Anda di halaman 1dari 13
Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik Anastasia Tirtadjaja, Rachmat Gunadi Wachjudi Departemen/SMF Iimu Penyakit Dalam FK UNPAD/ RS Dr. HasanSadikin Bandung Lupus eritematosus sistem (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan sistem multiorgan. Penyakit ini mengenai wanita usia reproduksi dengan etiopatogenesis kompleks dan belum sepenuhnya _dimengert Selanjutnya. pada referat ini lupus eritematosus akan isebut sebagai SLE. '* Prevalensi SLE adalah sebesar 20 — 50 kasus per 100000 populasi. Peningkatan insidensi_berhubungan dengan adanya perkembangan dalam penegakkan diagnosis SLE pada manifestasi klinis ringan. Insidensi diperkirakan sebanyak 1 - 25 per 100000 penduduk amerika utara, amerka selatan, eropa dan asia.” Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di polikiinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sacikin (RSHS) jumlah pasien SLE adalah sebanyak 291 pasien atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke polikinik Reumatologi selama tahun 2010. Penemuan kasus baru di polikinik Reumatologi Penyakit Dalam RSHS sepanjang tahun 2003 sampai 2005 meningkat yaitu sebanyak 6.4% dari 3025 pasien baru dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 9,07% dari 4037 pasien.*7 ‘Angka kematian pasien SLE di RSHS selama periode 2006-201 1 adalah 8.12% (38 dari 468 pasien) dengan penyebab kematian yang terkait langsung seperti lupus nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat, maupun karena penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis *” SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi Klinis dan pola aktivitas penyakit beraneka ragam, serta eksaserbasi dan remisi yang tidak terprediksi. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan, dengan prognosis jangka panjang yang seringkali buruk. Pengobatan yang diberikan dalam jangka waktu panjang atau bahkan seumur hidup membuat efek samping obat menjadi masalah yang membutuhkan pertimbangan dalam tatalaksana SLE.*** Walaupun terapi_- imunosupresif. menggunakan __kortikosteroid, hidroksiklorokuinn, azathioprine, siklofosfamid, dan mycophenolate mofeti telah digunakan dalam pengobatan SLE, sejumlah proporsi pasien tetap mengalami kesulitan dalam mencapai remisi atau bahkan mengalami kekambuhan selama terapi pemelinaraan.® Berkembangya pengertian tentang imunopatologi penyakit autoimun telah membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis sebagai terapi SLE dengan hasil yang menjanjikan. Hal —hal tersebut menjadi alasan pentingnya pengetahuan tentang perkembangan terapi SLE untuk menentukan pengelolaan dan pilihan terapi yang sesuai.*” Etiologi, Patogenesis dan Imunopatologi SLE SLE didasari dengan adanya autoantibodi patogen (timbul beberapa tahun sebelum timbulnya manifestasi penyakit) serta kompleks imun yang terikat pada jaringan dan membentuk komplemen, aktivasi respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan.'° Etiologi SLE meliputi faktor genetik dan lingkungan. SLE merupakan penyakit dengan faktor genetik kompleks, dimana aktivitas banyak gen sebagai predisposisi SLE, bersama dengan faktor lingkungan dan faktor nongenetik lainya turut berperan dalam patogenesis. Faktor — faktor ini berkembang menjadi kerusakan ireversibel gangguan toleransi imun dan bermanifestasi sebagai respon imun terhadap antigen nuklear endogen.? Faktor genelik sepertinya merupakan faktor yang paling menentukan, dalam patogenesis SLE. Tingginya kejadian SLE pada saudara kandung menjadi dasar adanya faktor genetik, dengan jenis kelamin perempuan sebagai faktor penting dalam patogenesis. Faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet, logam berat, bahan kimia, obat — obatan, organisme patogen dan pola hidup dapat menjadi pencetus proses autoimun pada individu dengan predisposisi genetik. ‘°° Terjadinya SLE juga dipengaruhi oleh efek epigenetik berupa gangguan metilasi DNA yang menimbulkan ekspresi gen abnormal_dan berujung pada hilangnya hambatan MHC terhadap self antigen oleh sel T, dan peningkatkan produksi antibodi oleh sel B. Hal ini dapat diturunkan atau termodifikasi oleh lingkungan.\* Peran hormonal dalam patogenesis SLE terlihat pada hormon androgen sebagai faktor imunoprotektif dalam terjadinya SLE. Mekanisme pasti mengenai peran estrogen pada penyakit SLE masin belum jelas. Estrogen berperan melalui ER-a dan B yang diekspresikan melalui sel B dan T.' Palogenesis SLE melibatkan abnormalitas sistem imun yang kompleks, dimana kelainan fungsi sel B dan sel T yang merangsang produksi autoantibodi oleh sel B dan reaktivitas sel T menimbulkan inflamasi serta kegagalan multiorgan. Autoantigen yang dilepaskan oleh sel apoptoti dipaparkan oleh sel dendritik kepada sel T yang kemudian mengaktifkan sel T. Sel T teraktivasi kemudian memproduksi sitokin yang memicu sel B untuk memproduksi antibod. Disamping itu, terdapat pula produksi autoantibodi oleh sel B yang tidak bergantung pada sel T. Mekanisme ini berlangsung karena adanya stimulasi sel B melalui kombinasi 6-cell antigen receptor (BCR) dan TLR signalling. '° Vrwsesor baci yy : coated conventional Aeopitcmateial Dende cal Denice %& Tt O— te lt 5 —~ni Psmacid Denice asm Gambar |. Patogenesis SLE Dikutip dari Bertias. * Beberapa aspek regulasi abnormal terhadap sel T berkontribusi dalam timbulnya SLE. Signal abnormal pada reseptor sel T menimbulkan peningkatan regulasi FeRy dan aktivasi Syk kinase yang kemudian mengakibatkan gangguan toleransi mun, abnormaltas respon terhadap autoantigen, gangguan presentasi antigen, serta gangguan transduksi signal pada reseptor sel T. Sel B memegang peranan penting dalam patogenesis SLE berupa prekursor sel_plasma yang mensekresi antibodi. Aktivasi dan diferensiasi abnormal sel B mengubah sel B naif menjadi sel plasma yang teraktivasi. Sel — sel ini merupakan autoantigen terhadap sel T dan bertanggung jawab terhadap produksi autoantibodi serta memodulasi sel T dalam sekresi sitokin. Pada SLE terdapat peningkatan jumlah sel plasma, plasmablas dan sel B transisional tahap akhir. 191° Meningkatnya aktivasi sel B diakibatkan oleh kadar growth factor yang meningkat, termasuk di dalamnya B-lymphocyte stimulator (BlyS) yang dibutuhkan dalam pertahanan hidup, maturasi dan aktivasi sel B, serta berembangnya se! B menjadi sel plasma. Autoantibodi yang dihasilkan oleh sel B yang hiperaktif_mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pembentukkan kompleks imun, aktivasi komplemen, dan efek langsung pada sel. 50% pasien SLE memiliki peningkatan kadar BlyS plasma dan terdapat korelasi bermakna antara tingginya kadar BlyS plasma dengan aktivitas penyakit. ®:'° Abnormalitas sel B pada SLE berpusat pada transduksi signal aberan ‘sepanjang reseptor sel B (BCR). Peningkatan respon sel B juga diakibatkan oleh menurunnya ekspresi Lyn kinase dan molekul - molekul yang terlibat dalam menurunkan reguiasi signaling pada sel B.* Reseptor permukaan lainnya yang banyak dipelajari adalah B-cell activating factor of the TNF family receptor (BAFF-A), dimana kemampuan bertahan hidup sel B bergantung pada persaingannya dengan protein homolog A proliferation inducing ligand (APRIL) untuk mencapai interaksi dengan BAFF. BAFF dapat berikatan dengan tiga buah reseptor — TACI, BCMA dan BAFF-R, sedangkan APRIL berikatan hanya denga TACI dan BCMA.' Pada SLE terjadi peningkatan produksi BAFF oleh sel dendritk akibat respon terhadap CpG DNA inducible cytokine (IFNa). Aktivasi sel B ini dapat merangsang produksi imunoglobulin tanpa melibatkan sel T. Antagonis terhadap BAFF dan APRIL telah digunakan dalam pengobatan SLE. ' Selain 6-cell activating factor (BAFF) atau B-lymphocyte stimulator (BlyS) terdapat sitokin yang berperan dalam patologi SLE antara lain tumor necrosis factor (TNF) alpha, FNy, interleukin (IL)-2, IL-4, L-6, IL-10, TNF-a, dan TGF-B dan MCP-1.' id ee om 11 | epetinen A semen ‘freron|-» 2) "Romer }>3[ Stnese” b> «[ Sean 8 cowwres = 2 10 [cyto%ines 12[ ES] Fimencore] +8 [Bomoom] < 7[eyitln] + 6 [sheen onan Gambar Il. Gambaran panoramik patogenesis SLE. Dikutip dari Sifuente."" Keterangan gambar : 1 ‘Sel apoptotk dipaparkan pada antgen nuklear pada vesikel apoptosis permukaan 2. Terjadinya akumulasi material apoptosss akibat defsiensimekanisme bersihan oleh sisbm makrofag, 3. Akumulasi ini memudahkan akses pada limfosit B autoreaklif yang mensintesis autoantoodi 4. Terbentuknya kompleks imun. 5. Kompleks imun memitkikapasitas untuk mengaktifian komplemendan merusekjaringan & —_Kompleks imun juga dapat mengaktivasi sel dendritk plasma, 7. Adivasi sel dendritk plasma pada jalur TLA7 dan TLA9 akan meningkatkan produksi interferon; IFN-a memiliki pengaruh multipel pada sistem imun yang mengakibatkan torjadinya aubimunitas, sepert diferensiasi sol B menjadi antibodi yang memproduksi sel plasma, aktivasi sel Tdan maturasi sel dendriik. Seluruh siklus ini mengintensifixasi proses autoimun. 8-11. Sol limfosit B, sel limfosit T, sitokin, molekul ko-stimulasi dan jalur sinyal invaselular seagai target terapi. Prinsip dan tujuan terapi SLE Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup. Tujuan khusus pengelolaan SLE adalah: tercapainya remisi terhadap gejala sistemik dan manifestasi organ atau seandainya remisi tidak dapat tercapai, pengobatan harus bertujuan untuk mencapai aktivitas penyakit serendah mungkin. Pengelolaan juga harus berusaha untuk meningkatkan kesintasan jangka panjang, menghambat kerusakan organ, optimalisasi kualitas hidup dengan mengontrol aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, serta komorbiditas dan toksisitas obat yang minimal. =* Pengelolan SLE merupakan aspek yang sulit dan sering salah dimengerti dan memerlukan pendekatan multigisipliner serta pengertian tentang banyaknya aspek dan manifestasi penyakit. Pengelolaan tidak terbatas pada pemakeian obat — obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio - psiko — sosial, meliputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. °? Strategi pengobatan pada SLE dengan manifestasi berat dan lupus nefritis meliputi fase induksi dengan tujuan menekan inflamasi glomerular dan tercapainya remisi, diikuti dengan fase pemeliharaan untuk mempertahankan efek terapi. 1° Strategi terapi yang sesuai harus dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengobatan SLE. Hal ini terdiri atas diagnosis awal, terapi efektif, penyesuaian dosis kotikosteroid, dan targeted therapy yang memiliki toksisitas lebih rendah dan steroid-sparing agent yang potensial. Pada referat ini, pembahasan akan difokuskan kepada agen biologis yang telah membawa harapan dalam perkembangan dan kemajuan penatalaksanaan SLE. ° Penilaian respon terapi SLE Respon terapi dinilai berdasarkan beberapa indikator atau alat_ukur Indikator ini terus dikembangkan dan divalidasi untuk menilai inflamasi reversibel pada SLE dengan menggunakan gabungan antara variabel kinis dan penunjang."* Penilaian respon terapi dengan melinat aktivtas penyakit dapat menggunakan alat penilaian yang telah divalidasi diantaranya British islet Lupus Assesment Group (BILAG), the Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), the SLE Disease Activity Index (SLEDAI), dan the Moaified Safety of Estrogen in Lupus Erythematosus National Assesssment (SELENA). Setiap alat perilaian ini dirancang untuk digunakan pada uji observasional dan digunakan pula pada ui Minis. Detinisi remisi belum dinyatakan secara jelas pada alat penilaian tersebut, kecuali definisi remisi berdasarkan SLE Disease Activity Index (SLEDA).°* Petri, dkk menyatakan definisi respon terapi bedasarkan index SLEDAI yaitu : perbaikan (penurunan nilai SLEDAl >3); aktivitas penyakit persisten (penurunan nilai SLEDAI < 3); dan remisi_ (SLEDAI 0). Definisi ini pada akhimnya menimbulkan banyak pertanyaan mengenai makna dari abnormalitas serologis seperti kadar komplemen, titer antibodi anti-dsDNA, sehingga kriteria remisi yang sesuai terus dikembangkan dan disesuaikan. Remisi pada penyakit SLE juga dapat dipertimbangkan pada penurunan aktivitas penyakit yang spesifik terhadap sualu sistem organ. Index BILAD merupakan indeks yang spesifik terhadap sistem organ, dengan penilaian terhadap 8 sistem : umum, mukokutan, neurologis, muskuloskeletal, kardiopulmonal, vaskultis, renal dan hematologis.‘* Detinisi remisi paling jelas dinyatakan pada detinisi remisi lupus netritis (respon renal kompit) yaitu membaiknya funsi ginjal dengan proteinuria derajat ringan (<0,5-19/24 jam) dengan atau tanpa sedimen urin yang negatif setelah pemberian terapi agen imunosupresan. * Tabel I. Skor MEX SLEDAI untuk menilai aktifitas penyakit dalam 10 hari. Bobot | __ Deskripst Defnisi 3 | Gangguan Pathasa, Ganggaan Femampuan melalsanakan aKifias Tungat neuralogis normal dkarenakan gangguan persepsi alias 3} Gangguan ginjal —| Casts, heme granular atau sel darah merah Hematuria > 5 Ipb. Proteinuria. Onset baru, 0,59 pada random spesimen Peningkatan kreatinin (>5mgial 7 Waskamiis Uisorasi, gangren, nodul pada jail yang Tunak, lark paMlunguel, splinter haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari vaskulis. 3] Hemoiss Fib<12g/il dan Korehs roURUTOSTSoT Trombositopenia__| Trombositopenia <100.000. bukan diseabkan obat 3] Moss Nyer_dan lemahnya ofat ~ ofot proksimal, yag TRUBUnGKan dangan peningkatan CPK 2 eins Pembengkakxan atau ofusr lebih daft 2 sondr Gangguan Fuam malar. Onsetbaru atau malar erilema yang menonjol mukokutaneus Mucous uleer. Oral atau nasolaring ulserasi dengan onset baru atau berulang Nopesia abnormal. SerosTis Preurits Perikarditis Penitonits 1 [Daman Demam > 38° setelah eksklust infoksi Fatigue Fatigue yang tidak dapat djelaskan T | Lekopenia Sel darah puth <4000imm* Limfopenia Limfosit <1200/mm?, bukan akibat obat Dikutip dari. Terapi non farmakologis dalam tatalaksana SLE Karena prognosis dan manifestasi klnis SLE yang bervariasi, maka ‘sangatlah penting untuk mengumpulkan data pasien secara lengkap sebelum inisiasi terapi. Kepatuhan merupakan Komponen yang sangat penting dalam tatalaksana SLE sehingga strategi untuk mencapainya perlu dikembangkan dan diimplementasikan. Edukasi serta pengetahuan tentang penyakit, dan perencanaan terapi yang melibatkan penderita, serta keluarga, teman dan kerabat dapat meningkatkan kepatuhan dalam menjalani rancangan tatalaksana SLE. }? Kelelahan (fatigue) yang timbul pada 50-90% pasien SLE membuat tatalaksana umum seperti pola istiahat, pola tidur, olahraga harus diterapkan. Pengetahuan akan penyebab yang mendasarinya perlu diketahui. Pasien harus menghindari rokok dan alkohol, dan mengetahui akibat kerusakan jaringan yang dapat disebabkannya.'? Pasien SLE harus menghindari paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet B pada waktu tengah hari (pukul 10.00 - 16.00) merupakan faktor fototoksik yang lebih signifikan. Selain pembatasan dan penjadwalan aktivitas di luar ruangan, penggunaan tabir surga dengan sun protection factor 30 atau lebih dapat mengurangi penetrasi sinar UV dan mengurangi paparan tethadap bahaya fototoksisitas.'? Terapi farmakologis dalam tatalaksana SLE 1. Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) NSAID seperti aspirin dan agen anti inflamasi lainnya telah digunakan pada lebin dari 80% pasien SLE untuk mengobati gejala muskuloskeletal, nyeri kepala, inflamasi membrana mukosa dan serositis. '*:'® NSAID menghambat produksi prostaglandin dengan berikatan kepada siklooksigenase. Limfosit T mengekspresikan isoenzim siklooksigenase — 2 cimana hal ini dapat berperan pada aktivasi sel T, produksi IL-2, TNF-a, dan INF- y. Pengobatan menggunakan COX-2 inhibitor dapat menurunkan produksi antibodi serta menghambat respon sel T terhadap nukleosom dan presentasi antigen oleh antigen presenting cell. Menurut Lander, terlepas dari kandungan sulfa yang dapat mencetuskan aktivitas lupus, terapi mengunakan celecoxib merupakan pilihan yang aman dan menguntungkan. Celecoxib tidak berinteraksi dengan warfarin seperti NSAID lainnya. Walaupun terdapat insidensi penyakit jantung koroner yang tinggi pada pasien SLE, data yang cukup untuk menunjang peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien SLE belum ada. Penggunaan obat - obatan ini perlu cihindari pada pasien SLE yang memilki risiko terjadinya penyakit vaskuler dini. Efek samping lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian NSAID antara lain toksisitas terhadap ginjal, hipertensi, reaksi alergi, serta toksisitas terhadap hepar.® 2. Antimalaria Penggunaan kuinin digunakan pertama kali oleh Paine untuk mengobati lupus eritematosus diskoid, dan setelan Page menggunakan kuinakrin pada tahun 1951 penggunaan antimalaria sebagai terapi diskoid lupus eritematosus meluas. Dengan banyaknya agen terapi baru yang menjanjikan, tidak membuat penggunaan obat antimalaria yang aman, murah, dan efektif tergeser dari peran kuncinya dalam pengobatan SLE.'® Pada tahun 1993, Fox menyatakan bahwa obat antimalaria meningkatkan pH yang menurunkan pembentukan kompleks major histocompatibility complex (MHC), menghambat pembentukan kompleks peptida - MHC kelas Il sehingga stimulasi terhadap CD+sell T yang bersifat reaktif kepada autoantigen menurun, pelepasan sitokin dan terjadinya autoimunitas juga menurun. *° Pengobatan dengan obat antimalaria menunjukan penurunan kadar IL- 48, 1-6, IL-18, dan TNF-a secara nyata pada 3 bulan setelah inisiasi Mekanisme aksi obat ini juga terdapat pada blokade 7LA9, suatu kompartemen selular yang berperan dalam aktivasi sel dendritik/sel plasma. '® Telah banyak penelitian yang membuktikan efektifitas terapi SLE dengan menggunakan obat antimalaria. Selain manfaat terhadap aksi imunologis, obat antimalaria juga memilki sifat antitrombosis dengan menghambat agregasi dan adhesi trombosis, menghambat pembentukan antibodi antifosfolipid B-2 glikoprotein I, menghambat terbentuknya komplek antibodi antifosfolipid — anexin 5; proteksi kardiovaskuler; efek antimikrobial terhadap bakteri, jamur dan virus; menghambat pertumbuhan se! dan mutasi pada sel dengan pembelahan yang cepat. Obat antimalaria dinyatakan aman pada kehamilan dan laktasi. °"° Obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan SLE antara lain hidroksilorokuin, Klorokuin dan kuinakrin. Dosis maksimal untuk obat antimalaria Klorokuin adalah 3mqg/kg/hari, dan 6,5/kg/hari_ untuk hidroksiklorokuin. Respon terapi akan terlihat setelah penggunaan selama 4-6 minggu pada klorokuin dan 8-12 minggu pada hidroksikiorokuin. Efek samping obat-obatan ini antara lain berupa mual, anoreksia, muntah, diare dan distensi abdomen, pigmentasi kulit, keratopati, nyeri kepala, mimpi buruk, insomnia, tinitus. Efek samping ini akan berkurang dengan penyesuaian dosis, dan dapat menghilang bila obat dihentikan. Efek samping yang jarang antara lain miopati, kardiomiopati, depresi sumsum tulang. Toksisitas terhadap retina merupakan efek samping yang harus diperhatikan. Berat ringannya bervariasi berupa perubahan asimtomatik hingga terjadinya retinopati, makulopati yang ireversibel. 3. Glukokortikoid Giukokortikoid masih menjadi lini terdepan dalam pengobatan penyakit thematologi sejak Philip Hench memperkenalkan penggunaannya pada tahun 1949. Giukokortikoid harus digunakan secara berhati - hati dengan dosis yang memberikan efek samping seminimal mungkin. Kombinasi glukokortikoid dengan agen imunosupresan atau anti-inflamasi lainnya dapat membantu tercapainya kontrol penyakit, sehingga dosis glukokortikoid yang lebin rendah dapat diberikan."8*7 Peran glukokortikoid dosis tinggi pada SLE dengan manifestasi berat tidak perlu dipertanyakan lagi. Di sisi lain, sejumlah komplikasi dan efek samping glukokortikoid terkait dosis dan durasi terapi menjadi pertimbangan tersendiri dalam penggunaannya. Pemberian dosis kecil lebih dapat ditoleransi, walaupun risico komplikasi seperti infeksi, gangguan tumbuh kembang, osteoporosis, dan katarak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, terapi pemeliharaan harus mencapai kontrol aktivitas penyakit dengan dosis glukokortikoid serendah mungkin dan penghentian glukokortikoid bila memungkinkan. °"7 Pada tingkat molekular, glukokortikoid bekerja pada berbagai sel (netrofil, monosit-makrofag, fibroblas, endotel) dengan efek genomik dan nongenomik dalam menghambat sintesis dan sekresi mediator protein inflamasi. Pada tingkat selular, glukokortikoid tidak hanya bekerja pada inisiasi inflamasi akut dengan blokade vasodilatasi pembuluh darah kecil, migrasi leukosit PIN dan eosinofil dalam respon kerusakan jaringan, tetapi juga memfasilitasi pembersihan sel inflamasi dan resolusi inflamasi.”” Respon terapi terhadap glukokortikoid pada hampir seluruh manitestasi SLE dicapai dalam kurang dari 1 sampai 2 minggu, serta 2 sampai 6 minggu pada lupus nefritis., Bila terdapat respon terapi yang baik dalam 1 sampai 2 minggu setelah inisiasi atau telah ditambahkan agen sitotoksik dalam regimen pada penyakit refrakter, maka penurunan dosis glukokortikoid (fappering off} harus dilakukan. Tahap pertama adalah dengan pemberian regimen satu kali per hari pada pagi hari, dengan dosis harian dapat diturunkan sebesar Smg (5-1 0%) setiap minggu hingga dosis mencapai 0,25-0.5mg/kg/hari. Penghentian glukokortikoid atau penurunan hingga dosis minimal dapat dilakukan secara lebih perlahan."” Pulse dose glukokortikoid pertama kali diberikan pada pasien SLE dengan glomerulonefritis proliferatif difus, yaitu methylprednisolon sebesar 0,5 - ig /hari selama 3 hari. Terapi ini efektif pada pneumonitis, serositis, vaskulitis, dan trombositopenia, namun pada penelitian yang membandingkan antara pulse therapy — glukokortikoid dengan siklofosfamid ~ menunjukan — keunggulan siklofostamid. Kombinasi terapi dengan agen imunosupresan dapat memberikan perbaikan fungsi ginjal bila dibandingkan dengan penggunaan obat secara tunggal.”” 4, Agen imunosupresan (agen sitotoksik) Agen imunosupresan digunakan pada SLE dengan manifestasi berat untuk meminimalisir_kerusakan jaringan ireversibel serta mengurangi toksisitas akibat penggunaan kortikosteroid. Pada beberapa dekade belakangan ini tatalaksana SLE difokuskan pada minimalisasi penggunaan siklofosfamid, bahkan pada SLE dengan manifestasi berat sekalipun. Penggunaan siklofostamid dibatasi hanya sebagai induksi remisi, dikuti dengan terapi pemelinaraan dengan MMF atau azathioprine pada pengobatan lupus nefits. Selain itu, dilakukan pemendekan periode induksi menggunakan siklofos amid, atau substitusi siklofosfamid dengan MVF untuk induksi remisi pada lupus nefits." ‘Awal terapi SLE dengan mengunakan alkylating agent dilaporkan oleh Osborne, dkk pada tahun 1947 sebagai agen topikal pada penderita kutaneus lupus, dan diikuti pada tahun 1949 yang memberikan hasil yang cepat dan Gramatis pada penderita lupus neftitis."* a. Siklofosfamid Walaupun toksisitasnya yang jelas, siklofosfamid masih merupakan obat yang penting dalam tatalaksana SLE. Efek Klnis dan toksik siklofostamid bergantung pada dosis, rute pemberian, durasi dan dosis kumulatifnya. Efek langsung siklofosfamid sebagai imunomodulator membuat obat ini memiliki onset yang cepat dalam efektiftas terapi (dalam 2 sampai 4 hari) Mekanisme kerja sikiofostamid terdiri atas perannya dalam mempengaruhi fungsi makrofag, meningkatkan produksi prostaglandin E2, mengganggu transkripsi gen, dan efek langsung terhadap limfosit, Siklofosfamid yang diberikan secara intravena menekan aktivasi sel T. '° Siklofosfamid intravena bulanan dapat dimulai dengan dosis 500 — 750mgim? dalam normal salin selama 1 jam. Dosis dapat ditingkatkan 10 -25% dengan target hitung leukosit antara 2000 - 3000/mm®. Penurunan dosis harus cilakukan pada saat hitung leukosit dibawah 2000/mm* atau hitung granulosit iibawah 1000/mm®. Terapi induksi dapat diberikan sebanyak 6 kali. Penggunaan sikiofosiamid intravena setiap 2 minggu dikuti dengan pemberian azathioprin telah terbukti efektif.'® Efek samping siklofostamid antara lain sistitis hemoragika, karsinoma bul dan keganasan, supresi sumsumg tulang, pneumonitis interstitial akut, infeksi, infertlitas dan teratotoksisitas. Kejadian sistitis hemoragik dan karsinoma bul terjadi pada pemberian dosis diatas 30 gram. Hidrasi adekuat selama pemberian siklofosiamid dapat dilakukan untuk mencegah sistitis hemoragika.'* b. Clorambucil Chlorambucil telah dihentikan penggunaannya dalam terapi SLE karena toksisitasny yang berat pada penggunaan jangka panjang. Karena penggunaan jangka pendek sebagai induksi remisi memberikan efek toksik yang lebih kecil, maka terapi menggunakan obat ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi induksi pada beberapa keadaan seperti individu dengan nerogenic bladder.'* ¢. Azathioprine Azathioprine telah digunakan selama lebih dari 50 tahun pada transplantasi organ dan penyakit rhematik. Walaupun potensi dan onset kerjanya, tidak sebaik siklofosfamid pada pasien SLE akut dan berat, azathioprine tetap berguna sebagai steroid sparing agent serta sebagai terapi pemeliharaan setelah pengobatan dengan siklofosfamid pada pasien lupus nefrtis.® Azathioprie menurunkan jumlah sel T, sel B dan sel NK sehingga menghambat imunitas selular dan humoral, menekan pembentukan autoantibodi dan menghambat sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid, azathioprine tidak digunakan sebagai obat tunggal pada terapi lupus neftitis, namun memberikan hasil yang baik bila digunakan sebagai sparing agent terhadap steroid maupun siklofosfamid.® Obat ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan agen biologis belimumab atau rituximab, sehingga patut dipertimbangkan dalam tatalaksana SLE yang resisten terhadap steroid. 4. Calcineurin Inhibitors : Siklosporin dan Tacrolimus Bukti yang ada tentang siklosprorin dan tacrolimus adalah efektifitasnya dalam terapi nefriis membranosa. Kedua obat ini juga sangat menarik karena toksisitas sumsum tulang dan keamanannya pada kehamilan. Walaupun dinilai efektif dalam mengurangi tingkat proteinuria, penelitian mengenai obat ini masih terbatas bila dibandingkan dengan azathioprine, MMF dan siklofosfamid. '® e.Methotrexate Metotrexat adalah antagonis folat_ yang menghambat dihidrofolat reduktase. Disintesis pada tahun 1940 dan digunakan sebagai zat sitotoksik terhadap ‘tumor. Bila digunakan dalam dosis pada penyakit rematik, efek sitotoksiknya lebih sedikit dan berguna dalam imunomodulator. *® Methotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan dosis 10 — 30mg, dengan penambahan asam folat 1mg/hari. Methotrexat relatif aman dan itoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE, terutama pada pasien SLE dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring fungsi ginjal sangat penting, Kontrasepsi yang baik harus ciberikan pada wanita produktit untuk mencegah efek teralotoksisitas. {. Mycophenolate Uji Klinis. terkontro! berkualitas baik telah menunjukan efektifitas terapi SLE dengan MMF, sehingga MMF dapat cijacikan terapi alternatif terapi induksi pada lupus nefritis. Faktor genetik mempengaruhi respon terapi dengan obat in Sulu atrike-amerika dan hispanik memberikan respon terapi yang baik bila dibandingkan dengan kaukasia. * Terapi dengan MMF juga dapat menjadi terapi pemeliharan setelah induksi menggunakan sikifosfamid dan MVF mungkin lebih baik jika dibandingian dengan azathioprin sebagai terapi pemeliharaan. Efek toksik yang kecil terhadap gonad membuat MMF lebih digemari dan menjadi lini pertama dalam pengobatan bagi penderita SLE yang berada dalam masa pubertas atau anak — anak. * g. Targeted therapy dalam pengobatan SLE Dalam dua dekade terakhir, strategi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengetahuan tentang ‘patogenesis SLE telah membawa kita kepada pendekatan terapi yang tertuju pada molekul spesifik. Kata ‘target’ dalam targeted therapy dapat digunakan untuk suatu tipe sel atau molekul yang dapat menjadi sasaran suatu pengobatan dengan agen biologis."*"° Terapi menggunakan agen biologis telah terbukti efektit pada penyakit inflamasi seperti artritis rheumatoid, multipel sklerosis, dan inflamatory bowel disease, namun efektiftasnya masih menjadi hal yang kontroversial pada pengobatan SLE.? Beat cal renentors expressed by plasmacytod denarii cells Gambar Ill. Mekanisme patogenesis SLE yang dapat dijadikan target terapi. Dikutip dari Thanou. 2° 10 Gambar IV. Obat — obatan yang relevan terhadap target potensial yang berhubungan dengan sel B dan sel T dalam penatalaksanaan ‘SLE. Dikutip dari Rajhadyakshya. ° Tabel Il, Terapi dengan agen biologis dalam terapi SLE. ‘Agen biologis Hasil utama Target sel B ‘Anilood anti CD-20 © Rituximab Efektif pada SLE refrakter Perkembangan dalam aktivitas penyakit Tidak ada keuntungan pada lupus nefrtis proliferatit + Ocrelizumab Tidak ada _keuntungan pada lupus nefritis ‘Antibodi anti CD-22 © Epratuzumab Perkembangan dalam skor BILAG Penurunan dosis _kortikosteroid dengan profil keamanan yang baik Tolerogen limfosit B + Abetimus Tidak ada keuntungan pada pasien lupus netritis Edratide Belum ada hasil yang dis Blokade BiyS © Belimumab Penurunan aldivitas dan penurunan flare up + Alacicept Penurunan signifikan kadar IgM dan IgG Blokade sel T dan ko-stimulator Abatacept Perkembangan pada manifestasi SLE yang tidak mengancam jwa DEC-137 Tidak efektif dalam pengobatan SLE _manusia Efalizumab Penurunan pada manifestasi kutaneus SLE ‘AMG557 Belum ada hasil yang ditlis, Sirolimus Efekif dan aman pada SLE refrakter Anti sitokin a Ant TNFa + _infiximabs Efektvitas jangka panjang pada SLE refrakter Ant FN-ar-y + Sifalimumab | Belum ada hasil yang dirs * Rontalimumab Belum ada hasil yang dirilis ° ANGI Bolum ada hasil yang dirlis Anti IL-1 + Anakinral Perbaikan dalam artis SLE Anti IL-6 Perbaikan pada respon Klinis dan serologis Aa Perbalkan pada altivitas penyakit Dikutip dari Stonl. * Ringkasan SLE merupakan penyakit kronis dengan manifestasi Klinis dan pola aktivitas penyakit yang beraneka ragam. Prognosis jangka panjang seringkali buruk. Hal ini menjadi tantangan dalam penatalaksanaan serta pemilihan terapi. Tujuan akhir pengelolaan SLE adalah meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup melalui tercapainya remisi atau bila remisi tidak dapat dicapai, Pengobatan harus ditujukan pada pencapaian aktivitas penyakit serendah mungkin. Pengelolaan tidak hanya terbatas pada pemakaian obat — obatan saja, namun diperlukan pendekatan holistik berlandaskan pendekatan bio — psiko — sosial, mefiputi tatalaksana non farmakologis dan farmakologis. Berkembangnya pengertian tentang imunopatologi SLE membawa kepada banyaknya penelitian mengenai agen biologis yang ditujukan kepada suatu molekul spesifik sebagai sasaran terapi SLE. Dalam dua dekade terakhir, stralegi pengobatan baru SLE telah berkembang. Pengesahan belimumab (Benlysta) dapat dikatakan menjadi landasan murni terapi SLE dalam sejarah erkembangan agen terapi SLE, dan meningkatkan harapan akan timbulnya agen — agen pengobatan baru dalam tahun — tahun mendatang. Toksisitas steroid semakin meyakinkan adanya kebutuhan terhadap intervensi dengan targeted therapy, namun asumsi bahwa netralisir salah satu sasaran akan memberikan keberhasilan pada seluruh aktivitas penyakit adalah pemikiran yang salah, Seperti yang telah dibahas pada referat ini, terdapat banyak agen terapi yang menjanjkan bagi terap) SLE dan memerlukan banyak investigasi. Perlu jingat bahwa tidak ada salu obat pun yang 100% efektit terhadap seluruh pasien SLE, sehingga tatalaksana SLE harus disesuaikan berdasarkan manifestasi Kiinis dan berbeda pada setiap individu. Daftar Pustaka Krishan $ CB, Juang YT et al. Overiew of the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Tsokos GC GC, Smolen JS et al, aditor Philadelphia: Elsevier,2007. him. 55-63. 2, indonesia Pr. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. in: Kasjmir YI_HK, Wijaya LK et al, aditor.; Jakarta: Perhimpunan reumatologi indonesia; 2011. p. 10-34. 3. Bertias G GR, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus : pathognesis and clinical features. EULAR textoook of rheumatic disease.2014. him. 476-505. 4. Jordan N, Lutalo PM, DGruz DP. Novel therapeutic agents in clinical development for systemic lupus erythematosus. BMC medicine. 2013;11:120. 2 10. " 12. 13 14. 16. 16. 17. 18 19. 20. Fa} 23. van Vollenhoven RF, Mosca M, Bertsias G, kenberg D, Kuhn A, Lerstrom K, et al. Treatto-target in systemic lupus erythematosus: recommendations from. an Intemational task force. Annals of the theumatic diseases. 2014 Jun;73(6):958- 67 Christi L HL, Dewi S, et al, editor. Manifestasi Klinis awal, dan perjalanan penyakit pasien lupus eritematosus sistemik RS Or Hasan Sadikin Bandung. Reumatologi Klinik bandung; 2012; Bandung. Devi S. Lupus eritematosus sistemik: diagnosis, stratifkasi_pasien dan monitoring aktivtas penyakit. Dalam: Wachjudi RG DS, Pramudiyo R, editor. Pedoman praktis reumatologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi iimiah Bagian imu Penyakit Dalam Fakultas Kedoktoran Universitas Padjadjaran; 2008. him. 63-77. Doria A, Gatto M, Zon M, laccarino L, Punzi L. Optimizing outcome in SLE treating-to-target and definition of treatment goals. Autoimmunity reviews. 2014 Jul 13(7:770-7, Rajadhyaksha AG, Mehra S, Nadkar MY. Biologics in SLE: the current status. The Journal of the Association of Physicians of India. 2013 Apr:61 (4):262-7. Hahn BH. Belimumab for Systemic Lupus Erythematosus. New England Journal of Medicine. 2013;368(16):1528-35. Sifuentes Giraldo WA, Garcia Villanueva MJ, Boteanu AL, Lois Iglesias A, Zea Mendoza AC. New Therapeutic Targets in Systemic Lupus. Reumatologia Clinica. 10.1016/j.reumae.2012.06.01 1. 2012:08(04):201-7. Ishimori M WM, Setoodeh K, Wallace DJ. Principles of therapy, local measures, and nonsteroidal medications. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS iupus erythematosus and related syndromes. Philadephia: Saunders; 2013. him. 522- 88. Navarra S, Naidas OD. Management of systemic lupus erythematosus renal disease. Dalam: Weishman MH WM, Louie et all, editor. Targoted treatment of the thaumatic diseases. Philadelphia: Saunders olsevier, 2010. him. 108-21 Mosca M, Bombardier! S. Assessing remission in systemic lupus erythematosus. Clinical and experimental rheumatology. 2006 Nov.Dec;24(6 Supp! 43):S-99-104. Lahita A. Nonsteroid tretment of systemic lupus erythematosus. Dalam: Tsokos GC GC, Smolen JS ot al, editor. Systemic Lupus Erythematosus. Philadephia Elsevier; 2007. him. 483-85. Zubieta JA EJ. Antimalarial mecication. Dalam: Wallace OJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. him. 601-07. Kirou KA BD. Systemic glucocorticoid therapy in SLE. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. him. 591-99. McCune JW ATT. Immunosuppresive drug therapy. Dalam: Wallace DJ HB, editor. DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Saunders: 2013. him. 609-23. Postal M C, Appenzeller S. Biological Therapy in Systemic Lupus Erythematosus. Intemational Journal of Rheumatology. 2012:2012 Thanou A, Merril JT. Treatment of systemic lupus erythematosus: new thorapautic avenues and blind alleys. Nat Rev Rheumatol. 2014 Jan;10(1):23-34. Stohl W. Future prospects in biologic therapy for systemic lupus erythematosus. Nat Rov Rheumatol. Rovow. 2013 12//print;9(12):705-20. RF Vv. Novel therapies for SLE : Biological agents available in practice today. Dalam: Wallace OY HB, aditor, DUBOIS lupus erythematosus and related syndromes. Philadelphia: Elsevier; 2013. him. 640-46. Treatment of SLE: bridging the gap from clinical trials to the clinic. Abstracts of a symposium held curing the American College of Rheumatology Congress in 2012. November 11, 2012. Washington, D.C., USA. Artitis research & therapy. 2013:15 Suppl 2:A1-5. B

Anda mungkin juga menyukai