Anda di halaman 1dari 3

DR. Mardety Mardinsyah.

Msi
Browse: Home » Membangun kesetaraan gender dalam keluarga

MEMBANGUN KESETARAAN GENDER DALAM


KELUARGA
March 22, 2021  · by mardety mardinsyah  · in  Keluarga

Zaman ini disebut  zaman millenial, zaman  globalisasi,  zaman digital, zaman abad 21 dan  zaman now. 
Apapun namanya,  satu hal peting. peradaban   berubah. Muncul berbagai konsep konsep baru
kehidupan. Bangkit berbagai kesadaran baru, salah satunya kesadaran tentang kesetaraan  dan keadilan
gender.

Dalam dunia yang berubah itu juga  hadir berbagai  paham  baru, salah satunya paham feminis atau 
Feminisme.  Sebagai teori,  feminisme merupakan suara perempuan  di dunia ilmu yaitu suara
perempuan yang mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender secara ilmiah. Sebagai praktek,
Feminisme adalah sebuah perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan gender, yang dikenal sebagai jihad
gender.  

Di Indonesia, untuk mewujudkan Kesetaraan gender Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang
kesetaraan gender dalam pembangunan nasional. Negara memberikan akses  yang sama antara laki-laki
dan perempuan melalui  berbagai program Pengarusutamaan gender di semua tingkat pemerintahan.
Untuk masyarakat yang  belum tercerahkan atau yang belum paham ide kesetaraan dan keadilan gender,
lembaga lembaga pemerintahan melaksanakan  pelatihan  masyarakat dengan materi kesetaraan dan
keadilan gender. 

Seorang sahabat di dunia maya namanya Meerina  telah mengikuti  pelatihan dengan materi kesetaraan
dan keadilan gender. Selesai pelatihan itu, ide  kesetaraan dan keadilan gender mulai mengisi  kepala
Meerina. Dia mulai membaca buku dan artikel  tentang kesetaraan dan keadilan gender. Kini Meerina
mulai bergabung dengan aktivis dan pejuang kesetaraan dan keadilan gender di dunia nyata dan dunia
maya.  Meerina  sekarang sudah beda dengan Meerina yang dulu .

Dulu Meerina  di rumah saja, tak punya teman baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Bahkan
Meerina  tidak tahu kalau berbagai bidang kehidupan telah berubah.  Berbagai kegiatan hidup telah
berubah dari  manual  ke digital.  Meerinapun tidak tahu bahwa ada berbagai flatform sosial media  yang
dimanfaatkan orang untuk mendapat informasi, belajar,belanja, bergaul bahkan curhat.

 Di sosmed sudah lazim orang menyampaikan curhat.   Hidup di dunia maya adalah hidup di dunia
transparan, tempat privasi mencair, tidak ada tempat persembunyian. Dunia maya  dunia tanpa kabel 
telah merebut orang dari badan konsultasi perkawinan bahkan dari orang tua tempat mengadu.

Rumah tangga Meerina tak bahagia. Suami sering marah-marah. Memaki dan memukul. Kalau dia
melawan, suaminya tambah kasar dan seolah-olah mau mencincang nya. Dia dianggap lalat. Meerina 
membiarkan dirinya  terbaring dalam penderitaan menghadapi k berbagai kekerasan hidup di rumah
tangga sebagai isteri tradisional. Meerina hidup bagai burung dalam sangkar. Tidak ada  kebebasan. Dia
selalu dikekang  untuk bergerak. Mana boleh  jadi mandor, harus jadi pengekor.
Setelah mengikuti pelatihan  masyarakat dengan materi kesetaraan dan keadilan gender, Meerina  paham
tentang kesetaraan dan keadilan gender. Berbagai    hal dalam hidupnya  mulai berubah.  Meerina 
mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender ke ruang keluarga dan ruang-ruang sosial, termasuk ke
ruang kehidupan keberagamaan.

Keluarga merupakan  institusi terkecil dari suatu masyarakat yang memiliki struktur  dan sistem
tersendiri. Keluarga, satu-satunya lembaga sosial yang diberi tanggungjawab untuk merubah suatu
organisme biologis, menjadi manusia. Kedudukan utama keluarga adalah fungsi pengantar  untuk
membentuk masyarakat yang lebih besar.

 Sadar gender, membuat Meerina membangun relasi keluarga berkesetaraan  gender dalam keluarganya.
Dia berhasil meyakinkan suaminya bahwa kesetaraan gender itu penting dan harus dimulai dlam rumah
tangga. Kini,  Meerina  Dia  merasa isteri termujur di didunia karena  dapat keluar dari konsep keluarga
konvensional.

Dalam konsep keluarga konvensional,suami kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung keluarga (peran
publik), sedangkan isteri  mengurus  rumah tangga, mencuci, memasak, mengasuh anak (peran
domestik).Karena pembagian peran sosial seperti itu, maka relasi suami dan isteri menjadi relasi kuasa.
Pola relasi keluarga  yang mendikhotomikan peran antara laki-laki  dan perempuan  dalam rumah 
tangga, membuat perempuan tertindas, menderita dan rawan mendapat tindak kekerasan.

Meerina dan suaminya mulai sering mendiskusikan ide kesetaraan dan keadilan gender. Kini Meerina
sudah mampu menganalisis   pandangan masyarakat yang berakar dari  pandangan agama (Islam) 
dimana perempuan tidak diizinkan punya kehendak, harus mengikuti keinginan suami. Bila tidak taat
pada suami dan melanggar apa yang dikatakannya, akan dianggap sebagai perempuan tidak berguna,
bahkan menjadi calon penghuni neraka. Meerina berpendapat  bahwa pandangan demikian harus diubah.
Taat berlebihan pada suami membuat suami intoleransi. Taat berlebihan hanya pada Allah SWT.

Kesetaraan dan keadilan gender harus dimulai dari rumah. Nilai-nilai kesetaraan dan keadilan harus 
ditanamkan di rumah tangga. Perempuan tidak boleh  di diskriminasi  dan tak boleh disiksa secara fisik
dan emosional. Relasi suami isteri dalam rumah tangga bukan relasi kuasa bukan relasi budak dan tuan,
tapi relasi yang setara. Semua manusia adalah setara.

Meerina  juga mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender ke ruang kehidupan keberagamaan.
Meerina mengimbau agar para muslimah dalam menerima ajaran agama terkait perempuan tidak secara
take for granted . Dia mengajak perempuan agar mau bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender.
Harapannya, perempuan Indonesia terbuka kesadarannya dan melakukan transendensi menjadi manusia
rasional, otonom dan menjadi diri sendiri.

Tidak bisa dibantah, di  zaman  ini berjuang untuk kesetaraan dan  ketidakadilan gender masih dianggap
sepi.  Orang masih enggan meninggalkan keistimewaan peradaban yang selama ini menguntungkan  laki-
laki. Mirisnya lagi, perempuan yang belum tercerahkan, malah mengusung ide anti kesetaraan dan
keadilan gender. Padahal di luar sana, banyak perempuan  menderita. Banyak perempuan  ditindas.
Perempuan  rawan terhadap kekerasan di rumah tangga dan kekerasan  di ruang publik. Bahkan dalam
masyarakat muslim masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Atas
nama agama perempuan tidak boleh mempresentasikan diri, tidak boleh jadi pemimpin dan harus  rela di
poligami hingga empat isteri.

Pandangan tentang kepemimpinan perempuan dan poligami  sudah banyak diprotes oleh tokoh-tokoh
feminis Islam kelas dunia,  seperti Amina Wadud, Kecia Ali dan Musdah Mulia melalui karya-karya
mereka.Para feminis Islam ini mengeritik dominasi laki-laki dalam tafsir Alquran dan  menggagas untuk
ditinjau kembali tafsir ayat-ayat gender dalam Alquran, terutama tafsir tentang kepemimpinan
perempuan dan  poligami.

Kesadaran tentang kesetaraan gender dalam keluarga sudah masanya digaungkan lebih keras. Dalam
kehidupan kita sehari hari banyak hal yang membutuhkan kesadaran gender. Bila relasi suami isteri relasi
yang setara, maka suami isteri akan kompak menghadapi berbagai kondisi, terutama dalam pandemi
corona ini, dimana virus corona tidak mengenal gender, suami isteri harus kompak melindungi
keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai