Anda di halaman 1dari 317

Lipalla

Castle
the thirteen problems

tiga belas kasus


tiga belas kasus
£ Sanksi Pelanggaran Pasal 113 :
: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 :
: tentang Hak Cipta :

#1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi !
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan !
secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun :
: dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta :
: rupiah). :
! 2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau :

pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta :


: sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f dan/ !
: atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana !
: penjara paling lama 3 (riga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak :
: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

? 3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/arau tanpa izin pencipta atau

pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana !


dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf :
8 untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara !
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak :
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). :
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) :
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara !
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak !
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
alih
&g3 £

iga belas kasus

1G
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

: Jakarta
Ke » KOMPAS GRAMEDIA
THE THIRTEEN PROBLEMS
by Agatha Christie
The Thirteen Problems Copyright O 1932 Agatha Christie Limited.
All rights reserved.
AGATHA CHRISTIE, MISS MARPLE and the Agatha Christie
Signature are registered trademarks of Agatha Christie Limited
in the UK and elsewhere. All rights reserved.

www.agathachristie.com

TIGA BELAS KASUS


oleh Agatha Christie

617185041

Hak cipta terjemahan Indonesia:

Agatha Christie Limited

Alih bahasa: Julanda Tantani


Sampul: Staven Andersen

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta,

1997
Cetakan ketujuh: Oktober 2017
www.gpu.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian


atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 9789792287257

312 hlm: 18 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
UNTUK
LEONARD DAN KAT HERINE WOOLEY
HA
rb Sc


tw

LOCNA MMA Wp —

Daftar Isi

. KLUB SELASA MALAM


. RUMAH PEMUJAAN ASTARTE
. BATANGAN-BATANGAN EMAS

NODA DARAH DI TROTOAR


MOTIF VS KESEMPATAN

. CAP JEMPOL SANTO PETRUS

. BUNGA GERANIUM BIRU

. TEMAN PENDAMPING

. EMPAT TERSANGKA

. TRAGEDI HARI NATAL

. DAUN-DAUN PEMBAWA KEMATIAN


. PERAMPOKAN DI RUMAH

PERISTIRAHATAN

. MATI TENGGELAM

28
50
69
84
104
124
149
178
202
231

259
280
BAB 1
KLUB SELASA MALAM

” MISTERI-MISTERI tak terpecahkan.”

Raymond West mengembuskan asap rokoknya dan


mengulangi kata-kata itu dengan sengaja dan riang.

”Misteri-misteri tak terpecahkan.”

Dia memandang sekeliling dengan perasaan puas.


Ruangan itu sudah kuno, dengan balok-balok hitam
dan besar melintang di langit-langit, serta dilengkapi
perabot-perabot tua yang bagus dan tampak serasi
berada di dalamnya. Itu sebabnya Raymond West me-
rasa puas. Dia seorang penulis dan dia menyukai
suasana yang sempurna. Rumah Bibi Jane-nya selalu
membuat hatinya senang, karena menurutnya cocok
dengan kepribadian bibinya itu. Dia memandang ke
seberang perapian, tempat bibinya duduk tegak di
sebuah kursi besar. Miss Marple mengenakan gaun
brokat hitam yang betul-betul ketat di bagian ping-

9
gang, dengan renda Mechlin terjuntai rapi di bagian
depan gaunnya. Dia juga mengenakan sarung tangan
hitam berenda dan topi hitam berenda untuk
menutupi rambut putihnya yang lebat. Dia sedang
merajut—sesuatu yang putih, halus, dan empuk.
Matanya yang biru pucat, ramah dan lembut,
mengamat-amati keponakan laki-lakinya dan tamu-
tamu keponakannya itu dengan sorot senang dan
sabar. Mula-mula pandangannya jatuh pada Raymond
sendiri yang jelas-jelas sedang bergembira, kemudian
pada Joyce Lempriere, si seniman berambut hitam
dengan mata hijau-cokelatnya yang aneh, kemudian
pada pria terkenal yang perlente itu, Sir Henry
Clithering. Ada dua orang lain lagi di ruangan itu, Dr.
Pender, pendeta tua dari gereja setempat, dan Mr.
Petherick, si pengacara, seorang laki-laki kecil yang
sudah keriput dengan kacamata melorot di hidung.
Miss Marple memperhatikan mereka sejenak, kemu-
dian beralih lagi pada rajutannya sambil tersenyum
simpul.

Mr. Petherick terbatuk-batuk kecil, seperti biasanya


kalau hendak mengemukakan sesuatu.

”Apa katamu, Raymond? Misteri-misteri tak terpe-


cahkan? Ha—memangnya ada apa?”

"Tidak ada apa-apa,” sahut Joyce Lempriere. ”Ray-


mond cuma senang mendengarkan bunyi kata-kata
itu dan juga senang mengucapkannya.”

Raymond West memandangnya dengan sorot


mengkritik, membuat Joyce tertawa terbahak-bahak.

”Dia memang sombong, bukan, Miss Marple?” ta-


nyanya dengan yakin. "Aku tahu, Anda pasti setuju.”

10
Miss Marple tersenyum lembut padanya, tapi tidak
menyahut.

”Kehidupan sendiri adalah misteri yang tak terpe-


cahkan,” ujar si pendeta dengan serius.

Raymond duduk tegak di kursi dan membuang


rokoknya dengan sikap tegas.

”Bukan itu yang kumaksud. Aku tidak membicara-


kan filosofi,” katanya. "Aku memikirkan fakta-fakta
aktual yang biasa-biasa saja, hal-hal yang telah terjadi,
tapi tak seorang pun bisa menjelaskannya.”

”Aku mengerti hal-hal yang kaumaksudkan itu,”


kata Miss Marple. "Misalnya Mrs. Carruthers yang
mengalami kejadian aneh sekali kemarin pagi. Dia
membeli setengah kilo udang di toko Elliot. Kemu-
dian dia mampir di dua toko lain, tapi ketika pulang,
dia tidak menemukan udang itu. Dia kembali ke dua
toko yang telah dikunjunginya tadi, tapi udang itu
betul-betul lenyap, entah ke mana. Nah, menurutku
itu betul-betul aneh.”

"Cerita yang sangat misterius,” ujar Sir Henry


Clithering dengan serius.

”Tentu saja ada beberapa penjelasan yang masuk


akal,” lanjut Miss Marple, pipinya perlahan-lahan
menjadi merah karena bersemangat. ”Misalnya, ada
orang lain yang...”

”Bibi yang baik,” potong Raymond West dengan


sedikit geli, "maksudku bukan hal-hal yang berkaitan
dengan kejadian-kejadian di desa. Aku sedang me-
mikirkan pembunuhan dan orang-orang yang hilang,
jenis kejadian yang bisa diceritakan oleh Sir Henry
pada kita kalau dia tidak keberatan.”

11
”Tapi aku tidak pernah bisa bercerita dengan baik,”
kata Sir Henry merendah.

Sir Henry Clithering belum lama pensiun dari ja-


batan sebagai komisaris di Scotland Yard.

”Kurasa banyak pembunuhan dan peristiwa yang


tidak pernah bisa dipecahkan oleh polisi,” ujar Joyce
Lempriere.

”Kurasa itu memang fakta yang tidak bisa disang-


kal,” dukung Mr. Petherick.

”Aku ingin tahu,” kata Raymond West, ”otak jenis


apa yang betul-betul bisa sukses memecahkan suatu
misteri? Kita cenderung menganggap para detektif
polisi itu kurang imajinasi.”

”Itu anggapan orang awam,” tukas Sir Henry de-


ngan nada datar.

”Kau betul-betul butuh bantuan rupanya,” kata


Joyce sambil tersenyum. ”Psikologi dan imajinasi me-
mang bakat seorang penulis...”

Dia membungkuk memberi hormat pada Raymond


untuk menggodanya, tapi Raymond tetap serius.

”Seni menulis membuat kita jadi peka terhadap


sifat-sifat manusia,” katanya tenang. ”Kita jadi bisa
melihat motif-motif yang diabaikan begitu saja oleh
orang-orang awam.”

”Aku tahu buku-bukumu betul-betul cemerlang,”


kata Miss Marple. "Tapi apakah orang-orang itu begi-
tu menyebalkan seperti yang kautulis dalam buku-
bukumu itu?”

”Bibi yang baik,” sahut Raymond dengan lembut,


”teruslah menjaga perasaan tulus Bibi dalam hati.
Tuhan pasti marah kalau aku merusaknya.”

12
”Maksudku,” kata Miss Marple, mengernyitkan
dahi sedikit ketika menghitung jumlah setikan pada
rajutannya, "banyak orang yang menurut pandanganku
tidaklah baik atau buruk, hanya sangat konyol.”

Mr. Petherick terbatuk-batuk kecil lagi.

"Menurutmu, Raymond,” katanya, "apakah kau ti-


dak terlalu membesar-besarkan soal imajinasi ini?
Imajinasi itu hal yang sangat berbahaya, dan kami
para pengacara sangat mengenalnya. Menyaring seba-
gian bukti-bukti yang ada, mengambil fakta-faktanya,
dan melihat semua fakta itu sebagai fakta belaka—me-
nurutku itulah satu-satunya metode logis untuk men-
dapatkan kebenaran. Boleh kutambahkan bahwa ber-
dasarkan pengalamanku, itu juga satu-satunya cara
yang berhasil.

”Bah!” teriak Joyce, menyentakkan kepala ke


belakang dengan sebal. "Taruhan aku pasti bisa me-
ngalahkan kalian semua dalam permainan ini. Aku
bukan cuma seorang wanita, kalian boleh omong apa
saja, tapi wanita mempunyai naluri yang tidak dimi-
liki kaum laki-laki—lagi pula aku juga seniman. Aku
bisa melihat hal-hal yang tidak kalian lihat. Lalu, se-
bagai seniman, aku pernah berjumpa dengan berbagai
macam sifat dan jenis manusia. Aku kenal jenis kehi-
dupan yang tidak mungkin bisa dijumpai Miss
Marple yang tulus ini di sini.”

”Aku tidak yakin tentang itu, Sayang,” ujar Miss


Marple. "Kadang-kadang, kejadian-kejadian yang sa-
ngat mengenaskan dan menyakitkan bisa terjadi juga

di desa.”
13
”Boleh aku bicara?” tanya Dr. Pender sambil terse-
nyum. "Aku tahu, para pendeta sekarang ini cende-
rung diremehkan, tapi kami banyak mendengar ma-
cam-macam, kami tahu sisi lain karakter manusia
yang bagi dunia luar merupakan suatu rahasia.”

”Yah,” kata Joyce, "menurutku kita semua cukup


canggih. Bagaimana kalau kita membentuk klub? Ini
hari apa? Selasa? Kita bisa menamainya Klub Selasa
Malam. Pertemuannya diselenggarakan setiap minggu,
dan masing-masing anggota secara bergiliran harus
mengemukakan suatu masalah. Misteri yang mereka
ketahui sendiri, dan tentu saja, pemecahannya juga.
Sebentar, kita di sini ada berapa orang? Satu, dua,
tiga, empat, lima. Wah, mestinya enam.”

”Kau melupakan aku, Sayang,” kata Miss Marple


sambil tersenyum cerah.

Joyce tampak sedikit kaget, tapi dia segera menyem-


bunyikan perasaannya.

”Itu bagus sekali, Miss Marple,” katanya. ”Kukira


Anda takkan suka dengan permainan ini.”

”Kurasa malah akan menarik sekali” sahur Miss


Marple, "terutama dengan hadirnya bapak-bapak yang
pintar ini. Aku khawatir aku sendiri tidak pintar, tapi
hidup bertahun-tahun di St. Mary Mead membuatku
jadi punya banyak pengalaman tentang sifat-sifat ma-
nusia.”

”Aku yakin Anda akan jadi anggota yang sangat


berharga,” ujar Sir Henry dengan sopan.

”Siapa yang akan mulai?” tanya Joyce.

”Kurasa itu tak perlu diragukan lagi,” kata Dr.

14
Pender. "Bukankah kita beruntung karena Sir Henry
yang terkenal ada di sini, di antara kita...”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi membung-


kuk kecil memberi hormat ke arah Sir Henry.

Yang dimaksud terdiam sejenak. Akhirnya dia me-


narik napas panjang, menyilangkan kakinya, dan me-
mulai.

”Sulit bagiku untuk memilih dengan tepar jenis


masalah yang kalian inginkan, tapi kebetulan aku
tahu suatu kejadian yang sangat cocok dengan suasana
saat ini. Kalian mungkin pernah membaca tentang
kasus ini di koran, setahun yang lalu. Waktu itu kami
terpaksa melepaskannya sebagai misteri yang tak
terpecahkan, tapi kebetulan beberapa hari yang lalu
aku mengetahui pemecahannya.

”Fakta-faktanya sangat sederhana. Tiga orang du-


duk untuk makan malam yang antara lain terdiri atas
lobster kalengan. Larut malam itu, ketiga-tiganya sa-
kit, dan dokter buru-buru dipanggil. Dua dari mereka
sehat kembali, tapi yang ketiga meninggal.”

”Ah!” kata Raymond, setuju.

”Seperti kataku tadi, fakta-faktanya begitu seder-


hana. Kematian itu dianggap disebabkan oleh kera-
cunan makanan basi, dan sertifikatnya dikeluarkan atas
dasar sebab tersebut, lalu korbannya dikuburkan. Tapi
ternyata kasusnya tidak berhenti sampai di situ.”

Miss Marple mengangguk.

”Pasti ada gosip-gosip,” katanya. "Biasanya begitu.”

”Dan sekarang aku harus menceritakan para aktor


dalam drama kecil ini. Aku akan menyebut suami-
istri itu dengan Mr. dan Mrs. Jones, dan teman istri-

15
nya itu dengan Miss Clark. Mr. Jones adalah salesman
keliling sebuah perusahaan yang memproduksi bahan-
bahan kimia. Wajahnya tampan, meskipun agak kasar
dan merah, berumur sekitar lima puluh. Istrinya
biasa-biasa saja, sekitar empat puluh lima. Temannya,
Miss Clark, berumur enam puluh, bertubuh gempal
dan ceria, dengan wajah bundar yang agak bodoh dan
berseri-seri. Mereka semua bisa dibilang tidak menarik
sama sekali.

"Masalah itu berawal dengan cara yang sangat


aneh. Malam sebelumnya, Mr. Jones menginap di se-
buah hotel kecil di Birmingham. Kebetulan kertas
pengisap tintanya baru saja dipakai dan masih lekat
pada bendelannya. Si pelayan kamar, yang jelas-jelas
punya banyak waktu, iseng-iseng membaca kertas isap
itu di depan cermin, beberapa saat setelah Mr. Jones
menulis sebuah surat. Beberapa hari kemudian, di
koran-koran ada berita tentang kematian Mrs. Jones
gara-gara makan lobster kalengan, dan si pelayan
kamar itu lantas bercerita pada rekan-rekannya
tentang kata-kata yang berhasil dibacanya di kertas
pengisap itu. Bunyinya begini: Berul-betul tergantung
pada istriku... kalau dia meninggal aku akan... ratusan
dan ribuan...

”Kalian mungkin ingat bahwa baru-baru itu ada


kejadian di mana seorang istri diracuni oleh suaminya.
Pelayan-pelayan itu dengan gampang membayangkan
yang bukan-bukan. Mr. Jones memang berencana me-
nyingkirkan istrinya untuk mewarisi ratusan dan
ribuan pound! Kebetulan salah seorang pelayan punya
saudara yang tinggal di kota kecil tempat keluarga

16
Jones tinggal. Dia menulisi saudaranya itu dan mereka
membalasnya. Tampaknya Mr. Jones menaruh per-
hatian besar pada putri dokter di daerah itu, seorang
wanita muda dan cantik berumur tiga puluh lima ta-
hun. Skandal mulai berdengung. Polisi diberitahu.
Banyak surat kaleng dikirimkan ke Scotland Yard, se-
mua menuduh Mr. Jones telah membunuh istrinya.
Kukatakan pada kalian, kami tak pernah sedetik pun
mengira kasus itu ada apa-apanya, kecuali gunjingan
dan gosip orang-orang desa. Tapi untuk menenteram-
kan pikiran masyarakat, kami akhirnya mengeluarkan
perintah untuk menggali kuburannya. Nyatanya ini
menjadi salah satu kasus takhayul yang terkenal itu,
yang tidak berdasar, tapi akhirnya betul-betul menge-
jutkan. Dari hasil autopsi diketahui ada arsenik dalam
jumlah cukup besar untuk membunuh wanita itu.
Jadi, Scotland Yard kemudian bekerja sama dengan
pihak berwajib setempat untuk membuktikan bagai-
mana arsenik itu diberikan dan oleh siapa.”

”Ah?” kata Joyce. "Aku suka ini. Betul-betul mene-


gangkan.”

”Kecurigaan otomatis jatuh pada si suami. Dia ber-


untung dengan kematian istrinya. Tidak mewarisi
sampai ratusan dan ribuan pound seperti yang diba-
yangkan oleh pelayan kamar hotel itu, tapi cukup lu-
mayan, yaitu sebesar 8.000 pound. Dia sendiri tidak
punya uang kecuali dari hasil nafkahnya, dan dia ter-
masuk jenis laki-laki yang suka berfoya-foya dan ge-
mar merayu wanita. Kami menyelidiki dengan sehalus
mungkin gosip tentang hubungannya dengan putri
dokter, tapi meskipun jelas mereka dulu pernah sa-

17
ngat akrab, dua bulan sebelumnya mereka putus de-
ngan tiba-tiba, dan sejak itu tampaknya mereka tidak
pernah bertemu lagi. Dokter itu sendiri, seorang laki-
laki tua yang blakblakan, tidak pernah curiga. Dia
betul-betul tercengang dengan hasil autopsi tersebut.
Dialah yang dipanggil sekitar tengah malam untuk
memeriksa ketiga orang yang menderita sakit itu. Dia
segera sadar tentang parahnya kondisi Mrs. Jones, dan
menyuruh seseorang kembali ke rumahnya untuk
mengambil beberapa butir tablet opium untuk mengu-
rangi rasa sakit. Tapi meskipun dia sudah berusaha,
Mrs. Jones tidak tertolong. Dia sama sekali tidak cu-
riga ada sesuatu yang aneh. Dia yakin kematian wa-
nita itu disebabkan oleh sejenis keracunan makanan.
Makan malam hari itu memang terdiri atas lobster
kalengan, salad, kue donat, roti, serta keju. Sayangnya
lobster itu tidak ada sisanya—semuanya habis dima-
kan dan kalengnya sudah dibuang. Dia telah me-
nanyai si pelayan yang masih muda, Gladys Linch.
Gadis itu betul-betul shock, menangis terus dan gu-
gup, sehingga dokter itu sulit mengorek keterangan
yang jelas, tapi dia mengatakan berkali-kali bahwa
kalengnya tidak rusak sedikit pun, dan lobster itu
betul-betul segar kelihatannya.

”Begitulah fakta-fakta yang kami peroleh. Kalau


Jones sengaja hendak memberikan arsenik pada istri-
nya, sudah jelas tak mungkin dia memasukkannya
pada makanan-makanan untuk malam hari itu, karena
mereka bertiga sama-sama melahap makanan-makanan
itu. Juga petunjuk lain—Jones sendiri baru kembali
dari Birmingham tepat saat makan malam dihidang-

18
kan, jadi dia pasti tak punya kesempatan untuk meng-
utak-atik makanan-makanan itu sebelumnya.”

"Bagaimana dengan teman bayaran Mrs. Jones?”


tanya Joyce. "Wanita gempal dengan wajah berseri-seri
itu?”

Sir Henry mengangguk.

”Kami tidak mengabaikan Miss Clark, itu pasti.


Tapi tampaknya tidak ada motif apa pun baginya un-
tuk melakukan kejahatan itu. Mrs. Jones tidak me-
ninggalkan warisan apa pun baginya, dan kematian
majikannya itu malah menyebabkan dia jadi pengang-
guran.”

”Tampaknya dia memang tak perlu dicurigai,” kata


Joyce sambil merenung.

”Nah, salah seorang inspekturku kemudian berhasil


menemukan fakta penting,” lanjut Sir Henry. ” Setelah
makan malam hari itu, Mr. Jones pergi ke dapur, min-
ta dibuatkan semangkok bubur jagung untuk istrinya
yang mengeluh kurang enak badan. Dia menunggu
di dapur sampai Gladys Linch selesai membuatnya,
kemudian dia sendiri yang membawanya naik ke ka-
mar istrinya. Harus kuakui, fakta itulah yang menu-
tup kasus ini.”

Si pengacara mengangguk.

”Motif,” katanya, sambil menjentikkan jemarinya.


”Kesempatan. Sebagai salesman keliling sebuah perusa-
haan obat-obatan, gampang baginya untuk mendapat-
kan racun itu.”

”Lagi pula moralnya juga lemah,” ujar si pendeta.


Raymond West menatap Sir Henry.

19
”Ada yang tidak masuk akal,” katanya. "Kenapa
polisi tidak menahannya?”

Sir Henry tersenyum agak suram.

"Tindakan itu patut disayangkan dalam kasus ini.


Sejauh itu semuanya tampak cocok dan tepat, tapi
kemudian kami menemukan kejanggalan. Jones tidak
ditahan karena ketika kami menanyai Miss Clark, dia
bercerita bahwa seluruh bubur jagung itu dimakannya,
bukan dimakan oleh Mrs. Jones.

”Ya, kelihatannya dia telah mendatangi kamar Mrs.


Jones, seperti biasanya. Mrs. Jones sedang duduk di
ranjangnya dan mangkuk bubur jagung itu terletak di
sampingnya.

”Aku kurang enak badan, Milly” katanya. Salahku


sendiri, kenapa makan lobster pada waktu malam.
Aku minta Albert mengambilkan semangkuk bubur
jagung, tapi sekarang aku sama sekali tidak ber-
selera.”

””Sayang sekali,” komentar Miss Clark, "padahal ke-


lihatannya enak sekali, tidak ada gumpalannya. Gladys
betul-betul koki yang hebat. Gadis-gadis sekarang ja-
rang ada yang bisa membuat bubur jagung yang
enak. Kurasa aku ingin mencicipinya, aku masih
lapar.”

”Sudah pasti, gara-gara diet konyolmu itu, ujar


Mrs. Jones.

”Aku harus menjelaskan,” Sir Henry memutuskan


ceritanya. ”Miss Clark merasa cemas dengan
tubuhnya yang semakin membengkak, jadi dia
berusaha menguruskannya dengan cara berdiet.”

“Diet itu tidak bagus untukmu, Milly, sungguh,

20
desak Mrs. Jones. "Kalau Tuhan memang membuatmu
gemuk, maka itu sudah takdirmu. Makanlah bubur
jagung ini. Pasti sesudahnya kau akan merasa enak.”

”Miss Clark langsung saja melahapnya, dan bahkan


menghabiskan seluruhnya. Jadi, kalian lihat, itu mem-
buat kecurigaan terhadap si suami jadi tidak ber-
alasan. Ketika dimintakan penjelasan tentang kata-kata
di kertas pengisap itu, Jones langsung menjawab. Su-
rat itu, katanya, adalah balasan untuk adiknya di
Australia, yang meminta uang padanya. Dia mem-
balasnya dengan menulis bahwa dia betul-betul ter-
gantung pada istrinya. Kalau istrinya meninggal, dia
akan mewarisi uangnya dan baru saat itulah dia bisa
menolong adiknya, kalau memungkinkan. Dia menye-
sal tidak bisa menolong sedikit pun sekarang, dan
menulis bahwa ada ratusan dan ribuan orang di dunia
ini yang juga bernasib malang.”

”Jadi, kasus itu buyar?” tanya Dr. Pender.

”Ya, buyar total,” sahut Sir Henry dengan serius.


”Kami tidak berani mengambil risiko dengan menahan
Jones, karena kami tidak punya bukti-bukti kuat.”

Semua terdiam, kemudian Joyce berkata, "Cuma


begitu saja?”

"Begitulah kenyataannya tahun lalu. Pemecahan


yang sebenarnya sekarang sudah ada di tangan
Scotland Yard, dan dalam dua atau tiga hari ini kalian
mungkin akan membacanya di koran.”

”Pemecahan yang sebenarnya,” kata Joyce sambil


merenung. "Aku ingin tahu. Mari kita semua berpikir
selama lima menit, kemudian mengemukakan pen-
dapat masing-masing.”

21
Raymond West mengangguk dan melihat jam ta-
ngan. Ketika lima menit sudah lewat, dia mendongak
dan memandang Dr. Pender.

"Anda mau duluan?” tanyanya.

Laki-laki tua itu menggeleng. ”Kuakui aku betul-


betul bingung,” katanya. "Menurutku, si suami pasti-
lah bersalah, tapi aku tak bisa membayangkan bagai-
mana dia melakukannya. Kukira dia memberi racun
itu pada istrinya dengan cara yang belum diketahui
orang. Tapi kenapa baru sekarang ini cara itu
diketahui, aku sama sekali tidak punya ide.”

”Joyce?”

”Teman bayaran itu!” kata Joyce dengan mantap.


”Setiap kali pasti mereka pelakunya! Bagaimana kita
bisa mengetahui motifnya? Hanya karena dia tua, ge-
muk, dan jelek, belum tentu dia tidak menaruh hati
pada Jones. Dia mungkin membenci Mrs. Jones ka-
rena alasan-alasan lain. Coba bayangkan kalau kita
harus menjadi teman bayaran—harus selalu tersenyum
dan setuju, menjaga sikap dan menahan diri. Suatu
hari dia tidak tahan lagi dan membunuhnya. Dia
mungkin menaruh arsenik itu dalam bubur jagung,
kemudian mengarang cerita bahwa dia sendiri yang
melahapnya.”

”Mr. Petherick?”

Pengacara itu merapatkan jari-jari kedua tangannya


dengan rapi. ”Pendapatku rasanya kurang mantap.
Fakta-fakta itu membingungkan.”

”Oh, ayolah, Mr. Petherick,” kata Joyce. "Anda tidak


boleh menyimpan pendapat dan bersikap ala pengacara.
Anda harus turut memainkan permainan ini.

22
"Terhadap fakta-fakta itu,” kata Mr. Petherick, ”ti-
dak ada yang bisa kukatakan. Menurutku pribadi—ka-
rena aku sudah sering menghadapi kasus-kasus seperti
ini—si suami itulah yang bersalah. Satu-satunya pen-
jelasan yang mungkin dapat mengimbangi fakta-fakta
itu adalah Miss Clark tampaknya telah sengaja ber-
bohong demi Mr. Jones, untuk alasan tertentu. Mung-
kin sebelumnya mereka sepakat untuk membagi uang
itu. Mr. Jones mungkin sadar bahwa dia pasti dicuri-
gai, dan Miss Clark, melihat masa depannya yang
suram karena pasti jadi pengangguran, mungkin se-
tuju untuk berbohong dan menceritakan tentang bu-
bur jagung itu, dengan imbalan sejumlah uang nanti-
nya secara diam-diam. Kalau memang begitu
kejadiannya, yah, ini pasti kasus yang luar biasa.”

"Aku tidak setuju dengan kalian semua,” kata Ray-


mond. ”Kalian telah melupakan satu faktor penting
dalam kasus ini. Putri dokter itu. Aku akan mengemu-
kakan penjelasanku. Lobster kalengan itu memang
basi. Itu sebabnya ketiga orang tersebut menderita
keracunan. Dokter dipanggil. Dia melihat Mrs. Jones
kesakitan karena telah melahap lobster lebih banyak
dari orang-orang lainnya, dan menyuruh seseorang,
seperti kata Anda tadi, untuk mengambil beberapa
butir tablet opium. Dokter itu tidak pergi sendiri,
melainkan menyuruh seseorang. Siapa yang akan
memberikan tablet-tablet itu pada si pesuruh? Sudah
jelas putrinya. Besar kemungkinan dia sering
menyiapkan obat-obatan untuk ayahnya. Dia
mencintai Jones, dan pada saat itu sisi buruk dirinya
muncul, dan dia sadar bahwa kesempatan untuk

23
membebaskan Jones ada di tangannya. Tablet-tablet
yang dikirimkannya mengandung arsenik murni.
Begitulah pendapatku.”

”Dan sekarang, Sir Henry, katakan pada kami,”


kata Joyce bersemangat.

”Sebentar,” kata Sir Henry. "Miss Marple belum


mengemukakan pendapatnya.”

Miss Marple menggeleng dengan sedih.

"Aduh, aduh,” katanya. "Aku salah menghitung


setikanku. Aku begitu tertarik dengan cerita ini. Kasus
yang menyedihkan, betul-betul menyedihkan. Aku jadi
teringat pada Mr. Hargraves tua yang tinggal di atas
bukit. Istrinya sama sekali tidak curiga—sampai saat
suaminya meninggal, dan mewariskan seluruh uangnya
untuk wanita simpanan yang telah memberinya lima
anak. Dulu wanita itu menjadi pelayan di rumah me-
reka. Betul-betul gadis yang baik, Mrs. Hargraves se-
lalu berkata begitu—bisa dipercaya seratus persen un-
tuk membalik kasur-kasur setiap hari—kecuali hari
Jumat, tentu saja. Nyatanya si Hargraves tua memeli-
haranya di sebuah rumah di kota tetangga, dan tetap
menjalankan tugas sebagai petugas gereja, serta
membagikan piring kolekte setiap Minggu.”

”Bibi Jane yang baik,” kata Raymond dengan se-


dikit tak sabar. "Apa hubungannya Hargraves tua
yang sudah mati itu dengan kasus kita sekarang?”

”Kasus kita ini membuatku langsung teringat pada-


nya,” kata Miss Marple. ”Fakta-faktanya sangat mirip,
bukan? Kurasa gadis malang itu sudah mengaku seka-
rang, dan begitulah Anda mengetahuinya, Sir Henry.”

24
"Gadis apa?” tanya Raymond. ”Bibi sayang, apa
maksud Bibi?”

"Gadis malang itu, Gladys Linch, tentu saja—gadis


yang betul-betul gugup ketika ditanyai oleh dokter—
yah, dia pasti ketakutan sekali, kasihan. Kuharap
Jones yang jahat itu digantung, karena telah membuat
gadis malang itu menjadi pembunuh. Tapi kurasa dia
pasti digantung juga, anak malang.”

”Kurasa, Miss Marple, Anda agak sedikit kacau,”


Mr. Petherick mulai berkata.

Tapi Miss Marple menggeleng dengan keras kepala


dan memandang ke seberang pada Sir Henry.

”Betul, bukan? Bagiku semuanya sangat jelas. Ra-


tusan dan ribuan—dan kue donat itu—maksudku,
kita tidak boleh mengabaikannya.”

”Apa hubungan kue donat itu dengan ratusan dan


ribuan?” seru Raymond.

Bibinya menoleh ke arahnya.

”Koki-koki selalu menaburkan ratusan dan ribuan


butir pada kue donat, Sayang,” katanya. “Butiran-
butiran gula halus berwarna putih dan merah muda
itu. Tentu saja, ketika kudengar bahwa mereka makan
kue donat malam itu dan bahwa si suami telah me-
nulis pada seseorang tentang ratusan dan ribuan, oto-
matis aku menghubungkan keduanya. Begitulah arse-
niknya diberikan—dalam ratusan dan ribuan itu. Dia
memberikannya pada Gladys dan menyuruhnya me-
naburkannya di atas kue donat.”

"Tapi itu tak mungkin,” sahut Joyce cepat.


”Mereka semua memakan kue donat itu.”

25
”Oh, tidak,” bantah Miss Marple. "Teman bayaran
itu sedang berdiet, kau ingat. Orang yang berdiet ti-
dak boleh makan kue seperti donat kalau mau diet-
nya berhasil, dan kurasa Jones mengeruk butiran-bu-
tiran gula itu dari kuenya dan menyampingkannya di
piring. Betul-betul ide cemerlang, tapi jahat sekali.”

Mata orang-orang lainnya menatap Sir Henry.

”Betul-betul luar biasa,” katanya perlahan, ”tapi


Miss Marple berhasil mengetahui kebenarannya. Jones
telah menghamili Gladys Linch, begitulah
keadaannya. Gadis itu nyaris putus asa. Jones ingin
istrinya disingkirkan dan berjanji akan menikahi
Gladys kalau istrinya sudah meninggal nanti. Dia
mencampur ratusan dan ribuan butir gula itu dengan
arsenik dan memberikannya pada Gladys, dengan
perintah bagaimana dia harus melakukannya. Gladys
Linch meninggal minggu lalu. Bayinya meninggal
waktu lahir dan Jones telah meninggalkannya demi
wanita lain. Ketika menjelang ajal, Gladys mengakui
semuanya.”

Semua terdiam sejenak, kemudian Raymond ber-


kata,

”Yah, Bibi Jane, Bibi betul-betul berhasil. Aku ti-


dak mengerti bagaimana Bibi bisa menebak
kebenarannya. Aku sama sekali tak menyangka gadis
pelayan dapur itu ada hubungannya dengan kasus ini.

”Memang tidak, Sayang,” sahut Miss Marple, ”tapi


kau tidak mengenal kehidupan sebaik diriku. Laki-

laki tipe Jones itu—kasar dan urakan. Begitu

26
kudengar ada gadis manis dalam rumah itu, aku tahu
dia pasti tidak akan tinggal diam. Memang sangat
menyedihkan dan menyakitkan, dan bukan hal yang
menyenangkan untuk dibicarakan. Aku tak bisa
menggambarkan betapa terpukulnya Mrs. Hargraves,
dan betapa orang-orang desa jadi asyik berkasak-
kusuk sendiri.”

27
BAB 2

RUMAH PEMUJAAN
ASTARTE

” Dan sekarang, Dr. Pender, apa yang akan Anda


ceritakan pada kami?”

Pendeta tua itu tersenyum lembut.

”Kehidupanku kujalani di tempat-tempat yang te-


nang,” katanya. ”Sedikit sekali kejadian-kejadian ber-
arti yang kualami. Tapi pernah ketika masih muda,
aku mengalami suatu kejadian yang sangat aneh dan
tragis.”

”Ah!” kata Joyce Lempritre memberi semangat.

”Aku tak pernah melupakannya,” lanjut si pendeta.


”Kejadian itu meninggalkan bekas mendalam di hati-
ku, dan sampai hari ini aku masih bisa merasakan
keheranan dan kengerian pada saat itu, ketika aku
melihat seorang laki-laki terempas mati begitu saja,
tanpa sebab.”

28
”Anda membuatku merinding, Pak Pendeta,” keluh
Sir Henry.

”Saat itu aku juga merinding, seperti kata Anda,”


sahut Dr. Pender. ”Sejak itu aku tak pernah mener-
tawakan orang-orang yang bicara tentang pengaruh
suasana. Hal seperti itu memang ada. Ada tempat-tem-
pat tertentu yang dipenuhi dan dilingkupi pengaruh-
pengaruh baik ataupun buruk, yang membuat kita
bisa merasakan kekuatan mereka.”

”Rumah itu, The Larches, adalah rumah yang tidak


bahagia,” komentar Miss Marple. "Mr. Smithers tua
kehilangan seluruh uang dan harus menjualnya,
kemudian keluarga Carslake membelinya dan Johnny
Carslake jatuh dari loteng dan patah kakinya, lalu
Mrs. Carslake harus pergi ke Prancis Selatan demi
kesehatannya. Sekarang keluarga Burden menempati-
nya, dan kudengar tak lama kemudian Mr. Burden
yang malang harus dioperasi.”

”Kurasa itu cuma takhayul belaka,” kata Mr.


Petherick. "Tapi banyak properti jadi jatuh nilainya
gara-gara omongan konyol seperti itu tersebar luas.”

”Aku pernah kenal dengan satu-dua 'hantv yang


berkarakter ceria,” ujar Sir Henry sambil tertawa geli.

”Kurasa,” kata Raymond, ”kita harus memberi ke-


sempatan pada Dr. Pender untuk melanjutkan cerita-
nya.”

Joyce berdiri dan mematikan dua lampu yang ada,


sehingga sekarang ruangan itu hanya diterangi re-
mang-remang nyala api di perapian.

"Menyesuaikan suasana,” katanya. "Sekarang cerita-

nya boleh dilanjutkan.”


29
Dr. Pender tersenyum kepadanya, dan sambil ber-
sandar di kursi dan melepaskan pince-nez-nya, dia
memulai ceritanya dengan suara lembut dan penuh
kenangan.

”Aku tidak tahu apakah ada di antara kalian yang


tahu tentang Dartmoor. Tempat yang akan kucerita-
kan ini terletak di daerah perbatasan Dartmoor.
Betul-betul rumah yang indah, tapi meskipun sudah
lama ditawarkan: tidak ada pembeli yang berminat
selama bertahun-tahun. Kondisinya mungkin sedikit
suram pada musim dingin, tapi pemandangannya luar
biasa, dan ada ciri-ciri tertentu yang aneh dan asli
pada rumah itu sendiri. Akhirnya rumah itu dibeli
oleh seorang laki-laki bernama Haydon—Sir Richard
Haydon. Aku mengenalnya semasa kuliah, dan meski-
pun sudah beberapa tahun tidak berjumpa dengannya,
persahabatan kami masih terjalin, maka dengan se-
nang hati kuterima undangannya ke Silent Grove,
begitulah nama rumah yang baru dibelinya itu.

”Penghuni rumah itu tidak terlalu banyak. Richard


Haydon sendiri dan sepupunya, Elliov Haydon. Kemu-
dian ada Lady Mannering dan putrinya yang pucat
dan tidak menarik, bernama Violet. Lalu Kapten
Rogers dan istrinya yang suka menunggang kuda dan
berada di alam terbuka, yang hidupnya cuma di-
penuhi dengan soal kuda dan berburu. Selain itu ada
dr. Symonds yang masih muda dan Miss Diana
Ashley, Aku tahu sesuatu tentang diri wanita itu.
Fotonya sering kali muncul di koran-koran, di kolom
Orang-orang Terkenal, dan kecantikannya sangat ter-
sohor waktu itu. Penampilannya memang menakjub-

30
kan. Jangkung, segar, dengan kulit indah berwarna
putih gading. Matanya yang sayu berbentuk agak
mencuat, sehingga memberikan kesan oriental yang
menarik pada penampilannya. Dia juga memiliki
suara merdu bernada ringan, seperti bel.

”Aku segera sadar bahwa temanku Richard Haydon


sangat tertarik padanya, dan kurasa seluruh tamu
lainnya memang sengaja diundang untuk menemani
kedatangannya di sana. Tentang perasaan wanita itu
sendiri aku tidak yakin. Sikapnya selalu berubah-
ubah. Suatu hari dia akan mengobrol terus dengan
Richard dan tidak mengacuhkan orang-orang lainnya,
lain hari dia lebih suka mengobrol dengan sepupunya,
Elliot, dan tampaknya nyaris tidak memperhatikan
kehadiran Richard, dan kadang-kadang dia akan terse-
nyum manis sekali, menggoda dr. Symonds yang
pendiam dan malu-malu itu.

"Pada pagi hari setelah kedatanganku, si tuan ru-


mah menunjukkan seluruh tempat itu pada kami.
Rumah itu sendiri tidak terlalu luar biasa, bangunan-
nya kokoh karena terbuat dari batu granit Devonshire.
Memang dibangun untuk tahan terhadap cuaca dan
waktu. Tidak ada kesan romantis, tapi sangat nyaman.
Dari jendela-jendelanya kita bisa melihat peman-
dangan padang rumput, hamparan luas bukit-bukit
yang menjulang, bermahkotakan gunung-gunung yang
termakan cuaca.

”Pada lereng gunung yang terdekat dengan kami


terdapat bekas-bekas pondasi pondok-pondok manusia
purba serta relicf-relief peninggalan Zaman Batu. Di
bukit lainnya terdapat sebuah lorong yang baru saja

31
digali, tempat beberapa alat dari perunggu ditemukan.
Haydon memang tertarik dengan barang-barang antik
dan peninggalan-peninggalan seperti itu. Dia bercerita
panjang lebar dengan penuh semangat. Tempat itu,
katanya, betul-betul kaya dengan peninggalan-pening-
galan prasejarah.

”Manusia-manusia purba Zaman Batu Baru, Druid,


Romawi, dan bahkan bekas-bekas bangsa Phoenicia
awal ditemukan di sana.

”Tapi tempat ini yang paling menarik dari semua-


nya, katanya. 'Kalian tahu namanya—Silent Grove,
hutan kecil yang sunyi. Yah, gampang sekali menge-
tahui dari mana asal nama itu.

”Dia menunjuk dengan tangannya. Daerah itu ke-


betulan daerah yang gundul—berbatu-batu, dengan
tanaman-tanaman pakis dan belukar, tapi sekitar se-
ratus meter dari rumah itu terdapat sekerumunan
pohon yang tumbuh rapat membentuk hutan kecil.

“Itu peninggalan zaman yang silam sekali” kata


Haydon. 'Pohon-pohon itu telah mati dan ditanam
kembali, tapi secara keseluruhan tempat itu tetap ter-
sembunyi, seperti dulu kala—mungkin pada zaman
bangsa Phoenicia. Ayo, kita ke sana dan melihatnya.

”Kami semua mengikutinya. Ketika kami masuk ke


dalam hutan kecil itu, suatu perasaan aneh tiba-tiba
muncul di hatiku. Kupikir itu gara-gara kesunyian di
sana. Tampaknya tidak ada burung yang bersarang di
pohon-pohon itu. Rasanya seolah-olah tempat itu ter-
buang dan mengerikan. Aku melihat Haydon mena-
tapku dengan senyuman aneh.

”Punya perasaan tertentu tentang tempat ini, Pen-

32
der? tanyanya padaku. "Kebencian? Atau ketidaknya-
manan?”

”Aku tidak menyukainya, sahutku pelan.

”Kau benar. Dulu ini tempat pemujaan bagi salah


seorang musuh agamamu. Ini adalah Hutan Kecil
Astarte.”

” Astarte?

” Astarte, atau Ishtar, atau Ashtoreth, atau entah ba-


gaimana kau menyebutnya. Aku lebih suka nama
Phoenicia-nya, Astarte. Aku yakin ada satu Hutan Ke-
cil Astarte yang sudah dikenal orang di negeri ini—di
Utara. Aku tidak punya bukti, tapi aku ingin meyakini
bahwa kita juga mempunyai Hutan Kecil Astarte di
sini. Di sini, di balik lingkaran pohon-pohon yang ra-
pat ini, upacara-upacara suci itu dilakukan.

”Upacara-upacara suci”, gumam Diana Ashley.


Matanya menerawang jauh. 'Bagaimana ya rupanya?
Aku ingin tahu.

”Sama sekali tidak bagus” sahut Kapten Rogers


sambil tertawa datar. 'Agak panas, kurasa.”

”Haydon tidak mengacuhkannya.

”Di tengah-tengah hutan kecil ini ada sebuah


kuil” katanya. 'Mestinya tidak cocok kalau kusebut
kuil, tapi begitulah menurut perasaanku.

”Kami saat itu telah melangkah ke sebuah tempat


terbuka di tengah-tengah pepohonan. Di tengah-
tengah tempat itu terdapat sesuatu yang mirip dengan
pondok musim panas, terbuat dari batu. Diana
Ashley menatap Haydon dengan sorot bertanya-tanya.

”Aku menyebutnya Rumah Pemujaan, kata Hay-


don. “Inilah Rumah Pemujaan Astarte.'

33
”Dia memimpin jalan memasuki bangunan itu. Di
dalamnya, di atas tiang-tiang hitam yang kasar, berdiri
sebuah arca kecil yang aneh, menggambarkan seorang
wanita dengan tanduk melengkung sedang duduk di
atas seekor singa.

”'Astarte bangsa Phoenicia, kata Haydon, 'Dewi

Bulan.
”Dewi Bulan, seru Diana. 'Oh, mari kita mem-
buat pesta liar dan gila malam ini. Memakai baju-
baju kostum. Dan kita akan datang kemari waktu te-
rang bulan, mengadakan upacara untuk menyembah
Astarte."

”Aku tersentak dengan tiba-tiba dan Elliot Haydon,


sepupu Richard, dengan cepat beralih menatapku.

”Kau tidak menyukai semua ini, bukan, Pak Pen-


deta? tanyanya.

” Tidak, sahutku dengan serius. 'Aku tidak me-


nyukainya.'

”Dia menatapku heran. "Tapi ini cuma bohong-bo-


hongan. Dick tidak mungkin tahu ini sungguh-sung-
guh tempat suci. Ini cuma khayalannya, dia senang
dengan gagasannya itu. Lagi pula, kalau memang...

”Kalau memang apa?

”Yah..” Dia tertawa agak aneh. 'Kau toh tidak per-


caya dengan hal-hal seperti itu, bukan? Kau kan pen-
deta?

”Aku tidak yakin apakah sebagai pendeta aku ti-


dak boleh memercayainya.'

”Tapi itu cuma omong kosong belaka.

”'Aku tidak yakin, kataku sambil merenung. 'Aku

cuma tahu ini: Aku biasanya bukan orang yang peka,

34
tapi sejak memasuki hutan kecil ini, aku merasakan
kesan aneh dan jahat mengancam diriku di mana-
mana.”

”Elliot melirik ke balik bahunya dengan tegang.

”Ya, katanya, 'memang—memang aneh, rasanya.


Aku mengerti maksudmu, tapi kurasa itu cuma gara-
gara imajinasi kita saja, sehingga kita dihinggapi pe-
rasaan demikian. Bagaimana menurutmu, Symonds?

"Dokter itu diam sejenak sebelum menjawab. Ke-


mudian dengan pelan dia berkata,

”Aku tidak menyukainya. Aku tidak bisa bilang


kenapa. Tapi pokoknya aku tidak menyukainya.

”Pada saat itu, Violet Mannering berjalan mengham-


piriku.

”Aku benci tempat ini, jeritnya. "Aku benci. Ayo,


kita keluar.”

”Kami beranjak pergi dan yang lain mengikuti.


Hanya Diana Ashley yang tetap tinggal. Aku menoleh
ke belakang dan melihatnya berdiri di depan rumah
pemujaan itu sambil menatap arca di dalamnya de-
ngan penuh perhatian.

”Hari itu sangat panas dan indah, jadi usul Diana


Ashley untuk mengadakan pesta kostum malam itu
diterima dengan suara bulat. Seperti biasa, seisi rumah
diliputi suara tawa dan bisik-bisik, serta kesibukan
menjahit sesuatu dengan terburu-buru dan rahasia.
Ketika akhirnya kami semua muncul untuk makan
malam, suara tawa dan jeritan-jeritan riang, seperti
biasanya, juga memenuhi seluruh rumah. Rogers dan
istrinya mengenakan kostum manusia Zaman Batu
Baru—itu sebabnya karpet di depan perapian tiba-tiba

35
hilang. Richard Haydon menyebut dirinya pelaut
Phoenicia dan sepupunya menjadi Kepala Perampok.
Dokter Symonds menjadi koki, Lady Mannering
menjadi perawat rumah sakit, dan putrinya menjadi
budak Zaman Circassia. Aku sendiri menjadi
biarawan zaman kuno, mengenakan jubah tebal yang
membuatku agak kepanasan. Diana Ashley akhirnya
muncul juga, tapi dandanannya agak mengecewakan
kami, karena dia hanya mengenakan gaun terusan
berwarna hitam tak berbentuk.

”Makhluk yang Tak Diketahui, katanya riang.


Itulah aku. Sekarang, ayo kita cepat makan malam.”

”Setelah makan, kami pergi keluar. Malam itu in-


dah sekali, udaranya hangat dan lembut, dan bulan
baru saja terbit.

”Kami berjalan-jalan dengan santai sambil meng-


obrol, jadi waktu berlalu tanpa terasa. Kurang lebih
sejam kemudian, baru kami sadar bahwa Diana Ashley
tidak ada bersama kami.

”Tak mungkin dia pergi tidur” kata Richard Hay-


don.

”Violet Mannering menggeleng.

”Oh, tidak” katanya. 'Aku melihatnya pergi ke


arah sana kurang lebih seperempat jam yang lalu.
Dia menunjuk hutan kecil itu, yang di bawah sinar
bulan tampak hitam dan penuh bayangan.

”Aku ingin tahu apa maunya, kata Richard Hay-


don. "Taruhan dia pasti hendak mempermainkan kita.
Ayo, kita ke sana melihatnya."

”Kami berangkat bersama-sama, dalam hati ingin


tahu apa yang dilakukan Miss Ashley. Tapi aku, entah

36
kenapa, merasa tak ingin memasuki deretan pohon
gelap dan menyeramkan itu. Rasanya ada sesuatu
yang berusaha menahanku untuk tidak masuk. Aku
jadi lebih yakin daripada sebelumnya bahwa tempat
itu mengandung kejahatan. Kukira orang-orang yang
lain juga merasakan hal yang sama, tapi mereka sudah
pasti tidak mau mengakuinya. Pohon-pohon itu begi-
tu rapat tumbuhnya, sehingga sinar bulan tak dapat
menembusnya. Terdengar berbagai bunyi lembut di
sekeliling kami, berbisik dan mendesah. Suasananya
begitu seram, sehingga otomatis kami saling merapat-
kan diri.

”Tiba-tiba kami sudah berada di pelataran datar di


tengah-tengah hutan kecil itu dan berdiri terpaku ka-
rena takjub, sebab di sana, di ambang Rumah Pe-
mujaan itu, berdiri sesosok tubuh berkilauan yang
terbungkus rapat oleh gaun tipis, dengan dua buah
tanduk melengkung mencuat dari dalam rambutnya
yang hitam lebat.

”Demi Tuhan? kata Richard Haydon, dan keringat


mulai membasahi dahinya.

”Tapi Violet Mannering lebih tajam.

”Astaga, itu kan Diana, teriaknya. 'Apa yang telah


diperbuatnya pada dirinya? Oh, dia jadi tampak
lain

”Sosok di ambang pintu itu mengangkat tangan-


nya. Dia maju selangkah dan berbicara dengan nada
tinggi dan manis.

”Akulah Pendeta Astarte, gumamnya. 'Awas, ja-


ngan mendekatiku, karena aku memegang kematian
di tanganku.

37
”Jangan begitu, Sayang, protes Lady Mannering.
'Kau membuat kami ngeri, sungguh.

”Haydon menerjang maju ke arahnya.

”Demi Tuhan, Diana? teriaknya. 'Kau betul-betul


hebat.”

”Mataku sudah mulai terbiasa melihat dalam sinar


bulan, dan aku bisa melihat dengan lebih jelas. Dia
memang tampak agak lain, seperti kara Violet tadi.
Wajahnya jadi lebih berkesan oriental, dan matanya
lebih sipit lagi dengan sinar kejam. Bibirnya menyung-
gingkan senyuman aneh yang belum pernah kulihat
sebelumnya.

”' Awas, teriaknya memperingatkan. "Jangan mende-


kati sang dewi. Kalau ada yang menyentuhku, dia
akan mati.

”Kau hebat, Diana, teriak Haydon, 'tapi tolong


hentikan. Rasanya... rasanya aku tidak menyukainya.”

”Dia melangkah maju ke arah Rumah Pemujaan,


melintasi rerumputan, dan Diana mengangkat sebelah
tangan ke arahnya.

”'Stop, teriaknya. 'Satu langkah lagi dan aku akan


mengutukmu dengan kekuatan gaib Astarte.'

”Richard Haydon tertawa dan mempercepat lang-


kahnya, ketika tiba-tiba terjadi sesuatu yang aneh. Dia
ragu-ragu sejenak, kemudian tampak tersandung se-
suatu dan jatuh roboh.

”Dia tidak bangkit lagi, tapi tetap terbaring di ta-


nah, di tempat dia jatuh tadi.

”Tiba-tiba Diana mulai tertawa histeris. Suaranya


aneh dan menakutkan, memecah keheningan malam,
bagaikan sebilah pisau.

38
”Sambil menyumpah, Elliot menerjang maju.

”Aku tidak tahan lagi, teriaknya. "Bangun, Dick,


ayo bangunlah.

”Tapi Richard Haydon tetap terbaring di tempatnya


jatuh tadi. Ellioc Haydon tiba di sampingnya, berlutut
di sisinya, dan membaliknya perlahan. Dia membung-
kuk, mengamati wajah Richard.

"Kemudian dia berdiri dengan tiba-tiba dan agak


limbung.

”Dokter, panggilnya. 'Dokter, demi Tuhan, cepat-


lah kemari. Kurasa... kurasa dia sudah mati.

”Symonds berlari maju dan Elliot bergabung kem-


bali dengan kami dengan sangat perlahan. Dia me-
mandangi kedua tangan dengan cara yang tidak
kumengerti.

”Saat itu terdengar jeritan tajam dari Diana.

”Aku telah membunuhnya, jeritnya. 'Oh, Tuhan!


Aku tidak bermaksud begitu, tapi aku telah membu-
nuhnya.

”Lalu dia pingsan, roboh begitu saja di rerum-


putan.

”Mrs. Rogers meratap.

”Oh, ayo kita keluar dari tempat menyeramkan


ini, ratapnya, 'bisa-bisa kita juga ikut celaka. Oh, ini
sungguh-sungguh mengerikan”

”Elliot memegang pundakku.

”Ini tidak masuk akal, Bung” gumamnya. 'Sung-


guh, tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membunuh
seseorang dengan cara seperti itu. Tidak—tidak masuk
akal

”Aku berusaha menghiburnya.


39
”Pasti ada penjelasannya, kataku. 'Sepupumu
mungkin mengidap penyakit jantung tanpa disadari-
nya. Kekagetan dan ketegangan tadi...”

”Dia menyelaku.

”Kau tidak mengerti, katanya. Dia mengangkat


tangannya supaya dapat kulihat, dan kuperhatikan ada
noda merah di sana.

”Dick tidak meninggal karena kaget. Dia diti-


kam—ditikam di jantungnya, padahal di sana tidak
ada senjatanya.

”Aku menatapnya tak percaya. Pada saat itu


Symonds berdiri setelah melakukan pemeriksaan pada
jasad Richard dan menghampiri kami. Wajahnya pu-
cat pasi dan dia juga gemetar.

” Apakah kita semua sudah gila?” katanya. "Tempat


apa ini—sehingga bisa ada kejadian seperti ini?

”Kalau begitu, benar, kataku.

”Dia mengangguk.

”Lukanya seperti hasil tikaman belati yang panjang


dan tipis, tapi... di sana tidak ada belati apa pun.'

”Kami saling memandang.

”Tapi harus ada, teriak Elliov Haydon. 'Pasti ter-


jatuh di tanah. Ayo, kita cari.

”Kami mengamat-amati tanah di sekitar situ de-


ngan sia-sia. Tiba-tiba Violet Mannering berkata,

”Diana memegang sesuatu di tangannya. Sejenis


belati. Aku melihatnya. Aku melihatnya berkilauan
ketika dia mengancam Richard.

”Elliot Haydon menggeleng.

”Richard bahkan belum sampai di dekatnya, ban-


tahnya.

40
”Lady Mannering sedang membungkuk mengamat-
amati Diana yang terpuruk di tanah.

”Tidak ada apa-apa di tangannya sekarang, kata-


nya memberitahu, dan aku tidak bisa melihat apa-apa
di tanah. Kau yakin melihatnya, Violet? Aku tidak.

”Dokter Symonds menghampiri Diana.

”Kita harus membawanya ke rumah, katanya.


'Rogers, tolong aku.

” Akhirnya bersama-sama kami menggotong wanita


yang pingsan itu ke rumah. Kemudian kami kembali
lagi dan menggotong mayat Sir Richard.”

Dr. Pender berhenti dengan pandangan menyesal


serta melihat ke sekelilingnya.

”Sekarang ini kita sudah lebih pintar,” katanya,


“gara-gara banyaknya buku detektif yang ada. Setiap
anak tahu bahwa mayat harus ditinggalkan di tempat-
nya diketemukan. Tapi pada masa itu kami tidak pu-
nya pengetahuan seperti itu, dan karenanya kami
bawa mayat Richard Haydon kembali ke kamar tidur-
nya. Kemudian kami menyuruh kepala pelayan naik
sepeda untuk memanggil polisi—jaraknya kurang le-
bih dua dua puluh kilometer.

”Saat itulah Elliot Haydon menarikku ke samping.

”Dengar, katanya. 'Aku akan kembali ke hutan


kecil itu. Senjatanya harus ditemukan.

”Kalau memang ada senjatanya, kataku ragu.

”Dia mencengkeram lenganku dan mengguncangnya


dengan keras. 'Kepalamu sudah kerasukan takhayul
itu. Kaupikir kematiannya tidak alamiah? Yah, aku
akan pergi ke hutan kecil itu lagi untuk menyelidiki-
nya.

41
"Entah kenapa, aku keberatan dengan maksudnya
itu. Aku berusaha keras menghalanginya, tapi sia-sia.
Bayangan tentang pohon-pohon itu saja sudah mem-
buatku merinding, dan aku mempunyai praduga akan
terjadi kecelakaan lain. Tapi Elliot betul-betul keras
kepala. Kupikir dia sendiri sebenarnya takut, tapi ti-
dak mau mengakuinya. Akhirnya dia pergi sambil
membawa senjata lengkap, dengan tekad untuk me-
mecahkan misteri itu.

”Malam itu sungguh meletihkan, tidak ada yang


bisa tidur, atau berusaha tidur. Polisi-polisi yang da-
tang betul-betul takjub mendengar cerita kami. Me-
reka ingin sekali bisa menanyai Miss Ashley, tapi
terpaksa harus berhadapan dulu dengan dr. Symonds,
yang menentang keinginan mereka dengan keras. Miss
Ashley sudah sadar dari pingsannya atau kerasukannya,
dan telah mendapatkan obat penenang dalam dosis
lumayan. Dia tidak boleh diganggu sama sekali sam-
pai keesokan harinya.

”Esok harinya, sekitar pukul tujuh pagi, barulah


kami sadar tentang Ellioc Haydon, dan Symonds tiba-
tiba menanyakannya. Aku menjelaskan apa yang telah
dilakukan Elliot, dan wajah serius Symonds menjadi
lebih serius lagi. 'Kuharap dia tidak melakukannya.
Betul-betul konyol, katanya.

”Menurutmu tak mungkin dia mengalami kecela-


kaan, bukan?

”Kuharap tidak. Kupikir, Pak Pendeta, kita harus


pergi mencarinya.

”Aku tahu dia benar, tapi aku harus mengumpulkan


seluruh keberanianku untuk melakukan tugas itu.

42
Kami berangkat bersama-sama dan sekali lagi mema-
suki hutan kecil terkutuk itu. Kami memanggilnya
dua kali, tapi tidak ada sahutan. Beberapa menit ke-
mudian, kami sampai di pelataran itu, yang tampak
pucat dan menyeramkan dalam cahaya pagi. Symonds
mencengkeram lenganku dan aku berteriak tertahan.
Kemarin malam, dalam sinar bulan, kami melihat
mayat seorang laki-laki tertelungkup di rerumputan.
Sekarang, dalam cahaya pagi, pemandangan yang
sama muncul di depan mata kami. Elliot Haydon
terbaring di tempat yang sama, tempat sepupunya
jatuh kemarin.

”' Astaga” kata Symonds. Dia kena juga!

”Kami berlari bersama-sama melintasi rerumputan.


Elliot Haydon pingsan, tapi napasnya masih ada, dan
kali ini tidak diragukan lagi apa yang menyebabkan
tragedi itu. Sebilah senjata tipis dan panjang masih
tertancap di lukanya.

”Tertikam di bahunya, bukan di jantung. Dia


beruntung, komentar dokter itu. 'Demi Tuhan, aku
tidak tahu harus berpikir apa. Bagaimanapun, dia be-
lum mati dan dia bisa menceritakan apa yang telah
terjadi pada kita semua.”

”Tapi ternyata Ellior Haydon tidak bisa bercerita


apa-apa. Gambarannya betul-betul samar. Dia ber-
usaha mencari belati itu, tapi sia-sia, dan akhirnya
ketika sudah menyerah, dia berdiri di dekat Rumah
Pemujaan. Saat itulah dia tiba-tiba merasa ada se-
seorang sedang mengamatinya dari balik deretan
pepohonan. Dia berusaha mengusir perasaan itu, tapi

43
tidak berhasil. Dia menggambarkan embusan angin
dingin yang mulai bertiup. Tampaknya tidak berasal
dari pohon-pohon itu, melainkan dari dalam Rumah
Pemujaan. Dia berbalik, mengintip ke dalam. Dia
melihat sosok dewi itu dan merasa matanya tidak
beres. Sosok itu tampaknya jadi membesar. Tiba-tiba
dia merasakan pukulan di keningnya yang mem-
buatnya sempoyongan, dan ketika jatuh, dia dihan-
tam rasa sakit yang menyengat di bahu kirinya.

”Belati itu ternyata sama dengan yang telah digali


di lorong di bukit, dan yang telah dibeli oleh Richard
Haydon. Di mana dia menyimpannya, di dalam ru-
mah atau di Rumah Pemujaan dalam hutan kecil itu,
tak seorang pun tahu.

”Polisi berpendapat Richard memang sengaja diti-


kam oleh Miss Ashley, tapi berdasarkan gabungan dari
kesaksian-kesaksian kami, Miss Ashley tidak pernah
berdiri dalam jarak dekat dengan Richard, mereka ti-
dak mempunyai bukti untuk menuntutnya. Akhirnya
kejadian itu tetap menjadi misteri.”

Semua orang terdiam.

”Rasanya tidak ada yang bisa dikatakan,” kara Joyce


Lempritre akhirnya. "Sungguh sangat mengerikan—
dan tidak masuk akal. Apakah Anda sendiri tahu pe-
mecahannya, Dr. Pender?”

Laki-laki tua itu mengangguk. ”Ya,” katanya. "Aku


tahu pemecahannya—sejenis itulah. Agak aneh me-
mang—tapi bagiku masih meninggalkan beberapa
faktor tertentu yang tidak terpikirkan.”

”Aku pernah menghadiri beberapa seance—

44
pertemuan dengan roh orang mati,” kata Joyce.
”Kalian boleh bilang apa saja, tapi memang hal-hal
aneh bisa terjadi. Kurasa pasti ada unsur hipnotisnya.
Wanita itu sungguh-sungguh mengubah dirinya
menjadi Pendeta Astarte, dan kurasa entah bagaimana
dia pasti telah menikam laki-laki itu. Mungkin dia
sempat melempar belati yang dilihat Miss Mannering
di tangannya.”

”Atau mungkin itu adalah tombak kecil,” usul Ray-


mond West. "Bagaimanapun, sinar bulan tidak terlalu
terang. Dia mungkin memegang sejenis tombak di
tangannya dan menikam Richard dari jarak tertentu,
kemudian kurasa orang-orang lainnya terkena hipnotis
massal. Maksudku, mereka semua sudah siap melihat
Haydon terkena kutukan gaib, jadi begitulah mereka
melihatnya.”

”Aku pernah melihat hal-hal hebat yang bisa dilaku-


kan dengan senjata dan pisau di gedung-gedung per-
tunjukan,” kata Sir Henry. "Kurasa ada seseorang
yang bersembunyi di deretan pepohonan itu, dan dari
sana dia bisa saja melemparkan sebilah pisau atau be-
lati dengan ketepatan saksama—tentu saja kita harus
mengasumsikannya sebagai orang yang profesional.
Kuakui penjelasan itu agak dipaksakan, tapi rasanya
cuma itu teori yang masuk akal. Kalian ingat, Elliot
mempunyai perasaan kuat bahwa ada seseorang di
balik deretan pohon-pohon itu sedang mengamat-
amatinya. Dan tentang ucapan Miss Mannering bah-
wa Miss Ashley memegang sebilah belati di tangan-
nya, padahal orang-orang lainnya bilang tidak, aku
tidak heran. Berdasarkan pengalamanku, dari laporan

45
lima orang tentang hal yang sama, semuanya akan
berbeda-beda, sampai rasanya tidak masuk akal.”

Mr. Petherick terbatuk-batuk.

”Tapi dalam semua teori ini, kita tampaknya telah


mengabaikan suatu fakta penting,” katanya. ”Apa jadi-
nya dengan senjata itu? Miss Ashley tak mungkin me-
nyembunyikan sebuah tombak kecil, karena dia sedang
berdiri di tengah-tengah pelataran terbuka: dan kalau
ada seorang pembunuh tersembunyi yang melemparkan
belati, senjata itu pasti masih menancap di lukanya
ketika orang itu dibalikkan. Kurasa kita harus mem-
buang semua teori yang dibuat-buat itu dan memusat-
kan perhatian pada fakta-fakta aktual.”

”Dan petunjuk apa yang bisa diberikan fakta-fakta


aktual itu?”

”Yah, satu hal rasanya cukup jelas. Tak seorang


pun berdiri di dekat Sir Richard ketika dia jatuh, jadi
satu-satunya orang yang bisa menikam dirinya adalah
dia sendiri. Bunuh diri.”

”Tapi kenapa dia ingin bunuh diri?” tanya Raymond


West tak percaya.

Pengacara itu terbatuk-batuk lagi. "Ah, sekali lagi


itu masalah teori,” katanya. ”Saat ini aku tidak terlalu
memperhatikan teori-teori. Menurutku, kalau bagian-
bagian gaib yang sama sekali tidak kupercayai dihilang-
kan, itulah satu-satunya penjelasan yang memungkin-
kan. Dia menikam dirinya sendiri, dan ketika dia
jatuh, tangannya terentang, menarik belati itu dari
lukanya dan terlempar jauh ke arah pepohonan.
Begitulah, meskipun kurasa hal itu agak tidak masuk
akal.”

46
"Kurasa itu bisa saja terjadi,” kata Miss Marple.
”Semuanya sangat membingungkan. Tetapi hal-hal
aneh memang bisa terjadi. Di pesta kebun Lady
Sharpley tahun lalu, orang yang bertugas mengatur
jam golf terantuk salah sebuah angka: dia langsung
pingsan, dan baru sadar sekitar lima menit kemu-
dian.”

”Ya, Bibi Jane.” kata Raymond dengan lembut,


”tapi orang itu tidak ditikam, bukan?”

”Tentu saja tidak, Sayang,” sahut Miss Marple. ”Itu-


lah yang ingin kukatakan padamu. Tentu saja cuma
ada satu cara untuk menikam Sir Richard yang ma-
lang, tapi aku sungguh-sungguh ingin tahu, apa yang
membuatnya terantuk pertama kali. Tentu saja penye-
babnya mungkin akar pohon. Dia pasti sedang mem-
perhatikan Diana, dan dalam sinar bulan, orang me-
mang gampang terantuk sesuatu.”

”Anda bilang cuma ada satu cara untuk menikam


Sir Richard, Miss Marple,” kata si pendeta, sambil
menatapnya dengan perasaan ingin tahu.

"Sungguh menyedihkan, dan aku tak ingin memi-


kirkannya. Dia tidak kidal, bukan? Maksudku, dia
telah menikam dirinya sendiri di bahu kiri. Aku se-
lalu merasa kasihan pada Jack Baynes yang malang di
Zaman Perang dulu. Dia menembak diri sendiri di
kaki, Anda ingat, setelah bertarung mati-matian di
Arras. Dia menceritakannya padaku waktu aku menje-
nguknya di rumah sakit, dan dia sungguh malu pada
dirinya. Kukira laki-laki malang itu, Ellioc Haydon,
tidak merasakan banyak keuntungan dari perbuatan
jahatnya, bukan?”

47
”Elliot Haydon,” seru Raymond. ”Menurut Bibi,
dia yang melakukannya?”

”Aku tidak melihat bagaimana orang lain bisa me-


lakukannya,” kata Miss Marple sambil membelalakkan
matanya dengan sedikit kaget. ”Maksudku, seperti
kata Mr. Petherick yang bijaksana tadi, kita harus me-
lihat fakta-fakta yang ada dan tidak mengacuhkan se-
mua kesan dewi gaib yang konyol itu, yang menurut-
ku sama sekali bukan lelucon lucu. Ellior Haydon
adalah orang pertama yang menghampiri Sir Richard
dan membaliknya, itu berarti dia harus membelakangi
orang-orang lainnya, lalu dengan kostumnya sebagai
kepala perampok, dia pasti punya sejenis senjata di
sabuknya. Aku ingat pernah berdansa dengan pemuda
yang mengenakan kostum kepala perampok ketika
masih muda dulu. Dia punya lima jenis pisau dan
belati, dan itu membuat pasangan dansanya merasa
kikuk dan tidak enak.”

Semua mata beralih pada Dr. Pender.

”Aku tahu kebenarannya,” katanya, ”lima tahun


setelah tragedi itu terjadi. Aku menerimanya dalam
bentuk sepucuk surat yang ditulis oleh Ellioc Haydon.
Dalam surat itu dia berkata bahwa dia membayangkan
aku selalu mencurigainya. Katanya saat itu dia tiba-
tiba merasa tergoda. Dia juga mencintai Diana Ashley,
tapi dia cuma seorang pengacara miskin dan tidak
terkenal. Kalau Richard meninggal, dia akan mewarisi
gelar dan hartanya, dan itu akan memberinya masa
depan yang cerah. Belati itu menonjol keluar dari
sabuk ketika dia berlutut di samping sepupunya, dan
sebelum sempat berpikir, dia menikamkannya ke

48
tubuh Sir Richard, lalu memasukkannya kembali ke
sabuk. Kemudian dia menikam diri sendiri supaya
tidak dicurigai. Dia menulis surat itu pada malam
sebelum keberangkatannya dalam sebuah ekspedisi ke
Kutub Selatan, untuk berjaga-jaga katanya, kalau dia
tidak kembali. Kurasa dia memang tidak berniat un-
tuk kembali, dan aku tahu, seperti telah dikatakan
Miss Marple tadi, kejahatannya itu sama sekali tidak
menguntungkannya. 'Selama lima tahun, tulisnya,
'aku hidup seperti di neraka. Kuharap, paling tidak,
aku bisa membayar kejahatanku dengan mati secara
terhormat.”

Semua terdiam.

”Dan dia memang mati secara terhormat,” kata Sir


Henry. "Anda telah mengubah nama-nama dalam ce-
rita Anda, Dr. Pender, tapi kupikir aku tahu siapa
orang yang Anda maksud.”

”Seperti kataku tadi,” lanjut pendeta tua itu lagi,


”kupikir penjelasan itu tidak terlalu menerangkan
fakta-fakta yang ada. Aku tetap menganggap ada
pengaruh jahat di hutan kecil itu, pengaruh yang
mendorong Elliotc Haydon berbuat demikian. Bahkan
sampai hari ini aku masih merinding kalau memikir-
kan Rumah Pemujaan Astarte.”

49
BAB 3

BATANGAN-BATANGAN
EMAS

” AKU tidak tahu apakah cerita yang akan kukisah-


kan ini pantas atau tidak,” kata Raymond West, "ka-
rena aku tidak mengetahui pemecahannya. Tapi fakta-
faktanya begitu menarik dan aneh, sehingga aku ingin
menceritakannya pada kalian semua sebagai masalah
yang perlu dipecahkan. Siapa tahu dari hasil omong-
omong kita, kita berhasil mendapatkan kesimpulan
yang logis.

”Terjadinya dua tahun yang lalu, ketika aku meng-


habiskan hari Pantekosta dengan seorang laki-laki
bernama John Newman, di Cornwall.”

”Cornwall?” tanya Joyce Lempritre dengan tajam.

”Ya. Kenapa?”

”Tidak apa-apa. Cuma aneh saja. Ceritaku juga


tentang suatu tempat di Cornwall—sebuah desa kecil
bernama Rathole. Jangan bilang ceritamu juga terjadi
di sana?”

50
"Tidak. Desaku bernama Polperran. Letaknya di
pantai barat Cornwall, tempat yang sangat liar dan
berbatu-batu. Aku telah dikenalkan beberapa minggu
sebelumnya, dan menurutku dia teman yang sangat
menyenangkan. Pintar, mandiri, dan punya imajinasi
romantis. Sebagai akibat dari hobinya yang terakhir,
dia menyewa Pol House. Dia mempunyai penge-
tahuan yang sangat luas tentang sejarah zaman peme-
rintahan Elizabeth, dan dia menceritakan padaku de-
ngan jelas dan terang tentang kekalahan Armada
Spanyol. Begitu bersemangatnya dia, sampai-sampai
kedengarannya dia seperti saksi langsung dari kejadian
itu. Apakah reinkarnasi itu ada, ya? Aku ingin tahu—
sungguh.”

”Kau memang sangat romantis, Raymond sayang,”


ujar Miss Marple sambil memandangnya dengan ra-
mah.

”Aku sama sekali tidak romantis,” sahut Raymond


West, agak tersinggung. "Tapi orang bernama Newman
ini betul-betul terobsesi, dan dia menarik minatku ha-
nya karena dia punya cerita tentang masa lampau itu.
Kelihatannya ada sebuah kapal milik Armada Spanyol
yang diketahui telah memuat sejumlah besar harta da-
lam bentuk emas dari pelabuhan Spanyol. Kemudian
kapal itu tenggelam di perairan dekat pantai Cornwall,
di Serpent Rocks yang terkenal dan berbahaya itu. Se-
lama beberapa tahun, begitulah kata Newman padaku,
banyak usaha telah dilakukan untuk menyelamatkan
kapal itu dan mengambil kembali hartanya. Aku yakin
cerita-cerita seperti itu sudah umum, meskipun mitos

tentang harta karun dalam kapal lebih banyak jumlah-


51
nya daripada yang sesungguhnya. Sebuah perusahaan
segera dibentuk, tapi lalu bangkrut, dan Newman ber-
hasil membeli saham-sahamnya—atau entah apa nama-
nya—dengan murah sekali. Dia menjadi sangat tertarik
dengan semuanya. Menurutnya, itu cuma masalah tek-
nologi canggih saja, mesin-mesin modern. Emas itu
ada di sana, dan dia yakin bisa mengambilnya.

”Sambil mendengarkan, aku berpikir berapa sering


hal-hal seperti itu terjadi. Orang kaya seperti Newman,
bisa berhasil nyaris tanpa usaha, tapi biasanya nilai
uang sesungguhnya dari harta temuannya itu sedikit
sekali artinya bagi dirinya. Harus kuakui, semangatnya
itu memengaruhi diriku. Bisa kubayangkan bahtera
Spanyol itu terombang-ambing di pantai, dipermainkan
badai, hancur dan pecah di atas batu-batu hitam. Kata
bahtera saja sudah terdengar romantis, belum lagi is-
tilah "Emas Spanyol —anak kecil pun pasti langsung
tertarik, apalagi orang dewasa. Lebih-lebih saat itu aku
sedang mengerjakan sebuah novel, dan ada bagian-
bagian tentang abad keenam belas yang mesti kugam-
barkan, jadi aku melihat kesempatan bagus untuk me-
ngorek kesan-kesan lokal yang berharga dari tuan
rumahku.

”Aku berangkat hari Jumat itu dari Paddington de-


ngan semangat tinggi dan penuh harap. Di gerbongku
hanya ada satu penumpang lain, yang duduk ber-
hadap-hadapan denganku. Perawakannya tinggi, ber-
tampang tentara, dan entah kenapa aku merasa per-
nah bertemu dengannya. Aku memutar otak selama
beberapa saat, tapi sia-sia, namun akhirnya aku ber-
hasil. Teman seperjalananku itu ternyata Inspektur

52
Badgeworth, dan aku pernah bertemu dengannya ke-
tika sedang menulis artikel bersambung tentang kasus
lenyapnya Everson.

”Aku menyapanya, kemudian kami mengobrol de-


ngan asyik. Ketika kukatakan padanya bahwa aku
akan pergi ke Polperran, dia berkata sungguh kebe-
tulan, karena dia sendiri akan ke tempat itu. Aku ti-
dak mau kelihatan cerewet, maka aku tidak menanya-
kan tujuannya di sana. Sebaliknya aku bercerita
tentang tujuanku sendiri di tempat itu, dan menyebut-
kan bahtera Spanyol yang terdampar itu. Aku kaget
karena ternyata inspektur itu tampaknya mengetahui
semua tentang hal tersebut. "Bahtera yang Anda mak-
sud itu pasti Juan Fernandez,” katanya. "Teman Anda
bukan orang pertama yang menanamkan uangnya un-
tuk mengangkat harta dari dalam laut. Memang cita-
cita yang romantis."

Tapi keseluruhan cerita itu bisa jadi cuma mitos


belaka” kataku. "Tidak ada kapal yang pernah terdam-
par di sana.
”Oh, kapal itu memang benar terdampar di sana,
sahut si inspektur—bersama banyak kapal lainnya.
Anda pasti kaget kalau tahu berapa banyak kapal
yang pernah terdampar di pantai di daerah itu. Sebe-
narnya untuk itulah saya pergi ke sana sekarang. Di
sanalah Otranto terdampar enam bulan yang lalu.

”Saya ingat pernah membacanya, kataku. "Tidak


ada korban jiwa, bukan?

”Memang tidak ada, sahut inspektur itu, 'tapi ada


sesuatu yang hilang. Masyarakat umum tidak menge-

53
tahuinya, tapi Orranto memuat batangan-batangan
emas.

”Oh ya? kataku, sangat tertarik.

”Tentu saja kami langsung mengerahkan para pe-


nyelam dalam operasi penyelamatan, tapi... emas itu
hilang, Mr. West.

”Hilang) seruku sambil menatapnya. "Bagaimana


mungkin?

"Itulah masalahnya, kata inspektur itu. "Karang


telah merobek kamar pengaman di kapal itu sampai
menganga lebar. Cukup gampang bagi para penyelam
untuk masuk ke dalam, tapi mereka menemukan ka-
mar pengaman itu dalam keadaan kosong. Masalah-
nya, apakah emas itu dicuri sebelum kapal terdampar,
atau sesudahnya? Apakah emas itu memang disimpan
di kamar pengaman?

” Tampaknya ini kasus yang aneh, kataku.

”Memang kasus yang aneh, mengingat batangan-


batangan emas itu tidak seperti kalung berlian yang
bisa dimasukkan ke kantong. Kalau Anda perhatikan
betapa merepotkan dan berat—yah, rasanya tidak ma-
suk akal sama sekaii. Mungkin ada sejenis simsalabim
sebelum kapal itu berlayar, tapi kalau tidak, pasti
emas itu sudah dipindahkan dalam waktu enam bulan
ini—dan saya akan menyelidikinya.”

”Aku menemukan Newman sedang menungguku


di stasiun. Dia minta maaf karena tidak membawa
mobil: katanya mobil itu telah dikirimnya ke Truro
untuk direparasi. Dia menjemputku dengan sebuah
lori pertanian milik perusahaannya.

”Aku melompat naik dan duduk di sampingnya,

54
dan dengan hati-hati Newman mengendarai mobil di
jalan-jalan sempit di desa nelayan itu. Kami mendaki
jalanan yang sangat curam dengan perlahan-lahan,
seperti siput yang merambat, kemudian lebih cepat
sedikit pada jalanan yang menurun, dan akhirnya
berbelok memasuki Pol House melalui gerbangnya
yang bertiang granit.

"Tempat itu sangat bagus, letaknya tinggi di atas


tebing, dengan pemandangan laut yang indah. Seba-
gian dari tempat itu berumur kurang lebih tiga atau
empat ratus tahun, tapi ada juga bangunan modern
yang ditambahkan. Di belakangnya terhampar tanah
pertanian yang luasnya sekitar tujuh atau delapan hek-
tar.

"Selamat datang di Pol House, kata Newman. 'Ke


tempat Tanda Bahtera Emas” Dia menunjuk pintu
depan yang di atasnya tergantung reproduksi sempur-
na bahtera Spanyol dengan layar-layar mengembang.

”Malam pertamaku betul-betul menyenangkan.


Tuan rumahku menunjukkan manuskrip-manuskrip
kuno yang berkaitan dengan Juan Fernandez. Dia
membuka berbagai gulungan peta untukku dan me-
nunjukkan berbagai posisi yang tertera dalam bentuk
garis titik-titik, kemudian dia mengeluarkan bagan
peralatan menyelamnya, yang menurutku betul-betul
aneh dan sama sekali tidak kumengerti.

”Kuceritakan padanya tadi aku bertemu dengan


Inspektur Badgeworth, dan dia jadi sangat tertarik.

” Ada orang-orang aneh di sekitar pantai ini” kata-


nya sambil merenung. 'Bakat menyelundup dan me-

55
rusak mengalir dalam darah mereka. Kalau ada kapal
tenggelam di perairan sini, mereka pasti langsung
menganggapnya sebagai sumber yang sah untuk me-
nambah isi kantong mereka. Ada seseorang di sini
yang ingin kutunjukkan padamu. Dia termasuk salah
satu dari mereka yang tersisa, dan menarik."

"Keesokan harinya, matahari bersinar terang dan


cerah. Aku diajaknya ke Polperran dan diperkenalkan
dengan penyelam Newman, seorang laki-laki bernama
Higgins. Tampangnya kaku seperti kayu, betul-betul
pendiam, dan dalam perbincangan kebanyakan cuma
menyahut sepatah-sepatah. Setelah mereka berdua se-
lesai berdiskusi sendiri tentang masalah-masalah teknis
yang rumit, kami meneruskan perjalanan menuju
Three Anchors. Setelah minum kira-kira satu tangki
bir, barulah lidah laki-laki itu bergoyang.

”Tuan Detektif dari London itu sudah datang,


gerutunya. 'Mereka bilang, kapal yang tenggelam di
sini November lalu membawa muatan emas dalam
jumlah banyak. Yah, itu bukan kapal pertama yang
tenggelam, dan juga bukan yang terakhir."

”Nah, nah, nah, kata si pemilik Three Anchors,


menggabungkan diri. 'Kata-katamu itu betul, Bill
Higgins.

”Kurasa memang begitu, Mr. Kelvin, sahut


Higgins.

”Aku memandang heran pada pemilik bar itu. Dia


laki-laki yang luar biasa, berparas gelap dengan bahu
lebar yang aneh. Matanya merah dan caranya meng-
hindari tatapan kita betul-betul mencurigakan. Kurasa

56
dialah orang yang dimaksud Newman, yang menyebut-
nya sebagai peninggalan yang menarik.

"Kami tidak mengharapkan kedatangan orang-


orang asing yang suka ikut campur di pantai ini,
katanya dengan agak keras dan tajam.

”Maksudmu polisi itu? tanya Newman, terse-

nyum.
”Maksudku polisi itu—dan lainnya," sahut Kelvin
dengan penuh arti. 'Dan itu jangan sampai dilupa-

kan.
"Newman, menurutku ucapannya itu seperti an-
caman, kataku ketika kami mendaki bukit untuk
pulang ke rumah.

”Temanku tertawa.

”Omong kosong! Kelvin tidak menyakiti orang-


orang di sini sama sekali.

”Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan ragu-


ragu. Ada sesuatu yang jahat dan keji pada diri Kelvin.
Kurasa otaknya penuh dengan hal-hal aneh dan ber-
bahaya.

”Kupikir mulai saat itulah aku merasa khawatir.


Malam sebelumnya aku bisa tidur lelap sekali, tapi
malam itu tidurku betul-betul tidak tenang dan aku
terbangun-bangun terus. Pada hari Minggu pagi,
cuaca tampak kelabu dan suram, langit menunjukkan
tanda-tanda mendung tebal dan bunyi guntur mengge-
legar. Aku memang tak pernah bisa menyembunyikan
perasaanku, dan Newman memperhatikan perubahan
pada diriku.

"Ada apa denganmu, West? Kau seperti benang


kusut pagi ini."

57
”Aku tidak tahu, sahutku, 'tapi kurasa aku mem-
punyai firasat tidak enak.”

”'Itu gara-gara cuaca.

”Ya, mungkin.

”Aku tidak berkata apa-apa lagi. Sore harinya kami


pergi dengan mengendarai perahu motor Newman,
tapi hujan mulai turun deras sekali, sehingga kami
lega bisa kembali ke pantai lagi dan mengenakan pa-
kaian kering.

”Malam itu perasaanku semakin tidak enak. Di


luar badai meraung dan menggelegar. Sekitar pukul
sepuluh, badai mulai tenang. Newman memandang
ke luar jendela.

”Sudah reda, katanya. 'Kurasa malam ini akan te-


nang selama setengah jam berikutnya. Aku akan ja-
lan-jalan sebentar.

”Aku menguap. "Aku betul-betul ngantuk,” kataku.


'Aku tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam. Kurasa
aku akan tidur awal malam ini.

”Itulah yang kulakukan. Pada malam sebelumnya,


aku cuma tidur sedikit. Malam itu aku tidur pulas
sekali, tapi tidak tenang. Aku masih terganggu dengan
firasat jahat itu. Aku bermimpi buruk. Dalam mimpi-
ku, aku tersesat di lorong-lorong dan terowongan-tero-
wongan panjang dan berkelok-kelok, dan aku harus
melangkah dengan hati-hati karena tergelincir berarti
mati. Ketika akhirnya aku bangun, jam sudah me-
nunjukkan pukul delapan. Kepalaku berdenyut-denyut
dan jantungku masih berdebar-debar ngeri karena
mimpiku semalam.

”Begitu kuatnya perasaan itu, sehingga ketika aku

58
pergi menghampiri jendela dan membukanya, aku
kaget setengah mati, karena hal pertama yang ku-
lihat—atau begitulah menurutku saat itu—adalah se-
orang laki-laki yang sedang menggali kuburan.

”Aku butuh beberapa menit untuk menenangkan


diris akhirnya aku sadar bahwa penggali kuburan itu
adalah tukang kebun Newman, dan 'kuburan' itu se-
benarnya untuk menanam tiga batang mawar baru
yang saat itu tergeletak di samping, menunggu untuk
ditanam di tanah.

"Tukang kebun itu mendongak dan melihatku. Dia


menyentuh ujung topinya.

”Selamat pagi, Sir. Pagi yang cerah, bukan?


”Kurasa begitu, kataku ragu, masih tak berhasil
membangkitkan semangatku yang loyo.

”Bagaimanapun, seperti kata tukang kebun itu,


pagi itu memang cerah. Matahari bersinar terang dan
langit jernih berwarna biru pucat, menjanjikan cuaca
yang baik sepanjang hari. Aku turun ke bawah untuk
sarapan sambil bersiul-siul. Newman tidak punya pe-
layan yang tinggal di rumah itu. Dua wanita kakak-
beradik berumur setengah baya, yang tinggal di ru-
mah pertanian di dekat sana, datang setiap hari untuk
mengurus kebutuhannya yang sederhana. Salah se-
orang dari mereka sedang meletakkan poci kopi di
meja ketika aku masuk.

”Selamat pagi, Elizabeth, sapaku. 'Apa Mr. New-


man sudah bangun?

”Dia mestinya sudah bangun pagi-pagi sekali, Sir,”


sahutnya. 'Dia tidak ada di rumah ketika kami datang
tadi.

59
”Langsung saja firasatku kembali lagi. Pada dua
pagi sebelumnya, Newman agak terlambat bangun
untuk sarapan, dan kupikir dia memang bukan tipe
orang yang suka bangun pagi. Gara-gara firasat itu,
aku berlari ke kamar tidurnya. Kamar itu kosong dan
lebih-lebih lagi, ranjangnya tidak ditiduri sama sekali.
Aku memeriksa kamarnya secara kilat dan aku tahu
dua hal lain lagi. Kalau Newman memang keluar un-
tuk berjalan-jalan, dia pasti mengenakan pakaian yang
dipakainya semalam, karena pakaian itu tidak ada.

”Aku yakin sekarang bahwa firasatku tentang ada-


nya kejahatan itu benar. Newman pergi berjalan-jalan
sebentar tadi malam, seperti dikatakannya. Untuk
alasan tertentu, dia belum kembali. Kenapa? Apakah
dia mengalami kecelakaan? Jatuh dari tebing? Aku
harus segera mencarinya.

”Dalam beberapa jam aku berhasil mengumpulkan


cukup banyak orang yang mau menolong, dan ber-
sama-sama kami mencari ke segala penjuru di sepan-
jang tebing dan di batu-batu di bawah sana. Tapi ti-
dak ada tanda-tanda apa pun tentang Newman.

"Akhirnya dengan putus asa aku mencari Inspektur


Badgeworth. Wajahnya menjadi sangat kelam.

”Tampaknya ada yang bermain curang, katanya.


'Ada beberapa penduduk yang tidak terlalu bersih di
daerah ini. Apakah Anda telah bertemu dengan Kelvin,
pemilik bar Three Anchors itu?

”Kujawab ya, aku pernah bertemu dengannya.

” Tahukah Anda bahwa dia pernah ditahan empat


tahun yang lalu karena menganiaya dan menyiksa?

”'Saya tidak heran, sahutku.


60
”Penduduk setempat umumnya menganggap teman
Anda itu agak terlalu senang mencampuri urusan
orang lain, yang sama sekali tidak ada kaitannya de-
ngan dirinya. Saya harap dia baik-baik saja.”

”Pencarian terus dilakukan dengan lebih gigih lagi.


Baru menjelang malam hari kami berhasil. Kami me-
nemukan Newman di parit yang dalam, yang terletak
di ujung tanahnya sendiri. Tangan dan kakinya terikat
erat dengan tali, dan sehelai saputangan dijejalkan di
mulutnya, sehingga dia tidak bisa berteriak.

”Dia betul-betul kelelahan dan kesakitan: tapi se-


telah pergelangan tangan dan kakinya diurut beberapa
saat dan segelas wiski ditenggaknya, dia mampu men-
ceritakan pengalamannya.

”Karena cuaca sudah tenang, dia pergi untuk ber-


jalan-jalan sebentar, sekitar pukul sebelas. Dia menuju
ke arah tebing, ke tempat yang dikenal sebagai Teluk
Penyelundup, karena banyaknya gua di sana. Dia me-
lihat beberapa orang sedang menurunkan sesuatu dari
sebuah perahu motor kecil, kemudian dia berjalan
mendekat dengan maksud untuk melihat apa yang
terjadi. Apa pun sesuatu itu, tampaknya berat sekali,
dan diangkut menuju salah satu gua yang terjauh
letaknya.

”Tanpa curiga sama sekali, Newman berjalan terus.


Dia sudah berada cukup dekat dengan mereka tanpa
ketahuan. Tiba-tiba ada yang berteriak, dan segera dua
pelaut kekar menangkap dan memukulnya sampai
pingsan. Ketika sadar, dia mendapati diri terbaring di
lantai sebuah kendaraan, yang saat itu sedang melaju
kencang dengan terantuk-antuk. Sepanjang yang bisa

61
ditebaknya, kendaraan itu melaju di jalanan menuju
desa. Dia kaget sekali karena lori itu akhirnya berbelok
dan masuk melalui pintu gerbang rumahnya sendiri.
Di sana, setelah berbisik-bisik sebentar, orang-orang itu
menariknya turun dan melemparkannya ke sebuah
parit di tempat yang cukup dalam, sehingga akan
makan waktu lama untuk menemukannya. Kemudian
lori itu pergi lagi, dan menurut perkiraannya, mungkin
memasuki gerbang rumah lain sekitar seperempat mil
di dekat desa. Dia tidak dapat memberikan gambaran
tentang para penyerangnya, kecuali bahwa mereka
betul-betul pelaut, dan dari logatnya adalah orang-
orang Cornwall.

"Inspektur Badgeworth sangat tertarik.

” Kalau begitu, di sanalah emas itu disembunyikan,


teriaknya. 'Entah bagaimana, emas itu berhasil diambil
dari kapal yang tenggelam dan disimpan di salah satu
gua terpencil. Memang benar kami telah menyelidiki
semua gua di Teluk Penyelundup, dan kami sekarang
harus memeriksa lebih jauh lagi. Sudah pasti mereka
memindahkan emas itu waktu malam ke gua yang su-
dah diperiksa dan tak mungkin diperiksa lagi. Mereka
mempunyai waktu sekitar delapan belas jam untuk
memindahkan emas itu. Kalau mereka berhasil menang-
kap Mr. Newman kemarin malam, saya ragu apakah
kita masih bisa menemukannya sekarang.

"Inspektur itu buru-buru mengadakan pemeriksaan.


Dia menemukan bukti nyata bahwa emas itu pernah
disimpan, seperti telah diduganya, tapi sudah dipin-
dahkan lagi, dan tidak ada petunjuk apa pun tentang
tempat persembunyian yang baru.

62
"Bagaimanapun, ada satu petunjuk dan Inspektur
Badgeworth yang mengatakannya padaku keesokan
paginya.

“Jalanan itu jarang sekali dipakai oleh kendaraan


bermotor, katanya, dan di beberapa tempat kami ber-
hasil menemukan jejak roda-rodanya dengan jelas se-
kali. Ada salah sebuah ban yang gundul sedikit di
suatu tempat, sehingga jejaknya gampang sekali dila-
cak. Jejak-jejak itu memasuki pintu gerbang: di sana-
sini ada jejak samar-samar yang menunjukkan keluar-
nya dari pintu gerbang lain, jadi tidak diragukan lagi
itu memang kendaraan yang kami kejar. Tapi kenapa
mereka mesti keluar melalui pintu gerbang yang lain,
yang lebih jauh? Menurut saya, lori itu datang dari
arah desa. Tidak banyak orang yang memiliki lori di
desa—tidak lebih dari dua atau tiga orang. Kelvin,
pemilik bar Three Anchors itu, punya satu.

”'Apa profesi asli Kelvin dulu?” tanya Newman.

”Lucu juga Anda bisa menanyakan itu, Mr.


Newman. Waktu muda dulu, Kelvin seorang penye-
lam profesional.

”Newman dan aku saling pandang. Teka-teki itu


tampaknya mulai terjawab sedikit.

”Anda tidak mengenali Kelvin sebagai salah se-


orang dari orang-orang di pantai itu? tanya Inspektur
Badgeworth.

”Newman menggeleng.

”Saya rasa saya tidak bisa mengatakan begitu, kata-


nya dengan menyesal. 'Saya sungguh tidak sempat
melihat apa-apa."

"Inspektur Badgeworth baik hati sekali karena

63
mengizinkan aku menemaninya ke Three Anchors.
Garasinya terletak di jalan samping. Pintunya yang
besar tertutup, tapi dengan mendaki sebuah lorong
kecil di sisinya, kami menemukan sebuah pintu kecil
yang menuju garasi, dan pintu itu ternyata terbuka.
Pemeriksaan kilat atas ban-ban itu sudah cukup untuk
Inspektur Badgeworth. 'Demi Tuhan, kita berhasil
menangkapnya! teriaknya. 'Ini ada tanda yang jelas
sekali di ban kiri belakang. Nah, Mr. Kelvin, saya
rasa Anda takkan cukup pintar untuk mengelak kali
ini.”

Raymond West menghentikan ceritanya.

”Nah?” kata Joyce. "Sejauh ini aku tidak melihat


ada masalah—kecuali kalau mereka tidak berhasil me-
nemukan emas itu.”

”Mereka memang tidak pernah menemukan emas


itu,” kata Raymond. "Dan mereka juga tidak pernah
menahan Kelvin. Kupikir dia terlalu cerdik bagi po-
lisi, tapi aku tak mengerti bagaimana dia melakukan-
nya. Dia memang sempat ditangkap—karena tanda-
tanda pada bannya. Tapi ada sebuah bukti yang
menolongnya. Tepat di depan garasi berpintu besar
itu terdapat pondok yang disewa oleh seorang
seniman wanita selama musim panas.”

”Oh, seniman wanita model begitu,” kata Joyce


sambil tertawa.

”Ya, seperti katamu, 'seniman wanita model begitu."


Wanita itu kebetulan sedang sakit selama beberapa
minggu, dan karenanya dia mempekerjakan dua pera-
wat rumah sakit untuk merawatnya. Perawat yang
bertugas malam itu telah menarik kursinya di dekat

64
jendela yang kerainya dibuka. Dia mengatakan mobil
lori itu tak mungkin meninggalkan garasi tanpa di-
lihatnya, dan dia berani bersumpah bahwa mobil itu
tidak pernah keluar dari garasi malam itu.”

”Kupikir itu bukan masalah,” kata Joyce. "Perawat


itu ketiduran, tentu saja. Mereka selalu begitu.”

”Itu memang... eh... pernah terjadi,” kata Mr.


Petherick dengan bijaksana, ”tapi menurutku tampak-
nya kita menerima fakta-fakta itu tanpa penjelasan
memadai. Sebelum menerima kesaksian si perawat,
kita harus memeriksa bonafiditasnya terlebih dulu.
Alibi yang muncul dengan ketepatan mencurigakan
seperti itu memang bisa membuat orang jadi ragu.”

“Selain itu, ada kesaksian dari wanita seniman itu,”


kata Raymond. ”Katanya dia sedang kesakitan, se-
hingga sepanjang malam terus terjaga. Dia yakin tidak
mendengar suara lori, padahal suaranya kan berisik
sekali. Tapi malam itu sangat tenang, karena badai
sudah berlalu.”

”Hm,” kata Dr. Pender, ”itu betul-betul fakta tam-


bahan. Apakah Kelvin sendiri punya alibi?”

”Dia berkata dia ada di rumah saat itu dan tidur


sejak pukul sepuluh dan seterusnya, tapi dia tidak
punya saksi yang bisa mendukung pernyataannya.”

"Perawat itu ketiduran,” kata Joyce, "begitu juga


pasiennya. Orang-orang sakit memang selalu mengira
mereka tidak tidur sekejap pun sepanjang malam.”

Raymond West memandang dengan sorot menye-


lidik pada Dr. Pender.

”Kau tahu, aku merasa kasihan pada laki-laki ber-

65
nama Kelvin itu. Menurutku ini seperti kasus 'Mem-
beri nama buruk pada seekor anjing. Kelvin pernah
dipenjara. Selain jejak ban itu, yang kelihatannya
suatu kebetulan yang luar biasa, tidak ada yang bisa
memberatkannya, kecuali catatannya yang buruk.”

”Anda, Sir Henry?”

Sir Henry menggeleng.

"Kebetulan aku tahu sesuatu tentang kasus ini,”


katanya sambil tersenyum, ”jadi jelas aku tidak boleh
berbicara.”

”Nah, sekarang giliran Bibi Jane. Bagaimana pen-


dapat Bibi?”

”Sebentar, Sayang,” sahut Miss Marple. ” Kurasa


aku salah menghitung. Dua setik balik, tiga biasa,
satu silang, dua setik balik lagi—ya, itu benar. Apa
katamu tadi, Sayang?”

”Bagaimana pendapat Bibi?”

”Kau takkan suka dengan pendapatku, Sayang. Ku-


perhatikan orang-orang muda memang begitu. Jadi,
lebih baik aku tidak berkata apa-apa.”

”Omong kosong, Bibi Jane, jangan punya pikiran


seperti itu.”

”Baiklah, Raymond,” sahut Miss Marples dia me-


letakkan rajutan dan memandang keponakannya.
”Aku merasa kau harus lebih hati-hati dalam memilih
teman-temanmu. Kau sangat gampang percaya, Sa-
yang, gampang dibujuk. Kurasa itu gara-gara kau se-
orang penulis, jadi imajinasimu terlalu banyak. Cerita
tentang bahtera Spanyol itu cuma omong kosong! Ka-
lau kau sudah lebih tua dan punya lebih banyak
pengalaman hidup, kau pasti akan langsung waspada.

66
Apalagi orang itu baru kaukenal selama beberapa
minggu!”

Sir Henry tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil


menepuk-nepuk lututnya.

”Kau kena batunya kali ini, Raymond,” katanya.


”Miss Marple, Anda hebat. Temanmu si Newman itu,
Nak, punya nama lain—beberapa nama malah. Seka-
rang ini dia tidak ada di Cornwall, tapi di Devon-
shire—Dartmoor tepatnya—narapidana di penjara
Princetown. Kami memang tidak menangkapnya ka-
rena pencurian emas itu, tapi karena membobol le-
mari besi salah sebuah bank di London. Ketika meme-
riksa catatan masa lalunya, kami menemukan sebagian
besar emas curian itu dipendam di kebun Pol House.
Ide yang hebat. Sepanjang pantai Cornwall memang
banyak cerita tentang kapal-kapal tenggelam yang pe-
nuh dengan emas. Jadi, tidak heran kalau di sana ada
penyelam dan juga ada emasnya. Tapi dia butuh kam-
bing hitam, dan Kelvin cocok sekali untuk maksud-
nya. Newman memainkan lelucon kecilnya dengan
bagus sekali, dan teman kita Raymond, dengan ke-
masyhurannya sebagai penulis, menjadi saksi yang
kuat sekali baginya.”

”Bagaimana dengan jejak ban itu?” sanggah Joyce.

”Oh, aku langsung tahu itu, Sayang, meskipun aku


tidak mengerti apa-apa tentang mobil,” kata Miss
Marple. "Orang biasa mengganti ban, kau tahu—aku
sering melihatnya—dan tentu saja mereka bisa men-
copot sebuah ban lori milik Kelvin, membawanya
pergi melalui pintu kecil di lorong, dan memasangnya
pada lori Mr. Newman. Kemudian mereka

67
mengendarai lori itu keluar dari pintu gerbang satu-
nya, menuju pantai, memenuhinya dengan emas, dan
membawanya kembali melalui pintu gerbang yang
lain, lalu mencopot ban itu lagi dan mengembalikan-
nya ke lori Mr. Kelvin. Sementara itu, kurasa, orang
lainnya mengikat Mr. Newman di parit. Memang
sangat tidak enak untuknya dan mungkin dia
ditemukan lebih lama daripada perkiraannya. Kurasa
orang yang menyebut dirinya tukang kebun itu yang
mengurus masalah tersebut.”

”Kenapa Bibi bilang 'orang yang menyebut dirinya


tukang kebun itu, Bibi Jane?” tanya Raymond ingin
tahu.

"Yah, dia tak mungkin tukang kebun sejati, bu-


kan?” kata Miss Marple. "Tukang kebun tidak bekerja
pada hari Senin Pantekosta. Semua orang tahu itu.”

Dia tersenyum dan melipat rajutannya.

"Sesungguhnya fakta kecil itulah yang membuatku


sadar,” katanya. Dia menatap Raymond.

"Kalau kau sudah berumah tangga, Sayang, dan


punya kebun sendiri, kau akan tahu tentang hal-hal
kecil ini.”

68
BAB 4

NODA DARAH
DI TROTOAR

”Ini aneh,” kata Joyce Lempriere, "tapi aku sama


sekali tidak suka menceritakan kisah ini pada kalian.
Terjadinya sudah lama—lima tahun yang lalu tepat-
nya—tapi rasanya sejak saat itu aku terus dihantui
oleh bayangannya. Dari luar, kisah ini kedengarannya
ceria dan gembira—tapi bagian dalamnya menyimpan
kengerian. Dan anehnya sketsa yang kulukis waktu
itu seolah-olah telah terpengaruh suasana yang sama.
Kalau dilihat sepintas, kelihatannya cuma sketsa kasar
yang melukiskan sebuah jalanan Cornwall yang kecil
dan curam dengan sinar matahari meneranginya. Tapi
kalau diperhatikan dengan saksama, rasanya ada kesan
jahat yang muncul. Aku tak pernah menjualnya, tapi
juga tak pernah memandangnya. Sekarang benda itu
kuletakkan di ujung studio dengan bagian depan
menghadap ke dinding.

69
”Nama tempat itu Rathole. Sebuah desa nelayan
yang antik di Cornwall, pemandangannya sangat in-
dah—mungkin terlalu indah. Kekentalan suasana
Cornwall-nya sangat terasa. Toko-tokonya dijaga oleh
gadis-gadis berambut pendek dan bercelemek, yang
sibuk menulis moto hiasan di kertas-kertas perkamen.
Memang terlihat cantik dan unik, tapi sangat meng-
ganggu perasaan.”

”Aku tahu,” kata Raymond West sambil menge-


rang. "Kutukan charabanc, kan? Tak peduli betapa
sempitnya jalan-jalan yang ada, pokoknya tidak ada
desa indah yang aman.”

Joyce mengangguk.

”Memang jalanan menuju Rathole sempit dan sa-


ngat curam, seperti sisi sebuah rumah. Yah, kelanjutan
ceritaku begini: Aku pergi ke Cornwall dan tinggal di
sana selama dua minggu untuk melukis. Ada sebuah
penginapan tua di Rathole, The Polharwith Arms. Kata-
nya itu satu-satunya rumah yang dibiarkan tetap ber-
diri oleh orang-orang Spanyol ketika mereka membom-
bardir tempat itu pada tahun seribu lima ratusan.”

”Bukan dibombardir,” kata Raymond West, menge-


rutkan dahi. "Jangan mengacaukan sejarah, Joyce.”

"Yah, pokoknya mereka pernah menurunkan se-


napan-senapan entah di mana di sepanjang pantai itu
dan menembakkannya, sehingga banyak rumah yang
roboh. Lagi pula, bukan itu ceritaku. Penginapan itu
kuno dan menyenangkan, dengan sejenis beranda di
depannya, yang disangga oleh empat tiang. Aku men-
dapatkan tempat yang sangat nyaman dan baru saja

hendak mulai bekerja ketika sebuah mobil muncul


70
menderu-deru, melaju kencang menuruni bukit. Ten-
tu saja, mobil itu zkan berhenti di depan pengi-
napan—pas di tempat yang menggangguku. Orang-
orang di dalamnya keluar—seorang laki-laki dan
wanita—aku tidak terlalu memperhatikan mereka.
Wanita itu mengenakan gaun linen berwarna jingga
dan topi dengan warna yang sama.

”Tak lama kemudian, laki-laki itu keluar lagi. Be-


tapa bersyukurnya aku ketika dia memindahkan mobil
itu ke dermaga dan memarkirnya di sana. Kemudian
dia berjalan kembali melewatiku, menuju penginapan.
Tepat pada saat itu, sebuah mobil jelek lainnya tiba-
tiba muncul, dan seorang wanita keluar dari dalam-
nya. Dia mengenakan gaun katun dengan warna
sangat cerah. Belum pernah kulihat warna seterang
itu, merah darah. Dan dia mengenakan topi jerami
lebar—topi Kuba namanya, bukan? Juga berwarna
merah manyala.

”Wanita ini tidak berhenti di depan penginapan,


tapi menjalankan mobilnya agak jauh di jalanan, men-
dekati mobil satunya. Kemudian wanita itu keluar,
dan laki-laki itu melihatnya lalu berteriak kaget,
'Carol, serunya, 'astaga, bayangkan, bisa bertemu de-
nganmu di tempat terpencil seperti ini. Sudah ber-
tahun-tahun kita tidak bertemu. Halo, itu Margery—
istriku. Ayo, kukenalkan padanya.

”Mereka berjalan bersama-sama menuju pengi-


napan. Kulihat wanita satunya baru saja keluar dari
pintu dan berjalan menghampiri mereka. Aku cuma
sekilas melihat wanita bernama Carol itu, ketika dia
lewat di depanku. Cukup untuk melihat dagu yang

71
dibedaki sampai putih sekali dan bibir merah ma-
nyala. Dalam hati aku ingin tahu—sungguh—apakah
Margery akan senang bertemu dengannya. Aku belum
sempat melihat Margery dari jarak dekat, tapi dari
kejauhan dia tampak suram, sangat kaku, dan kuno.

”Yah, tentu saja itu bukan urusanku, tapi kadang-


kadang kita merasa hidup ini aneh, bukan? Dan kita
jadi menebak-nebak tentang mereka. Dari tempat me-
reka berdiri, aku cuma bisa mendengar sepotong-sepo-
tong saja percakapan mereka yang terbawa angin
sampai ke telingaku. Mereka sedang membicarakan
acara berenang. Si suami, kedengarannya namanya
Dennis, ingin menyewa perahu motor dan berlayar
mengelilingi pantai. Ada sebuah gua terkenal yang
pantas dikunjungi di sana, katanya, sekitar satu
setengah kilometer jauhnya. Carol juga ingin melihat
gua itu, tapi dia mengusulkan untuk berjalan di
sepanjang tebing saja dan melihatnya dari sisi darat.
Katanya dia benci perahu motor. Akhirnya mereka
sepakat bahwa Carol akan berjalan menyusuri tebing
dan menemui mereka di gua, sedangkan Dennis dan
Margery akan naik perahu motor dan mengelilingi
pantai.

"Mendengar percakapan mereka tentang berenang


membuatku ingin berenang juga. Pagi itu memang
panas sekali dan aku rasanya tak ingin bekerja. Lagi
pula, kubayangkan sinar matahari sore efeknya jauh
lebih menarik. Jadi, kukemasi barang-barangku dan
pergi ke pantai kecil yang kukenal—agak berhadap-
hadapan dengan gua itu, dan betul-betul merupakan
temuanku sendiri. Aku berenang dengan asyik di

72
sana, kemudian menyantap lidah kalengan dan dua
butir tomat untuk makan siang. Aku kembali sore
harinya dengan semangat dan keyakinan tinggi untuk
meneruskan sketsaku.

”Seluruh Rathole tampaknya sedang tidur. Aku be-


nar tentang sinar matahari sore, bayangan-bayangan
jadi lebih nyata. The Polharwith Arms adalah bagian
utama dalam sketsaku. Seberkas sinar matahari jatuh
miring menimpanya dan menerangi trotoar di depan-
nya, memberikan kesan agak aneh. Kupikir orang-
orang yang berenang tadi sudah pulang dengan sela-
mat, karena ada dua baju renang, satu merah tua dan
satunya biru tua, tergantung di balkon, dijemur di
bawah sinar matahari.

”Ada yang tidak beres pada salah satu ujung sketsa-


ku, sehingga aku terpaksa membungkuk selama be-
berapa saat untuk memperbaikinya. Ketika aku men-
dongak lagi, kulihat seorang laki-laki sedang bersandar
pada salah satu pilar The Polharwith Arms. Kehadiran-
nya di sana seperti disulap saja. Dia mengenakan baju
pelaut, dan kupikir dia nelayan. Tapi dia mempunyai
janggut hitam panjang, dan penampilannya sangat
cocok untuk menjadi model lukisan kapten kapal Spa-
nyol yang garang. Aku terpaksa bekerja terburu-buru
sebelum dia pergi menjauh, meskipun dari sikapnya
dia kelihatan berniat terus menempel pada pilar itu
untuk selamanya.

"Tapi dia bergerak juga: untungnya aku sudah


mendapatkan apa yang kuinginkan. Dia mengham-
piriku dan mulai berbicara. Oh, obrolannya betul-
betul panjang lebar.

73
”Rathole, katanya, 'adalah tempat yang sangat me-
narik.

"Aku sudah tahu itu, tapi meski sudah kubilang


demikian, dia tetap mengoceh terus. Jadi, aku ter-
paksa mendengarkan seluruh sejarah peristiwa pertem-
puran itu—maksudku penggempuran—di Rathole,
dan bagaimana pemilik The Polharwith Arms adalah
orang terakhir yang dibunuh. Dia ditikam di ambang
pintunya sendiri dengan pedang oleh seorang kapten
Spanyol, sehingga darahnya menyembur keluar mem-
basahi trotoar, dan tak seorang pun dapat menghapus
nodanya selama seratus tahun.

"Semuanya terasa cocok sekali dengan suasana sore


hari yang tenang dan membuat orang mengantuk itu.
Suara laki-laki itu sangat lembut, tapi juga mengan-
dung tekanan-tekanan perasaan, yang entah kenapa
agak menakutkan juga. Sikapnya sangat sopan, tapi
dalam hati aku merasa dia orang yang kejam. Dia
membuatku memahami tentang penyiksaan-penyiksaan
dan teror yang dilakukan bangsa Spanyol dengan jelas
sekali, melebihi apa yang pernah kupelajari dulu.

”Sambil mendengarkan dia bercerita, aku terus me-


lukis, dan tiba-tiba kusadari bahwa saking tegang
mendengarkan ceritanya, aku telah melukiskan sesuatu
yang tidak ada di sana. Di atas trotoar persegi ber-
warna putih itu, tempat sinar matahari jatuh di depan
pintu The Polharwith Arms, aku telah melukiskan
noda-noda darah. Tampaknya memang luar biasa, be-
tapa otak bisa menipu tangan kita, tapi ketika meman-
dang ke arah penginapan itu lagi, aku jadi kaget un-
tuk kedua kalinya. Ternyata tanganku telah melukis

74
apa yang dilihat oleh mataku—tetesan-tetesan darah
di atas trotoar putih itu.

”Aku membelalak selama beberapa menit. Kemu-


dian kututup mataku, berkata dalam hati, Jangan
konyol, di sana tidak ada apa-apa, sungguh, kemu-
dian kubuka mataku lagi, tapi noda-noda darah itu
masih ada di sana.

”Tiba-tiba aku merasa tidak tahan lagi. Aku me-


nyela ocehan panjang lebar nelayan itu.

“Begini, kataku, 'pandangan mataku agak kurang


baik. Apakah memang ada noda-noda darah di trotoar
di sana itu?

”Dia menatapku dengan sabar dan ramah.

”Zaman sekarang noda darahnya sudah tidak ada


lagi, Nona. Yang saya ceritakan ini terjadi sekitar lima
ratus tahun yang lalu.

”Ya, kataku, 'tapi sekarang... di trotoar —kata-kata


itu tersekat dalam kerongkonganku. Aku tahu—aku
tahu dia tidak akan melihat apa yang kulihat. Aku
bangkit berdiri dan dengan tangan gemetaran mulai
mengemasi barang-barangku. Ketika aku sedang sibuk,
laki-laki yang datang dengan mobil tadi pagi muncul
dari balik pintu penginapan. Dia memandang ke ka-
nan dan ke kiri jalan dengan bingung. Di atas bal-
kon, istrinya keluar dan mengambil baju-baju renang
mereka. Laki-laki itu berjalan menuju mobilnya, tapi
tiba-tiba berbalik, menyeberangi jalan, dan mengham-
piri nelayan itu.

”Permisi, Bung, katanya. "Tahukah kau, apakah


wanita yang datang dengan mobil kedua itu sudah
kembali atau belum?

75
»y

Wanita dengan gaun kembang-kembang itu? Ti-


dak, Sir, saya tidak melihatnya. Dia pergi menyusuri
tebing menuju gua tadi pagi.

”Aku tahu, aku tahu. Tadi kami berenang ber-


sama-sama di sana, lalu dia meninggalkan kami dan
berjalan pulang. Aku tidak melihatnya lagi sejak saat
itu. Tak mungkin dia selama ini. Tebing-tebing di sini
tidak berbahaya, kan?

"Tergantung ke arah mana Anda pergi, Sir. Sebaik-


nya mengajak seseorang yang mengenal daerah ini.

”Sudah jelas orang yang dimaksud adalah dirinya


sendiri, dan dia mulai membesar-besarkan omongan-
nya, tapi laki-laki itu menyelanya dengan kasar dan
berlari kembali ke penginapan sambil memanggil-
manggil istrinya di balkon.

”Hei, Margery, Carol belum kembali juga. Aneh,


bukan?

”Aku tidak mendengar sahutan Margery, tapi suami-


nya berkata lagi. 'Yah, kita tak bisa menunggu lebih
lama. Kita harus segera berangkat ke Penrithar. Kau
sudah siap? Aku akan memutar mobil dulu.

”Dia melakukan seperti yang dikatakannya, dan


akhirnya mereka berdua berangkat bersama-sama. Se-
mentara itu, aku berusaha keras menenangkan diri
untuk membuktikan betapa konyolnya pikiranku tadi.
Ketika mobil itu sudah pergi, aku masuk ke pengi-
napan dan memeriksa trotoar dengan cermat. Tentu
saja tidak ada noda-noda darah di sana. Tidak ada,
jadi semua itu ternyata cuma khayalanku yang agak
melenceng. Tapi, entah kenapa, rasanya malah lebih

76
menakutkan. Pada saat aku berdiri, aku mendengar
suara nelayan itu lagi.

"Dia sedang menatapku dengan aneh. 'Anda me-


ngira telah melihat noda-noda darah di sini, eh,
Nona?

”Aku mengangguk.

”Itu aneh sekali, sungguh-sungguh aneh. Kami pu-


nya kepercayaan di sini, Nona. Kalau seseorang me-
lihat noda-noda darah itu..."

”Dia berhenti.

”Ya? kataku.

”Dia melanjutkan dengan suara lembut bernada


Cornwall, tapi halus dan terpelajar dalam pengucapan-
nya, sama sekali tidak ada logat khas Cornwall.

” Orang bilang, kalau seseorang melihat noda-noda


darah itu, akan ada kematian dalam waktu dua puluh
empat jam.

”Seram, bukan? Bulu kudukku sampai merinding


semua.

”Dia melanjutkan lagi dengan penuh keyakinan.


'Ada sebuah catatan yang sangat menarik di gereja,
Nona, tentang kematian..."

” Tidak, terima kasih, kataku dengan tegas, lalu se-


gera berbalik dan mendaki jalanan menuju pondok
yang kutempati. Tepat ketika sampai di sana, kulihat
wanita bernama Carol itu berjalan di sepanjang tepi
tebing. Dia sedang terburu-buru. Dengan latar bela-
kang batu-batuan kelabu, dia tampak seperti bunga
merah tua beracun. Topinya berwarna merah darah...

”Aku mengguncang diriku. Sungguh, rasanya otak-


ku penuh dengan darah.

77
”Tak lama kemudian, aku mendengar derum mobil-
nya. Aku ingin tahu apakah dia juga pergi ke Pen-
rithar tapi ternyata dia mengambil jalan di sebelah
kiri, yang merupakan arah berlawanan. Aku memper-
hatikan mobilnya mendaki bukit dan menghilang,
dan entah kenapa dadaku terasa lebih lapang. Rathole
tampaknya jadi sepi dan tenteram seperti semula.”

"Kalau cuma itu,” kata Raymond West ketika Joyce


berhenti bercerita, "aku bisa langsung mengemukakan
pendapatku. Pencernaan yang kurang baik, bintik-bin-
tik hitam dalam pandangan mata setelah makan.”

”Bukan cuma itu,” kata Joyce. "Kau harus mende-


ngar lanjutannya. Dua hari kemudian, aku membaca
artikel di koran tentang “Tragedi Berenang di Laut.
Beritanya menyangkut Mrs. Dacre, istri Kapten
Dennis Dacre, yang bernasib sial dan tenggelam di
Teluk Landeer, yang letaknya tidak terlalu jauh di
tepi pantai. Dia dan suaminya sedang menginap di
hotel di sana dan memang berniat untuk berenang,
tapi tiba-tiba bertiup angin dingin. Kapten Dacre me-
nyatakan udara terlalu dingin, jadi dia bersama orang-
orang lainnya di hotel pergi bermain golf di lapangan
di dekat sana. Tapi Mrs. Dacre berkata udara tidak
terlalu dingin baginya, dan pergi sendiri menuju te-
luk. Ketika dia tidak kembali, suaminya jadi cemas,
dan bersama teman-temannya pergi ke pantai. Mereka
menemukan bajunya tergeletak di samping sebuah
batu, tapi tidak ada jejak wanita malang itu. Tubuh-
nya baru ditemukan hampir seminggu kemudian,
ketika ombak mendamparkannya ke pantai yang tidak
terlalu jauh dari situ. Kepalanya terluka parah dan

78
terjadi sebelum dia meninggal, jadi kesimpulannya dia
pasti telah mencebur ke laut dan kepalanya memben-
tur batu. Sejauh yang bisa kutaksir, kematiannya ter-
jadi tepat dua puluh empat jam setelah aku melihat
noda-noda darah itu.”

”Aku protes,” kata Sir Henry. ”Ini bukan masa-


lah—ini cerita hantu. Miss Lemprigre sudah pasti se-
orang cenayang.”

Mr. Petherick terbatuk-batuk kecil seperti biasa.

”Ada satu hal yang menarik perhatianku,” katanya.


”Benturan di kepala itu. Kurasa kita tidak boleh me-
nyampingkan adanya perbuatan keji di sini. Tapi ku-
lihat kita tidak punya data apa pun untuk menyelidiki-
nya. Halusinasi Miss Lempriere, atau khayalannya,
memang menarik, tapi aku tidak mengerti maksud
ceritanya.”

”Salah pencernaan dan kebetulan,” kata Raymond.


”Bagaimanapun, kita tak bisa yakin bahwa mereka
adalah orang-orang yang sama. Lagi pula kutukan itu,
atau entah apa namanya, cuma menyangkut pendu-
duk asli Rathole.”

”Kurasa pelaut yang seram itu ada kaitannya de-


ngan cerita ini,” kata Sir Henry. "Tapi aku setuju de-
ngan Mr. Petherick, Miss Lempritre hanya memberi-
kan data sedikit sekali.”

Joyce beralih pada Dr. Pender yang tersenyum dan


menggeleng.

"Cerita yang sangat menarik,” katanya, "tapi aku


juga sependapat dengan Sir Henry dan Mr. Petherick
bahwa data yang ada cuma sedikit sekali.”

79
Joyce kemudian memandang ingin tahu pada Miss
Marple, yang balas tersenyum ke arahnya.

”Kurasa kau agak tidak adil, Joyce sayang,” katanya.


”Tentu saja bagiku tidak masalah. Maksudku, kita se-
bagai wanita, sering memperhatikan pakaian-pakaian.
Kurasa tidak adil menceritakan kasus ini pada kaum
laki-laki. Pasti dia mesti sering mengganti pakaiannya
dengan cepat sekali. Betul-betul wanita yang jahar!
Tapi yang laki-laki lebih jahat lagi.”

Joyce menatapnya.

”Bibi Jane,” katanya. "Miss Marple, maksudku, aku


yakin... sungguh-sungguh yakin bahwa Anda tahu ke-
benarannya.”

”Yah, Sayang,” kata Miss Marple, ”lebih gampang


bagiku duduk di sini dengan tenang daripada bagi-
mu—dan karena kau adalah seniman, kau lebih
gampang hanyut terbawa suasana, bukan? Tapi kalau
kita cuma duduk-duduk sambil merajut, kita cuma
melihat fakta-faktanya. Noda-noda darah di trotoar
itu menetes dari baju renang yang tergantung di
balkon, dan karena warnanya merah, tentu saja para
penjahat itu sendiri tidak sadar bahwa baju itu ada
noda darahnya. Wanita yang malang, kasihan!”

"Maafkan, Miss Marple,” kata Sir Henry, ”tapi aku


masih betul-betul buta. Anda dan Miss Lempritre
tampaknya tahu apa yang sedang kalian bicarakan,
tapi kami para laki-laki masih betul-betul buta.”

”Aku akan menceritakan bagian akhir kisah ini,”


kata Joyce. "Kejadiannya setahun yang lalu. Aku se-
dang berada di tepi pantai di daerah timur dan sedang
asyik melukis, ketika tiba-tiba aku dihinggapi perasaan

80
aneh, seperti kalau kita merasa suatu peristiwa pernah
terjadi sebelumnya. Ada dua orang, laki-laki dan wa-
nita, berjalan di trotoar di depanku, dan mereka se-
dang menyapa orang ketiga, seorang wanita yang me-
ngenakan gaun lebar berwarna merah tua. "Carol,
astaga, menyenangkan sekali! Bayangkan bisa bertemu
denganmu lagi setelah bertahun-tahun. Kau kenal istri-
ku? Joan, ini teman lamaku, Miss Harding.

”Aku segera mengenali laki-laki itu. Memang


Dennis yang sama dengan yang pernah kulihat di
Rathole. Istrinya lain—kali ini Joan, bukan Margery,
tapi tipenya sama, muda, agak lusuh, dan sangat
biasa. Sejenak kupikir aku sudah gila. Mereka mulai
merencanakan untuk berenang. Dan aku... aku ber-
gegas menuju kantor polisi terdekat. Kukira mereka
pasti menganggapku gila, tapi aku tak peduli. Dan
kenyataannya semuanya beres. Ada seorang laki-laki
dari Scotland Yard di sana, dan dia memang datang
khusus untuk menyelidiki kasus itu. 'Tampaknya—oh,
mengerikan sekali untuk diceritakan—polisi mencu-
rigai Dennis Dacre. Itu bukan nama aslinya—dia
mengambil nama yang berbeda setiap kali. Dia suka
berkenalan dengan gadis-gadis, biasanya yang pendiam
dan bertampang biasa-biasa saja serta tidak punya ba-
nyak famili atau teman. Dia akan menikahi gadis itu,
mengasuransikan jiwa mereka dalam jumlah besar,
dan kemudian—oh, mengerikan sekali! Wanita ber-
nama Carol itu adalah istrinya yang sesungguhnya,
dan mereka selalu memainkan sandiwara yang sama.
Itu sebabnya polisi berhasil mencium jejaknya. Perusa-
haan-perusahaan asuransi menjadi curiga. Dia akan

81
mengunjungi suatu tempat yang tenang di tepi pantai
dengan istri barunya, kemudian Carol akan muncul
dan mereka akan pergi berenang bersama-sama. Lalu
si istri akan dibunuh dan Carol akan mengenakan
baju wanita itu, dan kembali dengan naik perahu mo-
tor bersama suaminya. Kemudian mereka akan me-
ninggalkan tempat itu, di mana pun letaknya, setelah
pura-pura menanyakan tentang Carol, dan ketika me-
reka sudah berada di luar kota, Carol akan buru-buru
mengenakan bajunya sendiri yang mencolok mata,
meriasi wajahnya dengan riasan tebal, kembali lagi
untuk mengambil mobilnya dan pergi. Mereka akan
menyelidiki ke arah mana air laut mengalir, dan ke-
matian pura-pura itu akan terjadi pada tempat bere-
nang berikutnya di sepanjang pesisir itu. Carol akan
memainkan peranan si istri dan pergi ke suatu tempat
sunyi di pantai, meninggalkan baju istri tersebut di
atas batu, mengenakan bajunya sendiri yang norak,
dan pergi menunggu suaminya untuk bergabung de-
ngannya.

”Kukira ketika mereka membunuh Margery ada


darah yang menyembur ke baju renang Carol, dan
karena baju itu berwarna merah, mereka tidak
memperhatikannya, seperti kata Miss Marple. Tapi
ketika mereka menggantungnya di balkon, darah itu
menetes. Ugh!” Joyce mengernyit. "Aku masih bisa
membayangkannya.”

”Tentu saja,” kata Sir Henry, "aku ingat dengan


jelas sekarang. Nama asli laki-laki itu adalah Davis.
Aku lupa bahwa salah satu alias yang dipakainya ada-
lah Dacre. Mereka memang pasangan yang sangat

82
cerdik. Menurutku aneh sekali tak seorang pun mem-
perhatikan adanya perubahan identitas itu. Kurasa,
seperti kata Miss Marple, baju lebih gampang dikenali
ketimbang wajah: tapi perbuatan mereka betul-betul
pintar, karena meskipun kami mencurigai Davis, tidak
gampang membuktikan kejahatannya, karena tampak-
nya dia selalu mempunyai alibi yang kuat.”

”Bibi Jane,” kata Raymond, sambil memandangnya


ingin tahu, "bagaimana Bibi bisa menebaknya? Kehi-
dupan Bibi kan selalu tenang-tenang saja, tapi rasanya
tak ada yang bisa mengagetkan Bibi.”

”Banyak kejadian yang mirip satu sama lain di du-


nia ini,” ujar Miss Marple. "Misalnya Mrs. Green.
Dia mengubur lima anak—dan masing-masing mereka
diasuransikan. Yah, akhirnya orang mulai curiga.”

Dia menggeleng-geleng.

"Kejahatan juga sering terjadi di desa. Kuharap ka-


lian yang masih muda-muda takkan pernah menyadari
betapa jahatnya dunia ini.”

83
BAB 5
MOTIF VS KESEMPATAN

MR. PETHERICK berdeham-deham melancarkan


kerongkongannya dengan gaya dibuat-buat, melebihi
biasanya.

”Aku khawatir kasus kecilku ini terasa agak sepele


bagi kalian semua,” katanya dengan nada minta maaf,
”kalau dibandingkan dengan cerita-cerita sensasional
yang telah kita dengar tadi. Tidak ada pertumpahan
darah dalam ceritaku ini, tapi menurutku cukup me-
narik dan unik. Untungnya posisiku memungkinkan
aku mengetahui jawaban yang sebenarnya.”

"Tidak terlalu berbau hukum, kan?” tanya Joyce


Lempriere. "Maksudku tidak menyangkut undang-un-
dang, peraturan-peraturan, dan sejenisnya itu.”

Mr. Petherick memandangnya dengan geli dari ba-

lik kacamata.
"Tidak, tidak, Nona manis. Kau tidak perlu kha-

84
watir. Cerita yang akan kukisahkan ini betul-betul
sederhana dan terbuka, sehingga bisa dipahami oleh
orang awam.”

"Tidak memakai istilah-istilah hukum, kan?” kata


Miss Marple sambil menggoyangkan jarum rajutnya
ke arah Mr. Petherick.

”Tentu saja tidak,” sahut Mr. Petherick.

”Ah, aku tidak yakin, tapi mari kita dengar cerita


itu.”

”Ini berkaitan dengan salah seorang bekas klienku.


Kita sebut saja dia Mr. Clode—Simon Clode. Dia
sangat kaya dan tinggal di sebuah rumah besar, tidak
terlalu jauh dari sini. Dia punya seorang anak laki-
laki yang terbunuh dalam perang, dan anak ini me-
ninggalkan satu anak, seorang gadis kecil. Ibunya
meninggal ketika melahirkannya, dan setelah kematian
ayahnya, dia terpaksa tinggal dengan kakeknya yang
langsung merasa sangat menyayanginya. Chris, si ga-
dis kecil itu, bisa berbuat apa saja dengan kakeknya.
Belum pernah kulihat seorang laki-laki yang begitu
menyayangi anak kecil sedemikian rupa, dan aku tak
bisa menggambarkan kesedihan serta keputusasaan
Simon Clode ketika pada umur sebelas tahun, anak
itu terserang radang paru-paru dan meninggal.

”Simon Clode yang malang betul-betul tak terhibur


lagi. Kebetulan salah seorang adik laki-lakinya baru
saja meninggal dalam keadaan miskin, dan Simon
Clode berbaik hati menawarkan diri untuk menam-
pung anak-anak adiknya itvu—dua gadis, Grace dan
Mary, dan seorang anak laki-laki, George. Tapi meski-
pun ramah dan murah hati pada keponakan-ke-

85
ponakannya, orang tua itu tak pernah mencintai dan
menyayangi mereka seperti terhadap cucu kecilnya
dulu. Dia mencarikan pekerjaan untuk George Clode
di sebuah bank di dekat sana. Grace menikah dengan
seorang ahli kimia yang pintar, bernama Philip
Garrod. Mary, yang pendiam dan agak tertutup, tetap
tinggal di rumah dan merawat pamannya. Kukira dia
menyayangi pamannya itu dengan caranya sendiri
yang tenang. Jadi, segalanya tampak lancar dan beres-
beres saja. Selain itu, setelah kematian Christobel ke-
cil, Simon Clode datang ke kantorku dan menyuruh-
ku membuat surat wasiat baru. Berdasarkan surat
wasiat itu, kekayaannya, yang jumlahnya sangat besar,
akan dibagi sama rata di antara keponakannya, ma-
sing-masing mendapat sepertiga bagian.

"Waktu berjalan terus. Suatu hari, aku kebetulan


bertemu dengan George Clode. Kutanyakan keadaan
pamannya, yang sudah cukup lama tidak kujumpai.
Aku kaget melihat wajah George Clode menjadi su-
ram. 'Kuharap Anda bisa menyadarkan Paman
Simon, katanya kesal. Raut wajahnya yang tampak
jujur tapi tidak terlalu pintar itu kelihatan bingung
dan cemas. "Urusan roh itu jadi semakin buruk.

"Urusan roh apa? tanyaku, betul-betul kaget.

"Kemudian George menceritakan apa yang terjadi.


Rupanya Mr. Clode pelan-pelan mulai tertarik dengan
urusan memanggil roh, dan pada puncaknya dia ke-
betulan bertemu dengan seorang cenayang berkebang-
saan Amerika, Mrs. Eurydice Spragg. George yakin
wanita itu penipu ulung. Dia telah betul-betul memi-
kat hati Simon Clode. Dia sering sekali datang ke

86
rumah mereka dan mengadakan banyak ritual pemang-
gilan arwah, di mana roh Christobel menampakkan
diri pada kakeknya tersayang.

”Harus kuakui, aku bukanlah orang yang mem-


benci hal-hal yang berkaitan dengan spiritualisme,
sampai harus mengejek atau menyindir orang-orang
yang percaya. Seperti sudah kukatakan, aku hanya
percaya pada bukti-bukti. Kukira kalau kita punya
pemikiran yang netral dan mau menimbang bukti-
bukti yang mendukung spiritualisme, banyak di
antaranya yang tidak bisa dianggap penipuan atau di-
abaikan begitu saja. Karena itu, seperti kataku tadi,
aku bukan orang yang percaya ataupun tidak percaya.
Ada kesaksian-kesaksian tertentu yang membuat kita
tak bisa menolak untuk setuju.

”Di sisi lain, spiritualisme memang mudah dijadi-


kan ajang penipuan dan kecurangan, dan dari seluruh
cerita George Clode padaku tentang Mrs. Eurydice
Spragg ini, aku semakin yakin bahwa Simon Clode
sedang terjerat dan bahwa Mrs. Spragg mungkin ada-
lah penipu yang paling licik. Orang tua itu, meskipun
tajam dalam hal-hal yang praktis, gampang luluh
pada hal-hal yang menyangkut rasa sayangnya terha-
dap cucunya yang sudah meninggal itu.

”Setelah kutimbang-timbang, aku merasa semakin


tidak enak. Aku senang pada Mary dan George, dan
aku sadar bahwa pengaruh Mrs. Spragg terhadap pa-
man mereka mungkin akan menimbulkan masalah di
masa yang akan datang.

"Jadi, begitu ada kesempatan, aku segera membuat


janji bertemu dengan Simon Clode. Kulihat Mrs.

87
Spragg ada di sana sebagai tamu terhormat dan akrab.
Begitu melihatnya, segala bayangan burukku menjadi
kenyataan. Wanita itu gemuk dan sudah setengah
baya, mengenakan baju yang norak dan senang meng-
ucapkan kata-kata seperti, "Saudara kita yang telah
meninggal dunia dan yang sejenisnya.

”Suaminya juga tinggal di rumah itu, Mr. Absalom


Spragg, seorang laki-laki kurus dan rapuh dengan raut
muka melankolis dan pandangan mata yang suka
menghindar. Begitu ada kesempatan, aku segera meng-
ajak Simon Clode untuk berbicara empat mata ten-
tang hal ini. Dia sangat antusias. Katanya Eurydice
Spragg betul-betul hebat! Jawaban atas doa-doanya!
Wanita itu tidak peduli dengan uang: kebahagiaan
karena telah menolong seseorang sudah cukup bagi-
nya. Dia punya perasaan seorang ibu terhadap Chris
kecil. Simon Clode bahkan mulai menganggapnya
seperti anak perempuannya sendiri. Kemudian dia
menceritakan padaku dengan lebih rinci—bagaimana
dia telah mendengar suara Chris berbicara—bahwa
anak itu baik-baik saja dan bahagia bersama ayah dan
ibunya. Dia terus mengemukakan hal-hal sentimental
yang disampaikan oleh anak kecil itu, yang dalam
ingatanku tentang Christobel sangat tak mungkin di-
lakukannya. Anak itu menekankan bahwa 'Ayah dan
Ibu menyayangi Mrs. Spragg yang baik hati”.

”Tapi tak mungkin kau memercayainya, katanya.


'Kau pasti akan mencemooh semuanya, Petherick.

”Tidak, aku tidak mencemooh apa-apa. Sama


sekali tidak. Beberapa orang yang pernah menulis
tentang topik-topik seperti itu adalah orang-orang

88
yang kesaksiannya tak mungkin bisa kuragukan, dan
aku akan mendukung cenayang mana pun yang
mereka rekomendasikan dengan penuh rasa hormat
dan keyakinan. Kurasa Mrs. Spragg ini juga punya
rekomendasi yang bagus?

”Simon langsung bercerita tentang Mrs. Spragg de-


ngan berapi-api. Wanita itu telah dikirim dari surga
untuknya. Mereka bertemu di suatu tempat liburan,
di mana Simon tinggal selama dua bulan di musim
panas. Pertemuan yang tak disengaja, tapi hasilnya
sungguh mengagumkan!

”Akhirnya aku pulang dengan perasaan sangat tidak


puas. Kecemasanku yang terburuk menjadi kenyataan,
tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Setelah memikir-
kannya masak-masak, kuputuskan untuk menulis pada
Philip Garrod, yang baru saja menikah dengan gadis
sulung Clode itu, Grace. Kuceritakan masalah itu
padanya—tentu saja dalam bahasa yang sangat halus.
Kukemukakan bahaya-bahaya yang mungkin timbul
bila wanita seperti Mrs. Spragg berhasil mempermain-
kan pikiran orang tua itu. Aku mengusulkan agar Mr.
Clode, kalau memungkinkan, diperkenalkan pada
ahli-ahli spiritualisme lainnya yang terkenal. Kurasa
ini bukan hal sulit bagi Philip Garrod.

”Garrod langsung mengambil tindakan. Dia tahu—


sedangkan aku tidak—bahwa kesehatan Simon Clode
saat itu sedang kritis sekali, dan sebagai laki-laki yang
praktis, dia tidak mau istri atau ipar-iparnya dicoret
dari daftar ahli waris yang merupakan hak penuh me-
reka. Dia datang pada minggu berikutnya dengan
mengajak seorang tamu yang tak lain dan tak bukan

89
adalah Profesor Longman yang terkenal. Longman
sangat cerdas. Berkat dialah spiritualisme menjadi to-
pik yang terhormat. Selain cerdas, dia juga sangat
menjunjung kejujuran dan ketulusan.

”Tapi ternyata hasil dari kunjungan itu tidak bagus.


Longman tampaknya cuma bicara sedikit-sedikit saja
saat berada di sana. Mereka mengadakan ritual pe-
manggilan arwah dua kali—dalam kondisi bagaimana
aku tidak tahu. Longman tidak memberi komentar
apa-apa selama menginap di rumah itu, tapi setelah
pulang, dia menulis surat pada Philip Garrod. Dalam
surat itu dia mengakui bahwa dia tidak berhasil men-
deteksi kecurangan pada diri Mrs. Spragg, tapi secara
pribadi dia berpendapat ritual-ritual pemanggilan ar-
wah tersebut tidak asli. Mr. Garrod, katanya, boleh
menunjukkan surat itu kepada pamannya kalau dirasa
perlu, dan dia menganjurkan agar Mr. Clode diper-
kenalkan pada cenayang yang integritasnya terjamin.

”Philip Garrod langsung menunjukkan surat itu


pada pamannya, tapi hasilnya sama sekali tidak seperti
yang diharapkan. Orang tua itu menjadi sangat be-
rang. Menurutnya, itu adalah rencana busuk untuk
menjatuhkan Mrs. Spragg yang baik budi dan tulus!
Mrs. Spragg tampaknya telah bercerita padanya bahwa
banyak orang yang iri dan benci padanya di negara
ini. Simon Clode mengatakan bahwa Longman ter-
bukti tidak berhasil mendeteksi adanya kecurangan.
Eurydice Spragg datang padanya pada masa tergelap
dalam hidupnya, telah menolong dan menghiburnya,
dan dia siap mendukung wanita itu, meski itu berarti
dia harus bertengkar dengan seluruh anggota ke-

90
luarganya. Wanita itu jauh lebih berarti baginya
ketimbang siapa pun di dunia ini.

”Philip Garrod diusirnya dengan galak dari rumah


itus tapi akibat kemarahannya, kesehatan Clode sen-
diri jadi semakin buruk. Selama bulan terakhir itu dia
terus terbaring di ranjang, dan tampaknya akan tetap
demikian, sampai kematian datang menjemputnya.
Dua hari setelah Philip pergi, aku menerima pang-
gilan mendesak. Lekas-lekas aku ke sana. Clode ada
di ranjang dan kelihatannya, bahkan untuk mata
orang awam, betul-betul sakit parah. Napasnya ter-
sengal-sengal.

"Hidupku hampir berakhir” katanya. 'Aku bisa


merasakannya. Jangan membantah, Petherick. Tapi
sebelum mati, aku akan melaksanakan kewajibanku
pada seseorang yang telah memberi begitu banyak
padaku ketimbang siapa pun di dunia ini. Aku ingin
membuat surat wasiat baru.'

"Tentu saja, kataku. 'Aku akan merancang surat


wasiat itu sesuai keinginanmu dan mengirimkannya
padamu.

”Tidak, katanya. 'Aku mungkin akan mati nanti


malam. Aku sudah menuliskan apa yang kuinginkan
di sini? Dia meraba-raba di bawah bantalnya. 'Kau
tinggal mengatakan, apa itu sudah benar atau tidak.

”Dia mengeluarkan selembar kertas berisi beberapa


kalimat yang ditulis dengan pensil. Betul-betul seder-
hana dan jelas. Dia mewariskan 5.000 pound bagi
masing-masing keponakannya, dan sisa hartanya yang
banyak itu diwariskannya kepada Eurydice Spragg,
sebagai 'ungkapan terima kasih dan kekaguman.

91
”Aku tidak menyukainya, tapi begitulah kemauan-
nya. Aku tak bisa mengatakan surat wasiat itu dibuat
dalam kondisi pikiran yang kacau, karena orang tua
itu betul-betul waras.

”Dia membunyikan bel, memanggil dua orang pe-


layan. Mereka segera datang. Pelayan rumah itu,
Emma Gaunt, adalah seorang wanita jangkung ber-
umur setengah baya, dan telah bertahun-tahun bekerja
di rumah itu. Dia telah merawat Clode dengan setia.
Bersamanya datang juga si koki, seorang wanita muda
yang montok dan periang, berumur tiga puluhan.
Simon Clode menatap mereka dengan tajam dari ba-
wah alisnya yang tebal.

”Aku ingin kalian menjadi saksi dari surat wasiat-


ku. Emma, ambilkan pulpenku.

”Dengan patuh Emma menghampiri meja tulis.

”Bukan di laci kiri itu, kata Simon dengan jengkel.


'Apa kau tidak tahu kalau letaknya di laci kanan?”

”Tidak, Sir, letaknya di sini” sahut Emma sambil


mengulurkan pulpen itu.

” Kalau begitu, kau pasti salah taruh waktu menyim-


pannya dulu, gerutu orang tua itu. 'Aku tidak senang
barang-barangku disimpan secara sembarangan.”

”Sambil terus menggerutu, dia mengambil pulpen


itu dari Emma dan menyalin isi surat wasiat ran-
cangannya yang telah kusempurnakan, pada selembar
kertas baru. Kemudian dia menandatanganinya.
Emma Gaunt dan si koki, Lucy David, juga menanda-
tanganinya. Aku melipat surat wasiat itu dan me-
masukkannya ke dalam sebuah amplop biru panjang.

92
Perlu kalian ketahui, surat wasiat itu ditulis pada se-
lembar kertas putih biasa.

"Tepat ketika para pelayan itu hendak meninggalkan


kamar, Clode berbaring kembali di bantalnya sambil
megap-megap, wajahnya mengernyit. Aku membung-
kuk memeriksanya dengan khawatir, sementara Emma
Gaunt buru-buru kembali lagi. Tapi ternyata orang tua
itu pulih kembali dan tersenyum lemah.

”Aku baik-baik saja, Petherick, jangan cemas. Ba-


gaimanapun, aku bisa mati dengan tenang sekarang,
setelah melakukan apa yang kuinginkan.'

”Emma Gaunt memandangku, seolah-olah bertanya


apakah dia boleh meninggalkan kamar. Aku mengang-
guk yakin padanya dan dia keluar—sebelumnya mem-
bungkuk dulu untuk memungut amplop biru itu,
yang ternyata terjatuh di lantai gara-gara aku khawatir
tadi. Dia memberikannya padaku dan aku segera me-
masukkannya lagi ke saku mantel. Setelah itu dia ke-
luar.
”Kau tidak senang, Petherick, ujar Simon Clode.
'Kau juga berprasangka buruk, sama seperti orang-
orang lainnya."

”Ini bukan soal prasangka buruk, kataku. 'Mrs.


Spragg mungkin saja cenayang sejati, seperti yang di-
katakannya. Aku tidak keberatan kalau kau meninggal-
kan sejumlah kecil warisan untuknya, sebagai ungkapan
terima kasih: tapi terus terang, Clode, menyangkal
sanak saudaramu sendiri dan lebih memperhatikan
orang asing itu salah.”

”Setelah itu aku pamit pulang. Aku telah berusaha


sebisaku dan mengemukakan keberatanku.

93
”Mary Clode keluar dari ruang duduk dan me-
nemuiku di gang.

”Mari minum teh dulu sebelum pulang. Lewat


sini” Dia membimbingku memasuki ruang keluarga.
”Perapiannya sudah dinyalakan dan ruangan itu tam-
pak nyaman dan ceria. Dia membantu melepaskan
mantelku tepat ketika adik laki-lakinya, George, ma-
suk ke ruangan itu. Dia mengambil mantelku dari
Mary dan menyampirkannya di kursi yang terletak di
ujung ruangan, kemudian kembali menghampiri per-
apian tempat kami duduk dan minum teh. Kami
mengobrol dengan asyik, dan pembicaraan kemudian
berkisar pada masalah rumah itu dan tanahnya.
Simon Clode tidak mau dipusingkan dengan hal itu
dan menyuruh George yang memutuskan. George
agak cemas jika harus mengambil keputusan sendiri.
Akhirnya atas usulanku, kami pergi ke ruang kerja
setelah minum teh, dan aku memeriksa dokumen-do-
kumen yang menjadi sumber kecemasannya itu. Mary
Clode menemani kami.

”Seperempat jam kemudian, aku siap untuk ber-


pamitan. Aku ingat telah meninggalkan mantelku di
ruang keluarga, maka aku kembali ke sana untuk
mengambilnya. Satu-satunya orang yang ada di sana
adalah Mrs. Spragg, yang saat itu sedang berlutut di
samping kursi tempat mantelku disampirkan. Dia tam-
paknya sedang melakukan sesuatu yang tidak perlu
pada alas kursi. Dengan wajah merah dia segera ber-
diri begitu melihat kami masuk.

”Alas itu tidak bagus letaknya, katanya, 'Huh!


Saya bisa membuatnya dengan lebih baik."

94
”Aku mengambil mantelku dan memakainya. Wak-
tu itu aku baru sadar bahwa amplop berisi surat wa-
siat telah terjatuh dari sakuku dan tergeletak di lantai.
Aku memasukkannya kembali ke saku, mengucapkan
selamat tinggal, dan pulang.

"Sesampainya di kantor... Aku akan menceritakan


dengan perlahan-lahan segala yang kulakukan. Per-
tama-tama, aku melepas mantelku dan mengambil
surat wasiat itu dari sakunya. Aku sedang menim-
bang-nimbangnya di tanganku sambil berdiri bertum-
pu pada sisi meja, ketika pegawaiku masuk. Ada
orang yang ingin berbicara denganku di telepon, dan
sambungan di mejaku ternyata sedang rusak. Maka
aku keluar bersamanya ke bagian depan kantor dan
bicara di telepon selama lima menit.

”Ketika selesai, kulihat pegawaiku sudah menung-


gu.
”'Mr. Spragg datang untuk menemui Anda. Saya
sudah menyilakannya masuk ke ruangan Anda.

Aku masuk ke ruanganku dan melihat Mr. Spragg


sedang duduk di depan meja. Dia berdiri dan me-
nyapaku dengan sikap agak dibuat-buat, kemudian
mulai bicara panjang lebar. Secara garis besar, tujuan-
nya menemuiku hanyalah untuk menceritakan posisi-
nya dan istrinya yang tidak enak. Dia khawatir orang-
orang akan mengatakan yang bukan-bukan. Istrinya
itu sejak kecil sampai dewasa selalu memiliki hati dan
maksud yang tulus... dst. dst. Kukira sikapku waktu
itu agak ketus terhadapnya. Akhirnya dia sadar bahwa
kunjungannya tidak berhasil, dan dia minta diri
dengan tiba-tiba. Aku lantas ingat telah meninggalkan

95
surat wasiat itu di meja. Aku mengambilnya,
mengelem amplopnya, menulisinya, dan menyimpan-
nya di lemari besi.

”Sekarang aku sampai pada bagian terpenting cerita-


ku. Dua bulan kemudian, Mr. Simon Clode mening-
gal. Aku tidak akan membahasnya secara panjang
lebar aku hanya akan mengemukakan fakta-faktanya.
Ketika amplop tertutup berisi surat wasiat itu dibuka,
yang ada cuma selembar kertas putih dan kosong”

Dia berhenti, memandang ke sekelilingnya pada


wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu. Dia terse-
nyum sendiri dengan perasaan puas.

”Kalian memahami maksudku, bukan? Selama dua


bulan amplop tertutup itu tersimpan dalam lemari
besiku. Tak mungkin ada yang bisa mengutak-atiknya.
Tidak, jangka waktunya terlalu sempit—hanya antara
saat surat wasiat itu ditandatangani dan saat aku me-
nyimpannya dalam lemari besi. Sekarang, siapa yang
punya kesempatan dan berkepentingan untuk melaku-
kannya?

”Aku akan merangkum hal-hal yang penting secara


singkat. Surat wasiat itu ditandatangani oleh Mr.
Clode, dimasukkan dalam amplop olehku—sejauh ini
masih baik-baik saja. Kemudian aku memasukkannya
ke saku mantelku. Mantel itu kemudian diambil oleh
Mary dan diberikan pada George, yang dapat kulihat
dengan jelas sekali sementara dia menyampirkannya
pada sebuah kursi. Selama aku berada di ruang kerja,
Mrs. Eurydice Spragg mestinya punya banyak waktu
untuk mengeluarkan amplop itu dari saku mantelku
dan membaca isinya. Kenyataan bahwa aku

96
menemukan amplop itu di lantai, bukan di sakuku,
tampaknya menunjukkan bahwa dia memang
melakukannya. Tapi ada hal yang janggal: dia punya
kesempatan untuk menukar isi amplop itu dengan ker-
tas kosong, tapi motifnya tidak ada. Surat wasiat itu
justru menguntungkannya, dan dengan menukarnya
dengan selembar kertas kosong, dia malah mencoret
dirinya dari warisan yang diincarnya selama ini. Hal
yang sama berlaku untuk Mr. Spragg. Dia juga punya
kesempatan. Dia ditinggal sendirian bersama dokumen
itu selama dua atau tiga menit di kantorku. Tapi se-
kali lagi, itu justru tidak menguntungkannya. Jadi,
kita dihadapkan pada masalah aneh ini: dua orang
punya kesempatan untuk menukar kertas kosong itu,
tapi tidak punya motif untuk melakukannya, semen-
tara dua orang yang punya motif tidak punya kesem-
patan. Oh ya, aku tidak akan membebaskan pelayan
itu, Emma Gaunt, dari kecurigaan. Dia sangat setia
pada tuan dan nona-nona mudanya, dan membenci
pasangan Spragg. Aku yakin dia pasti bersedia me-
nukar surat wasiat itu kalau dia sempat memikirkan-
nya. Tapi meskipun dia pernah memegang amplop itu
ketika memungutnya dari lantai dan memberikannya
padaku, dia jelas-jelas tak punya kesempatan untuk
mengutak-atik isinya dan tak mungkin menukar am-
plop itu dengan amplop lain dengan gerakan tangan
yang cepat (ini sudah jelas tak mungkin), karena aku
sendiri yang membawa amplop tersebut ke rumah itu,
dan rasanya tak seorang pun bisa mempunyai duplikat-

nya.

97
Dia memandang sekeliling lagi dengan wajah
berseri-seri.

”Nah, itulah kasus kecilku. Kuharap aku telah men-


ceritakannya dengan jelas. Aku ingin mendengar tang-
gapan kalian.”

Semua orang kaget ketika Miss Marple tiba-tiba


tertawa cekikikan. Kelihatannya ada sesuatu yang
membuatnya geli setengah mati.

”Ada apa, Bibi Jane? Boleh kami tahu apa yang


lucu?” tanya Raymond.

”Aku sedang memikirkan si kecil Tommy Symonds,


anak bengal kurasa, tapi kadang-kadang sangat lucu.
'Tampangnya lugu dan polos, tapi selalu senang ber-
buat iseng dan nakal. Aku ingat minggu lalu di Se-
kolah Minggu, dia berkata, 'Bu Guru, menurut Ibu
mana yang betul, bulatan di dalam telur berwarna
putih, ataukah bulatan di dalam telur-telur berwarna
putih? Dan Miss Durston menjelaskan bahwa semua
orang akan mengatakan bulatan di dalam telur ber-
warna putih, atau bulatan-bulatan di dalam telur-telur
berwarna putih. Tapi Tommy yang nakal itu berkata,
Serahuku sih, yang betul bulatan di dalam telur ber-
warna kuning! Memang nakal sekali anak itu, tapi
cerdik seperti rubah. Aku tahu itu.”

”Memang sangat lucu, Bibi Jane yang baik,” kata


Raymond lembut, ”tapi rasanya tidak ada kaitannya
dengan cerita menarik yang disampaikan Mr.
Petherick tadi.”

”Oh, ya, ada,” sahut Miss Marple. ”Itu cuma


tipuan! Begitu juga dengan cerita Mr. Petherick. Khas

98
pengacara! Ah, kau juga nakal, temanku yang baik!”
Dia menggeleng-gelengkan kepala ke arah Mr.
Petherick.

”Aku ingin tahu, apakah Anda sungguh-sungguh


tahu,” kata Mr. Petherick sambil mengedipkan mata.

Miss Marple menulis beberapa kata di selembar


kertas, melipatnya, dan mengulurkannya pada Mr.
Petherick.

Mr. Petherick membuka kertas itu, membaca isi-


nya, dan memandang ke arah Miss Marple dengan
penuh hormat.

"Temanku yang baik,” katanya, "adakah yang tidak


Anda ketahui?”

”Aku tahu itu sejak kecil,” kata Miss Marple. ”Se-


ring menggunakannya juga untuk bermain-main.”

”Aku merasa agak bingung,” ujar Sir Henry. "Aku


yakin Mr. Petherick telah menyulap dan menyem-
bunyikan fakta-fakta hukumnya di suatu tempat.”

”Sama sekali tidak,” tukas Mr. Petherick. "Sama


sekali tidak. Ceritaku lurus dan terus terang. Anda
tak perlu memperhatikan Miss Marple. Dia punya
cara sendiri untuk mengetahui sesuatu.”

”Kita harus bisa mengetahui kebenarannya,” kata


Raymond West dengan agak bingung. ”Fakta-faktanya
tampak cukup sederhana. Ada lima orang yang telah
menyentuh amplop itu. Suami-istri Spragg sudah pasti
bisa mengutak-atiknya, tapi sudah jelas mereka tidak
melakukannya. Jadi, sisa tiga orang. Sekarang, kalau
mengingat tipuan-tipuan hebat yang dimainkan tu-
kang sulap di depan mata kita, menurutku kelihatan-

99
nya kertas itu dikeluarkan dan ditukar dengan kertas
lain oleh George Clode sementara dia membawa man-
tel itu ke ujung ruangan.”

”Yah, menurutku pelakunya adalah gadis itu,” kata


Joyce. "Kurasa pelayan itu berlari dan menceritakan
semua yang terjadi padanya, lalu dia mencari amplop
biru yang lain kemudian menukarnya.

Sir Henry menggelengkan kepala. "Aku tidak se-


tuju dengan kalian berdua,” katanya pelan. "Hal-hal
seperti itu hanya bisa dilakukan oleh tukang sulap, di
atas panggung, atau dalam novel-novel, tapi tak mung-
kin dalam kehidupan nyata, terutama di bawah peng-
awasan mata tajam seperti milik teman kita Mr.
Petherick. Tapi aku punya ide—cuma ide, tidak lebih.
Kita tahu Profesor Longman baru saja berkunjung ke
rumah itu dan dia cuma bicara sedikit. Jadi, masuk
akal kalau suami-istri Spragg jadi cemas akan akibat
dari kunjungannya tersebut. Kalau Simon Clode tidak
memercayai mereka—ini bisa saja terjadik—mereka
mungkin akan menduga maksud kunjungan Mr.
Petherick dari sudut pandang yang sama sekali ber-
beda. Mereka mungkin yakin Mr. Clode telah mem-
buat surat wasiat yang menguntungkan Eurydice
Spragg, dan yang baru itu mungkin justru mencoret-
nya gara-gara kunjungan Profesor Longman, atau ka-
rena Philip Garrod berhasil meyakinkan pamannya
tentang makna hubungan kekerabatan. Dalam hal ini,
misalkan Mrs. Spragg sudah bersiap-siap hendak me-
nukar sesuatu. Dia bermaksud melakukannya, tapi
Mr. Petherick datang pada saat yang tidak terduga,

100
sehingga dia tidak sempat membaca dokumen itu dan
buru-buru menghancurkannya di perapian, untuk ber-
jaga-jaga kalau si pengacara merasa kehilangan.”

Joyce menggeleng dengan tegas.

”Dia takkan membakarnya sebelum membaca-


nya.”

"Pemecahan itu memang agak lemah,” Sir Henry


mengaku. ”Kurasa... eh... Mr. Petherick tidak ikur
campur tangan, bukan?”

Gagasan itu cuma lelucon, tapi pengacara bertubuh


kecil itu menegakkan duduknya dan memasang muka
berang.

”Betul-betul gagasan yang tidak layak,” katanya de-


ngan agak jengkel.

”Bagaimana pendapat Dr. Pender?” tanya Sir Henry.

”Aku juga tidak punya bayangan. Kurasa


penukaran itu pasti dilakukan oleh Mrs. Spragg atau
suaminya, mungkin dengan motif seperti yang
dikatakan Sir Henry. Kalau dia baru membaca surat
wasiat itu setelah Mr. Petherick pulang, dia pasti akan
menghadapi dilema, karena dia takkan bisa mempe-
rbaiki perbuatannya. Mungkin dia akan meletakkan
surat itu di antara surat-surat Mr. Clode yang dirasa-
nya akan ditemukan setelah orang tua itu meninggal.
Tapi kenapa sampai sekarang tidak ditemukan, aku
tidak tahu. Mungkin Emma Gaunt menemukannya,
dan karena sangat menyayangi majikan-majikannya,
dia sengaja menghancurkannya.”

”Kukira pemecahan Dr. Pender adalah yang terbaik


di antara semuanya,” kata Joyce. "Betul, kan, Mr.
Petherick?”

101
Pengacara itu menggeleng.

”Aku akan menceritakan kelanjutan dari kasus itu.


Aku betul-betul tercengang dan sama bingungnya se-
perti kalian semua. Kukira aku takkan bisa menebak
kebenarannya—memang tak mungkin—tapi ada yang
memberitahu aku. Dengan cara yang cerdik sekali.

”Aku pergi untuk makan malam bersama Philip


Garrod kurang lebih satu bulan kemudian. Selama
makan, kami mengobrol, dan dia menceritakan suatu
kasus yang sangat menarik, yang baru-baru ini dide-
ngarnya dari seseorang.”

”Aku ingin menceritakannya padamu, Petherick,


tapi harus kaurahasiakan, tentu saja.'

”Aku mengerti, kataku.

”Salah seorang temanku yang mengharapkan wa-


risan dari kerabatnya, merasa sedih sekali ketika me-
ngetahui kerabatnya itu bermaksud mewariskan ke-
kayaannya pada orang yang betul-betul tidak layak
menerimanya. Temanku itu memang agak licik dalam
perbuatannya. Ada seorang pelayan di rumah itu yang
betul-betul setia pada pihak-pihak yang, kusebut saja,
pihak-pihak yang berhak. Temanku memberinya
perintah yang sangat sederhana. Dia memberikan
sebuah pulpen yang sudah diisi penuh pada si
pelayan. Pelayan itu harus meletakkannya di laci meja
tulis yang terletak di kamar tidur majikannya, tapi
bukan di laci tempat pulpen itu biasa disimpan. Kalau
suatu hari majikannya itu memintanya menjadi saksi
dari tanda tangannya di dokumen mana pun dan
menyuruhnya mengambil pulpen, si pelayan harus
memberinya pulpen duplikat, bukan pulpen yang

102
biasa. Hanya itu yang harus dilakukannya. Temanku
tidak memberi informasi lain padanya. Pelayan itu
memang setia dan dia melaksanakan segala perintah
temanku dengan patuh.

”Dia berhenti dan berkata,

”Kuharap aku tidak membuatmu bosan, Pethe-


rick.

”Sama sekali tidak, sahutku. 'Aku betul-betul ter-


tarik.

”Kami saling menatap.

"Temanku itu, tentu saja, tidak kaukenal, kata-


nya.
"Tentu saja tidak, kataku.

” Kalau begitu, tidak masalah, kata Philip Garrod.

”Dia berhenti, kemudian berkata lagi sambil ter-


senyum, 'Kau mengerti maksudnya? Pulpen itu telah
diisi dengan tinta luntur—campuran air kanji dan
beberapa tetes yodium. Cairan yang dihasilkan ber-
warna biru hitam, tapi tulisannya segera hilang setelah
empat atau lima hari.”

Miss Marple cekikikan.

”Tinta yang bisa menghilang,” katanya. "Aku tahu


itu. Aku sering bermain-main dengannya waktu kecil
dulu.”

Dan dia memandang mereka semua dengan wajah


berseri-seri, berhenti untuk menggoyangkan jarinya
sekali lagi ke arah Mr. Petherick.

”Tapi bagaimanapun, itu adalah tipuan, Mr.


Petherick,” katanya. "Khas pengacara.”

103
BAB 6

CAP JEMPOL
SANTO PETRUS

”Dan sekarang, Bibi Jane, giliran Bibi,” kata Ray-


mond West.

”Ya, Bibi Jane, kami ingin mendengar kasus yang


betul-betul asyik,” sambung Joyce Lempritre.

”Nah, aku tahu kalian akan menertawakanku,” kata


Miss Marple dengan tenang. "Kalian mengira karena
aku tinggal di tempat terpencil ini sepanjang hidupku,
aku tak mungkin punya pengalaman menarik.”

”Siapa bilang? Aku tidak pernah menganggap ke-


hidupan di desa selalu tenang dan damai,” bantah
Raymond, pura-pura tersinggung. "Apalagi setelah
mengetahui cerita-cerita seram yang kami dengar dari
Bibi! Dunia luar yang modern rasanya jadi lebih te-
nang dan damai kalau dibandingkan dengan St. Mary
Mead.”

”Yah, Raymond,” kata Miss Marple, ”sifat-sifat ma-

104
nusia kurang lebih sama di mana-mana, dan tentu
saja, kita akan lebih gampang mengamati sifat-sifat
itu dari jarak dekat di desa.”

”Anda betul-betul unik, Bibi Jane,” seru Joyce. ”Ku-


harap Anda tidak keberatan kupanggil Bibi Jane?” lan-
jutnya. "Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya.”

”Masa, Sayang?” tanya Miss Marple.

Dia mendongak sejenak dengan sinar aneh dalam


pandangan matanya, yang membuat pipi Joyce jadi
kemerah-merahan. Raymond West bergerak-gerak ge-
lisah di kursinya dan berdeham-deham dengan sikap
tersipu-sipu.

Miss Marple memandang mereka berdua dan terse-


nyum, kemudian menunduk memperhatikan rajutan-
nya lagi.

”Memang benar, hidupku selama ini tenang-tenang


saja, tapi aku punya banyak pengalaman dalam meme-
cahkan masalah-masalah kecil yang berbeda-beda.
Masalah-masalah itu ada yang betul-betul menarik,
tapi takkan ada gunanya diceritakan pada kalian, ka-
rena semuanya menyangkut hal-hal yang tidak pen-
ting, yang pasti tidak akan menarik buat kalian—mi-
salnya masalah-masalah seperti: Siapa yang telah
memotong simpul-simpul pada tas jala Mrs. Jones?
dan kenapa Mrs. Sims hanya mengenakan mantel
bulunya sekali saja? Sungguh masalah-masalah yang
sangat menarik bagi orang yang gemar mempelajari
sifat-sifat manusia. Tidak, satu-satunya pengalaman
yang bisa kuingat dan akan menarik buat kalian ada-
lah masalah yang berkaitan dengan suami keponakan-
ku, Mabel yang malang.

105
”Kejadiannya berlangsung sekitar sepuluh atau lima
belas tahun yang lalu, dan untungnya semua sudah
lewat dan beres, dan semua orang telah melupakannya.
Daya ingat manusia memang singkat sekali—untung
saja, begitulah selalu pendapatku.”

Miss Marple berhenti dan menggumam sendiri,


”Aku harus menghitung baris ini. Hitungan menurun-
nya agak membingungkan. Satu, dua, tiga, empat,
lima, lalu tiga setik balik: ivu benar. Nah, apa kataku
tadi? Oh, ya, tentang Mabel yang malang.

”Mabel adalah keponakanku. Gadis yang baik,


sungguh, betul-betul baik, tapi sikapnya mungkin bisa
dibilang agak konyol. Agak menyukai hal-hal yang
melodramatis dan ucapannya suka berlebihan kalau
sedang jengkel. Dia menikah dengan Mr. Denman
ketika berumur dua puluh dua, dan pernikahannya
tidak begitu bahagia. Aku cuma berharap pernikahan
mereka tidak akan berakibat buruk, karena Mr.
Denman gampang sekali marah—bukan jenis laki-laki
yang akan sabar dalam menghadapi kekonyolan-ke-
konyolan Mabel—dan aku juga tahu bahwa ada ke-
gilaan dalam keluarganya. Tapi gadis-gadis zaman itu
sama keras kepalanya dengan gadis-gadis zaman seka-
rang, dan akan tetap begitu di masa yang akan da-
tang. Pokoknya Mabel akhirnya menikah dengan
laki-laki itu. Setelah Mabel menikah, aku jarang ber-
temu dengannya. Sekali dua kali dia datang ke
rumahku, dan mereka juga beberapa kali meng-
undangku menginap di rumah mereka. Tapi aku
selalu memberikan alasan, karena aku tidak begitu
suka tinggal di rumah orang lain. Setelah sepuluh

106
tahun menikah, Mr. Denman tiba-tiba meninggal.
Mereka tidak punya anak, dan dia mewariskan semua
uangnya pada Mabel. Tentu saja aku menulisinya dan
menawarkan untuk datang ke rumahnya bila dia
menghendaki, tapi dia membalas suratku dengan nada
yang sangat biasa, dan kusimpulkan dia tidak terlalu
tenggelam dalam kedukaan. Kupikir itu wajar-wajar
saja, karena aku tahu hubungan mereka sudah tidak
harmonis selama beberapa waktu. Tapi ternyata tiga
bulan kemudian aku menerima surat yang betul-betul
histeris dari Mabel, memohon padaku untuk segera
datang ke rumahnya, mengatakan bahwa keadaan jadi
semakin buruk dan dia sudah tidak tahan lagi.

"Jadi, tentu saja,” lanjut Miss Marple, "aku menyu-


ruh Clara menjaga rumahku, menitipkan piring dan
buyung Raja Charles-ku di bank, dan segera berang-
kat. Aku mendapati Mabel dalam keadaan gugup dan
stres. Rumah itu, Myrtle Dene, adalah rumah yang
cukup besar, dengan perabotan lengkap dan nyaman.
Di sana ada koki dan pelayan rumah serta perawat
untuk mengurus Mr. Denman tua, ayah mertua
Mabel, yang katanya agak tidak beres pikirannya.
Sikapnya betul-betul tenang dan baik, tapi kadang-ka-
dang bisa aneh sekali. Seperti kataku tadi, memang
ada keturunan sifat gila dalam keluarga itu.

”Aku betul-betul kaget melihat perubahan pada


diri Mabel. Dia betul-betul tegang, wajahnya terus
berkedut-kedut, sehingga aku merasa sulit menyu-
ruhnya menceritakan masalahnya. Tapi akhirnya aku
berhasil mengetahuinya, secara tak langsung. Aku ber-
tanya padanya tentang beberapa temannya yang se-

107
lama ini selalu disebut-sebutnya dalam surat. Dia
bilang dia nyaris tidak pernah bertemu dengan
mereka sekarang, dan ini membuatku heran. Teman-
teman lain yang kusebutkan juga mendapat
tanggapan sama. Aku lalu menasihatinya agar tidak
mengurung diri dan merajuk terus, terutama tentang
sikap konyolnya yang tidak mau berteman lagi. Dia
langsung meledak dan menumpahkan kebenarannya.

”Itu bukan salahku, tapi mereka. Tak seorang pun


di tempat ini mau berbicara denganku sekarang. Ke-
tika aku pergi ke High Street, mereka semua menying-
kir agar tidak perlu bertemu atau berbicara denganku.
Aku seperti orang sakit lepra. Sungguh mengerikan,
dan aku tidak tahan lagi. Aku akan menjual rumah
ini dan pergi ke luar negeri. Tapi kenapa aku yang
harus pergi dari rumah ini? Aku toh tidak melakukan
apa-apa.

”Aku betul-betul khawatir. Waktu itu aku sedang


merajut selembar syal untuk Mrs. Hay yang sudah
tua, dan saking khawatirnya aku terhadap Mabel, ada
dua setikan yang lupa kubuat, dan itu baru kusadari
lama setelahnya.

”Mabel sayang, kataku, 'kau membuatku heran.


Tapi apa alasan semua ini?

”Sejak kecil Mabel selalu sulit. Aku harus bersusah


payah memintanya memberikan jawaban yang jelas
atas pertanyaan-pertanyaanku. Tapi dia cuma mengata-
kan hal yang samar-samar tentang omongan-omongan
jahat dan orang-orang pengangguran yang tidak pu-
nya kerjaan selain bergosip, serta orang-orang yang
suka menghasut.

108
”Aku mengerti itu,” kataku. 'Sudah jelas ada cerita
yang beredar mengenai dirimu. Tapi cerita apa itu,
kau pasti tahu. Dan kau harus menceritakannya pada-
ku.

”Oh, cerita itu betul-betul jahat, keluh Mabel.

”Tentu saja jahat, sahutku singkat. 'Apa pun yang


kauceritakan padaku tentang pikiran orang-orang itu
tidak akan membuatku heran atau kaget. Nah, Mabel,
maukah kau mengatakan dalam bahasa yang seder-
hana, apa yang digosipkan orang-orang tentang diri-
mu?

”Dia lalu bercerita.

"Tampaknya kematian Geoffrey Denman yang men-


dadak dan di luar dugaan telah menyebabkan orang-
orang berkasak-kusuk sendiri. Kenyataannya—dalam
bahasa yang sederhana, seperti kukatakan padanya—
orang-orang mengatakan dia telah meracuni suami-
nya.
"Nah, aku yakin kalian mengerti, tidak ada yang
lebih jahat daripada omongan-omongan seperti itu,
dan juga tidak ada yang lebih sulit untuk dilawan.
Kalau orang-orang mulai berkasak-kusuk di belakang
kita, tidak ada yang bisa kita bantah atau sangkal,
dan gosip itu akan terus berkembang tanpa ada yang
bisa menghentikannya. Tapi aku cukup yakin dengan
satu hal: Mabel tak mungkin bisa meracuni seseorang.
Dan aku tak mau hidupnya jadi berantakan dan ru-
mahnya jadi tak tertahankan hanya karena, misalkan
saja, dia telah melakukan sesuatu yang konyol dan
bodoh.

”Tidak ada asap tanpa api, kataku. 'Sekarang,

109
Mabel, kau harus menceritakan, apa yang membuat
orang-orang itu mulai berkasak-kusuk. Pasti ada se-
suatu.”

”Mabel betul-betul bingung dan mengatakan tidak


ada apa-apa—tidak ada apa-apa sama sekali, kecuali
tentu saja, kematian Geoffrey memang begitu menda-
dak. Dia tampaknya sehat-sehat saja waktu makan
malam, tapi tiba-tiba sakit parah malam itu. Dokter
dipanggil, tapi laki-laki malang itu sudah meninggal
beberapa menit sebelum dia datang. Diperkirakan ke-
matiannya gara-gara keracunan jamur.

”Yah, kataku, "kurasa kematian mendadak seperti


itu memang bisa membuat lidah orang-orang jadi ber-
goyang, tapi tentunya tidak tanpa fakta-fakta tam-
bahan lain. Apakah kau bertengkar dengan Geoffrey
atau sejenisnya?

”Dia mengaku telah bertengkar dengan suaminya


pada pagi hari itu, waktu sarapan.

”Dan kurasa pelayan-pelayan itu mendengarnya?


tanyaku.

”Mereka tidak ada di ruangan."

”Memang tidak, Sayang, kataku, 'tapi mungkin


dekat sekali di balik pintu.”

”Aku tahu betul suara Mabel yang histeris dan me-


lengking tinggi. Geoffrey Denman juga sama saja,
suka berteriak-teriak keras kalau sedang marah.

”'Apa yang kalian pertengkarkan? tanyaku.

”Oh, masalah biasa. Setiap kali selalu begitu. Salah


seorang dari kami mulai meledak, kemudian Geoffrey
mulai kalap dan menghinaku, dan aku membalasnya
dengan mengata-ngatainya.”

110
»y

Kalau begitu, kalian sering bertengkar? tanyaku.

”Itu bukan salahku.

”Mabel sayang, kataku, 'dalam hal ini tidaklah


penting siapa yang salah. Bukan itu yang hendak kita
bicarakan. Di tempat seperti ini, urusan pribadi sese-
orang boleh dibilang adalah urusan orang banyak.
Kau dan suamimu selalu bertengkar. Pagi hari itu
kalian bertengkar hebat dan malamnya suamimu tiba-
tiba meninggal secara misterius. Apa cuma itu, atau
ada lainnya lagi?

"Aku tidak mengerti apa yang Bibi maksud de-


ngan ada lainnya lagi,” kata Mabel dengan merajuk.

”Maksudku jelas, Sayang. Kalau kau telah melaku-


kan sesuatu yang konyol, demi Tuhan jangan mera-
hasiakannya sekarang. Aku cuma ingin menolongmu
sebisanya.'

”"Tak ada seorang pun yang bisa menolongku, kata


Mabel dengan putus asa, 'kecuali kematian.

"Percayalah sedikit pada Tuhan, Sayang,” kataku.


'Nah, Mabel, aku tahu betul ada hal lain yang kau-
sembunyikan.

”Sejak dia masih kecil, aku selalu tahu kalau dia


tidak berterus terang padaku. Memang butuh waktu
lama, tapi akhirnya aku mengetahuinya juga. Rupanya
dia pergi ke toko obat pagi itu dan membeli sejumlah
arsenik. Tentu saja dia harus menandatangani buku
pembelian karenanya. Jadi, wajar saja kalau si penjual
kemudian bercerita.

”'Siapa doktermu? tanyaku.


Dokter Rawlinson.'
”Aku tahu rupa dokter itu. Mabel telah menunjuk-

111

»»
kannya padaku kemarin dulu. Menurutku, dia itu
dokter tua yang sudah pikun. Pengalaman hidupku
yang banyak telah mengajarkanku tentang kecero-
bohan para dokter. Beberapa dari mereka memang
pintar, tapi beberapa tidak, malah sering kali yang
terbaik dari mereka pun tidak tahu apa yang tidak
beres dengan diri kita. Aku sendiri tidak terlalu me-
mercayai dokter-dokter dan obat-obat mereka.

”Aku memikirkan semuanya masak-masak, kemu-


dian kupakai topiku dan pergi mengunjungi dr.
Rawlinson. Dia persis seperti yang kuduga—seorang
laki-laki tua yang baik, ramah, tak jelas ucapannya,
bermata rabun, agak tuli, juga sangat mudah tersing-
gung dan peka. Dia langsung memasang tameng ketika
aku menyebut-nyebut kematian Geoffrey Denman.
Dia berbicara panjang lebar tentang berbagai jenis
jamur, yang boleh dan yang tidak boleh dimakan. Dia
telah menanyai koki, dan wanita itu mengaku bahwa
beberapa biji jamur yang dimasaknya ada yang 'sedikit
aneh, tapi karena toko sayur telah mengirimnya, dia
pikir jamur-jamur itu tidak apa-apa. Sejak ivu, semakin
memikirkan tentang jamur-jamur itu, semakin dia ya-
kin bahwa modelnya memang tidak seperti biasanya.

“Itu sudah pasti” kataku. 'Jamur-jamur itu mula-


mula rupanya biasa saja, tapi akhirnya akan berubah
menjadi oranye dengan bintik-bintik ungu. Para pe-
layan memang tidak bisa diharapkan mengingat-ingat
sesuatu dengan benar.

”Kusimpulkan bahwa Denman sudah tidak bisa


bicara ketika dokter tiba. Dia bahkan sudah tak mam-

pu menelan, dan meninggal dalam beberapa menit.

112
Dokter itu tampaknya benar-benar puas dengan serti-
fikat yang diberikannya. Tapi apakah itu gara-gara
keras kepala atau gara-gara keyakinannya, aku tidak
tahu.

”Aku langsung pulang dan menanyai Mabel


dengan terus terang alasan dia membeli arsenik.

”Kau pasti punya suatu rencana dalam otakmu,'


kataku.

”Mabel langsung menangis. 'Aku ingin bunuh diri,


ratapnya. Aku begitu sengsara. Kupikir dengan begitu
semuanya akan berakhir.”

”Apakah kau masih menyimpan arsenik itu? tanya-


ku.

”Tidak, sudah kubuang.

”Aku duduk di sana sambil membolak-balik semua


informasi dalam otakku.

”'Apa yang terjadi ketika dia kesakitan? Apakah dia


memanggilmu?

"Tidak Mabel menggeleng. 'Dia membunyikan


bel dengan nyaring sekali. Dia pasti telah membunyi-
kannya berulang kali. Akhirnya Dorothy, si pelayan
rumah, mendengarnya, dan dia membangunkan koki.
Mereka berdua turun, dan ketika melihatnya,
Dorothy ketakutan. Geoffrey sedang mengoceh tak
keruan, seperti kerasukan. Dorothy meninggalkan
koki bersamanya dan berlari untuk memanggilku.
Aku segera bangun dan melihatnya. Aku segera tahu
bahwa dia betul-betul sakit. Sayangnya Brewster, yang
merawat Mr. Denman tua, sedang pergi malam itu,
jadi tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan.
Aku menyuruh Dorothy memanggil dokter, sementara

113
aku dan koki menungguinya, tapi setelah beberapa
saat, aku tidak tahan lagi. Betul-betul seram. Aku ber-
lari kembali ke kamarku dan mengunci pintunya.

”Kau betul-betul egois dan jahat, kataku, dan tak


diragukan lagi, sikapmu itu malah menjerumuskanmu.
Koki akan menceritakannya pada siapa saja. Yah, yah,
masalah ini memang sulit,

”Selanjutnya aku berbicara dengan para pelayan.


Koki ingin bercerita padaku tentang jamur-jamur itu,
tapi aku mencegahnya. Aku sudah bosan. Sebaliknya,
aku menanyai mereka berdua dengan cermat sekali ten-
tang kondisi majikan mereka malam itu. Mereka berdua
sependapat bahwa dia tampaknya kesakitan sekali dan
tidak bisa menelan, serta berbicara dengan suara terce-
kik. Ketika akhirnya dia berbicara, yang kedengaran
cuma seperti suara ocehan—tidak masuk akal.

”'Apa yang dikatakannya sewaktu mengoceh? tanya-


ku ingin tahu.

"Sesuatu tentang jenis ikan tertentu, bukan? si


koki melirik temannya.

”Dorothy mengangguk.

”Timbunan ikan, katanya, 'pokoknya tidak masuk


akal. Saya langsung tahu bahwa pikirannya sudah ti-
dak beres, kasihan sekali.

”Memang tidak masuk akal, apa yang dikatakan


Geoffrey waktu itu. Akhirnya sebagai harapan
terakhir, aku menemui Brewster, seorang wanita
bertubuh kekar dan berumur sekitar lima puluhan.

”Sayang sekali saya tidak di rumah malam itu,


katanya. "Tak seorang pun berusaha melakukan se-
suatu untuknya, sampai dokter datang.

114
”Kurasa dia mengalami halusinasi” kataku ragu,
tapi itu bukan gejala keracunan makanan basi, bu-
kan?

"Tergantung, kata Brewster.

”Aku menanyakan keadaan pasiennya, ayah mertua


Mabel.

”Dia menggeleng.

"Kondisinya buruk, katanya.

” Lemah?

”Oh, tidak, dia cukup sehat secara fisik—kecuali


matanya. Sudah hampir kabur sama sekali. Dia mung-
kin bisa hidup lebih lama daripada kita-kita ini, tapi
pikirannya sudah semakin melemah sekarang. Saya
sudah mengatakan pada Mr. dan Mrs. Denman bah-
wa dia semestinya dimasukkan ke klinik, tapi Mrs.
Denman tidak mau mendengarnya sama sekali.

”Mabel memang selalu baik hati.

”Yah, begitulah keadaannya. Aku memikirkannya


dari setiap sudut. Akhirnya kuputuskan cuma ada
satu hal yang bisa dilakukan. Karena ada gosip yang
tersebar luas, maka izin untuk menggali kembali jena-
zahnya harus diajukan, sehingga post-mortem yang te-
pat bisa dilakukan, dan lidah-lidah yang berdusta itu
bisa dihentikan untuk selama-lamanya. Tentu saja
Mabel jadi ribut, terutama tentang hal-hal yang senti-
mental—mengusik kedamaian orang yang sudah mati,
dil. dil—tapi aku tetap berkeras.

”Aku tidak akan menceritakan bagian itu dengan


panjang lebar. Pokoknya kami berhasil memperoleh
izin, dan mereka melakukan autopsi itu, atau apa pun
sebutannya, tapi hasilnya sama sekali tidak memuas-

115
kan, tidak seperti yang diharapkan. Memang tidak
ada bekas-bekas arsenik—itu berita yang baik—tapi
kata-kata sesungguhnya dalam laporan itu berbunyi
begini: tidak ada petunjuk apa pun yang bisa menun-
jukkan dengan cara bagaimana korban mengalami ke-
matian.

”Jadi, kalian lihat, itu tidak seratus persen mem-


bebaskan kami dari masalah. Orang-orang terus ber-
gosip—tentang racun-racun langka yang tak mungkin
terdeteksi dan hal-hal konyol sejenisnya. Aku telah
menemui ahli patologi yang melakukan post-mortem
itu dan mengajukan beberapa pertanyaan padanya.
Dia berusaha keras menjawab semua pertanyaanku
dengan sejelas mungkin, dan aku berhasil memperoleh
keterangan bahwa menurut pendapatnya, sangat tidak
mungkin penyebab kematian Geoffrey adalah jamur-
jamur beracun itu. Sebuah ide muncul di kepalaku
dan aku menanyakan padanya, racun apa yang mung-
kin telah diberikan, sehingga menimbulkan efek se-
perti itu. Dia memberikan penjelasan panjang padaku,
dan harus kuakui bahwa sebagian besar penjelasannya
tidak kumengerti, tapi kesimpulannya begini: Ke-
matian mungkin disebabkan oleh alkaloid sayuran
yang kuat.

”Ide yang muncul di kepalaku adalah: Misalkan


turunan sifat gila itu juga mengalir dalam darah
Gcoffrey Denman, apa tak mungkin dia melakukan
bunuh diri? Dulu waktu masih muda, dia pernah
belajar tentang obat-obatan, jadi dia pasti punya pe-
ngetahuan yang lumayan tentang racun dan efek-efek-
nya.

116
”Ini kedengarannya agak tidak masuk akal, tapi
cuma itu yang bisa kupikirkan. Dan aku sudah nyaris
putus asa, sungguh. Nah, aku berani taruhan anak-
anak muda zaman sekarang pasti akan tertawa, tapi
kalau aku betul-betul mengalami kesulitan, aku selalu
mengucapkan doa singkat dalam hati—di mana pun
aku berada, ketika sedang di jalanan atau di pasar.
Dan aku selalu mendapat jawaban. Mungkin hanya
sesuatu yang kurang berarti, dan tampaknya tidak
berkaitan dengan kesulitanku, tapi jawaban itu selalu
muncul. Dulu, waktu aku masih kecil, di atas tempat
tidurku tergantung tulisan ini: Mintalah, maka kepada-
mu akan diberikan. Pada pagi hari yang kuceritakan
itu, aku sedang berjalan di High Street dan aku ber-
doa dengan sungguh-sungguh. Aku memejamkan
mata dan ketika kubuka, menurut kalian benda apa
yang pertama kali kulihat?”

Lima raut wajah dengan tingkat minat yang ber-


beda-beda menatap Miss Marple. Bagaimanapun, bo-
leh dibilang tak seorang pun bisa menebak jawaban
yang benar dari pertanyaannya itu.

”Aku melihat,” kata Miss Marple dengan mengesan-


kan, "etalase toko ikan. Di sana cuma ada seekor ikan,
yaitu ikan kerapu yang masih segar”

Dia memandang sekeliling dengan penuh keme-


nangan.

”Oh, Tuhan!” ujar Raymond West. "Jawaban dari


sebuah doa ternyata cuma... cuma seekor ikan kerapu
yang masih segar!”

”Ya, Raymond,” kata Miss Marple dengan tegas.


”Dan tidak ada yang lucu tentang hal itu. Tangan

117
Tuhan bekerja di mana-mana. Hal pertama yang ku-
lihat adalah bintik-bintik hitam itu—cap jempol
Santo Petrus. Kalian tahu legendanya, bukan? Jempol
Santo Petrus. Dan itu yang membuatku mengerti.
Aku butuh iman, iman yang kokoh dan tak tergoyah-
kan, seperti Santo Petrus. Aku menggabungkan kedua
hal itu, iman dan ikan.”

Sir Henry membersitkan hidung dengan buru-


buru. Joyce menggigiti bibir.

”Sekarang, kenapa aku sampai pada pemikiran se-


perti itu? Tentu saja, baik koki maupun pelayan ru-
mah telah menyebut-nyebut soal ikan sebagai salah
satu kata yang diocehkan oleh laki-laki yang sedang
sekarat itu. Aku yakin, betul-betul yakin, bahwa peme-
cahan misteri itu ada pada kata-kata tersebut. Aku
pulang ke rumah dengan tekad untuk membereskan
masalah itu sampai ke akar-akarnya.”

Dia berhenti, lalu melanjutkan,

"Pernahkah kalian berpikir, berapa banyak yang


bisa kita dapatkan dari permainan kata-kata? Ada
suatu tempat di Dartmoor, bernama Grey Wethers.
Kalau kita bercakap-cakap dengan seorang petani di
sana dan menyebutkan kata-kata Grey Wethers, dia
mungkin mengira yang kita maksud adalah lingkaran
batu-batu itu. Tapi orang luar, yang cuma mendengar
sepotong saja pembicaraan itu, akan mengira kita se-
dang membicarakan cuaca.“ Dan kalau kita disuruh

Grey Werhers adalah nama tempat, sedangkan cuaca kelabu dalam


bahasa Inggris adalah grey weathers. Keduanya mempunyai pengucapan
yang sama, tapi arti yang sama sekali berbeda.

118
mengulangi suatu pembicaraan, biasanya kita tidak
mengulanginya dengan kata-kata yang sama, kita
menggunakan kata-kata lain yang menurut kita mem-
punyai makna yang sama persis.

”Aku menemui koki dan Dorothy secara terpisah.


Aku bertanya pada koki, apakah dia yakin sekali ma-
jikannya memang telah menyebut-nyebut tentang
timbunan ikan. Dia bilang dia yakin sekali.

”Apakah itu memang kata-katanya, tanyaku, 'atau


dia menyebut jenis ikan tertentu?

“Itu dia, sahut si koki, dia menyebutkan jenis


ikan tertentu, tapi saya tidak ingat lagi sekarang. Tim-
bunan... apa ya? Pokoknya bukan jenis ikan yang
biasa dimakan. Pesut atau paus, ya? Tidak. Huruf de-
pannya bukan P”

”Dorothy juga ingat majikannya telah menyebut


nama sejenis ikan tertentu. 'Sejenis ikan asing pokok-
nya, katanya.

” Tumpukan... apa ya?

”Dia berkata timbunan atau tumpukan—heap atau


pile” tanyaku.

”Saya rasa dia mengatakan tumpukan—pile. Tapi,


yah, saya tidak terlalu yakin juga—habis susah sekali
mengingat kata-kata dengan tepat, bukankah begitu,
Miss, terutama kalau kata-kata itu rasanya tidak ma-
suk akal. Tapi sekarang kalau saya pikir-pikir, saya
cukup yakin dia mengatakan tumpukan, dan nama
ikan itu diawali dengan huruf K: tapi bukan ikan
koki atau ikan kerapu.

”Bagian selanjutnya betul-betul membuatku bangga


pada diriku,” kata Miss Marple, "apalagi karena aku

119
tidak tahu apa-apa tentang obat-obatan-yang menurut-
ku adalah benda-benda busuk dan berbahaya. Aku
punya resep kuno dari nenekku untuk membuat teh
kembang yang jauh lebih manjur dari segala jenis
obat itu. Tapi aku tahu ada beberapa jilid buku
kedokteran di rumah itu, dan pada salah satunya ada
indeks tentang obat-obatan. Kalian lihat, ideku adalah
Geoffrey telah menelan sejenis racun tertentu, dan dia
berusaha menyebutkan namanya.

”Yah, aku mencari pada daftar yang dimulai de-


ngan huruf H, mulai dengan He. Tidak ada yang
mirip bunyinya di sana, lalu aku mulai dengan P dan
aku langsung mengetahuinya—bagaimana menurut
kalian?”

Dia memandang ke sekelilingnya, menunda saat


kemenangannya.

”Pilokarpin. Bisakah kalian membayangkan laki-laki


yang nyaris tidak bisa berbicara berusaha menyebutkan
kata itu dengan jelas? Bagaimana bunyinya bagi se-
orang koki yang tidak pernah mendengar kata itu
sama sekali? Bukankah dia akan mengira telah men-
dengar ucapan tumpukan karper?”

”Astaga!” seru Sir Henry.

”Aku takkan bisa menebaknya,” kata Dr. Pender.

”Menarik sekali,” ujar Mr. Petherick. "Sungguh me-


narik.”

”Aku segera membuka halaman yang ditunjukkan


dalam indeks itu. Aku membaca tentang pilocarpine,

4 Tumpukan karper dalam bahasa Inggris adalah pile af carp, yang bila

diucapkan bunyinya mirip dengan nama racun itu, pilocarpine.

120
efeknya pada mata, dan hal-hal lain yang rasanya ti-
dak cocok dengan kasus yang telah terjadi itu, tapi
akhirnya aku menemukan kalimat yang betul-betul
penting: Pernah dicoba dengan sukses sebagai penawar
racun atropin.

"Kalian tak bisa membayangkan, betapa aku jadi


mengerti setelah itu. Sudah kuduga, Geoffrey Denman
tak mungkin melakukan bunuh diri. Tidak, pemecahan
baru itu bukannya tidak mungkin, aku malah sangat
yakin itulah pemecahan yang benar, karena semua po-
tongan itu jadi pas secara logis.”

”Aku tidak mau menebak-nebak,” kata Raymond.


"Teruskan, Bibi Jane, dan ceritakan pada kami, apa
yang terlihat dengan jelas sekali bagi Bibi.”

”Aku tidak tahu apa-apa tentang obat-obatan, tentu


saja,” kata Miss Marple, ”tapi aku kebetulan tahu ini,
kalau pandangan mataku sedang kabur, dokter biasa-
nya menyuruhku menetesinya dengan obat mata yang
mengandung atropin sulfat. Aku langsung naik ke lo-
teng dan pergi ke kamar Mr. Denman tua. Aku me-
ngatakannya secara blakblakan.

”Mr. Denman, kataku, 'aku tahu segalanya. Kenapa


Anda meracuni anak Anda?

”Dia menatapku selama beberapa menit—sebenar-


nya laki-laki tua itu cukup ganteng—kemudian dia
tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya betul-betul
terdengar tidak waras. Membuat bulu kudukku merin-
ding. Aku cuma pernah satu kali mendengar suara
tawa seperti itu, yaitu ketika Mrs. Jones yang malang
jadi gila.

”Ya, katanya, 'aku mau membalas Geoffrey. Aku

121
lebih pintar daripada Geoffrey, Dia berniat meng-
usirku, bukan? Menaruhku di Rumah Sakit Jiwa? Aku
mendengar mereka membicarakannya. Mabel anak
yang baik—Mabel membelaku, tapi aku tahu dia tak
mungkin bisa menentang Geoffrey, Akhirnya
Geoffrey-lah yang akan menang: dia selalu begitu.
Tapi aku membereskannya—aku membereskan
anakku yang tercinta dan tersayang itu! Ha ha! Aku
turun pelan-pelan waktu malam. Betul-betul gam-
pang. Brewster tidak ada di rumah. Anakku sedang
tidur: ada segelas air di samping tempat tidurnya, dia
selalu bangun pada tengah malam dan meminumnya.
Aku membuang isi gelasnya—ha ha!—dan
kumasukkan isi botol obat itu. Dia akan bangun dan
menelannya sebelum sadar apa isinya. Memang cuma
satu sendok teh—tapi cukup, cukup fatal. Dan dia
meminumnya! Orang-orang memberitahuku keesokan
harinya dengan pelan-pelan. Mereka takut aku jadi
sedih. Ha! Ha! Ha! Ha! Ha?

”Yah,” kata Miss Marple, "itulah akhir ceritaku.


Tentu saja laki-laki tua yang malang itu dimasukkan
ke Rumah Sakit Jiwa. Dia toh tak bisa mempertang-
gungjawabkan perbuatannya. Akhirnya semua orang
mengetahui kebenarannya dan merasa kasihan pada
Mabel. Mereka berusaha sebisa-bisanya memperbaiki
sikap mereka yang selama itu telah mengasingkan dan
mencurigainya. Tapi kalau Geoffrey tidak sadar tentang
minuman yang telah ditelannya dan tidak berusaha
membuat seseorang mengambil penawarnya dengan
cepat, mungkin kebenaran itu takkan pernah

diketahui. Aku yakin ada gejala-gejala khas keracunan


122
atropin—bola mata yang terangkat ke atas, dan se-
bagainyas tapi tentu saja, seperti kataku tadi, dr.
Rawlinson sudah tua dan matanya sendiri juga sangat
rabun. Dan pada buku kedokteran yang sama itu, yang
kubaca terus—beberapa di antaranya ada yang sangat
menarik—ada artikel tentang gejala-gejala keracunan
makanan basi dan atropins keduanya hampir mirip.
Tapi sejak saat itu, setiap kali melihat setumpuk ikan
kerapu segar, aku selalu teringat cap jempol Santo
Petrus.”

Semuanya terdiam untuk waktu yang cukup lama.

”Temanku yang baik,” kata Mr. Petherick. "Anda


betul-betul hebat.”

”Aku akan merekomendasikan Scotland Yard untuk


minta nasihat pada Anda,” kata Sir Henry.

”Yah, tapi, Bibi Jane,” kata Raymond, ”bagaimana-


pun, ada satu hal yang tidak Bibi ketahui.”

"Oh, aku tahu, Sayang,” sahut Miss Marple. ”Ke-


jadiannya tepat sebelum makan malam, bukan? Ketika
kau mengajak Joyce keluar untuk mengagumi mata-
hari terbenam. Memang itu adalah tempat favorit. Di
sana, di samping deretan tanaman melati itu. Di sana-
lah si tukang susu bertanya pada Annie, apakah dia
boleh mengumumkan pernikahan mereka di gereja.”

”Sudahlah, Bibi Jane,” kata Raymond, "jangan me-


rusak suasana romantis ini. Joyce dan aku tidak se-
perti si tukang susu dan Annie.”

”Di situlah letak kesalahanmu, Sayang,” kata Miss


Marple. "Setiap orang sebenarnya sangat mirip satu
sama lain. Sungguh. Tapi untungnya, mungkin, me-
reka tidak menyadarinya.”

123
BAB 7

BUNGA GERANIUM
BIRU

” KETIKA aku datang kemari tahun lalu...” kata Sir


Henry Clithering, dan berhenti.

Nyonya rumahnya, Mrs. Bantry, memandangnya


dengan rasa ingin tahu.

Bekas Komisaris Scotland Yard itu datang meng-


inap di rumah teman-teman lamanya, Kolonel dan
Mrs. Bantry, yang tinggal di dekat St. Mary Mead.

Mrs. Bantry, dengan pulpen di tangan, baru saja


meminta nasihatnya tentang siapa yang harus di-
undang untuk menjadi tamu keenam pada acara ma-
kan malam hari itu.

”Ya?” kata Mrs. Bantry memberi semangat. "Ketika


Anda datang kemari tahun lalu?”

”Coba katakan,” kata Sir Henry, "apakah Anda me-


ngenal wanita bernama Miss Marple?”

124
Mrs. Bantry tampak kaget. Pertanyaan itu sama
sekali tak terduga.

"Mengenal Miss Marple? Siapa yang tidak! Dia itu


perawan tua tulen. Betul-betul baik hati, tapi amat
sangat kuno. Maksud Anda, Anda ingin aku mengun-
dangnya untuk makan malam?”

"Anda heran?”

”Kuakui ya, sedikit. Tak kukira Anda... tapi mung-


kin ada alasannya?”

"Alasannya cukup sederhana. Ketika aku datang


kemari tahun lalu, kami membahas misteri-misteri
yang tak terpecahkan. Waktu itu kami berenam. Ray-
mond West, si novelis, yang memulai. Kami masing-
masing harus mengemukakan sebuah kasus yang kami
ketahui jawabannya, tapi orang-orang lainnya tidak.
Tujuannya untuk melatih kemampuan deduksi kami
masing-masing—untuk melihat siapa yang bisa
menebak dengan jitu dan mendekati kebenarannya.”

"Dan?”

”Seperti dalam cerita-cerita lama, mula-mula kami


nyaris tidak sadar bahwa Miss Marple juga ikut ber-
main, tapi kami bersikap sangat sopan terhadapnya,
karena tak ingin melukai perasaan wanita tua yang
ramah itu. Dan ternyata, ini dia kejutannya. Wanita
tua itu mengalahkan kami setiap kali!”

” Apa?”

"Sungguh, aku tidak bohong—tebakannya benar-


benar jitu, langsung menuju kebenarannya, seperti
merpati yang terbang pulang ke rumah.”

"Tapi itu luar biasa! Astaga, padahal Miss Marple

125
tua yang baik itu nyaris tidak pernah keluar dari St.
Mary Mead.”

”Ah! Tapi menurutnya, itu malah memberinya ke-


sempatan tak terbatas untuk mengamat-amati segala
sifat manusia—seperti di bawah mikroskop, begitu-
lah.”

”Kurasa itu ada benarnya juga,” ujar Mrs. Bantry


menyetujui. "Paling tidak, kita bisa mengenal sisi le-
mah seseorang. Tapi kukira tidak ada penjahat yang
benar-benar menarik di tengah-tengah kita. Kupikir
kita harus mengujinya dengan cerita hantu Arthur
setelah makan malam. Aku akan bersyukur kalau dia
bisa mengetahui pemecahannya.”

”Tak kusangka Arthur percaya pada hantu.”

”Oh! Dia memang tidak percaya pada hal-hal begi-


tu. Justru itulah yang membuatnya cemas. Dan ke-
jadian itu menimpa salah seorang temannya, George
Pritchard—-aki-laki yang polos sekali. Sungguh tragis
bagi George yang malang itu. Entah cerita yang luar
biasa itu benar... atau...”

"Atau apa?”

Mrs. Bantry tidak menyahut. Baru beberapa menit


kemudian dia berkata, tapi tentang hal lain.

"Anda tahu, aku suka pada George—semua orang


pun demikian. Tak ada yang percaya kalau dia... tapi
siapa tahu, orang kan bisa saja melakukan sesuatu
yang di luar dugaan.”

Sir Henry mengangguk. Dia tahu betul hal-hal luar


biasa yang bisa dilakukan seseorang.

Jadi, pada malam itu, Mrs. Bantry memandang ke


sekeliling meja makannya (dengan agak gemetaran,

126
karena ruang makan itu, seperti kebanyakan ruang
makan di Inggris, betul-betul dingin) dan memusatkan
pandang pada seorang wanita tua yang duduk tegak
di sebelah kanan suaminya. Miss Marple mengenakan
sarung tangan renda berwarna hitam, sehelai syal
renda kuno membungkus bahunya, dan sehelai renda
lainnya menutupi rambutnya yang putih. Dia sedang
asyik mengobrol dengan dokter tua itu, dr. Lloyd,
mengenai Rumah Penampungan dan ramalan tentang
bakal berkurangnya tenaga perawat.

Mrs. Bantry bertanya-tanya dalam hati. Dia bahkan


menebak-nebak, apakah Sir Henry telah mempermain-
kannya dengan lelucon konyol—tapi rasanya itu tidak
beralasan. Sungguh hebat kalau apa yang dikatakan
Sir Henry memang benar.

Pandangannya berpindah dan berhenti dengan mes-


ra pada suaminya yang berwajah merah dan berbahu
lebar, yang saat itu sedang duduk dan bercerita ten-
tang kuda pada Jane Helier, aktris cantik dan populer
itu. Jane, yang lebih cantik (kalau hal itu memang
memungkinkan) di luar panggung ketimbang di atas
panggung, membelalakkan mata birunya yang besar
dan sekali-sekali menggumam, ” Sungguh?” "Oh, hebat
sekali” "Betul-betul luar biasa?” Padahal dia sama se-
kali tidak tahu soal kuda dan tidak peduli terhadap
hewan itu.

”Arthur,” panggil Mrs. Bantry, "kau membuat Jane


bosan setengah mati. Tinggalkan kuda-kuda itu dan
ceritakan padanya tentang hantu itu. Kau tahu...
George Pritchard.”

"Eh, Dolly? Oh! Tapi aku tidak tahu...”

127
”Sir Henry juga ingin mendengarnya. Aku bercerita
padanya tadi pagi. Pasti menarik untuk mendengar
pendapat orang lain mengenainya.”

”Oh, ayolah!” pinta Jane. "Aku senang mendengar


cerita hantu.”

”Yah..” Kolonel Bantry ragu-ragu. "Aku tak pernah


percaya pada hal-hal supranatural. Tapi ini...

”Kurasa tak satu pun dari kalian mengenal George


Pritchard. Dia laki-laki hebat. Istrinya... yah, dia sudah
meninggal sekarang, wanita yang malang. Begini cerita-
nya. Istrinya itu selalu merepotkan dan menyusahkan
George ketika masih hidup. Dia semi-invalid—aku
percaya dia memang sakit, tapi apa pun penyakitnya,
dia betul-betul memanfaatkannya semaksimal mung-
kin. Sikapnya berubah-ubah, selalu menuntut dan
tidak masuk akal. Dia mengeluh terus dari pagi sampai
malam. George harus selalu menunggu di sisinya:
segala hal yang dilakukan George selalu salah dan dia
diomeli panjang lebar. Aku yakin kebanyakan laki-laki
pasti akan menggebuk kepala wanita itu dengan kapak
dari dulu-dulu. Eh, Dolly, betul kan?”

”Dia memang wanita yang menjengkelkan,” sahut


Mrs. Bantry tegas. "Kalau George Pritchard memang
menggebuknya dengan kapak dan salah seorang
anggota juri adalah wanita, dia pasti akan dibebaskan
dengan penuh kemenangan.”

”Aku tidak tahu kapan persisnya masalah itu di-


mulai. George tidak terlalu jelas menceritakannya.
Kukira Mrs. Pritchard memang menggemari segala
sesuatu yang berkaitan dengan peramal, ahli nujum,
tukang tenung—pokoknya yang sejenis itu. George

128
tidak keberatan. Kalau istrinya merasa senang, itu ba-
gus. Tapi dia menolak ikut-ikutan dalam kegemaran
tersebur, dan itu menimbulkan masalah lain.”
”Sudah banyak perawat rumah sakit yang keluar
masuk rumah itu. Mrs. Pritchard biasanya tidak puas
dengan mereka setelah beberapa minggu. Tapi ada
seorang perawat muda yang juga tertarik sekali de-
ngan bidang ramal-meramal, dan selama beberapa
waktu Mrs. Pritchard menyukainya. Tapi tiba-tiba dia
bertengkar dengan perawat itu dan menyuruhnya
pergi. Kemudian dia punya perawat lain yang dulu
pernah bekerja untuknya—seorang wanita yang lebih
tua, berpengalaman, dan tegas dalam menangani pa-
sien-pasien neurotik. Suster Copling, menurut George,
adalah perawat yang sangat terampil—juga enak di-
ajak bicara. Dia menanggapi segala kecerewetan dan
kekonyolan Mrs. Pritchard dengan sikap tak peduli.
”Mrs. Pritchard selalu makan siang di loteng, dan
seperti biasa, pada saat makan siang itulah George
dan si perawat mengatur jadwal untuk sore harinya.
Sebenarnya si perawat bisa istirahat dan pergi sebentar
dari jam dua sampai jam empat, tapi untuk 'meng-
abd?, begitulah istilahnya, dia kadang-kadang baru
pergi setelah minum teh, yaitu kalau George ingin
bebas pada sore harinya. Suatu hari, pada kesempatan
seperti itu, Suster Copling berkata ingin mengunjungi
saudaranya di Golders Green dan mungkin akan se-
dikit terlambat saat kembali. Wajah George langsung
murung, karena dia sebenarnya berniat untuk main
golf. Tapi Suster Copling segera menenangkannya.
”Yah, kita berdua tak perlu membatalkan acara, Mr.

129
Pritchard' Dia mengedipkan mata. 'Mrs. Pritchard
akan ditemani oleh seseorang yang lebih menarik dari-
pada kita.

"Siapa dia?

”Sebentar' Mata Suster Copling jadi lebih ber-


binar-binar lagi. 'Biar saya sebutkan dengan benar.
Zarida, Peramal Masa Depan.

”Oh, Tuhan! keluh George. 'Itu orang baru, bu-


kan?”

”Memang. Saya rasa perawat sebelum saya, Suster


Carstairs, yang mengenalkannya. Mrs. Pritchard be-
lum pernah bertemu dengannya. Dia menyuruh saya
menulis surat, menetapkan pertemuan untuk sore
ini.

”Yah, kalau begitu, aku bisa main golf,” kata


George, dan pergi dengan perasaan penuh syukur
pada Zarida, si Peramal Masa Depan.

”Sekembalinya di rumah, dia menemukan istrinya


dalam keadaan sangat tegang. Waktu itu, seperti biasa,
istrinya sedang berbaring di kursi khusus sambil me-
megang botol obat amonia di tangannya, yang di-
hirupnya sekali-sekali.

"George, serunya. 'Bukankah aku pernah bilang


padamu tentang rumah ini? Sejak pertama kali me-
masukinya, aku sudah merasa ada yang tidak beres! Ya
kan, aku pernah bilang begitu?

”Sambil menahan diri untuk tidak menyahut, "Kau


selalu bilang begitu” George berkata, "Tidak, aku ti-
dak ingat.

”Kau tidak pernah ingat apa pun yang ada kaitan-


nya dengan diriku. Laki-laki memang tidak punya

130
perasaan—tapi aku yakin kaulah yang paling bebal di
antara semuanya.

”Oh, ayolah, Mary sayang, itu tidak adil."

”Yah, seperti kubilang tadi, wanita ini langsung


tahu! Dia... dia malah seperti tercekam—kau mengerti
maksudku? Saat muncul di pintu, dia berkata, "Ada
sesuatu yang jahat di sini—jahat dan berbahaya. Aku
bisa merasakannya.”

”Sialnya George tertawa.

”Yah, kalau begitu, kau tidak membuang uangmu


dengan sia-sia sore ini."

”Istrinya memejamkan mata dan menghirup dalam-


dalam botol amonianya.

”Kau benci padaku! Kau pasti akan senang dan


menertawakanku kalau aku sekarat nanti.

"George membantahnya dan beberapa saat kemu-


dian istrinya melanjutkan.

”Kau boleh tertawa, tapi akan kuceritakan segala-


nya padamu. Rumah ini jelas-jelas berbahaya untuk-
ku—wanita itu yang bilang.

”Perasaan ramah George terhadap Zarida langsung


lenyap. Dia tahu istrinya akan merengek dan memak-
sa terus agar mereka pindah rumah, apabila si pera-
mal itu berhasil memengaruhinya.

”Apa lagi yang dikatakannya? tanya George.

”Tidak banyak. Dia betul-betul sedih. Tapi ada


satu hal yang dikatakannya. Waktu itu ada beberapa
kuntum bunga violet di vas. Dia menunjuk ke arah
bunga-bunga itu dan berteriak,

”Buang bunga itu. Tidak boleh ada bunga biru—

131
jangan pernah ada. Bunga biru fatal bagi Anda—ingat
itu.
”Dan kau tahu, lanjut Mrs. Pritchard, 'aku sering
berkata padamu bahwa warna biru membuatku muak.
Aku punya perasaan alami yang peka terhadap hal-hal
begitu.

”George sudah terlalu berpengalaman, jadi dia ti-


dak menyahut bahwa sebenarnya dia belum pernah
mendengar ucapan seperti itu. Sebaliknya, dia ber-
tanya bagaimana rupa Zarida yang misterius itu. Mrs.
Pritchard jadi bersemangat ketika menggambarkan-
nya.
” Rambut hitam disanggul di atas telinga: matanya
agak terpejam, dengan garis hitam tebal di sekeliling-
nya. Dia mengenakan cadar untuk menutupi mulut
dan dagunya, nada bicaranya mengalun, dengan aksen
asing yang kentara—Spanyol, kurasa."

”Yah, seperti peramal-peramal lainnya,” kata


George riang.

"Istrinya langsung memejamkan mata.

”Aku merasa sakit sekali,” katanya. 'Panggilkan


Suster. Sikapmu yang menyindir terus itu penyebab-
nya. Kau tahu itu.

”Dua hari kemudian, Suster Copling mendatangi


George dengan wajah serius.

”Tolong tengoklah Mrs. Pritchard. Dia baru me-


nerima surat yang membuatnya sangat tertekan."

"George mendapati istrinya sedang memegang


sepucuk surat di tangan. Dia mengulurkannya pada
George.

“Bacalah, katanya.

132
"George membacanya. Surat itu sangat harum bau-
nya, tulisannya besar-besar, dengan tinta hitam.

"Saya telah melihat masa depan. Hati-hatilah sebe-


lum terlambat. Waspadalah terhadap Bulan Purnama.
Mawar Biru berarti Peringatan: Hollyhock Biru berarti
Bahaya: Geranium Biru berarti Kematian...

”Tawa George nyaris tersembur keluar, tapi dia me-


nangkap tatapan Suster Copling yang memberikan
peringatan. Jadi, dengan kikuk George berkata, 'Wa-
nita itu cuma mau menakut-nakutimu, Mary. Lagi
pula mana ada mawar dan geranium berwarna biru.

”Tapi Mrs. Pritchard menangis dan berkata hari-


hari kehidupannya sudah hampir berakhir. Suster
Copling keluar bersama George.

”Betul-betul tidak masuk akal” sembur George.

”Saya rasa begitu.”

"Ada sesuatu pada nada suara perawat itu: dan


George menatapnya heran.

” Astaga, kau kan tidak percaya...

”Tidak, tidak, Mr. Pritchard, saya tidak percaya


dengan segala ramalan tentang masa depan—itu cuma
omong kosong. Yang membuat saya bingung adalah
maksud dari semua ini. Para peramal biasanya me-
nyampaikan hal-hal yang bagus-bagus. Tapi wanita itu
kelihatannya justru menakut-nakuti Mrs. Pritchard,
padahal apa gunanya? Saya tidak mengerti. Ada hal
lain lagi...

Ya?”

”Mrs. Pritchard berkata ada sesuatu pada diri


Zarida yang terasa tidak asing baginya."

”Lalu?

133
”Lalu saya tidak menyukainya, Mr. Pritchard, itu
saja."

”Tak kusangka kau juga percaya pada takhayul,


Suster.”

”'Saya tidak percaya pada takhayul, tapi saya tahu


kalau ada sesuatu yang tidak beres.

”Empat hari kemudian, setelah surat itu datang,


terjadilah peristiwa yang pertama. Untuk menjelaskan-
nya pada kalian, aku harus menggambarkan dulu
kondisi kamar Mrs. Pritchard.”

”Lebih baik aku yang menceritakannya,” sela Mrs.


Bantry. "Kamar itu dilapisi wallpaper model baru
yang banyak gambar bunganya, sehingga membentuk
serangkaian tanaman. Kesannya seperti berada di ke-
bun—meskipun, tentu saja, bunga-bunganya kacau-
balau. Maksudku, tak mungkin bunga-bunga itu bisa
mekar pada waktu bersamaan.”

”Jangan mencampuradukkan hobi berkebunmu de-


ngan ceritamu, Dolly,” kata suaminya. ”Kita semua
tahu kau tukang kebun yang hebat.”

"Yah, sebab memang aneh, sih,” bantah Mrs.


Bantry. "Bayangkan bunga lonceng biru, dafodil,
lupin, hollyhock, daisy Michaelmas bisa dikelompokkan
jadi satu.”

”Memang menyalahi aturan,” ujar Sir Henry. "Tapi


tolong lanjutkan ceritanya.”

”Yah, di antara bunga-bunga itu ada rangkaian ma-


war kuning dan merah muda dan... oh, teruskan,
Arthur, ini kan ceritamu.”

Kolonel Bantry melanjutkan cerita itu.

”Mrs. Pritchard membunyikan bel dengan keras

134
sekali suatu pagi. Seluruh penghuni rumah berlari-lari
menghampirinya—mereka mengira dia sangat kesa-
kitan: ternyata tidak. Dia betul-betul tegang dan me-
nunjuk pada wallpaper itu, dan di sana sungguh-sung-
guh ada sekuntum mawar biru di antara bunga-bunga
lainnya...”

”Oh? seru Miss Helier, "seram sekali!”

"Pertanyaannya adalah: Bukankah mawar biru itu


sudah ada di sana sejak dulu? Begitulah anggapan
George dan si perawat. Tapi Mrs. Pritchard tidak mau
tahu sama sekali. Dia tidak pernah melihat primerose
biru tersebut sampai pagi itu, dan malam sebelumnya
adalah malam bulan purnama. Dia jadi sangat terte-
kan karenanya.”

”Aku bertemu dengan George Pritchard hari itu


juga dan dia menceritakannya padaku,” kata Mrs.
Bantry., "Kemudian aku pergi menjenguk Mrs.
Pritchard dan berusaha sebisa-bisanya membantah ke-
konyolan itu, tapi sia-sia. Akhirnya aku pulang de-
ngan prihatin, dan aku ingat telah bertemu dengan
Jean Instow dan bercerita padanya. Jean itu gadis
yang aneh. Dia berkata, Jadi, dia betul-betul tertekan
karenanya?” Kukatakan padanya Mrs. Pritchard bisa
saja mati ketakutan—sebab dia betul-betul memercayai
takhayul itu.

”Aku ingat Jean membuatku agak kaget dengan


perkataannya selanjutnya. Dia berkata, 'Yah, tapi
mungkin itulah yang terbaik, bukan” Dia mengatakan-
nya dengan begitu tenang dan terus terang, sehingga
aku... yah, shock. Aku tahu zaman sekarang orang-
orang suka berbicara terus terang dan kasar, tapi aku

135
belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Jean ter-
senyum agak aneh dan berkata, 'Anda tidak suka aku
berkata begitu—tapi itu benar. Apa gunanya Mrs.
Pritchard hidup? Tidak ada sama sekali: tapi dia mem-
buat hidup George Pritchard seperti di neraka. Kalau
dia mati ketakutan, berarti George terbebas darinya."
Aku berkata, "Tapi George selalu bersikap baik terha-
dap istrinya” Dan Jean menyahut, 'Ya, dia pantas
mendapat simpati, kasihan. Dia laki-laki yang sangat
menarik. Perawat yang terakhir itu juga berpendapat
begitu—yang cantik itu—siapa namanya? Carstairs.
Itu sebabnya dia bertengkar dengan Mrs. DP”

”Nah, aku tidak suka mendengar Jean berkata begi-


tu. Tentu saja orang memang bertanya-tanya...”

Mrs. Bantry berhenti sejenak, penuh arti.

”Ya,” ujar Miss Marple dengan tenang. "Orang me-


mang selalu bertanya-tanya. Apakah Miss Instow itu
gadis yang cantik? Kurasa dia bisa bermain golf, bu-
kan?”

”Ya. Dia pintar dalam semua bidang olahraga. Dia


juga cantik dan menarik. Sangat segar, dengan kulit
sehat serta mata biru tegas dan indah. Kami merasa
dia dan George Pritchard... maksudku kalau keadaan
tidak seperti ini, mereka sangat serasi satu sama
lain.”

”Dan mereka bersahabat?” tanya Miss Marple.

”Oh, ya. Sangat akrab.”

”Dolly,” kata Kolonel Bantry dengan sedih, "apa


boleh aku meneruskan ceritaku?”

”Arthur ingin kembali pada cerita hantunya,” kata


Mrs. Bantry, menyerah.

136
”Aku mendengar kelanjutan cerita itu dari George
sendiri,” lanjut sang kolonel. "Tidak diragukan lagi,
Mrs. Pritchard jadi benar-benar tertekan pada akhir
bulan berikutnya. Dia menandai pada kalender, hari
akan terjadinya bulan purnama, dan pada malam itu
dia menyuruh perawat dan George masuk ke ka-
marnya, dan memaksa mereka mengamati wallpaper
itu dengan cermat. Ada hollyhock merah muda dan
merah tua, tapi tidak ada yang biru. Kemudian, ke-
tika George keluar dari kamar itu, Mrs. Pritchard
mengunci pintunya...”

”Dan keesokan harinya ada sekuntum bunga holly-


hock biru yang besar,” sambut Miss Helier dengan
ceria.

”Benar,” sahut Kolonel Bantry. "Yah, hampir benar.


Sekuntum hollyhock di atas kepalanya berubah men-
jadi biru. Hal itu mencengangkan George: dan tentu
saja semakin dia tercengang, semakin dia menolak
memercayai kejadian itu dengan serius. Dia berkeras
bahwa seluruh kejadian itu cuma lelucon konyol be-
laka. Dia mengabaikan bukti pintu yang terkunci dan
kenyataan bahwa Mrs. Pritchard menemukan peru-
bahan itu sebelum orang-orang lainnya—termasuk
Suster Copling—sempat masuk ke kamar itu.

”Hal itu mencengangkan George, dan membuatnya


jadi bersikukuh. Istrinya ingin meninggalkan rumah,
tapi dia tidak mengizinkan. Dia terpaksa jadi percaya
sedikit pada hal supernatural itu untuk pertama kali-
nya, tapi dia tidak mau mengakuinya. Biasanya dia
selalu menyerah pada kemauan istrinya, tapi kali ini

tidak. Mary tidak boleh dibiarkan bersikap konyol,


137
katanya. Seluruh kejadian itu pada dasarnya adalah
omong kosong belaka.

”Dan bulan berikutnya berlalu dengan cepat. Mrs.


Pritchard tidak terlalu cerewet kali ini, tidak seperti
yang diperkirakan orang-orang. Kurasa dia percaya
sekali bahwa dia tak bisa mengingkari takdirnya. Ber-
ulang kali dia mengatakan, 'Mawar biru peringatan.
Hollyhock biru—bahaya. Geranium biru—kemarian.
Dan dia akan berbaring sambil memandang serumpun
geranium merah muda yang berada paling dekat de-
ngan ranjangnya.

”Seluruh kejadian itu memang sangat menegangkan.


Bahkan si perawat jadi ketularan. Dia menemui
George dua hari sebelum bulan purnama dan memo-
hon padanya untuk membawa pergi Mrs. Pritchard.
George jadi marah.

”Meski semua bunga di tembok sialan itu jadi


biru, itu tak bisa membunuh siapa pun? teriaknya.

”Bisa saja. Ada orang-orang yang meninggal karena

shock.”
”Omong kosong, kata George. Sejak dulu George
memang agak keras kepala. Kita tak bisa mengubah
pendapatnya. Kurasa dia punya kecurigaan istrinya
sendirilah yang menciptakan perubahan warna itu,
dan itu cuma salah satu dari sekian banyak rencana-
nya yang gila dan histeris.

”Yah, malam fatal itu datang juga akhirnya. Mrs.


Pritchard mengunci pintu seperti biasa. Dia sangat
tenang—seperti betul-betul sudah pasrah. Perawatnya
mengkhawatirkan kondisinya—ingin memberinya obat
penenang, suntikan strychnine, tapi Mrs. Pritchard

138
menolak. Kurasa dia malah menikmati semuanya.
Begitulah kata George.”

”Kupikir itu masuk akal,” kata Mrs. Bantry. "Ada


semacam kesan glamor pada seluruh kejadian itu.”

"Keesokan paginya tidak ada bunyi bel yang diden-


tingkan dengan keras. Mrs. Pritchard biasanya bangun
sekitar jam delapan. Ketika pada jam setengah
sembilan tidak ada tanda-tanda darinya, si perawat
mengetuk pintunya keras-keras. Karena tidak ada sa-
hutan, dia memanggil George dan berkeras menyuruh
pintu itu didobrak. Mereka akhirnya melakukannya
dengan bantuan linggis.

”Sekali lihat saja pada sosok yang terbaring diam


di ranjang itu sudah cukup bagi Suster Copling. Dia
menyuruh George menelepon dokter, tapi sudah ter-
lambat. Mrs. Pritchard, kata dokter itu, paling tidak
sudah meninggal sekitar delapan jam. Botol obat
amonianya tergeletak di samping tangannya di ran-
jang, dan di dinding di sampingnya, salah sebuah gera-
nium merah muda itu berwarna biru cerah”

”Mengerikan,” komentar Miss Helier sambil merin-


ding.

Sir Henry mengerutkan dahi.

”Tidak ada penjelasan lainnya?”

Kolonel Bantry menggeleng, tapi Mrs. Bantry se-


gera menyahut.

"Gas itu.”

"Ada apa dengan gas itu?” tanya Sir Henry.

”Ketika dokter tiba, tercium sedikit bau gas, dan


ternyata dia memang menemukan tombol gas di per-

139
apian terputar sedikit: tapi sedikit sekali, jadi tidak
berarti.”

”Apa Mr. Pritchard dan si perawat tidak memper-


hatikan hal itu ketika mereka baru masuk?”

”Si perawat mengatakan dia memang mencium bau


itu samar-samar. George berkata dia tidak memperhati-
kan gas itu, tapi ada sesuatu yang membuatnya me-
rasa sangat aneh dan melayang: menurutnya itu pasti
gara-gara shock—dan mungkin memang begitu. Ba-
gaimanapun, tidak ada masalah dengan keracunan
gas. Bau itu sendiri sebenarnya nyaris tidak kentara.”

”Dan itu akhir ceritanya?”

”Tidak, belum. Setelah itu timbul banyak gosip.


Kalian tahu, para pelayan telah mendengar banyak—
misalnya, tentang Mrs. Pritchard yang berkata suami-
nya membenci dirinya dan akan senang kalau dia se-
karat. Juga beberapa ucapan George akhir-akhir itu.
Suatu hari Mrs. Pritchard pernah berkata, tampaknya
gara-gara George menolak meninggalkan rumah itu,
'Baiklah, kalau aku mati nanti, kuharap semua orang
akan tahu kaulah yang membunuhku. Dan sialnya,
George kebetulan sedang mencampur obat pembasmi
rumput untuk kebunnya sehari sebelumnya. Salah se-
orang pelayan muda melihatnya. Apalagi setelah itu
George mengantarkan segelas susu panas untuk istri-
nya.

”Gosip itu menyebar dan membesar. Dokter telah


mengeluarkan sertifikat kematian—aku tidak tahu isti-
lah-istilahnya dengan persis—shock, syncope, kegagalan
jantung, mungkin juga beberapa istilah kedokteran
yang tidak terlalu penting artinya. Bagaimanapun,

140
wanita malang itu belum sebulan dalam kuburnya
ketika izin untuk menggali kembali jenazahnya di-
kabulkan.”

”Dan hasil autopsi itu nol besar, aku ingat,” kata


Sir Henry dengan suram. ”Satu lagi kasus asap tanpa

api.

"Sesungguhnya seluruh kejadian itu aneh sekali,”


kata Mrs. Bantry. "Peramal itu, misalnya—Zarida. Di
alamat yang diberikannya, tak seorang pun pernah
mendengar namanya!”

”Dia cuma muncul sekali—dengan tiba-tiba,” ujar


suaminya, "kemudian hilang lenyap.”

”Lagi pula,” lanjut Mrs. Bantry, "Suster Carstairs


yang mungil itu, yang katanya telah mengenalkan
Zarida padanya, bahkan tidak pernah mendengar
nama itu sebelumnya.”

Mereka saling pandang.

”Cerita ini misterius sekali,” ujar dr. Lloyd. ”Kita


memang bisa menebak-nebak, tapi untuk mene-
bak...”

Dia menggeleng.

”Apakah Mr. Pritchard telah menikahi Miss


Instow?” tanya Miss Marple dengan suaranya yang
lembut.

”Nah, kenapa Anda menanyakan hal itu?” selidik


Sir Henry.

Miss Marple membelalakkan mata birunya yang


lembut.

”Bagiku rasanya penting sekali,” katanya. "Apakah


mereka telah menikah?”

Kolonel Bantry menggeleng.

141
”Kita... yah, kita memang mengharapkan hal itu...
tapi sekarang sudah delapan belas bulan. Kurasa me-
reka juga jarang bertemu.”

”Itu penting,” kata Miss Marple. "Sangat pen-


ting.”

"Kalau begitu, pemikiran kita sama,” kata Mrs.


Bantry. "Anda mengira...”

”Nah, Dolly,” sela suaminya. "Tidak adil rasanya—


apa yang hendak kaukatakan itu. Kau tidak bisa se-
enaknya menuduh orang tanpa bukti apa pun.”

”Jangan sok sopan, Arthur. Laki-laki memang selalu


takut mengatakan apa pun. Lagi pula, ini juga antara
kita saja. Aku punya gagasan fantastis yang masuk akal.
Misalkan—hanya misalkan—Jean Instow telah menya-
mar menjadi peramal itu. Tapi dia melakukannya ha-
nya sebagai lelucon. Aku sama sekali tidak pernah
berpikir dia bermaksud jahat: tapi kalau dia memang
melakukan hal itu, dan ternyata Mrs. Pritchard cukup
konyol sampai mati gara-gara ketakutan... yah, begitu
kan yang dimaksud oleh Miss Marple?”

”Tidak, Sayang, bukan begitu persisnya,” kata Miss


Marple. "Kalian tahu, kalau aku hendak membunuh
seseorang—tapi tentu saja aku takkan pernah melaku-
kannya, sebab aku benci membunuh—termasuk mem-
bunuh ngengat sekalipun, meski aku tahu aku harus
melakukannya, dan aku yakin para tukang kebun juga
melakukannya dengan semanusiawi mungkin. Seben-
tar, apa yang hendak kuomongkan tadi?”

"Kalau Anda hendak membunuh seseorang,” sahut


Sir Henry cepat.

”Oh, ya. Yah, kalau aku hendak melakukannya,

142
aku tidak akan begitu saja memercayakan segalanya
pada rasa takut. Aku tahu kita sering membaca hal-
hal seperti itu, tapi rasanya cara itu sangat tidak me-
yakinkan, dan orang-orang yang sangat penggugup
biasanya justru lebih berani daripada yang kita kira.
Aku akan memakai cara yang lebih pasti dan jelas,
dan akan kurencanakan segalanya dengan baik se-
kali.”

”Miss Marple,” kata Sir Henry, "Anda membuatku


takut. Kuharap Anda takkan pernah berkeinginan me-
nyingkirkanku. Rencana Anda pasti jitu sekali.”

Miss Marple memandangnya dengan tersinggung.

"Kurasa aku sudah mengatakan dengan jelas tadi


bahwa aku takkan pernah melakukan perbuatan keji
itu,” katanya. "Tidak, aku cuma berusaha menempat-
kan diriku pada posisi... eh... orang tertentu.”

”Maksud Anda George Pritchard?” tanya Kolonel


Bantry. "Aku sama sekali tak pernah menyangka bah-
wa George... meskipun perawat itu menduga begitu.
Aku pergi menemuinya kurang lebih sebulan setelah
kejadian itu, pada waktu makamnya digali lagi. Dia
tidak tahu bagaimana George melakukannya—pokok-
nya dia tidak mau mengatakan apa-apa tentang hal
itu—tapi sudah jelas dia mengira George ada sangkut
pautnya dengan kematian istrinya. Dia yakin tentang
itu.”

”Yah,” kata dr. Lloyd, "mungkin dugaannya tidak


terlalu melenceng jauh. Dan bukankah perawat biasa-
nya tahu? Dia tidak bilang apa-apa—dia tidak punya
bukti apa pun—tapi dia tahu.”

Sir Henry mencondongkan tubuh ke depan.

143
”Ayolah, Miss Marple,” katanya dengan nada mem-
bujuk. "Anda kok melamun saja. Bagaimana pendapat
Anda?”

Miss Marple terlonjak kaget dan wajahnya menjadi


merah.

"Maafkan aku,” katanya. "Aku cuma teringat Ke-


pala Perawat di desaku. Betul-betul masalah yang su-
ic.”

”Lebih sulit daripada masalah bunga geranium biru


ini?”

"Masalah itu sesungguhnya lebih tergantung pada


bunga mawarnya,” kata Miss Marple. ”Maksudku,
Mrs. Bantry berkata mawar-mawar itu berwarna ku-
ning dan merah muda. Kalau mawar merah muda
yang berubah menjadi biru, tentu saja semuanya jadi
cocok dengan sempurna. Tapi kalau yang kuning yang
berubah...”

”Yang berubah itu mawar merah muda,” kata Mrs.


Bantry.

Dia membelalakkan mata. Semua orang menatap


Miss Marple.

”Kalau begitu, semuanya cocok,” kata Miss Marple.


Dia menggeleng dengan menyesal. "Gara-gara musim
ngengat dan segalanya itu. Belum lagi bau gas yang
tercium.”

”Kurasa hal-hal itu membuat Anda teringat pada


berbagai tragedi yang terjadi di desa Anda?” tanya Sir
Henry.

”Bukan tragedi,” sahut Miss Marple. "Dan sudah


pasti bukan tindakan kriminal. Tapi memang aku jadi
teringat pada suatu masalah kecil yang menyangkut

144
Kepala Perawat. Bagaimanapun, mereka kan juga ma-
nusia. Bayangkan, mereka harus selalu bersikap sopan,
mengenakan seragam dengan kerah kaku, dan harus
mengabdi pada keluarga yang dirawatnya—yah, bisa-
kah kalian membayangkan kalau kadang-kadang se-
suatu bisa juga menimpa mereka?”

Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepala Sir Henry.

"Maksud Anda Suster Carstairs?”

”Oh, tidak. Bukan Suster Carstairs. Suster Copling.


Kalian tahu, dia pernah bekerja di sana dan sangat
tergila-gila pada Mr. Pritchard, yang seperti kalian
bilang tadi adalah laki-laki yang menarik. Aku berani
bertaruh dia mengira... yah, kita tak perlu membahas
soal itu. Kukira dia sama sekali tidak tahu apa-apa
tentang Miss Instow, dan tentu saja setelah
mengetahuinya, dia jadi membenci Mr. Pritchard dan
berusaha keras mencelakainya. Tentu saja surat itu
yang membuka kedoknya, bukan?”

”Surat apa?”

”Yah, dia menulis surat pada peramal itu atas per-


mintaan Mrs. Pritchard, dan peramal itu datang, keli-
hatannya sebagai balasan atas surat itu. Tapi kemudian
diketahui tidak ada orang bernama seperti itu pada
alamat tersebut. Jadi, itu membuktikan bahwa Suster
Copling ada sangkut-pautnya. Dia cuma berpura-pura
menulis. Jadi, apa yang lebih mungkin selain dia sen-
dirilah yang menjadi peramal itu?”

”Aku tidak pernah memperhatikan soal surat itu,”


kata Sir Henry. "Padahal itu petunjuk paling pen-
ting.”

”Tindakannya memang cukup berani,” kata Miss

145
Marple, ”karena Mrs. Pritchard mungkin saja menge-
nalinya, meskipun dia sudah menyamar—tapi kalau-
pun itu terjadi, perawat itu bisa saja berdalih dia
cuma hendak membuat lelucon.”

”Apa maksud Anda, mengatakan kalau Anda jadi


orang itu, Anda takkan begitu saja memercayakan
segalanya pada rasa takut?” tanya Sir Henry.

"Yah, cara itu zidak bisa diandalkan,” kata Miss


Marple. "Tidak, kukira segala peringatan dan bunga-
bunga biru itu, kalau aku boleh memakai istilah mi-
liter,” dia tertawa sendiri— "cuma kamuflase belaka.”

”Dan yang benar apa?”

”Aku tahu,” kata Miss Marple dengan nada me-


minta maaf, "akhir-akhir ini kepalaku dipusingkan
dengan soal ngengat. Makhluk malang, yang mati
sampai ribuan jumlahnya—dan biasanya pada musim
panas yang indah. Tapi aku jadi ingat sesuatu. Ketika
melihat tukang kebun mengocok sianida potasium di
sebuah botol dengan air, bentuknya persis sekali de-
ngan garam amonia. Dan kalau campuran itu di-
masukkan ke botol garam amonia dan ditukar dengan
yang asli—yah, bukankah wanita malang itu terbiasa
menggunakan garam amonia? Kalian tadi juga me-
ngatakan botol itu ditemukan di samping tangannya.
Sewaktu Mr. Pritchard pergi menelepon dokter,
perawat itu menggantinya dengan botol yang asli dan
dia memutar sedikit keran gas menutupi bau pahit
yang ada, berjaga-jaga siapa tahu ada orang yang
merasa aneh. Aku sering mendengar sianida tidak
meninggalkan bekas apa pun kalau waktunya cukup
lama. Tapi aku bisa saja salah, dan mungkin saja isi

146
botol itu lain sama sekali: tapi itu tidak jadi masalah,
bukan?”

Miss Marple berhenti sejenak, agak terengah-


engah.

Jane Helier mencondongkan tubuh dan bertanya,


”Tapi bagaimana dengan bunga geranium biru itu,
dan bunga-bunga lainnya?”

”Para perawat selalu membawa kertas lakmus, bu-


kan?” kata Miss Marple, "untuk... yah, untuk menge-
tes. Bukan soal yang menyenangkan. Kita tidak usah
membicarakannya. Aku dulu juga pernah menjadi pe-
rawat sebentar” Wajahnya jadi betul-betul merah.
”Biru berubah jadi merah karena asam, dan merah
berubah jadi biru karena basa. Jadi, gampang saja
menggosokkan lakmus merah di atas sekuntum bunga
merah—di dekat tempat tidur, tentu saja. Kemudian,
ketika wanita malang itu menggunakan garam pengi-
sapnya, bau amonia yang kuat akan mengubahnya
menjadi biru. Sungguh pemikiran yang cerdik. Tentu
saja bunga geranium itu belum jadi biru ketika me-
reka pertama kali mendobrak pintu kamar—tak se-
orang pun memperhatikan soal itu sampai sesudahnya.
Ketika Suster Copling menukar botol, dia mendekat-
kan botol Sal Ammonia itu di wallpaper selama se-
menit, kurasa.”

”Rasanya seperti Anda berada di sana, Miss Marple,”


kata Sir Henry.

"Yang membuatku cemas,” kata Miss Marple, ”ada-


lah Mr. Pritchard yang malang dan gadis yang baik
itu, Miss Instow. Mungkin mereka berdua saling men-

147
curigai dan menjaga jarak—padahal hidup ini pendek
sekali.”

Dia menggeleng.

"Anda tak perlu cemas,” kata Sir Henry. ”Sebenar-


nya aku sudah mengetahui sesuatu. Seorang perawat
baru saja ditahan karena telah membunuh pasiennya
yang sudah tua, yang telah meninggalkan warisan un-
tuknya. Dia melakukannya dengan menukar garam
pengisap dengan sianida potasium. Suster Copling
telah mengulangi tipuannya. Miss Instow dan Mr.
Pritchard tak perlu meragukan kebenarannya seka-
rang.”

”Nah, itu kabar yang baik sekali,” kata Miss


Marple. "Maksudku bukan tentang pembunuhannya,
tentu saja. Itu sangat menyedihkan, dan menunjukkan
betapa jahatnya dunia ini, dan kalau kita sudah me-
nyerah... oh, aku jadi ingat untuk meneruskan pem-

bicaraanku dengan dr. Lloyd tentang masalah perawat


di desaku.”

148
BAB 8
TEMAN PENDAMPING

” NAH, dr. Lloyd,” kata Miss Helier. "Apakah Anda


tahu cerita-cerita seram lainnya?”

Dia tersenyum pada dr. Lloyd—senyum yang se-


tiap malam memukau para penonton di gedung
teater. Jane Helier kadang-kadang disebut sebagai wa-
nita tercantik di seluruh Inggris, tapi rekan-rekannya
seprofesi, yang merasa iri hati terhadapnya, sering
berkata satu sama lain, "Oh, Jane itu bukan seniman.
Dia tidak bisa berakring—mengerti kan maksudku?
Cuma matanya saja yang hebat!”

Dan ”mata” itu sekarang menatap penuh harap


pada dokter bujangan yang sudah tua dan keriput itu,
yang selama lima tahun terakhir telah mengobati ber-
bagai penyakit di desa St. Mary Mead.

Tanpa sadar dokter itu melepaskan rompinya (yang


akhir-akhir ini terasa sangat sesak di badan) dan

149
buru-buru memutar otak, supaya jangan sampai me-
ngecewakan makhluk cantik yang telah memintanya
dengan penuh harap ini.

”Aku merasa ingin berkubang dalam cerita-cerita


kriminal malam ini,” kata Jane dengan mata menera-
wang.

”Bagus,” komentar Kolonel Bantry, tuan rumahnya.


”Bagus, bagus.” Dan dia tertawa terbahak-bahak, khas
orang militer. "Bagaimana, Dolly?”

Istrinya, yang sedang asyik memikirkan tanaman


pembatas untuk musim semi, tersentak kaget dan me-
nyetujui dengan penuh semangat.

”Tentu saja, itu bagus,” katanya bersemangat, tapi


dengan suara lirih. "Aku juga berpendapat begitu.”

”Apa iya, Sayang?” tanya Miss Marple yang sudah


tua, matanya berbinar-binar sedikit.

”Kami tidak terlalu sering mendengar cerita-cerita


seram—apalagi yang berbau kriminal—di St. Mary
Mead ini, Miss Helier,” kata dr. Lloyd.

”Oh, siapa bilang,” kata Sir Henry Clithering. Man-


tan komisaris Scotland Yard itu berpaling pada Miss
Marple. "Dari teman kita ini, kudengar St. Mary
Mead adalah tempat yang penuh dengan tindakan
kriminal dan kejahatan.”

"Oh, Sir Henry!” protes Miss Marple, warna merah


merambati kedua pipinya. "Aku tidak pernah berkata
begitu. Aku cuma menyatakan bahwa sifat manusia
itu kurang lebih sama, baik di desa maupun di tem-
pat-tempat lain, hanya saja di desa kita lebih punya
kesempatan dan waktu untuk mengamatinya dari de-

kat.”
150
”Tapi Anda kan tidak terus-terusan tinggal di sini,”
kata Jane Helier, masih berharap pada dokter itu.
”Anda pernah mengunjungi berbagai tempat aneh di
seluruh dunia—tempat-tempat di mana bisa terjadi
macam-macam hal.”

”Memang,” sahut dr. Lloyd, masih berusaha keras


memikirkan sesuatu. "Ya, tentu saja... Ya... Ah! Aku
ingat!”

Dia bersandar kembali di kursi dengan lega.

"Terjadinya sudah beberapa tahun yang lampau—


aku sudah hampir melupakannya. Tapi fakta-faktanya
begitu aneh, sungguh, aneh sekali. Belum lagi peris-
tiwa yang kebetulan terjadi, yang menjadi kunci pem-
buka misteri ini.”

Miss Helier menarik kursinya mendekati dokter


itu, memulas lipstik, dan menunggu dengan penuh
harap. Orang-orang lainnya juga menatap sang dokter
dengan wajah penuh minat.

”Entah apakah di antara kalian ada yang mengenal


Kepulauan Canary,” dokter itu memulai.

”Pasti tempat yang indah,” kata Jane Helier. ”Letak-


nya di Laut Selatan, bukan? Atau di Mediterania,
ya?”

”Aku mengunjunginya dalam perjalananku ke


Afrika Selatan,” kata si kolonel. "Puncak Tenerife
tampak sangat indah kala matahari mulai terbenam.

”Peristiwa yang akan kuceritakan terjadi di pulau


bernama Grand Canary, bukan di Tenerife. Sudah
bertahun-tahun yang lampau. Waktu itu kesehatanku
sedang buruk, dan aku terpaksa meninggalkan praktik-
ku di Inggris dan pergi ke luar negeri. Aku membuka

151
praktik di Las Palmas, ibu kota Grand Canary. Boleh
dikatakan aku sangat menikmati kehidupanku di sana.
Iklimnya selalu lembut dan hangat, bagus untuk bere-
nang (aku suka sekali berenang), selain itu, aku ter-
tarik dengan kehidupan di daerah pelabuhannya. Ka-
pal-kapal dari seluruh dunia singgah di Las Palmas.
Aku suka sekali menyusuri dermaga setiap pagi: me-
lebihi para wanita yang suka berjalan di sepanjang
deretan toko topi.

”Seperti kukatakan, kapal-kapal dari seluruh dunia


singgah di Las Palmas. Kadang-kadang mereka mam-
pir selama beberapa jam, kadang-kadang sampai sehari
dua hari. Di hotel terbesar di sana, Metropole Hotel,
kita bisa melihat berbagai suku bangsa dan ras—ber-
kumpul bersama. Bahkan orang-orang yang hendak
pergi ke Tenerife biasanya juga mampir di sana dan
tinggal selama beberapa hari sebelum menyeberang ke
pulau lainnya.

”Ceritaku dimulai di sini, di Metropole Hotel,


pada hari Kamis malam di bulan Januari. Ada acara
dansa diselenggarakan di sana. Aku duduk dengan
seorang teman di sebuah meja kecil, menonton acara
itu. Di antara orang-orang yang hadir ada beberapa
yang berkebangsaan Inggris dan bangsa-bangsa lain-
nya, tapi sebagian besar berkebangsaan Spanyol, ketika
orkes mulai memainkan tango, hanya setengah lusin
pasangan berkebangsaan Spanyol yang berdansa.
Mereka semua berdansa dengan bagus dan kami terus
menonton dengan penuh kekaguman. Ada seorang
wanita yang sangat menarik perhatian kami. Jang-
kung, cantik, dan ramping. Dia bergerak dengan le-

152
mah gemulai, seperti seekor macan kumbang yang
setengah jinak. Ada kesan berbahaya pada dirinya.
Begitulah yang kukatakan pada temanku, dan dia se-
tuju.

” Wanita seperti itu, katanya, ditakdirkan untuk


membuat sejarah. Hidup tidak akan begitu saja me-
lewati mereka."

"Kecantikan mungkin adalah harta yang berba-


haya, kataku.

”Bukan cuma kecantikan,” bantahnya. 'Ada sesuatu


yang lain. Coba perhatikan dia. Banyak kejadian akan
menimpa dirinya, atau disebabkan olehnya. Seperti
kataku, hidup tidak akan melewatinya begitu saja.
Kejadian-kejadian aneh dan menegangkan akan menge-
lilinginya. Sekali lihat aku sudah tahu."

”Dia berhenti sejenak, kemudian menambahkan


sambil tersenyum,

"Bandingkan dengan dua wanita yang duduk di


sana. Sekali lihat, kita langsung tahu tidak akan ada
sesuatu pun yang luar biasa menimpa mereka! Mereka
diciptakan untuk menjalani hidup yang aman dan
tenang.”

”Aku mengikuti pandangan matanya. Dua wanita


yang disebut-sebutnya itu adalah para pelancong yang
baru saja tiba—sebuah kapal Holland Lloyd berlabuh
di pelabuhan sore itu, dan para penumpangnya baru
saja turun.

”Ketika memandang mereka, aku segera mengerti


maksud temanku. Mereka adalah dua wanita Ing-
gris—jenis pelancong yang biasa kita temukan kalau
sedang bepergian ke luar negeri. Umur mereka, menu-

153
rut taksiranku, sekitar empat puluh. Yang satu pucat
dan agak sedikit—tapi cuma sedikit —kegemukan, se-
dang yang satunya agak gelap parasnya dan sedikit—
sekali lagi cuma sedikit—kurus. Mereka tampak kuno,
pendiam, dengan dandanan biasa-biasa saja, serta wa-
jah bebas dari make-up apa pun. Pembawaan mereka
berkesan tenang, yang merupakan ciri khas wanita
Inggris dari keluarga baik-baik. Tidak ada yang luar
biasa pada diri mereka. Pada dasarnya, banyak wanita
yang seperti mereka. Tidak diragukan lagi, mereka
hanya akan melihat apa yang mereka inginkan, de-
ngan bantuan buku panduan Baedeker, dan tidak pe-
duli terhadap lain-lainnya. Mereka hanya akan meng-
gunakan perpustakaan Inggris dan menghadiri gereja
Inggris saja di setiap tempat yang mereka kunjungi:
ada kemungkinan salah satu dari mereka, atau kedua-
duanya, bisa menggambar sedikit. Dan seperti kata
temanku, tidak ada sesuatu pun yang luar biasa atau
menegangkan akan menimpa mereka berdua, meski
mereka mungkin telah berkelana ke hampir separuh
belahan dunia. Setelah memandang mereka, aku me-
lihat lagi wanita Spanyol yang ramping itu dengan
matanya yang setengah terpejam, dan aku terse-

nyum.”

"Wanita-wanita malang,” kata Jane Helier sambil


menarik napas panjang. "Aku berpendapat wanita
yang tidak mau memaksimalkan diri adalah wanita
yang bodoh. Seperti wanita di Bond Street itu—Valen-
tine—dia betul-betul hebat. Audrey Denman pergi ke
tokonya. Apakah kalian melihat Audrey dalam The
Downward? Sebagai murid sekolah di babak pertama,

154
dia betul-betul hebat. Padahal umurnya sudah lima
puluh tahun. Omong-omong, aku tahu dia sebenar-
nya sudah hampir enam puluh.

”Teruskan,” kata Mrs. Bantry pada dr. Lloyd. "Aku


suka cerita tentang para penari Spanyol yang lemah
gemulai. Membuatku lupa tentang diriku yang tua
dan gemuk ini.”

”Maafkan aku,” kata dr. Lloyd dengan nada


menyesal. ”Tapi sebenarnya ceritaku tidak ada
sangkut-pautnya dengan wanita Spanyol itu.”

"Oh ya?”

”Tidak. Kebetulan temanku dan aku salah. Tidak


ada kejadian menegangkan apa pun yang terjadi pada
wanita Spanyol itu. Dia menikah dengan seorang pe-
gawai pelayaran, dan pada saat aku meninggalkan
pulau, dia sudah punya lima anak dan tubuhnya su-
dah gemuk sekali.”

”Persis seperti gadis di Israel Peters,” komentar


Miss Marple. "Gadis yang berkarier di panggung dan
mempunyai sepasang kaki indah, sehingga mereka
memasangnya sebagai pemeran utama dalam sebuah
pantomim. Semua orang berkata dia menyia-nyiakan
hidupnya, tapi nyatanya dia menikah dengan seorang
pelancong komersial dan menikmati hidup nyaman.”

”Gosip desa,” gumam Sir Henry lirih.

”Tidak,” lanjut si dokter. ”Ceritaku ini berkaitan


dengan dua wanita Inggris itu.”

”Ada sesuatu yang menimpa mereka?” tanya Miss


Helier sambil menahan napas.

”Ya—dan kejadiannya tepat pada keesokan hari-


nya.

155
”Ya?” kata Mrs. Bantry memberi semangat.

”Karena ingin tahu, malam itu ketika pulang aku


melirik buku register hotel. Aku menemukan nama-
nama mereka dengan mudah. Miss Mary Barton dan
Miss Amy Durrant dari Little Paddocks, Caughton
Weir, Bucks. Waktu itu aku sama sekali tak mengira
akan segera bertemu lagi dengan kedua wanita itu—
dalam kondisi tragis.

"Keesokan harinya, aku telah berencana pergi pik-


nik dengan beberapa orang teman. Kami akan naik
mobil mengelilingi pulau sambil membawa bekal ma-
kan siang, menuju suatu tempat bernama (sejauh
yang kuingat—habis sudah lama sekali) Las Nieves,
sebuah teluk yang agak menjorok, tempat kami bisa
berenang sesuka hati. Rencana ini kami laksanakan,
hanya saja kami agak terlambat waktu berangkat,
sehingga terpaksa berhenti dalam perjalanan untuk
membuka bekal makan siang, dan pergi ke Las
Nieves sesudahnya, untuk berenang sebelum saar
minum teh.

”Ketika mendekati pantai itu, kami segera tahu ada


kekacauan yang luar biasa. Tampaknya seluruh pen-
duduk desa kecil itu sudah berkumpul di pantai.
Begitu melihat kami, mereka segera mendekati mobil
kami dan mulai menjelaskan semuanya dengan te-
gang. Karena bahasa Spanyol kami tidak terlalu baik,
baru beberapa saat kemudian kami mengerti, tapi
akhirnya aku betul-betul paham.

”Ada dua wanita Inggris gila yang berenang, salah


seorang dari mereka berenang terlalu jauh dan meng-
alami kesulitan. Yang satunya berusaha mengejar dan

156
menyeretnya kembali, tapi tenaganya tidak kuat dan
dia sendiri nyaris tenggelam seandainya tidak ada se-
orang laki-laki yang kebetulan sedang berperahu dan
mengajak seorang penyelamat untuk menolongnya—
tapi wanita satunya sudah tidak tertolong.

”Begitu memahami semuanya, aku langsung mene-


robos kerumunan orang dan buru-buru menyusuri
pantai. Mula-mula aku tidak mengenali kedua wanita
itu. Sosok gemuk dalam baju renang hitam dan topi
karet berwarna hijau itu sama sekali tidak membangkit-
kan ingatanku ketika dia mendongak padaku dengan
cemas. Dia sedang berlutut di samping tubuh teman-
nya, berusaha sebisa-bisanya memberikan pernapasan
buatan. Ketika kukatakan padanya bahwa aku dokter,
dia mengembuskan napas lega, dan aku menyuruhnya
segera pergi ke salah sebuah pondok untuk menggosok
tubuh dan menukar pakaiannya dengan yang kering.
Salah seorang wanita dalam kelompokku me-
nemaninya. Aku sendiri dengan sia-sia berusaha meno-
long wanita yang tenggelam itu. Tapi dia jelas sudah
meninggal, dan akhirnya aku harus menyerah.

”Aku bergabung dengan yang lainnya di pondok


nelayan yang kecil itu, dan di sana aku terpaksa meng-
umumkan berita duka tersebut. Wanita yang selamat
itu sekarang sudah mengenakan pakaiannya sendiri,
dan aku segera mengenalinya sebagai salah satu dari
dua pengunjung yang baru tiba kemarin sore. Dia
menerima berita sedih itu dengan sikap tenang. 'Tam-
pak jelas bahwa rasa ngeri dari seluruh kejadian itulah
yang membuatnya terpukul, ketimbang perasaan pri-
badi apa pun.

157
”Amy yang malang, katanya. 'Amy, oh, Amy. Dia
begitu ingin berenang di sini. Padahal dia jago re-
nang. Saya tidak mengerti. Kenapa dia bisa meng-
alami kejadian seperti ini, dokter?

”Mungkin dia kram. Maukah Anda menceritakan


semuanya dengan jelas?

”Kami berdua baru saja berenang selama kurang


lebih dua puluh menit, saya rasa. Kemudian saya
berpikir untuk berhenti, tapi Amy berkata dia ingin
berenang sekali lagi. Dan dia melakukannya, tapi
tiba-tiba saya mendengarnya memanggil-manggil, dan
saya sadar dia sedang berteriak minta tolong. Saya
berenang secepat-cepatnya. Dia masih mengapung
ketika saya menghampirinya, tapi dia mencengkeram
saya dengan membabi buta, membuat kami berdua
jadi tenggelam. Kalau tidak ada laki-laki dengan pe-
rahu itu, saya pasti tenggelam juga."

” Kejadian seperti ini memang sering terjadi, kata-


ku. 'Menyelamatkan seseorang dari bahaya tenggelam
bukan pekerjaan gampang.

”Sungguh menyedihkan, lanjut Miss Barton.


'Kami baru tiba kemarin, begitu gembira bisa menik-
mati sinar matahari dan liburan kecil kami. Dan seka-
rang... tragedi mengerikan ini terjadi.

”Aku menanyakan padanya tentang wanita yang


meninggal itu, sambil menjelaskan bahwa aku bersedia
menolongnya, karena pihak berwajib di Spanyol pasti
menghendaki informasi lengkap. Dia langsung men-
jawab pertanyaanku.

”Wanita yang meninggal itu bernama Miss Amy


Durrant, teman yang dibayarnya untuk menemaninya

158
semenjak kurang lebih lima bulan yang lalu. Mereka
cocok satu sama lain, tapi Miss Durrant tidak terlalu
banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya.
Dia sudah yatim piatu semenjak masih kecil sekali
dan dibesarkan oleh pamannya, dan sudah menghi-
dupi diri sendiri semenjak berumur dua puluh satu
tahun.

”Nah, begitulah ceritanya,” lanjut si dokter. Dia


berhenti sejenak, kemudian berkata lagi, tapi kali ini
dengan nada final dalam suaranya, "Begitu saja.”

”Aku tidak mengerti,” kata Jane Helier. "Cuma


begitu ceritanya? Maksudku, memang tragis menurut-
ku, tapi... tidak bisa kuanggap seram.”

"Kurasa masih ada kelanjutannya,” kata Sir Henry.

”Ya,” sahut dr. Lloyd, "memang masih ada kelan-


jutannya. Kalian tahu, ada satu hal aneh. Tentu saja
aku mengajukan berbagai pertanyaan pada para ne-
layan dan sebagainya, tentang apa yang telah mereka
lihat. Sebab merekalah saksi matanya. Ada satu wanita
yang mempunyai cerita agak aneh. Waktu itu aku ti-
dak terlalu memperhatikan, tapi kemudian aku ter-
ingat padanya. Kalian tahu, dia berkeras mengatakan
bahwa Miss Durrant sama sekali tidak mengalami ke-
sulitan apa pun ketika berteriak memanggil-manggil.
Wanita satunya berenang menghampirinya, dan me-
nurut cerita wanita ini, wanita itu sengaja membe-
namkan kepala Miss Durrant di bawah air. Seperti
kubilang tadi, waktu itu aku tidak terlalu memperhati-
kan. Sebab ceritanya begitu fantastis, dan kejadian-ke-
jadian seperti itu memang bisa terlihat berbeda dari
tepi pantai. Miss Barton mungkin telah berusaha

159
membuat pingsan temannya, karena dia sadar bahwa
kepanikan temannya itu malah bisa menenggelamkan
mereka berdua. Tapi menurut cerita wanita Spanyol
itu, kelihatannya seperti... yah, Miss Barton sengaja
menenggelamkan teman bayarannya.

”Seperti kubilang tadi, aku tidak terlalu menggubris


cerita tersebut pada saat itu. Aku baru teringat lagi
sesudahnya. Kesulitan terbesar kami adalah menge-
tahui segala sesuatu tentang wanita ini, Amy Durrant.
Kelihatannya dia tidak punya sanak saudara. Miss
Barton dan aku pergi memeriksa barang-barang
bawaannya. Kami menemukan sebuah alamat dan
menulis surat ke sana, tapi ternyata alamat itu cuma
sebuah kamar yang telah disewanya untuk menyimpan
barang-barangnya. Si induk semang tidak tahu apa-
apa, dan cuma pernah melihatnya sekali, ketika dia
menyewa kamar itu. Waktu itu Miss Durrant mengata-
kan padanya dia senang punya tempat tinggal yang
bisa disebutnya sebagai miliknya sendiri, tempat dia
bisa pulang setiap saat. Ada satu atau dua perabot tua
yang bagus, sejumlah besar foto Akademi, dan se-
koper barang yang dibeli di pasar loak, tapi tidak ada
barang-barang pribadi. Dia pernah bercerita pada in-
duk semangnya bahwa ayah dan ibunya meninggal di
India ketika dia masih kecil, dan sejak itu dia dibesar-
kan oleh pamannya yang pendeta, tapi dia tidak ber-
cerita apakah pamannya itu dari pihak ayahnya atau
ibunya, jadi tidak ada nama yang bisa dijadikan pa-
tokan.

”Memang semua ini tidaklah misterius, hanya saja


tidak memuaskan. Banyak wanita yang kesepian, geng-

160
si, dan penyendiri, dalam posisi seperti itu. Ada sepa-
sang foto di antara barang-barang miliknya di Las
Palmas—agak tua dan buram, serta sudah dipotong
agar pas dengan piguranya, jadi tidak ada nama foto-
grafer di baliknya. Lalu ada sebuah foto hitam putih
yang mungkin dulu milik ibunya, atau lebih mungkin
milik neneknya.

”Miss Barton punya dua referensi tentang diri Miss


Durrant. Dia lupa satunya, tapi nama lainnya bisa
diingatnya setelah berpikir keras. Ternyata itu nama
seorang wanita yang sudah pindah ke luar negeri, ke
Australia. Miss Barton menulisinya surat. Balasannya
tentu saja lama sekali baru muncul, dan itu pun tidak
memberikan petunjuk apa-apa. Wanita itu menulis
bahwa Miss Durrant memang pernah menemaninya
dulu, sikapnya betul-betul efisien dan dia wanita yang
menyenangkan, tapi mantan majikannya itu sama
sekali tidak tahu apa-apa tentang masalah-masalah
pribadi atau keluarga Miss Durrant.

”Jadi, begitulah—seperti kubilang tadi, tidak ada


yang luar biasa. Aku hanya merasa tidak enak karena
dua hal. Amy Durrant yang tidak dikenal oleh siapa
pun secara pribadi, serta cerita aneh wanita Spanyol
itu. Ya, dan aku bisa menambahkan hal ketiga: Ketika
aku pertama kali berjongkok untuk memeriksa tubuh
Miss Durrant dan Miss Barton sedang berjalan me-
nuju pondok nelayan, dia menoleh ke belakang.
Ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran men-
dalam—semacam ketidakpastian yang mendebarkan,
yang membuat otakku jadi merekamnya.

"Waktu itu aku tidak merasa ada keanehan apa

161
pun. Kupikir itu pasti gara-gara kekagetan yang di-
alaminya akibat tragedi yang menimpa temannya.
Tapi sesudah itu aku sadar bahwa mereka berdua ti-
daklah seerat itu. Tidak ada hubungan akrab antara
mereka berdua, tidak ada kedukaan mendalam. Miss
Barton memang menyukai Amy Durrant dan kaget
karena kematiannya—itu saja.

”Tapi, kalau begitu, kenapa dia merasa sangat kha-


watir? Pertanyaan itulah yang terus mengganggu pi-
kiranku. Aku tidak salah mengartikan pandangannya
itu. Dan nyaris melawan hati naluriku, sebuah ja-
waban mulai terukir dalam otakku. Misalkan saja ce-
rita wanita Spanyol itu benar, misalkan Mary Barton
memang sengaja dan dengan darah dingin telah men-
coba membunuh Amy Durrant. Dia berhasil menekan
kepala temannya di dalam air, sementara berpura-pura
menyelamatkannya. Dia ditolong oleh sebuah perahu.
Mereka cuma berdua di pantai yang sepi dan jauh
dari mana-mana. Kemudian aku muncul—betul-betul
orang yang tidak diharapkan. Seorang dokter! Dokter
Inggris lagi! Dia cukup tahu bahwa orang-orang yang
pernah tenggelam lebih lama daripada Amy Durrant
bisa berhasil diselamatkan dengan pernapasan buatan.
Tapi dia harus tetap memainkan sandiwaranya—pergi
dan meninggalkan aku sendirian dengan si korban.
Dan ketika dia menoleh untuk terakhir kali, ekspresi
kekhawatiran mendalam tampak di wajahnya. Apakah
Amy Durrant bisa selamat dan menceritakan apa yang
sesungguhnya terjadi?”

”Oh!” kata Jane Helier. "Aku merasa tegang seka-


rang.”

162
”Kalau dipandang dari segi itu, seluruh kejadian
tersebut rasanya tampak lebih kejam, dan kepribadian
Amy Durrant jadi lebih misterius. Siapakah Amy
Durrant itu? Kenapa dia, seorang teman bayaran yang
tidak ada artinya, dibunuh oleh majikannya? Cerita
apa yang melatarbelakangi peristiwa berenang itu? Dia
baru beberapa bulan bekerja untuk Mary Barton.
Mary Barton mengajaknya ke luar negeri, dan tepat
keesokan harinya setelah mereka mendarat, tragedi itu
terjadi. Padahal mereka adalah dua wanita Inggris
yang biasa-biasa saja, ramah, dan berpendidikan baik!
Seluruh kejadian itu memang fantastis, pikirku. Aku
pasti telah membiarkan pikiranku melantur.”

”Kalau begitu, Anda tidak melakukan apa-apa?”


tanya Miss Helier.

”Nona manis, apa yang bisa kulakukan? Tidak ada


bukti apa-apa. Sebagian besar saksi mata memaparkan
cerita yang sama dengan cerita Miss Barton. Aku te-
lah membangun kecurigaanku sendiri, hanya karena
ekspresi wajah yang kurasa cuma khayalanku belaka.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan dan memang
kulakukan adalah menyelidiki sebisa-bisanya tentang
sanak keluarga Amy Durrant. Karena itu, ketika ber-
kesempatan pergi ke Inggris, aku mengunjungi induk
semang kamar sewaannya itu. Hasilnya telah kucerita-
kan pada kalian tadi.”

”Tapi Anda tetap merasa ada yang tidak beres,”


kata Miss Marple.

Dokter Lloyd mengangguk.

”Tapi separuh perasaanku merasa malu karena


mempunyai pikiran seperti itu. Siapakah aku ini, se-

163
hingga mencurigai seorang wanita Inggris yang menye-
nangkan sebagai pembunuh licik dan berdarah dingin?
Aku berusaha bersikap seramah mungkin terhadapnya
selama kunjungannya yang singkat di pulau. Aku me-
nolongnya sedapat mungkin sebagai teman sebangsa
yang sama-sama berada di negeri asing, tapi entah
kenapa, aku yakin dia tahu aku mencurigainya dan
tidak menyukainya.”

”Berapa lama dia tinggal di sana?” tanya Miss


Marple.

"Kurasa sekitar dua minggu. Miss Durrant di-


makamkan di sana, dan kurang lebih sepuluh hari
kemudian, Miss Barton naik kapal dan kembali ke
Inggris. Dia merasa tidak dapat menghabiskan musim
dingin di sana seperti rencananya semula, gara-gara
shock yang sangat mengguncangnya. Begitulah kata-
nya.”
”Apakah dia tampak terguncang?” tanya Miss
Marple.

Dokter itu ragu-ragu.

”Yah, aku tidak tahu apakah hal itu berpengaruh


pada penampilannya,” sahutnya hati-hati.

”Dia tidak, misalnya, kelihatan lebih gemuk?” ta-


nya Miss Marple.

”Aneh sekali Anda bisa berkata begitu. Sekarang


kalau kupikir-pikir lagi, rasanya Anda betul. Dia... ya,
dia memang tampak sedikit lebih gemuk.”

”Betapa mengerikan,” komentar Jane Helier sambil


merinding. "Rasanya seperti... seperti menggemukkan
badan dengan darah korbannya.”

”Tapi, di sisi lain, kurasa aku telah bersikap tidak

164
adil padanya,” lanjut dr. Lloyd. "Nyatanya dia me-
mang mengatakan sesuatu padaku sebelum berangkat.
Ucapannya itu malah membuka jalan ke arah yang
sama sekali berbeda. Kurasa hati nalurinya mulai ter-
usik pelan-pelan—dan dia mulai menyesal atas per-
buatannya yang keji.

"Waktu itu malam hari sebelum keberangkatannya


dari Kepulauan Canary. Dia memintaku datang me-
ngunjunginya. Dia mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya atas segala yang telah kulakukan untuk me-
nolongnya. Aku, tentu saja, membantah perkataannya.
Kukatakan aku hanya melakukan tugasku sesuai si-
tuasi waktu itu, dan sebagainya. Lalu dia terdiam se-
jenak, dan tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan pada-
ku.
”Menurut Anda, katanya, salahkah orang yang
terpaksa main hakim sendiri?

”Aku berkata bahwa pertanyaannya itu agak sulit


dijawab, tapi secara keseluruhan, kurasa ya. Hukum
adalah hukum, dan kita semua harus mematuhinya.

”Bahkan kalau hukum itu tak berdaya?

”Saya tidak mengerti."

”Sulit bagi saya untuk menjelaskannya, tapi orang


bisa saja melakukan sesuatu yang salah—yang bisa
dianggap kejahatan—karena alasan yang baik dan ma-
suk akal."

”Aku menyahut dengan tak acuh bahwa memang


ada beberapa penjahat yang mempunyai pikiran se-
perti itu, dan dia terdiam.

”Tapi itu buruk sekali” gumamnya. 'Buruk se-

kali.
165
”Kemudian dengan nada berbeda dia bertanya pada-
ku apakah aku bisa memberinya pil tidur. Dia tidak
bisa tidur nyenyak sejak—dia ragu-ragu—sejak meng-
alami shock hebat itu.

”Apakah Anda yakin itu penyebabnya? Apa ada


yang tidak beres dengan Anda? Ada sesuatu yang
mengganggu pikiran Anda?

"Pikiran saya? Apa yang mengganggu pikiran


saya?

”Suaranya terdengar berang dan penuh kecuri-


gaan.

”Kecemasan bisa menyebabkan orang tak bisa ti-


dur, kadang-kadang, karaku dengan enteng.

”Dia tampak merenung selama beberapa saat.

”Maksud Anda mencemaskan masa depan, atau


mencemaskan masa lalu yang sudah tak bisa diubah
lagi?”

”Kedua-duanya.

”"Tapi percuma saja mencemaskan masa lalu. Kita


tak bisa mengembalikan... Oh! Percuma saja! Kita
tidak boleh mempunyai pikiran seperti itu. Kita tidak
boleh terlarut dalam kecemasan seperti itu.'

”Aku menuliskan resep obat tidur yang ringan


untuknya dan mengucapkan selamat tinggal. Ketika
berbalik untuk pulang, aku teringat pada ucapannya.
'Kita tak bisa mengembalikan... Apa? Atau siapa?

”Kurasa percakapan terakhir itulah yang membuat-


ku tidak kaget ketika menghadapi apa yang terjadi
kemudian. Tentu saja aku sama sekali tak menyangka,
tapi ketika hal itu terjadi, aku tidak terkejut. Karena
Mary Barton pada dasarnya, menurutku, adalah wa-

166
nita yang penuh perasaan—dia bukan pendosa yang
lemah, tapi seorang wanita dengan naluri peka yang
akan dengan teguh menjaga prinsipnya, dan tidak
akan luluh sepanjang dia meyakini kebenaran prinsip-
nya itu. Aku membayangkan bahwa dalam percakapan
kami yang terakhir itu, dia mulai meragukan naluri-
nya sendiri. Aku tahu dari kata-katanya bahwa dalam
hati dia sebenarnya mulai agak... agak menyesal.

”Peristiwa selanjutnya terjadi di Cornwall, di se-


buah danau kecil yang agak sepi pada bulan itu. Wak-
tu itu kira-kira... sebentar... akhir Maret. Aku mem-
bacanya di koran. Seorang wanita menginap di hotel
kecil di sana—Miss Barton namanya. Tindak-
tanduknya sangat aneh dan ganjil. Semua orang
memperhatikannya. Pada malam hari dia suka
mondar-mandir di kamarnya, sambil menggumam
sendiri, sehingga orang-orang di kamar-kamar di se-
belahnya tak bisa tidur. Suatu hari dia mengunjungi
seorang pendeta dan mengatakan bahwa dia punya
pengakuan penting. Dia berkata telah melakukan
suatu kejahatan. Tapi dia tidak jadi meneruskan penga-
kuannya, malah tiba-tiba berdiri dan berkata akan
datang lagi keesokan harinya. Pendeta itu menganggap-
nya kurang waras, dan tidak memperhatikan penga-
kuan singkatnya itu dengan serius.

"Keesokan harinya, wanita itu dilaporkan hilang


dari kamarnya. Sebuah surat ditinggalkan untuk pe-
tugas jenazah. Bunyinya sebagai berikut:

Aku sudah berusaha mengatakannya pada pendeta

kemarin, mengakui semuanya, tapi tak bisa. Dia

167
tidak memperbolehkannya. Hanya ada satu cara
yang bisa kutempuh untuk meminta maaf—mene-
busnya dengan nyawaku, itu berarti kehidupanku
harus berakhir dengan cara yang sama seperti ke-
hidupannya. Aku juga harus tenggelam di laut da-
lam. Dulu aku mengira telah menegakkan keadilan.
Aku mengerti sekarang, aku salah. Kalau aku me-
mang menghendaki pengampunan dari Amy, maka
aku harus mendatanginya. Jangan ada yang disalah-
kan karena kematianku—Mary Barton.

”Pakaian-pakaiannya ditemukan tergeletak di


pantai, di sebuah teluk terpencil di dekat situ. Jelas
dia telah melepas semua pakaiannya di sana, kemu-
dian berenang dengan hati teguh menuju laut dalam
yang arusnya terkenal berbahaya dan bisa menghanyut-
kan orang.

”Mayatnya tidak berhasil ditemukan, tapi setelah


beberapa waktu, dia diputuskan telah meninggal. Dia
wanita kaya, hartanya ditaksir bernilai seratus ribu
pound, Karena dia meninggal tanpa meninggalkan su-
rat warisan, semua hartanya jatuh pada keluarga dekat-
nya—yaitu sepupu-sepupunya yang tinggal di Austra-
lia. Koran-koran juga menyebutkan sepintas tragedi
yang terjadi di Kepulauan Canary, sambil mengemuka-
kan teori bahwa kematian Miss Durrant-lah yang
mengacaukan pikiran temannya. Pada saat pemerik-
saan, keputusan yang dikeluarkan adalah Bunuh diri
karena ketidakwarasan sementara.

”Dan usailah sudah pertunjukan tragedi Amy


Durrant dan Mary Barton.”

168
Semua orang terdiam cukup lama, kemudian Jane
Helier menarik napas dengan keras.

”Oh, tapi Anda tidak boleh berhenti di sini—pada


saat yang paling menarik. Ayo, teruskan.”

”Tapi, Miss Helier, ini bukan cerita bersambung.


Ini kehidupan nyata: dan kehidupan nyata bisa ber-
henti di mana pun.”

”Tapi aku tidak mau,” kata Jane. "Aku ingin tahu


kelanjutannya.”

”Nah, di sini kita harus memakai otak kita, Miss


Helier,” kata Sir Henry menjelaskan. "Kenapa Mary
Barton membunuh temannya? Itulah masalah yang
diajukan dr. Lloyd pada kita.”

”Oh, baiklah,” kata Miss Helier. "Dia mungkin


membunuhnya untuk berbagai alasan. Maksudku...
oh, aku tidak tahu. Dia mungkin saja agak sinting,
atau cemburu, meskipun dr. Lloyd tidak menyebut
ada laki-laki, tapi siapa tahu di kapal—yah, tahu sen-
diri kan, bagaimana omongan orang tentang perja-
lanan dengan kapal pesiar.”

Miss Helier berhenti, agak terengah-engah, orang-


orang lain yang memperhatikannya langsung menya-
dari bahwa bagian luar kepala Jane ternyata lebih ba-
gus ketimbang isinya.

”Aku punya banyak tebakan,” kata Mrs. Bantry.


”Tapi kurasa aku harus membatasi diriku dengan satu
tebakan saja. Yah, kupikir ayah Miss Barton telah me-
ngumpulkan kekayaan dengan cara menghancurkan
ayah Amy Durrant, jadi Amy bersumpah untuk mem-
balas dendam. Oh, tidak, itu tebakan yang salah. Be-
tapa menjengkelkan! Kenapa majikan yang kaya mau

169
membunuh teman bayarannya yang miskin? Aku
tahu. Miss Barton punya adik laki-laki yang bunuh
diri gara-gara mencintai Amy Durrant. Miss Barton
menunggu saat yang tepat. Amy jatuh miskin. Miss
B. menyewanya sebagai teman dan mengajaknya pergi
ke Canary, lalu membalaskan dendamnya. Bagai-
mana?”

”Hebat,” kata Sir Henry. "Hanya saja kita tidak


tahu apakah Miss Barton memang mempunyai adik
laki-laki.”

”Kita bisa mengasumsikan begitu,” kata Mrs.


Bantry. "Sebab kalau tidak, motifnya tidak ada. Jadi,
dia harus punya seorang adik laki-laki. Mengertikah
kau, Watson?”

”Gagasanmu memang bagus, Dolly,” kata suami-


nya. "Tapi itu cuma tebakan.”

"Tentu saja cuma tebakan,” sahut Mrs. Bantry.


"Cuma itu yang bisa kita lakukan—menebak. Kita
tidak punya petunjuk apa pun. Ayolah, Sayang, kau
pasti punya tebakan juga.”

"Sungguh mati, aku tidak punya gagasan apa pun.


Tapi kurasa gagasan Miss Helier masuk akal: mereka
mungkin jatuh cinta pada laki-laki yang sama. Coba
perhatikan, Dolly, mungkin orang itu adalah pendeta
pejabat tinggi gereja. Mereka berdua berusaha keras
menarik perhatiannya, tapi dia merasa tertarik pada
Miss Durrant. Kemungkinan besar begitu. Coba lihar
bagaimana dia mengunjungi seorang pendeta menje-
lang akhir hayatnya. Wanita-wanita macam mereka
memang gampang tergila-gila pada pendeta-pendeta
ganteng. Kita sering mendengar cerita seperti itu.”

170
”Kukira aku harus mengemukakan penjelasanku
dengan lebih jelas,” kata Sir Henry, "meskipun harus
kuakui, ini juga cuma tebakan. Menurutku, Miss
Barton dari dulu memang agak tidak seimbang jiwa-
nya. Banyak kasus seperti itu, jauh dari sangkaan kita.
Ketidakwarasannya itu semakin kuat dan dia mulai
percaya bahwa tugasnya di dunia ini adalah sebagai
pembasmi orang-orang tertentu—terutama para wa-
nita yang kurang beruntung. Tidak banyak yang di-
ketahui orang tentang masa lalu Miss Durrant. Jadi,
masuk akal saja kalau dia memang punya masa lalu—
tapi yang 'tidak beruntung. Miss Barton mengetahui-
nya dan memutuskan untuk membasminya. Sesudah
itu, nalurinya mulai terusik dan dia menjadi terbebani
oleh dosanya. Akhir hayatnya menunjukkan betapa
dia sungguh-sungguh tidak waras. Nah, apakah Anda
setuju denganku, Miss Marple?”

”Kurasa tidak, Sir Henry,” sahut Miss Marple sam-


bil tersenyum minta maaf. ”Kukira akhir hayatnya
justru menunjukkan bahwa dia wanita yang sangat
cerdik dan banyak akal.”

Jane Helier menyelanya dengan jeritan kecil.

”Oh! Aku begitu bodoh. Bolehkah aku menebak


lagi? Tentu saja, pasti itu alasannya. Pemerasan! Wa-
nita yang menjadi teman bayaran itu memerasnya.
Tapi aku tidak mengerti, kenapa Miss Marple berkata
bahwa dia pintar sekali karena telah bunuh diri. Aku
sama sekali tidak mengerti.”

”Ah!” kata Sir Henry. "Aku tahu sebabnya. Miss


Marple pernah mengetahui sebuah kasus yang sama
di St. Mary Mead.”

171
”Anda selalu menyindirku, Sir Henry,” kata Miss
Marple agak tersinggung. "Harus kuakui, kejadian itu
memang mengingatkanku sedikit pada Mrs. Trout
tua. Dia menerima uang pensiun hari tua yang men-
jadi hak tiga wanita tua yang sudah meninggal, di
gereja yang berbeda-beda.”

”Kedengarannya tindak kejahatan itu sangat rumit


dan cerdik,” kata Sir Henry. "Tapi menurutku sama
sekali tidak memberikan petunjuk apa pun untuk me-
mecahkan kasus kita sekarang.”

”Tentu saja tidak,” kata Miss Marple. "Tidak—bagi


Anda. Tapi ada beberapa keluarga yang memang sa-
ngat miskin, dan uang pensiun hari tua merupakan
suatu berkah bagi anak-anak. Aku tahu, sulit bagi
orang lain untuk memahaminya. Aku hanya ingin
menekankan bahwa semua wanita tua tampak mirip
satu sama lain.”

”Eh?” kata Sir Henry, bingung.

”Aku memang tidak pintar menjelaskan. Maksud-


ku, ketika dr. Lloyd pertama kali menggambarkan
tentang kedua wanita itu, dia tidak mengetahui siapa
adalah siapa, dan kurasa orang-orang lain di hotel
juga tidak. Tentu saja, setelah beberapa hari, orang-
orang pasti akan tahu, tapi karena tepat keesokan
harinya salah satu dari mereka tenggelam, dan kalau
yang hidup berkata bahwa dia adalah Miss Barton,
kurasa tak seorang pun akan menyangka bahwa dia
sebenarnya bukan.”

”Menurut Anda... Oh! Aku mengerti,” kata Sir


Henry dengan perlahan-lahan.

”Itu satu-satunya cara berpikir yang masuk akal.

172
Mrs. Bantry baru saja memulainya. Mengapa majikan
yang kaya harus membunuh teman bayarannya yang
miskin? Lebih cocok kalau yang terjadi adalah sebalik-
nya. Maksudku... begitulah biasanya.”

”Benarkah?” tanya Sir Henry. "Anda membuatku


kaget.”

”Tapi tentu saja,” lanjut Miss Marple, ”dia harus


memakai pakaian Miss Barton, yang mungkin agak
kekecilan baginya, jadi secara umum penampilannya
boleh dikatakan agak kegemukan. Itu sebabnya aku
menanyakan itu tadi. Seorang laki-laki sudah pasti
akan mengira dia memang bertambah gemuk, bukan
pakaiannya yang bertambah kecil—meskipun itu juga
bukan gambaran yang tepat.”

”Tapi kalau Amy Durrant membunuh Miss Barton,


apa keuntungan yang diterimanya?” tanya Mrs. Bantry
”Dia toh tak bisa menipu selamanya.”

"Dia cuma perlu menipu selama kurang lebih se-


bulan,” kata Miss Marple. "Dan selama waktu itu,
kurasa dia selalu bepergian, menjauhi orang-orang
yang mungkin bisa mengenalinya. Itulah yang ku-
maksud dengan betapa seorang wanita tua sungguh
mirip dengan wanita tua lainnya. Kurasa perbedaan
foto di paspornya tak pernah diperhatikan—kalian
kan tahu bagaimana foto-foto di paspor. Lalu di bu-
lan Maret, dia pergi ke tempat di Cornwall itu dan
mulai berlaku aneh untuk menarik perhatian orang-
orang, sehingga ketika mereka menemukan pakaiannya
di pantai dan membaca suratnya, mereka tidak akan
berpikir yang bukan-bukan.”

”Yaitu?” tanya Sir Henry.

173
”Tidak ada mayat,” kata Miss Marple dengan tegas.
”Kenyataan itu begitu jelas, kalau saja tidak ada ba-
nyak embel-embel palsu yang melencengkan perhatian
orang-orang—termasuk gagasan permainan kotor dan
kedukaan palsu itu. Tidak ada mayat. Irulah fakta
yang nyata dan penting.”

”Maksud Anda...” kata Mrs. Bantry. ”Maksud


Anda, kejadian bunuh diri itu palsu? Dan sesungguh-
nya dia tidak menenggelamkan dirinya sendiri?”

”Tentu saja tidak!” sahut Miss Marple. "Itu cuma


ulah Mrs. Trout lagi. Mrs. Trout sangat pintar mem-
permainkan orang, tapi dia menemukan tandingannya
pada diriku. Dan aku bisa melihat semua gejala itu
pada Miss Barton yang berpura-pura menyesal. Me-
nenggelamkan diri? Aku yakin dia sesungguhnya telah
minggat ke Australia.”

"Anda benar sekali, Miss Marple,” kata dr. Lloyd.


"Sungguh. Nah, sekali lagi aku mengetahuinya secara
kebetulan. Aku nyaris pingsan hari itu di Mel-
bourne.”

”Itukah yang Anda maksudkan dengan petunjuk


terakhir yang kebetulan Anda ketahui?”

Dokter Lloyd mengangguk.

”Ya, memang nasib buruk buat Miss Barton—atau


Miss Amy Durrant—terserah kalian mau menyebutnya
bagaimana. Aku menjadi dokter kapal selama bebera-
pa saat, dan ketika kapalku berlabuh di Melbourne,
orang pertama yang kujumpai sewaktu berjalan di
jalanan adalah wanita yang kupikir telah lama me-
ninggal di Cornwall itu. Dia langsung menyadari
bahwa permainannya sudah terbongkar di mataku,

174
dan dia melakukan suatu tindakan yang berani—men-
ceritakan segala-galanya padaku. Wanita yang aneh,
betul-betul tidak bermoral, kurasa. Dia anak sulung
dari sembilan bersaudara, semuanya miskin. Mereka
pernah meminta tolong pada sepupu mereka yang
kaya di Inggris, tapi ditolak, gara-gara Miss Barton
pernah bertengkar dengan ayah mereka. Mereka sa-
ngat membutuhkan uang, karena ketiga anak yang
terkecil sedang sakit dan membutuhkan perawatan
medis yang mahal. Karena itu, Amy Barton memutus-
kan untuk menjalankan rencananya, yaitu melakukan
pembunuhan keji. Dia berangkat ke Inggris, mula-
mula bekerja sebagai perawat anak-anak, dan akhirnya
berhasil memperoleh pekerjaan sebagai teman bayaran
Miss Barton, sambil menyebut dirinya Amy Durrant.
Dia menyewa sebuah kamar dan menaruh beberapa
perabot di dalamnya, supaya terkesan punya kepriba-
dian. Rencana pembunuhan dengan menenggelamkan
itu merupakan gagasan yang tiba-tiba muncul di be-
naknya. Dia memang sedang menunggu-nunggu ke-
sempatan untuk melakukannya. Kemudian dia me-
mainkan babak terakhir drama itu dan kembali ke
Australia. Setelah itu, pada waktunya dia dan adik-
adiknya mewarisi harta Miss Barton sebagai sanak
saudaranya yang terdekat.”

”Betul-betul kejahatan yang berani dan sempurna,”


kata Sir Henry. "Nyaris sempurna. Kalau saja Miss
Barton yang meninggal di Kepulauan Canary, kecuri-
gaan pasti akan ditujukan pada Amy Durrant, dan
hubungannya dengan keluarga Barton mungkin akan
diketahui orang: tapi penukaran identitas itu serta

175
kejahatan yang kedua betul-betul membebaskannya.
Ya, kejahatan itu nyaris sempurna.”

”Apa yang terjadi padanya?” tanya Mrs. Bantry.


”Apa yang Anda lakukan, dr. Lloyd?”

”Aku berada dalam posisi yang sangat pelik, Mrs.


Bantry. Aku tidak punya bukti-bukti yang bisa dijadi-
kan pegangan dalam hukum. Lagi pula, ada tanda-tan-
da tertentu, yang jelas bagiku sebagai dokter, bahwa
meskipun tampak kuat dan sehat, sesungguhnya umur
wanita itu tidaklah lama lagi. Aku ikut ke rumahnya
dan bertemu dengan seluruh keluarganya—mereka
ramah, sangat sayang pada kakak sulung mereka,
sama sekali tak menyangka bahwa kakak mereka telah
melakukan kejahatan. Kenapa harus membuat mereka
sedih, sementara aku tak bisa membuktikan apa-apa?
Pengakuan wanita itu padaku tidak terdengar oleh
orang lain. Jadi, kubiarkan saja nasib yang mengatur
segalanya. Miss Amy Barton meninggal enam bulan
kemudian. Aku sering bertanya-tanya, apakah dia te-
tap ceria dan tidak menyesal sampai akhir hayatnya.

”Tentu saja tidak,” kata Mrs. Bantry.

”Kukira begitu,” kata Miss Marple. "Buktinya Mrs.


Trout juga tidak.”

Jane Helier menggeleng.

”Yah,” katanya. "Sungguh cerita yang sangat mena-


rik. Tapi aku tidak terlalu mengerti, siapa sesungguh-
nya yang telah menenggelamkan siapa. Dan apa hu-
bungan Mrs. Trout dengan semua ini?”

”Dia memang tidak ada hubungannya, Sayang,”


kata Miss Marple. "Dia cuma orang biasa—bukan
orang yang menyenangkan—di desa.”

176
”Oh!” kata Jane. "Di desa. Tapi di desa kan tidak
pernah terjadi apa-apa?” Dia mendesah. "Aku yakin
kalau aku tinggal di desa, aku akan jadi bodoh se-
kali.”

177
BAB 9
EMPAT TERSANGKA

PERCAKAPAN yang tengah berlangsung saat itu


berkisar seputar masalah kejahatan yang tidak terbukti
dan lolos dari hukum. Semua orang bergantian menge-
mukakan pendapat mereka: Kolonel Bantry, istrinya
yang gemuk dan ramah, Jane Helier, dr. Lloyd, bah-
kan Miss Marple yang tua. Orang yang tidak ikut
berbicara hanya Sir Henry Clithering, padahal dia
justru dianggap paling berpengalaman oleh yang lain-
nya. Dia cuma duduk tenang sambil memilin-milin
kumis—atau lebih tepat mengelus-elusnya—sambil
tersenyum simpul, seakan-akan teringat sesuatu yang
lucu.

”Sir Henry,” kata Mrs. Bantry akhirnya. ”Kalau


Anda tidak juga mengatakan sesuatu, aku akan ber-
teriak. Banyakkah kejahatan yang lolos dari hukum,
atau tidak?”

178
”Rupanya Anda sudah terpengaruh oleh berita-be-
rita utama di koran-koran, Mrs. Bantry, SCOTLAND
YARD GAGAL LAGI. Lalu disertai dengan daftar
kasus-kasus yang belum terpecahkan.”

”Dan kurasa itu hanya sebagian kecil dari total


misteri yang tidak berhasil diselesaikan, bukan?” tanya
dr. Lloyd.

”Ya, begitulah. Sebenarnya ada beratus-ratus kasus


kejahatan yang telah terpecahkan, tapi pemberian hu-
kuman kepada pelakunya jarang digembar-gemborkan
di koran-koran. Tapi bukan itu pokok permasalahan-
nya, bukan? Kasus kejahatan terselubung dan kejahatan
yang tidak terpecahkan merupakan dua hal berbeda.
Kelompok pertama adalah kelompok kasus-kasus yang
tidak pernah sampai ke Scotland Yard, kejahatan yang
bahkan tidak pernah diketahui oleh siapa pun.”

”Tapi kurasa kasus-kasus seperti itu tidak banyak,


bukan?” tanya Mrs. Bantry.

”Siapa bilang?”

”Sir Henry! Maksud Anda banyak kasus kejahatan


terselubung yang terjadi?”

”Kurasa,” kata Miss Marple serius, "kasus seperti


itu jumlahnya pasti sangat banyak.”

Wanita tua yang lembut itu, yang kelihatannya hi-


dup dalam dunianya yang serbasederhana, mengucap-
kan kalimat tersebut dengan sangat tenang.

”Ya ampun, Miss Marple,” kata Kolonel Bantry.

”Tentu saja banyak orang yang tolol,” kata Miss


Marple. "Dan orang-orang tolol selalu ketahuan, bagai-
manapun cara yang mereka gunakan. Tapi cukup ba-
nyak orang yang tidak tolol, dan sungguh ngeri mem-

179
bayangkan apa yang akan mereka lakukan kalau
mereka tidak memiliki prinsip-prinsip yang kuat.”

”Ya,” kata Sir Henry, "banyak juga orang yang ti-


dak tolol. Betapa seringnya suatu kasus kriminal ter-
bongkar cuma gara-gara kecerobohan kecil, kemudian
orang jadi bertanya-tanya sendiri: Jika bukan karena
kesalahan sepele itu, apakah kejahatan itu akan ter-
bongkar?”

”Tapi hal itu sangat mengerikan, Clithering,” kata


Kolonel Bantry. "Benar-benar mengerikan.”

”Begitukah?”

”Apa maksudmu! Tentu saja! Tentu saja hal itu sa-


ngat mengerikan.”

”Kau menganggap para pelaku kejahatan tidak men-


dapatkan hukuman setimpal, tapi benarkah itu? Mung-
kin mereka memang lolos dari hukum, tapi ada hu-
kuman lain di luar itu. Sepertinya cuma basa-basi
kalau kita mengatakan bahwa setiap kejahatan pasti
ada hukumannya, tapi sebenarnya, menurutku, hal itu
sangat benar.”

”Mungkin, mungkin,” kata Kolonel Bantry. "Tapi


tetap saja tidak mengubah situasi... eh... situasinya...”
Kata-katanya terputus dan dia kelihatan agak bi-
ngung.

Sir Henry Clithering tersenyum.

”Sembilan puluh sembilan dari seratus orang juga


berpikir seperti itu,” katanya. "Tapi tahukah Anda,
sebenarnya rasa bersalah itu tidak begitu penting—
yang penting justru rasa tak bersalah. Hal itulah yang
tak pernah disadari oleh orang-orang.”

”Aku tidak mengerti,” kata Jane Helier.

180
”Aku mengerti,” kata Miss Marple. "Ketika Mrs.
Trent kehilangan uang setengah crown dari dompet-
nya, orang yang langsung dicurigainya adalah pelayan
rumahnya, Mrs. Arthur. Keluarga Trent menganggap
dialah pencurinya, tapi karena mereka orang-orang
baik dan tahu bahwa Mrs. Arthur memiliki keluarga
besar dan suaminya pemabuk, maka yah... mereka ti-
dak mau membesar-besarkan perkara itu. Tapi per-
lakuan mereka terhadap Mrs. Arthur jadi berubah,
dan mereka tidak mau lagi memintanya menjaga ru-
mah pada saat mereka pergi. Mrs. Arthur jadi sangat
sedih: sementara itu, orang-orang lain pun mulai men-
jauhinya. Kemudian tiba-tiba saja diketahui bahwa
pencuri uang itu ternyata si pengasuh anak. Mrs.
'Trent kebetulan melihat perbuatan pengasuh itu me-
lalui cermin. Benar-benar suatu kebetulan—tapi aku
lebih suka menyebutnya takdir. Dan kurasa itulah
yang dimaksud Sir Henry. Kebanyakan orang lebih
tertarik dengan masalah siapa yang mengambil uang
itu, dan ternyata pelakunya adalah orang yang tidak
disangka-sangka—persis seperti dalam cerita detektif!
Tapi yang jadi korban dalam peristiwa itu adalah
Mrs. Arthur, yang tidak tahu apa-apa. Begitu bukan,
maksud Anda, Sir Henry?”

”Ya, Miss Marple. Anda telah menjelaskan maksud-


ku dengan tepat. Dalam peristiwa yang Anda cerita-
kan tadi, pelayan itu sangat beruntung. Dia terbukti
tidak bersalah. Tapi ada orang-orang yang seumur

hidupnya dibebani rasa curiga dari orang-orang lain


secara tidak adil.”

"Apakah Anda pernah memiliki pengalaman serupa,


181
Sir Henry?” tanya Mrs. Bantry dengan penuh penger-
tian.

"Sesungguhnya, Mrs. Bantry, ya. Sebuah kasus


yang sangat aneh. Kami tahu suatu pembunuhan te-
lah terjadi, tapi kami tak bisa membuktikannya.”

"Pembunuhan dengan racun, kurasa,” desah Jane.


”Sesuatu yang sulit dilacak.”

Dokter Lloyd duduk dengan gelisah, sementara Sir


Henry menggeleng.

"Tidak. Bukan pembunuhan dengan anak panah


beracun dari suku Indian terasing di Amerika Selatan!
Kalau saja cara yang dipakai seperti itu. Yang kami
hadapi ini jauh lebih sederhana—begitu sederhana,
sampai-sampai sangat mustahil menangkap pelakunya.
Seorang laki-laki tua jatuh dari tangga dan lehernya
patah: suatu kecelakaan yang sering kali terjadi.”

"Tapi apa yang sesungguhnya terjadi?”

”Siapa yang tahu?” kata Sir Henry sambil angkat


bahu. "Didorong dari belakang? Atau ada seutas tali
diikatkan di ujung tangga, kemudian dengan hati-hati
diambil kembali sesudah kecelakaan itu terjadi? Kita
takkan pernah tahu.”

”Tapi menurut Anda, kejadian itu... bukan kecela-


kaan? Mengapa?” tanya dr. Lloyd.

”Ceritanya panjang, tapi... kami cukup yakin akan


hal itu. Seperti kataku tadi, pelakunya tak mungkin
bisa ditangkap—bukti-bukti yang ada terlalu lemah.
Tapi ada segi lain dari kasus ini—yang akan kujelas-
kan sekarang. Ada empat orang yang mungkin telah
melakukan perbuatan itu. Salah seorang dari mereka

bersalah, tapi yang tiga lainnya tidak bersalah. Jadi,


182
jika kebenaran yang sesungguhnya tidak terbukti, ke-
tiga orang tersebut akan terus diliputi bayang-bayang
kecurigaan.”

"Kurasa sebaiknya kauceritakan pada kami cerita


yang panjang itu,” kata Mrs. Bantry.

”Aku tak perlu menceritakan seluruhnya,” kata Sir


Henry. "Aku bisa menyingkat bagian awalnya, Peris-
tiwa itu berhubungan dengan sebuah kelompok ra-
hasia di Jerman yang disebut Schwartze Hand—mirip
dengan organisasi Camorra atau sejenisnya. Suatu ge-
rakan pemerasan dan terorisme. Kegiatan itu dimulai
sesudah Perang Dunia dan menjalar dengan cepat.
Banyak sekali orang yang menjadi korban. Pemerintah
juga tidak berhasil menanganinya, karena kerahasiaan
kelompok itu dijaga dengan sangat ketat, sehingga
nyaris tak mungkin menemukan seseorang yang mau
berkhianat.

"Kelompok itu tidak begitu dikenal di Inggris, tapi


di Jerman mereka benar-benar telah melumpuhkan
pemerintah. Namun kelompok itu akhirnya pecah
dan orang-orangnya tercerai-berai berkat seorang pria
bernama Dr. Rosen. Dulu dia seorang yang sangar
terpandang dalam Agen Rahasia. Dia berpura-pura
menjadi anggota kelompok itu, menyusup ke bagian
yang paling dalam, kemudian menghancurkannya.

”Tapi sebagai konsekuensinya, dia menjadi sasaran


balas dendam, dan oleh karenanya dia harus mening-
galkan Jerman secepatnya. Dia pergi ke Inggris, dan
kami mendapat surat keterangan mengenai dirinya
dari kepolisian di Berlin. Dia datang dan aku sempat
mewawancarainya secara pribadi. Sikapnya sangat te-

183
nang dan teguh. Dia tidak takut sedikit pun akan apa
yang harus dihadapinya di kemudian hari.

”Mereka akan menemukan saya, Sir Henry, kata-


nya, Tak ada keraguan sedikit pun” Dia berperawakan
besar dengan bentuk kepala yang bagus, suaranya da-
lam, hanya dengan sedikit aksen yang menunjukkan
kebangsaannya. "Kesimpulan itu memang terlalu jauh.
Tapi tidak apa-apa, saya sudah siap. Saya sudah tahu
risikonya waktu melakukan tugas itu. Saya telah me-
rampungkan tugas saya. Organisasi itu takkan pernah
bangkit kembali. Tapi banyak anggotanya yang masih
bebas, dan mereka akan membalas dendam—dengan
membunuh saya. Cuma masalah waktu saja, tapi saya
harap saat itu masih lama. Karena saat ini saya sedang
mengumpulkan dan menyunting beberapa materi yang
sangat menarik—hasil kerja saya seumur hidup. Kalau
bisa, saya ingin dapat menyelesaikannya.

”Dia bicara dengan tenang, dengan keteguhan yang


membuatku kagum. Aku mengatakan kepadanya bah-
wa kami akan melakukan semua tindakan pencegahan,
tapi dia tidak mengacuhkan perkataanku.

”Suatu hari, cepat atau lambat, mereka akan me-


nemukan dan membunuh saya, katanya sekali lagi.
Jika hari itu tiba, jangan menyalahkan diri Anda.
Saya yakin Anda telah berusaha semaksimal mungkin
untuk mencegahnya.

”Kemudian dia menerangkan garis besar rencananya


yang cukup sederhana. Dia merencanakan tinggal di
sebuah rumah kecil di desa, tempat dia bisa hidup
tenang dan melanjutkan karyanya. Dia memilih se-
buah desa di Somerset—Kings Gnaton, yang letaknya

184
sekitar dua belas kilometer dari stasiun kereta api, dan
belum tersentuh oleh peradaban. Dia membeli sebuah
rumah yang sangat menyenangkan di sana, memper-
baikinya dan melakukan perubahan di sana-sini,
kemudian tinggal di sana dengan tenang bersama
keponakannya, Greta, seorang sekretaris, seorang
pelayan tua berkebangsaan Jerman yang telah
melayaninya dengan setia selama hampir empat puluh
tahun, dan seorang warga asli desa Kings Gnaton
yang bertugas sebagai tukang kebun sekaligus
pesuruh.”

"Keempat tersangka,” kata dr. Lloyd dengan suara


pelan.

"Tepat. Keempat tersangka. Tidak banyak yang bisa


kuceritakan. Kehidupan Dr. Rosen berjalan dengan
tenang di Kings Gnaton selama lima bulan, kemudian
terjadilah kecelakaan itu. Dia terjatuh dari tangga
pada suatu pagi dan meninggal setengah jam kemu-
dian. Pada saat kecelakaan itu terjadi, Gertrud sedang
berada di dapur dengan pintu tertutup dan dia tidak
mendengar apa-apa begitu katanya. Friulein Greta
sedang berada di kebun, menanam benih-benih ta-
naman—sekali lagi, begitu menurutnya. Si tukang
kebun, Dobbs, sedang bersantai di gubuk kecil untuk
beristirahat—katanya, dan si sekretaris sedang keluar
berjalan-jalan, sekali lagi itu menurut pengakuannya.
Tak seorang pun dari mereka memiliki alibi—tak satu
pun dari mereka bisa menguatkan cerita yang lainnya.
Tapi ada satu hal yang pasti. Pelakunya tak mungkin
orang luar, karena orang asing pasti akan langsung
diketahui kehadirannya di King's Gnaton. Kedua pin-

185
tu depan maupun pintu belakang dalam keadaan ter-
kunci, dan semua anggota rumah masing-masing me-
miliki kunci. Jadi, seperti kalian lihat, kecurigaan
kembali pada keempat orang tadi. Tapi kelihatannya
tak satu pun dari mereka patut dicurigai. Greta ada-
lah keponakannya. Gertrud telah melayaninya dengan
setia selama empat puluh tahun. Dobbs belum pernah
meninggalkan Kings Gnaton. Dan Charles Templeton,
si sekretaris...”

”Ya,” kata Kolonel Bantry, "bagaimana dengan dia?


Aku mencurigainya. Apa yang Anda ketahui mengenai
dirinya?”

"Justru apa yang kuketahui mengenai dirinyalah


yang membuat dia tidak patut dicurigai,” kata Sir
Henry dengan berat hati. "Begini, Charles Templeton
itu salah seorang anak buahku.”

”Oh!” kata Kolonel Bantry dengan kecewa.

”Ya. Aku ingin menempatkan seseorang di rumah


itu, tapi aku tak ingin menimbulkan gosip di desa
itu. Kebetulan Rosen membutuhkan seorang sekre-
taris. Jadi, aku menugaskan Templeton untuk menem-
pati posisi itu. Dia benar-benar seorang genrleman.
Dia bisa berbahasa Jerman dengan lancar dan sangat
dapat diandalkan.”

”Jadi, yang mana yang Anda curigai?” tanya Mrs.


Bantry dengan nada bingung. "Mereka semua keli-
hatannya... yah, tidak mungkin.”

”Ya, kelihatannya memang begitu. Tapi kalian juga


dapat melihatnya dari sisi lain. Frdulein Greta adalah
keponakan Rosen dan seorang gadis yang sangat can-
tik, tapi perang telah beberapa kali menunjukkan

186
bahwa saudara dapat memusuhi sesama saudara, atau
ayah memusuhi anaknya dan selanjutnya, dan gadis-
gadis muda yang kelihatannya cantik dan lemah lem-
but dapat melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.
Hal yang sama juga dapat terjadi pada Gertrudj lagi
pula, siapa tahu mungkin ada alasan-alasan lain bagi-
nya. Mungkin dia bertengkar dengan majikannya, dan
perasaan benci jadi semakin mendalam, mengingar
pengabdiannya selama bertahun-tahun. Wanita tua
seperti dia kadang-kadang bisa sangat kejam. Dan
Dobbs? Benarkah dia tidak layak dicurigai hanya ka-
rena dia tidak punya hubungan apa-apa dengan ke-
luarga itu? Dengan uang, orang bisa berbuat banyak.
Dobbs mungkin telah dibujuk dan disuap.

”Tapi ada satu hal yang pasti: Pesan untuk meng-


habisi Rosen pasti datangnya dari luar. Kalau tidak,
mengapa harus menunggu sampai lima bulan? Tidak,
agen-agen organisasi itu pasti telah menyelidiki Rosen.
Mereka belum yakin akan pengkhianatan yang dilaku-
kannya, jadi mereka menunda pembunuhan itu sam-
pai pengkhianatan Rosen terbukti tanpa ada keraguan
lagi. Kemudian, setelah semua keraguan tersingkirkan,
mereka mengirim pesan kepada mata-mata mereka
yang tinggal di rumah itu—pesan yang berbunyi, 'Bu-
nuh”

”Sadis!” kata Jane Helier sambil bergidik.

”Tapi bagaimana pesan itu disampaikan? Itulah


yang ingin kuketahui—sehingga dapat membantu me-
mecahkan permasalahan ini. Salah satu dari keempat
orang itu pasti telah menerima pesan tersebut melalui
suatu cara. Tak mungkin ada penundaan, aku tahu.

187
Begitu perintah itu datang, pasti akan segera dilaksana-
kan. Itulah ciri khas kelompok Schwartze Hand.

”Aku lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang


mungkin dianggap keterlaluan cerewetnya. Misalnya,
siapa yang datang ke rumah pagi itu? Aku mencurigai
semua orang. Inilah daftar orang-orang tersebut.”

Sir Henry mengeluarkan sebuah amplop dari saku-


nya dan mengambil selembar kertas dari dalamnya.

"Tukang daging, dengan membawa daging anak


lembu. Telah diperiksa dan dinyatakan benar.

"Pembantu toko, dengan membawa satu karung te-


pung jagung, dua pon gula, satu pon mentega, dan
satu pon kopi. Juga telah diperiksa dan dinyatakan
benar.

"Tukang pos, membawa dua selebaran untuk


Friulein Rosen, sepucuk surat lokal untuk Gertrud,
tiga pucuk surat untuk Dr. Rosen, salah satunya dari
luar negeri, dan dua pucuk surat untuk Mr. Templeton,
salah satunya juga dari luar negeri.”

Sir Henry berhenti sejenak, kemudian mengeluar-


kan setumpuk dokumen dari amplopnya.

”Mungkin kalian tertarik untuk melihat sendiri


surat-surat itu. Surat-surat itu diberikan padaku oleh
orang-orang yang menerimanya, atau dikumpulkan
dari keranjang sampah. Surat-surat itu juga telah di-
periksa oleh para ahli, untuk melihat apakah ada
pesan-pesan yang ditulis dengan tinta yang tidak ke-
lihatan, dan sebagainya. Tapi mereka tidak menemu-
kan apa-apa.”

Semua yang hadir di ruangan itu berkerumun un-

188
tuk melihat surat-surat yang ditunjukkan Sir Henry.
Katalog-katalog yang diterima berasal dari sebuah
toko tanaman dan dari perusahaan mantel bulu ter-
kenal di London. Dua buah tagihan ditujukan kepada
Dr. Rosen, yang satu untuk pembelian benih-benih
tanaman dari sebuah toko di desa itu, dan yang satu
lagi dari toko alat tulis di London. Surat yang dituju-
kan pada Dr. Rosen berbunyi sebagai berikut:

Rosen yang baik—aku baru saja kembali dari Dr.


Helmuth Spath. Dan aku bertemu dengan Edgar
Jackson kemarin dulu. Dia dan Amos Perry baru
saja kembali dari Tsingtau. Aku mempunyai Ha-
rapan agar mereka baik-baik saja. Cepat kabari aku
tentang keadaanmu. Seperti kukatakan dulu: Hati-
hati dengan orang tertentu. Kau tahu siapa yang
kumaksud, meskipun kau tak mau percaya. Salam,
Georgine.

"Surat-surat untuk Mr. Templeton, seperti kalian


lihat, berisi tagihan dari tukang jahitnya. Dia juga
menerima sepucuk surat dari seorang temannya di
Jerman,” lanjut Sir Henry. "Sayangnya, dia membuang
surat dari Jerman itu waktu berjalan-jalan. Surat ter-
akhir yang kami dapatkan adalah surat yang diterima
Gertrud.”

Mrs. Swartz yang baik—kami harap Anda dapat


hadir pada acara sosial hari Jumat sore. Bapak pen-
deta juga mengharapkan kedatangan Anda—baik
sendirian atau bersama keluarga. Resep ham Anda

189
sungguh lezat dan saya mengucapkan terima kasih
untuk itu. Semoga Anda baik-baik saja dan semoga
kita bisa berjumpa hari Jumat nanti. Salam hangar,
Emma Greene.

Dokter Lloyd tersenyum simpul ketika membaca


surat itu, begitu pula Mrs. Bantry.

”Kurasa surat yang terakhir itu boleh dikesamping-


kan,” kata dr. Lloyd.

”Aku juga berpendapat begitu,” kata Sir Henry,


”tapi aku tetap berjaga-jaga dan memeriksa bahwa
memang ada seseorang yang bernama Mrs. Greene
dan acara sosial gereja itu juga memang ada. Kita ha-
rus teliti, bukan?”

”Itu yang selalu dikatakan teman kita Miss Marple,”


kata dr. Lloyd sambil tersenyum. "Anda kelihatannya
sedang melamun, Miss Marple. Apa yang sedang Anda
pikirkan?”

Miss Marple terkejut sedikit.

”Aku tidak mengerti,” katanya. "Aku cuma me-


ngira-ngira, mengapa kata Harapan pada surat untuk
Dr. Rosen itu diawali dengan huruf H besar.”

Mrs. Bantry mengambil surat itu.

”Benarkah?” katanya. "Oh!”

”Ya,” kata Miss Marple. "Kupikir Anda juga telah


memperhatikannya!”

”Surat itu mengandung peringatan.” kata Kolonel


Bantry. "Hal itulah yang pertama kali menarik per-
hatianku. Aku memperhatikannya lebih dari yang ka-
lian kira. Ya, benar-benar suatu peringatan—terhadap
siapa?”

190
”Surat itu memang agak mencurigakan.” kata Sir
Henry. "Menurut Templeton, Dr. Rosen membuka
Surat itu pada saat makan pagi dan melemparkannya
kepadanya sambil berkata bahwa dia tidak tahu siapa
laki-laki pengirim surat itu.”

"Tapi pengirimnya bukan laki-laki,” kata Jane


Hdlier. "Surat itu ditandatangani oleh 'Georgin2.

”Sulit untuk dipastikan,” kata dr. Lloyd. "Mungkin


juga Georgey: tapi kelihatannya memang lebih mirip
Georgina. Cuma tulisannya seperti tulisan laki-laki.”

”Hm, menarik sekali,” kata Kolonel Bantry. ”Dr.


Rosen melemparkan surat itu dan berpura-pura tidak
tahu apa-apa mengenainya. Dia pasti ingin memper-
hatikan ekspresi wajah seseorang. Wajah siapa—kepo-
nakannya? Atau sekretarisnya?”

”Atau bahkan pembantu rumah tangganya?” saran


Mrs. Bantry. "Mungkin saja dia sedang berada di
ruangan itu, menghidangkan sarapan pagi. Tapi aku
tidak mengerti... aneh sekali...”

Dia mengerutkan kening, mengamat-amati surat


itu. Miss Marple mendekatinya, menyentuh kertas
surat itu. Mereka bergumam bersama.

”Tapi mengapa sekretaris itu merobek surat yang


diterimanya?” tanya Jane Helier dengan tiba-tiba. ”Ke-
lihatannya—oh! Aku tidak tahu—kelihatannya aneh.
Mengapa dia menerima surat dari Jerman? Meskipun,
tentu saja, kalau dia tidak bisa dicurigai, seperti kata
Anda tadi...”

”Tapi Sir Henry tidak berkata begitu,” tukas Miss


Marple, menghentikan gumamannya dengan Mrs.
Bantry. "Dia berkata ada empat tersangka. Jadi, itu

191
menunjukkan bahwa dia juga mengikutsertakan Mr.
Templeton. Benar begitu bukan, Sir Henry?”

”Ya, Miss Marple. Aku telah mendapat pelajaran


melalui pengalaman pahit. Jangan pernah berkata bah-
wa seseorang tak mungkin dicurigai. Aku bahkan bisa
memberikan alasan-alasan kepada kalian, mengapa
Templeton mungkin bersalah, meskipun kelihatannya
tak mungkin. Mulanya aku tidak mau mencurigai
Charles Templeton. Tapi akhirnya aku harus memasuk-
kannya sebagai salah seorang tersangka berdasarkan
pedoman yang kukatakan tadi. Dan aku juga terpaksa
mengakui bahwa: Dalam setiap korps angkatan darat
dan angkatan laut serta kepolisian, pasti ada beberapa
pengkhianat, meskipun kita enggan mengakui hal itu.
Dan aku telah mengadakan penyelidikan atas diri
Charles Templeton.

”Aku bertanya pada diri sendiri, seperti yang baru


saja diajukan Miss Helier. Mengapa hanya Templeton
yang tidak bisa memperlihatkan surat yang telah di-
terimanya—lebih-lebih surat tersebut berprangko Jer-
man. Mengapa dia menerima surat dari Jerman?

”Pertanyaan terakhir itu timbul benar-benar karena


rasa ingin tahu belaka, dan aku menanyakannya kepada-
nya. Jawabannya cukup sederhana. Saudara perempuan
ibunya menikah dengan orang Jerman. Surat itu berasal
dari sepupunya di Jerman. Jadi, aku berhasil menge-
tahui sesuatu yang tidak kuketahui sebelumnya—
Charles Templeton memiliki keluarga di Jerman. Dan
hal itu semakin memperkuat kecurigaan atas dirinya—
benar-benar memperkuat. Dia anak buahku sendiri—
pemuda yang kusukai dan kupercaya, tapi berdasarkan

192
akal sehat dan rasa keadilan, aku harus mengakui bah-
wa dia orang yang paling pantas dicurigai.

”Tapi tetap saja—aku tidak tahu! Aku tidak tahu...


Dan mungkin sekali aku takkan pernah tahu. Masalah-
nya bukan untuk menghukum pelakunya. Masalahnya
seratus kali lebih penting. Menyedihkan bukan, kalau
karier seorang laki-laki terhormat hancur... gara-gara
suatu kecurigaan—suatu kecurigaan yang tak bisa ku-
hindari.”

Miss Marple berdeham dan berkata dengan lem-


bur,

"Jadi, Sir Henry, kalau benar apa yang kutangkap


dari kata-kata Anda, hanya nasib pemuda Templeton
itu saja yang Anda cemaskan?”

”Ya, kurang lebih begitu. Seharusnya hal yang sama


juga berlaku pada keempat orang tersebut, tapi nyata-
nya tidak begitu. Dobbs, contohnya—kecurigaan
mungkin akan terus membayanginya, tapi hal itu ti-
dak akan memengaruhi kariernya. Semua orang di
desa itu mengira kematian Dr. Rosen disebabkan oleh
kecelakaan. Karier Gertrud mungkin akan lebih ter-
pengaruh. Sikap Fraulein Rosen terhadapnya mungkin
akan berbeda. Tapi hal itu mungkin tidak terlalu pen-
ting baginya.

”Bagi Greta Rosen—yah, kita langsung saja ke inti


persoalannya. Greta adalah gadis yang sangat cantik
dan Charles Templeton pemuda yang tampan. Selama
lima bulan mereka tinggal di tempat yang sama, tan-
pa ada orang luar. Terjadilah hal yang tak dapat dihin-
darkan. Mereka saling jatuh cinta—meskipun belum
sampai saling menyatakannya dengan jelas.

193
"Kemudian bencana itu terjadi. Peristiwa itu sudah
lewat tiga bulan yang lalu, dan satu atau dua hari se-
telah aku kembali, Greta Rosen menemuiku. Dia te-
lah menjual rumah di desa dan akan kembali ke Jer-
man, setelah menyelesaikan segala urusan pamannya.
Dia menemuiku secara pribadi, meskipun dia tahu
aku telah pensiun, sebab hal yang ingin disampaikan-
nya bersifat pribadi. Mulanya dia agak bertele-tele,
tapi akhirnya dia menceritakan juga maksudnya. Apa
yang kupikirkan? Surat berprangko Jerman itu—dia
terus-menerus merasa cemas mengenainya—surat yang
telah dirobek oleh Charles. Hal itu tidak menimbul-
kan masalah, bukan? Hzrusnya tidak. Tentu saja dia
percaya dengan apa yang dikatakan Charles, tapi—oh!
Kalau saja dia bisa tahu! Kalau saja dia tahu—yakin.

”Kalian lihat? Perasaan yang sama, keinginan untuk


memercayai—tapi dengan adanya kecurigaan yang
membayang, kepercayaan jadi kabur, tapi dia tetap
berusaha bertahan. Aku berbicara padanya dengan te-
rus terang dan memintanya untuk berbuat serupa.
Aku menanyakan apakah dia mencintai Charles dan
demikian pula sebaliknya.

”Saya rasa begitu, katanya. 'Oh, ya, saya merasa


yakin. Kami berdua sangat bahagia. Setiap hari berlalu
dengan tenang. Kami tahu—kami berdua tahu. Tidak
perlu terburu-buru—masih banyak waktu. Suatu hari
dia akan berkata bahwa dia mencintai saya dan saya
akan mengatakan bahwa saya juga—Ah! Anda pasti
bisa menebaknya! Dan sekarang semuanya berubah.
Awan hitam telah merintangi kami—cinta kami ter-

halangi. Saat bertemu, kami tidak tahu apa yang harus


194
dikatakan. Mungkin dia juga merasakan hal yang
sama. Dalam hati, kami berkata, "Kalau saja aku
yakin!” Itulah sebabnya, Sir Henry, saya mohon pada
Anda untuk mengatakan pada saya, "Anda boleh
yakin, siapa pun yang membunuh paman Anda, orang
itu bukan Charles Templeton!” Katakanlah pada saya!
Oh, katakanlah pada saya! Saya mohon—saya mohon!

”Dan sialnya,” kata Sir Henry sambil menghantam-


kan tinjunya ke meja, "aku tidak dapat mengatakan
hal itu padanya. Kedua orang itu terpisah semakin
jauh dan semakin jauh—kecurigaan membayang se-
perti hantu di antara mereka, hantu yang tidak mau
menyingkir!”

Dia menyandarkan punggung di kursi, wajahnya


tampak lelah dan pucat. Dia menggelengkan kepala-
nya sekali-dua kali dengan putus asa.

”Dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali...”


Dia duduk tegak lagi dan di wajahnya tampak seulas
senyum menggoda—”kecuali Miss Marple dapat
membantu kami. Benar bukan, Miss Marple? Aku
punya perasaan bahwa surat itu menarik perhatian
Anda. Surat berisi acara gereja itu. Tidakkah surat itu
mengingatkan Anda akan sesuatu atau seseorang yang
bisa membuat semuanya jadi jelas? Tidak dapatkah
Anda berbuat sesuatu untuk membantu dua anak
muda yang tidak berdaya, yang menginginkan
kebahagiaan?”

Di balik senda guraunya itu terdapat kesungguhan.


Dia sangat menghargai kemampuan nurani wanita tua
yang tampak lemah dan kuno itu. Sir Henry meman-

195
dang Miss Marple dengan pancaran harapan di mata-
nya.
Miss Marple berdeham dan merapikan renda pa-
kaiannya.

”Surat itu memang sedikit mengingatkanku pada


Annie Poultny,” katanya. "Tentu saja isi surat itu sa-
ngat jelas—baik bagi Mrs. Bantry maupun bagiku.
Yang kumaksud bukan surat tentang acara sosial ge-
reja itu, tapi surat satunya. Anda terlalu lama tinggal
di London, dan Anda juga bukan orang yang suka
berkebun, Sir Henry: kalau tidak, Anda pasti sudah
melihatnya.”

”Eh?” kata Sir Henry. "Melihat apa?”

Mrs. Bantry mengulurkan tangan dan memilih


sebuah katalog. Dia membukanya dan membacanya
keras-keras dengan penuh semangat,

”Dr. Helmuth Spath. Lilac asli, bunga yang indah,


dengan batang panjang dan kokoh. Cocok untuk di-
rangkai dan sebagai dekorasi taman. Kecantikan tiada
tara.

"Edgar Jackson. Krisan yang indah—bunga ber-


warna merah bara cerah.

”Amos Perry. Merah manyala, sangat indah untuk


dekorasi.

”Tsingtau. Jingga-merah manyala, tanaman kebun


yang cantik dan bunganya tak mudah layu.

”Harapan...”

”Dengan huruf H besar, ingat,” gumam Miss


Marple.

"Harapan. Mawar putih, bunga yang benar-benar


sempurna.”

196
Mrs. Bantry menebarkan katalog itu dan berkata
dengan suara keras,

Dahlia!”

”Dan huruf awal dari semua bunga itu membentuk


kata 'DEATH—KEMATIAN”,” kata Miss Marple
menjelaskan.

”Tapi surat itu ditujukan pada Dr. Rosen sendiri,”


Sir Henry mengajukan keberatan.

”Di situlah letak kehebatannya,” kata Miss Marple.


”Pengiriman surat itu dan peringatan di dalamnya. Apa
yang akan dilakukan Dr. Rosen saat dia menerima
sepucuk surat dari seseorang yang tidak dikenalnya,
penuh dengan nama-nama yang tidak diketahuinya.
Tentu saja, dia melemparkannya pada sekretarisnya.”

”Jadi, kalau begitu...”

”Oh, tidak!” kata Miss Marple. "Bukan si sekretaris.


Yah, sikap Dr. Rosen justru memperjelas bahwa
bukan si sekretaris-lah pembunuhnya. Kalau tidak,
Templeton tidak akan membiarkan surat itu
ditemukan. Dan dia juga tidak akan merobek surat
untuknya yang berasal dari Jerman. Kalau boleh
kukatakan, kejujurannya... tak perlu diragukan lagi.”

”Lalu siapa...”

”Yah, sepertinya hampir dapat dipastikan—malah


pasti sekali. Ada orang lain yang duduk di meja ma-
kan pagi itu, dan dia—secara wajar dalam situasi se-
macam itu—akan mengambil surat itu dan membaca-
nya. Dan pasti itulah yang terjadi. Kalian ingat
bukan, dia menerima katalog tentang tanaman itu
pada saat yang sama...”

197
”Greta Rosen,” kata Sir Henry dengan perlahan.
”Jadi, kunjungannya ke tempatku...”

”Laki-laki memang tak pernah memperhatikan hal-


hal seperti itu,” kata Miss Marple. "Dan aku khawatir
mereka sering menganggap wanita-wanita tua seperti
aku... yah, terlalu mempersoalkan hal-hal kecil seperti
itu. Tapi biasanya wanita lebih tahu mengenai sesama-
nya. Aku yakin ada rintangan di antara mereka ber-
dua. Pemuda itu tiba-tiba merasakan suatu kebencian
yang tak dapat dijelaskan. Dia curiga, secara naluri,
dan tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu.
Dan kurasa, kunjungan gadis itu pada Anda sebenar-
nya cuma pura-pura. Sebenarnya posisinya cukup
aman, tapi dia sengaja memantapkan kecurigaan Anda
pada Mr. Templeton yang malang. Anda tidak begitu
curiga kepadanya sampai kedatangan gadis itu.”

”Aku yakin kecurigaanku tidak ada hubungannya


dengan apa yang dikatakan Greta Rosen,” kata Sir
Henry membela diri.

”Laki-laki tidak pernah memperhatikan hal-hal se-


perti ivu,” kata Miss Marple dengan tenang.

"Dan gadis itu...” Sir Henry berhenti sebentar.


”Dia telah melakukan pembunuhan dengan darah di-
ngin dan bebas begitu saja!”

”Oh! Tidak, Sir Henry,” kata Miss Marple. "Tidak


benar-benar bebas. Baik Anda maupun aku tidak per-
caya akan hal itu. Ingat kata-kata Anda tadi. Tidak.
Greta Rosen tidak akan lolos dari hukuman. Dia ber-
gaul dengan sekelompok orang yang menakutkan—
para pemeras dan teroris—teman-teman yang tidak
akan memberi keuntungan kepadanya, dan mungkin

198
malah akan membawanya ke akhir yang menyedihkan.
Tapi seperti Anda bilang, kita tak perlu membuang-
buang waktu memikirkan orang yang bersalah—orang
yang tidak bersalahlah yang harus dipikirkan. Mr.
Templeton menurutku akan menikah dengan sepupu
Jermannya itu, perbuatannya merobek surat itu keli-
hatannya... yah, kelihatannya memang mencuriga-
kan—mencurigakan dalam arti yang berbeda dari
dugaan kita sepanjang sore ini. Dia seakan-akan takut
gadis satunya itu akan memperhatikan atau meminta
untuk melihatnya? Ya, kurasa mungkin ada sedikit
cinta di antara keduanya. Lalu Dobbs—tapi, seperti
kata Anda tadi, kurasa kejadian itu tidak terlalu
berpengaruh terhadapnya. Mungkin dia hanya
memikirkan jam istirahatnya saja. Tapi Gertrud yang
malang—dia mengingatkanku pada Annie Poultny.
Kasihan Annie Poultny. Dia telah mengabdi dengan
setia selama lima puluh tahun, tapi kemudian
dicurigai mencuri surat wasiat Miss Lamb, meskipun
hal itu tak bisa dibuktikan. Tuduhan itu membuat
wanita malang yang setia itu patah hati, dan setelah
dia meninggal, ternyata surat wasiat itu ditemukan di
dalam laci rahasia di meja kopi, tempat Miss Lamb
menyimpannya sendiri. Tapi penemuan itu sudah
terlambat bagi Annie yang malang.

"Itulah yang kucemaskan dengan wanita Jerman


tua yang malang itu. Orang tua mudah merasa sedih.
Aku jauh lebih kasihan kepadanya daripada kepada
Mr. Templeton, karena dia masih muda dan berwajah
tampan, serta kelihatannya disukai gadis-gadis. Anda

199
mau, bukan, menulis surat pada Gertrud dan mengata-
kan bahwa kejujurannya tak pernah diragukan? Ma-
jikan tua yang disayanginya telah meninggal, dan dia
pasti sedih dan merasa dicurigai. Oh! Aku tidak tahan
membayangkannya!”

”Aku akan melakukannya, Miss Marple?” kata Sir


Henry. Dia memandang Miss Marple dengan sorot
aneh. ”Tahu tidak, aku tidak akan pernah bisa
memahami Anda. Sudut pandang Anda selalu berbeda
dari yang kusangka.”

”Sudut pandangku sangat sempit,” kata Miss


Marple dengan rendah hati. "Aku jarang sekali keluar
dari St. Mary Mead.”

”Tapi justru Andalah yang mampu memecahkan


kasus yang boleh dibilang misteri internasional ini,”
kata Sir Henry. "Anda telah memecahkannya. Aku
yakin itu.”

Wajah Miss Marple menjadi kemerah-merahan dan


kepalanya sedikit tertunduk.

”Kurasa pendidikanku waktu muda cukup lumayan


untuk ukuran zamanku. Aku dan kakakku pernah
punya seorang pengasuh Jerman—seorang frdulein.
Wanita yang sangat sentimental. Dia mengajari kami
bahasa bunga—pelajaran yang sudah dilupakan seka-
rang ini, padahal sangat menyenangkan. Bunga tulip
kuning, misalnya, berarti cinta yang sia-sia, sementara
aster cina berarti aku rela mati di depan kakimu kare-
na cemburu. Surat itu ditandatangani oleh Georgine,
yang kalau aku tidak salah ingat, berarti Dahlia dalam

bahasa Jerman, dan petunjuk itu saja membuat semua-

200
nya menjadi jelas. Kalau saja aku masih bisa meng-
ingat arti bunga Dahlia. Maklum, ingatanku sudah
tidak setajam dulu.”

"Kalau begitu, artinya bukan DEATH arau ke-


matian?”

”Tentu saja bukan. Menyedihkan, ya? Memang ada


hal-hal yang menyedihkan di dunia ini.”

”Memang,” kata Mrs. Bantry sambil mendesah.


”Sungguh beruntung manusia memiliki bunga dan
teman.”

”Kalian perhatikan, dia menyebut kita belakangan,”


kata dr. Lloyd.

”Ada seorang laki-laki yang pernah mengirimiku


bunga anggrek ungu setiap malam di teater,” kata
Jane sambil terbayang-bayang.

”Aku menunggu jawabanmu', begitulah artinya,”


Miss Marple langsung menyahut.

Sir Henry pura-pura terbatuk-batuk sedikit dan


membuang muka.

Tiba-tiba Miss Marple berkata dengan penuh sema-


ngat,

”Aku ingat. Dahlia artinya pengkhianatan dan kebo-


hongan”

”Hebat,” kata Sir Henry. "Benar-benar hebat.”

Dan dia mendesah.

201
BAB 10
TRAGEDI HARI NATAL

” Aku ingin protes,” kata Sir Henry Clithering. Dia


memandang orang-orang di sekeliling dengan mata
berbinar-binar. Kolonel Bantry, dengan kaki terjulur,
sedang mengerutkan kening menatap perapian, se-
akan-akan perapian itu seorang prajurit yang sedang
berbaris dengan serampangan. Sementara itu, istrinya
dengan sembunyi-sembunyi membaca katalog yang
memuat gambar-gambar tanaman, yang baru saja
diantar dengan pos terakhir. Dokter Lloyd sedang
memandang dengan penuh kekaguman pada Jane
Helier, sementara aktris muda yang cantik itu sedang
mengamat-amati kuku-kukunya yang dicat merah
muda. Cuma Miss Marple yang duduk tegak, semen-
tara mata tuanya yang biru membalas tatapan Sir
Henry dengan binar-binar yang sama.
”Protes?” gumamnya.

202
”Protes yang sangat serius. Saat ini kita berenam,
tiga laki-laki dan tiga wanita. Aku ingin mengajukan
protes mewakili pihak laki-laki yang tertindas. Kita
telah mendengarkan tiga cerita malam ini—semuanya
disampaikan oleh kami yang laki-laki! Aku protes,
karena para wanita tidak turut menyumbangkan andil
mereka.”

"Oh? kata Mrs. Bantry, tersinggung. "Kurasa kami


telah menjalankan tugas kami. Kami telah mendengar-
kan dengan penuh perhatian dan menunjukkan sikap
wanita yang sejati—yaitu tidak ingin memamerkan
diri di depan umum!”

"Alasan Anda memang bagus,” kata Sir Henry,


”tapi tidak bisa diterima. Anda kan bisa mengambil
salah satu cerita dari dongeng Seribu Satu Malam,
misalnya. Jadi, silakan mulai, Scheherazade.”

"Maksud Anda, aku?” kata Mrs. Bantry. "Tapi aku


tidak punya cerita apa-apa. Aku belum pernah dikeli-
lingi oleh darah dan misteri.”

”Cerita Anda tidak perlu mengandung darah,” kata


Sir Henry. "Tapi aku yakin salah seorang dari ketiga
wanita terhormat ini suka dengan hal-hal yang berbau
misterius. Ayolah, Miss Marple, coba ceritakan ten-
tang... kasus 'Pembantu yang Mencurigakan atau
'Misteri Perkumpulan Ibu-Ibu. Jangan kecewakan aku
di St. Mary Mead.”

Miss Marple menggeleng.

"Anda tidak akan tertarik, Sir Henry. Tentu saja


kami mengalami kejadian-kejadian kecil yang miste-
rius—seperti hilangnya alat penakar udang kering,
yang sungguh-sungguh tidak dapat dijelaskan, tapi

203
hal-hal seperti itu tidak akan menarik bagi Anda ka-
rena sangat sepele, meskipun tetap saja berkaitan de-
ngan sifat-sifat manusia.”

”Anda telah mengajariku untuk selalu memperhati-


kan sifat manusia,” kata Sir Henry dengan hormat.

”Bagaimana dengan Anda, Miss Helier?” tanya Ko-


lonel Bantry. "Anda pasti memiliki pengalaman-penga-
laman menarik.”

”Ya, tentu saja,” kata dr. Lloyd.

”Aku?” kata Jane, "Maksud kalian... kalian ingin


aku menceritakan suatu peristiwa yang pernah terjadi
pada diriku?”

”Atau pada diri salah seorang teman Anda,” tam-


bah Sir Henry.

"Oh? kata Jane dengan ragu-ragu. "Aku tidak tahu


apakah aku pernah mengalami sesuatu—maksudku,
sesuatu yang misterius. Tentu saja aku sering mene-
rima karangan bunga dengan pesan-pesan misterius—
tapi itu biasa, bukan? Kurasa...” dia berhenti dan
tampak hanyut dalam pikirannya sendiri.

"Kurasa kita terpaksa mendengarkan cerita tentang


nasib udang kering,” kata Sir Henry. ”Silakan, Miss
Marple.”

”Anda memang senang bergurau, Sir Henry. Cerita


tentang udang kering itu cuma omong kosong, tapi
setelah kupikir-pikir, aku jadi teringat pada suatu pe-
ristiwa—setidaknya bukan cuma peristiwa biasa, me-
lainkan sangat serius malah—suatu tragedi. Dan se-
dikit banyak aku turut terlibat di dalamnya. Aku
tidak pernah menyesali apa yang telah kulakukan—ti-

204
dak, sedikit pun tidak. Tapi peristiwa itu tidak terjadi
di St. Mary Mead.”

”Aku jadi kecewa,” kata Sir Henry. "Tapi aku akan


berusaha menghibur diri. Aku tahu Anda takkan me-
ngecewakan kami.”

Dia memasang sikap mendengarkan. Wajah Miss


Marple jadi kemerah-merahan.

”Kuharap aku bisa menceritakannya dengan baik,”


katanya dengan nada khawatir. "Aku takut ceritaku
cenderung melompat-lompat. Aku sering berpindah
dari satu topik—tanpa menyadari apa yang telah ku-
lakukan. Sulit sekali mengingat semua fakta secara
berurutan. Jadi, kalian harus bersabar kalau aku tidak
dapat bercerita dengan baik. Lagi pula peristiwa itu
sudah sangat lama terjadinya.

”Seperti kukatakan tadi, peristiwa itu tidak terjadi


di St. Mary Mead, tapi di sebuah Hydro...”

”Maksud Anda di sebuah pesawat amfibi?” tanya


Jane dengan mata terbelalak.

”Bukan, Sayang,” kata Mrs. Bantry, kemudian dia


menjelaskannya. Suaminya menambahkan,

"Tempat-tempat yang buruk—sangat buruk! Ba-


ngun harus pagi-pagi dan minum air kotor. Belum
lagi wanita-wanita yang kerjanya cuma duduk-duduk
itu. Tukang-tukang gosip pendengki. Ya Tuhan, bila
kupikir-pikir...”

"Sudahlah, Arthur,” kata Mrs. Bantry dengan te-


nang. "Kau toh harus mengakui bahwa semuanya itu
ada gunanya bagimu.”

”Para wanita yang gemar duduk-duduk sambil ber-


gunjing,” gerutu Kolonel Bantry.

205
"Kurasa itu benar,” kata Miss Marple. "Aku sen-
diri...

”Ya ampun, Miss Marple,” seru sang kolonel de-


ngan terkejut, "aku sama sekali tidak bermaksud...”

Dengan pipi kemerahan Miss Marple mengangkat


tangannya sedikit, untuk menghentikan perkataan
Kolonel Bantry.

”Tapi itu benar, Kolonel Bantry, Hanya saja seharus-


nya aku mengatakan alasannya. Biar kuingat-ingat
dulu. Ya. Bergunjing, seperti kata Anda—yah, hal itu
memang sering dilakukan. Dan orang-orang sering
melecehkannya—terutama orang-orang muda. Kepo-
nakanku yang pengarang itu... dia sangat pintar, me-
nurutku—suka mengkritik habis-habisan kebiasaan
orang yang menghakimi sesamanya tanpa ada bukti
sedikit pun—betapa kejinya perbuatan itu dan sebagai-
nya. Tapi yang ingin kukatakan adalah, orang-orang
muda ini tidak pernah berhenti sejenak untuk ber-
pikir. Mereka benar-benar tidak memperhatikan fakta-
fakta yang sesungguhnya. Tentu saja yang jadi perta-
nyaan adalah: Sesering apa omongan tukang-tukang
gosip itu, seperti kata Anda tadi, benar! Dan kalau
kupikir-pikir, seperti kubilang tadi, mereka benar-be-
nar mempelajari fakta-fakta yang terjadi, karenanya
sembilan dari sepuluh omongan mereka benar! Hal
itulah yang membuat orang-orang jengkel.”

"Tebakan yang jitu,” kata Sir Henry.

”Tidak, bukan itu, sama sekali bukan! Hal itu


benar-benar membutuhkan praktik dan pengalaman.
Aku pernah mendengar bahwa apabila kita menunjuk-
kan sebuah senjata kecil berbentuk aneh kepada se-

206
orang ahli sejarah Mesir kuno, maka dengan hanya
melihat dan merabanya saja dia dapat menyebutkan
tahun berapa sebelum Masehi benda itu dibuat, atau
apakah benda itu cuma tiruan belaka buatan Birming-
ham. Tapi dia tidak akan bisa menjelaskan bagaimana
dia bisa melakukannya. Pokoknya dia tahu, karena
sepanjang hidupnya dia terus-menerus menangani hal-
hal semacam itu.

"Itulah yang ingin kukatakan (aku tahu, memang


tidak jelas). Mereka, yang menurut keponakanku ada-
lah "wanita-wanita yang kurang kerjaan, punya ba-
nyak waktu luang, dan biasanya yang menjadi sasaran
adalah tingkah laku orang-orang lain. Jadi, kalian lihat,
mereka boleh dibilang ahlinya. Orang-orang muda
zaman sekarang—mereka berbicara dengan bebas ten-
tang hal-hal yang tidak boleh dibicarakan sewaktu
aku masih muda dulu, tapi di sisi lain, pikiran me-
reka masih sangat lugu. Mereka mudah percaya pada
omongan orang lain. Dan kalau ada orang yang men-
coba memperingatkan mereka, meskipun dengan cara
sangat halus, mereka akan mengatakan orang itu
kuno—mereka bilang, seperti bak cuci.”

”Memangnya kenapa dengan bak cuci?”

”Tepat,” kata Miss Marple dengan bersemangat.


”Benda itu adalah benda yang paling penting di se-
tiap rumah, tapi tentu saja tidak romantis. Aku harus
mengakui bahwa aku juga punya perasaan, seperti
orang-orang lain, dan kadang-kadang aku sangat sakit
hati mendengar komentar-komentar yang dilontarkan
dengan gegabah. Aku tahu kaum laki-laki biasanya
tidak tertarik dengan masalah-masalah lokal, tapi aku

207
akan menceritakan pada kalian tentang nasib pem-
bantuku, Ethel—gadis yang sangat manis dan penu-
rut. Begitu melihatnya, aku langsung tahu bahwa dia
satu tipe dengan Annie Webb dan pelayan Mrs.
Bruitt yang malang. Kalau ada kesempatan, maka mni-
lik siapa pun tidak jadi soal. Jadi, bulan itu juga aku
memberhentikannya dan memberinya surat keterangan
yang menyatakan dia gadis yang jujur dan baik, tapi
dengan diam-diam aku juga memperingatkan Mrs.
Edwards untuk tidak mempekerjakan gadis itu. Ke-
ponakanku, Raymond, sangat marah dan berkata be-
lum pernah dia mendengar perbuatan sekejam itu—
ya, kejam. Yah, Ethel lalu pergi ke Lady Ashton, dan
aku tidak merasa berkewajiban memperingatkan nyo-
nya bangsawan itu. Lalu apa yang terjadi? Semua
renda Lady Ashton dicopoti dari pakaian-pakaian da-
lamnya, dan dua bros berliannya lenyap—gadis itu
minggat waktu tengah malam dan tidak pernah terde-
ngar lagi kabarnya!”

Miss Marple berhenti sejenak, menarik napas pan-


jang, kemudian melanjutkan perkataannya.

"Kalian pasti mengatakan hal itu tidak ada hu-


bungannya dengan peristiwa yang terjadi di Keston
Spa Hydro—tapi nyatanya sedikit banyak ada hu-
bungannya. Berdasarkan pengalaman itu, aku jadi ti-
dak ragu lagi ketika melihat pasangan suami-istri
Sanders itu. Aku langsung tahu bahwa Sanders bermak-
sud membunuh istrinya.”

”Eh?” kata Sir Henry sambil mencondongkan


tubuh ke depan.

Miss Marple memandangnya dengan tenang.

208
”Seperti kataku tadi, Sir Henry, aku tidak ragu
sama sekali. Mr. Sanders adalah laki-laki bertubuh
besar, berwajah tampan dengan sikap ramah, dan dia
juga sangat populer. Sikapnya terhadap istrinya juga
sangat manis. Tapi aku tahu! Dia bermaksud
membunuh istrinya!”

”Ya ampun, Miss Marple...”

”Ya, aku tahu. Itulah yang akan dikatakan kepo-


nakanku, Raymond West. Dia akan mengatakan aku
tidak punya bukti sedikit pun. Tapi aku teringat pada
Walter Homes yang tinggal di Green Man. Suatu ma-
lam, sewaktu dia berjalan pulang dengan istrinya,
istrinya tercebur ke sungai—dia meninggal dan suami-
nya memperoleh uang asuransi jiwanya! Dan ada juga
orang lain yang bebas dari hukum—orang biasa dari
golongan kita sendiri. Dia pergi ke Swiss pada waktu
liburan musim panas, untuk mendaki gunung dengan
istrinya. Aku sudah memperingatkan istrinya. Wanita
malang itu tidak marah. Dia cuma tertawa. Kede-
ngaran lucu baginya bahwa seorang wanita tua seperti
aku mengatakan hal seperti itu tentang Harry-nya. Ya,
ya, lalu terjadi kecelakaan. Harry sekarang telah me-
nikah lagi dengan wanita lain. Tapi apa yang dapat
kulakukan? Aku memang tahu, tapi tidak ada buk-
ti”

"Oh! Miss Marple,” seru Mrs. Bantry. "Anda tidak


benar-benar bermaksud...”

”Sayangku, peristiwa-peristiwa seperti itu sering ter-


jadi—benar-benar sering terjadi. Dan kaum laki-laki
biasanya mudah tergoda, apalagi secara fisik mereka
juga lebih kuat. Sungguh mudah membuat sesuatu

209
yang tampaknya seperti kecelakaan. Seperti kataku
tadi, aku punya perasaan yang sama terhadap pa-
sangan Sanders itu. Kecelakaan itu terjadi di dalam
kereta listrik. Kereta itu sangat penuh dan kami—aku
dan pasangan Sanders—terpaksa duduk di bagian
atas. Ketika kami bertiga berdiri untuk turun, Mr.
Sanders tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan
jatuh menabrak istrinya, sehingga istrinya jatuh dari
tangga dengan kepala terlebih dulu. Untungnya kon-
dektur kereta itu seorang pemuda yang sangat kuat,
dan dia berhasil menangkap Mrs. Sanders.”

”Tapi bisa saja kejadian itu cuma kecelakaan.”

"Tentu saja kejadian itu suatu kecelakaan—amat


sangat mirip dengan kecelakaan! Tapi menurut Mr.
Sanders, dia pernah menjadi anggota Merchant Ser-
vice, jadi tak mungkin seorang laki-laki yang bisa
menjaga keseimbangan tubuh di atas sebuah perahu
yang terombang-ambing, mendadak limbung di kereta
listrik, sementara wanita tua seperti aku saja tidak
apa-apa. Yang benar saja!”

"Kelihatannya Anda telah menarik kesimpulan,


Miss Marple,” kata Sir Henry. "Kesimpulan yang man-
tap dan tegas.”

Wanita tua itu mengangguk.

”Aku merasa cukup yakin, dan peristiwa lainnya


terjadi tak lama kemudian, sewaktu kami sedang me-
nyeberang jalan. Setelah itu aku jadi semakin yakin.
Sekarang aku bertanya pada Anda, apa yang bisa ku-
lakukan, Sir Henry? Seorang wanita muda dengan
perkawinan yang bahagia akan segera terbunuh.”

210
”Miss Marple yang baik, Anda benar-benar mem-
buatku shock.”

”Itu karena, seperti orang-orang lain, Anda tidak


mau melihat kenyataan. Anda lebih suka berpikir bah-
wa hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Tapi hal-hal
itu dapat terjadi dan aku mengetahuinya. Tapi aku
benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa! Aku tidak
bisa melaporkannya kepada polisi. Dan aku tahu ti-
dak ada gunanya memperingatkan wanita muda itu.
Dia betul-betul mencintai suaminya. Aku lantas ber-
niat melibatkan diri agar dapat mengetahui sebanyak
mungkin mengenai pasangan itu. Orang biasanya me-
miliki banyak kesempatan untuk bercakap-cakap sam-
bil duduk merajut di depan perapian. Mrs. Sanders
(namanya Gladys) sangat senang mengobrol. Kelihatan-
nya mereka belum lama menikah. Suaminya akan
mewarisi sejumlah harta nantinya, tapi saat itu me-
reka sangat miskin. Mereka hidup dari penghasilan
Gladys yang tidak seberapa. Cerita seperti itu me-
mang sudah banyak terdengar. Gladys mengeluh bah-
wa dia tidak dapat menyentuh uang miliknya. Keli-
hatannya ada seseorang yang masih memiliki akal
sehat! Tapi uang itu adalah miliknya yang dapat di-
wariskannya pada siapa saja—aku berhasil mengetahui
tentang hal itu. Dia dan suaminya telah membuat
surat wasiat setelah mereka menikah, di mana mereka
saling mewariskan harta milik masing-masing kepada
pasangannya. Sangat menyentuh. Tentu saja sampai
warisan Jack jadi kenyataan—itulah topik yang selalu
menjadi bahan pembicaraan mereka—keadaan mereka
sangat miskin. Mereka tinggal di sebuah ruangan di

211
lantai paling atas, dekat kamar para pembantu—sa-
ngat berbahaya kalau terjadi kebakaran, meskipun
kemudian aku tahu ada tangga darurat di luar jendela
mereka. Aku bertanya dengan hati-hati, apakah kamar
mereka ada balkonnya—balkon adalah tempat yang
sangat berbahaya. Sekali dorong... kalian tahu apa
akibatnya!

”Aku berhasil membuat Gladys berjanji untuk ti-


dak pergi ke balkon. Kukatakan padanya aku menda-
pat mimpi buruk. Hal seperti itu membuatnya terke-
san—kadang-kadang kita memang bisa memanfaatkan
takhayul. Gladys adalah gadis yang sederhana, dengan
kulit agak kasar dan rambut ikal yang tidak rapi di
lehernya. Dia sangat mudah percaya pada apa saja.
Dia menceritakan apa yang kukatakan kepada suami-
nya, dan aku merasa suaminya beberapa kali meman-
dangku dengan curiga. Dia tidak gampang percaya
seperti istrinya, dan dia tahu aku berada di sana wak-
tu kecelakaan di kereta listrik itu terjadi.

”Tapi aku sangat khawatir—benar-benar khawatir—


karena aku tidak tahu bagaimana menghindarkan
Gladys dari bahaya. Aku bisa saja mencegah suaminya
berbuat sesuatu di Hydro, dengan mengucapkan bebera-
pa patah kata untuk menunjukkan kepadanya bahwa
aku curiga. Tapi itu cuma akan membuatnya menunda
rencananya. Tidak, kupikir satu-satunya cara yang pa-
ling baik adalah menjebaknya. Kalau aku dapat meme-
ngaruhinya agar mencoba membunuh istrinya dengan
cara yang kupilihkan... yah, kedoknya akan terbuka dan
Gladys akan terpaksa menghadapi kenyataan, meskipun
hal itu akan membuatnya sangat terkejut.”

212
”Anda benar-benar membuatku terkesan,” kata dr.
Lloyd. "Apa rencana Anda?”

”Aku belum punya rencana, tapi aku pasti akan


mendapatkannya—aku tidak khawatir,” kata Miss
Marple. "Tapi laki-laki itu ternyara terlalu pintar. Dia
tidak mau menunggu. Dia tahu aku mulai curiga,
jadi dia bertindak sebelum aku terlalu yakin. Dia
tahu aku akan curiga kalau terjadi kecelakaan. Jadi,
dia membuatnya menjadi pembunuhan.”

Suara napas tersentak terdengar di antara orang-


orang yang duduk di sekelilingnya. Miss Marple
mengangguk dan mengatupkan bibir.

”Mungkin aku terlalu mendadak mengatakannya.


Seharusnya aku menceritakan dulu apa yang terjadi.
Aku selalu sedih kalau mengingat peristiwa itu—se-
pertinya aku harus mencegahnya, entah bagaimana.
Tapi nasib telah menentukan jalannya. Aku telah ber-
usaha sebisanya.

”Waktu itu aku merasakan kengerian yang tak


beralasan. Seperti kalau ada sesuatu yang membe-
ratkan hati kita. Perasaan akan terjadi kesialan. Mula-
mula George, si penjaga pintu. Dia sudah bertahun-
tahun bekerja dan mengenal orang. Dia terkena
bronkitis dan radang paru-paru, dan meninggal pada
hari keempat. Sungguh menyedihkan. Kematiannya
benar-benar mengejutkan semua orang. Apalagi hal
itu terjadi empat hari sebelum Natal. Setelah itu, sa-
lah seorang pembantu—seorang gadis yang manis—
terkena infeksi dan meninggal pada hari itu juga.

"Waktu itu aku sedang berada di ruang tamu de-


ngan Miss Trollope dan Mrs. Carpenter yang sudah

213
tua. Mrs. Carpenter sangat tertarik dengan kejadian-
kejadian itu.

"Perhatikan kata-kataku, katanya. Semua ini belum


berakhir. Kalian tahu, bukan, apa kata pepatah? Kalau
ada dua, pasti ada tiga. Aku telah berkali-kali mem-
buktikan kebenaran pepatah itu. Pasti akan ada ke-
matian lagi. Tak diragukan lagi. Dan kita tidak perlu
menunggu lama-lama. Kalau ada dua, pasti ada tiga.

"Ketika dia mengucapkan kata-kata terakhir itu


sambil menganggukkan kepala dan menjentik-jentik-
kan jarum-jarum rajutnya, aku kebetulan menoleh
dan melihat Mr. Sanders sedang berdiri di ambang
pintu. Sesaat dia lengah dan aku melihat ekspresi wa-
jahnya dengan sangat jelas. Aku yakin kata-kata Mrs.
Carpenter yang menyeramkan itu telah memberikan
ide kepadanya. Aku dapat melihat otaknya bekerja.

”Dia lalu masuk ke ruang duduk dan tersenyum


ramah.

"Apakah ada yang mau titip belanjaan Natal, Ibu-


ibu? tanyanya. 'Aku akan pergi ke Keston.'

”Dia tinggal selama beberapa menit, tertawa dan


berbincang-bincang, kemudian pergi. Tapi seperti kata-
ku tadi, aku merasa cemas, jadi aku langsung nyele-
tuk,
”Di mana Mrs. Sanders? Ada yang tahu?

”Mrs. Trollope berkata bahwa Gladys pergi bermain


kartu bersama beberapa temannya, keluarga Mortimer.
Jawaban itu membuatku lega. Tapi aku masih saja
cemas dan tidak yakin apa yang harus kulakukan. Se-
tengah jam kemudian, aku naik ke kamarku. Di
tangga, aku bertemu dengan dr. Coles, dokter

214
pribadiku, yang sedang menuju ke bawah. Aku lalu
pura-pura ingin menanyakan soal penyakit rematik
yang kuderita dan aku mengajaknya ke kamar. Dia
bercerita kepadaku (dengan penuh rasa percaya diri)
tentang kematian gadis pembantu yang malang itu,
Mary. Manajer tempat itu tak ingin berita tersebut
tersebar ke mana-mana, katanya, jadi lebih baik aku
menyimpan cerita itu untuk diriku sendiri. Tentu saja
aku tidak mengatakan padanya bahwa sebenarnya
kami tadi telah membicarakan hal itu selama satu
jam—sejak gadis malang itu mengembuskan napas
terakhirnya. Hal-hal seperti itu selalu cepat tersebar,
bukan? Seseorang dengan pengalaman seperti dr.
Coles seharusnya tahu, tapi yah, dia orang yang
sederhana, tidak pernah curiga dan mau memercayai
apa saja yang ingin dipercayainya. Hal itulah yang
membuatku cemas. Dia berkata bahwa Sanders tadi
telah memintanya memeriksa istrinya. Menurut Mr.
Sanders, istrinya kelihatannya sedang tidak sehar—
muntah-muntah dan sebagainya.

"Nah, padahal hari itu Gladys Sanders berkata pada-


ku bahwa dia bersyukur memiliki sistem pencernaan
yang baik.

”Kalian paham? Kecurigaanku pada Sanders semakin


berlipat ganda. Dia sedang menyiapkan sesuatu—tapi
apa? Dokter Coles pergi sebelum aku sempat
memutuskan apakah aku harus memberitahukan
kekhawatiranku padanya atau tidak—tapi kalaupun
akan memberitahunya, aku tidak tahu apa yang mesti
kukatakan. Ketika aku keluar dari kamar, laki-laki
itu—Sanders—sedang berjalan turun dari lantai atas.

215
Dia telah berpakaian rapi, siap untuk pergi ke luar,
dan dia bertanya sekali lagi apakah bisa mengerjakan
sesuatu untukku di kota. Aku berusaha setengah mati
untuk tetap bersikap sopan padanya! Setelah itu aku
langsung turun ke lobi dan memesan teh. Aku ingat,
waktu itu tepat pukul empat lewat tiga puluh menit.

”Aku benar-benar ingin tahu, apa yang akan terjadi


kemudian. Karenanya aku tetap berada di lobi sampai
pukul enam lewat empat puluh lima menit ketika
Mr. Sanders masuk. Dia ditemani oleh dua laki-laki
lain, dan ketiganya tampak sedikit mabuk. Mr.
Sanders meninggalkan kedua temannya itu dan men-
datangi tempatku duduk bersama Miss Trollope. Dia
mengatakan bahwa dia membutuhkan nasihat kami
mengenai hadiah Natal yang akan diberikannya untuk
istrinya. Hadiah itu berupa sebuah tas untuk malam
hari.

”Seperti Ibu-ibu ketahui” katanya, 'aku ini cuma


seorang pelaut kasar. Aku tidak tahu apa-apa me-
ngenai hal-hal semacam ini. Aku telah menyuruh
toko tas mengirim tiga tas, sehingga aku bisa memilih-
nya, dan untuk itu aku membutuhkan nasihat para
ahli.

”Tentu saja kami mengatakan akan membantunya


dengan senang hati, kemudian dia mengajak kami
naik ke kamarnya, karena istrinya mungkin akan ma-
suk kapan saja dan melihat tas-tas itu kalau dia mem-
bawa mereka ke bawah. Jadi, kami naik ke atas ber-
samanya. Aku takkan pernah melupakan apa yang
terjadi selanjutnya—aku dapat merasakan jemariku
gemetaran.

216
”Mr. Sanders membuka pintu kamar tidur dan me-
nyalakan lampu. Aku tidak tahu siapa di antara kami
yang melihatnya lebih dulu...

”Mrs. Sanders terbaring di lantai, wajahnya tertelung-


kup—dia telah meninggal.

”Aku yang paling dulu menghampirinya. Aku ber-


lutut dan memegang tangannya untuk memeriksa
denyut nadinya, tapi percuma, lengannya saja sudah
dingin dan kaku. Di dekat kepalanya ada selembar
stocking berisi pasir—senjata yang telah digunakan
untuk memukulnya. Miss Trollope, wanita yang bo-
doh itu, cuma bisa berseru-seru dan menangis di
ambang pintu. Sedangkan Sanders sambil memegangi
kepalanya berseru keras, “Istriku, istriku, dan bergegas
menghampiri istrinya. Aku mencegahnya menyentuh
tubuh istrinya. Kalian tahu, bukan, pada saat itu aku
merasa yakin dia telah membunuh istrinya, dan mung-
kin ada sesuatu yang ingin diambil atau disembunyi-
kannya.

”Tidak ada yang boleh disentuh, kataku. "Tenang-


kan diri Anda, Mr. Sanders. Miss Trollope, tolong
pergi ke bawah dan panggilkan manajer tempat ini.

”Aku tetap tinggal di sana, berlutut di sisi tubuh


Gladys. Aku tidak mau meninggalkan Sanders sen-
dirian bersamanya. Tapi aku harus mengakui bahwa
kalau laki-laki itu cuma berpura-pura, aktingnya
bagus sekali. Dia benar-benar seperti orang kehilangan
akal dan bingung, serta sangat ketakutan.

”Manajer tempat itu segera darang. Dia memeriksa


kamar itu dengan cepat, lalu menyuruh kami semua
keluar, mengunci pintu, dan menyimpan kuncinya.

217
Setelah itu dia pergi menelepon polisi. Rasanya lama
sekali polisi baru datang (kami baru tahu kemudian,
bahwa sambungan telepon di situ sedang rusak). Ma-
najer tempat peristirahatan itu terpaksa menyuruh se-
orang pesuruhnya ke kantor polisi, padahal Hydro itu
terletak di luar kota, di ujung padang rumput. Mrs.
Carpenter benar-benar membuat kami hilang kesa-
baran. Dia kelihatan senang melihat pepatahnya yang
berbunyi 'Kalau ada dua, pasti ada tiga terbukti da-
lam waktu singkat. Aku mendengar Sanders mondar-
mandir di halaman, sambil menjambaki rambutnya
dan mengerang serta menunjukkan semua tanda
kesedihan.

”Yah, akhirnya polisi datang juga. Mereka langsung


naik ke atas bersama si manajer dan Mr. Sanders. Ke-
mudian mereka memanggilku. Aku pun naik. Pak
Inspektur Polisi sedang berada di kamar itu, duduk
di depan sebuah meja sambil menulis.

Wajahnya mencerminkan kecerdasan dan aku me-


nyukainya.

”Miss Jane Marple?” katanya.

”Ya.

”Saya dengar, Madam, Anda berada di sini se-


waktu jenazah itu ditemukan?

”Aku mengiakan, lalu menjelaskan dengan tepat


apa yang telah terjadi. Kurasa inspektur yang malang
itu merasa lega karena akhirnya ada seseorang yang
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan baik,
setelah sebelumnya menanyai Sanders dan Emily
Trollope, yang menurut apa yang kudengar, benar-
benar ketakutan—dasar wanita bodoh! Aku teringat

218
ibuku tercinta, yang selalu mengajarkan padaku bah-
wa seorang wanita sejati harus bisa mengendalikan
dirinya di depan umum, apa pun yang terjadi.”

”Nasihat yang baik,” komentar Sir Henry dengan


serius.

”Ketika aku selesai menceritakan pengalamanku,

inspektur itu berkata,


”Terima kasih, Madam. Maaf, saya terpaksa me-
minta Anda melihat jenazah itu sekali lagi. Apakah
posisinya persis sama dengan saat Anda memasuki
kamar ini? Jenazah itu tidak dipindahkan sedikit pun,
bukan?

”Aku menjelaskan bahwa aku telah mencegah Mr.


Sanders menyentuh jenazah istrinya, dan inspektur itu
mengangguk setuju.

” Laki-laki itu kelihatannya sangat terpuku?, kata-


nya.

” Kelihatannya memang begitu, jawabku.

”Aku tidak merasa telah memberi tekanan pada


kata 'kelihatannya, tapi inspektur itu memandangku
lekat-lekat.

”Jadi, bisakah kita simpulkan bahwa jenazah itu


terbaring pada posisi yang sama dengan saat ditemu-
kan?” tanyanya.

”Ya, kecuali topinya, sahutku.

"Inspektur itu memandangku dengan tajam.

”Apa maksud Anda dengan... topinya?

”Aku menjelaskan bahwa topi itu tadinya melekat


di kepala Gladys yang malang, dan sekarang tergeletak
di sisinya. Tentu saja aku berpikir polisilah yang telah
melepaskannya. Tapi inspektur itu menyangkal. Tidak

219
ada yang dipindahkan atau disentuh. Dia memandang
jenazah wanita malang yang tertelungkup itu dengan
dahi berkerut. Gladys mengenakan pakaian luarnya—
jaket tebal dan besar berwarna merah tua dengan ke-
rah bulu berwarna abu-abu. Topinya topi murahan
dari bahan flanel berwarna merah, tergeletak di sam-
ping kepalanya.

”Inspektur itu berdiri sambil termenung selama be-


berapa menit dan mengerutkan dahi. Kemudian dia
mendapat ide.

“Ingatkah Anda, Madam, apakah ada anting-anting


di telinga korban atau apakah biasanya dia memakai
anting-anting?

”Untungnya aku punya kebiasaan mengamat-amati


orang dengan saksama. Aku ingat telah melihat ki-
lauan mutiara di bawah pinggiran topi Gladys, meski-
pun saat itu aku tidak terlalu memperhatikannya.
Aku mengiakan pertanyaan inspektur itu.

”Kalau begitu, cocok. Kotak perhiasan wanita itu


telah diacak-acak—meskipun kurasa dia tidak punya
banyak barang berharga—dan cincin-cincin di jarinya
juga telah dicopoti. Pembunuh itu pasti telah melupa-
kan anting-antingnya, kemudian kembali lagi untuk
mengambilnya setelah jenazah itu ditemukan. Benar-
benar orang yang tidak berperasaan! Atau mungkin...
Dia memandang ke sekeliling kamar dan berkata per-
lahan-lahan, 'Kalau begitu, dia bersembunyi di kamar
selama ini.

”Tapi aku menyangkal idenya itu. Aku sendiri telah


memeriksa kolong tempat tidur. Kemudian manajer
tempat itu juga telah membuka pintu-pintu lemari.

220
Tidak ada tempat persembunyian lain. Memang ada
laci tempat topi yang terkunci di bagian tengah le-
mari pakaian, tapi tempat itu disekat-sekat menjadi
beberapa rak: tak mungkin seseorang bersembunyi di
situ.

"Inspektur itu mengangguk perlahan, sementara


aku menjelaskan semuanya.

”Saya percaya apa yang Anda katakan, Madam,


katanya. 'Kalau begitu, seperti kata saya tadi, pembu-
nuhnya pasti kembali lagi. Benar-benar berdarah di-
ngin.

”Tapi Pak Manajer telah mengunci pintu kamar


ini dan menyimpan kuncinya!

”Itu tidak akan menghalanginya. Masih ada balkon


dan tangga darurat—dari situlah si pencuri masuk.
Yah, suka atau tidak suka, Anda mungkin telah meng-
ganggu kesibukannya. Dia kemudian menyelinap ke-
luar melalui jendela, dan setelah kalian semua pergi,
dia kembali lagi dan membereskan urusannya.

” Anda yakin ada pencuri? tanyaku.

”Inspektur itu menjawab dengan nada masam.

” Kelihatannya memang begitu, bukan?

”Tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang mem-


buatku lega. Aku merasa inspektur itu juga tidak ter-
makan oleh sikap Mr. Sanders yang berpura-pura se-
bagai duda yang sedang bersedih hati.

”Harus kuakui, aku benar-benar berada dalam ke-


adaan yang kurasa istilah Prancis-nya idee fix. Aku
tahu laki-laki itu, Sanders, berniat membunuh istri-
nya. Yang tidak bisa kumengerti adalah kebetulan
yang aneh dan fantastis itu. Aku yakin pandanganku

221
mengenai Mr. Sanders sudah tepat dan benar. Orang
itu keji. Kepura-puraannya tidak dapat menipuku sedi-
kit pun. Aku masih ingat betapa terkejut dan bingung-
nya dia sewaktu melihat istrinya tadi. Tampaknya si-
kapnya itu tidak dibuat-buat. Tingkahnya benar-benar
wajar—kalian pasti mengerti apa yang kumaksud. Ha-
rus kuakui, setelah percakapanku dengan inspektur
itu, aku jadi curiga. Sebab kalau benar Sanders me-
lakukan perbuatan keji itu, aku tak bisa membayang-
kan alasan masuk akal apa yang membuatnya kembali
lewat tangga darurat dan mengambil anting-anting di
telinga istrinya. Sepertinya perbuatan itu sungguh :i-
dak masuk akal, padahal Sanders orang yang benar-be-
nar rasional—itu sebabnya aku selalu menganggapnya
berbahaya.”

Miss Marple memandang orang-orang di sekeliling-


nya.
”Kalian sadar bukan, apa yang sedang kuhadapi?
Sering kali kejadian yang tidak diharapkan terjadi di
dunia ini. Aku begitu yakin, dan kurasa itulah yang
membuatku buta. Fakta yang ada membuatku terke-
jut. Tak bisa diragukan lagi, Mr. Sanders tak mungkin
melakukan kejahatan itu...”

Mrs. Bantry menarik napas, terkejut. Miss Marple


berpaling kepadanya.

”Aku tahu, Anda tidak akan menyangkanya waktu


aku mulai bercerita tadi. Aku sendiri tidak menyang-
ka. Tapi fakta adalah fakta, dan jika seseorang sudah
terbukti melakukan kesalahan, maka dia harus meren-
dahkan hati dan mulai kembali. Aku yakin dengan
sepenuh hati bahwa Mr. Sanders seorang pembunuh—

222
dan tidak ada apa pun yang bisa menggoyahkan ke-
yakinanku.

”Nah, kurasa kalian ingin mengetahui apa yang


telah terjadi. Mrs. Sanders, seperti kalian ketahui,
menghabiskan sore itu dengan bermain bridge bersama
teman-temannya, keluarga Mortimer. Dia meninggal-
kan rumah mereka sekitar pukul enam lewat lima
belas menit. Jarak dari rumah temannya ke Hydro
memakan waktu sekitar satu jam berjalan kaki—bisa
kurang dari itu kalau berjalan dengan tergesa-gesa.
Jadi, dia pasti sudah sampai di Hydro pukul enam
lewat tiga puluh menit. Tak seorang pun melihatnya
masuk, jadi dia pasti masuk melalui pintu samping
dan langsung menuju kamarnya. Kemudian dia meng-
ganti pakaiannya (mantel bulu dan rok yang dipakai-
nya sewaktu bermain kartu ditemukan tergantung di
lemari pakaian) dan tampaknya bersiap-siap untuk
pergi lagi ketika pukulan itu menghantamnya. Menu-
rut polisi, mungkin juga dia tidak pernah tahu siapa
yang telah membunuhnya. Kantong pasir itu merupa-
kan senjata yang sangat efisien. Dari fakta ini, keli-
hatannya si penyerang bersembunyi di dalam kamar,
kemungkinan di dalam lemari—yang tidak dibuka-
nya.
”Sekarang mengenai gerak-gerik Mr. Sanders. Dia
pergi keluar sekitar pukul lima lebih tiga puluh me-
nit—atau beberapa menit sesudahnya. Dia berbelanja
di beberapa toko dan sekitar pukul enam pergi ke
Grand Spa Hotel, bertemu dengan kedua temannya—
yang kemudian bersama-sama dengannya kembali ke
Hydro. Mereka bermain biliar, dan kurasa juga mi-

223
num wiski dan soda bersama-sama. Kedua orang itu
(nama mereka Hitchcock dan Spender) terus bersama
dengan Sanders dari pukul enam. Mereka berjalan ke
Hydro bersamanya dan dia cuma meninggalkan me-
reka sewaktu menghampiriku dan Miss Trollope. Saat
itu sekitar pukul enam lewat empat puluh lima me-
nit—istrinya pasti sudah meninggal pada waktu itu.

”Aku juga telah berbicara dengan kedua teman


Sanders. Aku tidak suka dengan mereka. Sikap me-
reka tidak ramah dan mereka juga bukan tipe orang
baik-baik. Tapi aku yakin apa yang mereka ceritakan
itu benar, yaitu Sanders selalu bersama-sama mereka.

”Cuma ada satu petunjuk lagi. Sewaktu Mrs.


Sanders sedang bermain kartu, dia mendapat telepon
dari seseorang bernama Mr. Littleworth. Setelah me-
nerima telepon itu, dia kelihatannya girang sekali—
dan tanpa sengaja membuat satu atau dua kesalahan
besar dalam permainannya. Dia pergi meninggalkan
teman-temannya lebih awal daripada yang mereka
perkirakan.

”Mr. Sanders telah ditanyai, kalau-kalau dia tahu


ada seorang teman istrinya yang bernama Mr. Little-
worth, tapi dia mengatakan belum pernah mendengar
nama itu. Menurutku, jawabannya itu sesuai dengan
tingkah laku istrinya—Mrs. Sanders juga kelihatannya
tidak kenal dengan nama Littleworth. Tapi setelah
menerima telepon, dia kembali sambil tersenyum ber-
seri-seri, jadi kelihatannya, siapa pun laki-laki yang
telah meneleponnya tidak menyebutkan nama aslinya,
dan hal itu mencurigakan, bukan?

”Yah, itulah satu-satunya teori yang lain. Teori ten-

224
tang pencurian kelihatannya tidak masuk akal—begitu
juga teori bahwa Mrs. Sanders sedang bersiap-siap
keluar dan menemui seseorang. Apakah seseorang te-
lah memasuki kamarnya melalui tangga darurat? Apa-
kah telah terjadi pertengkaran? Ataukah laki-laki itu
secara tiba-tiba menyerangnya?”

Miss Marple berhenti sejenak.

”Nah?” kata Sir Henry. "Apa jawabannya?”

”Coba kalian tebak.”

”Aku tidak pandai menebak,” kata Mrs. Bantry.


”Sungguh sayang Sanders memiliki alibi yang begitu
kuat. Tapi kalau Anda merasa puas dengan alibinya,
mestinya alibinya itu benar.”

Jane Helier memalingkan kepalanya yang indah


dan bertanya.

"Mengapa lemari untuk menyimpan topi itu di-


kunci?” tanyanya.

"Anda sungguh pandai,” kata Miss Marple dengan


wajah berseri-seri. "Itulah yang membuatku heran.
Meskipun penjelasannya ternyata sangat sederhana. Di
dalam lemari itu terdapat sepasang selop bersulam
dan beberapa lembar saputangan yang disulam oleh
wanita malang itu untuk hadiah Natal bagi suaminya.
Itu sebabnya dia mengunci pintu lemari itu. Kuncinya
ditemukan di dalam tas tangannya.”

”Oh? kata Jane. "Kalau begitu, hal itu tidak me-


narik sama sekali.”

”Oh! Hal itu justru menarik,” kata Miss Marple.


”Bahkan sangat menarik—fakra itu telah mengacaukan
rencana si pembunuh.”

Semua orang memelototi wanita tua itu.

225
”Aku juga tidak menyadarinya selama dua hari,”
kata Miss Marple. "Aku bingung dan kacau—tapi
kemudian tiba-tiba semuanya jadi jelas. Aku pergi
menjumpai inspektur polisi itu dan memintanya men-
coba sesuatu.”

”Apa yang Anda minta untuk dicoba?”

"Aku memintanya memakaikan topi itu ke kepala


wanita malang itu—dan tentu saja dia tidak bisa me-
lakukannya. Topi itu tidak bisa pas. Karena topi itu
bukan miliknya”

”Tapi bukankah mula-mula topi itu berada di ke-


palanya?”

”Bukan di kepalanya...”

Miss Marple berhenti sejenak, memberi kesempatan


pada para pendengarnya untuk meresapi kata-katanya,
kemudian dia melanjutkan.

”Kita semua menganggap tubuh Gladys yang ma-


langlah yang terbaring di kamar itu. Tapi kita tidak
pernah melihat wajahnya. Ingat, jenazah itu tertelung-
kup dan topi itu menyembunyikan semuanya.”

”Tapi Gladys tetap dibunuh?”

”Ya, setelah itu. Pada saat kami sedang menelepon


polisi, Gladys Sanders masih hidup dan segar bu-
gar.”

”Maksud Anda, seseorang berpura-pura menjadi


dia? Tapi bukankah Anda sendiri telah memeriksa-
nya...”

”Tubuh itu memang tubuh orang mati,” kata Miss


Marple perlahan.

”Tapi, ayolah,” kata Kolonel Bantry. "Anda tidak


bisa menyingkirkan mayat dengan gampang. Apa

226
yang mereka lakukan dengan... dengan mayat yang
pertama?”

”Dikembalikan,” kata Miss Marple. "Benar-benar


ide licik, tapi juga sangat pandai. Percakapan kamilah
yang menimbulkan ide di kepalanya. Jenazah si pem-
bantu, Mary yang malang—mengapa tidak digunakan?
Ingat, kamar pasangan Sanders terletak di dekat ka-
mar para pembantu. Kamar Mary cuma berbeda dua
pintu. Pengurus jenazah tidak akan datang sampai
malam hari. Dia telah memperhitungkan hal itu. Dia
menggotong jenazah itu melalui balkon (hari sudah
gelap saat pukul lima sore), mendandaninya dengan
pakaian dan mantel besar berwarna merah milik istri-
nya. Tapi kemudian dia mendapati pintu lemari tem-
pat menyimpan topi terkunci! Cuma ada satu jalan,
dia kembali mengambil topi gadis malang itu sendiri.
Tidak akan ada yang tahu topi itu bukan milik istri-
nya. Dia meletakkan kantong pasir di sisi jenazah,
kemudian pergi untuk mendapatkan alibinya.

”Dia menelepon istrinya—dengan mengaku sebagai


Mr. Littleworth. Aku tidak tahu apa yang dikatakan-
nya pada Gladys—seperti sudah kukatakan tadi,
Gladys benar-benar wanita yang gampang percaya.
Dia berhasil membujuk istrinya untuk meninggalkan
teman-temannya lebih awal dan tidak kembali ke
Hydro, melainkan menemuinya di halaman Hydro, di
dekat tangga darurat pada pukul tujuh. Mungkin dia
mengatakan pada istrinya bahwa dia punya kejutan
untuknya.

"Kemudian dia kembali bersama teman-temannya


ke Hydro dan mengatur agar Miss Irollope dan aku

227
yang menemukan kejahatan itu bersamanya. Dia bah-
kan berpura-pura akan membalikkan jenazah itu—dan
aku mencegahnya! Kemudian polisi dipanggil, dan dia
terhuyung-huyung keluar ke halaman.

”Tak seorang pun akan menanyai alibinya setelah


pembunuhan itu terjadi. Dia lalu menemui istrinya,
menemaninya naik melalui tangga darurat, dan masuk
ke kamar mereka. Mungkin dia telah menceritakan
sesuatu pada istrinya tentang mayat itu. Sewaktu istri-
nya sedang berjongkok melihat mayat itu, dia memu-
ngut kantong pasir dan memukulnya... Oh, Tuhan!
Sungguh ngeri membayangkannya. Bahkan sampai
saat ini. Kemudian dia cepat-cepat melepaskan mantel
dan rok istrinya, menggantungkannya di lemari, dan
memakaikan pakaian dari mayat satunya.

"Tapi topi itu tidak bisa pas. Kepala Mary kecil


bentuknya—seperti kataku tadi, Gladys Sanders me-
miliki rambut yang sangat lebat. Jadi, dia terpaksa
meletakkan topi itu di sisi mayat istrinya dan berha-
rap tidak ada orang yang memperhatikannya. Kemu-
dian dia menggotong tubuh Mary kembali ke kamar-
nya dan membaringkannya dengan baik.”

”Kelihatannya tidak masuk akal,” kata dr. Lloyd.


”Risiko yang diambilnya. Polisi bisa saja datang lebih
awal.”

”Anda tentu ingat bahwa jaringan telepon saat itu


terputus,” kata Miss Marple. "Itu juga hasil perbuatan-
nya. Dia tidak mau menanggung risiko polisi datang
lebih awal. Saat mereka datang, mereka akan masuk ke
kantor manajer terlebih dulu dan menghabiskan bebera-

pa saat di sana sebelum masuk ke kamarnya. Memang

228
di situlah letak kelemahan rencana Sanders—kemung-
kinan adanya seseorang yang memperhatikan per-
bedaan antara orang yang telah meninggal dua jam se-
belumnya dengan orang yang baru meninggal setengah
jam yang lalu. Tapi dia telah memperhitungkan bahwa
orang-orang yang pertama kali menemukan pem-
bunuhan itu tidak memiliki pengetahuan kedok-
teran.”

Dokter Lloyd mengangguk.

”Pembunuhan itu diduga dilakukan pada pukul


enam lewat empat puluh lima menit atau sekitar itu,”
katanya. "Padahal sebenarnya dilakukan pada pukul
tujuh atau beberapa menit sesudahnya. Dokter polisi
memeriksa mayat itu paling tidak sesudah jam tujuh
lebih tiga puluh menit. Jelas dia tak bisa memasti-
kan.”

”Aku seharusnya tahu,” kata Miss Marple. ”Aku


telah meraba tangan gadis malang itu, dan rasanya
sedingin es. Tapi beberapa waktu kemudian, inspektur
polisi mengatakan pembunuhan itu seakan-akan di-
lakukan hanya beberapa saat sebelum kami menemu-
kannya—dan aku tidak menyadari apa-apa!”

”Kurasa Anda telah menyadari banyak hal, Miss


Marple,” kata Sir Henry. "Kejadian itu pasti terjadi
sebelum aku di Scotland Yard. Aku tidak ingat
pernah mendengarnya. Apa yang terjadi selanjutnya?”

”Sanders dihukum gantung,” kata Miss Marple de-


ngan nada kering. "Dan itu memang layak untuknya.
Aku tak pernah menyesalkan keterlibatanku yang mem-
bawanya ke pengadilan. Aku tidak setuju dengan ge-

229
rakan kemanusiaan modern yang menentang hukuman
mati.”

Wajahnya yang kaku berubah lembut kembali.


”Tapi aku menyesali diri karena telah gagal menyela-
matkan hidup wanita malang itu. Tapi siapa yang
mau mendengarkan kata-kata seorang wanita tua tan-
pa bukti apa pun? Yah, yah—siapa tahu? Mungkin
juga lebih baik dia meninggal pada saat hidupnya ma-
sih bahagia, daripada membiarkannya tetap hidup tapi
merasa tidak bahagia dan terus mengkhayalkan suami-
nya sebagai orang baik. Hidup dalam dunia yang
tiba-tiba saja berubah menjadi buruk. Dia mencintai
laki-laki keji ivu dan memercayainya. Dia bahkan tak
pernah tahu suaminyalah yang membunuhnya.”

”Yah, kalau begitu dia bahagia,” kata Jane Helier.


”Sangat bahagia. Kuharap...” Kata-katanya terhenti.

Miss Marple memandang Jane Helier yang ter-


kenal, cantik, dan sukses itu, dan mengangguk
perlahan.

”Ya, Sayang,” katanya dengan sangat lirih. ”Ya.”

230
BAB 11

DAUN-DAUN PEMBAWA
KEMATIAN

” SEKARANG giliran Anda, Mrs. B,” kata Sir Henry


Clithering memberi semangat.

Mrs. Bantry, sang nyonya rumah, menatapnya de-


ngan sorot jengkel.

”Sudah kubilang, jangan memanggilku Mrs. B. Itu


tidak sopan.”

”Kalau begitu, Scheherazade.”

” Apalagi itu, Sche—apa itu! Aku tidak pernah bisa


bercerita dengan baik, tanya saja Arthur kalau tidak
percaya.”

”Kemampuanmu untuk mengingat fakta-fakta lu-


mayan baik, Dolly,” kata Kolonel Bantry, ”tapi tidak
dalam hal sulam-menyulam.”

”Cukup,” kata Mrs. Bantry. Dia membanting kata-


log benih tanaman yang dipegangnya di meja di de-
pannya. "Aku telah mendengarkan cerita kalian, dan

231
aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya.
'Begini, begitu, kata si ini, kata si itu. Yah, aku me-
mang tidak bisa bercerita, titik! Lagi pula aku tidak
tahu apa yang bisa kuceritakan.”

”Kami tidak percaya, Mrs. Bantry,” kata dr. Lloyd.


Dia menggelengkan kepalanya yang berambut kelabu
dengan sikap menyindir.

Miss Marple berkata dengan suara lembut, "Yang


benar saja, Sayang...”

Mrs. Bantry dengan keras kepala menggelengkan


kepala.

”Kalian tidak tahu betapa hambarnya hidupku.


Mengatur para pelayan dan susahnya mendapatkan
pelayan untuk mencuci piring, pergi berbelanja ke
kota, pergi ke dokter gigi dan ke Ascot (yang dibenci
Arthur) dan mengurus kebun...”

”Ah!” kata dr. Lloyd. "Mengurus kebun. Kami se-


mua tahu hobi Anda, Mrs. Bantry.”

"Mempunyai sebidang kebun pasti sangat menye-


nangkan,” kata Jane Helier, sang aktris muda yang
cantik. "Itu kalau kita tidak perlu menggali atau me-
ngotori tangan kita. Aku suka sekali bunga-bunga.”

”Kebun,” kata Sir Henry. "Bisakah kita memakainya


sebagai topik pembicaraan? Ayolah, Mrs. B. Benih
tanaman beracun, bunga dafodil yang mematikan,
dedaunan yang membawa kematian!”

"Sungguh aneh Anda mengatakan hal itu,” kata


Mrs. Bantry. Aku jadi teringat sesuatu. Arthur, ingat-
kah kau akan peristiwa di Clodderham Court? Itu, si
pak tua, Sir Ambrose Bercy. Kau ingat bukan, betapa
sopan dan baik tingkah laku orang tua itu?”

232
”Yah, tentu saja. Ya, peristiwa itu memang aneh.
Ceritakanlah, Dolly.”

”Lebih baik kau saja, Sayang.”

”Omong kosong. Ayolah. Kau harus mengayuh


perahumu sendiri. Aku sudah mengerjakan bagianku
tadi.”

Mrs. Bantry menarik napas panjang. Dia


menautkan kedua tangan dan wajahnya menunjukkan
kegugupan. Dia berbicara dengan cepat dan lancar.

”Yah, sebenarnya tidak banyak yang bisa dicerita-


kan. Daun-daun pembawa kematian—kata-kara itulah
yang membuatku teringat, meskipun aku sendiri lebih
suka menyebutnya daun bumbu dan bawang”

”Daun bumbu dan bawang?” tanya dr. Lloyd.

Mrs. Bantry mengangguk.

"Kejadiannya begini,” katanya menjelaskan. "Kami,


Arthur dan aku, tinggal bersama Sir Ambrose Bercy di
Clodderham Court, dan pada suatu hari, secara tak se-
ngaja (aku selalu menganggap kesalahan itu adalah ke-
salahan konyol) banyak daun foxglove beracun terpetik
bersama-sama dengan daun bumbu. Bebek panggang
yang dihidangkan malam itu diisi dengan daun-daun
tersebut, akibatnya semua orang yang memakannya jadi
sakit, dan seorang gadis yang malang—anak asuh Sir
Ambrose—meninggal karenanya.”

Dia berhenti.

”Astaga!” kata Miss Marple, "sungguh tragis.”

”Memang begitu, bukan?”

”Yah,” kata Sir Henry, "lalu apa yang terjadi?”

"Tidak ada,” kata Mrs. Bantry, "kejadian itu ber-


akhir sampai di situ.”

233
Semua orang terperangah. Meskipun telah diper-
ingatkan sebelumnya, mereka tidak mengharapkan
cerita sesingkat itu.

”Tapi, Mrs. B,” protes Sir Henry, "tak mungkin


ceritanya hanya sampai di situ. Apa yang Anda cerita-
kan tadi hanya mengenai suatu peristiwa tragis, tapi
sedikit pun tidak dapat dianggap sebagai suatu ka-
sus.”

”Yah, tentu saja masih ada kelanjutannya sedikit,”


kata Mrs. Bantry. "Tapi kalau aku menceritakannya
pada kalian, rahasianya akan terbongkar.”

Dia memandang sekeliling dengan sikap me-


nantang dan berkata perlahan,

”Sudah kubilang aku tidak dapat membumbui dan


membuat cerita yang enak didengar.”

”Aha!” kata Sir Henry. Dia menegakkan sikap du-


duknya dan mengatur letak kacamatanya. "Tahu ti-
dak, Scheherazade, justru ini yang paling menyenang-
kan. Kreativitas kami ditantang. Aku curiga Anda
melakukannya dengan sengaja—untuk menggelitik
rasa ingin tahu kami. Kurasa kita bisa mengajukan
'Dua puluh Pertanyaan untuk mendapatkan petunjuk.
Miss Marple, maukah Anda memulainya?”

"Aku ingin tahu mengenai si koki,” kata Miss


Marple. ”Dia pasti orang yang sangat bodoh atau sa-
ngat tidak berpengalaman.”

”Dia memang sangat bodoh,” kata Mrs. Bantry.


”Dia terus-menerus menangis setelah kejadian itu, dan
berkata daun-daun itu telah dipetik dan diberikan
kepadanya sebagai daun bumbu, dan dia sama sekali
tidak menaruh curiga.”

234
”Orang yang berhati-hati tidak akan melakukan hal
itu,” kata Miss Marple.

"Mungkin koki itu seorang wanita tua dan, aku


berani bilang, sangat jago memasak?”

"Oh! Sangat ahli,” kata Mrs. Bantry.

”Giliran Anda, Miss Helier,” kata Sir Henry.

”Oh! Maksud Anda... untuk menanyakan sesuatu?”


Permainan itu terhenti sejenak sementara Jane ber-
pikir. Akhirnya dia berkata dengan putus asa, "Aku...
aku tidak tahu harus menanyakan apa.”

Matanya yang indah menatap Sir Henry dengan


pandangan memohon.

"Mengapa tidak menanyakan sesuatu yang berhu-


bungan dengan dramatis personae, Miss Helier?” saran-
nya sambil tersenyum.

Jane masih kelihatan bingung.

”Karakter orang-orang yang hadir, sesuai dengan


penampilan mereka,” kata Sir Henry dengan lembut.

”Oh, ya,” kata Jane. "Itu ide yang bagus.”

Mrs. Bantry mulai menghitung-hitung orang-orang


yang hadir pada perjamuan itu dengan jari-jarinya.

”Sir Ambrose, Sylvia Keene (gadis yang meninggal


itu): temannya yang tinggal di sana, Maud Wye, se-
orang gadis jelek berkulit gelap yang entah bagaimana
berhasil menempatkan diri di sana—aku tidak tahu
bagaimana dia melakukannya. Lalu ada Mr. Curle yang
datang untuk berdiskusi dengan Sir Ambrose mengenai
buku-buku—kalian tahu bukan, buku-buku langka,
buku-buku tua yang ditulis dalam bahasa Latin—tebal
dan bau. Lalu Jerry Lorimer—dia tinggal di dekat situ.
Rumahnya, Fairlies, berada di tanah milik Sir Ambrose.

235
Dan ada juga Mrs. Carpenter, wanita setengah baya
yang manis bak anak kucing dan kelihatannya selalu
bisa menempatkan diri dengan baik di mana saja. Ku-
rasa dia berperan sebagai dame de compagnie bagi
Sylvia.”

”Kurasa sekarang giliranku,” kata Sir Henry, ”sebab


aku duduk di sebelah Miss Helier. Aku ingin meman-
faatkan kesempatanku dengan sebaik-baiknya. Tolong
gambarkan orang-orang itu, Mrs. Bantry.”

”Oh!” Mrs. Bantry ragu-ragu.

”Sir Ambrose,” kata Sir Henry melanjutkan. ”Mulai-


lah dengan dia. Bagaimana rupanya?”

”Oh! Dia seorang laki-laki tua dengan wajah yang


sangat menarik. Sebenarnya dia belum terlalu tua—ku-
rasa umurnya tidak lebih dari enam puluh tahun.
Tapi dia sangat rapuh, jantungnya lemah, jadi dia ti-
dak bisa naik tangga: dia harus menggunakan lift
untuk naik, dan itu membuatnya tampak lebih tua
daripada yang sebenarnya. Tingkah lakunya sangar
luwes—anggun—itulah kata yang paling tepat untuk
menggambarkannya. Kalian tidak akan pernah melihat-
nya acak-acakan atau bingung. Dia memiliki rambut
putih yang indah dan suara yang menyenangkan.”

”Bagus,” kata Sir Henry. "Aku dapat membayang-


kan Sir Ambrose. Sekarang gadis itu, Sylvia—siapa
namanya tadi?”

”Sylvia Keene. Gadis yang cantik—benar-benar can-


tik. Berambut pirang dan memiliki kulit bagus. Dia
mungkin tidak terlalu cerdas. Sebenarnya malah sedi-
kit bodoh.”

”Oh! Ayolah, Dolly,” protes suaminya.

236
"Tentu saja Arthur tidak sependapat,” kata Mrs.
Bantry dengan datar. "Tapi gadis itu memang bodoh.
Dia hampir-hampir tidak pernah mengucapkan se-
suatu yang layak didengar.”

"Dia gadis paling anggun yang pernah kukenal,”


kata Kolonel Bantry dengan hangat. "Aku pernah me-
lihatnya bermain tenis—lincah, benar-benar lincah.
Dan dia juga sangat ceria—gadis muda yang senang
bergurau. Tingkah lakunya juga anggun. Berani ta-
ruhan, anak-anak muda pasti berpikiran demikian.”

”Itulah letak kesalahanmu,” kata Mrs. Bantry. ”Usia


muda tidak menarik bagi laki-laki muda zaman seka-
rang. Hal itu cuma menarik bagi orang-orang tua se-
perti kau, Arthur, yang gemar duduk-duduk sambil
mengoceh tentang gadis-gadis muda.”

”Muda saja tidak cukup,” kata Jane. "Seseorang ha-


rus memiliki SA.”

”Apa itu?” kata Miss Marple. ”SA?”

”Sex Appeal—daya tarik seksual,” kata Jane.

”Ah! ya,” kata Miss Marple. "Dulu, waktu zaman-


ku, mereka menyebutnya 'memiliki pandangan mata
seperti magnet.”

”Gambaran yang cocok,” kata Sir Henry. "Lalu ba-


gaimana dengan sang dame de compagnie itu, yang
Anda bilang manis bak anak kucing, Mrs. Bantry?”

”Maksudku bukan benar-benar seperti kucing” kata


Mrs. Bantry. ”Pengertiannya berbeda. Tapi dia bisa
dilukiskan seperti seekor kucing besar berbulu putih
yang empuk. Sikapnya selalu manis. Begitulah gam-
baran Adelaide Carpenter.”

"Berapa umurnya?”

237
”Oh! Sekitar empat puluh tahunan. Dia sudah ting-
gal di sana selama beberapa tahun—sejak Sylvia ber-
usia sebelas tahun, kurasa. Dia benar-benar pandai
bergaul. Salah seorang janda yang kurang beruntung,
punya banyak kerabat ningrat, tapi tidak punya uang.
Aku sendiri tidak terlalu suka dengannya—tapi aku
memang tidak pernah suka dengan orang-orang yang
memiliki tangan sangat putih dan panjang. Dan aku
juga tidak suka kucing.”

”Mr. Curle?”

”Oh! Laki-laki berbadan bungkuk. Di dunia ini


banyak sekali laki-laki berbadan bungkuk, sehingga
agak susah membedakan seorang dari yang lainnya.
Dia tak pernah menunjukkan sikap antusias terhadap
apa pun, kecuali ketika membicarakan buku-buku
tuanya yang bau. Kurasa Sir Ambrose juga tidak ter-
lalu mengenalnya dengan baik.”

”Dan si Jerry yang tinggal di dekat situ?”

"Pemuda yang menyenangkan. Dia tunangan


Sylvia. Sungguh sayang.”

”Aku jadi bertanya-tanya...,” kata Miss Marple, ke-


mudian berhenti.

” Apa?”

”Tidak apa-apa.”

Sir Henry memandang wanita tua itu dengan penuh


rasa ingin tahu. Kemudian dia berkata perlahan,

”Jadi, kedua anak muda itu bertunangan. Sudah


lamakah itu?”

”Sekitar satu tahun. Sebelumnya Sir Ambrose me-


nentang pertunangan itu, dengan alasan Sylvia masih
terlalu muda. Tapi setelah pertunangan itu berjalan

238
satu tahun, dia mengalah dan pesta perkawinan akan
segera diadakan.”

"Ah! Apakah gadis muda itu memiliki kekayaan?”

”Hampir tidak ada—cuma seratus atau dua ratus


pound setahun.”

"Tidak ada tikus di lubang itu, Clithering,” kata


Kolonel Bantry sambil tertawa.

”Sekarang giliran Pak Dokter untuk mengajukan


pertanyaan,” kata Sir Henry. "Aku sudah cukup.”

”Pertanyaanku berhubungan dengan profesiku,”


kata dr. Lloyd. "Aku ingin tahu, alasan medis apa
yang disebutkan pada surat kematian gadis itu—kalau
nyonya rumah kita ini masih ingat, atau, lebih tepat-
nya, kalau dia tahu.”

”Aku hanya tahu secara kasar” kata Mrs. Bantry.


”Keracunan digitalin—benar begitu namanya?”

Dokter Lloyd mengangguk.

”Racun daun foxglove—digitalis—dapat menyerang


jantung. Tapi racun itu banyak digunakan sebagai
obat yang sangat manjur untuk mengobati beberapa
jenis penyakit jantung. Kasus ini sangat aneh. Aku
tidak percaya akibatnya dapat sefatal itu bila seseorang
secara tak sengaja memakan daun foxglove. Cerita me-
ngenai orang yang meninggal gara-gara makan daun
atau buah arbei beracun kedengarannya terlalu berle-
bihan. Cuma segelintir orang yang tahu bahwa sari
racun, atau alkaloid, harus diolah lebih dulu dengan
hati-hati.”

”Mrs. MacArthur mengirimkan beberapa benih ta-


naman khusus pada Mrs. Toomie beberapa hari yang
lalu,” kata Miss Marple. "Dan koki Mrs. 'Toomie me-

239
ngira benih itu adalah bawang. Dia memasaknya, dan
akibatnya seluruh keluarga Toomie jadi sakit.”

”Tapi mereka tidak meninggal karenanya,” kata dr.


Lloyd.

"Tidak. Mereka tidak meninggal karenanya,” kata


Miss Marple mengakui.

”Ada seorang gadis yang pernah kukenal, yang me-


ninggal karena keracunan makanan basi,” kata Jane
Helier.

”Kita harus melanjutkan pemeriksaan atas kejahatan


ini,” kata Sir Henry.

”Kejahatan?” kata Jane dengan terkejut. "Kupikir


peristiwa itu cuma kecelakaan.”

”Kalau peristiwa itu cuma kecelakaan,” kata Sir


Henry dengan lembut, “kurasa Mrs. Bantry tidak
akan menceritakannya. Tidak, seperti yang kuduga,
kecelakaan itu hanya dibuat-buat saja—di belakangnya
ada sesuatu yang jauh lebih keji. Aku jadi teringat
sebuah kasus—beberapa orang tamu dalam pesta di
sebuah rumah sedang bercakap-cakap sambil makan
malam. Dinding-dinding ruang makan rumah itu
dihiasi berbagai macam senjata kuno. Sambil ber-
gurau, seorang tamu mengambil sebuah pistol kuno
dan mengacungkannya ke arah seorang tamu lain,
berpura-pura akan menembaknya. Tapi pistol itu ter-
nyata berisi dan meledak, menewaskan orang tersebut.
Dalam kasus seperti itu, pertama-tama kami harus
memeriksa, siapakah yang dengan diam-diam telah
menyiapkan dan mengisi pistol itu, dan kedua, siapa
yang telah mengarahkan pembicaraan sehingga ber-

240
akhir seperti itu—karena orang yang telah menembak-
kan pistol itu benar-benar tidak tahu apa-apa!

"Kelihatannya kita memiliki masalah yang sama


dalam peristiwa ini. Daun-daun yang mengandung
digitalin itu dengan sengaja dicampurkan dalam daun
bumbu, dengan maksud yang jelas. Karena kita telah
menganggap koki itu tidak bersalah—kita sepakat
bahwa dia tidak bersalah, bukan?—maka pertanyaan-
nya sekarang adalah: Siapa yang telah memetik daun-
daun itu dan mengantarkannya ke dapur?”

”Itu mudah dijawab,” kata Mrs. Bantry. "Paling ti-


dak, pertanyaan yang terakhir tadi. Sylvia sendiri yang
memetik daun-daun itu dan memberikannya ke da-
pur. Pekerjaan itu memang tugas sehari-harinya, yaitu
memetik sayuran untuk salad atau bumbu, wortel
muda—pokoknya pekerjaan sejenis itu, yang tidak
bisa dilakukan dengan benar oleh para tukang kebun.
Mereka biasanya tidak suka memetikkan kita tanaman
yang masih muda dan lemah—mereka lebih suka
membiarkan tanaman itu tumbuh sampai benar-benar
kuat. Jadi, Sylvia dan Mrs. Carpenter biasanya melaku-
kan sendiri pekerjaan-pekerjaan itu. Dan kebetulan
memang ada daun-daun foxglove yang tumbuh di
antara daun-daun bumbu di salah satu pojok kebun,
jadi kesalahan tersebut kelihatannya memang wajar.”

”Tapi benarkah Sylvia sendiri yang memetik daun-


daun itu?”

”Tidak ada orang yang tahu. Kami mengasumsikan-


nya.”

”Asumsi,” kata Sir Henry, "adalah hal berbahaya.”


"Tapi aku tahu Mrs. Carpenter tidak memetik

241
daun-daun itu,” kata Mrs. Bantry. "Karena kebetulan
pagi itu dia berada di teras denganku. Kami pergi
berjalan-jalan setelah makan pagi. Waktu itu awal mu-
sim semi, udara sangat menyenangkan dan hangat.
Sylvia pergi sendirian ke kebun, tapi kemudian aku
melihatnya berjalan bergandengan tangan dengan
Maud Wye.”

”Mereka berteman baik?” tanya Miss Marple.

”Ya,” kata Mrs. Bantry. Kelihatannya dia akan me-


ngatakan sesuatu, tapi tidak jadi.

”Apakah Maud Wye sudah lama tinggal di sana?”


tanya Miss Marple.

”Sekitar dua minggu,” kata Mrs. Bantry.

Suaranya kedengaran resah.

"Anda tidak suka dengan Miss Wye?” tanya Sir


Henry.

”Ya. Jangan tanya kenapa. Pokoknya ya.”

Nada suaranya kedengaran semakin resah.

”Anda menyembunyikan sesuatu, Mrs. Bantry,”


kata Sir Henry menuduh.

”Aku juga merasakannya tadi,” kata Miss Marple,


”tapi aku tidak jadi menanyakannya.”

”Kapan Anda merasakannya?”

”Ketika Anda berkata bahwa kedua anak muda itu


bertunangan. Kata Anda, itu sebabnya peristiwa itu
jadi terasa mengenaskan. Tapi, bagaimana ya, suara
Anda kedengarannya tidak mendukung waktu me-
ngatakannya—maksudku, kurang meyakinkan.”

”Anda sangat menakutkan,” kata Mrs. Bantry.


”Anda kelihatannya selalu sahu. Ya, aku memang se-

242
dang memikirkan sesuatu. Tapi aku tidak tahu apakah
harus mengatakannya atau tidak.”

"Anda harus mengatakannya,” kata Sir Henry. "Apa


pun alasannya, hal itu tidak boleh disembunyikan.

”Yah, ceritanya begini,” kata Mrs. Bantry. ”Suatu


sore—sebenarnya sore sebelum tragedi itu terjadi—
aku kebetulan pergi ke teras sebelum makan malam.
Jendela ruang tamu sedang terbuka. Aku melihat Jerry
Lorimer dan Maud Wye. Dia... yah... sedang men-
cium gadis itu. Tentu saja aku tidak tahu apakah itu
cuma penyelewengan biasa, atau... yah, maksudku,
siapa tahu? Aku tahu Sir Ambrose tidak pernah
benar-benar menyukai Jerry Lorimer—mungkin dia
tahu Jerry tipe pria hidung belang. Tapi ada satu hal
yang kuyakini, yaitu: gadis itu, Maud Wye, benar-
benar tergila-gila padanya. Kalian harus melihat cara-
nya memandang laki-laki itu tanpa disadarinya. Dan
kurasa mereka lebih cocok satu sama lain daripada
Jerry dengan Sylvia.”

”Aku ingin mengajukan suatu pertanyaan sebelum


kedahuluan Miss Marple,” kata Sir Henry. "Aku ingin
tahu, apakah setelah tragedi itu, Jerry Lorimer meni-
kah dengan Maud Wye?”

”Ya,” kata Mrs. Bantry. "Dia menikahi gadis itu


enam bulan kemudian.”

”Oh! Scheherezade, Scheherezade,” kata Sir Henry.


"Padahal cara Anda bercerita pada kami tadi betul-be-
tul misterius! Tadinya seperti tulang tak berdaging—
bayangkan betapa banyaknya daging yang kami
temukan sekarang.”

”Jangan berbicara sekasar itu,” kata Mrs. Bantry.

243
”Dan jangan mengucapkan kata daging seperti para
vegetarian. Cara mereka mengatakan, 'Saya tidak per-
nah makan daging dapat membuat kita langsung
meletakkan potongan daging bistik kita. Mr. Curle
adalah seorang vegetarian. Biasanya dia menyantap
makanan-makanan aneh yang kelihatannya seperti
makanan hewan di kandang pada waktu sarapan.
Laki-laki tua berbadan bungkuk dan berjanggut biasa-
nya cerewet dalam segala hal. Mereka bahkan punya
satu merek celana dalam favorit.”

"Eh, Dolly” kata suaminya, "bagaimana kau bisa


tahu tentang celana dalam Mr. Curle?”

”Aku tidak tahu,” kata Mrs. Bantry dengan penuh


harga diri. "Aku cuma menebak.”

”Aku ingin mengubah sedikit kata-kataku tadi,”


kata Sir Henry. "Kurasa meskipun kasusnya sangat
sederhana, karakter-karakter orang-orang dalam cerita-
mu tadi sangat menarik. Aku dapat membayangkan
mereka semua—eh, Miss Marple?”

”Sifat manusia selalu menimbulkan daya tarik, Sir


Henry. Dan sungguh aneh karena ada tipe-tipe terten-
tu yang cenderung bertindak sesuai dengan tipenya.”

”Dua orang wanita dan seorang laki-laki,” kata Sir


Henry. "Persoalan cinta segitiga yang kuno, tapi tetap
abadi. Itukah yang melandasi persoalan ini? Aku me-
ragukannya.”

Dokter Lloyd berdeham.

”Aku ingin tahu,” katanya dengan sedikit malu.


”Apakah Anda sendiri juga jatuh sakit, Mrs. Bantry?”

”Tentu saja! Begitu juga Arthur! Dan semua orang


lainnya!”

244
”Itu dia—semua orang,” kata dokter itu. ”Kalian
mengerti maksudku? Dalam cerita Sir Henry tadi,
seorang laki-laki menembak orang lainnya—dia tidak
menembak seluruh orang dalam ruangan itu.”

”Aku tidak mengerti,” kata Jane. "Siapa menembak


siapa?”

”Kurasa siapa pun yang merencanakan hal itu telah


berlaku sangat aneh, entah karena dia benar-benar
percaya dengan faktor kebetulan, atau dia ingin mem-
bunuh semuanya. Aku merasa sulit untuk percaya
bahwa seseorang dengan sengaja meracuni delapan
orang, dengan tujuan membunuh orang tertentu dari
kedelapan orang tersebut.”

”Aku mengerti maksud Anda,” kata Sir Henry


sambil merenung. ”Kuakui, mestinya aku terpikir
akan hal itu.”

”Lagi pula, apakah tak mungkin dia meracuni diri-


nya sendiri? tanya Jane.

”Adakah orang yang tidak ikut makan malam itu?”


tanya Miss Marple.

Mrs. Bantry menggeleng.

”Semua orang berada di sana.”

”Kecuali Mr. Lorimer, kurasa, Sayang. Dia tidak


tinggal di rumah itu, bukan?”

”Memang tidak, tapi dia makan malam di sana


setiap hari,” kata Mrs. Bantry.

”Oh!” kata Miss Marple dengan nada berbeda.


"Fakta itu membuat banyak perbedaan.”

Dia mengerutkan kening, jengkel pada diri sendiri.

”Aku tolol sekali,” gumamnya. ”Benar-benar tolol.”

245
”Kuakui kata-kata Anda membuatku jadi ragu-
ragu, Lloyd,” kata Sir Henry.

”Apa bisa dipastikan kalau gadis itu, hanya gadis


itu, yang akan menelan dosis yang fatal?”

”Tidak bisa,” kata dokter itu. "Sekarang aku akan


mengatakan maksudku yang sesungguhnya. Mungkin-
kah gadis itu sebenarnya bukan korban yang dituju?”

” Apa?”

”Dalam semua kasus keracunan, hasilnya selalu sa-


ngat meragukan. Beberapa orang makan makanan
yang sama. Tapi apa yang terjadi? Satu-dua orang
mungkin hanya mual-mual, yang dua lagi lebih parah,
yang satu meninggal. Begitulah yang selalu terjadi—ti-
dak ada cara untuk memastikannya. Tapi ada juga
kasus-kasus di mana ada faktor lain. Digitalin adalah
racun yang langsung menyerang jantung, seperti ku-
katakan tadi, dan digunakan sebagai obat untuk pe-
nyakit-penyakit tertentu. Sekarang, hanya ada satu
orang di rumah itu yang menderita kelainan jantung
Mungkin dialah korban yang sebenarnya? Dosis yang
tidak akan berakibat fatal bagi orang lain, akan ber-
akibat fatal baginya—atau begitulah kira-kira yang
dipikirkan sang pembunuh. Jika ternyata hasilnya
berbeda dari yang diharapkan, itu merupakan bukti
dari apa yang kukatakan tadi—ketidakpastian efek
obat-obatan pada manusia.”

”Sir Ambrose,” kata Sir Henry, "menurut Anda,


diakah korban yang sesungguhnya? Ya, ya—dan ke-
matian gadis itu merupakan suatu kesalahan.”

”Siapa yang akan mewarisi kekayaannya bila dia


mati?”

246
"Pertanyaan yang sangat bagus, Miss Helier. Per-
tanyaan yang selalu pertama kali diajukan oleh orang-
orang yang seprofesi denganku,” kata Sir Henry.

”Sir Ambrose memiliki seorang putra,” kata Mrs.


Bantry perlahan. "Dia bertengkar dengan anaknya itu
beberapa tahun yang lalu. Kurasa anak laki-laki itu
sangat liar. Meskipun demikian, Sir Ambrose tidak
memiliki kekuasaan untuk menghapus namanya dari
surat warisan—karena sudah ditentukan bahwa
Clodderham Court harus diwariskan secara turun-te-
murun. Jadi, Martin Bercy berhak atas gelar dan ru-
mah itu. Meskipun demikian, Sir Ambrose masih
memiliki harta kekayaan lain yang cukup banyak jum-
lahnya dan bisa diwariskan pada siapa pun yang di-
sukainya, dan harta itu diwariskannya kepada anak
asuhnya, Sylvia. Aku mengetahui hal itu karena Sir
Ambrose meninggal kurang dari setahun setelah peris-
tiwa yang kuceritakan itu terjadi, dan dia tidak mau
repot-repot mengubah isi surat wasiatnya setelah ke-
matian Sylvia. Kurasa uang warisan itu akhirnya jatuh
pada keluarga Crown—atau mungkin juga pada anak
laki-lakinya sebagai sanak keluarga yang paling de-
kat—aku tidak ingat lagi.”

"Jadi, yang punya motif untuk membunuhnya ada-


lah anak laki-lakinya yang tidak hadir di sana pada
waktu itu, dan gadis yang telah meninggal terlebih
dahulu itu,” kata Sir Henry sambil berpikir-pikir. ”Ke-
lihatannya tidak terlalu membantu.”

”Apakah wanita satunya tidak mendapat apa-apa?”


tanya Jane. "Itu, wanita yang kata Mrs. Bantry lem-
but seperti anak kucing.”

247
”Namanya tidak tercantum dalam surat wasiat Sir
Ambrose,” kata Mrs. Bantry.

”Miss Marples Anda tidak mendengarkan,” kata Sir


Henry. "Kelihatannya Anda sedang melamun.”

"Aku teringat pada Mr. Badger, si tukang obat,”


kata Miss Marple. "Dia memiliki seorang pengurus
rumah tangga yang masih sangat muda—cukup muda
untuk menjadi, tidak hanya anaknya, tapi cucunya.
Dia tidak pernah berkata apa-apa pada siapa pun,
ataupun pada keluarganya. Dia memiliki banyak ke-
ponakan laki-laki dan perempuan, semuanya sangat
berharap akan mendapatkan warisannya. Tapi ketika
dia meninggal, percaya atau tidak, ternyata dia telah
menikah secara diam-diam dengan gadis pengurus
rumah tangganya itu selama dua tahun? Tentu saja
Mr. Badger cuma seorang tukang obat, dan orangnya
juga agak kasar, tipe laki-laki tua biasa, sementara Sir
Ambrose Bercy adalah laki-laki keturunan ningrat
yang anggun, seperti kata Mrs. Bantry tadi, tapi sifat
manusia di mana pun tetap sama.”

Semua orang terdiam. Sir Henry menatap Miss


Marple lekat-lekats Miss Marple membalas pandangan-
nya dengan mata birunya yang lembut dan penuh
teka-teki. Jane Helier memecahkan ketenangan itu.

”Cantikkah Mrs. Carpenter itu?” tanyanya.

”Ya, tapi tidak menakjubkan.”

”Dia memiliki suara yang menyenangkan,” kata


Kolonel Bantry.

”Persis dengkuran kucing—menurutku,” kata Mrs.


Bantry. "Ya, dengkuran kucing!”

248
”Kau juga akan dijuluki seperti kucing suatu hari
nanti, Dolly.”

"Aku tidak keberatan menjadi seekor kucing di ru-


mah sendiri,” kata Mrs. Bantry. "Tapi seperti kauke-
tahui, aku tidak begitu suka dengan wanita itu. Aku
lebih suka dengan kaum laki-laki dan bunga-bunga.”

”Selera yang bagus,” kata Sir Henry. "Terutama ka-


rena kau menyebutkan laki-laki terlebih dahulu.”

”Itu cuma taktikku,” kata Mrs. Bantry. "Nah, seka-


rang, bagaimana dengan kasus kecilku ini? Kurasa aku
sudah cukup adil. Arthur, menurutmu aku cukup
adil, bukan?”

”Ya, Sayang. Kau sudah cukup adil.

"Pendapat pertama,” kata Mrs. Bantry sambil me-


nunjuk Sir Henry.

"Aku akan mengulang fakta-fakta yang ada sekali


lagi. Karena, kalian tahu, aku belum bisa mendapatkan
kepastian tentang masalah ini. Mula-mula Sir
Ambrose. Yah, dia tidak akan melakukan bunuh diri
dengan cara seperti itu—di sisi lain, dia juga tidak
akan memperoleh keuntungan dari kematian anak
asuhnya. Jadi, lupakan Sir Ambrose. Mr. Curle. Dia
tidak memiliki motif untuk membunuh gadis itu. Ka-
lau racun itu sebenarnya ditujukan untuk Sir Ambrose,
motifnya mungkin karena dia telah mencuri satu atau
dua manuskrip langka dan tidak ada yang mengetahui-
nya selain Sir Ambrose. Tapi motif itu kedengarannya
tidak kuat, dan juga tidak meyakinkan. Jadi, kupikir,
selain kecurigaan Mrs. Bantry terhadap celana dalam-
nya, Mr. Curle tidak bersalah. Miss Wye. Motif atas
kematian Sir Ambrose—tidak ada. Motif atas kematian

249
Sylvia cukup kuat. Dia menginginkan kekasih Sylvia,
sangat menginginkannya—dari cerita Mrs. Bantry.
Pagi itu dia berada bersama Sylvia di kebun, jadi dia
punya kesempatan untuk memetik daun-daun beracun
itu. Kita tidak bisa melupakan Miss Wye semudah itu.
Pemuda Lorimer. Dia punya motif, baik untuk mem-
bunuh Sir Ambrose maupun Sylvia. Kalau dia mem-
bunuh kekasihnya, dia dapat menikahi gadis satunya.
Tapi kelihatannya agak tidak masuk akal untuk mem-
bunuhnya—bukankah pemutusan pertunangan adalah
hal yang biasa saat ini? Kalau Sir Ambrose yang me-
ninggal, dia akan menikah dengan seorang gadis kaya
raya, bukannya dengan yang miskin. Fakta itu
mungkin penting, tapi mungkin juga tidak—tergan-
tung keadaan keuangannya. Seandainya aku tahu bah-
wa rumahnya telah digadaikan dan Mrs. Bantry de-
ngan sengaja menutupi fakta itu dari kita, aku pasti
akan menuduh pemuda itu. Sekarang Mrs. Carpenter.
Aku mencurigai Mrs. Carpenter. Tangannya yang pu-
tih dan alibinya yang sempurna pada saat daun-daun
beracun itu dipetik—aku tak pernah memercayai alibi.
Dan aku juga memiliki alasan lain untuk mencurigai-
nya, tapi aku tidak akan mengatakannya. Meskipun
demikian, secara keseluruhan, kalau disuruh menun-
juk, aku akan menunjuk Miss Maude Wye, karena
bukti-bukti yang mengacu kepadanya lebih banyak
daripada yang lainnya.”

”Berikutnya,” kata Mrs. Bantry sambil menunjuk


dr. Lloyd.

"Kurasa Anda salah, Clithering, dengan berpegang


teguh pada teori bahwa kematian gadis itu memang

250
telah direncanakan. Aku yakin pembunuhan itu sebe-
narnya ditujukan pada Sir Ambrose. Kurasa Lorimer
muda itu tidak memiliki pengetahuan cukup me-
ngenai racun-racunan. Aku lebih condong menyebut
Mrs. Carpenter sebagai pembunuhnya. Dia telah lama
tinggal bersama keluarga itu, dia tahu kondisi ke-
sehatan Sir Ambrose, dan dapat dengan mudah meng-
atur agar gadis itu, Sylvia (yang menurut Anda tadi
agak bodoh) untuk memetik daun-daun yang diingin-
kannya. Harus kuakui bahwa aku tidak melihat motif-
nya: tapi mungkin Sir Ambrose pernah membuat
surat wasiat yang memuat namanya. Begitulah menu-
rutku.”

Mrs. Bantry mengacungkan jari, menunjuk Jane


Helier.

”Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” kata


Jane, ”selain ini: Tidak mungkinkah gadis itu sendiri
yang melakukannya? Bukankah dia sendiri yang mem-
berikan daun-daun itu ke dapur? Dan Anda tadi me-
ngatakan Sir Ambrose tidak menyetujui perkawinannya.
Kalau Sir Ambrose meninggal, dia akan mendapatkan
uangnya dan dapat segera menikah. Pengetahuannya
mengenai kesehatan Sir Ambrose pasti sama banyaknya
dengan Mrs. Carpenter.”

Jari Mrs. Bantry dengan perlahan menunjuk Miss


Marple.

”Sekarang giliran Anda, Ibu Kepala,” katanya.

”Sir Henry telah menyimpulkan semuanya dengan


jelas—sangat jelas,” kata Miss Marple. "Dan dr. Lloyd
juga sangat benar dengan perkataannya. Kelihatannya
mereka berdua telah membuat semuanya jadi sangat

251
jelas. Cuma kurasa dr. Lloyd melupakan satu aspek
dalam teorinya. Begini, dr. Lloyd bukanlah dokter
pribadi Sir Ambrose, jadi dia tidak akan tahu
seberapa parahnya penyakit jantung Sir Ambrose, bu-
kan?”

”Aku tidak begitu mengerti maksud Anda, Miss


Marple,” kata dr. Lloyd.

”Anda berasumsi—bukan?—bahwa Sir Ambrose


memiliki kelainan jantung yang akan langsung ber-
akibat fatal apabila dia menelan digitalin? Tapi tidak
ada bukti yang menguatkan hal itu. Mungkin justru
sebaliknya.”

”Sebaliknya?”

”Ya, bukankah tadi Anda mengatakan bahwa di-


gitalin sering digunakan untuk pengobatan penyakit
jantung?”

”Tapi, Miss Marple, aku tidak melihat arah pem-


bicaraan Anda.”

”Yah, artinya wajar kalau dia memiliki digitalin—


tanpa harus dituduh karenanya. Aku cuma ingin me-
ngatakan (aku memang tak pernah bisa menyampai-
kan maksudku dengan jelas), apabila Anda ingin
meracuni seseorang dengan memberikan digitalin da-
lam dosis yang fatal, bukankah lebih mudah untuk
meracuni semua orang-dengan daun-daun yang me-
ngandung digitalin? Tentu saja hal itu tidak akan
berakibat fatal bagi semua orang, tapi tidak akan ada
yang mencurigai adanya korban tertentu, karena se-
perti kata dr. Lloyd tadi, hal seperti itu tidak dapat
dipastikan. Tidak akan ada orang yang menanyakan
apakah gadis itu telah menelan digitalin dalam dosis

252
fatal ataukah dia telah diracuni. Dia mungkin telah
mencampurkan racun itu ke dalam minuman si gadis
atau dalam kopinya, atau bahkan menyuruhnya mi-
num begitu saja, dengan mengatakan bahwa obat itu
adalah vitamin.”

”Maksud Anda, Sir Ambrose telah meracuni anak


asuhnya, gadis ceria yang dicintainya?”

“Begitulah,” kata Miss Marple. ”Seperti Mr. Badger


dan pengurus rumah tangganya yang masih muda.
Jangan bilang tidak mungkin bagi seorang laki-laki
berusia enam puluh tahun untuk jatuh cinta pada
seorang gadis berusia dua puluh tahun. Kejadian se-
perti ivu umum terjadi—dan aku berani berkata bah-
wa laki-laki tua keturunan ningrat seperti Sir
Ambrose kadang-kadang bersikap aneh. Hal seperti
itu bisa membuat orang lupa ingatan. Dia tidak
tahan membayangkan gadis itu akan menikah—dia
telah berusaha menentangnya, tapi gagal. Kecem-
buruannya begitu besar, sehingga dia lebih suka
membunuhnya daripada membiarkannya pergi dengan
pemuda Lorimer. Dia pasti telah memikirkan rencana
itu sebelumnya, karena benih daun foxglove harus
disemaikan dulu di antara daun-daun bumbu. Dia
akan memetiknya sendiri bila saatnya tiba, dan
menyuruh Sylvia pergi ke dapur dengan membawa
daun-daun itu. Sungguh mengerikan memang, tapi
kurasa kita harus mengasihani orang tua itu sedapat
mungkin. Laki-laki seusianya kadang-kadang dapat
bertingkah sangat aneh kalau masalahnya menyangkut
gadis-gadis muda. Pemain organ kami dulu... ah, aku
tidak boleh menggosip.”

253
”Mrs. Bantry,” kata Sir Henry, "benarkah itu?”

Mrs. Bantry mengangguk.

”Ya. Aku tidak mengira—tak pernah berpikir bah-


wa kejadian itu bukan kecelakaan. Kemudian, setelah
kematian Sir Ambrose, aku menerima sepucuk surat.
Dia telah meninggalkan pesan untuk mengirimkan
surat itu padaku. Dia menceritakan yang sebenarnya.
Aku tidak tahu mengapa—tapi aku dan dia memang
berteman baik sejak dulu.”

Dalam keheningan yang hanya sesaat, dia merasa-


kan adanya kritik yang tidak terucapkan, dan dia ce-
pat-cepat melanjutkan,

”Kalian pikir aku telah mengkhianati kepercayaan-


nya—tapi itu tidak benar. Aku telah mengubah nama
orang-orang dalam ceritaku. Nama laki-laki tua itu
sebenarnya bukan Sir Ambrose Bercy. Tidakkah kalian
lihat bagaimana Arthur menatapku heran ketika aku
menyebutkan nama itu padanya? Mula-mula dia tidak
mengerti. Aku telah mengubah semuanya. Seperti
yang biasa ditulis di majalah-majalah atau di awal
buku-buku cerita: 'Semua karakter dalam cerita ini
hanya rekaan belaka. Kalian tidak akan pernah tahu,
siapa mereka sebenarnya.”

254
BAB 12

PERAMPOKAN DI
RUMAH PERISTIRAHATAN

” Aru jadi teringat sesuatu,” kata Jane Helier.

Wajahnya yang cantik berbinar-binar dan senyuman-


nya mirip dengan senyuman seorang anak yang meng-
harapkan pujian. Senyuman itulah yang meluluhkan
hati para penontonnya setiap malam di London, dan
selalu menjadi incaran para fotografer.

"Peristiwa itu terjadi pada seorang temanku,”


katanya dengan hati-hati.

Semua orang mengeluarkan suara bernada memberi-


kan semangat, tapi sebenarnya agak dipaksakan.
Kolonel Bantry, Mrs. Bantry, Sir Henry Clithering, dr.
Lloyd, dan Miss Marple, semuanya yakin bahwa ”te-
man” Jane itu tidak lain adalah Jane sendiri. Dia
bukan jenis orang yang bisa mengingat atau
memperhatikan sesuatu yang terjadi pada diri orang
lain.

255
”Temanku itu,” lanjut Jane. "(Aku tidak akan me-
ngatakan namanya) adalah seorang aktris—aktris yang
sangat terkenal.”

Tak seorang pun merasa heran. Sir Henry Clithering


berkata dalam hati, "Aku ingin tahu, sampai berapa
kalimat dia bisa konsisten sebelum lupa mempertahan-
kan ceritanya dan mengatakan 'aku', bukannya dia?”

”Temanku sedang mengikuti tur ke berbagai


daerah—peristiwa ini terjadi setahun atau dua tahun
yang lalu. Kurasa lebih baik aku tidak memberitahu-
kan nama tempatnya. Kota tempat peristiwa itu ter-
jadi terletak di pinggir sungai, tidak jauh dari
London. Aku akan menyebutnya...”

Dia berhenti, keningnya berkerut. Menciptakan


suatu nama sederhana saja tampaknya terlalu berat
baginya. Sir Henry menyelamatkannya.

”Kita sebut saja Riverbury, bagaimana?” sarannya


dengan nada bijaksana.

”Oh, ya, itu nama yang tepat. Riverbury, aku akan


mengingatnya. Yah, seperti kataku tadi... temanku
ini... berada di Riverbury dengan teman-temannya,
dan terjadilah suatu peristiwa aneh.”

Dia mengerutkan kening lagi.

”Sungguh sulit,” katanya dengan memelas, "untuk


menjelaskan apa yang ingin kita katakan. Orang se-
ring jadi bingung dan mengatakan hal-hal yang salah
terlebih dulu.”

”Anda telah bercerita dengan baik,” kata dr. Lloyd


memberi semangar. ”Teruskanlah.”

”Yah, peristiwa aneh itu memang terjadi. Temanku


dipanggil ke kantor polisi. Dan dia pun pergi. Keli-

256
hatannya telah terjadi perampokan di sebuah rumah
peristirahatan di pinggir sungai, dan mereka telah me-
nangkap seorang laki-laki muda, dan dia menceritakan
suatu kisah aneh. Karena itulah polisi memanggil te-
manku.

”Dia belum pernah pergi ke kantor polisi, tapi me-


reka sangat baik kepadanya—benar-benar baik.”

”Aku yakin begitu,” kata Sir Henry.

”Seorang sersan—kurasa pangkatnya memang ser-


san—atau mungkin juga inspektur—memberinya se-
buah kursi dan menjelaskan segala sesuatunya, dan
tentu saja aku langsung tahu telah terjadi kekeli-
ruan...”

”Aha,” pikir Sir Henry. "Aku. Persis seperti yang


kuduga.”

"Temanku yang mengatakan hal itu,” lanjut Jane,


sepertinya tidak sadar dengan kesalahannya. "Dia me-
ngatakan pada waktu itu dia sedang berlatih dengan
temannya di hotel, dan dia belum pernah mendengar
nama Mr. Faulkener. Sersan itu berkata, Miss Hel...”

Dia berhenti dan wajahnya memerah.

”Miss Helman,” saran Sir Henry dengan mata ber-


binar.

”Ya—ya, benar. Terima kasih. Sersan itu berkata,


'Yah, Miss Helman, kurasa hal itu pasti suatu kekeli-
ruan, karena saat itu Anda sedang berada di Hotel
Bridge. Lalu dia bertanya apakah aku keberatan un-
tuk bertemu—atau dipertemukan, ya? Aku tidak
ingat.”

”Tidak apa-apa,” kata Sir Henry meyakinkannya.

”Yah, pokoknya bertemu dengan laki-laki muda

257
itu. Lalu aku bilang, "Tentu saja tidak” Kemudian
mereka membawa laki-laki itu masuk dan berkata,

'Ini Miss Helier, dan... oh!” Jane menghentikan


kata-katanya, mulutnya terbuka.

”Tidak apa-apa, Sayang,” kata Miss Marple meng-


hibur. "Kami sudah menebaknya dari tadi. Lagi pula
Anda tidak menyebutkan nama tempat itu atau
nama-nama lain yang penting.”

”Yah,” kata Jane. "Aku bermaksud menceritakannya


seakan-akan peristiwa itu terjadi pada orang lain. Tapi
sungguh sulit, bukan? Maksudku, kita sering lupa.”

Semua yang hadir mengiakan kata-katanya, dan


setelah merasa terhibur dan tenang, dia meneruskan
kembali ceritanya yang terputus tadi.

”Laki-laki muda itu mempunyai wajah yang me-


nyenangkan—lumayan tampan. Masih muda, dengan
rambut kemerahan. Mulutnya ternganga ketika me-
lihatku. Dan sersan itu berkata, 'Apakah nona ini
yang Anda temui tadi?” dan dia berkata, "Tidak, tentu
saja tidak. Aku sungguh tolol? Aku tersenyum kepada-
nya dan berkata tidak apa-apa.”

”Aku dapat membayangkan kejadiannya,” kata Sir


Henry.

Jane Helier mengerutkan kening.

”Coba kupikir dulu—apa yang mesti kuceritakan


lagi?”

”Mungkin Anda dapat menceritakan apa yang se-


benarnya terjadi, Sayang,” kata Miss Marple, begitu
lembutnya, sampai-sampai tak seorang pun bisa me-
nangkap sindirannya. "Maksudku, apa kesalahan laki-
laki muda itu, dan tentang perampokan itu.”

258
”Oh, ya,” kata Jane. "Yah, laki-laki itu bernama
Leslie Faulkener. Dia... seorang penulis naskah drama.
Sebenarnya dia telah menulis beberapa naskah, tapi
belum ada yang dipentaskan. Dia mengirimkan satu
naskahnya padaku untuk dibaca. Aku tidak tahu me-
ngenai hal itu: sebab aku menerima beratus-ratus
naskah dan aku jarang membaca sendiri semuanya—
cuma naskah-naskah tertentu yang kuketahui saja.
Yah, pokoknya, Mr. Faulkener menerima sepucuk su-
rat dariku—cuma ternyata surat itu bukan benar-be-
nar dariku. Kalian mengerti, bukan?”

Dia berhenti sejenak dengan gugup, tapi yang lain


buru-buru meyakinkannya bahwa mereka mengerti
apa yang dimaksudnya.

”Di surat itu ditulis bahwa aku telah membaca nas-


kahnya, dan sangat menyukainya. Karena itu, aku
mengundangnya datang untuk membicarakannya. Ala-
mat yang diberikan adalah Rumah Peristirahatan,
Riverbury. Mr. Faulkener sangat senang dan dia da-
tang ke tempat itu—ke Rumah Peristirahatan itu.
Seorang pelayan membukakan pintu, dan dia memin-
ta bertemu dengan Miss Helier. Pelayan itu berkata
Miss Helier ada di dalam, sedang menunggunya, ke-
mudian si pelayan mengantarnya ke ruang tamu, dan
di situ seorang wanita menyambutnya. Tentu saja dia
menganggap wanita itu adalah aku—meskipun keli-
hatannya anch, karena dia pasti pernah menontonku
berakting: lagi pula fotoku kan ada di mana-mana.”

”Sampai ke seluruh pelosok Inggris,” sahut Mrs.


Bantry dengan segera. "Tapi foto sering kali jauh ber-
beda dari orangnya, Jane sayang. Dan banyak sekali

259
perbedaan antara aktris yang berada di atas panggung
dan yang di balik panggung. Ingat, tidak semua aktris
bisa melakukannya sebaik Anda.”

”Yah,” kata Jane dengan sedikit bangga, "mungkin


itulah jawabannya. Lagi pula Mr. Faulkener berkata
wanita yang ditemuinya itu berperawakan jangkung
dan langsing, dengan mata biru besar dan sangat can-
tik, jadi kurasa ciri-ciri wanita itu memang mirip de-
nganku. Laki-laki itu pasti tidak menaruh curiga sama
sekali. Wanita itu duduk dan mulai berbicara mengenai
naskahnya, dan berkata bahwa dia sangat ingin me-
merankannya. Ketika mereka sedang berbincang-bin-
cang, si pelayan masuk mengantarkan minuman, dan
tentu saja Mr. Faulkener meminumnya. Yah, cuma itu
yang diingatnya—meminum minumannya. Ketika dia
bangun, atau siuman, atau apalah istilahnya, dia sedang
terbaring di jalanan, di pinggir jalan, tentu saja, jadi
tak mungkin dia tertabrak. Dia merasa sangat aneh
dan gemetaran—begitu parahnya, sampai dia cuma
bisa berdiri dan terhuyung-huyung menyusuri jalanan
itu, tanpa menyadari ke mana dia pergi. Dia berkata
kalau saja dia dapat berpikir, dia pasti akan kembali ke
Rumah Peristirahatan itu dan mencoba mengetahui
apa yang telah terjadi. Tapi dia merasa tolol dan ling-
lung, jadi dia berjalan terus tanpa benar-benar me-
nyadari apa yang tengah dilakukannya. Dia sudah agak
lebih baik waktu polisi menahannya.”

”Mengapa polisi menahannya?” tanya dr. Lloyd.

”Oh! Apakah aku tidak mengatakannya tadi?” ta-


nya Jane dengan mata terbelalak. "Bodoh sekali. Se-
babnya karena perampokan itu.”

260
”Kau menyebut-nyebut adanya perampokan, tapi
tidak mengatakan di mana, apa yang dicuri, atau
kenapa,” kata Mrs. Bantry.

”Yah, perampokan itu... terjadi di rumah yang di-


kunjunginya, tentu saja—rumah itu bukan rumahku.
Rumah itu milik seorang laki-laki bernama...”

Sekali lagi Jane mengerutkan kening.

”Apakah Anda membutuhkan jasa sang penyelamat


lagi?” tanya Sir Henry. "Aku bisa memberikan nama-
nama palsu dengan gratis. Coba gambarkan pemilik
rumah itu, dan aku akan menciptakan namanya.”

”Pemilik rumah itu seorang laki-laki kaya yang ting-


gal di kota—seorang bangsawan.”

”Sir Herman Cohen,” saran Sir Henry.

”Nama itu cocok sekali. Dia membeli rumah itu


untuk seorang wanita—padahal wanita itu istri se-
orang aktor, dan dia sendiri seorang aktris.”

”Kita sebut saja aktor itu Claud Leason,” kata Sir


Henry, ”dan kurasa istrinya pasti lebih terkenal de-
ngan nama panggungnya, jadi kita sebut saja dia Miss
Mary Kerr.”

”Menurutku Anda pandai sekali,” kata Jane. "Aku


tidak tahu bagaimana Anda bisa mengarang nama-
nama itu dengan begitu gampang. Yah, rumah itu
adalah semacam rumah peristirahatan akhir minggu
bagi Sir Herman—Anda tadi mengatakan Herman,
bukan?—dan wanita itu. Dan, tentu saja, istri Sir
Herman tidak tahu apa-apa mengenainya.”

”Hal seperti itu memang sering terjadi,” kata Sir


Henry.

”Sir Herman telah memberi aktris itu banyak sekali

261
perhiasan, termasuk beberapa perhiasan bertatahkan
batu-batu zamrud yang sangat indah dan mahal.”

”Ah!” kata dr. Lloyd. "Sekarang ceritanya semakin


jelas.”

”Perhiasan-perhiasan itu disimpan di rumah peristi-


rahatan itu, dikunci di dalam tempat perhiasan. Polisi
mengatakan perbuatan itu sangat ceroboh—iapa saja
bisa mencurinya.”

"Dengar itu, Dolly,” kata Kolonel Bantry. "Apa ku-


bilang?”

”Yah, berdasarkan pengalamanku,” kata Mrs.


Bantry, "biasanya orang-orang yang terlalu cermatlah
yang kehilangan barang-barangnya. Aku tidak pernah
mengunci perhiasan-perhiasanku dalam kotak per-
hiasan—aku menaruhnya begitu saja di dalam laci, di
bawah tumpukan kaus kaki. Aku berani bilang ka-
lau—siapa nama wanita itu tadi? Mary Kerr melaku-
kan hal yang sama, perhiasannya tak mungkin sampai
dicuri.”

”Siapa bilang?” kata Jane. "Nyatanya semua laci


dibongkar dan isinya berserakan di mana-mana.”

"Kalau begitu, pencurinya tidak benar-benar ber-


maksud mencari perhiasan,” kata Mrs. Bantry. ”Me-
reka pasti mencari berkas-berkas rahasia. Begitu yang
biasanya ditulis di buku-buku cerita.”

”Aku tidak tahu mengenai berkas-berkas rahasia,”


kata Jane dengan ragu-ragu. "Aku tidak mendengar
apa-apa mengenai hal itu.”

"Jangan ganggu Miss Helier,” kara Kolonel Bantry.


"Kata-kata Dolly yang tidak masuk akal tadi tidak
perlu dianggap serius.”

262
”Kembali ke perampokan itu,” kata Sir Henry.

”Ya. Yah, seseorang telah menelepon polisi dan


mengaku bernama Miss Mary Kerr. Dia mengatakan
rumahnya telah dirampok dan perampoknya seorang
pemuda berambut merah yang berkunjung ke sana
pagi itu. Pembantunya merasa ada yang aneh dengan
pemuda itu dan tidak mengizinkannya masuk, tapi
kemudian mereka melihatnya keluar melalui jendela.
Wanita itu menggambarkan si pemuda dengan sangat
baik, sehingga polisi bisa menemukannya hanya dalam
waktu satu jam, kemudian pemuda itu menceritakan
pengalamannya dan menunjukkan surat dariku. Se-
perti sudah kuceritakan tadi, polisi memanggilku dan
ketika pemuda itu melihatku, dia mengatakan apa
yang sudah kukatakan tadi—wanita yang telah di-
temuinya itu sama sekali bukan aku!”

”Cerita yang sangat aneh,” kata dr. Lloyd. "Apakah


Mr. Faulkener kenal dengan Miss Kerr?”

"Tidak, dia tidak kenal—begitu menurutnya. Tapi


aku belum menceritakan hal yang paling aneh. Para
polisi pergi ke rumah peristirahatan itu, dan mereka
menemukan semuanya seperti yang dijelaskan wanita
penelepon tadi—laci-laci terbuka dan perhiasan hi-
lang, tapi rumah itu kosong. Beberapa jam kemudian,
baru Mary Kerr datang, dan dia berkata bahwa dia
tidak pernah menelepon polisi sama sekali, dan baru
saat itu dia mendengar tentang perampokan tersebut.
Katanya dia menerima telegram pagi itu, dari seorang
manajer yang menawarinya peran yang sangat penting
dan meminta bertemu dengannya, jadi tentu saja dia
bergegas pergi ke kota untuk menemui manajer itu.

263
Tapi waktu dia sampai di sana, ternyata semuanya
tipuan belaka. Tidak ada telegram yang dikirim untuk-
nya dari manajer itu.”

”Cukup untuk menyingkirkannya,” komentar Sir


Henry. "Bagaimana dengan para pelayannya?”

”Hal yang sama terjadi dengan pelayannya. Hanya


ada satu pelayan, dan dia menerima telepon—katanya
dari Mary Kerr, yang mengatakan bahwa dia keting-
galan sesuatu yang penting. Dia menyuruh si pelayan
membawakan tasnya yang ada di laci kamar tidur.
Lalu pelayan itu disuruhnya naik kereta api pertama.
Tentu saja si pelayan langsung melakukan perintah
majikannya. Dia mengunci pintu-pintu rumah itu,
tapi waktu dia tiba di klub Miss Kerr, tempat dia di-
suruh menemui majikannya, dia menunggu dengan
sia-sia.”

”Hmm,” kata Sir Henry. "Aku mulai mengerti. Ru-


mah itu kosong, dan kurasa pasti pencurinya meng-
alami kesulitan kalau harus masuk melalui salah satu
jendela. Tapi aku tidak tahu dari mana Mr. Faulkener
masuk selain lewat jendela. Lalu siapa yang menele-
pon polisi, kalau bukan Miss Kerr?”

”Hal itu tidak pernah diketahui.”

”Aneh,” kata Sir Henry. "Apakah identitas Mr.


Faulkener itu benar?”

”Oh, ya, dia tidak berbohong tentang hal itu. Dia


bahkan menunjukkan surat yang dikiranya berasal
dariku. Tulisan di surat itu sama sekali tidak mirip
tulisanku—tapi tentu saja dia tidak tahu tentang
itu.”

”Yah, mari kita ulangi dengan lebih jelas, di mana

264
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu waktu
perampokan tersebut terjadi,” kata Sir Henry. "Tolong
dikoreksi kalau aku salah. Si nyonya rumah dan pe-
layannya telah ditipu untuk pergi meninggalkan ru-
mah. Pemuda itu juga telah ditipu untuk datang ke
sana dengan surat palsu—ditambah kenyataan bahwa
Anda memang sedang mengadakan pertunjukan di
Riverbury minggu itu. Pemuda itu dibius, dan polisi
kemudian ditelepon dan diarahkan agar kecurigaan
jatuh pada pemuda itu. Suatu perampokan telah ter-
jadi. Kurasa perhiasan-perhiasan milik nyonya itu
yang diambil?”

"Oh, ya.”

"Apakah perhiasan-perhiasan itu ditemukan kem-


bali?”

"Tidak, tidak pernah. Kudengar Sir Herman men-


coba menutupi kejadian itu dengan segala cara. Tapi
tidak berhasil, dan kurasa istrinya kemudian mencerai-
kannya akibat kejadian itu. Tapi aku tidak tahu pasti
mengenai hal itu.”

”Apa yang terjadi dengan Mr. Leslie Faulkener?”

"Akhirnya dia dibebaskan. Polisi mengatakan me-


reka tidak punya cukup bukti untuk menahannya.
Tidakkah kalian berpendapat bahwa peristiwa itu cu-
kup misterius?”

”Benar-benar misterius. Pertanyaan pertama adalah,


cerita siapa yang bisa dipercaya? Dari cara Anda ber-
cerita, Miss Helier, kuperhatikan Anda cenderung
percaya dengan omongan Mr. Faulkener. Apakah ada
alasan tertentu selain naluri Anda dalam hal ini?”

”Tidak—tidak,” kata Jane dengan enggan. "Kurasa

265
tidak ada. Tapi sikap pemuda itu sangat manis, dan
dia sungguh menyesal telah mengira seorang wanita
lain sebagai diriku, karenanya aku yakin dia telah me-
ngatakan hal yang sebenarnya.”

”Begitu,” kata Sir Henry sambil tersenyum. ”Tapi


Anda harus mengakui bahwa dia sebenarnya juga bisa
mengarang cerita itu dengan mudah. Dia bisa menulis
sepucuk surat yang sepertinya dikirim oleh Anda ke-
padanya. Dia juga bisa membius dirinya setelah ber-
hasil melakukan perampokan itu. Tapi kuakui, aku
tidak mengerti alasannya, mengapa dia harus melaku-
kannya. Lebih mudah baginya untuk masuk ke ru-
mah itu, melakukan perampokan, dan menghilang
secara diam-diam—kecuali kalau seseorang memergoki-
nya berada di sekitar rumah itu, dan dia tahu dirinya
telah kepergok. Kemudian dia cepat-cepat menyusun
rencana untuk mengaburkan kecurigaan atas dirinya
dan menjelaskan kehadirannya di sekitar rumah itu.”

"Apakah dia kaya?” tanya Miss Marple.

”Kurasa tidak,” kata Jane. "Tidak, kurasa dia malah


agak miskin.”

"Kelihatannya aneh,” kata dr. Lloyd. "Harus kuakui


kalau kita menerima kebenaran cerita pemuda itu,
kasusnya jadi semakin sulit dipecahkan. Mengapa
seorang wanita yang tidak dikenal berpura-pura men-
jadi Miss Helier dan menjerumuskan seorang laki-laki
yang tidak dikenal? Mengapa dia mengatur komedi
serumit itu?”

”Katakanlah, Jane,” kata Mrs. Bantry. "Apakah pe-


muda Faulkener itu pernah berhadap-hadapan dengan
Mary Kerr sebelum atau sesudah peristiwa itu?”

266
”Aku tidak tahu,” kata Jane dengan perlahan, sam-
bil mengerutkan kening, mengingat-ingat.

”Sebab, kalau Mary Kerr tidak pernah bertemu de-


ngannya, maka kasus ini terpecahkan!” kata Mrs.
Bantry. "Aku yakin aku benar. Apa lagi yang lebih
mudah daripada berpura-pura diminta pergi ke kota?
Mary Kerr bisa menelepon pelayannya dari Padding-
ton atau dari stasiun mana saja tempat dia tiba, dan
waktu pelayannya pergi ke kota, dia kembali lagi ke
rumah peristirahatan itu. Pemuda itu datang sesuai
dengan perjanjian, dia dibius, lalu diciptakan suasana
seakan-akan telah terjadi perampokan: malah sedapat
mungkin dilebih-lebihkan. Lalu Mary Kerr menelepon
polisi, memberikan gambaran tentang si kambing hi-
tam, dan pergi ke kota lagi. Kemudian dia tiba kem-
bali ke rumah dengan kereta terakhir dan memasang
wajah terkejut dan tak berdosa.”

”Tapi mengapa dia harus mencuri perhiasannya


sendiri, Dolly?”

”Hal seperti itu sering terjadi,” kata Mrs. Bantry.


”Dan aku bisa memikirkan ratusan alasan untuk itu.
Mungkin dia memerlukan uang dengan segera—si tua
Sir Herman mungkin tidak mau memberinya uang,
jadi dia berpura-pura perhiasannya dicuri, kemudian
menjualnya secara diam-diam. Atau mungkin dia di-
peras oleh seseorang yang mengancam akan memberi-
tahu suaminya atau istri Sir Herman. Atau mungkin
dia telah menjual perhiasannya, dan Sir Henry tiba-
tiba jadi cerewet dan ingin melihatnya, jadi dia harus
berbuat sesuatu. Hal-hal seperti itu banyak ditulis di
buku-buku. Atau mungkin dia mau menata ulang

267
perhiasan-perhiasan itu, jadi dia membuat tiruannya.
Atau—ini dia ide yang paling bagus dan tidak banyak
dipakai di buku-buku cerita—dia berpura-pura per-
hiasannya telah dicuri, lalu bersedih hati, sehingga Sir
Herman memberinya setumpuk perhiasan baru. Jadi,
sekarang dia punya dua tumpuk perhiasan. Aku yakin
wanita semacam itu biasanya sangat licik.

”Kau pandai sekali, Dolly,” kara Jane dengan ka-


gum. ”Aku tidak pernah memikirkan pemecahan se-
perti itu.”

”Kau bisa saja pandai, Dolly, tapi Jane tidak me-


ngatakan bahwa kau benar,” kata Kolonel Bantry.
”Aku lebih cenderung mencurigai Sir Herman. Dia
pasti tahu telegram macam apa yang akan membuat
nyonya itu meninggalkan rumah, dan dia dapat
mengatur hal-hal lainnya dengan mudah, dengan ban-
tuan seorang teman wanita yang baru. Kelihatannya
tidak pernah ada orang yang terpikir untuk menanya-
kan alibinya.”

”Bagaimana menurut Anda, Miss Marple?” tanya


Jane, sambil menoleh kepada wanita tua itu, yang se-
lama ini tetap duduk diam, dengan wajah berkerut
bingung.

”Sayang, aku benar-benar tidak tahu apa yang mes-


ti kukatakan. Sir Henry pasti akan tertawa, tapi aku
tidak berhasil mengingat kejadian serupa di desa yang
bisa membantuku dalam kasus ini. Tentu saja aku
punya beberapa pertanyaan. Misalnya, tentang pelayan
itu. Dalam—ahem—-peristiwa luar biasa yang kau-
ceritakan tadi, pelayan itu pasti benar-benar tahu apa
yang terjadi, dan seorang gadis baik-baik pasti tidak

268
akan mau melakukannya—ibunya pasti tidak akan
memperbolehkannya. Jadi, kurasa kita dapat meng-
asumsikan bahwa pelayan itu bukan orang yang be-
nar-benar dapat dipercaya. Dia mungkin berkomplot
dengan para pencuri, lalu dengan sengaja membiarkan
rumah itu terbuka, kemudian pergi ke London se-
akan-akan dia benar-benar menerima telepon, untuk
mengalihkan kecurigaan dari dirinya. Harus kuakui
penjelasan itulah yang paling mungkin terjadi. Tapi
kelihatannya tidak masuk akal bagi pencuri biasa. Ka-
rena dalam kasus ini dibutuhkan kecerdasan yang
biasanya tidak dimiliki para pelayan.”

Miss Marple berhenti sejenak, kemudian melanjut-


kan kata-katanya sambil merenung,

”Aku punya perasaan bahwa ada hal lain—yah, ini


perasaanku pribadi saja tentang kejadian itu. Misal-
nya, mungkin ada orang yang ingin membalas den-
dam? Seorang aktris muda yang merasa mendapat
perlakuan tidak baik dari Mr. Faulkener? Tidakkah
hal itu akan menjelaskan segalanya? Dia menciptakan
peristiwa itu untuk menjebloskan Mr. Faulkener ke
dalam masalah. Mungkin itu yang terjadi. Tapi... te-
tap saja tidak pas...”

”Oh, Dokter, Anda belum mengatakan apa-apa:”


kata Jane. "Aku sampai lupa dengan Anda.”

”Aku selalu dilupakan,” kata dokter berambut ke-


labu itu dengan sedih. "Aku pasti memiliki kepriba-
dian yang sangat tidak menonjol.”

”Oh, siapa bilang!” kata Jane. "Ayo, katakan pada


kami, apa pendapat Anda.”

”Aku sebenarnya setuju dengan pemecahan yang

269
dilontarkan oleh setiap orang—tapi tidak seratus per-
sen. Aku sendiri punya pendapat, dan mungkin saja
teoriku itu salah sama sekali, tapi menurutku, istri
laki-laki itu mungkin terlibat dalam peristiwa itu.
Maksudku, istri Sir Herman. Aku tidak bisa memberi-
kan alasan, kenapa aku berpendapat demikian—cuma
kalian pasti kaget kalau tahu hal-hal aneh macam
apa—benar-benar hal aneh-aneh—yang bisa terpikir-
kan oleh seorang istri yang merasa dikhianati.”

"Oh! Dokter Lloyd,” seru Miss Marple dengan


bersemangat. "Anda sangat pandai. Aku sampai lupa
dengan Mrs. Pebmarsh yang malang.”

Jane menatapnya.

”Mrs. Pebmarsh? Siapa itu Mrs. Pebmarsh?”

”Yah...,” kata Miss Marple ragu-ragu. "Aku sebenar-


nya tidak yakin peristiwa yang menimpa dirinya se-
rupa dengan peristiwa ini. Mrs. Pebmarsh itu tukang
cuci. Suatu hari dia mencuri bros berbatu opal yang
tersemat pada sehelai blus dan meletakkannya di ru-
mah wanita lain.”

Jane tampak semakin tidak mengerti.

”Dan menurut Anda, kejadian itu membuat segala-


nya jadi jelas, Miss Marple?” tanya Sir Henry sambil
mengedipkan mata.

Tapi tak disangka-sangka, Miss Marple mengge-


leng-geleng.

”Aku khawatir kasus Mrs. Pebmarsh tidak mem-


bantu sama sekali. Harus kuakui, kali ini aku benar-
benar bingung. Tapi aku sadar, kaum wanita harus
saling mendukung—dalam keadaan darurat, seorang
wanita harus membela kaumnya. Kurasa itulah pesan

270
moral dari kasus yang diceritakan Miss Helier pada
kita.”

”Harus kuakui, aku bahkan tidak menyadari bahwa


kasus itu ada pesan moralnya,” kata Sir Henry dengan
bersungguh-sungguh. "Mungkin aku dapat memahami-
nya dengan lebih jelas kalay Miss Helier memberikan
jawaban dari teka-teki ini.”

”Eh?” kata Jane dengan tampang bingung.

”Maksudku, dalam bahasa yang lebih sederhana,


kami 'menyerah”. Anda dan cuma Anda sendiri, Miss
Helier, yang mendapatkan kehormatan dalam men-
jelaskan misteri yang betul-betul membingungkan ini,
sampai-sampai Miss Marple pun menyerah kalah.”

”Kalian menyerah?” tanya Jane.

”Ya.” Setelah satu menit tanpa ada yang bicara, Sir


Henry memutuskan untuk mengangkat diri lagi
menjadi sang pembicara. "Artinya kami bisa setuju
atau bisa juga tidak setuju dengan pendapat-pendapat
yang sudah kami berikan tadi. Satu pendapat dari
masing-masing laki-laki di sini, dua pendapat dari
Miss Marple, dan satu lusin pendapat dari Mrs. B.”

”Pendapatku tidak sampai satu lusin,” bantah Mrs.


Bantry. "Aku cuma memyvariasinya dalam berbagai
model. Dan berapa kali harus kubilang, jangan me-
manggilku Mrs. B?”

"Jadi, kalian semua menyerah,” kata Jane dengan


bersungguh-sungguh. "Sungguh menarik.”

Dia menyandarkan diri di kursi dan mulai meng-


gosok kuku-kuku dengan sikap sedikit linglung.

”Ya,” kata Mrs. Bantry. "Ayolah, Jane. Bagaimana


pemecahan misteri itu yang sebenarnya?”

271
”Pemecahannya?”

”Ya. Apa yang sesungguhnya terjadi?”

Jane menatapnya.

”Aku juga tidak tahu.”

"Apa?”

”Aku sendiri mengira-ngira apa yang sebenarnya


terjadi. Kupikir kalian semua sangat pintar, dan salah
satu dari kalian pasti dapat memberitahukan jawaban-
nya padaku.”

Semua yang hadir tampak jengkel. Memang Jane


sangat cantik—tapi saat itu semua orang merasa
ketololannya sudah tidak tanggung-tanggung lagi.
Bahkan kecantikannya yang begitu sempurna tidak
dapat menutupinya.

”Maksud Anda, kejadian yang sebenarnya tidak


pernah diketahui?” tanya Sir Henry.

"Tidak. Karena itulah, seperti kataku tadi, kupikir


kalian akan bisa memberitahuku.”

Jane kedengarannya sedih. Kelihatan jelas bahwa


dia betul-betul kecewa.

”Yah... aku... aku...” kata Kolonel Bantry terbata-


bata.

”Jane, kau memang nakal,” kata istrinya. "Tapi aku


yakin dan selalu yakin bahwa aku benar. Kalau kau
mau memberitahu kami nama-nama asli orang-orang
itu, aku pasti merasa lebih yakin lagi.”

”Kurasa aku tidak dapat melakukannya,” kata Jane


perlahan.

"Tidak, Sayang,” kata Miss Marple. "Miss Helier


memang tidak dapat melakukannya.”

"Tentu saja dia bisa,” kata Mrs. Bantry. "Jangan

272
terlalu bermoral, Jane. Kita orang tua-tua harus tahu
sedikit tentang skandal-skandal yang terjadi. Paling
tidak, beritahu kami kota tempat peristiwa itu
terjadi.”

Tapi Jane menggeleng, dan Miss Marple, dengan


gayanya yang kuno, tetap mendukung gadis itu.

”Peristiwa itu pasti sangat menakutkan,” katanya.

”Tidak,” kata Jane dengan jujur. "Kurasa... kurasa


aku agak menikmatinya.”

”Yah, mungkin Anda memang menikmatinya,” kata


Miss Marple. "Kurasa peristiwa itu merupakan variasi
yang lain dalam kesibukan Anda sehari-hari. Drama
apa yang sedang Anda perankan saat itu?”

” Smith”

”Oh, ya. Salah satu karya Mr. Somerset Maugham,


bukan? Menurutku, semua karyanya sangat bagus.
Aku sudah pernah menonton hampir semua karya
dramanya.”

”Kau akan mengadakan perjalanan lagi musim gu-


gur mendatang, bukan?” tanya Mrs. Bantry.

Jane mengangguk.

”Yah,” kata Miss Marple sambil bangkit berdiri.


”Aku harus pulang. Benar-benar sudah malam! Tapi
malam ini sangat menyenangkan. Benar-benar menye-
nangkan. Menurutku, juaranya adalah Miss Helier.
Kalian juga berpendapat begitu, bukan?”

”Maaf, kalau kalian semua jadi jengkel,” kata Jane.


”Maksudku, gara-gara aku tidak mengetahui peme-
cahan dari peristiwa itu. Kurasa seharusnya aku me-
ngatakannya terlebih dahulu.”

Nada suaranya terdengar penuh penyesalan. Dokter

273
Lloyd langsung menanggapi kata-kata itu dengan si-
kap lapang dada.

”Nona muda yang manis, Anda tidak perlu minta


maaf. Anda telah menceritakan kepada kami kasus
yang sangat rumit untuk mengasah otak kami. Aku
cuma menyesal karena tak satu pun dari kami dapat
memberikan pemecahan yang meyakinkan.”

”Itu kan menurutmu,” kata Mrs. Bantry. "Aku te-


lah memecahkannya. Dan aku yakin aku benar.”

”Tahu tidak, aku percaya kau benar,” kata Jane.


”Pendapatmu tadi sangat masuk akal.”

”Jawaban mana yang Anda maksudkan dari ketujuh


jawaban itu?” goda Sir Henry.

Dokter Lloyd dengan sopan membantu Miss


Marple mengenakan sarung tangannya. "Untuk jaga-
jaga,” kata wanita tua itu menjelaskan. Dokter itu
akan mengantarnya sampai ke pondok tuanya. Setelah
membungkus dirinya dengan beberapa syal wol, Miss
Marple mengucapkan selamat malam kepada semua-
nya sekali lagi. Terakhir, dia menghampiri Jane Helier,
dan sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia
membisikkan sesuatu di telinga aktris itu. Jane menge-
luarkan suara kaget "Oh'”—begitu kerasnya, sampai
yang lainnya menoleh.

Sambil tersenyum dan mengangguk, Miss Marple


berjalan keluar, sementara Jane Helier masih
menatapnya.

”Apakah kau mau tidur, Jane?” tanya Mrs. Bantry.


”Ada apa? Kau seperti melihat hantu.”

Sambil menarik napas panjang, Jane kembali sadar,


dia melemparkan senyum menarik pada kedua laki-laki

274
lainnya, kemudian mengikuti nyonya rumahnya
menaiki tangga. Mrs. Bantry ikut masuk ke kamarnya.

”Perapian ini nyaris padam,” kata Mrs. Bantry


sambil lalu. "Para pembantu memang tidak bisa
menyalakan perapian dengan benar. Betapa bodohnya
mereka. Tapi malam ini kita memang agak terlambar
pergi tidur. Wah, sudah jam satu lebih!”

”Menurutmu, banyakkah orang seperti dia?” tanya


Jane Helier.

Dia duduk di sisi tempat tidur, tampak tercenung.

”Seperti para pembantu?”

”Bukan. Seperti wanita tua yang lucu itu—siapa


namanya—Marple?”

”Oh! Aku tidak tahu. Menurutku dia tipe wanita


biasa di desa-desa kecil.”

”Ya ampun,” kata Jane. "Aku tidak tahu apa yang


mesti kulakukan.”

Dia menarik napas panjang.

"Ada apa?”

”Aku merasa khawatir.”

"Tentang apa?”

”Dolly,” kata Jane Helier dengan bersungguh-sung-


guh. "Tahukah kau apa yang dibisikkan wanita tua
yang aneh itu padaku sebelum dia keluar dari pintu
tadi?”

"Tidak. Apa?”

”Dia berkata, 'Aku tidak akan melakukannya se-


andainya aku jadi kau, Sayang. Jangan membiarkan
diri berada di bawah kekuasaan wanita lain, meskipun
kaupikir saat itu dia adalah temanmu. Tahu tidak,
Dolly, kata-katanya itu benar sekali.”

275
“Pepatah itu? Ya, mungkin memang benar. Tapi
aku tidak melihat hubungannya denganmu.”

“Kurasa kita memang tak bisa benar-benar memer-


cayai wanita. Karena aku akan berada di bawah ke-
kuasaannya. Aku tidak pernah berpikir sampai sana.”

”Siapa wanita yang kaumaksudkan itu?”

”Netta Greene, asistenku.”

”Bagaimana Miss Marple bisa tahu tentang asisten-


mu itu?”

”Kurasa dia cuma menebak—tapi aku tidak tahu


bagaimana caranya.”

”Jane, maukah kau mengatakan padaku sekarang


juga, apa maksudmu sebenarnya?”

"Cerita itu. Cerita yang kupaparkan tadi. Oh,


Dolly, wanita itu, tahu, kan—dia merampas Claud
dari diriku?”

Mrs. Bantry mengangguk, memutar ingatannya


kembali ke perkawinan pertama Jane yang gagal—de-
ngan Claud Averbury, seorang aktor.

”Claud menikahinya, padahal aku bisa meramalkan


apa yang bakal terjadi. Claud tidak tahu bahwa perem-
puan itu berhubungan dengan Sir Joseph Salmon—
berakhir minggu dengannya di rumah peristirahatan
yang kuceritakan itu. Aku ingin kedoknya terbong-
kar—aku ingin semua orang tahu perempuan macam
apa dia. Dan dengan perampokan itu, semuanya akan
terbongkar.”

”Jane?” kata Mrs. Bantry dengan napas tertahan.


”Apakah kasus yang kauceritakan pada kami tadi hasil
karangan belaka?”

Jane mengangguk.

276
”Itu sebabnya aku memilih Smith. Kau tahu, aku
harus memakai kostum pelayan dalam pertunjukan
itu. Jadi, dengan mudah aku bisa mendapatkannya.
Dan kalau mereka memanggilku ke kantor polisi, sa-
ngat mudah mengatakan bahwa aku sedang berlatih
dengan asistenku di hotel. Tentu saja sebenarnya kami
berada di rumah peristirahatan itu. Tugasku cuma
membukakan pintu dan membawakan minuman, dan
Netta akan berpura-pura menjadi aku. Tentu saja laki-
laki muda itu tidak akan pernah bertemu dengannya
lagi, jadi tak mungkin dia akan mengenali Netta.
Dan aku bisa membuat diriku kelihatan sangat ber-
beda sebagai pelayan: lagi pula, biasanya orang me-
mandang para pelayan seakan-akan mereka itu bukan
manusia. Kami berencana untuk menarik laki-laki itu
ke jalan setelah membiusnya, mengambil kotak per-
hiasan, menelepon polisi, dan kembali ke hotel. Aku
tidak mau pemuda itu ditahan gara-gara rencanaku,
tapi menurut Sir Henry dia tidak akan ditahan, bu-
kan? Dan berita tentang perempuan itu akan muncul
di koran-koran—dan Claud akan tahu, siapa dia se-
benarnya.”

Mrs. Bantry duduk sambil mengerang.

”Astaga! Jane Helier, kau memang penipu! Berani-


beraninya kau menceritakan kasusmu pada kami
seperti itu!”

”Aku memang aktris yang hebat,” kata Jane dengan


nada puas. "Dari dulu aku memang aktris yang hebat,
apa pun kata orang. Tadi aku sama sekali tidak mem-
bongkar rahasiaku, bukan?”

”Miss Marple benar,” gumam Mrs. Bantry. ”Sifat

277
manusia. Oh, ya, sifat manusia. Jane, anakku yang
baik, sadarkah kau bahwa pencuri tetap pencuri? Bisa
saja kau tertangkap dan dipenjara.”

”Yah, tampaknya tak seorang pun dari kalian tadi


berhasil menebak keterlibatanku,” kata Jane. "Kecuali
Miss Marple.” Wajahnya tampak cemas lagi. ” Dolly,
menurutmu banyakkah orang seperti dia?”

”Terus terang, menurutku tidak banyak orang se-


perti Miss Marple,” kata Mrs. Bantry.

Jane mendesah lagi.

”Tapi lebih baik aku tidak mengambil risiko. Ka-


rena tentu saja aku akan berada di bawah kekuasaan
Netta—itu benar. Dia mungkin akan berbalik mela-
wanku atau memerasku atau apalah. Dia membantuku
menyusun rencana itu sampai sekecil-kecilnya, dan
kelihatannya dia benar-benar setia padaku, tapi kita
kan tidak pernah tahu isi hati wanita lain. Tidak, ku-
rasa Miss Marple benar. Lebih baik aku tidak meng-
ambil risiko.”

”Tapi, Sayang, bukankah kau telah melakukan-


nya?”

”Oh, tidak.” Jane membelalakkan mata birunya.


"Tidakkah kau mengerti? Peristiwa itu belum terjadi!
Aku... yah, aku cuma ingin melihat, apakah rencana
itu cukup baik.”

”Aku tidak mengerti,” kata Mrs. Bantry dengan


tegas. "Maksudmu kasus itu masih dalam perenca-
naan—bukan sudah dilaksanakan?”

”Aku berniat melaksanakannya musim gugur


ini—di bulan September. Sekarang aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan.”

278
”Dan Jane Marple menebaknya—benar-benar ber-
hasil menebaknya, dan dia tidak mengatakannya pada
kami,” kata Mrs. Bantry dengan sebal.

”Kurasa itu sebabnya dia mengucapkan kalimat


itu—tentang kaum wanita harus saling mendukung
sesamanya. Dia tidak mau membongkar rahasiaku di
hadapan para laki-laki. Dia sungguh baik. Tapi aku
tidak keberatan #au mengetahuinya, Dolly”

”Yah, lupakanlah rencana itu, Jane. Aku mohon.”

”Ya,” gumam Miss Helier. "Siapa tahu ada Miss


Marple-Miss Marple lain...”

279
BAB 13
MATI TENGGELAM

SR HENRY CLITHERING, bekas Komisaris Scot-


land Yard, sedang menginap di rumah keluarga
Bantry yang berada di dekat sebuah desa kecil ber-
nama St. Mary Mead.

Pada hari Sabtu pagi, sewaktu sedang menuju


ruang makan untuk sarapan pada jam sepuluh lewat
lima belas menit, hampir saja dia menabrak nyonya
rumahnya, Mrs. Bantry, di pintu ruang makan. Mrs.
Bantry sedang bergegas keluar dari ruangan itu,
kelihatannya sedang bingung dan tegang.

Kolonel Bantry sedang duduk di meja makan, wa-


jahnya lebih merah daripada biasanya.

”Pagi, Clithering,” katanya. ”Hari yang indah, ya?


Silakan ambil makanannya.”

Sir Henry duduk dan mengambil sepiring ginjal

280
dan daging panggang: tuan rumahnya melanjutkan
kata-katanya,

"Dolly agak tegang pagi ini.”

”Ya—eh—aku tahu,” kata Sir Henry sambil lalu.

Dia jadi bertanya-tanya. Nyonya rumahnya itu ada-


lah orang yang tenang, tidak emosional atau mudah
terbawa perasaan. Sejauh yang diketahui Sir Henry,
perhatian Mrs. Bantry hanya tertumpah pada satu
hal—berkebun.

”Ya,” kata Kolonel Bantry. "Kabar yang kami dapat


pagi ini membuatnya bingung. Ada seorang gadis di
desa—anak perempuan Emmott—Emmott pemilik
Blue Boar.”

"Oh, ya. Tentu.”

”Ya,” kata Kolonel Bantry sambil termenung. ”Ga-


dis yang cantik. Dia mendapat masalah. Cerita biasa.
Aku berdebat dengan Dolly tentang hal itu. Bodoh
sekali aku. Wanita memang tidak pernah punya akal
sehat. Dolly membela gadis itu mati-matian—kau
tahu, kan, bagaimana pandangan para wanita—semua
laki-laki itu jahat—dan sebagainya, dan sebagainya.
Tapi masalahnya tidak sesederhana itu—apalagi di
zaman sekarang ini. Gadis-gadis sebenarnya sadar apa
yang mereka lakukan. Kalau seorang pemuda meng-
goda seorang gadis, tidak selalu berarti pemuda itulah
yang nakal. Kemungkinannya adalah kedua belah
pihak juga sama bersalahnya. Sebenarnya aku menyu-
kai si Sandford itu. Menurutku, dia lebih cocok
disebut pemuda lugu daripada Don Juan.”

"Apakah pemuda itu yang menghamili si gadis?”

"Kelihatannya begitu. Tentu saja aku tidak tahu

281
pasti,” kata sang kolonel dengan hati-hati. "Mungkin
semua itu cuma gosip. Kau tahu, bukan, bagaimana
tempat ini? Seperti kataku tadi, aku tidak tahu apa-
apa. Dan aku tidak seperti Dolly—langsung mengam-
bil kesimpulan, menuduh semua orang. Astaga, kita
jadi harus hati-hati dengan apa yang kita katakan.
Kau tahu... pada waktu pemeriksaan dan hal-hal se-
macam itu.”

”Pemeriksaan?”

Kolonel Bantry balas menatap.

”Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya tadi? Ga-


dis itu menenggelamkan dirinya sendiri. Hal itulah
yang sedang diributkan.”

”Peristiwa yang mengerikan,” komentar Sir Henry.

”Memang. Aku sendiri tak suka memikirkannya.


Gadis cantik yang dungu dan malang. Ayahnya orang
yang keras. Kurasa dia tak sanggup menghadapi kema-
rahan ayahnya.”

Dia berhenti sejenak.

”Berita itulah yang membuat Dolly bingung.”

”Di mana dia menenggelamkan diri?”

”Di sungai. Persis di bawah bendungan, tempat air


mengalir deras. Di situ terdapat jejak telapak kaki dan
sebuah jembatan. Menurut perkiraan, gadis itu melom-
pat dari jembatan. Yah, yah, hal itu tak perlu dipikir-
kan lagi.”

Dan dengan suara gemeresik, Kolonel Bantry


membuka koran dan mencoba mengalihkan pikiran-
nya dari peristiwa menyedihkan itu dengan menyimak
berita terbaru tentang kelalaian pihak pemerintah.

Sir Henry tidak begitu tertarik dengan tragedi-tra-

282
gedi yang terjadi di desa itu. Setelah sarapan, dia
bersantai di sebuah kursi yang sangat nyaman di ha-
laman belakang, sambil memiringkan topinya menu-
tupi mata dan menikmati hidup yang damai.

Pada jam sebelas lebih tiga puluh menit, seorang


pelayan keluarga Bantry yang berpakaian rapi berjalan
menyeberangi halaman belakang rumah itu.

”Maaf, Sir, Miss Marple datang berkunjung, dan


beliau ingin bertemu dengan Anda.”

”Miss Marple?”

Sir Henry menegakkan duduk dan meluruskan


letak topi. Nama itu mengejutkannya. Dia masih
ingat betul dengan Miss Marple—gaya perawan tua-
nya yang lemah lembut dan pendekatannya yang
mengagumkan dalam memecahkan misteri-misteri.
Dia teringat belasan kasus yang tidak terpecahkan,
dan bagaimana si "perawan tua dari desa” itu melon-
tarkan jawaban yang tepat untuk setiap misteri sema-
cam itu. Sir Henry sangat menaruh hormat pada
Miss Marple. Dia jadi ingin tahu, apa yang
menyebabkan wanita tua itu ingin menemuinya.

Miss Marple sedang duduk di ruang tamu seperti


biasanya, dia duduk tegak, di sampingnya terdapat
sebuah keranjang belanja berwarna cerah. Pipinya se-
dikit kemerah-merahan dan dia tampak tegang.

”Sir Henry—aku sungguh lega. Sungguh beruntung


aku bisa bertemu dengan Anda. Kebetulan aku mende-
ngar Anda sedang menginap di rumah keluarga Bantry.
Kuharap Anda mau memaafkanku...

”Tidak apa-apa,” kata Sir Henry sambil menyalami-


nya. "Tapi aku khawatir Mrs. Bantry sedang keluar.”

283
”Ya,” kata Miss Marple. "Aku melihatnya sedang
mengobrol dengan Footit, si tukang daging, waktu
aku lewat tadi. Henry Footit—itu nama anjingnya—
ditabrak kemarin. Anjing itu seekor fox terrier berbulu
halus, agak gendut dan manja, tipe anjing yang biasa
dimiliki para tukang daging.”

”Ya,” kata Sir Henry dengan penuh pengertian.

”Untunglah Mrs. Bantry sedang tidak di rumah,”


lanjut Miss Marple. "Karena Andalah yang ingin ku-
temui. Ini tentang peristiwa menyedihkan itu.”

”Henry Footit?” tanya Sir Henry, sedikit bingung.

Miss Marple memandangnya dengan jengkel.

”Bukan, bukan. Maksudku Rose Emmott. Anda


pasti sudah mendengar tentang dia, bukan?”

Sir Henry mengangguk.

”Bantry memberitahuku. Sangat menyedihkan.”

Dia masih agak bingung. Dia tak bisa membayang-


kan alasan Miss Marple ingin membicarakan Rose
Emmott dengannya.

Miss Marple duduk kembali. Sir Henry juga. Ke-


tika wanita tua itu berbicara lagi, sikapnya berubah.
Bersungguh-sungguh dan penuh rasa percaya diri.

”Anda mungkin ingat, Sir Henry, dulu kita pernah


memainkan suatu permainan yang sangat menyenang-
kan. Menceritakan misteri-misteri dan mencoba me-
mecahkannya. Anda sangat baik, mengatakan bahwa...
bahwa kemampuanku tidak jelek.”

”Anda malah berhasil mengalahkan kami semua,”


kata Sir Henry dengan hangat. "Anda sangat genius
dalam hal menggali kebenaran. Dan aku ingat, Anda

284
selalu menceritakan suatu kejadian serupa di desa,
yang memberi Anda petunjuk.”

Sir Henry berbicara sambil tersenyum, tapi Miss


Marple tidak membalas senyumannya. Dia tetap
bersikap serius.

”Apa yang Anda katakan waktu itulah yang mem-


buatku berani datang menemui Anda sekarang. Ku-
pikir kalau aku mengatakan sesuatu pada Anda... pa-
ling tidak Anda tidak akan menertawakanku.”

Tiba-tiba saja Sir Henry menyadari bahwa apa


yang akan dikatakan oleh wanita tua itu pasti sangat
penting.

”Tentu saja aku tidak akan menertawakan Anda,”


katanya dengan nada ramah.

”Sir Henry... gadis ini... Rose Emmott. Dia tidak


menenggelamkan dirinya sendiri—dia dibunuh. Dan
aku tahu siapa yang membunuhnya.”

Sir Henry terdiam sejenak saking terkejut. Suara


Miss Marple benar-benar tenang, seakan dia baru saja
mengatakan sesuatu yang sangat umum.

"Pernyataan Anda sangat serius, Miss Marple,” kata


Sir Henry ketika sudah mengendalikan diri.

Miss Marple menganggukkan kepala dengan lem-


but beberapa kali.

”Aku tahu... aku tahu... itulah sebabnya aku datang


menemui Anda.”

”Tapi, ibu yang baik, aku bukan orang yang tepat


untuk Anda temui. Saat ini aku cuma orang biasa.
Kalau Anda memiliki bukti yang menguatkan pernya-
taan Anda tadi, Anda harus pergi ke polisi.”

285
"Kurasa aku tak bisa melakukannya,” kata Miss
Marple.

”Mengapa tidak?”

"Karena aku tidak mempunyai... apa yang Anda


sebut bukri tadi.”

”Maksud Anda, Anda cuma menebaknya?”

"Boleh dibilang begitu, tapi sebenarnya bukan


cuma menebak. Aku tahu. Aku benar-benar tahu, tapi
kalau aku mengatakan bagaimana aku sampai bisa
tahu kepada Inspektur Drewitt—yah, dia akan terta-
wa. Dan sebenarnya aku juga tak bisa menyalahkan-
nya. Sungguh sulit bagi seseorang untuk memahami
apa yang disebut keahlian istimewa.”

”Misalnya?” tanya Sir Henry.

Miss Marple tersenyum sedikit.

”Kalau aku mengatakan pada Anda bahwa aku


tahu, gara-gara seorang laki-laki bernama Peasegood
memberikan terung, bukannya wortel, sewaktu dia
berkeliling dengan gerobaknya dan menjual sayuran
pada keponakanku beberapa tahun yang lalu...”

Dia berhenti dengan tiba-tiba.

”Namanya cocok dengan profesinya,” gumam Sir


Henry. "Maksud Anda, Anda cuma mengambil kesim-
pulan berdasarkan fakta-fakta yang ada pada kasus
serupa.”

”Aku mengenal sifat manusia,” kata Miss Marple.


”Tak mungkin orang tidak mengenali sifat manusia,
kalau sudah bertahun-tahun tinggal di desa. Perta-
nyaannya adalah, Anda percaya padaku atau tidak?”

Miss Marple menatap Sir Henry lekat-lekat. Pipi-

286
nya semakin memerah. Matanya menatap mata Sir
Henry tanpa malu-malu.

Sir Henry adalah orang yang memiliki pengalaman


sangat luas. Dia mengambil keputusan dengan cepat,
tanpa ragu sedikit pun. Meski pernyataan Miss Marple
kedengarannya janggal dan tidak lazim, dia langsung
menyadari dan menerimanya.

"Aku benar-benar percaya pada Anda, Miss Marple.


Tapi aku tidak tahu apa yang Anda inginkan dariku
sehubungan dengan peristiwa itu, atau mengapa Anda
menemuiku.”

”Aku telah berpikir dan berpikir lagi mengenai pe-


ristiwa itu,” kata Miss Marple. "Seperti kukatakan
tadi, tak ada gunanya aku pergi ke polisi tanpa bukti
nyata. Aku tidak punya bukti. Aku cuma minta Anda
menunjukkan minat pada persoalan tersebut—aku
yakin Inspektur Drewitt akan senang sekali. Dan ten-
tu saja kalau persoalan itu berkembang semakin jauh,
Kolonel Melchett, Pak Kepala Polisi, pasti akan siap
sedia membantu Anda.”

Miss Marple memandang Sir Henry dengan sikap


memohon.

”Dan data apa yang akan Anda berikan padaku


untuk kuselidiki?”

”Kurasa,” kata Miss Marple, "aku akan menulis se-


buah nama—nama seseorang—di sehelai kertas dan
memberikannya pada Anda. Setelah itu, kalau dalam
penyelidikan Anda memutuskan bahwa... orang itu...
sama sekali tidak terlibat dalam kasus itu... yah, ber-
arti aku telah melakukan kesalahan.”

Dia berhenti sejenak, kemudian menambahkan

287
kata-katanya sambil sedikit bergidik, "Sungguh me-
ngerikan—sungguh mengerikan sekali—kalau sese-
orang yang tidak bersalah sampai dihukum gantung.”

"Bagaimana bisa?” seru Sir Henry dengan terke-


jut.

Miss Marple memandang wajah Sir Henry dengan


pandangan putus asa.

”Aku mungkin salah mengenai hal itu—walaupun


kurasa tak mungkin. Seperti Anda ketahui, Inspektur
Drewitt adalah orang yang sangat pintar. Tapi sese-
orang dengan kepintaran biasa-biasa saja kadang-ka-
dang malah bisa jadi sangat berbahaya. Kita tidak
perlu jauh-jauh mencari contohnya.”

Sir Henry menatap wanita tua itu dengan penuh


rasa ingin tahu.

Dengan sedikit gugup Miss Marple membuka tas


kecilnya yang antik, lalu mengeluarkan sebuah buku
catatan kecil. Dia menyobek selembar kertas dari
buku itu, kemudian dengan hari-hati menuliskan se-
buah nama dan melipat kertas itu menjadi dua, kemu-
dian menyerahkannya kepada Sir Henry.

Sir Henry membuka lipatan kertas itu dan mem-


baca nama yang tertulis di dalamnya. Nama itu tidak
berarti apa-apa baginya, tapi alis matanya terangkat
sedikit. Dia memandang Miss Marple yang duduk di
seberangnya dan memasukkan carikan kertas itu ke
saku bajunya.

”Yah, yah,” katanya. ”Cara kerja yang agak aneh.


Aku belum pernah melakukannya. Tapi aku akan
mempertaruhkan kepercayaanku—pada Anda, Miss
Marple.”

288
Sir Henry duduk di sebuah ruangan dengan Kolonel
Melchett, kepala polisi desa itu, dan Inspektur
Drewitt.

Kepala Polisi itu adalah seorang laki-laki kecil yang


tidak sabaran—sifat khas orang yang berasal dari ke-
militeran, sedangkan sang inspektur bertubuh besar,
berdada bidang, dan sangat rasional.

”Saya merasa tak enak mencampuri urusan Anda,”


kata Sir Henry sambil tersenyum manis. "Saya tidak
tahu, mengapa saya melakukannya.” (Sejujurnya!)

"Ah, kami malah senang sekali. Ini benar-benar


suatu kehormatan.”

”Kami merasa terhormat, Sir Henry,” kata sang


inspektur.

Sang kepala polisi berpikir, "Kasihan sekali, dia


pasti merasa sangat bosan, tinggal di rumah keluarga
Bantry. Si tuan rumah suka menjelek-jelekkan peme-
rintah, sementara si nyonya rumah terus mengoceh
tentang bibit-bibit tanaman.”

Sang inspektur berpikir, "Sayang sekali perkara


yang sedang kita hadapi kali ini tidak terlalu serius.
Orang ini adalah salah satu orang terpandai di selu-
ruh Inggris. Aku pernah mendengar orang-orang me-
nyebutnya begitu. Sayang sekali perkara ini sangat
sederhana.”

Dengan suara keras, Kepala Polisi berkata,

”Saya kira kasus ini memang sangat keji, tapi cu-


kup jelas. Mula-mula kami mengira gadis itu mence-
burkan diri ke sungai. Anda pasti sudah tahu dia

289
sedang hamil. Tapi, dokter kami, Haydock, adalah
orang yang sangat cermat. Dia melihat ada lebam
pada lengan gadis itu—tepatnya di lengan bagian
atas. Lebam itu terjadi sebelum kematiannya. Persis
di tempat seseorang mungkin mencengkeramnya dan
melemparkannya.”

”Apakah hal itu membutuhkan kekuatan besar?”

”Saya rasa tidak. Tidak ada tanda-tanda perla-


wanan—gadis itu mungkin sedang lengah. Jembatan
kayu di atas sungai itu sangat licin. Sangat mudah
untuk mendorongnya ke sungai—karena tidak ada
pegangan pada sisi jembatan itu.”

”Anda tahu pasti bahwa peristiwa itu terjadi di


sana?”

"Ya. Kami mempunyai seorang saksi—Jimmy


Brown—berumur dua belas tahun. Saat itu dia sedang
berada di hutan, di seberang sungai itu. Dia
mendengar jeritan dari arah jembatan, kemudian suara
ceburan. Tapi saat itu sudah hampir malam—sungguh
sulit melihat jelas. Dia hanya melihat sesuatu berwarna
putih tenggelam ke bawah air, jadi dia lari dan mencari
pertolongan. Orang-orang lalu mengangkat gadis itu,
tapi sudah terlambat untuk menyelamatkannya.”

Sir Henry mengangguk.

”Anak laki-laki itu tidak melihat siapa pun di jem-


batan?”

”Tidak. Tapi, seperti saya katakan tadi, saat itu su-


dah hampir malam, dan kabut mengambang di mana-
mana. Saya sudah menanyainya, apakah dia melihat
seseorang sesudahnya atau sebelumnya. Tentu saja
tadinya dia mengira gadis itu menceburkan dirinya

290
sendiri. Mula-mula semua orang juga berpikiran begi-
tu.”

"Tapi kami menemukan sepucuk surat,” kata


Inspektur Drewitt. Dia menoleh memandang Sir
Henry.

”Sepucuk surat di saku gadis yang meninggal itu,


Sir. Ditulis dengan pensil yang biasanya digunakan
oleh para pelukis. Surat itu basah kuyup, tapi kami
berhasil membacanya.”

"Dan apa isinya?”

”Surat itu berasal dari si pemuda Sandford. 'Baik-


lah, begitu kata pertamanya. 'Aku akan menemuimu
di jembatan pada pukul delapan lebih tiga puluh
menit. —R.S/ Yah, saat itu hampir pukul delapan
lebih tiga puluh menit—atau beberapa menit
sesudahnya—ketika Jimmy Brown mendengar jeritan
itu dan suara ceburan.”

”Apakah Anda pernah bertemu dengan Sandford?”


lanjut Kolonel Melchert. "Dia baru sekitar satu bulan
tinggal di sini. Seorang arsitek muda modern yang
membangun rumah-rumah berbentuk aneh. Dia
sedang mengerjakan rumah keluarga Allington. Hanya
Tuhan yang tahu, bagaimana bentuk rumah itu nanti-
nya—pasti penuh dengan barang-barang model baru
yang berbentuk aneh. Meja makan dari kaca, kursi-
kursi dari baja dan jala-jala. Yah, pokoknya barang-ba-
rang itu menunjukkan macam apa pemuda Sandford
itu. Pemberontak—tak bermoral.”

”Perselingkuhan,” kata Sir Henry dengan tenang,


"adalah bentuk kejahatan yang paling tua, meskipun,
tentu saja, tidak setua pembunuhan.”

211
Kolonel Melchett menatapnya.

”Oh! Ya,” katanya. ”Itu benar.”

”Yah, Sir Henry,” kata Drewitt, "kasus itu memang


keji—tapi sederhana. Sandford menghamili gadis itu,
kemudian bergegas kembali ke London. Dia punya
seorang kekasih di sana—seorang gadis dari kalangan
baik-baik. Dia telah bertunangan dengan gadis itu
dan akan menikahinya. Yah, tentu saja, kalau gadis
itu sampai mendengar tentang perbuatan, pasti dia
akan memutuskan pertunangan. Oleh karena itu,
Sandford bermaksud menemui Rose di jembatan ter-
sebut—malam itu berkabut, dan tidak ada orang di
sekelilingnya. Dia mencengkeram lengan gadis itu dan
mendorongnya. Betul-betul penjahat licik—dan dia
pantas mendapat hukuman. Begitulah pendapat
saya.”

Sir Henry terdiam sesaat. Dia menangkap adanya


kebencian orang-orang desa terhadap arsitek itu, yang
menimbulkan prasangka buruk. Seorang arsitek mo-
dern pasti tidak disukai di lingkungan desa St. Mary
Mead yang masih kuno.

”Saya rasa, tidak ada keraguan lagi bahwa Sandford


adalah ayah dari anak yang dikandung gadis itu?”
tanyanya.

”Dia memang ayah bayi itu,” kata Drewitt. "Rose


Emmott mengakuinya kepada ayahnya. Dia pikir pe-
muda itu akan menikahinya. Menikahinya! Tidak
akan!”

”Ya ampun,” pikir Sir Henry. "Aku merasa seperti


terlibat dalam sebuah melodrama zaman Ratu
Victoria. Gadis yang polos, pecundang dari London,

292
ayah yang keras, pengkhianatan—yang kurang cuma
pemuda desa dengan cintanya yang setia. Ya, kurasa
sudah saatnya aku menanyakan tentang pemuda
itu.”

Dan dengan suara keras dia berkara,

”Apakah sebelumnya gadis itu mempunyai kekasih


dari desa ini juga?”

"Maksud Anda Joe Ellis?” tanya si inspektur. "Joe


orang yang baik. Pekerjaannya tukang kayu. Ah!
Kalau saja Rose tetap setia pada Joe...”

Kolonel Melchett mengangguk setuju.

”Mencari pasangan yang masih satu golongan,” tu-


kasnya.

"Bagaimana Joe Ellis menanggapi penyelewengan


kekasihnya itu?” tanya Sir Henry.

”Tak seorang pun tahu bagaimana dia menanggapi-


nya,” kata si inspektur. "Joe orang yang pendiam.
Tertutup. Apa pun yang dilakukan Rose tampak be-
nar di matanya. Gadis itu benar-benar telah menakluk-
kannya. Pemuda itu cuma berharap Rose kembali lagi
padanya suatu hari nanti—begitulah sikapnya, menu-
rut saya.”

”Saya ingin bertemu dengannya,” kata Sir Henry.

"Oh! Kami memang akan memeriksanya,” kata Ko-


lonel Melchett. "Kami tidak akan meremehkan bukti
sekecil apa pun. Menurut saya, sebaiknya kita mene-
mui ayah Rose Emmott lebih dulu, kemudian Sand-
ford, lalu kita bisa pergi menemui Ellis. Bagaimana
menurut Anda, Clichering?”

Sir Henry berkata dia setuju dengan urutan itu.

Mereka menemukan Tom Emmott di Blue Boar.

293
Dia adalah laki-laki setengah baya, berperawakan be-
sar, dengan mata licik dan bentuk rahang yang me-
nunjukkan watak kerasnya.

”Senang berjumpa dengan kalian, Bapak-bapak—se-


lamat pagi, Kolonel. Masuklah, supaya kita bisa berbi-
cara dengan bebas. Bisakah saya menawarkan sesuatu,
Bapak-bapak? Tidak? Baiklah, sesuka Anda. Anda da-
tang sehubungan dengan peristiwa yang menimpa
anak saya yang malang, bukan? Ah! Dia anak yang
baik, Rose itu. Selalu menjadi anak baik—sampai pe-
cundang itu—maafkan saya, tapi memang itulah
dia—sampai dia datang. Berjanji akan menikahinya,
begitu katanya. Tapi saya akan menuntutnya. Pemuda
itu membujuk Rose, benar. Pembunuh. Membuat
malu kami semua. Anak gadisku yang malang.”

"Anak Anda memberitahu Anda dengan jelas bah-


wa Mr. Sandford-lah yang harus bertanggung jawab
atas kondisinya?” tanya Melchett dengan nada datar.

"Ya. Di ruangan ini.”

”Dan apa kata Anda kepadanya?” tanya Sir Henry,

”Apa kata saya kepadanya?” Laki-laki itu tampak


terkejut sejenak.

”Ya. Anda tidak, misalnya, mengancam akan meng-


usirnya dari rumah?”

”Saya sedikit marah—tapi itu wajar, bukan? Saya


yakin Anda pasti setuju bahwa itu hal yang wajar.
Tapi, tentu saja, saya tidak mengusirnya dari rumah.
Saya tidak akan melakukan hal seperti itu.” Dia me-
masang tampang tersinggung. "Tidak. Apa gunanya
hukum—itulah yang saya katakan. Apa gunanya hu-
kum? Pemuda itu harus menjalankan kewajibannya.

294
Dan kalau dia tidak melaksanakannya, demi Tuhan,
dia harus membayarnya.”

Dia memukul meja dengan tinjunya.

”Kapan terakhir kali Anda melihat anak Anda?”


tanya Melchett.

”Kemarin—waktu minum teh.”

"Bagaimana sikapnya waktu itu?”

"Yah, tidak berbeda dengan biasanya. Saya tidak


memperhatikan apa-apa. Kalau saja saya tahu...”

”Tapi Anda tidak tahu,” kata si inspektur dengan


datar.

Mereka meninggalkan tempat itu.

”Emmott bukan orang yang simpatik,” kata Sir


Henry sambil berpikir-pikir.

”Orang yang licik,” kata Melchett. "Dia pasti akan


memeras Sandford habis-habisan kalau punya kesem-
patan.”

Tujuan mereka berikutnya adalah menemui sang


arsitek. Rex Sandford ternyata sama sekali tidak mirip
dengan apa yang dibayangkan Sir Henry. Pemuda itu
bertubuh tinggi, sangat tampan, dan kurus. Matanya
berwarna biru dan tampak menerawang, rambutnya
acak-acakan dan sedikit terlalu panjang. Gaya bicara-
nya halus, seperti wanita.

Kolonel Melchett memperkenalkan dirinya dan


rekan-rekannya, kemudian langsung menuju pokok
permasalahan dari kunjungannya. Dia meminta arsitek
itu membuat pernyataan tentang apa saja yang dilaku-
kannya kemarin malam.

"Anda pasti mengerti,” katanya dengan nada mem-


peringatkan. "Saya tidak mempunyai kekuasaan untuk

295
memaksa Anda membuat pernyataan, dan pernyataan
apa pun yang Anda buat, mungkin akan digunakan
sebagai bukti untuk melawan Anda. Saya harap Anda
mengerti benar posisi Anda.”

”Saya...saya tidak mengerti,” kata Sandford.

”Anda tahu bukan, bahwa seorang gadis bernama


Rose Emmott tenggelam kemarin malam?”

”Saya tahu. Oh! kejadian itu amat sangat mengeri-


kan. Saya benar-benar tidak dapat tidur sekejap pun.
Saya juga tak sanggup mengerjakan apa pun hari ini.
Saya merasa bertanggung jawab—benar-benar harus
bertanggung jawab.”

Dia menggaruk-garuk kepala, membuat rambutnya


semakin acak-acakan.

”Saya tidak pernah bermaksud mencelakainya,”


katanya dengan suara mengibakan. ”Saya tak pernah
mengira. Saya tak pernah membayangkan dia sampai
bunuh diri.”

Dia duduk di depan meja dan menutupi wajah


dengan kedua tangan.

”Jadi, kalau boleh saya simpulkan, Mr. Sandford,


Anda menolak membuat pernyataan mengenai di
mana Anda berada kemarin malam pada pukul de-
lapan tiga puluh?”

"Tidak, tidak—tentu saja tidak. Saya sedang keluar.


Saya pergi berjalan-jalan.”

"Anda pergi menemui Miss Emmott?”

"Tidak. Saya pergi sendirian. Menembus hutan.


Jaraknya sangat jauh.”

”Kalau begitu, bagaimana Anda bisa menjelaskan

296
mengenai surat itu, yang ditemukan di saku gaun ga-
dis yang meninggal itu?”

Dan dengan datar Inspektur Drewitt membacakan


isi surat itu keras-keras.

”Nah,” katanya setelah selesai. "Apakah Anda me-


nyangkal bahwa Andalah yang menulis surat itu?”

”Tidak—tidak. Anda benar. Saya memang menulis


surat itu. Rose meminta saya menemuinya. Dia ber-
sikeras untuk bertemu dengan saya. Saya tidak tahu
apa yang harus saya lakukan. Jadi, saya menulis surat
itu.”

”Ah, begitu lebih jelas,” kata si inspektur.

”Tapi saya tidak pergi ke sana?” suara Sandford me-


ninggi dan tegang. ”Saya tidak pergi ke sana! Saya
pikir lebih baik saya tidak menemuinya. Saya akan
kembali ke London besok. Saya rasa lebih baik saya
tidak... tidak bertemu dengannya. Saya bermaksud
menulis surat padanya dari London dan... dan mem-
buat... semacam perjanjian.”

"Apakah Anda tahu gadis itu sedang hamil, dan


dia telah mengatakan bahwa Andalah ayah dari anak
yang dikandungnya?”

Sandford mengerang, tapi tidak menjawab apa-


apa.

”Apakah pernyataan itu benar?”

Sandford membenamkan wajahnya semakin dalam


di telapak tangannya.

”Saya rasa begitu,” katanya dengan suara lirih.

”Ah?” Inspektur Drewitt tak dapat menyembunyikan


perasaan puasnya. "Nah, sekarang mengenai acara 'ja-

297
lan-jalan Anda. Adakah seseorang yang melihat Anda
malam itu?”

”Saya tidak tahu. Saya rasa tidak. Seingat saya, saya


tidak bertemu dengan siapa pun.”

”Sayang sekali.”

”Apa maksud Anda?” Sandford menatapnya dengan


pandangan marah. "Memangnya kenapa kalau saya
keluar berjalan-jalan atau tidak? Apa kaitannya dengan
perbuatan bunuh diri Rose?”

”Ah!” kata si inspektur. "Tapi dia tidak bunuh diri.


Dia dilemparkan ke sungai dengan sengaja, Mr.
Sandford.”

”Dia...” Sandford tercenung selama satu dua menit


untuk menerima kenyataan itu. "Ya Tuhan! Lalu...”

Dia menjatuhkan diri ke sebuah kursi.

Kolonel Melchett bergerak untuk meninggalkan


tempat itu.

”Anda pasti maklum, Sandford,” katanya. "Anda


tidak diperkenankan meninggalkan rumah ini.”

Ketiga laki-laki itu meninggalkan rumah tersebut


bersama-sama. Si inspektur dan Kepala Polisi saling
bertukar pandang.

”Saya rasa apa yang dikatakannya sudah cukup un-


tuk menahannya, Sir,” kata si inspektur.

”Ya. Buatlah surat penahanan dan tahanlah dia.”


"Maafkan saya,” kata Sir Henry. "Sarung tangan saya
ketinggalan.”

Dia bergegas masuk kembali ke rumah itu. Sand-


ford masih duduk di tempat yang sama, seperti pada
waktu mereka meninggalkannya, sambil tercenung
memandang ke depan.

298
”Saya kembali untuk mengatakan pada Anda secara
pribadi, bahwa saya akan membantu Anda sebisa
mungkin,” kata Sir Henry. "Saya tak bisa memberi-
tahukan alasannya. Tapi saya ingin menanyakan pada
Anda, kalau Anda mau menjawabnya, bagaimana per-
sisnya hubungan Anda dengan Rose?”

”Dia sangat cantik,” kata Sandford. "Sangat cantik


dan sangat menarik. Dan... dan dia benar-benar telah
menjerat saya. Demi Tuhan, itu benar. Dia selalu meng-
usik saya. Dan saya merasa kesepian di sini, tidak ada
orang yang menyukai saya, dan... dan, seperti kata saya
tadi, dia sangat cantik, dan sepertinya dia tahu apa
yang dilakukannya dan semuanya itu...” Suaranya
menghilang. Dia mendongak. "Kemudian peristiwa itu
terjadi. Dia ingin saya menikahinya. Saya tidak tahu
apa yang harus saya lakukan. Saya sudah bertunangan
dengan seorang gadis di London. Kalau dia sampai
mendengar tentang hal ini—dan dia pasti mendengar-
nya—yah, pertunangan kami akan putus. Dia pasti ti-
dak mau menerimanya. Bagaimana mungkin? Dan
saya memang seorang pecundang. Seperti kata saya
tadi, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya
berusaha menghindari bertemu dengan Rose lagi. Saya
pikir setelah kembali ke kota nanti, saya akan menemui
pengacara saya, membuat perjanjian tentang uang dan
hal-hal seperti itu dengannya. Tuhan, betapa bodohnya
saya! Dan sekarang semuanya sangat jelas—kasus ini
memberatkan saya. Tapi mereka membuat kesalahan.
Dia pasti telah bunuh diri.”

"Apakah dia pernah mengancam akan bunuh


diri?”

299
Sandford menggeleng.

"Tidak pernah. Menurut saya, dia bukan tipe se-


perti itu.”

”Bagaimana dengan laki-laki bernama Joe Ellis itu?”

”Si tukang kayu itu? Orang desa yang baik. Du-


ngu—tapi dia tergila-gila pada Rose.”

”Mungkinkah dia cemburu?” pancing Sir Henry.

”Saya rasa mungkin—tapi dia tipe orang yang lam-


ban. Dia lebih suka menyimpan penderitaannya sen-
diri.”

”Yah,” kata Sir Henry. "Saya harus pergi.”

Dia kembali bergabung dengan yang lainnya.

”Melchett,” katanya, ”saya rasa kita harus menemui


laki-laki satunya—Ellis—sebelum kita melakukan se-
suatu yang drastis. Sayang kalau Anda sampai keliru
menahan seseorang. Setidaknya, kecemburuan merupa-
kan motif yang cukup kuat untuk membunuh—dan
juga sangat lazim.”

”Memang benar,” kata si inspektur. "Tapi Joe Ellis


bukan orang seperti itu. Dia bahkan tak bisa mem-
bunuh seekor lalat. Yah, tak seorang pun pernah me-
lihatnya marah. Tapi saya setuju kalau kita lebih baik
bertanya kepadanya, di mana dia berada kemarin ma-
lam. Saat ini dia pasti sudah ada di rumah. Dia me-
nyewa sebuah kamar di rumah Mrs. Bartlett—seorang
janda yang baik hati, pekerjaannya mencucikan pa-
kaian orang lain.”

Rumah kecil yang mereka kunjungi sangat bersih


dan rapi. Seorang wanita setengah baya berperawakan
besar membukakan pintu untuk mereka. Wajahnya
menyenangkan dan matanya biru.

300
”Selamat pagi, Mrs. Bartletr,” kata si inspektur.
”Apakah Joe Ellis ada?”

”Dia baru saja kembali sepuluh menit yang lalu,”


kata Mrs. Bartlett. "Silakan masuk.”

Sambil mengelap tangannya di celemek, dia me-


mimpin mereka masuk ke sebuah ruang tamu kecil
yang penuh dengan burung-burung mainan, anjing-
anjing keramik, sebuah sofa, dan beberapa perabotan
yang tidak jelas kegunaannya.

Mrs. Bartlett buru-buru mengatur tempat duduk


untuk tamu-tamunya, menyingkirkan sebuah meja
kecil agar ruangan itu menjadi lebih luas, kemudian
keluar dan berseru,

"Joe, ada tiga bapak ingin bertemu denganmu.”

Sebuah suara menjawab dari arah dapur,

”Saya akan ke sana setelah selesai membersihkan


diri.”

Mrs. Bartlett tersenyum.

”Masuklah, Mrs. Bartlett,” kata Kolonel Melchett.


”Duduklah di sini.”

"Oh, tidak, Sir, tidak perlu.”

Mrs. Bartletr tampak terkejut mendengar ajakan


itu.

”Menurut Anda, apakah Joe Ellis seorang penyewa


yang baik?” tanya Melchett sambil lalu, seakan-akan
dia cuma bermaksud mengobrol.

"Tidak ada yang lebih baik daripada dia, Sir. Dia


sangat sopan. Tidak pernah minum-minum sedikit
pun. Dia juga sangat bangga dengan pekerjaannya.
Selalu bersikap baik dan gemar membantu. Dialah
yang memasangkan rak-rak itu untuk saya, dia juga

301
membuatkan lemari baru di dapur. Segala hal kecil di
rumah ini yang harus dibetulkan... yah, Joe-lah yang
mengerjakannya, dan dia bahkan tidak mau menerima
ucapan terima kasih. Ah! Tidak banyak orang muda
seperti Joe, Sir.”

"Gadis yang mendapatkannya pasti sangat berun-


tung,” kata Melchett. "Dia sangat baik pada Rose
Emmott, gadis malang itu, bukan?”

Mrs. Bartlett mendesah.

”Itulah yang membuat saya kesal. Joe sangat me-


mujanya, tapi gadis itu sama sekali tidak peduli pada-
nya.”

”Di mana Joe biasa melewatkan sore harinya, Mrs.


Bartlett?”

”Di sini, Sir, biasanya. Kadang-kadang dia melaku-


kan berbagai pekerjaan di sore hari, dan dia juga se-
dang belajar pembukuan lewat surat.”

”Ah! Begitu. Apakah dia di sini kemarin malam?”

"Ya, Sir.”

"Apakah Anda yakin, Mrs. Bartlett?” kata Sir


Henry dengan tajam.

Mrs. Bartlett menoleh kepadanya.

”Yakin, Sir.”

”Dia tidak pergi sebentar, misalnya, sekitar pukul


delapan lebih tiga puluh menit?”

”Oh, tidak.” Mrs. Bartlett tertawa. "Hampir sepan-


jang malam dia membetulkan lemari dapur itu untuk
saya, dan saya membantunya.”

Sir Henry memandang wajah Mrs. Bartlett yang


sedang tersenyum dan penuh percaya diri itu. Dia
merasa ragu untuk pertama kalinya.

302
Tak lama kemudian, Ellis masuk ke ruangan itu.

Pemuda itu bertubuh tinggi dan berdada bidang,


sangat tampan menurut ukuran orang desa. Mata
birunya memandang malu-malu dan dia memiliki se-
nyum menyenangkan. Secara keseluruhan, tampaknya
dia seorang pemuda raksasa yang ramah.

Melchett membuka percakapan. Mrs. Bartlett kem-


bali ke dapurnya.

”Kami sedang menyelidiki kematian Rose Emmott.


Anda kenal dengannya, Ellis?”

”Ya.” Dia ragu-ragu, kemudian bergumam, ”Saya


berharap dapat menikahinya suatu hari nanti. Gadis
yang malang.”

”Apakah Anda tahu kondisi gadis itu?”

”Ya.” Secercah kemarahan tampak di matanya.


”Laki-laki itu mengecewakannya. Tapi itulah yang ter-
baik. Dia tidak akan bahagia kalau menikah dengan
laki-laki itu. Saya mengira dia akan datang pada saya
kalau hal itu terjadi. Saya pasti akan melindunginya.”

”Meskipun...”

”Itu bukan kesalahannya. Laki-laki itu membujuk-


nya dengan janji-janji manis dan sejenisnya. Oh! Rose
menceritakannya pada saya. Seharusnya dia tidak bu-
nuh diri. Laki-laki itu tidak pantas menerimanya.”

”Di mana Anda berada, Ellis, pada pukul delapan


tiga puluh kemarin malam?”

Apakah itu cuma perasaan Sir Henry saja, atau


benarkah ada selintas kebohongan pada wajah pemuda
itu ketika dia memberikan jawaban—yang kelihatan-
nya sudah disiapkan sebelumnya?

303
”Saya ada di sini. Membetulkan lemari tua di da-
pur untuk Mrs. B. Tanyakan saja padanya. Dia pasti
akan memberitahu Anda.”

”Dia memberikan jawaban itu dengan cepat,” pikir


Sir Henry. "Padahal dia orang yang lamban. Jawaban
itu keluar begitu cepatnya, sehingga aku curiga dia
telah menyiapkannya sebelumnya.”

Tapi dia lalu berkata dalam hati bahwa semua itu


imajinasinya saja. Dia pasti telah berkhayal macam-
macam—ya, bahkan mengkhayalkan adanya kilatan
kebohongan di mata biru itu.

Setelah mengajukan beberapa pertanyaan dan men-


dapatkan jawabannya, mereka meninggalkan rumah
itu. Sir Henry minta izin untuk pergi ke dapur. Mrs.
Bartlett sedang sibuk di depan oven. Dia mendongak
dan tersenyum. Sebuah lemari baru terpasang di din-
ding. Lemari itu belum selesai. Beberapa peralatan
masih berserakan di antara potongan-potongan kayu.

"Apakah lemari itu yang dikerjakan Ellis kemarin


malam?” tanya Sir Henry.

”Ya, Sir, pekerjaannya bagus, bukan? Joe tukang


kayu yang sangat pandai.”

Tidak ada rasa takut pada pandangan mata wanita


itu—maupun rasa malu. Tapi Ellis—apakah itu hanya
imajinasi Sir Henry saja? Tidak, pandangan matanya
tadi jelas menyiratkan sesuatu.

”Aku harus memancingnya,” pikir Sir Henry.

Ketika berbalik untuk meninggalkan dapur, dia me-


nabrak sebuah kereta dorong.

”Mudah-mudahan si bayi tidak terbangun,” kata-


nya.

304
Mrs. Bartlett tertawa.

"Oh, tidak, Sir. Saya tidak punya anak—sayang


sekali. Kereta itu saya gunakan untuk mengangkut
cucian saya, Sir.”

"Oh! Begitu...”

Dia berhenti sejenak, kemudian tiba-tiba saja ber-


kata,

”Mrs. Bartlett, Anda kenal dengan Rose Emmott.


Coba ceritakan pendapat Anda terhadapnya.”

Mrs. Bartlett memandang Sir Henry dengan cu-


riga.

”Yah, Sir, menurut saya, dia gadis nakal. Tapi dia


sudah meninggal—dan saya tidak suka membicarakan
hal-hal buruk mengenai orang yang sudah mati.”

”Tapi saya punya alasan-alasan yang sangat baik


untuk menanyakannya.”

Sir Henry berbicara dengan nada membujuk.

Mrs. Bartlett sepertinya mempertimbangkan hal


itu. Dia menatap Sir Henry lekat-lekat. Akhirnya dia
mengambil keputusan.

"Gadis itu kelakuannya buruk, Sir,” katanya per-


lahan. "Saya tidak mau mengatakannya di depan Joe.
Gadis itu benar-benar telah menjeratnya. Jenis seperti
dia memang pintar—sayang sekali. Anda pasti tahu
mengenainya, Sir.”

Ya, Sir Henry tahu tentang hal itu. Dunia orang-


orang semacam Joe Ellis mudah hancur. Mereka sa-
ngat polos. Pengkhianatan cinta akan menimbulkan
shock yang jauh lebih besar bagi mereka daripada
bagi orang-orang biasa.

Sir Henry meninggalkan rumah itu dalam keadaan

305
bingung. Dia menghadapi jalan buntu. Joe Ellis telah
bekerja sepanjang malam di dalam rumah. Mrs.
Bartlett benar-benar berada di situ mengawasinya.
Mungkinkah dia dapat lolos dari mata wanita itu?
Tak ada sesuatu pun yang mencurigakan—kecuali
mungkin jawaban Joe Ellis yang terlalu siap itu—se-
pertinya cerita itu sudah dipikirkan sebelumnya.

”Yah,” kata Melchett, "kelihatannya kasus ini sudah


jelas, bukan?”

”Benar, Sir,” kata si inspektur menyetujui. ”Sandford-


lah pelakunya. Tak dapat disangkal lagi. Kasus ini se-
jelas siang hari. Menurut saya, gadis itu dan ayahnya
mungkin... yah... telah memerasnya. Dia tidak punya
uang, dan dia tak ingin persoalan itu sampai ke telinga
kekasihnya. Dia putus asa, lalu mengambil tindakan
itu. Bagaimana menurut Anda, Sir?” tambahnya, ber-
tanya pada Sir Henry.

”Kelihatannya memang demikian,” kata Sir Henry


mengakui. "Tapi... saya tak bisa membayangkan Sand-
ford melakukan perbuatan jahat apa pun.”

Tapi dia tahu bahwa keberatannya itu sama sekali


tidak beralasan. Binatang yang paling lemah pun ka-
lau merasa terpojok mampu melakukan tindakan me-
nakjubkan.

”Saya ingin bertemu dengan anak laki-laki yang


mendengar suara jeritan itu,” katanya tiba-tiba.

Jimmy Brown ternyata seorang anak laki-laki yang


cerdas, tubuhnya agak kecil untuk anak seumurnya,
tapi dia memiliki wajah cerdik dan sedikit nakal. Dia
senang sekali ditanyai dan agak kecewa ketika disuruh

306
menceritakan ulang pengalamannya yang dramatis itu,
tentang apa yang didengarnya pada malam kejadian
itu.

”Kudengar kau berada di sisi lain jembatan itu,”


kata Sir Henry. "Di seberang sungai yang berada di
dekat desa. Apa kau melihat seseorang di sisi itu pada
saat kau mendekati jembatan?”

”Ada seseorang sedang berjalan-jalan di hutan. Ku-


rasa orang itu Mr. Sandford, arsitek yang sedang
membangun rumah berbentuk aneh itu.”

Ketiga laki-laki itu saling pandang.

"Waktu itu sekitar sepuluh menit sebelum kau men-


dengar suara jeritan?”

Anak laki-laki itu mengangguk.

"Apakah kau melihat orang lain—di sisi sungai


yang dekat dengan desa?”

”Ada seorang laki-laki berjalan di pinggir sungai.


Berjalan perlahan-lahan sambil bersiul. Mungkin Joe
Ellis.”

”Tak mungkin kau melihat siapa orang itu,” kata


si inspektur dengan nada tajam. ”Kan ada kabut tebal
di mana-mana dan saat itu sudah malam.”

”Aku cuma menebaknya dari siulannya,” kata anak


laki-laki itu. ”Joe Ellis selalu menyiulkan lagu yang
sama—I wanner be happy—itu satu-satunya lagu yang
diketahuinya.”

Nada bicaranya seperti seorang pencinta aliran mu-


sik modern yang sedang mencemooh lagu-lagu kuno.

”Siapa saja mungkin menyiulkan lagu yang sama,”


kata Melchett. "Apakah dia pergi menuju jembatan?”

"Tidak. Ke arah sebaliknya—menuju desa.”

307
”Saya rasa kita tak perlu membuat pusing diri sen-
diri dengan orang yang tidak dikenal ini,” kata
Melchett. "Kau mendengar jeritan dan suara ceburan,
kemudian beberapa menit sesudahnya kau melihat
tubuh seseorang mengambang di air, dan kau berlari
mencari pertolongan, menuju ke arah jembatan, me-
nyeberanginya, dan langsung menuju desa. Apa kau
tidak melihat seseorang di dekat jembatan itu pada
saat kau berlari mencari pertolongan?”

”Kurasa ada dua laki-laki dengan gerobak dorong


di pinggir sungai, tapi mereka cukup jauh dan aku
tidak yakin apakah mereka pergi menjauhi atau men-
dekati jembatan itu, lagi pula rumah Mr. Giles-lah
yang paling dekat jadi aku pergi ke sana.”

”Tindakanmu sudah benar,” kata Melchett. "Kau


bertindak dengan penuh tanggung jawab dan berakal
sehat. Kau anggota pramuka, bukan?”

"Ya, Sir.”

”Bagus. Sangat bagus.”

Sir Henry diam saja—dia sedang berpikir. Dia


mengambil selembar kertas dari saku baju, mengamat-
amatinya, kemudian menggeleng. Kelihatannya tak
mungkin, tapi...

Dia memutuskan untuk mengunjungi Miss Marple.

Miss Marple menyambut Sir Henry di ruang


tamunya yang kuno dan cantik serta agak terlalu sesak.

”Aku datang untuk melaporkan perkembangan ka-


sus itu,” kata Sir Henry. "Aku khawatir keadaannya
tidak terlalu baik bagi kita. Mereka akan menahan
Sandford. Dan harus kukatakan, menurutku tindakan
mereka itu beralasan.”

308
”Jadi, Anda tidak menemukan apa-apa—apa yang
harus kukatakan, ya—untuk mendukung teoriku?”
Dia kelihatannya bingung—cemas. "Mungkin aku
yang salah—benar-benar salah. Anda memiliki penga-
laman yang sangat luas—Anda pasti telah mencium-
nya bila dugaanku itu benar.”

”Di satu sisi,” kata Sir Henry, "aku meragukannya.


Tapi di sisi lain, kita menghadapi alibi yang sangat
kuat. Joe Ellis sedang membetulkan rak-rak di dapur
sepanjang malam itu, dan Mrs. Bartlett melihatnya
bekerja.”

Miss Marple mencondongkan tubuh ke depan


sambil menahan napas.

"Tapi itu tak mungkin,” katanya. "Malam itu


Jumat malam, bukan?”

"Jumat malam?”

”Ya—Jumat malam. Pada hari Jumat sore, Mrs.


Bartlett biasanya mengantarkan cucian yang telah di-
kerjakannya ke rumah langganan-langganannya.”

Sir Henry menyandarkan punggung ke kursi. Dia


teringat cerita Jimmy tentang orang yang bersiul-siul
dan... ya... semuanya pas.

Dia bangkit dan menyalami Miss Marple dengan


hangat.

”Kurasa aku telah menemukan jawabannya,” kata-


nya. "Setidaknya aku bisa mencobanya.”

Lima menit kemudian, dia sudah kembali berada


di rumah Mrs. Bartlett, duduk berhadap-hadapan de-
ngan Joe Ellis di ruang tamu kecil di rumah itu, di
antara anjing-anjing keramik.

”Anda berbohong pada kami, Ellis, tentang kema-


309
rin malam,” katanya dengan nada datar. "Anda tidak
sedang berada di dapur, membetulkan lemari pada
sekitar jam delapan dan delapan tiga puluh. Anda se-
dang menyusuri jalan setapak di pinggir sungai, yang
menuju ke arah jembatan, beberapa menit sebelum
Rose Emmott dibunuh.”

Napas pemuda itu tersentak.

”Dia tidak dibunuh—dia tidak dibunuh. Saya tidak


melakukan apa-apa. Dia menceburkan dirinya sendiri,
pasti. Dia sudah benar-benar putus asa. Saya tidak
akan pernah menyakitinya, takkan pernah.”

”Lalu mengapa Anda berbohong tentang di mana


Anda berada kemarin malam?” desak Sir Henry.

Mata pemuda itu bergerak-gerak dan dia menun-


dukkan kepalanya dengan resah.

”Saya ketakutan. Mrs. B melihat saya di sekitar


sungai itu, kemudian ketika kami mendengar tentang
apa yang terjadi... yah, dia berpikir hal itu akan me-
nimbulkan masalah bagi saya. Saya lalu mengarang
cerita bahwa saya bekerja di sini, dan dia setuju un-
tuk menguarkan cerita saya. Dia betul-betul wanita
yang langka. Dia selalu baik pada saya.

Tanpa sepatah kata pun Sir Henry meninggalkan


ruangan itu dan berjalan menuju dapur. Mrs. Bartlett
sedang mencuci di tempat cucian.

”Mrs. Bartlett,” katanya. ”Saya tahu semuanya.


Saya rasa lebih baik Anda mengaku—kecuali Anda
ingin Joe Ellis digantung untuk sesuatu yang tidak
dilakukannya. Tidak. Saya rasa Anda tidak mengingin-
kannya. Saya akan mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi. Anda sedang membawa pulang cucian. Anda

310
berpapasan dengan Rose Emmott. Anda kira dia me-
naruh perhatian pada Joe, tapi ternyata dia menyele-
weng dengan orang asing itu. Sekarang dia berada
dalam kesulitan—Joe siap menyelamatkannya—meni-
kahinya kalau perlu, dan kalau gadis itu mau. Joe
sudah empat tahun tinggal di rumah Anda. Anda ja-
tuh cinta padanya. Anda menginginkannya untuk diri
Anda sendiri. Anda membenci gadis itu—Anda tak
bisa menerima kalau pelacur kecil itu mengambilnya
dari Anda. Anda wanita yang kuat, Mrs. Bartlett.
Anda mencengkeram pundak gadis itu dan mendo-
rongnya ke sungai. Beberapa menit kemudian, Anda
bertemu dengan Joe Ellis. Seorang anak laki-laki ber-
nama Jimmy melihat kalian berdua di kejauhan—tapi
karena gelap dan banyak kabut di mana-mana, dia
mengira kereta bayi itu adalah gerobak dorong dan
ada dua orang laki-laki yang mendorongnya. Anda
mengatakan pada Joe bahwa dia akan dicurigai, dan
Anda menciptakan suatu alibi yang kelihatannya
untuk melindungi Joe, tapi sebenarnya alibi itu untuk
Anda sendiri. Saya benar, bukan?”

Sir Henry menahan napas. Dia telah mengeluarkan


semua tuduhannya.

Mrs. Bartlett berdiri di depannya sambil menggo-


sok-gosokkan tangan ke celemek, dan dengan per-
lahan mengambil keputusan.

”Memang begitulah seperti kata Anda, Sir,” katanya


akhirnya, dengan suara tenang (tiba-tiba saja Sir
Henry merasa suara itu adalah suara yang berbahaya).
”Saya tidak tahu apa yang menguasai saya. Gadis itu
betul-betul tidak tahu malu. Pikiran itu datang begitu

311
saja—dia tidak boleh mengambil Joe dari saya. Belum
pernah saya merasakan hidup sebahagia ini, Sir.
Suami saya dulu laki-laki yang malang—dia cacat dan
sungguh sulit menyenangkan hatinya. Saya telah me-
rawat dan menjaganya dengan baik. Kemudian Joe
datang kemari untuk menyewa kamar. Saya belum
terlalu tua, Sir, meskipun rambut saya sudah kelabu.
Saya baru empat puluh tahun, Sir. Joe seperti anak
kecil, begitu baik dan polos. Dia milik saya, Sir, un-
tuk saya rawat dan jaga. Dan gadis itu... gadis itu...”
Dia menelan ludah—meredakan emosinya. Bahkan
pada saat itu dia masih tetap seorang wanita yang
kuat. Dia berdiri dengan tegak dan memandang Sir
Henry dengan penuh rasa ingin tahu. "Saya sudah
siap, Sir. Tak pernah saya sangka akan ada orang yang
tahu. Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa me-
ngetahuinya, Sir—benar-benar tidak mengerti.”

Sir Henry menggelengkan kepalanya perlahan.

”Bukan saya yang tahu,” katanya—dan dia teringat


pada carikan kertas yang masih tersimpan di saku
bajunya, yang berisi kata-kata yang ditulis dengan tu-
lisan tangan kuno dan rapi.

"Mrs. Bartlett, induk semang Joe Ellis di Mill

Cortages No. 2”

312
Pada suatu Selasa malam beberapa tamu
berkumpul di rumah Miss Marple. Lalu
percakapan beralih ke seputar kasus-kasus
kejahatan yang tidak terpecahkan.

Kasus noda darah yang lenyap, pesan seorang


pria yang mati diracun, kasus aneh surat wasiat
yang tidak tampak, peramal yang berpesan
bahwa bunga geranium biru berarti kematian,
dan masih banyak lagi.

Seperti biasa, Miss Marple yang tampak


sederhana dan rapuh lagi-lagi membuat orang
terpana dengan intuisi dan kemampuan
berpikirnya yang tajam.

www.agathachristie.com

Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama NOVEL 0


Kompas Gramedia Building

Blok I, Lantai 5

Jl. Palmerah Barat 29-37

Jakarta 10270

www.gpu.id 617185021

www.gramedia.com

Anda mungkin juga menyukai