Anda di halaman 1dari 6

Bagaimana Relasi Gender dalam

Keluarga Dibangun: Perspektif


Tafsir Feminis

Hadiana Trendi Azami

24/08/2021

Relasi Gender dalam Keluarga


Datangnya Islam dengan diutusnya Nabi Muhammad saw di tengah-tengah masyarakat jahiliyah
Arab telah membawa reformasi bagi konstruksi sosial dan moral bangsa Arab ke arah yang lebih
baik. Salah satunya adalah mengenai hak-hak perempuan yang saat itu dibatasi.

Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam adalah sama. Meski secara fisiologis
keduanya memiliki perbedaan, namun dalam hal derajat di sisi Allah, keduanya diperlakukan dan
dipandang setara. Firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat: 13:

‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشع ُْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َعا َرفُ ْوا ۚ اِ َّن‬
‫اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat tersebut mengakui kaum perempuan
beserta hak-haknya dan tidak membenarkan adanya diskriminasi pada perempuan, karena tidak
ada yang melebihkan laki-laki di atas perempuan. Yang membedakan di antara keduanya adalah
ketakwaan masing-masing individu.

Islam juga menetapkan hal yang sama mengenai hak-hak yang harus dipenuhi bagi laki-laki dan
perempuan seperti hak mendapatkan pendidikan, perlakuan sama di depan hukum, dan
sebagainya. Islam telah menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder masing-masing.

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga


Keluarga adalah perwujudan dari cinta kasih di antara kedua insan, laki-laki dan perempuan yang
diikat oleh tali pernikahan. Tujuan utama dari pernikahan selain meneruskan generasi manusia
juga memenuhi kebutuhan emosional serta keseimbangan spiritual. Agar tujuan keluarga tercapai
maksimal, dibutuhkan kerjasama dalam mengurusi rumah tangga. Dalam Q.S al-Baqarah: 228
disebutkan bahwa:

…‫ال َعلَ ْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َوهّٰللا ُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ۖ ‫َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه َّن ِب ْال َم ْعر ُْو‬
ِ ‫ف َولِلرِّ َج‬

“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.”

Ayat di atas dalam pandangan Quraish Shihab bahwa Allah tidak mempunyai tujuan lain
melebihkan laki-laki satu tingkatan di atas perempuan melainkan karena laki-laki wajib
melindungi dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarganya. Hal ini merujuk kepada
perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih kuat melindungi
jenis yang lebih lemah. Selain itu, laki-laki (suami) dituntut untuk berlaku adil dalam
menjalankan tanggungjawab keluarga.

Berbeda halnya dalam Tafsir al-Jalalain, laki-laki dalam hal ini suami, mempunyai satu
tingkatan lebih tentang hak, misalnya keharusan untuk ditaati. Hal ini karena mas kawin dan
belanja yang mereka keluarkan untuk kebutuhan keluarga.

Pandangan mainstream di atas harus dipahami berdasarkan konteks masa lampau ketika
melindungi keluarga dan mencari nafkah hanya dapat dilakukan melalui kerja-kerja fisik. Laki-
laki ketika itu secara sosial sangat diuntungkan dibanding perempuan, bahkan dalam kondisi
tertentu perempuan sangat dirugikan.
Said Abdullah Seif al-Hatimy dalam al-Mar’ah fi al-Islam wa Qablahu penyebutkan bahwa
perempuan di masa jahiliyyah pernah dipandang sebagai sebuah aib, makhluk rendahan dan
tidak ubahnya seperti harta benda yang dapat diwariskan, hingga kemudian Islam datang
memberinya hak-hak yang sesuai dengan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Oleh karena itu wajar jika urusan mencari nafkah dan melindungi keluarga oleh al-Qur’an
diberikan kepada suami, terlebih istri di sisi lain memiliki tugas khusus sebagai ibu yang
mengandung, melahirkan dan menyusui bayinya. Atas kerjanya itu juga, suami berhak
dilebihkan dalam hal misalnya menjadi kepala keluarga dan mendapat bagian warisan yang lebih
banyak.

Berdasarkan hal tersebut, hak dan kewajiban suami dan istri harus menyesuai peran masing-
masing dalam menjalankan rumah tangga. Ini tentunya bersifat kasuistik, relatif, dan tidak tetap.

Baca juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh
struktur kekuasaan laki-laki (ayah) yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi.
Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin. Relasi yang terbangun seringkali
menempatkan seolah-olah laki-laki lebih berkuasa dibanding anggota keluarga perempuan (Ida
Zahara Adibah, Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya Dalam Kehidupan
Keluarga).

Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab


mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab
domestik melulu tanggung jawab ibu/istri.
Padahal, faktanya berdasarkan riset Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia tentang Profil Perempuan Indonesia Tahun 2020, begitu banyak kaum
perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Banyak pedagang, buruh pabrik perempuan
mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran
perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan
selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

Persepsi seperti itu selain mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga juga membebani
kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Kesetaraan gender
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-
laki saja atau milik perempuan saja.

Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, di mana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena
PHK, membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan
kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang membuka usaha
seperti warung, berjualan makanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga
keberlangsungan hidup keluarga mereka.

Faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan
hanya dibatasi pada peran-peran tertentu itu tidak benar, karena baik laki-laki maupun
perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya
baik di sektor domestik maupun publik.

Sistem patriarkal yang memosisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur
yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif
antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi
gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan
dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa
membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada
pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Selain
itu, mengisyaratkan adanya keseimbangan pembagian peran antar anggota keluarga sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi
pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Anda mungkin juga menyukai