DR. Mardety Mardinsyah. Msi Membangun Kesetaraan Gender Dalam Keluarga
DR. Mardety Mardinsyah. Msi Membangun Kesetaraan Gender Dalam Keluarga
Msi
Browse: Home » Membangun kesetaraan gender dalam keluarga
Zaman ini disebut zaman millenial, zaman globalisasi, zaman digital, zaman abad 21 dan zaman now.
Apapun namanya, satu hal peting. peradaban berubah. Muncul berbagai konsep konsep baru
kehidupan. Bangkit berbagai kesadaran baru, salah satunya kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan
gender.
Dalam dunia yang berubah itu juga hadir berbagai paham baru, salah satunya paham feminis atau
Feminisme. Sebagai teori, feminisme merupakan suara perempuan di dunia ilmu yaitu suara
perempuan yang mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender secara ilmiah. Sebagai praktek,
Feminisme adalah sebuah perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan gender, yang dikenal sebagai jihad
gender.
Di Indonesia, untuk mewujudkan Kesetaraan gender Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang
kesetaraan gender dalam pembangunan nasional. Negara memberikan akses yang sama antara laki-laki
dan perempuan melalui berbagai program Pengarusutamaan gender di semua tingkat pemerintahan.
Untuk masyarakat yang belum tercerahkan atau yang belum paham ide kesetaraan dan keadilan gender,
lembaga lembaga pemerintahan melaksanakan pelatihan masyarakat dengan materi kesetaraan dan
keadilan gender.
Seorang sahabat di dunia maya namanya Meerina telah mengikuti pelatihan dengan materi kesetaraan
dan keadilan gender. Selesai pelatihan itu, ide kesetaraan dan keadilan gender mulai mengisi kepala
Meerina. Dia mulai membaca buku dan artikel tentang kesetaraan dan keadilan gender. Kini Meerina
mulai bergabung dengan aktivis dan pejuang kesetaraan dan keadilan gender di dunia nyata dan dunia
maya. Meerina sekarang sudah beda dengan Meerina yang dulu .
Dulu Meerina di rumah saja, tak punya teman baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Bahkan
Meerina tidak tahu kalau berbagai bidang kehidupan telah berubah. Berbagai kegiatan hidup telah
berubah dari manual ke digital. Meerinapun tidak tahu bahwa ada berbagai flatform sosial media yang
dimanfaatkan orang untuk mendapat informasi, belajar,belanja, bergaul bahkan curhat.
Di sosmed sudah lazim orang menyampaikan curhat. Hidup di dunia maya adalah hidup di dunia
transparan, tempat privasi mencair, tidak ada tempat persembunyian. Dunia maya dunia tanpa kabel
telah merebut orang dari badan konsultasi perkawinan bahkan dari orang tua tempat mengadu.
Rumah tangga Meerina tak bahagia. Suami sering marah-marah. Memaki dan memukul. Kalau dia
melawan, suaminya tambah kasar dan seolah-olah mau mencincang nya. Dia dianggap lalat. Meerina
membiarkan dirinya terbaring dalam penderitaan menghadapi k berbagai kekerasan hidup di rumah
tangga sebagai isteri tradisional. Meerina hidup bagai burung dalam sangkar. Tidak ada kebebasan. Dia
selalu dikekang untuk bergerak. Mana boleh jadi mandor, harus jadi pengekor.
Setelah mengikuti pelatihan masyarakat dengan materi kesetaraan dan keadilan gender, Meerina paham
tentang kesetaraan dan keadilan gender. Berbagai hal dalam hidupnya mulai berubah. Meerina
mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender ke ruang keluarga dan ruang-ruang sosial, termasuk ke
ruang kehidupan keberagamaan.
Keluarga merupakan institusi terkecil dari suatu masyarakat yang memiliki struktur dan sistem
tersendiri. Keluarga, satu-satunya lembaga sosial yang diberi tanggungjawab untuk merubah suatu
organisme biologis, menjadi manusia. Kedudukan utama keluarga adalah fungsi pengantar untuk
membentuk masyarakat yang lebih besar.
Sadar gender, membuat Meerina membangun relasi keluarga berkesetaraan gender dalam keluarganya.
Dia berhasil meyakinkan suaminya bahwa kesetaraan gender itu penting dan harus dimulai dlam rumah
tangga. Kini, Meerina Dia merasa isteri termujur di didunia karena dapat keluar dari konsep keluarga
konvensional.
Dalam konsep keluarga konvensional,suami kepala keluarga, pencari nafkah, pelindung keluarga (peran
publik), sedangkan isteri mengurus rumah tangga, mencuci, memasak, mengasuh anak (peran
domestik).Karena pembagian peran sosial seperti itu, maka relasi suami dan isteri menjadi relasi kuasa.
Pola relasi keluarga yang mendikhotomikan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah
tangga, membuat perempuan tertindas, menderita dan rawan mendapat tindak kekerasan.
Meerina dan suaminya mulai sering mendiskusikan ide kesetaraan dan keadilan gender. Kini Meerina
sudah mampu menganalisis pandangan masyarakat yang berakar dari pandangan agama (Islam)
dimana perempuan tidak diizinkan punya kehendak, harus mengikuti keinginan suami. Bila tidak taat
pada suami dan melanggar apa yang dikatakannya, akan dianggap sebagai perempuan tidak berguna,
bahkan menjadi calon penghuni neraka. Meerina berpendapat bahwa pandangan demikian harus diubah.
Taat berlebihan pada suami membuat suami intoleransi. Taat berlebihan hanya pada Allah SWT.
Kesetaraan dan keadilan gender harus dimulai dari rumah. Nilai-nilai kesetaraan dan keadilan harus
ditanamkan di rumah tangga. Perempuan tidak boleh di diskriminasi dan tak boleh disiksa secara fisik
dan emosional. Relasi suami isteri dalam rumah tangga bukan relasi kuasa bukan relasi budak dan tuan,
tapi relasi yang setara. Semua manusia adalah setara.
Meerina juga mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender ke ruang kehidupan keberagamaan.
Meerina mengimbau agar para muslimah dalam menerima ajaran agama terkait perempuan tidak secara
take for granted . Dia mengajak perempuan agar mau bicara tentang kesetaraan dan keadilan gender.
Harapannya, perempuan Indonesia terbuka kesadarannya dan melakukan transendensi menjadi manusia
rasional, otonom dan menjadi diri sendiri.
Tidak bisa dibantah, di zaman ini berjuang untuk kesetaraan dan ketidakadilan gender masih dianggap
sepi. Orang masih enggan meninggalkan keistimewaan peradaban yang selama ini menguntungkan laki-
laki. Mirisnya lagi, perempuan yang belum tercerahkan, malah mengusung ide anti kesetaraan dan
keadilan gender. Padahal di luar sana, banyak perempuan menderita. Banyak perempuan ditindas.
Perempuan rawan terhadap kekerasan di rumah tangga dan kekerasan di ruang publik. Bahkan dalam
masyarakat muslim masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Atas
nama agama perempuan tidak boleh mempresentasikan diri, tidak boleh jadi pemimpin dan harus rela di
poligami hingga empat isteri.
Pandangan tentang kepemimpinan perempuan dan poligami sudah banyak diprotes oleh tokoh-tokoh
feminis Islam kelas dunia, seperti Amina Wadud, Kecia Ali dan Musdah Mulia melalui karya-karya
mereka.Para feminis Islam ini mengeritik dominasi laki-laki dalam tafsir Alquran dan menggagas untuk
ditinjau kembali tafsir ayat-ayat gender dalam Alquran, terutama tafsir tentang kepemimpinan
perempuan dan poligami.
Kesadaran tentang kesetaraan gender dalam keluarga sudah masanya digaungkan lebih keras. Dalam
kehidupan kita sehari hari banyak hal yang membutuhkan kesadaran gender. Bila relasi suami isteri relasi
yang setara, maka suami isteri akan kompak menghadapi berbagai kondisi, terutama dalam pandemi
corona ini, dimana virus corona tidak mengenal gender, suami isteri harus kompak melindungi
keluarganya.