Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional Kelautan XIII

” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

ANALISIS DNA BAKTERI HETEROTROFIK LAUT YANG BERSIFAT


ANTAGONIS TERHADAP BAKTERI PATOGEN PADA IKAN

Jarod Setiaji

Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau


jr.setiaji@agr.uir.ac.id

Abstrak: Bakteri heterotrofik mampu menghasilkan mineral-mineral sebagai nutrien, seperti


pada siklus nitrat dan fosfat. Bakteri heterotrofik sangat berperan dalam sistem perairan
karena kemampuan aktivitas metabolismenya dan bakteri heterotrofik memegang peranan
penting dalam menjaga kelangsungan siklus hidup biota laut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis bakteri heterotrofik laut yang bersifat antagonis terhadap bakteri
patogen pada ikan (Vibrio alginolyticus, Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp).
Metode yang digunakan adalah metode survei, uji biokimia, uji antagonis dengan bakteri
patogen menggunakan metode difusi agar dan identifikasi bakteri heterotrofik secara genetik
dengan metode 16S rDNA. Hasil uji antagonis terhadap bakteri patogen diperoleh delapan
isolat bakteri yang berpotensi menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio alginolyticus,
Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. yaitu: isolat JS4, JS6, JS8, JS10, JS11, JS19,
JS22 dan JS25 dengan rentang zona hambat berkisar antara 0,5-6,5 mm. Hasil identifikasi
bakteri heterotrofik dengan metode 16S rDNA dan penelusuran analisis BLAST delapan
jenis bakteri heterotrofik tersebut ialah; 3 spesies Bacillus sp. dengan tingkat homologi 97-
99%, 3 spesies Bacillus cereus dengan tingkat homologi 91-98%, spesies Bacillus toyonensis
tingkat homologi 96% dan Pseudoalteromonas sp. tingkat homologi 99%.

Kata Kunci: Bakteri, Heterotrofik, 16S rDNA, Patogen

PENDAHULUAN

Aktivitas-aktivitas manusia yang berlokasi di daerah aliran sungai dan wilayah pesisir baik
langsung maupun tidak langsung berpotensi mencemari lingkungan perairan. Beragam proses-
proses fisik, aktivitas industri dan antropogenik serta transportasi laut memberikan kontribusi
pada konsentrasi senyawa organik dan anorganik yang mempengaruhi distribusi serta aktivitas
bakteri (Santos et al. 2013). Turunnya kualitas lingkungan perairan dikawasan pesisir merupakan
efek yang biasa terjadi akibat masuknya bahan pencemar ke lingkungan perairan. Di lingkungan
perairan tersebut, keterlibatan mikroorganisme jelas tidak dapat diabaikan (Feliatra et al. 2011).
Bakteri heterotrofik memiliki peran sangat penting untuk ekosistem laut, mampu
memanfaatkan bahan organik maupun anorganik pada lingkungan tempat tumbuhnya sebagai
sumber nutrisi. Palimirmo et al. (2016) bakteri heterotrofik berfungsi sebagai dekomposer dan
terkait erat dengan siklus hara terutama nitrat dan fosfat. Bakteri heterotrofik memiliki peran
sebagai perombak dan mampu remineralisasi bahan-bahan organik menjadi komponen anorganik
sederhana yang dikembalikan ke dalam tanah dan atmosfer sebagai hara (Luo et al. 2010: Bouvy
et al. 2011; Mitbavkar et al. 2012; Kong dan Ye, 2014).
Bakteri heterotrofik dan mikroorganisme lainnya merupakan organisme yang berperan
penting dalam siklus biogeokimia di dalam ekosistem perairan, karena bakteri mampu melakukan
dekomposisi dan remineralisasi bahan-bahan organik menjadi komponen anorganik yang lebih
sederhana dan merupakan hara untuk fitoplankton, perifiton dan mikroflora akuatik lainnya
(Kunarso dan Agustin, 2012).
Di perairan laut terdapat berbagai jenis mikroorganisme, baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan organisme lainnya. bakteri Bakteri patogen merupakan jenis bakteri
yang dapat menimbulkan efek negatif bagi inangnya termasuk ikan. Feliatra et al (2012)

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-17


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

kehadiran jenis bakteri patogen seperti Vibrio sp, Aeromonas sp dan Pseudomonas sp akan
menyebabkan penyakit, terutama pada ikan budidaya sehingga perlu diantisipasi untuk
pencegahannya. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mencegah bakteri patogen
yang menginfeksi ikan yaitu dengan senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba dapat diperoleh
dari tanaman, hewan atau dihasilkan oleh mikroba yang umumnya dikenal dengan istilah
biopreservatif.
Beragamnya jenis bakteri yang terdapat di perairan laut, menyebabkan perlunya metode
identifikasi yang baik. Untuk mengetahui jenis bakteri secara genetik dan secara molekuler
menggunaan PCR (Polymerase Chain Reaction). Untuk identifikasi yang lebih akurat dapat
digunakan primer spesifik dan perunutan DNA (DNA sequencing). Semakin mirip sekuen
DNAnya, menunjukkan semakin dekat hubungan kekerabatannya (tingkat
keakuratan identifikasi). Suhandono et al. (2011) metode PCR ini dinilai lebih baik dibandingkan
dengan metode lainnya.
Uji genetik untuk proses diidentifikasi yang umum digunakan adalah dengan metode 16S
rDNA (Feliatra et al. 2014; Feliatra et al. 2016; Roslin et al. 2017). Penggunaan 16S rDNA telah
digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif dan praktis untuk
mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis bakteri heterotrofik laut yang bersifat antagonis terhadap bakteri patogen
pada ikan.

METODE PENEITIAN

Uji Aktivitas Antagonis Pada Bakteri Patogen


Pengujian aktivitas antagonistik atau konfrontasi dengan bakteri patogen dilakukan dengan
metode difusi agar, yang mengacu pada metode menurut Wolf dan Gibbons (1996). Bakteri
patogen yang digunakan adalah Aeromonas hydrophila, Vibrio alginolyticus dan Pseudomonas
sp. Bakteri patogen uji yang telah dimurnikan diambil sebanyak 1 ml dan ditanam ke dalam media
nutrien agar dan diratakan agar homogen. Setelah media yang berisi biakan bakteri patogen
memadat diberi kertas cakram yang telah ditetesi dengan larutan antibiotik Amoxan ®500 gr
sebanyak 0,5 µl sebagai kontrol positif, kertas cakram yang ditetesi media nutrien broth sebanyak
0,5 µl sebagai kontrol negatif dan kertas cakram yang ditetesi isolat bakteri heterotrofik sebanyak
0,5 µl dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28oC selama
24 jam. Filtrat yang mengandung substansi antibakteri akan melakukan penghambatan terhadap
bakteri patogen yang dibuktikan dengan adanya zona bening di sekitar cakram. Besarnya aktivitas
antibakteri ditentukan dengan cara mengukur diameter zona bening di sekitar cakram.

Identifikasi Bakteri dengan Metode 16S rDNA


Isolasi DNA
Isolat bakteri yang telah diremajakan pada media NB diambil sebanyak 1,5 ml, dimasukkan
ke dalam micro tube berukuran 2 ml kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm
selama 1 menit. Lalu supernatan dibuang, dan fellet sel bakteri ditambahkan dengan 200µl Buffer
Gram lalu dilakukan pipetting untuk menghomogenkannya. Lalu isolat dipanaskan pada Water
bath pada suhu 37oC selama 10 menit (setiap 3 menit isolat bakteri di bolaik-balik).
Sampel ditambahkan Proteinse K sebanyak 20 µl lalu dilakukan pipetting untuk
menghomogenkan, setelah homogen lalu dibolak-balik sebanyak 4 kali. Kemudian dipanaskan
pada suhu 60oC selama 10 menit (setiap 3 menit isolat bakteri dibolak-balik). Sampel
ditambahkan GB Buffer sebanyak 200 µl, kemudian dipanaskan pada suhu 70oC selama 10 menit
(setiap 3 menit isolat bakteri di bolak-balik), diangkat lalu disentrifugasi selama 3 menit.
Hasil dari proses sentrifugasi yang berupa supernatan dipindahkan pada tube baru, lalu
ditambahkan 200 µl Etanol Absolute, kemudian GD Column dan CT dirakit lalu supernatan yang
telah dicampur 200 µl Etanol Absolute dipindahkan ke GD Column tersebut dan disentrifugasi

C2-18 Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri…


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

selama 2 menit. GD Column kemudian dipindahkan ke CT baru berukuran 2 ml dan ditambahkan


400 µl W1 Buffer, lalu disentrifugasi selama 30 detik. Selanjutnya supernatan dibuang lalu
ditambahkan 600 µl Wash Buffer dan disentrifugasi selama 30 detik dan supernatan dibuang.
CT dipasang kemudian kembali ke GD Coloumn dan disentrifugasi selama 3 menit. GD
Coloumn selanjutnya dipindahkan ke tube yang baru lalu ditambahkan Ellution Buffer sebanyak
60 µl dan ditunggu selama 5 menit, kemudian disentrifugasi kembali selama 1 menit sebanyak 2
kali dan disimpan

Uji PCR
Uji PCR dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan 1x Buffer PCR 5 μl, 2mM dNTP
5 μl, 5 Unit dt 0,25 μl dan aquades 36,75 μl, selanjutnya dilakukan pipeting untuk
menghomogenkan seluruh bahan, lalu bahan tersebut dimasukkan ke dalam tube khusus PCR.
Selanjutnya dimasukkan DNA bakteri sebanyak 1 μl dan ditambahkan Primer 24F: S’ AGA GTT
TGA TCC TGG CT 3’ dan 1541R: S’ AAG GAG GTG ATC CAG CCG CA 3’ masing-masing
sebanyak 1 μl, sehingga diperoleh seluruh bahan berjumlah 50 μl seperti tabel berikut.
Setelah seluruh bahan tercampur, selanjutnya tube PCR dimasukkan ke dalam alat PCR,
dan disetting dengan beberapa tahap, antara lain: Pra PCR pada suhu 94oC selama 5 menit,
Denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, Anealing pada suhu 50oC selama 45 detik dan
Extension pada suhu 72oC selama 90 detik (tahap Denaturasi, Anealing dan Extension dilakukan
sebanyak 35 siklus) serta yang terakhir adalah pasca PCR pada suhu 72oC selama 10 menit.

Elektroforesis DNA
Metode elektroforesis dengan Gel Agarose dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan
yakni: pertama, persiapan Gel Agarose dengan konsentrasi Agarose yang disesuaikan dengan
ukuran DNA fragmen yang akan dipisahkan ; kedua, DNA sampel dimasukkan ke dalam lubang
gel dan gel diletakkan di bak elektrofresis yang dialiri listrik dengan tegangan dalam waktu
tertentu sehingga menghasilkan pemisahan yag baik; ketiga, gel direndam dalam larutan TBE 1x
yang telah digunakan pada gel penyangga elektroforesis.
Sebelum elektroforesis, Gel Agarose dibuat terlebih dahulu yaitu mengencerkan larutan
TBE 10x menjadi larutan TBE 1x dengan melarutkan 100 ml TBE dengan 900 ml aquades.
Selanjut Agarose dibuat dengan konsentrasi 0,8%, dengan cara mencampurkan 0,4 gram bubuk
Gel Agarose dalam 50 ml TBE 1x dan 5 µl ETBR. Kemudian seluruh bahan dipanaskan
menggunakan Hot Plate sampai larutan mendidih dan menjadi bening.
Bahan kemudian didinginkan, setelah dingin bahan dituangkan ke cetakkan Tray and Comb
yang telah dipasang sisir, dalam proses ini tidak boleh terdapat gelembung. Setelah Gel Agarose
dingin dan memadat kemudian sisir dilepaskan dan dimasukkan ke dalam elektroforesis yang
telah di berisi larutan TBE 1x.
2 µl marker dan 2 µl Loading dye kemudian dicampurkan terlebih dahulu untuk marker
dan 2 µl DNA untuk sampel DNA, pencampuran dilakukan pada kertas Farafilm. Hasil
pencampuran kemudian diletakkan pada sumur pada cetakan, kemudian dielektroforesis pada
tegangan 100 volt selama 40 menit, lalu dimasukkan pada UV Transmilator dan difoto.

Purifikasi dan Sekuensing


Purifikasi (pencucian) DNA hasil PCR dari Gel Agarose dilakukan dengan menggunakan
Geneaid Gel/PCR DNA Fragments Extraction Kit. Tujuannya adalah melakukan pemurnian DNA
dari hasil PCR yang telah dilakukan sebelumnya kemudian dilakukan tahapan sekuensing. Pada
purifikasi gel terdapat beberapa tahapan, yaitu Pemisahan Gel, DNA Binding, Pencucian (wash),
dan Elusi DNA. Sampel DNA bakteri untuk sequencing dikirim ke PT. Genetika Science
Indonesia Jakarta Barat, untuk dipurifikasi dan disekuensing kemudian data hasil sekuensing
dianalisis lebih lanjut.

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-19


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Pengambilan dan Kualitas Air


Lokasi pengambilan sampel air berasal dari dua stasiun, pada stasiun 1 diambil di perairan
Kelurahan Sungai Pakning, yang terletak pada posisi 01o21’36,8” Lintang Utara dan
102o09’34,1” Bujur Timur. Sampel air dari stasiun 2 di perairan Desa Pakning Asal pada posisi
01o19’59,4” Lintang Utara dan 102o09’46,7” Bujur Timur. Perairan Kelurahan Sungai Pakning
dan perairan Desa Pakning Asal termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Bukit Batu Kabupaten
Bengkalis.
Keadaan kualitas air suatu perairan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan
suatu organisme. Secara umum pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh parameter kualitas perairan
yang meliputi suhu, derajat keasaman, salinitas dan oksigen terlarut. Hasil pengukuran kualitas
air di stasiun 1 dan 2 adalah pH 7,7 dan 7,6, salinitas 29 ppt dan 27 ppt, suhu 28 oC, kecerahan 42
cm dan 48 cm, oksigen terlarut 6 ppm dan 5,8 ppm, kecepatan arus 0,2 m/s dan 0,07 m/s.
Hasil pengukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan perairan di lokasi
pengambilan sampel sangat mendukung pertumbuhan bakteri heterotrofik. Waluyo dalam Nuraini
(2013) bahwa pH bersifat netral sangat baik untuk mendukung pertumbuhan bakteri heterotrofik.
Nilai oksigen terlarut dan suhu masih tergolong normal dan mendukung untuk pertumbuhan
bakteri heterotrofik. Suhu ini juga masih sesuai untuk kehidupan biota laut yang berkisar antara
28-32oC. Souhoka dan Patty (2013) yang menyatakan variasi suhu perairan untuk biota tropik
tergolong wajar apabila nilainya berkisar antara 25,6- 32,3oC.
Sifat bakteri heterotrofik yang didominasi oleh dari golongan aerob menjadikan bakteri ini
memerlukan oksigen dalam kehidupannya, oksigen ini sendiri dibutuhkan untuk proses
mengubah senyawa organik yang banyak terdapat di perairan untuk kemudian diubah menjadi
senyawa anorganik. Oksigen terlarut merupakan vaiabel kimia yang mempunyai peranan sangat
penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota.

Morfologi Koloni Bakteri


Dari isolasi bakteri yang telah dilakukan didapatkan delapan isolat bakteri yang berbeda
yaitu ; JS4, JS6, JS8, JS10, JS11, JS19, JS22, JS25 dan dilakukan pengamatan karakterisktik
morfologi pada masing-masing koloni (Tabel 1).

Tabel 1. Morfologi Koloni Bakteri

Isolat Bentuk Warna Tepian Elevasi Diameter cm


JS4 Bundar Putih susu Licin Timbul 0,5
JS6 Konsentris Putih susu Licin Timbul 0,95
JS8 Tidak beraturan, menyebar Putih susu Berlekuk Timbul 3,3
JS10 Bundar Putih susu Licin Timbul 6,5
JS11 Tidak beraturan Putih Licin Datar 2,95
JS19 Bundar dgn tepian timbul Putih licin Seperti kawah 0,8
JS22 Tdk beraturan, menyebar Putih kekuningan Licin Timbul 3,1
JS25 Bundar Putih susu Licin Cembung 0,8

Dalam pengamatan morfologi didapatkan ciri-ciri bakteri heterotrofik yang ditemukan


yaitu memiliki bentuk koloni bundar, konsentris, tidak beraturan dan menyebar, tidak beraturan,
bundar dengan tepian timbul dan didominasi oleh warna putih susu. Bentuk tepian didominasi
licin dan elevasinya timbul. Diameter ukuran koloni berkisar antara 0,5 sampai 6,5 cm dan
didominasi warna putih susu.
Hasil penelitian Lestari et al. (2016), tentang potensi bakteri heterotrof sebagai bakteri
probiotik, bakteri heterotrofik yang ditemukan didominasi berwarna putih. Wijayanto et al.

C2-20 Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri…


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

(2014) dan Adithya (2017), bakteri heterotrofik yang ditemukan rata-rata memiiki bentuk koloni
bundar dan menyebar, serta berwarna putih.

Uji Antagonis Bakteri Heterotrofik terhadap Bakteri Patogen


Hasil yang diperoleh pada uji antagonis yang dilakukan sebanyak 3 kali pengukuran,
masing-masing isolat bakteri heterotrofik, mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen
yang ditunjukkan dengan adanya zona bening yang terbentuk disekitar kertas cakram. Besarnya
daya hambat yang dihasilkan dari bakteri heterotrofik tersebut berkisar dari 0,5 mm sampai 6,5
mm (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Daya Hambat Bakteri Heterotrofik terhadap Bakteri Patogen

Diameter Zona Hambat (mm)


Bakteri Heterotrofik Vibrio alginolyticus Aeromonas hydrophila Pseudomonas sp
JS4 4,2 2,5 5,2
JS6 5,3 2,7 1,0
JS8 2,5 2,3 2,5
JS10 4,3 2,7 2,3
JS11 5,3 2,8 1,0
JS19 1,8 5,3 1,3
JS22 6,5 2,2 1,3
JS25 0,5 0,5 4,8

Daya hambat bakteri heterotrofik JS6, JS11 dan JS22 terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio
alginolyticus tergolong sedang dan JS4, JS8, JS10, JS19 dan JS25 tergolong lemah. Daya hambat
bakteri heterotrofik terhadap pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila hanya JS19 yang
tergolong sedang dan isolat bakteri yang lainnya tergolong lemah. Daya hambat bakteri
heterotrofik terhadap pertumbuhan bakteri Pseudomonas sp. hanya JS4 yang tergolong sedang
dan isolat bakteri yang lainnya tergolong lemah.
Berdasarkan uji antagonis diperoleh isolat bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri patogen, ditandai dengan terbentuknya zona hambat pada media uji. Semakin besar
diameter zona bening yang dihasilkan dalam uji in vitro, maka semakin kuat daya hambat suatu
antimikroba. Menurut Greenwood dalam Susana (2017), bahwa klasifikasi respon hambatan
pertumbuhan bakteri apabila diameter zona hambat lebih besar dari 20 mm maka respon hambatan
pertumbuhannya sangat kuat, apabila diameter zona hambat berkisar antara 10-20 mm maka
respon hambatan pertumbuhannya dikatagorikan kuat, apabila diameter zona hambat berkisar
antara 5-10 mm maka respon hambatan pertumbuhannya dikatagorikan sedang, sedangkan
diameter zona hambat lebih kecil dari 5 mm maka respon hambatan pertumbuhannya
dikatagorikan lemah.
Uji antagonis bakteri heterotrofik terhadap bakteri patogen menunjukkan hasil yang
berbeda pada setiap isolat. Perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan ini, diduga karena
perbedaan kemampuan menghasilkan enzim antibakteri oleh masing-masing jenis bakteri
heterotrofik. Elifah (2010), bahwa diameter hambat tidak selalu naik sebanding dengan naiknya
konsentrasi antibakteri. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kecepatan difusi senyawa
antibakteri pada media agar, jenis dan konsentrasi senyawa antibakteri dari metabolik sekunder
yang dihasilkan. Secara umum kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri disebabkan
faktor; produksi antibiotik, bakteriosin, siderphores, lisosom, protease dan hidrogen peroksida
atau mempengaruhi pH media dengan menghasilkan asam organik tertentu.
Terbentuknya zona bening dikarenakan adanya penghambatan senyawa antimikroba
terhadap sel-sel mikroba. Mekanisme kerja dari suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan
dengan cara menganggu atau merusak penyusun dinding sel, bereaksi dengan membran sel yang

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-21


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

menyebabkan peningkatan permeabilitas seluler, inaktifasi enzim-enzim essensial dan destruksi


atau inaktifasi fungsi dan materi genetik (Sari et al. 2013).
Terbentuknya zona hambat oleh bakteri heterotrofik terhadap bakteri patogen
mengindikasikan bahwa bakteri heterotrofik dapat menghasilkan salah satu produk metabolit
sekunder bakteri, yang dapat berupa antibiotik, bakteriosin, ataupun asam organik tertentu.
Verschuere et al. (2000), populasi mikroba dapat melepaskan substansi kimia yang mempunyai
kemampuan bakterisidal atau bakteriostatis yang dapat mempengaruhi populasi mikroba lain.
Romanegko et al. (2008), biosintesis senyawa antimikrobial berperan penting dalam proses
pelekatan, kolonisasi target hingga terjadi kompetisi dalam mendapatkan ruang dan nutrisi antar
mikroba.

Hasil Elektroforesis DNA


Hasil ekstraksi DNA bakteri dielektroforesis dengan menggunakan 0,8 % gel agarose
untuk menunjukkan DNA total yang telah dimurnikan. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan gambar tersebut seluruh isolat bakteri heterotrofik dari PCR menghasilkan pita
tunggal. Besar ukuran PCR yang dihasilkan dapat dikatakan telah sesuai dengan yang diharapkan
dari gen-gen 16S rDNA bakteri yaitu sekitar 1500 bp. dan sesuai dengan perbandingan
menggunakan marker DNA.

Gambar 1. Hasil Elektroforesis DNA Bakteri Heterotrofik

Amplifikasi isolat bakteri yang memiliki pita tunggal menunjukkan bahwa primer yang
digunakan adalah primer spesifik untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA pada bakteri.
Amplifikasi 16S rDNA telah menjadi standar untuk mempelajari filogenetik dan keanekaragaman
dari mikroorganisme laut.

Analisis Sekuen DNA dan BLAST


Sekue tingkat homologinya 91% nsing merupakan proses mengurutkan basa nitrogen
dengan menggunakan mesin ABI 3130 Genetic Analyzer. Sekuensing isolat menggunakan primer
24F: 5’-AGA GTT TGA TCC TGG CT-3’ dan 1541R: 5’-AAG GAG GTG ATC CAG CCG CA-
3’, dilakukan satu arah sebanyak satu kali pada setiap primer yang digunakan dengan siklus bolak
balik. Bentuk dari hasil sekuensing masing masing isolat dalam bentuk elektroforegram dengan
siklus yang terpisah (forward dan reverse). Panjang basa yang diperoleh setelah digabung dengan
fasta forward dan reverse.
Sistem BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) melalui situs
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ untuk mencari nama spesies, presentase homologi DNA hasil
sekuen dengan basis data yang sudah ada di Genbank. Hasil identifikasi masing-masing isolat
bakteri hetertotrofik berdasarkan hasil BLAST dengan homologi tertinggi yang mempunyai
kekerabatan terdekat (Tabel 4).

C2-22 Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri…


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

Hasil penelusuran menggunakan sistem BLAST jenis bakteri heterotrofik memiliki


kemiripan DNA, yaitu isolat JS4, JS11 dan JS25 dengan Bacillus sp. Isolat JS6, JS10 dan JS22
dengan Bacillus cereus. Isolat JS8 dengan Bacillus toyonensis dan isolat JS19 dengan
Pseudoalteromonas sp. Tingkat homologi isolat bakteri heterotrofik berkisar antara 91% sampai
99% dengan jenis bakteri yang terdapat dalam database Genbank. Hagstrom dalam Feliatra et al.
(2011) menyatakan bahwa isolat yang mempunyai persamaan homologi lebih dari 97% dapat
mewakili pada tingkat spesies yang sama. Persamaan homologi antara 93% - 97% dapat mewakili
identitas pada tingkat genus tetapi berbeda pada tingkat spesies. Sedangkan jika dibawah 93%
kemungkinan spesies baru yang urutan basa nitrogennya belum masuk dalam database Genbank.

Tabel 4. Hasil penelusuran sekuen 16S rDNA isolat bakteri heterotrofik dengan sistem BLAST

Query
Isolat Spesies Strain ID Homology
Coverage
JS4 Bacillus sp. DF-1 EU600242.1 99% 99%
JS6 Bacillus cereus HY339 MF 185139.1 76% 91%
JS8 Bacillus toyonensis DFT-2 KY750686.1 95% 96%
JS10 Bacillus cereus DFT-5 KY750689.1 95% 96%
JS11 Bacillus sp. SMMA8 LN869534.1 99% 99%
JS19 Pseudoalteromonas sp. DJ8 MG561859.1 99% 99%
JS22 Bacillus cereus RW130 MH010181.1 99% 98%
JS25 Bacillus sp. BP-Nof-Ay KX644098.1 94% 97%

Berdasarkan hasil analisis BLAST selanjutnya dibuat pohon filogenetik untuk melihat
hubungan kekerabatan antar isolat bakteri, berdasarkan kemiripan dan perbedaan karakteristik
genetiknya. Pohon filogenetik dibuat dengan menggunakan software Omega 6 (Gambar 2).
Isolat JS4 memiliki homologi 99% dengan bakteri Bacillus sp. strain DF-1 dan isolat JS11
memiliki homologi 99% dengan bakteri Bacillus sp. strain SMMA8. Isolat JS25 memiliki
homologi 97% dengan bakteri Bacillus sp. strain BP-Nof-Ay. Tingkat homologi pada isolat JS4
dan JS11 menunjukkan kekerabatan sampai tingkat spesies terhadap bakteri Bacillus sp. Janda
dan Abbott (2007) menyatakan jika homologi mempunyai persentase mendekati 100% atau diatas
97% dapat dikonfirmasi sebagai suatu spesies yang sama. Namun sebaliknya jika homologinya
kecil dari 97% kemungkinan isolat tersebut spesies baru.

LN869534.1 Bacillus sp. SMMA8


KY362202.1 Bacillus thuringiensis strain SH24
HM573365.1 Bacterium EB466
KR085781.1 Bacillus sp. IHBB 9471
FJ785476.1 Bacillus sp. EB422
MH010181.1 Bacillus cereus strain RW130
KY746354.1 Bacillus cereus strain R3
KX644098.1 Bacillus sp. strain BP-Nof-AY
JS10
KY750689.1 Bacillus cereus strain DFT-5
JS11
FJ696639.1 Bacillus cereus strain BE5-5
J22
JF830178.1 Uncultured bacterium clone 112
JS8
KY750686.1 Bacillus toyonensis strain DFT-2
FJ785498.1 Bacillus sp. EB7
KX941837.1 Bacillus cereus strain 2k
MF185139.1 Bacillus cereus strain HY339
KP307835.1 Bacillus sp. MD-C14
JS4
EU600242.1 Bacillus sp. DF-1
KT583387.1 Bacillus sp. C-1-15
JS6
KU898247.1 Uncultured bacterium clone 67
NR 125458.1 Pseudoalteromonas shioyasakiensis strain SE3
JS19
MG561859.1 Pseudoalteromonas sp. strain DJ8
FJ461431.1 Pseudoalteromonas sp. SCSWA21
JS25

Gambar 2. Filogenetik Isolat Bakteri Heterotrofik

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-23


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

Isolat JS6 memiliki homologi 91% dengan bakteri Bacillus cereus strain HY339, JS10
memiliki homologi 96% dengan bakteri B. cereus strain DFT-5. Dilihat dari tingkat homologinya
isolat JS6 dan JS10 berkemungkinan merupakan spesies baru, yang urutan basa nitrogennya
belum terdaftar dalam database Genbank. Isolat JS22 memiliki homologi 98% dengan bakteri B.
cereus strain RW10. Hasil ini menunjukkan isolat JS22 merupakan spesies yang sama dengan B.
cereus. Isolat JS8 memiliki tingkat homologi 96% dengan bakteri Bacillus toyonensis strain DFT-
2. Berdasarkan uji biokimia, ketujuh isolat bakteri heterotrofik ini merupakan bakteri dari genus
Bacillus dengan karakteristik gram positif dan motil. Bentuk koloni bundar, tepian koloni licin,
elevasi koloni datar sampai timbul atau cembung dan warna koloni putih atau putih kekuningan.
Katalase positif, indol negatif, uji MR negatif.
B. cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam famili Bacillaceae.
Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik
fakultatif, katalase positif dan merupakan bakteri gram positif berbentuk batang. B. cereus
termasuk salah satu organisme mesofilik. B. cereus dapat tumbuh dengan baik pada media NA
yang diinkubasi dengan suhu rata-rata 28,8 oC. Susana (2017), bakteri B. cereus mampu
menghasilkan senyawa antimikroba dan dapat menghambat bakteri patogen yaitu V.
algynolyticus, A. hydrophila dan Pseudomonas sp. yang ditandai dengan terbentuknya zona
bening pada saat uji antagonis. Kemampuan ini diduga karena bakteri dari jenis ini menghasilkan
senyawa antibiotik. Senyawa ini merupakan kumpulan zat-zat kimia yang diproduksi oleh
mikroorganisme diantaranya oleh fungi dan bakteri yang memiliki fungsi menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain. Nishijima et al. (2005) menyatakan bahwa
spesies Bacillus menghasilkan sedikitnya 66 jenis antibiotik dan strain tertentu dari Bacillus
merupakan agen biokontrol. Zidour et al.(2017), jenis metabolit sekunder yang dihasilkan dari
bakteri laut sebagai senyawa antimikroba, dari Bacillus pumilus adalah Amoniumasin dan Xiu et
al.(2017) memperoleh Pumilacidin dari Bacillus sp.
Bakteri B. cereus sering dipakai dalam penelitian yang berkaitan dengan probiotik.
Probiotik yang digunakan pada mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek baik atau
menguntungkan pada organisme lain atau inangnya. Umoro (2016), bakteri B. cereus digunakan
sebagai probiotik pada budidaya perikanan yang diambil dari saluran pencernaan karena bakteri
ini memiliki zat antimikroba yaitu bakteriosin. Drieder et al. (2006), bakteriosin merupakan
senyawa antimikroba polipeptida yang disintesis di ribosom oleh bakteri gram positif atau gram
negatif. Umoro (2016), senyawa bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri berbeda-beda pada
setiap jenis bakteri. Pada bakteri jenis B. cereus senyawa bakteriosin yang dihasilkan yaitu Cerein
GN105, Cerein 7A dan Cerein 7B. Panunjang et al. (2015) menyatakan bakteri dari jenis ini tidak
hanya dijumpai di tanah, air, makanan fermentasi tetapi juga ditemukan di perairan pantai.
Isolat JS19 mempunyai kemiripan homologi 99% dengan bakteri Pseudoalteromonas sp.
strain DJ8. Ini menunjukkan tingkat homologinya sama sampai tingkat spesies. Gauithier dalam
Wiguna et al. (2016), Bakteri Pseudoalteromonas sp. merupakan bakteri gram negatif, merupakan
bakteri aerob berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung. Bakteri Pseudoalteromonas sp.
ditemukan pada perairan laut dan melekat pada permukaan batu, ganggang, terumbu karang,
binatang laut, sedimen laut, dan juga dijumpai pada perairan pantai.
Pringgenies et al. (2011), bakteri Pseudoalteromonas mengandung zat-zat kimia seperti:
Nitrogen oxide (N20), acetic acid,- Ethylic acid, Propanoic acid, 2-methyl-(CAS) Isobutyric acid
sedangkan untuk Vibrio sp. mengandung Propanoic acid, 2-methyl-(CAS) Isobutyric acid,
Butanic acid, 2-methyl-(CAS) 2-Methylbutanoid acid. Kandungan senyawa tersebut
teridentifikasi mampu menghambat bakteri Klebsiella, Pseudomonas, Staphylococcus, E. Coli
dan Enterobakter. Wiguna et al. (2016), bakteri Pseudoalteromonas yang bersimbion dengan
karang lunak Sarcophyton sp. mampu menghasilkan pigmen karotenoid, yang memiliki aktivitas
antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

C2-24 Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri…


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bakteri heterotrofik yang diperoleh dari air
laut, memiliki kemiripan dengan bakteri Bacillus sp. Bacillus cereus, Bacillus toyonensis dan
Pseudoalteromonas sp. Bakteri tersebut memiliki potensi sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri patogen Vibrio alginolyticus, Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas sp. dengan
kemampuan hambat berkategori lemah (0,5 mm sampai 4,8 mm) dan sedang (5,2 mm sampai 6,5
mm).

DAFTAR PUSTAKA

Adithya, D. S. 2017. Penggunaan Bakteri Heterotrofik sebagai Anti Bakteri terhadap Bakteri
Patogen (Vibrio algynolyticus, Aeromona hydrophila dan Pseudomonas sp.) yang diisolasi
dari Perairan Laut Kawasan Industri dan Perairan Estuari Bersalinitas Rendah Kota Dumai,
Provinsi Riau. JOOM, Universitas Riau.
Bouvy, M., Y. Bettarel,. C. Bouvier. 2011. Trophic interactions betweenviruses, bacteria and
anoflagellates under various nutrientconditions and simulated climate change. Environ
Microbiol2011;7: 1842–57.
Drider D, G. Fimland, Y. Hechard, M. McMullen, H. Prevost. 2006. The continuing story of class
IIa bacteriocins. Microbiol Mol Biol Rev. 70(2): 564-582.
Elifah. E. 2010. Uji Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Metanol Daun Senggani (Melastoma
candidum, D. Don) Terhadap Escherichia coli dan Bacilus subtilis Serta Profil
Kromatografi Lapis Tipisnya. JOOM, Surakarta: UNS.
Feliatra, F. T.Nogroho, T. Silalahi, S. Y. Octavia. 2011. Skrining Bakteri Vibrio Sp Asli Indonesia
sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Tehnik 16s Ribosomal Dna. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautam Tropis. 3(2): 85-99.
Feliatra, Y. Fitria dan Nursyirwani. 2012. Antagonis Bakteri Probiotik Yang Diisolasi Dari Usus
Dan Lambung Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) Terhadap Bakteri Patogen.
Jurnal Perikanan dan Kelautan 17,1 :16-25
Feliatra, D. Yoswaty, I. Lukistyowati and W. Hasyimi. 2014. The Potential of the isolated
probiotics bacterial from giant prawns’ digestive tract (Macrobrachium rosenbergii, De
Man) with 16S rDNA sequencing technique. Aquacultura Indonesiana, An International
Journal of Indonesian Aquaculture Society. 15 (2): 57-63.
Feliatra, I. Lukistyowati, D. Yoswaty, H. Rerian, D. Melina, W. Hasyim, T. T. Nugroho, A.R.
Fauzi and R. Yolanda. 2016. Phylogenetic analysis to compare populations of acid tolerant
bacteria isolated from the gastrointestinal tract of two different prawn species
Macrobrachium rosenbergii and Penaeus monodon. AACL Bioflux. Vol. 9 (2): 360-368.
Janda, J. M. and S.M. Abbott. 2007. 16s rRNA Gene Sequencing for Bacterial Identification In
the Diagnostic Laboratory: Pulses, Perils, and Pitfalls. J.Clin Microbial. 30(1): 3217-3219.
Kong, X. P and S. H. Ye. The impact of water temperature on water quality indexes in north of
Liaodong Bay. Mar Pollut Bull 2014;80:245–49.
Kunarso, D. H. dan T.I. Agustin. 2012. Kajian bakteri heterotrofik di Perairan laut Halmahera.
Ilmu Kelautan. Vol. 17(2). 63-73.
Lestari, N. W. Budiharjo and A. Pangastuti. 2016. Bakteri Heterotrof Aerobik Asal Saluran
Pencernaan Ikan Sidat (Anguilla Bicolor Bicolor) Dan Potensinya Sebagai Probiotik.
Bioteknologi . Vol 13 (1): 9-17.
Luo, Y. W., M. A. M. Friedrichs, S. C. Doney, M. J. Church and H.W. Ducklow. (2010).
Oceanic heterotrophic bacterial nutrition by semilabile DOM as revealed by data
assimilative modeling. Aquatic Microbiology Ecology, 273-287.

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-25


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

Mitbavkar, S., K.M. Rajaneesh and A. C. Anil. 2012. Picophytoplankton community in a tropical
estuary: detection of prochlorococcus-like populations. Estuar Coast Shelf Sci
2012;107:159–64.
Nishijima, T., K. Toyota and M. Mochizuki. 2005. Predominant culturable Bacillus species in
Japanese arable soils and their potential as biocontrol agents. Microbes and Environments.
20(1): 61-68.
Nuraini, R. 2013. Efektivitas Bakteri Heterotrofik Dalam Mendegradasi Limbah Organik
Penyebab Pencemaran Perairan Tawar. Universitas Pakuan.
Pananjung, A. M. S. Ulfa, E. U. Senjarini, K. Arimurti, S. 2015. Karakterisasi Isolat Bakteri
Fibrinolitik Wu 021055 Asal Perairan Pantai Papuma, Jember. J. Bioteknologi dan
Biosains Indonesia. 2 (1): 1-8
Palimirmo, F. S., A. Damar dan H. Effendi. 2016. dinamika sebaran bakteri heterotrofik di Teluk
Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 21(91): 26-34.
Pringgenies, D., R. Azizah dan E. Windarto. 2011. Potensi Bakteri Simbion/Gastropoda
Pseudoalteromonas sp. dan Vibrio sp. sebagai Bahan Antiseptik. In: Refleksi
Pengembangan Budidaya Kekerangan Di Indonesia. Undip. 177-183.
Romanengko, L.A., T. Naoto, U. Masataka, I.K. Natalia and V.M Valery. 2008. Diversity and
antagonistic activity of sea ice bacteria isolated from the sea of Japan. Microbiol Environ.
2(3): 209-214
Roslin, D.I., Herman, R. Elvyra, N. Sofiyanti dan E. Chahyadi. 2017. Prosedur laboatorium dan
analisis bioinformatika. UR press, Pekanbaru.
Santos, L. M. P., A. L. Santos and F. J. R. Coelho. 2013. Heterotrophic activities of neustonic and
planktonic bacterial communities in an estuarine environment (Ria de Aveiro) J. Plankton
Res. (2014) 36(1): 230–242
Sari, Y. N., S. Sumyarti dan Jamsari. 2013. Isolasi, Karakterisasi dan Identifikasi DNA Bakteri
Asam Laktat ( BAL) yang Berpotensi Sebagai Antimikroba dari Fermentasi Markisa
Kuning (Passiflora edulis var.flavicarfa). Jurnal Kimia Unand (ISSN No. 2303-3401),
Volume 2 Nomor 2.
Souhoka, J dan S. I. Patty. 2013. Pemantauan Kondisi Hodrologi dalam Kaitannya dengan
Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Pulau Talise, Sulawesi Utara. J. Ilmiah Platax. (1)3:
138-147.
Suhandono, S.A., Apriyanto, A. Pradita dan R. Anryansyah. 2011. Buku Panduan Praktikum
BiosistematikaMikroba (Ver. Bahasa) - Unpublished . Rev.2
Susana, M. 2017. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Heterotrofik pada Perairan Laut Kawasan
Pemukiman dan Perairan Bersalinitas Rendah Di Kelurahan Purnama Dumai Provinsi
Riau. JOOM, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau.
Umoro, A. 2016. Isolasi Bacillus Sp. Penghasil Bakteriosin dan Peningkatan Aktivitasnya sebagai
Penghambat Vibrio harveyi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Verscheure. L., G. Rombaut, B. Sorgeloos dan W. Vestraete. 2000. Probiotik Bacteria As
Biological Control Agents In Aquaculture. Microbial and mol. Biol. rev.Vol.64: 655-671.
Wiguna, A.S., L. Kusmita dan O.K. Radjasa. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Pigmen Karotenoid
Dari Bakteri Simbion Karang Lunak Sarcophyton Sp. Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Patogen Staphylococcus aureus Atcc 25923. IJPST. Vol, 3 (3); 92-98.
Wijayanto, N. Feliatra and S. Nedi. 2014. Antagonism Test Of Probiotics Bacteria Isolated From
Black Tiger Shrimp (Penaeus Monodon) Against Pathogens (Aeromonas hydrophila,
Pseudomonas sp and Vibrio alginolyticus). JOOM. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau.
Wolf, C.E. and W. R. Gibbons. 1996. Improved method for qualification of bacteriocins nicin.
Appl Bacteriol. 80: 453.
Xiu, P., R. Liu, D. Zhang and C. Sun. 2017. Pumilacidin like lipopeptides derived from marine
Bacterium Bacillus sp. Strain 176 suppress The motility of Vibrio alginolyticus. Appl
Environ Microbiol. Vol. 83 (12): 1-14.

C2-26 Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri…


Seminar Nasional Kelautan XIII
” Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi
Nasioanl ”
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya 12 Juli 2018

Zidour, M., M. Chevalier, Y. Belguesmia, B. Cudennec, T. Grard, D. Drider, S. Souissi and C.


Flahaut. 2017. Isolation and characterization of bacteria colonizing acartia tonsa copepod
eggs and displaying antagonist effects against Vibrio anguillarum, Vibrio alginolyticus and
other pathogenic strains. Front Microbiol. 6(8): 1919. doi: 10.3389/ fmicb.2017.01919.

Jarod Setiaji: Analisis DNA Bakteri… C2-27

Anda mungkin juga menyukai