Anda di halaman 1dari 12

Tonil: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Copyright © 2018 by

2018, Vol.15, No. 1, 34-45. Teater FSP - ISI Yogyakarta

PENCIPTAAN NASKAH DRAMA


BHRE SATYA PALASTRA
Vera Devitasari
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Abstrak: Bhre Satya Palastra adalah drama yang diciptakan berdasar pada
perbedaan tokoh Menak Jingga dari cerita rakyat Darmawulan dibandingkan dengan
kondisi sosial dan politik pada masa kini. Naskah ini mengangkat kisah kematian
adipati setia akibat penguasa yang lalim. Naskah Bhre Satya Palastra ini diciptakan
dengan teori resepsi secara diakronik untuk mengolah data dan teori adaptasi untuk
proses penyaduran. Hasil akhir dari penciptaan ini berupa sebuah naskah drama
bertema kemenangan atas kematian.

Kata Kunci : Naskah drama, Bhre Satya Palastra, Menak Jingga, cerita rakyat,
resepsi, diakronik

Abstract: Bhre Satya Palastra is a play inspired from many version of Menak
Jingga’s character from Damarwulan folklore compared to the current social and
political conditions. The script tells about the death of a loyal right-hand man caused
by a corrupt ruler. Bhre Satya Palastra is created by using reception theory
diacronically to sort out the data and by using adaptation theory to trace the
adaptations. This research results in a playscript with the theme of winning over
death.

Key words : playscript, Bhre Satya Palastra, Menak Jingga, folklore, reception,
diachronic

Pendahuluan oleh musuh di kanan kirinya (Irawan,


Cerita tentang Menak Jingga 2013).
merupakan salah satu cerita rakyat atau Sedangkan menurut Purwadi, ketua
folklor. Menak Jingga merupakan adipati Asosiasi Masyarakat Adat Using, yang
Blambangan yang terkenal karena dikutip dari jurnal ilmu humaniora dengan
memberontak pada kerajaan Majapahit. judul Janger Banyuwangi Dan
Sebagai seorang adipati, Menak Jingga Menakjinggo: Revitalisasi Budaya oleh
memiliki karakteristik fisik yang gagah dan Novi Anoegrajekti (2014), menyatakan
perkasa. Menurut Babad Majapahit NB. 76, bahwa Menak Jingga adalah seorang ksatria,
Menak Jingga merupakan adipati tinggi besar, gagah berani, dan merupakan
Blambangan yang digambarkan sebagai tokoh yang menjadi ikon dalam cerita itu
berikut: dan sekaligus sebagai pahlawan
Seorang adipati yang perkasa, tidak Blambangan/Banyuwangi.
mempan senjata dan berbagai macam Sosok Menak Jingga kemudian
logam. Sangat gagah dan sakti. Hanya menjadi kontroversi karena memiliki versi
satu kekurangannya yaitu wajahnya yang saling bertolak belakang. Hal ini
jelek dan tidak pantas untuk diperkuat dengan pernyataan Hirwan
digambarkan. Tetapi yang menjadi Kuardhani berikut ini:
kelebihannya yaitu dia sangat ditakuti Tokoh Menak Jingga merupakan tokoh
kontroversi, di satu pihak ia merupakan

34
35

tokoh antagonis dari Damarwulan, rakyat Damarwulan – Menak Jingga dapat


sebaliknya Menak Jingga merupakan menjadi media pendidikan. Karena cerita
tokoh hero bagi masyarakat rakyat Damarwulan – Menak Jingga
Blambangan, sesungguhnya siapakah mengungkap sifat alamiah manusia yang
tokoh tersebut sangat menarik untuk selalu haus akan kekuasaan, yang kuat selalu
ditelusuri dan dicermati (Kuardhani,
mengalahkan yang lemah dan yang baik
2000).
Bagi masyarakat luas, Menak Jingga mengalahkan yang buruk.
dianggap sebagai seorang adipati yang Berangkat dari gagasan diatas,
buruk rupa, pincang, bengis, kejam dan perbedaan interpretasi tokoh Menak Jingga
perongrong kekuasaan Majapahit. pada versi cerita rakyat Damarwulan –
Penggambaran sosok Menak Jingga tersebut Menak Jingga menginspirasi penciptaan
lebih dikenal dengan sebutan versi Mataram. naskah drama dengan judul Bhre Satya
Sedangkan menurut masyarakat Palastra. Naskah drama Bhre Satya
Banyuwangi (Blambangan) atau versi Palastra akan dikembangkan menjadi
Banyuwangi, Menak Jingga merupakan naskah drama tentang Menak Jingga versi
adipati yang bijaksana, gagah, dan tampan. baru. Dengan menghadirkan pihak ketiga
Sehingga pantas dijadikan sebagai sosok pada pertarungan Damarwulan dan Menak
pahlawan. Menurut Novi, Menak Jingga Jingga sebagai tokoh utama dalam cerita
merupakan tokoh sentral dalam sejarah Bersumber dari perbedaan versi
Blambangan yang ditempatkan sebagai tokoh Menak Jingga pada cerita rakyat
seorang ksatria, pemimpin, pahlawan, dan Damarwulan – Menak Jingga maka ditarik
tokoh kebanggaan masyarakat Using rumusan penciptaan sebagai berikut:
(Anoegrajekti, 2014). 1. Bagaimana proses penciptaan naskah
Perbedaan pada penggambaran tokoh drama Bhre Satya Palastra yang diresepsi
Menak Jingga sangat menarik untuk dari perbedaan versi tokoh Menak Jingga
ditelusuri lebih mendalam. Apakah pada cerita rakyat Damarwulan – Menak
penggambaran tokoh Menak Jingga Jingga?
merupakan sebuah strategi politik untuk 2. Bagaimana menciptakan naskah drama
menjatuhkan mental rakyat bawahan Bhre Satya Palastra yang dapat
darinegara penguasa. Sehingga muncul menggambarkan kondisi sosial politik saat
kecurigaan bahwa cerita rakyat Menak ini?
Jingga telah dikontruksi menjadi sedemikian Naskah drama Bhre Satya Palastra
rupa. Terutama perihal penokohan Menak ini mempunyai beberapa tujuan untuk
Jingga yang memunculkan stigma negatif. penciptaannya. Diantaranya ialah :
Berkembangnya stigma negatif 1. Untuk menciptakan naskah drama Bhre
terhadap tokoh Menak Jingga menyudutkan Satya Palastra yang terinspirasi dari
masyarakat Banyuwangi (Nurullita, 2015). perbedaan versi tokoh Menak Jingga pada
Masyarakat Banyuwangi dianggap memiliki cerita rakyat Damarwulan – Menak Jingga.
sifat dan perwatakan yang sama dengan 2. Untuk menciptakan naskah drama Bhre
Menak Jingga. Yakni, ucapannya kasar, Satya Palastra yang dapat menggambarkan
tidak memiliki kewibawaan, dan berperilaku kondisi sosial politik saat ini.
buruk. Akan tetapi pada saat yang sama ada 3. Untuk melestarikan cerita rakyat
pembacaan yang berbeda dari masyarakat Damarwulan – Menak Jingga di tengah era
Banyuwangi. millenial dengan cara menjadikannya
Meski memiliki versi cerita yang sebagai ide penciptaan naskah drama.
saling bertolak belakang, namun cerita
36

1.2.4. Untuk menambah kekayaan naskah pergeseran horison harapan pembawa,


drama yang terinspirasi dari tokoh Menak dengan penyesuaian dengan jenis-jenis
Jingga pada cerita rakyat Damarwulan – sastra baru, dengan pencocokan dengan
Menak Jingga tahap bahasa yang baru, dan lain-lain.
Terjemahan-terjemahan karya sastra dalam
Penelitian Sebelumnya bahasa lain, sama dengan sadurannya, dapat
Dari ketujuh karya sastra yang dipandang sebagai bentuk resepsi yang
berdasarkan cerita rakyat Damarwulan – sekaligus dapat diartikan sebagai kreasi,
Menak Jingga, yaitu: (1) Serat dan dalam sejarah sastra di mana-mana
Damarwulan ditulis oleh R.Ng. Selawinata terjemahan memainkan peranan yang
pada tahun 1885 (Supadma, 2011). (2) sangat penting, sebagai inovasi, dan
Babad Majapahit NB. 76 koleksi merupakan tahap esensial dalam
Perpustakaan Nasional RI. (3) Layang penerimaaan norma-norma baru.
Damarwulan suntingan Van Hinloppen Bagi Jausz, nilai sebuah karya
Labberton pada tahun (Kuardhani, 2000) terletak terutama pada bagaimana karya itu
(4) Ringkasan versi Kethoprak dikutip dipersepsi dalam rentang waktu yang
(Kuardhani, 2000). (5) Sandhyakala Ning menyejarah, artinya bagaimana ia
Majapahit karya Sanusi Pane (2013) (6) dipersepsi oleh orang pada zamannya
Novel Menak Jingga Sekar Kedaton karya dahulu, sekaligus oleh yang hidup saat ini.
Langit Kresna Hariadi (2013). Pandangan ini dilandasi konsep Gadamer
tentang ‘peleburan horizon’ (Fusion of
Teori Penciptaan Horizon) yakni bahwa dalam memahami
Secara definitif, menurut Nyoman suatu teks selalu terjadi peleburan antara
Kutha Ratna, resepsi sastra berasal dari kata pemahaman masa lalu yang dikandung teks
recipere (Latin), reception (Inggris), yang itu dengan kepentingan pembaca saat ini
diartikan sebagai penerimaan atau (Ratna, 2015). Resepsi secara sinkronik
penyambutan pembaca (2015). Pembaca merupakan penelitian karya sastra dalam
menjadi faktor penting dalam berdirinya hubungannya dengan pembaca sezaman.
sebuah karya sastra. Hal ini diperkuat Sedangkan resepsi secara diakronik lebih
pendapat Jausz bahwa pembaca yang rumit karena melibatkan tanggapan
menilai, menikmati, menafsirkan, pembaca sepanjang sejarah.
memahami karya sastra menentukan Sebelum melakukan penyaduran,
nasibnya dan peranannya dari segi sejarah untuk memperoleh tanggapan pembaca
dan estetik (Teeuw, 2015). mengenai perbedaan versi tokoh Menak
A Teeuw dalam bukunya yang Jingga sepanjang sejarah. Maka, dilakukan
berjudul Sastra Dan Ilmu Sastra (2015), proses resepsi secara diakronik.
menjelaskan bahwa ada tiga bentuk resepsi
yang khas yakni: penyalinan, penyaduran Metode
dan penterjemahan. Penyalinan yang Jabrohim mengatakan bahwa aspek-
dimaksud di sini ialah penyalinan naskah, aspek sebuah naskah drama antara lain:
tulisan tangan, yang diteliti oleh filologi, penciptaan latar, penciptaan tokoh yang
tepatnya: tekstologi. Penyaduran adalah hidup, penciptaan konflik-konflik,
proses sebuah teks digarap oleh seorang penulisan adegan dan secara keseluruhan
penulis yang kemudian, dengan disusun ke dalam sebuah scenario (2009).
menyesuaikannya dengan norma-norma Jika dijabarkan sebagai berikut:
baru, dengan perubahan yang membuktikan 1. Penciptaan Latar
37

Istilah latar (setting) dalam arti yang lain sehingga menjadi sebuah rangkaian
lengkap meliputi aspek ruang dan waktu utuh yang disebut sebagai naskah drama.
terjadinya peristiwa (Satoto, 1993). Latar 5. Secara Keseluruhan Disusun Ke Dalam
ruang merupakan aspek yang Sebuah Skenario
menggambarkan tempat terjadinya Jabrohim membagi proses tersebut
peristiwa dalam naskah. Latar waktu ke dalam dua tahap berikut:
merupakan aspek yang menunjukkan kapan a. Penempatan elemen bersama–sama ke
atau waktu terjadinya peristiwa dalam dalam skenario dasar (kasar) berupa
naskah. Sedangkan latar suasana outline naratif yang mengisahkan cerita
merupakan aspek suasana yang (story) drama itu.
membangun peristiwa dalam naskah. b. Menulis adegan itu sendiri lengkap
2. Penciptaan Tokoh dengan dialog dan petunjuk panggung
Informasi-informasi yang harus (stage direction) (2009).
tergambar dari tokoh yakni: nama, usia,
jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri khas Tinjauan Cerita Rakyat Menak
wajah, status sosial, hubungan tokoh Jingga dalam Diakronik
dengan tokoh yang lainnya, dan juga Pada Menak Jingga Nagih Janji
karakter/sifat. Jika para tokoh sudah memiliki penggambaran sosok Menak
teridentifikasi secara tiga dimensional maka Jingga sebagai ksatria dan pahlawan. Hal ini
akan melahirkan tokoh yang dapat berkata terjadi karena lakon Menak Jingga Nagih
(dialog) dan berlaku (action) secara wajar Janji menjadi representasi kepercayaan
dalam sebuah penceritaan drama masyarakat Banyuwangi. Masyarakat
(Iswantara, 2016). Menurut Gorys Keraf Banyuwangi memiliki pandangan bahwa
dalam bukunya yang berjudul Argumentasi Menak Jingga merupakan tokoh protagonis
dan Narasi, gambaran mengenai karakter yang gagah, tampan, sakti mandraguna dan
dapat juga dicapai melalui tokoh atau layak untuk dijadikan pahlawan.
karakter lain yang berinteraksi dalam Pada versi novel Menak Jingga Sekar
pengisahan (2010). Kedaton (Hariadi, 2013) sangat berani
3. Penciptaan Konflik menghadirkan sosok Menak Jingga atau
Konflik yang melibatkan manusia, Bhre Wirabumi yang berbeda dengan versi
dan dengan demikian menjadi faktor utama Mataram. Bahkan Langit Kresna Hariadi
pertimbangan untuk mengangkat menunjukkan bahwa tokoh antagonisnya
permasalahan itu dalam sebuah narasi, bukanlah Menak Jingga seperti yang selama
dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: konflik ini ada di cerita rakyat Damarwulan –
berupa pertarungan melawan alam, konflik Menak Jingga (2013). Sedangkan pada versi
berupa pertarungan antar manusia dengan babad, serat ataupun layang, secara garis
manusia, dan konflik dalam diri seseorang besar menggambarkan Menak Jingga
atau konflik batin (Keraf, 2010). sebagai sosok yang mengerikan. Penuh
4. Penciptaan Adegan amarah dan kejam. Buruk rupa serta
Adegan-adegan yang akan merugikan banyak orang, baik kerajaan
diciptakan pada mulanya disusun dalam Majapahit ataupun rakyat Blambangan.
treatment. Adegan merupakan bagian dari Penciptaan ketujuh karya sastra di atas dapat
keutuhan naskah yang memuat latar, tokoh, dilihat keberpihakan penulis. Dari segi
dialog dan juga petunjuk laku. Adegan penggambaran sosok Menak Jingga
diciptakan saling berhubungan satu sama utamanya. Pada versi Kethoprak dan Janger
misalnya. Kedua seni pertunjukan ini sama-
38

sama memiliki lakon tentang cerita rakyat Berdasarkan pada analisis yang telah
Damarwulan – Menak Jingga. Akan tetapi dilakukan, maka isi cerita mengalami
memiliki penggambaran sosok Menak penyaduran dari yang ada. Penyaduran
Jingga yang bertolak belakang. Jika dilihat dilakukan supaya menghadirkan cerita
dari segi isi cerita kedua versi ini tidak bahwa Menak Jingga tidak pernah
memiliki perbedaan yang signifikan, namun melakukan pemberontakan. Menak Jingga
perbedaan penggambaran sosok Menak hanyalah tokoh yang menjadi korban dari
Jingga sangatlah mencolok. nafsu manusia untuk memperoleh
Seni pertunjukan dapat menunjukkan kekuasaan.
budaya dan pandangan masyarakat dimana 3. Hasil
ia berada. Penulis karya sastra menjadi Naskah drama Bhre Satya Palastra
pembaca kebudayaan yang ada pada bercerita tentang seorang adipati bernama
zamannya. Versi-versi yang ada tidak dapat Bhre Satya yang dianggap memberontak
divonis mana yang benar dan yang salah. pada kerajaan Brang Kulon. Bhre Satya
Karena interpretasi penulis karya sastra kemudian terbunuh oleh pusakanya sendiri
sebagai pembaca kebudayaan dan sosial yang telah dicuri oleh Candra Laleyan yang
berbeda satu sama lainnya. bersekongkol dengan Bala Rodra. Setelah
kematian Bhre Satya ini, Widuraberjuang
Proses Penyaduran Isi Cerita untuk mengungkap kematian Bhre Satya.
1. Sumber Cerita Usaha Widura berbuah manis melalui
Menceritakan tentang Kencana bantuan dari Parusya. Widura laluberhasil
Wungu yang memerintahkan Damarwulan mengungkap bahwa Bhre Satyatidak pernah
untuk menumpas pemberontakan yang berniat untuk memberontak, semua isu yang
dilakukan oleh Menak Jingga. Namun telah menyebar merupakan siasat licik Ki
karena Menak Jingga memiliki kekuatan Ageng Candhala untuk menjadi penguasa di
yang luar biasa mengakibatkan Damarwulan kerajaan Brang Kulon. Widura kemudian
sulit untuk mengalahkan Menak Jingga. mengungkapkan kebenaran pada Ratu Ayu
Damarwulan kemudian merayu kedua istri Lembayung tepat sebelum Bala Rodra
Menak Jingga untuk mengetahui kelemahan dinobatkan sebagai adipati Brang Wetan.
Menak Jingga. Wahita dan Puyengan yang Ratu Ayu Lembayung lalu mengangkat
terlanjur jatuh hati pada paras tampan Widura sebagai adipati Brang Wetan,
Damarwulan akhirnya namun ditolak oleh Widura. Widura
memberitahukan kelemahan Menak Jingga. memilih untuk kembali ke desa sebagai
Yakni, dengan menggunakan Gada Wesi petani legen.
Kuning untuk membunuh Menak Jingga. 4. Judul
Gada Wesi Kuning merupakan pusaka milik Pada naskah drama yang akan
Menak Jingga. Karena perselingkuhan diciptakan tidak akan menekankan pada
kedua istri Menak Jingga tersebut, peristiwa kepahlawanan itu. Melainkan lebih
Damarwulan dapat mencuri Gada Wesi pada peristiwa kematian yang menyebabkan
Kuning dan mengalahkan Menak Jingga. terjadinya konflik. Dengan memperhatikan
Lalu menyerahkan kepala Menak Jingga hal tersebut, maka naskah drama yang akan
pada Kencana Wungu. Pada akhir cerita, diciptakan ini diberi judul Bhre Satya
Damarwulan menjadi raja Majapahit dan Palastra. Bhre Satya merupakan nama tokoh
menikahi Kencana Wungu, Anjasmara, utama. Palastra memiliki arti kematian.
Wahita dan Puyengan. Jadi, Bhre Satya Palastra berarti kematian
2. Proses Bhre Satya.
39

5. Tema lakon. Epitasio (complication) merupakan


Tema, secara umum, dapat disebut jalinan kejadian. Catarsis (climax)
sebagai gagasan sentral, dasar cerita yang merupakan bagian yang menjadi puncak
juga mencangkup permasalahan dalam laku, peristiwa mencapai titik kulminasinya;
cerita, yaitu sesuatu yang akan diungkapkan sejak 1 – 2 – 3 terdapat laku sedang
untuk memberikan arah dan tujuan cerita memuncak (rising action). Dan catastrophe
dalam karya sastra, termasuk di dalamnya (denouement) merupakan bagian akhir atau
adalah teks drama (Dewojati, 2012). Naskah bagian penutupan (Harymawan, 1986).
drama Bhre Satya Palastra mempunyai Bagian protasis atau exposition
tema kekuasaan, cinta, dan pengkhianatan (eksposisi) terletak pada adegan 1, adegan 2,
bernilai sama, yaitu keburukan karena dan adegan 3. Ketiga adegan inilah yang
dilakukan hanya untuk memuaskan nafsu akan menjelaskan dan mengenalkan peran
semata. serta motif para tokoh, sehingga dapat
6. Premis menjadi penyebab peristiwa pada bagian
Premis ialah rumusan intisari cerita selanjutnya.
sebagai landasan ideal dalam menentukan Bagian epitasio atau complication
arah tujuan cerita. Ditinjau dari pelaksanaan (komplikasi) terdapat dalam adegan 4,
merupakan landasan pola bangunan lakon adegan 5, adegan 6, adegan 7, adegan 8, dan
(Harymawan, 1986). Ketika kekuasaan, adegan 9. Konflik mulai bermunculan
cinta, dan pengkhianatan bernilai sama setelah Candra Laleyan menyamar sebagai
merupakan kalimat yang digunakan sebagai prajurit Brang Wetan untuk melakukan
premis naskah drama Bhre Satya Palastra. siasat liciknya sampai pada adegan ketika
Ketika naluri alamiah manusia yang tidak Widura berhasil menemukan bukti bahwa
pernah merasa puas terus dituruti, maka Bhre Satya tidak bersalah.
segala sesuatu yang ada jadi bernilai sama. Bagian catarsis atau climax
Kekuasaan yang menjadi simbol (klimaks) terdapat dalam adegan 10. Ketika
sebuah kekuatan, cinta yang mewakili Widura menungkap kebenaran yang terjadi.
kedamaian, dan pengkhianatan yang berarti Bahwa Bhre Satya tidak pernah
sebuah kejahatan serta merta memiliki arti memberontak pada kerajaan Brang Kulon
yang sama. Yaitu sebuah ambisi yang dihadapan Ratu Ayu Lembayung.
berujung keburukan. Sehingga kematian Bagian catastrophe atau denouement
bukan menjadi akhir yang menyedihkan. (konklusi) ini akan menggambarkan
Melainkan menjadi sebuah kemenangan. bagaimana peristiwa kemenangan tanpa
7. Alur dihiasi oleh nafsu kekuasaan. Widura
Naskah drama Bhre Satya Palastra berhasil membersihkan nama Bhre Satya
mempunyai rancangan alur atau plot yang dari segala macam tuduhan. Sehingga Ratu
mengacu pada pola plot dramatik Ayu Lembayung memerintahkan Widura
Aristoteles. Aristoteles membagi dramatik untuk menjadi adipati Brang Wetan. Namun
pada plot menjadi empat bagian, yaitu pada akhir cerita Widura menolak dan
protasis (exposition), epitasio memilih kembali ke desa untuk menjadi
(complication), catarsis (climax), dan petani legen.
catastrophe (denouement). Harymawan 8. Penciptaan Latar atau Ruang
dalam bukunya yang berjudul Dramaturgi Nama latar tempat mengalami
menjelaskan bahwa protasis (exposition) penyaduran dari nama latar tempat pada
merupakan bagian permulaan, dimana pada cerita rakyat Damarwulan – Menak Jingga.
bagian tersebut dijelaskan peran dan motif Dalam Cerita Rakyat Damarwulan – Menak
40

Jingga Kerajaan Majapahit. Pada cerita Rambat Bale merupakan pendapa kadipaten
rakyat Damarwulan – Menak Jingga Brang Wetan biasa digunakan untuk tempat
kerajaan Majapahit merupakan kerajaan rapat dan pertemuan petinggi kadipaten
yang memiliki daerah kekuasaan yang luas, Brang Wetan; Taman Tirta merupakan
termasuk di dalamnya adalah kadipaten taman yang memiliki pura disalah satu
Blambangan. Kerajaan Majapahit pada sudutnya yang ada di kadipaten Brang
cerita rakyat Damarwulan – Menak Wetan; dan Alun-alun merupakan sebuah
Jingga dipimpin seorang ratu bernama tanah lapang yang sangat besar, letaknya
Kencana Wungu. Sementara dalam naskah berada di depan istana kadipaten Brang
drama Bhre Satya Palastra, menjadi Wetan.
Kerajaan Brang Kulon. Penciptaan nama b. Teluk Pang-pang
Brang Kulon terinspirasi dari letak Latar tempat teluk Pang-pang
geografis Majapahit, yaitu berada di sebelah merupakan sebuah teluk yang berada di
barat Jawa Timur. Brang berasal dari kata bagian selatan kadipaten Brang Wetan.
sebrang yang berarti bagian. Sedangkan Pemberian nama teluk Pang-pang ini
Kulon berasal dari Bahasa Jawa yang berdasarkan pada nama wilayah yang dahulu
berarti Barat. Kerajaan Brang Kulon pernah ada di Banyuwangi. Kini daerah
menjadi simbol latar tempat yang memiliki tersebut memiliki nama Muncar. Teluk
arti kerajaan yang berada di sebelah barat. Pang-pang juga dijadikan sebagai tempat
Nama Brang Kulon mewakili penggambaran ibadah karena dianggap sakral dan
kerajaan Majapahit. bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Pada cerita rakyat Damarwulan – c. Kediaman Bala Rodra
Menak Jingga kadipaten Blambangan Sebuah tempat tinggal yang terdapat
merupakan sebuah wilayah yang diberikan pendapa dan memiliki halaman yang luas.
kepada Menak Jingga sebagai hadiah Kediaman Bala Rodra terletak di desa
atas kemenangannya melawan Kebo Sembulung. Desa Sembulung letaknya
Marcuet. Dalam Bhre Satya Palastra, berada dipelosok dan sangat jauh dari istana
Kadipaten Brang Wetan merupakan nama kadipaten Brang Wetan. Penciptaan latar
yang diciptakan untuk mewakili wilayah tempat kediaman Bala Rodra digunakan
kadipaten Blambangan. Blambangan yang sebagai tempat terjadinya persekongkolan
terletak di sebelah timur di Jawa Timur Bala Rodra dengan Ki Ageng Candhala.
menginspirasi penciptaan nama Brang Pada naskah drama Bhre Satya
Wetan. Brang berasal dari kata sebrang yang Palastra latar waktu terjadinya peristiwa
berarti bagian dan wetan memiliki arti timur. masa kerajaan. Ketika terciptanya hukum
Secara keseluruhan, naskah drama berdasar pada keputusan seorang raja.
Bhre Satya Palastra ini menggunakan Sehingga benar dan salah tergantung
wilayah di kadipaten Brang Wetan sebagai pada kebijaksanaan seorang raja. Latar
latar tempat atau ruang, yaitu: waktu pada naskah drama Bhre Satya
a. Istana kadipaten Brang Wetan Palastra hanya akan menjelaskan bahwa
Istana kadipaten Brang Wetan ini peristiwa yang terjadi dalam naskah
terletak di pusat kadipaten Brang Wetan. merupakan masa pemerintahan Ratu Ayu
Pada istana ini memiliki beberapa bagian Lembayung pada kerajaan Brang Kulon dan
bangunan berdasarkan fungsinya, yaitu masa pemerintahan Bhre Satya di kadipaten
istana pusat sebagai tempat khusus untuk Brang Wetan.
adipati Brang Wetan; istana permaisuri Suasana dimulai dengan kerumitan
merupakan tempat tinggal permaisuri; mimpi yang menghantui Bhre Satya.
41

Kemudian berubah menjadi tegang karena statis, maka tokoh Bhre Satya termasuk ke
pertempuran. Latar suasana pada naskah ini dalam tokoh datar atau pipih.
menjadi semakin rumit ketika isu-isu tidak 2. Widura
benar yang dituduhkan kepada Bhre Satya Seorang abdi yang setia dan sakti. Ia
menyebabkan kebencian dan sudah tidak muda lagi tapi juga belum
persekongkolan. Akibatnya suasana menjadi terlalu tua. Memiliki sifat jenaka, gigih,
kacau tidak terkendali. Kemudian suasana sabar dan bijaksana. Namun ketika sedang
menjadi cair dengan percintaan yang marah ia menjadi sosok yang menakutkan.
berujung pada ketragisan karena Tokoh Widura menggambarkan seseorang
terbunuhnya Bhre Satya. Suasana beranjak yang tidak setuju pada tindakan
kembali pada ketegangan perjuangan menyimpang penguasa. Bahkan Widura
Widura mencari kebenaran yang berbuah berusaha untuk mengungkap kebenaran
kemenangan. Pada akhir cerita, latar suasana yang ada.
menjadi mengantung karena Widura pergi Widura menjadi tokoh andalan yang
setelah menolak titah Ratu Ayu Lembayung menjadi kepercayaan protagonis. Meski
dan hal tersebut membuat Ratu Ayu tidak menjadi tokoh utama, namun Widura
Lembayung menjadi bingung untuk menjadi tokoh yang membawa penyelesaian
memberi keputusan pada nasib Ki Ageng konflik. Tokoh Widura memberi gambaran
Candhala, Candra Laleyan dan Bala Rodra. lebih terperinci tentang protagonis. Dilihat
Namun cerita diakhiri dengan terbuka. dari perkembangan perwatakannya, Widura
merupakan tokoh datar karena tidak terjadi
Penciptaan Tokoh pengembangan perwatakan.
1. Bhre Satya 3. Ki Ageng Candhala
Seorang adipati yang masih muda, Seorang lelaki tua yang dianggap
tampan, gagah, dan bijaksana. Namun bijaksana oleh rakyat Brang Kulon,
karena kebaikan hatinya, membuat Ki berkedudukan sebagai mahapatih Brang
Ageng Candhala iri padanya yang Kulon, licik, kejam dan haus kekuasaan.
menyebabkan dirinya difitnah melakukan Ki Ageng Candhala digunakan untuk
pemberontakan. Tokoh Bhre Satya mewakili mencerminkan sosok pemimpin yang selalu
sosok pemimpin yang jujur dan setia namun haus akan kekuasaan dan harta.
menjadi kambing hitam dari pemimpin yang Sehingga ia melakukan
melakukan penyimpangan. Bhre Satya segala cara untuk memenuhi hasrat
memiliki ilmu kanuragan yang sangat sakti. tersebut. Berdasarkan pada kejiwaannya
Kelemahan Bhre Satya terletak pada tersebut, Ki Ageng Candhala menjadi
pusakanya, yaitu Gada Wesi Kuning. tokoh antagonis dalam naskah drama Bhre
Sehingga ia mudah dikalahkan oleh Candra Satya Palastra. Ki Ageng Candhala
Laleyan. menghasut semua orang untuk membenci
Tokoh Bhre Satya menjadi tokoh Bhre Satya. Dengan cara menyebarkan isu
sentral dalam naskah drama Bhre Satya bahwa Bhre Satya hendak melakukan
Palastra karena pada keseluruhan cerita pemberontakan pada Brang Kulon. Namun
Bhre Satya menjadi pusatnya. Bhre Satya Ki Ageng Candhala melakukannya dengan
merupakan tokoh protagonis yang menjadi halus, sehingga bagi rakyat Brang Kulon ia
peran utama atau merupakan pusat/sentral merupakan sosok patih yang bijaksana. Jika
cerita. Berdasarkan pada sifat dan karakter dilihat dari perubahan sifatnya, maka Ki
Bhre Satya yang tidak pernah berubah atau Ageng Candhala merupakan tokoh bulat
42

yang mengejutkan melalui perubahan Namun, Ratu Ayu Lembayung mudah untuk
sifatnya. dihasut. Pendiriannya mudah sekali
4. Candra Laleyan digoyahkan. Meskipun begitu, sebagai
Pemuda tampan yang berasal dari seorang ratu ia tetap memiliki wibawa tapi
desa ini mengabdikan dirinya di kerajaan kurang bijaksana dan kurang tegas.
Brang Kulon sebagai seorang pengurus Penciptaan tokoh ini untuk mewakili
kuda. Candra Laleyan juga memiliki sifat seorang pemimpin yang sebenarnya baik
yang licik, mudah terhasut, dan mudah namun kurang tegas, mudah dihasut dan
menyesal. Tokoh Candra Laleyan kurang bijaksana.
menggambarkan sosok yang tidak tahu 7. Parusya
sebab akibat dari suatu pertikaian atau Putri raja Klungkung yang cantik,
konflik, namun karena terhasut ia menjadi kasar dan pemarah. Parusya digambarkan
sangat bergejolak. Tokoh Candra Laleyan sebagai seorang putri raja yang penuh
ini mewakili masyarakat luas yang mudah dengan ambisi. Ia ingin menjadi permaisuri
terhasut dengan isu yang sedang satu-satunya di kadipaten Brang Wetan.
berkembang meski mereka tidak mengetahui Karena ambisinya tersebut, Parusya
kebenaran peristiwa yang terjadi. Dengan hampir tergoda pada Candra Laleyan
ketidaktahuan tersebut mereka menjadi yang berparas tampan dan menjanjikan
sosok yang mengerikan dan brutal. Parusya menjadi permaisuri nantinya.
Akibatnya pada naskah drama Bhre Satya Namun, Parusya tidak pernah berselingkuh
Palastra ini Candra Laleyan membunuh dan membeberkan kelemahan Bhre Satya.
Bhre Satya. Candra Laleyan juga termasuk Parusya mewakili penggambaran sosok
kedalam tokoh bulat karena perubahan wanita yang secara penampilan dianggap
wataknya yang mengejutkan dan tidak buruk namun nyatanya ia tidak sepenuhnya
terduga-duga. buruk. Tokoh Parusya merupakan tokoh
5. Bala Rodra bulat karena mengungkap watak yang tidak
Patih Brang Wetan yang kuat, sakti, terduga.
gagah dan perkasa. Memiliki sifat yang 8. Komala
kasar. Namun merupakan sosok yang sangat Putri raja Klungkung yang cantik,
peduli pada keadilan dan memiliki rasa lemah lembut, baik hati dan ramah. Komala
empati yang tinggi. Penciptaan tokoh Bala tidak memiliki ambisi apapun. Ketika
Rodra digunakan untuk menggambarkan Komala bertemu dengan Candra Laleyan
pihak yang sebenarnya memiliki loyalitas hatinya langsung berdegup dan menjadi
namun karena sesuatu hal menjadi kasmaran. Komala kemudian berselingkuh
berkhianat. dengan Candra Laleyan. Supaya dapat hidup
Pada naskah drama Bhre Satya bersama dengan Candra Laleyan, Komala
Palastra dapat dilihat melalui peristiwa Bala memberitahukan kelemahan Bhre Satya. Hal
Rodra yang berkhianat pada Bhre Satya tersebut yang mengakibatkan Bhre Satya
karena bersekongkol dengan Ki Ageng dapat dibunuh oleh Candra Laleyan. Tokoh
Candhala. Terlebih Ki Ageng Candhala Komala menggambarkan sosok istri yang
menjanjikan posisi sebagai adipati Brang tidak setia. Komala merupakan tokoh bulat
Wetan ketika Bhre Satya berhasil karena sifatnya mengalami perubahan dan
dimusnahkan. menghadirkan kejutan.
6. Ratu Ayu Lembayung 9. Pawitra
Seorang ratu dari kerajaan Brang Putri Ki Ageng Candhala yang
Kulon yang cantik dan mempesona. cantik, mungil dan lemah lembut. Pawitra
43

tidak memiliki ambisi menguasai seperti ketakutan yang selama ini dirasakan oleh
ayahnya. Ia sangat mencintai Candra Bhre Satya. Akibatnya banyak ketakutan
Laleyan dan ingin menikah dengan Candra Bhre satya untuk menyelesaikan kerusuhan
Laleyan. Hasrat ini membuat Pawitra yang terjadi di kadipaten Brang Wetan. Hal
memaksa Candra Laleyan untuk turut serta ini menjadi konflik yang sengaja diciptakan
melakukan penyerangan pada Bhre Satya. untuk menggambarkan kepedulian dan
Pawitra digunakan sebagai senjata oleh Ki kecintaan Bhre Satya pada rakyatnya.
Ageng Candhala untuk menghasut Candra Konflik selanjutnya yang terjadi
Laleyan. Akan tetapi Pawitra tidak adalah perselingkuhan Candra Laleyan
mengetahui hal tersebut. dengan Komala yang berakibat terbunuhnya
Bhre Satya. Candra Laleyan yang terhasut
Penciptaan Konflik oleh Ki Ageng Candhala kemudian
Naskah drama Bhre Satya Palastra menyamar sebagai prajurit kadipaten Brang
menggunakan konflik antar manusia dan Wetan. Dengan kekuatan mantra, Komala
juga konflik batin. Secara keseluruhan salah satu istri Bhre Satya menjadi jatuh hati
konflik yang terjadi akibat dari nafsu pada Candra Laleyan. Perselingkuhan
alamiah manusia untuk selalu menang dan merekapun terjadi. Komala memberitahukan
menjadi penguasa. Contoh konflik antar kelemahan Bhre Satya dan bekerja sama
manusia yang akan dipergunakan pada pula untuk mencurinya.
naskah drama Bhre Satya Palastra adalah Kematian Bhre Satya memunculkan konflik
ketika isu bahwa Bhre Satya memberontak baru yaitu kemarahan Widura. Sebagai
mulai menyebar. Meskipun tidak secara sosok yang pandai dan bijaksana, kemarahan
langsung dihadirkan, namun konflik ini Widura tidak meledak-ledak seperti tokoh
menjadi penyebab dari konflik-konflik yang Parusya. Widura menjalankan siasat untuk
terjadi selanjutnya. Bhre Satya dihantui mengetahui pembunuh Bhre satya dengan
hingga menjadi mimpi buruk. Kerusuhan cara menyebarkan isu bahwa arwah Bhre
terjadi di seluruh wilayah kadipaten Brang Satya gentayangan dan menuntut balas pada
Wetan. Sedangkan contoh kejadian yang pembunuhnya. Rupanya selain mengetahui
menggunakan konflik batin pada naskah pembunuh Bhre Satya, Widura juga
drama Bhre Satya Palastra terdapat pada menemukan kebenaran bahwa tuduhan
bagian ketika Bhre Satya terdiam pemberontakan Bhre Satya didalangi oleh
memikirkan kerusuhan yang terjadi di Ki Ageng Candhala.
kadipaten Brang Wetan. Bhre Satya merasa Konflik puncak terjadi di adegan
bersalah dan takut apa yang ia lakukan akhir. Adegan ketika Widura melakukan
merugikan orang lain. Sebagai seorang kesaksian dihadapan Ratu Ayu Lembayung.
adipati, Bhre Satya sampai tidak nyenyak Pada mulanya adegan ini hanyalah perang
tidur karena memikirkan cara mengatasi argumentasi antara Widura dengan Ratu
kerusuhan yang terjadi di kadipaten Brang Ayu Lembayung. Namun karena terpancing
Wetan. emosinya, Bala Rodra menjadi brutal dan
Pada prolog diawali dengan konflik bertarung dengan Widura. Pertarungan
pertempuran yang merupakan gambaran dimenangkan oleh Widura karena ia
mimpi Bhre Satya. Mimpi tersebut telah menggunakan keris milik Bhre Satya
datang berkali-kali. Mimpi Bhre Satya pemberian dari Ki Pamengger. Setelah
tentang pertempuran yang berakhir pada pertarungan tersebut, Widura semakin
kemenangannya namun banyak orang yang berani menyatakan pendapatnya dan
menjadi korban menjadi wujud dari menunjukkan bukti-bukti. Ratu Ayu
44

Lembayung semakin bingung menentukan Proses penyaduran dengan teori


keputusan. Akan tetapi karena terkesima resepsi dilakukan berdasarkan pada hasil
kesetiaan Widura, Ratu Ayu Lembayung analisis dengan diakronik. Penyaduran
memutuskan untuk menobatkan Widura dilakukan pada isi cerita, alur, nama tokoh,
sebagai adipati Brang Wetan. Karena Ratu karakter tokoh, latar tempat, latar waktu,
Ayu Lembayung menginginkan seseorang latar suasana, tema, konflik dan dialog.
yang setia seperti Widura berada dibawah Setelah itu barulah mulai menulis sinopsis,
kuasanya. Namun Widura menolak titah treatment, adegan, dan kemudian
tersebut dan memilih untuk kembali ke desa merangkainya menjadi sebuah naskah drama
menjadi petani legen. Bagi Widura yang utuh.
kekuasaan bukanlah tugasnya, tugasnya Pada tahapan ini, naskah drama yang
ialah mendampingi Bhre Satya. Tugasnya telah dirangkai mengalami perubahan karena
telah selesai ketika nama Bhre Satya bersih revisi, mendapat inspirasi baru, dan
kembali. gagasan-gagasan yang dirasa sesuai dengan
naskah. Hal ini menjadikan proses
Simpulan penciptaan naskah Bhre Satya Palastra
Proses penciptaan naskah drama terbagi menjadi 7 draft. Sampai pada
Bhre Satya Palastra merupakan sebuah akhirnya draft ketujuh merupakan draft
proses yang panjang. Berangkat dari terakhir.
perbedaan versi tokoh Menak Jingga yang Setelah melalui proses penciptaan
menimbulkan kontroversi dan salah satu seperti yang disebutkan, maka terciptalah
versi tokoh Menak Jingga yang sebuah naskah drama dengan judul Bhre
mengakibatkan stigma negatif bagi Satya Palastra yang mempunyai pesan
masyarakat Banyuwangi. Dengan kata lain, utama bahwa kekuasaan, cinta, dan
penciptaan naskah drama Bhre Satya pengkhianatan menjadi bernilai sama, yaitu
Palastra terinspirasi dari perbedaan versi keburukan jika hanya untuk menuruti nafsu
tokoh Menak Jingga pada cerita rakyat semata.
Damarwulan – Menak Jingga. Menciptakan sebuah naskah drama
Penciptaan naskah drama ini adalah salah satu proses kreatif sebagai
bertujuan untuk mengambarkan kondisi wujud dari interpretasi suatu ide atau
sosial dan politik yang saat ini terjadi. gagasan. Proses penciptaan naskah ini tidak
Proses penciptaan dilakukan dengan terlepas dari kesulitan dan kendala.
meninjau kondisi sosial dan politik dengan Utamanya dalam mencari bahan-bahan yang
interpretasi yang didukung oleh literatur. digunakan untuk memperkuat sumber
Dengan menjadikan kondisi sosial dan penciptaan. Terlebih ketika mengolah
politik saat ini serta perbedaan versi tokoh sumber penciptaan tersebut menjadi sebuah
Menak Jingga sebagai sumber penciptaan, naskah drama dengan versi baru yang
penulis yakin dapat menjadi perpaduan yang berbeda dari cerita rakyat Damarwulan –
baik. Karena kedua sumber penciptaan ini Menak Jingga yang sudah ada sebelumnya.
saling berhubungan satu sama lain. Pada Sehingga alangkah baiknya, jika pada proses
cerita rakyat Damarwulan – Menak Jingga penciptaan naskah drama lebih fokus
mencerminkan kondisi sosial dan politik terlebih dahulu pada sumber penciptaan. Hal
pada masanya. Sedangkan kondisi sosial dan ini dilakukan agar tidak timbul kesulitan
politik saat ini menjadi unsur kontekstualitas atau masalah ketika sampai pada tahapan
naskah drama Bhre Satya Palastra. penulisan naskah.
45

Sebagai seorang penulis naskah Gadjah Mada, Yogyakarta,


sebaiknya memahami objek tulisannya atau Indonesia.
sumber penciptaannya. Ide yang dipilih Nurullita, H. (2015). Stigmatisasi Terhadap
betul-betul lahir dari kegelisahan diri Tiga Jenis Seni Pertunjukan Di
seorang penulis, sehingga tidak terkesan Banyuwangi: Dari Kreativitas
mengikuti pada sesuatu yang sedang marak. Budaya Ke Politik. Jurnal Kajian
Karena pasti berakibat pada hasil akhir Seni, 2(1), 35-51.
naskah yang diciptakan. Sehingga Pane, S. (2013). Sandhyakala Ning
diperlukan proses analisis yang panjang Majapahit. Bandung: Pustaka Jaya.
untuk menunjang proses penciptaan. Ratna, N. K. (2015). Teori, Metode, dan
Menyaksikan segala macam hal yang Teknik Penelitian Sastra dari
berhubungan secara langsung dengan Strukturalisme hingga
sumber penciptaan ataupun yang memiliki Postrukturalisme. Yogyakarta:
tujuan sama dengan naskah yang akan Pustaka Pelajar.
diciptakan bisa juga membantu dalam Satoto, S. (1993). Kajian Drama I.
memunculkan ide baru. Surakarta: STSI Press Surakarta.
Supadma. (2011). Langendriya dan Serat
Daftar Pustaka Darmawulan: Suatu Kajian
Anoegrajekti, N. (2014). Janger Pendekatan Intertekstual. Mudra,
Banyuwangi dan Menakjinggo: 26(1), 25-35.
Revitalisasi Budaya. Literasi Jurnal Teeuw, A. (2015). Sastra Dan Ilmu Sastra.
Ilmu-ilmu Humaniora, 4 (1), 116- Bandung: Pustaka Jaya.
127.
Dewojati, C. (2012). Drama Sejarah, Teori
dan Penerapannya. Yogyakarta:
Javakarsa Media.
Hariadi, L. K. (2013). Menak Jingga Sekar
Kedaton. Surakarta: Tiga Seragkai.
Harymawan. (1986). Dramaturgi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Irawan, Y. (2013). Babad Majapahit Jilid II
Menak Djingga Nglurug Majapahit.
Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Iswantara, N. (2016). Drama Teori dan
Praktik Seni Peran. Yogyakarta:
Media Kreativa.
Jabrohim. (2009). Cara Menulis Kreatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keraf, G. (2010). Argumentasi dan Narasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuardhani, H. (2000). Teater Rakyat Janger
Banyuwangi Ungkapan Keberadaan
Masyarakat Pendukungnya.
(Unpublished thesis). Universitas

Anda mungkin juga menyukai