Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAK ASASI MANUSIA

“Hukum Acara Yang Berlaku Di Pengadilan Hak Asasi Manusia”

Dosen Pengampu :

Dr. Hj. Rabiatul Adawiah, M.Pd. dan Dr. H. Dian Agus Ruchliyadi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 7 : Ahmad Hulaimi (2010112110008) Duratul


Masunah (2010112220034) Husnul Khatimah (2010112220025)
Lukmanul Hakim (2010112310009) M. Nashiruddin Rabbani
(2010112210042)

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
kelompok 7 untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul HUKUM ACARA YANG BERLAKU DI PENGADILAN
HAK ASASI MANUSIA. Makalah ini disusun kelompok 7 guna memenuhi tugas mata kuliah
Hak Asasi Manusia yang diampu oleh Ibu Dr. Hj. Rabiatul Adawiah, M.Si dan Bapak Dr. H.
Dian Agus Ruchliyadi, S.Pd., M.Pd di Universitas Lambung Mangkurat. Selain itu, kelompok 7
juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Hj. Rabiatul Adawiah,
M.Si dan Bapak Dr. H. Dian Agus Ruchliyadi, S.Pd., M.Pd selaku Dosen mata kuliah Hak Asasi
Manusia. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni. Kelompok 7 juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 20 September 2022

Kelompok 7

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………….……………….. i

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................

2.1 Hukum Acara Dalam Pengadilan HAM.......................................................................3

2.2 Dasar Hukum Berlakunya Peradilam HAM Di Indonesia.........................................8

2.3 Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM....................9

2.4 Kewenangan Mengadili Pengadilan HAM.................................................................11

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................................

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................13

3.2 Saran..............................................................................................................................13

Daftar Pustaka.............................................................................................................................15
ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setelah jatuhnya rezim otoritarian militer Soeharto, perkembangan hukum hak asasi
manusia mengalami perkembangan yang demikian maju, utamanya ditinjau dari lahirnya
sejumlah produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak asasi manusia,
seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Apalagi, kedua
perundangundangan yang mengatur hak asasi manusia ini semakin memiliki landasan
konstitusional ketika dilakukannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada
tanggal 18 Agustus 2000. Dalam perubahan kedua tersebut, pasal-pasal hak asasi manusia
diatur secara lebih khusus atau dalam bab tersendiri (Bab XA, pasal 28A-28J), sehingga
melengkapi kerangka normatif konstitusional hak asasi manusia di Indonesia.
Kemudian, perkembangan hukum yang mengatur hak asasi kian banyak setelah
diaturnya secara lebih khusus dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai
pelaksanaan dari UUD 1945 dan kedua UU tersebut, dan pula ratifikasi atas sejumlah
instrument hukum hak asasi manusia internasional, seperti Undang-Undang No. 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik. Meskipun demikian, tidak semua hukum internasional diakui maupun
diratifikasi dalam hukum nasional kita, termasuk salah satunya menyangkut kejahatan-
kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia (the most serious crimes) yang diatur
dalam Rome Statute of International Criminal Court (dikenal dengan Statuta Roma).
Oleh sebab itu, penuntasan kasus-kasus kejahatan paling serius terhadap hak asasi
manusia, dalam konteks Indonesia sekarang ini yang berlaku adalah hanya ketentuan
UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU
tersebut, istilah yang dipergunakan adalah „pelanggaran hak asasi manusia yang berat‟ (vide:
pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 jo. Pasal 1 angka 2 UU No. 26 Tahun 2000). Sebenarnya
secara terminologi, penggunaan kata „pelanggaran hak asasi manusia yang berat‟ adalah
kurang tepat dan tidak sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional. Dan ini
merupakan salah satu ketentuan yang tidak sesuai dengan standar hukum internasional dari
sekian banyak kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 26 Tahun 2000.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum acara dalam Pengadilan HAM?
2. Apa dasar hukum berlakunya peradilan HAM di Indonesia?
3. Hukum acara apa yang berlaku dalam penyelesaian pelanggaran HAM tersebut?
4. Apa yang menjadi kewenangan mengadili dari Pengadilan Hak Asasi Manusia?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui penjelasan mengenai hukum acara dalam Pengadilan HAM
2. Mengetahui penjelasan mengenai dasar hukum berlakunya peradilan HAM di Indonesia
3. Mengetahui penjelasan mengenai hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian
pelanggaran HAM
4. Mengetahui penjelasan mengenai kewenangan mengadili dari Pengadilan HAM

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hukum Acara Dalam Pengadilan HAM

Ketentuan hukum acara proses peradilan hak asasi manusia sesungguhnya telah diatur
secara khusus dalam Bab IV Pasal 10-33 UU No. 26 Tahun 2000. Namun, prinsip secara
umum, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan HAM masih dominan bersandarkan
pada KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (vide: Pasal 10 UU No. 26
Tahun 2000).

a. Penangkapan (Pasal 11)


Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup (ayat 1).
Penangkapan disertai pula dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan
menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan (ayat 2),
kemudian memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya segera
setelah penangkapan dilakukan (ayat 3). Sedangkan dalam hal tertangkap tangan,
penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus
segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik.
b. Penahanan (Pasal 12-17)
Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan (Pasal
12 ayat 1). Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 12 ayat 2),
termasuk perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (Pasal 12 ayat 3).

3
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (Sembilan
puluh) hari, dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Namun, bila jangka waktu
penahanan tersebut habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan
dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai
dengan daerah hukumnya (Pasal 13).
Sedangkan penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30
(tiga puluh) hari, dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Namun, bila jangka waktu
penahanan tersebut habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan
dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai
dengan daerah hukumnya (Pasal 14).
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat
dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang untuk waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya (Pasal 15). Kemudian penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di
Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi
sesuai dengan daerah hukumnya (Pasal 16). Serta penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh)
hari dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua
Mahkamah Agung (Pasal 17).
c. Penyelidikan (Pasal 18-20)
Dalam hal penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM
dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas anggota
Komnas HAM dan unsur masyarakat (Pasal 18). Kekhususan penyelidikan untuk
pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang
sifatnya pro justitia, dimana Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepentingan
terkecuali upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

4
Kewenangan penyelidikan oleh Komnas HAM ini sungguh menarik, karena bila
dibandingkan dengan negara lain, hingga saat ini baru satu-satunya Komnas HAM yang
memiliki kewenangan penegakan hukum. Kewenangan ini sudah lebih maju
dibandingkan ketentuan dalam Prinsip-Prinsip Paris.
Wewenang penyelidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 adalah:
a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat;
b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan
barang bukti;
c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya;
d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu;
f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1). pemeriksaan surat;
2). penggeledahan dan penyitaan;
3). pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-
tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu; 4). mendatangkan ahli
dalam hubungan dengan penyelidikan.
Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah
terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil
penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Kemudian, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komnas HAM menyerahkan seluruh
hasil penyelidikan kepada penyidik (Pasal 20 ayat 1 dan 2). Bila penyidik berpendapat
bahwa hasil penyelidikan masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil
penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam

5
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib
melengkapi kekurangan tersebut (Pasal 20 ayat 3).
d. Penyidikan (Pasal 21-22)
Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung (Pasal 21 ayat 1). Dalam pelaksanaan tugas penyidikan, Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat
(Pasal 21 ayat 3).
Penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik (Pasal 22 ayat
1), dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Bila dalam batas waktu tersebut
penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60
(enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya (Pasal
22 ayat
3).
Bila hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung (Pasal 22 ayat 4), sampai
penyidikan dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain
yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.
Dalam hal penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau
keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku (Pasal 22 ayat 6).
e. Penuntutan Pasal 23-25)
Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa
Agung (Pasal 23 ayat 1). Dalam hal penuntutan, Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut
umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat (Pasal 23 ayat 2).
Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak
tanggal hasil penyidikan diterima (Pasal 24).

6
Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada
Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat (Pasal 25).
f. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Pasal 27-33)
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM, dengan jumlah 5 (lima) orang anggota majelis hakim Pengadilan
HAM, yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan
dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat 1-2).
Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding
ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi
(Pasal 32 ayat 1). Pemeriksaan perkara di Pengadilan Tinggi dilakukan oleh majelis
hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
g. Perlindungan Saksi dan Korban
Salah satu hal yang terpenting dalam proses pemeriksaan tersebut adalah
menyangkut perlindungan korban dan saksi, yang mana setiap korban dan saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan tersebut
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma
(Pasal34).
h. Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun
2000 dapat dilihat pada pasal 35, yang menegaskan:
1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
2. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
3. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

7
Dalam rangka melaksanakan Pasal 35 ayat (3), dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
(PP) No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

2.2 Dasar Hukum Berlakunya Peradilan HAM Di Indonesia

Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia menyebutkan, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

Jaminan kebebasan HAM diatur dalam konstitusi, di dalam Undang-Undang Dasar 1945
dan 10 Pasal yang ada di dalamnya, yaitu Pasal 28A-J dan dalam Pasal 27 hingga Pasal 34.
Lalu selanjutnya, Pasal 31 ayat 1 sampai 5 UUD 1945 mengatur tentang Kewajiban dan Hak
Warga Negara Indonesia dalam Pendidikan, Kewajiban Pemerintah di Bidang Pendidikan
Dasar dan Sistem Pendidikan dan Anggaran Pendidikan Nasional.

Ada pun landasan hukum HAM diatur dalam:

1. Pancasila, yakni Sila Kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
2. UUD Republik Indonesia 1945 (Pasal 27-34, BAB XA, Pasal 28 A-J, Perubahan UUD
Republik Indonesia 1945).
3. TAP MPR RI No: II/MPR/1993 tentang GBHN.
4. TAP MPR RI No: XVII/MPR 1998 tentang HAM.
5. UU Republik Indonesia No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia.
6. UU RI No.39 Tahun 1999 tentang HAM,
7. UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
8. Keputusan Presiden RI No.129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM yang
telah diperbaharui dengan Keppres RI No.61 Tahun 2003 tentang Rencana Aksi Nasional
HAM.

8
9. Keppres RI No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan.
10. Instruksi Presiden RI No.126 Tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah
pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan, perencanaan
program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
11. Deklarasi Universal HAM, tanggal 10 Desember 1945.
12. Deklarasi dan Program Aksi Wina Tahun 1993.

Adanya landasan hukum serta banyaknya UUD 1945 yang mengatur mengenai hak asasi
manusia, maka negara tidak boleh melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan UUD 1945.

2.3 Hukum Acara Yang Berlaku Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM

Istilah pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) atau dalam bahasa Inggris disebut
gross violation of human rights tidak diterangkan dalam satu difinisi yang secara memadai
memuat unsur-unsur tindak pidana tersebut. Istilah pelanggaran berat HAM muncul untuk
menggambarkan dahsyatnya akibat yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga,
jiwa, martabat, peradaban, dan sumberdaya kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut
dilakukan oleh pelakunya dengan maksud dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan
menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa akibat
atau dampak yang luas.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan
kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar ras,
etnik, warna kulit, budaya, bahasa, agama, jenis kelamin, golongan, dan status sosial lainnya.
Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang
bersifat vertikal (dilakukan aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun
yang bersifat horisontal (antar warga negara sendiri) dan tak sedikit yang termasuk dalam
kategori pelanggaran HAM berat (Groos Violation of Human Rights).

Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia maka
terhadap pelanggaran HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku sedangkan bagi
pelanggaran HAM yang berat dirumuskan dalam UU RI No. 26 Tahun 2000. Yang dimaksud
dengan pelanggaran HAM berat ialah, Pertama : kejahatan Genosida, sebagaimana

9
dimaksud dalam Pasal 7 huruf A adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

1. Membunuh anggota kelompok;


2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan pemusnahan secara
fisik seluruh atau sebagiannya;
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain;

Kedua : Kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf B adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa:

1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar ketentuan (asas-asas) pokok hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan ,agama, etnis, budaya, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9. Penghilangan orang secara paksa;
10. Kejahatan apartheid.

10
Namun begitu, Ketentuan hukum acara proses peradilan hak asasi manusia
sesungguhnya telah diatur secara khusus dalam Bab IV Pasal 10-33 UU No. 26 Tahun 2000.
Namun, prinsip secara umum, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan HAM masih
dominan bersandarkan pada KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 10 UU No. 26/2000 menyatakan, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran
HAM berat, yang berlaku adalah hukum acara pidana, hal ini berarti adalah KUHAP. Dengan
demikian jika Penyidik hendak melakukan tindakan-tindakan Pro Yustisia maka ia mutlak
membutuhkan keberadaan pengadilan yang berwenang terlebih dahulu.

2.4 Kewenangan Mengadili Pengadilan HAM

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai
kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan
undangundang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya
pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku
pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM
ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa
lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus
karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah
pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu.
Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena
memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga
merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya

11
pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda
dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini
mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai
pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana
biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga
orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang
sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya
juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat
berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara
kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku
pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan
mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya
pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di
Timortimur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala
terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26
Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana
yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini,
pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas
penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.

12
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Ketentuan hukum acara proses
peradilan hak asasi manusia sesungguhnya telah diatur secara khusus dalam Bab IV Pasal
1033 UU No. 26 Tahun 2000. Namun, prinsip secara umum, hukum acara yang berlaku
dalam pengadilan HAM masih dominan bersandarkan pada KUHAP atau Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (vide: Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000).

Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia menyebutkan, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Dan adanya landasan hukum serta banyaknya UUD 1945 yang mengatur mengenai
hak asasi manusia, maka negara tidak boleh melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
UUD 1945.

Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia maka
terhadap pelanggaran HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku sedangkan bagi
pelanggaran HAM yang berat dirumuskan dalam UU RI No. 26 Tahun 2000. Namun begitu,
Pasal 10 UU No. 26/2000 menyatakan, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM
berat, yang berlaku adalah hukum acara pidana, hal ini berarti adalah KUHAP. Dengan
demikian jika Penyidik hendak melakukan tindakan-tindakan Pro Yustisia maka ia mutlak
membutuhkan keberadaan pengadilan yang berwenang terlebih dahulu

3.2 Saran

Terkait dengan hal tersebut, Ada beberapa saran untuk diperhatikan, seperti:

1. Hendaknya dalam penegakan hukum di Indonesia melibatkan seluruh aparat penegak


hukum dan yang terpenting adalah dukungan pemerintahan yang bersih. Pemerintah harus
berada di garda terdepan dalam penegakan hukum untuk memberikan harapan kepada
masyarakat atas kepastian hukum.

13
2. Hendaknya seluruh anggota masyarakat agar dapat berperan serta membantu Kepolisian
untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
3. Aparat harus menjaga dan menghormati HAM setiap warga Negara, termasuk Hak Asasi
manusia.
4. Negara harus menghargai dan menghormati Hak Asasi Manusia itu secara utuh. Negara
harus menjamin dan melindungi HAM seseorang, tanpa pandang bulu. Negara harus
menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia tanpa membedakan agama,
ras, suku bangsa, warna kulit, ideology, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat biasa,
maupun sipil atau militer. Sehingga keadilan dan kepastian hukum bisa dirasakan oleh
setiap warga Negara.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2005. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta. Seri Bahan Bacaan
Khusus untuk Pengacara X

Cohen, David. 2003. Intended to Fail : The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in
Jakarta. New York: International Center for Transitional Justice (ICTJ).

Eddyono, Supriyadi Widodo, Wahyu Wagiman, Zaenal Abidin. (tanpa tahun). Perlindungan
Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat: Seri Perlindungan Saksi 2. Jakarta.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana. 2004. Politik Hukum Penyelesaian Kasus Pelanggaran


HAM yang Berat, Upaya Membangun Perspektif Keadilan bagi Korban dan Menciptakan
Peradaban Berperikemanusiaan di Masa Depan. Makalah Seminar HAM: “Quo Vadis
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu?” diselenggarakan oleh FORSAM FH
Unair, Surabaya, 13 Desember 2004.

15

Anda mungkin juga menyukai