Anda di halaman 1dari 5

Laporan Fiqih

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFÂQ


(IJMA’)

Oleh :

Melsa Wulandari Diyhar

MAN 1 WAKATOBI
TAHUN AJARAN 2022/2023
A. Sumber Hukum Islam Yang Muttafâq
1. Ijma’
a. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ (‫( االجماع‬berarti sepakat atau konsensus dari sejumlah orang terhadap
sesuatu. Adapun ijma’ dalam pengertian istilah Ushul Fikih Ijma’ ialah kesepakatan para
mujtahid umat Islam pada suatu masa atas sesuatu perkara hukum syara’.
b. Dasar Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
1) Al-Qur’an
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’ [5]:115)
2) Al-Hadis
Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw. bersabda: “ Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan
mengumpulkan umatku atau Beliau bersabda: umat Muhammad Saw. di atas kesesatan, dan
tangan Allah bersama jamaah, dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempal
menuju neraka. (HR. Imam At-Tirmidzi)
Dalil al-Qur’an dan al-Hadis di atas menjadi landasan para ulama dalam berpendapat
bahwa ijma’ bisa dijadikan landasan hukum dalam menentukan hukum Islam.
c. Rukun dan Syarat Ijma’
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum
muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah Saw. terhadap suatu hukum syar’i
mengenai suatu peristiwa. Namun, tidak semua kesepakan para ulama setelah Rasulullah
Saw. wafat dikategorikan sebagai ijma, kesepakatan ulama biar bisa dikatagorikan sebagai
ijma harus memenuhi rukun dan syarat ijma’. Yang menjadi rukun dalam ijma’ harus satu,
yaitu kesepakatan ulama’, apabila tidak ada kesepakatan maka itu bukan ijmak’. Sementara
syarat-syarat ijma’ menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu:
1) Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam jumlah banyak, dan tidak dikatakan
ijma’ apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah kesepakatan apabila
dilakukan hanya satu orang ulama. Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa tersebut
tidak ada seorangpun mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja. Tidaklah bisa
dikatagorikan sebagai ijma’ yang dibenarkan oleh syara’.
2) Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan dengan tidak
memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Akan tetapi, peristiwa yang
dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu daerah atau negara saja,
misal mujtahid dari Mesir, atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu
bukanlah sebagai ijma’, ijma harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid muslim
ketika peristiwa itu terjadi
3) Mujtahid yanag melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam. Tidak
bisa dilakukan ijma’ apabila hanya dilakukan oleh ulama satu daerah terentu saja seperti
ulama Hijaz atau ulama Mesir, atau ulama Iraq.
4) Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari masing-masing mereka secara tegas
terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktikanya
dalam peradilan walaupun pada permulaannya baru merupakan pernyataan perseorangan
kemudian pernyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan
bersama melalui suatu muktamar.
5) Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat dan menjauhi halhal yang
bid’ah: karena nash-nash tentang ijma’ mensyaratkan hal tersebut.
6) Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid bersandar kepada sandaran huku yang
disyari’atkan baik dari nash maupun qiyas. Apabila rukun dan syarat-syarat ijma’ tersebut
telah terpenuhi, hasil dari ijma’ itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati
dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu
sebagai obyek ijma’ yang baru. Oleh sebab itu, hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa
ijma’ itu telah menjadikan hukum syara’ yang qath’i, hingga tidak dapat ditukar atau
dihapus dengan ijtihad lain
d. Macam-Macam Ijma’
Menurut para sarjana hukum Islam, dilihat dari cara memperolehnya ijma’ dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Ijma’ sharih adalah kebulatan yang dinyatakan oleh mujtahidin (para mujtahid)
2) Ijma’ sukuti, yaitu kebulatan yang dianggap seorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya
dan diketahui oleh mujtahidin lainnya, tetapi mereka tidak menyatakan persetujuan atau
bantahannya.
Sementara dilihat dari dalalahnya (penunjuk) juga terbagi dua macam, yaitu:
1) Ijma’ qat’i dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang ditunjuk sudah dapat
dipastikan kebenarannya, atau bersifat qat’i sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi dan
tidak perlu diijtihadkan kembali.
2) Ijma’ zanni dalalah terhadap hukumnya; artinya, hukum yang dihasilkannya
kebenarannya bersifat relatif atau masih bersifat dugaan. Karena itu, masih terbuka untuk
dibahas lagi dan tertutup kemungkinan ijtihad lainnya, hasil ijtihadnya bukan merupakan
pendapat seluruh ulama mujtahid.
B. Hasil Diskusi
 Pengertian Dzari'ah menurut Bahasa? ( Pertanyaan Jelita untuk Nur Aini F)
Menurut Bahasa Dzari'ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan
baik, halal ataupun haram.
 Bagaimana cara menerapkan al-Hadis sebagai sumber hukum ? Jelaskan ! (Pertanyaan
Melsa Wulandari Diyhar untuk Juliani Dwi P)
sumber hukum islam yang kedua adalah hadist.Terkait sifat hadist itu sendiri pun masih
sangat luas jika di kaji. Jadi sumber hadis tersebut juga perlu dan wajib dilihat dulu
sanadnya (keseimbangan antar perawi), dilihat juga dari segi matan (isi materi) dan
dilihat rowinya (periwayatnya). itu sebabnya ada yang disebut hadis lemah dan kuat.
 Kenapa ijma menjadi sumber hukum (Pertanyaan Juliani Dwi Putri Untuk
Ld. Hasarayanto)
Karena Ijma di putuskan atau di sepakati oleh berbagai ulama dari seluruh daerah muslim
di dunia
 Berikan contoh penerapan Istishab sebagai sumber hukum Islam dalam hukum
diindonesia ( Pertanyaan Nadia Syafira untuk Melsa Wulandari Diyhar)
contoh penerapan istishab dalam hukum diindonesia di antaranya:
1. Bidang Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak
bersalah, di mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak
bersalah sampai ada bukti hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh
pengadilan.
2. Bidang Hukum Perdata
Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan
ekonomi, bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa
kewajiban perdata.Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan
dengan gugatan untuk melunasi hutangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga
penggugat mampu membuktikan di pengadilan.
3. Hukum Perkawinan
Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa, suatu perkawinan baru
dinyatakan sah secara hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui
pencatatan perkawinan. Bukti ini sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban
baru bagi pasangan suami istri.
 Apa gunanya Al-qur'an untuk kamu (Pertanyaan Ld. Hasarayanto Untuk jelita)
Gunanya Al-qur'an untuk saya adalah sebagai pedoman Hidup Karna Dengan Al-qur'an
kita Tahu sumber pokok ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Anda mungkin juga menyukai