Anda di halaman 1dari 18

Makalah

PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG WAJIB ZAKAT


BAGI ORANG MURTAD

DISUSUN OLEH :

Randika Sahlan

KELAS : XII IPS 1

GURU PEMBIMBING :

Suci Handayani S.Sy

MADRASAH ALIYAH NEGERI BATAM

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-
Nya sehingga makalah dengan berjudul ‘Pendapat Imam Syafi’I Tentang ajib Zakat Bagi Orang
Murtad’ dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas akhir semester 1 kelas XII dari Ibu Suci
Handayani pada bidang studi Fikih. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang pengolahan limbah anorganik guna mengurangi produksi
limbah di masyarakat.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Suci Handayani selaku guru mata
pelajaran Fikih. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan
dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Batam, 30 November 2022

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2
Daftar Isi..........................................................................................................................................3
BAB I Biografi Imam Syafi’i.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Syafi’i.............................................................................................................4
1.2 Pendidikan Imam Syafi’i.........................................................................................................5
1.3 Karya – Karya Imam Syafi’i.....................................................................................................5
1.4 Wafatnya Imam Syafi’i...........................................................................................................6
BAB II Kajian Teori...........................................................................................................................7
2.1 Pengertian Zakat....................................................................................................................7
2.2 Syarat Wajib Zakat.................................................................................................................7
2.3 Jenis Zakat dan Harta Yang Wajib Dizakati............................................................................8
2.4 Pengertian Murtad.................................................................................................................9
BAB III Pembahasan......................................................................................................................10
3.1 Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Wajib Zakat Bagi Orang Murtad..........................10
3.2 Analisis Istinbath Hukum Yang Digunakan Imam Syafi’i Tentang Wajib Zakat Bagi Orang
Murtad.......................................................................................................................................13
BAB IV Penutup.............................................................................................................................15
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................16
BAB I

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I


1.1 Latar Belakang Syafi’i

Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang
memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta
peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati,
memuliakan dan mengagungkannya.

Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam
madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-
Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.

Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Ia sering
juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama
Abdullah.

Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan
nama Imam Syafi’i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi’i. Kata Syafi’i dinisbatkan
kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib. Ayahnya bernama Idris ibn
Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama
Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan
ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.

1.2 Pendidikan Imam Syafi’i

Pada waktu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat, mula-mula belajar dengan


Muslim bin Khalid al-Zinji, kemudian beliau melanjutkan pengembarannya ke Madinah, di
mana menemui Imam Malik untuk minta ijin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-
haditsnya. Sebelum Imam Malik mengijinkannya, Imam Syafi’i sempat ditest untuk
membacakan kitab al-Muwatta’ dihadapannya, kemudian beliau membacanya di luar kepala.
Setelah belajar kepada Imam Malik, pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu dan mengambil pendapat-pendapat dari murid- murid Imam Abu Hanifah,
dengan cara bermunazarah dan berdebat dengan mereka, selama dua tahun beliau berada di
Baghdad kemudia beliau ke Makkah, dilanjutkan ke Yaman, beliau berguru pada Matrak bin
Mazin dan di Irak beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan. Diantara guru-guru beliau
ada yang beraliran tradisional atau aliran hadits. Seperti Imam Malik dan ada pula yang
mengikuti paham Mu’tazilah dan Syiah. Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dari
berbagai aliran Fiqh tersebut membawanya ke dalam cakrawala berpikir yang luas, beliau
mengetahui letak keturunan dan kelemahan, luas dan semptinya pandangan masing-masing
madzhab tersebut, dengan bekal itulah beliau melangkah untuk mengajukan berbagai kritik
dan kemudian mengambill jalan keluarnya sendiri.

1.3 Karya – Karya Imam Syafi’i

Karya-karya Imam Syafi’i yang berhubungan di antaranya : (1) AlUmm. Kitab ini
disusun langsung oleh Imam Syafi’i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan
menajdi rujukan utama dalam Madzhab Syafi’i. kitab ini memuat pendapat Imam Syafi’i
dalam berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi’i yang
dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid (pendapat
baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab ushul fiqih
Imam Syafi’i yang berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar as-
Sya’b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388 H/ 1968 M.

(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang dan
karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh. Di dalamnya
diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi’i dalam menetapkan hukum.

(3) Kitab Imla al-Shagir, Amali al-Kubra, Mukhtasar al-Buwathi,19 Mukhtasar al-Rabi,
Mukhtasar al-Muzani, kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsif dan sastera. Siradjuddin Abbas
dalam bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih
Syafi’i. namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing dari karya Syafi’i tersebut.21
Ahmad Nahrawi Abd al- Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi’i adalah
Musnad li al-Syafi’i, al-Hujjah, alMabsut, al-Risalah, dan al-Umm.

1.4 Wafatnya Imam Syafi’i


Imam Syafi’i dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah shalat
Isya’, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204 H./819 M. dengan disaksikan muridnya Rabi al-
Jizi.
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Zakat

Zakat menurut bahasa artinya bertambah dan berkembang. Segala sesuatu yang
bertambah jumlahnya dan berkembang dengan pesat disebut zakat, sehingga dikatakan
zakkaa az-zar’u (tanaman itu tumbuh atau berkembang) jika tanaman tersebut tumbuh dan
bertambah. Adapun menurut istilah, zakat adalah sesuatu bentuk ibadah kepada Allah ta’ala
dengan cara mengeluarkan kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan menurut syariat
Islam dan diberikan kepada golongan atau pihak tertentu.

Menurut Yusuf Qardawi, secara etismologis kata zakat berasal dari kata “zaka”, yang
berarti suci, baik, berkah, terpuji, bersih, tumbuh, berkembang. Dalam pengertian syar’iy
(terminology), menurut para ulama zakat adalah sejumlah harta yang diwajibkan oleh Allah
SWT diambil dari harta orang tertentu, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya,
dengan syarat tertentu. Dalam pengertian zakat tersebut mencakup pengertian zakat mal
(zakat harta) dan zakat fitrah (zakat jiwa).

2.2 Syarat Wajib Zakat

Dalam zakat terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus di penuhi sebagai syarat
sah zakat itu sendiri. Adapun yang dimaksud dengan rukun zakat adalah unsur-unsur yang
terdapat dalam zakat, yaitu; orang yang berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang
menerima zakat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa syarat wajib zakat
adalah Islam, orang merdeka (bukan budak), harta mencapai nishab dan haul, kecuali pada
al-mu’syirat “buah-buahan atau biji-bijian”.

1. Islam
Orang kafir tidak wajib membayar zakat. Harta yang mereka berikan tidak
diterima, sekalipun pemberian tersebut dikatakan sebagai zakat.
2. Merdeka
Maksud merdeka dalam hal ini adalah budak tidak memiliki harta. Harta yang
dimiliki budak merupakan kepunyaan majikan. Dengan demikian seorang budak
tidak memiliki harta, sehingga ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat.
3. Mencapai Nishab
Nishab bisa dikata sebagai sebuah standar yang ditetapkan dan dipakai oleh Islam
(hukum syara’) untuk menentukan batas minimal dari sebuah harta yang wajib
dizakati. Jika harta tersebut kurang dari nishab yang ditentukan, maka tidak
diwajibkan untuk dizakati..
4. Mencapai Haul
Haul adalah ukuran waktu kepemilikan harta, yakni harta tersebut telah dimiliki
selama satu tahun.

2.3 Jenis Zakat dan Harta Yang Wajib Dizakati

Pada dasarnya, zakat secara garis besar terbagi menjadi dua macam yakni : Pertama,
Zakat Mal (zakat harta), meliputi:

a) Zakat binatang ternak


b) Zakat profesi
c) Emas dan barang berharga lainnya
d) Makanan yang mengenyangkan dan sejenisnya
e) Buah – buahan
f) Harta perniagaan
g) Harta rikaz dan barang tambang.
Harta rikaz adalah harta yang ditemukan dari dalam perut bumi dan merupakan
peninggalan dari ummat sebelumnya yang tidak diketahui secara pasti. Apabila kita
mendapat emas atau perak yang di tanam oleh kaum jahiliyah itu wajib kita keluarkan
zakatnya sebesar 1/5 (20%). Rikaz tidak disyaratkan sampai satu tahun, tetapi apabila di
dapat wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu itu juga, seperti zakat hasil tambang emas –
perak.
Kedua, yakni zakat nafs atau zakat fitrah, yakni tiap - tiap hari raya Idul Fitri,
diwajibkan atas tiap-tiap orang Islam laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, merdeka atau
hamba, membayar zakat fitrah banyaknya 3,1 liter (2,5kg) dari makanan yang
mengenyangkan menurut tiap-tiap tempat (negeri).

2.4 Pengertian Murtad

Murtad (riddah) berarti keluar dari jalan yang pertama kali di lalui. Makna kata ini
serupa dengan irtidad, namun riddah di sini dikhususkan dalam makna kafir. Maksud riddah
di sini adalah keluarnya seseorang muslim yang berakal dan baligh dari agama islam kepada
agama kafir atas keinginannya sendiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun,
terlepas apakah ia seorang laki-laki ataupun perempuan. Berdasarkan hal ini, kita dapat
menarik konklusi dasar bahwa seorang anak kecil ataupun orang gila yang keluar dari agama
Islam tidak dianggap (tidak sah) murtad karena mereka berdua bukanlah orang mukalaf.

Imam Syafi’i menyatakan dalam kitab Al-Umm mengenai orang murtad, yakni
sebagai berikut :

“Siapa yang pindah dari syirik kepada iman, kemudian pindah dari iman kepada
syirik, dari laki-laki dan wanita yang sudah dewasa (baligh), niscaya diminta supaya
bertobat, kalau ia bertaubat maka diterima tobatnya, kalau ia tidak mau bertaubat, niscaya
dibunuh.”

Murtad artinya kembali dan berbalik, menurut istilah syara’ murtad adalah orang yang
keluar dari agama Islam, berbalik menjadi kafir. Orang-orang yang tidak mengakui lagi
salah satu dari hukum-hukum Islam, maka hukumnya adalah murtad atau kafir. Ketika itu
hapuslah segala amal ibadah di dunia dan akhirat, apabila ia mati dalam keadaan murtad.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Wajib Zakat Bagi Orang Murtad

Utamanya dalam membicarakan masalah zakat, dalam hal ini adalah tentang wajib
zakat bagi orang murtad. Imam Syafi’i tidak sembarang berpendapat namun sangat berhati-
hati dalam mengeksplorasi hukum dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan Al-hadits.
Sebagai masyarakat ilmiah tentu tidak mudah begitu saja menerima suatu pendapat secara
dogmatis, dengan kata lain perlu diadakan analisis terhadap pendapat yang ada, terutama
dari segi pendapat Imam Syafi’i tentang wajib zakat bagi orang murtad dan istinbath
hukumnya. Pendapat Imam Syafi’i tentang wajib zakat bagi orang murtad, sebagaimana
dalam kitabnya “Al-Umm”, sebagai berikut :

“Apabila seseorang mempunyai harta yang wajib zakat, lalu ia murtad dari agama
Islam dan ia lari atau gila atau kurang waras otaknya atau dipenjarakan untuk diminta
bertaubat atau dibunuh. Lalu sampailah haul pada hartanya dari hari dimilikinya. Maka
padanya itu dua qaul. Salah satu dari qaul itu : bahwa padanya kena zakat. Karena
hartanya tidak melampaui bahwa ia mati atas kemurtadannya. Maka harta itu adalah
kepunyaan kaum muslimin. Dan apa yang menjadi kepunyaan mereka. Maka padanya
itu zakat. Atau orang murtad itu kembali kepada Islam. Maka hartanya itu menjadi
miliknya kembali. Tidaklah digugurkan oleh kemurtadan akan sesuatu dari padanya,
yang wajib atas dirinya. Qaul yang kedua: bahwa tidak diambil zakat dari harta itu,
sehingga dinantikan dulu. Kalau ia Islam kembali maka ia memiliki hartanya. Dan
diambil zakatnya. Karena tidak gugur fardlu daripadanya, walaupun ia tidak diberi
pahala padanya. Kalau orang itu dibunuh atas kemurtadannya, maka tak ada zakat
pada harta itu. Karena harta itu harta orang musyrik yang dirampas. Apabila sesuatu
menjadi kepunyaan manusia, maka itu adalah seperti faedahnya. Dan ditunggu sampai
haulnya, kemudian diberi zakatnya.”

Dari pernyataan di atas, Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat yakni: pertama, dalam
qaul qadim Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang murtad masih wajib zakat, karena
hartanya tidak melampaui bahwa ia mati atas kemurtadannya. Maka harta itu adalah
kepunyaan kaum muslimin. Apa yang menjadi kepunyaan mereka, maka padanya itu zakat
atau orang murtad itu kembali kepada Islam. Maka hartanya itu menjadi miliknya kembali.
Tidaklah digugurkan oleh kemurtadan akan sesuatu dari padanya, yang wajib atas dirinya.
Kedua, dalam qaul jadid Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diambil zakat dari harta itu,
sehingga dinantikan dulu. Apabila ia Islam kembali maka ia memiliki hartanya, dan diambil
zakatnya. Karena tidak gugur fardlu daripadanya, walaupun ia tidak diberi pahala padanya.

Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i orang murtad atau beralih
agama, bila zakat sudah diwajibkan kepadanya pada masa Islamnya, maka zakat itu tidak
gugur oleh karena murtadnya, sebab zakat itu kewajiban yang tetap yang tidak gugur oleh
karena peralihan agama, tak ubahnya seperti hutang karena jatuh bangkrut.

Pandapat Imam Syafi’i tentang wajib zakat bagi orang murtad hanya terbatas pada
zakat Mal (harta) saja. Hal ini disebabkan karna dalam zakat fitrah tidak disyaratkan adanya
haul untuk mengeluarkan zakat. Sulaiman Rasjid menjelaskan bahwa zakat fitrah diwajibkan
atas tiap-tiap orang Islam laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, merdeka atau hamba.
Berikut kutipan pernyataan Imam Syafi’i :

“Lalu sampailah haul pada hartanya dari hari dimilikinya“.

“Dan ditunggu sampai haulnya, kemudian diberi zakatnya”.

Imam Syafi’i menyatakan dalam hal wajib zakat bagi orang murtad terdapat syarat
haul untuk mengeluarkan zakat, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
Imam Syafi’i adalah terbatas pada zakat mal (harta) saja, karena dalam zakat fitrah tidak
terdapat syarat haul atas suatu harta untuk dikeluarkan zakatnya.

Lebih lanjut Imam Syafi’i mengungkapkan dalam kitab Al-Umm, sebagai berikut :

“Apabila orang murtad (keluar) dari Islam, kemudian ia islam kembali, niscaya ia
harus meng-qadha’-kan setiap shalat yang ditinggalkan dalam murtadnya dan setiap
zakat yang wajib padanya.”

Maksud dari pernyataan ini adalah apabila orang itu murtad (keluar) dari Islam,
kemudian ia Islam kembali, niscaya ia harus meng-qadla-kan setiap shalat yang
ditinggalkannya dalam murtadnya dan setiap zakat yang wajib atasnya. Menurut Imam
Syafi’i, Allah SWT membatalkan amal seseorang dengan sebab murtad. Rasulullah SAW
menerangkan bahwa orang murtad itu dibunuh, kalau ia tidak bertobat. Tidaklah
kemaksiatan dengan murtad itu akan meringankan dari fardhu (kewajiban) yang harus
atasnya. Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang dibatalkan dalam hal ini adalah pahala amal
(orang murtad). Orang yang murtad dan bertaubat kembali pada Islam berkewajiban
mengulangi amal fardhu yang telah dikerjakan dari shalat, puasa dan zakat sebelum ia
murtad. Karena hal tersebut telah dikerjakannya dalam keadaan ia orang Islam.

Imam Syafi’i membedakan antara orang murtad yang bertaubat kembali pada Islam
dengan orang kafir asli, dimana kafir asli tidak diberi kewajiban untuk mengqadha’ setiap
shalat dan zakat setelah ia memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman dalam surat Al-
Anfal ayat 38, sebagai berikut :

َ‫ت ااْل َ َّولِ ْين‬ ْ ‫ض‬


ُ َّ‫ت ُسن‬ ۚ َ‫قُلْ لِّلَّ ِذ ْينَ َكفَر ُْٓوا اِ ْن يَّ ْنتَهُوْ ا يُ ْغفَرْ لَهُ ْم َّما قَ ْد َسل‬
َ ‫فَ َواِ ْن يَّعُوْ ُدوْ ا فَقَ ْد َم‬

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah
lalu.”( QS.Al-Anfal : 38)

Maksud ayat di atas adalah ketika seorang kafir asli bertaubat dan memeluk Islam,
maka ia tidak diwajibkan mengulangi atau menunaikan setiap ibadah Islam sewaktu ia kafir.
Yusuf Qardawi menjelaskan menurut mazhab Syafi’i mengapa zakat tidak diwajibkan
kepada orang kafir asli, yaitu bahwa zakat tidak merupakan beban dan oleh karena itu tidak
dibebankan kepada orang kafir, baik kafir yang memusuhi Islam (kafir harbi) maupun yang
hidup di bawah naungan Islam (kafir dzimmi). Mereka tidak terkena kewajiban itu pada saat
kafir tersebut dan tidak pula harus melunasinya apabila ia masuk Islam.

Orang murtad yang kembali memeluk agama Islam, wajib hukumnya untuk
melaksanakan apa yang ia tinggalkan selama murtad yang seharusnya ia kerjakan waktu ia
masih beragama Islam, dalam hal ini adalah shalat, zakat, qishas. Imam Syafi’i menjelaskan
bahwa yang putus dari orang murtad adalah pahala amal kebaikan di dunia dan akhirat,
bukan kewajiban atas apa yang seharusnya ia laksanakan sewaktu masih Islam. Hukum
qishas misalnya, apabila orang yang bersalah dan terbukti membunuh dan ia harus dihukum
qishas akan tetapi ia keluar dari Islam (murtad) supaya terhindar dari hukuman kemudian ia
Islam kembali, maka hal inilah yang tidak dibenarkan oleh Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum zakat bagi orang murtad di-qiyaskan
(dianalogikan) dengan hukum qishas bagi orang murtad yang bertaubat dan kembali
memeluk Islam. Qishas merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak
gugur karena peralihan agama (murtad), begitu juga dengan zakat. Apabila orang keluar dari
Islam kemudian bertaubat kembali lagi kepada Islam, maka orang tersebut wajib meng-
qadha’ zakat yang ia tinggalkan pada saat murtad. Menurut beliau apabila suatu fardhu
menjadi binasa atau gugur karena peralihan agama (murtad), niscaya binasalah agama Islam.

3.2 Analisis Istinbath Hukum Yang Digunakan Imam Syafi’i Tentang Wajib Zakat
Bagi Orang Murtad

Zakat merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah ta’ala dengan cara mengeluarkan
kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan menurut syari’at Islam dan diberikan kepada
golongan atau pihak tertentu. Imam Syafi’i dalam menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam
adalah dengan menggunakan metode tersendiri. Lebih jelas mengenai bagaimana langkah-
langkah yang ditempuh Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan hukum, secara umum dapat
di lihat dari perkataan beliau. Ketika terjadi suatu kejadian yang membutuhkan dasar hukum,
maka pertama kali harus dicari jawabannya dalam Al-Qur’an sebagai dasar pokok pertama
dan utama, kemudian As-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalil hukum mengenai penggunaan
empat dalil tersebut adalah firman Allah SWT dalam AlQur’an surat An-Nisa’ ayat 59
sebagai berikut :

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ ِ‫ࣖ تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perintah mentaati Allah SWT dan
Rasul-Nya artinya ialah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sedangkan perintah mengikuti
ulil amri di antara kamu artinya telah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh
para mujtahid, karena hal itulah para ulil amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum
adalah syariat Islam. Peristiwa mengembalikan kejadiankejadian yang dipertentangkan
diantara umat Islam, artinya ialah perintah mengikuti qiyas ketika tidak terdapat nash atau
ijma’, karena pengertian (taat dan mengembalikan) dalam masalah ini artinya ialah
mengembalikan masalah yang dipertentangkan itu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Qiyas
adalah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat dalam nash bagi
hukumnya karena adanya kesamaan ilat dalam dua kejadian tersebut.

Metode istinbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i tentang wajib zakat bagi orang
murtad adalah dengan meng-qiyas-kan (menganalogikan) wajib zakat bagi orang murtad
dengan hutang dan hukuman qishas. Memang secara tegas tidak ada dalil hukum tentang
wajib zakat bagi orang murtad dalam Al-Qur’an, hadits dan ijma’. Imam Syafi’i dalam ber-
hujjah, beliau ber-ijtihad untuk mengeluarkan hukum dengan metode qiyas atau
menganalogikan suatu hal yang tidak ada dasar hukumnya dengan suatu masalah yang ada
dasar hukumnya, baik dalam Al-Quran maupun hadits Nabi SAW.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan dari Bab I sampai Bab IV, Maka
secara umum dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Murtad menurut Imam Syafi’i adalah keluarnya seseorang muslim yang berakal dan
baligh dari agama Islam kepada agama kafir atas keinginannya sendiri tanpa tekanan dan
paksaan dari pihak manapun, terlepas apakah ia seorang laki-laki ataupun perempuan.
Menurut Imam Syafi’i bahwa siapa yang pindah dari syirik kepada iman, kemudian
pindah dari iman kepada syirik, dari laki-laki dan wanita yang sudah dewasa (baligh),
niscaya diminta supaya bertaubat. Apabila ia bertaubat dari murtad, maka diterima
taubatnya, sedangkan bila ia tidak mau bertaubat, niscaya ia dibunuh. Menurut Imam
Syafi’i, apabila orang murtad laki-laki atau perempuan hukumannya adalah dibunuh, dan
harta keduanya (murtad laki-laki atau perempuan) itu menjadi harta fa’i.
2. Menurut Imam Syafi’i seorang murtad berkewajiban membayar zakat bilamana ia
bertaubat dan kembali kepada Islam. Seorang murtad atau beralih agama, bila zakat
sudah diwajibkan kepadanya pada masa Islamnya, maka zakat itu tidak gugur oleh
karena murtadnya, sebab zakat itu kewajiban yang tetap dan tidak gugur oleh karena
peralihan agama, tak ubahnya seperti hutang, qadha’ shalat dan hukum qishas.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fatwa-Fatwa Zakat, Jakarta: Darus Sunnah Press. Cet-1, 2008

Asnaini, Zakat Produktif; dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Agustina, Nurul,(eds), Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga

Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1994 Al- Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung :

PT Remaja Rosdakarya, 2000 An-Nawawi, Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Riyadus Al-

Shalihin, Terj, Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, 1999 Arikunto, Suharsimi, Prosedur

Penelitian: Suatu Pendekatan Teori Dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Al-Fauzan, Saleh, Fiqh

Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, 2005 As-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris, Al Imam Abi Abdillah,

Al-Umm Juz 2, Beirut Libanon: Darul Kitab ------------ Al-Umm (Kitab Induk) Jilid I, diterjemahkan oleh

TK. H.Ismail Yakub dari “Al-Umm”, Jakarta: CV. Faizan ------------ Al-Risalah, Mesir: Al-Ilmiyah, 1312 H

Asy – Syurbasi, Ahmad, Al- Aimatul Arba’ah, Terj, Sabil Huda, Sejarah Dan biografi Imam Empat

Mazhab, Jakarta:Bumi Aksara,1993 -------------, 4 Mutiara Zaman, Jakrta: Pustaka Kalami.2003 Abu

Zahrah, Muhammad, Hayatuhu Wa Asruhu Wa Fikruhu Ar-ra’uhu Wa fiqh’uhu ,Terj. Abdul Syukur

dan Ahmad Rifai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi Dan Pemikiranya Dalam Masalah Akidah ,Politik Dan

Fiqh”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005 Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. Ke-3, Jakarta: PT

Raja Grafindo Jaya, 1996 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Zakat, Yogyakarta : Majlis Pustaka PP

Muhammadiyah, Cet. Ke-1, 1997 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya

Jilid VII, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995 -------------, Al-Qur’an dan Terjemahannya,

Jakarta, Departemen Agama RI, 2002 -------------, Tarikh Tasyri’ 2, Jakarta: Gunung Jati, 1985 Dewan

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklppedi Islam,Cet k

Anda mungkin juga menyukai