Anda di halaman 1dari 4

Memaknai Pelayanan/ATj

MEMAKNAI PELAYANAN

“Tunaikanlah tugas pelayananmu (diakonia)!”,1 demikian pesan penulis surat 1


Timotius (5.6). Menarik untuk disimak, “tugas pelayanan” dalam hal ini diterje-
mahkan dari istilah diakonia yang sering dihubungkan dengan “pelayanan
kasih”. Nats di atas berisi seruan untuk melaksanakan tugas sebagai pelayan
Tuhan dengan tuntas, sepenuh-penuhnya. Ini diungkapkan dengan bagus sekali
dalam Bibel Batak Toba terjemahan I.L. Nommensen: ““Sahat ula tohonanmi!”
Apa hakikat “pelayanan” itu? Mengapa digunakan kata yang dalam
bahasa Indonesia berkaitan dengan pekerjaan seorang pelayan (“melayani”)?
Jika istilah “pelayan” sering berkonotasi kedudukan yang rendah, bukankah
tugas seorang pengurus gereja justru merupakan tugas terhormat (bnd. 1 Tim
3.1)? Pertanyaan-pertanyaan awal ini membawa kita kepada landasan teologis-
biblis bagi tugas-pelayanan gerejawi.
Pertama-tama patut digarisbawahi, Kristus sendiri yang mengatakan,
“Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mrk
10.45 dan nats paralel). Kata kerja yang digunakan dalam ayat yang sangat
penting ini, diakonein, mempunyai arti dasar “melayani” seperti pelayan yang
melayani tuannya pada meja makan (mis. Luk 12.37; 17.8). Demikian pula arti
dasar yang terkandung dalam kata diakonia (mis. Luk 10.40). Baru dalam
perkembangan kemudian, kata-kata ini mendapat arti yang lebih spesifik, baik
mengacu pada jenis pelayanan yang mengelola bantuan kepada orang yang
membutuhkan (mis. Kis 6.2) maupun pada jabatan pelayanan sebagai diaken
(mis. 1 Tim 3.10).
Dengan cara yang sama, pengertian dasar “melayani” tersebut dapat
kita bandingkan dengan istilah yang sering gunakan oleh para rasul, yakni
menjadi doulos “budak” bagi Kristus (mis. Rm 1.1; 2 Tim 2.24; Yak 1.1). Lagi-
lagi, citra terbaik diletakkan oleh Kristus sendiri yang, meskipun setara dengan
Allah, memilih untuk mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang
doulos “budak” (hatoban, Flp 2.7). Citra yang serupa diperlihatkan dalam
pelayanan para rasul yang bahkan memandang diri mereka sebagai doulos bagi
umat yang mereka layani (2 Kor 4.5). Secara simbolis, ini dicerminkan oleh
tindakan Kristus, yang disebut “Guru” (didaskalos) dan “Tuhan” (kyrios),
dengan membasuh kaki para murid (Yoh 13), suatu tradisi yang masih diperta-
hankan, misalnya, di kalangan RK.

******

1
NRSV: “Carry out your ministry fully”; Luther: “richte dein Amt redlich aus”.
Memaknai Pelayanan/ATj

Dalam perspektif teologis-biblis, “jabatan” pelayanan gerejawi tidak pernah


dilihat sebagai arkhe “kekuasaan”2 dan para pengembannya pun tidak pernah
disebut arkhon “penguasa”.3 Dalam kaitan ini, barangkali menarik untuk
menyimak istilah sahala yang sangat berpengaruh dalam seluruh gerak hidup
masyarakat Batak.4 Istilah yang terdapat hanya sekitar 20 kali dalam Bibel
Batak Toba digunakan untuk menyebut bekhor “hak kesulungan” (mis. Kej
25.31 sahala siahaan) atau Est 1.19 malkhut “kedudukan” (sahala harajaon)
atau exousia “pemerintah” (Rm. 13.1 panggomgomi na marsahala). Dalam
konteks karya para murid Yesus, istilah sahala hanya digunakan dalam Mat
10.1, menyangkut exousia “kuasa” untuk mengusir roh-roh jahat. Tampaknya,
bukan suatu kebetulan jika istilah ini hampir tidak pernah dikaitkan dengan
tugas pelayanan gerejawi. Dengan kata lain, penerimaan jabatan pelayanan itu
tidak menambah sahala penyandangnya!5
Jika “pelayan” dan “budak” merupakan contoh positif pelayanan dalam
PB, maka contoh negatifnya juga diketengahkan oleh Kristus sendiri:
pemerintah dan pembesar bangsa-bangsa yang memerintah dengan keras (Mrk
10.42; Mat 20.25). Antitesis terhadap contoh negatif ini, seperti yang
ditegaskan Kristus, adalah model “pelayan”: “Tidaklah demikian di antara
kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayanmu
(diakonos), dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka ... menjadi hamba
(doulos) untuk semuanya” (Mrk 10.43-44; Mat 20.26-27). Kata-kata ini diucap-
kan setelah Yesus menolak permintaan Yakobus dan Yohanes agar diberi
“kedudukan” di sebelah kiri dan kanan-Nya kelak (Mrk 10.25-40; Mat 20.20-23:
dalam Injil Matius, permintaan ini dilakukan oleh ibu mereka!).
Pesan yang senada diperdengarkan dalam surat yang menyandang nama
“Petrus” (2Ptr 5.2-3). Para penatua (presbyteros) dihimbau untuk menggemba-
lakan umat Tuhan dengan sukarela dan pengabdian diri, bukan dengan paksa
atau untuk mencari keuntungan diri sendiri. Mereka diingatkan agar “jangan
bertindak sebagai penguasa6” atas umat yang dipercayakan kepada mereka
(5.3).
Model yang beroritentasi pelayan sama sekali bertolakbelakang dengan
model otoriter ataupun model Machiavelli yang menghalalkan cara-cara licik
dan manipulatif untuk memanfaatkan orang lain demi mencapai kekuasaan dan
2
Contoh pemakaiannya dapat dilihat dalam Yud 6.
3
Selain “penguasa” (bnd. Kis 16.19), kata ini diterjemahkan juga sebagai “pemerintah” (Mat 20.25; Rm 13.3),
“pemimpin” (Kis 23.5).
4
Sahala mempunyai arti yang sangat luas mencakup kewibawaan, kekayaan, harta, kemahiran bicara,
keluhuran budi, kesaktian, rasa keadilan dll. Lih. A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak
(1996), 21.
5
Dapat dipertanyakan apakah ada unsur kesengajaan oleh para penerjemah Bibel Toba yang hendak
menghindari munculnya pemahaman yang keliru.
6
Terjemahan Baru terbitan LAI (1974) kurang tepat dalam hal ini. Bnd. Bibel Batak Toba: “Unang ma songon
angka na mamaksa natorop”.
Memaknai Pelayanan/ATj

pengaruh pribadi.7 Sebaliknya, dalam jabatan pelayanan gerejawi terkandung


tanggung jawab etis yang muncul dari kesadaran akan sumbernya dan tujuan
bersama yang hendak dicapai, yakni Tuhan yang memberi tugas pelayanan demi
memperlengkapi suatu communio sactorum “persekutuan orang kudus” bagi
pembangunan tubuh-Nya (Ef 4.11-12; bnd. 1Ptr 2.5).

******
Catatan di atas, kalaupun tidak menyajikan pemahaman baru mengenai tugas
pelayanan, setidaknya menyegarkan kembali pemahaman semua pelayan yang
terlibat dalam tubuh Kristus. Bagaimana menerjemahkan semangat “hamba”
dalam konteks keluarga Tuhan tetap merupakan sebuah tantangan yang sering
menentukan pertumbuhan tubuh Kristus.

(a) Dalam berbagai kesempatan, seperti tampak dari Filipi 2.1-11, Paulus
dengan sengaja mengingatkan berulang kali betapa pentingnya kebersamaan
dan kesatuan hati dengan meneladani Kristus yang “mengosongkan diri”
(kenosis). Apa yang ditegaskan Paulus dalam nats ini perlu dikontraskan dengan
pernyataannya yang keras dalam Flp 2.21: “semuanya mencari kepentingannya
sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.” Pelayanan yang seyogianya
ditujukan kepada Allah dapat merosot menjadi pelayanan kepada diri sendiri
bila tidak terus-menerus kembali kepada semangat dasar ini!

(b) Dalam konteks hidup dan melayani bersama sebagai tubuh Kristus itulah
berbagai karunia pelayanan dianugerahkan “untuk kepentingan bersama” (1Kor
12.7). Aneka karunia dipercayakan Tuhan dalam jemaat untuk dikembangkan,
sama seperti perumpamaan tentang talenta yang harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuan yang membagi-bagikannya, meskipun
jumlahnya berbeda-beda (Mat 25.14-30). Yang terpenting bukanlah jumlah atau
jenisnya (bdk. Rm 12.6-8) tetapi bagaimana semuanya itu dapat diabdikan bagi
pelayanan kepada Pemberinya demi kepentingan bersama.

(c) Tidak dapat tidak, ketika kita berbicara tentang pelayanan dalam konteks
jemaat, faktor keteladanan (role model) sangat krusial (1Ptr 5.3). Kristus Sang
Guru menegaskan, “sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu,
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”
(Yoh 13. 15). Rasul Paulus juga menegaskan hal yang sama: “ikutilah teladanku
dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi
teladanmu.” (Flp 3.17; bdk. 1Kor 4.16).
7
Niccolo Machiavelli adalah seorang bangsawan Itali yang hidup pada era reformasi (1469-1527). Dalam
pandangan ala Machiavelli, orang lain dianggap tak dapat dipercaya, lemah, mudah dimanipulasi dan terutama
dilihat sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.
Memaknai Pelayanan/ATj

Bukanlah suatu kebetulan jika faktor ini ditekankan dalam kriteria untuk
memilih para pelayan Tuhan dalam jemaat (1Tim 3.1-13; Tit 1.6-9).
Menariknya, kriteria ini tidak hanya menggarisbawahi kemampuan atau
kecakapan pribadi tetapi juga keteladanan dalam hidup berkeluarga. Dalam hal
ini, istri-istri para pelayan pun diharapkan sebagai figur terhormat yang dapat
menahan diri dan dipercaya (mis. 1Tim 3.11).
Tugas pelayanan yang indah (1Tim 3.1) memang harus selaras dengan
“keindahan” tindak-tanduk atau sepak-terjang pengembannya. Kehormatan
seorang pelayan mudah diciderai oleh tutur kata, tingkah laku dan tindakan
yang tidak terhormat!

(d) Berhasil tidaknya suatu pelayanan tidak dapat diukur hanya berdasarkan
statistik. Dibutuhkan waktu bagi benih untuk bertumbuh hingga menghasilkan
buah yang diharapkan. Namun, yang lebih utama daripada parameter apa pun
yang dipakai untuk mengevaluasi gejala pertumbuhan ialah menyadari siapa
sesungguhnya yang memberi pertumbuhan (1Kor 3.6-7). Tugas para pelayan
adalah menanam dan menyiram. Masing-masing mendapat upah selayaknya
sesuai dengan pelayanan yang dikerjakan (3.8). Apa pun pekerjaan pelayanan
di atas dasar yang esa itu, Yesus Kristus, akan diuji kelak pada Akhir-Nya (1Kor
3.11-13). Sementara itu, yang Tuhan kehendaki ialah bahwa kita terus
mengerjakan tugas pelayanan yang dipercayakan-Nya dengan setia. Sebab, kita
tahu, dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payah kita tidak akan sia-sia (1Kor
15.58)!

******
Bacaan:
H. Conzelmann, History of Primitive
Christianity (Nashville, 1973).
H. Holze (ed.), Die Kirche als Gemeinschaft (Geneva, 1998).
S.M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan Pelayan Gereja (Jakarta, 1997).
A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta, 1996).
R.E. Schweizer, “Ministry in the Early Church”, ABD 4, 835-842.
O.Ch.Wuwungan (ed.), Kebersamaan Hidup (Jakarta, 2004).

Anda mungkin juga menyukai