Anda di halaman 1dari 6

FIT-ISI dan CGISE 2016

Model Konseptual Sistem Informasi Pertanahan Desa

Diyono
Staf Pengajar Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta (E-mail: diyono@ugm.ac.id)

ABSTRACT

Implementation of Act No. 6/2014 on Village makes village’s role became more strategic in initiating
development of the region. Villages are at the forefront of development and government administration.
In the context of land for development, improving quality of life and public welfare, there is an urgent
need of good governance of land resources at the village level. Therefore a good Land
Administration System (LAS) at the village level needs to be built. LAS in Indonesia has been built at
national level, which creates the participations and the roles of the villages not optimum. Land
Information Systems (LIS) for villages level are required in the implementation of LAS. The
implementation of a complete LIS can be used to support the implementation of LAS from village level
to national level. This paper describes the conceptual model of an LIS at village level in supporting
LAS development. The idea of a Village LIS was based on the availability of Geospatial Information
(GI) which was developed nationally and can be accessed by the village government. It can also
supports the implementation of Land Information Infrastructure (LII). The availability of GI on a
Village LIS and the implementation of the LII are expected to support GI service for land at various
purposes. LIS model developed in this study is expected to meet the needs of land information on a
various functions of LAS from village level to national level to achieve development goals.
Keyword: Land Administration System, Land Information System, Land Information Infrastructure

Pendahulan dimaksudkan untuk pengaturan nilai ekonomis


pemanfaatan suatu bidang tanah (land valuation).
Sistem Administrasi Pertanahan (SAP) merupakan
Pengelolaan tiga aspek tersebut secara nasional pada
suatu proses pencatatan (administrasi) dan diseminasi
umumnya dilakukan oleh institusi pemerintah yang
informasi yang berhubungan dengan: (a) penguasaan
berbeda dan dipisahkan (Enemark, 2010; Williamson
Hak Atas Tanah (HAT), (b) nilai tanah, (c)
dkk., 2010).
penggunaan tanah, (d) pembangunan tanah (Dale dan
McLaughlin, 1988; Enemark, 2001; Enemark, 2004; Di Indonesia pengelolaan informasi pertanahan
Williamson dkk., 2010) yang diterapkan untuk dengan menggunakan Informasi Geospasial (IG)
mengimplementasikan kebijakan pengelolaan secara terpisah sudah ada sejak jaman Belanda
pertanahan (UNECE, 1996). Dalam konteks (Rusmawar dkk., 2012) dan tetap dipraktekan sampai
Indonesia, pencatatan tersebut pada prakteknya saat ini. Pengelolaan aspek fisik yang menyangkut
dilakukan mulai dari Pemerintah Desa (Pemdes) penggunaan tanah dan penatagunaan tanah dilakukan
hingga pemerintah pusat sesuai kebijakan pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan
nasional. yang berhubungan dengan kegiatan teknis
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
Kebijakan pertanahan pada umumnya mengatur tiga
pertanahan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
aspek, yaitu: aspek fisik, aspek fiskal dan aspek legal
(Pemda). Pengelolaan aspek fiskal, yang menyangkut
(Jonsson, 2008; Mukupa, 2011; Steudler dkk., 2004;
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dilaksanakan oleh
Williamson dkk., 2010). Kebijakan aspek fisik
Pemda Kabupaten/Kota. Pengelolaan aspek legal,
dimaksudkan untuk pengaturan penggunaan tanah
antara lain pemberian dan pengaturan HAT
(land use) dan pembangunan tanah (land
diselenggarakan oleh BPN. Namun semua hal
development). Kebijakan aspek legal dimaksudkan
tersebut di atas secara spasial dan administratif perlu
untuk pengaturan secara yuridis tentang penguasaan
diketahui juga oleh tataran Pemdes/Kelurahan,
tanah (land tenureship). Kebijakan aspek fiskal
walaupun secara kewenangan pengaturan ada pada

|1
FIT-ISI dan CGISE 2016

tataran pemerintah yang lebih tinggi (Kementerian pembangunan; (c) IG penggunaan tanah, dibangun
(K)/Lembaga (L)/Pemda). Oleh sebab itu adanya untuk tujuan perencanaan dan pengaturan
Sistem Informasi Pertanahan (SIP) berjenjang mulai pengendalian penggunaan tanah dan sumberdaya
dari Pemdes, Pemda sampai pemerintah pusat (K/L) alam; dan (d) IG pembangunan tanah sebagai
yang mempunyai kewenangan pengelolaan informasi bagian dari peran perencanaan penggunaan tanah dan
pertanahan menjadi penting. Makalah ini akan tata ruang dimasa mendatang yang mencakup
memberikan gambaran secara konseptual pembangunan utilitas dan infrastruktur (Dale dan
penyelenggaraan SIP untuk mendukung fungsi SAP McLaughlin, 1988; Enemark, 2004; Williamson dkk.,
secara berjenjang mulai dari tataran Pemdes yang 2010). Dalam kadaster modern, IG bidang-bidang
terintegrasi sampai pemerintah pusat (K/L) dengan tanah dikelola dalam suatu SIP yang eksistensinya
membangun Infrastruktur Informasi Pertanahan (IIP). dibangun untuk memenuhi berbagai tujuan (Steudler
dkk., 2004), sehingga kadaster modern dapat
SIP dalam Penyelenggaraan SAP kategorikan sebagai SIP (FIG, 1999).
SAP merupakan proses pencatatan dan diseminasi SIP adalah sistem informasi spasial dengan basisdata
informasi untuk mengimplementasikan kebijakan yang berisi informasi tentang tanah (land). SIP
pengelolaan pertanahan. SAP juga mengkaji cara mendeskripsikan geometri bidang-bidang tanah
manusia mengatur tanah, seperti cara manusia disertai catatan informasi yang berkaitan bidang tanah
berencana dengan tanah, membangun dan mengelola tersebut dan dapat menggambarkan sifat kepentingan,
tanah, memanfaatkan peta, dan membuat konsep kontrol pemilikan serta nilai dan pengembangannya
dalam melakukan pendekatan praktis untuk (FIG, 1999). SIP juga mendokumentasikan
mengenali bidang tanah (Williamson dkk., 2010). perubahan-perubahan yang terjadi terhadap bidang
Informasi bidang-bidang tanah tersebut secara spasial tanah tersebut. Oleh sebab itu, SIP dapat digunakan
diwujudkan dalam bentuk IG. dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
investasi, pembangunan dan pengelolaan pertanahan
Pengelolaan informasi pertanahan secara nasional
(Dale dan McLaughlin, 1988).
dirancang, dibangun dan dimonitor oleh SAP dengan
kegiatan survei dan pemetaan kadaster sebagai alat Salah satu permasalahan yang membatasi fungsi SAP
utamanya (Williamson dkk., 2010). Survei dan adalah adanya isolasi IG yang digunakan pada SIP di
pemetaan kadaster pada umumnya dilakukan untuk antara fungsi SAP yang berbeda. Padahal dalam sudut
memenuhi kebutuhan informasi hak (kadaster hukum) pandang SAP modern, IG antar komponen SIP dapat
dengan melakukan kegiatan pendaftaran tanah dan digunakan oleh berbagai pihak. Kemajuan Teknologi
memetakan IG bidang-bidang tanah sebagai IG Informasi (TI) mendorong SAP modern dapat
kadaster. Secara konsep IG kadaster dapat juga menawarkan kemudahan dalam akses dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan IG pada aspek berbagi-pakai IG yang tersedia dalam SIP. Oleh
fiskal seperti IG objek pajak dan IG zona nilai tanah, sebab itu, SIP yang terhubung dalam jaringan IIP
maupun IG aspek fisik pertanahan seperti IG merupakan simpul penting dalam penyelenggaraan
pengunaan tanah dan IG untuk pembangunan tanah. IG nasional (Wallace, dkk., 2005).
Sedangkan IG pada aspek fisik untuk pembangunan
seperti IG lingkungan terbangun dan IG sumberdaya Infrastruktur Informasi Pertanahan (IIP)
alam kebanyakan dibangun berbasis IG zonasi,
Istilah IIP di Indonesia sudah diperkenalkan sejak
sehingga pemakaian IG Dasar (IGD) peta rupabumi
tahun 1997 dengan istilah Infrastruktur Sistem
(topografi) skala besar lazim digunakan. Oleh sebab
Informasi Pertanahan (I-SIP). I-SIP dibangun sebagai
itu, lingkup dari IG pertanahan dalam
prasarana yang membuat SIP dapat berfungsi dan
penyelenggaraan SAP mencakup IG kadaster dan IG
beroperasi dengan baik serta dapat diakses oleh
rupabumi skala besar (Enemark, 2007) yang dikelola
banyak pengguna (Aziz, 1997). Seiring
secara selaras (Enemark, 2004, 2010).
berkembangnya penggunaan Infrastruktur Data
SAP memiliki sistem dan proses (Ting, 2002). Sistem Spasial (IDS) dalam pengelolaan DG/IG, istilah IIP
digunakan untuk meminimalkan terjadinya konflik digunakan dalam lingkup pengelolaan IG pertanahan
yang berkenaan dengan Hak, Batasan dan Kewajiban untuk penyelenggaraan SAP (Enemark, 2001;
(HBK) atas tanah, sedangkan proses dilakukan untuk Enemark, 2004).
penyelenggaraan IG. Penyelenggaraan IG tersebut
IIP merupakan kerangka kerja untuk memfasilitasi
mencakup: (a) IG penguasaan atau pemilikan tanah,
akses, tukar-guna dan berbagi-pakai IG antar
dibangun dalam rangka menjamin kepastian hak,
pemangku kepentingan (Rajabifard dkk., 2002).
keamanan dan perpindahan HAT dan sumber daya
Tujuan dibangunnya IIP adalah untuk memfasilitasi
alam; (b) IG nilai tanah dan pajak atas tanah,
penggunaan IG pertanahan secara maksimal dan
dibangun untuk menentukan nilai ekonomi suatu
mengurangi adanya duplikasi yang mungkin terjadi
bidang tanah sebagai acuan dalam menetapkan pajak
dalam pengadaan dan pemeliharaan IG tersebut.
atas tanah dan properti serta nilai ganti rugi untuk

|2
FIT-ISI dan CGISE 2016

Berdasarkan hierarki IDS, (Williamson dkk., 2003) dengan metadata (Monica dkk., 2009). Oleh sebab itu,
dengan contoh di negara bagian Victoria (Australia), penyelenggaraan IIP perlu diawali dengan
elemen penting yang membedakan antara IDS di pembangunan infrastruktur yang menghubungkan
negara bagian (state/daerah) dari IDS nasional adalah berbagai basisdata IG pertanahan (Mukupa, 2011;
tersedianya informasi pertanahan (kadaster) pada IDS Oosterom dkk., 2009). Adanya basisdata IG dan
tataran lokal (daerah). Kadaster mempunyai dua metadata dari institusi sumber data yang terhubung
kriteria penting yang tidak ditemukan dalam IDS dalam jaringan IIP akan memberikan keuntungan,
tataran nasional, yaitu: (a) kadaster memiliki sifat yaitu: (a) membantu pengguna data dalam akses IG,
dinamis karena adanya pembagian dan pemecahan (b) mengurangi duplikasi IG, (c) memberikan
bidang tanah yang terjadi setiap saat; (b) kadaster kewenangan proses pemutakhiran IG hanya
memiliki integritas yang tinggi dengan komponen dilakukan oleh institusi yang bertanggung jawab
HAT (titles) yang diberikan oleh pemerintah terhadap data tersebut, (d) terwujudnya efisiensi
(Williamson, 1998), termasuk adanya batasan dan dalam pengadaan IG, penggunaan IG dan
kewajiban yang diatur negara (Bennet, 2007; Ting, keberlanjutan program, serta (e) terselenggaranya
2002). Oleh sebab itu pemerintah negara bagian di kemitraaan dalam pengambilan keputusan berbasis
Australia secara umum telah mendeklarasikan IG yanag sama (Donald M. Grant, 1999; Enemark
basisdata kadaster digital atau SIP sebagai komponen dkk., 2005b; Stoimonev dkk., 2005 ).
terpenting dari IDS di negara bagian (state).
Kondisi adanya keberagaman IG pada berbagai
IIP merupakan keterpaduan seperangkat komponen fungsi SAP perlu diupayakan dengan digunakannya
yang terdiri atas data/informasi geospasial, manusia IG rujukan yang sama. IG tersebut harus dapat
sebagai penyedia dan pengguna data, kebijakan akses diakses, dibagi-pakai dan mudah dipadukan. Gambar
data, standar dan teknologi yang memfasilitasi 1, mengilustrasikan pentingnya IIP dalam
jaringan akses data (Rajabifard, 2002). IIP bukan memfasilitasi akses dan berbagi-pakai IG rujukan
sebuah “basisdata”, namun sebuah infrastruktur yang dalam penyelenggaraan SAP di Indonesia.
menghubungkan manusia dengan data/informasi Tersedianya IG rujukan yang dapat diakses dan
dengan menerapkan kebijakan, teknologi dan standar dimanfaatkan pada berbagai fungsi SAP dapat
(Rajabifard dan Binns, 2005). IIP dibentuk sebagai mendorong terwujudnya pengelolaan informasi
usaha terkoordinasi untuk memfasilitasi pencarian, pertanahan yang terintegrasi untuk mendukung
akses, tukar-guna, dan berbagi-pakai IG yang pembangunan berkelanjutan.
difasilitasi dengan adanya kemitraan untuk mencapai
tujuan terwujudnya penyelenggaraan IG yang lebih Pengelolaan Pertanahan secara Terpadu untuk
Pembangunan Berkelanjutan
baik (Williamson dkk., 2003).
Tujuan utama dibangunnya IIP adalah untuk
Hak atas Penggunaan Zona Nilai Pajak atas Rencana Tata Ruang
memudahkan para pengguna data atau para Tanah Tanah Tanah Tanah Wilayah

pemangku kepentingan melakukan akses dan


Interoperabilitas
tukar-guna IG langsung dari sumbernya (Wallace
Infrastruktur Informasi Pertanahan (IIP)
dkk., 2005) atau dari pihak lain yang memiliki Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi
tanggung jawab sebagai penyedia data (Heydari dkk., Geospasial Tematik Utama (IGTU)

IGTU: Peta Dasar Pendaftaran IGD: Peta Rupabumi


2009). Hal ini perlu dilakukan agar penggunaan IG yang dilengkapi IG bidang- Indonesia (RBI)
bidang tanah skala besar
menjadi optimal dan tercipta efisiensi dalam
pengadaan data yang memerlukan biaya mahal dan
membutuhkan alokasi waktu yang lama (Hamzah Gambar 1. IIP dalam penyelenggaraan SAP di
dkk., 2010). Upaya lain adalah memanfaatkan IG dari Indonesia (modifikasi Enemark, 2004; Diyono,
salah satu institusi sumber data yang bertanggung
2015).
jawab terhadap data tersebut, sehingga tidak lagi
terjadi duplikasi IG yang sama pada lokasi yang sama Merujuk pada Gambar 1, Informasi Geospasial Dasar
oleh institusi yang berbeda (Enemark, 2005c; (IGD) berupa peta Rupabumi Indonesia (RBI) dan
Enemark dan Parker, 2005a; Mukupa, 2011; Najar, Informasi Geospasial Tematik Utama (IGTU)
2006; Williamson, 2002). Dengan demikian maka IG memegang peran pokok dalam suatu jaringan IIP. Hal
yang dikelola institusi sumber selalu terjaga ini sejalan dengan ketentuan pada UU IG No.4 tahun
kemutakhirannya, dapat diakses dan digunakan secara 2011 tentang penyelenggaraan IG di Indonesia. Tanpa
optimal pada berbagai kegiatan untuk pengambilan ada IGD dan IGTU, maka penyelenggaraan SAP
keputusan (Enemark, 2004, 2010; Enemark dan dengan dukungan jaringan IIP tidak akan berjalan
Parker, 2005a). dengan baik. IIP memfasilitasi tersedianya IGD dan
Agar layanan berbagi-pakai dan tukar-guna data IGTU yang mudah diakses dan dibagi-pakai. IGD dan
dapat dilakukan, IG pada institusi sumber IGTU tersebut diperlukan sebagai IG rujukan dalam
ditempatkan dalam sebuah basisdata dan dilengkapi pembuatan IG Tematik (IGT) pertanahan pada

|3
FIT-ISI dan CGISE 2016

berbagai fungsi SAP yang diselenggarakan di sedangkan IGTU bidang-bidang tanah diakses dari
berbagai institusi. Geoportal BPN RI.
Ragam IGT pada penyelenggaraan SAP di Indonesia
yang membutuhkan rujukan IGD dan IGTU Geoportal
Nasional
Akses IGD &
Registrasi Metadata
Geoportal Tataran
BPN RI
Pemerintah
diantaranya adalah: (a) IGT bidang-bidang tanah IGT Lain

INFRASTRUKTUR INFORMASI PERTANAHAN (IIP)


IGD IGTU & (Kementerian/
IGT Lembaga)
untuk menjamin kepastian HAT dan penetapan pajak Akses IGD
atas tanah (PBB); (b) IGT berupa zonasi tanah yang Suplai Data
RegistrasI
dibutuhkan untuk penyediaan IGT penggunaan tanah, Metadata
Tataran
IGT zona nilai tanah, IGT tata ruang. Setiap IGT Geoportal Pemerintah
Pemda Daerah
tersebut dikelola oleh institusi yang berbeda pada Akses IGTU (Pemda)

tataran pemerintah (K/L) maupun Pemda yang IGT


Kantor Pertanahan

informasinya dibutuhkan oleh Pemdes. Sebagai


contoh IGT bidang-bidang tanah pada HAT dikelola Partisipasi dalam
pembaharuan data
Partisispasi dalam Tataran
pembaharuan data Pemerintah
oleh BPN dan IGT bidang-bidang tanah untuk PBB Akses IGD &
& IGTU
Desa
IGT Pemda
dikelola oleh Pemda. Kedua IGT tersebut
menginformasikan objek yang sama sehingga Sistem Informasi Pertanahan Desa

selayaknya dapat dibagi-pakai atau ditukar-gunakan.


Gambar 2. Model konseptual SIP Desa berbasis IIP
Demikian juga pada IGT penggunaan tanah, IGT
zona nilai tanah, IGT tata ruang membutuhkan IGD Peran SIP Desa dalam lingkup penyelenggaraan IIP
rujukan yang sama sehingga jika dipadukan tidak adalah berpartisipasi dalam pembaharuan data
mengalami banyak kendala. pertanahan dan IGTU dari tingkat desa dan
Kondisi ideal IIP di Indonesia dapat terwujud jika disampaikan ke Kantor Pertanahan (KP) setempat.
prinsip kebijakan satu peta dasar (IGD dan IGTU) KP melakukan verifikasi dan validasi data hasil
untuk rujukan dalam pembuatan IGT dipenuhi. Hal partisipasi desa untuk pembaharuan data pertanahan
ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya di KP. Setelah data hasil partisipasi dan IGTU
duplikasi IG sejenis yang diadakan oleh berbagai tervalidasi dilanjutkan proses penyelarasan dengan
institusi dalam penyelenggaraan SAP di Indonesia. basisdata yang ada di KP dan selanjutnya dikirim ke
Geoportal BPN RI.
Model Konseptual SIP Desa Berbasis Dalam lingkup pembaharuan informasi pertanahan
Penyelenggaraan IIP untuk keperluan Pemda (misalnya pelayanan PBB)
Pemdes melalui SIP Desa berpartisipasi dalam
SIP Desa dikembangkan dalam rangka memfasilitasi pembaharuan data layanan PBB dan disampaikan ke
kebutuhan akan informasi pertanahan bagi aparat Kantor Pelayanan PBB Pemda setempat melalui
Pemdes dalam mendukung pelayanan masyarakat Geoportal daerah.
dibidang pertanahan dan pembangunan. Selain itu, Dalam konteks IDS, unit produksi IGT yang ada di
Pemdes memiliki peran dan partisipasi dalam BPN dan Pemda membangun IGT disertai
pembaharuan data/informasi pertanahan untuk metadata-nya. IGT dan metadata tersebut
meminimalkan terjadinya konflik pertanahan di disampaikan ke bagian unit penyebarluasan untuk
tingkat desa. SIP Desa dibangun terintegrasi dengan dikelola. Metadata IG di Geoportal K/L/Pemda
SIP Nasional, sehingga informasi yang disajikan ke diregistrasikan ke Geoportal Nasional untuk
masyarakat selaras pada berbagai tataran SIP. Konsep disebarluaskan dan dapat diakses oleh para pengguna
integrasi SIP dilakukan dengan membangun IIP untuk IG.
layanan data berbasis IGD dan IGTU yang sama pada
berbagai tataran SIP (SIP Desa sampai SIP Nasional) Penutup
sebagaimana dimodelkan secara konseptual pada
Gambar 2. Model konseptual SIP Desa berbasis penyelenggaraan
Berdasarkan Gambar 2., dalam konteks IIP bahwa IIP merupakan usulan dan masih perlu dilakukan
SIP Desa adalah pengguna IGD, IGTU dan IGT kajian lebih lanjut. Model konseptual tersebut dapat
pertanahan yang diakses dari Geoportal diwujudkan jika kebijakan satu peta rujukan yaitu
Kementerian/Lembaga (BPN RI) dan Geoportal IGD berupa peta RBI skala besar dan IGTU berupa
Nasional melalui Geoportal Pemda setempat secara peta dasar pendaftaran yang dilengkapi IG
daring. Geoportal adalah portal khusus yang bidang-bidang tanah yang lengkap telah tersedia dan
berhubungan dengan layanan pencarian dan digunakan pada penyelenggaraan SAP. Selain itu, SIP
penggunaan data geospasial melalui media internet Desa berbasis IIP dapat terwujud jika dukungan
(Rusmanto dkk., 2014). SIP Desa memanfaatkan IGD sumberdaya manusia di bidang IG dan TI sudah siap
berupa RBI skala besar yang diakses dari Geoportal dan merata di berbagai tataran pemerintahan, adanya
Nasional melalui Geoportal Pemda dan IGT tata standar penyelenggaraan IG yang konsisten, serta
ruang diakses dari Geoportal Pemda setempat,

|4
FIT-ISI dan CGISE 2016

adanya kebijakan penyelenggaraan IG nasional dalam Americas, From Pharaohs to Geinformatics, FIG
konteks membangun IDS/IIP yang selaras. Working Week 2005 and GSDI 8, Cairo, Egypt,
April 16-21, 2005.
Daftar Pustaka Enemark, S., Williamson, I. dan Wallace, J., 2005b,
Building Modern Land Administration System in
Aziz, T. L., 1997, Infrastruktur Sistem Informasi
Developed Economies, Spatial Science, Vol. 50:
Pertanahan, Majalah Survei dan Pemetaan, XII
51-68.
(1): 46-51.
FIG, 1999, Technical Papers of the International
Bennet, R., 2007, Property Rights, Restrictions and
Conference on Land Tenure and Cadastral
Responsibilies: Their Nature, Design and
Infrastructures for Sustainable Development,
Management, The University of Melbourne,
International Conference on Land Tenure and
Melbourne.
Cadastral Infrastructure for Sustainable
Dale, P. F. dan McLaughlin, J. D., 1988, Land Development, Melbourne, Australia, October
Information Management : An Introduction with 24-27, 1999.
Special Problems in Third World Countries,
Hamzah, A. H., Shariff, A. R. M., Mahmud, A. R.,
Oxford University Press, New York.
Yusof, N. M. Z. N. dan Ali, H. M., 2010, Data
Diyono, 2015, Model Asesmen Interoperabilitas Data Sharing Issues in SDI Implementation at
Geospasial dalam Pengembangan Infrastruktur National Land Administration for Country Multi
Informasi Pertanahan di Indonesia, Disertasi, Goverment, GSDI 12 World Conference :
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Realising Spatially Enabled Societies, Singapore,
Donald M. Grant, 1999, Spatial Data Infrastructure: October 19-22, 2010.
The Vision for Future and the Role of Heydari, N., Mansourian, A., Taleai, M. dan Fallahi,
Government in Uinderpining Future Land G. R., 2009, Ontology-Based GIS Web Service
Administration Systems, International for Increasing Semantic Interoperability among
Conference on Land Tenure and Cadastral Organizations Involving Drilling in City of
Infrastructure for Sustainable Development, Taheran, GSDI 11 World Conference : Spatial
Melbourne, 24-27 October 1999. Data Infrastructure Convergence : Building SDI
Enemark, S., 2001, Land Administration Bridges to Address Global Challenges,
Infrastructures For Sustainable Develpoment, Rotterdam, The Netherlands., June 15-19, 2009.
International Conference on Spatial Information Jonsson, S., 2008, Integrated Land Information
for Sustainable Development, Nairobi, Kenya, System and Development of NSDI, Integrated
October 2-5, 2001. Generations FIG Working Week, Stockholm,
Enemark, S., 2004, Building Land Information June 14-19, 2008.
Policies, UN, FIG, PC IDEA Inter-regional Monica, P., Laura, P., Flavio, M., Monica, T. dan
Special Forum on The Building of Land Claudio, M., 2009, Experiences in the Creation
Information Policies in The Americas, and Updating of INSPIRE Compliant Metadata
Aguascalientes, Mexico, October 26-27, 2004. Catalogue, GSDI 11 World Conference : Spatial
Enemark, S., 2005c, ICT Enebled Land Data Infrastructure Convergence : Building SDI
Adminsistration Systems for Sustainable Bridges to Address Global Challenges,
Development-The Denish Way, Expert Group Rotterdam, The Netherlands., June 15-19, 2009.
Meeting on Incorporating Sustainable Mukupa, W., 2011, Land Administration to Support
Development Objectives into ICT Enebled Land Sustainable Development, FIG Working Week
Adminsistration Systems Melbourne, Australia, Marrakech, Morocco, May 18-22, 2011.
November 9-11, 2005.
Najar, C. R., 2006, A Model-Driven Approach to
Enemark, S., 2007, Integrated Land Use Managemen Management of Integrated Metadata-Spatial Data:
for Sustainable Development: Spatial in Context of Spatial Data Infrastructure,
Information Management Toward Legalizing Unpublished Disertasi, PhD, Swiss Federal
Informal Urban Development, FIG Commission Institute of Technology, Zurich.
3 Workshop, Athens, Grece, March 28-31, 2007.
Oosterom, P. v., Groothedde, A., Lemmen, C., Molen,
Enemark, S., 2010, From Cadastre to Land P. v. d. dan Uitermark, H. T., 2009, Land
Governance : The Role of :Land Profesionals and Administration as a Cornerstone in the Global
FIG, Annual World bank Conference on Land Spatial Information Infrastructure, International
Policy and Administration, Washington DC., Journal of Spatial Data Infrastructures Research,
April 26-27, 2010. Special Issue GSDI-11.
Enemark, S. dan Parker, J. R., 2005a, The Rajabifard, A., 2002, Diffusion of Regional Spatial
Development of Land Information Policies in Data Infrastructures : With Particular Reference

|5
FIT-ISI dan CGISE 2016

to Asia and the Pasific, Unpublished Disertation, Development, Department of Geomatics The
Ph.D The University of Melbourne, Melbourne. University of Melbourne, Melbourne.
Rajabifard, A. dan Binns, A., 2005, SDI Requirement UNECE, 1996, Land Administration Guidelines :
of Land Administration, Expert Group Meeting With Special Reference to Countries in
on Incorporating Sustainble Development Transition, United Nations Publication, New
Objectives into ICT Enbled Land Administration York and Geneva.
System, Australia, November 9-11, 2005. Wallace, J., Williamson, I. dan Enemark, S., 2005,
Rajabifard, A., Feeney, M.-E. dan Williamson, I. P., Building National Vison for Spatially Enebled
2002, Directions for the Future of SDI Land Administration in Australia, Expert Group
Development, International Journal of Aplied Meeting on Incoporating Sustainable
Earth Observations and Geoinformation, 4: Development Objectives into ICT Enebled Land
11-22. Administration System, Australia, November
Rusmanto, A., Darmawan, M., Sumaryono, Amhar, F., 9-11, 2005.
Sutanta, H., Aditya, T., Kusumasari, B., Diyono, Williamson, I., 2002, Land Administration and
Prijadi, S. dan Hutasoit, Y. E., 2014, Petunjuk Spatial Data Infrastructure - Trend and
Teknis Pembangunan Simpul Jaringan, Badan Developments, FIG XXII International Congress,
Informasi Geospasial, Cibinong, Bogor. Wasington D.C. USA, April 19-26, 2002.
Rusmawar, W., Soendjojo, H. dan Sumarto, I., 2012, Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J. dan
Kadaster: Masa Lalu dan Masa Mendatang di Rajabifard, A., 2010, Land Administration for
Indonesia, Penerbit ITB, Bandung. Sustainable Development, Sydney, Australia.
Steudler, D., Rajabifard, A. dan Williamson, I. P., Williamson, I., Rajabifard, A. dan Feeney, M. E. F.,
2004, Evaluation of Land Administration 2003, Developing Spatial Data Infrastructures :
systems, Land Use Policy, 21: 371-380. From Concept to Reality, CRC Press, Boca Rato,
Stoimonev, L., Stanimirovic, A. dan Djordjevic-Kajan, London, New York, Washington, D.C.
S., 2005 Development of GIS Interoprability
Infrastructure in Local Community Environment,
FIG Working Week and GSDI-8, Cairo, Egypt,
April 16-21, 2005.
Ting, L., 2002, Principles For An Integrated Land
Administration System to Support Sustainable

|6

Anda mungkin juga menyukai