” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018
Jarod Setiaji
PENDAHULUAN
Aktivitas-aktivitas manusia yang berlokasi di daerah aliran sungai dan wilayah pesisir baik
langsung maupun tidak langsung berpotensi mencemari lingkungan perairan. Beragam proses-
proses fisik, aktivitas industri dan antropogenik serta transportasi laut memberikan kontribusi
pada konsentrasi senyawa organik dan anorganik yang mempengaruhi distribusi serta aktivitas
bakteri (Santos et al. 2013). Turunnya kualitas lingkungan perairan dikawasan pesisir merupakan
efek yang biasa terjadi akibat masuknya bahan pencemar ke lingkungan perairan. Di lingkungan
perairan tersebut, keterlibatan mikroorganisme jelas tidak dapat diabaikan (Feliatra et al. 2011).
Bakteri heterotrofik memiliki peran sangat penting untuk ekosistem laut, mampu
memanfaatkan bahan organik maupun anorganik pada lingkungan tempat tumbuhnya sebagai
sumber nutrisi. Palimirmo et al. (2016) bakteri heterotrofik berfungsi sebagai dekomposer dan
terkait erat dengan siklus hara terutama nitrat dan fosfat. Bakteri heterotrofik memiliki peran
sebagai perombak dan mampu remineralisasi bahan-bahan organik menjadi komponen anorganik
sederhana yang dikembalikan ke dalam tanah dan atmosfer sebagai hara (Luo et al. 2010: Bouvy
et al. 2011; Mitbavkar et al. 2012; Kong dan Ye, 2014).
Bakteri heterotrofik dan mikroorganisme lainnya merupakan organisme yang berperan
penting dalam siklus biogeokimia di dalam ekosistem perairan, karena bakteri mampu melakukan
dekomposisi dan remineralisasi bahan-bahan organik menjadi komponen anorganik yang lebih
sederhana dan merupakan hara untuk fitoplankton, perifiton dan mikroflora akuatik lainnya
(Kunarso dan Agustin, 2012).
Di perairan laut terdapat berbagai jenis mikroorganisme, baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan organisme lainnya. bakteri Bakteri patogen merupakan jenis bakteri
yang dapat menimbulkan efek negatif bagi inangnya termasuk ikan. Feliatra et al (2012)
kehadiran jenis bakteri patogen seperti Vibrio sp, Aeromonas sp dan Pseudomonas sp akan
menyebabkan penyakit, terutama pada ikan budidaya sehingga perlu diantisipasi untuk
pencegahannya. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mencegah bakteri patogen
yang menginfeksi ikan yaitu dengan senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba dapat diperoleh
dari tanaman, hewan atau dihasilkan oleh mikroba yang umumnya dikenal dengan istilah
biopreservatif.
Beragamnya jenis bakteri yang terdapat di perairan laut, menyebabkan perlunya metode
identifikasi yang baik. Untuk mengetahui jenis bakteri secara genetik dan secara molekuler
menggunaan PCR (Polymerase Chain Reaction). Untuk identifikasi yang lebih akurat dapat
digunakan primer spesifik dan perunutan DNA (DNA sequencing). Semakin mirip sekuen
DNAnya, menunjukkan semakin dekat hubungan kekerabatannya (tingkat
keakuratan identifikasi). Suhandono et al. (2011) metode PCR ini dinilai lebih baik dibandingkan
dengan metode lainnya.
Uji genetik untuk proses diidentifikasi yang umum digunakan adalah dengan metode 16S
rDNA (Feliatra et al. 2014; Feliatra et al. 2016; Roslin et al. 2017). Penggunaan 16S rDNA telah
digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif dan praktis untuk
mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis bakteri heterotrofik laut yang bersifat antagonis terhadap bakteri patogen
pada ikan.
METODE PENEITIAN
Uji PCR
Uji PCR dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan 1x Buffer PCR 5 μl, 2mM dNTP
5 μl, 5 Unit dt 0,25 μl dan aquades 36,75 μl, selanjutnya dilakukan pipeting untuk
menghomogenkan seluruh bahan, lalu bahan tersebut dimasukkan ke dalam tube khusus PCR.
Selanjutnya dimasukkan DNA bakteri sebanyak 1 μl dan ditambahkan Primer 24F: S’ AGA GTT
TGA TCC TGG CT 3’ dan 1541R: S’ AAG GAG GTG ATC CAG CCG CA 3’ masing-masing
sebanyak 1 μl, sehingga diperoleh seluruh bahan berjumlah 50 μl seperti tabel berikut.
Setelah seluruh bahan tercampur, selanjutnya tube PCR dimasukkan ke dalam alat PCR,
dan disetting dengan beberapa tahap, antara lain: Pra PCR pada suhu 94oC selama 5 menit,
Denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, Anealing pada suhu 50oC selama 45 detik dan
Extension pada suhu 72oC selama 90 detik (tahap Denaturasi, Anealing dan Extension dilakukan
sebanyak 35 siklus) serta yang terakhir adalah pasca PCR pada suhu 72oC selama 10 menit.
Elektroforesis DNA
Metode elektroforesis dengan Gel Agarose dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan
yakni: pertama, persiapan Gel Agarose dengan konsentrasi Agarose yang disesuaikan dengan
ukuran DNA fragmen yang akan dipisahkan ; kedua, DNA sampel dimasukkan ke dalam lubang
gel dan gel diletakkan di bak elektrofresis yang dialiri listrik dengan tegangan dalam waktu
tertentu sehingga menghasilkan pemisahan yag baik; ketiga, gel direndam dalam larutan TBE 1x
yang telah digunakan pada gel penyangga elektroforesis.
Sebelum elektroforesis, Gel Agarose dibuat terlebih dahulu yaitu mengencerkan larutan
TBE 10x menjadi larutan TBE 1x dengan melarutkan 100 ml TBE dengan 900 ml aquades.
Selanjut Agarose dibuat dengan konsentrasi 0,8%, dengan cara mencampurkan 0,4 gram bubuk
Gel Agarose dalam 50 ml TBE 1x dan 5 µl ETBR. Kemudian seluruh bahan dipanaskan
menggunakan Hot Plate sampai larutan mendidih dan menjadi bening.
Bahan kemudian didinginkan, setelah dingin bahan dituangkan ke cetakkan Tray and Comb
yang telah dipasang sisir, dalam proses ini tidak boleh terdapat gelembung. Setelah Gel Agarose
dingin dan memadat kemudian sisir dilepaskan dan dimasukkan ke dalam elektroforesis yang
telah di berisi larutan TBE 1x.
2 µl marker dan 2 µl Loading dye kemudian dicampurkan terlebih dahulu untuk marker
dan 2 µl DNA untuk sampel DNA, pencampuran dilakukan pada kertas Farafilm. Hasil
pencampuran kemudian diletakkan pada sumur pada cetakan, kemudian dielektroforesis pada
tegangan 100 volt selama 40 menit, lalu dimasukkan pada UV Transmilator dan difoto.
(2014) dan Adithya (2017), bakteri heterotrofik yang ditemukan rata-rata memiiki bentuk koloni
bundar dan menyebar, serta berwarna putih.
Daya hambat bakteri heterotrofik JS6, JS11 dan JS22 terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio
alginolyticus tergolong sedang dan JS4, JS8, JS10, JS19 dan JS25 tergolong lemah. Daya hambat
bakteri heterotrofik terhadap pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila hanya JS19 yang
tergolong sedang dan isolat bakteri yang lainnya tergolong lemah. Daya hambat bakteri
heterotrofik terhadap pertumbuhan bakteri Pseudomonas sp. hanya JS4 yang tergolong sedang
dan isolat bakteri yang lainnya tergolong lemah.
Berdasarkan uji antagonis diperoleh isolat bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri patogen, ditandai dengan terbentuknya zona hambat pada media uji. Semakin besar
diameter zona bening yang dihasilkan dalam uji in vitro, maka semakin kuat daya hambat suatu
antimikroba. Menurut Greenwood dalam Susana (2017), bahwa klasifikasi respon hambatan
pertumbuhan bakteri apabila diameter zona hambat lebih besar dari 20 mm maka respon hambatan
pertumbuhannya sangat kuat, apabila diameter zona hambat berkisar antara 10-20 mm maka
respon hambatan pertumbuhannya dikatagorikan kuat, apabila diameter zona hambat berkisar
antara 5-10 mm maka respon hambatan pertumbuhannya dikatagorikan sedang, sedangkan
diameter zona hambat lebih kecil dari 5 mm maka respon hambatan pertumbuhannya
dikatagorikan lemah.
Uji antagonis bakteri heterotrofik terhadap bakteri patogen menunjukkan hasil yang
berbeda pada setiap isolat. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan ini, diduga karena
perbedaan kemampuan menghasilkan enzim antibakteri oleh masing-masing jenis bakteri
heterotrofik. Elifah (2010), bahwa diameter hambat tidak selalu naik sebanding dengan naiknya
konsentrasi antibakteri. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kecepatan difusi senyawa
antibakteri pada media agar, jenis dan konsentrasi senyawa antibakteri dari metabolik sekunder
yang dihasilkan. Secara umum kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri disebabkan
faktor; produksi antibiotik, bakteriosin, siderphores, lisosom, protease dan hidrogen peroksida
atau mempengaruhi pH media dengan menghasilkan asam organik tertentu.
Terbentuknya zona bening dikarenakan adanya penghambatan senyawa antimikroba
terhadap sel-sel mikroba. Mekanisme kerja dari suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan
dengan cara menganggu atau merusak penyusun dinding sel, bereaksi dengan membran sel yang
Amplifikasi isolat bakteri yang memiliki pita tunggal menunjukkan bahwa primer yang
digunakan adalah primer spesifik untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA pada bakteri.
Amplifikasi 16S rDNA telah menjadi standar untuk mempelajari filogenetik dan keanekaragaman
dari mikroorganisme laut.
Tabel 4. Hasil penelusuran sekuen 16S rDNA isolat bakteri heterotrofik dengan sistem BLAST
Query
Isolat Spesies Strain ID Homology
Coverage
JS4 Bacillus sp. DF-1 EU600242.1 99% 99%
JS6 Bacillus cereus HY339 MF 185139.1 76% 91%
JS8 Bacillus toyonensis DFT-2 KY750686.1 95% 96%
JS10 Bacillus cereus DFT-5 KY750689.1 95% 96%
JS11 Bacillus sp. SMMA8 LN869534.1 99% 99%
JS19 Pseudoalteromonas sp. DJ8 MG561859.1 99% 99%
JS22 Bacillus cereus RW130 MH010181.1 99% 98%
JS25 Bacillus sp. BP-Nof-Ay KX644098.1 94% 97%
Berdasarkan hasil analisis BLAST selanjutnya dibuat pohon filogenetik untuk melihat
hubungan kekerabatan antar isolat bakteri, berdasarkan kemiripan dan perbedaan karakteristik
genetiknya. Pohon filogenetik dibuat dengan menggunakan software Omega 6 (Gambar 2).
Isolat JS4 memiliki homologi 99% dengan bakteri Bacillus sp. strain DF-1 dan isolat JS11
memiliki homologi 99% dengan bakteri Bacillus sp. strain SMMA8. Isolat JS25 memiliki
homologi 97% dengan bakteri Bacillus sp. strain BP-Nof-Ay. Tingkat homologi pada isolat JS4
dan JS11 menunjukkan kekerabatan sampai tingkat spesies terhadap bakteri Bacillus sp. Janda
dan Abbott (2007) menyatakan jika homologi mempunyai persentase mendekati 100% atau diatas
97% dapat dikonfirmasi sebagai suatu spesies yang sama. Namun sebaliknya jika homologinya
kecil dari 97% kemungkinan isolat tersebut spesies baru.
Isolat JS6 memiliki homologi 91% dengan bakteri Bacillus cereus strain HY339, JS10
memiliki homologi 96% dengan bakteri B. cereus strain DFT-5. Dilihat dari tingkat homologinya
isolat JS6 dan JS10 berkemungkinan merupakan spesies baru, yang urutan basa nitrogennya
belum terdaftar dalam database Genbank. Isolat JS22 memiliki homologi 98% dengan bakteri B.
cereus strain RW10. Hasil ini menunjukkan isolat JS22 merupakan spesies yang sama dengan B.
cereus. Isolat JS8 memiliki tingkat homologi 96% dengan bakteri Bacillus toyonensis strain DFT-
2. Berdasarkan uji biokimia, ketujuh isolat bakteri heterotrofik ini merupakan bakteri dari genus
Bacillus dengan karakteristik gram positif dan motil. Bentuk koloni bundar, tepian koloni licin,
elevasi koloni datar sampai timbul atau cembung dan warna koloni putih atau putih kekuningan.
Katalase positif, indol negatif, uji MR negatif.
B. cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam famili Bacillaceae.
Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik
fakultatif, katalase positif dan merupakan bakteri gram positif berbentuk batang. B. cereus
termasuk salah satu organisme mesofilik. B. cereus dapat tumbuh dengan baik pada media NA
yang diinkubasi dengan suhu rata-rata 28,8 oC. Susana (2017), bakteri B. cereus mampu
menghasilkan senyawa antimikroba dan dapat menghambat bakteri patogen yaitu V.
algynolyticus, A. hydrophila dan Pseudomonas sp. yang ditandai dengan terbentuknya zona
bening pada saat uji antagonis. Kemampuan ini diduga karena bakteri dari jenis ini menghasilkan
senyawa antibiotik. Senyawa ini merupakan kumpulan zat-zat kimia yang diproduksi oleh
mikroorganisme diantaranya oleh fungi dan bakteri yang memiliki fungsi menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. Nishijima et al. (2005) menyatakan bahwa
spesies Bacillus menghasilkan sedikitnya 66 jenis antibiotik dan strain tertentu dari Bacillus
merupakan agen biokontrol. Zidour et al.(2017), jenis metabolit sekunder yang dihasilkan dari
bakteri laut sebagai senyawa antimikroba, dari Bacillus pumilus adalah Amoniumasin dan Xiu et
al.(2017) memperoleh Pumilacidin dari Bacillus sp.
Bakteri B. cereus sering dipakai dalam penelitian yang berkaitan dengan probiotik.
Probiotik yang digunakan pada mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek baik atau
menguntungkan pada organisme lain atau inangnya. Umoro (2016), bakteri B. cereus digunakan
sebagai probiotik pada budidaya perikanan yang diambil dari saluran pencernaan karena bakteri
ini memiliki zat antimikroba yaitu bakteriosin. Drieder et al. (2006), bakteriosin merupakan
senyawa antimikroba polipeptida yang disintesis di ribosom oleh bakteri gram positif atau gram
negatif. Umoro (2016), senyawa bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri berbeda-beda pada
setiap jenis bakteri. Pada bakteri jenis B. cereus senyawa bakteriosin yang dihasilkan yaitu Cerein
GN105, Cerein 7A dan Cerein 7B. Panunjang et al. (2015) menyatakan bakteri dari jenis ini tidak
hanya dijumpai di tanah, air, makanan fermentasi tetapi juga ditemukan di perairan pantai.
Isolat JS19 mempunyai kemiripan homologi 99% dengan bakteri Pseudoalteromonas sp.
strain DJ8. Ini menunjukkan tingkat homologinya sama sampai tingkat spesies. Gauithier dalam
Wiguna et al. (2016), Bakteri Pseudoalteromonas sp. merupakan bakteri gram negatif, merupakan
bakteri aerob berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung. Bakteri Pseudoalteromonas sp.
ditemukan pada perairan laut dan melekat pada permukaan batu, ganggang, terumbu karang,
binatang laut, sedimen laut, dan juga dijumpai pada perairan pantai.
Pringgenies et al. (2011), bakteri Pseudoalteromonas mengandung zat-zat kimia seperti:
Nitrogen oxide (N20), acetic acid,- Ethylic acid, Propanoic acid, 2-methyl-(CAS) Isobutyric acid
sedangkan untuk Vibrio sp. mengandung Propanoic acid, 2-methyl-(CAS) Isobutyric acid,
Butanic acid, 2-methyl-(CAS) 2-Methylbutanoid acid. Kandungan senyawa tersebut
teridentifikasi mampu menghambat bakteri Klebsiella, Pseudomonas, Staphylococcus, E. Coli
dan Enterobakter. Wiguna et al. (2016), bakteri Pseudoalteromonas yang bersimbion dengan
karang lunak Sarcophyton sp. mampu menghasilkan pigmen karotenoid, yang memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bakteri heterotrofik yang diperoleh dari air
laut, memiliki kemiripan dengan bakteri Bacillus sp. Bacillus cereus, Bacillus toyonensis dan
Pseudoalteromonas sp. Bakteri tersebut memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri patogen Vibrio alginolyticus, Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. dengan
kemampuan hambat berkategori lemah (0,5 mm sampai 4,8 mm) dan sedang (5,2 mm sampai 6,5
mm).
DAFTAR PUSTAKA
Adithya, D. S. 2017. Penggunaan Bakteri Heterotrofik sebagai Anti Bakteri terhadap Bakteri
Patogen (Vibrio algynolyticus, Aeromona hydrophila dan Pseudomonas sp.) yang diisolasi
dari Perairan Laut Kawasan Industri dan Perairan Estuari Bersalinitas Rendah Kota Dumai,
Provinsi Riau. JOOM, Universitas Riau.
Bouvy, M., Y. Bettarel,. C. Bouvier. 2011. Trophic interactions betweenviruses, bacteria and
anoflagellates under various nutrientconditions and simulated climate change. Environ
Microbiol2011;7: 1842–57.
Drider D, G. Fimland, Y. Hechard, M. McMullen, H. Prevost. 2006. The continuing story of class
IIa bacteriocins. Microbiol Mol Biol Rev. 70(2): 564-582.
Elifah. E. 2010. Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Daun Senggani (Melastoma
candidum, D. Don) Terhadap Escherichia coli dan Bacilus subtilis Serta Profil
Kromatografi Lapis Tipisnya. JOOM, Surakarta: UNS.
Feliatra, F. T.Nogroho, T. Silalahi, S. Y. Octavia. 2011. Skrining Bakteri Vibrio Sp Asli Indonesia
sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Tehnik 16s Ribosomal Dna. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautam Tropis. 3(2): 85-99.
Feliatra, Y. Fitria dan Nursyirwani. 2012. Antagonis Bakteri Probiotik Yang Diisolasi Dari Usus
Dan Lambung Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) Terhadap Bakteri Patogen.
Jurnal Perikanan dan Kelautan 17,1 :16-25
Feliatra, D. Yoswaty, I. Lukistyowati and W. Hasyimi. 2014. The Potential of the isolated
probiotics bacterial from giant prawns’ digestive tract (Macrobrachium rosenbergii, De
Man) with 16S rDNA sequencing technique. Aquacultura Indonesiana, An International
Journal of Indonesian Aquaculture Society. 15 (2): 57-63.
Feliatra, I. Lukistyowati, D. Yoswaty, H. Rerian, D. Melina, W. Hasyim, T. T. Nugroho, A.R.
Fauzi and R. Yolanda. 2016. Phylogenetic analysis to compare populations of acid tolerant
bacteria isolated from the gastrointestinal tract of two different prawn species
Macrobrachium rosenbergii and Penaeus monodon. AACL Bioflux. Vol. 9 (2): 360-368.
Janda, J. M. and S.M. Abbott. 2007. 16s rRNA Gene Sequencing for Bacterial Identification In
the Diagnostic Laboratory: Pulses, Perils, and Pitfalls. J.Clin Microbial. 30(1): 3217-3219.
Kong, X. P and S. H. Ye. The impact of water temperature on water quality indexes in north of
Liaodong Bay. Mar Pollut Bull 2014;80:245–49.
Kunarso, D. H. dan T.I. Agustin. 2012. Kajian bakteri heterotrofik di Perairan laut Halmahera.
Ilmu Kelautan. Vol. 17(2). 63-73.
Lestari, N. W. Budiharjo and A. Pangastuti. 2016. Bakteri Heterotrof Aerobik Asal Saluran
Pencernaan Ikan Sidat (Anguilla Bicolor Bicolor) Dan Potensinya Sebagai Probiotik.
Bioteknologi . Vol 13 (1): 9-17.
Luo, Y. W., M. A. M. Friedrichs, S. C. Doney, M. J. Church and H.W. Ducklow. (2010).
Oceanic heterotrophic bacterial nutrition by semilabile DOM as revealed by data
assimilative modeling. Aquatic Microbiology Ecology, 273-287.
Mitbavkar, S., K.M. Rajaneesh and A. C. Anil. 2012. Picophytoplankton community in a tropical
estuary: detection of prochlorococcus-like populations. Estuar Coast Shelf Sci
2012;107:159–64.
Nishijima, T., K. Toyota and M. Mochizuki. 2005. Predominant culturable Bacillus species in
Japanese arable soils and their potential as biocontrol agents. Microbes and Environments.
20(1): 61-68.
Nuraini, R. 2013. Efektivitas Bakteri Heterotrofik Dalam Mendegradasi Limbah Organik
Penyebab Pencemaran Perairan Tawar. Universitas Pakuan.
Pananjung, A. M. S. Ulfa, E. U. Senjarini, K. Arimurti, S. 2015. Karakterisasi Isolat Bakteri
Fibrinolitik Wu 021055 Asal Perairan Pantai Papuma, Jember. J. Bioteknologi dan
Biosains Indonesia. 2 (1): 1-8
Palimirmo, F. S., A. Damar dan H. Effendi. 2016. dinamika sebaran bakteri heterotrofik di Teluk
Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 21(91): 26-34.
Pringgenies, D., R. Azizah dan E. Windarto. 2011. Potensi Bakteri Simbion/Gastropoda
Pseudoalteromonas sp. dan Vibrio sp. sebagai Bahan Antiseptik. In: Refleksi
Pengembangan Budidaya Kekerangan Di Indonesia. Undip. 177-183.
Romanengko, L.A., T. Naoto, U. Masataka, I.K. Natalia and V.M Valery. 2008. Diversity and
antagonistic activity of sea ice bacteria isolated from the sea of Japan. Microbiol Environ.
2(3): 209-214
Roslin, D.I., Herman, R. Elvyra, N. Sofiyanti dan E. Chahyadi. 2017. Prosedur laboatorium dan
analisis bioinformatika. UR press, Pekanbaru.
Santos, L. M. P., A. L. Santos and F. J. R. Coelho. 2013. Heterotrophic activities of neustonic and
planktonic bacterial communities in an estuarine environment (Ria de Aveiro) J. Plankton
Res. (2014) 36(1): 230–242
Sari, Y. N., S. Sumyarti dan Jamsari. 2013. Isolasi, Karakterisasi dan Identifikasi DNA Bakteri
Asam Laktat ( BAL) yang Berpotensi Sebagai Antimikroba dari Fermentasi Markisa
Kuning (Passiflora edulis var.flavicarfa). Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401),
Volume 2 Nomor 2.
Souhoka, J dan S. I. Patty. 2013. Pemantauan Kondisi Hodrologi dalam Kaitannya dengan
Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Pulau Talise, Sulawesi Utara. J. Ilmiah Platax. (1)3:
138-147.
Suhandono, S.A., Apriyanto, A. Pradita dan R. Anryansyah. 2011. Buku Panduan Praktikum
BiosistematikaMikroba (Ver. Bahasa) - Unpublished . Rev.2
Susana, M. 2017. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Heterotrofik pada Perairan Laut Kawasan
Pemukiman dan Perairan Bersalinitas Rendah Di Kelurahan Purnama Dumai Provinsi
Riau. JOOM, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau.
Umoro, A. 2016. Isolasi Bacillus Sp. Penghasil Bakteriosin dan Peningkatan Aktivitasnya sebagai
Penghambat Vibrio harveyi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Verscheure. L., G. Rombaut, B. Sorgeloos dan W. Vestraete. 2000. Probiotik Bacteria As
Biological Control Agents In Aquaculture. Microbial and mol. Biol. rev.Vol.64: 655-671.
Wiguna, A.S., L. Kusmita dan O.K. Radjasa. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Pigmen Karotenoid
Dari Bakteri Simbion Karang Lunak Sarcophyton Sp. Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Patogen Staphylococcus aureus Atcc 25923. IJPST. Vol, 3 (3); 92-98.
Wijayanto, N. Feliatra and S. Nedi. 2014. Antagonism Test Of Probiotics Bacteria Isolated From
Black Tiger Shrimp (Penaeus Monodon) Against Pathogens (Aeromonas hydrophila,
Pseudomonas sp and Vibrio alginolyticus). JOOM. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau.
Wolf, C.E. and W. R. Gibbons. 1996. Improved method for qualification of bacteriocins nicin.
Appl Bacteriol. 80: 453.
Xiu, P., R. Liu, D. Zhang and C. Sun. 2017. Pumilacidin like lipopeptides derived from marine
Bacterium Bacillus sp. Strain 176 suppress The motility of Vibrio alginolyticus. Appl
Environ Microbiol. Vol. 83 (12): 1-14.