dan katup pencegah atau
pemutus vakum.

f. Pada pipa penyaluran air kotor dari alat plambing yang mungkin menerima
buangan mengandung minyak atau lemak, harus dilengkapi dengan alat
perangkap minyak dan lemak.

g. Pemeliharaan semua alat plambing, harus dilakukan secara berkala untuk


menjamin kebersihan dan bekerjanya alat tersebut dengan baik.

5. Tangki Penyediaan Air Bersih

a. Fungsi tangki penyediaan air bersih adalah untuk menyimpan cadangan air
bersih untuk kebutuhan penghuni, perlengkapan bangunan, penanggulangan
kebakaran dan pengaturan tekanan air.

b. Tangki penyediaan air bersih harus direncanakan dan dipasang untuk


penyediakan air dengan kuantitas dan tekanan yang cukup, tidak
mengganggu struktur bangunan dan memberikan kemudahan pengoperasian
dan pemeliharaan.

c. Konstnuksi dan bahan tanki penyediaan air bersih harus cukup kuat dan tidak
mudah rusak. Bahan tangki dapat berupa beton, baja, fiberglass dan kayu.

d. Apabila tangki penyediaan air bersih menggunakan bahan lapisan untuk


mencegah kebocoran dan karat, bahan tersebut tidak boleh memperburuk
kualitas air bersih.

e. Tangki penyediaan air bersih harus diiengkapi dengan sistem perpipaan dan
perlengkapannya yang terdiri dari pipa masuk dan pipa keluar, pipa peluap,
pipa penguras dan pipa ven, serta dilengkapi dengan 1ubang pemeriksa.
6. Pompa

a. Fungsi pompa air bersih adalah memberikan kapasitas dan tekanan yang
cukup pada sistem penyediaan air bersih atau menyalurkan air ke tanki
penyediaan air bersih. Fungsi pompa air kotor adalah menyalurkan air kotor
ke saluran air kotor umum Kota atau ke bangunan pengolahan air kotor
lainnya.

b. Pemilihan jenis pompa dan motor pompa disesuaikan dengan karakteristik


pompa yang dibutuhkan dan mempunyai effsiensi yang maksimal.

c. Pompa harus dipasang pada lokasi yang mudah untuk pengoperasian dan
pemeliharaannya.

d. Pemasangan pompa harus dilengkapi peralatan peredam getaran yang


dipasang pada dudukan pompa, pipa isap dan pipa keluaran pompa.

e. Pompa harus dilengkapi dengan alat pengukur tekanan dan katup pencegah
aliran balik pada pipa keluaran dan ujung pipa isap pompa.

XI.2 SALURAN AIR HUJAN.

1. Kelengkapan pada Bangunan

a. Setiap bangunan dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem saluran


air hujan.

b. Air hujan harus dialirkan ke sumur resapan dan atau dialirkan ke jaringan air
hujan umum kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Bila belum tersedia jaringan umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat
diterima, maka harus dilakukan cara-cara lain yang dibenarkan oleh instansi
yang berwenang

2. Persyaratan Saluran

a. Saluran air hujan dapat merupakan saluran terbuka dan atau saluran tertutup.

b Apabila saluran dibuat tertutup, maka pada tiap perubahan arah aliran harus
dilengkapi dengan lubang pemeriksa, dan pada saluran yang lurus, lubang
pemeriksa harus dibuat dengan jarak tiap 25-100 m, disesuaikan dengan
diameter saluran tersebut dan standar yang berlaku.

c. Kemiringan saluran harus dibuat, sehingga dapat mengalirkan seluruh air


hujan dengan baik agar bebas dari genangan air, dan bila tidak dapat
dilakukan dengan cara gravitasi, maka dapat menggunakan sistem
perpompaan.
d. Bahan saluran dapat berupa PVC, fiberglass, pasangan, tanah liat, beton,
seng, besi dan baja. Khusus untuk bahan seng, besi dan baja harus dilapisi
dengan lapisan tahan karat.

3. Pemeliharaan

Pemeliharaan sistem air hujan harus dilakukan secara berkala untuk mencegah
terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.

XI.3 PERSAMPAHAN

1. Penempatan pada Bangunan

Setiap bangunan baru dan atau perluasan bangunan harus dilengkapi dengan
fasilitas pewadahan dan atau penampungan sampah sementara yang memadai,
sehingga tidak mengganggu kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

2. Pewadahan

a. Kapasitas pewadahan sampah atau tempat penampungan sementara harus


dihitung berdasarkan jenis bangunan dan jumlah penghuninya, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

b. Tempat pewadahan sampah harus terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah
rusak, mempunyai tutup dan mudah diangkut. Bahan tersebut dapat berupa
kantong plastik, peti kemas fiberglass, peti kemas baja, dan pasangan bata
atau beton.

c. Bentuk pewadahan sampah harus disesuaikan untuk kemudahan


pengangkutan sampah oleh Dinas Kebersihan Kota, atau Pengelola
Pengangkutan Sampah.

3. Sampah Berbahaya

Untuk sampah padat yang dikatagorikan sebagai jenis buangan berbahaya dan
beracun (sampah B3), penempatan dan pembuangannya harus ditangani secara
khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
XII. VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA

XII.1 VENTILASI

1. Kebutahan Ventilasi
Setiap bangunan harus mempunyai:
a. Ventilasi alami sesuai dengan butir XII.1.2 di bawah ini atau
b. Ventilasi mekanis yang memenuhi ketentuan yang berlaku.

2. Ventilasi Alami
a. Penerapan ventilasi alami.
Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau
sarana lain yang dapat dibuka
i. dengan jumlah bukaan berukuran tidak kurang dari 5% dari luas lantai
ruangan yang dibutuhkan untuk di ventilasi;
ii ke arah;
(1) halaman berdinding dengan ukuran yang sesuai, atau daerah yang
terbuka ke atas;
(2) teras terbuka, pelataran parkir, dan yang sejenis;
(3) ruangan bersebelahan yang dimaksud dalam butir b di bawah ini.

b. Ventilasi Dari Ruangan Yang Bersebelahan


Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan pintu
ventilasi, atau sarana lainnya dari ruangan yang bersebelahan (termasuk teras
tertutup) jika kedua ruangan tersebut berada dalam satuan hunian yang sama
atau mempunyai teras tertutup yang menjadi satu, dan:
i. Bangunan klas 2, dan hunian tunggal pada bangunan klas 3;
(1) ruang yang di ventilasi bukan kompartemen sanitasi;
(2) jendela, bukaan, pintu atau sarana lainnya yang mempunyai luas
ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai ruangan yang
diventilasi;
(3) ruangan bersebelahan dengan jendela, bukaan, pintu atau sarana
lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai
lantai kedua ruangan tersebut.
ii. Bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.
(1) jendela, bukaan, pintu atau sarana bukaan lainnya yang
mempunyai luas ventilasi tidak kurang dari 10% dari luas lantai
ruangan yang di ventilasi, dengan jarak tidak lebih dari 3,6 m
diatas lantai;
(2) ruangan bersebelahan yang mempunyai jendela, bukaan, pintu
atau sarana lainnya dengan luas ventilasi tidak kurang dari 10%
luas lantai kedua ruangan tersebut;
(3) Luas ventilasi yang diatur pada butir (1 ) dan (2) dapat direduksi
secukupnya jika tersedia ventilasi alami langsung dari sumber
lainnya.
c. Batasan untuk posisi kakus dan peturasan.
Ruang kakus atau peturasan tidak boleh terbuka langsung ke arah:
i. dapur atau pantry;
ii ruang makan umum atau restoran;
iii. asrama pada bangunan Kelas 3;
iv. ruang yang digunakan sebagai tempat berkumpul (yang tidak berbentuk
pusat penitipan anak, sekolah TK atau panggung terbuka);
v. ruang kerja yang umumnya digunakan oleh lebih dari satu orang.

d. Ruang antara
Jika ruang kakus atau peturasan yang dilarang menurut butir c di atas
terbuka langsung terhadap ruang lainnya:
i. Dalam hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3 atau bagian
bangunan kelas 4;
(1) jalan masuk harus melalui ruang antara, koridor atau ruang
lainnya;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan mekanis;
ii. pada bangunan Kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 (yang bukan merupakan pusat
penitipan anak, sekolah TK atau panggung terbuka);
(1) jalan masuk harus melalui suatu dinding terkurung, koridor atau
ruang lainnya dengan luas tidak kurang dari 1,1 m2 dan pada
setiap pintu jalan masuk harus dipasang alat penutup pintu
otomatis;
(2) ruangan yang ada kakus atau peturasan tersebut harus tersedia
ventilasi pembuangan udara mekanis; dan pintu ke ruangan
tersebut harus terhalang dari penglihatan.

e. Ventilasi ruangan dibawah lantai dasar


Lantai paling bawah suatu bangunan:
i. jika berada dibawah lantai dasar, harus mempunyai jarak melintang
yang cukup untuk ventilasi antara bagian bawah permukaan lantai
dasar dengan permukaan tanah/ halaman;
ii. harus mempunyai penutup yang kedap air diatas muka tanah/halaman
dibawah lantai dasar, atau
iii. harus mempunyai konstruksi lantai yang sesuai.

f. Gedung Parkir
Setiap lantai gedung parkir, kecuali pelataran parkir terbuka harus
mempunyai:
i. sistem ventilasi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
ii. sistem ventilasi alami permanen yang memadai.

g. Pembuangan udara dari dapur


Pada dapur komersial harus tersedia tudung pembuangan gas dapur yang
memenuhi ketentuan yang berlaku, jika:
i. setiap peralatan masak yang mempunyai:
(1) total daya masukan listrik maksimum lebih dari 8 kW; atau
(2) total daya masukan gas lebih dari 29 MJ/jam.
ii. total daya masukan maksimum per m2 luas lantai ruangan yang
mempunyai lebih dari satu alat masak, lebih dari:
(1) 0,5 kW untuk daya listrik; atau
(2) 1,8 MJ/jam untuk daya gas.

3. Ventilasi buatan
a. Penempatan fan harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan
juga memungkinkan masuknya udara segar, atau sebaliknya.
b. Sistem Ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami yang memenuhi
syarat tidak memadai.
c. Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus
menerus selama ruang tersebut dihuni.
d. Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi
buatan untuk membuang udara kotor dari dalam, dan minimal 2/3 volume
udara ruang harus terdapat pada ketinggian maksimal 0,60 meter diatas
lantai.
e. Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih
satu lantai, gas buang mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu
udara bersih pada lantai lainnya.
f. Besamya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang
dalam bangunan harus sesuai standar yang berlaku.

XII.2 PENGKONDISIAN UDARA

1. Kebutuhan Pengkondisian Udara


Setiap bangunan seperti untuk hunian, kantor, toko, pabrik, rumah sakit, dan
setiap ruang lainnya bila diperlukan dapat mempunyai sistem pengkondisian
udara yang memenuhi ketentuan yang berlaku.

2. Konservasi Energi
a. Pengkondisian udara harus memperhatikan upaya konservasi energi
minimal seperti dinyatakan dalam SK SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
b. Rancangan sistem pengkondisian udara harus dikembangkan sehingga
penggunaan energi yang optimal dapat diperoleh, termasuk dengan
memperhitungkan pemakaian energi per tahunnya, pemilihan peralatan,
serta biaya awal dan biaya umur pemakaian energi.
c. Karakteristik beban bangunan harus dianalisa sehingga memungkinkan
sistem dan peralatan dengan ukuran yang tepat serta dipilih untuk
memperoleh efisiensi yang baik pada beban penuh atau beban paruh.

3. Perhitungan Perkiraan Beban Pendinginan


a. Prosedur
Perhitungan beban pendinginan harus mengikuti prosedur sesuai yang
ditunjukkan dalam SK SNI tentang Tata Cara Perencanaan Teknis
Konservasi Energi pada Bangunan Gedung, dan standar teknis lain
yang berlaku.
b. Dasar perancangan
i. Kondisi Dalam Bangunan
Kondisi dalam bangunan yang memerlukan pengkondisian udara
harus dirancang sesuai penggunaannya.
ii. Kondisi Luar Bangunan
Kondisi rancangan udara luar bangunan mengacu pada SK SNI
tentang Tata Cara Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada
Bangunan Gedung.
iii. Penetapan sistem dan peralatan.
(1) Penetapan sistem dan peralatan pengkondisian udara
(Sistem Fan, sistem pompa dan pemipaan, sistem distribusi
udara, sistem kontrol, isolasi pemipaan, isolasi sistem
distribusi udara) mengacu pada SK SNI yang berlaku.
(2) Semua saluran udara harus direncanakan, dibuat dan
dipasang sesuai ketentuan yang berlaku, atau standar
internasional lain yang diakui oleh instansi yang
berwenang.
(3) Sistem pengkondisian udara pada bangunan klas 8a untuk
ruang operasi, ruang steril dan ruang perawatan bagi pasien
yang berpenyakit menular, tidak dibenarkan
mempergunakan sistem sirkulasi udara yang dapat
menyebabkan penularan penyakit ke bagian lain bangunan.

.
XIII. PENCAHAYAAN

XIII.1 KEBUTUHAN PENCAHAYAAN


1. Kamar, ruangan dan daerah yang dicakup oleh bagian ini meliputi:
a. ruangan didalam bangunan
b. daerah luar bangunan, seperti:
i. pintu masuk
ii. pintu ketuar,
iii. tempat bongkar muat barang, dsb.
c. jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara
terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan dan disambungkan dengan listrik
bangunan.
2. Kamar, ruangan, daerah dan peralatan yang tidak termasuk bagian ini,
meliputi:
a. kegiatan diluar bangunan, seperti proses produksi dan penyimpanan.
b. pencahayaan untuk pembuatan film, penyiaran televisi, presentasi audio
visual dan bagian-bagian lain dan fasilitas pertunjukan seperti panggung
di hotel, klub malam, dan diskotek dimana pencahayaan merupakan
bagian penting untuk menghasilkan knalitas tampilan.
c. reflektor khusus untuk medis dan perawatan gigi.
d. fasilitas luar untuk olahraga.
e. pencahayaan untuk pameran seni, gallery, museum dan monumen.
pencahayaan luar untuk monumen publik.
f. pencahayaan khusus laboratorium.
g. pencahayaan didalam bangunan yang digunakan dari jam 22.00 malam
sampai jam 06.00 pagi.
i. pencahayaan darurat yang secara otomatis mati. selama operasi normal.
j. daerah yang mempunyai risiko keamanan tinggi dan diperlukan tambahan
pencahayaan untuk keamanan manusia.
k. ruang kelas yang direncanakan untuk kebutuhan khusus.
1. pencahayaan untuk rambu-rambu.
m. fasilitas pencahayaan untuk display di muka atau jendela toko.
n. pencahayaan di unit pengeboran.

XIII.2 PENCAHAYAAN BUATAN.


1. Energi Yang Dikonsumsi
Energi yang dikonsumsi untuk pencahayaan buatan mempunyai pengaruh
besar pada peningkatan beban listrik dan beban pendinginan bangunan. Sistem
pencahayaan buatan harus dipilih secara fleksibel, efektif dan sesuai dengan
kebutuhan ruangan, sehingga diperoleh konsumsi energi yang masih dapat
dipertanggung jawabkan.
2. Tingkat Iluminasi
Tingkat iluminasi disarankan seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung
3. Konsumsi Energi
Konsumsi energi pencahayaan buatan dapat diminimalkan dengan mengurangi
daya terpasang dan waktu pemakaian. Daya terpasang dapat diminimalkan
dengan penggunaan lampu, balas, dan reflaktor yang efisien. Daerah efisasi
dari lampu yang ada ditunjukkan pada SK SNI tentang Tata Cara Perencanaan
Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
4. Perencanaan Sistem Pencahayaan
Perencanaan sistem pencahayaan adalah dengan monggunakan sumber
pencahayaan yang tepat, jenis reflektor yang efisien, mempunysi karakteristik
distribusi pencahayaan sesuai kebutuhan dan tidak menghasilkan ketidak
nyamanan karena silau atau pantulan. Kebanyakan reflektor yang efisien untuk
lampu fluorecent adalah dari jenis mirror reflector atau prismatic. Reflektor
untuk lampu High Intensity Discharge (HID) menggunakan reflektor
aluminium anodized berkualitas tinggi.
5. Penggunaan Lampu
Penggunaan lampu sesuai kebutuhan dan mempertimbangkan upaya
konservasi energi pada bangunan gedung.
6. Daya Maksimum Yang Diijinkan
Beban pencahayaan total untuk ruang dalam bangunan disarankan tidak
melebihi nilai maksimum seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
7. Daya pencahayaan buatan di luar bangunan.
a. Daya pencahayaan buatan untuk bagian luar bangunan sebaiknya tidak
melebihi nilai seperti ditunjukkan pada SNI tentang Tata Cara
Perencanaan Teknis Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.
b. Untuk fasilitas banyak bangunan, kebutuhan daya pencahayaan luar
bangunan terutama adalah untuk pencahayaan buatan diantara bangunan
tersebut.

XIII.3 PENCAHAYAAN ALAMI


1. Pemanfaatan pencahayaan alami
Pemanfaatan pencahayaan alami yang optimal pada bangunan karena
merupakan cara yang sangat penting untuk mengurangi beban energi
bangunan.
2. Perencanaan pencahayaan alami
Pertimbangan perencanaan pencahayaan alami pada bangunan:
a. Kaca mengurangi kemampuan tahan panas dari dinding. Jika perlu.
kemampuan tahan panas dari kaca ditingkatkan dengan penggunaan tirai
matahari dan atau kaca ganda.
b. Penggunaan sakelar otomatis atau sistem pengendali lainnya agar tingkat
pencahayaan buatan dalam bangunan dapat diatur.
c. Pengendalian silau pada bangunan, baik dari sumber sinar matahari
langsung, langit yang cerah, obyek luar, maupun dari pantulan kaca dan
sebagainya.
3. Penentuan besanya iluminasi
Penentuan besarnya iluminasi mengikuti ketentuan teknis SNI-2396 tentang
Penerangan Alami Siang hari untuk Rumah dan Gedung.
XIII.4 PENGENDALIAAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN.
Semua sistem pencahayaan, kecuali yang diperlukan untak pencahayaan darurat atau
pencahayaan lampu “KELUAR”, harus dilengkapi dengan pengendali manual,
otomatis atau yang terprogram.
1. Pengendali pencahayaan harus dilengkapi sebagai berikut:
a. Semua ruangan yang tertutup dengan dinding bata atau partisi yang
sampai ke plafond harus dilengkapi dengan satu pengendali pencahayaan
manual untuk setiap kamar.
b. Minimal satu sakelar harus dipasang untuk setiap group yang melayani
luasan 30 m atau kurang.
c. Minimal satu sakelar dengan tanda khusus untuk melayani 1100 Watt
yang disambungkan ke beban listrik.
d. Pencahayaan bagian luar tidak diperuntukkan beroperasi 24 jam terus
menerus, dan harus secara manual atau otomatis dimatikan (misalnya
dengan pembatas waktu atau photocell).
e. Kamar tamu hotel harus mempunyai sakelar utama didekat pintu yang
mematikan semua lampu dan stop kontak, kecuali untuk hal-hal lain jika
diperlukan.
f. Apabila dimungkinkan adanya pencahayaan alami, pengendali manual
lokal atau pengendali otomatis seperti sakelar yang dilengkapi dengan
photoelectric atau dimmer otomatis sebaiknya digunakan di ruangan yang
diterangi dengan pencahayaan alami. Pengendali haruss digunakan
sehingga bekerja pada baris pencahayaan yang paralel dengan dinding
luar bangunan.
2. Letak pengendali harus mudah dicapai.
Semua pengendali pencahayaan harus ditempatkan pada tempat yang mudah
dicapai/dibaca untuk orang yang berada atau menggunakan ruang tersebut.
Sakelar pengendali dengan beban yang sama yang tedetak di lebih satu lokasi
harus dinilai sebagai penambahan jumlah pengendali untuk memenuhi
kebutuhan butir 1 di atas, kecuali:
a. Pengendali dipusatkan di lokasi yang berjarak jauh (seperti ruangan lobi
dari kantor, hotel dan rumah sakit, pertokoan, pasar swalayan, gudang dan
koridor yang dibawah pengendalian terpusat).
b. Pengendali otomatis.
c. Pengendali yang diprogram.
d. Pengendali yang memerlukan operator yang terlatih.
e. Pengendali untuk keamanan bahaya dan keselamatan.
XIV. KEBISINGAN DAN GETARAN

XIV. 1. KEBISINGAN

1. Baku Tingkat Kebisingan


a. Salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
kebisingan yang dihasilkan.
b. Baku tingkat kebisingan untuk kenyamanan dan kesehatan harus
mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

2 Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih
ketat dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku
tingkat kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak
lingkungan atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.

XIV.2 GETARAN

1. Baku Tingkat Getaran


a. Sala satu dampak dan usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
getaran yang dihasilkan.
b. Baku tingkat getaran untuk kenyamanan dan kesehatan harus mengikuti
standar teknis yang berlaku.

2. Dampak Lingkungan
Bagi usaha atau kegiatan yang mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat
dari ketentuan, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut, berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan
atau ditetapkan oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
XV. KETENTUAN PENUTUP

XV.1 Persyaratan Teknis Bangunan Gedung seperti telah diuraikan pada Bab-bab
sebelumnya merupakan persyaratan pokok yang ditunjang oleh standar teknis (SNI),
pedoman atau petunjuk teknis yang berlaku dan lebih rinci berkaitan dengan
spesifikasi, tata cara, dan metode uji bangunan, komponen, elemen, serta berbagai
aspek teknis dari bangunan gedung.

XV.2 Persyaratan-persyaratan yang lebih spesifik dan atau yang bersifat alternatif serta
penyesuaian penyesuaian yang diperlukan terhadap Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung diharapkan untuk dikembangkan oleh masing-masing Daerah disesuaikan
dengan kondisi, permasalahan, kebutuhan, dan kesiapan kelembagaan di setiap
Daerah.

MENTERI PEKERJAAN UMUM

ttd.

RACHMADI BAMBANG SUMADHIJO


LAMPIRAN

TABEL V.2.3
PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN

1. KETENTUAN UMUM

KLAS/BAGIAN BANGUNAN PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN

Jalan keluar yang Diisolasi Untuk:


terhadap kebakaran 1. Tangga yang diisolasi terhadap kebakaran, termasuk setiap
jalan penghubung atau ramp yang melayani:
a. Setiap lantai di atas tinggi efektif 25m, atau
b. lebih dari 2 lantai di bawah tanah, atau
c. atrium, atau
d. bangunan klas 9a yang > 2 lantai, dan

2. jalan penghubung atau ramp yang diisolasi terhadap


kebakaran dengan panjang > 60 m ke jalan umum atau ruang
terbuka, harus dilengkapi dengan:
1. Sistem presurisasi otomatis, atau
2. Ramp atau balkon akses yang terbuka sesuai ketentuan butir
Vl.3.

BANGUNAN DENGAN TINGGI EFEKTIF >25 M


Klas. 2, 3, den 4. 1. Harus dilengkapi dengan sistem alarm dan deteksi asap
otomatis.
2. Bila panjang koridor umum > 40 m, harus dibagi dengan
interval < 40 m, dengan konstruksi sesuai ketentuan V.1.3,
kecuali bahan pelapis dan bahan yang tidak mudah terbakar

Klas5,6, 7,8,dan 9b (selain 1. Harus dilengkapi dengan sistem pengendali asap terzona
ruang/tempat parkir) sesuai ketentuan yang berlaku.

Klas 9a 1. Harus dilengkapi dengan sistem alarm dan deteksi asap


otomatis, dan
2. Sistem pengendali asap tezona sesuai ketentuan yang berlaku

BANGUNAN DENGAN TINGGI EFEKTIF < 25 M


Klas 2, 3, den 4 1. Harus dilengkapi dengan alarm dan detekai asap otomatis, dan
2. Apabila tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap kebakaran
den bangunan kelas 2 atau 3 juga melayani satu atau lebih
lantai dengan Kas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8,
atau 9b, maka:
a. tangga yang diisolasi terhadap kebakaran, termasuk setiap
Jalan penghubung atau ramp harus dilengkapi dengan sistem
presurisasi udara otomati, atau

b. Klas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8 dan 9b harus


dilengkapi dengan
i. sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
ii. sistem sprinkler

3. Apabila tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap kebakaran


dari bangunan klas 4 juga melayani satu atau lebih lantai
dengan klas 5, 6, 7 (bukan tempat parkir terbuka), 8, atau 9b,
maka:
a. Sistem sesuai butir 2.a. atau 2.b. diatas harus dipasang,
atau
b. Sistem detektor dan alarm asap, kecuali bila alarm dan
detektor tersebut hanya perlu dipasang pada tiap pintu
menuju tangga yang diisolasi terhadap kebakaran untuk
sistem peringatan.
Klas 5, 6, 7, 8, dan 9b (selain Pada bangunan:
ruang/tempat parkir 1. Klas 5 atau 9b (sekolah) dengan ketinggian > 3 lantai, atau
2. Klas 6, 7, 8, atau 9b (selain sekolah) dengan ketinggian > 2
lantai, atau
3. Dengan ketinggian > 2 lantai dan terdiri atas:
a. Klas 5 atau 9b (sekolah) dan
b. Klas 6, 7, 8, atau 9b (selain sekolah)
maka pada setiap tangga yang diwajibkan diisolasi terhadap
kebakaran, termasuk jlan penghubung dan rampnya, harus
dipasang:
1. Sistem presurisasi udara otomatis, atau
2. Sistem pengendali asap terzona, bila bangunan
mempunyai lebih dari satu komprtemen kebakaran, atau
3. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
4. Sistem sprinkler
Klas 9a 1. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, dan
2. Sistem pengolah udara mekanis yang bukan merupakan
bagian dari sistem pengendali asap terzona dapat berhenti
(shut-down) otomatis pada saat aktivitas detekotr asap
bekerja.
3. Bila bangunan >2 lantai, harus dipasang:
a. Sistem pengendali asap terzona, atau
b. Sistem sprinkler
BASEMENT (selain 1. Basement dengan luas > 200 m2 harus dilengkapi dengan:
ruang/tempat parkir) a. Bila < 2 lapis di bawah tanah:
i. Sistem pengendali asap terzona, bila basement
mempunyai lebih daari satu kompartemen kebakaran,
atau
ii. Sistem alarm dan deteksi asap otomatis, atau
iii. Sistem sprinkler, atau
b. Bila > 2 lapis dibawah tanah harus dilengkapi sistem
sprinkler.
2. Basement dengan > 3 lapis di bawah tanah atau terdapat klas
6 atau 9b dengan jumlah penghuni/pengguna yang banyak,
persyaratan khusus dapat digunakan dengan pertimbangan:
a. karakter khusus bangunan
b. fungsi khusus bangunan
c. tipe dan jumlah material khusus yang disimpan, dipajang,
atau digunakan dalam bangunan
d. keragaman klasifikasi bangunan atau kompartemen
kebakaran
Ruang/tempat parkir Ruang/tempat parkir, termasuk ruang parkir dibawah tanah, yang
dilengkapi dengan sisitem ventilasi mekanis sesuai ketentuan:
1. Jenis kipas yang harus tahan suhu tinggi, dan
2. Kabel pengendali dan daya listrik tidak harus yang tahan api
Atrium Bangunan yang memiliki atrium harus dengan kelengkapan
sistem sprinkler, sistem deteksi alarm kebakaran, sistem inter
komunikasi darurat, sistem peringatan kondisi darurat, dan
sistem pengendalian asap sesuai standar teknis yang berlaku

2. KETENTUAN KHUSUS

KLAS/BAGIAN BANGUNAN PERSYARATAN PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN


Klas 6, Kompartemen Kebakaran > 1. Setiap kompartemen kebakaran,kecuali yang ditetapkan pada
2.000 m2, tidak terdapat selasar butir 2, harus dilengkapi dengan:
terlindung melayani > 1 toko a. sistem pembuangan asap otomatis, atau
b. Bila bangunan 1 lantai, dipasang lubang-lubang ventilasi
asap dan panas yang diaktifkan oleh pendeteksian asap,
atau
c. Bila luas lantai untuk kompartemen kebakaran > 3.500 m2,
dan:
i. bangunan 1 lantai, dipasang sistem alarm dan detektor
asap otomatis, atau
ii. bangunan 2 lantai atau kurang, dipasang sistem
sprinkler
2. Bangunan pertokoan di dalam kompartemen kebakaran tidak
harus mengikuti ketentuan 1, bila:
a. luas bangunan < 2.000m2, dan
b. Bangunan satu lantai dengan pintu masuk utama membuka
ke jalan umum atau ruang terbuka.
Klas 6, Kompartemen kebakaran > 1. Selasar terlindung, toko dengan luas > 1.000m2 yang
2.000 m2, terdapat selasar membuka ke arah selasar terlindung, dan toko (selain pada
terlindung melayani > 1 toko ketentuan 3 ) yang tidak membuka ke arah selasar terlindung,
harus dilengkapi dengan:
a. sistem pembuangan asap otomaatis, atau
b. bila bangunan 1 lantai, dipasang lubang-lubang ventilasi
asap dan panas yang diaktifkan oleh pendeteksian asap,
atau
2. Bila luas lantai untuk kompartemen kebakaran < 3.500 m2
dan bangunan 2 lantaai atau kurang, dipasang sistem sprinkler

3. Bangunan pertokoan di dalam kompartemen kebakaran tidak


harus mengikuti ketentuan 1, bila:
a. luas lantai < 2.000 m2, dan
b. bangunan 1 lantai dengan pintu masuk utama membuka ke
jalan umum atau ruang terbuka
Klas 9b, Bangunan Pertemuan 1. Bangunan klab malam, diskotek, dan sejenis, harus dilengkapi
dengan:
a. sistem pengolah udara mekanis yang bukan merupakan
bagian dari sistem pengendalian asap dapat berhenti
(shut-down) otomaatis pada saat aktivitas detektor asap
bekerja, dan
b. sistem pembuangan asap otomatis, atau lubang-lubang
ventilasi asap dan panas otomatis pada bangunan 1 lantai,
atau sistem sprinkler

2. Bangunan pameran, harus dilengkapi dengan


a. idem 1.a. diatas, dan
b. Bila luas bangunan 2.000-3.500m2
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunan 1 lantai, atau
iii. sistem sprinkler, dan
c. Bila luas bangunan > 3.500 m2, dipasang sistem sprinkler
dan
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis,
bilang bangunan 1 lantai

3. Bangunan theater atau tempaat pertemuan/hall umum:


a. pada bangunan sekolah, gereja, atau hall komunitas yang
mempunyai ruang panggung dan belakang panggung,
dengan luas > 300m2 atau
b. Bukan pada bangunan sekolah, gereja, atau hall
komunitas yang mempunyai ruang panggung dan
belakang panggung, dengan luas > 200 m2, atau harus
dilengkapi dengan:
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunaan 1 lantai

4. Bangunan theater atau hall umum selain butir 3, termasuk


theater kuliah dan komplek auditorium:
a. sistem pengelola udara mekanis yang bukan meru-pakan
bagian dari sistem pengendalian asap dapat berhenti (shut-
down) otomatis pada saat aktivitas detektor asap bekerja,
dan
b. selain pada bangunan sekolah dengan luas lantai
kompartemen kebakaran > 2.000 m2
i. sistem pembuang asap otomatis, atau
ii. Lubang-lubang ventilasi asap dan panas otomatis, bila
bangunan 1 lantai, atau
iii. bila luas lantai kompartemen kebakaran < 5.000 m2
dan tinggi bangunan 2 lantai atau kurang, digunakan
sistem alarm dan detektor asap otomatis, atau sistem
sprinkler.

5. Bangunan pertemuan lainnya (diluar butir 3 dan 4 diatas):


a. Setiap kompartemen kebakaran dengan luas > 2.000 m2
harus dilengkapi dengan ketentuan seperti butir 4.b diatas
b. Bangunan yang dikecualikan dari ketentuan butir a diatas
adalah:
i. kompleks olahraga (termasuk hall olah raga, ruang
senam, kolam renang dan sejenis) selain dari gedung
olahraga(indoor) dengan jumlah tempat duduk > 1.000
ii. Gereja, Mesjid dan tempat lainnya yang khusus hanya
untuk kegiatan peribadatan.
TIM PENYUSUN PEDOMAN TEKNIS
PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN GEDUNG

Pembina
Ir. Rachmadi BS. Menteri Pekerjaan Umum

Pengarah
Drs. Gembong Priyono, MSc Direktur Jenderal Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sunaryo Sumadji, MSc Sekretaris Jenderal Dep. PU
Ir. J. Hendro Moeljono Kepala Balitbang Dep. PU
Ir. Achmad Lanti, M. Eng. Staf Ahli Menteri PU V Bidang Pengembangan
Jasa Konstruksi

Pelaksana
Ir. Aim Abdurachim Idris, MSc Direktur Bina Teknis , DJCK, Dep. PU
Ir. Hari Sidharta, Dipl. H.E. Sekretaris Ditjen Cipta Karya, Dep. PU
Ir. Sutikni Utoro Kepala Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Wibisono Setio Wibowo, MSc Kepala Biro Hukum, Setjen Dep. PU

Kelompok Kerja
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Antonius Budiono, MCM Dit. Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir G. Eko Djuli Sasongko Dit, Bitnek, DJCK, Dep. PU
Ir. J. L. G. P. Eko Widiatmo Dit. Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Erry Saptaria Achyar, CES Dit, Bintek, DJCK, Dep. PU
Ir. Adjar Prajudi, MCM, MSc Dit. Binlak Wilayah Barat, DJCK
Ir. Tulus Rachmat S Dit. Binlak Wilayah Tengah , DJCK
Ir. Achid Winarno Dit. Binlak Wilayah Timur, DJCK
Ir. Renyansih Bagian Hukum, DJCK, Dep. PU
Ny. Sri Hartinah, SH Biro Hukum, Setjen Dep. PU
Ir. HR. Sidjabat Widyaiswara Dep. PU
Ir. Suprapto, MSc Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Jacob Ruzuar, Dipl. SE Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU
Ir. Bambang Guritno, MSc, MPA Puslitbangkim, Balitbang, Dep. PU

Ir. Wiedodo Pemerintah DKI Jakarta


Ir. Ridwan Munzir Pemerintah DKI Jakarta
Ir. Sefiawan Kanani Pemerintah DKI Jakarta
Ir. Hari Sasongko Pemerintah DKI Jakarta

Suwarmo S., Dipl.BD.Sc, B.Arch, IAI, FRAIA Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Roestanto Wahidi D., MM, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Harlansyah Soerarso, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Ir. Sukartono Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)


Ir. Sardjono Hadi Sugondo Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Rusdi Marzuki Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)

Ir. H. Diding Muchidin Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik


Lingkungan Indonesia (IATPI)

Ir. Prawoto Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik


Lingkungan Indonesia (IATPI)
Ir. Ariono Suprayogi Ikatan Ahli Sistem Mekanis Indonesia (IASMI)
Ir. Sofyan Nurbambang Ikatan Ahli Sistem Mekanis Indonesia (IASMI)

DR. Ir. Binsar Hariandja Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)


DR. Ir. Drajat Hoedayanto, MEng Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)
DR. Ir. Bambang Budiono Hipunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)

Ir. Bintang Agus Nugroho, IALI Ikatan Ahli Lansekap Indonesia (IALI)

Ir. Bambang Tata Samiadji, MM Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Ir. Daniel Mangindaan Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)


Ir. Soedibyono Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)
Ir. Zaenal Walidin Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)

DR. Ir. Chaidir AM, MSCE Himpunan Ahli Teknik Tanah Indoensia (HATTI)

Ir. Sugeng Triyadi S. MSA, IAI Institut Teknologi Bandung


Ir.M.Prasetiyo,March,MAUD Institut Teknologi Bandung

DR. Ing. Eka Sediadi Rasyad Universitas Trisakti, Jakarta


Ir. A, Hadi Prabowo, MT Universitas Trisakti, Jakarta
Ir. Tulus Widiarso, MT Universitas Trisakti, Jakarta

Disamping itu juga melibatkan peran aktif berbagai nara sumber di bidang tata bangunan
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penyelaras Akhir
Ir. J. Hendro Moeljono
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, MSc
Ir. G. Eko Djuli Sasongko
Studio Taba '98

Direktorat Bina Teknik


Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen P.U.
Jl. Raden Patah l/1 Lantai 7 Wing 1
Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Indonesia
Telepon: (021) 7268203
Faks: (021) 7235223
E-med: bintekctaba@pu.go.id
MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM


NOMOR: 10/KPTS/2000

TENTANG

KETENTUAN TEKNIS PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN


PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM,

Menimbang a. bahwa perkembangan penyelenggaraan bangunan gedung dewasa


ini semakin kompleks baik dari segi intensitas, teknologi,
maupun kebutuhan prasarana dan sarananya;
b. bahwa keselamatan masyarakat yang berada di dalam bangunan
dan lingkungannya harus menjadi pertimbangan utama
khususnya terhadap bahaya kebakaran, agar dapat melakukan
kegiatannya, dan meningkatkan produktivitas serta kualitas
hidupnya;
c. bahwa untuk memberikan jaminan tersebut pada butir b perlu
penerapan ketentuan-ketentuan teknis tentang pengamanan
terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungannya;
d. bahwa ketentuan yang ada perlu disesuaikan dan disempurnakan
sesuai perkembangan teknologi dan kebutuhan;
e. bahwa untuk itu dipandang perlu menerbitkan Keputusan Menteri
Negara Pekerjaan Umum yang menetapkan mengenai Ketentuan
Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung dan Lingkungannya.
Mengingat 1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan


Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3469);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
3839);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 355/M Tahun
1999 tentang Pembentukan Kabinet Persatuan Nasional;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;
8. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998
tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
9. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor
01/KPTS/1999 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor
Menteri Negara Pekerjaan Umum.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM


TENTANG KETENTUAN TEKNIS PENGAMANAN
TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN PADA BANGUNAN
GEDUNG DAN LINGKUNGAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum ini yang dimaksud dengan:
1. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
adalah segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang
diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan
bangunan gedung, termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan
pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan dan
keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran.
2. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam
suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah
dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya.
3. Perencanaan tapak adalah perencanaan mengenai tata letak bangunan terhadap
lingkungan sekitar dikaitkan dengan bahaya kebakaran dan upaya pemadaman.
4. Sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan oleh
penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa
manusia maupun harta-benda bila terjadi kebakaran pada suatu bangunan gedung
dan lingkungan.
5. Sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang
dilaksanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan
gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat
melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.
6. Sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang
dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara
otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam
kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman. Selain itu sistem ini
digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran.
7. Pengawasan dan pengendalian adalah upaya yang perlu dilakukan oleh pihak
terkait dalam melaksanakan pengawasan maupun pengendalian dari tahap
perencanaan pembangunan bangunan gedung sampai dengan setelah terjadi
kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2
(1) Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung
yang aman terhadap bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan
pembangunan sampai pada tahap pemanfaatan sehingga bangunan gedung
senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya.
(2) Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan bertujuan terselenggaranya fungsi bangunan gedung dan lingkungan
yang aman bagi manusia, harta benda, khususnya dari bahaya kebakaran sehingga
tidak mengakibatkan terjadinya gangguan proses produksi/distribusi barang dan
jasa, dan bahkan dari gangguan kesejahteraan sosial.

BAB II
PENGATURAN PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN
PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

Bagian Pertama
Persyaratan Teknis

Pasal 3
(1) Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan
meliputi:
a. Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran,
b. Sarana penyelamatan,
c. Sistem proteksi pasif,
d. Sistem proteksi aktif,
e. Pengawasan dan pengendalian.
(2) Rincian pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini yang dirinci lebih lanjut
pada Lampiran Keputusan Menteri Negara ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Keputusan Menteri Negara ini.
(3) Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan
pengamanan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal
ini.

Pasal 4

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan sesuai dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengaturan Pelaksanaan di Daerah

Pasal 5
(1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah perlu
dibuat Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam
Keputusan Menteri Negara ini.
(2) Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
ayat (1) Pasal ini, maka terhadap penyelenggaraan bangunan gedung di Daerah
diberlakukan ketentuan-ketentuan pengamanan terhadap kebakaran pada
bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang pengamanan terhadap
kebakaran pada bangunan gedung sebelum Keputusan Menteri Negara ini
diterbitkan harus menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan pengamanan
terhadap kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan dan pemanfaatan/ pemeliharaan
bangunan gedung, Pemerintah Daerah melakukan peningkatan kemampuan aparat
Pemerintah Daerah maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan pengamanan
terhadap kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk terwujudnya
tertib pembangunan bangunan gedung.
(2) Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan dan pemanfaatan/ pemeliharaan
bangunan gedung, Pemerintah Daerah wajib menggunakan ketentuan teknis
pengamanan terhadap bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
sebagai landasan dalam mengeluarkan persetujuan perizinan yang diperlukan.
(3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian
pembangunan dan pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung yang melakukan
pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi administrasi sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan pembangunan atau pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung
yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan
Menteri Negara ini dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan
sesuai dengan tingkat pelanggaran, dapat berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Pembatasan kegiatan
c. Penghentian sementara kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sampai
dilakukannya pemenuhan ketentuan teknis tersebut
d. Pencabutan ijin yang telah dikeluarkan untuk pembangunan dan atau
pemanfaatan bangunan gedung.
(3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, di dalam
Peraturan Daerah dapat diatur mengenai sanksi denda atas terjadinya pelanggaran
terhadap ketentuan pengamanan terhadap bahaya kebakaran.

BAB III
PEMBINAAN TEKNIS

Pasal 8

(1) Pembinaan pelaksanaan ketentuan teknis ini dilakukan oleh Pemerintah dalam
rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung
dan lingkungan.
(2) Pembinaan dilakukan melalui pemberian bimbingan, penyuluhan, pelatihan dan
pengaturan.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 9

Dengan berlakunya Keputusan Menteri Negara ini maka:


(1) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 02/KPTS/1985 tentang Ketentuan
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran pada Bangunan Gedung, dinyatakan
tidak berlaku lagi.
(2) Semua ketentuan pengamanan terhadap bahaya kebakaran yang telah ada
sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri Negara ini masih tetap
berlaku.
BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10
(1) Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
(2) Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum ini disebar luaskan kepada para
pihak yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.

DITETAPKAN DI : J A K A R T A
PADA TANGGAL : 1 MARET 2000

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM

ttd.

ROZIK B. SOETJIPTO
LAMPIRAN :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 10/KPTS/2000
TANGGAL: 1 MARET 2000
TENTANG
KETENTUAN TEKNIS PENGAMANAN
TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN
PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

1.1 PENGERTIAN
1. Atrium adalah ruang di dalam bangunan yang menghubungkan dua tingkat
atau lebih dan:
a. keseluruhan atau sebagian ruangnya tertutup pada bagian atasnya oleh
lantai
b. termasuk setiap bagian bangunan yang berdekatan tetapi tidak terpisahkan
oleh penghalang yang sesuai untuk kebakaran, dan
c. tidak termasuk lorong tangga, lorong ramp atau ruangan dalam saf.
2. Bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang diletakkan secara tetap
dalam suatu lingkungan, di atas tanah/perairan, ataupun di bawah
tanah/perairan, tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk tempat
tinggal, berusaha, maupun kegiatan sosial dan budaya. Sedangkan mengenai
klasifikasi bangunan gedung sesuai dengan Keputusan Menteri PU no.
441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
3. Bangunan umum adalah bangunan gedung yang digunakan untuk segala
macam kegiatan kerja antara lain untuk:
a. Pertemuan umum,
b. Perkantoran,
c. Hotel,
d. Pusat Perbelanjaan/Mal,
e. Tempat rekreasi/hiburan,
f. Rumah Sakit/Perawatan,
g. Museum.
4. Bagian-bagian bangunan adalah bagian dari elemen bangunan yang
mempunyai fungsi tertentu, misalnya memikul beban, pengisi dll.
5. Bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman
potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran
hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan.
6. Bahan lapis penutup adalah bahan yang digunakan sebagai lapisan bagian
dalam bangunan seperti plesteran, pelapis dinding, panel kayu dan lain-lain.
7. Beban api adalah jumlah nilai kalori netto dari bahan-bahan mudah terbakar
yang diperkirakan terbakar dalam kompartemen kebakaran, termasuk bahan
lapis penutup, bahan yang dapat dipindahkan maupun yang terpasang serta
elemen bangunan.
8. Bismen (Basement) adalah ruangan di dalam bangunan gedung yang letak
lantainya secara horisontal berada di bawah permukaan tanah yang berada di
sekitar lingkup bangunan tersebut.
9. Blok adalah suatu luasan lahan tertentu yang dibatasi oleh batas fisik yang
tegas, seperti laut, sungai, jalan, dan terdiri dari satu atau lebih persil
bangunan.
10. Bukaan penyelamat adalah bukaan/lubang yang dapat dibuka yang terdapat
pada dinding bangunan terluar, bertanda khusus, menghadap ke arah luar dan
diperuntukkan bagi unit pemadam kebakaran dalam pelaksanaan pemadaman
kebakaran dan penyelamatan penghuni.
11. Dinding api adalah dinding yang mempunyai ketahanan terhadap penyebaran
api yang membagi suatu tingkat atau bangunan dalam kompartemen-
kompartemen kebakaran.
12. Dinding dalam adalah dinding di luar dinding biasa atau bagian dinding.
13. Dinding luar adalah dinding luar bangunan yang tidak merupakan dinding
biasa.
14. Dinding panel adalah dinding luar yang bukan dinding pemikul di dalam
rangka atau konstruksi sejenis, yang sepenuhnya didukung pada tiap tingkat.
15. Eksit atau jalan ke luar adalah:
a. salah satu atau kombinasi dari berikut ini jika memberikan jalan ke luar
menuju ke jalan umum atau ruang terbuka:
1) bagian dalam dan luar tangga,
2) ramp,
3) lorong yang dilindungi terhadap kebakaran,
4) bukaan pintu yang menuju jalan umum atau ruang terbuka.
b. jalan ke luar horisontal atau lorong yang dilindungi terhadap kebakaran
yang menuju ke eksit horisontal.
16 Eksit horisontal adalah pintu ke luar yang menjembatani atau
menghubungkan 2 bagian bangunan yang terpisah dari bagian lainnya oleh
dinding tahan api.
17. Elemen Bangunan adalah bagian dari bangunan yang diantaranya berupa
lantai, kolom, balok, dinding, atap dan lain-lain.
18. Eskalator adalah tangga berjalan dalam bangunan.
19. Hidran adalah alat yang dilengkapi dengan slang dan mulut pancar (nozzle)
untuk mengalirkan air bertekanan, yang digunakan bagi keperluan pemadaman
kebakaran.
20. Hose-reel adalah slang gulung yang dilengkapi dengan mulut pancar (nozzle)
untuk mengalirkan air bertekanan dalam slang umumnya dari bahan karet
berdiamater 1 inch.
21. Integritas yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk menahan
penjalaran api dan udara panas sebagaimana ditentukan pada standar.
22. Intensitas kebakaran adalah laju pelepasan energi kalor diukur dalam watt,
yang ditentukan baik secara teoritis maupun empiris.
23. Isolasi yang dikaitkan dengan tingkat ketahanan api (TKA) adalah
kemampuan untuk memelihara temperatur pada permukaan yang tidak terkena
panas langsung dari tungku kebakaran pada temperatur di bawah 140o C
sesuai standar uji ketahanan api.
24. Jalan akses adalah jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau di
dalam bangunan yang cocok digunakan untuk/oleh orang cacat sesuai dengan
standar aksesibilitas.
25. Jalan penyelamatan/evakuasi adalah jalur perjalanan yang menerus
(termasuk jalan ke luar, koridor/selasar umum dan sejenis) dari setiap bagian
bangunan termasuk di dalam unit hunian tunggal ke tempat yang aman di
bangunan kelas 2, 3 atau bagian kelas 4.
26. Jalur lintasan yang dilindungi terhadap kebakaran adalah koridor/selasar
atau ruang semacamnya yang terbuat dari konstruksi tahan api, yang
menyediakan jalan penyelamatan ke tangga, ramp yang dilindungi terhadap
kebakaran atau ke jalan umum atau ruang terbuka.
27. Kelas Bangunan, adalah pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai
dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan sebagai berikut:
a. Kelas 1: Bangunan Hunian Biasa
Adalah satu atau lebih bangunan yang merupakan:
1) Kelas 1a: bangunan hunian tunggal yang berupa:
a) satu rumah tunggal; atau
b) satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing
bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk
rumah deret, rumah taman, unit town house, villa, atau
2) Kelas 1b: rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya
dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih
dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah
bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi
pribadi.
b. Kelas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.
c. Kelas 3: Bangunan hunian di luar bangunan kelas 1 atau 2, yang umum
digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah
orang yang tidak berhubungan, termasuk:
1) rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau
2) bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau
3) bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
4) panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau
5) bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan
yang menampung karyawan-karyawannya.
d. Kelas 4: Bangunan Hunian Campuran
Adalah tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan kelas 5, 6, 7,
8, atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.
e. Kelas 5: Bangunan kantor
Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha
profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, di luar
bangunan kelas 6, 7, 8, atau 9.
f. Kelas 6: Bangunan Perdagangan
Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk
tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan
langsung kepada masyarakat, termasuk:
1) ruang makan, kafe, restoran; atau
2) ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel
atau motel; atau
3) tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau
4) pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
g. Kelas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang
Adalah bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk:
1) tempat parkir umum; atau
2) gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau
cuci gudang.
h. Kelas 8: Bangunan Laboratorium/Industri/Pabrik
Adalah bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan
untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan,
pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam
rangka perdagangan atau penjualan.
i. Kelas 9: Bangunan Umum
Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan
masyarakat umum, yaitu:
1) Kelas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari
bangunan tersebut yang berupa laboratorium;
2). Kelas 9b: bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium
atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan
peribadatan, bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap
bagian dari bangunan yang merupakan kelas lain.
j. Kelas 10: Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian:
1) Kelas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi,
carport, atau sejenisnya;
2) Kelas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding
penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau
sejenisnya.
k. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus
Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam
klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis ini
dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya.
i. Bangunan yang penggunaannya insidentil
Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak
mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap
memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya.
m. Klasifikasi jamak
Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari
bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan:
1) bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10
% dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium,
klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya;
2) Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang
terpisah;
3) Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang boiler atau
sejenisnya diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan di mana
ruang tersebut terletak.
28. Kelayakan struktur, yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk
memelihara stabilitas dan kelayakan kapasitas beban sesuai dengan standar
yang dibutuhkan.
29. Kelengkapan lingkungan bangunan meliputi: hidran, sumur gali atau
reservoir, dan komunikasi umum.
30. Kereta lif adalah ruangan atau tempat yang ada pada sistem lif, yang di
dalamnya penumpang berada dan atau diangkut.
31. Ketahanan api, yang diterapkan terhadap komponen struktur atau bagian lain
dari bangunan yang artinya mempunyai tingkat ketahanan api (TKA) sesuai
untuk komponen struktur atau bagian lain tersebut.
32. Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan adalah bagian dari Persyaratan Teknis Bangunan
Gedung untuk mengupayakan kesempurnaan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pemanfaatan bangunan gedung terhadap pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan.
33. Kompartemen kebakaran adalah:
a. Keseluruhan ruangan pada bangunan, atau
b. Bila mengacu ke:
1) Menurut persyaratan fungsional dan kinerja, adalah setiap bagian dari
bangunan yang dipisahkan oleh penghalang kebakaran/api seperti
dinding atau lantai yang mempunyai ketahanan terhadap penyebaran
api dengan bukaan yang dilindungi secara baik.
2) Menurut persyaratan teknis, bagian dari bangunan yang dipisahkan
oleh dinding dan lantai yang mempunyai tingkat ketahanan api (TKA)
tertentu.
34. Kompartemenisasi adalah usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran
dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai kolom, balok yang tahan
terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan kelas bangunan.
35. Komponen struktur adalah komponen atau bagian struktur yang memikul
beban vertikal dan lateral pada bangunan.
36. Konstruksi tahan api adalah salah satu dari tipe konstruksi, berdasarkan
ketentuan pada Bab IV.
37. Konstruksi ringan adalah konstruksi yang terdiri dari:
a. lembaran atau bahan papan, plesteran, belahan, aplikasi semprotan, atau
material lain yang sejenis yang rentan rusak oleh pukulan, tekanan atau
goresan, atau
b. beton atau produk yang berisi batu apung, perlite, vermiculite, atau bahan
lunak sejenis yang rentan rusak oleh pukulan, tekanan atau goresan, atau
c. adukan yang mempunyai ketebalan kurang dari 70 mm.
38. Koridor umum adalah koridor tertutup, jalan dalam ruang/ gang/lorong atau
sejenis, yang:
a. melayani jalan ke luar dari 2 atau lebih unit hunian tunggal ke eksit di
lantai tersebut, atau
b. yang disediakan sebagai eksit dari suatu bagian dari setiap tingkat menuju
ke jalan ke luar.
39. Kgf, singkatan dari kilogram force atau kilogram gaya.
40. Lapisan penutup tahan api adalah bahan lapis penutup tahan api yang antara
lain terbuat dari:
a. 13 mm, papan plester tahan api, atau
b. 12 mm, lembaran semen serat selulosa, atau
c. 12 mm, plester berserat yang diperkuat dengan 13 mm x 13 mm x 0,7 mm
kawat anyam besi galvanis yang dipasang tidak lebih dari 6 mm dari
permukaan, atau
d. material lain yang tidak kurang ketahanan apinya dari pada 13 mm papan
plester tahan api yang dipasang sesuai dengan yang ada di pasaran untuk
bahan yang dipakai bagi lapisan penutup tahan api.
41. Lapisan pelindung adalah lapisan khusus yang digunakan untuk
meningkatkan ketahanan api suatu komponen struktur.
42. Lantai monolit adalah lantai beton yang dicor setempat yang merupakan satu
kesatuan yang utuh.
43. Lif adalah suatu sarana transportasi dalam bangunan gedung, yang
mengangkut penumpangnya di dalam kereta lif, yang bergerak naik-turun
secara vertikal.
44. Mudah terbakar adalah:
a. bahan bangunan yang menurut hasil pengujian sesuai standar atau
ketentuan yang berlaku masuk dalam kategori mudah terbakar;
b. konstruksi yang dibangun seluruhnya atau sebagian dari bahan yang
mudah terbakar.
45. Mezzanine adalah lantai antara yang terdapat di dalam ruangan.
46. Pemikul beban dimaksudkan untuk menahan gaya vertikal di luar beban
sendiri.
47. Pengaturan lingkungan bangunan dalam ketentuan ini meliputi pengaturan
blok dan kemudahan pencapaiannya (accessibility), ketinggian bangunan,
jarak bangunan, dan kelengkapan lingkungan.
48. Pengaturan bangunan meliputi pengaturan ruang-ruang efektif, ruang
sirkulasi, eskalator, tangga, kompartemenisasi, dan pintu kebakaran.
49. Penutup Beton, atau Beton Dekking (bhs. Belanda) adalah bagian dari
struktur beton yang berfungsi melindungi tulangan agar tahan terhadap korosi
dan api.
50. Plambing (plumbing) adalah instalasi/kelengkapan dalam bangunan yang
berupa sistem pemipaan baik pemipaan untuk pengaliran air bersih, air kotor
dan drainase, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan
pemipaan.
51. PVC, singkatan dari Polyvinyl Chloride, sejenis plastik thermosetting.
52. Ruang terbuka adalah ruang pada lokasi gedung, atau suatu atap atau bagian
bangunan sejenis yang dilindungi dari kebakaran, terbuka dan dihubungkan
langsung dengan jalan umum.
53. Ramp yang dilindungi adalah ramp yang dilindungi oleh konstruksi tahan
terhadap api, yang memberikan jalan ke luar dari suatu lantai.
54. Ruang efektif adalah ruang yang dipergunakan untuk menampung aktivitas
yang sesuai dengan fungsi bangunan, misalnya: ruangan efektif suatu hotel
antara lain kamar, restoran, dan lobby.
55. Ruang sirkulasi adalah ruang yang hanya dipergunakan untuk lalu-lintas atau
sirkulasi dalam bangunan, misalnya: pada bangunan hotel adalah koridor.
56. Saf adalah dinding atau bagian bangunan yang membatasi:
a. sumur yang bukan merupakan sumur/lorong atrium, atau
b. luncuran vertikal, saluran atau jalur sejenis, tetapi bukan cerobong/corong
asap.
57. Sistem pengamanan kebakaran adalah satu atau kombinasi dari metoda
yang digunakan pada bangunan untuk:
a. memperingatkan orang terhadap keadaan darurat, atau
b. penyediaan tempat penyelamatan, atau
c. membatasi penyebaran kebakaran, atau
d. pemadaman kebakaran, termasuk di sini sistem proteksi aktif dan pasif.
58. Sprinkler adalah alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang
mempunyai tudung berbentuk deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga
air dapat memancar kesemua arah secara merata. Dalam pertanian ada juga
jenis sprinkler yang digunakan untuk penyiram tanaman.
59. Sumur/lorong atrium adalah ruangan dalam atrium yang dibatasi oleh garis
keliling dari bukaan lantai atau garis keliling lantai dan dinding luar.
60. Sumur lif (lif pit), adalah suatu ruang berbentuk lubang vertikal di dalam
bangunan di mana di dalam lubang tersebut lif bersirkulasi naik-turun.
61. Tempat/ruang berkumpul adalah ruang di dalam bangunan tempat orang
berkumpul untuk:
a. tujuan sosial, pertunjukan, politik atau keagamaan; dan
b. tujuan pendidikan seperti sekolah, pusat pendidikan anak balita,
pendidikan pra-sekolah, dan semacamnya; atau
c. tujuan rekreasi, liburan atau olah raga; atau
d. tujuan transit.
62. Tinggi efektif adalah tinggi ke lantai tingkat paling atas (tidak termasuk
tingkat paling atas, bila hanya terdiri atas peralatan pemanasan, ventilasi, lif
atau peralatan lainnya, tangki air atau unit pelayanan sejenis) dari lantai
tingkat terbawah yang menyediakan jalan ke luar langsung menuju jalan atau
ruang terbuka.
63. Tempat parkir mobil terbuka adalah parkir mobil yang semua bagian
tingkat parkirnya mempunyai ventilasi yang permanen dari bukaan, yang tidak
terhalang melalui sekurang-kurangnya dari 2 sisi berlawanan atau hampir
berlawanan dan:
a. tiap sisi mempunyai ventilasi tidak kurang dari 1/6 luas dari sisi yang lain,
dan
b. bukaan tidak kurang dari ½ luas dinding dari sisi yang dimaksud.
64. Tidak mudah terbakar adalah:
a. material yang tidak mudah terbakar sesuai standar,
b. konstruksi atau bagian bangunan yang dibangun seluruhnya dari bahan
yang tidak mudah terbakar.
65. Tempat penonton berdiri terbuka adalah tempat orang berdiri yang terbuka
bagian depannya.
66. Tempat aman adalah:
a. suatu tempat yang aman di dalam bangunan, yakni:
1) yang tidak ada ancaman api, dan
2) dari sana penghuni bisa secara aman berhambur setelah
menyelamatkan dari keadaan darurat menuju ke jalan atau ruang
terbuka, atau
b. suatu jalan atau ruang terbuka.
67. Tangga kebakaran yang dilindungi adalah tangga yang dilindungi oleh saf
tahan api dan termasuk didalamnya lantai dan atap atau ujung atas struktur
penutup.
68. Tingkat ketahanan api (TKA) adalah tingkat ketahanan api yang diukur
dalam satuan menit, yang ditentukan berdasarkan standar uji ketahanan api
untuk kriteria sebagai berikut:
a. ketahanan memikul beban (kelayakan struktur);
b. ketahanan terhadap penjalaran api (integritas);
c. ketahanan terhadap penjalaran panas (isolasi);
Yang dinyatakan berurutan.
Catatan: Notasi (-) berarti tidak dipersyaratkan
Contoh: 50 / - / -
-/-/-
69. Tangga kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk
penyelamatan bila terjadi kebakaran.
70. Pintu kebakaran adalah pintu-pintu yang langsung menuju tangga kebakaran
dan hanya dipergunakan apabila terjadi kebakaran.
71. Tangga berjalan adalah suatu sistem transportasi dalam bangunan gedung
yang mengangkut penumpangnya dari satu tempat ke tempat lain, dengan
gerakan terus-menerus dan tetap, ke arah horisontal atau ke arah diagonal.
72. Udara luar adalah udara di luar bangunan.
73. Unit hunian tunggal adalah ruang atau bagian lain dari bangunan yang dihuni
oleh satu atau gabungan pemilikan, pengontrak, penyewa, atau penghuni lain
yang bukan pemilik, penyewa atau pemilikan lain, dan termasuk:
a. rumah tinggal;
b. ruangan atau deretan ruang pada bangunan kelas 3 termasuk fasilitas tidur;
c. ruangan atau deretan ruang yang berhubungan pada bangunan kelas 5, 6, 7,
8, atau 9.
74. Uji standar kebakaran adalah uji ketahanan api komponen struktur
bangunan sesuai standar atau standar lain yang setara.
75. Ven asap dan panas adalah suatu ven yang berada pada atau dekat atap yang
digunakan untuk jalur asap dan udara panas ke luar, jika terjadi kebakaran
pada bangunan.
76. Waktu penyelamatan/evakuasi adalah waktu bagi pengguna/ penghuni
bangunan untuk melakukan penyelamatan ke tempat aman yang dihitung dari
saat dimulainya keadaan darurat hingga sampai di tempat yang aman.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN


1. Maksud
Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan ini dimaksudkan sebagai acuan persyaratan teknis
yang diperlukan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfatan oleh
penyedia jasa dan pemilik/pengelola bangunan gedung, serta pengendalian
penyelenggaraan bangunan gedung, melalui mekanisme perijinan,
pemeriksaan, dan penertiban oleh pemerintah untuk mewujudkan bangunan
gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran.
2. Tujuan
Ketentuan ini bertujuan untuk mengatur dan menetapkan upaya teknis
teknologis agar dapat terselenggaranya pelaksanaan pembangunan dan
pemanfaatan bangunan gedung secara tertib, aman dan selamat.

1.3. RUANG LINGKUP


Ruang lingkup dari ketentuan ini meliputi:
1. Ketentuan Umum
2. Perencanaan Tapak untuk Proteksi Kebakaran
3. Sarana Penyelamatan
4. Sistem Proteksi Pasif
5. Sistem Proteksi Aktif
6. Pengawasan dan Pengendalian
BAB II
PERENCANAAN TAPAK UNTUK PROTEKSI KEBAKARAN

BAGIAN 1: LINGKUNGAN BANGUNAN

1.1 Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri Dan Atau Campuran:


1. Lingkungan tersebut di atas harus direncanakan sedemikian rupa sehingga
tersedia sumber air berupa hidran lingkungan, sumur kebakaran atau reservoir
air dan sebagainya yang memudahkan instansi pemadam kebakaran untuk
menggunakannya, sehingga setiap rumah dan bangunan dapat dijangkau oleh
pancaran air unit pemadam kebakaran dari jalan lingkungan.
2. Setiap lingkungan bangunan harus dilengkapi dengan sarana komunikasi
umum yang dapat dipakai setiap saat untuk memudahkan penyampaian
informasi kebakaran.

1.2 Jalan Lingkungan


Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan
operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan harus tersedia jalan
lingkungan dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam
kebakaran.

1.3 Jarak Antar Bangunan Gedung


Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur
akses dan ditentukan jarak antar bangunan dengan memperhatikan Tabel 2.1.

Tabel 2.1.
Jarak Antar Bangunan
Tinggi
Jarak Minimum Antar
No. Bangunan
Bangunan Gedung (m)
Gedung (m)
1. s/d 8 3
2. > 8 s/d 14 > 3 s/d 6
3. > 14 s/d 40 > 6 s/d 8
4. > 40 >8

BAGIAN 2: AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE


LINGKUNGAN

2.1 Lapis Perkerasan (hard standing) dan jalur akses masuk (access way)
1. Di setiap bagian dari bangunan hunian di mana ketinggian lantai hunian
tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 m, maka tidak
dipersyaratkan adanya lapis perkerasan kecuali diperlukan area operasional
dengan lebar 4 m sepanjang sisi bangunan tempat bukaan akses diletakkan,
asalkan ruang operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 m dari jalur
masuk mobil pemadam kebakaran.

Tinggi < 10 m

Lebar jalan min. 4 m

Maks. 45 m
Jalan masuk mobil
pemadam kebakaran

Gambar 2.1.
Posisi perkerasan pada rumah hunian
2. Dalam tiap bagian dari bangunan (selain bangunan kelas 1, 2, dan 3)
perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai
bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan. Perkerasan tersebut harus
dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel,
mobil pompa, dan mobil tangga dan platform hidrolik serta mempunyai
spesifikasi sebagai berikut:
a. Lebar minimum lapis perkerasan 6 m dan panjang minimum 15 m.
Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil
pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 m.

10 m 4m 10 m

4m 4m

Maks.4
6m
Bangunan Gedung Perkerasan 6 x 15 m

Min. Pos Jaga


2m 4m

Jalan Umum

Gambar 2.2.
Perkerasan untuk keluar masuknya mobil pemadam kebakaran
b. Lapis Perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak
boleh kurang dari 2 m atau lebih dari 10 m dari pusat posisi akses
pemadam kebakaran diukur secara horizontal.
c. Lapis Perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang
diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran.
Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan yang ketinggian lantai
huniannya melebihi 24 m harus dikonstruksi untuk menahan beban statis
mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat-kaki (jack)
seperti terlihat pada contoh gambar 2.3

JACK SAMPING MAX 10 TON

JACK DEPAN MAX JACK BELAKANG MAX


1.950
a 15 TON a.17.34 TON
5.910

JACK SAMPING MAX 10 TON

3.430 2.460

5.890

Ket: Alas Jack dengan diameter 50 cm atau luas 1.963 cm2


Gambar 2.3.
Posisi Jack Mobil Pemadam Kebakaran

d. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak


boleh lebih dari 1:15, sedangkan kemiringan untuk jalur masuk maksimum
1:8,3.
e. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila
melebihi 46 m harus diberi fasilitas belokan.
Fasilitas belokan untuk mobil pemadam
10 m 4m 10 m

Radius putaran 9,5 m

Radius luar 10,5 m

Tanpa halangan Tanpa halangan

4m

Gambar 2.4.
Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran

f. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5
m dan harus memenuhi persyaratan seperti terlihat pada Gambar 2.5.

Radius terluar untuk belokan yang dapat dilalui

Radius putaran 9,5 m

Radius terluar 10,5 m

Gambar 2.5.
Radius terluar untuk belokan yang dapat dilalui
g. Tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil
pemadam minimum 4,5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.
h. Jalan umum boleh digunakan sebagai lapis perkerasan (hard-standing)
asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan
akses pemadam kebakaran (access openings).
i. Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian
lain bangunan, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh menghambat
jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran.
3. Pada pembangunan bangunan bukan hunian seperti pabrik dan gudang, harus
disediakan jalur akses dan ruang lapis perkerasan yang berdekatan dengan
bangunan untuk peralatan pemadam kebakaran. Jalur akses tersebut harus
mempunyai lebar minimal 6 m dan posisinya minimal 2 m dari bangunan dan
dibuat minimal pada 2 sisi bangunan. Ketentuan jalur masuk harus
diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi bangunan sebagai berikut:
Tabel 2.2.
Volume Bangunan untuk Penentuan Jalur Akses

Volume
No. Keterangan
Bangunan
1. > 7.100 m3 Minimal 1/6 keliling bangunan
2. > 28.000 m3 Minimal 1/4 keliling bangunan
3. > 56.800 m3 Minimal 1/2 keliling bangunan
4. > 85.200 m3 Minimal 3/4 keliling bangunan
5. > 113.600 m3 Harus sekeliling bangunan
4. Penandaan Jalur
a. Pada ke-4 sudut area lapis perkerasan untuk mobil pemadam harus diberi
tanda.
b. Penandaan sudut-sudut pada permukaan lapis perkerasan harus dari warna
yang kontras dengan warna permukaan tanah atau lapisan penutup
permukaan tanah.
c. Area jalur masuk pada kedua sisinya harus ditandai dengan bahan yang
kontras dan bersifat reflectif sehingga jalur masuk dan lapis perkerasan
dapat terlihat pada malam hari. Penandaan tersebut diberi antara jarak
tidak melebihi 3 m satu sama lain dan harus diberikan pada kedua sisi
jalur.
Tulisan “JALUR PEMADAM KEBAKARAN - BEBASKAN“
harus dibuat dengan ukuran tulisan tidak kurang dari 50 mm.

50mm
JALUR PEMADAM KEBAKARAN
50mm

BEBASKAN

Gambar 2.6.
Penandaan Area Jalur Masuk

2.2 Hidran Halaman


1. Tiap bagian dari jalur untuk akses mobil pemadam di lahan bangunan harus
dalam jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota tidak
tersedia, maka harus disediakan hidran halaman (lihat Gambar 2.7).

Hidran kota
Jalan umum

Area lapis perkerasan


Tempat parkir
(6 x 15)

Jalur akses masuk mobil


pemadam kebakaran
(lebar min. 4m)

Bangunan Gedung

Jarak A ke B atau A ke C > 50 m

Gambar 2.7.
Posisi akses bebas mobil pemadam terhadap hidran kota

2. Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-
hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam
sedemikian hingga tiap bagian dari jalur tersebut berada dalam jarak radius 50
m dari hidran (lihat Gambar 2.8).
3. Suplai air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 38 l/detik pada
tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 30 menit.
Hidran kota Lebih besar 50 dari
Jalan jalan akses terjauh
U

Jalur akses masuk


mobil pemadam
kebakaran (lebar
Parkir Mobil

Area lapis
perkerasan (6 x

Gambar 2.8.
Letak hidran halaman terhadap jalur akses mobil pemadam.

BAGIAN 3: AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE BANGUNAN


GEDUNG

3.1 Akses Petugas Pemadam Kebakaran Ke Dalam Bangunan


1. Akses Petugas Pemadam Kebakaran dibuat melalui dinding luar untuk operasi
pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dari dalam
dan luar atau terbuat dari bahan yang mudah dipecahkan, dan senantiasa bebas
hambatan selama bangunan dihuni atau dioperasikan.
2. Akses Petugas Pemadam Kebakaran harus diberi tanda segitiga warna merah
atau kuning dengan ukuran tiap sisi minimum 150 mm dan diletakkan pada
sisi luar dinding dan diberi tulisan “AKSES PEMADAM KEBAKARAN –
JANGAN DIHALANGI” dengan ukuran tinggi minimal 50 mm. Ketentuan
ini tidak dipersyaratkan untuk bangunan kelas 1, 2, dan 3.
150 mm
150 mm

AKSES PEMADAM KEBAKARAN 50 mm

JANGAN DIHALANGI 50 mm

150 mm

Gambar 2.9.
Tanda Bukaan (gambar dan tulisan berwarna merah)

3. Ukuran Akses Petugas Pemadam Kebakaran tidak boleh kurang dari 85 cm


lebar dan 100 cm tinggi, dengan tinggi ambang bawah tidak lebih dari 100 cm
dan tinggi ambang atas tidak kurang dari 180 cm di atas permukaan lantai
bagian dalam.

≥ 85 cm

Ambang atas

≥100 cm
Ambang bawah
≥ 180 cm

< 100 cm
Permukaan
l t i

Gambar 2.10.
Ukuran Bukaan

4. Jumlah dan posisi bukaan akses Pemadam Kebakaran untuk selain bangunan
hunian:
a. Pada tiap lantai atau kompartemen kecuali lantai pertama dan ketinggian
bangunan tidak melebihi 60 m, harus ada 1 bukaan akses untuk tiap 620
m2 luas lantai, ataupun bagian dari lantai harus memiliki 2 bukaan akses
Pemadam Kebakaran pada setiap lantai bangunan atau kompartemen.
b. Pada bangunan yang di dalamnya terdapat kompartemen-kompartemen
atau ruang-ruang yang ukurannya kurang dari 620 m2 yang tidak
berhubungan satu sama lain, maka masing-masing harus diberi bukaan
akses.
c. Dalam suatu bangunan atau kompartemen yang dilengkapi seluruhnya
dengan sistem sprinkler otomatis, penentuan bukaan akses didasarkan atas
perhitungan bukaan akses untuk 6.200 m2 pertama pada basis 620 m2
untuk tiap bukaan akses, dan selanjutnya diberikan tambahan bukaan akses
berikutnya untuk luas lantai lebih dari 6.200 m2 dengan basis 1.240 m2.
Untuk tiap bukaan akses tersebut harus didistribusikan pada dinding-
dinding bangunan yang berlawanan.
d. Bila bukaan akses lebih dari 1 (satu), maka harus ditempatkan berjauhan
satu sama lain dan ditempatkan tidak dalam pada satu sisi bangunan.
Bukaan akses harus berjarak minimal 20 m satu sama lain diukur
sepanjang dinding luar dari tengah ke tengah bukaan akses.
e. Bila luas ruangan sangat besar dibandingkan dengan ketinggian normal
langit-langit, maka diberikan bukaan tambahan yang diletakkan pada
permukaan atas bukaan dinding luar ke dalam ruang atau area atas
persetujuan instansi yang berwenang.
f. Pada bangunan yang dinding luarnya terbatas dan sulit ditempatkan
bukaan akses, maka harus dilengkapi dengan instalasi pemadam kebakaran
internal.

3.2 Akses Petugas Pemadam Kebakaran Di Dalam Bangunan


1. Pada bangunan gedung rendah yang tidak memiliki bismen, yang dalam
persyaratan akses masuk bagi personil instansi kebakaran akan dipenuhi oleh
kombinasi dari sarana jalan ke luar dengan akses masuk kendaraan
sebagaimana dimaksud dalam butir 2.2.
2. Pada bangunan lainnya, masalah-masalah yang dihadapi saat mendekati lokasi
kebakaran dan berada dekat lokasi kebakaran dalam upaya menanggulangi
kebakaran, diperlukan persyaratan mengenai sarana atau fasilitas tambahan
untuk menghindari penundaan dan untuk memperlancar operasi pemadaman.
3. Fasilitas-fasilitas tambahan ini meliputi lif untuk pemadaman kebakaran,
tangga untuk keperluan pemadaman kebakaran, dan lobi untuk operasi
pemadaman kebakaran yang dikombinasi di dalam suatu saf yang dilindungi
terhadap kebakaran atau disebut sebagai saf untuk pemadaman kebakaran.
3.3 Saf untuk Petugas Pemadam Kebakaran
1. Persyaratan Saf
a. Bangunan yang lantainya terletak lebih dari 20 m di atas permukaan tanah
atau di atas level akses masuk bangunan atau yang bismennya lebih dari 10
m di bawah permukaan tanah atau level akses masuk bangunan, harus
memiliki saf untuk pemadaman kebakaran yang berisi di dalamnya lif
untuk pemadaman kebakaran.
b. Bangunan yang bukan tempat parkir sisi terbuka dengan tuas tingkat
bangunan seluas 600 m2 atau lebih, yang bagian atas tingkat tersebut
tingginya 7,5 m di atas level akses, harus dilengkapi dengan saf untuk
tangga pemadam kebakaran yang tidak perlu dilengkapi dengan lif
pemadam kebakaran.
c. Bangunan dengan dua atau lebih lantai bismen yang luasnya lebih dari 900
m2, harus dilengkapi dengan saf tangga kebakaran terlindung untuk
personil pemadam kebakaran yang tidak perlu membuat lif pemadam
kebakaran.

BANGUNAN-BANGUNAN YANG MEMERLUKAN SAF UNTUK


PEMADAMAN KEBAKARAN, YANG MEMPERLIHATKAN TINGKAT
ATAU LANTAI-LANTAI MANA YANG PERLU DILAYANI

Lantai-lantai atas di Lantai-lantai atas yang


2
tiap bangunan yang luasnya 600 m atau
berada 20 m di atas lebih yang jaraknya dari
level akses masuk level akses masuk
minimum 7,5 m
Lantai bismen 2 lantai atau
lebih yang luasnya tiap
2
lantainya lebih dari 500 m
Level akses
masuk
7,5 m

Level
akses

Lantai-lantai
A bismen di tiap
bangunan yang B C
berada 10 m atau
lebih dari level
B&C Saf pemadam kebakaran tidak perlu memuat lif
kebakaran
A Saf pemadam kebakaran harus memuat lif kebakaran

Gambar 2.11.
Persyaratan saf kebakaran terlindung untuk Pemadaman Kebakaran

d. Bilamana saf tangga kebakaran terlindung untuk pemadaman kebakaran


diperlukan untuk melayani bismen, maka saf tersebut tidak perlu harus
pula melayani lantai-lantai di atasnya, kecuali bila lantai-lantai atas
tersebut bisa dicakup berdasarkan ketinggian atau ukuran bangunan.
Demikian pula halnya suatu saf yang melayani lantai-lantai di atas lantai
dasar tidak perlu harus melayani bismen, meskipun tidak begitu besar atau
dalam yang memungkinkan dapat dipenuhi. Hal yang penting adalah
bahwa tangga untuk pemadaman kebakaran dan lif kebakaran harus
mampu melayani semua tingkat-tingkat menengah yang terletak di antara
tingkat bangunan tertinggi dan terendah yang dilayani.
e. Kompleks perbelanjaan harus dilengkapi dengan saf untuk pemadaman
kebakaran.
2. Jumlah dan lokasi saf untuk Petugas Pemadam Kebakaran
a. Jumlah saf untuk pemadaman kebakaran harus:
1) Memenuhi Tabel 2.3. apabila bangunan dipasangi seluruhnya dengan
sistem sprinkler otomatis yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Tabel 2.3.
Jumlah minimum saf untuk pemadaman kebakaran pada bangunan
yang dipasangi sprinkler
Luas lantai Jumlah minimum saf
maksimum (m2) pemadam kebakaran
Kurang dari 900 1
900 – 2.000 2
Luas lebih dari 2 ditambah 1 untuk tiap
2.000 penambahan 1.500 m2

2) Bila bangunan tidak bersprinkler harus disediakan sekurang-kurangnya


satu saf pemadam kebakaran untuk setiap 900 m2 luas lantai dari lantai
terbesar yang letaknya lebih dari 20 m di atas permukaan tanah (atau
diatas 7,5 m dalam hal seperti pada butir 2).
3) Kriteria yang sama mengenai luasan 900 m2 untuk setiap saf
pemadaman kebakaran, harus diterapkan untuk menghitung jumlah saf
yang diperlukan bagi bismen bangunan.
b. Penempatan saf untuk pemadaman kebakaran harus sedemikian rupa,
hingga setiap bagian dari tiap lapis atau tingkat bangunan di luar level
akses masuk petugas pemadaman kebakaran, tidak lebih dari 60 m diukur
dari pintu masuk ke lobi. Tindakan pemadam kebakaran yang ditentukan
pada rute yang tepat untuk pemasangan slang, apabila lay-out internal
tidak diketahui pada tahap desain, maka setiap bagian dari setiap tingkat
bangunan harus tidak lebih dari 40 m, diukur berdasarkan garis lurus yang
ditarik langsung dari pintu masuk ke lobi pemadam kebakaran.
3. Desain dan Konstruksi Saf
a Setiap jalur tangga untuk pemadaman kebakaran dan saf kebakaran harus
dapat didekati dari akomodasi melewati lobi pemadaman kebakaran.
Catatan:
a. Outlet pipa tegak dan atau riser harus diletakkan di lobi
pemadaman kebakaran kecuali di level akses atau lantai dasar
b. Lif kebakaran diperlukan bila bangunan memiliki lantai 20 m
atau lebih di atas atau 10 m atau lebih di bawah level akses
c. Gambar ini hanya menggambarkan komponen dasar untuk suatu
saf pemadaman kebakaran
Lobi untuk pemadaman
kebakaran

Pintu yang
menutup sendiri

Tangga untuk pemadaman


kebakaran

Lif untuk
pemadaman
kebakaran berada
di dalam saf lif

Gambar 2.12.
Komponen-komponen saf Pemadaman Kebakaran

b. Semua saf untuk personil petugas pemadam kebakaran, harus dilengkapi


dengan sumber air utama untuk pemadaman yang memiliki sambungan
outlet dan katup-katup di tiap lobi pemadaman kebakaran kecuali pada
level akses.
c. Saf untuk pemadaman kebakaran harus dirancang, dikonstruksi dan
dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB III
SARANA PENYELAMATAN

BAGIAN 1: TUJUAN, FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA

1.1 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam Bab ini adalah mencegah terjadinya
kecelakaan atau luka pada waktu melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat
terjadi.

1.2 Fungsi
Setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan
oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk
menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh
keadaan darurat.
Batasan: Persyaratan ini tidak berlaku untuk bagian- bagian dalam dari unit
hunian tunggal pada bangunan kelas 2,3 atau bagian dari bangunan
kelas 4.

1.3 Persyaratan Kinerja


1. Sarana atau jalan ke luar dari bangunan harus disediakan agar penghuni
bangunan dapat menggunakannya untuk penyelamatan diri dengan jumlah,
lokasi dan dimensi sarana ke luar tersebut sesuai dengan:
a. jarak tempuh; dan
b. jumlah, mobilitas dan karakter lain dari penghuni bangunan; dan
c. fungsi atau penggunaan bangunan; dan
d. tinggi bangunan; dan
e. arah sarana ke luar apakah dari atas bangunan atau dari bawah level
permukaan tanah.
2. Jalan ke luar harus ditempatkan terpisah dengan memperhitungkan:
a. jumlah lantai bangunan yang dihubungkan oleh jalan ke luar tersebut, dan
b. sistem proteksi kebakaran yang terpasang pada bangunan; dan
c. fungsi atau penggunaan bangunan; dan
d. jumlah lantai yang dilalui; dan
e. tindakan Petugas Pemadam Kebakaran
3. Agar penghuni atau pemakai bangunan dapat menggunakan jalan ke luar
tersebut secara aman, maka jalur ke jalan ke luar harus memiliki dimensi yang
ditentukan berdasarkan:
a. jumlah, mobilitas dan karakter-karakter lainnya dari penghuni atau
pemakai bangunan; dan
b. fungsi atau pemakaian bangunan.
Batasan: Persyaratan 3 tidak berlaku terhadap bagian-bagian interval dari
unit hunian tunggal pada bangunan kelas 2, 3 dan bagian bangunan
kelas 4.

BAGIAN 2: PERSYARATAN JALAN KE LUAR

2.1 Persyaratan Teknis


Persyaratan kinerja sebagaimana diuraikan pada butir 1.3. dianggap telah tercapai
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Persyaratan butir 2.2. sampai dengan butir 2.15; butir 3.1. sampai dengan butir
5.3.
2. persyaratan bangunan beratrium; dan
3. persyaratan bangunan teater, panggung, dan ruang besar untuk umum
(public halls).

2.2 Penerapan Persyaratan


Persyaratan teknis yang dicakup dalam Sub Bab ini tidak berlaku terhadap bagian-
bagian internal dari unit hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3.

2.3 Kebutuhan Jalan Ke Luar (Eksit)


1. Semua bangunan: Setiap bangunan harus mempunyai sedikitnya 1 eksit dari
setiap lantainya.
2. Bangunan kelas 2 s.d kelas 8: Selain terdapat eksit horisontal, minimal harus
tersedia 2 eksit:
a. tiap lantai bila bangunan memiliki tinggi efektif lebih dari 2,5 m;
b. bangunan kelas 2 atau 3 atau gabungan kelas 2 dan 3 dengan ketinggian 2
lantai atau lebih dengan jenis konstruksi tipe - C, maka setiap unit hunian
harus mempunyai:
1) akses ke sedikitnya 2 jalan ke luar; atau
2) akses langsung ke jalan atau ruang terbuka
3. Bismen: Selain adanya eksit horisontal minimal harus tersedia 2 eksit dari
setiap lantai, bila jalur penyelamatan dari lantai tersebut naik lebih dari 1,5 m
kecuali:
a. luas lantai tak lebih dari 50 m2, dan
b. jarak tempuh dari titik manapun pada lantai dimaksud kesatu eksit
tidak lebih dari 20 m.
4. Bangunan kelas 9: Selain tersedia eksit horisontal, minimal harus tersedia 2
jalan ke luar pada:
a. tiap lantai bila bangunan memiliki lantai lebih dari 6 atau ketinggian
efektif lebih dari 2,5 m;
b. tiap lantai termasuk area perawatan pasien pada bangunan kelas 9a;
c. tiap lantai pada bangunan kelas 9b yang digunakan sebagai pusat
perawatan balita ;
d. setiap lapis lantai pada bangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
Pertama dengan ketinggian 2 lantai atau lebih;
e. tiap lantai atau mesanin yang menampung lebih dari 50 orang sesuai
fungsinya dihitung sesuai persyaratan butir 2.14.
5. Eksit dan Area perawatan pasien: Pada bangunan kelas 9a sedikitnya harus
ada 1 buah eksit dari setiap bagian lantai yang telah disekat menjadi
kompartemen-kompartemen tahan api sesuai Bab IV.
6. Eksit pada Panggung terbuka: Pada panggung terbuka yang menampung
lebih dari 1 deret tempat duduk, setiap deret harus mempunyai minimal 2
tangga atau ramp, masing-masing membentuk bagian jalur lintasan ke minimal
2 buah eksit.
7. Akses ke eksit: Tanpa harus melalui unit hunian tunggal lainnya, setiap
penghuni pada lantai atau bagian lantai bangunan harus memiliki akses ke:
a. suatu eksit; atau
b. sedikitnya 2 eksit, apabila ada 2 akses, maka dibutuhkan 2 buah eksit atau
lebih.

2.4 Eksit yang Terlindung terhadap Kebakaran


1. Bangunan kelas 2 dan 3: Setiap eksit yang diperlukan harus dilindungi
terhadap kebakaran, kecuali jalan tersebut menghubungkan tidak lebih dari:
a. 3 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan kelas 2, atau
b. 2 lapis lantai berurutan dalam suatu bangunan kelas 3, dan termasuk 1
lapis lantai tambahan bila digunakan sebagai tempat menyimpan
kendaraan bermotor atau keperluan pelengkap lainnya.
2. Bangunan kelas 5 s.d. 9: Setiap eksit harus terlindung terhadap bahaya
kebakaran kecuali:
a. pada bangunan kelas 9a: eksit tidak menghubungkan atau melalui lebih
dari 2 lapis lantai berurutan pada area yang bukan area perawatan pasien;
atau
b. merupakan bagian dari panggung penonton terbuka untuk tempat
penonton; atau
c. tidak menghubungkan atau melewati lebih dari 2 lapis lantai secara
berurutan atau 3 lapis lantai berurutan, bila bangunan tersebut mempunyai
sistem sprinkler yang terpasang memenuhi ketentuan dalam Bab V.

2.5 Jarak Tempuh ke Eksit


1. Bangunan kelas 2 dan 3:
a. Pintu masuk pada setiap hunian tunggal harus berjarak tidak lebih dari:
1) 6 m dari satu eksit atau dari suatu tempat di mana dari tempat tersebut
terdapat jalur yang berbeda menuju ke 2 eksit; atau
2) 20 m dari eksit tunggal yang melayani lantai pada level penyelamatan
menuju ke jalan atau ke ruang terbuka; dan
b. Tidak boleh ada tempat pada suatu ruang yang bukan pada unit hunian
tunggal pada suatu lantai memiliki jarak lebih dari 20 m dari suatu eksit
atau dari suatu tempat di mana terdapat jalur dua arah yang berbeda
menuju ke 2 eksit.
2. Bagian bangunan kelas 4: Pintu masuk kesetiap bagian Bangunan Kelas 4,
harus tidak lebih dari 6 m dari suatu eksit, atau dari suatu tempat di mana
terdapat jalur dua arah menuju ke 2 eksit.
3. Bangunan kelas 5 s.d. 9: Terkena aturan butir 2.4., 2.5., 2.6. dan:
a. Setiap tempat harus berjarak tidak lebih 20 m dari pintu ke luar, atau dari
tempat dengan jalur dua arah menuju ke 2 pintu ke luar tersedia, jika jarak
maksimum ke salah satu pintu ke luar tersebut tidak melebihi 40 m, dan
b. Pada bangunan kelas 5 atau 6, jarak ke eksit tunggal yang melayani lantai
pada level akses ke jalan atau ke ruang terbuka dapat diperpanjang sampai
30 m.
4. Bangunan kelas 9a: Pada area perawatan pasien di bangunan kelas 9a:
a. Jarak dari setiap titik pada lantai ke suatu tempat di mana di tempat
tersebut dua jalur yang berbeda menuju ke 2 eksit yang tersedia sesuai
persyaratan, tidak lebih dari 12 m; dan
b. Jarak maksimum dari tempat tersebut ke salah satu dari eksit tidak lebih
dari 30 m.
5. Tempat Duduk Penonton yang Terbuka: Jarak tempuh menuju ke eksit
pada bangunan kelas 9b, yang dipakai sebagai tempat duduk terbuka bagi
penonton, harus tidak boleh lebih dari 60 m.
6. Gedung Pertemuan: Pada bangunan kelas 9 b yang bukan gedung sekolah
atau pusat asuhan balita, jarak ke salah satu eksit boleh 60 m, bila:
a. jalur lintasan dari ruang tersebut ke eksit melewati ruang lain yakni
koridor, lobby, ramp, atau ruang sirkulasi lainnya, dan
b. konstruksi ruang tersebut bebas asap, memiliki TKA tidak kurang dari
60/60/60 dan konstruksi setiap pintunya terlindung serta dapat menutup
sendiri dengan ketebalan tidak kurang dari 35 mm.
c. jarak tempuh maksimum dalam ruang tidak boleh melebihi 40 m dan dari
pintu ke ruang melalui ruang sirkulasi ke eksit tidak boleh melebihi 20 m.

2.6 Jarak Antara Eksit-eksit Alternatif


Eksit yang disyaratkan sebagai alternatif jalan ke luar harus:
1. tersebar merata di sekeliling lantai yang dilayani sehingga akses ke minimal
dua eksit tidak terhalang dari semua tempat termasuk area lif di lobby; dan
2. jarak tidak kurang dari 9 m antar eksit; dan
3. jarak antar eksit tidak lebih dari:
a. 45 m pada bangunan kelas 2 atau kelas 3, atau
b. 45 m pada bangunan kelas 9a, bila eksit tersebut melayani tempat
perawatan pasien, atau
c. 60 m, untuk bangunan lainnya.
4. terletak sedemikian rupa sehingga alternatif jalur lintasan tidak bertemu,
sehingga jarak antar eksit kurang dari 6 m.

2.7 Dimensi/Ukuran Eksit


Pada suatu eksit yang disyaratkan atau jalur sirkulasi ke suatu eksit:
1. tinggi bebas seluruhnya tidak kurang dari 2 m, kecuali tinggi pintu yang tidak
terhalang boleh dikurangi sampai tidak boleh kurang dari 148 cm; dan
2. jika lapis lantai atau mesanin menampung tidak lebih dari 100 orang, maka
lebar bebas, kecuali untuk pintu harus tidak boleh kurang dari:
a. 1 m, atau
b. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang biasa digunakan untuk jalur
sirkulasi pasien di atas tempat tidur dorong pada area atau bangsal
perawatan;
3. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 100 orang, tetapi tidak
lebih dari 200 orang, maka lebar bersih, kecuali untuk pintu harus tidak kurang
dari:
a. 1 m ditambah 25 cm untuk setiap kelebihan 25 orang dari sejumlah 100
orang; atau
b. 1,8 m pada lorong, koridor atau ramp yang normalnya digunakan untuk
jalur sirkulasi pasien di atas tempat tidur dorong pada area atau bangsal
perawatan;
4. jika lapis lantai atau mesanin menampung lebih dari 200 orang, maka lebar
bersih, kecuali untuk pintu harus ditambah menjadi:
a. 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 60 orang dari sejumlah 200
orang jika jalan ke luar mencakup perubahan ketinggian lantai oleh tangga
atau ramp dengan tinggi tanjakan 1:12, atau
b. pada kasus lain, 2 m ditambah 500 mm untuk setiap kelebihan 75 orang
dari jumlah 200 orang; dan
5. pada panggung terbuka tempat penonton yang menampung lebih dari 2.000
orang, maka lebar bersih, kecuali untuk pintu ke luar harus diperlebar sampai
17 m ditambah dengan suatu kelebaran (dalam m) yang besarnya sama dengan
angka kelebihan dari jumlah 2.000 dibagi 600; dan
6. lebar pintu ke luar harus tidak kurang dari:
a. pada area perawatan pasien di mana pasien biasanya dipindahkan dalam
tempat tidur dorong, maka jika pintu membuka ke arah koridor dengan:
1) lebar koridor lebih besar dari 1,8 m atau kurang dari 2,2 m, maka lebar
bebasnya 120 cm; atau
2) lebar koridor tidak kurang dari 2,2 m, maka lebar bebasnya 107 cm;
b. untuk kawasan perawatan pasien di eksit horisontal dapat dikurangi 125
cm; atau
c. lebar dari setiap eksit yang memenuhi ketentuan butir 2.7.2., 2.7.3., 2.7.4.,
atau 2.7.5., minus 25 cm; atau
d. pada lokasi lain kecuali bila harus membuka ke ruang sanitasi atau kamar
mandi dikurangi 75 cm; dan
7. lebar pintu ke luar atau eksit tidak boleh berkurang ukurannya pada jalur
lintasan yang mengarah ke jalan atau ruang terbuka, kecuali apabila kelebaran
tersebut telah ditambah sesuai dengan butir 2.b. atau butir 6.a.

2.8 Jalur Lintasan Melalui Eksit Yang Dilindungi Terhadap Kebakaran


1. Pintu dari dalam ruangan harus tidak boleh membuka langsung ke arah tangga,
lorong, atau ramp yang dilindungi terhadap kebakaran, kecuali kalau pintu
tersebut dari:
a. lobby umum, koridor, hall atau yang sejenisnya; atau
b. unit hunian tunggal yang menempati seluruh lantai;
c. ruang sanitasi, ruang transisi atau yang sejenisnya.
2. Setiap tangga atau ramp yang dilindungi terhadap kebakaran, harus
menyediakan eksit tersendiri dari tiap lapis lantai yang dilayani dan dapat
mencapai ke luar secara langsung, atau lewati jalan terusan yang diisolasi
terhadap kebakaran tersebut langsung menuju:
a. ke jalan atau ruang terbuka, atau
b. ke suatu tempat:
1) dalam ruang atau lantai dalam bangunan, yang digunakan hanya untuk
pejalan kaki, parkir kendaraan atau sejenisnya, dan tertutup tidak lebih
dari 1/3 kelilingnya;
2) yang pada jarak tidak lebih dari 20 m, tersedia jalur tanpa hambatan
menuju ke jalan luar atau ruang terbuka; atau
c. ke area tertutup yang:
1) berbatasan dengan jalan atau ruang terbuka; dan
2) terbuka untuk sedikitnya 1/3 dari keliling area tersebut; dan
3) mempunyai ketinggian bebas rintangan disemua bagian, termasuk
bukaan
4) mempunyai jalur bebas rintangan dari tempat bergerak ke luar ke arah
jalan atau ruang terbuka yang jaraknya tidak lebih dari 6 m.
3. Bila pergerakan ke luar dari lokasi atau titik pelepasan atau hamburan
(discharge) menuju ke luar bangunan, mengharuskan untuk melewati jarak 6
m dari setiap bagian dinding luar bangunan tersebut, diukur tegak lurus ke
jalur lintasan, maka bagian dinding tersebut harus mempunyai:
a. TKA sedikitnya 60/60/60;
b. Setiap bukaan telah dilindungi dibagian dalamnya sesuai dengan ketentuan
pada Bab IV.
4. Jika terdapat lebih dari dua pintu masuk bukan dari ruang, sanitasi atau
sejenisnya, membuka ke arah pintu ke luar yang dilindungi terhadap
kebakaran pada lantai dimaksud, maka:
a. harus disediakan lobby bebas asap sesuai dengan Bab V;
b. pintu ke luar harus diberi tekanan udara sesuai standar yang berlaku.
5. Bangunan kelas 9: Harus disediakan Ramp pada setiap perubahan ketinggian
kurang dari 600 mm pada jalan terusan yang diisolasi terhadap kebakaran.

2.9 Tangga Luar Bangunan


Tangga luar bangunan dapat berfungsi sebagai eksit, yang disyaratkan,
menggantikan semua tangga yang diisolasi terhadap kebakaran. Pada bangunan
dengan ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m, bila konstruksi tangga tersebut
(termasuk jembatan penghubung) secara keseluruhan terbuat dari bahan yang
tidak mudah terbakar:
1. bila setiap bagian dari tangga yang berjarak kurang dari 6 m namun
berhadapan dengan jendela, pintu, kecuali pintu yang dilengkapi dengan pintu
kebakaran atau semacamnya, sesuai ketentuan yang melayani dinding luar
atau bukaan semacam itu di dinding luar yang dilayani oleh tangga, maka:
a. tangga luar tersebut harus dilindungi pada ketinggian penuh di atas level
terendah jendela ataupun pintu dengan konstruksi tahan api serta dengan
nilai ketahanan api tidak kurang dari 60/60/60; dan
b. tidak boleh ada jendela atau bukaan lainnya pada dinding penutup tangga
yang berada pada jarak 6 m bila tidak dilindungi atau 3 m bila dilindungi
sesuai ketentuan dari setiap jendela atau pintu pada dinding luar bangunan;
atau
2. bila setiap bagian dari tangga yang berjarak kurang dari 6 m tetapi lebih dari 3
m, tetapi berhadapan dengan jendela/pintu atau semacamnya disuatu dinding
luar, maka jendela/pintu atau semacamnya harus dilindungi sesuai ketentuan.

2.10. Lintasan Melalui Tangga/Ramp Yang Tidak Dilindungi Terhadap


Kebakaran
1. Tangga/ramp, yang tidak dilindungi terhadap kebakaran yang berfungsi
sebagai pintu eksit yang diperlukan harus terdiri atas lintasan yang menerus,
dengan injakan dan tanjakan tangga dari setiap lantai yang dilayani menuju ke
lantai di mana pintu ke luar ke jalan atau ruang terbuka disediakan.
2. Pada bangunan kelas 2, 3 atau 4, jarak antara ruang atau unit hunian tunggal
dengan tempat atau titik penyelamatan ke luar menuju ke jalan atau ruang
terbuka melalui tangga atau ramp yang tidak dilindungi terhadap kebakaran
dan diperlukan untuk melayani unit hunian tunggal harus tidak boleh
melampaui:
a. 30 m pada konstruksi bangunan tahan api tipe C, atau
b. 60 m pada konstruksi bangunan tahan api lainnya.
3. Pada bangunan kelas 5 s.d 9, jarak dari setiap titik atau tempat pada lantai ke
titik atau tempat penyelamatan menuju ke jalan atau ruang terbuka melalui
tangga/ramp yang tidak dilindungi terhadap kebakaran harus tidak melebihi 80
m.
4. Pada bangunan kelas 2, 3 atau 9a, tangga/ramp yang tidak dilindungi terhadap
kebakaran harus memiliki tempat penghamburan (discharge) pada titik atau
lokasi yang tidak lebih dari:
a. 15 m dari pintu yang menyediakan jalur penyelamatan menuju ke arah
jalan atau ruang terbuka, atau dari jalan terusan yang dilindungi terhadap
kebakaran menuju ke jalan atau ruang terbuka, atau
b. 30 m dari salah satu dari dua pintu atau jalan terusan, bila lintasan ke salah
satu dari tangga/ramp yang tidak dilindungi terhadap kebakaran berada
pada posisi berhadapan atau berlawanan arah.
5. Pada bangunan kelas 5 s.d 8 atau 9b, tangga/ramp yang tidak dilindungi
terhadap kebakaran harus menghambur ke luar pada tempat yang tidak lebih
dari:
a. 20 m dari pintu ke luar yang menyediakan jalur penyelamatan ke luar
menuju ke jalan atau ruang terbuka, atau dari jalan terusan yang dilindungi
terhadap kebakaran menuju ke jalan atau ruang terbuka, atau
b. 40 m dari salah satu dari dua pintu atau jalan terusan bilamana jalan
menuju ke salah satu dari tangga/ramp yang tidak dilindungi terhadap
kebakaran berada pada posisi berlawanan atau hampir berlawanan arah.
6. Pada bangunan kelas 2 atau 3, bila dua atau lebih eksit dan dipenuhi oleh
tangga/ramp yang tidak dilindungi terhadap kebakaran, maka masing-masing
eksit, harus:
a. menyediakan jalur penyelamatan terpisah menuju ke jalan atau ruangan
terbuka; dan
b. bebas asap.

2.11 Menghambur Keluar Melalui Eksit


1. Suatu eksit harus tidak terhalang pada titik atau tempat hamburan (discharge),
dan bila perlu dibuat penghalang untuk mencegah kendaraan menghalangi
eksit atau akses menuju ke eksit tersebut.
2. Jika eksit yang disyaratkan menuju ke ruang terbuka, lintasan atau jalur ke
arah jalan harus mempunyai lebar bebas sepanjang jalur tersebut tidak kurang
dari 1 m, atau lebar minimum dari pintu ke luar yang disyaratkan, tergantung
mana yang lebih lebar.
3. Jika suatu eksit menghambur menuju ke ruang terbuka yang terletak pada
ketinggian berbeda dengan jalan umum yang menghubungkannya, jalur
lintasan menuju ke jalan harus dengan:
a. ramp atau bentuk lereng dengan kecuraman kurang dari 1:8 di setiap
bagian atau tidak lebih curam dari 1:14 sesuai ketentuan;
b. kecuali bila eksit adalah dari bangunan kelas 9a, maka dapat digunakan
tangga yang memenuhi persyaratan.
4. Titik hamburan pada eksit alternatif harus ditempatkan terpisah satu sama lain.
5. Pada bangunan kelas 9b, yang digunakan sebagai panggung terbuka untuk
penonton yang menampung lebih dari 500 orang, tangga atau ramp yang
disyaratkan harus tidak menghambur ke arah area di depan panggung tersebut.
6. Pada bangunan kelas 9b yang memiliki auditorium yang menampung lebih
dari 500 orang, bagian lebar eksit yang terletak di area pintu masuk utama
tidak boleh melebihi 2/3-nya.

2.12 Eksit Horisontal


1. Eksit horisontal harus diperhitungkan sebagai bukan eksit yang disyaratkan,
apabila terletak:
a. antara unit hunian tunggal;
b. pada bangunan kelas 9b yang digunakan untuk pusat asuhan balita,
bangunan SD atau SLTP.
2. Pada bangunan kelas 9a, eksit horisontal dapat dianggap sebagai eksit, bila
jalur lintasan dari ruang atau kompartemen aman kebakaran yang dihubungkan
oleh satu atau lebih eksit horisontal menuju ke kompartemen kebakaran
lainnya, yang mempunyai sedikitnya satu eksit yang disyaratkan yang bukan
eksit horisontal.
3. Dalam hal lain yang bukan seperti butir 2 di atas, eksit horisontal harus tidak
terdiri atas lebih dari separuh eksit yang disyaratkan dari setiap bagian pada
lantai yang dipisahkan oleh dinding tahan api.
4. Eksit horisontal harus mempunyai area bebas disetiap sisi dinding tahan api
untuk menampung jumlah orang (dihitung sesuai butir 2.14.) dari kedua
bagian lantai, dengan tidak kurang dari:
a. 2,5 m2 tiap pasien pada bangunan kelas 9a, dan
b. 0,5 m2 tiap orang pada kelas bangunan lainnya.
Gambar 3.1.
Horisontal eksit, dari ruang ke ruang yang kedap api

Gambar 3.2.
Dinding dengan TKA untuk horisontal eksit

2.13 Tangga, Ramp Atau Eskalator Yang Tidak Disyaratkan


Suatu eskalator, ban berjalan atau tangga/ramp untuk pejalan kaki yang tidak
disyaratkan dan tidak dilindungi terhadap kebakaran:
1. tidak boleh digunakan di area perawatan pasien pada bangunan kelas 9a; dan
2. dapat menghubungkan ke setiap lantai bangunan bila tangga, ramp atau
eskalator tersebut:
a. terdapat pada panggung terbuka untuk penonton atau stadion olah raga
tertutup; atau
b. pada area parkir kendaraan atau atrium; atau
c. di luar bangunan; atau
d. pada bangunan kelas 5 atau 6 yang dilengkapi dengan fasilitas sprinkler
menyeluruh, dan instalasi eskalator, tangga atau ramp disyaratkan
memenuhi spesifikasi; dan
3. kecuali bila diizinkan sesuai butir 2 di atas, tidak harus menghubungkan lebih
dari:
a. 3 lantai, bila tiap lantai tersebut dilengkapi dengan sprinkler menyeluruh
sesuai ketentuan Bab V, atau
b. 2 lantai, dengan ketentuan bahwa lantai-lantai bangunan tersebut harus
berurutan, dan satu dari lapis lantai tersebut terletak pada ketinggian di
mana terdapat jalan ke luar langsung ke arah jalan umum atau ruang
terbuka; dan
4. kecuali bila diizinkan sesuai butir 2 atau 3 di atas, harus tidak menghubungkan
secara langsung atau tidak langsung ke lebih dari 2 lapis lantai pada tiap level
pada bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan lantai-lantai tersebut harus
berurutan.

2.14 Jumlah Orang Yang Ditampung


Jumlah orang yang dapat ditampung dalam satu lantai, ruang atau mesanin harus
ditentukan dengan mempertimbangkan kegunaan atau fungsi bangunan, tata letak
lantai tersebut, dengan cara:
1. menghitung total jumlah tersebut dengan membagi luas lantai dari tiap bagian
lantai dengan jumlah m2 per-orang sebagaimana tercantum pada Tabel 3.1.
sesuai jenis penghunian, tidak termasuk area yang diperuntukkan untuk:
a. lif, tangga, ramp, eskalator, koridor, hall, lobby dan ruang sejenis, dan
b. service duct dan yang sejenis, ruang sanitasi atau penggunaan tambah-an
lainnya; atau
2. mengacu kepada kapasitas tempat duduk di ruang atau bangunan gedung
pertemuan, atau
3. cara lain yang sesuai untuk memperkirakan kapasitasnya.
Tabel 3.1.
LUASAN PER-ORANG SESUAI PENGGUNAANNYA
(BEBAN PENGHUNIAN)

m2 / m2 /
Jenis Penggunaan Jenis Penggunaan
orang orang

Galeri seni, ruang pamer, 4 Kantor (pengetikan dan fotokopi) 10


museum
Bar, cafe, gereja, ruang makan 1 Ruang Perawatan Pasien 10
Ruang Pengurus/Pengelola 2 Ruang mesin: -ventilasi, listrik, dll. 30
Pemondokan / Losmen 15 - boiler/sumber tenaga 50
Ruang Sidang Pengadilan:
- ruang sidang 10
- ruang umum 1 Ruang baca 2
Ruang dansa 0,5 Restoran 1
Asrama 5 Sekolah: ruang umum 2
Pusat Penitipan Balita 4 gedung serba guna 1
Pabrik: ruang staf 10
- ruang manufaktur, prosesing 5 ruang praktek: SD 4
ruang kerja, workshop SLTP =
bengkel
- ruang untuk fabrikasi dan 50 Pertokoan, ruang penjualan:
proses selain di atas level langsung dari luar 3
Garasi-garasi umum 30 level lainnya 5
Ruang Senam / Gymnasium 3 Ruang Pamer: r. peragaan, Mall, 5
Arcade
Hotel, Hostel, Motel, Guest- 15 Panggung penonton:
house daerah panggung 0,3
Stadion indoor area 10 kursi penonton 1
Kios 1 R. Penyimpanan. r. elektrikal, r. 30
telepon
Dapur, Laboratorium, Tempat 10 Kolam Renang 1,5
Cuci
Perpustakaan : 2 Teater dan Hall 1
- ruang baca
- ruang penyimpanan 30 Ruang Ganti di Teater 4
Terminal 2
Bengkel/Workshop: - staf 30
pemeliharaan
- proses manufaktur = pabrik

2.15 Ruang Mesin Dan Motor Lif


1. Bila ruang peralatan atau ruang motor lif mempunyai luas lantai:
a. tidak lebih dari 100 m2, tangga metal dapat dipakai sebagai pengganti
tangga tembok dari setiap titik penyelamatan ke luar dari ruangan,
b. lebih dari 100 m2 dan tidak lebih dari 200 m2, dan bila terdapat 2 atau lebih
titik penyelamatan tersedia dalam ruangan tersebut, sebuah tangga
metal/besi yang dapat dipakai sebagai pengganti tangga seluruhnya,
kecuali satu dari titik penyelamatan tersebut.
2. Tangga yang diizinkan menurut butir 1. di atas:
a. merupakan bagian dari eksit yang tersedia asalkan dalam hal tangga yang
dilindungi terhadap kebakaran, maka tangga tersebut harus diletakkan di
dalam saf, atau
b. dapat menghambur ke luar pada lantai dan dipertimbangkan sebagai
bagian dari jalur lintasan menuju ke jalan ke luar yang aman, dan
c. harus memenuhi standar mengenai ruang mesin, ruang motor lif.

BAGIAN 3: KONSTRUKSI EKSIT

3.1 Penerapan
Kecuali ketentuan butir 3.13 dan 3.16, persyaratan ini tidak berlaku bagi bagian-
bagian internal untuk unit hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau kelas 3 atau
bagian bangunan kelas 4.

3.2 Tangga dan Ramp Yang Dilindungi Terhadap Kebakaran


Tangga atau ramp (termasuk bordes) yang disyaratkan berada di dalam saf tahan
api harus dari konstruksi:
1. bahan tidak mudah terbakar
2. bila terjadi kerusakan setempat tidak akan menimbulkan kerusakan struktur
atau melemahkan ketahanan api pada saf tersebut.

Gambar 3.3.
Tangga kedap asap yang menggunakan ventilasi alami dan mekanis
3.3 Tangga Dan Ramp Yang Tidak Dilindungi Terhadap Kebakaran
Pada suatu bangunan dengan ketinggian lebih dari 2 lantai, tangga dan ramp yang
tidak disyaratkan berada di dalam saf tahan api harus dengan konstruksi sesuai
ketentuan butir 3.2. di atas, atau dengan konstruksi:
1. beton bertulang atau beton prate gang, atau
2. baja dengan tebal minimal 6 mm, atau
3. kayu yang:
a. memiliki ketebalan minimal 44 mm termasuk finishing; dan
b. memiliki berat jenis rata-rata tidak kurang dari 800 kg/m3 pada
kelembaban 12 %
c. yang direkatkan dengan perekat khusus seperti resorcinol formaldehyde
atau resorcinol phenol formaldehyde.

3.4 Pemisahan Tanjakan dan Turunan Tangga


Bila suatu tangga dipakai sebagai eksit, disyaratkan agar terlindung terhadap api,
maka:
1. harus tidak ada hubungan langsung antara:
a. tanjakan tangga dari lantai di bawah lantai dasar ke arah jalan atau ruang
terbuka; dan
b. turunan tangga dari lantai di atas lantai dasar; dan
2. setiap konstruksi yang memisahkan tanjakan dan turunan tangga harus tidak
mudah terbakar dan mempunyai TKA minimal 60/60/60.

3.5 Ramp dan Balkon dengan Akses Yang Terbuka


Bila ramp atau balkon dengan akses yang terbuka merupakan bagian dari eksit
yang disyaratkan, maka harus:
1. mempunyai bukaan ventilasi ke udara luar yang:
a. mempunyai luas total area bebas minimal seluas ramp atau balkon, dan
b. tersebar merata sepanjang sisi terbuka ramp atau balkon, dan
2. tidak tertutupi pada sisi yang terbuka di atas ketinggian 1 m, kecuali dengan
grill atau sejenisnya dengan ruang udara minimal 75 % dari area tersebut.

3.6 Lobby Bebas Asap


Lobby bebas asap yang disyaratkan harus:
1. mempunyai luas lantai minimal 6 m2; dan
2. terpisah dari daerah yang dihuni dengan dinding kedap asap, di mana:
a. mempunyai TKA minimal 60/60/- (bisa papan plaster, papan gipsum, bata
merah, glass block),
b. terbentang antar balok lantai, atau ke bagian bawah langit-langit yang
tahan penjalaran api sampai 60 menit,
c. setiap sambungan konstruksi antara bagian atas dinding dan balok lantai,
atap atau langit-langit harus ditutup dengan bahan yang kedap asap;
3. pada setiap bukaan dari area hunian, harus ada pintu bebas asap sesuai standar
teknis yang berlaku, kecuali bila terdapat alat sensor asap diletakkan dekat
dengan sisi bukaan; dan
4. diberi tekanan udara sebagai bagian dari eksit, bila eksit disyaratkan untuk
diberi tekanan udara.
3.7 Instalasi pada Eksit dan Jalur Lintasan
1. Akses ke saf servis dan lainnya, yang bukan peralatan pemadam atau deteksi
kebakaran sesuai yang diizinkan dalam pedoman ini, tidak perlu disediakan
pada tangga, lorong atau ramp yang dilindungi terhadap kebakaran.
2. Bukaan pada saluran atau duct yang membawa produk panas hasil
pembakaran harus tidak diletakkan dibagian manapun dari eksit atau koridor,
gang, lobby, atau sejenisnya yang menuju ke eksit tersebut.
3. Gas atau bahan bakar lainnya harus tidak dipasang di eksit yang disyaratkan.
4. Peralatan tidak boleh dipasang di eksit yang disyaratkan, atau di koridor, gang,
lobby atau sejenisnya yang menuju ke eksit tersebut, bila peralatan dimaksud
terdiri atas:
a. meter listrik, panel atau saluran distribusi,
b. panel atau peralatan distribusi telekomunikasi sentral, dan
c. motor listrik atau peralatan motor lain dalam bangunan,
kecuali bila terlindung oleh konstruksi tidak mudah terbakar atau tahan api
dengan pintu atau bukaan yang dilindungi terhadap penjalaran asap.
3.8 Perlindungan Ruang di Bawah Tangga dan Ramp
1. Tangga dan ramp yang dilindungi terhadap api: Bila ruang di bawah tangga
atau ramp tahan api yang disyaratkan berada di dalam saf tahan api, maka
bagian tangga atau ramp tersebut harus tidak tertutup.
2. Tangga dan ramp tidak dilindungi: Ruang di bawah tangga atau ramp tidak
tahan api (termasuk tangga luar) harus tidak tertutup, kecuali:
a. dinding dan langit-langit penutup mempunyai TKA minimal 60/60/60;
b. setiap pintu masuk ke ruang tertutup dilengkapi dengan pintu tahan api
dengan TKA -/60/30 yang dapat menutup sendiri secara otomatis.

3.9 Lebar Tangga


1. Lebar tangga yang disyaratkan harus:
a. bebas halangan, seperti pegangan rambat (handrail), bagian dari pagar
tangga (balustrade), dan sejenisnya; dan
b. lebar bebas halangan, kecuali untuk list langit-langit, sampai ketinggian
tidak kurang dari 2 m, vertikal di atas garis sepanjang bagian yang
menonjol dari injakan tangga atau lantai bordes.
2. Tangga yang lebarnya melebihi 2 m dianggap mempunyai lebar hanya 2 m,
kecuali bila tangga tersebut terbagi oleh pagar tangga atau pegangan rambat
menerus antara lantai bordes dan lebar masing-masing bagian kurang dari 2 m.

Gambar 3.4.
Penggunaan pegangan rambat pada tangga dan ketinggian pagar/kisi-kisi tangga
yang dipersyaratkan.

3.10 Ramp Pejalan Kaki


1. Ramp yang dilindungi terhadap kebakaran dapat menggantikan tangga
terlindung, bila konstruksi yang menutup ramp, serta lebar dan tinggi langit-
langit sesuai persyaratan untuk tangga yang dilindungi terhadap kebakaran.
2. Ramp yang berfungsi sebagai jalan ke luar yang disyaratkan, harus
mempunyai kemiringan tanjakan tidak lebih curam dari:
a. 1:12 pada area perawatan pasien di bangunan kelas 9a,
b. disyaratkan sesuai ketentuan untuk orang dengan mobilitas terbatas,
c. 1:8 untuk kasus lainnya.
3. Permukaan lantai ramp harus dengan bahan yang tidak licin.

3.11 Jalan Terusan yang Dilindungi terhadap Kebakaran


1. Konstruksi jalan terusan yang dilindungi terhadap kebakaran, harus dari bahan
yang tidak mudah terbakar, serta memiliki nilai TKA tertentu bila diuji api
dengan api terletak di luar jalan terusan di bagian lain dari bangunan dengan
ketentuan:
a. bila jalan terusan berhambur ke luar dari tangga atau ramp yang dilindungi
terhadap kebakaran, TKA tidak kurang dari yang disyaratkan untuk saf
tangga atau ramp,
b. pada kasus lain TKA tidak kurang dari 60/60/60.
2. Meskipun dengan ketentuan butir 3.11.1.b diatas, konstruksi atas dari jalan
terusan yang dilindungi terhadap kebakaran tidak perlu memiliki TKA, bila
dinding jalan terusan tersebut menerus hingga di bawah dengan ketentuan:
a. penutup atap dari bahan tidak mudah terbakar,
b. langit-langit mempunyai ketahanan terhadap penjalaran api awal tidak
kurang dari 60 menit, memisahkan ruang atap dan langit-langit diseluruh
area yang melindungi jalan terusan dalam kompartemen kebakaran.

3.12 Atap Sebagai Ruang Terbuka


Jika eksit memiliki titik hamburan menuju ke atap bangunan, atap tersebut harus:
1. mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120, dan
2. tidak terdapat jendela atap atau bukaan atap lainnya pada jarak 3 m dari jalur
lintasan yang dipakai orang untuk ke luar mencapai jalan umum atau ruang
terbuka.

Gambar 3.5.
Jalan keluar terusan di Mall

Gambar 3.6.
Eksit memanjang/jalan keluar terusan yang diizinkan
3.13 Injakan dan Tanjakan Tangga
Tangga harus memenuhi ketentuan:
1. tidak lebih dari 18 atau kurang dari 2 tanjakan disetiap lintasan tangga, dan
2. injakan (G), tanjakan (R), dan jumlah (2R + G) sesuai Tabel 3.2.,
3. injakan dan tanjakan adalah konstan ditiap lintasan tangga, dan
4. bukaan antara injakan maksimum 125 mm,
5. ujung injakan dekat sisi yang menonjol diberi finishing yang tidak licin,
6. injakan harus kuat bila tinggi tangga lebih dari 10 m atau menghubungkan
lebih dari 3 lantai.
7. pada bangunan kelas 9b tiap lintasan tangga harus tidak lebih dari 36 tanjakan
secara berurutan dan tanpa berubah arah pada sedikitnya 30o, dan
8. dalam hal tangga diperlukan, tidak boleh ada bordes ¼,
9. dalam hal tangga tidak diperlukan, bordes ¼ tidak boleh memiliki lebih dari 4
putaran.

Tabel 3.2.
Dimensi Injakan dan Tanjakan
Jumlah (2 R +
Tanjakan (R) Injakan (G) (b)
G)
Fungsi
Tangga Maksi Minim Maksi Minim Maksi Mini
mum um mum um mum mum
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Tangga 190 115 355 250 700 550
Umum
Tangga 190 115 355 240 700 550
khusus (a)

G
celah maks. 125 mm R

G
celah maks. 125 mm
R

Gambar 3.7.
Persyaratan Injakan dan Tanjakan
Catatan:
a. Tangga khusus adalah:
1) Tangga yang berada di unit hunian tinggal pada bangunan kelas 2 atau
kelas 4; dan
2) Tangga yang bukan merupakan bagian dari eksit yang dilindungi dan
yang umumnya tidak ada akses ke tangga tersebut.
b. Injakan pada tangga yang menyempit (kecuali putaran pada seperempat
bordes) pada suatu tangga melingkar atau spiral diukur:
1) 270 mm ke dalam dari sisi luar tidak terhalang dari tangga bilamana
lebar tangga kurang dari 1 m (hanya berlaku pada tangga yang bukan
termasuk tangga penyelamatan), dan
2) 270 mm dari tiap sisi atau tepi kelebaran tidak terhalang dari tangga
bilamana lebar tangga 1 m atau lebih.

Gambar 3.8.
Tangga berbentuk kurva dapat berfungsi sebagai sarana jalan keluar
Gambar 3.9.
Tangga spiral, tidak boleh sebagai tangga kebakaran

3.14 Bordes
1. Bordes tangga dengan maksimum kemiringan 1:50 dapat digunakan ditiap
bangunan untuk mengurangi jumlah tanjakan ditiap lintasan tangga, dan setiap
bordes harus:
a. memiliki panjang tidak kurang dari 75 cm diukur 50 cm dari tepi dalam
bordes, dan
b. tepi ujung bordes diberi lapisan anti licin.
2. Bangunan kelas 9a:
a. luas bordes harus cukup untuk melewatkan usungan yang berukuran
panjang 2 m dan lebar 60 cm pada kemiringan tidak lebih dari kemiringan
tangga dengan sedikitnya satu ujung usungan berada di bordes; dan
b. tangga harus memiliki perubahan arah 180o, dan lebar bersih bordes tidak
kurang dari 1,6 m dan panjang bersih minimal 2,7 m.

Gambar 3.10.
Bordes belokan tangga yang diizinkan

3.15 Ambang Pintu


Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga atau ramp minimal selebar daun
pintu kecuali:
1. di ruang perawatan pasien pada bangunan kelas 9a, ambang pintu tidak boleh
lebih dari 25 mm di atas ketinggian lantai di mana pintu membuka,
2. pada kasus lainnya:
a. pintu terbuka ke arah jalan atau ruang terbuka, tangga atau balkon luar,
dan
b. ambang pintu tidak lebih dari 190 mm di atas permukaan tanah, balkon
atau yang sejenis di mana pintu membuka.

3.16. Pagar Tangga (Balustrade)


1. Balustrade menerus harus tersedia sepanjang sisi atap untuk jalan umum,
tangga, ramp, lantai, koridor, balkon serambi, mesanin, jembatan akses atau
semacamnya dan sepanjang sisi setiap jalur akses ke bangunan, bila:
a. tidak dibatasi dengan dinding, dan
b. tinggi lebih dari 1 m di atas lantai atau di bawah muka tanah, kecuali pada
keliling panggung, tempat bongkar muat barang atau tempat lain untuk
jalur masuk staf pemeliharaan.
2. Balustrade di:
a. tangga/ramp yang dilindungi terhadap kebakaran atau area lain yang
digunakan utamanya untuk keadaan darurat, kecuali tangga/ramp luar
bangunan, dan
b. bangunan kelas 7 (selain tempat parkir) serta kelas 8, dan bagian bangunan
yang terdiri dari kelas-kelas bangunan tersebut harus mengikuti ketentuan
butir 6 dan 7.a.
3. Balustrade, di tangga, dan ramp di luar ketentuan sebagaimana butir 2 diatas
harus mengikuti ketentuan butir 6 dan 7.a.
4. Balustrade sepanjang sisi atau dekat permukaan horisontal seperti:
a. atap, yang menyediakan akses untuk umum dan tiap jalur masuk ke
bangunan; dan
b. lantai, koridor, balkon, lorong, mesanin serambi dan sejenisnya, harus
mengikuti ketentuan butir 6 dan 7.b.
5. Suatu Balustrade atau penghalang lain di depan tempat duduk permanen pada
balkon atau mesanin dalam auditorium bangunan kelas 9b harus memenuhi
ketentuan 6.c dan 7.b.
6. Tinggi balustrade harus dibuat sesuai dengan ketentuan berikut:
a. tinggi minimal 865 mm di atas ujung tonjolan injakan tangga atau lantai
ramp,
b. tinggi tidak kurang dari 1 m di atas lantai jalur akses masuk, balkon,
bordes dan sejenis-nya atau 865 mm di atas lantai bordes ke tangga atau
ramp di mana balustrade tersedia sepanjang tepi dalam bordes dan tidak
menjulur hingga kepanjangan 500 mm,
c. balustrade sesuai ketentuan butir 5, tinggi di atas lantai tidak kurang dari 1
m, atau 700 mm bila tonjolan ke luar dari bagian atas balustrade
diproyeksikan mendatar tidak kurang dari 1 m.
7. Bukaan pada balustrade yang memenuhi ketentuan butir 2, bila dibuat sesuai:
a. jarak antara lebar bukaan tidak lebih dari 300 mm;
b. bila menggunakan jeruji, tinggi jeruji tidak lebih dari 150 mm di atas tepi
paling ujung dari injakan tangga atau lantai bordes, balkon atau sejenisnya,
dan jarak antar jeruji tidak lebih dari 460 mm.
Untuk balustrade di luar yang disebut dalam butir 2 di atas, maka tiap bukaan
tidak boleh memiliki ruang kosong/gap lebih dari 125 mm.

3.17 Pegangan Rambat pada Tangga


1. Pegangan rambat harus tersedia untuk membantu orang agar aman
menggunakan tangga atau ramp.
2. Pegangan rambat memenuhi ketentuan butir 1 tersebut bila:
a. sedikitnya dipasang sepanjang satu sisi pada ramp/tangga, dan
b. dipasang pada dua sisi bila lebar tangga/ramp 2 m atau lebih, dan
c. bangunan kelas 9b dengan peruntukan untuk sekolah dasar, dipasang
permanen dengan tinggi minimal 865 mm dengan jeruji pendukung
permanen setinggi minimal 700 mm.
3. Pada bangunan kelas 9a harus tersedia sedikitnya sepanjang satu sisi dari
setiap jalan terusan atau koridor yang digunakan oleh pasien, dan harus:
a. terpasang permanen dengan jarak sedikitnya 50 mm dari dinding,
b. dibuat menerus.
4. Perlengkapan untuk pegangan rambat pada tangga harus disediakan untuk
membantu orang dengan mobilitas terbatas dengan memenuhi ketentuan pada
3.3.

3.18 Pintu
Suatu pintu dalam bangunan yang berfungsi sebagai eksit atau membentuk bagian
dari eksit atau setiap pintu untuk area perawatan pasien dari bangunan kelas 9a,
harus:
1. bukan pintu berputar,
2. bukan pintu gulung, kecuali:
a. dipasang pada bangunan atau bagian bangunan kelas 6, 7, 8 dengan luas
lantai tidak lebih dari 200 m2; dan
b. merupakan satu-satunya pintu ke luar dari dalam bangunan; dan
c. terpasang pada posisi membuka saat bangunan atau bagian bangunan
terisi; dan
3. tidak boleh dipasang pintu sorong, kecuali bila:
a. membuka secara langsung ke arah jalan umum atau ruang terbuka; dan
b. pintu dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dari 110 N;
dan
4. bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik:
a. harus dapat dibuka secara manual, dengan tenaga tidak lebih dari 110 N,
bila terjadi kerusakan atau tidak berfungsinya tenaga listrik,
b. membuka langsung ke arah jalan umum atau ruang terbuka, harus dapat
membuka secara otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik, atau
pada saat aktivasi alarm kebakaran di mana saja di kompartemen
kebakaran yang dilayani oleh pintu.

3.19 Pintu Ayun


Suatu pintu ayun pada eksit atau sebagai bagian dari eksit, maka:
1. Tidak mengganggu lebih dari 500 mm pada lebar yang disyaratkan dari
tangga, lorong atau ramp, termasuk bordes; dan
2. Bila terbuka sempurna, tidak mengganggu lebih dari 100 mm pada lebar yang
disyaratkan untuk eksit yang diperlukan, dan menentukan efek gangguan pada
setiap kasus adalah mencakup pula pegangan pintu atau asesoris dari pintu
tersebut.
3. Ayunan harus mengarah ke jalur penyelamatan, kecuali jika:
a. melayani bangunan atau bagian bangunan dengan luas tidak lebih dari 200
m2, merupakan satu-satunya pintu ke luar dari bangunan, dan dipasang alat
pegangan pada posisi membuka;
b. melayani ruang saniter;
4. tidak menghalangi jalur ataupun arah lintasan penyelamatan.

3.20 Pengoperasian Gerendel Pintu


Pintu pada eksit yang disyaratkan membentuk bagian dari eksit atau jalur yang
menuju ke eksit harus siap dapat dibuka tanpa kunci dari sisi dalam yang
menghadap ke jalur penyelamatan dengan satu tangan, dengan mendorong melalui
alat yang dipasang pada ketinggian antara 0,9 - 1,2 m dari lantai, kecuali bila:
1. melayani ruang bawah tanah, ruang aman kebakaran, ruang sanitasi atau
sejenisnya,
2. hanya melayani atau terletak di dalam:
a. unit hunian tunggal pada bangunan kelas 2, 3, atau bagian bangunan kelas
4; atau
b. unit hunian tunggal dengan luas area tidak lebih dari 200 m2 pada
bangunan kelas 5, 6, 7, atau 8; atau
c. suatu ruang yang tidak dapat dimasuki orang setiap waktu saat pintu
terkunci; atau
3. melayani hunian yang perlu pengamanan khusus dan dapat segera dibuka:
a. dengan mengoperasikan alat pengontrol yang tidak berada dalam ruang
yang diproteksi untuk mengaktifkan alat untuk membuka pintu,
b. dengan tangan, khususnya orang yang ditunjuk oleh pemilik, sehingga
orang dalam bangunan segera dapat menyelamatkan diri bila terjadi
kebakaran atau keadaan darurat lainnya;
4. dipasang dengan dilengkapi peralatan kontrol (fail-safe) yang secara otomatis
membuka pintu saat sistem sprinkler bekerja atau aktivasi sistem deteksi dan
alarm kebakaran sebagaimana diatur dalam Bab V.
5. melayani lantai atau ruang yang menampung lebih dari 100 orang, pada
bangunan kelas 9b, yang bukan bangunan sekolah, panti asuhan balita atau
bangunan keagamaan, di mana gerendel pintu tersebut harus siap dibuka
dengan cara:
a. tanpa kunci dari arah orang menuju ke jalan ke luar untuk penyelamatan;
dan
b. dengan satu tangan mendorong sarana tunggal seperti batang panik yang
terletak antara 900 mm dan 1,2 m dari lantai; dan
c. bila dipasang pintu dobel, kelengkapan sebagaimana disebut dalam a dan b
hanya berlaku terhadap satu pintu.

3.21 Masuk Kembali dari Eksit yang Dilindungi terhadap Kebakaran


Pintu harus tidak terkunci dari dalam tangga/ramp/lorong yang dilindungi
terhadap kebakaran untuk mencegah orang yang masuk kembali ke lantai atau
ruang yang dilayani pada:
1. bangunan kelas 9a, atau
2. bangunan dengan tinggi efektif lebih 25 m, kecuali jika semua pintu secara
otomatis terbuka dengan alat kontrol fail-safe saat alarm kebakaran teraktivasi;
dan:
a. sedikitnya pada setiap 4 tingkat pintu-pintu tidak terkunci dan terdapat
rambu permanen menyatakan bahwa masuk kembali bisa dilakukan;
b. tersedia sistem komunikasi internal, atau sistem audibel/visual alarm yang
dioperasikan dari dalam ruangan khusus dekat pintu, dan juga rambu
permanen menjelaskan tentang maksud dan cara mengoperasikannya.

3.22 Rambu pada Pintu


1. Rambu, untuk memberi tanda pada orang bahwa operasi pintu-pintu tertentu
harus tidak dihalangi, harus dipasang di tempat yang mudah dilihat atau dekat
dengan:
a. 1) pintu kebakaran yang memberikan akses langsung ke eksit yang
dilindungi terhadap kebakaran, kecuali pintu yang memberikan
lintasan penyelamatan langsung dari unit hunian tunggal dari bangunan
kelas 2, 3 atau 4;
2) pintu asap pada sisi pintu yang menghadap ke orang yang mencari
jalan ke luar penyelamatan; dan
b. 1) pintu kebakaran yang membentuk bagian dari eksit horisontal; dan
2) pintu asap yang berayun kedua jurusan; dan
3) pintu yang menuju dari eksit yang dilindungi kebakaran ke jalan atau
ruang terbuka pada setiap sisi pintu.
2. Rambu tersebut dalam butir a dibawah harus dibuat dengan huruf besar
minimal tinggi huruf 20 mm, warna kontras dengan warna latar belakang dan
menyatakan:
a. untuk suatu pintu otomatis yang dibiarkan terbuka lewat sarana otomatis:
“PINTU KEBAKARAN (ASAP)
DILARANG MENEMPATKAN BARANG DI DEPAN PINTU“

atau
b. untuk pintu yang dapat menutup sendiri:

“PINTU KEBAKARAN (ASAP)


DILARANG MENEMPATKAN BARANG DI DEPAN PINTU
JANGAN DIBIARKAN TERBUKA“

atau
c. untuk pintu yang digunakan sebagai titik hamburan dari eksit yang
dilindungi terhadap kebakaran:

“PINTU AMAN KEBAKARAN


DILARANG MENEMPATKAN BARANG DI DEPAN PINTU“

Gambar: 3.11.
Tulisan pada pintu kebakaran

BAGIAN 4: KETENTUAN UNTUK TANGGA, RAMP DAN ESKALATOR


BUKAN UNTUK JALUR PENYELAMATAN SAAT TERJADI
KEBAKARAN

4.1 Lingkup
Ketentuan ini mengandung persyaratan-persyaratan yang membolehkan tangga,
ramp atau eskalator yang bukan untuk sarana penyelamatan, untuk dapat
menghubungkan tiap lantai pada bangunan kelas 5 atau 6. Persyaratan ini tidak
berlaku untuk atrium ataupun di luar bangunan.

4.2 Persyaratan
Suatu eskalator/lif, ban berjalan ataupun tangga serta ramp yang bukan untuk
sarana penyelamatan dan tidak dilindungi oleh struktur tahan api harus memenuhi
persyaratan berikut:
1. Eskalator, ban berjalan, tangga ataupun ramp tersebut harus dibatasi oleh suatu
saf dengan ketentuan:
a. dikonstruksikan dengan TKA tidak kurang dari 120/120/120 bila dari
dinding pemikul atau 120/120/120 bila dari struktur tidak memikul beban
dan bila dari konstruksi ringan harus memenuhi persyaratan yang berlaku,
atau
b. konstruksi bahan kaca dengan TKA tidak kurang dari -/60/30 yang
dilindungi dengan sistem pembasah dinding dengan sistem sprinkler untuk
perlindungan dinding kaca.
2. Ruang kosong yang terdapat pada setiap tangga, ramp atau eskalator yang
tidak dipersyaratkan tidak boleh berhubungan lebih dari 2 lantai.
3. Naik dan turunnya eskalator, ban berjalan, tangga ataupun ramp dalam satu saf
harus dipisahkan oleh konstruksi yang memiliki TKA tidak kurang dari -
/60/30.
4. Bukaan ke dalam saf harus dilindungi oleh pintu kebakaran yang memiliki
TKA tidak kurang dari -/60/30.
5. Bilamana pintu kebakaran berada pada posisi menutup, maka lantai ataupun
penutup lantai di bawah pintu kebakaran harus tidak boleh mudah terbakar
(combustible).
6. Pada pintu-pintu kebakaran harus dipasang penutup asap dan pintu beserta
kelengkapannya harus diuji sesuai ketentuan dan standar yang berlaku.
7. Pintu-pintu kebakaran harus:
a. menutup dan mengunci untuk maksud-maksud keamanan (security), atau
b. dalam keadaan terbuka dan menutup secara otomatis.

8. Detektor asap harus dipasang pada kedua sisi bukaan, dengan jarak horisontal
tidak lebih dari 1,5 m dari bukaan.
9. Pada posisi menutup, pintu-pintu kebakaran harus dapat dibuka lewat satu
tangan dengan gerakan ke bawah atau gerakan mendorong arah horisontal
pada peralatan tunggal untuk membuka dari dalam saf dan lewat kunci bila
membuka dari arah luar saf.
10. Suatu tanda peringatan harus dipasang dekat semua bukaan pintu ke arah saf
sedemikian rupa agar dapat terbaca secara langsung dari luar saf. Tanda
tersebut harus memenuhi syarat dimensi dan rincian sebagaimana pada
Gambar 3.12.

DILARANG MENGGUNAKAN TANGGA INI Tinggi huruf = 20 m


SAAT TERJADI KEBAKARAN

atau

Dilarang Menggunakan Tangga Ini Tinggi huruf = 16 mm


Saat Terjadi Kebakaran

Gambar 3.12.
Tanda Peringatan untuk Tangga Ramp dan Eskalator yang bukan untuk sarana
Penyelamatan Saat Kebakaran.

11. Semua bukaan pintu ke arah saf harus berjarak tidak lebih 20 m dari eksit yang
dipersyaratkan.
12. Tanda-tanda yang menunjukkan arah menuju ke eksit terdekat harus dipasang
di tempat-tempat yang memungkinkan mudah dan segera terlihat.
13. Bahan-bahan yang melekat ketiap dinding, langit-langit atau lantai yang
berada dalam saf harus mempunyai Indeks Penyebaran Nyala 0 (nol) dan
Indeks Penimbunan Asap tidak lebih dari 5.
14. Pencahayaan darurat harus dipasang di dalam saf sesuai ketentuan yang
berlaku.
15. Tidak ada anak tangga atau ramp yang berjarak lebih dekat dengan batas
ambang pintu dari pada lebar daun pintu.

BAGIAN 5: LANDASAN HELIKOPTER

5.1 Helipad Untuk Penyelamatan (Rescue)


1. Untuk bangunan gedung yang tingginya melebihi 60 m perlu diperhitungkan
kemungkinan diadakannya landasan helikopter atau helipad untuk
penyelamatan terbatas (rescue) pada saat terjadi kebakaran yang memerlukan
tindakan penyelamatan tersebut melalui atap bangunan.
2. Pengadaan helipad bukanlah dimaksudkan untuk evakuasi penghuni bangunan
melainkan untuk penyelamatan terbatas atau beberapa orang dan lebih
diutamakan untuk rescue.
3. Rancangan pembangunan helipad perlu memperhatikan selain kondisi iklim
dan cuaca adalah desain atap, tinggi bangunan serta lingkungan bangunan-
bangunan disekitarnya termasuk sarana mekanikal dan elektrikal yang terdapat
atau dirancang berada di atap bangunan seperti antene, tangki air, penangkal
petir, papan iklan (billboard) dan sebagainya.
5.2 Konstruksi Atap Bangunan
1. Konstruksi atap untuk pendaratan helikopter (landing deck) harus dari bahan
tidak mudah terbakar dan cukup kokoh untuk memikul beban akibat helikopter
berpenumpang dan kelengkapannya, baik saat mendarat maupun saat bertolak.
2. Helipad harus pula dilengkapi dengan sarana pemadam kebakaran seperti
hidran, pemadam bahan busa (foam system), pemadam api baik ringan
(APAR) maupun beroda, lampu-lampu tanda penunjuk, serta sarana pelindung
diri dan peralatan penunjang lainnya seperti mantel tahan api (fire blanket),
pakaian pelindung kebakaran (protective clothing), alat bantu pernapasan dan
sebagainya.
5.3 Tanda Lokasi Helipad
1. Tanda tempat helikopter mendarat ataupun berhenti siaga, harus dibuat
bertanda untuk memandu ataupun memberitahu pilot helikopter tempat yang
pasti untuk mendarat termasuk pemberitahuan mengenai lokasi tempat
helikopter siaga tersebut.
2. Tanda tersebut harus mudah terlihat dari ketinggian yang cukup dan umumnya
dicat warna merah oranye atau kontras dengan dasar atau alas lantai atap.
5.4 Kelengkapan lainnya
1. Sistem drainase dek pendaratan harus terpisah dari sistem drainase bangunan
kecuali bila semua air, minyak, dan residu yang berasal dari dek tersebut
dialirkan seluruhnya ke pemisah berventilasi yang memenuhi syarat.
2. Ketentuan lainnya mengenai landasan helikopter harus memenuhi standar
yang berlaku.
BAB IV
SISTEM PROTEKSI PASIF

BAGIAN 1: TUJUAN, FUNGSI, DAN PERSYARATAN KINERJA

1.1 Tujuan
Tujuan dari persyaratan yang tercantum dalam Bab ini adalah untuk:
1. melindungi manusia yang sakit ataupun cedera akibat terjadinya kebakaran
dalam bangunan maupun saat penyelamatan;
2. menyediakan fasilitas untuk menunjang kegiatan yang dilakukan petugas
pemadam kebakaran;
3. menghindari penyebaran kebakaran antar bangunan;
4. melindungi benda atau barang lainnya terhadap kerusakan fisik akibat
keruntuhan struktur bangunan saat terjadi kebakaran.

1.2 Fungsi
1. Konstruksi suatu bangunan harus mampu menciptakan kestabilan struktur
selama kebakaran untuk:
a. memberikan waktu bagi penghuni bangunan untuk menyelamatkan diri
secara aman;
b. memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran untuk
beroperasi;
c. menghindarkan kerusakan benda atau barang akibat kebakaran.
2. Suatu bangunan harus dilindungi terhadap penyebaran kebakaran:
a. sehingga penghuni bangunan mempunyai cukup waktu untuk melakukan
evakuasi secara aman tanpa dihalangi oleh penyebaran api dan asap
kebakaran;
b. untuk memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran
beroperasi;
c. antar unit-unit hunian tunggal (hanya berlaku bagi bangunan kelas 2 atau
3, dan atau bagian kelas 4);
d. antar kompartemen kebakaran yang berdekatan;
e. antar bangunan.

1.3 Persyaratan Kinerja


1. Suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang
pada tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama terjadi
kebakaran, yang sesuai dengan:
a. fungsi bangunan
b. beban api
c. intensitas kebakaran
d. potensi bahaya kebakaran
e. ketinggian bangunan
f. kedekatan dengan bangunan lain
g. sistem proteksi aktif yang terpasang dalam bangunan
h. ukuran kompartemen kebakaran
i. tindakan petugas pemadam kebakaran
j. elemen bangunan lainnya yang mendukung
k. evakuasi penghuni.
2. Suatu bangunan gedung harus memiliki elemen bangunan yang pada tingkat
tertentu dapat mencegah penjalaran asap kebakaran:
a. ke pintu kebakaran atau eksit;
b. ke unit-unit hunian tunggal dan koridor umum hanya berlaku pada
bangunan kelas 2, 3, dan bagian kelas 4;
c. antar bangunan;
d. dalam bangunan, serta ditentukan sesuai dengan butir 1.3.1.a. sampai
dengan butir 1.3.1.k. tersebut diatas dan waktu evakuasi penghuni.
3. Ruang perawatan pasien pada bangunan kelas 9a harus dilindungi terhadap
penjalaran asap dan panas serta gas beracun yang ditimbulkan oleh kebakaran
untuk dapat memberikan waktu cukup agar evakuasi penghuni bisa
berlangsung secara tertib pada saat terjadi kebakaran.
4. Bahan dan komponen bangunan harus mampu menahan penjalaran kebakaran
untuk membatasi pertumbuhan asap dan panas serta terbentuknya gas beracun
yang ditimbulkan oleh kebakaran, sampai suatu tingkat yang cukup untuk:
a. waktu evakuasi yang diperlukan;
b. jumlah, mobilitas dan karakteristik penghuni/pemakai bangunan;
c. fungsi atau penggunaan bangunan;
d. sistem proteksi aktif yang terpasang.
5. Dinding luar bangunan yang terbuat dari beton yang kemungkinan bisa runtuh
dalam bentuk panel utuh (contoh beton yang berdiri miring dan beton
pracetak) harus dirancang sedemikian rupa, sehingga pada kejadian kebakaran
dalam bangunan, kemungkinan runtuh tersebut dapat dihindari. (ketentuan ini
tidak berlaku terhadap bangunan yang mempunyai 2 lantai di atas permukaan
tanah).
6. Suatu bangunan harus mempunyai elemen bangunan yang pada tingkatan
tertentu mampu mencegah penyebaran asap kebakaran, yang berasal dari
peralatan utilitas yang berpotensi bahaya kebakaran tinggi atau bisa meledak
akibat panas tinggi.
7. Suatu bangunan harus mempunyai elemen yang sampai pada batas-batas
tertentu mampu menghindarkan penyebaran kebakaran, sehingga peralatan
darurat yang dipasang pada bangunan akan terus beroperasi selama jangka
waktu tertentu yang diperlukan pada waktu terjadi kebakaran.
8. Setiap elemen bangunan yang dipasang atau disediakan untuk menahan
penyebaran api pada bukaan, sambungan-sambungan, tempat-tempat
penembusan struktur untuk utilitas harus dilindungi terhadap kebakaran
sehingga diperoleh kinerja yang memadai dari elemen tersebut.
9. Akses ke bangunan dan di sekeliling bangunan harus disediakan bagi tindakan
petugas pemadam kebakaran yang disesuaikan dengan:
a. fungsi atau penggunaan bangunan
b. beban api
c. intensitas kebakaran
d. potensi bahaya kebakaran
e. sistem proteksi aktif yang terpasang
f. ukuran kompartemen kebakaran.

BAGIAN 2: KETAHANAN API DAN STABILITAS

2.1 Pemenuhan Persyaratan Kinerja


Persyaratan kinerja sebagaimana tercantum pada 1.3 di atas. akan dipenuhi apabila
memenuhi persyaratan yang tercantum pada butir 2.2., 2.3., dan 2.4 serta Bagian 3
dan Bagian 4;

2.2 Tipe Konstruksi Tahan Api


Dikaitkan dengan ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi,
yaitu:
1. Tipe A:
Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan
secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat
komponen pemisah pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api
ke dan dari ruangan bersebelahan dan dinding yang mampu mencegah
penjalaran panas pada dinding bangunan yang bersebelahan.
2. Tipe B:
Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api
mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam
bangunan, dan dinding luar mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar
bangunan.
3. Tipe C:
Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang
dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara
struktural terhadap kebakaran.

2.3 Tipe Konstruksi Yang Diperlukan


1. Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan
ketentuan pada Tabel 4.1. dan ketentuan butir 2.5, kecuali:
a. bangunan kelas 2 atau 3 pada butir 2.8.; dan
b. kelas 4 dari bagian-bagian bangunan pada butir 2.9.; dan
c. panggung terbuka dan stadion olahraga dalam ruang pada butir 2.10 dan
konstruksi ringan pada butir 2.11.
2. Dari jenis-jenis konstruksi, konstruksi Tipe A adalah yang paling tahan api
dan Tipe C yang paling kurang tahan api.

Tabel 4.1.
Tipe Konstruksi yang diperlukan

JUMLAH KELAS BANGUNAN/TIPE


LANTAI KONSTRUKSI
BANGUNAN *) 2, 3, 9 5, 6, 7, 8,
4 atau lebih A A
3 A B
2 B C
1 C C
*) Catatan: Penjelasan Lihat butir 2.5.

2.4 Spesifikasi Konstruksi Tahan Api


1. Ketahanan Api Elemen Bangunan pada Konstruksi Tipe-A
Tiap elemen bangunan sebagaimana tercantum pada Tabel 4.2. dan setiap
balok atau kolom yang menjadi satu dengan elemen tersebut harus mempunyai
TKA tidak kurang dari yang tertulis dalam tabel tersebut untuk jenis bangunan
tertentu.
a. Persyaratan Dinding dan Kolom
1) Dinding luar, dinding biasa, dan bahan lantai serta rangka lantai untuk
lif pit harus dari bahan tidak dapat terbakar; dan
2) Tiap dinding dalam yang disyaratkan mempunyai TKA harus
diteruskan ke:
a) permukaan bagian bawah dari lantai di atasnya;
b) permukaan bagian bawah dari atap serta harus memenuhi Tabel
4.2.
c) langit-langit yang tepat berada di bawah atap, memiliki ketahanan
terhadap penyebaran kebakaran ke ruang antara langit-langit dan
atap tidak kurang dari 60 menit (60/60/60).
d) Bila menurut butir 2.4.1.e atap tidak disyaratkan memenuhi tabel
4.2, maka permukaan bawah penutup atap yang terbuat dari bahan
sukar terbakar terkecuali penopang atap berdimensi 75mm x 50
mm atau kurang, tidak boleh digantikan dengan bahan kayu atau
bahan mudah terbakar lainnya; dan
3) dinding pemikul beban seperti dinding dalam dan dinding pemisah
tahan api termasuk dinding-dinding yang merupakan bagian dari saf
pemikul beban harus dari bahan beton atau pasangan bata; dan
4) bila pada suatu struktur yang tidak memikul beban yang berfungsi
sebagai:
a) dinding dalam yang disyaratkan tahan api;
b) saf untuk lif, ventilasi, pembuangan sampah atau semacamnya yang
tidak digunakan untuk pembuangan atau pelepasan produk
pembakaran;
maka harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar (non
combustible); dan
5) Tingkat ketahanan api sebagaimana tercantum pada Tabel 4.2. untuk
kolom luar, berlaku pula untuk bagian dari kolom dalam yang
permukaannya menghadap atau berjarak 1,5 m dari bukaan dan tepat
berhadapan dengan sumber api.
6) Persyaratan Kolom dan Dinding Internal
Bangunan dengan ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan atapnya
tidak memenuhi Tabel 4.2. tetapi mengikuti persyaratan butir 2.4.1.c,
maka pada lantai tepat di bawah atap, kolom-kolom internal di luar
yang diatur dalam butir 2.4.1.a.5) serta dinding internal pemikul beban
selain dinding-dinding api boleh mempunyai:
a) bangunan kelas 2 atau 3: TKA 60/60/60; atau
b) bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9:
(1) bila jumlah lantai bangunan melebihi 3 lantai: TKA 60/60/60;
(2) bila jumlah lantai kurang dari 3 lantai: tidak perlu TKA.
b. Persyaratan Lantai
Konstruksi lantai tidak perlu mengikuti Tabel 4.2. apabila:
1) terletak langsung di atas tanah; atau
2) di bangunan kelas 2, 3, 5, atau 9 yang ruang di bawahnya bukanlah
suatu lapis bangunan, tidak digunakan untuk menampung kendaraan
bermotor, bukan suatu tempat penyimpanan atau gudang ataupun ruang
kerja dan tidak digunakan untuk tujuan khusus lainnya; atau
3) lantai panggung dari kayu di bangunan kelas 9.b yang terletak di atas
lantai yang mempunyai TKA dan ruang di bawah panggung tersebut
tidak digunakan untuk kamar ganti pakaian, tempat penyimpanan atau
semacamnya; dan
4) lantai yang terletak di dalam unit hunian tunggal di bangunan kelas 2,
3 atau bagian bangunan kelas 4; dan
5) lantai dengan akses terbuka (untuk menampung layanan kelistrikan dan
peralatan elektronik) yang terletak di atas lantai yang memiliki TKA.
6) Persyaratan berkaitan dengan pembebanan lantai bangunan Kelas 5
dan 9.b
Pada lantai bangunan kelas 5 dan 9 b yang dirancang untuk beban
hidup tidak melebihi 3 kPa, maka:
a) lantai diatasnya (termasuk balok lantai) dibolehkan memiliki TKA
90/90/90; atau
b) atap, bila terletak langsung di atas lantai tersebut (termasuk balok
atap) dibolehkan memiliki TKA 90/60/30.
c. Persyaratan Atap
1) Penempatan atap di atas plat beton penutup tidak perlu memenuhi butir
2.1. mengenai konstruksi tahan api, apabila:
a) penutup dan bagian-bagian konstruksi yang terletak diantara
penutup tersebut dengan plat beton seluruhnya dari bahan tidak
mudah terbakar; dan
b) plat atap beton memenuhi Tabel 4.2.
2) Suatu konstruksi atap tidak perlu memenuhi Tabel 4.2. bila penutup
atap terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan bila pada bangunan
tersebut:
a) terpasang seluruhnya sistem sprinkler sesuai standar yang berlaku;
atau
b) terdiri atas 3 (tiga) lantai atau kurang; atau
c) adalah bangunan kelas 2 atau 3; atau
d) memiliki ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan langit-langit
yang langsung berada di bawah atap mempunyai ketahanan
terhadap penyebaran awal kebakaran ke ruang atap tidak kurang
dari 60 menit.
3) Lubang Cahaya Atap
Apabila atap disyaratkan memenuhi TKA ataupun penutup atap
disyaratkan dari bahan tidak mudah terbakar, maka lubang cahaya atap
atau semacamnya yang dipasang di atap harus:
a) mempunyai luas total tidak lebih dari 20% dari luas permukaan
atap; dan
b) berada tidak kurang dari 3 m terhadap:
(1) batas persil bangunan, dan tidak berlaku untuk batas dengan
jalan atau ruang publik; dan
(2) tiap bagian bangunan yang menonjol di atas atap, kecuali:
(a) bila bagian bangunan tersebut memenuhi TKA yang
disyaratkan untuk suatu dinding tahan api, dan
(b) bila terdapat bukaan pada dinding tersebut, maka harus
berjarak vertikal 6 m di atas lubang cahaya atap, atau
semacamnya.
harus dilindungi terhadap api;
(3) setiap lubang cahaya atap atau semacamnya yang terletak pada
hunian tunggal yang bersebelahan, apabila dinding
bersamanya disyaratkan memenuhi TKA;
(4) setiap lubang cahaya atap atau semacamnya pada bagian
bangunan berdekatan yang dipisahkan oleh dinding tahan api.

BUKAAN
DINDING

DINDING TKA
MIN 6 m
BUKAAN
CAHAYA

MAX

Gambar 4.1.
Bukaan pada lubang cahaya atap
c) Apabila suatu langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap
penjalaran api awal, maka lubang cahaya atap harus dipasang
sedemikian rupa agar bisa mempertahankan tingkat proteksi yang
diberikan oleh langit-langit ke ruang atap.
d. Persyaratan Stadion Olah Raga tertutup dan Panggung Terbuka. Pada
bangunan stadion olah raga dalam ruang dan panggung terbuka untuk
penonton, elemen bangunan berikut tidak memerlukan TKA sebagaimana
dirinci dalam Tabel 4.2. bila:
1) Elemen atap bilamana terbuat dari bahan tidak mudah terbakar.
2) Kolom-kolom dan dinding-dinding pemikul beban pendukung atap
terbuat dari bahan tidak mudah terbakar.
3) Tiap bagian yang bukan konstruksi pemikul beban dari dinding luar
yang berjarak kurang dari 3 m:
a) mempunyai TKA tidak kurang -/60/60 dan dari bahan tidak mudah
terbakar bila berjarak kurang dari 3 m dari lokasi sumber api yang
berhadapan; atau
b) harus dari bahan tidak mudah terbakar bilamana berjarak 3 m dari
dinding luar panggung penonton terbuka lainnya.
Tabel 4.2.
Konstruksi Tipe A: TKA Elemen Bangunan
KELAS BANGUNAN - TKA ( dalam menit )
Kelaikan Struktur/Integritas/Insulasi
ELEMEN Kelas 2,3 Kelas 7
Kelas 5, 9
BANGUNAN atau (selain
atau 7
Bagian Kelas 6 Tempat
Tempat
Bangunan Parkir)
Parkir
Kelas 4 atau 8
DINDING LUAR
(termasuk kolom dan
elemen bangunan lainnya
yang menyatu) atau
elemen bangunan luar
lainnya yang jaraknya ke
sumber api adalah:
Bagian-bagian Pemikul
Beban
! kurang dari 1,5 m 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
! 1,5 m hingga < 3,0 m 90/60/60 120/90/90 180/180/120 240/240/180
! 3,0 m atau lebih 90/60/30 120/60/30 180/120/90 240/180/90
Bagian-bagian Bukan
Pemikul Beban
! kurang dari 1,5 m -/90/90 -/120/120 -/180/180 -/240/240
! 1,5 m hingga < 3,0 m -/60/60 -/90/90 -/180/120 -/240/180
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

KOLOM LUAR yang


tidak menyatu dalam
dinding luar, yang
jaraknya ke sumber api
! kurang dari 3 m 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

DINDING BIASA DAN


DINDING PENAHAN
API
90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

DINDING DALAM
Saf Tahan Api pelindung
Lif dan Tangga
! Memikul Beban 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120
! Tidak Memikul Beban -/90/90 -/120/120 -/120/120/ -/120/120
(lanjutan)
KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)
Kelaikan Struktur/Integritas/Insulasi
ELEMEN Kelas 2,3 Kelas 7
Kelas 5, 9
BANGUNAN atau (selain
atau 7
Bagian Kelas 6 Tempat
Tempat
Banguna Parkir)
Parkir
n Kelas 4 atau 8
Pembatas Koridor Umum,
Lorong Utama (hallways)
dan semacamnya
! Memikul Beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! Tidak Memikul Beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Diantara atau pembatas


Unit-unit Hunian Tunggal
! Memikul Beban 90/90/90 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! Tidak Memikul Beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-
Saf pelindung jalur
ventilasi, pipa, sampah dan
semacamnya yang bukan
untuk pelepasan produk
panas hasil pembakaran:
! Memikul Beban 90/90/90 120/90/90 180/120/120 240/120/120
! Tidak Memikul Beban -/90/90 -/90/90 -/120/120 -/120/120

DINDING DALAM,
BALOK, KUDA -
KUDA/PENOPANG
ATAP DAN KOLOM 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
LAINNYA YANG
MEMIKUL BEBAN

LANTAI 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240


ATAP 90/60/30 120/60/30 180/60/30 240/90/60

e. Persyaratan Bangunan Tempat Parkir


1) Bangunan tempat parkir mobil di samping memenuhi butir 2.4.1.a
maka untuk jenis ruang parkir dek terbuka perlu memenuhi Tabel 4.3.
atau dilindungi dengan sistem sprinkler sesuai persyaratan butir 4.1.3.
dan bangunan tempat parkir tersebut:
a) merupakan bangunan terpisah;
b) bagian dari bangunan yang menempati bagian dari satu lantai dan
dipisahkan dari bagian lainnya oleh dinding api.
2) Yang dimaksud bangunan parkir mobil dalam ketentuan ini:
a) termasuk:
(1) ruang/kantor administrasi yang berkaitan dengan fungsi ruang
parkir; dan
(2) bila bangunan tempat parkir tersebut dipasang sistem
sprinkler, disatukan dengan bangunan kelas 2 atau 3 dan
menyediakan ruang parkir untuk hunian tunggal yang terpisah,
setiap kawasan tempat parkir dengan luas tidak melebihi 10 %
dari luas lantai yang digunakan semata-mata untuk melayani
hunian tunggal.
b) tidak termasuk:
(1) kecuali disebutkan untuk persyaratan butir 2.4.1.e.2).a) tiap
daerah dari kelas bahan lainnya atau bagian-bagian lain dari
bangunan kelas 7 tidak boleh digunakan sebagai tempat parkir.
(2) Suatu bangunan atau bagian dari bangunan yang secara khusus
digunakan untuk tempat parkir truk, bis, van dan kendaraan
semacamnya.

Tabel 4.3.
Persyaratan Tempat Parkir Tidak Bersprinkler
MINIMUM TKA
ELEMEN BANGUNAN Kelaikan Struktur/Integritas/ Insulasi
dan MAKSIMUM PT/M*

DINDING
a. Dinding Luar
(i) kurang dari 3 m dari kemungkinan
sumber api
! Memikul Beban 60 / 60 / 60
! Tidak Memikul Beban - / 60 / 60
(ii) 3 m atau lebih dari kemungkinan sumber 60 / - / -
api
b. Dinding Dalam
(i) Memikul beban, selain dinding yang 60 / - / -
mendukung hanya untuk Atap (tidak
untuk tempat parkir).
(ii) Mendukung hanya untuk Atap (tidak -/-/-
untuk tempat parkir).
(iii) Tidak memikul beban. -/-/-
(lanjutan)
MINIMUM TKA
ELEMEN BANGUNAN Kelaikan Struktur/Integritas/ Insulasi
dan MAKSIMUM PT/M*
(iii) Tidak memikul beban. -/-/-
c. Dinding Pembatas Tahan Api
(i) Dari arah yang digunakan sebagai tempat 60 / 60 / 60
parkir.
(ii) Dari arah yang tidak digunakan sebagai Sesuai yang dipersyaratkan pada tabel 4.1.
tempat parkir

KOLOM
a. Mendukung hanya atap (tidak digunakan -/-/-
sebagai tempat parkir) dan berjarak 3 m atau
lebih dari sumber api.
b. Kolom baja, di luar yang diatur dalam a dan 60 / - / - atau 26 m2 / ton
yang tidak mendukung bagian bangunan
yang tidak digunakan sebagai tempat parkir.
c. Kolom yang tidak diatur dalam a dan b. 60 / - / -

ELEMEN BANGUNAN MINIMUM TKA


Kelaikan struktur/integritas/ insulasi
MAKSIMUM LPT/M
BALOK
a. Balok lantai baja yang menyambung dengan 60 / - / - atau 30 m2/ton
Pelat lantai beton
b. Balok lainnya 60 / - / -

SAF LIF DAN TANGGA (hanya dalam tempat 60 / 60 / 60


parkir)
PELAT LANTAI DAN RAMP UNTUK 60 / 60 / 60
KENDARAAN
ATAP (tidak digunakan sebagai tempat parkir) -/-/-

Catatan:
LPT/M* = Rasio luas permukaan terekspos dengan massa perunit satuan panjang.

f. Persyaratan Bangunan Kelas 2


1) Bangunan kelas 2 yang ketinggian lantainya tidak lebih dari 3 lantai
boleh dikonstruksikan dengan memakai:
a) kerangka kayu secara menyeluruh; atau
b) keseluruhan dari bahan tidak mudah terbakar;
c) kombinasi dari a) dan b);
bila:
(1) dinding pembatas atau dinding dalam harus tahan api yang
diteruskan sampai di bawah penutup atap yang dibuat dari bahan
tidak mudah terbakar, kecuali “roof batten“ atau penopang atap
berukuran 75 mm x 50 mm atau kurang, tidak disambung silangkan
dengan kayu atau bahan mudah terbakar lainnya; dan
(2) tiap isolasi yang terpasang di lubang atau rongga dinding yang
memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar; dan
(3) bangunan dipasangi sistem alarm pendeteksi asap otomatis yang
memenuhi persyaratan sebagaimana persyaratan pada BAB V.
Bagian 5.
2) Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai jumlah lapis bangunan tidak
lebih dari 4 diperbolehkan 3 (tiga) lapis teratas boleh dikonstruksikan
sesuai butir 2.4.1.a, bila lapis terbawah digunakan semata-mata untuk
parkir kendaraan bermotor atau fungsi tambahan lainnya dan
konstruksi lapis tersebut termasuk lantai antara lapis tersebut dengan
lapis diatasnya terbuat dari struktur beton atau struktur pasangan.
3) Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir 1) dan 2)
serta dipasang sistem sprinkler otomatis yang memenuhi ketentuan
Bab V Bagian 4., maka setiap kriteria TKA yang dicantumkan pada
Tabel 4.2.berlaku:
a) untuk tiap lantai dan tiap dinding pemikul beban bisa dikurangi
sampai 60, kecuali kriteria TKA sebesar 90 untuk dinding luar
harus tetap dipertahankan bila diuji dari bagian luarnya;
b) untuk tiap dinding dalam yang bukan dinding pemikul beban, tidak
perlu mengikuti Tabel 4.2. bila:
(1) dilapis pada tiap sisinya dengan papan plaster standar setebal
13 mm atau bahan tidak mudah terbakar lainnya yang
semacam itu; dan
(2) dinding dalam tersebut diteruskan hingga:
(a) mencapai sisi bagian bawah dari lantai atas berikutnya;
atau
(b) mencapai sisi bagian bawah langit-langit yang memiliki
ketahanan terhadap penjalaran awal kebakaran sebesar 60
menit; atau
(c) mencapai sisi bagian bawah dan penutup atap tahan api.
(3) bahan isolasi yang dipasang menutupi rongga atau lubang pada
dinding dibuat dari bahan tidak mudah terbakar; dan
(4) tiap sambungan konstruksi, ruang atau semacamnya yang
terletak di antara bagian atas dinding dan lantai, langit-langit
atau atap ditutup rapat terhadap penjalaran asap menggunakan
bahan dempul jenis in tumescent atau bahan lainnya yang
setara; dan
(5) tiap pintu di dinding dilindungi dengan alat penutup otomatis,
terpasang rapat, yang bagian inti dari pintu tersebut terbuat
dari bahan padat dengan ukuran ketebalan minimal 35 mm.
2. Ketahanan Api Elemen Bangunan untuk Bangunan - Tipe B
Pada bangunan yang disyaratkan memiliki konstruksi tipe B harus memenuhi
ketentuan sebagai tercantum pada Tabel 4.4. dan setiap balok atau kolom yang
menyatu dengan elemen tersebut harus memiliki TKA tidak kurang dari yang
tertera pada tabel tersebut untuk kelas bangunan yang dimaksud.
a. Persyaratan Dinding dan Saf:
1) Dinding-dinding luar, dinding-dinding biasa dan lantai serta kerangka
lantai di tiap lubang lif harus dari bahan tidak dapat terbakar; dan
2) Bilamana saf tangga menunjang lantai atau bagian struktural dari lantai
tersebut, maka:
a) lantai atau bagian struktur lantai harus mempunyai TKA 60/-/- atau
lebih;
b) sambungan saf tangga harus dibuat sedemikian sehingga lantai atau
bagian lantai akan bebas lepas atau jatuh saat terjadi kebakaran
tanpa menimbulkan kerusakan struktur pada saf; dan
3) Dinding dalam yang disyaratkan memiliki TKA, kecuali dinding yang
melengkapi unit-unit hunian tunggal di lantai teratas dan hanya ada
satu unit di lantai tersebut, harus diteruskan ke:
a) permukaan bagian bawah dari lantai berikut di atasnya, bilamana
lantai tersebut mempunyai TKA minimal 30/30/30; atau
b) permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki ketahanan
terhadap penjalaran api awal ke arah ruang di atasnya tidak kurang
dari 60 menit; atau
c) permukaan bagian bawah dari penutup atap bilamana penutup atap
tersebut terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan tidak
disambungkan dengan kayu atau komponen bangunan lainnya dari
bahan yang mudah terbakar terkecuali dengan penopang atap
berukuran 75 mm x 50 mm atau kurang.
4) Dinding dalam dan dinding pembatas yang memikul beban (termasuk
bagian saf yang memikul beban) harus dari bahan beton ataupun
pasangan bata; dan
5) Dinding dalam yang tidak memikul beban namun disyaratkan agar
tahan api, maka harus dari konstruksi tidak mudah terbakar.
6) Pada bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9 pada tingkat bangunan yang
langsung berada di bawah atap, kolom-kolom dan dinding-dinding
dalam selain dinding-dinding pembatas api dan dinding saf tidak perlu
memenuhi Tabel 4.4.; dan
7) Lif yang diatur dalam persyaratan BAB III. Bagian 5, jalur ventilasi,
pipa, saluran pembuangan sampah, dan saf-saf semacam itu yang
bukan untuk dilalui produk panas hasil pembakaran dan tidak memikul
beban, harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar, khususnya
pada:
a) bangunan kelas 2, 3 atau 9 ; dan
b) bangunan kelas 5, 6, 7 atau 8 bilamana saf tersebut
menghubungkan lebih dari 2 lapis bangunan.
b. Persyaratan Lantai
Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali dalam unit hunian tunggal, dan
bangunan kelas 9, lantai yang memisahkan tingkat-tingkat bangunan
ataupun berada di atas ruang yang digunakan untuk menampung kendaraan
bermotor atau digunakan untuk gudang ataupun tujuan pemakaian lainnya
harus:
1) harus dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga konstruksi lantai
tersebut terutama bagian bawahnya memiliki ketahanan terhadap
penyebaran kebakaran tidak kurang dari 60 menit;
2) mempunyai lapis penutup tahan api pada permukaan bawah lantai
termasuk balok-balok yang menyatu dengan lantai tersebut, bilamana
lantai tersebut dari bahan mudah terbakar atau metal atau memiliki
TKA tidak kurang dari 30/30/30.
c. Persyaratan Tempat Parkir
1) Meskipun tetap mengacu kepada butir 2.4.1.a.5), suatu tempat parkir
perlu memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut pada Tabel 4.5.
bilamana tempat parkir tersebut merupakan tempat parkir dengan dak
terbuka atau dilindungi dengan sistem sprinkler sesuai ketentuan pada
BAB V. Bagian 4. dan bangunan tempat parkir tersebut merupakan:
a) suatu bangunan tersendiri atau terpisah; atau
b) suatu bagian dari suatu bangunan dan apabila menempati satu
bagian dari suatu tingkat bangunan atau lantai, bagian bangunan itu
terpisahkan dari bagian bangunan lainnya oleh dinding pembatas
tahan api.
2) Untuk keperluan persyaratan ini, maka yang diartikan dalam tempat
parkir:
a) termasuk:
(1) area administrasi yang berkaitan dengan fungsi tempat parkir
tersebut;
(2) bila tempat parkir tersebut dilindungi dengan sistem sprinkler
dan disatukan dengan bangunan kelas 2 atau 3 dan
menyediakan tempat parkir kendaraan untuk unit-unit hunian
tunggal yang terpisah, dengan tiap area tempat parkir
berukuran tidak lebih dari 10 % luas lantai; tetapi
b) tidak termasuk:
(1) kecuali untuk persyaratan 2) a), tiap area kelas bangunan
lainnya atau bagian lain dari bangunan kelas 7 yang bukan
untuk tempat parkir; dan
(2) suatu bangunan atau bagian dari suatu bangunan yang
dimaksudkan secara khusus untuk parkir kendaraan truk, bis,
van dan semacamnya.
d. Persyaratan untuk Bangunan Kelas 2
1) Suatu bangunan kelas 2 yang mempunyai tingkat bangunan tidak lebih
dari 2 (dua) boleh dikonstruksi dengan:
a) keseluruhan rangka kayu; atau
b) seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar; atau
c) kombinasi a) dan b);
bila:
(1) tiap dinding pembatas api atau dinding dalam yang memenuhi
syarat tahan api serta diteruskan hingga mencapai permukaan
bagian bawah penutup atap dari bahan tidak mudah terbakar
tidak ditumpangkan dengan komponen bangunan dari bahan
mudah terbakar, terkecuali untuk penopang atap berukuran 75
mm x 50 mm atau kurang;
(2) tiap isolasi yang dipasang pada lubang atau rongga di dinding
yang memiliki TKA harus dari bahan tidak mudah terbakar;
(3) pada bangunan dipasang sistem deteksi alarm otomatis yang
memenuhi ketentuan dalam Bab V.
2) Pada bangunan kelas 2 yang memenuhi persyaratan butir a) dan pada
bangunan tersebut dipasang sistem sprinkler sesuai Bab V, maka setiap
kriteria TKA yang diuraikan dalam Tabel 4.4. berlaku sebagai berikut:
a) untuk setiap dinding memikul beban dapat berkurang hingga 60,
kecuali nilai TKA sebesar 90 untuk dinding luar harus tetap
dipertahankan bila diuji dari permukaan luar; dan
b) untuk tiap dinding dalam yang bukan memikul beban, tidak perlu
memenuhi Tabel 4.4. tersebut bilamana:
(1) kedua permukaan dinding diberi lapisan setebal 13 mm dari
papan plaster atau bahan tidak mudah terbakar yang setara;
dan
(2) dinding tersebut diperluas:
(a) hingga mencapai permukaan bawah dari lantai berikut di
atasnya bila lantai tersebut memiliki TKA minimal
30/30/30 atau permukaan bawah lantai tersebut dilapis
dengan bahan pelapis tahan api; atau
(b) hingga mencapai bagian bawah langit-langit yang
memiliki ketahanan terhadap penjalaran api awal sebesar
60 menit; atau
(c) hingga mencapai permukaan bagian bawah penutup atap
yang terbuat dari bahan tidak mudah terbakar; dan
(3) tiap isolasi yang terpasang pada rongga atau lubang di dinding
dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar; dan
(4) tiap sambungan konstruksi, ruang dan semacamnya yang
berada di antara ujung teratas dinding dengan lantai, langit-
langit atau atap disumbat atau ditutup dengan dempul
intumescent atau bahan yang tepat lainnya.
Tabel 4.4.
Konstruksi Tipe B: TKA Elemen Bangunan

KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)


Kelaikan Struktur/Integritas/Insulasi
ELEMEN Klas 2,3 Klas 7
Klas 5, 9
BANGUNAN atau (selain
atau 7
Bagian Klas 6 Tempat
Tempat
Bangunan Parkir) atau
Parkir
Kelas 4 8

DINDING LUAR (termasuk


tiap kolom dan elemen
bangunan lainnya yang
menjadi satu) atau elemen
bangunan luar lainnya, yang
jaraknya dari kemungkinan
sumber api adalah sbb. :
Bagian-bagian memikul
beban
! kurang dari 1,5 m 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240
! 1,5 m hingga kurang dari 90/60/30 120/90/60 180/120/90 240/180/120
3,0 m
! 3,0 m hingga kurang dari 9 90/30/30 120/30/30 180/90/60 240/90/60
m
! 9,0 m hingga kurang dari 90/30/- 120/30/- 180/60/- 240/90/-
18 m
! 18,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

Bagian-bagian yang tidak


Memikul
Beban
! kurang dari 1,5 m -/90/90 -/120/120 -/180/180 -/240/240
! 1,5 m hingga kurang dari -/60/30 -/90/60 -/120/90 -/180/120
3,0 m
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

KOLOM LUAR yang tidak


menyatu
dalam dinding luar, yang
jaraknya ke
sumber api utama adalah:
! kurang dari 3,0 m 90/-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-
(lanjutan)

ELEMEN BANGUNAN KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)


Kelaikan Struktur/Integritas/Insulasi
Klas 2,3 atau
Klas 5, 9 atau Klas 7 (selain
Bagian
7 Tempat Klas 6 Tempat
Bangunan
Parkir Parkir) atau 8
Kelas 4

DINDING BIASA DAN


DINDING
PEMBATAS API 90/90/90 120/120/120 180/180/180 240/240/240

DINDING DALAM
Saf pelindung Lif dan
Tangga yang Tahan Api
! Memikul Beban 90/90/90 120/120/120 180/120/120 240/120/120
Saf pelindung tangga yang
tahan api
! Tidak Memikul Beban -/90/90 -/120/120 -/120/120 -/120/120
Pembatas Koridor Umum,
Jalan Umum di ruang besar
(public hallways) dan
semacamnya
! Memikul Beban 60/60/60 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! Tidak Memikul Beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

Diantara atau yang


membatasi unit-unit Hunian
Tunggal
! Memikul Beban 60/60/60 120/-/- 180/-/- 240/-/-
! Tidak Memikul Beban -/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-

DINDING DALAM, 60-/- 120/-/- 180/-/- 240/-/-


BALOK DALAM,
RANGKA ATAP DAN
KOLOM LAINNYA

ATAP -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-


Tabel 4.5.
Persyaratan Untuk Tempat Parkir Bersprinkler
MINIMUM TKA
Kelaikan
ELEMEN BANGUNAN Struktur/Integritas/
Insulasi dan MAKSIMUM
PT/M*

DINDING
a. Dinding Luar
(i) berjarak kurang dari 3 m dari sumber api utama
! Memikul Beban 60 / 60 / 60
! Tidak Memikul Beban - / 60 / 60
(ii) berjarak 3 m atau lebih dari sumber api utama -/-/-
b. Dinding Dalam
(i) Memikul beban, selain yang hanya menopang 60 / - / -
Atap (tidak digunakan sebagai tempat parkir).
(ii) Hanya Menopang Atap (tidak sebagai tempat -/-/-
parkir).
(iii) Tidak memikul beban. -/-/-
c. Dinding Pembatas Api
(i) Dari arah yang digunakan sebagai tempat parkir 60 / 60 / 60
kendaraan
(ii) Dari arah yang tidak digunakan sebagai tempat Sebagaimana disyaratkan
parkir kendaraan pada tabel 4.3.

KOLOM
a. Menopang hanya atap (tidak digunakan sebagai -/-/-
tempat parkir) dan berjarak 3 m atau lebih dari
sumber api utama.
b. Kolom baja, di luar yang diatur dalam (a) 60 / - / - atau 26 m2 / ton
c. Tiap Kolom yang tidak diatur dalam (a) atau b) 60 / - / -

BALOK
a. Berjarak kurang dari 3 m dari sumber api utama 60 / - / - atau 30 m2/ton
(i) balok lantai baja yang menyambung secara
kontinyu dengan pelat lantai baja
(ii) balok lainnya 60/-/-
b. Berjarak 3 m atau lebih dari sumber api utama -/-/-

SAF LIF DAN TANGGA -/-/-


ATAP, Pelat Lantai dan Jalan Miring (Ramp) untuk -/-/-
Kendaraan

Catatan:
LPT/M = Adalah Rasio luas permukaan terekspos terhadap per satuan panjang.

3. Ketahanan Api Elemen Bangunan untuk Konstruksi - Tipe C


Pada suatu bangunan yang memenuhi konstruksi Tipe C, maka:
Elemen bangunan harus memenuhi ketentuan yang tercantum pada Tabel 4.6.
dan setiap balok atau kolom yang menjadi satu dengan elemen bangunan
tersebut harus mempunyai TKA tidak kurang dari yang tercantum dalam tabel
tersebut sesuai dengan kelas bangunannya;
a. Persyaratan Dinding
1) suatu dinding luar yang disyaratkan sesuai Tabel 4.6. memiliki TKA
hanya memerlukan pengujian dari arah luar untuk memenuhi
persyaratan tersebut; dan
2) suatu dinding pembatas api atau dinding dalam yang membatasi unit
hunian tunggal atau memisahkan unit-unit yang berdekatan bila dibuat
dari bahan beton ringan harus memenuhi ketentuan yang berlaku untuk
beton ringan;
3) dalam bangunan kelas 2 atau 3, suatu dinding dalam yang disyaratkan
menurut Tabel 4.6. memiliki TKA harus diperluas:
a) sampai mencapai permukaan bawah lantai diantaranya bilamana
lantai tersebut mempunyai TKA sekurang-kurangnya 30/30/30 atau
bagian permukaan bawah tersebut dilapis dengan bahan tahan api;
atau
b) mencapai permukaan bagian bawah langit-langit yang memiliki
ketahanan terhadap penjalaran api awal ke ruang diatasnya tidak
kurang dari 60 menit; atau
c) mencapai permukaan bagian bawah penutup atap bilamana penutup
atap tersebut terbuat dari bahan tidak mudah terbakar, dan
terkecuali untuk penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm atau
kurang, tidak boleh disimpangkan dengan menggunakan komponen
bangunan kayu atau bahan mudah terbakar lainnya;
d) menonjol di atas atap setinggi 450 mm bilamana penutup atap dari
bahan mudah terbakar.
b. Persyaratan Lantai
Pada bangunan kelas 2 atau 3, kecuali di dalam unit hunian tunggal, atau
pada bangunan kelas 9, maka lantai yang memisahkan tingkat-tingkat pada
bangunan atau berada di atas ruang untuk menampung kendaraan bermotor
atau digunakan sebagai gudang atau keperluan ekstra lainnya dan tiap
kolom yang menopang lantai haruslah:
1) memiliki TKA sedikitnya 30/30/30;

2) memiliki pelapis tahan api pada permukaan bawah lantai termasuk


balok yang menjadi satu dengan lantai tersebut dan disekeliling kolom
bilamana lantai atau kolom dari bahan mudah terbakar atau metal.
c. Persyaratan Tempat Parkir
1) Meskipun persyaratan ketahanan api mengenai komponen bangunan
dicakup dalam butir 4.1. namun untuk tempat parkir boleh mengikuti
persyaratan dalam Tabel 4.7 bilamana berbentuk tempat parkir dek
terbuka atau seluruhnya dilindungi dengan sistem sprinkler sesuai Bab
V dan Tempat Parkir tersebut:
a) adalah bangunan tersendiri atau terpisah ; atau
b) merupakan bagian dari suatu bangunan serta bila menempati hanya
sebagian dari suatu lantai, maka bagian lantai tersebut terpisah dari
bagian lainnya melalui suatu dinding pembatas api.
2) Dalam persyaratan ini, suatu tempat parkir:
a) termasuk
(1) area administrasi yang berkaitan dengan fungsi parkir; dan
(2) bilamana tempat parkir tersebut dilindungi sprinkler, maka
termasuk pula tempat parkir yang disediakan untuk unit-unit
hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3 yang luas tiap
tempat parkirnya tidak lebih besar dari 10 % luas lantai; akan
tetapi:
b) tidak termasuk
(1) kecuali untuk 2) a), tiap area dari kelas bangunan lainnya atau
bagian lain dari jenis bangunan kelas 7 yang bukan untuk
tempat parkir; dan
(2) bangunan atau bagian bangunan yang secara khusus
dimaksudkan untuk tempat parkir kendaraan truk, bus,
minibus dan semacamnya.
Tabel 4.6.
Konstruksi Tipe C: TKA Elemen Bangunan

KELAS BANGUNAN - TKA (dalam menit)


Kelaikan Struktur/Integritas/Insulasi
Klas 2,3 Klas 7
ELEMEN BANGUNAN Klas 5, 9
atau (selain
atau 7
Bagian Klas 6 Tempat
Tempat
Bangunan Parkir)
Parkir
Kelas 4 atau 8

DINDING LUAR (termasuk


tiap kolom dan elemen
bangunan lainnya yang
menjadi satu) atau elemen
bangunan luar lainnya, yang
jaraknya ke sumber api
utama adalah sbb.:
! kurang dari 1,5 m 90/90/90 90/90/90 90/90/90 90/90/90
! 1,5 m hingga kurang dari -/-/- 60/60/60 60/60/60 60/60/60
3,0 m
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

KOLOM LUAR yang tidak


menjadi satu dengan
DINDING LUAR, yang
jaraknya ke sumber api
utama adalah:
! kurang dari 1,5 m 90/-/- 90/-/- 90/-/- 90/-/-
! 1,5 m hingga kurang dari -/-/- 60/-/- 60/-/- 60/-/-
3,0 m
! 3,0 m atau lebih -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-

DINDING BIASA DAN 90/90/90 90/90/90 90/90/90 90/90/90


DINDING PEMBATAS
API

DINDING DALAM
! Membatasi koridor umum, 60/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-
jalan di ruang besar untuk
umum dan semacamnya
! Diantara atau membatasi 60/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-
unit-unit hunian tunggal
! Membatasi tangga bila 60/60/60 -/-/- -/-/- -/-/-
disyaratkan memiliki
TKA

ATAP -/-/- -/-/- -/-/- -/-/-


Tabel 4.7.
Persyaratan Untuk Tempat Parkir

MINIMUM TKA

ELEMEN BANGUNAN Kelaikan Struktur/Integritas/


Insulasi dan MAKSIMUM
PT/M*

DINDING

a. Dinding Luar
i. kurang dari 1,5 m dari sumber api utama
! Memikul Beban 60 / 60 / 60
! Tidak Memikul Beban - / 60 / 60
ii. berjarak 1,5 m atau lebih dari sumber api -/-/-
utama
b. Dinding Dalam -/-/-
c. Dinding Pembatas Api
i. Dari arah yang digunakan sebagai tempat 60 / 60 / 60
parkir
ii. Dari arah yang tidak digunakan sebagai 90/90/90
tempat parkir kendaraan
KOLOM
a. kolom baja kurang dari 1,5 m dari sumber api 60 / - / - atau 26m2/ton
utama
b. kolom lainnya yang kurang dari 1,5 m dari 60 / - / -
sumber api utama
c. kolom lainnya yang tidak dicakup dalam (a) -/-/-
atau (b)
BALOK
a. kurang dari 1,5 m dari sumber api utama
i. balok lantai baja yang bersatu dengan pelat 60/-/- atau 30m2/ton
lantai beton
ii. balok lainnya 60/-/-
b. berjarak 1,5 m atau lebih dari sumber api -/-/-
utama
ATAP
Pelat lantai dari jalan miring (ramp) untuk -/-/-
kendaraan
2.5 Perhitungan Ketinggian Dalam Jumlah Lantai
1. Ketinggian dinyatakan dalam jumlah lantai pada setiap dinding luar bangunan.
a. di atas permukaan tanah matang disebelah bagian dinding tersebut, atau
b. bila bagian dinding luar bangunan berada pada batas persil, di atas tanah
asli dari bagian yang sesuai dengan batas-batas tanah.
2. Satu lapis lantai tidak dihitung apabila:
a. terletak pada lantai puncak bangunan dan hanya berisi peralatan-peralatan
tata udara, ventilasi atau lif, tangki air, atau unit pelayanan atau utilitas
sejenis, atau
b. bila sebagian lapis bangunan terletak di bawah permukaan tanah matang
dan ruang di bawah langit-langit tidak lebih dari 1 (satu) meter di atas
ketinggian rata-rata permukaan tanah pada dinding luar, atau bila dinding
luar > 12 m panjangnya, diambil rata-rata dari panjang di mana permukaan
tanah miring adalah yang paling rendah.
3. Pada bangunan kelas 7 dan 8, suatu lantai yang memiliki ketinggian rata-rata
lebih dari 6 m, diperhitungkan sebagai:
a. satu lapis lantai bila merupakan satu-satunya lantai di atas permukaan
tanah;
b. 2 (dua) lapis lantai untuk kasus lainnya.
2.6 Bangunan-bangunan dengan Klasifikasi Jamak
Dalam sebuah bangunan dengan Klasifikasi Jamak, tipe konstruksi yang
diperlukan adalah tipe yang paling tahan kebakaran. Tipe tersebut berpedoman
pada penerapan tabel 4.1., dan didasarkan pada klasifikasi yang ditetapkan untuk
lantai tertinggi diberlakukan untuk semua lantai.
2.7 Tipe Konstruksi Campuran
Suatu bangunan dengan tipe Konstruksi Campuran bila dipisahkan sesuai dengan
ketentuan pada butir 2.8., maka tipe konstruksinya disesuaikan dengan ketentuan
butir 2.4.1.b.6) atau butir 2.4.1.c.
2.8 Bangunan Dua Lantai dari Kelas 2 atau Kelas 3
Suatu bangunan Kelas 2 atau Kelas 3 atau Campuran dari kedua kelas tersebut,
memiliki 2 (dua) lapis lantai, bisa dari Konstruksi Tipe C bila tiap unit hunian
memiliki:
1. jalan masuk menuju sekurang-kurangnya dua (2) pintu ke luar; atau
2. memiliki jalan masuk langsung menuju ke jalan atau ruang terbuka.

2.9 Bagian-bagian Bangunan Kelas 4


Suatu bangunan Kelas 4 perlu memiliki ketahanan api yang sama untuk unsur-
unsur bangunan dan konstruksi yang sama yang memisahkan bagian bangunan
Kelas 4 dari bangunan lainnya, seperti bangunan Kelas 2 pada lingkungan yang
sama.
2.10 Panggung Terbuka untuk Penonton dan Stadion Olahraga dalam Ruang
1. suatu panggung terbuka untuk penonton atau Stadion Olahraga dapat dibuat
dari Konstruksi Tipe C dan tidak perlu sesuai dengan persyaratan lain dari
bagian ini bila konstruksi tersebut memiliki tidak lebih dari satu baris tempat
duduk bertingkat, dari konstruksi tidak mudah terbakar, dan hanya memiliki
ruang ganti, fasilitas sanitasi atau semacamnya yang berada di bawah deretan
tempat duduk;
2. pada butir 1 di atas, sebaris tempat duduk bertingkat diartikan sebagai
beberapa baris tempat duduk namun berada pada satu lapis bangunan yang
diperuntukkan untuk menonton.
2.11 Konstruksi Ringan
1. Konstruksi ringan harus sesuai dengan ketentuan pada butir 2.4.1.d. bila hal
itu digunakan pada sistem dinding yang:
a. perlu memiliki derajat ketahanan api; atau
b. untuk suatu Saf Lif, Saf Tangga atau Saf Utilitas atau dinding luar yang
membatasi selasar umum, termasuk lintasan atau ramp tanpa isolasi
penahan api, pada panggung pengamat, stadion olahraga, gedung bioskop
atau pertunjukan, stasiun kereta api, stasiun bus, atau terminal bandara.
2. Apabila konstruksi ringan digunakan untuk penutup tahan api atau selimut
suatu kolom baja atau sejenisnya, dan apabila:
a selimut tersebut tidak langsung kontak dengan kolomnya, maka rongga
antara tersebut harus terisi oleh bahan padat, sampai pada ketinggian tidak
kurang dari 1,2 m dari lantai untuk menghindari terjadinya pelekukan; dan
b. kolom tersebut dimungkinkan dapat rusak oleh gerakan kendaraan,
material atau peralatan, maka selimut tersebut harus dilindungi dengan
baja atau material lain yang sesuai.
2.12 Bangunan Kelas 1 dan Kelas 10
1. Bangunan-bangunan Kelas 1 harus diproteksi terhadap penjalaran api
kebakaran dari:
a. bangunan lain selain bangunan Kelas 10; dan
b. batas yang sama dengan bangunan lain.
2. Bangunan-bangunan Kelas 10 a harus tidak meningkatkan risiko merambatkan
api antara bangunan Kelas 2 sampai dengan 9.
3 Untuk bangunan Kelas 1 dan Kelas 10 a yang sesuai dengan bangunan Kelas
1, bila konstruksinya memenuhi persyaratan butir 2.12.1.

2.13 Sifat Bahan Bangunan Terhadap Api


Bahan bangunan dan Komponen Struktur bangunan pada setiap kelas bangunan
(kelas 2, 3, 5, 6, 7, 8, atau 9) harus mampu menahan penjalaran kebakaran, dan
membatasi timbulnya asap agar kondisi ruang di dalam bangunan tetap aman bagi
penghuni sewaktu melaksanakan evakuasi.
2.14 Kinerja Bahan Bangunan Terhadap Api
1. Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi
persyaratan pengujian sifat bakar (combustibility test) dan sifat penjalaran api
pada permukaan (surface test) sesuai SNI/SKBI Spesifikasi Bahan Bangunan
1301-1304-edisi terakhir.
Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen bangunan (dinding, kolom
dan balok) harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api yang
dinyatakan dalam waktu (30, 60, 120, 180, 240) menit.
2. Bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada butir 2.14.1. diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Bahan tidak terbakar (mutu tingkat I),
b. Bahan sukar terbakar (mutu tingkat II),
c. Bahan penghambat api (mutu tingkat III),
d. Bahan semi penghambat api (mutu tingkat IV) dan
e. Bahan mudah terbakar (mutu tingkat V).
3. Bahan bangunan yang mudah terbakar, dan atau yang mudah menjalarkan api
melalui permukaan tanpa perlindungan khusus, tidak boleh dipakai pada
tempat-tempat penyelamatan kebakaran, maupun dibagian lainnya, dalam
bangunan di mana terdapat sumber api.
4. Penggunaan bahan-bahan yang mudah terbakar dan mudah mengeluarkan asap
yang banyak dan beracun sebaiknya tidak boleh digunakan atau harus diberi
perlindungan khusus sebagaimana butir 3 diatas.
5. Tingkat mutu bahan lapis penutup ruang efektif serta struktur bangunan harus
memenuhi standar teknis yang berlaku.
6. Persyaratan ketahanan api bagi unsur bangunan dan bahan pelapis berdasarkan
jenis dan ketebalan, harus mengikuti standar teknis yang berlaku.
7. Pengumpul panas matahari yang digunakan sebagai komponen bangunan tidak
boleh mengurangi persyaratan tahan api yang ditentukan.
8. Bahan bangunan yang digunakan untuk komponen struktur bangunan harus
memenuhi syarat umum sebagaimana tercantum di dalam butir 2.4.1.a.
9. Bahan bangunan yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam butir 2.14.2. dapat dipakai setelah dibuktikan dengan hasil pengujian
dari instansi teknis yang berwenang.

2.15 Kinerja Dinding Luar terhadap Api


1. Bila suatu bangunan dengan ketinggian tidak lebih dari 2 (dua) lantai memiliki
dinding luar dari bahan beton yang kemungkinan bisa runtuh seluruhnya
dalam bentuk panel (contoh: beton, precast), maka dinding tersebut harus
dirancang sedemikian rupa sehingga pada saat terjadi kebakaran,
kemungkinan runtuhnya panel ke luar bisa diminimalkan.
2. Dinding luar bangunan yang berbatasan dengan garis batas pemilikan tanah
harus tahan api minimal 120 menit.
3. Pada bangunan yang berderet, dinding batas antara bangunan harus menembus
atap dengan tinggi minimal 0,5 m dari seluruh permukaan atap.

2.16 Kinerja Dinding Penyekat Sementara Terhadap Api


1. Dinding penyekat ruang sementara, ketahanan apinya harus minimal 30 menit.
2. Dinding sebagaimana dimaksud pada butir 2.16.1. tidak boleh menerus sampai
langit-langit serta tidak boleh mengganggu fungsi sistem instalasi dan
perlengkapan bangunan pada ruang tertentu.

BAGIAN 3: KOMPARTEMENISASI DAN PEMISAHAN

3.1 Pemenuhan persyaratan kinerja:


Persyaratan Kinerja sebagai mana disebut pada butir 1.3. akan dipenuhi apabila
memenuhi persyaratan yang tercantum pada Bagian 2, Bagian 3, dan Bagian 4.
Ketentuan pada butir 3.2, 3.3. dan 3.4. tidak berlaku untuk tempat parkir umum
yang dilengkapi dengan sistem sprinkler, tempat parkir tidak beratap atau suatu
panggung terbuka.

3.2 Batasan umum luas lantai.


1. Ukuran dari setiap Kompartemen kebakaran atau atrium bangunan kelas
5,6,7,8, atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume
maksimum seperti ditunjukkan dalam tabel 4.8 dan butir 3.5, kecuali seperti
yang diizinkan pada butir 3.3.
2. Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara,
ventilasi, atau peralatan Lif, tangki air, atau unit-unit utilitas sejenis, tidak
diperhitungkan sebagai daerah luasan lantai atau volume dari kompartemen
atau atrium, bila sarana itu diletakkan pada puncak bangunan.
3. Untuk suatu bangunan yang memiliki sebuah lubang atrium, bagian dari ruang
atrium yang dibatasi oleh sisi tepi sekeliling bukaan pada lantai dasar serta
perluasannya dari lantai pertama di atas lantai atrium sampai ke atas langit-
langitnya tidak diperhitungkan sebagai volume atrium.

Tabel 4.8.
Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran atau atrium.

Tipe Konstruksi Bangunan


URAIAN
Tipe A Tipe B Tipe C
2 2
Kelas 5 atau 9b Max. luasan 8.000 m 5.500 m 3.000 m2
lantai 48.000 m3 33.500 m3 18.000 m3
Max. volume
Kelas 6,7,8 atau 9a Max. luasan 5.000 m2 3.500 m2 2.000 m2
(kecuali daerah lantai 30.000 m3 21.500 m3 12.000 m3
perawatan pasien) Max. volume
3.3 Bangunan-bangunan besar yang diisolasi.
Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan dari yang tersebut
dalam tabel 4.8., bila:
1. Luasan bangunan tidak melebihi 18.000 m2 dan volumenya tidak melebihi
108.000 m3 dengan ketentuan:
a. bangunan kelas 7 atau 8 yang memiliki lantai bangunan tidak lebih dari 2
lantai dan terdapat ruang terbuka yang memenuhi persyaratan sebagaimana
tersebut pada butir 3.4.1. yang lebarnya tidak kurang dari 18 meter, dan
1) bangunan dilengkapi sistem sprinkler dan alarm,
2) bangunan dilengkapi sistem pembuangan asap otomatis termasuk
ventilasi asap.
b. bangunan kelas 5 s/d 9 yang dilindungi seluruhnya dengan sistem sprinkler
serta terdapat jalur kendaraan sekeliling bangunan yang memenuhi
ketentuan butir 3.4.2. atau
2. Bangunan melebihi 18.000 m2 luasnya atau 108.000 m3 volumenya,
dilindungi dengan sistem sprinkler, dan dikelilingi jalan masuk kendaraan
sesuai dengan butir 3.4.2; dan apabila:
a. ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari 12 meter, dilengkapi
dengan sistem pembuangan asap atau ventilasi asap dan panas sesuai
pedoman teknis dan standar teknis yang berlaku; atau
b. ketinggian langit-langit lebih dari 12 meter, dilengkapi dengan sistem
pembuang asap sesuai ketentuan yang berlaku atau
3. Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling, dan
a. setiap bangunan harus memenuhi ketentuan butir 3.3.1. atau 3.3.2 di atas;
atau
b. bila jarak antara bangunan satu dengan lainnya kurang dari 6 meter, maka
seluruhnya akan dianggap sebagai satu bangunan dan secara bersama
harus memenuhi ketentuan butir 3.3.1 atau 3.3.2 di atas

3.4 Kebutuhan Ruang Terbuka dan Jalan Masuk Kendaraan.


1. Suatu ruang terbuka yang disyaratkan berdasarkan butir 3.3. harus:
a. seluruhnya berada di dalam kapling yang sama kecuali jalan, sungai, atau
tempat umum yang berdampingan dengan kapling tersebut, namun
berjarak tidak lebih dari 6 meter dengannya, dan
b. termasuk jalan masuk kendaraan sesuai ketentuan butir 3.4.2.
c. tidak digunakan untuk penyimpanan dan pemrosesan material; dan
d. tidak ada bangunan diatasnya, kecuali untuk gardu jaga dan bangunan
penunjang (seperti gardu listrik dan ruang pompa), yang tidak melanggar
batas lebar dari ruang terbuka, tidak menghalangi penanggulangan
kebakaran pada bagian manapun dari tepian kapling, atau akan menambah
resiko merambatnya api ke bangunan yang berdekatan dengan kapling
tersebut.
2. Jalan masuk kendaraan harus:
a. mampu menyediakan jalan masuk bagi kendaraan darurat dan lintasan dari
jalan umum;
b. mempunyai lebar bebas minimum 6-meter dan tidak ada bagian yang lebih
jauh dari 18-meter terhadap bangunan apapun kecuali hanya untuk
kendaraan dan pejalan kaki;
c. harus dilengkapi dengan jalan masuk pejalan kaki yang memadai dan jalan
masuk kendaraan menuju ke bangunan;
d. memiliki kapasitas memikul beban dan tinggi bebas untuk memudahkan
operasi dan lewatnya mobil pemadam kebakaran, dan
e. bilamana terdapat jalan umum yang memenuhi butir a, b, c, dan d di atas
dapat berlaku sebagai jalan lewatnya kendaraan atau bagian dari padanya.

3.5 Bangunan-bangunan Kelas 9a.


Bangunan-bangunan Kelas 9a harus dilengkapi dengan tersedianya daerah yang
aman terhadap kebakaran dan asap yang dapat:
1. Daerah perawatan pasien harus dibagi dalam kompartemen- kompartemen
kebakaran dengan luas tidak melebihi 2.000 m2;
2. Daerah bangsal pasien:
a. untuk luasan lantai melampaui 1.000 m2 harus dibagi menjadi daerah yang
tidak lebih dari 1.000 m2 oleh dinding-dinding dengan Tingkat Ketahanan
Api (TKA) tidak kurang dari 60/60/60; dan
b. untuk luasan lantai melampaui 500 m2 harus dibagi menjadi daerah tidak
lebih dari 500 m2 oleh dinding-dinding kedap asap sesuai dengan butir 4 di
bawah; dan
c. pada pembagian/pemisahan ruang bangsal dengan dinding-dinding tahan
api menurut butir 1 di atas dan butir 2.a. tidak diperlukan, dinding-dinding
apapun yang kedap asap menurut 2.b di atas harus memiliki suatu TKA
tidak kurang dari 60/60/60.
3. Daerah perawatan harus dibagi dalam luasan lantai tidak lebih dari 1.000 m2
dengan dinding kedap asap sesuai butir 4 di bawah.
4. Suatu dinding kedap asap harus:
a. tidak mudah terbakar, dan membentang hingga di bawah permukaan lantai,
di atasnya, di bawah penutup atap yang tidak mudah terbakar atau di
bawah langit-langit yang tahan mencegah perambatan api ke ruang di
atasnya tidak kurang dari 60 menit; dan
b. tidak digabungkan dengan luasan atau permukaan dari bahan kaca apapun,
kecuali bahan kaca jenis aman yang ditentukan berdasarkan standar yang
berlaku;
c. memiliki pintu keluar yang dilengkapi dengan pintu-pintu tahan asap
sesuai ketentuan;
d. tidak terdapat lubang bukaan apapun kecuali bukaan yang dikelilingi
bagian yang menembus dinding yang dilengkapi dengan penyetop api yang
akan menghambat jalannya asap;
e. dilengkapi damper asap yang dipasang pada tempat saat saluran udara dari
sistem pengkondisian udara menembus dinding, kecuali sistem
pengkondisian udaranya membentuk bagian dari pengendali asap, atau
yang diperlukan untuk tetap beroperasi selama kebakaran.
5. Kompartemen-kompartemen kebakaran harus dipisahkan dari bagian
bangunan lain melalui dinding-dinding tahan api:
a. pada Konstruksi Tipe A – lantai dan langit-langitnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan
b. pada Konstruksi Tipe B – lantai dengan TKA tidak kurang dari
120/120/120 dan disertai bukaan pada dinding-dinding luarnya yang
membatasi daerah pasien, dipisahkan secara vertikal sesuai dengan
persyaratan pada butir 3.6., bila sebelumnya bangunan dengan Konstruksi
Tipe A.
6. Pintu yang harus kedap asap atau memiliki TKA, yang tidak sama dengan
pintu yang berfungsi sebagai Kompartemen Kebakaran yang diperlengkapi
dengan sistem pengendalian asap terzonasi sesuai dengan standar yang
berlaku, harus mempunyai satu reservoir asap yang tidak melebar sejauh 400
mm dari samping bawah:
a. penutup atap; atau
b. lantai diatasnya; atau
c. suatu langit-langit yang dirancang untuk mencegah aliran asap.
7. Untuk ruang-ruang yang berlokasi di dalam ruang perawatan pasien harus
dipisahkan dari ruang perawatan pasien dengan dinding-dinding yang TKA
tidak kurang dari 60/60/60 dan menerus ke penutup atap dari bahan tidak
mudah terbakar, lantai atau langit-langit yang mampu mencegah perambatan
api, pintu-pintunya harus dilindungi dengan pintu yang mempunyai TKA tidak
kurang dari -/60/30. Ruang-ruang tersebut adalah:
a. dapur dan ruang penyiapan makanan yang mempunyai luas lantai lebih
dari 30 m2.
b. ruang yang terdiri dari fasilitas hyper baric (bilik bertekanan).
c. ruang digunakan terutama untuk penyimpanan catatan-catatan medis dan
mempunyai luas lantai lebih dari 10 m2.
d. ruang cuci (binatu) berisi peralatan dari jenis yang berpotensi
menimbulkan kebakaran (seperti pengering dengan gas).

3.6 Pemisahan Vertikal pada Bukaan di Dinding Luar.


Apabila dalam suatu bangunan (selain bangunan parkir terbuka atau panggung
terbuka) yang memerlukan Konstruksi Tipe A dan tidak memiliki sistem sprinkler,
maka setiap bagian dari jendela atau bukaan lain pada dinding luar (kecuali
bukaan pada tangga yang sama): berada diatas bukaan lain dari lantai disebelah
bawahnya dan proyeksi vertikalnya tidak lebih dari 450 mm diluar bukaan yang
ada dibawahnya (diukur horizontal).
Bukaan tersebut harus dipisahkan oleh:
1. suatu ruang antara yang:
a. tingginya tidak kurang dari 900 mm;
b. melebar tidak kurang dari 600 mm diatas permukaan teratas dari lantai
yang terletak diantaranya; dan
c. dari bahan tidak mudah terbakar dengan TKA tidak kurang dari 60/60/60;
atau
2. bagian dari dinding pengisi atau dinding panel yang memenuhi butir 3.6.1;
atau
3. suatu konstruksi yang memenuhi butir 3.6.1 terletak di balik dinding
seluruhnya kaca atau dinding panel dan memiliki celah terisi bahan penyekat
dari bahan tidak mudah terbakar yang akan menahan ekspansi termal serta
gerakan struktural dari dinding tanpa kehilangan penyekatnya terhadap api dan
asap; atau
4. suatu plat lantai atau konstruksi horizontal lainnya yang:
a. menonjol keluar dari dinding luar tidak kurang dari 1100 mm;
b. menonjol sepanjang dinding tidak kurang dari 450 mm melampaui bukaan
yang ada; dan
c. dari bahan tidak mudah terbakar dengan TKA tidak kurang dari 60/60/60;
atau
5. konstruksi lain yang secara efektif setara dengan butir 3.6.1. sampai dengan
3.6.4.

3.7 Pemisahan oleh Dinding Tahan Api.


Bagian dari suatu bangunan yang dipisahkan dari bagian lainnya dengan suatu
dinding tahan api diperlakukan sebagai bangunan terpisah, bila:
1. Dinding tahan api tersebut:
a. membentang sepanjang seluruh tingkat lantai bangunan;
b. menerus sampai dengan bidang di bawah penutup atap; dan
c. memiliki TKA yang sesuai dengan ketentuan butir 2.2. untuk setiap
bagian yang berhubungan, dan bila berlainan TKA-nya, nilai TKA dinding
harus lebih besar.
2. Bukaan apapun pada dinding tahan api harus memenuhi bagian butir 3.4.
diatas;
3. Kecuali untuk bahan rangka atap yang disiapkan dengan dimensi 75 mm x 50
mm atau kurang, kayu atau unsur bangunan lainnya yang mudah terbakar tidak
boleh melewati atau menyilang dinding tahan api; dan
4. Bila atap dari suatu bagian yang berhubungan lebih rendah dari atap bagian
lain dari bangunan, maka dinding tahan api tersebut harus melampaui ke
permukaan bawah dari:
a. penutup atap yang lebih tinggi, atau tidak kurang dari 6 m di atas penutup
atap yang lebih rendah, atau bila
b. atap yang lebih bawah memiliki TKA tidak kurang dari TKA dinding
tahan api dan tidak ada bukaan lebih dekat dari 3 m terhadap dinding yang
berada di atas atap yang lebih rendah;
c. atap yang lebih rendah ditutup dengan bahan tidak mudah terbakar dan
bagian yang lebih rendah tersebut dilengkapi dengan sistem sprinkler, atau
dari rancangan bangunannya dapat membatasi perambatan api dari bagian
yang lebih rendah ke bagian yang lebih tinggi.

3.8 Pemisahan berdasarkan Klasifikasi pada Lantai yang sama.


Bila suatu bangunan memiliki bagian-bagian yang berbeda klasifikasinya dan
terletak berjajar satu dengan lainnya pada lantai yang sama, maka:
1. Tiap unsur bangunan pada lantai tersebut harus mempunyai TKA lebih tinggi
dari ketentuan butir 2.2. untuk unsur tersebut pada klasifikasi yang sesuai; atau
2. Bagian-bagian tersebut harus dipisahkan melalui dinding tahan api dengan
ketentuan TKA lebih tinggi, sebagai berikut:
a. TKA 90/90/90 bila bagian-bagiannya dilayani oleh koridor umum yang
sama, jalan umum atau semacamnya dilantai tersebut; atau
b. TKA yang lebih tinggi dari yang tersebut pada ketentuan butir 2.2. untuk
klasifikasi yang sama.

3.9 Pemisahan Klasifikasi pada Lantai yang berbeda.


Bila bagian-bagian dari klasifikasi yang berlainan terletak satu di atas yang lain
pada tingkat-tingkat yang saling berhubungan, maka harus dipisahkan sebagai
berikut:
1. Konstruksi Tipe A: lantai antara bagian-bagian yang berhubungan harus
memiliki TKA kurang dari yang ditentukan pada ketentuan butir 2.2. untuk
klasifikasi pada tingkat yang lebih rendah.
2. Konstruksi Tipe B atau C (berlaku hanya bila satu dari bagian yang
berhubungan adalah dari Kelas 2, 3 atau 4): bidang bawah dari lantai
(termasuk bagian sisi dan bidang bawah dari balok penyangga lantai) harus
mempunyai selimut penahan api.

3.10 Pemisahan pada Saf Lif.


Lif-lif yang menghubungkan lebih dari 2 lantai, atau lebih dari 3 lantai bila
bangunan dilengkapi dengan sprinkler, (kecuali lif yang sepenuhnya berada dalam
suatu atrium) harus dipisahkan dari bagian lain bangunan dengan melindunginya
dalam suatu shaft dengan syarat-sayarat sebagai berikut:
1. Dalam bangunan yang disyaratkan harus dari Konstruksi Tipe A: dinding-
dindingnya mempunyai TKA yang memenuhi ketentuan butir 2.2., dan
2. Dalam bangunan yang disyaratkan harus dari Konstruksi Tipe B, dinding-
dindingnya:
a. sesuai dengan 3.10.1. bila safnya adalah:
1) struktur yang memikul beban (load bearing), atau
2) bila safnya berada dalam daerah perawatan pasien pada bangunan
Kelas 9a.
b. harus dari konstruksi tidak mudah terbakar bila saf adalah bukaan struktur
pemikul dan tidak terletak di daerah perawatan pasien pada bangunan
kelas 9 a.
3. Bukaan untuk pintu-pintu lif dan bukaan untuk utilitas harus dilindungi sesuai
ketentuan butir 3.4.
4. Kamar instalasi mesin lif kebakaran serta saf lif kebakaran harus dilindungi
dengan dinding yang tidak mudah terbakar sesuai dengan klasifikasi
konstruksi bangunannya.

3.11 Tangga dan Lif pada Satu Saf.


Tangga dan lif tidak boleh berada pada satu saf yang sama, bila salah satu tangga
atau lif tersebut diwajibkan berada dalam suatu saf tahan api.

3.12 Pemisahan Peralatan.


1. Peralatan selain tersebut pada butir 3.12.2 dan 3.12.3. harus terpisah dari
bagian bangunan lainnya dengan konstruksi yang sesuai butir 3.12.4, bila
peralatan tersebut terdiri atas:
a. motor lif dan panel-panel kontrolnya, kecuali jika konstruksi yang
memisahkan saf lif dengan ruang mesin lif hanya memerlukan TKA 120/-
/-; atau
b. generator darurat atau alat pengendali asap terpusat; atau
c. ketel uap; atau
d. baterai-baterai.
2. Pemisahan peralatan tidak perlu memenuhi ketentuan butir 3.12.1 bila
peralatan tersebut terdiri atas :
a. kipas-kipas (fan) pengendali asap yang dipasang di aliran udara yang
dipasang untuk pengoperasian pada suhu tinggi sesuai dengan ketentuan
Bab V butir 5.2.5.; atau
b. peralatan penekan udara pada tangga yang dipasang sesuai persyaratan
yang berlaku;
c. peralatan lainnya yang dipisahkan secara baik dari bagian bangunan
lainnya.
3. Pemisahan peralatan pompa kebakaran setempat harus memenuhi ketentuan
Bab V Bagian 3.
4. Konstruksi pemisah harus memenuhi:
a. memiliki TKA yang dipersyaratkan pada ketentuan butir 2.2. tapi tidak
kurang dari 120/120/120; dan
b. tiap jalur masuk pada konstruksi tersebut harus dilindungi dengan pintu
penutup api otomatis yang memiliki TKA tidak kurang dari -/12-/
30.

3.13 Sistem Pasokan Listrik.


1. Gardu/sub stasiun listrik yang ditempatkan di dalam bangunan harus:
a. dipisahkan dari setiap bagian lain dari bangunan dengan konstruksi yang
mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120;
b. mempunyai pintu dengan konstruksi pintu tahan api yang dapat menutup
sendiri dan mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
2. Panel hubung-bagi (switch) utama yang ditempatkan di dalam bangunan yang
menyokong beroperasinya peralatan darurat, dalam kondisi darurat harus:
a. dipisahkan dari setiap bagian lain dari bangunan oleh konstruksi yang
mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120;dan
b. mempunyai pintu dengan konstruksi pintu tahan api yang dapat menutup
sendiri dan mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
3. Konduktor listrik yang ditempatkan di dalam bangunan dan memasok:
a. gardu panel hubung bagi utama yang ditempatkan di dalam bangunan yang
dicakup oleh butir 4.6; atau
b. panel hubung-bagi utama yang dicakup oleh butir 4.6. harus:
1) harus mengikuti ketentuan yang berlaku, atau
2) diselubungi atau dengan cara lain dilindungi oleh konstruksi yang
mempunyai TKA tidak kurang dari 120/120/120.

3.14 Koridor Umum pada Bangunan Kelas 2 dan 3.


Pada bangunan Kelas 2 dan 3 koridor umum tidak lebih dari 40 meter panjangnya
harus dibagi menjadi bagian yang tidak lebih dari 40 meter dengan dinding tahan
asap sesuai ketentuan butir 4.5.

BAGIAN 4: PERLINDUNGAN PADA BUKAAN

4.1 Umum.
1. Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi penyetop api
untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan
kompartemenisasi bangunan.
2. Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk saf pipa, saf
ventilasi, saf instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari
bawah sampai atas, dan tertutup pada setiap lantai.
3. Apabila harus diadakan bukaan pada dinding sebagaimana dimaksud pada
butir 4.1.2, maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan api minimal
sama dengan ketahanan api dinding atau lantai.
4.2 Pemenuhan Persyaratan Kinerja.
Persyaratan Kinerja sebagaimana disebut pada butir 1.3. akan dipenuhi apabila
memenuhi persyaratan yang tercantum pada Bagian 2, Bagian 3, dan Bagian 4.
1. Ketentuan perlindungan pada bukaan ini tidak berlaku untuk:
a. bangunan-bangunan Kelas 1 atau Kelas 10; atau
b. sambungan-sambungan pengendali, lubang-lubang tirai, dan sejenisnya di
dinding-dinding luar dari konstruksi pasangan dan sambungan antara
panel-panel di dinding luar terbuat dari beton pra-cetak, bila luas
lubang/sambungan tersebut tidak lebih luas dari yang diperlukan; dan
c. lubang-lubang ventilasi yang tidak mudah terbakar (non-combustable
ventilators) untuk sub-lantai atau ventilasi ruang, bila luas penampang
masing-masing tidak melebihi 45.000 mm2 , dari jarak antara lubang
ventilasi tidak kurang dari 2 meter dari lubang ventilasi lainnya pada
dinding yang sama.
2. Bukaan-bukaan pada setiap unsur bangunan memerlukan ketahanan terhadap
api, termasuk pintu, jendela, panel pengisi dan bidang kaca yang tetap atau
dapat dibuka yang tidak mempunyai angka TKA sebagaimana yang
seharusnya.

4.3 Perlindungan Bukaan Pada Dinding Luar.


Bukaan-bukaan pada dinding luar bangunan yang perlu memiliki TKA, harus:
1. Berjarak dari suatu objek yang dapat menjadi sumber api tidak kurang dari:
a. 1 meter pada bangunan dengan jumlah lantai tidak lebih dari 1 (satu); atau
b. 1,5 meter pada suatu bangunan dengan jumlah lantai lebih dari 1 (satu);
dan
2. Bila bukaan di dinding luar tersebut terhadap suatu obyek yang dapat menjadi
sumber api terletak kurang dari:
a. 3 meter dari sisi atau batas belakang persil bangunan; atau
b. 6 meter dari sempadan jalan yang membatasi persil, bila tidak berada pada
suatu lantai atau yang dekat dengan lantai dasar bangunan; atau
c. 6 meter dari bangunan lain pada persil yang sama yang bukan dari Kelas
10.
maka harus dilindungi sesuai dengan ketentuan butir 4.5, dan bila digunakan
sprinkler pembasah dinding, maka sprinkler tersebut harus ditempatkan
dibagian luar.
3. Bila wajib dilindungi sesuai dengan butir 4.2.2, tidak boleh menempati lebih
dari 1/3 luas dinding luar dari lantai dimana bukaan tersebut berada, kecuali
bila bukaan-bukaan tersebut pada bangunan Kelas 9 b dan diberlakukan
seperti bangunan panggung terbuka.
4.4 Pemisahan Bukaan pada Kompartemen Kebakaran.
Kecuali bila dilindungi sesuai ketentuan tersebut pada butir 4.5, jarak antara
bukaan-bukaan pada dinding luar pada Kompartemen kebakaran harus tidak
kurang dari yang tercantum pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9.
Jarak antara bukaan pada Kompartemen Kebakaran yang berbeda.
Jarak Minimal
Sudut Terhadap Dinding
Antara Bukaan
- 00 (dinding-dinding saling 6m
berhadapan) 5m
- lebih dari 00 s/d 450 4m
- lebih dari 450 s/d 900 3m
- lebih dari 900 s/d 1350 2m
- lebih dari 1350 s/d kurang dari 1800 nol
- 1800 atau lebih.

4.5 Metoda Perlindungan Yang Dapat Diterima.


1. Bila diperlukan, maka jalan-jalan masuk, jendela dan bukaan-bukaan lainnya
harus dilindungi sebagai berikut:
a. jalan-jalan masuk/pintu, sprinkler-sprinkler pembasah dinding di dalam
atau di luar sesuai keperluan, atau dengan memasang pintu-pintu
kebakaran dengan TKA-/60/30 (yang dapat menutup sendiri atau menutup
secara otomatis;
b. jendela-jendela, sprinkler-sprinkler pembasah dinding dalam atau luar
sesuai keperluan atau jendela-jendela kebakaran dengan TKA -/60/-
(yang menutup otomatis atau secara tetap dipasang pada posisi tertutup)
atau dengan memasang penutup api otomatis dengan TKA -/60/-.
c. bukaan-bukaan lain, sprinkler-sprinkler pembasah dinding dalam atau luar
sesuai keperluan atau dengan konstruksi yang memiliki TKA tidak kurang
dari -/60/-.
2. Pintu-pintu kebakaran, jendela-jendela kebakaran serta penutup-penutup
kebakaran harus memenuhi ketentuan butir 4.6.

4.6 Sarana Proteksi pada Bukaan


1. Jenis Sarana Proteksi
a. Sarana proteksi pada bukaan dalam persyaratan ini adalah pintu kebakaran,
jendela kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api.
b. Ketentuan dalam sub bab ini mengatur persyaratan untuk konstruksi pintu
kebakaran, jendela kebakaran, pintu penahan asap dan penutup api.
2. Pintu Kebakaran
Pintu kebakaran yang memenuhi persyaratan adalah:
a. Sesuai dengan standar pintu kebakaran
b. Tidak rusak akibat adanya radiasi melalui bagian kaca dari pintu tersebut
selama periode waktu, sesuai dengan nilai integritas dalam TKA yang
dimiliki.
3. Pintu Penahan Asap
a. Persyaratan Umum
Pintu penahan asap harus dibuat sedemikian rupa sehingga asap tidak akan
melewati pintu dari satu sisi ke sisi yang lainnya, dan bila terdapat bahan
kaca pada pintu tersebut, maka bahaya yang mungkin timbul terhadap
orang yang lewat harus minimal.
b. Konstruksi yang memenuhi syarat.
Pintu penahan asap, baik terdiri dari satu ataupun lebih akan memenuhi
persyaratan butir 3.a diatas bila pintu tersebut dikonstruksikan sebagai
berikut:
1) Daun pintu dapat berputar disatu sisi
a) Dengan arah sesuai arah bukaan keluar; atau
b) Berputar dua arah
2) Daun pintu mampu menahan asap pada suhu 2000 C selama 30 menit
3) Daun pintu padat dengan ketebalan 35 mm (akan memenuhi butir 2)
diatas).
c. Pada daun pintu dipasang penutup atau pengumpul asap.
d. Daun pintu pada umumnya pada posisi menutup; atau
1) Daun pintu menutup secara otomatis melalui pengoperasian penutup
pintu otomatis yang dideteksi oleh detektor asap yang dipasang sesuai
dengan standar yang berlaku dan ditempatkan disetiap sisi pintu yang
jaraknya secara horisontal dari bukaan pintu tidak lebih dari 1,5 m, dan
2) Dalam hal terjadi putusnya aliran listrik ke pintu, daun pintu berhenti
aman pada posisi penutup.
e. Pintu akan kembali menutup secara penuh setelah pembukaan secara
manual
f. Setiap kaca atau bahan kaca yang menyatu dengan pintu kebakaran atau
merupakan bagian pintu kebakaran harus memenuhi standar yang berlaku.
g. Bilamana panel berkaca tersebut bisa membingungkan untuk memberi
jalan keluar yang tidak terhalang maka adanya kaca tersebut harus dapat
dikenali dengan konstruksi tembus cahaya.
4. Penutup Api
Persyaratan suatu penutup api (fire Shutter) meliputi:
a. harus memiliki TKA yang memenuhi syarat sesuai dengan prototip yang
diuji; dan
b. dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
c. temperatur rata-rata dipermukaan yang tidak kena nyala api tidak melebihi
1400 C selama 30 menit pertama saat pengujian; atau
d. penutup dari bahan baja harus memenuhi standar yang berlaku bila
penutup metal boleh digunakan berkaitan dengan persyaratan butir 4.7.
5. Jendela Kebakaran
Suatu jendela kebakaran harus:
a. memiliki kesamaan dalam konstruksi dengan prototip yang sesuai dengan
TKA yang telah ditentukan, dan
b. dipasang sesuai ketentuan yang berlaku

4.7 Jalan Keluar/Masuk pada Dinding Tahan Api.


1. Lebar bukaan untuk pintu keluar/masuk pada dinding tahan api yang bukan
merupakan bagian dari pintu keluar horizontal, harus tidak melebihi ½ dari
panjang dinding tahan api dan setiap pintu-masuk tersebut harus dilindungi
dengan:
a. 2 buah pintu kebakaran atau penutup kebakaran (Fire Shutters), satu pada
setiap sisi pintu-masuk, masing-masing memiliki TKA tidak kurang ½ dari
yang dipersyaratkan menurut spesifikasi butir 2.3. untuk pintu kebakaran
kecuali bila pada setiap pintu atau penutup mempunyai tingkat isolasi
minimal 30 menit; atau
b. suatu pintu kebakaran di satu sisi dan penutup kebakaran di sisi yang lain
dari pintu-masuk, dimana masing-masing memenuhi butir 4.7.1.a; atau
c. suatu pintu kebakaran atau penutup kebakaran tunggal yang memiliki TKA
tidak kurang dari yang disyaratkan pada spesifikasi butir 2.3. untuk
dinding api kecuali jika tiap pintu atau penutup kebakaran mempunyai
tingkat isolasi sekurang-kurangnya 30 menit.
2. a. Pintu kebakaran atau penutup kebakaran yang disyaratkan pada butir
4.7.1.a, 4.7.1.b, dan 4.7.1.c diatas harus dapat menutup sendiri atau secara
otomatis dapat menutup sesuai dengan ketentuan pada butir 4.7.1.b dan
4.7.1.c;
b. pengoperasian penutup otomatis tersebut harus dimulai dengan aktivitas
detektor asap, atau detektor panas bila penggunaan detektor asap tidak
sesuai. Pemasangannya pada setiap sisi dari dinding kebakaran berjarak
tidak lebih dari 1,5 meter arah horizontal dari bukaan yang dimaksud.
c. bila sistem alarm kebakaran dan atau sistem sprinkler dipasang pada
bangunan sebagai bagian dari Sistem Kompartemenisasi, maka aktivitas
sistem-sistem tersebut di tiap kompartemen yang dipisahkan oleh dinding
tahan api harus pula mengaktifkan peralatan penutup pintu otomatis.

4.8 Pintu Kebakaran Jenis Geser/Sorong.


1. Bila dalam pintu keluar/masuk di dinding tahan api dilengkapi dengan pintu
kebakaran jenis geser (pintu sorong) yang terbuka pada waktu bangunan yang
bersangkutan digunakan, maka:
a. pintu tersebut harus tetap terbuka melalui suatu perangkat elektro
magnetik, dimana bila diaktifkan harus dapat menutup sepenuhnya tidak
kurang dari 20 detik, dan paling lama 30 detik setelah diaktifkan tersebut;
b. jika diaktifkan dan terjadi keadaan sistem geser tersebut macet, maka pintu
tersebut harus dijamin kembali pada posisi tertutup sesuai dengan butir
4.8.1.a; dan
c. suatu alarm peringatan yang mudah didengar harus dipasang berdekatan
dengan pintu keluar/masuk dan suatu lampu peringatan yang berkelip-
kelip warna merah dengan intensitas cahaya yang cukup pada tiap sisi
jalan keluar/masuk harus diaktifkan sesuai butir 4.8.1.a; dan
d. tanda-tanda petunjuk harus dipasang di kedua ujung jalan keluar dan
terletak langsung di atas pintu keluar dengan tulisan seperti pada gambar
4.2. yang dicetak dengan huruf kapital tidak kurang dari 50 mm tingginya
dengan warna mencolok/kontras terhadap belakangnya.

AWAS PINTU KEBAKARAN GESER

Gambar 4.2.
Tanda pintu kebakaran geser

2. a. Perangkat elektro magnetik harus dalam keadaan tidak diaktifkan dan


sistem peringatan ini diaktifkan dengan perangkat detektor panas, atau
asap yang sesuai dan dipasang sesuai ketentuan yang berlaku.
b. sistem alarm kebakaran termasuk sistem sprinkler yang dipasang di dalam
bangunan, pengaktifannya pada Kompartemen Kebakaran yang dipisahkan
dengan dinding tahan api, harus dapat pula mengaktifkan perangkat
elektromagnit dan mengaktifkan pula sistem peringatan.

4.9 Perlindungan Pada Pintu Keluar Horizontal.


1. Suatu jalan keluar/masuk yang merupakan bagian dari sarana pintu keluar
harus dilindungi dengan salah satu elemen berikut:
a. pintu kebakaran tunggal yang mempunyai TKA tidak kurang dari yang
ditentukan pada ketentuan butir 2.3. unit dinding tahan api kecuali bila
tersebut memiliki tingkat isolasi sedikitnya 30 menit; dan
b. pada bangunan Kelas 7 atau 8, 2 buah pintu kebakaran, 1 pada tiap sisi
jalan masuk/keluar bangunan, masing-masing dengan TKA sekurang-
kurangnya ½ dari yang diperlukan menurut ketentuan butir 2.3. unit
dinding tahan api kecuali bila setiap pintu memiliki tingkat isolasi
sekurangnya 30 menit.
2. a. tiap pintu yang diperlukan seperti yang tersebut pada butir 4.9.1,
harus dapat menutup sendiri, atau menutup otomatis sesuai dengan butir
4.9.2.b dan 4.9.2.c;
b. pengoperasian penutup pintu otomatis tersebut di atas diawali dengan
aktifnya detektor asap, atau detektor panas yang pemasangannya pada
setiap sisi dari dinding tahan api berjarak lebih dari 1,5 meter arah
horizontal dari bukaan yang dimaksud, dan sesuai ketentuan yang berlaku;
c. bila terdapat sistem alarm kebakaran termasuk sistem sprinkler yang
dipasang di dalam bangunan, maka pengaktifannya dikompartemen
kebakaran yang dipisahkan dengan dinding tahan api, harus dapat pula
mengawali beroperasinya perangkat penutup otomatis.

4.10 Bukaan-bukaan Pada Pintu-pintu Keluar yang Diisolasi Terhadap


Kebakaran.
1. a. Jalan-jalan keluar/masuk yang terbuka ke arah tangga kebakaran yang
terisolasi, jalan-jalan lintasan atau ramp yang terisolasi terhadap
kebakaran, dan bukan jalan masuk/keluar yang langsung menuju ke suatu
ruang terbuka, harus dilindungi oleh pintu kebakaran yang dapat menutup
sendiri dengan TKA-/60/30 atau menutup secara otomatis sesuai dengan
butir 4.10.1.b dan 4.10.1.c.
b. Pengoperasian penutup otomatis tersebut di atas harus berfungsi sejalan
dengan aktifnya detektor asap, atau detektor panas untuk lingkungan yang
tidak cocok digunakan detektor asap. Pemasangan penutup otomatis harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditempatkan pada setiap sisi
dari dinding kebakaran berjarak lebih dari 1,5 meter arah horizontal dari
sisi bukaan yang dimaksud.
c. Bila terdapat sistem deteksi dan alarm kebakaran, termasuk sistem
sprinkler yang dipasang dalam bangunan, pengaktifan Kompartemen
Kebakaran yang dipisahkan dengan dinding tahan api, harus dapat pula
mengawali berfungsinya perangkat penutup otomatis.
2. Suatu jendela dinding luar dari ruang tangga darurat, jalan-jalan lintasan atau
ramp yang diisolasi terhadap kebakaran, harus dilindungi sesuai dengan butir
4.5, bila berada dalam jarak 6 meter dari atau terbuka terhadap:
a. suatu bagian yang memungkinkan menjadi sumber api, atau
b. suatu jendela atau bukaan lain pada dinding dari bangunan yang sama,
akan tetapi tidak dalam ruang atau konstruksi terlindung terhadap
kebakaran.

4.11 Lubang Tembus Utilitas pada Pintu Keluar Yang Diisolasi Terhadap
Kebakaran.
Pintu-pintu keluar yang diisolasi terhadap kebakaran tidak boleh ditembus oleh
perangkat utilitas apapun selain dari:
1. Kabel-kabel listrik yang berkaitan dengan sistem pencahayaan atau sistem
tekanan udara yang melayani sarana keluar atau sistem inter komunikasi untuk
melindungi tanda ‘KELUAR’; atau
2. Ducting yang berkaitan dengan sistem pemberian tekanan udara bila hal itu;
a. dibuat dengan bahan/material yang memiliki TKA tidak kurang dari
120/120/160 yang melalui bagian-bagian lain dari bangunan, dan
b. tidak terbuka saat melintasi bagian bangunan tersebut.
3. Pipa-pipa saluran air untuk pemadam kebakaran.

4.12 Bukaan Pada Saf Lif Yang Diisolasi Terhadap Kebakaran.


1. Jalan keluar/masuk bila suatu lif harus diisolasi terhadap kebakaran sesuai
persyaratan pada Bab III Bagian 2, maka jalan masuk (entrance) menuju ke
saf tersebut harus dilindungi dengan pintu-pintu kebakaran dari -/60/-, yang;
a. memenuhi ketentuan pintu kebakaran; dan
b. dipasang agar selalu menutup kecuali bila saat dilewati pengunjung,
barang-barang atau kendaraan.
2. Panel-panel Indikator Lif, suatu panel pemanggil lif, panel indikator atau panel
lainnya pada dinding saf lif yang diisolasi terhadap api ditunjang dengan
konstruksi yang mempunyai TKA tidak kurang dari -/60/60 bila luasnya
melebihi 35.000 mm2.

4.13 Membatasi Konstruksi Bangunan Kelas 2, 3, dan 4.


1. Suatu jalan masuk/keluar sebuah bangunan Kelas 2 atau 3 harus dilindungi
bila jalan tersebut memberikan jalan masuk/pencapaian dari suatu hunian
tunggal menuju ke:
a. koridor umum, ruang pertemuan umum, atau sejenisnya, atau
b. pintu ruang yang tidak berada di dalam unit hunian tunggal, atau
c. tangga keluar yang tidak terisolasi terhadap kebakaran, atau
d. unit hunian tunggal lainnya.
2. Suatu jalan masuk/keluar sebuah bangunan Kelas 2 atau Kelas 3 harus
dilindungi bila memberikan jalan masuk/pencapaian dari suatu ruang yang
tidak berada di dalam hunian tunggal menuju ke:
a. koridor umum, ruang pertemuan umum, atau sejenisnya, atau
b. ruang tangga dalam bangunan yang tidak terisolasi terhadap kebakaran
yang berfungsi melayani kebutuhan sarana keluar.
3. Suatu jalan masuk/keluar pada bangunan Kelas 4 harus dilindungi bila jalan
tersebut memberikan jalan masuk/pencapaian ke bagian dalam lainnya dari
bangunan.
4. Perlindungan bagi jalan masuk/keluar harus sekurang-kurangnya:
a. bila berada dalam bangunan dengan Konstruksi Tipe A dengan pintu
tahan api yang dapat menutup sendiri dengan TKA -/60/30; dan
b. bila berada dalam bangunan dengan Konstruksi Tipe B atau Tipe C dengan
pintu yang kokoh, terpasang kuat, yang dapat menutup sendiri dengan
ketebalan tidak kurang dari 35 mm.
5. Bukaan-bukaan lainnya pada dinding-dinding dalam yang disyaratkan
memiliki TKA yang unsur keutuhan struktur dan unsur penahan panasnya
tidak mengurangi kinerja ketahanan api dari dinding.
6. a. Pintu yang dipersyaratkan pada butir ini setidaknya dapat menutup secara
otomatis sesuai dengan butir 4.13.6.b dan 4.13.6.c
b. Pengoperasian penutup otomatis tersebut di atas harus diawali dengan
aktifnya detektor asap, atau detektor panas dan pemasangannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan ditempatkan pada setiap sisi dari
dinding kebakaran berjarak lebih dari 1,5 meter arah horizontal dari sisi
bukaan yang dimaksud.
c. bila terdapat sistem alarm kebakaran dan sistem sprinkler yang dipasang di
dalam bangunan, maka pengaktifannya harus dapat pula mengawali
beroperasinya perangkat penutup otomatis.
7. Di dalam bangunan Kelas 2 atau 3 dimana jalur menuju pintu keluar (Eksit)
tidak memiliki pilihan lain dan berada disepanjang balkon lantai atau
sejenisnya dan melalui dinding luar dari:
a. unit hunian tunggal lainnya; atau
b. ruang yang tidak di dalam unit hunian tunggal,
maka dinding luar tersebut harus dibuat sedemikian agar cukup melindungi
bagi penghuni yang mencapai jalan keluar (Eksit).
8. Suatu dinding memenuhi butir 4.13.7 di atas, apabila dinding tersebut:
a. terbuat dari beton atau pasangan batu bata, atau bila bagian dalamnya
dilapisi dengan bahan tahan api; dan
b. mempunyai jalan keluar/masuk dengan pintu yang dapat menutup sendiri,
dengan bahan inti pintu yang kokoh, kuat terpasang dengan ketebalan
tidak kurang dari 35 mm; dan
c. mempunyai jendela atau bukaan lainnya yang terlindung sesuai dengan
persyaratan butir 4.5 atau ditempatkan pada sekurang-kurangnya 1,5 meter
di atas lantai, balkon, dan sejenisnya.

4.14 Bukaan Pada Lantai Untuk Penetrasi Saluran Utilitas.


Di dalam bangunan dengan Konstruksi Tipe A, maka jalur-jalur utilitas yang
menerobos melalui lantai-lantainya harus dipasang tersusun dalam saf-saf agar
memenuhi spesifikasi umum atau dilindungi sesuai ketentuan teknis.

4.15 Bukaan Pada Saf-Saf.


Di dalam bangunan dengan Konstruksi Tipe A, suatu bukaan pada dinding yang
dimaksudkan sebagai jalan masuk untuk lewatnya saf-saf Ventilasi, pipa, sampah
atau utilitas lainnya harus dilindungi dengan :
1. Suatu pintu atau panel dengan rangkanya, terbuat dari bahan tidak mudah
terbakar atau memiliki TKA tidak kurang dari -/30/30 bila bukaan terletak
pada kompartemen sanitasi; atau
2. Suatu pintu kebakaran yang dapat menutup sendiri dengan TKA
-/60/30; atau
3. Panel jalan masuk yang mempunyai TKA tidak kurang dari
-/60/30; atau
4. Suatu pintu dari konstruksi tidak mudah terbakar bila saf tersebut adalah saf
untuk pembuang sampah
4.16 Bukaan Untuk Instalasi Utilitas.
Instalasi listrik, elektronik, pemipaan plambing, ventilasi mekanis, tata udara atau
utilitas lain yang dipasang menembus unsur bangunan (selain dinding luar atau
atap) yang disyaratkan memiliki TKA atau ketahanan terhadap perambatan api
tahap awal, harus dipasang memenuhi salah satu dari persyaratan berikut:.
1. Metoda dan material yang digunakan identik dengan proto tipe pemasangan
dari utilitas dan unsur bangunan yang telah diuji sesuai dengan ketentuan yang
berlaku tentang Spesifikasi Komponen Bahan Bangunan dan Komponen
Struktur dan telah memiliki TKA yang diperlukan atau ketahanan rambatan
api awal; atau
2. Memenuhi butir 4.16.1 kecuali untuk kriteria isolasi yang berkaitan dengan
utilitas dan peralatan utilitas terlindung sedemikian rupa sehingga bahan yang
mudah terbakar tidak terletak pada jarak 100 mm darinya serta tidak terletak
pada pintu keluar yang diperlukan; atau
3. Dalam hal ventilasi atau saluran-saluran tata udara atau peralatan instalasi
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang pedoman ventilasi
mekanik dan pengkondisian udara dalam bangunan gedung; atau
4. Instalasi utilitas terbuat dari pipa logam dipasang sesuai dengan spesifikasi
lubang tembus dinding, lantai dan langit-langit oleh instalasi yang:
a. menembus dinding, lantai atau langit-langit tapi bukan langit-langit yang
diperlukan memiliki ketahanan terhadap rambatan api yang baru mulai;
dan
b. menghubungkan tidak lebih dari 2 kompartemen kebakaran sebagai
tambahan adanya saf-saf perangkat utilitas yang tahan api;
c. tidak mengandung cairan atau gas yang mudah menyala atau terbakar.
5. Instalasi utilitas berupa pipa-pipa sanitasi yang dipasang menurut spesifikasi
yang memenuhi syarat dan instalasi utilitas tersebut harus:
a. terbuat dari bahan logam atau pipa PVC; dan
b. menembus lantai dari bangunan Kelas 5, 6, 7,8 atau 9; dan
c. berada di dalam kompartemen sanitasi yang dipisahkan dari bagian-bagian
lain dari bangunan oleh suatu dinding TKA dapat disyaratkan menurut
ketentuan butir 2.3 untuk suatu saf tangga pada suatu bangunan dari pintu
kebakaran yang dapat menutup sendiri dengan TKA -/60/30; atau
6. Instalasi service berupa kawat atau kabel, atau suatu ikatan kawat atau kabel
yang dipasang menurut spesifikasi lubang tembus instalasi yang memenuhi
syarat dengan cara:
a. menembus dinding, lantai atau langit-langit, tapi bukan langit-langit yang
diperlukan memiliki ketahanan terhadap rambatan api yang baru mulai;
dan
b. menghubungkan tidak lebih dari 2 kompartemen kebakaran sebagai
tambahan adanya saf-saf pelindung perangkat utilitas yang tahan api; atau
7. Instalasi utilitas berupa suatu sakelar listrik, stop kontak, dan sejenisnya yang
dipasang sesuai dengan spesifikasi instalasi yang memenuhi syarat
sebagaimana tercantum pada butir 4.16.

4.17 Persyaratan Penembus pada Dinding, Lantai, dan langit-langit oleh Utilitas
Bangunan
1. Lingkup
Ketentuan ini menjelaskan tentang bahan dan metoda instalasi utilitas atau
peralatan mekanikal dan elektrikal yang menembus dinding, lantai dan langit-
langit yang disyaratkan memiliki TKA.
2. Penerapan
a. Persyaratan ini berlaku menurut ketentuan ini sebagai alternatif sistem
yang telah dibuktikan melalui pengujian dalam rangka memenuhi
ketentuan pada butir 4.16.
b. Persyaratan ini tidak berlaku untuk instalasi di langit-langit yang
dipersyaratkan mempunyai ketahanan terhadap penjalaran kebakaran awal
atau untuk instalasi pemipaan yang berisi atau dimaksudkan untuk
mengalirkan cairan ataupun gas mudah terbakar.
3. Pipa Metal
a. Suatu pipa metal yang secara normal berisi cairan tidak boleh menembus
dinding, lantai ataupun langit-langit pada jarak 100 mm dari bahan mudah
terbakar, dan harus dikonstruksi atau terbuat dari:
1) campuran tembaga atau baja tahan karat dengan ketebalan minimal 1
mm; atau
2) besi tuang atau baja (selain baja tahan karat) dengan ketebalan dinding
minimal 2mm.
b. Bukaan untuk pipa metal harus:
1) dibentuk rapih, dipotong atau dibor; dan
2) sekurang-kurangnya 200 mm dari penetrasi utilitas lainnya
3) menampung hanya satu pipa
c. Pipa metal tersebut harus dibungkus atau diberi selubung tetapi tidak perlu
dikurung dalam bahan isolasi termal sepanjang penembusan di dinding,
lantai ataupun langit-langit kecuali bila pengurungan atau pemberian
bahan isolasi termal itu memenuhi butir 4.17.7.
d. Celah yang terjadi diantara pipa metal dan dinding, lantai atau langit-langit
yang ditembusi harus diberi penyetop api sesuai dengan butir 4.17.7.
4. Pipa Yang Menembus Ruang Sanitasi
Apabila sebuah pipa logam atau PVC menembus lantai ruang sanitasi sesuai
butir 4.16 maka:
a. Bukaan atau lubang penembusan harus rapih dan berukuran tidak lebih
besar dari yang sesungguhnya diperlukan untuk ditembusi pipa atau fiting,
dan
b. Celah antara pipa dan lantai harus diberi penyetop api (fire stopping)
sebagaimana diatur dalam butir 4.17.7.
5. Kawat Dan Kabel
Bilamana sebatang kawat atau kabel atau sekumpulan kabel menembus lantai,
dinding atau langit-langit maka:
a. Lubang penembusan harus rapih baik melalui pemotongan ataupun
pemboran dan minimal berjarak 50 mm dari lubang penembusan untuk
utilitas lainnya.
b. Luas penampang lubang penembusan tersebut tidak lebih dari:
1) 2.000 mm2 bila mengakomodasi hanya satu kabel dan celah antara
kabel dan dinding, lantai atau langit-langit tidak lebih lebar dari 15
mm; atau
2) 500 mm2 pada kasus lainnya;
3) ketentuan yang berlaku atau celah yang terjadi antara utilitas dan
dinding, lantai atau langit-langit harus diberi penyetop api sesuai
ketentuan butir 4.17.7.
6. Sakelar Dan Stop Kontak
Bilamana sakelar listrik, stop kontak dan dudukan alat listrik (soket) atau
semacamnya harus disambung dalam bentuk lubang ataupun lekukan di
dinding, lantai, ataupun langit-langit maka:
a. Lubang ataupun lekukan harus tidak
1) ditempatkan berhadapan di tiap titik dalam jarak 300 mm secara
horisontal atau 600 mm secara vertikal dari setiap bukaan atau lekukan
pada sisi dinding yang berhadapan; atau
2) diperluas lebih dari setengah tebal dinding; atau
3) mengikuti ketentuan yang berlaku; dan
b. Celah di antara utilitas dan dinding, lantai atau langit-langit harus diberi
penyetop api sesuai ketentuan butir 4.17.7.
7. Penyetop Api
a. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penyetop api pada penetrasi utilitas harus
dari beton serat mineral temperatur tinggi, serat keramik temperatur tinggi
atau bahan lainnya yang tidak meleleh dan mengalir pada temperatur
dibawah 1.1200 C bila diuji berdasarkan standar yang berlaku dan harus
telah dibuktikan lewat pengujian bahan dan bahwa:
1) pemakaian bahan penyetop api tidak melemahkan kinerja ketahanan
api dari komponen bangunan dimana penyetop api tersebut dipasang.
2) saat pengujian dilakukan menurut butir 4.17.7.e., pemakaian bahan
penyetop api tidak melemahkan kinerja ketahanan api dari pelat uji.
b. Instalasi
Bahan penyetop api harus diisikan dan dimampatkan kedalam celah antara
utilitas dan dinding, lantai atau langit-langit dengan cara dan penekanan
yang seragam sebagaimana dilakukan saat pengujian menurut butir
4.17.7.a.1) atau 4.17.7.a.2).
c. Konstruksi Lubang/Rongga
Bilamana suatu pipa menembus dinding berongga (seperti dinding
pengaku, dinding berongga atau dinding berlubang lainnya) atau lantai
serta langit-langit berongga maka rongga tersebut harus diberi rangka dan
dipadatkan dengan bahan penyetop api dan diatur sebagai berikut:
1) dipasang sesuai ketentuan butir 4.17.7.b. hingga ketebalan 25 mm
sekeliling penembusan atau sekeliling sarana utilitas yang menembus
dinding atau lantai ataupun langit-langit serta sepanjang kedalaman
penuh dari penembusan tersebut, dan
2) terpasang mantap dan bebas serta tidak dipengaruhi oleh fungsi utilitas
dari pemindahan ataupun pemisahan dari permukaan utilitas dan
dinding, lantai ataupun langit-langit.
d. Lekukan
Bila suatu sakelar elektrik, soket, stop kontak listrik ataupun sejenisnya
harus diletakkan dalam suatu lekukan di dalam dinding atau lantai ataupun
langit-langit berlubang, maka
1) lubang yang secara langsung berada di belakang utilitas harus diberi
rangka dan dirapatkan dengan bahan penutup api sesuai dengan butir
4.17.7.c.; atau
2) bagian belakang dan sisi-sisi utilitas harus diproteksi dengan papan
pelapis tahan panas yang identik dan memiliki ketebalan yang sama
dengan utilitas tersebut.
e. Pengujian
Pengujian untuk menentukan kecocokan bahan penyetop api dengan
ketentuan ini dilakukan sebagai berikut:
1) Contoh uji terdiri atas pelat beton yang tidak kurang dari 100 mm
tebalnya dan bila perlu diberi tulangan untuk ketepatan struktur selama
pembuatan, pengangkutan dan pengujian.
2) Pelat beton tersebut harus mempunyai sebuah lubang berdiameter 50
mm tepat ditengah-tengah dan lubang tersebut harus diisi rapat-rapat
dengan bahan penyetop api.
3) Pelat contoh uji tersebut selanjutnya dikondisikan sesuai standar yang
berlaku.
4) Dua buah termokopel sesuai standar harus dilekatkan di permukaan
atas penutup lubang dengan setiap termokopel berjarak kira-kira 5 mm
dari tengah-tengah pelat.
5) Pelat harus diuji mendatar, sesuai standar yang berlaku dan harus
memperoleh TKA 60/60/60.
4.18 Sambungan-sambungan Konstruksi.
1. Sambungan-sambungan konstruksi, celah-celah dan sejenisnya yang terdapat
diantara unsur-unsur bangunan yang disyaratkan perlu tahan terhadap api
dikaitkan dengan keutuhan dan penahan panas serta harus dilindungi dengan
baik untuk menjaga kinerja ketahanan api dari unsur yang bersangkutan.
2. Sambungan-sambungan konstruksi dan celah harus disekat dengan bahan dan
cara yang sama dengan prototip yang telah diuji menurut ketentuan yang
berlaku (tentang Tata Cara Pengujian Ketahanan Kebakaran pada bahan
bangunan dan komponen struktur), agar memenuhi persyaratan ketahanan api
sesuai dengan butir 4.18.1.

4.19 Kolom Yang Dilindungi dengan Konstruksi Ringan Untuk TKA Tertentu.
1. Bila kolom, yang dilindungi dengan konstruksi ringan agar mencapai TKA
tertentu, melewati suatu unsur bangunan yang mempunyai TKA atau memiliki
ketahanan terhadap rambatan api, maka harus diupayakan sehingga kinerja
ketahanan api dari unsur bangunan yang dilewati tidak berkurang atau rusak.
2. Metoda dan material yang digunakan harus sama dengan prototip konstruksi
yang telah mencapai TKA yang diperlukan atau memiliki ketahanan rambatan
api.
BAB V
SISTEM PROTEKSI AKTIF

BAGIAN 1: TUJUAN, FUNGSI, DAN PERSYARATAN KINERJA

1.1 Tujuan
1. Melindungi penghuni dari kecelakaan atau luka, dengan memperingatkan
kepada penghuni akan adanya suatu kebakaran, sehingga dapat melaksanakan
evakuasi dengan aman.
2. Melindungi penghuni dari kecelakaan atau luka pada waktu melakukan
evakuasi pada saat kejadian kebakaran.

1.2 Fungsi
Suatu bangunan dilengkapi dengan sarana Proteksi kebakaran sedemikian rupa
sehingga:
1. penghuni diperingatkan akan adanya suatu kebakaran dalam bangunan
sehingga dapat melaksanakan evakuasi dengan aman.
2. penghuni mempunyai waktu untuk melakukan evakuasi secara aman sebelum
kondisi pada jalur evakuasi menjadi tidak tertahankan oleh akibat kebakaran.

1.3 Persyaratan Kinerja


1. Dalam suatu bangunan yang menyediakan akomodasi tempat tidur, harus
disediakan sistem peringatan otomatis pada sistem deteksi asap, sehingga
mereka dapat berevakuasi ke tempat yang aman pada saat terjadi kebakaran.
Persyaratan ini berlaku untuk bangunan gedung kelas 2, 3, 4, dan 9 a.
2. a. Pada saat terjadi kebakaran pada bangunan gedung, kondisi pada setiap
jalur evakuasi harus dijaga untuk periode waktu yang diperlukan penghuni
untuk melakukan evakuasi dari bagian bangunan, sehingga:
1) Temperatur tidak membahayakan jiwa manusia
2) Jalur/rute evakuasi masih dapat terlihat jelas
3) Tingkat keracunan asap tidak membahayakan jiwa manusia
b. Periode waktu yang diperlukan untuk melakukan evakuasi harus
memperhitungkan:
1) jumlah, mobilitas, dan karakteristik lain dari penghuni, dan
2) fungsi bangunan, dan
3) jarak tempuh dan karakteristik lainnya dari bangunan, dan
4) beban api, dan
5) potensi intensitas kebakaran, dan
6) tingkat bahaya kebakaran, dan
7) setiap sistem konstruksi kebakaran aktif yang terpasang dalam
bangunan, dan
8) tindakan petugas pemadam kebakaran.
Persyaratan tersebut tidak berlaku untuk ruang parkir terbuka atau panggung
terbuka

BAGIAN 2: SISTEM DETEKSI DAN ALARM KEBAKARAN

2.1 Lingkup
Spesifikasi dalam bagian 2 ini menjelaskan instalasi dan pengoperasian sistem
alarm kebakaran otomatis.

2.2 Tujuan
1. Sistem deteksi dan alarm kebakaran otomatis yang dirancang untuk
memberikan peringatan kepada penghuni akan adanya bahaya kebakaran,
sehingga dapat melakukan tindakan proteksi dan penyelamatan dalam kondisi
darurat.
2. Sistem alarm untuk memudahkan petugas pemadam kebakaran
mengidentifikasi titik awal terjadinya kebakaran.

2.3 Persyaratan Kinerja


Sistem deteksi dan alarm kebakaran harus dipasang pada:
( Lihat Tabel 5.1.)
1. semua bangunan kecuali bangunan Kelas 1a.
2. setiap bangunan Kelas 1b,
3. setiap bangunan Kelas 2, dengan tinggi maksimal 3 lantai, mempunyai
struktur kayu, bahan yang tidak mudah terbakar, dan kombinasinya,
4. bangunan Kelas 3 yang menampung lebih dari 20 orang penghuni yang
digunakan sebagai:
a. bagian hunian dari bangunan sekolah, atau
b. akomodasi bagi lanjut usia, anak-anak atau orang cacat, dan
5. bangunan Kelas 9a.
Pada bangunan Kelas 9a, sistem penginderaan dan alarm kebakaran otomatis
harus:
a. Mempunyai detektor panas (heat detector) dan atau detektor panas jenis
laju kenaikan temperatur (rate of rise heat detector) tipe A yang dipasang
pada seluruh bangunan, kecuali:
1) Pada bangunan yang seluruhnya bersprinkler, atau
2) Pada setiap lokasi yang dipasang alat pendeteksi asap, dan
b. Mempunyai alat detektor asap yang dipasang di:
1) Ruang perawatan pasien dan jalur keluar dari setiap daerah tersebut
menuju ke ruang umum, dan
2) Ruang-ruang lainnya yang dibutuhkan dalam rangka efektivitas
pengendalian bahaya asap, dan
c. Dipasang alat manual pemicu alarm (manual break glass) yang
ditempatkan pada lintasan jalan keluar, sehingga tidak ada satu titikpun
pada lantai yang berjarak lebih dari 30 meter dari titik alarm manual
tersebut.

2.4 Spesifikasi Sistem Deteksi dan Alarm Kebakaran.


Sistem deteksi dan alarm kebakaran harus memenuhi spesifikasi berikut ini:
1. Pemenuhan terhadap standar.
Perancangan dan pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran harus
memenuhi SNI 03-3986-edisi terakhir, mengenai Instalasi Alarm Kebakaran
Otomatis.
2. Hubungan dengan peralatan alarm lainnya.
Sistem penginderaan kebakaran dan sistem alarm otomatis harus dilengkapi
dengan sistem peringatan keadaan darurat dan sistem komunikasi internal.

Tabel 5.1.
Penyediaan Sistem Deteksi dan Alarm Menurut Fungsi, Jumlah dan Luas Lantai
Bangunan.
Nama Jumlah Luas Sistem
Kelompo Fungsi Jumlah
Kelompo Min/ Lantai Deteksi
k Fungsi Bangunan Lantai
k (M2) dan Alarm
1a Bangunan Rumah 1 - -
Hunian Tinggal
Tunggal
1b Bangunan Asrama/Kos/R 1 300 -
Hunian umah
Tamu/Hostel
(luas<300M2)
2 Bangunan Terdiri dari 2 1 T.A.B (M)
Hunian atau lebih unit 2-4 T.A.B (M)
hunian (ruko) - - -
3 Bangunan Rumah 1 T.A.B (M)
Hunian Asrama, Hotel, 2-4 T.A.B (M)
diluar 1 Orang - - -
dan 2 berumur,
cacat, dll.
4 Bangunan Tempat tinggal 1 T.A.B (M)
Hunian dalam suatu 2-4 T.A.B (O)
Campuran bangunan >4 T.A.B (O)
kelas 5, 6, 7. 8.
Dan 9
(lanjutan)
Nama Jumlah Luas Sistem
Kelompo Fungsi Jumlah
Kelompo Min/ Lantai Deteksi
k Fungsi Bangunan Lantai
k (M2) dan Alarm
5 Bangunan Usaha 1 400 (M)
Kantor profesional, 2-4 200 (M)
komersial, dll. >4 T.A.B (O)
6 Bangunan Rumah makan, 1 400 (M)
perdagang toko, salon, 2-4 200 (M)
an pasar, dll. >4 T.A.B (O)
7 Bangunan Tempat parkir 1 2000 (M)
penyimpa umum, gudang 2-4 1000 (M)
nan/gudan >4 T.A.B (O)
g
8 Bangunan Produksi, 1 400 (M)
Lab./Indus perakitan, 2-4 200 (M)
tri/Pabrik pengepakan, >4 T.A.B (O)
dll.
9a Bangunan Perawatan 1 T.A.B (M)
umum kesehatan, lab. 2-4 T.A.B (O)
>4 T.A.B (O)
9b Bangunan Pertemuan, 1 400 (M)
umum peribadatan, 2-4 200 (M)
pendidikan, >4 T.A.B (O)
budaya, lab.
10a Bangunan/ Garasi pribadi 1 400 (M)
Struktur 2-4 200 (M)
bukan >4 T.A.B (O)
hunian
10b Bangunan/ Pagar, Antena, - - -
Struktur Kolam renang,
bukan dll
hunian
T.A.B = Tidak Ada Batas
M = Manual
O = Otomatis

3. Persyaratan penempatan dan pemasangan alarm kebakaran.


Ruangan tersembunyi seperti misalnya ruangan antara langit-langit dan
atap, dengan jarak melebihi 80 cm diukur dari permukaan atap terbawah ke
permukaan langit-langit teratas.
BAGIAN 3: SISTEM PEMADAM KEBAKARAN MANUAL

3.1 Hidran Kebakaran Gedung


1. Persyaratan Sistem
a. Umum
1) Desain dari sistem pipa tegak ditentukan oleh ketinggian gedung, luas
per lantai, klasifikasi hunian, sistem sarana jalan keluar, jumlah aliran
yang dipersyaratkan dan sisa tekanan, serta jarak sambungan selang
dari sumber pasokan air.
2) Sistem pipa tegak otomatis
Sistem pipa tegak yang dihubungkan ke suatu pasokan air yang mampu
memasok kebutuhan sistem pada setiap saat, dan disyaratkan tidak ada
kegiatan selain membuka katup selang untuk menyediakan air pada
sambungan selang.
3) Sistem kombinasi
Sistem pipa tegak mempunyai pemipaan yang memasok sambungan
selang dan sprinkler otomatis.
4) Sambungan selang
Kombinasi dari peralatan yang disediakan untuk sambungan suatu
selang ke sistem pipa tegak yang mencakup katup selang dengan
keluaran ulir.
5) Kotak selang
Suatu kombinasi dari seluruh rak selang, pipa pemancar selang dan
sambungan selang.
6) Pipa tegak
Bagian tegak dari sistem pemipaan yang mengirimkan pasokan air
untuk sambungan selang dan sprinkler pada sistem kombinasi, secara
vertikal dari lantai ke lantai.
7) Sistem pipa tegak
Suatu pengaturan dari pemipaan, katup, sambungan selang, dan
kesatuan peralatan dalam bangunan, dengan sambungan selang
dipasangkan sedemikian rupa sehingga air dapat dikeluarkan dalam
aliran atau pola semprotan melalui selang dan pipa pemancar yang
dihubungkan untuk keperluan memadamkan api, untuk mengamankan
bangunan dan isinya, sebagai tambahan pengamanan penghuni. Ini
dapat dicapai dengan menghubungkannya ke pasokan air atau dengan
menggunakan pompa, tangki, dan peralatan seperlunya untuk
menyediakan masukan air yang cukup ke sambungan selang.
8) Kebutuhan sistem
Laju aliran dan tekanan sisa yang disyaratkan dari suatu masukan air,
diukur pada titik sambungan dari masukan air ke sistem pipa tengah.
9) Kelas sistem pipa tegak
a) Sistem kelas I
Sistem harus menyediakan sambungan selang ukuran 63,5 mm (2,5
inch) untuk pasokan air yang digunakan oleh petugas pemadam
kebakaran dan mereka yang terlatih.
b) Sistem kelas II
Sistem harus menyediakan kotak selang ukuran 38,1 mm (1,5 inch)
untuk memasok air yang digunakan terutama oleh penghuni
bangunan atau oleh petugas pemadam kebakaran selama tindakan
awal.
Pengecualian:
Selang dengan ukuran minimum 25,4 mm (1 inch) diizinkan
digunakan untuk kotak selang pada tingkat kebakaran ringan
dengan persetujuan dari instansi yang berwenang.
c) Sistem harus menyediakan kotak selang ukuran 38,1 mm (I,5 inch)
untuk memasok air yang digunakan oleh penghuni bangunan dan
sambungan selang ukuran 63,5 mm (2,5 inch) untuk memasok air
dengan volume lebih besar untuk digunakan oleh petugas pemadam
kebakaran atau mereka yang terlatih.
Pengecualian:
(1) Selang ukuran minimum 25,4 mm (1 inch) diperkenankan
digunakan untuk kotak selang pada pemakaian tingkat
kebakaran ringan dengan persetujuan dari instansi yang
berwenang
(2) Apabila seluruh bangunan diproteksi dengan sistem sprinkler
otomatis yang disetujui, kotak selang yang digunakan oleh
penghuni bangunan tidak dipersyaratkan. Hal tersebut
tergantung pada persetujuan instansi yang berwenang.
b. Batasan tekanan
Tekanan maksimum pada titik manapun pada sistem, setiap saat tidak
boleh melebihi 24,1 bar (350 psi).
c. Letak dari sambungan selang
1) Umum
Sambungan selang dan kotak hidran tidak boleh terhalang dan harus
terletak tidak kurang dari 0,9 m (3 ft) atau lebih dari 1,5 m (5 ft) di atas
permukaan lantai.
2) Sistem Kelas I
Sistem Kelas I dilengkapi dengan sambungan untuk selang dengan
ukuran 63,5 mm (2,5 inch) pada tempat-tempat berikut:
a) Pada setiap bordes diantara 2 lantai pada setiap tangga kebakaran
yang dipersyaratkan.
Pengecualian :
Sambungan selang diizinkan untuk diletakkan pada lantai
bangunan di dalam tangga kebakaran, atas persetujuan instansi
yang berwenang.
b) Pada setiap sisi dinding yang berdekatan dengan bukaan jalan
keluar horisontal.
c) Di setiap jalur jalan keluar (passageway) pada pintu masuk dari
daerah bangunan menuju ke jalur jalan keluar (passageway).
d) Di bangunan mal yang tertutup, pada pintu masuk ke setiap jalur
jalan keluar atau koridor jalan keluar dan pintu-pintu masuk untuk
umum menuju ke mal.
e) Pada lantai tangga kebakaran yang teratas dengan tangga yang
dapat mencapai atap, dan bila tangga tidak dapat mencapai atap,
maka sambungan selang tambahan 63,5 mm (2,5 inch) harus
disediakan pada pipa tegak yang terjauh (dihitung secara hidraulik)
untuk memenuhi keperluan pengujian.
f) Apabila bagian lantai atau tingkat yang terjauh dan yang tidak
dilindungi oleh sprinkler yang jarak tempuhnya dari jalan keluar
yang disyaratkan melampaui 45,7 m (150 ft) atau bagian
lantai/tingkat yang terjauh dan dilindungi oleh sprinkler yang jarak
tempuhnya melebihi 61 m (200 ft) dari jalan keluar yang
disyaratkan, sambungan selang tambahan harus disediakan pada
tempat-tempat yang disetujui, dan yang disyaratkan oleh Instansi
Kebakaran setempat.
3) Sistem Kelas II
Sistem kelas II harus dilengkapi dengan kotak hidran dengan selang
ukuran 38,1 mm (1,5 inch) sedemikian rupa sehingga setiap bagian dari
lantai bangunan berada 39,7 m (130 ft) dari sambungan selang yang
dilengkapi dengan selang 38,1 (1,5 inch).
4) Sistem Kelas III
Sistem kelas III harus dilengkapi dengan sambungan selang
sebagaimana disyaratkan untuk sistem kelas I dan sistem kelas II.
d. Jumlah Pipa Tegak
Di setiap tangga kebakaran yang disyaratkan, harus dilengkapi dengan
pipa tegak tersendiri.
e. Hubungan Antar Pipa Tegak
Apabila dua atau lebih pipa tegak dipasang pada bangunan yang sama atau
bagian bangunan yang sama, pipa-pipa tegak ini harus saling dihubungkan
pada bagian bawahnya. Bilamana pipa-pipa tegak ini disuplai dari tangki
yang terletak pada bagian atas dari bangunan atau zona, pipa-pipa tegak
tersebut harus juga saling dihubungkan dibagian atas dan harus dilengkapi
dengan katup tahan aliran balik pada setiap pipa tegak untuk mencegah
terjadinya sirkulasi.
f. Ukuran Minimum Pipa Tegak
1) Ukuran pipa tegak untuk sistem Kelas I dan Kelas III harus berukuran
sekurang-kurangnya 102 mm (4 inch).
2) Pipa tegak yang merupakan bagian dari sistem kombinasi harus
berukuran sekurang-kurangnya 152 mm (6 inch).
Pengecualian:
Untuk bangunan yang seluruhnya dilengkapi dengan sprinkler, dan
mempunyai kombinasi sistem pipa tegak yang dihitung secara
hidraulik, ukuran minimum pipa tegaknya adalah 102 mm (4 inch).
g. Tekanan Minimum untuk Desain Sistem dan Penentuan Ukuran Pipa
Sistem pipa tegak harus didesain sedemikian rupa sehingga kebutuhan
sistem dapat disuplai oleh sumber air yang tersedia sesuai dengan yang
disyaratkan dan sambungan pipa harus sesuai dengan sambungan milik
instansi kebakaran.
Mengenai suplai air yang tersedia dari mobil pompa kebakaran yang
dimiliki oleh instansi kebakaran harus dikonsultasikan dengan instansi
yang berwenang.
Sistem pipa tegak harus salah satu dari berikut ini:
1) Didesain secara hidrolik untuk mendapatkan laju aliran air pada
tekanan sisa 6,9 bar (100 psi) pada keluaran sambungan selang 63,5
mm (2,5 inch) yang terjauh dihitung secara hidrolik, dan 4,5 bar (65
psi) pada ujung kotak hidran 38,1 mm (1,5 inch) yang terjauh dihitung
secara hidrolik.
Pengecualian:
Bilamana instansi yang berwenang mengijinkan tekanan lebih rendah
dari 6,9 bar (100 psi) untuk sambungan selang ukuran 63,5 mm (2,5
inch), berdasarkan taktik pemadaman, tekanan dapat dikurangi hingga
paling rendah 4,5 bar (65 psi).
2) Ukuran pipa dengan laju aliran yang disyaratkan pada tekanan sisa 6,9
bar (100 psi) pada ujung selang yang terjauh dengan ukuran 63,5 mm
(2,5 inch) dan tekanan 4,5 bar pada ujung selang terjauh dengan
ukuran 38,1 mm (1,5 inch), didesain sesuai dengan sebagaimana tertera
pada tabel 5.2. Desain yang menggunakan cara schedule pipa, harus
dibatasi hanya untuk pipa tegak basah untuk bangunan yang tidak
dikategorikan sebagai bangunan tinggi.
Tabel 5.2.
Diameter pipa minimal (dalam inch), ditinjau dari jarak total pipa dan total
akumulasi aliran

Total akumulasi aliran Jarak total pipa terjauh dari keluaran


gpm L/min < 15.2 m 15.2 – 30.5 m > 30.5 m
100 379 2,0 inch 2,5 inch 3,0 inch
101 – 382 –
4,0 inch 4,0 inch 6,0 inch
500 1.893
501 – 1.896 –
5,0 inch 5,0 inch 6,0 inch
750 2.839
751 – 2.843 --
6,0 inch 6,0 inch 6,0 inch
1.250 4.731
4.735
1.251 keatas 8,0 inch 8,0 inch 8,0 inch
keatas
Catatan: 1 gpm = 3,785 liter / menit

h. Tekanan Maksimum untuk Sambungan Selang


1) Bilamana tekanan sisa pada keluaran ukuran 38,1 mm (1,5 inch) pada
sambungan selang yang tersedia untuk digunakan oleh penghuni
melampaui 6,9 bar (100 psi), alat pengatur tekanan yang sudah diuji
harus disediakan untuk membatasi tekanan sisa dengan aliran yang
disyaratkan di butir 3.1.1.i. pada tekanan 6,9 bar (100 psi).
2) Bilamana tekanan statis pada sambungan selang melampaui 12,1 bar
(175 psi), alat pengatur tekanan yang sudah diuji harus disediakan
untuk membatasi tekanan statis dan tekanan sisa, di ujung sambungan
selang 38,1 mm (1,5 inch) yang tersedia untuk digunakan oleh
penghuni, bertekanan 6,9 bar (100 psi), dan bertekanan 12,1 bar (175
psi) pada sambungan selang lainnya.
Tekanan pada sisi masukan dari alat pengatur keluaran harus tidak
melebihi kemampuan tekanan kerja alat
i. Laju Aliran Minimum
1) Sistem Kelas I dan Kelas III
a) Laju Aliran Minimum
Untuk sistem Kelas I dan Kelas III, laju aliran minimum dari pipa
tegak hidraulik yang terjauh harus sebesar 1.893 l/menit (500
gpm). Laju aliran minimum untuk pipa tegak tambahan harus
sebesar 946 l/menit (250 gpm) untuk setiap pipa tegak, yang
jumlahnya tidak melampaui 4.731 l/menit (1.250 gpm). Untuk
sistem kombinasi lihat butir c).
Pengecualian:
Bila luas lantai lebih dari 7.432 m2 (80.000 ft2), maka pipa tegak
terjauh berikutnya harus didesain untuk dapat menyalurkan 1.983
l/menit (500 gpm).
b) Prosedur Perhitungan secara Hidraulik.
Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa
tegak harus berdasarkan pada penyediaan sebesar 946 l/menit (250
gpm) yang pada kedua sambungan selang terjauh secara hidraulik
pada pipa tegak dan pada outlet teratas dari setiap pipa tegak
lainnya sesuai dengan tekanan sisa minimum yang disyaratkan
pada butir 3.1.1.g.
Pemipaan suplai bersama harus dihitung untuk memenuhi syarat
laju aliran untuk semua pipa tegak yang dihubungkan ke sistem
pemipaan tersebut, dengan jumlah yang tidak melebihi 4.731
l/menit (1.250 gpm).
c) Sistem Kombinasi
(1) Untuk bangunan yang seluruhnya di proteksi dengan sprinkler
otomatis yang telah disetujui, kebutuhan sistem yang
ditetapkan pada butir 3.1.1.g. dan 3.1.1.a.1) diperkenankan
juga untuk melayani sistem sprinkler. Sehubungan dengan hal
tersebut maka kebutuhan terpisah untuk sprinkler tidak
dipersyaratkan lagi.
Pengecualian:
Bilamana kebutuhan suplai air untuk sistem sprinkler termasuk
kebutuhan aliran selang sebagaimana ditentukan sesuai
peraturan sprinkler yang berlaku pada SNI 03-3989 edisi
terakhir melampaui kebutuhan sistem sebagaimana yang
ditetapkan pada butir 3.1.1.g dan Bab IV. Bagian 3, angka
yang terbesarlah yang harus disediakan. Laju aliran yang
disyaratkan untuk pipa tegak untuk sistem kombinasi dalam
suatu bangunan yang seluruhnya diproteksi dengan sistem
sprinkler otomatis tidak dipersyaratkan melampaui 3.785
l/menit (1.000 gpm) kecuali bila disyaratkan oleh instansi yang
berwenang.
(2) Untuk sistem kombinasi pada bangunan yang dilengkapi
dengan proteksi sprinkler otomatis secara parsial, laju aliran
sebagaimana yang dipersyaratkan pada Bab IV bagian 3 harus
dinaikkan dengan jumlah yang setara dengan kebutuhan
sprinkler yang dihitung secara hidraulik atau 568 l/menit (150
gpm) untuk beban bahaya kebakaran ringan atau 1.893 l/menit
(500 gpm) untuk beban bahaya kebakaran sedan.
(3) Bilamana sistem pipa tegak yang ada dan yang akan
digunakan untuk mensuplai sistem sprinkler yang harus
diperbaiki, mempunyai pipa tegak dengan diameter minimum
102 mm (4 inch), dan persediaan air cukup untuk mensuplai
kebutuhan hidran dan sistem sprinkler, serta diizinkan oleh
instansi yang berwenang, maka air yang dibutuhkan sesuai
Bab IV bagian 3 tidak disyaratkan untuk dilengkapi sarana
otomatis atau semi otomatis.
2) Sistem Kelas II
a) Laju Aliran Minimum
Untuk sistem Kelas II laju aliran minimum untuk pipa tegak yang
terjauh dan dihitung secara hidraulik adalah 379 l/menit (100 gpm).
Aliran tambahan tidak dipersyaratkan bila terdapat lebih dari 1
(satu) pipa tegak.
b) Prosedur Perhitungan Secara Hidraulik
Perhitungan hidraulik dan penentuan ukuran pipa untuk setiap pipa
tegak harus didasarkan pada penyediaan 379 l/menit (100 gpm)
disambungan selang yang secara hidraulik terjauh pada pipa tegak
dengan tekanan sisa minimum disyaratkan pada butir 3.1.1.g.
Pemipaan suplai bersama yang melayani pipa tegak ganda harus
dihitung untuk penyediaan 379 l/menit (100 gpm).
j. Saluran Pembuangan dan Pipa Tegak untuk Keperluan Pengujian.
1) Pipa tegak untuk pembuangan berukuran 76 mm (3 inch) yang
dipasang secara permanen berdekatan dengan setiap pipa tegak dan
dilengkapi dengan peralatan pengaturan tekanan untuk memungkinkan
keperluan pengujian setiap peralatan.
2) Setiap pipa tegak harus dilengkapi dengan sarana saluran pembuangan.
Katup pembuangan dengan pemipaannya dipasang pada titik terendah
dari pipa tegak dan harus diatur untuk dapat membuang air pada
tempat yang disetujui.
k. Sambungan untuk Pipa milik Instansi Kebakaran.
1) Satu atau lebih sambungan untuk Instansi Kebakaran harus disediakan
untuk setiap zona dari setiap pipa tegak Kelas I atau Kelas III.
Pengecualian:
Sambungan milik Instansi Kebakaran untuk zona tinggi tidak
disyaratkan untuk dilengkapi bila ketentuan pada butir 3.1.3.d.3)
berlaku.
2) Bangunan tinggi harus dilengkapi sekurang-kurangnya untuk setiap
zona dengan 2 (dua) atau lebih sambungan untuk Instansi Kebakaran
dengan penempatannya yang berjauhan.
Pengecualian:
Sambungan tunggal Instansi Kebakaran untuk setiap zona
diperkenankan, apabila diizinkan oleh Instansi Kebakaran.
3) Tangki yang tersedia dibangunan untuk air kebakaran yang diperlukan
perlu dilengkapi juga dengan sambungan ke Instansi Kebakaran untuk
keperluan penambahan air. Sambungan tersebut harus diberi tanda
dengan tulisan seperti pada gambar 5.1.
SAMBUNGAN INSTANSI KEBAKARAN
LANGSUNG KE TANGKI
Gambar 5.1.
Sambungan untuk instansi kebakaran

Catatan:
Setelah pengisian air oleh Instansi Kebakaran, perlu dilakukan pengurasan
sistem dan pemeriksaan mutu air.

2. Rancangan dan Perhitungan


a. Gambar Rencana dan Spesifikasi Teknis
Gambar rencana yang secara akurat menunjukkan detail dan pengaturan
dari sistem pipa tegak harus disiapkan untuk instansi yang berwenang
sebelum sistem instalasi dilaksanakan. Gambar rencana tersebut harus
jelas, mudah dimengerti dan digambar dengan menggunakan skala.
Gambar-gambar harus menunjukkan lokasi, pengaturan, sumber air,
peralatan, dan semua detail yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa
ketentuan ini dipenuhi.
Rencana ini harus mencakup spesifikasi teknis, sifat dari bahan-bahan
yang digunakan dan harus menguraikan semua komponen sistem. Rencana
tersebut harus dilengkapi juga dengan diagram yang menunjukkan
ketinggian.
b. Perhitungan secara Hidraulik
Bilamana sistem pemipaan pipa tegak dihitung secara hidraulik, maka
bersamaan dengan penyerahan gambar rencana disertakan juga
perhitungan secara lengkap.
3. Pasokan Air
a. Pasokan Air yang Disyaratkan
1) Sistem pipa tegak otomatis harus dihubungkan dengan pasokan air
yang telah disetujui dan mampu memenuhi kebutuhan sistem. Sistem
pipa tegak manual harus mempunyai pasokan air yang telah disetujui
dan dapat dihubungkan dengan mobil pompa instansi kebakaran.
Pasokan air otomatis tunggal dapat diizinkan untuk digunakan
bilamana dapat memasok kebutuhan sistem dalam waktu yang
dipersyaratkan.
Pengecualian:
Bilamana pasokan air sekunder disyaratkan maka harus memenuhi
seperti butir 3.1.3.d.3)
2) Sumber-sumber pasokan air yang diizinkan:
a) Suatu sistem pengairan umum yang tekanan dan laju alirannya
mencukupi.
b) Pompa air otomatis yang dihubungkan dengan sumber air yang
telah disetujui sesuai standar yang disyaratkan.
c) Pompa-pompa pemadam api manual yang dikombinasikan dengan
tangki-tangki bertekanan.
d) Tangki-tangki bertekanan yang dipasang sesuai dengan standar.
e) Pompa pemadam api manual yang dapat dioperasikan dengan
peralatan kendali jarak jauh (remote control devices) pada setiap
kotak hidran.
f) Tangki-tangki gravitasi yang dipasang sesuai standar.
b. Pasokan Minimum untuk Sistem Kelas I dan Kelas III
Pasokan air harus cukup tersedia untuk kebutuhan sistem sebagaimana
ditetapkan pada butir 3.1.1.g dan butir 3.1.1.i.1) yang sekurang-kurangnya
untuk 45 menit.
c. Pasokan Minimum untuk Sistem Kelas II
Pasokan air harus cukup tersedia untuk kebutuhan sistem sebagaimana
ditetapkan pada butir 3.1.1.g dan butir 3.1.1.i.2) yang sekurang-kurangnya
untuk 45 menit.
d. Zona sistem pipa tegak
Setiap zona yang membutuhkan pompa harus dilengkapi dengan bagian
pompa terpisah, sehingga memungkinkan untuk digunakannya pompa-
pompa yang disusun secara seri.
1) Bilamana beberapa pompa yang melayani dua atau lebih zona terletak
pada ketinggian/level yang sama, maka setiap zona harus mempunyai
pipa pemasok yang terpisah dan langsung dengan ukuran yang tidak
lebih kecil dari pipa tegak yang dilayani. Zona dengan dua atau lebih
pipa tegak harus mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) pipa
pemasok langsung dari ukuran yang tidak lebih kecil dari ukuran pipa
tegak terbesar yang dilayani.
2) Bilamana pasokan untuk setiap zona dipompakan dari satu zona di
bawahnya, dan pipa tegak atau beberapa pipa tegak pada zona lebih di
bawah digunakan untuk memasok zona lebih di atas, pipa tegak
tersebut harus sesuai dengan persyaratan untuk jalur pasokan yang
disebut pada butir 3.1.3.d.1). Sekurang-kurangnya 2 (dua) jalur harus
disediakan antara zona dan satu dari jalur dimaksud harus diatur
sedemikian hingga pasokan dapat dikirim secara otomatis dari bawah
ke zona lebih atas.
3) Untuk sistem dengan 2 (dua) zona atau lebih, zona dalam bagian dari
zona kedua dan zona lebih tinggi yang tidak dapat dipasok dengan
menggunakan tekanan sisa yang disyaratkan pada butir 3.1.1.g. dengan
menggunakan pompa dan melalui sambungan milik instansi kebakaran,
maka prasarana bantu untuk pasokan air harus disediakan. Prasarana
ini harus dalam bentuk reservoir air yang ditinggikan dengan peralatan
pompa tambahan atau prasarana lainnya yang dapat diterima oleh
instansi yang berwenang.
Gambar 5.2.
Sistem zona tunggal, tipikal
Gambar 5.3.
Sistem dua zona, tipikal
Gambar 5.4.
Sistem zona jamak, tipikal
Gambar 5.5.
Kurva kepadatan

3.2 Alat Pemadam Api Portabel (APAP)


1. Lingkup
Spesifikasi ini menjelaskan instalasi dan pengoperasian Alat pemadam api
portabel (APAP) yang meliputi Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Alat
Pemadam Api Beroda (APAB).
2. Tujuan
Instalasi APAP harus ditujukan untuk menyediakan sarana bagi pemadaman
api pada tahap awal.
3. Persyaratan Kinerja
Alat pemadam api portabel harus seperti ditunjukkan dalam tabel 5.3. serta
harus dipilih dan ditempatkan sesuai ketentuan dalam SNI 03-3987- edisi
terakhir, tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan Pemadaman Api Ringan
untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.
4. Ketentuan instalasi APAP
a. Jenis APAP
1) Jenis APAP yang digunakan harus dari jenis yang teruji menurut SNI
03-3988-edisi terakhir, tentang Pengujian Kemampuan Pemadaman
dan Penilaian Alat Pemadam Api Ringan.
2) Jenis APAP yang digunakan harus dari jenis terdaftar dan sesuai
dengan jenis bahaya yang diperkirakan akan terjadi. (lihat tabel 5.4.).
b. Instalasi APAP harus memenuhi SNI 03-3987 edisi terakhir tentang Tata
Cara Perencanaan, Pemasangan Pemadaman Api Ringan untuk
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.
c. Penempatan APAP harus pada lokasi yang mudah ditemukan, mudah
dijangkau, dan mudah diambil dari tempatnya untuk dibawa ke lokasi
kebakaran.
d. Instalasi APAP yang terpasang harus diperiksa secara berkala seperti yang
diatur dalam SNI 03-3987-edisi terakhir tentang Tata Cara Perencanaan,
Pemasangan Pemadaman Api Ringan untuk Pencegahan Bahaya
Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.

Tabel 5.3.
Ketentuan pemasangan APAP pada bangunan
Kebutuhan pemadam
Klas hunian Klas Resiko
Ketentuan umum – Klas 2 (a) Meliputi klasifikasi resiko kebakaran Klas A (C) atau
sampai 8 (kecuali di dalam (C) dihubungkan dengan pelayanan darurat Panel
unit rumah tinggal) Listrik
(b Meliputi resiko kebakaran Klas B termasuk minyak
) untuk memasak dan lemak di dapur
(c) Meliputi resiko kebakaran Klas B di lokasi tempat
cairan mudah menyala melampaui batas 50 liter yang
disimpan atau dipakai (tidak termasuk yang berada di
tanki bahan bakar kendaran)
(d Meliputi resiko kebakaran Klas A pada kompartemen
) kebakaran hunian normal kurang dari 500 m2 , tidak
disediakan Hose reel (diluar lantai taman parkir)
Ketentuan khusus (tambahan dari Meliputi resiko kebakaran Klas A dan (C). (Catatan 2).
ketentuan umum)
(a) Klas 9a: Rumah Sakit
(b) Klas 2: bagian dari rumah
tahanan dan penyembuhan
(c) Klas 3: akomodasi untuk
anak-anak, orang usia lanjut
dan orang cacat.
Catatan:
1. Untuk tujuan tabel ini, panel listrik pelayanan darurat adalah suatu peralatan darurat
yang bekerja berdasarkan mode darurat.
2. Dalam bangunan Klas 8, Pemadaman kebakaran Klasifikasi kebakaran (C) dibutuhkan
hanya di lokasi ruang perawat atau ruang supervisor atau sejenisnya
3. Penambahan alat pemadam api portabel mungkin diperlukan dalam hubungannya
dengan penanggulangan risiko kebakaran yang mempunyai hubungan dengan bahaya
khusus.

Tabel 5.4.
Jenis APAP dan jenis kebakaran yang sesuai

Jenis kebakaran Jenis APAP


Kebakaran benda padat mudah terbakar bukan logam, Kelas A
misal kayu, kertas, kain, karet, plastik dsb
Kebakaran benda cair mudah menyala, dan lemak masak Kelas B
Kebakaran yang melibatkan peralatan bertenaga listrik Kelas C
Kebakaran yang melibatkan logam mudah terbakar Kelas D
3.3 Hidran Kebakaran dalam Bangunan
1. Lingkup
Ketentuan dalam sub bab ini mencakup hidran bangunan dengan ukuran
selang 1½ inci atau kurang, yang dipasang dalam bangunan untuk pemadaman
kebakaran oleh penghuni bangunan.
2. Tujuan
Instalasi hidran dalam bangunan dimaksudkan untuk menyediakan sarana bagi
penghuni untuk melakukan pemadaman kebakaran pada tahap awal dan
sebelum membesar (sebelum mencapai langit-langit ruangan/atap bangunan
dan flashover). Tindakan pemadaman oleh penghuni ini dilakukan hingga
datangnya petugas dari Instansi Pemadam Kebakaran.
3. Persyaratan Kinerja
Sistem hidran dalam bangunan harus dipasang pada semua bangunan dengan
luas bangunan seperti pada tabel 5.5., kecuali pada bangunan kelas 1 dan kelas
10.
Tabel 5.5.
Bangunan yang harus dilengkapi dengan hidran.

Kompartemen Kompartemen
Kelas bangunan
tanpa partisi dengan partisi
Kelas 1, dan kelas 10 Tidak dipersyaratkan Tidak dipersyaratkan
Kelas 2,3, 4, dan 9a 1 buah per 1000 m2 2 buah per 1000 m2*)
Kelas 5,6,7,8 dan 9b 1 buah per 800 m2 2 buah per 800 m2*)
*)
penempatan hidran harus pada posisi yang berjauhan

4. Ketentuan
a. Panjang selang minimum 30 meter.
b. Pada bangunan yang dilengkapi dengan hidran harus terdapat personil
(penghuni) terlatih untuk mengatasi kebakaran di dalam bangunan.
c. Sistem hidran kebakaran
1) harus dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) apabila hidran digunakan, alat ini hanya melayani di lantai lokasi
hidran tersebut ditempatkan, kecuali pada satuan peruntukan
bangunan:
a) pada bangunan Kelas 2 atau Kelas 3 atau sebagian Kelas 4 dapat
dilayani oleh hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana
ada jalur keluar dari satuan peruntukan bangunan tersebut; atau.
b) pada bangunan Kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang berlantai tidak lebih
dari 2 (dua), dapat dilayani oleh Hidran tunggal yang ditempatkan
pada lantai dimana ada jalur keluar dari satuan peruntukan
bangunan tersebut, asalkan hidran dapat menjangkau seluruh
satuan peruntukan bangunan, dan
3) sumber air untuk hidran harus dicatu dari sumber yang dapat
diandalkan, serta mampu menyediakan tekanan dan aliran yang
diperlukan dalam waktu minimal 30 menit, sesuai dengan standar SNI
03-1745-edisi terakhir tentang “Tata Cara Pelaksanaan Sistem Hidran
untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan
Gedung.
4) Bila dibutuhkan pompa untuk mencatu sistem hidran, pompa tersebut
harus memenuhi SNI 03-1745-edisi terakhir, tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem Hidran Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
pada Bangunan Rumah dan Gedung, serta standar pompa yang berlaku.

BAGIAN 4: SISTEM PEMADAM KEBAKARAN OTOMATIS

4.1 Sistem Sprinkler Otomatis


1. Lingkup
Mengatur pemasangan sprinkler
Sistem sprinkler harus dirancang untuk memadamkan kebakaran atau
sekurang-kurangnya mampu mempertahankan kebakaran untuk tetap, tidak
berkembang, untuk sekurang-kurangnya 30 menit sejak kepala sprinkler
pecah.
Rancangan harus memperhatikan klasifikasi bahaya, interaksi dengan sistem
pengendalian asap dan sebagainya.
2. Persyaratan Kinerja
Sistem Sprinkler harus dipasang pada bangunan sebagaimana ditunjukkan
pada tabel 5.6.

Tabel 5.6.
Persyaratan Pemakaian Sprinkler

Jenis Bangunan Kapan Sprinkler diperlukan:


Semua kelas bangunan: Pada bangunan yang tinggi efektifnya
a. termasuk lapangan parkir terbuka dalam lebih dari 14 m atau jumlah lantai lebih
bangunan campuran dari 4 lantai.
b. lapangan parkir terbuka tidak termasuk, yang
merupakan bangunan terpisah
Bangunan pertokoan (Kelas 6) Dalam kompartemen kebakaran dengan
salah satu ketentuan berikut, berlaku:
1) luas lantai lebih dari 3.500 M2
2) volume ruangan lebih dari 21.000 M3
Bangunan Rumah Sakit Lebih dari 2 (dua) lantai
Ruang pertemuan umum, Ruang pertunjukan, Luas panggung dan belakang panggung
Teater. lebih dari 200 M2.
Konstruksi Atrium Tiap bangunan ber-atrium
Jenis Bangunan Kapan Sprinkler diperlukan:
Bangunan berukuran besar yang terpisah Ukuran kompartemen yang lebih besar
mengikuti:
a. Bangunan Kelas 5 s.d. 9 dengan luas
maksimum 18.000 M2 dan volume
108.000 M3.
b. Semua bangunan dengan luas lantai
lebih besar dari 18.000 m2 dan
volume 108.000 m3.
Ruang parkir, selain ruang parkir terbuka. Bila menampung lebih dari 40 kendaraan.
Bangunan dengan resiko bahaya kebakaran amat Pada kompartemen dengan salah satu dari
tinggi *) 2 (dua) persyaratan berikut, berlaku:
1) luas lantai melebihi 2.000 M2.
2) volume lebih dari 12.000 M3.

Catatan:
*)
Jenis bangunan dengan resiko atau potensi bahaya amat tinggi meliputi:
1. UNIT PENGOLAHAN ATAU PENYIMPANAN BENDA BERBAHAYA, SEPERTI:
a. hanggar pesawat terbang,
b. pabrik pembuatan barang rotan dan penyimpanannya,
c. pabrik korek api, petasan, dan penyimpanannya,
d. pabrik barang-barang bahan plastik, busa pengolahan dan penyimpanannya,
e. pabrik pembuatan lembaran bahan hidro-karbon seperti penutup lantai vinil,
pengolahan dan penyimpanannya’
f. pabrik pembuatan bahan-bahan serat/serabut kayu mudah terbakar.
2. TIMBUNAN BENDA BERBAHAYA YANG VOLUMENYA MELEBIHI 1.000 M3
DENGAN TINGGI TIMBUNAN/TUMPUKAN LEBIH DARI 4 M, ANTARA LAIN:
a. aerosol dengan kandungan mudah terbakar,
b. karpet dan pakaian,
c. peralatan listrik,
d. papan serat dan kayu lapis,
e. bahan karton tanpa melihat volumenya,
f. bahan serat mudah terbakar,
g. mebel/furnitur termasuk kayu, rotan dan komposit dicampur bahan dari busa
dan plastik,
h. gudang kertas (segala jenis baru maupun bekas) seperti bal, lembaran,
gulungan vertikal dan horisontal dilapisi lilin atau diproses,
i. bahan baku tekstil dan perlengkapannya dalam bentuk hamparan maupun
gulungan,
j. penyimpanan/penimbunan bahan kayu, gudang kayu termasuk lembaran/papan
kayu, panel, balok dan potongan-potongan kayu,
k. bahan vinil, plastik, plastik busa, karet, dan lembaran bahan karpet dan kasur
busa,
l. bahan-bahan yang dipak atau dikemas dalam petikemas dari bahan plastik
campuran busa.
3. Ketentuan Umum
Sistem Sprinkler harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Standar perancangan dan pemasangan sprinkler otomatis.
Perancangan dan pemasangan sistem sprinkler otomatis harus sesuai
dengan SNI 03-3989 edisi terakhir mengenai Instalasi Sprinkler Otomatis.
b. Bangunan bersprinkler:
Bangunan dianggap bersprinkler, jika:
1) sprinkler terpasang di seluruh bangunan yang memenuhi persyaratan
Bab IV bagian 3. tentang kompartemenisasi dan pemisahan,
2) dalam hal sebagian bangunan:
a) bagian bangunan yang dipasang sprinkler diberi kompartemen
kebakaran yang terpisah dari bagian yang tanpa sprinkler, dan
b) setiap bukaan pada konstruksi pemisah antara bagian bersprinkler
dan bagian tidak bersprinkler, diproteksi sesuai ketentuan pada Bab
V Bagian 3, mengenai kompartemenisasi dan pemisahan.
c. Sprinkler bereaksi cepat.
Sprinkler bereaksi cepat dapat dipasang hanya jika sesuai dengan jenis
aplikasi yang diusulkan dan dapat dibuktikan bahwa sistem sprinkler telah
dirancang untuk melayani penggunaan sprinkler jenis ini.
d. Sistem sprinkler di ruang parkir.
Sistem sprinkler yang dipasang pada ruang parkir pada bangunan multi
kelas, harus:
1) Berdiri sendiri tidak berhubungan dengan sistem sprinkler di bagian
lain bangunan yang bukan merupakan ruang parkir, atau
2) Bila merupakan bagian atau berhubungan dengan sistem sprinkler yang
melindungi bagian bangunan bukan ruang parkir, harus dirancang
sedemikian rupa sehingga bagian sistem sprinkler yang melindungi
bagian bukan ruang parkir dapat diisolasi tanpa mengganggu aliran air
ataupun mempengaruhi efektivitas operasi dari bagian yang
melindungi ruang parkir.
e. Klasifikasi umum bahaya kebakaran
1) Bahaya kebakaran ringan adalah bilamana nilai kemudahan terbakar
rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah dan
menjalarnya api lambat.
2) Bahaya kebakaran sedang Kelompok II, adalah bilamana nilai
kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar
dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran
melepaskan panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang
3) Bahaya kebakaran sedang Kelompok III, adalah bilamana mempunyai
nilai kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran,
melepaskan panas tinggi sehingga menjalarnya api cepat.
4) Bahaya kebakaran berat, adalah bilamana mempunyai nilai kemudahan
terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sangat
tinggi dan penjalaran api sangat cepat.
f. Meskipun pengelompokkan bangunan menjadi tiga kelas bahaya ini
merupakan cara yang baik untuk perencanaan sistem proteksi kebakaran
dengan sprinkler, namun tidak menghapuskan keharusan evaluasi secara
terpisah bagian-bagian bangunan yang mengandung bahaya lebih tinggi.

g. Bangunan dengan Kelas Bahaya Khusus


1) Beberapa bangunan tertentu memerlukan rancangan sistem sprinkler
yang berbeda dari rancangan umum sehingga harus dirancang
tersendiri dan memerlukan perizinan tersendiri.
Sistem proteksi sprinkler dengan kualitas penyediaan air yang baik
(dalam hal tekanan dan jumlah aliran yang mencukupi dan memenuhi
syarat) dapat mencukupi untuk bahaya demikian ini, khususnya bila
bahaya yang diproteksi telah diketahui benar dan sistem sprinkler
dirancang untuk menangani bahaya tersebut dengan tepat.
2) Tumpukan Bahan Padat Mudah Terbakar dalam jumlah besar.
Dalam kondisi ini sistem sprinkler sulit menjangkau atau airnya
menembus tumpukan bahan hingga bagian bawah, yang sering
merupakan sumber atau lokasi titik api. Bangunan ini harus dilengkapi
dengan sprinkler rak (in rack sprinkler). Pemasangan sprinkler rak
diatur dengan standar dan perizinan tersendiri.
3) Bahan Cair Mudah Menyala (BCMM)
Keefektifan sprinkler untuk tumpahan BCMM atau BCMM dalam
tangki penyimpanan bergantung pada temperatur titik nyala (flash
point), karakteristik fisik, karakteristik pembakaran, temperatur, luas
permukaan terbakar, dan jumlah BCMM yang terbakar. Sprinkler
efektif untuk BCMM dengan titik sulut 94o C dan di atasnya, serta
untuk BCMM dengan berat jenis besar (>1). Sistem ini memerlukan
perizinan tersendiri.
h. Lokasi dan Jarak Antar Sprinkler
1) Pemikiran dasar
a) Pemikiran dasar tentang penentuan lokasi dan jarak antar sprinkler
adalah bahwa agar tidak ada ruang yang tidak terproteksi.
b) Tanpa mempermasalahkan dimana letak sumber api, sekurang-
kurangnya satu atau lebih kepala sprinkler yang harus terbuka jika
terjadi kebakaran.
c) Kebakaran tidak boleh menyebar ke arah manapun tanpa adanya
kepala sprinkler yang pecah untuk menghambat penyebaran api.
i. Ukuran pipa
1) Ukuran pipa ditentukan dengan metode skedul pipa atau dengan
metode perhitungan hidraulika.
2) Metode skedul pipa seperti yang diuraikan dalam standar yang berlaku
merupakan ukuran yang sudah teruji dan dapat diandalkan untuk
memperoleh tingkat proteksi yang mencukupi.
3) Metode perhitungan hidraulika mempunyai keuntungan dalam
keseragaman distribusi tekanan dan aliran air. Metode ini memerlukan
analisis teknis yang lebih detil dan harus dinilai oleh instansi yang
berwenang atau pertimbangan ahli.
4) Pipa tegak sistem sprinkler
a) Penempatan, penataan ukuran dari pipa tegak sistem sprinkler
harus mempertimbangkan konstruksi bangunan, tinggi bangunan,
luas bangunan dan fungsi bangunan serta kelas bahaya kebakaran
yang diantisipasi.
b) Jika antar lantai terpisahkan dengan sempurna (zona kebakaran
terpisah) maka ukuran pipa tegak sistem sprinkler ditentukan oleh
jumlah kepala sprinkler yang dilayaninya pada tiap lantai. Jika
ukuran riser dihitung secara hidrolik maka ukuran pipa tegak riser
ditentukan oleh jumlah aliran air yang diperlukan untuk lantai
tersebut.
c) Pipa cabang sistem sprinkler pada setiap lantai dapat dihubungkan
pada pipa tegak dari sistem hidran (hidran pipa tegak kombinasi).
5) Sambungan pipa tegak dengan sumber catu air
a) Sambungan pipa bawah tanah dengan pipa tegak riser sekurangnya
sama dengan ukuran pipa tegak riser.
b) Pipa bawah tanah dari baja harus dilindungi terhadap korosi
dengan cara yang direkomendasikan.
c) Setiap sistem sprinkler harus dilengkapi dengan katup pengatur
aliran untuk sumber catu selain dari sambungan milik instansi
kebakaran.
d) Setiap sumber catu air yang berhubungan dengan sistem sprinkler
harus dilengkapi dengan katup anti balik (check valve).
6) Peralatan pengujian
a) Pipa uji yang juga berfungsi sebagai pipa penguras (drain) harus
disediakan untuk memudahkan pengujian aliran.
b) Pengukur tekanan harus disediakan pada pipa tegak untuk
mengetahui tekanan di dekat pipa uji (drain).
7) Kelengkapan lain
a) Katup alarm aliran yang mendukung beroperasinya sistem sprinkler
harus disediakan sesuai standar berlaku.
b) Tanda-tanda yang menjelaskan kegunaan dan fungsi dari katup
pengurasan (drain), katup pengatur aliran, dan katup alarm dan
lainnya harus disediakan di dekat lokasi katup tersebut.
c) Pada cabang pipa sistem sprinkler perlantai harus dilengkapi
dengan:
(1) Katup aliran air yang dihubungkan dengan sistem deteksi
alarm.
(2) Flow switch yang harus dihubungkan dengan sistem deteksi
alarm.
(3) Pada sambungan di setiap lantai setelah flow switch dipasang
pipa pembuangan untuk pengujian aliran dan alarm.
(4) Pada ujung cabang yang terjauh di setiap lantai dipasang katup
untuk pengujian
j. Jenis instalasi sprinkler
1) Jenis instalasi sprinkler yang dikenal adalah sistem pipa basah, sistem
pipa kering, sistem preaction, sistem deluge, sistem kombinasi
preaction dengan sistem pipa kering, dan jenis lainnya.
2) Jenis instalasi sprinkler yang umum digunakan adalah tipe pipa basah.
3) Penggunaan jenis lain harus disesuaikan dengan kondisi bahaya yang
dilindungi.
k. Penyediaan air
1) Tekanan air
Catu air bagi sistem sprinkler harus mempunyai tekanan yang cukup
untuk mencapai titik terjauh instalasi kepala sprinkler, yaitu antara (0,5
– 2,0) kg/cm2. Penentuan besar tekanan dilakukan menurut jenis dan
tingkat bahaya yang diproteksi.
2) Kapasitas aliran
Aliran sumber catu air untuk sprinkler harus mencukupi untuk dapat
mengalirkan air sekurang-kurangnya (40-200) liter/menit per kepala
sprinkler menurut jenis dan tingkat bahaya kebakaran yang diproteksi.
Kapasitas aliran sumber air ditentukan oleh jumlah kepala sprinkler
yang pecah secara serentak pada saat kebakaran.
4. Ketentuan khusus
a. Ruangan tersembunyi misalnya ruangan antara langit-langit dan atap,
dengan jarak melebihi 80 cm diukur dari permukaan atap terbawah ke
permukaan langit-langit teratas dan ruangan tersembunyi lainnya, harus
dilengkapi dengan sistem sprinkler dan jenis kepala sprinkler yang
digunakan adalah jenis pancaran arah keatas.
b. Batasan jarak maksimum antar kepala sprinkler untuk jenis kepala
sprinkler pancaran ke atas maupun jenis pancaran ke bawah, baik pada
cabang maupun antar cabang adalah:
1) Kelas bahaya kebakaran ringan: 4,6 m (15 ft)
2) Kelas bahaya sedang: 4,6 m (15 ft)
3) Kelas bahaya berat: 3,7 m (12 ft)
c. Jarak ke dinding
Jarak dari kepala sprinkler ke dinding (partisi) harus kurang dari ½ jarak
antar kepala sprinkler tersebut pada butir b.
d. Batasan cakupan setiap kepala sprinkler seperti pada Tabel 5.7.
Tabel. 5.7.
Cakupan kepala sprinkler

Kelas bahaya kebakaran


No. Jenis Konstruksi
Ringan Sedang Berat
1. Konstruksi tidak 18,5 m2 12 m2 9,25
terhalang (kayu) (200 ft2) (130 ft2) m2
(100
ft2)
2. Konstruksi yang 18,5 m2 12 m2 9,25
menghalang, dari (200 ft2) (130 ft2) m2
bahan tidak terbakar (100
ft2)
3. Konstruksi yang 15,5 m2 12 m2 9,25
menghalang, dari (168 ft2) (130 ft2) m2
bahan mudah (100
terbakar ft2)

4.2. Sistem Pemadam Total Luapan


1. Lingkup
Sub bagian ini mengatur sistem pemadam otomatis yang menggunakan bahan
khusus, berkaitan dengan sifat bahan dan proses yang diproteksi.
2. Tujuan
Sistem pemadam otomatis dengan bahan khusus ini ditujukan untuk
memberikan proteksi bagi ruang/bangunan yang berisikan bahan, peralatan
dan proses yang memerlukan jenis bahan pemadam bukan hanya air.
3. Persyaratan Kinerja
Ketentuan dalam sub bagian ini berlaku untuk ruangan/bagian
bangunan/bangunan yang memerlukan sistem khusus seperti misalnya ruang
komunikasi, ruang komputer/ruang magnetik, ruang arsip, ruang
kontrol/elektronik, ruang bersih (clean room), dan instalasi militer. Penentuan
kebutuhan sistem proteksi khusus ini ditentukan berdasarkan kebutuhan dan
penilaian ahli/instansi berwenang.
4. Ketentuan
a. Sistem Pemadam Khusus
1) Sistem Pemadam khusus yang dimaksud adalah sistem pemadam tidak
portable dan beroperasi secara otomatis untuk perlindungan dalam
ruang-ruang dan atau penggunaan khusus.
2) Sistem pemadam khusus meliputi sistem gas, busa dan bubuk kering.
b. Sistem Pemadam Kebakaran Jenis Gas
1) Sistem pemadam kebakaran jenis gas dihubungkan dengan sistem
deteksi dan alarm kebakaran yang mengaktifkan pelepasan gas
pemadam ke ruangan yang diproteksi yang pada umumnya adalah
ruang tertutup.
2) Jenis pemadam gas yang umum digunakan adalah jenis Karbon
Dioksida (CO2), HFC 227, NAFC-3 dan bahan HCFC.
3) Sistem pemadam jenis gas dapat berupa sistem total luapan (total
flooding system) dan sistem aplikasi lokal (local application system).
4) Sistem total luapan dirancang untuk melepaskan bahan pemadam gas
ke ruang tertutup sehingga mampu menghasilkan konsentrasi cukup
untuk memadamkan api seluruh volume ruang.
5) Sistem aplikasi lokal dirancang untuk melepaskan bahan pemadam gas
langsung terhadap kebakaran yang terjadi di suatu area tertentu yang
tidak memiliki penutup ruang atau hanya sebagian tertutup, dan tidak
perlu menghasilkan konsentrasi pemadam untuk seluruh volume ruang
yang terbakar.
c. Sistem Busa
Sistem pemadam jenis busa menghasilkan air yang dipenuhi busa dan
membentuk konsentrasi tertentu yang mampu menghasilkan selimut
sekitar api sehingga mencegah masuknya oksigen ke sumber api dan
memadamkan api.

BAGIAN 5: PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN

5.1 Pemberlakuan Persyaratan


1. Persyaratan Kinerja
a. Pengendalian asap harus disediakan pada bangunan kelas 2 sampai kelas 9.
b. Suatu bangunan yang mempunyai atrium, atau yang terpisah/secara
khusus.
c. Ketentuan sistem pembuangan asap serta ventilasi asap dan panas dari
bagian ini tidak berlaku untuk setiap area yang tidak digunakan oleh
penghuni untuk jangka waktu lama antara lain: gudang dengan luas lantai
kurang dari 30 m2, ruang sanitasi, ruang mesin atau sejenis.
2. Ketentuan Umum
a. Suatu bangunan harus memenuhi ketentuan pada butir 5.1.2 dan 5.1.4.,
serta Tabel 5.8. untuk gedung kelas 2 sampai dengan 9.
b. Sistem pengolahan udara (air handling unit) yang bukan merupakan
bagian dari sistem pengendalian asap berdasarkan tabel 5.8. yang mendaur
ulang udara dari satu kompartemen kebakaran ke kompartemen kebakaran
lain atau yang sistem operasinya dapat mengakibatkan penyebaran asap
dari satu kompartemen ke kompartemen kebakaran lainnya harus:
1) dirancang dan dipasang untuk beroperasi sehingga suatu sistem
pengendali asap sesuai ketentuan yang berlaku, atau
2) a) menggunakan damper asap yang saluran udaranya menembus
kompartemen, dan
b) diatur sedemikian rupa sehingga sistem pengolahan udara mati dan
damper asap secara otomatis menutup dengan bekerjanya detektor
asap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan tujuan ketentuan ini, setiap unit hunian tunggal dalam
bangunan kelas 2 atau 3 yang dipasang unit pengolahan udara, harus
merupakan suatu kompartemen tersendiri.
c. Sistem peralatan pengolahan udara lainnya (contoh untuk pemakaian di
dapur, toilet, ruang mesin dan sebagainya) yang melayani lebih dari 1
kompartemen kebakaran (kecuali untuk ruang parkir) dan tidak merupakan
bagian dari sistem pengendalian asap, harus memenuhi ketentuan yang
berlaku.
d. Suatu sistem deteksi asap harus dipasang sesuai dengan butir 5.1.2. guna
mengoperasikan sistem pengendalian asap terzona dan sistem penahan
udara otomatis (pressurization) pada sarana jalan keluar yang aman
kebakaran
3. Persyaratan Untuk Bahaya Khusus
Upaya tambahan dalam pengendalian asap mungkin diperlukan untuk:
a. karakteristik khusus bangunan, atau
b. penggunaan khusus bangunan, atau
c. tipe material yang khusus, jumlah yang khusus dari bahan yang disimpan,
dipamerkan atau dipakai dalam bangunan, atau
d. klasifikasi campuran yang khusus di dalam bangunan atau kompartemen
kebakaran yang tidak tercantum dalam tabel 5.8.
TABEL 5.8.
Bangunan yang dipandang memenuhi persyaratan manajemen bahaya asap
kebakaran

Bangunan Kelas 2 dan 3


Setiap hunian tunggal dilengkapi dengan:
1. Sistem alarm dengan deteksi asap yang lengkap dan berdiri sendiri, atau
2. Sistem pendeteksi asap otomatis sesuai dengan standar SNI 03-3986-edisi
terakhir.
Ruang-ruang hunian (di luar unit hunian tunggal) dalam bangunan kelas 3, bila
dilengkapi dengan:
1. a. di ruang dapur, alarm detektor panas berdiri-sendiri, dan
b. di ruang lainnya, alarm detektor asap dapat berdiri sendiri, sesuai standar
SNI 03-3986 edisi terakhir, atau
2. Suatu sistem pendeteksi asap otomatis sesuai dengan standar SNI 03-3986
edisi terakhir, kecuali di daerah dapur dapat digunakan detektor panas.
Koridor Umum:
1. Bila bangunan tidak dilengkapi dengan sistem sprinkler, maka harus
dipasang:
a. alarm dengan pendeteksi asap yang dapat berdiri sendiri sesuai standar
SNI 03-3986 edisi terakhir, atau
b. suatu sistem pendeteksi asap otomatis sesuai standar SNI 03-3986 edisi
terakhir
2. Bila panjang koridor lebih dari 40 m, dibagi dalam interval-interval tidak
lebih dari 40 m dengan konstruksi kedap asap, selain dari persyaratan untuk
bahan pelapis dari bahan yang tidak mudah terbakar.

Bangunan Kelas 5 yang memiliki ketinggian lebih dari 3 lantai.


Suatu bangunan yang tinggi efektifnya tidak lebih dari 25 m, harus dilengkapi
dengan:
1. Sistem presurisasi otomatis sesuai ketentuan yang dipasang di tiap tangga
yang dilindungi dalam konstruksi tahan api.
2. Sistem pendeteksi asap kebakaran sesuai standar SNI 03-3986 edisi terakhir
atau
3. Sistem kontrol asap otomatis sesuai ketentuan yang berlaku; atau
4. Sistem sprinkler.
Suatu bangunan tinggi efektifnya lebih dari 25 m harus dilengkapi dengan
sistem pengendali asap terzona sesuai ketentuan yang berlaku.
Bangunan Kelas 6

Bangunan Kelas 6 dengan luas lantai lebih dari 2.000 m2, tidak termasuk jalur
jalan atau Mal terlindung yang melayani lebih dari satu unit toko.
1. Tiap kompartemen kebakaran, termasuk bismen dengan luas lantai lebih dari
2.000 m2, selain bangunan pertokoan sebagaimana diuraikan pada 2., harus
dilengkapi dengan:
a. suatu sistem pembuangan asap otomatis sesuai dengan spesifikasi butir
5.3. atau
b. bila memiliki hanya satu tingkat, perlu dipasang lubang-lubang ventilasi
asap dan panas otomatis sesuai ketentuan butir 5.4., yang diaktifkan oleh
pendeteksian asap; atau
c. bila dipasang dalam bangunan 1 lantai dan luas lantai kompartemen
kebakaran tidak lebih dari 5.000 m2 :
i. sistem sprinkler *); atau
ii. sistem pendeteksian asap otomatis sesuai spesifikasi butir 5.2.4.; atau
d. dipasang sistem sprinkler, bila bangunan memiliki ketinggian 2 lantai
atau kurang dan luas kompartemen kebakaran 3.500 m2 atau kurang.
2. Suatu pertokoan di dalam kompartemen kebakaran tidak perlu memenuhi
ketentuan 1. bila memiliki:
a. luas lantai tidak lebih dari 1.000 m2; dan
b. pintu masuk utama menghadap ke jalan atau ruang terbuka.
*) Catatan:
Suatu kompartemen kebakaran dengan luas lantai lebih dari 3.500 m2 pada
bangunan Kelas 6 memerlukan sistem sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku.
Bangunan Kelas 6 dengan luas lantai melebihi 2.000 m2 termasuk jalur jalan
orang dan Mal dalam konstruksi terlindung yang melayani lebih dari satu
pertokoan.
Tiap kompartemen kebakaran, termasuk tiap kompartemen kebakaran di bismen,
dengan luas lantai lebih dari 2.000 m2 harus dipasang:
1. a. di Mal atau jalan orang yang terlindung :
i. sistem pembuang asap otomatis sesuai dengan SNI 03-3986 edisi
terakhir, atau
ii. lubang-lubang ventilasi asap dan panas yang diaktifkan dengan
detektor asap kebakaran, dan
b. di tiap pertokoan dengan luas lantai lebih dari 1.000 m2 yang membuka
kearah Mal atau jalan umum :
i. sistem pembuang asap otomatis sesuai dengan spesifikasi SNI 03-
3986 edisi terakhir; atau
ii. bila pertokoan tersebut satu lantai, dapat dipasang lubang ventilasi
asap dan panas yang diaktifkan oleh detektor asap; atau
2. Bila dalam bangunan satu lantai dan luas lantai kompartemen kebakaran
tidak lebih dari 5.000 m2, digunakan sistem sprinkler *).
3. Dipasang sistem sprinkler *) bila bangunan memiliki ketinggian 2 lantai atau
kurang dan luas lantai kompartemen kebakaran adalah 3.500 m2 atau kurang.
*) Catatan :
Suatu kompartemen kebakaran dengan luas lantai lebih dari 3.500m2 pada
bangunan Kelas 6 memerlukan sistem sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku.

Bangunan Kelas 6 yang memiliki ketinggian lebih dari 2 lantai.


Suatu bangunan yang tinggi efektifnya tidak lebih dari 25 m, dengan luas lantai
tiap kompartemen kebakaran tidak lebih dari 2.000 m2, harus dipasang :
1. Di tiap ruang tangga yang dilindungi terhadap kebakaran, suatu sistem
presurisasi otomatis sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
2. Suatu sistem pendeteksi asap otomatis sesuai dengan SNI 03-3986 edisi
terakhir; atau
3. Sistem pengendalian asap otomatis sesuai ketentuan; atau
4. Sistem sprinkler.

Bangunan Kelas 6 – tinggi efektif lebih dari 25 m


Suatu bangunan yang tinggi efektifnya lebih dari 25 m dengan luas lantai tiap
kompartemen kebakaran tidak lebih dari 2.000 m2 harus dilengkapi dengan
sistem pengendalian asap terzona sesuai ketentuan yang berlaku.
Bangunan Kelas 7 dan 8 yang memiliki ketinggian lantai lebih dari 2 dan luas
lantai lebih dari 2.000 m2.
Suatu bangunan selain ruang parkir yang memiliki tinggi efektif tidak lebih dari
25 m, harus dilengkapi dengan:
1. Di tiap ruang tangga yang dilindungi terhadap bahaya kebakaran, suatu
sistem presurisasi sesuai ketentuan; atau
2. Suatu sistem pendeteksi asap otomatis sesuai SNI 03-3986 edisi terakhir;
atau
3. Suatu sistem pengendalian asap otomatis sesuai ketentuan manajemen asap;
atau
4. Suatu sistem sprinkler.
Suatu bangunan selain ruang parkir, yang tinggi efektifnya lebih dari 25 m harus
dilengkapi dengan sistem kontrol asap terzona.

Bangunan Kelas 9.
Kelas 9a – Bangunan perawatan kesehatan (Rumah Sakit).
Dalam daerah perawatan pasien, tiap sistem pengolah udara mekanis yang
mensirkulasi udara ke lebih dari satu lokasi yang dibagi berdasarkan
kompartemenisasi:
1. Dihentikan (shut down) pada saat aktivitas detektor asap bekerja; atau
2. Dioperasikan sebagai bagian dari sistem pengendalian asap terzona sesuai
ketentuan pengendalian asap.
Daerah perawatan dengan luas lantai lebih dari 1.000 m2:
1. Dilengkapi sistem pembuang asap otomatis sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk bangunan Kelas 9; atau
2. Dibagi dalam daerah-daerah luasan lantai tidak lebih dari 1.000 m2, dengan:
dinding-dinding memiliki TKA tidak kurang dari 60/60/60; atau
konstruksi tahan asap sesuai dengan ketentuan kompartemenisasi.
Bilamana daerah perawatan pasien terletak lebih dari 2 lantai di atas lantai dasar,
bangunan harus dilengkapi dengan sistem presurisasi terzona sesuai ketentuan
yang berlaku.
Di daerah lain, tiap kompartemen kebakaran dengan luas lantai lebih dari 2.000
m2 harus dilengkapi dengan:
1. Sistem pembuangan asap otomatis sesuai dengan SNI 03-3986 edisi terakhir;
atau
2. Bila kompartemen kebakaran memiliki satu lantai, maka lubang-lubang
ventilasi asap dan panas diaktifkan oleh detektor asap; atau
3. Bila dalam bangunan satu lantai dan luas lantai kompartemen kebakaran tidak
lebih dari 5.000 m2:
a. sistem sprinkler; atau
b. sistem deteksi asap otomatis sesuai ketentuan yang berlaku.
Kelas 9b – Bangunan sekolah dengan ketinggian lantai lebih dari 3 berlaku
persyaratan yang sama dengan bangunan Kelas 5.
Kelas 9b – Bangunan Pertunjukan, panggung dan ruang pertemuan umum.
Bangunan pertunjukan, ruang pertemuan umum, bangunan panggung dan
semacamnya harus memiliki sistem pengendalian asap sesuai ketentuan yang
berlaku, serta sistem sprinkler sesuai ketentuan yang berlaku.

Bangunan Kelas 9b lainnya.


1. Tiap kompartemen kebakaran, selain bangunan-bangunan yang disebutkan
dalam butir 2. dengan luas lantai lebih dari 2.000 m2 harus dipasang :
a. suatu sistem pembuang asap otomatis sesuai dengan SNI 03-3986 edisi
terakhir; dan
b. bila kompartemen kebakaran adalah satu lantai; harus dipasang lubang-
lubang ventilasi asap dan panas yang bekerja melalui aktivitas detektor
asap; atau
c. bila dalam bangunan satu lantai dengan luas lantai kompartemen
kebakarannya tidak lebih dari 5.000 m2:
i. dipasang sistem sprinkler; atau
ii. sistem pendeteksi asap kebakaran otomatis sesuai ketentuan yang
berlaku.
2. Bangunan-bangunan berikut dibebaskan dari persyaratan 1., yaitu:
a. Kompleks olahraga, meliputi aula olahraga, gymnasium, kolam renang,
ring, arena ski, dan semacamnya.
b. Mesjid, gereja dan pusat-pusat keagamaan lainnya.

Atrium
Ruang tangga, Ramp dan jalan terusan yang dilindungi struktur tahan api.
1. Ruang tangga yang dilindungi yang melayani:
a. bangunan dengan tinggi efektif lebih dari 25 m; atau
b. lebih dari 2 lantai di bawah permukaan tanah; atau
c. melayani atrium; atau
2. Jalan terusan atau Ramp yang terpisah dan dilindungi dengan jarak tempuh
lebih dari 60 m ke arah jalan atau ruang terbuka; harus dilengkapi dengan:
a. sistem presurisasi tangga otomatis sesuai ketentuan yang berlaku tentang
kontrol asap; atau
b. jalan masuk terbuka ke ramp atau balkon sesuai dengan ketentuan
aksesibilitas.
Bismen – di bangunan Kelas 5, 7 dan 8
Suatu Bismen selain ruang parkir, yang terdiri atas lebih dari 2 lantai, yang:
1. Sebagian atau seluruhnya dibawah permukaan tanah; dan
2. Tidak termasuk dalam perhitungan kenaikan lantai/tingkat sesuai ketentuan
pada Bab II; dan
3. Memiliki luas lantai lebih dari 2.000 m2, harus dilengkapi dengan:
a. Sistem pendeteksian asap otomatis sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
atau
b. Sistem sprinkler.

Tempat parkir
Suatu tempat atau ruang parkir termasuk ruang parkir bawah tanah, yang
dilengkapi dengan sistem ventilasi mekanis, maka sistem tersebut harus
dirancang sesuai dengan ketentuan tentang pengendalian asap, kecuali:
1. Kipas dengan suhu logam yang dapat digunakan sebagai ganti kipas yang
tahan suhu tinggi; dan
2. Kabel pengendali listrik yang tidak perlu tahan api.

5.2. Sistem Deteksi Asap Dan Alarm


1. Lingkup
Persyaratan ini menjelaskan pemasangan dan pengoperasian sistem deteksi
asap dan alarm otomatis.
2. Jenis Sistem
Sistem deteksi asap dan alarm otomatis yang diperlukan harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Bangunan Kelas 2 dan Kelas 3 serta bagian dari bangunan Kelas 4.
1) Sesuai dengan 5.2.3.c. di bawah, bangunan Kelas 2 dan Kelas 3 dan
bagian bangunan Kelas 4 harus dilengkapi dengan:
a) sistem alarm asap yang memenuhi butir 5.2.3. di bawah; atau
b) sistem alarm asap yang memenuhi butir 5.2.4. di bawah; atau
c) kombinasi sistem alarm asap di dalam unit hunian tunggal dan
sistem deteksi asap di luar ruangan unit hunian tunggal.
2) Suatu bangunan Kelas 3 harus dilengkapi dengan sistem deteksi asap
yang memenuhi butir 5.2.4. jika:
a) mempunyai bagian bangunan Kelas 3 yang ditempatkan lebih dari
2 lantai di atas permukaan tanah, atau
b) menampung lebih dari 20 warga yang digunakan sebagai bagian
dari tempat tinggal dari suatu sekolah atau panti usia lanjut, panti
orang cacat dan panti anak.
b. Bangunan Kelas 5, 6, 7, 8, dan 9b sistem deteksi asap harus memenuhi
butir 5.2.4.
c. Bangunan Kelas 9a
1) Bila menampung 6 atau kurang tempat tidur pasien:
a) sistem alarm asap harus memenuhi butir 3. di bawah, atau
b) sistem deteksi asap harus memenuhi butir 4 di bawah.
2) Bila menampung lebih dari 6 tempat tidur, sistem harus sesuai dengan
butir 4 di bawah.
3. Sistem Alarm Asap
a. Sistem alarm asap harus:
1) terdiri dari alarm asap yang memenuhi ketentuan yang berlaku, dan
2) dicatu dari sumber utama.
b. Bila alarm asap dipasang di dapur dan di area lainnya yang sering
mengakibatkan terjadinya alarm asap palsu, maka alarm panas boleh
dipasang sebagai pengganti alarm asap. Jika di dapur dan di area lain
tersebut dipasang sprinkler, maka alarm panas tidak diperlukan lagi.
c. Dalam bangunan Kelas 2 atau Kelas 3 atau sebagian bangunan kelas 4,
alarm asap harus dipasang:
1) Untuk setiap unit hunian tunggal yang terletak di dekat langit-langit
setiap lantai baik yang berisi ruang tidur maupun yang tidak berisi
ruang tidur.
2) Dalam bangunan yang tidak diproteksi dengan sistem sprinkler,
koridor umum dan ruangan umum lainnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan disambung untuk mengaktifkan sistem peringatan
penghuni gedung
d. Pada bangunan kelas 9a, alarm kebakaran harus dipasang di setiap
ruangan, koridor umum dan ruang umum lainnya, dan
1) Letaknya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk alarm
kebakaran dan saling berhubungan untuk mendapat alarm gabungan
2) Dipasang alat manual pemicu alarm (Manual call points) pada jalur
evakuasi sedemikian rupa, sehingga setiap titik pada bangunan
mempunyai alat manual pemicu alarm yang berjarak tidak kurang dari
30 m.
4. Sistem Deteksi Asap
a. Sistem deteksi asap harus:
1) Memenuhi SNI 03.3689 edisi terakhir, kecuali untuk butir 5.2.2.c.
2) Mengaktifkan sistem peringatan penghuni bangunan seperti dijelaskan
pada butir 5.2.6.
b. Di dapur dan di area lainnya, dimana penggunaan area tersebut sering
mengakibatkan terjadinya alarm asap palsu, alarm boleh dipasang sebagai
pengganti alarm asap. Apabila di dapur dan di area lain tersebut dipasang
sprinkler, maka alarm panas tidak perlu dipasang.
c. Dalam bangunan kelas 2 atau kelas 3 atau bagian bangunan kelas 4
detektor asap harus dipasang,
1) Dalam setiap unit hunian tunggal yang letaknya sesuai dengan syarat-
syarat alarm asap seperti tercantum pada 5.2.3.a., dan
2) Dalam bangunan yang tidak diproteksi sistem sprinkler, di koridor
umum dan ruangan umum lainnya
d. Pada bangunan kelas 9a
1) a) Untuk ruang pasien harus dipasang detektor asap tipe photo
elektrik, sedangkan untuk koridor luar harus dipasang detektor asap
tipe photo elektrik dan tipe ionisasi secara berselang-seling
b) Untuk ruangan selain yang disebut di atas, maka harus dipasang
detektor panas jenis laju kenaikan sebagai pengganti detektor asap,
kecuali bila ruangan tersebut dilengkapi dengan sistem sprinkler,
dan
2) Dipasang alat manual pemicu alarm pada jalur evakuasi, sedemikian
rupa sehingga setiap titik pada bangunan mempunyai alat manual
pemicu alarm yang berjarak tidak kurang dari 30 m.
5. Deteksi Asap Untuk Sistem Pengendalian Asap Kebakaran
a. Detektor asap yang diperlukan untuk mengaktifkan sistem penekanan
udara untuk jalan keluar (eksit) yang aman dari kebakaran (fire, isolated
exit) dan sistem pengendalian asap yang terzona harus:
1) Dipasang penggunaan sistem tata udara mekanis untuk pengendalian
asap menurut ketentuan yang berlaku.
2) Mempunyai detektor asap tambahan yang dipasang di dekat setiap
deretan pintu lif pada jarak tidak lebih dari 3 m dari bukaan pintu.
b. Detektor asap dipersyaratkan untuk mengaktifkan:
1) penghentian sistem pengolahan udara secara otomatis sesuai tabel 5.9.
2) sistem pembuangan asap sesuai ketentuan butir 5.3.
3) ventilasi asap dan panas sesuai ketentuan butir 5.4.
Detektor asap dipasang pada jarak:
1) antar detektor tidak lebih dari 20 m dan tidak berjarak lebih dari 10 m
dan asap dinding, dinding pemisah (bulkhead) atau tirai asap, dan
2) pada pertokoan tertutup dan koridor tertutup pada bangunan Kelas 6,
jarak antar detektor tidak lebih dari 15 m dan berjarak tidak lebih dari
7,5 m dari setiap dinding, dinding pemisah, atau tirai asap; dan
Detektor asap mempunyai kepekaan:
1) sesuai dengan standar penggunaan sistem pengolah udara mekanis
sebagai pengendalian untuk ruangan selain dari koridor dan pertokoan
bertingkat pada suatu bangunan kelas 6; dan
2) sensitivitas penyelaman (obscuration) asap tidak melampaui 0,5% per
meter, bila diperlukan dengan kompensasi untuk bahan-bahan cemaran
debu dalam udara, pada koridor dan pertokoan bertingkat dalam
bangunan kelas 6.
c. Detektor asap yang dipasang untuk mengaktifkan sistem pengendalian
asap kebakaran harus:
1) a) merupakan bagian dari sistem pendeteksian asap atau kebakaran
bangunan yang memenuhi SNI 03-3689 edisi terakhir, atau
b) merupakan sistem berdiri sendiri yang dilengkapi dengan peralatan
kontrol dan indikator dengan fasilitas verifikasi alarm dan
memenuhi persyaratan yang berlaku, dan
2) mengaktifkan suatu sistem peringatan bahaya yang memenuhi butir
5.2.6., kecuali bila detektor asap dipasang untuk mengawali
penghentian sistem pengolahan udara sesuai dengan butir 5.2.5.c.1)b)
di atas tanpa mengaktifkan sistem peringatan bahaya bagi penghuni.
6. Sistem Peringatan Bahaya Bagi Penghuni Gedung
Bunyi suatu sistem peringatan bahaya bagi penghuni bangunan dapat
terdengar pada seluruh bagian bangunan yang dihuni harus sesuai persyaratan
yang berlaku (SNI-03-3689 edisi terakhir), kecuali:
a. Dalam suatu bangunan Kelas 2, 3, atau bagian bangunan Kelas 4 yang
dilengkapi dengan sistem alarm asap sesuai dengan butir 5.2.3.:
1) tingkat tekanan suara tidak perlu diukur di dalam unit hunian tunggal
bila tingkat tekanan suara tidak kurang dari 85 dBA, dan terdapat pada
pintu akses menuju unit hunian tunggal tersebut; dan
2) pembangkit bunyi terintegrasi dengan alarm asap dapat digunakan
untuk memenuhi keseluruhan atau sebagian dari yang dipersyaratkan;
dan
b. Dalam bangunan kelas 2, kelas 3, atau bagian bangunan kelas 4 yang
dilengkapi dengan suatu sistem deteksi asap yang memenuhi butir 5.2.4.c.,
tingkat tekanan suara dari suatu sistem peringatan bahaya tidak perlu
diukur dalam suatu unit hunian tunggal, bila suatu tingkat tekanan suara
tidak kurang dari 100 dBA dan terdapat pada pintu yang menyediakan
akses ke unit hunian tunggal tersebut; dan
c. Dalam suatu bangunan kelas 3 yang digunakan sebagai panti usia lanjut,
sistem peringatan bahaya:
1) harus ditata untuk menyediakan suatu tanda peringatan bagi petugas
panti
2) dalam ruang penghuni, alarm harus diatur kekerasan bunyinya dan isi
pesan untuk meminimalkan trauma berkaitan dengan jenis dan kondisi
penghuni.
d. Dalam suatu bangunan kelas 9a pada suatu ruang perawatan pasien, sistem
peringatan bahaya:
1) harus ditata untuk memberikan tanda bahaya bagi petugas rumah sakit,
dan
2) dalam bangsal perawatan keras bunyi alarm dan isi pesan dari tanda
bahaya harus diatur untuk meminimalkan trauma berkaitan dengan
jenis dan kondisi penghuni.
7. Pemantauan Sistem
Instalasi berikut ini harus dihubungkan secara permanen ke suatu pos instansi
pemadam kebakaran, atau peralatan pemantauan yang diperbolehkan lainnya
dengan suatu hubungan data langsung ke suatu pos instansi pemadam
kebakaran:
a. Suatu sistem deteksi asap dalam bangunan kelas 3 yang dipasang sesuai
butir 5.2.2.a.2).
b. Suatu sistem deteksi asap dalam bangunan kelas 9a, bila bangunan
menampung lebih dari 20 pasien,
c. Suatu sistem deteksi asap sesuai butir 5.2.5. yang dipasang untuk
mengaktifkan:
1) suatu sistem pembuangan asap sesuai dengan ketentuan butir 5.3., atau
2) ventilasi asap dan panas sesuai dengan ketentuan butir 5.4.
d. Suatu sistem deteksi yang dipasang menurut ketentuan Bab IV butir
3.3.1.a. (tentang bangunan-bangunan besar kelas 7 dan 8 dengan luas
lantai kurang dari 18.000 m2).

5.3 Sistem Pembuangan Asap


1. Lingkup
Spesifikasi ini menjelaskan syarat-syarat untuk sistem pembuangan asap
secara mekanis.
2. Kapasitas Pembuangan Asap
a. Fan pembuangan asap harus mempunyai kapasitas yang cukup untuk
menghisap lapisan asap:
1) Berada di dalam reservoir asap, yang tepi bawahnya tidak kurang dari
2 m diatas permukaan lantai tertinggi
2) Diatas puncak setiap bukaan yang menghubungkan reservoir-reservoir
asap yang berbeda
b. Laju pembuangan asap ditentukan menurut Gambar 5.5. dengan
pengukuran ketinggian ditentukan dari permukaan lantai terendah terhadap
bagian bawah reservoir atap

LAJU PEMBUANGAN ASAP


350
340
Kelas Bangunan Tanpa Sprinkler Dengan Sprinkler
330 Kelas 2, 3, atau 5 5 MW 1.5 MW
320 Kelas 6 10 MW 5 MW
Kelas 7 atau 8 15 MW 5 MW
310 Kelas 9
300 * umum 5 MW 1.5 MW
* ruang pamer 10 MW 5 MW
290 * bioskop, ruang
280 umum dan
panggung 10 MW 5 MW
270
260 Catatan: jika reservoir asap di atas panggung dan daerah
Pembuangan asap untuk tiap reservoir asap (m 3/dt)

penonton terpisah, beban api hanya di terapkan di panggung


250 sedangkan beban api untuk daerah penonton sesuai dengan
240 Kelas 9 - umum

230
220
210 1.5 MW
200 5 MW
190 10 MW
180 15 MW
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2 4 6 8 10 12 15 20 25 30
Ketinggian di bawah lapisan asap (meter)

Gambar 5.5.
Laju Pembuangan Asap
3. Fan pembuangan asap
Setiap fan pembuangan asap berikut kelengkapannya harus:
a. mampu beroperasi terus menerus pada titik kerja yang ditentukan pada
temperatur 2000 C untuk selang waktu tidak kurang dari 60 menit, dan
b. beroperasi terus menerus pada temperatur 3000 C untuk selang waktu 30
menit untuk gedung yang tidak dilindungi sistem sprinkler.
c. karakteristik fan ditentukan berdasarkan temperatur udara luar
d. bila fan dilengkapi dengan alat pengaman temperatur tinggi maka alat
tersebut akan diabaikan secara otomatis selama sistem pembuangan asap
beroperasi.
4. Reservoir Asap
a. Kompartemen kebakaran harus dibagi pada permukaan langit-langit dalam
reservoir asap yang dibentuk oleh tirai asap dari bahan tidak mudah
terbakar dan tidak mudah patah
b. Luas horisontal dari reservoir asap tidak boleh melebihi 2000 m2 dan
koridor tertutup atau mal tertutup pada bangunan Kelas 6 panjangnya tidak
boleh melampaui 60 m.
c. Reservoir asap harus mempunyai tinggi yang cukup untuk mewadahi
lapisan asap dan tidak boleh kurang dari 500 mm di bawah langit-langit
atau atap yang licin dan padat.
d. 1) Di dalam kompartemen kebakaran pada gedung bertingkat banyak,
dinding penyekat atau pembatas yang tidak mudah terbakar dipasang di
sekeliling bagian bawah dari bukaan diantara tiap tingkat untuk
meminimalkan penjalaran asap ke tingkat lain.
2) Kedalaman dari tirai asap tidak boleh lebih rendah dari kedalaman
reservoir atap yang disediakan menurut ketentuan butir c diatas dan
ditambah 400 mm.
5. Fan pembuangan asap dan lokasi ven.
Fan pembuang asap dan ven harus ditempatkan:
a. pada setiap reservoir asap dilayani oleh satu fan atau lebih dengan laju
pembuangan maksimum pada sembarang titik yang dibatasi untuk
menghindari penghisapan udara di bawah lapisan asap, dan untuk
mencegah terbentuknya daerah stagnasi yang dapat mengakibatkan
pendinginan yang berlebihan dari asap dan terjadi pencampuran asap
dengan udara yang ada di bawahnya, dan
b. pada titik kumpul alami dari panas di dalam masing-masing reservoir asap
yang disebabkan oleh geometri langit-langit dan jalur pergerakan asap, dan
c. jauh dari perpotongan koridor atau mal, dan
d. untuk memastikan bahwa setiap ruang kosong (void) dimana terdapat
eskalator dan tangga yang biasa dipergunakan oleh umum, tidak digunakan
sebagai jalur pembuangan asap, dan
e. sedemikian rupa untuk membuang langsung keluar dengan kecepatan tidak
kurang dari 5m/detik, pada titik yang tepat pada jarak tidak kurang 6 meter
terhadap titik masuk udara bersih atau pintu keluar.
6. Udara pengganti.
a. Udara pengganti dalam jumlah kecil harus disediakan secara otomatis atau
melalui bukaan ventilasi permanen sebagai pengganti udara yang dibuang
untuk meminimalkan:
1) gangguan terhadap lapisan asap karena turbulensi yang terjadi oleh
udara yang masuk, dan
2) resiko perpindahan asap ke daerah yang jauh dari api, yang disebabkan
oleh pengaruh udara pengganti terhadap keseimbangan udara dari
seluruh sistem,
b. Kecepatan udara pengganti melalui bukaan tidak boleh lebih dari 2,5
m/detik.
c. Di dalam suatu kompartemen kebakaran bertingkat banyak, udara
pengganti harus disediakan melalui bukaan vertikal dari ruang kosong
bangunan ke lantai yang terpengaruh kebakaran dengan kecepatan rata-rata
1 m/detik, untuk meminimalkan penjalaran asap dari lantai yang
terpengaruh kebakaran ke lantai lain.
7. Sistem pengendali pembuangan asap
a. Setiap fan pembuangan asap harus diaktifkan secara berurutan oleh
detektor asap sesuai butir 5.2.
Detektor asap tersebut diletakkan dalam zona-zona yang sesuai dengan
reservoir asap yang dilayani oleh Fan tersebut.
b. Kecuali untuk butir c dan d, sistem pengolahan udara (selain unit-unit
individual yang kapasitasnya kurang dari 1.000 l/detik, dan sistem
pembuangan lain), yang tidak merupakan bagian dari sistem pengendalian
asap kebakaran secara otomatis dimatikan pada saat sistem pembuangan
asap bekerja.
c. Dalam kompartemen kebakaran satu lantai, sistem pengolahan udara (air
handling) dalam semua zona yang tidak terpengaruh kebakaran boleh
beroperasi dengan menggunakan seluruhnya udara segar untuk
menyediakan udara pengganti ke zona yang terpengaruh kebakaran.
d. Di dalam kompartemen kebakaran bertingkat banyak sistem pengolahan
udara didalam zona yang tidak berpengaruh kebakaran, harus beroperasi
dengan menggunakan seluruhnya udara segar untuk menyediakan udara
pengganti ke zona yang terpengaruh kebakaran melalui ruang kosong
bangunan ke lantai yang berhubungan.
e. Panel kontrol manual dan indikator kebakaran serta buku petunjuk
pengoperasian bagi petugas jaga, harus disediakan dekat panel kontrol dan
indikator kebakaran.
f. Tombol kontrol manual untuk sistem pembuangan asap harus ditempatkan
di ruang pimpinan harian pada gedung pertunjukan.
g. Instalasi listrik untuk pembuangan asap harus memenuhi PUIL/ SNI yang
berlaku.
8. Deteksi asap
Deteksi asap harus dipasang sesuai dengan butir 5.2. untuk mengaktifkan
sistem pembuangan asap.

5.4 Ven asap dan Ven panas


1. Persyaratan Umum
a. Ven asap dan ven panas harus dipasang sesuai dengan peraturan yang
berlaku, kecuali:
1) Area horizontal dari reservoir asap yang dibentuk oleh tirai asap tidak
boleh melebihi dari 1.500 m2, dan
2) Koridor dan mal tertutup yang tergolong dalam bangunan Kelas 6,
harus dibagi menjadi beberapa reservoir asap yang panjangnya tidak
lebih dari 60 m dengan kedalaman yang cukup untuk menampung
lapisan asap, dan
b. Semua Ven Asap dan Ven Panas yang berada pada reservoir asap harus
membuka secara bersamaan (tipe FAIL SAFE OPEN).
c. Ven yang terbuka permanen dapat merupakan bagian dari sistem ventilasi
asap dan panas bila luas aerodinamik sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Ven dimaksud harus memenuhi persyaratan konstruksi dan
kinerja lain yang relevan yang berlaku untuk ven asap dan panas.
2. Kontrol
Bila sistem ven asap dan panas dipasang untuk memenuhi tabel 5.8., maka
ketentuan berikut harus diterapkan:
a. Selain bekerja dengan sambungan lebur panas, ven asap dan panas, harus
juga dipicu oleh pendeteksi asap sesuai dengan ketentuan butir 5.2., dan
disusun dalam zona yang sesuai dengan zona reservoir asap.
b. Panel kontrol manual dan indikator serta buku petunjuk pengoperasian
untuk petugas jaga harus disediakan didekat panel indikator kebakaran.
c. Tombol kontrol manual harus ditempatkan di ruang pimpinan harian pada
gedung pertunjukan.
3. Detektor Asap
Sistem Detektor Asap harus dipasang sesuai dengan butir 5.2. untuk
mengaktifkan sistem Ven asap dan panas.

BAGIAN 6: INSTALASI LIF KEBAKARAN


6.1. Untuk penanggulangan saat terjadi kebakaran sekurang-kurangnya ada satu buah
lif yang disebut lif kebakaran atau lif keadaan darurat (emergency lift) yang harus
dipasang pada:
1. bangunan yang memiliki ketinggian efektif lebih dari 25 m, dan
2. bangunan kelas 9a yang daerah perawatan pasiennya ditempatkan di atas level
permukaan jalur penyelamatan langsung ke arah jalan umum atau ruang
terbuka.
6.2. Pada saat tidak terjadi kebakaran lif kebakaran dapat dikombinasikan sebagai lif
penumpang.
6.3. Bila ada dua lif atau lebih terpasang pada saf yang berbeda dan melayani lantai-
lantai yang sama, di luar lif yang terdapat dalam atrium sekurang-kurangnya dua
lif kebakaran tersedia untuk melayani lantai-lantai tersebut.
6.4. Lif kebakaran harus terdapat dalam saf yang tahan api.
6.5. Lif kebakaran harus:
1. memenuhi standar lif yang berlaku,
2. pada bangunan kelas 9a yang melayani ruang perawatan pasien, maka:
a. memiliki ukuran atau dimensi minimum yang diukur dalam keadaan bebas
penghalang termasuk pegangan tangga sebagai berikut:
kedalaman minimum : 2.280 mm;
lebar minimum : 1.600 mm;
jarak dari lantai ke langit-
langit, minimum : 2.300 mm;
tinggi pintu minimum : 2.100 mm;
lebar pintu minimum : 1.300 mm; dan
b. dihubungkan dengan sistem pembangkit tenaga darurat yang selalu siaga,
dan
c. mempunyai kapasitas sekurang-kurangnya 600 kg untuk bangunan yang
memiliki ketinggian efektif lebih dari 75 m.
6.6. Lif kebakaran dioperasikan oleh petugas pemadam kebakaran untuk keperluan
penanggulangan keadaan darurat kebakaran, harus dapat berhenti disetiap lantai.
6.7. Keberadaan lif kebakaran diberikan dengan tanda tertentu di setiap lantai dekat
pintu lif.
6.8. Sumber daya listrik untuk lif kebakaran harus direncanakan dari dua sumber dan
menggunakan kabel tahan api.
6.9. Lif kebakaran harus memiliki akses ke tiap lantai hunian di atas atau di bawah
lantai tertentu atau yang ditunjuk, harus berdekatan dengan tangga eksit serta
mudah dicapai oleh petugas pemadam kebakaran disetiap lantai.
6.10. Lif kebakaran harus dilengkapi dengan sarana operasional yang dapat digunakan
oleh petugas pemadam kebakaran untuk membatalkan panggilan awal atau
sebelumnya yang dilakukan secara tidak sengaja atau aktif karena kelalaian
terhadap lif tersebut.
6.11. Peringatan terhadap pengguna lif pada saat terjadi kebakaran
Tanda peringatan harus:
1. Dipasang ditempat yang mudah terlihat dan terbaca diantaranya:
a. dekat setiap tombol panggil untuk lif penumpang atau kelompok lif pada
bangunan gedung, kecuali
b. lif kecil seperti dumb waiter atau sejenisnya yang digunakan untuk
mengangkut barang-barang.
2. Dibuatkan tulisan dengan tinggi huruf minimal 20 mm seperti terlihat pada
gambar 5.6., dengan ketentuan :
a. huruf yang diukir/dipahat atau huruf timbul pada logam, kayu, plastik atau
sejenisnya dan dipasang tetap di dinding atau
b. huruf diukir atau dipahat langsung dipermukaan lapis penutup dinding.
c. bila diperlukan, dengan penampilan khusus sehingga dapat terbaca pada
keadaan gelap atau sewaktu-waktu terjadi kebakaran.

10 mm
DILARANG MENGGUNAKAN LIF
BILA TERJADI KEBAKARAN

Gambar 5.6.
Tanda Peringatan Lif

BAGIAN 7: PENCAHAYAAN DARURAT DAN TANDA PENUNJUK ARAH

7.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan persyaratan ini adalah untuk
menyelamatkan penghuni dari kecelakaan ataupun ancaman bahaya dengan:
1. menyediakan pencahayaan yang memadai; dan
2. memberikan petunjuk/rambu rambu yang cukup jelas untuk menuju jalan
keluar (eksit) dan alur pencapaian menuju eksit; dan
3. memberikan peringatan kepada penghuni/pengguna bangunan akan terjadinya
keadaan darurat.

7.2 Tuntutan Fungsi


Suatu bangunan harus dilengkapi:
1. pencahayaan yang cukup memadai bila sistem pencahayaan buatan yang
normal pada bangunan tidak berfungsi saat keadaan darurat; dan
2. pencahayaan yang cukup diartikan masih mampu berfungsi untuk:
a. memperingatkan penghuni/pengguna bangunan untuk menyelamatkan diri;
dan
b. mengatur proses evakuasi; dan
c. mengenali tanda eksit dan jalur menuju ke eksit.
7.3 Persyaratan Kinerja
1. Suatu tingkat pencahayaan (iluminasi) untuk pelaksanaan evakuasi yang aman
pada saat keadaan darurat harus disediakan pada bangunan disesuaikan
dengan:
a. fungsi atau peruntukan bangunan; dan
b. luas lantai bangunan; dan
c. jarak tempuh ke eksit.
2. Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang cocok atau cara lain
untuk dapat mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan, harus:
a. dipasang pencahayaan darurat untuk mengidentifikasi lokasi eksit; dan
b. dapat memandu penghuni/pengguna bangunan ke eksit; dan
c. dapat terlihat secara jelas; dan
d. dapat beroperasi saat sumber daya untuk sistem pencahayaan tidak
berfungsi, untuk waktu yang cukup hingga penghuni bangunan terevakuasi
dengan selamat.
3. Untuk mengingatkan penghuni/pengguna bangunan akan terjadinya kondisi
darurat, maka sistem peringatan dini dan interkomunikasi darurat harus
disediakan sampai pada tingkat yang diperlukan, disesuaikan dengan:
a. luas lantai bangunan, dan
b. fungsi atau penggunaan bangunan, dan
c. ketinggian bangunan.

7.4 Persyaratan Teknis Pencahayaan Darurat


Suatu sistem pencahayaan darurat harus dipasang:
1. disetiap tangga, ramp dan jalan terusan yang dilindungi terhadap kebakaran,
dan
2. disetiap lantai pada bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang luas lantainya lebih
dari 300 m2, yakni di:
a. setiap jalan terusan, koridor, jalur penghubung di ruangan besar (hall) atau
semacamnya yang menjadi bagian dari jalur perjalanan ke eksit ; dan
b. setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 100 m2 yang tidak
membuka ke arah koridor atau ruang yang mempunyai pencahayaan
darurat atau ke jalan umum atau ke ruang terbuka; dan
c. setiap ruangan yang mempunyai luas lantai lebih dari 300 m2; dan
3. disetiap jalan terusan, koridor, jalan menuju ke hall atau semacamnya yang
mempunyai panjang lebih dari 6 m dari pintu masuk pada unit hunian tunggal
di bangunan kelas 2,3 atau bagian kelas 4 ke pintu terdekat yang langsung
membuka ke:
a. tangga, ramp atau jalan terusan yang dilindungi terhadap api, atau
b. tangga luar yang melayani atau pengganti tangga, ramp atau jalan terusan
yang dilindungi terhadap api sesuai Bab III butir 2.9., atau
c. serambi atau balkon luar yang menuju ke tangga, ramp atau jalan terusan
yang dilindungi terhadap api; atau
d. jalan umum atau ruang terbuka; dan
4. disetiap tangga yang dilindungi terhadap tepi dan memenuhi persyaratan
sebagai jalur penyelamatan, dan
5. di unit hunian tunggal pada bangunan kelas 5, 6, atau 9 bila:
a. luas lantai unit tersebut lebih dari 300 m2, dan
b. eksit dari unit tersebut tidak membuka ke jalan umum atau ruang terbuka
atau ke tangga luar, jalan terusan, balkon atau ramp yang langsung
menuju ke jalan umum atau ruang terbuka, dan
6. disetiap kamar atau ruang lantai bangunan kelas 6 atau 9b yang dihubungkan
dengan jalan masuk untuk umum, bila:
a. luas ruang dilantai tersebut lebih dari 300 m2; atau
b. setiap titik di lantai tersebut berjarak lebih dari 20 m dari pintu terdekat
yang membuka langsung ke tangga, ramp, jalan terusan, jalan umum atau
ruang terbuka.
c. penyelamatan diri dari lantai tersebut dapat menggunakan kenaikan
vertikal dalam bangunan lebih dari 1,5 m, atau setiap kenaikan vertikal
bila lantai tersebut tidak memiliki pencahayaan yang cukup ; atau
d. lantai tersebut menyediakan suatu jalur dari lantai yang disyaratkan
memiliki pencahayaan darurat berdasarkan a, b, atau c diatas.
7. di bangunan kelas 9a:
a. disetiap jalan terusan, koridor, jalan menuju hall atau semacamnya yang
melayani daerah perawatan atau bangsal perawatan; dan
b. di daerah perawatan pasien yang mempunyai luas lebih dari 120 m2, dan
8. disetiap pusat pengendalian kebakaran yang disyaratkan.

7.5 Desain Sistem Pencahayaan Keadaan Darurat


1. Setiap sistem pencahayaan keadaan darurat harus:
a. beroperasi otomatis; dan
b. memberikan pencahayaan yang cukup tanpa penundaan yang tidak perlu
dalam upaya menjamin evakuasi yang aman diseluruh daerah dalam
bangunan di lokasi atau tempat yang dipersyaratkan; dan
c. dilindungi terhadap kerusakan akibat kebakaran bila sistem pencegahan
darurat tersebut merupakan sistem yang tersentralisasi,
2. Pencahayaan darurat harus memenuhi standar yang berlaku.
7.6 Tanda Keluar (Eksit)
Suatu tanda eksit harus jelas terlihat bagi orang yang menghampiri eksit dan harus
dipasang pada, di atas atau berdekatan dengan setiap:
1. pintu yang memberikan jalan ke luar langsung dari satu lantai ke:
a. tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api, yang
berfungsi sebagai eksit yang memenuhi persyaratan; dan

b. tangga luar, jalan terusan atau ramp yang memenuhi syarat sebagai eksit;
dan
c. serambi atau balkon luar yang memberikan akses menuju ke eksit, dan
2. pintu dari suatu tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan
api atau tiap level hamburan ke jalan umum atau ruang terbuka; dan
3. eksit horisontal, dan
4. pintu yang melayani atau membentuk bagian dari eksit yang disyaratkan pada
lantai bangunan yang harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat sesuai
butir 7.5.

7.7 Tanda Penunjuk Arah


Bila suatu eksit tidak dapat terlihat secara langsung dengan jelas oleh penghuni
atau pengguna bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda
panah menunjukkan arah, dan dipasang di koridor, jalan menuju ruang besar
(hallways), lobi dan semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke
eksit yang disyaratkan.

7.8 Perkecualian untuk Pemasangan Tanda Penunjuk Arah Ke Luar


1. Bangunan kelas 2 di mana setiap pintu utama telah diberi label pada sisi jauh
dari lokasi eksit atau balkon:
a. dengan tulisan “PINTU KELUAR” dengan huruf besar berukuran tinggi
50 mm dengan warna kontras terhadap latar belakangnya; atau
b. dengan cara lainnya yang tepat; dan
2. pintu masuk pada unit hunian tunggal pada bangunan kelas 2 atau 3 atau
bagian bangunan kelas 4.

7.9 Desain dan Pengoperasian Tanda Penunjuk Arah Keluar


1. Setiap tanda eksit harus:
a. Jelas dan pasti serta mempunyai huruf dan simbol berukuran tepat; dan
b. diberi pencahayaan yang cukup agar jelas terlihat setiap waktu saat
bangunan dihuni atau dipakai oleh setiap orang yang berhak untuk
memasuki bangunan; dan
c. dipasang sedemikian rupa sehingga bila terjadi gangguan listrik, maka
pencahayaan darurat segera menggantikannya; dan
d. bila diterangi dengan sistem pencahayaan darurat, maka komponen
pengkabelan dan sumber daya dan lain-lain harus memenuhi syarat
sebagaimana butir 8.3.
2. Tanda penunjuk arah ke luar harus memenuhi standar yang berlaku.

7.10 Sistem Peringatan dan Interkomunikasi Darurat


Suatu sistem pemberitahuan atau peringatan dan interkomunikasi darurat sesuai
dengan standar yang berlaku harus dipasang pada:
1. bangunan dengan tinggi efektif lebih dari 25 m; dan
2. bangunan kelas 3 yang mempunyai jumlah lantai lebih dari 2, dan
3. bangunan kelas 3 yang dipakai untuk bangunan rumah tinggal untuk panti usia
lanjut, kecuali apabila sistem tersebut:
a. harus diatur untuk memberi peringatan atau pemberitahuan untuk para
petugas panti; dan
b. pada daerah hunian, alarm harus disetel sesuai dengan volume dan pesan
untuk mengurangi kepanikan, sesuai dengan jenis dan kondisi penghuni
bangunan; dan
4. di bangunan kelas 9a yang mempunyai luas lantai lebih dari 1.000 m2 atau
jumlah lantai lebih dari 2, kecuali bahwa sistem tersebut:
a. harus diatur untuk mengingatkan petugas rumah sakit, perawat; dan
b. di bagian bangsal, alarm dapat diatur volume maupun nada pesannya untuk
mengurangi kepanikan, disesuaikan dengan kondisi pasien; dan
5. dibangunan kelas 9b:
a. digunakan sebagai bangunan sekolah yang memiliki jumlah lantai lebih
dari 3; atau
b. digunakan sebagai teater, auditorium, ruang besar dan semacamnya yang
memiliki luas lantai lebih dari 1.000 m2 atau jumlah lantai lebih dari 2.

BAGIAN 8: SISTEM DAYA DARURAT

8.1 Umum
1. Sumber daya listrik darurat digunakan antara lain untuk mengoperasikan:
a. Pencahayaan darurat,
b. Sarana komunikasi darurat,
c. Lif kebakaran,
d. Sistem deteksi dan alarm kebakaran,
e. Hidran kebakaran,
f. Sprinkler kebakaran,
g. Alat pengendali asap,
h. Pintu tahan api otomatis,
i. Ruang pusat pengendali kebakaran.
2. Ketentuan penggunaan sumber daya darurat untuk kebutuhan mengoperasikan
pencahayaan darurat, sarana komunikasi darurat, lif kebakaran, sistem deteksi
dan alarm kebakaran, alat pengendali asap dan pintu tahan api otomatis diatur
dalam ketentuan tersendiri.
3. Instalasi listrik sistem daya darurat harus memenuhi SNI tentang Persyaratan
Umum Instalasi Listrik edisi terakhir.

8.2 Sumber Daya


Daya yang disuplai untuk mengoperasikan sistem daya darurat diperoleh
sekurang-kurangnya dari dua sumber sebagai berikut:
1. Sumber Daya Listrik dapat diperoleh:
a. PLN, dan atau
b. Sumber darurat berupa:
1) Batere
2) Generator
3) dll.
2. Sumber daya listrik darurat harus direncanakan dapat bekerja secara otomatis
apabila sumber daya utama tidak bekerja dan harus dapat bekerja setiap saat.
3. Bangunan atau ruangan yang sumber daya utamanya dari PLN harus dapat
juga dilengkapi dengan generator sebagai sumber daya darurat dan
penempatannya harus memenuhi TKA yang berlaku,

8.3 Jaringan Catu Daya


1. Semua instalasi kabel yang melayani sumber daya listrik darurat harus
memenuhi kabel tahan api selama 60 menit.
2. Catu daya dari sumber daya ke motor harus memenuhi ketentuan susunan A
atau susunan B seperti dijelaskan di bawah ini:
a. Susunan A
Apabila sumber daya listrik berasal dari listrik PLN, maka antara daya
suplai dan panel kontrol pompa kebakaran harus tidak ada alat pemutus
atau alat proteksi catu daya.

Gambar 5.7.
Susunan A
b. Susunan B
Apabila diizinkan oleh instansi yang berwenang, alat pemutus dan alat
proteksi suplai daya dapat dipasang antara suplai daya dan pengendali
pompa kebakaran dengan syarat memenuhi ketentuan sebagai berikut:

Gambar 5.8.
Susunan B

1) Alat pembatas arus lebih harus dipilih dan diset mampu menerima arus
locket rotor dari motor pompa kebakaran utama.
2) Alat pemutus harus selalu dalam posisi “ON”.
3) Plakat harus dipasang di luar sakelar pemutus dengan tulisan seperti
pada gambar 5.9.:

“SAKLAR PEMUTUS POMPA 25 mm


KEBAKARAN”

Gambar 5.9.
Plakat saklar pemutus
Tinggi hurufnya tidak kurang dari 25 mm.
4) Plakat harus dipasang berdekatan dengan pengendali pompa kebakaran
menjelaskan lokasi saklar pemutus dan lokasi kunci.
5) Saklar pemutus harus diawasi tetap terhubung melalui salah satu cara
sebagai berikut:
a) Pelayanan signal jarak jauh yang akan menyebabkan alarm audio
atau visual pada pusat pengendali kebakaran bekerja.
b) Pelayanan signal lokal yang menyebabkan bunyi di pos penjaga.
c) Bila saklar pemutus ditempatkan dalam pagar tertutup atau didalam
bangunan yang diawasi oleh pemilik bangunan maka penyegelan
saklar dan pemeriksaan mingguan harus di catat.
6) Plakat harus dipasang berdekatan dengan pengendali pompa
kebakaran, menjelaskan lokasi saklar pemutus dan lokasi dari kunci
(jika saklar pemutus dikunci)
7) Saklar pemutus harus diawasi tetap terhubung melalui salah satu cara
sebagai berikut:
a) Stasiun pusat, pelayanan signal stasiun jarak jauh.
b) Pelayanan signal lokal yang akan menyebabkan bunyi dari signal
suara di pos penjaga.
c) Penguncian saklar pemutus dan diperiksa setiap minggu dan dicatat
bila saklar pemutus ditempatkan dalam pagar tertutup atau di dalam
bangunan yang diawasi oleh pemilik bangunan.
Pengecualian
Jika saklar pemindah daya dihubungkan dimuka pengendali pompa
kebakaran, saklar pemutus dan alat proteksi daya suplai harus
disediakan dengan saklar pemutus sesuai kebutuhan.
Alat proteksi daya suplai harus dipilih dan diset mampu menerima
arus “locked rotor” dari motor pompa kebakaran dan pompa jockey
dan arus beban penuh dari peralatan yang berhubungan dengan
perlengkapan pompa kebakaran bila dihubungkan dengan suplai
daya ini.
3. Alat Proteksi Daya Suplai
Apabila alat proteksi daya suplai (pengaman lebur, pemutus daya) dipasang
dalam sirkit daya suplai dari gardu sendiri dan sambungan PLN di depan sirkit
feeder pompa kebakaran, alat tersebut harus mampu selalu terhubung pada
saat menerima arus locked rotor dari motor pompa kebakaran dan beban listrik
maksimum bangunan.
4. Jaringan pembagi (Ampacity jaringan)
Konduktor antara sumber daya dan motor pompa kebakaran ukurannya harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAGIAN 9: PUSAT PENGENDALI KEBAKARAN

9.1 Umum.
1. Spesifikasi ini menjelaskan mengenai konstruksi dan sarana yang disyaratkan
dalam pusat pengendali kebakaran.
2. Sarana yang ada di pusat pengendali kebakaran dapat digunakan untuk:
a. melakukan tindakan pengendalian dan pengarahan selama berlangsungnya
operasi penanggulangan kebakaran atau penanganan kondisi darurat
lainnya; dan
b. melengkapi sarana alat pengendali, panel kontrol, telepon, mebel,
peralatan dan sarana lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi
kebakaran; dan
3. Pusat pengendali kebakaran tidak digunakan untuk keperluan lain selain:
a. kegiatan pengendalian kebakaran; dan
b. kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan
bagi penghuni bangunan.

9.2 Lokasi ruang Pusat Pengendali.


Ruang Pusat Pengendali Kebakaran haruslah ditempatkan sedemikian rupa pada
bangunan, sehingga jalan keluar dari setiap bagian pada lantai ruang tersebut
kearah jalan atau ruang terbuka umum tidak terdapat perbedaan ketinggian
permukaan lantai lebih dari 30 cm.

9.3 Konstruksi.
Ruang pusat pengendali kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya
lebih dari 50 meter, haruslah berada pada ruang terpisah, dengan syarat:
1. konstruksi pelindung penutupnya dibuat dari beton, tembok atau sejenisnya
yang mempunyai kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat
kebakaran dan dengan nilai TKA tidak kurang dari 120/120/120; dan
2. bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya yang digunakan dalam
ruang pengendali harus memenuhi persyaratan tangga kebakaran yang
dilindungi; dan
3. peralatan utilitas, pipa-pipa, saluran-saluran udara dan sejenisnya yang tidak
diperlukan untuk berfungsinya ruang pengendali, tidak boleh melintasi ruang
tersebut; dan
4. bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang
pengendali dengan ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi
dan lubang perawatan lainnya khusus untuk melayani fungsi ruang pengendali
tersebut.

9.4 Proteksi pada Bukaan.


Bukaan yang diatur oleh Bab IV butir 4.3. harus diproteksi sebagai berikut:
1. Bukaan untuk jendela, pintu, ventilasi, perawatan pipa, saluran dan
sejenisnya, pada dinding luar bangunan yang menghadap jalan atau ruang
terbuka umum harus diproteksi sesuai ketentuan Bab IV butir 4.3.
2. Bukaan pada lantai, langit-langit dan dinding dalam yang melingkupi ruang
pengendali, kecuali pintu haruslah diproteksi sesuai ketentuan pada Bab IV
butir 4.3.
3. Bukaan pintu pada dinding dalam yang melingkupi ruang pengendali harus
dipasang pintu tahan api kedap asap yang dapat menutup sendiri dengan TKA
-/120/30;
4. Bukaan yang digunakan untuk peralatan ventilasi alami atau mekanis harus:
a. tidak terletak langsung di atas atau di bawah langit-langit ruang
pengendali kebakaran; dan
b. diproteksi dengan memakai damper api dengan TKA -/120/- jika lubang
bukaan digunakan sebagai tempat lewatnya saluran udara melintasi
dinding yang dipersyaratkan memiliki TKA yang bukan dinding luar.

9.5 Pintu ‘KELUAR’.


1. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka ke arah dalam ruang
tersebut, dapat dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang
menggunakan jalur evakuasi dari dalam bangunan tidak menghalangi atau
menutup jalan masuk ke ruang pengendali tersebut.
2. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari dua arah;
a. satu dari arah pintu masuk di depan bangunan; dan
b. satu langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang dilindungi
terhadap api, yang menuju ke tempat umum dan mempunyai TKA tidak
kurang dari -/120/30.

9.6 Ukuran dan Sarana.


1. Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang- kurangnya:
a. panel indikator kebakaran dan sakelar kontrol dan indikator visual yang
diperlukan untuk semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan
peralatan pengamanan kebakaran lainnya yang dipasang di dalam
bangunan; dan
b. telepon yang memiliki sambungan langsung; dan
c. sebuah papan tulis berukuran tidak kurang dari 120 cm x 100 cm; dan
d. sebuah papan tempel (pin-up board) berukuran tidak kurang dari 120 cm x
100 cm; dan
e. sebuah meja berukuran cukup untuk menggelar gambar dan rencana taktis.
f. rencana taktis penanggulangan kebakaran yang ditetapkan dan diberi kode
warna.
2. Sebagai tambahan di ruang pengendali dapat disediakan:
a. panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh
untuk gas atau catu daya listrik dan genset darurat; dan
b. sistem keamanan bangunan, sistem pengamatan, dan sistem manajemen
jika dikehendaki terpisah total dari sistem lainnya .
3. Suatu ruang pengendali harus:
a. mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m2 dan panjang dari sisi
bagian dalam tidak kurang dari 2,5 m; dan
b. jika hanya menampung peralatan minimum, maka luas lantai bersih tidak
kurang dari 8 m2 dan luas ruang bebas di antara depan panel indikator
tidak kurang dari 1,5 m2; dan
c. jika dipasang peralatan tambahan, maka luas bersih daerah tambahan
adalah 2 m2 untuk setiap penambahan alat dan ruang bebas di antara depan
panel indikator tidak kurang dari 1,5 m2; dan
ruang untuk tiap jalur lintasan penyelamat dari ruang pengendali ke ruang
lainnya harus disediakan sebagai tambahan persyaratan butir b dan c diatas.

9.7 Ventilasi dan Pemasok Daya.


Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:
1. ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding luar bangunan yang
membuka langsung ke ruang pengendali dari jalan atau ruang terbuka; atau
2. sistem udara bertekanan pada sisi yang hanya melayani ruang pengendali, dan
a. dipasang sesuai ketentuan yang berlaku sebagai ruangan adalah tangga
kebakaran yang dilindungi; dan
b. beroperasi secara otomatis melalui aktivitas sistem isyarat bahaya
kebakaran (fire alarm) atau sistem sprinkler yang dipasang pada bangunan
dan secara manual di ruang pengendali; dan
c. mengalirkan udara segar ke dalam ruangan tidak kurang dari 30 kali
pertukaran udara per jamnya pada waktu sistem sedang beroperasi dan
salah satu pintu ruangan terbuka; dan
d. mempunyai kipas, motor, dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk
bagian dari sistem, tetapi tidak berada di dalam ruang pengendali dan
diproteksi oleh dinding yang mempunyai TKA tidak lebih kecil dari
120/120/120; dan
e. mempunyai catu daya listrik ke ruang pengendali atau peralatan penting
bagi beroperasinya ruang pengendali dan yang dihubungkan dengan
pasokan daya dari sisi masuk saklar hubung bagi daya dari luar bangunan;
dan tidak ada sarana/peralatan yang terbuka kecuali pintu yang diperlukan,
pengendali pelepas tekanan (pressure control relief) dan jendela yang dapat
dibuka oleh kunci yang menjadi bagian dari konstruksi ruang pengendali.
Gambar 5.10.
Ruang pengendali kebakaran, dilengkapi damper kebakaran pada ducting AC.

Gambar 5.11.
Ruang pengendali kebakaran berdekatan dengan tangga dan lif kebakaran

Gambar 5.12.
Tata letak pengendali kebakaran
9.8 Tanda
Permukaan luar pintu yang menuju ke dalam ruang pengendali harus diberi tanda
dengan tulisan sebagai berikut:

RUANG PENGENDALI KEBAKARAN 50 mm

Gambar 5.13.
Tanda pada permukaan luar pintu kendali

dengan huruf tidak lebih kecil dari 50 mm tingginya dan dengan warna yang
kontras dengan latar belakangnya.

9.9 Pencahayaan.
Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang
pusat pengendali, tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.

9.10 Peralatan yang tidak diperbolehkan ada di ruang Pengendali Kebakaran.


Beberapa peralatan seperti motor bakar, pompa pengendali sprinkler, pemipaan
dan sambungan-sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang pengendali,
tetapi boleh dipasang dalam ruangan-ruangan yang dapat dicapai dari ruang
pengendali tersebut.

9.11 Tingkat Suara lingkungan (ambient).


Tingkat suara di dalam ruang pengendali kebakaran yang diukur pada saat semua
peralatan penanggulangan kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat
berlangsung tidak melebihi 65 dBA bila ditentukan berdasarkan ketentuan tingkat
kebisingan di dalam bangunan.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

BAGIAN 1: UMUM
Pada bab ini dimuat rangkaian sistematis dan menerus dalam upaya pengawasan dan
pengendalian pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama agar bangunan laik
fungsi serta aman bagi penghuni atau pengguna bangunan tersebut. Dengan demikian
jaminan keselamatan terhadap bahaya kebakaran baik pada penghuni bangunan dan
lingkungan yang terjadi sewaktu-waktu dapat terpenuhi baik pada tahap perencanaan,
pelaksanaan atau konstruksi/instalasi serta pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan.

BAGIAN 2: PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP PERENCANAAN


2.1. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dan pengecekan oleh instansi teknis yang
berwenang serta konsultan perencana dalam rangka pemenuhan standar dan
ketentuan yang berlaku, melalui pengawasan dan pengendalian terhadap gambar-
gambar perencanaan.
2.2. Pemerintah daerah memberikan pelayanan konsultasi kepada konsultan perencana
dalam rangka proses pemberian ijin, sesuai ketentuan yang berlaku.
2.3. Aspek yang diperiksa sesuai butir 2.1, khususnya gambar-gambar perencanaan
yang meliputi: rencana tapak, seluruh sistem baik sistem proteksi pasif maupun
sistem proteksi aktif kebakaran serta sarana penyelamatan.
2.4. Hasil pemeriksaan pada tahap ini akan menentukan diperolehnya rekomendasi
dalam rangka memperoleh ijin mendirikan bangunan.

BAGIAN 3: PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP


PELAKSANAAN
3.1. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dan pengecekan oleh instansi teknis yang
berwenang serta konsultan pengawas dalam rangka pengawasan dan pengendalian
agar spesifikasi teknis dan gambar-gambar perencanaan seluruh instalasi sistem
proteksi kebakaran baik pasif maupun aktif serta seluruh sarana penyelamatan
sesuai dengan hasil perencanaannya.
3.2. Pada tahap ini dilakukan pengecekan material, pengecekan beroperasinya seluruh
sistem instalasi kebakaran, tes persetujuan, tes kelaikan fungsi serta melakukan
laporan berkala.
3.3. Pelaporan Sistem Proteksi Kebakaran
1. Laporan sistem proteksi kebakaran memuat informasi mengenai sistem
proteksi yang terdapat atau terpasang pada bangunan termasuk komponen-
komponen sistem proteksi dan kelengkapannya.
2. Laporan sistem proteksi kebakaran ini disusun atau dibuat sebagai pegangan
bagi pemilik atau pengelola bangunan serta menjadi salah satu dokumen yang
harus diserahkan kepada instansi teknis yang berwenang, dalam rangka
memperoleh ijin-ijin yang telah ditetapkan.
3. Substansi atau materi laporan ini mencakup sekurang-kurangnya:
a. Identifikasi bangunan,
b. Konsep perancangan sistem proteksi kebakaran,
c. Aksesibilitas untuk mobil pemadam kebakaran,
d. Sarana jalan ke luar yang ada atau tersedia,
e. Persyaratan struktur terhadap kebakaran yang dipenuhi,
f. Sistem pengendalian asap,
g. Sistem pengindera dan alarm kebakaran,
h. Sistem pemadam kebakaran (media air, kimia, khusus),
i. Pembangkit tenaga listrik darurat,
j. Sistem pencahayaan untuk menunjang proses evakuasi,
k. Sistem komunikasi dan pemberitahuan keadaan darurat,
l. Lif kebakaran,
m. Daerah dengan resiko atau potensi bahaya kebakaran tinggi,
n. Skenario kebakaran yang mungkin terjadi,
o. Eksistensi manajemen penanggulangan terhadap kebakaran.
3.4. Pihak yang berwenang melakukan inspeksi dan memberikan rekomendasi adalah
Instansi Pemadam Kebakaran. Bila Instansi Pemadam Kebakaran belum cukup
mampu melaksanakan tugas tersebut diatas, maka dapat dibantu oleh konsultan
perseorangan yang profesional atau pihak perguruan tinggi yang tergabung dalam
suatu tim dengan ijin Kepala Daerah.

BAGIAN 4: PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP


PEMANFAATAN/ PEMELIHARAAN
4.1. Pengawasan dan pengendalian pada tahap ini dilaksanakan selain oleh penilik
bangunan juga instansi teknis yang berwenang serta konsultan dibidang perawatan
bangunan gedung dan lingkungan, agar bangunan selalu laik fungsi.
4.2. Aspek yang diperiksa selain melakukan pemeriksaan terhadap seluruh instalasi
dan konstruksinya juga seluruh penunjang yang mendukung beroperasinya sistem
tersebut.
4.3. Pemeriksaan dilakukan secara berkala, termasuk tes beroperasinya seluruh
peralatan yang ada.
4.4. Diwajibkan secara berkala melaksanakan “latihan kebakaran”.
4.5. Bagi pengelola/pengguna bangunan diharuskan melaksanakan seluruh ketentuan
teknis manajemen penanggulangan kebakaran perkotaan, khususnya menyangkut
pada bangunan gedung dan lingkungan sesuai yang diatur dalam ketentuan teknis
tersebut.
BAGIAN 5: JAMINAN KEANDALAN SISTEM
5.1. Kinerja sistem proteksi kebakaran sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu
seperti pemilihan standar dan sistem desain, kualitas instalasi serta aspek
pemeliharaan.
5.2. Perancangan dan Pemilihan Sistem Proteksi Kebakaran.
Perancangan dan pemilihan sistem proteksi kebakaran perlu memperhitungkan
potensi bahaya kebakaran pada bangunan yang mencakup beban api, dimensi serta
konfigurasi ruang, termasuk ventilasi, keberadaan benda-benda penyebab
kebakaran dan ledakan, jenis peruntukan bangunan, serta kondisi lingkungan
sekitar termasuk lokasi instansi kebakaran dan sumber-sumber air untuk
pemadaman (water supplies), serta memenuhi ketentuan dan standar yang berlaku.
5.3. Pelaksanaan pekerjaan serta instalasi sistem proteksi kebakaran harus memenuhi
ketentuan dan standar pelaksanaan konstruksi melalui penerapan dan
pengendalian kualitas bahan, komponen, terutama ditinjau dari unsur
kombustibilitas bahan dan nilai TKA, serta pelaksanaan pekerjaan dengan baik
disamping penyediaan sarana proteksi yang aman disaat pekerjaan konstruksi
berlangsung.
5.4. Unsur manajemen pengamanan kebakaran (Fire Safety Management), terutama
yang menyangkut kegiatan pemeriksaan berkala, perawatan dan pemeliharaan,
audit keselamatan kebakaran dan latihan penanggulangan kebakaran harus
dilaksanakan secara periodik sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan sarana
proteksi aktif yang terpasang pada bangunan.
5.5. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah proteksi kebakaran, meliputi latihan dan
pengertian bagi pengelola dan penghuni bangunan terhadap:
1. potensi bahaya kebakaran, dan menghindarkan terjadinya kebakaran.
2. tindakan pemadaman dan pengamanan saat terjadinya kebakaran
3. tindakan penyelamatan baik bagi benda maupun jiwa.

BAGIAN 6: PENGUJIAN API


6.1. Dalam hal menentukan sifat bahan bangunan dan tingkat ketahanan api (TKA)
komponen struktur bangunan dalam rangka desain maupun evaluasi keandalan
sistem proteksi kebakaran pada suatu bangunan, harus terlebih dahulu dilakukan
pengujian api atau mengacu kepada hasil-hasil pengujian api yang telah dilakukan
di laboratorium uji api.
6.2. Pelaksanaan pengujian, pengamatan dan penilaian hasil uji dilakukan sesuai
ketentuan dan standar metode uji yang berlaku.
6.3. Dalam hal pelaksanaan uji tidak dapat dilakukan di Indonesia berhubung dengan
prosedur standar, sumber daya manusia maupun kondisi peralatan uji yang ada,
maka evaluasi dilakukan dengan mengacu kepada hasil pengujian yang telah
dilakukan oleh lembaga uji yang terakreditasi baik di dalam negeri ataupun di luar
negeri.
BAB VII
PENUTUP

1. Ketentuan Teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan oleh pengelola
gedung, penyedia jasa konstruksi, instansi pemadam kebakaran, Pemerintah
Daerah, dan instansi yang terkait dengan kegiatan pengaturan dan pengendalian
penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dalam pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran, guna menjamin keamanan dan keselamatan
bangunan gedung dan lingkungan terhadap bahaya kebakaran.

2. Persyaratan-persyaratan yang lebih spesifik dan atau yang bersifat alternatif serta
penyesuaian Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan oleh masing-masing daerah disesuaikan
dengan kondisi dan kesiapan kelembagaan di daerah.

3. Sebagai pedoman/petunjuk pelengkap dapat digunakan Standar Nasional


Indonesia (SNI) terkait lainnya.

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM


REPUBLIK INDONESIA,

ROZIK B. SOETJIPTO
TIM PENYUSUN KETENTUAN TEKNIS
PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN PADA BANGUNAN
GEDUNG DAN LINGKUNGAN

Pembina
Dr. Ir. Rozik B. Soetjipto Menteri Negara Pekerjaan Umum
Pengarah
Ir. Hari Sidharta, Dipl,HE. Deputi Meneg PU Bidang Prasarana dan Sarana
Kawasan Terbangun
Ir. Sunaryo Sumadji Sekretaris Menteri Negara Pekerjaan Umum
Wibisono Setio Wibowo, MSc Staf Ahli Menteri Negara PU Bidang Hukum
Drs. Gembong Priyono, MSc Sekretaris Jenderal Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah
Pelaksana

Ir. A. Budiono, MCM. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum


Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Ir. Aim Abdurachim Idris, MSc Puslitekim Dep. Kimbangwil
Kelompok Kerja
Ir. Erry Saptaria A, CES Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Bambang Dwidjoworo, MSc Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Eko Widiatmo Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Sentot Harsono Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Suprapto, MSFE Puslitekim Dep. Kimbangwil
Ir. Nugraha Budi R. Puslitekim Dep. Kimbangwil
Ir. Sumihar Simamora, CES Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Eki Keristiawan, SH. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Ir. Dalton Malik Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Ir. Sukartono, IPM Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Handoyo Tanjung,IPM Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Dick Arnan Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Danil Mangindaan Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Eddy Suharyo, MM Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Yoessair Lubis, CES Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Adjar Prayudi, MCM,MSc Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Eko Djuli Sasongko Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. D a n i a l Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Russelina Sidik Umar, SH. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum

Peserta Konsensus
KELOMPOK KERJA
ASOSIASI PROFESI:
Ir. Suwarmo S., Dipl.BD.Sc.,B.Arch. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Purnomo. Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)
Ir. Soekartono, IPM. katan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Handoyo T, IPM. Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Dick Arnan. Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Haryatmo. Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Daniel Mangindaan. Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)
Ir. Sapto P. Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)
Ir. Soedibyono, MSME. Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI)
Ir. Edward Manurung. Asosiasi Manajemen Perhotelan Republik Indonesia
(AMPRI)
Jonus Napitupulu. Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia
(APPBI)
PERGURUAN TINGGI/BADAN:
Ir. Sri Tundono. Universitas Trisakti
Ir. Sani Heryanto. Universitas Tarumanegara
Ir. Agus Purnawarman. Badan Standardisasi Nasional (BSN)
DINAS KEBAKARAN:
Eki Keristiawan, SH. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Ir. Dalton Malik. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Mamat Rachmat. Dinas Pemadam Kebakaran Kota Bandung
Bahundari. Dinas Pemadam Kebakaran Kota Bandung
Wagimin. Dinas Pemadam Kebakaran Kota Bandung
Abdul Jalil. Dinas Pemadam Kebakaran Tangerang
Drs. Gempita. Dinas Pemadam Kebakaran Kab Tangerang
Drs. H. Bachrudin. Dinas Pemadam Kebakaran KodyaTangerang
E. Koesnandar. Dinas Pemadam Kebakaran KodyaTangerang
Drs. Yusuf. S. Diat, MBA. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Supariyo, S. Sos. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Drs. Safrudin B., MM. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
R. Suntoro. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Amir Hamzah. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Acit Sudrajat. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
MT. B. Maryono. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Ir. Didin Gozali. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bogor
Toto Suwarto. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bogor
Erna Ningsih. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bogor
Heni F. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bogor
Hendrian S. Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bogor
Yudhi S. Dinas Pemadam Kebakaran Kodya Cirebon
Drs. H. Utomo Sutopo, SH. Dinas Pemadam Kebakaran Semarang
Drs. Hasan Achmad Suhofi. Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya
Hasan HS. Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya
Lukman Hakim. Dinas Pemadam Kebakaran Bengkulu
Asri J. Dinas Pemadam Kebakaran Bengkulu
Arifuddin Yassar. Dinas Pemadam Kebakaran Jambi
Bahermansyah. Dinas Pemadam Kebakaran Medan
IGK Gede Kamasan, SE. Dinas Pemadam Kebakaran Badung-Denpasar
H. Syukur. Dinas Pemadam Kebakaran Kodya Mataram
KANTOR MENEG.PU/DEP. KIMBANGWIL/KANWIL PU:
Ir. A. Budiono, MCM. Kantor Meneg PU
Ir. Ismono Yahmo, MA. Kantor Meneg PU
Ir. Bambang Dwijoworo, MSc. Kantor Meneg PU
Ir. Eddy Suharyo, MM. Kantor Meneg PU
Ir. Joessair Lubis, CES. Kantor Meneg PU
Ir. Erry Saptaria Achyar, CES. Kantor Meneg PU
Ir. Eko Widiatmo. Kantor Meneg PU
Ir. Sentot Harsono. Kantor Meneg PU
Ruselina Sidik Umar, SH. Kantor Meneg PU
Drs. Effendi, CES. Kantor Meneg PU
E. Saman, SH. Kantor Meneg PU
Ir. Nugraha Budi R. Puslitbangtekim Dep. Kimbangwil
Sukiyoto. Kanwil PU DKI Jakarta
Ir. Jansen. Kanwil PU DKI Jakarta
PERUSAHAAN/BUMN:
Gimono. PT. Angkasa Pura
Sardjono. PT. Angkasa Pura
Robert AT. PT. Angkasa Pura
Sunarya. PT. Semen Cibinong
Sri Hardjono. PT. Semen Cibinong
Hermansyah. PT. Semen Cibinong
Tjitra B. PT. Palmas
Soedarman. Sekber BUMN
G. Lesmana. Sekber BUMN
Aris Saputro. BNI

Disamping itu juga melibatkan peran aktif berbagai nara sumber bidang tata bangunan dan
lingkungan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penyelaras Akhir
Ir. A. Budiono, MCM
Ir. Erry Saptaria A, CES
Drs. Effendi Mansyur, CES
Ir. Eko Widiatmo
Ir. Sentot Harsono
Perry
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM
NOMOR: 11/KPTS/2000

TENTANG

KETENTUAN TEKNIS MANAJEMEN PENANGGULANGAN KEBAKARAN


DI PERKOTAAN

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM,

Menimbang : a. bahwa perkembangan penyelenggaraan bangunan di perkotaan


dewasa ini semakin kompleks baik dari segi intensitas, teknologi,
maupun kebutuhan prasarana dan sarananya;
b. bahwa keselamatan masyarakat yang berada di dalam bangunan dan
lingkungannya harus menjadi pertimbangan utama khususnya terhadap
bahaya kebakaran, agar dapat melakukan kegiatannya, dan
meningkatkan produktivitas serta kualitas hidupnya;
c. bahwa untuk memberikan jaminan tersebut pada butir b perlu
penerapan ketentuan-ketentuan teknis tentang manajemen
penanggulangan kebakaran, baik pada bangunan gedungnya,
lingkungannya, maupun keseluruhan kotanya;
d. bahwa untuk itu dipandang perlu menerbitkan Keputusan Menteri
Negara Pekerjaan Umum yang menetapkan mengenai Ketentuan
Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3469);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3839);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 355/M Tahun 1999
tentang Pembentukan Kabinet Persatuan Nasional;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 441/KPTS/1998 tentang
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
8. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 01/KPTS/1999
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Menteri Negara Pekerjaan
Umum.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM


TENTANG KETENTUAN TEKNIS MANAJEMEN
PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI PERKOTAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Negara ini yang dimaksud dengan:


1. Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan adalah segala upaya yang
menyangkut sistem organisasi, personel, sarana dan prasarana, serta tata laksana
untuk mencegah, mengeliminasi serta meminimasi dampak kebakaran di bangunan,
lingkungan dan kota.
2. Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu
lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah dan/atau
perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya.
3. Lingkungan adalah kelompok beberapa gugus bangunan yang diikat oleh jalan
kolektor, yang merupakan tingkatan ketiga yang menjadi obyek dalam penataan
bangunan.
4. Kota adalah lingkungan binaan bukan pedesaan yang secara fisik merupakan bagian
unit perkotaan wilayah/kawasan terbangun dan berperan dalam pengembangan
perkotaan sesuai rencana tata ruang wilayah serta tata bangunan dan lingkungan.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

Pasal 2
(1) Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan dimaksudkan untuk
mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman terhadap bahaya
kebakaran melalui penerapan manajemen penanggulangan bahaya kebakaran yang
efektif dan efisien.
(2) Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk terwujudnya kesiapan, kesigapan dan
keberdayaan masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait dalam mencegah
dan menanggulangi bahaya kebakaran.

BAB II
PENGATURAN MANAJEMEN PENANGGULANGAN
KEBAKARAN DI PERKOTAAN

Bagian Pertama
Persyaratan Teknis

Pasal 3
(1) Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan meliputi ketentuan manajemen
mengenai:
a. Penanggulangan kebakaran di kota,
b. Penanggulangan kebakaran di lingkungan,
c. Penanggulangan kebakaran di bangunan gedung termasuk ketentuan mengenai
satuan relawan kebakaran (SATLAKAR), serta pembinaan dan
pengendaliannya.
(2) Ketentuan teknis mengenai manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini yang dirinci lebih lanjut pada
Lampiran Keputusan Menteri Negara ini, merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari Keputusan Menteri Negara ini.
(3) Setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan
pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung wajib memenuhi ketentuan
teknis manajemen penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) Pasal ini.

Pasal 4
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengaturan Pelaksanaan di Daerah

Pasal 5
(1) Untuk pedoman pelaksanaan penyelenggaraan manajemen penanggulangan
kebakaran di Daerah perlu dibuat Peraturan Daerah yang didasarkan pada ketentuan-
ketentuan dalam Keputusan Menteri Negara ini.
(2) Dalam hal Daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pasal ini, maka terhadap penyelenggaraan manajemen penanggulangan
kebakaran di Daerah diberlakukan ketentuan-ketentuan manajemen penanggulangan
kebakaran di perkotaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3.
(3) Daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah tentang manajemen
penanggulangan kebakaran sebelum Keputusan ini diterbitkan harus
menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan manajemen penanggulangan
kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 3.

Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan pembinaan penanggulangan kebakaran kota, lingkungan dan
bangunan gedung, Pemerintah Daerah melakukan peningkatan kemampuan aparat
Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis manajemen
penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 untuk terwujudnya
tertib pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
(2) Dalam melaksanakan pengendalian penanggulangan kebakaran, Pemerintah Daerah
wajib menggunakan ketentuan teknis manajemen penanggulangan kebakaran
sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 sebagai landasan dalam mengeluarkan
perizinan dan atau pemeriksaan yang diperlukan.
(3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah yang bertugas dalam pengendalian
penanggulangan kebakaran yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3
dikenakan sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan manajemen penanggulangan kebakaran yang melanggar
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Menteri Negara ini
dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (1).
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dikenakan sesuai
dengan tingkat pelanggaran, dapat berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Pembatasan kegiatan
c. Penghentian sementara kegiatan pemanfaatan sampai dilakukannya pemenuhan
ketentuan manajemen tersebut
d. Pencabutan ijin yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan pemanfaatan
bangunan gedung dan atau lingkungannya.
(3) Selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), di dalam Peraturan
Daerah dapat diatur mengenai pengenaan denda atas terjadinya pelanggaran
terhadap ketentuan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan tersebut.
BAB III
PEMBINAAN TEKNIS

Pasal 8
(1) Pembinaan pelaksanaan ketentuan teknis ini dilakukan oleh Pemerintah dalam
rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam manajemen penanggulangan kebakaran kota, lingkungan, dan
bangunan gedung.
(2) Pembinaan dilakukan melalui pemberian bimbingan, penyuluhan, pelatihan dan
pengaturan.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 9
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka semua ketentuan manajemen penanggulangan
kebakaran yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini masih
tetap berlaku, sampai digantikan dengan yang baru.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10
(1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Keputusan ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan

DITETAPKAN DI : J A K A R T A

PADA TANGGAL : 1 MARET 2000

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM

ROZIK B. SOETJIPTO
Lampiran
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM
NOMOR : 11/KPTS/2000
TANGGAL : 1 MARET 2000

BAB I
KETENTUAN UMUM

1.1 Pengertian
1. Manajemen penanggulangan kebakaran (MPK) perkotaan adalah bagian dari
“Manajemen Perkotaan” untuk mengupayakan kesiapan: Instansi Pemadam
Kebakaran, pengelola, penghuni dan masyarakat terhadap kegiatan pemadaman
kebakaran yang terjadi pada “bangunan dan/atau lingkungan di dalam kota”.
2. Manajemen penanggulangan kebakaran (MPK) lingkungan adalah bagian dari
“Manajemen Estat” untuk mengupayakan kesiapan: pengelola, penghuni dan
Regu Pemadam Kebakaran terhadap kegiatan pemadaman yang terjadi pada
suatu lingkungan.
3. Manajemen penanggulangan kebakaran (MPK) bangunan gedung adalah bagian
dari “Manajemen Bangunan” untuk mengupayakan kesiapan pengelola,
penghuni dan Regu Pemadam Kebakaran terhadap kegiatan pemadaman yang
terjadi pada suatu bangunan gedung.
4. Bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang diletakkan secara tetap
dalam suatu lingkungan, di atas tanah/perairan, melayang, ataupun di bawah
tanah/perairan, tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk tempat
tinggal, berusaha, maupun kegiatan sosial dan budaya. Sedangkan mengenai
klasifikasi bangunan gedung adalah sesuai dengan Keputusan Menteri PU No.
441/ KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknik Bangunan Gedung.

1.2 Maksud Dan Tujuan


1. Maksud
Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan ini
dimaksudkan sebagai acuan persyaratan teknis yang diperlukan dalam
mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan manajemen penanggulangan
kebakaran di perkotaan, termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan
dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan, serta pemeriksaan kelaikan
dan keandalan fungsi sarana dan prasarana kebakaran kota.
2. Tujuan
Ketentuan teknis ini bertujuan untuk dapat terselenggaranya manajemen
penanggulangan kebakaran di perkotaan secara tertib, aman dan selamat.

1.3 Ruang Lingkup


Ruang lingkup dari pedoman teknis ini meliputi:
1. Manajemen Penanggulangan Kebakaran Kota
a. Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK),
b. Sarana dan Prasarana Kebakaran Kota,
c. Organisasi Penanggulangan Kebakaran Kota,
d. Tata laksana operasional,
e. Pengendalian Teknis,
f. Sumber daya manusia dan pendidikan latihan,
g. Peran serta masyarakat,
h. Pembinaan teknis.
2. Manajemen Penanggulangan Kebakaran Lingkungan
a. Wilayah Manajemen Kebakaran Lingkungan,
b. Prasarana dan Sarana Penanggulangan Kebakaran Lingkungan,
c. Organisasi Penanggulangan Kebakaran Lingkungan,
d. Tata Laksana Operasional Lingkungan,
e. Sumber Daya Manusia,
f. Pembinaan dan Pelatihan.
3. Manajemen Penanggulangan Kebakaran pada Bangunan Gedung
a. Proteksi Bahaya Kebakaran dalam bangunan Gedung,
b. Prasarana dan Sarana Penanggulangan Kebakaran dalam bangunan gedung,
c. Organisasi Penanggulangan Kebakaran Bangunan Gedung,
d. Tata Laksana Operasional,
e. Sumber Daya Manusia.
BAB II
MANAJEMEN PENANGGULANGAN KEBAKARAN KOTA

BAGIAN 1: WILAYAH MANAJEMEN KEBAKARAN (WMK)

1.1 Umum
1. Perencanaan sistem proteksi kebakaran di perkotaan didasarkan kepada
penentuan Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK).
2. Perencanaan harus dimulai dengan evaluasi terhadap tingkat resiko kebakaran
dalam suatu WMK oleh instansi kebakaran setempat.
3. Unsur utama yang penting dalam perencanaan ini adalah penentuan penyediaan
air untuk pemadaman kebakaran di setiap WMK.

1.2 Analisis Resiko Kebakaran


1. Tujuan Penerapan Analisis Resiko Kebakaran adalah untuk menentukan jumlah
kebutuhan air yang diperlukan bagi keperluan pemadaman kebakaran di setiap
WMK.
2. Jumlah kebutuhan air minimum tersebut dinyatakan dengan rumus:
V x AKK x FB …….. (2-
Pasokan Air Total =
ARK 1)
dimana:
V = Volume total bangunan dalam (m3)
ARK = Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran
AKK = Angka Klasifikasi Konstruksi Resiko Kebakaran
FB = Faktor Bahaya dari bangunan yang berdekatan
Contoh perhitungan dapat dilihat dalam lampiran
3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran
a. Daftar Bangunan pada tabel yang terdapat dalam lampiran, menunjukkan
antara lain peruntukan bangunan sesuai dengan angka klasifikasi resiko
bahaya kebakaran dari angka 3 sampai dengan angka 7.
b. Bila terdapat lebih dari satu jenis peruntukan dalam sebuah bangunan, maka
angka klasifikasi resiko bahaya kebakaran paling banyak yang digunakan
untuk mewakili seluruh bangunan, pada bangunan tersebut ditentukan oleh
tingkat resiko bahaya kebakaran tertinggi.
c. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 3
1) Angka klasifikasi ini harus mempertimbangkan resiko bahaya
kebakaran yang paling rawan, dimana jumlah dari isi bahan mudah
terbakarnya sangat tinggi. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat
diperkirakan berkembang sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan
panas yang tinggi.
2) Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka
klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, harus dianggap sebagai bagian
dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang.
Angka klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, antara lain ditunjukkan
pada Tabel (2 - 1).
d. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4
1) Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai Resiko Bahaya
Kebakaran Tinggi, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah
terbakarnya tinggi.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang
cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi.
2) Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka
Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4, harus dianggap sebagai bagian
dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang.
Angka klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4, antara lain ditunjukkan
pada Tabel (2 – 2).
e. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5
1) Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai hunian bahaya
sedang, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya
sedang dan tinggi tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi
dari 3,7 m.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang
sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang.
2) Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5, antara lain ditunjukkan
pada Tabel (2 – 3).
f. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6
1) Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko bahaya
rendah, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya
sedang dan tinggi tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak lebih dari
2,5 m.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang
sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas sedang.
2) Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6, antara lain seperti pada
Tabel (2 – 4).
g. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7
1) Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko
bahaya rendah, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah
terbakarnya rendah.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang
rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas relatif rendah.
2) Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7, antara lain seperti pada
Tabel (2 – 5).
4. Klasifikasi Konstruksi
a. Umum
1) Instansi kebakaran dapat membuat kajian dan klasifikasi konstruksi
bangunan di wilayah kerjanya.
2) Konstruksi bangunan diklasifikasikan dalam angka. Angka maksimum
klasifikasi konstruksi bangunan rumah tinggal adalah 1.
3) Tidak diperkenankan memberikan angka klasifikasi konstruksi terhadap
suatu bangunan yang tidak diteliti / dikaji.
4) Dalam hal terdapat beberapa macam tipe konstruksi dalam satu
bangunan yang diteliti maka angka klasifikasi ditentukan dari angka
klasifikasi konstruksi tertinggi.
5) Jika terdapat bangunan lain dengan luas lebih besar dari 10 m2 dalam
jarak tidak lebih dari 15 M, maka bangunan lain tersebut dipandang
sebagai bangunan berdekatan yang mempunyai resiko ancaman
kebakaran (exposure hazard) sehingga kebutuhan air untuk kebakaran
pada bangunan induk ditentukan dengan perkalian 1,5.
b. Tipe klasifikasi konstruksi
1) Resiko kebakaran konstruksi tipe I (konstruksi tahan api)
Bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan lain-lain
dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yang dibuat
sedemikian, sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api
mempunyai angka klasifikasi 0,5.
2) Resiko kebakaran konstruksi tipe II dan IV (tidak mudah terbakar,
konstruksi kayu berat)
Bangunan yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai
dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar yang tidak
termasuk sebagai bahan tahan api, termasuk bangunan konstruksi kayu
dengan dinding bata, tiang kayu 20,3 cm, lantai kayu 76 mm, atap kayu
51 mm, balok kayu 15,2 x 25,4 cm, ditetapkan mempunyai angka
klasifikasi konstruksi 0,8.
3) Resiko kebakaran konstruksi tipe III (biasa)
Bangunan dengan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar
lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya terdiri dari kayu atau bahan
yang mudah terbakar ditentukan mempunyai angka klasifikasi
konstruksi 1,0.
4) Resiko kebakaran konstruksi tipe IV (kerangka kayu)
Bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang strukturnya sebagian
atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak
tergolong dalam konstruksi biasa (tipe III) ditentukan mempunyai angka
klasifikasi konstruksi 1,0.

1.3 Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK)


1. WMK dibentuk oleh pengelompokan hunian yang memiliki kesamaan
kebutuhan proteksi kebakaran dalam batas wilayah yang ditentukan secara
alamiah maupun buatan.
2. Sistem pemberitahuan kebakaran kota selanjutnya dapat dirancang untuk
menjamin respon yang tepat terhadap berbagai masalah yang mungkin terjadi
dalam setiap WMK.
3. Wilayah manajemen kebakaran ditentukan pula oleh “waktu tanggap” dari pos
pemadam kebakaran yang terdekat. Apabila pemberitahuan kebakaran
mengalami perubahan dan pos-pos pemadam kebakaran harus memberikan
respon terhadap pemberitahuan tersebut dikaitkan dengan jarak atau
aksesibilitas, maka perencanaan wilayah manajemen kebakaranpun harus
disesuaikan dengan perubahan tersebut.
4. Daerah layanan dalam setiap WMK tidak melebihi dari radius 7,5 km.
5. Di luar daerah tersebut dikategorikan sebagai daerah yang tidak terlindungi
(unprotected area).
6. Daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan oleh mobil
kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km
dari sektor.
7. Berdasarkan unsur-unsur di atas, selanjutnya dibuat peta jangkauan layanan
penanggulangan kebakaran secara rinci yang menunjukkan lokasi dari setiap
pos pemadam di dalam wilayah tersebut.
8. Perlu diperhatikan bahwa peta jangkauan layanan proteksi kebakaran tersebut
secara geografis bisa kurang tepat, mengingat adanya jalan yang melingkar,
sungai, bukit-bukit dan batas-batas fisik lainnya.

1.4 Perencanaan Pos Pemadam Kebakaran


1. Perencanaan lokasi Pos Pemadam Kebakaran dalam Wilayah Manajemen
Kebakaran (WMK) ditentukan berdasarkan standar waktu tanggap (Response-
time) terhadap pemberitahuan kebakaran di wilayah tersebut.
2. Waktu tanggap terhadap pemberitahuan kebakaran (selanjutnya disebut waktu
tanggap) adalah total waktu dari saat menerima berita/pengiriman pasukan dan
sarana pemadam kebakaran ke lokasi kebakaran sampai dengan kondisi siap
untuk melaksanakan pemadaman kebakaran.
Waktu tanggap terdiri atas waktu pengiriman pasukan dan sarana pemadam
kebakaran (dispatch time), waktu perjalanan menuju lokasi kebakaran, dan
waktu menggelar sarana pemadam kebakaran sampai siap untuk melaksanakan
pemadaman.
3. Faktor-faktor yang menentukan waktu tanggap adalah:
a. Tipe layanan yang dilakukan oleh instansi penanggulangan kebakaran,
b. Ukuran atau luasan wilayah yang dilayani termasuk potensi bahaya di
lokasi WMK dan kapasitas kemampuan yang ada,
c. Kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap waktu tanggap termasuk
perjalanan yang diperlukan petugas dan sarana pemadam menuju lokasi
kebakaran.
4. Waktu tanggap terhadap pemberitahuan kebakaran untuk kondisi di Indonesia
tidak lebih dari 15 (lima belas) menit yang terdiri atas:
a. Waktu dimulai sejak diterimanya pemberitahuan adanya kebakaran di suatu
tempat, interpretasi penentuan lokasi kebakaran dan penyiapan pasukan
serta sarana pemadaman selama 5 menit,
b. Waktu perjalanan dari pos pemadam menuju lokasi selama 5 menit,
c. Waktu gelar peralatan di lokasi sampai dengan siap operasi penyemprotan
selama 5 menit.
1.5 Rencana Induk Sistem Penanggulangan Kebakaran Kota (City Fire Protection
Master Plan)
1. Untuk menunjang terciptanya unsur keamanan terhadap bahaya kebakaran pada
suatu kota maka setiap kota perlu menyusun Rencana Induk Sistem
Penanggulangan Kebakaran Kota, (RISPK).
2. Perencanaan yang komprehensif untuk RISPK didasarkan atas penentuan
persyaratan kebutuhan air untuk melindungi wilayah atau daerah yang perlu
dilindungi melalui penerapan wilayah-wilayah Manajemen Kebakaran (WMK).
3. Kebutuhan air untuk setiap WMK ditentukan dengan analisa resiko kebakaran
dengan memperhitungkan potensi bahaya kebakaran yang terdapat dalam
WMK, yang dinyatakan dalam volume bangunan yang terkena kebakaran, kelas
bahaya hunian, kelas konstruksi bangunan dan faktor bahaya kebakaran.
4. Dari kebutuhan air total yang dibutuhkan pada setiap WMK, serta dengan
memperhitungkan laju pengeluaran air (delivery rate) dan laju penerapan air
efektif (application rate) untuk pemadaman kebakaran, maka dapat ditentukan
kebutuhan pos atau stasiun kebakaran yang memadai, termasuk sarana hidran,
mobil tangki dan titik-titik pengisapan air yang diperlukan untuk menjamin
efektifitas pemadaman kebakaran. Dari volume kebutuhan ini, maka dapat
direncanakan jumlah dan kualifikasi personil, sarana, peralatan dan
kelengkapan penunjang lainnya.
5. Selain untuk panduan perencanaan dan evaluasi kondisi yang ada, RISPK dapat
pula digunakan sebagai perencanaan jangka panjang serta sebagai masukan
bagi pertimbangan untuk penyelenggaraan pelatihan.
6. Bagan alir proses perencanaan sistem Proteksi Kebakaran Kota ditunjukkan
dalam lampiran pada Gambar 2.1.
7. Untuk lingkungan atau gugus bangunan yang berada dalam kelompok beberapa
kepemilikan tertentu harus dianggap sebagai satu WMK tersendiri dan berlaku
ketentuan-ketentuan bagi WMK.

BAGIAN 2: PRASARANA DAN SARANA PENANGGULANGAN


KEBAKARAN KOTA

2.1 Prasarana Penanggulangan Kebakaran


1. Pasokan air untuk pemadaman kebakaran
a. Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber
alam seperti; kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran
irigasi; maupun buatan seperti; tangki air, tangki gravitasi, kolam renang,
air mancur, reservoir, mobil tangki air dan hidran.
b. Dalam hal pasokan tersebut berasal dari sumber alami maka harus
dilengkapi dengan sistem penghisap air. Permukaan air pada sumber alami
harus dijamin pada kondisi kemarau masih mampu dimanfaatkan.
c. Kelengkapan pada butir b. tersebut harus diberi tanda dan mudah terlihat
serta dapat digunakan pada kondisi apapun.
d. Setiap pemasangan dan pemeliharaan hidran menjadi tanggung jawab
instansi pengelola air bersih kota dan dibawah pengawasan petugas
pengawas pasokan air (water supply officer) dari instansi pemadam
kebakaran setempat.
e. Penggunaan air hidran untuk pemadam kebakaran tidak dikenakan biaya.
f. Perletakan lokasi hidran termasuk pemasangan dan pemeliharaannya sesuai
dengan ketentuan dan standar yang berlaku.
g. Tanda petunjuk letak tiap sistem penyediaan air harus mudah terlihat dan
terjangkau untuk penggunaan dalam keadaan darurat.
h. Petugas pengawas pasokan air harus menjamin bahwa tanda-tanda petunjuk
yang cepat telah terpasang pada setiap titik penyediaan air termasuk
identifikasi nama serta nomor pasokan air. Angka dan nomor tersebut harus
berukuran tinggi sedikitnya 75 mm dan lebar 12,5 mm, bersinar atau
reflektif.
2. Bahan pemadam bukan air
a. Bahan pemadam bukan air dapat berupa “foam” atau bahan kimia lain.
b. Penggunaan bahan pemadam bukan air harus disesuaikan dengan kebutuhan
berdasarkan potensi bahaya kebakaran dan harus memenuhi ketentuan dan
standar yang berlaku termasuk aman terhadap lingkungan.
3. Aksesibilitas
a. Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran harus dapat dijangkau
oleh peralatan pemadam kebakaran setempat, harus menetapkan batas
pembebanan maksimum yang aman dari jalan, belokan, jalan penghubung,
jembatan serta menetapkan jalur masuk ke lokasi sumber air pada berbagai
kondisi alam.
b. Setiap jalur masuk harus dikonstruksi sesuai dengan ketentuan dan standar
yang berlaku.
4. Bangunan Pemadam Kebakaran
a. Bangunan Pos Pemadam Kebakaran
Pos pemadam kebakaran minimal membutuhkan lahan 200 m2, meliputi
kebutuhan ruang untuk:
1) Ruang siaga untuk 2 regu (1 regu = 6 orang),
2) Ruang administrasi,
3) Ruang tunggu,
4) Ruang ganti pakaian dan kotak penitipan (locker),
5) Gudang peralatan, yang mampu menampung:
Garasi untuk 2 mobil pompa 4.000 liter,
6) Tandon air 12.000 liter,
7) Halaman untuk latihan rutin.
b. Bangunan sektor pemadam kebakaran
Sektor pemadam kebakaran minimal membutuhkan lahan 400 m2, meliputi
kebutuhan ruang untuk:
1) Ruang siaga untuk 4 regu,
2) Ruang administrasi,
3) Ruang tunggu,
4) Ruang rapat,
5) Ruang ganti pakaian dan kotak penitipan (locker),
6) Gudang peralatan dan bahan pemadam kebakaran yang mampu
menampung:
Garasi untuk 2 mobil pompa 4.000 liter, 1 mobil tangga 17 meter, 2
mobil tangga > 30 meter, 2 mobil rescue/ambulans, 1 mobil pemadam
khusus, 1 mobil alat bantu pernafasan, 2 perahu karet,
7) Tandon air 24.000 liter,
8) Halaman tempat latihan rutin.
c. Bangunan Wilayah Pemadam Kebakaran
Wilayah pemadam kebakaran minimal membutuhkan lahan 1.600 m2,
meliputi kebutuhan ruang untuk:
1) Ruang siaga untuk 4 regu,
2) Ruang administrasi,
3) Ruang tunggu,
4) Ruang rapat,
5) Ruang komando,
6) Ruang ganti pakaian dan kotak penitipan (locker),
7) Gudang peralatan dan bahan pemadam yang mampu menampung:
Garasi untuk 2 mobil pompa 4.000 liter, 1 mobil tangga 17 m, 3 mobil
tangga > 30 m, 2 mobil rescue/ambulans, 2 mobil pemadam khusus, 2
mobil alat bantu pernafasan, 2 perahu karet,
8) Tandon air 24.000 liter,
9) Halaman tempat latihan rutin.

d. Bangunan perbengkelan
1) Mobil pemadam kebakaran sebagai alat yang vital untuk memadamkan
kebakaran, perlu dijaga agar selalu dalam kondisi siap untuk digunakan.
2) Untuk mendapatkan kondisi dalam butir 1, maka harus diadakan
pemeliharaan yang meliputi perawatan dan perbaikan.
3) Bangunan bengkel diperlakukan bila jumlah mobil telah mencapai 20
unit mobil pemadam kebakaran.
4) Kemampuan bengkel disesuaikan dengan kebutuhan.
e. Bangunan Asrama
1) Petugas pemadam kebakaran bekerja dengan pola: tugas, lepas/libur dan
cadangan.
2) Bila diperlukan petugas pemadam kebakaran harus siap untuk bekerja,
walaupun dalam keadaan lepas atau libur.
3) Untuk mobilitas secara cepat, diperlukan asrama untuk petugas di
sekitar kompleks pemadam kebakaran.
4) Kemampuan asrama disesuaikan dengan kebutuhan.
f. Bangunan Pendidikan dan Latihan
1) Untuk mendapatkan tenaga yang terampil di lapangan secara
operasional diharuskan mengikuti pendidikan dan latihan
berkesinambungan.
2) Prasarana Diklat yang berupa bangunan, baik untuk tingkat propinsi,
atau beberapa propinsi maupun tingkat Nasional akan diatur dengan
ketentuan lebih lanjut.
5. Komunikasi
a. Pusat alarm kebakaran
Untuk bangunan vital dan yang beresiko tinggi terhadap ancaman
kebakaran sebaiknya memiliki Pusat Alarm Kebakaran yang terhubung
secara langsung ke Kantor Wilayah Pemadam Kebakaran.
b. Telepon darurat kebakaran
Setiap kota perlu menyediakan nomor telepon khusus untuk pelayanan
pemadam kebakaran dan bencana.

2.2 Sarana Penanggulangan Kebakaran


1. Sarana penanggulangan kebakaran terdiri atas kendaraan operasional lapangan,
peralatan teknik operasional dan kelengkapan perorangan.
2. Kendaraan operasional lapangan antara lain:
a. Mobil pompa pengangkut air dan foam berikut kelengkapannya, seperti
selang, kopling dan nozzle,
b. Mobil tangki berikut kelengkapannya,
c. Mobil tangga,
d. Snorkel,
e. Mobil BA,
f. Mobil komando,
g. Mobil rescue,
h. Mobil ambulans,
i. Perahu karet,
j. Mobil pendobrak (Bridge squad),
k. Mobil angkut pasukan pemadam kebakaran,
l. Dan lain-lain.
3. Peralatan teknik operasional antara lain:
a. Peralatan pendobrak antara lain: kapak, gergaji, dongkrak, linggis, spreader;
b. Peralatan pemadam, antara lain: pompa jinjing (portable pump) dan
kelengkapannya;
c. Peralatan ventilasi, antara lain: blower jinjing (portable blower) dan
kelengkapannya;
d. Peralatan penyelamat (rescue), antara lain: sliding roll, davy escape, fire
blanket, alat pernafasan buatan, usungan.
4. Kelengkapan perorangan, antara lain:
a. Pakaian dan sepatu tahan panas,
b. Topi (helm tahan api),
c. Alat pernafasan buatan jinjing (self contained breathing apparatus),
d. Peralatan Komunikasi perorangan (HT).
5. Peralatan-peralatan dan kelengkapan tersebut diatas, harus sesuai dengan
ketentuan dan standar yang berlaku.

BAGIAN 3: ORGANISASI PENANGGULANGAN KEBAKARAN

3.1 Umum
Setiap kota dapat mempunyai lebih dari satu Wilayah Manajemen Kebakaran
(WMK).

3.2 Tugas Pokok Penanggulangan Pemadaman Kebakaran


Tugas pokok penanggulangan pemadaman kebakaran terdiri dari:
1. Pencegahan Kebakaran
Fungsi manajemen dalam pencegahan kebakaran adalah pada pemberian
pelayanan untuk mengantisipasi ancaman bahaya kebakaran dalam bentuk:
a. Pencegahan dalam arti penyiagaan keandalan bangunan dan lingkungan
terhadap bahaya kebakaran dalam bentuk kegiatan:
1) Pemeriksaan desain bangunan dan lingkungan khususnya peralatan
proteksi kebakaran (antara lain: alat pemadam api ringan, alarm
kebakaran, hidran gedung, sprinkler), sumber air pemadam, jalur
evakuasi, dan akses untuk pemadam kebakaran, termasuk untuk
ambulan,
2) Pemeriksaan berkala dalam rangka menjamin kesiagaan manajemen
terhadap penanggulangan bahaya kebakaran bangunan dan lingkungan
(tingkat keandalan peralatan dan kesiagaan tenaga),
3) Pengawasan dan pengendalian bahan yang mudah terbakar,
4) Hasil penilaian atas butir 1), 2), dan 3) di atas bila memenuhi
persyaratan diberikan dalam bentuk rekomendasi atau perizinan.
b. Pencegahan dalam arti penyiagaan unit kerja penanggulangan kebakaran
diantaranya meliputi:
1) Pendataan daerah rawan kebakaran,
2) Penyusunan “Prefire Plan”, rencana mengkaji dan mengembangkan
strategi dan taktik yang tepat untuk setiap bangunan atau lingkungan
yang mempunyai potensi kebakaran tinggi dan vital,
3) Penyiapan dan penyiagaan tenaga pemadam dan penyelamat, peralatan
teknis operasional, bahan pemadam, serta informasi lapangan,
4) Pembinaan SATLAKAR,
5) Pembinaan kepada pengelola bangunan dan lingkungan, dalam bentuk
penyuluhan dan pelatihan.
2. Pemadaman Kebakaran
Fungsi manajemen dalam pemadaman kebakaran adalah pemberian pelayanan
secara cepat, akurat dan efisien mulai dari informasi kebakaran diterima sampai
api padam, kegiatannya berupa:
a. Penerapan prefire plan yang telah disusun dan disimulasikan terhadap
kejadian yang sebenarnya sesuai dengan strategi dan taktik yang harus
digunakan.
b. Menjalankan seluruh fungsi-fungsi pendukung yang diperlukan seperti:
1) Memudahkan jalur pencapaian lokasi kebakaran melalui koordinasi
dengan Polisi Lalu Lintas dan DLLAJR,
2) Mengamankan lokasi kebakaran (oleh polisi atau hansip),
3) Memperbesar debit suplai air, melalui koordinasi dengan PDAM,
4) Mematikan listrik di sekitar lokasi, melalui koordinasi dengan PLN,
5) Menginformasikan Rumah Sakit (118), agar menyiapkan Ambulan
untuk mengangkut korban dari lokasi kebakaran ke Rumah Sakit,
6) Mengatur/mengamankan jalur komunikasi radio (ORARI),
7) Meminta bantuan unit pemadam lainnya bila diperlukan.
c. Fungsi pemadaman pada Daerah yang tidak tercakup oleh layanan instansi
pemadam kebakaran dapat dilaksanakan oleh Masyarakat/ Satuan Relawan
Kebakaran (Satlakar) yang telah dibentuk.
d. Pelaksanaan tugas bantuan pemadaman kebakaran sesuai dengan
permintaan dari Daerah yang bersebelahan, perlu didukung dengan adanya
naskah kesepakatan bersama di antara dua atau lebih wilayah
Kabupaten/Kota dalam bentuk (Memorandum Of Understanding/MOU).
3. Perlindungan jiwa, harta benda dari kebakaran dan bencana lain
Fungsi manajemen dalam penyelamatan (rescue) adalah pemberian pelayanan
untuk memperkecil korban dan kerugian harta benda akibat kebakaran dan
bencana lainnya, dalam bentuk:
a. Pelayanan evakuasi dan pertolongan pertama dari tempat kejadian,
b. Bekerjasama dengan instansi terkait untuk melakukan pertolongan.
Fungsi penyelamatan (rescue) pada Daerah yang tidak ada instansi pemadam
kebakaran dapat dilaksanakan oleh Masyarakat/Satuan Relawan Kebakaran
(Satlakar) yang telah dibentuk.
Setiap pelaksanaan kegiatan tersebut di atas tertuju pada sasaran yaitu
mempersiapkan penduduk, petugas termasuk tim medis serta instansi terkait,
dan peralatannya untuk mencapai basis penyelamatan kebakaran yaitu:
memindahkan orang dari lokasi bencana ke tempat yang aman, mencegah
timbulnya kebakaran, mengurangi kerugian harta benda dan jiwa pada saat
kebakaran dan bencana lain, melokalisasi penjalaran api dan memadamkan
kebakaran.
4. Pembinaan Masyarakat.
Melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat dalam mengatasi ancaman
bahaya kebakaran.

3.3 Hirarki Layanan Kebakaran


Hirarki organisasi Pemadam Kebakaran Kota/Kabupaten, dimulai dari tingkat
paling bawah, terdiri dari:
1. Pos Pemadam Kebakaran
a. 1(satu) Pos kebakaran melayani maksimum 3 (tiga) Kelurahan atau sesuai
dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran.
b. Pada pos kebakaran maksimal ditempatkan 2 (dua) regu jaga.
c. Pos kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Pos (pemadam I) yang
merangkap sebagai kepala regu (juru padam utama).
d. Setiap regu jaga maksimal terdiri dari 6 orang:
1 (satu) orang kepala regu (juru padam utama)
1 (satu) orang operator mobil kebakaran (juru padam muda)
4 (empat) orang anggota dengan keahlian:
- 2 (dua) orang anggota tenaga pemadam (juru padam muda dan madya)
- 2 (dua) orang anggota tenaga penyelamat (juru padam muda)
2. Sektor Pemadam Kebakaran
a. Sektor pemadam kebakaran membawahi maksimal 6 pos kebakaran.
b. Setiap sektor pemadam kebakaran dipimpin oleh seorang kepala sektor
pemadam kebakaran (Pemadam II).
c. Setiap sektor pemadam kebakaran harus mampu melayani fungsi
penyelamatan jiwa, perlindungan harta benda, pemadaman, operasi
ventilasi, melindungi bangunan yang berdekatan.
d. Tenaga teknis fungsional pencegahan terdiri dari instruktur muda, penilik
muda dan madya, penyuluh muda, peneliti kebakaran muda.
e. Tenaga teknis fungsional pemadaman terdiri dari:
1) Operator mobil (operator mobil muda dan madya),
2) Operator komunikasi (operator komunikasi muda dan madya),
3) Juru padam (juru padam muda),
4) Juru penyelamat (juru penyelamat muda dan madya),
5) Montir (montir muda).
3. Wilayah Pemadam Kebakaran
a. Wilayah pemadam kebakaran, membawahi seluruh sektor pemadam
kebakaran.
b. Setiap wilayah pemadam kebakaran dipimpin oleh seorang kepala wilayah
pemadam kebakaran (pemadam III).
c. Setiap wilayah pemadam kebakaran harus mampu melayani fungsi
penyelamatan jiwa, perlindungan harta benda, pemadaman, operasi
ventilasi, logistik, komando, sistem informasi, melindungi bangunan yang
berdekatan.
d. Tenaga teknis fungsional pencegahan terdiri dari inspektur muda, madya
dan utama, penyuluh madya dan utama, peneliti kebakaran madya dan
utama.
e. Tenaga teknis fungsional pemadaman terdiri dari:
1) Operator mobil (operator mobil muda dan madya),
2) Operator komunikasi (operator komunikasi madya),
3) Juru padam (juru padam muda, madya, dan utama),
4) Juru penyelamat (juru penyelamat, muda, madya, dan utama),
5) Montir (montir muda dan madya).
4. Wilayah pemadam kebakaran propinsi
a. Khusus untuk wilayah propinsi, tenaga teknis fungsional sebagaimana
tercakup pada butir 3.d) di atas harus dipenuhi.
b. Jabatan fungsional untuk pemadaman kebakaran dari jenis maupun
tingkatannya dengan kualifikasi minimal sebagai berikut:
1) Kepala wilayah propinsi (pemadam IV),
2) Operator mobil (operator mobil madya dan utama),
3) Operator komunikasi (operator komunikasi madya dan utama),
4) Juru padam (juru padam madya dan utama),
5) Juru penyelamat (juru penyelamat madya dan utama),
6) Montir (montir utama).

BAGIAN 4: TATA LAKSANA OPERASIONAL

4.1 Umum
1. Tata Laksana Operasional yang dimaksud di sini mencakup kegiatan
pencegahan, pemadaman, pelaporan dan sistem informasi yang harus
dilaksanakan dalam rangka peningkatan efektifitas penanggulangan kebakaran
di perkotaan.
2. Pelaksanaan operasional penanggulangan kebakaran di perkotaan perlu
memperhatikan kondisi dengan instansi terkait.
3. Sehubungan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan kebakaran yang
dihadapi oleh kawasan perkotaan, maka perlu disusun prosedur operasi standar
dengan melibatkan instansi terkait dan kelompok masyarakat melalui pelatihan
terpadu, penyuluhan dan pembinaan.
4. Dalam rangka perencanaan jangka panjang yang menyangkut penanggulangan
kebakaran di perkotaan secara nasional, perlu dilakukan pencatatan (recording)
dan pendataan terhadap semua kejadian kebakaran selama ini, khususnya di
perkotaan.
4.2 Pencegahan
1. Kesiapan bangunan dan lingkungannya terhadap ancaman bahaya kebakaran
dilakukan dengan melengkapi peralatan pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.
2. Setiap perencana bangunan dan lingkungan sejak awal, harus sudah
memperhatikan sistem proteksi kebakaran baik aktif maupun pasif.
3. Dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan suatu bangunan kecuali
untuk bangunan rumah tinggal tidak bertingkat, harus mendapat rekomendasi
dari instansi pemadam kebakaran, khususnya menyangkut akses mobil dan
ambulans kebakaran sesuai jalan keluar untuk penyelamatan pada sistem
proteksi kebakaran.
4. Dalam perencanaan lingkungan harus mengikuti ketentuan persyaratan teknis
tata bangunan dan lingkungan, (urban design guidelines).
5. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi, instansi kebakaran
dalam pelaksanaan tugasnya dapat membentuk tim ahli di bidang kebakaran.
6. Rekomendasi sesuai pada butir 5 di atas, sekurang-kurangnya berisi rencana
darurat pemadam kebakaran (fire emergency plan).
7. Prasarana dan sarana penanggulangan kebakaran yang disediakan untuk
melindungi WMK harus dirawat dan dipelihara secara berkala, termasuk
penjadwalan penggantian sarana dan komponennya (apparatus replacement
schedule).

4.3 Pemadaman Kebakaran dan Penyelamatan (Rescue)


1. Tindakan Pemadaman dan Penyelamatan meliputi:
a. penyelamatan/pertolongan jiwa dan harta benda,
b. pengendalian penjalaran api,
c. pencarian sumber api,
d. pemadaman api.
2. Rencana Operasi Pemadaman dan Penyelamatan (Rescue).
a. Rencana operasi merupakan skenario yang disusun secara garis besar dan
menggambarkan tindakan-tindakan yang dilakukan bila terjadi kebakaran
pada suatu bangunan atau lingkungan.
b. Rencana operasi harus dibuat dalam bentuk yang fleksibel agar
memungkinkan petugas pemadam kebakaran melakukan penyesuaian pada
saat beroperasi.
c. Rencana operasi harus dibuat untuk bangunan vital, dan beresiko tinggi.
d. Rencana operasi berisi:
1) Informasi bangunan dan/atau lingkungan yang berupa gambar denah
bangunan;
2) Informasi sumber daya yang ada (SDM, dan P/S kota);
3) Fungsi perintah dan pembagian tanggung jawab semua regu atau unit
yang terlibat;
4) Keselamatan Operasi;
5) Panduan yang menggambarkan prioritas taktik dan hubungan fungsi
yang saling mendukung;
6) Penempatan regu atau unit, logistik, dan pusat komando;
7) Hubungan dengan instansi terkait.
e. Rencana operasi harus diuji coba secara periodik dengan melibatkan
instansi terkait.
3. Pelaksanaan Operasi Pemadaman dan Penyelamatan (Rescue) meliputi
kegiatan:
a. Tindakan awal kebakaran dan operasi pemadaman kebakaran
Tindakan awal kebakaran merupakan upaya yang dilakukan oleh penghuni
pada saat mulai terjadi kebakaran dengan maksud untuk mengurangi
kerugian yang timbul, ini meliputi:
1) Menginformasikan kepada seluruh penghuni akan adanya kebakaran;
2) Membantu mengevakuasi penghuni;
3) Melakukan tindakan pemadaman kebakaran;
4) Memberitahukan kepada Instansi Kebakaran, PLN, dan Polisi adanya
kebakaran.
b. Operasi Pemadaman
1) Operasi pemadaman dan penyelamatan merupakan pelaksanaan rencana
operasi yang telah disiapkan;
2) Komandan operasi pemadaman bertanggung jawab atas keselamatan
anggotanya dalam suatu operasi;
3) Operasi pemadaman mencakup tindakan size up, locate, confine, dan
extinguish. Tindakan size up adalah menaksir besarnya kebakaran saat
operasi pemadaman berlangsung, tindakan locate ialah melokalisasikan
api agar jangan menjalar ke berbagai tempat, tindakan confine adalah
mencari sumber api saat tindakan operasi pemadaman, sedangkan
tindakan extinguish melakukan tindak pemadaman api;
4) Dalam rangka melakukan operasi pemadaman diperlukan strategi, dan
taktik.
a) Yang dimaksud dengan strategi pemadaman dan penyelamatan
adalah:
(1) Strategi pemadaman bukan suatu yang statis dan dapat
dimodifikasi sesuai keadaan yang terjadi,
(2) Strategi pemadaman dan penyelamatan adalah pengembangan
dari rencana operasi yang ada untuk menghadapi situasi secara
efektif,
(3) Perumusan strategi merupakan tanggung jawab komandan
operasi pemadaman,
(4) Faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi
adalah:
(i) Pasokan air cukup banyak dan berkelanjutan,
(ii) Mengetahui secara pasti kemampuan peralatan dan personil
yang ada,
(iii)Pendistribusian dan penempatan peralatan dan personil yang
efisien sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
b) Yang dimaksud dengan taktik pemadaman dan penyelamatan
adalah:
(1) Taktik adalah metoda untuk mengiplementasi-kan rencana
strategi yang dibuat untuk melaksanakan pemadaman dan
penyelamatan;
(2) Taktik akan menentukan peralatan, lokasi, tugas dan personil
secara spesifik;
(3) Taktik dapat dijabarkan dalam fungsi-fungsi taktis yaitu
penyelamatan jiwa, mengurangi kerugian harta benda (proteksi
eksposur), mengendalikan perambatan api (confinement),
pemadaman, ventilasi, dan overhaul;
(4) Penyelamatan jiwa merupakan pertimbangan pertama pada
setiap kejadian kebakaran dengan cara menjaga agar api tetap
jauh dari korban dan semua penghuni yang terancam harus
segera dapat ditemukan. Faktor penentu atas keberhasilan
operasi ini yaitu:
(i) Informasi keberadaan dan jumlah korban di lokasi,
(ii) Jenis hunian,
(iii)Ketinggian bangunan.

BAGIAN 5: SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENDIDIKAN PELATIHAN

5.1 Perencanaan Sumber Daya Manusia


1. Setiap unit kerja penanggulangan kebakaran di perkotaan harus membuat
perencanaan SDM.
2. Perencanaan SDM sebagaimana yang dimaksud terdiri dari rencana kebutuhan
pegawai dan pengembangan jenjang karir.
3. Pembinaan jenjang karir diperlukan agar dapat memberikan motivasi, dedikasi,
dan disiplin.
4. Penerimaan jumlah pegawai disesuaikan dengan kebutuhan atas Wilayah
Manajemen Kebakaran (WMK) dan bencana lainnya yang mungkin terjadi
pada wilayahnya dan juga memenuhi persyaratan Kesehatan, Fisik, dan
Psikologis.

5.2 Sistem Pembinaan Prestasi Kerja


1. Sistem pembinaan prestasi kerja Instansi Kebakaran merupakan bagian integral
dari sistem kepegawaian yang berlaku di wilayah Perkotaan.
2. Sistem pembinaan prestasi kerja Instansi Kebakaran mencerminkan strata
kemampuan dan keahlian karyawan Instansi Kebakaran.
3. Kemampuan dan keahlian karyawan Instansi Kebakaran sebagaimana disebut
dalam butir 5 dibawah merupakan:
a. persyaratan tambahan untuk menduduki jabatan struktural pada Instansi
Kebakaran.
b. jenjang karir teknis fungsional sebagai persyaratan untuk mengukur
ketrampilan dan penguasaan pengetahuan teknis di bidang pencegahan
kebakaran dan pemadaman kebakaran dan penyelamatan dari bencana
dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang akan diberikan.
4. Setiap karyawan Instansi Kebakaran harus mengikuti dan lulus DIKLAT Dasar
Pemadam I.
5. Karyawan Instansi Kebakaran dalam menduduki jenjang karir struktural harus
mengikuti ketentuan yang berlaku, serta mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran sesuai dengan tingkat jabatan struktural yang akan
dimasuki.
6. Pimpinan Kebakaran harus mempunyai kemampuan menerapkan gaya
kepemimpinan lini dan staf, menguasai peraturan perundangan, teknis
penanggulangan kebakaran, manajemen krisis, manajemen administrasi, dan
ilmu hubungan antar manusia.
7. Persyaratan tambahan untuk menduduki jenjang karir struktural harus
memenuhi penjenjangan sebagai berikut:
a. Jabatan kepala Regu dapat diduduki setelah mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran I dengan nilai sekurang-kurangnya baik,
b. Jabatan eselon V dapat diduduki setelah mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran II dengan nilai sekurang-kurangnya baik,
c. Jabatan eselon IV dapat diduduki setelah mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran III dengan nilai sekurang-kurangnya baik,
d. Jabatan eselon III dapat diduduki setelah mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran IV dengan nilai sekurang-kurangnya baik,
e. Jabatan eselon II dapat diduduki setelah mengikuti dan lulus DIKLAT
Pimpinan Kebakaran V dengan nilai sekurang-kurangnya baik.
8. Jenjang karir pimpinan kebakaran pada organisasi komando terdiri dari 5
jenjang karir yaitu: kepala regu kebakaran, kepala sektor (Pleton) kebakaran,
kepala sub wilayah (Kompi) kebakaran, dan kepala wilayah kebakaran.
a. Jabatan Teknis Fungsional dilakukan secara berjenjang karir sesuai dengan
jabatan fungsional dan penugasan yang bersangkutan.
b. Penilaian pada jenjang karir teknis fungsional didasarkan atas kecakapan
dan prestasi yang dicapai.
c. Kecakapan harus dibuktikan dengan kelulusan dalam ujian sesuai dengan
tingkatannya dan prestasi dibuktikan secara nyata dalam pelaksanaan tugas
minimal 2 tahun berturut-turut dengan penilaian minimal baik.
9. Jenjang karir teknis fungsional terdiri dari 2 kelompok penjenjangan yaitu
jenjang karir Pencegahan Kebakaran dan jenjang karir Pemadam dan
Penyelamatan dari Bencana.
10. Jenjang karir Pencegahan Kebakaran terdiri dari 4 kelompok yaitu jenjang karir
inspektur kebakaran, jenjang karir penyuluh lapangan, jenjang karir peneliti
kebakaran, dan jenjang karir instruktur kebakaran.
11. Jenjang karir Inspektur Kebakaran merupakan salah satu persyaratan untuk
menduduki jabatan fungsional yang diukur kemampuannya dalam memeriksa
desain, penguji dan memeriksa kondisi bangunan dan lingkungan yang akan
atau telah dimanfaatkan dari bahaya kebakaran berdasarkan tingkat resiko
kebakaran.
12. Jenjang karir inspektur kebakaran terdiri dari 4 jenjang karir yaitu: penilik
prasarana dan sarana kebakaran, inspektur kebakaran muda, inspektur
kebakaran madya, dan inspektur kebakaran utama.
13. Jenjang karir Penyuluh lapangan ditentukan berdasarkan tingkat
kemampuannya memberikan penyuluhan dan pelatihan sesuai dengan jumlah
penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat pada lingkungan tertentu.
14. Jenjang karir penyuluh lapangan terdiri dari 2 jenjang karir yaitu: penyuluh
lapangan muda dan penyuluh lapangan madya.
15. Peneliti/Investigator Kebakaran ditentukan berdasarkan tingkat kemampuannya
dalam meneliti dan menguji penyebab kebakaran dan bahan yang terpasang
pada bangunan dan lingkungan, serta peralatan yang digunakan oleh Instansi
Kebakaran.
16. Jenjang karir Peneliti/Investigator kebakaran terdiri dari 2 jenjang karir yaitu
Peneliti Muda dan Peneliti Madya.
17. Instruktur Kebakaran ditentukan berdasarkan tingkat kemampuannya melatih
dan menyusun program pelatihan kebakaran dan bencana.
18. Jenjang karir inspektur kebakaran terdiri dari 3 jenjang karir yaitu: inspektur
muda, inspektur madya, dan inspektur utama.
19. Jenjang karir Pemadam Kebakaran dan Penyelamat terdiri dari 4 kelompok
jenjang karir, yaitu: montir mobil kebakaran, operator mobil kebakaran,
operator komunikasi, dan juru padam.
20. Jenjang karir montir mobil kebakaran dinilai berdasarkan tingkat
kemampuannya memperbaiki dan merawat mobil kebakaran agar selalu dalam
keadaan siap pakai.
21. Jenjang karir montir mobil kebakaran terdiri dari 2 jenjang karir yaitu montir
mobil kebakaran I dan montir mobil kebakaran II.
22. Jenjang karir operator mobil kebakaran dinilai berdasarkan tingkat
kemampuannya mengendarai mobil kebakaran, menanggulangi kerusakan
ringan yang terjadi dan mengoperasikan peralatan yang ada pada mobil
tersebut.
23. Jenjang karir operator mobil kebakaran terdiri dari 2 jenjang karir yaitu
operator mobil kebakaran I dan operator mobil kebakaran II.
24. Jenjang karir operator komunikasi kebakaran dinilai berdasarkan tingkat
kemampuannya dalam penataan lalu lintas informasi, pengoperasian dan
pemeliharaan peralatan pada ruang kontrol dan data.
25. Jenjang karir operator komunikasi kebakaran terdiri dari 3 jenjang karir yaitu
caraka I, caraka II dan operator komunikasi kebakaran.
26. Pemadam Kebakaran dan Penyelamat ditentukan berdasarkan tingkat
kemampuannya memadamkan api dan melakukan pertolongan kepada manusia
dan harta benda dari ancaman bahaya kebakaran dan bencana lainnya.
27. Jenjang karir Pemadam Kebakaran dan Penyelamat terdiri dari 3 jenjang karir
yaitu juru padam I, juru padam II, dan juru penyelamat (Rescue).

5.3 Pendidikan Dan Pelatihan (Diklat)


1. Tujuan DIKLAT teknis fungsional Penanggulangan Kebakaran (DIKLAT FPK)
adalah:
a. Meningkatkan mutu dan kemampuan baik dalam bidang substansi
penanggulangan kebakaran maupun kepemimpinan yang berorientasi pada
kesamaan pola pikir dan keterpaduan gerak yang dinamis dan bernalar.
b. Dapat melaksanakan tugasnya dengan semangat kerjasama dan tanggung
jawab sesuai dengan fungsinya dalam organisasi instansi pemadam
kebakaran.
c. Meningkatkan kemampuan teoritis, konseptual, moral dan ketrampilan
teknis pelaksanaan pekerjaan.
2. Jenis Diklat Pemadam Kebakaran antara lain terdiri dari:
a. Diklat Pemadam Kebakaran Tingkat Dasar,
b. Diklat Pemadam Kebakaran Tingkat Lanjut,
c. Diklat Perwira Pemadam Kebakaran,
d. Diklat Inspektur Kebakaran,
e. Diklat Instruktur Kebakaran,
f. Diklat Manajemen Pemadam Kebakaran, dll.
3. Ketentuan mengenai penyelenggaraan standarisasi diklat, kualifikasi instruktur
dan spesifikasi bangunan serta sarana diklat diatur dalam peraturan tersendiri.

BAGIAN 6: PERAN SERTA SATLAKAR MASYARAKAT

6.1 Satuan Relawan Kebakaran (Satlakar)


1. Pemberlakuan Satlakar
Satlakar merupakan wadah partisipasi dan rasa tanggung jawab masyarakat
dalam rangka mengatasi ancaman bahaya kebakaran. Satlakar menjadi bagian
dari pelayanan pemadaman kebakaran. Satlakar sekurang-kurangnya
diberlakukan pada suatu lingkungan padat hunian, rumah susun, dan pasar.
2. Organisasi Satlakar
Pembentukan organisasi Satlakar sepenuhnya atas inisiatif masyarakat.
3. Tugas dan Fungsi Satlakar
Satlakar mempunyai tugas membantu masyarakat dalam upaya menjaga
bangunan, penghuni, harta, dan lingkungannya serta memberikan informasi
kejadian kebakaran kepada Instansi Pemadam Kebakaran.
Fungsi Satlakar melakukan pemadaman dini sebelum Instansi Pemadam
Kebakaran datang ke tempat terjadinya kebakaran.
4. Peralatan Pemadaman
Peralatan baku pemadaman yang wajib dipergunakan oleh Satlakar adalah:
pompa jinjing ringan, alat pemadam api ringan (APAR), ember, pasir, goni
basah, dan gaetan.
5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Satlakar
Diklat Satlakar merupakan kewajiban Pemerintah Daerah, termasuk resiko
selama menjalani kegiatan Diklat.
6. Pembinaan Satlakar
Pembinaan personel Satlakar menjadi tanggung jawab Lurah, sedangkan
pembinaan kemampuan teknis pemadaman kebakaran ditangani oleh
Pemerintah Daerah dan atau oleh Instansi Pemadam Kebakaran.
Lurah selaku Pembina Satlakar mendorong berfungsinya Satlakar di wilayah
kelurahan masing-masing, melalui program kegiatan:
a. Membantu terselenggaranya program pendidikan dan latihan anggota
satlakar untuk meningkatkan ketrampilan anggota satlakar;
b. Memberi pengarahan, pertimbangan dan jadual dalam hal pelaksanaan tugas
Satlakar;
c. Mengawasi kegiatan Satlakar di wilayah kelurahan masing-masing dalam
pelaksanaan tugas;
d. Menyusun program kerja tahunan dan lima tahunan;
e. Memberikan rekomendasi atas pembentukan unit-unit Satlakar.

6.2 Masyarakat Profesi dan Forum Komunikasi


1. Masyarakat profesi adalah orang perorangan dan atau badan yang mempunyai
profesi terkait, dalam hal ini yang berhubungan dengan disiplin pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
2. Forum komunikasi adalah forum yang terdiri dari anggota yang berasal dari
asosiasi profesi dan tokoh masyarakat.
3. Peran Masyarakat Profesi dan Forum Komunikasi.
a. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran perlu
mengikutsertakan pihak swasta, dalam hal ini masyarakat profesi dan atau
forum komunikasi.
b. Kontribusi masyarakat profesi yaitu dalam bentuk tenaga bantuan,
sumberdaya, pemikiran, dan atau pengawasan yang diberikan oleh
masyarakat profesi dan atau forum komunikasi.
c. Memberikan saran teknis terutama untuk lingkungan hunian padat, di mana
hasil kajiannya menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan
sarana dan prasarana lingkungan.
4. Pemerintah wajib mendorong, memberikan fasilitas keberadaan peran-serta
masyarakat profesi dalam mengontrol dan mengendalikan hal teknis yang
berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran terutama
mengenai persamaan persepsi dalam strategi, taktis dan tugas-tugas pencegahan
dan penanggulangan bahaya kebakaran.

6.3 Pola Kemitraan


1. Laboratorium Uji Api
Dalam rangka memperoleh data dan informasi mengenai daya tahan bahan
bangunan dan konstruksi terhadap bahaya kebakaran dimungkinkan adanya
pola kemitraan antara masyarakat profesi dan institusi daerah yang
bersangkutan, dengan tujuan mendapatkan sertifikasi bahan dan konstruksi
tahan api.
2. Inspeksi
a. Inspeksi bangunan gedung yang beresiko kebakaran dilakukan oleh
masyarakat profesi untuk mendapatkan sertifikat layak huni.
b. Hasil inspeksi menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan
Ijin Perpanjangan Penggunaan Bangunan (IPPB) untuk bangunan gedung
fungsi umum.
c. Pernyataan layak huni tersebut menjadi tanggung jawab masyarakat profesi.
3. Peringatan Dini (Early Warning)
a. Peringatan Dini dilakukan dengan menggunakan alat yang secara otomatis
atau manual berhubungan langsung dengan Instansi Pemadam Kebakaran
bilamana terjadi kebakaran.
b. Pada bangunan yang beresiko kebakaran, Pemilik atau Pengelola bangunan
dapat memasang/menggunakan peralatan yang dapat bekerja otomatis
berhubungan dengan Instansi Pemadam Kebakaran. Penggunaan peralatan
ini memberikan kontribusi subsidi kepada peralatan yang dipasang pada
tempat-tempat fasilitas sosial dan umum.

BAGIAN 7: PENGENDALIAN TEKNIS

7.1 Pengendalian teknis adalah upaya untuk menjaga dan menjamin agar setiap
kegiatan pelaksanaan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan baik
pada tahap pembangunan maupun tahap pemanfaatan dapat berlangsung secara
aman dan selamat.

7.2 Pengendalian teknis dilakukan melalui pengawasan teknis dan tindak turun tangan.

7.3 Pengawasan Teknis adalah upaya pengawasan atas perencanaan dan pelaksanaan
manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan yang dilakukan oleh setiap
instansi dan masyarakat profesi agar selalu memenuhi syarat-syarat dan ketentuan
teknis yang berlaku.
7.4 Pengawasan teknis dilaksanakan secara berjenjang dan atau secara paralel dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. Pemerintah memonitor, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan dan
penerapan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan dan
mempublikasikan hasil pengawasannya melalui forum komunikasi kebakaran,
2. Instansi Pemadam Kebakaran memonitor, mengevaluasi dan melaporkan
pelaksanaan dan penerapan manajemen penanggulangan kebakaran di
perkotaan serta melakukan tindak turun tangan atas penyimpangan yang terjadi
di dalam pelaksanaan dan penerapan manajemen penanggulangan kebakaran,
3. Sektor Pemadam Kebakaran memonitor dan melaporkan hasil pemantauan atas
pelaksanaan manajemen penanggulangan kebakaran di lingkungannya kepada
Instansi Pemadam Kebakaran,
4. Petugas Pemadam Kebakaran memeriksa dan melaporkan hasil pemeriksaan
atas pelaksanaan manajemen penanggulangan kebakaran di lingkungannya
kepada Sektor Pemadam Kebakaran/Instansi Pemadam Kebakaran.
7.5 Tindak turun tangan adalah upaya penertiban yang dilakukan Instansi Pemadam
Kebakaran terhadap penyimpangan pelaksanaan manajemen penanggulangan
kebakaran.

BAGIAN 8: PEMBINAAN

8.1 Pembinaan adalah upaya untuk meningkatkan dan memberdayakan kemampuan


teknis setiap instansi, masyarakat profesi dan masyarakat pada umumnya dalam
melaksanakan urusan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan.
8.2 Pembinaan dilaksanakan secara berjenjang dan paralel sebagai berikut:
1. Pemerintah dalam hal ini Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum melakukan
pembinaan kepada Pemerintah Daerah khususnya instansi pemadam
kebakaran/pembina penanggulangan kebakaran, melakukan peningkatan
kemampuan dan pemberdayaan masyarakat profesi.
2. Instansi pemadam kebakaran melakukan peningkatan kemampuan dan
pemberdayaan petugas pemadam kebakaran, pengelola gedung, satlakar, dan
masyarakat dalam melakukan dan berperan serta di dalam manajemen
penanggulangan kebakaran di perkotaan.
8.3 Pembinaan dilakukan melalui pengaturan, penyebarluasan standar teknis, pelatihan,
dan penyuluhan.
BAB III
MANAJEMEN PENANGGULANGAN KEBAKARAN LINGKUNGAN

BAGIAN 1: WILAYAH MANAJEMEN KEBAKARAN

1.1 Umum
1. Setiap lingkungan bangunan yang berada dalam satu lingkungan dengan
kepemilikan yang sama dan dalam pengelolaan lingkungan yang sama
diwajibkan menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK).
2. Lingkungan dimaksud meliputi lingkungan perdagangan, superblok, hunian
padat, dan hunian di atas air.
3. Lingkungan khusus, seperti lingkungan industri, lingkungan dalam pangkalan-
pangkalan Militer (darat, laut, dan udara), diatur dalam Manajemen
Penanggulangan Kebakaran khusus.

1.2 Analisis Resiko kebakaran


1. Lingkungan dianggap sebagai bagian atau sub bagian dari Wilayah Manajemen
Kota (WMK).
2. Tujuan penerapan analisis resiko kebakaran adalah untuk menentukan jumlah
kebutuhan air yang diperlukan pemadam kebakaran di lingkungan sebagai
bagian atau sub bagian WMK.
3. Analisis Resiko Kebakarannya seperti dijelaskan pada Bab II, Bagian I (1.2).
4. Klasifikasi Resiko bahaya kebakaran lingkungan.
a. Lingkungan beresiko kebakaran rendah.
Yang dimaksud dengan lingkungan beresiko kebakaran rendah adalah
lingkungan yang berada dalam WMK beresiko rendah dan mempunyai
bangunan-bangunan gedung yang juga beresiko kebakaran rendah.
b. Lingkungan beresiko kebakaran tinggi.
Yang dimaksud dengan lingkungan beresiko kebakaran tinggi adalah
lingkungan yang berada dalam WMK beresiko tinggi dan mempunyai
bangunan-bangunan yang juga beresiko kebakaran tinggi.

1.3 Wilayah Manajemen Kebakaran Lingkungan


1. Wilayah Manajemen Kebakaran lingkungan yang mempunyai manajemen estat,
merupakan bagian dari manajemen estat tersebut yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab khusus dalam penanggulangan kebakaran pada lingkungan
yang bersangkutan.
2. Untuk lingkungan yang tidak mempunyai manajemen estat harus dibentuk Tim
SATLAKAR yang terlatih.
3. Sistem pemberitahuan kebakaran lingkungan selanjutnya dapat dirancang untuk
menjamin respons yang tepat terhadap berbagai masalah yang mungkin terjadi
dalam setiap Wilayah Manajemen Kebakaran Lingkungan.
BAGIAN 2: PRASARANA DAN SARANA PENANGGULANGAN
KEBAKARAN LINGKUNGAN

2.1 Prasarana penanggulangan kebakaran


Manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan ini harus dilengkapi dengan
prasarana penanggulangan kebakaran yang antara lain terdiri dari:
1. Pasokan air.
Untuk keperluan pemadaman kebakaran, pasokan air diperoleh dari sumber
alam (kolam air, danau, sungai, sumur dalam) maupun buatan (tangki air,
kolam renang, reservoir air, mobil tangki air dan hidran).
2. Jalan lingkungan.
Jalan lingkungan dengan lebar jalan minimum 3,5 meter, yang pada saat terjadi
kebakaran harus bebas dari segala hambatan apapun yang dapat mempersulit
masuk keluarnya mobil pemadam kebakaran.
3. Sarana Komunikasi.
Terdiri dari telepon umum dan alat-alat lain yang dapat dipakai untuk
pemberitahuan terjadinya kebakaran kepada Instansi Pemadam Kebakaran.

2.2 Sarana penanggulangan kebakaran


Manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan harus juga dilengkapi dengan
sarana penanggulangan kebakaran yang antara lain terdiri dari:
1. Alat Pemadam Api Ringan (APAR).
APAR yang tersedia pada Pos Kebakaran Lingkungan minimal 10 (sepuluh)
buah dengan isi bersih 10 (sepuluh) kg untuk setiap buahnya.
2. Mobil pompa.
3. Mobil tangga.

2.3 Alat pertolongan pertama pada kecelakaan


Tersedianya alat pertolongan pertama pada kecelakaan, khususnya kebakaran
sebagai upaya pertolongan darurat bagi korban kebakaran.

BAGIAN 3: ORGANISASI

3.1 Struktur Organisasi


Dalam organisasi manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan minimal
harus terdiri dari unit-unit yang bertanggung jawab atas:
1. Pemeriksaan prasarana dan sarana penanggulangan bahaya kebakaran.
2. Penanggulangan dini terhadap kebakaran.
3. Terselenggaranya hubungan dengan instansi pemadam kebakaran.
4. Pelayanan darurat kesehatan korban kebakaran.
5. Rencana penanggulangan kebakaran (Fire plan).
6. Pembinaan pada masyarakat dan SATLAKAR.
3.2 Tugas dan fungsi
1. Koordinator keselamatan lingkungan.
a. Tugas:
Mengkoordinasikan pencegahan, pemadaman dan pemeliharaan prasarana
dan sarana penanggulangan kebakaran.
b. Fungsi:
1) Pelaksanaan pencegahan kebakaran pada lingkungan;
2) Pelaksanaan pemadaman kebakaran pada lingkungan;
3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana
penanggulangan kebakaran lingkungan;
4) Pelaksanaan bantuan teknis penanganan pasca kebakaran lingkungan.
2. Sub koordinator pencegahan kebakaran.
a. Tugas:
Melaksanakan koordinasi pencegahan kebakaran atas petunjuk koordinator
keselamatan lingkungan.
b. Fungsi:
1) Menyusun pola operasional pencegahan kebakaran dan pendataan
gedung pada lingkungan yang bersangkutan yang rawan kebakaran;
2) Meningkatkan dan mengembangkan sistem, metoda, peralatan dan
kemampuan personil dalam upaya pencegahan kebakaran;
3) Melakukan penyuluhan tentang pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.
3. Sub Koordinator Pemadam Kebakaran.
a. Tugas:
Melaksanakan koordinasi pemadaman kebakaran atas petunjuk koordinator
keselamatan lingkungan.
b. Fungsi:
1) Melaksanakan operasional pemadaman kebakaran;
2) Melaksanakan penyampaian informasi dan komunikasi saat kejadian
kebakaran;
3) Melaksanakan bantuan teknis upaya pencegahan dan pemadaman
kebakaran.
4. Sub Koordinator Operasi dan Pemeliharaan.
a. Tugas:
Melaksanakan koordinasi operasi dan pemeliharaan peralatan kebakaran
lingkungan atas petunjuk dan arahan koordinator keselamatan lingkungan.
b. Fungsi:
Merencanakan serta mengadakan prasarana dan sarana pemadam
kebakaran;
Melakukan perawatan serta pemeliharaan prasarana dan sarana
penanggulangan kebakaran.
5. Urusan pendataan.
Mempunyai tugas melaksanakan pendataan untuk penyusunan pola operasional
dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran.
6. Urusan penyuluhan.
Mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
bahaya kebakaran, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran serta akibat
yang ditimbulkannya.
7. Urusan pengembangan.
Mempunyai tugas melaksanakan peningkatan dan pengembangan sistem,
metoda, peralatan dan kemampuan personil dalam upaya pencegahan dan
pemadaman kebakaran.
8. Urusan operasional.
Mempunyai tugas melaksanakan operasional pemadaman pada saat kebakaran.
9. Urusan Komunikasi.
Mempunyai tugas melaksanakan penyampaian informasi kepada masyarakat
dan melakukan komunikasi melalui telepon dan radio yang menyangkut
kejadian kebakaran.
10. Urusan bantuan teknis, evakuasi, pemadaman.
Mempunyai tugas melaksanakan dan memberikan bantuan teknis dalam upaya
pengamanan, pencegahan, serta pemadaman kebakaran.
11. Urusan Hidran dan Jalan lingkungan.
Mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan terhadap instalasi hidran, tandon
air yang ada pada lingkungan dan jalan masuk mobil pemadam kebakaran.
12. Urusan alat pemadam
Mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan terhadap kebakaran yang
dimiliki.
13. Urusan sarana komunikasi.
Mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan terhadap sarana/ peralatan
komunikasi untuk penanggulangan kebakaran yang dimiliki.
14. Urusan sarana PPPK.
Mempunyai tugas melaksanakan pengadaan dan pemeliharaan sarana PPPK.

3.3 Kedudukan Manajemen


Manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan yang mempunyai Manajemen
Estat, merupakan bagian dari manajemen estat tersebut, mempunyai tugas dan
tanggung jawab khusus dalam penanggulangan kebakaran pada lingkungan yang
bersangkutan.
3.4 Tanggung Jawab
1. Manajemen estat.
Dalam organisasi manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan minimal
harus terdiri atas unit-unit yang bertanggung jawab atas:
a. Pemeriksaan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran,
b. Penanggulangan dini terhadap kebakaran,
c. Terselenggaranya hubungan dengan instansi kebakaran,
d. Pelayanan darurat kesehatan korban kebakaran,
e. Rencana penanggulangan kebakaran (fire plan),
f. Pembinaan pada masyarakat dan SATLAKAR.
2. Non manajemen estat.
Untuk lingkungan yang tidak mempunyai manajemen estat harus dibentuk Tim
SATLAKAR yang terlatih.

3.5 Hubungan dengan masyarakat dan instansi


Melakukan koordinasi dengan masyarakat pengguna/penghuni serta instansi
kebakaran setempat.

BAGIAN 4: TATA LAKSANA OPERASIONAL LINGKUNGAN

4.1 Manajemen penanggulangan kebakaran lingkungan yang mempunyai


Manajemen Estat, harus mempunyai prosedur tentang:
1. Pencegahan yang dilakukan terhadap:
a. Alat pencegah kebakaran dalam bangunan,
b. Persediaan air,
c. Akses masuk kendaraan pemadam kebakaran,
d. Tempat aman (lantai gedung dan halaman),
e. Jalan evakuasi pengguna dan penghuni bangunan.
2. Pemadaman dini pada saat mulai terjadi kebakaran:
a. Evakuasi pengguna/penghuni bangunan,
b. Sistem informasi dan komunikasi.
3. Pemeriksaan berkala terhadap peralatan pemadam yang ada.

4.2 Manajemen penanggulangan bahaya kebakaran yang sesuai dengan rencana


strategi sistem pengamanan kebakaran (Fire Emergency Plan) pada
lingkungan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan sebelum terjadi kebakaran.
a. Melakukan perencanaan dan pemasangan sistem proteksi kebakaran pada
lingkungan yang memenuhi ketentuan yang berlaku dan
mendokumentasikan data dan informasi kelompok bangunannya dengan
baik serta menempatkannya di setiap Pos Kebakaran.
b. Melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kondisi prasarana dan
sarana penanggulangan bahaya kebakaran yang tersedia, serta
mendokumentasikan dengan baik hasil pemeriksaan dan pengujian kinerja
peralatan sistem proteksi yang ada.
c. Melakukan pemeliharaan prasarana dan sarana penanggulangan bahaya
kebakaran yang tersedia.
d. Melakukan program pelatihan kebakaran terpadu (integrated fire drill)
secara berkala dalam penanggulangan bahaya kebakaran dan
pengevakuasian penghuni pada kelompok bangunan yang sistimatis dan
tertib, yang terkoordinasi bersama instansi pemadam kebakaran setempat.
e. Menyusun dan melakukan penyuluhan prosedur penyelamatan kebakaran
(Emergency Response Manual).
2. Ketentuan saat terjadi kebakaran.
a. Melakukan pemadaman dini sesuai dengan Prosedur Operasi Standar (POS)
yang telah ditetapkan, antara lain: sistem dan prosedur notifikasi adanya
kebakaran, alarm tahap awal dan prosedur komunikasi darurat.
b. Melakukan penyelamatan jiwa penghuni (evakuasi) sesuai prosedurnya
dengan mengutamakan perlindungan terhadap keselamatan jiwa seluruh
penghuni.
c. Memberikan laporan dan atau melakukan/komunikasi dengan Instansi
pemadam kebakaran dalam rangka koordinasi tindakan pemadaman.
d. Mempersiapkan akses bagi mobil pemadam kebakaran.
e. Memberikan pertolongan darurat pada korban kebakaran.
3. Ketentuan pasca kebakaran.
a. Melakukan pencatatan atas: lokasi, jenis bangunan, pengguna/penghuni,
korban, waktu dan perkiraan penyebab kebakaran.
b. Memberikan laporan kepada Instansi Pemadam Kebakaran Daerah terdekat
atas terjadinya kebakaran sesuai catatan yang dilakukan.
c. Membantu Instansi berwenang dalam melakukan penelitian sebelum
dilakukannya rehabilitasi dalam kelompok bangunan.

BAGIAN 5: SUMBER DAYA MANUSIA

5.1 Kualifikasi SDM pengamanan terhadap bahaya kebakaran lingkungan


Manajemen ini harus didukung oleh tenaga yang mempunyai keahlian dibidang
penanggulangan kebakaran, yang meliputi:
1. Keahlian di bidang pengamanan kebakaran (Fire Safety).
2. Keahlian di bidang penyelamatan darurat.
3. Keahlian di bidang manajemen kebakaran.
Sumber daya manusia yang berada dalam manajemen ini secara berkala harus
dilatih dan ditingkatkan kemampuannya.

5.2 Klasifikasi tenaga pemadam


Klasifikasi tenaga pemadam kebakaran disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku
pada instansi pemadam kebakaran daerah setempat.

5.3 Persyaratan tenaga pemadam


Persyaratan untuk tenaga pemadam kebakaran disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku pada instansi pemadam kebakaran daerah setempat.

5.4 Perencanaan dan pengadaan SDM


1. Harus memenuhi kualifikasi, klasifikasi dan persyaratan tenaga pemadam yang
telah ditentukan.
2. Jumlah personil dalam pengadaan SDM berdasarkan pada fungsi perkiraan
resiko kebakaran pada lingkungan yang bersangkutan.

5.5 Pengembangan SDM


Pengembangan SDM dapat dilakukan sejalan dengan pengembangan lingkungan
tersebut, sesuai dengan fungsi perkiraan resiko kebakaran pada bagian lingkungan
yang berkembang tersebut.

BAGIAN 6: PEMBINAAN DAN PELATIHAN

6.1 Pembinaan untuk masyarakat


Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka pencegahan kebakaran dalam
bentuk:
1. Kegiatan dalam rangka pencegahan bahaya kebakaran.
2. Kegiatan dalam rangka menunjang operasi pemadaman kebakaran.
3. Di setiap RW harus disediakan 4 sampai dengan 6 regu SATLAKAR yang tiap
regunya minimal 5 (lima) orang dan tersedia pula sejumlah/semacam alat
pemadam api yang memadai di setiap RT.

6.2 Pembinaan untuk masyarakat profesi


Meningkatkan peran serta masyarakat profesi agar lebih mampu merancang
kelompok bangunan yang aman dan andal terhadap bahaya kebakaran dengan
memenuhi semua ketentuan yang berlaku.

6.3 Kegiatan pembinaan dalam rangka penanggulangan bahaya kebakaran,


meliputi:
1. Pembinaan personil
a. Pelatihan teknis,
b. Pelatihan administratif,
c. Pelatihan mental,
d. Pelatihan fisik,
e. Pelatihan akademis.
2. Pembinaan peralatan
a. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan,
b. Pengoperasian dan pemeliharaan kendaraan pemadam,
c. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan pelindung pemadam,
d. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan Hidran lingkungan.
3. Pembinaan prasarana dan sarana
a. Pos pemadam kebakaran,
b. Pusat komunikasi,
c. Peralatan pemeliharaan,
d. Garasi,
e. Bangunan pelatihan dan sarananya.
4. Pembinaan masyarakat penghuni/pengguna bangunan
a. Pelatihan pasukan SATLAKAR,
b. Penyuluhan pada masyarakat di lingkungan yang bersangkutan,
c. Pembuatan brosur dan leaflets,
d. Penyuluhan tentang bahaya kebakaran.
BAB IV
MANAJEMEN PENANGGULANGAN KEBAKARAN
BANGUNAN GEDUNG

BAGIAN 1: PROTEKSI KEBAKARAN DALAM BANGUNAN GEDUNG

1.1 Umum
1. Setiap bangunan umum termasuk apartemen yang berpenghuni minimal 500
orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5.000 m2, atau mempunyai
ketinggian bangunan lebih dari 8 lantai, atau bangunan rumah sakit, diwajibkan
menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK).
2. Khusus bangunan industri yang memiliki luas bangunan minimal 5.000 m2,
atau dengan beban hunian 500 orang, atau dengan luas areal/site minimal 5.000
m2, atau terdapat bahan berbahaya yang mudah terbakar diwajibkan
menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK).
3. Untuk bangunan selain yang disebutkan di atas seperti instalasi nuklir, instalasi
militer dan menara TV yang mempunyai resiko kebakaran tinggi diatur secara
khusus.
4. Besar kecilnya organisasi MPK ditentukan oleh resiko bangunan terhadap
bahaya kebakaran.
5. Klasifikasi resiko bangunan terhadap kebakaran adalah seperti terlampir.
6. MPK, mengandung ketentuan mengenai fungsi, pola organisasi, sumber daya
manusia, prasarana dan sarana, serta tata laksana yang perlu dilaksanakan
secara konsisten agar tujuan penanggulangan kebakaran pada bangunan gedung
dapat dicapai secara efektif dan efisien.

1.2 Proteksi Bahaya Kebakaran


1. Bangunan gedung harus diproteksi terhadap kemungkinan terjadinya bahaya
kebakaran melalui penyediaan prasarana dan sarana proteksi kebakaran serta
kesiagaan akan kesiapan pengelola, penghuni dan penyewa bangunan dalam
mengantisipasi dan mengatasi kebakaran, khususnya pada tahap awal kejadian
kebakaran.
2. Bangunan gedung melalui penerapan MPK harus mampu mengatasi
kemungkinan terjadinya kebakaran melalui kesiapan dan keandalan sistem
proteksi yang ada, serta kemampuan petugas menangani pengendalian
kebakaran, sebelum bantuan dari instansi pemadam kebakaran tiba.

BAGIAN 2: PRASARANA DAN SARANA PENANGGULANGAN


KEBAKARAN DALAM BANGUNAN GEDUNG

2.1 Prasarana Penanggulangan Kebakaran


Prasarana penanggulangan bahaya kebakaran ditekankan pada:
1. Cukup tersedianya sumber air sehingga memudahkan pemadaman api apabila
terjadi kebakaran,
2. Jalan evakuasi dalam bangunan yang tidak terhalang, sehingga dalam keadaan
darurat evakuasi dapat dilakukan tanpa hambatan,
3. Akses mobil kebakaran yang cukup sehingga memudahkan mobil pemadam
kebakaran bersirkulasi tanpa hambatan,
4. Berfungsinya alat komunikasi internal di dalam bangunan seperti PA (Public
Address), Telepon Kebakaran (Fire Telephone), dan PABX.

2.2 Sarana Penanggulangan Kebakaran


1. Sistem deteksi dan alarm kebakaran.
Sistem deteksi dan alarm kebakaran yang digunakan mengacu pada
ketentuan/SNI yang berlaku.
2. Sistem Pemadam Kebakaran.
Sistem pemadam kebakaran dalam gedung terdiri dari Alat Pemadam Api
Ringan (APAR), sistem hidran kebakaran, sistem sprinkler kebakaran, sistem
pengendalian asap, dan lain-lain. Perencanaan, pemasangan dan
pengoperasiannya mengacu pada ketentuan/SNI yang berlaku.

BAGIAN 3: ORGANISASI PENANGGULANGAN KEBAKARAN

3.1 Tim Penanggulangan Kebakaran (TPK)


1. TPK dibentuk oleh Pemilik/Pengelola bangunan gedung (dengan surat
keputusan perusahaan yang tembusannya disampaikan kepada Instansi
pemadam kebakaran setempat, serta diumumkan kepada seluruh
penghuni/penyewa bangunan).
2. TPK dalam tugasnya menggunakan tanda-tanda khusus sebagai identitas diri
yang dibuat untuk keperluan itu.
3. Jumlah minimal anggota TPK didasarkan atas jumlah penghuni/ penyewa dan
jenis bahan berbahaya atau mudah terbakar/meledak yang disimpan dalam
gedung tersebut.
4. Setiap 10 karyawan/pengguna bangunan diwajibkan menunjuk 1 (satu) orang
untuk menjadi anggota Kelompok dalam TPK.

3.2 Struktur Organisasi.


1. Bentuk struktur organisasi TPK tergantung pada klasifikasi resiko bangunan
terhadap bahaya kebakarannya.
2. Struktur organisasi TPK antara lain terdiri dari:
a. Penanggung jawab TPK
b. Kepala Bagian Teknik Pemeliharaan, membawahi:
1) Operator ruang monitor dan komunikasi,
2) Operator lif,
3) Operator listrik dan genset,
4) Operator air conditioning dan ventilasi,
5) Operator pompa.
c. Kepala Bagian Keamanan, membawahi:
1) Tim Pemadam Api (TPA),
2) Tim Penyelamat Kebakaran (TPK),
3) Tim pengamanan.
3. Tugas dan Fungsi TPK
a. Penanggung Jawab TPK
1) Tugas:
a) Mengkoordinasikan pelaksanaan MPK,
b) Melaksanakan penyusunan program pengamanan terhadap bahaya
kebakaran pada bangunan secara berkesinam-bungan,
c) Melaksanakan penyusunan program peningkatan kemampuan
personil,
d) Melaksanakan kegiatan dengan tujuan diperoleh unsur keamanan
total terhadap bahaya kebakaran,
e) Melaksanakan koordinasi penanggulangan dan pengendalian
kebakaran pada saat terjadi kebakaran,
f) Melaksanakan penyusunan sistem dan prosedur untuk setiap
tindakan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan,
g) Melaksanakan penyusunan dan pendokumentasian laporan
mengenai pelaksanaan yang berkaitan dengan MPK pada bangunan,
h) Membuat kebijakan bagi penanggulangan menyeluruh terhadap
kemungkinan terjadinya kebakaran dan sekuriti pada bangunan.

2) Fungsi:
a) Pelaksanaan pembentukan organisasi TPK,
b) Pelaksanaan penyusunan rencana strategi sistem pengendalian
kebakaran,
c) Pelaksanaan pengadaan latihan pemadam kebakaran secara periodik
dengan melibatkan seluruh penghuni gedung,
d) Pemeriksaan dan pemeliharaan sarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran,
e) Pemeriksaan secara berkala ruang-ruang yang menyimpan bahan-
bahan berbahaya yang mudah terbakar dan mudah meledak,
f) Pelaksanaan evakuasi bagi penghuni atau pemakai bangunan pada
waktu terjadi kebakaran,
g) Pelaksanaan pengumpulan data dan informasi bangunan gedung,
seperti:
(1) Kondisi gedung secara fisik dan administrasi,
(2) Sarana pemadam kebakaran dan alat bantunya,
(3) Prosedur kebakaran.
b. Kepala Bagian Teknik Pemeliharaan
1) Tugas:
Melaksanakan pemantauan, pemeriksaan, pemeliharaan dan pengujian
peralatan seperti: peralatan monitor, lift, listrik, genset, air conditioning,
ventilasi, pompa-pompa dan peralatan-peralatan kebakaran lainnya.
2) Fungsi:
a) Pelaksanaan pemantauan keadaan seluruh gedung melalui peralatan
kontrol dan penyampaian laporan tentang segala sesuatu yang terjadi
kepada pejabat yang berwenang,
b) Pemeriksaan keadaan jika terjadi alarm berbunyi dan mengambil
tindakan seperlunya,
c) Pembersihan tangga darurat dari benda-benda yang menghalangi
fungsinya sebagai sarana penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi
kebakaran.
c. Operator Ruang Monitor dan Komunikasi
Tugas:
1) Memeriksa dan memelihara peralatan pemantau agar selalu bekerja
dengan baik.
2) Melaksanakan pemantauan keadaan seluruh tempat di dalam gedung
melalui peralatan pemantau.
3) Melaporkan keadaan terpantau tersebut setiap saat.
4) Jika terjadi alarm berbunyi, maka segera melaporkan kepada petugas
keamanan dan meminta agar memeriksa keadaan serta mematikan alarm
tersebut.
5) Melakukan komunikasi dengan petugas pemadam kebakaran lantai.
6) Melakukan komunikasi dengan petugas pemadam kebakaran lantai.
7) Melakukan komunikasi dengan instansi pemadam kebakaran, polisi dan
rumah sakit terdekat untuk diminta bantuannya.
8) Atas perintah Manajer TPK, memberitahukan kepada seluruh penghuni
bangunan bahwa terjadi kebakaran dan diharapkan tidak panik.
d. Operator Lif
Tugas:
1) Memeriksa fungsi lif terutama lif kebakaran harus dapat beroperasi
dengan baik,
2) Bila terjadi kebakaran, menurunkan lif ke lantai dasar,
3) Pada saat terjadi kebakaran, bila sangat perlu dan dimungkinkan, hanya
mengoperasikan lif kebakaran.
e. Operator listrik dan genset
Tugas:
1) Memeriksa fungsi peralatan listrik dan genset dengan baik,
2) Mematikan listrik pada tempat di mana kebakaran terjadi, terutama yang
membutuhkan daya listrik yang besar seperti pengkondisian udara (air
conditioning) dan ventilasi,
3) Menjaga agar listrik tetap berfungsi untuk mengoperasikan lif
kebakaran, pompa-pompa kebakaran, fan penekan udara, fan pengendali
asap dan panel-panel lain yang diharuskan berfungsi walaupun terjadi
kebakaran,
4) Menghidupkan genset,
5) Melaksanakan seluruh instruksi Manajer TPK dengan baik dan benar.
f. Operator pengkondisian udara dan ventilasi
Tugas:
1) Memastikan seluruh sistem pengkondisian udara dan ventilasi berfungsi
dengan baik,
2) Mematikan seluruh pengkondisian udara dan ventilasi pada lantai yang
terbakar,
3) Mematikan seluruh sistem pengkondisian udara dan ventilasi bila
kebakaran yang terjadi menjadi sangat berbahaya,
4) Mengoperasikan fan pengendali asap,
5) Melaksanakan seluruh instruksi Manajer TPK dengan baik dan benar.
g. Operator pompa
Tugas:
1) Memantau, memeriksa dan memastikan bahwa seluruh peralatan pompa
dan instalasinya selalu berfungsi dengan baik,
2) Memeriksa permukaan air di dalam reservoir air bawah,
3) Mengoperasikan pompa jika terjadi kebakaran,
4) Melaksanakan seluruh instruksi manajer TPK dengan baik dan benar.
h. Kepala Bagian Keamanan.
Tugas:
1) Pelaksanaan pemadaman api sejak dini,
2) Pelaksanaan evakuasi penghuni/pengguna bangunan ke tempat aman
dari bahaya kebakaran,
3) Pelaksanaan penyelamatan penghuni/pengguna bangunan yang
terperangkap di daerah kebakaran ke tempat yang aman dan kepada
orang-orang lanjut usia, cacat, sakit dan ibu-ibu hamil harus diberikan
cara penyelamatan khusus,
4) Pelaksanaan pengamanan lokasi kebakaran dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
i. Tim Pemadam Api (TPA).
Tugas:
1) Memadamkan api dengan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan
Hidran Kebakaran bangunan,
2) Menjaga terjadinya penjalaran kebakaran dengan cara melokalisasi
daerah kebakaran dan menyingkirkan barang-barang yang mudah
terbakar, atau menutup pintu dan jendela,
3) Mencegah orang yang bukan petugas MPK atau petugas TPK mendekati
daerah yang terbakar,
4) Menghubungi manajer TPK jika kebakaran diperkirakan tidak dapat
diatasi lagi.
j. Tim Penyelamat Kebakaran (TPK)
Tugas:
1) Menginstruksikan semua penghuni/pengguna untuk segera keluar dari
bangunan melalui tangga darurat dengan tertib pada saat terjadi
kebakaran,
2) Memimpin pelaksanaan evakuasi lewat tangga darurat,
3) Melarang penghuni menggunakan Lif (kalau ada),
4) Mengarahkan penghuni keluar melalui tangga darurat dengan jalan
cepat,
5) Menginstruksikan penghuni wanita untuk melepas sepatu dengan hak
yang tinggi,
6) Memimpin evakuasi sampai menuju lantai dasar dan berkumpul di
lokasi yang telah ditentukan,
7) Mengevaluasi jumlah yang dievakuasi, bersama dengan kelompok
evakuasi setiap lantai,
8) Menjaga dengan ketat supaya jangan sampai ada yang berusaha untuk
naik kembali ke gedung yang terbakar atau meninggalkan kelompok
sebelum ada instruksi lebih lanjut,
9) Melakukan evakuasi pada orang cacat, wanita hamil, lanjut usia dan
orang sakit melalui tangga darurat,
10) Menyelamatkan orang pingsan akibat kebakaran dengan tandu dan
segera memberikan pertolongan pertama,
11) Menyelamatkan orang yang pakaiannya terbakar dengan selimut tahan
api dan mengguling-gulingkan tubuhnya di atas lantai agar api cepat
padam serta memberi pertolongan pertama,
12) Menghubungi Rumah Sakit terdekat/Ambulans/ Dokter,
13) Menghitung jumlah karyawan pada lantai yang terbakar dan membuat
laporan pelaksanaan tugas.
k. Tim Pengaman (Sekuriti).
Tugas:
1) Mengamankan daerah kebakaran agar tidak dimasuki oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab,
2) Menangkap orang yang mencurigakan sesuai prosedur yang berlaku,
seperti dengan borgol, diturunkan lewat tangga darurat, dibawa ke Pos
Keamanan untuk diperiksa dan selanjutnya diserahkan ke Polisi,
3) Mengamankan barang-barang berbahaya, brankas dan lain-lain,
4) Membantu Tim Pemadam.
BAGIAN 4: TATA LAKSANA OPERASIONAL

4.1 Umum
1. Tata Laksana Operasional yang dimaksud di sini mencakup kegiatan
pencegahan, pemadaman, pelaporan dan sistem informasi yang harus
dilaksanakan dalam rangka peningkatan efektifitas penanggulangan kebakaran
di bangunan gedung.
2. Pelaksanaan operasional penanggulangan kebakaran di dalam gedung perlu
memperhatikan kondisi instansi pemadam kebakaran setempat.

4.2 Pencegahan
1. Rencana Strategi Tindakan Darurat/Fire Emergency Plan (FEP)
a. Menyusun program penanganan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan
gedung secara berkesinambungan.
b. Menyusun program peningkatan personil.
c. Melaksanakan kegiatan dengan tujuan diperolehnya unsur keamanan total
terhadap bahaya kebakaran.
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan dan pengendalian
kebakaran pada saat terjadi kebakaran.
e. Menyusun Standar Operasi Prosedur untuk setiap tindakan pengamanan
terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
f. Menyusun dan mendokumentasikan laporan mengenai pelaksanaan MPK.
2. Prosedur Operasional Standar (POS)
POS adalah tata laksana minimal yang harus diikuti dalam rangka pencegahan
dan penanggulangan kebakaran. Dengan mengikuti ketentuan tersebut
diharapkan tidak terjadi kebakaran atau kebakaran dapat diminimalkan.
Adapun ketentuan POS adalah sebagai berikut:
a. POS harus dimiliki oleh setiap bangunan gedung, khususnya bangunan
gedung umum, perhotelan, perkantoran, pusat belanja dan rumah sakit;
b. Setiap bangunan gedung harus memiliki kelengkapan POS, antara lain
mengenai: pemberitahuan awal, pemadam kebakaran manual, pelaksanaan
evakuasi, pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran, dan
sebagainya;
c. POS dapat diganti dan atau disempurnakan sesuai dengan kondisi saat ini
dan antisipasi kondisi yang akan datang;
d. POS harus dikoordinasikan dengan instansi pemadam kebakaran, minimal
dengan Pos Kebakaran setempat.
3. Pelatihan Personil
a. Penanggung jawab TPK, Kepada Bagian Teknik Pemeliharaan, Kepala
Bagian Keamanan, Tim Pemadam Api (TPA), Tim Evakuasi Kebakaran
(TEK), Tim Penyelamat Kebakaran (TPK) dan Tim Pengamanan (TP)
sebagai bagian dari TPK, secara periodik wajib mengikuti pelatihan
pemadaman kebakaran yang diselenggarakan oleh Diklat Instansi Pemadam
Kebakaran setempat.
b. Tim Penanggulangan Bahaya Kebakaran (TPBK), minimal sekali dalam 3
(tiga) bulan menyelenggarakan pertemuan untuk mendiskusikan secara
internal masalah-masalah yang menyangkut kesiapan seluruh anggota TPK
dalam penanggulangan bahaya kebakaran.
c. TPK, minimal sekali dalam 6 (enam) bulan menyelenggarakan latihan
penyelamatan kebakaran yang diikuti oleh seluruh penghuni bangunan.
d. Setiap kegiatan latihan penyelamatan kebakaran harus mengikuti POS yang
telah disusun oleh TPK.
e. Setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Instansi Pemadam Kebakaran,
harus mengikuti POS yang telah disusun oleh Diklat Instansi Pemadam
Kebakaran setempat.
f. Dalam rangka keseragaman komunikasi yang menyangkut informasi
penanggulangan kebakaran, disusun POS yang menyangkut tata cara
komunikasi sehubungan dengan terjadinya kebakaran. Dalam penyusunan
POS Komunikasi selain melibatkan instansi pemadam kebakaran, dilibatkan
juga TELKOM dan ORARI.
4. Pemeriksaan dan Pemeliharaan
a. Pemeriksaan dan Pemeliharaan Ruangan.
1) Dalam rangka pencegahan terhadap kebakaran, setiap
penghuni/penyewa gedung wajib memeriksa ruangannya sebelum
meninggalkan gedung.
2) Laporan pemeriksaan disampaikan setiap hari sesudah jam kerja,
kecuali hari di mana pada ruangan tersebut tidak ada aktivitas.
3) Laporan pemeriksaan diserahkan kepada Kepala Bagian Keamanan
melalui Ketua Kelompok yang ditunjuk.
b. Pemeriksaan dan pemeliharaan sistem proteksi kebakaran.
1) Kegiatan pemeriksaan dan pemeliharaan harus dilakukan secara berkala
sebagai bagian dari kegiatan Manajemen Penanggulangan Bahaya
Kebakaran (MPBK).
2) Bagian Keamanan melalui Tim Pemadam Api (TPA) wajib memeriksa
peralatan Sistem Proteksi Kebakaran secara berkala minimal 2 (dua)
kali dalam seminggu.
3) Laporan pemeriksaan diserahkan pada Manajer Manajemen
Penanggulangan Kebakaran (MPK).
4) Laporan pemeriksaan disampaikan setiap kali selesai dilakukan
pemeriksaan.
c. Pengujian Peralatan Sistem Proteksi Kebakaran.
1) Pengujian terhadap peralatan Sistem Proteksi Kebakaran dilakukan
sesuai ketentuan yang berlaku.
2) Pengujian dilakukan oleh Bagian Keamanan bersama-sama dengan
Bagian Teknik Pemeliharaan, dan hasilnya disampaikan kepada
Manajer Pengelola Bangunan melalui Manajer MPK.
d. Audit Terhadap Sarana Penanggulangan Kebakaran.
1) Audit Keselamatan Sekilas (Walk Through) dilakukan setiap 6 bulan
sekali oleh para operator/teknisi yang berpengalaman.
2) Audit Awal (Preliminary Audit) dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali
dan dapat dilaksanakan oleh operator/teknisi setempat.
3) Audit lengkap (Complete Audit) perlu dilakukan setiap 5 (lima) tahun
sekali oleh konsultan ahli yang ditunjuk.
5. Rencana Aksi (Action Plan)
a. Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK) perlu mengadakan Rencana
Aksi dalam rangka meningkatkan budaya aman kebakaran melalui rencana
aksi yang telah disusun.
b. Rencana Aksi tersebut meliputi antara lain: penetapan minggu aman
kebakaran pada bangunan gedung dan sekitarnya, penyusunan brosur dan
poster mengenai pengamanan terhadap bahaya kebakaran.
6. Hubungan Dengan Lingkungan.
a. Apabila bangunan gedung berada pada lingkungan permukiman, TPK
membantu instansi pemadam kebakaran dalam penyiapan anggota Satlakar.
b. Apabila bangunan gedung berada dalam lingkungan kawasan, TPK
merupakan bagian (Sub Sistem) yang dikoordinasikan dengan instansi
pemadam kebakaran kawasan.

4.3 Pemadaman Kebakaran


1. Informasi adanya Kebakaran dan Pemadaman Awal.
a. Laporan melalui telepon, radio dan dari pemilik/ masyarakat adanya
asap/api dari daerah kebakaran di dalam gedung.
b. Penerima informasi segera membunyikan alarm kebakaran dengan cara
mengaktifkan titik panggil manual.
c. Berusaha secara dini memadamkan kebakaran yang terjadi dengan
menggunakan peralatan pemadam kebakaran yang tersedia.
2. Evakuasi Orang dan Barang.
a. Petugas TEK memandu semua penghuni atau penyewa gedung untuk segera
berevakuasi dengan menggunakan tangga darurat terdekat menuju tempat
berhimpun pada saat:
1) diumumkan untuk berevakuasi.
2) diaktifkannya alarm kedua, atau
3) diinstruksikan oleh petugas kebakaran.
b. Petugas TEK membimbing para tamu/pengunjung yang berada di lantai
masing-masing untuk berevakuasi bersama melewati tangga darurat
terdekat dengan tertib dan tidak panik. Dilarang keras menggunakan Lif.
c. Seluruh staf/tamu/pengunjung dapat kembali ke dalam bangunan apabila
telah diinstruksikan oleh petugas dari Instansi Pemadam Kebakaran.
3. Pencarian Sumber Api.
a. Pencarian sumber api dilakukan segera setelah mendapat informasi melalui
alarm, telepon atau melihat asap.
b. Tindakan ini dilakukan dalam rangka pemadaman dini agar api tidak cepat
menjalar/berkembang.
4. Pemadaman Api
a. Pemadaman api dilakukan segera agar tidak berkembang dan diupayakan
dalam waktu sepuluh menit pertama saat terlihat adanya api, sambil
menunggu datangnya bantuan dari instansi pemadam kebakaran.
b. Selanjutnya diambil rangkaian tindakan sesuai dengan rencana strategi
tindakan darurat penanggulangan kebakaran, seperti misalnya tindakan saat
mendengar suara tanda bahaya kebakaran (alarm), tindakan yang harus
dilakukan bila terperangkap asap, dan sebagainya.

4.4 Pasca Kebakaran


1. Laporan Kebakaran.
Laporan kebakaran antara lain meliputi:
a. waktu dan alamat kejadian,
b. penyebab dan jumlah obyek kebakaran,
c. jumlah kerugian jiwa dan taksiran kerugian materi,
d. awal dan akhir pemadaman.
2. Pemeriksaan dan Penelitian Tingkat Keandalan Bangunan.
a. Sebelum dilakukan tindakan rehabilitasi pada bangunan, maka terlebih
dahulu dilakukan tindakan pemeriksaan dan penelitian mengenai tingkat
keandalan bangunan gedung tersebut setelah kejadian kebakaran sesuai
dengan Pedoman Teknis yang berlaku,
b. Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian termasuk pengujian keandalan
bangunan pasca kebakaran harus ditangani oleh ahli yang berkompeten,
c. Hasil pemeriksaan bangunan tersebut merupakan persyaratan dalam
memperoleh ijin rehabilitasi,
d. Hasil pemeriksaan tersebut digunakan sebagai masukan pada perencanaan
rehabilitasi.

BAGIAN 5: SUMBER DAYA MANUSIA

5.1 Umum
1. Yang dimaksud dengan Sumber Daya Manusia (SDM) disini adalah seluruh
personil yang terlibat dalam kegiatan dan fungsi MPK bangunan gedung.
2. Untuk mencapai hasil kerja yang efektif dan efisien harus didukung oleh
tenaga-tenaga yang mempunyai dasar pengetahuan, pengalaman dan keahlian di
bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran, meliputi:
a. keahlian di bidang penyelamatan kebakaran,
b. keahlian di bidang penyelamatan darurat,
c. keahlian di bidang manajemen.

5.2 Kualifikasi SDM.


1. Kualifikasi masing-masing jabatan dalam MPK sangat tergantung dari keahlian
di atas dan tergantung juga kepada ketinggian dan fungsi bangunan, klasifikasi
resiko bangunan terhadap kebakaran, lokasi dan kondisi infrastruktur sekeliling
bangunan.
2. Sumber Daya manusia (SDM) yang berada dalam MPK ini secara berkala harus
dilatih dan ditingkatkan kemampuannya.

5.3 Klasifikasi SDM.


Klasifikasi SDM ditentukan berdasarkan struktur organisasi keadaan darurat
sebagaimana diatur dalam pada butir 3.2.
Hal-hal lain yang menyangkut persyaratan SDM serta penyelenggaraan program
diklat diatur tersendiri.
BAB V
PENUTUP

1. Ketentuan Teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, instansi pemadam kebakaran, pengelola gedung, dan instansi yang
terkait dengan kegiatan pengaturan dan pengendalian penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung dalam pencegahan dan penanggulangan
kebakaran, guna menjamin keamanan dan keselamatan kota, lingkungan, dan
bangunan gedung terhadap kebakaran.

2. Bangunan gedung yang dibangun sebelum ketentuan ini ditetapkan, harus


melakukan penyesuaian secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi
kabupaten/kota yang bersangkutan dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

3. Disamping ketentuan teknis tersebut di atas dapat digunakan Pedoman/SNI terkait,


terutama yang berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran
pada bangunan gedung.

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM

ROZIK B. SOETJIPTO
LAMPIRAN

NO. PERUNTUKAN BANGUNAN

Tabel 2-1.
Bangunan dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 3.

1. Hangar pesawat terbang


2. Pabrik gandum
3. Pabrik kimia
4. Pemintalan
5. Penyulingan
6. Pabrik/gudang bahan mudah terbakar
7. Penggilingan lemak
8. Gudang padi
9. Penggilingan minyak pelicin
10. Tempat penyimpanan kayu
11. Penyulingan minyak
12. Pabrik/gudang plastik
13. Penggergajian kayu
14. Pemisahan minyak pencuci logam
15. Tempat penyimpanan jerami
16. Pabrik pernis dan cat

Tabel 2-2.
Bangunan dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4.

1. Kandang kuda
2. Gudang bahan bangunan
3. Pusat perbelanjaan
4. Ruang pamer, auditorium dan bioskop
5. Tempat penyimpanan
6. Terminal pengangkutan
7. Pertokoan
8. Pemrosesan kertas
9. Pelabuhan
10. Bengkel
11. Pabrik karet
12. Gudang untuk: mebel, umum, cat, kertas dan minuman keras
13. Industri kayu
NO. PERUNTUKAN BANGUNAN

Tabel 2-3.
Bangunan dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5.
1. Tempat hiburan
2. Pabrik pakaian
3. Gudang pendingin
4. Gudang kembang gula
5. Gudang hasil pertanian

6. Ruang pamer dagang


7. Binatu
8. Pabrik penyamakan kulit
9. Perpustakaan (dengan gudang buku yang besar)

10. Kios sablon


11. Toko mesin
12. Toko besi
13. Asrama perawat

14. Pabrik farmasi


15. Percetakan
16. Rumah makan
17. Pabrik tali
18. Pabrik gula

19. Pabrik perekat


20. Pabrik tekstil
21. Gudang tembakau
22. Bangunan kosong
NO. PERUNTUKAN BANGUNAN

Tabel 2-4.
Bangunan dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6.

1. Gudang minyak
2. Parkir mobil
3. Pabrik roti
4. Tempat potong rambut
5. Pabrik minuman
6. Ruang boiler
7. Pabrik bier
8. Pabrik bata
9. Pabrik kembang gula
10. Pabrik semen
11. Rumah ibadah
12. Pabrik susu
13. Tempat praktek dokter
14. Pabrik elektronik
15. Tungku / dapur
16. Pabrik pakaian bulu hewan
17. Pompa bensin
18. Pabrik gelas
19. Kamar mayat
20. Gedung pemerintah
21. Kantor pos
22. Rumah pemotongan hewan
23. Kantor telepon
24. Pabrik arloji / perhiasan
25. Pabrik anggur
NO. PERUNTUKAN BANGUNAN

Tabel 2-5.
Bangunan Dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7.
1. Apartemen
2. Universitas
3. Asrama
4. Perumahan
5. Pos kebakaran
6. Asrama paroki
7. Rumah sakit
8. Hotel & motel
9. Perpustakaan (tanpa gudang buku)
10. Museum
11. Rumah Perawatan
12. Perkantoran
13. Kantor polisi
14. Penjara
15. Sekolah
IDENTIFIKASI LOKASI INVENTARISASI SARANA DAN
POS YANG ADA DAN PLOT PERALATAN–EVALUASI
AREA JANGKAUAN ORGANISASI DAN DANA

PLOT AREA JANGKAUAN EVALUASI DAN TENTUKAN


SISTEM HIDRAN YANG ADA TINGKAT KEMAMPUAN
PERALATAN/KENDARAAN
PASOKAN AIR

PLOT AREA JANGKAUAN


MOBIL TANGKI DAN TITIK LAKUKAN UJI POMPA DAN
PENGISAPANAIR YANG ADA HIDRAN

EVALUASI TINGKAT
KEMAMPUAN PASOKAN AIR LAKUKAN ANALISIS UNTUK
KESELURUHAN POTENSI BAHAYA KHUSUS

TETAPKAN POS
OPERASIONIL PEMADAMAN

SIAPKAN/SUSUN RISPK DENGAN


MENGEVALUASI KEKUATAN DAN
KELEMAHAN SERTA
REKOMENDASI

MENYIAPKAN DANA JANGKA PENYIAPAN/PENYEDIAAN


PANJANG DAN DANA PELATIHAN UNTUK SEMUA
OPERASI PERSONIL

Gambar 2.1. Bagan Alir Untuk Menyusun Rencana Induk Sistem Pemadam Kebakaran Kota
(RISPK)
Lampiran Bab II, Bagian I Wilayah Manajemen Kebakaran

CONTOH PERHITUNGAN PENENTUAN KEBUTUHAN AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN

1. Laju Pengeluaran Air (Delivery rate)


Laju pengeluaran air untuk pemadaman kebakaran dalam galon dan liter ditunjukkan pada tabel
berikut:

Tabel – 1. Laju Pengeluaran Air pada pasokan air total


yang diperlukan

Pasokan air total yang Laju pengeluaran yang


diperlukan diperlukan
(liter) (galon) (liter/menit) (galon/menit)

kurang dari 9.459 kurang dari 2.499 946 250


9.460 – 37.849 2.500 – 9.999 1.893 500
37.850 – 75.699 10.000 – 19.999 2.839 750
75.700 atau lebih 20.000 atau lebih 3.785 1.000

2. Laju Penerapan Air (Application rate)


a. Laju penerapan air (dalam satuan liter) ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut:
(Panjang x Lebar x Tinggi) meter
= …. (liter/menit) ….(1)
378
Sebagai contoh bangunan berukuran 80m x 60m x 20m, maka aliran air yang diperlukan adalah:
80 x 60 x 20
= 253,97 (liter/menit)
378
b. Laju penerapan air (dalam satuan Galon) ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut:
(Panjang x Lebar x Tinggi) feet
= … (galon/menit)… (2)
100
Sebagai contoh bangunan berukuran 80ft x 60ft x 20ft, maka aliran air yang diperlukan adalah:
80 x 60 x 20
= 960 (galon/menit)
100
Bila dalam perhitungan dengan satuan galon diperoleh nilai 960, tetapi kebutuhan air yang
diperlukan tersebut (sesuai Tabel – 1) yang direkomendasikan adalah sebesar 1.000 (galon/menit).
Bilamana ukuran panjang dilipatduakan sehingga menjadi 160 dengan ukuran lainnya dibuat tetap
(160x60x20) ft, maka kebutuhan air total tersebut meningkat mencapai 192.000 galon.
Selanjutnya bila dihitung kebutuhan air untuk bangunan yang berukuran lebih besar, tersebut maka
hasilnya adalah:
160 x 60 x 20
= 1.920 (galon/menit)
100

Laju pengaliran air maksimum sebesar 1.000 (galon/menit) sebagaimana tercantum pada Tabel – 1
hanya mampu memasok kira-kira separuh dari jumlah air yang diperlukan untuk menanggulangi
kebakaran pada gedung tersebut.
Contoh ini memberikan ilustrasi bahwa kebutuhan pasokan air diatas hanya maksimum yang
ditentukan dalam standar. Hal ini sering berlaku dalam melakukan operasi pemadaman kebakaran
pada bangunan berukuran besar yang mengandung permasalahan spesifik.

3. Menghitung Potensi Pengangkutan Air untuk Pemadaman.


Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam penerapan pasokan air dengan tangki adalah:
a. Jumlah/kapasitas air yang diangkut oleh unit yang merespons pertama kali terhadap
pemberitahuan kebakaran.
b. Jumlah air yang diangkut secara terus menerus dan berulang kali.
Dalam operasi lapangan pemadaman kebakaran, terutama untuk meningkatkan faktor keselamatan
dan efisiensi waktu, sering instansi pemadam kebakaran mengirimkan kendaraan pengangkut air ke
sumber air melalui satu rute jalan lainnya untuk kembali ke lokasi kebakaran. Oleh karena itu, waktu
yang ditempuh oleh petugas pemadam untuk bergerak dari lokasi kebakaran ke sumber air (T1)
dapat berbeda bila dibandingkan dengan waktu kembali ke lokasi kebakaran (T2). Pengurangan
kepadatan di jalan akan memberikan operasi yang lebih aman dan meningkatkan jumlah air yang
benar-benar diangkut.
Rumus yang tepat untuk menghitung kapabilitas aliran maksimum yang terus menerus pada lokasi
kebakaran adalah:
V
Q= - 10 % ………. (3)
A + (T1 + T2) + B
dimana:
Q= kemampuan dalam mengeluarkan air secara terus menerus dan maksimum (liter/menit )
atau (galon/menit)
V= kapasitas pasokan air oleh kendaraan pemadam dalam liter atau galon
A= waktu dalam menit (untuk kendaraan pemasok air) dalam menempuh perjalanan sejarak
61 m (200 feet), dalam rangka menghisap air dari sumber air ke mobil tangki dan
kembali 61 m (200 feet) ke titik awal atau lokasi kebakaran.
T1= Waktu dalam menit (untuk kendaraan pemasok air) untuk menempuh perjalanan dari
lokasi kebakaran ke sumber air, dihitung dengan rumus:
T1 = 0,65 + X D1 ………………………………….. (4) (Lihat Tabel 3 )
T2= Waktu dalam menit untuk kendaraan pemasok air yang sama untuk menempuh
perjalanan dari lokasi kebakaran ke sumber air, dihitung dengan rumus:
T2 = 0,65 + X D2 ……………………………………. (5) ( Lihat Tabel 2 )
B= Waktu dalam menit (untuk kendaraan pemasok air) untuk menempuh jarak 61 m (200
feet), mengisi kendaraan pemasok air di sumber air dan kembali menempuh jarak 61 m
(200 feet) ke lokasi kebakaran.
-10 % Jumlah pasokan air (dikaitkan dengan kapasitas kendaraan pemasok air) yang dianggap
tidak ada atau hilang karena kebocoran, kekurangan dalam pengisian dan proses
pengangkutan yang tidak cermat.

Waktu pengisapan/penyedotan air (A) dan waktu pengisian/pengaliran air yang ditunjukkan dalam
rumus (3) harus ditentukan lewat pengalaman praktek dan kajian mendalam terhadap sumber-
sumber air. Peralatan penunjang tidak perlu dioperasikan pada kondisi darurat untuk memperoleh
waktu perjalanan (T), sebagaimana dihitung dengan rumus berikut:
T = 0,65 + X D ……………………………………. (6)
dimana :
T = waktu dalam menit untuk menempuh perjalanan satu arah
D = jarak yang ditempuh satu arah

Bilamana sarana pemadam dilengkapi dengan mesin, chasis, baffling dan rem yang cocok, maka
kecepatan konstan yang aman sebesar 56,3 km/jam (35 mph) secara umum dapat dipertahankan
pada kondisi lalu lintas normal dan pada jalan umum. Pada kondisi dimana kecepatan ini tidak
diperbolehkan, kecepatan konstan yang aman rata-rata harus dikurangi.

Dengan menggunakan kecepatan konstan aman rata-rata sebesar 56,3 km/jam (35 mph).
60 60
X= = = 1,70
kecepatan konstan aman rata-rata 35 mph
Nilai pra kalkulasi untuk harga X dengan memakai berbagai harga kecepatan dalam mph (km/jam)
dengan dimasukkan ke rumus diatas (T=0,65 + XD) adalah sebagai berikut:
Tabel – 2
Rumus (5) setelah dimasukkan harga X

T = 0,65 + 1,7 D kecepatan konstan 25 mph


T = 0,65 + 2,0 D kecepatan konstan 30 mph
T = 0,65 + 2,4 D kecepatan konstan 25 mph
T = 0,65 + 3,0 D kecepatan konstan 20 mph
T = 0,65 + 4,0 D kecepatan konstan 15 mph

Dengan rumus-rumus tersebut dapat dimungkinkan untuk merancang kapasitas air yang tersedia di
setiap lokasi dalam suatu wilayah. Sebagai contoh bagaimana menghitung air yang tersedia dari
suatu sumber air dimana air tersebut harus diangkut ke lokasi kebakaran dengan memakai rumus-
rumus tersebut.
Bila kapasitas tangki (V) adalah 5.678 liter (1.500 galon), maka waktu pengisian ke kendaraan
pemasok air (A) adalah 30 menit dan waktu persiapan (B) air ke tangki portable adalah 4 menit.

TABEL -3
TABEL WAKTU - JARAK (DALAM MILES) DENGAN MEMAKAI
KECEPATAN.KONSTAN AMAN RATA-RATA SEBAGAI
T = 0,65 + 1,70 D
JARAK WAKTU JARAK WAKTU JARAK WAKTU JARAK WAKTU
(miles) (menit) (miles) (menit) (miles) (menit) (miles) (menit)
(D) (T) (D) (T) (D) (T) (D) (T)

0.00 0.65 4.10 7.62 8.20 14.59 12.30 21.56


0.10 0.82 4.20 7.79 8.30 14.76 12.40 21.73
0.20 0.99 4.30 7.96 8.40 14.93 12.50 21.90
0.30 1.16 4.40 8.13 8.50 15.10 12.60 22.07
0.40 1.33 4.50 8.30 8.60 15.27 12.70 22.24
0.50 1.50 4.60 8.47 8.70 15.44 12.80 22.41
0.60 1.67 4.70 8.64 8.80 15.61 12.90 22.58
0.70 1.84 4.80 8.81 8.90 15.78 13.00 22.75
0.80 2.01 4.90 8.98 9.00 15.95 13.10 22.92
0.90 2.18 5.00 9.15 9.10 16.12 13.20 23.09
1.00 2.35 5.10 9.32 9.20 16.29 13.30 23.26
1.10 2.52 5.20 9.49 9.30 16.46 13.40 23.43
1.20 2.69 5.30 9.66 9.40 16.63 13.50 23.60
1.30 2.86 5.40 9.83 9.50 16.80 13.60 23.77
1.40 3.03 5.50 10.00 9.60 16.97 13.70 23.94
1.50 3.20 5.60 10.17 9.70 17.14 13.80 24.11
1.60 3.37 5.70 10.34 9.80 17.31 13.90 24.28
1.70 3.54 5.80 10.51 9.90 17.48 14.00 24.45
1.80 3.71 5.90 10.68 10.00 17.65 14.10 24.62
1.90 3.88 6.00 10.85 10.10 17.82 14.20 24.79
2.00 4.05 6.10 11.02 10.20 17.99 14.30 24.96
2.10 4.22 6.20 11.19 10.30 18.16 14.40 25.13
2.20 4.39 6.30 11.36 10.40 18.33 14.50 25.30
2.30 4.56 6.40 11.53 10.50 18.50 14.60 25.47
2.40 4.73 6.50 11.70 10.60 18.67 14.70 25.64
2.50 4.90 6.60 11.87 10.70 18.84 14.80 25.81
2.60 5.07 6.70 12.04 10.80 19.01 14.90 25.98
2.70 5.24 6.80 12.21 10.90 19.18 15.00 26.15
2.80 5.41 6.90 12.38 11.00 19.35 15.10 26.32
Lanjutan Tabel-3
JARAK WAKTU JARAK WAKTU JARAK WAKTU JARAK WAKTU
(miles) (menit) (miles) (menit) (miles) (menit) (miles) (menit)
(D) (T) (D) (T) (D) (T) (D) (T)

2.90 5.58 7.00 12.55 11.10 19.52 15.20 26.49


3.00 5.75 7.10 12.72 11.20 19.69 15.30 26.66
3.10 5.92 7.20 12.89 11.30 19.86 15.40 26.83
3.20 6.09 7.30 13.06 11.40 20.03 15.50 27.00
3.30 6.26 7.40 13.23 11.50 20.20 15.60 27.17
3.40 6.43 7.50 13.40 11.60 20.37 15.70 27.34
3.50 6.60 7.60 13.57 11.70 20.54 15.80 27.51
3.60 6.77 7.70 13.74 11.80 20.71 15.90 27.68
3.70 6.94 7.80 13.91 11.90 20.88 16.00 27.85
3.80 7.11 7.90 14.08 12.00 21.05 16.10 28.02
3.90 7.28 8.00 14.25 12.10 21.22 16.20 28.19
4.00 7.45 8.10 14.42 12.20 21.39 16.30 28.36

Contoh Perhitungan
Jarak dari lokasi kebakaran (D1) ke sumber air adalah 3,38 Km (2,10 miles) saat kendaraan pemasok air
kembali ke lokasi kebakaran melalui jalan yang berbeda, jarak (D2) dari sumber air ke lokasi kebakaran
adalah 2,9 Km (1,80 miles).

Penyelesaian
Pertama-tama hitung T1, yaitu waktu yang diperlukan mobil pemasok air menempuh jarak dari lokasi
kebakaran ke sumber air dan T2, waktu untuk menempuh jarak dari sumber air kembali ke lokasi
kebakaran.
Karena kondisi cuaca dan kondisi jalan yang dilaluinya baik, maka kecepatan rata-rata kendaraan
pemasok air bergerak dari lokasi kebakaran ke sumber air adalah 56,3 Km/jam (35 mph).

Oleh karena itu, maka


T1 = 0,65 + 1,70 D1
T1 = 0,65 + (1,70 x 2,10)
T1 = 0,65 + 3,57
T1 = 4,22 Menit (Lihat Tabel 3)
Pada kecepatan konstan sebesar 56,3 Km/jam (35 mph) kendaraan pemasok air menempuh jarak 3,38
Km (2,1 mph) dan akan memakan waktu 4,22 Menit.
Oleh karena adanya lampu tanda lalu lintas dll, maka kecepatan rata-rata kendaraan pemasok air yang
bergerak antara lokasi kebakaran dengan sumber air adalah 48,3 Km/jam (30 mph).

Selanjutnya
T= 0,65 + X D2
Pada 30 mph
X= 2,10
D2= 1,80 Miles
T2= 0,65 + 2,10 x 1,80
T2= 0,65 + 3,60
T2= 4,25 Menit
Substitusi ke Rumus
V
Q= - 10%
A + (T1 + T2) + B

Dimana:
Q = kemampuan aliran kontinyu maksimum dalam gpm dengan V = 1.500 gallon
A = 3,0
T1 = 4,22
T2 = 4,25
B = 4,0
1.500
Q= - 10%
3,0 + (4,22 + 4,25) + 4,0

1.500
Q= - 10%
3,0 + 8,47 + 4,0

1.500
Q= - 10%
15,47
Q = 97 – 10% = 87 gpm kapasitas aliran maksimum yang tersedia dari kendaraan pemasok
air berkapasitas 1.500 galon.
TIM PENYUSUN KETENTUAN TEKNIS
MANAJEMEN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI PERKOTAAN

Pembina
Dr. Ir. Rozik B. Soetjipto Menteri Negara Pekerjaan Umum
Pengarah
Ir. Hari Sidharta, Dipl,HE. Deputi Meneg PU Bidang Prasarana dan Sarana Kawasan Terbangun
Ir. Sunaryo Sumadji Sekretaris Menteri Negara Pekerjaan Umum
Wibisono Setio Wibowo, MSc Staf Ahli Menteri Negara PU Bidang Hukum
Drs. Gembong Priyono, MSc Sekretaris Jenderal Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Pelaksana
Ir. A. Budiono, MCM. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Imam S Ernawi, MCM, MSc Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Ir. Aim Abdurachim Idris, MSc Puslitekim Dep. Kimbangwil
Kelompok Kerja
Ir. Erry Saptaria A, CES Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Bambang Dwidjoworo, MSc Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Eko Widiatmo Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Sentot Harsono Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Suprapto, MSFE Puslitekim Dep. Kimbangwil
Ir. Nugroho Puslitekim Dep. Kimbangwil
Ir. Sumihar Simamora, CES Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Eki Keristiawan, SH. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Ir. Dalton Malik Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Ir. Sukartono, IPM Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Handoyo Tanjung,IPM Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Eddy Suharyo, MM Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Yoessair Lubis, CES Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Adjar Prayudi, MCM,MSc Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. Eko Djuli Sasongko Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Ir. D a n i a l Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Russelina Sidik Umar, SH. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum

Peserta Konsensus
KELOMPOK KERJA
ASOSIASI PROFESI TEKNIK JASA KONSTRUKSI DAN LINGKUNGAN:
Ir. Zahri Zunaid, IAI Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Ir. Nusa Setiani Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI)
Ir. Idrus, MSc Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI)
Ir. Edyson. MFK Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI)
Ir. Ariono Suprayogi Ikatan Ahli Sistem dan Konstruksi Mekanis Indonesia (IASMI)
Ir. D. Fathoni Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI)
Ir. Hario Sabrang, MA. Himpunan Ahli Manajemen Konstruksi Indonesia (HAMKI)

DINAS KEBAKARAN:
Drs. Yayan Ardisuma Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
Drs. Elsinus Hasugian Dinas Pemadam Kebakaran Medan
Drs. Bustoni Dinas Pemadam Kebakaran Palembang
Drs. Sudadi Dinas Pemadam Kebakaran Bandung
H. Bachrudin Dinas Pemadam Kebakaran Tangerang
Yusuf S. Diat Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi
Drs. H. Utomo Sutopo, SH. Dinas Pemadam Kebakaran Semarang
Suwarni Dinas Pemadam Kebakaran Surakarta
Kabul Martobroto, BA Dinas Pemadam Kebakaran Yogyakarta
Drs. Hasan Achmad Suhofi Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya
Sukendar Dinas Pemadam Kebakaran Surabaya
Drs. Amunullah Teng Dinas Pemadam Kebakaran Ujung Pandang

DEPARTEMEN/DINAS PU/CIPTA KARYA:


Ir. A. Budiono, MCM Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum
Subiantoro, SH Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
Ir. Syamsuir Burhan Dinas PU Propinsi Sumatera Barat
Ir. H. Abdul Adjid, BE Subdin Cipta Karya Propinsi Bengkulu
Ir. Aminudin Dinas PU-CK Propinsi Bengkulu
Ir. Firdaus Subdin Cipta Karya Propinsi Riau
H.R. Manan, MTP Subdin Cipta Karya Propinsi Jambi
Ir. Hasran Danal Subdin Tata Bangunan Propinsi Lampung
Ir. Andi Mulyadi Dinas PU-CK. Propinsi Kalimantan Barat
Ir. Mundihat Subdin Cipta Karya Propinsi Kalimantan Tengah
Ir. Monica Puji Retnoningsih Subdin Cipta Karya Propinsi Kalimantan Timur
Ir. Syafruddin Basri Dinas PU Propinsi Kalimantan Selatan
Ir. Idham Dinas PU Propinsi Sulawesi Tengah
Ir. Putu Darta,CES Subdin CK-PU Propinsi Bali

Disamping itu juga melibatkan peran aktif berbagai nara sumber bidang tata bangunan dan lingkungan yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.

Penyelaras Akhir
Ir. A. Budiono, MCM
Ir. Erry Saptaria A, CES
Drs. Effendi Mansyur, CES
Ir. Eko Widiatmo
Ir. Sentot Harsono
Perry

Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum


Jl. Raden Patah I/1 Lantai 4 Wing-IV
Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Indonesia.
Telepon: (021) 7268203, Faks: (021) 7235223
e-mail: taba@pu.go.id
D PERATURAN & KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA & TRANS.
1. Permenaker No.: Per.04/Men/1980 Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan
Alat Pemadam Api Ringan
2. Permenaker No.: Per.02/MEN/1983 Instalasi Alarm Kebakaran Automatik

3. Inst.Menaker No.:Ins.11/M/BW/1997 Pengawasan Khusus K3 Penanggulangan


Kebakaran
4. Kepmenaker No.: Kep.186/MEN/1999 Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja
PER. 04/MEN/1980

PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
No : PER.04/MEN/1980

TENTANG
SYARAT-SYARAT PEMASANGAN DAN PEMELIHARAN
ALAT PEMADAM API RINGAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI:

Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk mensiap-siagakan pemberantasan pada


mula terjadinya kebakaran, maka setiap alat pemadam api ringan
harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri yang
mengatur tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat
pemadam api ringan tersebut.

Mengingat : 1. Pasal 2 dan pasal 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja.
2. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 158 Tahun 1972
Tentang Program Operasionil, serentak, singkat, padat, untuk
pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Syarat-
Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.

BAB I
KETERANGAN UMUM
Pasal 1
(1) Alat pemadam api ringan ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang
untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran.
(2) Menteri ialah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
(3) Pegawai pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri.

1 dari 14
PER. 04/MEN/1980

(4) Ahli keselamatan kerja ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi untuk mengawasi ditaatinya peraturan ini.
(5) Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja
atau bagian yang berdiri sendiri.

Pasal 2
(1) Kebakaran dapat digolongkan:
a. Kebakaran bahan padat kecuali logam (Golongan A);
b. Kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar (Golongan B);
c. Kebakaran instalasi listrik bertegangan (Golongan C);
d. Kebakaran logam (Golongan D).
(2) Jenis alat pemadam api ringan terdiri:
a. Jenis cairan (air);
b. Jenis busa;
c. Jenis tepung kering;
d. Jenis gas (hydrocarbon berhalogen dan sebagainya);
(3) Penggolongan kebakaran dan jenis pemadam api ringan tersebut ayat (1) dan ayat
(2) dapat diperluas sesuai dengan perkembangan tehnologi.

Pasal 3
Tabung alat pemadam api ringan harus diisi sesuai dengan jenis dan konstruksinya.

BAB II
PEMASANGAN
Pasal 4
(1) Setiap satu atau kelompok alat pemadam api ringan harus ditempatkan pada posisi
yang mudah dilihat dengan jelas, mudah dicapai dan diambil serta dilengkapi
dengan pemberian tanda pemasangan.
(2) Pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) harus sesuai dengan lampiran I.
(3) Tinggi pemberian tanda pemasangan tersebut ayat (1) adalah 125 cm dari dasar
lantai tepat diatas satu atau kelompok alat pemadam api ringan bersangkutan.
(4) Pemasangan dan penempatan alat pemadam api ringan harus sesuai dengan jenis dan
penggolongan kebakaran seperti tersebut dalam lampiran 2.
(5) Penempatan tersebut ayat (1) antara alat pemadam api yang satu dengan lainnya atau
kelompok satu dengan lainnya tidak boleh melebihi 15 meter, kecuali ditetapkan lain
oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan Kerja.
(6) Semua tabung alat pemadam api ringan sebaiknya berwarna merah.

2 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Pasal 5
Dilarang memasang dan menggunakan alat pemadam api ringan yang didapati sudah
berlubang-lubang atau cacat karena karat.

Pasal 6
(1) Setiap alat pemadam api ringan harus dipasang (ditempatkan) menggantung pada
dinding dengan penguatan sengkang atau dengan konstruksi penguat lainnya atau
ditempatkan dalam lemari atau peti (box) yang tidak dikunci.
(2) Lemari atau peti (box) seperti tersebut ayat (1) dapat dikunci dengan syarat bagian
depannya harus diberi kaca aman (safety glass) dengan tebal maximum 2 mm.

Pasal 7
(1) Sengkang atau konstruksi penguat lainnya seperti tersebut pasal 6 ayat (1) tidak
boleh dikunci atau digembok atau diikat mati
(2) Ukuran panjang dan lebar bingkai kaca aman (safety glass) tersebut pasal 6 ayat (2)
harus disesuaikan dengan besarya alat pemadam api ringan yang ada dalam lemari
atau peti (box) sehingga mudah dikeluarkan.

Pasal 8
Pemasangan alat pemadam api ringan harus sedemikian rupa sehingga bagian paling atas
(puncaknya) berada pada ketinggian 1,2 m dari permukaan lantai kecuali jenis CO2 dan
tepung kering (dry chemical) dapat ditempatkan lebih rendah dengan syarat, jarak antara
dasar alat pemadam api ringan tidak kurang 15 cm dan permukaan lantai.

Pasal 9
Alat pemadam api ringan tidak boleh dipasang dalam ruangan atau tempat dimana suhu
melebihi 49°C atau turun sampai minus 44°C kecuali apabila alat pemadam api ringan
tersebut dibuat khusus untuk suhu diluar batas tersebut diatas.

3 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Pasal 10
Alat pemadam api ringan yang ditempatkan di alam terkuka harus dilindungi dengan
tutup pengaman.

BAB III
PEMELIHARAAN
Pasal 11
(1) Setiap alat pemadam api ringan harus diperiksa 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu:
a. pemeriksaan dalam jangka 6 (enam) bulan;
b. pemeriksaan dalam jangka 12 (dua belas) bulan;
(2) Cacat pada alat perlengkapan pemadam api ringan yang ditemui waktu pemeriksaan,
harus segera diperbaiki atau alat tersebut segera diganti dengan yang tidak cacat.

Pasal 12
(1) Pemeriksaan jangka 6 (enam) bulan seperti tersebut pasal 11 ayat (1) meliputi hal-
hal sebagai berikut:
a. Berisi atau tidaknya tabung, berkurang atau tidaknya tekanan dalam tabung,
rusak atau tidaknya segi pengaman cartridge atau tabung bertekanan dan
mekanik penembus segel;
b. Bagian-bagian luar dari tabung tidak boleh cacat termasuk handel dan label
harus selalu dalam keadaan baik
c. Mulut pancar tidak boleh tersumbat dan pipa pancar yang terpasang tidak boleh
retak atau menunjukan tanda-tanda rusak.
d. Untuk alat pemadam api ringan cairan atau asam soda, diperiksa dengan cara
mencampur sedikit larutan sodium bicarbonat dan asam keras diluar tabung,
apabila reaksinya cukup kuat, maka alat pemadam api ringan tersebut dapat
dipasang kembali;
e. Untuk alat pemadam api ringan jenis busa diperiksa dengan cara mencampur
sedikit larutan sodium bicarbonat dan aluminium sulfat diluar tabung, apabila
cukup kuat, maka alat pemadam api ringan tersebut dapat dipasang kembali;
f. Untuk alat pemadam api ringan hydrocarbon berhalogen kecuali jenis
tetrachlorida diperiksa dengan cara menimbang, jika beratnya sesuai dengan
aslinya dapat dipasang kembali;
g. Untuk alat pemadam api jenis carbon tetrachlorida diperiksa dengan cara melihat
isi cairan didalam tabung dan jika memenuhi syarat dapat dipasang kembali.
h. Untuk alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) harus diperiksa dengan cara
menimbang serta mencocokkan beratnya dengan berat yang tertera pada alat
pemadam api tersebut, apabila terdapat kekurangan berat sebesar 10% tabung
pemadam api itu harus diisi kembali sesuai dengan berat yang ditentukan.
(2) Cara-cara pemeriksaan tersebut ayat (1) diatas dapat dilakukan dengan cara lain
sesuai dengan perkembangan.

4 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Pasal 13
(1) Pemeriksaan jangka 12 (dua belas) bulan seperti tersebut pasal 11 ayat (1) b untuk
semua alat pemadam api yang menggunakan tabung gas, selain dilakukan
pemeriksaan sesuai pasal 12 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menurut ketentuan
ayat (2),(3),(4)dan (5) pasal ini.
(2) Untuk alat pemadam api jenis cairan dan busa dilakukan pemeriksaan dengan
membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya tabung dalam posisi berdiri
tegak, kemudian diteliti sebagai berikut:
a. isi alat pemadam api harus sampai batas permukaan yang telah ditentukan;
b. pipa pelepas isi yang berada dalam tabung dan saringan tidak boleh tersumbat
atau buntu;
c. ulir tutup kepala tidak boleh cacat atau rusak, dan saluran penyemprotan tidak
boleh tersumbat.
d. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, dapat bergerak dengan bcbas,
mempunyai rusuk atau sisi yang tajam dan bak gesket atau paking harus masih
dalam keadaan baik;
e. gelang tutup kepala harus masih dalam keadaan baik;
f. bagian dalam dan alat pemadam api tidak boleh berlubang atau cacat karena
karat;
g. untuk jenis cairan busa yang dicampur sebelum dimasukkan larutannya harus
dalam keadaan baik;
h. untuk jenis cairan busa dalam tabung yang dilak, tabung harus masih dilak
dengan baik;
i. lapisan pelindung dan tabung gas bertekanan, harus dalam keadaan baik;
j. tabung gas bertekanan harus terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya.
(3) Untuk alat pemadam api jenis hydrocarbon berhalogen dilakukan pemeriksaan
dengan membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya tabung dalam
posisi berdiri tegak, kemudian diteliti menurut ketentuan sebagai berikut;
a. isi tabung harus diisi dengan berat yang telah ditentukan;
b. pipa pelepas isi yang berada dalam tabung dan saringan tidak boleh tersumbat
atau buntu;
c. ulir tutup kepala tidak boleh rusak dan saluran keluar tidak boleh tersumbat;
d. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, harus dapat bergerak dengan bebas,
mempunyai rusuk atau sisi yang tajam dan luas penekan harus da!am keadaan
baik;
e. gelang tutup kepala harus dalam keadaan baik;
f. lapiran pelindung dari tabung gas harus dalam keadaan baik;
g. tabung gas bertekanan harus terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya.

5 dari 14
PER. 04/MEN/1980

(4) Untuk alat pemadam api ringan jenis tepung kering (dry chemical) dilakukan
pemeriksaan dengan membuka tutup kepala secara hati-hati dan dijaga supaya
tabung dalam posisi berdiri tegak dan kemudian diteliti menurut ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. isi tabung harus sesuai dengan berat yang telah ditentukan dan tepung keringnya
dalam keadaan tercurah bebas tidak berbutir;
b. ulir tutup kepala tidak boleh rusak dan saluran keluar tidak boleh buntu atau
tersumbat;
c. peralatan yang bergerak tidak boleh rusak, dapat bergerak dengan bebas,
mempunyai rusuk dan sisi yang tajam;
d. gelang tutup kepala harus dalam keadaan baik;
e. bagian dalam dan tabung tidak boleh berlubang-lubang atau cacat karena karat;
f. lapisan pelindung dari tabung gas bertekanan harus dalam keadaan baik;
g. tabung gas bertekanan harus terisi penuh, sesuai dengan kapasitasnya yang
diperiksa dengan cara menimbang.
(5) Untuk alat pemadam api ringan jenis pompa tangan CTC (Carbon Tetrachiorida)
harus diadakan pemeriksaan lebih lanjut sebagai benikut:
a. peralatan pompa harus diteliti untuk memastikan bahwa pompa tersebut dapat
bekerja dengan baik;
b. tuas pompa hendaklah dikembalikan lagi pada kedudukan terkunci sebagai
semula;
c. setelah pemeriksaan selesai, bila dianggap perlu segel diperbaharui.

Pasal 14
Petunjuk cara-cara pemakaian alat pemadam api ringan harus dapat dibaca dengan jelas.

Pasal 15
(1) Untuk setiap alat pemadam api ringan dilakukan percobaan secara berkala dengan
jangka waktu tidak melebihi 5 (lima) tahun sekali dan harus kuat menahan tekanan
coba menurut ketentuan ayat (2),(3), dan ayat (4), pasal ini selama 30 (tiga puluh)
detik.
(2) Untuk alat pemadam api jenis busa dan cairan harus tahan terhadap tekanan coba
sebesar 20 kg per cm2.
(3) Tabung gas pada alat pemadam api ringan dan tabung bertekanan tetap (stored
pressure) harus tahan terhadap tekanan coba sebesar satu setengah kali tekanan
kerjanya atau sebesar 20 kg per cm2 dengan pengertian. kedua angka tersebut dipilih
yang terbesar untuk dipakai sebagai tekanan coba.
(4) Untuk alat pemadam api ringan jenis Carbon Dioxida (CO2) harus dilakukan
percobaan tekan dengan syarat:
a. percobaan tekan pertama satu setengah kali tekanan kerja;

6 dari 14
PER. 04/MEN/1980

b. percobaan tekan ulang satu setengah kali tekanan kerja;


c. jarak tidak boleh dari 10 tahun dan untuk percobaan kedua tidak lebih dari 10
tahun dan untuk percobaan tekan selanjutnya tidak boleh lebih dari 5 tahun.
(5) Apabila alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) setelah diisi dan oleh sesuatu
hal dikosongkan atau dalam keadaan dikosongkan selama lebih dan 2 (dua) tahun
terhitung dan setelah dilakukan percobaan tersebut pada ayat (4), terhadap alat
pemadam api tersebut harus dilakukan percobaan tekan ulang sebelum diisi kembali
dan jangka waktu percobaan tekan berikutnya tidak boleh lebih dari 5 (lima) tahun.
(6) Untuk tabung-tahung gas (gas containers) tekanan cobanya harus memenuhi ke
tentuan seperti tersebut ayat (4) pasal ini.
(7) Jika karena sesuatu hal tidak mungkin dilakukan percobaan tekan terhadap tabung
alat pemadam api dimaksud pasal 15 ayat (6) di-atas, maka tabung tersebut tidak
boleh digunakan sudah 10 (sepuluh) tahun terhitung tanggal pembuatannya dan
selanjutnya dikosongkan.
(8) Tabung-tabung gas (gas containers) dan jenis tabung yang dibuang setelah
digunakan atau tabungnya telah terisi gas selama 10 (sepuluh) tahun tidak
diperkenankan dipakai lebih lanjut dan isinya supaya dikosongkan.
(9) Tabung gas (tahung gas containers) yang telah dinyatakan tidak memenuhi syarat
untuk dipakai lebih lanjut harus dimusnahkan.

Pasal 16
Apabila dalam pemeriksaan alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 12 terdapat cacat karena karat atau beratnya berkurang 10% dari
berat seharusnya, terhadap alat pemadam api tersebut harus dilakukan percobaan tekan
dan jangka waktu percobaan tekan berikutnya tidak boleh lebih dari 5 (lima tahun).

Pasal 17
Setelah dilakukan percobaan tekan terhadap setiap alat pemadam api ringan, tanggal
percobaan tekan tersebut dicatat dengan cap diselembar pelat logam pada badan tabung.

Pasal 18
(1) Setiap tabung alat pemadam api ringan harus diisi kembali dengan cara:
a. untuk asam soda, busa, bahan kimia, harus diisi setahun sekali;
b. untuk jenis cairan busa yang dicampur lebih dahulu harus diisi 2 (dua) tahun
sekali;
c. untuk jenis tabung gas hydrocarbon berhalogen, tabung harus diisi 3 (tiga tahun
sekali, sedangkan jenis Iainnya diisi selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
(2) Waktu pengisian tersebut ayat (1) disesuaikan dengan lampiran 3.
(3) Bagian dalam dari tabung alat pemadam api ringan hydrocarbon berhalogen atau
tepung kering (dry chemical) harus benar-benar kering sebelum diisi kembali

7 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Pasal 19
Alat pemadam api ringan jenis cairan dan busa diisi kembali dengan cara:
(1) Bagian dalam dari tabung alat pemadam api jenis cairan dan busa (Chemical. harus
dicuci dengan air bersih)
(2) Saringan, bagian dalam tabung, pipa pelepas isi dalam tabung dan alat-alat expansi
tidak boleh buntu atau tersumbat.
(3) Pengisian ulang tidak boleh melewati tanda batas yang tertera.
(4) Setiap melakukan penglarutan yang diperlukan, harus dilakukan dalam bejana yang
tersendiri.
(5) Larutan sodium bicarbonat atau larutan lainnya yang memerlukan penyaringan
pelaksanaannya dilakukan secara menuangkan kedalam tabung melalui saringan.
(6) Timbel penahan alat lainnya untuk menahan asam atau larutan garam asam
ditempatkan kembali ke dalam tabung.
(7) Timbel penahan yang agak longgar harus diberi lapisan tipis/petroleum jelly
sebelum dimasukan.
(8) Tabung gas sistim dikempa harus diisi dengan gas atau udara sampai pada batas
tekanan kerja, kemudian ditimbang sesuai dengan berat isinya termasuk lapisan zat
pelindung.

Pasal 20
Alat pemadam api ringan jenis hydrocarbon berhalogen harus diisi kernbali dengan cara:
(1) Untuk tabung gas bertekanan, harus diisi dengan gas atau udara kering sampai batas
tekanan kerjanya.
(2) Tabung gas bertekanan dimaksud ayat (1) harus ditimbang dan lapisan cat pelidung
dalam keadaan baik.
(3) Jika digunakan katup atau pen pengaman, katup atau pen pengaman tersebut harus
sudah terpasang sebelum tabung dikembalikan pada kedudukannya.

Pasal 21
(1) Alat pemadam api ringan jenis tepung kering (dry chemical) harus diisi dengan cara:
a. Dinding tabung dan mulut pancar (nozzle) dibersihkan dan tepung kening (dry
chemical) yang melekat;
b. Ditiup dengan udara kering dan kompressor;
c. Bagian sebelah dalam dari tabung harus diusahakan selalu dalam keadaan
kering;
(2) Untuk tabung gas bertekanan harus ditimbang dan lapisan cat perlindungan harus
dalam keadaan baik.
(3) Katup atau pen pengaman harus sudah terpasang sebelum tabung dikembalikan pada
kedudukannya.

8 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Pasal 22
(1) Semua alat pemadam api ringan sebelum diisi kembali sebagaimana dimaksud pasal
18, 19, 20 dan pasal 21, harus dilakukan pemeriksaan sesuai ketentuan pasal 12 dan
pasal 13 dan kemungkinan harus dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Isinya dikosongkan secara normal;
b. Setelah seluruh isi tabung dialihkan keluar, katup kepala dibuka dan tabung serta
alat-alat diperiksa.
(2) Apabila dalam pemeriksaan alat-alat tersebut ayat (1) terdapat adanya cacat yang
rnenyebabkan kurang amannya alat pemadam api dimaksud, maka segera harus
diadakan penelitian.
(3) Bagian dalam dan luar tabung, harus diteliti untuk memastikan bahwa tidak terdapat
tubang-lubang atau cacat karena karat.
(4) Setelah cacat-cacat sebagaimana tersebut ayat (3) yang mungkin mengakibatkan
kelemahan konstruksi diperbaiki, alat pemadam api harus diuji kembali dengan
tekanan sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal 15.
(5) Ulir tutup kepala harus diberi gemuk tipis, gelang tutup ditempatkan kembali dan
tutup kepala dipasang dengan mengunci sampai kuat.
(6) Apabila gelang tutup seperti tersebut ayat (5) terbuat dari karet, harus dijaga gelang
tidak terkena gemuk.
(7) Tanggal, bulan dan tahun pengisian, harus dicatat pada badan alat pemadam api
ringan tersebut.
(8) Alat pemadam api ringan ditempatkan kembali pada posisi yang tepat.
(9) Penelitian sebagaimana tersebut ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga terhadap jenis
yang kedap tumpah dan botol yang dipecah.

Pasal 23
Pengisian kembali alat pemadam api jenis carbon dioxida (CO2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan pasal 22 tersebut diatas.

Pasal 24
Pengurus harus bertanggung jawab terhadap ditaatinya peraturan ini.

BAB IV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 25
Pengurus yang tidak mentaati ketentuan tersebut pasal 24 diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
(Seratus ribu rupiah) sesuai dengan pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

9 dari 14
PER. 04/MEN/1980

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Alat pemadam api ringan yang sudah dipakai atau digunakan sebelum Peraturan Menteri
ini ditetapkan, pengurus diwajibkan memenuhi ketentuan peraturan ini dalam waktu satu
tahun sejak berlakunya Peraturan ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 April 1980
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

HARUN ZAIN

10 dari 14
PER. 04/MEN/1980

LAMPIRAN 1 :

TANDA UNTUK MENYATAKAN TEMPAT ALAT PEMADAM API RINGAN


YANG DIPASANG PADA DINDING

35 CM

ALAT PEMADAM API 35 CM

MERAH

7,5 CM

CATATAN:
1. Segi tiga sama sisi dengan warna dasar merah.
2. Ukuran sisi 35 cm.
3. Tinggi huruf 3 cm. berwarna putih.
4. Tinggi tanda panah 7,5 cm warna putih

11 dari 14
PER. 04/MEN/1980

TANDA UNTUK MENYATAKAN TEMPAT ALAT PEMADAM YANG DIPASANG


PADA TIANG KOLOM

20 cm
merah
125 cm

TIANG KOLOM
A. bentuk segi empat b. bentuk lingkaran

CATATAN:
1. Warna dasar tanda pemasangan merah.
2. Lebar BAN pada kolom 20 cm sekitar kolom

12 dari 14
PER. 04/MEN/1980
Lampiran 2 KEBAKARAN DAN JENIS ALAT PEMADAM API RINGAN

KEBAKARAN ALAT PEMADAM API RINGAN YANG HARUS DIPAKAI PADA MULA KEBAKARAN
1 2 3 4 5 6 7 8
TETRACHLOOR 2) 3) TEPUNG
KOOLSTOP B.C.F. 6)
AIR BUSA KARBON
GOLONGAN BAHAN YANG TERBAKAR CHLOORBROOM P + PK PG 4) PM 5) HALC
9 liter 9 liter D1OKSIDA
METHAAN 12 kg 12kg 12kg 1,4kg
I liter
V V
1. Kebakaran pada permukaan bahan seperti:
KAYU, KERTAS, TEKSTIL, dsb. V X V Dikombinasikan X V
X X 1) Dengan air
2. Kebakaran sampai bagian dalam dan bahan seperti: X
KAYU, MAJUN, ARANG BATU dsb. V X X X X
BAHAN PADAT XX
A 3. Kebakaran dan BARANG-BARANG YANG
KECUALI LOGAM XX
JARANG TERDAPAT DAN BERHARGA yang
berada di musium-musium, arsip-arsip, koleksi- XX X V V X V
XX 6) X X 1)
koleksi dsb.
4. Kebakaran dan bahan-bahan yang pada pemanasan
X
gampang mengurai seperti KARET BUSA, dan V X X X X X
PLASTIK BUSA dsb. XX
(1) Kebakaran dari Bensin, Bensol, Cat, Tir, Lak, V
X
Aspal, Gemuk, Minyak dan sebagianya V X X
(Yang tidak dapat bercampur dengan air) X X 7)
X X 1)
(2) Kebakaran dan Alkohol dan sebangsanya yang V
dapat melarut dalam air X X X X
(bercampur dalam air) X X 1)
B BAHAN CAIR DAN GAS
V
(3) Gas yang mengalir X X X V X V
X X 1)
V
(4) Bahan-bahan yang dengan air membentuk gas yang X X
dapat terbakar sepcrti : KARBID, POSFIT dsb. X V X V
XX XX
X X 1)
APARAT-APARAT LISTRIK V
Panil Penghubung, Peti Penghubung, Sentral Telepon, X X Tidak Untuk
C BERTEGANGAN
Transformator dab. X Tidak Untuk X
(BERSPANING) XX XX instalaasi instalaasi
X X 1) Hubungan Hubungan
X X X X X
D LOGAM Magnesium, Natrium, Kalsium, Aluminium X
XX XX XX XX XX
Keterangan : 8). Jenis Halon Formula Halon No.
1) Jangan dipakai dalam ruangan kecil yang
= Baik sekali X = Tidak dapat dipakai tertutup dalam mans berada orang2 Bromotnfluoramethana BrF3/B.T.M 1301
2) P dasar Natriumbikarbonat Bromochlorodifluoremethana CbrCLf2/B.C.F 1211
XX = Merusak 3) PK dasar garam alkali Carbon Dioxida CO2 -
= Baik X 4) PG tepung pemadam Dibromodifluorosmenthana CBr2F2 1202
V = Dapat dipakai XX = berbahaya 5) PM untuk kebakaran logam Chlorobromomethana CH2BrCI 1011
6) Bagi barangnya sendiri mungkin merusak Carbon Tetrachlorida CCL4 104
7) Berbahaya karena cairannya memuncratkan Methyl bromide CH3Br 1001
bahan2 yang mudah terbakar meluas).

13 dari 14
PER. 04/MEN/1980

Lampiran 3.

JANGKA WAKTU UNTUK PEMERIKSAAN PENGISIAN


KEMBALI DAN PERCOBAAN TEKAN

Jenis alat pemadam api Pemeriksaan Jarak waktu pengisian Jarak waktu
ringan kembali (tahun) percobaan tekan
(tahun)
Air
Asam Soda A 1 *) 5
Tabung Gas A dan B 5 5
Gas yang dipadatkan A 5 5

Busa
Kimia A 1 5
Tabung Gas
Cairan busa yang di A dan B 2 5
campur terlebih dahulu
Tabung cairan busa yang A dan B 5 5
dilak

Tepung kering /Dry


Chemical
Tabung Gas A dan B 2 5
Gas yang dipadatkan A 5 5

Carbon Dioksida CO2 A Lihat Pasal 15 Ayat (4)

Halogenated
hydrokarbon
Tabung gas A dan B 3 5
Gas yang dipadatkan A 5 5

A = Pemeriksaan 6 bulan sekali sesuai dengan ketentuan pasal 12.


B = Adalah pemeriksaan 12 bulan sekali sesuai dengan ketentuan pasal 13.
*) = Pada alat pemadam api ringan dan jenis botol yang dipecahkan tidak perlu selalu mengganti
asamnya dengan syarat bahwa derajat kesamaan isi botol masih memenuhi syarat, namun botol
tersebut harus dicek terhadap adanya retak-retak.

14 dari 14
PER.02/MEN/1983

PERATURAN
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.02/MEN/1983

TENTANG
INSTALASI ALARM KEBAKARAN AUTOMATIK

MENTERI TENAGA KERJA

Menimbang: a. bahwa dalam rangka kesiapan siagaan pemberantasan pada mula


terjadinya kebakaran maka setiap instalasi alarm kebakaran automatik
harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kesehatan kerja;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Menteri yang mengatur
instalasi Alarm Kebakaran Automatik.

Mengingat: 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


(Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1 Tahun 1970 No. 2918).
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per
03/Men/1978 tentang Persyaratan Penunjukan dan Wewenang serta
Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan
Ahli Keselamatan Kerja.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG
INSTALASI ALARM KEBAKARAN AUTOMATIK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Instalasi Alarm Kebakaraan Automatik adalah sistem atau rangkaian alarm kebakaran
yang menggunakan detektor panas, detektor asap, detektor nyala api dan titik panggil
secara manual serta perlengkapan lainnya yang dipasang pada sistem alarm
kebakaran;
b. Kelompok alarm adalah bagian dari sistem alarm kebakaran termasuk relai, lampu,
saklar, hantaran dan detektor sehubungan dengan perlindungan satu area;
c. Detektor lini adalah detektor yang unsur perasa ataupenginderaannya berbentuk
batang atau pita;

1 dari 20
PER.02/MEN/1983

d. Titik panggil manual atau tombol pecah kaca adalah alat yang bekerja secara manual
dan alarmnya tidak dapat dioperasikan sepanjang kaca penghalangnya belum
dipecahkan;
e. Ruang kontrol adalah ruangan dimana panil indikator ditempatkan;
f. Detektor adalah alat untuk mendeteksi pada mula kebakaran yang dapat
membangkitkan alarm dalam suatu sistem;
g. Panil indikator adalah suatu panil kontrol utama yang dilengkapi indikator beserta
peralatannya;
h. Detektor panas adalah suatu detektor yang sistem bekerjanya didasarkan atas panas;
i. Detektor nyala api (flamedetektor) adalah detektor yang sistem bekerjanya
didasarkan atas panas api;
j. Detektor asap (smoke detector) adalah detektor yang sistem bekerjanya didasarkan
atas asap;
k. Panil mimik adalah panil tiruan yang memperlihatkan indikasi kelompok alarm
kedalam bentuk diagram ataau gambar;
l. Panil pengulang adalah suatu panil indikator kebakaraan duplikat yanga hanya
berfungsi memberi petunjuk saja dan tidak dilengkapi peralatan lainnya;
m. Tegangan ekstra rendah adalah tegangan antara fasa dan nol, paling tinggi 50 volt;
n. Sistem penangkap asap (sampling device) adalah suatu rangakaian yang terdiri dari
penginderaan dengan alat-alat penangkap asapnya;
o. Pengurus adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab terhadap
penggunaan instalasi alarm kebakaraan automatik;
p. Pegawai Pengawas atau Ahli Keselamatan Kerja adalah Pegawai Teknis berkeahlian
khusus yang ditunjuk oleh Menteri sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamaan Kerja;
q. Direktur adalah Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan
Perlindungan tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja, Transkop No. Kepts.-79/Men1977;
r. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2
Peraturan ini mulai berlaku untuk perencanaan, pemasangan, pemeliharaan, dan
pengujian instalasi alarm kebakaran automatik di tempat kerja.

Pasal 3
(1) Detektor harus dipasang pada bagian bangunan kecuali apabila bagian bangunan
tersebut telah dilindungi dengan sistem pemadam kebakaran automatik.
(2) Apabila detektor-detektor dipasang dalam suatu ruangan aman yang tahan api (strong
room), maka detektor-detektor tersebut harus memiliki kelompok alarm yang terpisah
atau harus terpasang dengan alat yang dapat mengindikasi sendiri yang dipasang
diluar ruangan tersebut.

2 dari 20
PER.02/MEN/1983

(3) Setiap ruangan harus dilindungi secara tersendiri dan apabila suatu ruangan terbagi
oleh dinding pemisah atau rak yang mempunyai celah 30 (tiga puluh) cm kurang dari
langit-langit atau dari balok melintang harus dilindungi secara sendiri sendiri.
(4) Barang-barang dilarang untuk disusun menumpuk seolah-olah membagi ruangan,
kecuali untuk ruang demikian telah diberikan perlindungan secara terpisah.

Pasal 4
(1) Pada gedung yang dipasang sistem alarm kebakaran automatik maka untuk ruangan
tersembunyi harus dilindungi dan disediakan jalan untuk pemeliharaannya, kecuali
hal-hal sebagai berikut:
a. ruangan tersembunyi dimana api kebakaran dapat tersekat sekurang-kurangnya
selama satu jam;
b. ruangan tersembunyi yang berada diantara lantai paling bawah dengan tanah yang
tidak berisikan perlengkapan listrik atau penyimpanan barang dan tidak
mempunyai jalan masuk;
c. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm di bawah
atap;
d. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm yang
terletak diantara langit-langit palsu dan lembaran tahan api di atasnya.
e. ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 35 (tiga puluh lima) cm yang
terletak diantara permukaan sebelah langit-langit dengan permukaan sebelah
bawah lantai atasnya tanpa menghiraukan konstruksinya.
(2) Apabila suatu ruangan tersembunyi dengan jarak kurang dari 80 (delapan puluh) cm
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) c dan d terdapat peralatan listrik yang
dihubungkan dengan hantaran utama dan peralatan listrik tersebut tidak diselubungi
dengan bahan yang tidak dapat terbakar, maka pada ruangan tersebut harus dipasang
detektor dengan jarak 6 (enam) m dari lokasi peralatan listrik tersebut.

Pasal 5
(1) Setiap perlengkapan listrik seperti papan saklar, papan pengukur dan sejenisnya yang
memiliki luas permukaan melampaui 1,5 (satu setengah) m2 dan ditempatkan dalam
almari, maka almari itu harus dipasang detektor, kecuali bila perlengkapan tersebut
secara sepenuhnya terselubung dalam bahan yang tidak dapat terbakar.
(2) Setiap perlengkapan hubung bagi yang tidak ditempatkan secara masuk ke dalam
tembok harus dianggap sebagai telah dilindungi oleh perlindungan normal bagi
daerah yang bersangkutan
(3) Setiap perlengkapan hubung bagi yang terbuat dari bahan yang tidak terbakar dan
pemasangannya dimasukan ke dalam tembok tidak perlu dipasang detektor

3 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 6
(1) Setiap almari dalam tembok yang memiliki tinggi lebih dari 2 (dua) m atau tingginya
mencapai langit-langit serta mempunyai isi lebih dari 3 (tiga) m3 harus dipasang
detektor.
(2) Almari seperti tersebut ayat (1) tidak diperlukan pemasangan detektor bila ruangan-
nya terbagi-bagi oleh pemisah atau rak-rak sehingga menjadi bilik-bilik yang
mempunyai isi kurang dari 3 (tiga) m3.

Pasal 7
Almari tembok tempat kain atau sejenisnya tanpa menghiraukan ukurannya harus
dipasang detektor.

Pasal 8
(1) Lubang untuk sarana alat pengangkut, peluncur lift, penaik vertikal dan lubang
sejenisnya dengan luas lebih dari 0,1 (satu persepuluh) m2 dan kurang dari 9
(sembilan) m2 serta kedap.
(2) Bila lubang seperti tersebut dalam ayat (1) tidak kedap kebakaran, maka detektor
harus dipasang di setiap langit-langit lantai dengan jarak horizontal tidak lebih 1,5
(satu setengah) m dari lubangnya.
(3) Setiap daerah diantara dua lantai yang memiliki lubang dengan luas lebih dari 9
(sembilan) m2, maka disetiap tingkat harus dipasang satu detektor pada langit-langit
dengan jarak 1,5 (satu setengah) m dari sisi lubang.
(4) Bila lubang seperti tersebut dalam ayat (1) dengan pintu tahan api dan dapat menutup
sendiri secara automatik tidak perlu dipasang detektor pada setiap lantainya.

Pasal 9
Ruang bangunan tangga dalam bangunan yang kedap kebakaran harus dipasang detektor
di atasnya sedangkan untuk ruang bangunan tangga yang tidak kedap kebakaran harus
dipasang detektor pada setiap permukaan lantai utamanya.

Pasal 10
(1) Bila pintu tahan api memisahkan daerah yang dilindungi dengan daerah yang tidak
dilindungi, maka harus dipasang detektor di daerah yang dilindungi dengan jarak 1,5
(satu setengah) m dari pintu tersebut.
(2) Bila pintu tahan api memisahkan dua daerah yang dilindungi penempatan detektor
seperti ayat (1) tidak diperlukan.

Pasal 11
Setiap lantai gedung dimana secara khusus dipasang saluran pembuangan udara harus
dilindungi sekurang-kurangnya satu detektor asap atau sejenisnya yang ditempatkan pada
saluran mendatar lubang pengisap sedekat mungkin dengan saluran tegaknya.

4 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 12
(1) langit-langit yang membentuk kisi-kisi dengan luas yang terbuka lebih dari 2/3 (dua
per tiga) luas seluruh langit-langit tidak diperlukan detektor di bawah langit-langit
tersebut dan detektor dipasang pada langit-langit sebelah atasnya.
(2) Apabila bagian langit-langit yang berbentuk kisi-kisi mempunyai ukuran tiap kisinya
dengan salah satu sisi lebih dari 2 (dua) m dan luasnya lebih dari 5 (lima) m2 harus
dipasang detektor di bawahnya.
(3) Bila digunakan detektor nyala api untuk maksud langit-langit seperti ayat (1), maka
detektor harus dipasang pada bagian atas dan bawah dari langit-langit tersebut.

Pasal 13
(1) Dinding luar dari bangunan yang akan dilindungi terbuat dari baja yang digalvanisasi,
kayu, semen, asbestos atau bahan semacam itu maka harus dipasang detektor bila:
a. bangunan tersebut berada pada jarak 9 (sembilan) m dari bangunan yang tidak
dilindungi yang terbuat dari bahan yang sama.
b. bangunan tersebut berada pada jarak 9 (sembilan) m dari gudang (tempat penim-
bunan) bahan-bahan yang mudah terbakar.
(2) Detektor tersebut ayat (1) harus ditempatkan di bawah emperan atap sepanjang
dinding luar dengan jarak 12 (dua belas) m satu dengan lainnya.

Pasal 14
Rumah Penginapan, Unit Perumahan yang tidak terbagi dan semacamnya yang memiliki
bentuk yang tidak lazim serta merupakan hunian tunggal dengan luas tidak lebih dari 46
(empat puluh enam) m2 cukup dilindungi dengan sebuah detektor sedang kamar mandi
dan kakusnya tidak diperlukan perlindungan khusus.

Pasal 15
Bila gedung memiliki atap tidak datar yang berbentuk gigi gergaji prisma atau sejenisnya
harus dipasang satu deretan detektor dengan jarak tidak lebih dari 1 (satu) m dari garis
tegak lurus di bawah bubungan atapnya dan kelandaian atap lebih kecil dari 1 (satu) : 20
(dua puluh) dianggap beratap datar.

Pasal 16
Lokasi atau area yang tidak memerlukan pemasangan detektor adalah:
a. kakus tunggal, kamar mandi/pancuran atau kamar mandi tunggal;
b. berada terbuka dengan deretan tiang kolom, jalanan beratap atau atap yang meng-
gantung dan sebagainya jika terbuat dari bahan yang tidak dapat terbakar dan ruangan
tersebut tidak dipakai untuk menyimpan barang ataupun sebagai tempat parkir
mobil/kendaraan;

5 dari 20
PER.02/MEN/1983

c. pelataran, kap penutup, saluran dan sejenisnya yang lebarnya kurang dari 2 (dua) m
serta tidak menghalangi mengalirnya udara yang harus bebas mencapai detektor yang
terpasang di atasnya.

Pasal 17
Semua permukaan kontak listrik dari saluran sistem harus memiliki kontak yang baik
dengan permukaan yang rata dan terbuat dari perak atau bahan sejenisnya.

Pasal 18
Detektor, pemancar berita kebakaran dan panil indikator harus ditempatkan sedemikian
rupa sehingga alat tersebut secara normal tidak terganggu oleh getaran atau goncangan
yang dapat menimbulkan operasi palsu dari sistem.

Pasal 19
(1) Perlengkapan yang akan ditempatkan pada lokasi yang mengandung kelembaban,
korosi atau keadaan khusus yang lainnya, maka disain dan konstruksi harus menjamin
bekerjanya sistem tanpa meragukan.
(2) Peralatan serta perlengkapan yang dipasang pada ruangan yang mengandung gas atau
debu yang mudah terbakar atau meledak, maka peralatan serta perlengkapan tersebut
harus memenuhi persyaratan untuk penggunaan ruangan tersebut.

Pasal 20
Panil indikator harus dilengkapi dengan:
a. fasilitas kelompok alarm;
b. sakelar reset alarm;
c. pemancar berita kebakaran;
d. fasilitas pengujian dan pemeliharaan;
e. fasilitas pengujian baterai dengan volt meter dan amper meter;
f. sakelar penguji beterai;
g. indikator adanya tegangan listrik;
h. sakelar yang dilayani secara manual serta lampu peringatan untuk memisahkan
lonceng dan peralatan kontrol jarak jauh (remote control);
i. petunjuk alarm yang dapat didengar.
j. sakelar petunjuk bunyi untuk kesalahan rangkaian.

Pasal 21
(1) Panil indikator harus ditempatkan dalam bangunan pada tempat yang aman, mudah
terlihat dan mudah dicapai dari ruangan masuk utama dan harus mempunyai ruang
bebas 1 (satu) m di depannya.

6 dari 20
PER.02/MEN/1983

(2) Apabila panil indikator di disain untuk dapat melakukan pemeliharaan dari belakang
panil, maka harus diadakan ruangan bebas 1 (satu) m.
(3) Apabila panil indikator ditempatkan dibelakang pintu, maka pintu tersebut harus
diberi tanda sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 dan tidak boleh
dikunci.
(4) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) panil indikator
dapat ditempatkan pada tempat yang jauh dari ruangan masuk utama dengan syarat
harus dipasang panil mimik atau panil pengulang secara jelas kelihatan dari ruangan
masuk utama.

Pasal 22
Setiap kelompok alarm harus dilengkapi dengan:
a. indikator alarm yang berupa lampu merah atau sarana lain yang setaraf.
b. indikator yang mengeluarkan isyarat palsu yang berupa lampu kuning. atau isyarat
lain yang setaraf dan indikator tersebut dapat digunakan untuk beberapa kelompok
alarm.
c. penguji alarm berupa fasilitas pengujian untuk simulasi detektor dalam membang-
kitkan alarm.
d. penguji kepalsuan fasilitas pengujian kesalahan.
e. sakelar penyekat dilengkapi lampu putih dengan tulisan “SEKAT” dan untuk
indikator gabungan dengan tulisan “SEKAT KELOMPOK”.
f. tanda pengenal untuk sakelar atau indikator yang ditempatkan di bagian depan panil
indikator.

Pasal 23
Pada panil indikator harus dipasang suatu isyarat yang dapat terlihat dan terdengar dari
jarak jauh yang bekerja apabila ada sebuah detektor atau terjadi suatu rangkaian terbuka.
Pasal 24
Pada bagian depan panil indikator harus dipasang:
a. amper meter jenis kumparan dengan batas ukur yang sesuai atau lampu berwarna biru
untuk menunjukan pengisian atau pengosongan;
b. volt meter jenis kumparan dengan batas ukur yang sesuai dan dipasang tetap;
c. sakelar penguji baterai dengan kemampuan uji 3 (tiga) kali beban penuh dalam
keadaan sakelar pengisi terbuka dan sakelar tersebut harus dari jenis yang tidak
mengunci yang dapat meriset sendiri.

Pasal 25
Lampu panil indikator bila digunakan lampu jenis kawat pijar harus dari jenis kawat pijar
kembar dengan kedudukan bayonet atau dua lampu pijar tunggal dan tegangan yang
masuk tidak boleh lebih dari 80 (delapan puluh) % tegangan lampu.

7 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 26
(1) Penyusunan indikator harus sedemikian rupa, sehingga bekerjanya setiap indikator
dapat menunjukan secara jelas asal suatu panggilan.
(2) Apabila luas bangunan atau lokasi detektor mungkin menunjukan semua lokasi secara
tepat pada panil indikator maka penyusunan dan penempatan indikator dapat
dilakukan pada suatu panil yang terpisah didekatnya dengan diberi tanda secara
permanen.

Pasal 27
(1) Pengawatan dari bagian tegangan ekstra rendah pada panil indikator, panil pengulang
atau panil mimik harus menggunakan kabel PVC atau yang sederajat dengan ukuran
yang sesuai.
(2) Kabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terdiri dari sekurang-kurangnya
(tujuh) urat dengan garis tengah tidak kurang dari 0,67 (enam puluh tujuh per seratus)
mm.
(3) Bagian tegangan ekstra rendah panil indikator, panil pengulang atau panil mimik
harus dilakukan pengawatan dengan hantaran yang nilai penyekatnya mampu ter-
hadap tegangan 250 (dua ratus lima puluh) volt.

Pasal 28
(1) Pada atau didekat panil indikator harus dipasang titik panggil manual yang mudah
dicapai serta terlihat jelas setiap waktu.
(2) Semua titik panggil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dihubungkan dengan
kelompok alarm detektor automatik yang meliputi daerah dimana titik panggil manual
tersebut dipasang.
(3) Penutup titik panggil manual harus jenis “pecah kaca” atau dari jenis lain yang
disetujui oleh Pegawai Pengawas.
(4) Titik panggil manual yang tidak merupakan bagian dari panil indikator harus
disambung menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 (dua puluh
tiga) dan Pasal 49 (empat puluh sembilan)

Pasal 29
(1) Lemari panil indikator kebakaran harus kedap debu dan mempunyai pintu yang dapat
dikunci.
(2) Semua indikator kelompok dan sakelarnya yang berada di dalam lemari tersebut harus
tetap tampak dari luar tanpa membuka pintu almarinya.

Pasal 30
(1) Panil indikator harus diberi tanda secara permanen dan jelas tentang pabrik pem-
buatnya dan disertai tipe dari panil dan nomor pengesahan sistem alarmnya.

8 dari 20
PER.02/MEN/1983

(2) Apabila lemari panil indikator ditempatkan disebuah ruangan khusus, maka bagian
depan pintu ruangan tersebut harus diberi tulisan “PANIL INDIKATOR KE-
BAKARAN” dengan warna yang kontras terhadap warna disekitarnya.
(3) Pintu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh memiliki tanda lain selain
tulisan “PANIL INDIKATOR KEBAKARAN” dengan tinggi huruf tidak kurang dari
50 (lima puluh) mm.

Pasal 3l
(1) Setiap sistem alarm kebakaran harus mempunyai gambar instalasi secara lengkap
yang mencantumkan letak detektor dan kelompok alarm.
(2) Gambar instalasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan instalasi
yang terpasang sebenarnya dan disahkan oleh Direktur atau Pejabat yang ditunjuk.

Pasal 32
Penggunaan simbol dalam sistem alarm kebakaran harus sesuai dengan lampiran Per
aturan Menteri ini.

Pasal 33
(1) Setiap instalasi alarm kebakaran harus mempunyai buku akte pengesahan yang
dikeluarkan oleh Direktur.
(2) Selain buku akte pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disediakan
pula buku catatan yang ditempatkan di ruangan panil indikator.
(3) Buku catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan untuk mencatat semua
peristiwa alarm, latihan, penggunaan alarm dan pengujiannya.
(4) Buku akte pengesahan dan buku catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
(2) harus ditunjukan kepada Pegawai Pengawas atau Ahli kepada Pegawai Pengawas
atau Ahli Keselamatan Kerja.

Pasal 34
(1) Setiap kelompok alarm harus dapat melindungi maximum 1000 (seribu) m2 luas lantai
dengan ketentuan jumlah detektor dan jarak penempatannya tidak boleh lebih dari
yang ditetapkan dalam Pasal 6 s/d 65 atau Pasal 72 dan 78 dengan mengingat jenis
detektornya.
(2) Setiap lantai harus ada kelompok alarm kebakaran tersendiri.
(3) Apabila pada lantai yang bersangkutan terdapat ruangan yang dipisahkan oleh dinding
tahan kebakaran yang tidak dapat dicapai melalui lantai itu, maka ruangan tersebut
harus memiliki kelompok alarm kebakaran tersendiri.

9 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 35
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) di atas batas
luas lantai untuk satu kelompok alarm kebakaran dapat diperluas areanya dengan syarat
sebagai berikut:
a. dalam bangunan yang tidak bertingkat dan tidak terbagi-bagi satu kelompok alarm
kebakaran dapat melindungi area maksimum 2000 (dua ribu) m2 luas lantai;
b. ruangan tersembunyi dengan luas tidak lebih dari 500 (lima ratus) m2 detektornya
dapat dihubungkan dengan kelompok alarm kebakaran yang berada di bawahnya, jika
jumlah luas yang dilindungi tidak lebih dari 1000 (seribu) m2;
c. lantai panggung (mezzanine) detektornya dapat dihubungkan dengan kelompok alarm
kebakaran lantai di bawahnya bila jumlah luas yang dilindungi tidak lebih dari 1000
(seribu) m2.

Pasal 36
Sumber tenaga listrik untuk sistem alarm kebakaran harus dengan tegangan tidak kurang
dari 6 (enam) Volt.

Pasal 37
(1) Sumber tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus dalam bentuk
baterai akimulator yang diisi terus-menerus dengan pengisi baterai.
(2) Sumber tenaga listrik sebagaimana dimaksud Pasal 36 dalam bentuk baterai kering
tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan khusus dan diijinkan oleh Pegawai
Pengawas.
(3) Suatu pembatas rangkaian yang dapat memutus dan menyambung sendiri harus
dipasang di dalam rangkaian antara baterai dengan sistemnya dan ditempatkan dekat
baterai.

Pasal 38
(1) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) harus dapat mengisi
secara terus menerus sehingga tegangan baterai akimulator tetap.
(2) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terpasang tetap (tanpa
kontak tusuk) dan dihubungkan pada sisi pemberi arus dari papan hubung atau sakelar
utama.
(3) Pengisi baterai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disambung pada bagian
beban sakelar tersebut, dengan syarat sakelarnya diberi tanda yang jelas untuk sistem
alarm kebakaran.
(4) Suatu sakelar pemisah untuk sumber tenaga pengisi baterai harus dipasang di dekat
pengisi baterai tersebut.
(5) Sakelar pemisah sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus dipasang di dalam
lemari panil indikator.

10 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 39
Baterai akimulator sistem alarm kebakaran harus mampu bertahan selama sekurang-
kurangnya 4 (empat) hari penuh untuk memberikan isyarat secara normal tanpa adanya
bantuan dari pemberi arus utama.

Pasal 40
Baterai akimulator harus ditempatkan di ruangan terpisah pada tempat yang kering,
berventilasi yang cukup, mudah dicapai untuk suatu pemeriksaan serta di dalam lemari
yang terkunci atau suatu tempat yang hanya bisa dibuka dengan menggunakan suatu alat
dan bagian dalamnya harus dilindungi dari korosi.

Pasal 41
Perlengkapan tambahan yang tidak merupakan peralatan pokok dari sistem alarm
kebakaran yang telah disahkan dapat dihubungkan lewat relai dengan syarat bahwa alat
perlengkapan tambahan tersebut tidak mengganggu bekerjanya sistem.

Pasal 42
(1) Tegangan yang lebih dari tegangan ekstra rendah untuk pelayanan jarak tidak boleh
ke panil indikator.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku tegangan sumber
tenaga utama untuk panil indikator.
(3) Apabila digunakan alat tambahan seperti alat pengendali springkler, CO2, air
conditioning dan sebagaimana yang bergabung dengan instalasi alarm kebakaran
harus disediakan sumber tenaga dengan tegangan ekstra rendah dan alat tambahan
tersebut tidak boleh mempengaruhi sumber daya instalasi alarm kebakaran.

Pasal 43
(1) Apabila digunakan sakelar aliran air (flow switch), sakelar tekanan air (pressure
switch) dan sejenisnya untuk menggerakan alarm kebakaran yang berhubungan
dengan instalasi pemadam kebakaran bentuk tetap seperti springkler, CO2, dan
sebagainya, dapat disambung sebagai kelompok alarm terpisah dan panil indikator
alarm atas persetujuan Direktur atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Penggunaan sakelar aliran air (flow switch) dan sejenisnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang disambung khusus untuk keperluan isyarat saja, harus dike-
lompokan terpisah dari indikator alarm.

Pasal 44
(1) Sistem alarm kebakaran harus dilengkapi sekurang-kurangnya sebuah lonceng.
(2) Lonceng sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipasang di luar bangunan dan
dapat terdengar dari jalan masuk utama serta dekat dengan panil indikator.

11 dari 20
PER.02/MEN/1983

(3) Sirene, pengaum atau sejenisnya dapat dipakai sebagai pengganti lonceng atas
persetujuan Direktur atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 45
(1) Lonceng harus dari jenis bergetar dan bekerjanya dengan sumber tenaga baterai.
(2) Lonceng harus dipasang dengan sebuah genta yang berdiameter sekurang-kurangnya
150 (seratus lima puluh) mm;
(3) Gangguan pada sirkit lonceng tidak boleh mempengaruhi berfungsinya alarm.
(4) Sirkit lonceng harus diamankan dengan sebuah pengaman arus lebih yang sesuai.
(5) Lonceng yang dipasang di luar bangunan harus dari jenis konstruksi yang tahan
cuaca.
(6) Pada lonceng harus ditulis “KEBAKARAN” dengan warna kontras dan tinggi
hurufnya tidak kurang dari 25 (dua puluh lima) mm.

Pasal 46
Pengawatan sistem alarm kebakaran harus dipasang sesuai ketentuan pegawatan instalasi
tegangan ekstra rendah, kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 47.

Pasal 47
(1) Semua hantaran sistem alarm kebakaran harus dari jenis yang disiplin.
(2) Penampang hantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 1,2
(dua belas per sepuluh) mm2, sedangkan lubang kabel ini harus sekurang-kurangnya
berinti empat dan setiap inti terdiri 10 (sepuluh) urat dengan diameter tidak kurang
dari 0,25 (dua puluh lima per seratus) mm.
(3) Tebal salut hantaran sekurang-kurangnya 0,25 (dua puluh lima per seratus) mm dari
tebal selubung sekurang-kurangnya 1 (satu) mm.
Pasal 48
Hantaran sistem alarm kebakaran antar gedung harus dari jenis yang dapat ditanam dan
harus diberi perlindungan terhadap kerusakan mekanik.

Pasal 49
(1) Pengawatan dengan sistem lingkar masuk (loop in system) harus dipakai pada
detektor yang dihubungkan paralel dan setiap hantaran yang masuk dan keluar dengan
tegangan yang sama harus disambung pada sekrup tersendiri pada terminal yang
sama.
(2) Sepanjang hantaran tidak boleh ada sambungan kecuali pada pengawatan yang sangat
panjang atau untuk menyambung hantaran fleksible yang menurun.
(3) Sambungan hanya diperkenankan dalam kotak terminal tertutup.

12 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 50
(1) Terjadinya kontak antara yang bertegangan dengan langit-langit dimana dipasang
detektor harus dicegah.
(2) Bila suatu detektor dipasang dengan menggunakan hantaran fleksible berisolasi
ganda, maka hantaran fleksible itu tidak boleh lebih panjang dari 1,5 (satu sete- ngah)
m.
(3) Diameter hantaran fleksible sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya 0,75 (tujuh puluh lima per seratus) mm dan harus memiliki jepit hantaran
pada setiap ujungnya.

Pasal 51
Detektor dapat dilengkapi dengan alat indikator dengan syarat bila ada gangguan pada
indikator tersebut tidak mempengaruhi berfungsinya detektor.

Pasal 52
Pengawatan sistem alarm kebakaran harus terpisah dari pengawatan instalasi tenaga dan
atau penerangan.

Pasal 53
Semua detektor kecuali detektor yang dipasang pada etalase toko harus diusahakan
ruangan bebas sekurang-kurangnya dengan radius 0,3 (tiga per sepuluh) m dengan
kedalaman 0,6(enam per sepuluh) m.

Pasal 54
(1) Dalam satu sistem alarm kebakaran boleh dipasang detektor panas, asap dan nyala
secara bersama dengan syarat tegangannya harus sama.
(2) Detektor yang dipasang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
dengan ketentuan satu detektor asap atau satu detektor nyala dapat menggantikan dua
detektor panas.

Pasal 55
Bila instalasi kebakaran automatik yang telah ada ditambah maka gabungan instalasi
tersebut harus diuji bahwa instalasinya menyatu dan berfungsi dengan baik serta disahkan
oleh Direktur.

Pasal 56
(1) Tahanan isolasi setiap kelompok alarm terhadap tanah harus diuji dengan cara semua
hantaran terhubung paralel dengan alat ukur tahanan isolasi.
(2) Alat ukur tahanan isolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai
tegangan 24 (dua puluh empat) volt arus searah atau dua kali tegangan kerjanya

13 dari 20
PER.02/MEN/1983

dengan ketentuan pilih yang terbesar dan mempunyai tahan tidak boleh kurang dari
nilai hasil bagi 50 (lima puluh) mega ohm dengan jumlah detektor, titik panggil dan
lonceng atau satu mega ohm dengan ketentuan pilih yang terkecil.

BAB II
PEMELIHARAAN DAN PENGUJIAN
Pasal 57
(1) Terhadap instalasi alarm kebakaran automatik harus dilakukan pemeliharaan dan
pengujian berkala secara mingguan, bulanan dan tahunan.
(2) Pemeliharaan dan pengujian tahunan dapat dilakukan oleh konsultan kebakaran atau
organisasi yang telah diakui oleh Direktur atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 58
Pemeliharaan dan pengujian mingguan lain meliputi : membunyikan alarm secara
simulasi, memeriksa kerja lonceng, memeriksa tegangan dan keadaan baterai, memeriksa
seluruh sistem alarm dan mencatat hasil pemeliharaan serta pengujian buku catatan.

Pasal 59
Pemeliharaan dan pengujian bulanan antara lain meliputi : menciptakan kebakaran
simulasi, memeriksa lampu-lampu indikator, memeriksa fasilitas penyediaan sumber
tenaga darurat, mencoba dengan kondisi gangguan terhadap sistem, memeriksa kondisi
dan kebersihan panel indikator dan mencatat hasil pemeliharaan dan pengujian dalam
buku catatan.

Pasal 60
Pemeliharaan dan pengujian tahunan antara lain meliputi : memeriksa tegangan instalasi,
memeriksa kondisi dan keberhasilan seluruh detektor serta menguji sekurang-kurangnya
20 (dua puluh) % detektor dari setiap kelompok instalasi sehingga selambat-lambatnya
dalam waktu 5 (lima) tahun, seluruh detektor sudah teruji.

BAB III
SISTEM DETEKSI PANAS
Pasal 61
(1) Letak dan jarak antara dua detektor harus sedemikian rupa sehingga merupakan letak
yang terbaik bagi pendeteksian adanya kebakaran yaitu:
a. untuk setiap 46 (empat puluh enam) m2 luas lantai dengan tinggi langit-langit
dalam keadaan rata tidak lebih dari 3 (tiga) m harus dipasang sekurang-kurangnya
satu buah detektor panas.

14 dari 20
PER.02/MEN/1983

b. jarak antara detektor dengan detektor harus tidak lebih dari 7 (tujuh) m kese-
luruhan jurusan ruang biasa dan tidak boleh lebih dari 10 (sepuluh) m dalam
koridor.
c. jarak detektor panas dengan tembok atau dinding pembatas paling jauh 3 (tiga) m
pada ruang biasa dan 6 (enam) m dalam koridor serta paling dekat 30 (tiga puluh)
cm.
(2) Detektor panas yang dipasang pada ketinggian yang berbeda (staggered principle)
sekurang-kurangnya satu detektor untuk 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai
dengan syarat:
a. detektor disusun dalam jarak tidak boleh lebih 3 (tiga) m dari dinding;
b. sekurang-kurangnya setiap sisi dinding memiliki satu detektor;
c. setiap detektor berjarak 7 (tujuh) m.

Pasal 62
Jarak detektor panas dapat dikurangi dengan mengingat pertimbangan sebagai berikut:
a. bila daerah yang dilindungi terbagi-bagi oleh rusuk, gelagar, pipa saluran atau
pembagi semacam itu yang mempunyai kedalaman melampaui 25 (dua puluh lima)
cm maka untuk setiap bagian yang berbentuk demikian harus ada sekurang-kurangnya
sebuah detektor bila luas bagian tersebut melampaui 57 (lima puluh tujuh) m2, namun
jika langit-langitnya terbagi dalam daerah lebih sempit, maka harus dipasang
sekurang-kurangnya satu detektor untuk luas 28 (dua puluh delapan) m2;
b. bila letak langit-langit melampaui ketinggian 3 (tiga) m dari lantai, maka batasan luas
lingkup untuk satu detektor harus dikurangi dengan 20 (dua puluh) % dari luas
lingkupnya.

Pasal 63
(1) Ruangan tersembunyi yang mempunyai ketinggian tidak lebih dari 2 (dua) m dan
pemancaran panas kesamping tidak terhalang gelagar yang menjorok ke bawah dari
langit-langit sedalam 50 (lima puluh) % dari tingginya harus dipasang sekurang-
kurangnya satu detektor untuk 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai dengan jarak
antara detektor maximum 9 (sembilan) m serta jarak antara dinding tidak boleh lebih
dari 6 (enam) m.
(2) Bila gelagar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melampaui 50 (lima puluh) %
tetapi tidak lebih dari 75 (tujuh puluh lima) % dan tinggi ruangan tersembunyi, maka
berlaku ketentuan pasal 61 ayat (1) a.
(3) Bila gelagar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melampaui 75 (tujuh puluh lima)
% dari tinggi ruangan tersembunyi, maka tiap ruangan yang terbagi tersebut
memenuhi ketentuan pasal 62.
(4) Bila detektor panas dipasang di puncak lekukan atap ruangan tersembunyi, maka
jarak antar detektor dalam arah memanjang tidak boleh lebih dari 9 (sembilan) m.
(5) Bila atap ruangan tersembunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) itu miring,
maka deretan detektor yang terbawah terletak paling jauh 6 (enam) m secara hori-
zontal terhitung dari satu titik yang mempunyai jarak vertikal dari permukaan. langit-

15 dari 20
PER.02/MEN/1983

langit sebelah atas dengan permukaan sebelah bawah atau sejauh 80 (delapan puluh)
cm, kemudian jarak deretan detektor horizontal berikutnya harus 8 (delapan) m,
sedangkan jarak arah memanjang dapat dilakukan maksimum 15 (lima belas) m.

Pasal 64
Pemasangan detektor harus diatur sedemikian rupa sehingga elemennya yang peka panas
tidak boleh berada pada posisi kurang dari 15 (lima belas) m atau lebih dari 100 (seratus)
mm di bawah permukaan langit-langit. Apabila terdapat kerangka penguat bangunan
detektor dapat dipasang pada sebelah bawah kerangka tersebut, asalkan kerangka itu tidak
mempunyai kedalaman melampaui 25 (dua puluh lima) cm.

Pasal 65
Pada satu kelompok sistem alarm kebakaran tidak boleh dipasang lebih dari 40 (empat
puluh) buah detektor panas.

Pasal 66
(1) Instatasi alarm kebakaran automatik yang menggunakan detektor panas jenis ini harus
memiliki elemen lebur yang panjangnya tidak melebihi 3 (tiga) m. Pemasangan
detektor jenis ini tersebut harus ditempatkan sepanjang ruangan yang harus dilindungi
dan jarak antara detektor satu dengan lainnya tidak lebih dari 3 (tiga) m serta jarak
dari dinding tidak lebih dari 1 ½ (satu setengah) m.
(2) Pemasangan detektor jenis ini harus disusun sedemikian rupa sehingga untuk suatu
panjang tertentu tidak terdapat lebih dari tiga perubahan arah.
(3) Alat hubung detektor jenis ini harus ditempatkan pada tingkat bangunan yang
bersangkutan serta berada dalam peti kedap debu dan terhubung dengan indikator
secara listrik.
(4) Suatu bangunan dengan atap yang berpuncak memajang harus ada detektor jenis ini
dengan elemen lebur sepanjang puncak memanjangnya. Apabila jajaran puncak
memanjangnya melebihi 4,5 (empat lima per sepuluh) m dari sesamanya harus
dipasang deretan elemen lebur.
(5) Pengawatan ini harus dilindungi dari kerusakan secara mekanik.

BAB IV
SISTEM DETEKSI ASAP
Pasal 67
Detektor asap harus dapat bekerja baik dan kepekaannya tidak terpengaruh oleh variasi
tegangan yang bergerak dalam batas kurang atau lebih 10 (sepuluh) % dari tegangan
nominalnya.

16 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 68
(1) Bila detektor asap dipasang secara terbenam, maka alas dari elemen penginderaannya
harus berada sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) mm di bawah permukaan langit-
langit.
(2) Dalam menentukan letak detektor asap harus memperhatikan hal-hat sebagai berikut:
a. bila detektor asap dipasang dalam saluran udara yang mengalir dengan kecepatan
lebih dari 1 (satu) m perdetik perlu dilengkapi dengan alat penangkap asap
(sampling device).
b. bila disuatu tempat dekat langit-langit atau atap dimungkinkan dapat timbul suhu
tinggi, maka detektor perlu diletakan jauh di bawah langit-langit atau atap tersebut
agar detektor dapat bereaksi sedini mungkin.
c. apabila detektor asap dipasang dekat dengan saluran udara atau dalam ruang ber-
air conditioning harus diperhitungkan pengaruh aliran udara serta gerakan
asapnya.

Pasal 69
Pemasangan detektor asap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. untuk setiap 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai harus dipasang sekurang-
kurangnya satu detektor asap atau satu alat penangkap asap.
b. gerak antar detektor asap atau alat penangkap asap tidak boleh melebihi dari 12 (dua
belas) m dalam ruangan biasa dan 18 (delapan belas) m di dalam koridor.
c. jarak dan titik pusat detektor asap atau alat penangkap asap yang terdekat ke dinding
atau pemisah tidak boleh melebihi dari 6 (enam) m dalam ruangan biasa dan 12 (dua
belas) m di dalam karidor.

Pasal 70
(1) Dalam ruangan tersembunyi yang tingginya tidak melebihi 2 (dua) m dan penyebaran
asap kesamping tidak terhalang oleh gelagar yang menjorok ke bawah sampai 50
(lima puluh) % dari tingginya, sekurang-kurangnya harus dipasang satu detektor asap
untuk setiap 184 (seratus delapan puluh empat) m2 luas lantai. Jarak antar detektor
asap tidak melebihi dari 18 (delapan belas) m dan jarak dari dinding atau pemisah ke
detektor terdekat tidak boleh melebihi dari 12 (dua belas) m.
(2) Bila gelagar yang menjorok ke bawah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
melampaui 50 (lima puluh) % tetapi tidak melebihi 75 (tujuh puluh lima) % dari
tingginya ruangan tersebut harus dipasang sekurang-kurangnya satu detektor untuk
setiap 92 (sembilan puluh dua) m2 luas lantai.
(3) Bila gelagar yang menjorok ke bawah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) me
lampaui 75 (tujuh puluh lima) % dari tingginya ruangan tersebut, maka setiap bagian
ruangan harus dilindungi secara tersendiri.
(4) Bila detektor asap dipasang dipuncak lekukan atau ruangan tersembunyi, maka
jarak antar detektor asap dalam arah memanjang tidak boleh lebih dari 18 (delapan
belas) m.

17 dari 20
PER.02/MEN/1983

(5) Bila atap ruangan tersembunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) miring, maka
deretan detektor asap yang terbawah terletak paling jauh 6 (enam) m secara horizontal
terhitung dari suatu titik yang mempunyai jarak vertikal dari permukaan langit-langit
sebelah atas dengan permukaan sebelah bawah atap sejauh 80 (delapan puluh) cm,
kemudian jarak deretan detektor horizontal berikutnya harus 12 (dua belas) m,
sedangkan jarak arah memanjang dapat dilakukan sampai 30 (tiga puluh) m.

Pasal 71
Bila ruangan tersembunyi terbagi-bagi sehingga mempengaruhi kelancaran aliran udara,
maka harus dipasang detektor sedemikian rupa untuk menjamin pendeteksian dini.

Pasal 72
Setiap kelompok alarm kebakaran harus dibatasi sampai 2 (dua puluh) buah detektor asap
dan dapat melindungi ruangan tidak lebih dari 2000 (dua ribu) m2 luas lantai. Jika dipakai
sistem alat penangkap asap, maka tidak boleh dipasang lebih dari 12 (dua belas) buah alat
penangkap asap dengan satu elemen pengindera. Sistem ini dianggap sebagai satu
kelompok alarm kebakaran.
Pasal 73
(1) Berkas sinar yang membentuk bagian suatu sistem dari detektor asap jenis optik harus
dilindungi terhadap timbulnya alarm palsu.
(2) Elemen peka cahaya detektor asap jenis optik harus ditempatkan sedemikian rupa
atau diberi perisai, sehingga bila ada sinar dari manapun datangnya selain dari sumber
yang dikehendaki tidak mempunyai pengaruh terhadap bekerjanya detektor.
(3) Bila detektor asap jenis optik memiliki sistem monitor terhadap sumber cahaya secara
menerus, maka sumber cahaya itu harus diganti dengan yang baru, sekurang-
kurangnya sekali setahun.

Pasal 74
(1) Desain sistem alat penangkap asap harus sedemikian rupa sehingga bila asap me-
masuki titik tangkap yang terjauh untuk mencapai elemen penginderaan harus dapat
dicapai dalam waktu 80 (delapan puluh) detik.
(2) Penyusunan sistem alat penangkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran udara ke setiap titik tangkap perbe-
daannya tidak boleh lebih besar atau lebih kecil 10 (sepuluh) % dari kecepatan rata-
rata dan kegagalan aliran dari titik tangkap dapat menimbulkan gangguan pada alarm.

Pasal 75
Pada sistem alat penangkap asap harus tersedia dua kipas angin, satu digerakan oleh arus
listrik dari sumber utama dan yang satu dari baterai akimulator, atau hanya satu kipas
angin yang digerakan oleh arus listrik dari sumber utama dengan satu sakelar pemindah
automatik kebateraian akimulator.

18 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 76
Setiap titik tangkap harus dapat menyalurkan udara yang ditangkap langsung kebagian
penginderaan detektornya sebelum udara itu bercampur dengan udara daerah lain.

BAB V
SISTEM DETEKTOR API (FLAME DETECTOR)
Pasal 77
(1) Detektor nyala api harus mempunyai sifat yang stabil dan kepekaannya tidak ter-
pengaruh oleh adanya perubahan tegangan dalam batas kurang atau lebih 10 (sepuluh)
% dari tegangan nominalnya.
(2) Kepekaan dan kestabilan detektor nyala api harus sedemikian rupa sehingga
bekerjanya tidak terganggu oleh adanya cahaya dan radiasi yang berlebihan atau ada-
nya perubahan suhu dari 0o (nol derajat) C sampai 65o (enam puluh lima derajat) C.

Pasal 78
Satu kelompok alarm kebakaran harus dibatasi sampai dengan 20 (dua puluh) detektor
nyala api untuk melindungi secara baik ruangan maksimum 2000 (dua ribu) m2 luas lantai
kecuali terhadap ruangan yang luas tanpa sekat, maka atas persetujuan Direktur atau
pejabat yang ditunjuknya dapat diperluas lebih dari 2000 (dua ribu) m2 luas lantai.

Pasal 79
Detektor nyala api yang dipasang di luar ruangan (udara terbuka) harus terbuat dari bahan
yang tahan cuaca atau tidak mudah berkarat dan pemasangannya harus sedemikian
sehingga tidak mudah bergerak karena pengaruh angin, getaran atau sejenisnya.

Pasal 80
Pemasangan detektor nyala api dalam gardu listrik atau daerah lain yang sering mendapat
sambaran petir, harus dilindungi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan alarm
palsu.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 81
Instalasi Alarm Kebakaran Automatik yang sudah digunakan sebelum Peraturan ini di-
tetapkan, Pengurus wajib memenuhi ketentuan Peraturan Menteri ini dalam waktu 2 (dua)
tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

19 dari 20
PER.02/MEN/1983

Pasal 82
Pengurus wajib melaksanakan untuk ditaatinya semua ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 83
(1) Pengurus yang tidak mentaati ketentuan Pasal 82 diancam hukuman kurungan
selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu
rupiah) sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Pemasangan Instalasi Alarm Kebakaran Automatik yang belum diatur dalam Peraturan
Menteri ini dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Direktur.

Pasal 85
Pegawai Pengawas dan Ahli Keselamatan Kerja melakukan pengawasan terhadap
ditaatinya Peraturan Menteri ini.

Pasal 86
Hal-hal yang memerlukan pedoman pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini ditetapkan
lebih lanjut oleh direktur.

Pasal 87
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1983
MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDOMO

20 dari 20
INS. 11/M/BW/1997

INSTRUKSI
MENTERI TENAGA KERJA
NO. : INS.11/M/BW/1997

TENTANG
PENGAWASAN KHUSUS K3 PENAGGULANGAN KEBAKARAN

MENTERI TENAGA KERJA


Menimbang: a. bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir-akhir ini menun-
jukkan angka kejadian yang cukup tinggi dengan kerugian dan korban
jiwa yang tidak sedikit;
b. bahwa tugas pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan
kerja termasuk penggulangan kebakaran di tempat kerja, adalah
tanggung jawab Depnaker sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun
1970 belum berjalan sebagaimana mestinya;
c. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan instruksi Menteri Tenaga Kerja
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan K3 penaggulangan
kebakaran di tempat kerja.

Mengingat: 1. Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;


2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1980 tentang Syarat-
syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadan Api Ringan;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-02/Men/1983 tentang
Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1988 tentang
berlakunya Standar Nasional Indonesia SNI-225-1987 mengenai
Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia 1987 (PUIL-1987) di
tempat kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-02/Men/1989 tentang
Pengawasan Instalasi Penyalur Petir;
6. Peraturan Khusus EE mengenai Syarat-syarat Keselamatan Kerja
dimana diolah, disimpan atau dikerjakan bahan-bahan yang mudah
terbakar;
7. Peraturan Khusus K mengenai Syarat-syarat Keselamatan Kerja
dimana diolah, disimpan atau dikerjakan bahan-bahan yang mudah
meledak.

MENGINSTRUKSIKAN
Kepada : Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja di seluruh
Indonesia.

1 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Untuk : 1. Mengadakan koordinasi dengan Instansi/Dinas terkait dalam rangka


upaya-upaya peningkatan penerapan norma-norma keselamatan kerja
di bidang penaggulangan kebakaran antara lain:
− Penerapan syarat-syarat K3 dalam mekanisme perizinan IMB, IPB,
HO dan lain-lain.
− Pembinaan/penyuluhan/pelatihan penggulangan bahaya kebakaran.
− Pemeriksaan/investigasi/analisa kasus kebakaran.
2. Meningkatkan pemeriksaan secara intensif tempat-tempat kerja yang
berpotensi bahaya kebakaran tinggi dengan menugaskan pegawai
pengawas terutama yang telah mengikuti Diklat Spesialis
penanggulangan kebakaran.
3. Melaksanakan pengawasan pemasangan sarana proteksi kebakaran
pada proyek konstruksi bangunan.
4. Melaksanakan instruksi ini dengan penuh tanggung jawab sesuai
ketentuan yang berlaku dan petunjuk teknis terlampirkan. Melaporkan
pelaksanaannya kepada Menteri.

Dikeluarkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1997

A.N. MENTERI TENAGA KERJA


DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

ttd

MOHD. SYAUFII SYAMSUDDIN


NIP. 160008975

2 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Lampiran : INSTRUKSI MENTERI TENAGA KERJA


No. : INS. 11/M/BW/1997
TANGGAL : 21 OKTOBER 1997

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN SISTEM


PROTEKSI KEBAKARAN

I. PETUNJUK UMUM
Syarat keselamatan kerja yang berhubungan dengan penanggulangan kebakaran
secara jelas telah digariskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 antara lain:
− Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
− Penyediaan sarana jalan untuk menyelamatkan diri;
− Pengendalian asap, panas dan gas;
− Melakukan latihan bagi semua karyawan.
Rumusan tersebut di atas dengan pendekatan teknis dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Tindakan pencegahan agar tidak terjadi kebakaran dengan cara mengeliminir
atau mengendalikan berbagai bentuk perwujudan energi yang digunakan,
hendaknya diprioritaskan pada masalah yang paling menonjol dalam statistik
penyebab kebakaran.
2. Tindakan dalam rangka upaya mengurangi tingkat keparahan risiko kerugian
yang terjadi maupun jatuhnya korban jiwa, dengan cara melokalisasi atau
kompartemenisasi agar api, asap dan gas tidak mudah meluas ke bagian yang
lain.
3. Penyediaan alat/instansi proteksi kebakaran seperti sistem deteksi/alarm
kebakaran dan alat pemadan api ringan, hydran, springkler atau instansi khusus
yang handal dan mandiri melalui perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan
sesuai ketentuan standar.
4. Tersedianya sarana jalan untuk menyelamatkan diri yang aman, lancar dan
memadai sesuai jumlah orang dan bentuk konstruksi bangunan.
5. Terbentuknya organisasi tanggap darurat untuk menanggulangi bila terjadi
bahaya kebakaran.
Tugas-tugas pembinaan dan pengawasan keselamatan kerja di bidang penang-
gulangan kebakaran seperti uraian tersebut di atas harus dilakukan secara
profesional oleh pegawai dan dengan menjalin kerjasama yang harmonis dengan
instansi/dinas terkait.

II. PERENCANAAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN

3 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

1. Setiap perencanaan tempat kerja harus mempertimbangkan syarat-syarat dan


ketentuan-ketentuan upaya penanggulangan kebakaran baik proteksi secara
pasif maupun aktif.
− Proteksi kebakaran pasif adalah suatu teknik desain tempat kerja untuk
membatasi atau menghambat penyebaran api, panas dan gas baik secara
vertikal maupun horizontal dengan mengatur jarak antara bangunan,
memasang dinding pembatas yang tahan api, menutup setiap bukaan dengan
media yang tahan api atau dengan mekanisme tertentu;
− Proteksi kebakaran aktif adalah penerapan suatu desain sistem atau instalasi
deteksi, alarm dan pemadan kebakaran pada suatu bagunan tempat kerja
yang sesuai dan handal sehingga pada bangunan tempat kerja tersebut
mandiri dalam hal sarana untuk menghadapi bahaya kebakaran.
2. Perencanaan instalasi proteksi kebakaran harus mengacu pada peraturan dan
standar yang berlaku dan dibuat oleh orang atau badan hukum yang telah
mendapat penunjukkan.
3. Pegawai Pengawas yang telah ditunjuk sebagai pengawas spesialis bidang
penanggulangan kebakaran bertugas memeriksa berkas perencanaan sistem
proteksi kebakaran dan berwewenang menetapkan syarat-syarat perubahan atau
perbaikan yang dipandang perlu.
4. berkas rencana sistem proteksi kebakaran meliputi antara lain:
− Uraian kriteria desain;
− Gambar perencanaan;
− Spesifikasi teknik.
Masing-masing dibuat rangkap 3 (tiga) dan setelah diperiksa oleh pegawai
pengawas yang berwewenang kemudian dikirimkan kepada Direktur PNKK
untuk diterbitkan pengesahan/persetujuan gambar rencana tersebut.

III. PEMASANGAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN


1. Pelaksanaan pemasangan instalasi proteksi kebakaran harus sesuai dengan
gambar yang telah disyahkan dan dilaksanakan oleh instalatir yang telah
ditunjuk.
2. Semua perlengkapan-perlengkapan instalasi yang dipasang harus sesuai
spesifikasi teknik yang telah disetujui.
3. Setelah pekerjaan pemasangan instalasi selesai dilaksanakan harus diadakan
pemeriksaan dan pengujian setempat yang diikuti oleh semua pihak yang terikat
antara lain:
− Kontraktor (Instalator);
− Perencanaan (Konsultan);
− Pemilik (Pemberi kerja);
− Pengelola (Building Manager);

4 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

− Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (Spesialisasi penanggulangan


kebakaran).
4. Setelah pemeriksaan dan pengujian secara keseluruhan selesai dilaksanakan
kemudian dilakukan evaluasi bersama-sama. Pegawai pengawas
ketenagakerjaan memberikan komentar dan syarat-syarat yang dipandang perlu
berdasarkan temuan-temuan dalam periksaan dan pengujian yang dilakukan.
5. Gambar purna bangun (As built drawing) harus dibuat secara lengkap beserta
Berita Acara hasil pemeriksaan dan pengujian dikirimkan kepada Direktur
PNKK untuk diterbitkan pengesahannya.
6. Pemilik, pengurus, kontraktor atau instalator bertanggung jawab terhadap
pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur PNKK sesuai
kesepakatan yang telah disetujui dalam perjanjian kontrak.

IV. PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN


1. Klasifikasi hunian.
Klasifikasi jenis hunian akan menentukan persyaratan standar teknik sistem
proteksi kebakaran yang harus diterapkan.
2. Sumber ignition.
Perhatikan potensi apa saja yang dapat menjadi sumber pemicu kebakaran dan
perhatikan apakah alat pengaman yang diperlukan telah sesuai. Kapan diadakan
pemeriksaan terakhir dan apakah syarat-syara yang diberikan telah
dilaksanakan.
3. Bahan-bahan yang mudah terbakar/meledak.
Perhatikan jenis-jenis bahan yang diolah, dikerjakan atau disimpan. Kenali sifat
fisik dan sifat-sifat kimianya. Apakah mengandung potensi mudah terbakar atau
meledak. Apakah ada prosedur keselamatan kerja dan dilaksanakan dengan
benar.
4. Kompartemen.
Amati keadaan lingkungan tempat kerja terhadap maslah penyebaran api, panas,
asap. Apakah telah ada upaya untuk mengendalikannya.
5. Pintu darurat.
Amati jalur evakuasi, pintu ke luar atau tangga darurat. Apakah ada rintangan
yang dapat mengganggu, apakah ada petunjuk arah, apakah ada penerangan
darurat. Panjang jarak tempuh mencapai pintu keluar tidak melebihi 36 meter
untuk risiko ringan, 30 meter untuk risiko sedang dan 24 meter untuk risiko
berat.
6. Alat Pemadam Api Ringan (APAR).
Apakah alat pemadan api ringan telah sesuai jenis dan cukup jumlahnya.
Apakah penempatannya mudah dilihat dan mudah dijangkau serta mudah untuk
diambil. Periksa pula masa efektif bahan pemadamnya serta masa uji tabungnya.
7. Instalasi alarm.

5 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

a. Periksa apakah memiliki pengesahan, ada dokumen teknis seperti gambar


pemasang, katalog, dan petunjuk pemeliharaan;
b. Periksa hasil pemeriksaan terakhir, apakah syarat-syarat yang diberikan
sebelumnya telah dilaksanakan;
c. Periksalah indikator pada panel kontrol dalam status stand by;
d. Lakukan test fungsi perlengkapan pada panel. Apakah semua perlengkapan
dan indikator bekerja dengan baik. Apakah telah dipasang penandaan zone
alarm;
e. Lakukan test fungsi kerja sistem dengan mengaktifkan tombol manual dan
detektor pada setiap zona alarm sambil mencocokkan gambar dengan
pelaksanaannnya. Amati konfirmasi indikasi lokal alarm dan indikasi pada
panel, apakah berfungsi dan sesuai dengan nomor zonanya. Amati pula
apakah kekerasan suara alarm dapat didengar pada jarak terjauh pada zona
tersebut.
f. Lakukan test open circuit dengan cara membuka resistor pada rangkaian
detektor terakhir. Amati konfirmasi pada panel, apakah ada indikasi foult
alarm;
g. Catat semua penyimpangan yang ditemukan.

8. Instalasi Hydran dan Springkler.


a. periksalah apakah memiliki pengesahan, ada dokumen teknis seperti gambar
pemasangan, katalog, dan petunjuk pemeliharaan;
b. periksa hasil pemeriksaan terakhir, apakah syarat-syarat yang diberikan
sebelumnya telah dilaksanakan;
c. Periksalah indikator pada panel kontrol apakah dalam status stand by;
d. Periksa ruang pompa dan catat data-data teknik pompa, motor penggerak
dan perlengkapan yang ada, panel kontrolnya dan lain-lain;
e. Periksa sistem persediaan air apakah dapat menjamin kebutuhan air untuk
operasi pemadaman dalam waktu sesuai standar waktu tertentu;
f. Lakukan test kerja pompa dengan membuka kerangan uji yang disediakan
dalam ruang pompa dan amati tekanan pompa.
Langkah-langkah pengujian pompa sebagai berikut:
1) Catat tekanan stand by;
2) Catat tekanan pompa pacu jalan;
3) Tutup kembali kerangan uji dan catat tekanan pompa pacu stop;
4) Buka kembali kerangan uji sampai pompa utama jalan dan catat
tekanannya;
5) Amati beberapa saat tekanan operasi pompa utama dan catat;
6) Tutup kembali karangan uji dan pompa utama biarkan tetap jalan. Catat
tekanannya dan amati safety valve bekerja atau tidak;

6 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

7) Test pompa cadangan. Catat tekanan start dan tekanan operasionalnya


seperti langkah pengujian pompa utama.
g. Evaluasi pompa.
Pompa hydran harus mempunyai karakteristik tekanan minimal 4,5 kg/cm2
dan laju aliran minimal 500 US GPM. Cocokkan spesifikasi pompa
berdasarkan katalog dengan hasil uji coba.
Periksa sirkit pengendalian pompa antara lain:
1) Suplai daya listrik harus ditarik dari sisi suplai dari panel utama dengan
menggunakan saklar sendiri;
2) Kabel penghantar yang dipakai harus jenis kabel tahan api atau dapat
diizinkan menggunakan kabel lain dengan syarat harus dipasang dalam
pipa berulir;
3) Pada sirkit instalasi pemadam kebakaran tidak diizinkan adanya
pembebanan lain yang tidak berhubungan dengan keperluan pelayanan
pompa;
4) Alat pengaman sirkit pompa harus mempunyai karakteristik mampu
dialiri arus 125% beban penuh secara terus menerus dan pada 600%
beban penuh membuka tidak kurang dari 20 detik tetapi tidak lebih dari
50 detik;
5) Antara motor dan sirkit kendali tidak diizinkan dipasang pengaman
beban lebih.
h. Pengujian operasional hydran.
1) Buka titik hydran terdekat dengan pompa. Ukur tekanan pada mulut
pancar dengan pipa pitot dan catat tekanan pada manometer di ruang
pompa;
2) Buka titik hydran kedua yaitu titik hydran terjauh dan titik pengujian
pertama tetap terbuka. Ukur tekanan pada mulut pancar dan tekanan
manometer di ruang pompa;
3) Buka titik hydran ketiga yaitu titik hydran pertengahan dan titik hydran
pertama dan kedua tetap terbuka. Ukur tekanan pada mulut pancar dan
tekanan manometer di ruang pompa.
i. Evaluasi pengujian operasional.
Syarat yang diminta adalah tekanan terberat tidak lebih dari 7 kg/cm2 dan
tekanan pada titik terjauh tidak kurang dari 4,5 kg/cm2.

9. Instalasi khusus
Pada obyek-obyek tertentu ada kalanya memerlukan sistem proteksi kebakaran
secara khusus dengan media tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik
obyek yang bersangkutan. Kriteria penilaian instalasi khusus harus berpedoman
pada standar yang berlaku dan spesifikasi teknis peralatan dari pabrik
pembuatnya.

7 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Dikeluarkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1997
A.N. MENTERI TENAGA KERJA
DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

ttd

MOHD. SYAUFII SYAMSUDDIN


NIP. 160008975

8 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk 65-K

PERMOHONAN PENGESAHAN / SERTIFIKASI


INSTALASI PROTEKSI KEBAKARAN
No. : ___________________

Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 dan Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. Inst.
11/M/BW/1997, dengan ini kami mengajukan permohonan pengesahan Sertifikasi Pemasangan Instalasi
Proteksi Kebakaran.

Pemohon
Nama : ………………………………………………………………………………….
Jabatan : ………………………………………………………………………………….
Instansi/perusahaan : ………………………………………………………………………………….
Alamat : ………………………………………………………………………………….
Telp. : ……………………………… Fax. : ……………………………….

Data Umum
Nama gedung/bangunan : ………………………………………………………………………………….
Jenis usaha/kegiatan : ………………………………………………………………………………….
Alamat : …………………………………………………………………………….........
Telp. : ………………………………. Fax. : ……………………………….
Pemilik : ………………………………………………………………………………….
Pengelola : ……………………………………………………………………………….....
Nama pengurus : …………………………………………………………………………………
Jenis instansi : ( ) Instalasi Alarm
( ) Instalasi Hydran
( ) Instalasi Springkler
( ) Instalasi Khusus *) Sebutkan!
………………………………………………………………………….
Konsultan : ………………………………………………………………………………….
Alamat : ………………………………………………………………………………….
Telp. : ……………………………… Fax. : ………………………………
Instalator : ………………………………………………………………………………….
Alamat : ………………………………………………………………………………….
Telp. : ……………………………... Fax. : ………………………………
Jadual pelaksanaan : ……………………………………. s/d ……………….……………………
Keterangan : Data teknik, gambar dan kriteria perencanaan terlampir.

..………………... , ………………………..
Pemohon,

Materai
Rp. 2.000,-

Kepada Yth.
Direktur PNKK Ditjen Binawas
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 51
Blok A Lantai 8 Jakarta Selatan.

9 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk 66-K

LAPORAN PEMERIKSAAN KLUI :


No. : DAN PENGUJIAN
SARANA PROTEKSI
Tgl. : KEBAKARAN

I. DATA UMUM
1. Nama Gedung/Bangunan : _______________________________________
2. Alamat : _______________________________________
_______________________________________
3. Penggunaan bangunan : _______________________________________
4. Pemilik : _______________________________________
5. Pengelola : _______________________________________
6. Nama pengurus : _______________________________________

II. DATA BANGUNAN


1. Luas lahan : _______________m2
2. Luas bangunan : _______________meter
3. Konstruksi bangunan.
− Struktur utama : _______________________________________
− Struktur lantai : _______________________________________
− Dinding luar : _______________________________________
− Dinding dalam (penyekat): _______________________________________
− Rangka plapond : _______________________________________
− Penutup plapond : _______________________________________
− Rangka atap : _______________________________________
− Penutup atap : _______________________________________
4. Tinggi bangunan : _______________meter
5. Jumlah lantai : _______________________________________
6. Jumlah luas lantai : _______________m2
7. Dibangun tahun : _______________________________________

8. Perlengkapan proteksi kebakaran

10 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

8.1 ( ) Alat Pemadam Api Ringan


8.2 ( ) Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik
8.3 ( ) Instalasi Hydran
8.4 ( ) Instalasi Springkler
8.5 ( ) Instalasi Khusus *) _______________________________________
8.6 ( ) Sarana evakuasi

Catatan *)

11 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk 66.K(A)

SPESIFIKASI TEKNIK INSTALASI ALARM


KEBAKARAN OTOMATIK

No. Peralatan Merk/Model Jumlah Status Keterangan


1. Panel control
2. Announciator
3. Detektor panas

4. Detektor asap

5. Detektor nyala

6. Detektor gas

7. Tombol manual
8. Alarm bell
9. Sinyal lampu alarm

Catatan *)

12 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

DATA PEMASANGAN INSTALASI ALARM

No. Detektor Alarm


Lokasi TPM FLSw. STATUS*)
Zone ROR Fixed Smoke Bell Lamp
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

13 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

HASIL PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN


INSTALASI ALARM

No. Pemeriksaan/pengujian Hasil Syarat-syarat


1. Fungsi kerja panel

2. Test Alarm

3. Test Foult

4. Interkoneksi

Diperiksa Tanggal Pelaksana Tanda Tangan

14 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk 66 K.(HY)

SPESIFIKASI SISTEM INSTALASI PEMADAM OTOMATIK


Media Pemadam Aplikasi Sistem
Volume
No. Lokasi Ruang Deteksi Pemadam total
(M3) Jenis media Jumlah single/cross flooding/local
zone protection

HASIL PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN

Diperiksa oleh Pelaksana Tanda Tangan

15 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk 66 K.(GC)

SPESIFIKASI PEMASANGAN INSTALASI HIDRAN


No. Perihal Spesifikasi Status Keterangan
1. Sumber air baku
2. Ground Reservoar
3. Tangki Grafitasi
4. Siamese Conection
5. Pompa Pacu Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start oto : …………. Kg/cm2
Stop oto : …………. Kg/cm2
6. Pompa Utama Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start Oto : ……… kg/cm2
Stop manual
7. Pompa Cadangan Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start oto : …………. Kg/cm2
Stop manual
8. Priming tank
9. Bejana angin Kapasitas : ………. Liter
P. Kerja : ……….. kg/cm2
P. Uji : ……….. kg/cm2
10. Pressure relief valve
11. Test valve
12. Indikator Listrik terbuka
13. Pipa hisap
14. Pipa penyalur utama
15. Pipa Tegak
16. Hydran Pilar / Hidran halaman
17. Hydran gedung
18. Hose Rell
Catatan *)

16 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

HASIL PERCOBAAN UNIT POMPA

No. Pompa Start Stop Keterangan


Pompa pacu Otomatik/Manual Otomatik/Manual
1.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa utama Otomatik/Manual Otomatik/Manual
2.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa cadangan Otomatik/Manual Otomatik/Manual
3.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa Diesel Otomatik/Manual Otomatik/Manual
4.
…… kg/cm2 …… kg/cm2

HASIL PERCOBAAN OPERASIONAL HYDRAN

No. Percobaan Tekanan Status Keterangan


1. Stand by

2. 1 titik hydran

3. 2 titik hydran

4. 3 titik hydran

Diperiksa oleh Pelaksana Tanda Tangan

17 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

Bentuk FS-04.SP

SPESIFIKASI PEMASANGAN INSTALASI SPRINGKLER

No. Perihal Spesifikasi Status Keterangan


1. Sumber air baku
2. Ground Reservoar
3. Tangki Grafitasi
4. Siamese Connection
5. Pompa Pacu Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start oto : …………. Kg/cm2
Stop oto : …………. Kg/cm2
6. Pompa Utama Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start Oto : ……… kg/cm2
Stop manual
7. Pompa Cadangan Q : …………. Us Gpm
H : …………. Meter
Start oto : …………. Kg/cm2
Stop manual
8. Priming tank
9. Bejana angin Kapasitas : ………. Liter
P. Kerja : ……….. kg/cm2
P. Uji : ……….. kg/cm2
10. Pressure relief valve
11. Test valve
12. Indikator Listrik terbuka
13. Alarm Gong
14. Pipa hisap
15. Pipa penyalur utama
16. Pipa Tegak

17. Pipa pembagi utama


18. Pipa cabang
19. Flow Swicht
20. Kepala Springkler

18 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

HASIL PERCOBAAN UNIT POMPA

No. Pompa Start Stop Keterangan


Pompa pacu Otomatik/Manual Otomatik/Manual
1.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa utama Otomatik/Manual Otomatik/Manual
2.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa cadangan Otomatik/Manual Otomatik/Manual
3.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa Diesel Otomatik/Manual Otomatik/Manual
4.
…… kg/cm2 …… kg/cm2

HASIL PERCOBAAN DRAIN TEST TIAP PIPA CABANG


Status
No Lokasi Keterangan
Aliran Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Diperiksa oleh Pelaksana Tanda Tangan

19 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

HASIL PERCOBAAN UNIT POMPA

No. Pompa Start Stop Keterangan


Pompa pacu Otomatik/Manual Otomatik/Manual
1.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa utama Otomatik/Manual Otomatik/Manual
2.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa cadangan Otomatik/Manual Otomatik/Manual
3.
…… kg/cm2 …… kg/cm2
Pompa Diesel Otomatik/Manual Otomatik/Manual
4.
…… kg/cm2 …… kg/cm2

HASIL PERCOBAAN DRAIN TEST TIAP PIPA CABANG


Status
No Lokasi Keterangan
Aliran Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

20 dari 21
INS. 11/M/BW/1997

3. Temuan dan Saran

No. Perihal / Lokasi Kondisi / Temuan Saran

Demikian hasil pemeriksaan sarana proteksi kebakaran, untuk bahan pertimbangan lebih lanjut.

Diperiksa tanggal Pelaksana Tanda Tangan

Dikeluarkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1997

A.N. MENTERI TENAGA KERJA


DIREKTUR JENDERAL
PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN
PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

ttd

MOHD. SYAUFII SYAMSUDDIN


NIP. 160008975

21 dari 21
KEP.186/MEN/1999

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
No. : KEP.186/MEN/1999

TENTANG
UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: a. bahwa kebakaran di tempat kerja berakibat sangat merugikan baik


bagi perusahaan, pekerja maupun kepentingan pembangunan nasional,
oleh karena itu perlu ditanggulangi;
b. bahwa untuk menaggulangi kebakaran di tempat kerja, diperlukan
adanya peralatan proteksi kebakaran yang memadai, petugas
penanggulangan kebakaran yang ditunjuk khusus untuk itu, serta
dilakukannya prosedur penanggulangan keadaan darurat;
c. bahwa agar petugas penanggulangan kebakaran di tempat kerja dapat
melaksanakan tugasnya secara efektif, perlu diatur ketentuan tentang
unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja dengan Keputusan
Menteri.

Mengingat: 1. Undang-undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
2. Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara R.I. Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2918);
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 122/M/1998 tentang Pembentukan
Kabinet Reformasi Pembangunan;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-02/Men/1992 tentang Tata
Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan
Kesehatan Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/Men/1995 tentang
Perusahaan Jasa Keselamatan Dan Kesehatan Kerja;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 28/1994 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja.

1 dari 14
KEP.186/MEN/1999

MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. TENTANG UNIT
PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
a. Tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
b. Tenaga kerja ialah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubugan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
c. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya
kabakaran dengan berbagai upaya pengendalan setiap perwujudan energi,
pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan
organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran.
d. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk
menangani masalah penanggulangan kebakaran di tempat kerja yang meliputi
kegiatan administrasi, identifikasi sumber-sumber bahaya, pemeriksaan,
pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi kebakaran.
e. Petugas peran penanggulangan kebakaran ialah petugas yang ditunjuk dan diserahi
tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan melaksanakan upaya
penanggulangan kebakaran di unit kerjanya.
f. Regu penanggulangan kebakaran ialah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus
fungsional di bidang penanggulangan kebakaran.
g. Ahli keselamatan kerja ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus dari luar
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
h. Pegawai pengawas ialah tenaga berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja
yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
i. Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat
kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
j. Pengusaha ialah:
1) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
2) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3) Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

2 dari 14
KEP.186/MEN/1999

k. Menteri ialah menteri yang membidangi ketenagakerjaan.

Pasal 2
(1) Pengurus atau pengusaha wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan
kebakaran, latihan penanggulanggan kebakaran di tempat kerja.
(2) Kewajiban mencegah, megurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengendalian setiap bentuk energi;
b. Penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi;
c. Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
d. Pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja;
e. Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;
f. Memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat
kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan
atau tempat kerja yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.
(3) Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam
kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf f, memuat antara lain:
a. Informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;
b. Jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat
kerja;
c. Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya
kebakaran;
d. Prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.

BAB II
PEMBENTUKAN UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 3
Pembentukan unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi
bahaya kebakaran.

Pasal 4
(1) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
terdiri:

3 dari 14
KEP.186/MEN/1999

a. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran ringan;


b. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sedang I;
c. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II;
d. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sedang III dan;
e. Klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran berat.
(2) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat risiko bahaya kebakaran sebagaimana
dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.
(3) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat risiko bahaya
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan tersendiri oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 5
Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:
a. Petugas peran kebakaran;
b. Regu penanggulangan kebakaran;
c. Koordinator unit penanggulangan kabakaran;
d. Ahli K3 spesialis penaggulangan kebakaran sebagai penaggungjawab teknis.

Pasal 6
(1) Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 25 (dua puluh lima) orang.
(2) Regu penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dan huruf d, ditetapkan untuk tempat
kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I yang mempekerjakan
tenaga kerja 300 (tiga ratus) orang, atau lebih, atau setiap tempat kerja tingkat risiko
bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat.
(3) Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c,
ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I,
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 100 (seratus)
orang;
b. Untuk tempat kerja tingkat risiko bahaya kebakaran sedang II dan sedang III dan
berat, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap unit kerja.

BAB III
TUGAS DAN SYARAT UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Pasal 7
(1) Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a mempunyai tugas:

4 dari 14
KEP.186/MEN/1999

a. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan


bahaya kebakaran;
b. memadamkan kebakaran pada tahap awal;
c. mengarahkan evakuasi orang dan barang;
d. mengadakan koordinasi dengan instansi terkait;
e. mengamankan lokasi kebakaran.
(2) Untuk dapat ditunjuk menjadi petugas peran kebakaran harus memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal SLTP;
c. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I.

Pasal 8
(1) Regu penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b
mempunyai tugas:
a. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan
bahaya kebakaran;
b. melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran;
c. memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada tahap awal;
d. membantu menyusun baku rencana tanggap darurat penanggulangan kebakaran;
e. memadamkan kebakaran;
f. mengarahkan evakuasi orang dan barang;
g. mengadakan koordinasi dengan instansi terkait;
h. memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan;
i. mengamankan seluruh lokasi tempet kerja;
j. melakukan koordinasi seluruh petugas peran kebakaran.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai anggota regu penanggulangan kebakaran harus
memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun;
c. pendidikan minimal SLTA;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I dan
tingkat dasar II.

Pasal 9
(1) Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
huruf c mempunyai tugas:

5 dari 14
KEP.186/MEN/1999

a. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi


yang berwenang;
b. menyusun program kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan kebakaran;
c. mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada
pengurus.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai koordinator unit penanggulangan kebakaran harus
memenuhi syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal SLTA;
c. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat
dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama.

Pasal 10
(1) Ahli K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) mempunyai tugas:
a. membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang
penanggulangan kebakaran;
b. memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku;
c. merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan atau instansi yang
didapat berhubungan dengan jabatannya;
d. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi
yang berwenang;
e. menyusun program kerja atau kegiatan penanggulangan kebakaran;
f. mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada
pengurus;
g. melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
(2) Syarat-syarat Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran adalah:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. pendidikan minimal D3 teknik;
c. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;
d. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat
dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama dan Tingkat Ahli Madya;
e. memiliki surat penunjukkan dari menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran
mempunyai wewenang:
a. memerintahkan, menghentikan dan menolak pelaksanaan pekerjaan yang dapat
menimbulkan kebakaran dan peledakan;

6 dari 14
KEP.186/MEN/1999

b. meminta keterangan atau informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat K3 di


bidang kebakaran di tempat kerja.

Pasal 11
Tata cara penunjukan Ahli K3 sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf e,
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 12
Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2),
pasal 8 ayat (2), pasal 9 ayat (2), dan pasal 10 ayat (2) harus sesuai kurikulum dan silabi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri ini.

Pasal 13
(1) Tenaga kerja yang telah mengikuti kursus teknik penanggulangan kebakaran
sebagaimana dimaksud pada pasal 12 berhak mendapat sertifikat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanda tangani oleh menteri atau
pejabat yang ditunjuk.

Pasal 14
(1) Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
diselenggarakan oleh Perusahaan Jasa Pembinaan K3 yang telah ditunjuk oleh menteri
atau pejebat yang ditunjuk.
(2) Penunjukan perusahaan jasa pembinaan K3 sebagaimana disebut pada ayat (1)
didasarkan pada kualifikasi tenaga ahli, instruktur dan fasilitas penunjang yang
dimilikinya.

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 15
Pegawai pengawas ketenagakerjaan melaksakan pengawasan terhadap ditaatinya
Keputusan Menteri ini.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pengurus atau pengusaha yang telah membentuk unit penanggulangan kebakaran sebelum
keputusan ini di tetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun harus
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Menteri ini.

7 dari 14
KEP.186/MEN/1999

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

FAHMI IDRIS

8 dari 14
KEP.186/MEN/1999

LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA


NOMOR : KEP.186/MEN/1999
TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999

DAFTAR JENIS TEMPAT KERJA


BERDASARKAN
KLASIFIKASI POTENSI BAHAYA KEBAKARAN

KLASIFIKASI JENIS TEMPAT KERJA


Bahaya Kebakaran Ringan − Tempat ibadah
Tempat kerja yang mempunyai jumlah − Gedung/ruang Perkantoran
dan kemudahan terbakar rendah, dan − Gedung/ruang Pendidikan
apabila terjadi kebakaran melepaskan − Gedung/ruang Perumahan
panas rendah, sehingga menjalarnya api − Gedung/ruang Perawatan
lambat. − Gedung/ruang Restorant
− Gedung/ruang Perpustakaan
− Gedung/ruang Perhotelan
− Gedung/ruang Lembaga
− Gedung/ruang Rumah Sakit
− Gedung/ruang Museum
− Gedung/ruang Penjara
Bahaya Kebakaran Sedang 1 − Tempat Parkir
Tempat kerja yang mempunyai jumlah − Pabrik Elektronika
dan kemudahan terbakar sedang, − Pabrik Roti
menimbun bahan dengan tinggi tidak − Pabrik barang gelas
lebih dari 2,5 meter, dan apabila terjadi − Pabrik minuman
kebakaran melepaskan panas sedang, − Pabrik permata
sehingga menjalarnya api sedang.
− Pabrik pengalengan
− Binatu
− Pabrik susu
Bahaya Kebakaran Sedang 2 − Penggilingan padi
Tempat kerja yang mempunyai jumlah − Pabrik bahan makanan
dan kemudahan terbakar sedang, − Percetakan dan penerbitan
menimbun bahan dengan tinggi lebih dari − Bengkel mesin
4 meter, dan apabila terjadi kebakaran − Gudang pendinginan
melepaskan panas sedang, sehingga − Perakitan kayu
menjalarnya api sedang.
− Gudang perpustakaan
− Pabrik bahan keramik
− Pabrik tembakau
− Pengolahan logam
− Penyulingan
− Pabrik barang kelontong
− Pabrik barang kulit

9 dari 14
KEP.186/MEN/1999

KLASIFIKASI JENIS TEMPAT KERJA


− Pabrik tekstil
− Perakitan kendaraan bermotor
− Pabrik kimia (bahan kimia dengan
kemudahan terbakar sedang)
− Pertokoan dengan pramuniaga
kurang dari 50 orang
Bahaya Kebakaran Sedang 3 − Ruang pameran
Tempat kerja yang mempunyai jumlah − Pabrik permadani
dan kemudahan terbakar tinggi, dan − Pabrik makanan
apabila terjadi kebakaran melepaskan − Pabrik sikat
panas tinggi, sehingga menjalarnya api − Pabrik ban
cepat. − Pabrik karung
− Bengkel mobil
− Pabrik sabun
− Pabrik tembakau
− Pabrik lilin
− Studio dan pemancar
− Pabrik barang plastic
− Pergudangan
− Pabrik pesawat terbang
− Pertokoan dengan pramuniaga
lebih dari 50 orang
− Penggergajian dan pengolahan
kayu
− Pabrik makanan kering dari bahan
tepung
− Pabrik minyak nabati
− Pabrik tepung terigu
− Pabrik pakaian
Bahaya Kebakaran Berat − Pabrik kimia dengan kemudahan
Tempat kerja yang mempunyai jumlah terbakar tinggi
dan kemudahan terbakar tinggi, − Pabrik kembang api
menyimpan bahan cair, serat atau bahan − Pabrik korek api
lainnya dan apabila terjadi kebakaran − Pabrik cat
apinya cepat membesar dengan − Pabrik bahan peledak
melepaskan panas tinggi, sehingga − Pemintalan benang atau kain
menjalarnya api cepat.
− Penggergajian kayu dan
penyelasaiannya menggunakan
bahan mudah terbakar
− Studio film dan Televisi
− Pabrik karet buatan
− Hangar pesawat terbang
− Penyulingan minyak bumi
− Pabrik karet busa dan plastik busa

10 dari 14
KEP.186/MEN/1999

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

FAHMI IDRIS

11 dari 14
KEP.186/MEN/1999

LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA


NOMOR : KEP. 186/MEN/1999
TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999

KURIKULUM DAN SILABI


KURSUS TEKNIS PENANGGULANGAN KEBAKARAN

I. PAKET D (TINGKAT DASAR I)


JAM KURIKULUM SILABI JAM
1. Norma K3 penanggulangan Dasar-dasar K3 dan peraturan terkait dengan
4
kebakaran. K3 penanggulangan kebakaran.
2. Manajemen penanggulangan Dasar-dasar manajemen pengamanan
2
kebakaran. kebakaran.
3. Teori api dan anatomi − Teori api dan anatomi kabakaran.
kabakaran I. − Prinsip-prinsip pencegahan dan, 4
− Teknik pemadaman kebakaran.
4. Pengenalan sistem proteksi − Sistem proteksi pasif (komprehensif, dll.)
4
kebakaran. − Sisti proteksi aktif (APAR, Hidran, dll.)
5. Prosedur darurat bahaya Pengetahuan prosedur menghadapi bahaya
2
kebakaran. kebakaran (Dasar-dasar Fire Emergency Plan)
6. Praktek. Pemadaman dengan APAR/Hidran 6
7. Evaluasi. 3
Jumlah jam pelajaran @ 45 menit 25

II. PAKET C (TINGKAT DASAR II)


JAM KURIKULUM SILABI JAM
1. Peraturan Perundang-undangan − Kebijakan K3.
K3. 2
− Undang-undang No. 1 Th. 1970.
2
− Sistem manajemen K3.
2
− Norma-norma K3 Penanggulangan 2
Kebakaran.
2. Pengetahuan teknik pencegahan − Teori api dan anatomi kebakaran.
kebakaran 2
− Penyimpanan dan penanganan bahan
mudah terbakar/meledak.
4
− Metoda pengendalian proses
pekerjaan/penggunaan peralatan, instalasi 4
dan energi/panas lainnya.
3. Sistem instalasi deteksi, alarm, − Sistem deteksi & alarm kebakaran 2
dan pemadam kebakaran. − Alat pemadam api ringan 2
− Hydran springkler 2
− Sistem pemadam kimia 2
− Fire safety equipment 2
4. Sarana evakuasi. Jalan lintas, koridor, tangga, helipet, tempat
2
berkumpul.
5. Pemeliharaan, pemeriksaan, Instalasi Alarm, APAR, Hydran, Springkler
6
pengujian peralatan proteksi dan lainnya.

12 dari 14
KEP.186/MEN/1999

kebakaran.
6. Fire Emergency Respon Plan. − Pengorganisasian sisten tanggap darurat.
− Prosedur tanggap darurat kebakaran. 4
− Pertolongan penderitan gawat darurat
7. Praktek pemadaman APAR, Hydran, Penyelamatan 16
8. Evaluasi. 4
Jumlah jam pelajaran @ 45 menit 60

III. PAKET B (TINGKAT AHLI PRATAMA)


JAM KURIKULUM SILABI JAM
1. Kebijaksanaan & program pengembangan
System pengawasan K3. 4
pembinaan dan pengawasan K3.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
System manajemen K3. 4
Per.05/Men/1996
− Peraturan dan standar system proteksi
3. Konsep perencanaan system
kebakaran. 8
proteksi kebakaran.
− Penerapan 5R di tempat kerja.
− Evaluasi potensi bahaya kebakaran.
− Penanganan benda-benda dan pekerjaan
4. Teknis inspeksi. berbahaya. 10
− Instalasi listrik dan penyalur petir.
− Manajemen pengamanan kebakaran.
− Peraturan wajib lapor kecelakaan.
− System analisa kasus kecelakaan dan
5. System pelaporan kecelakaan. kebakaran. 4
− System pelaporan kecelakaan dan
kebakaran.
6. Asuransi kebakaran. 2
7. Perilaku manusia dalam
2
menghadapi kebakaran.
− Penyusunan buku penanganan keadaan
8. darurat kebakaran.
Manual tanggap darurat. 2
− Skenario latihan penanggulangan
kebakaran terpadu.
Teknik pemeriksaan dan
9. pengujian system proteksi 4
kebakaran.
10. − Kunjungan ke tempat kerja.
Praktek. 14
− Diskusi/perumusan.
11. Evaluasi. 6
Jumlah jam pelajaran @ 45 menit 60

IV. PAKET A (TINGKAT AHLI MADYA)


JAM KURIKULUM SILABI JAM
1. Development program of
2
occupational Health and Safety.

13 dari 14
KEP.186/MEN/1999

2. Industrial Communication
2
Pattern.
3. Fire Risk Assessment. 2
4. Cost and benefit analysis of
2
safety.
5. Explosion protection. 2
6. Smoke Control System. 2
7. Building construction. 2
8. Environmental impact of fire. 2
9. Performance based design on
2
fire safety.
10. Fire modeling and simulation. 2
11. Fire safety audit internal
2
(ISO 9000).
12. Feri safety design & evaluation. 2
13. Praktek. Kunjungan ke laboratorium uji api. 10
14. Kertas kerja. 10
15. Diskusi/ekspose. 10
16. Evaluasi. 6
Jumlah jam pelajaran @ 45 menit 60

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 September 1999

MENTERI TENAGA KERJA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

FAHMI IDRIS

14 dari 14

Anda mungkin juga menyukai