DIABETES MELLITUS
(Kode ICD X : E.11)
1. Definisi Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oelh hipergikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati
(peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di
jaringan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya.
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanna dengan
komposisi :
- karbohidrat 60 – 70 %
- protein 10 – 15 %
- lemak 20 – 25 %
Rumus Broca
Berat badan idaman = (tinggi badan -100) – 10%*
Pria <160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi
10% lagi
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 % idaman
Gemuk : > 120 % BB idaman
Latihan jasmani :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan teratur
(3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).
Prinsip Continous – Rythmical - Interval –
Progressive – Enduranc.
Intervensi Farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) :
Pemicu sekresi insulin (insulin
secretagogue) : sulfonilurea, glinid
Penambah sensitivitas terhadap insulin :
metformin, tiazolidindion
Penghambat absorbsi glukosa : penghambat
glukosidase alfa
Insulin
Indikasi :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dngan kombinasi OHO dosis hampir
maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar,
IMA, Stroke)
Kehamilan dengan DM / diabetes melitus
gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran
kadar glukosa belum tercapai, perlu kombinasi dua
kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda
mekanisme kerjanya.
5.Diagnosis Hipertensi
Kerja
6.Diagnosa Peningkatan tekanan darah akibat white coat
Banding hypertansion, rasa nyeri, peningkatan tekanan
intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll
7.Pemeriksaan Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elekrolit, profil
Penunjang lipid, foto thoraks, EKG, sesuai penyakit ppenyerta : asam
urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin,
urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal,
akekordiografi.
8.Tata Laksana Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis
reseptor All : evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila
terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
hiperkalemi harus dihentikan.
Kondisi khusus lain :
Obesitas dan sindrom metabolik (tedapat 3 atau
lebih keadan berikut : lingkar pinggang laki – laki >
102 cm atau perempuan > 89 cm, toleransi glukosa
terganggu dengan gula darah puasa ³110 mg/dl,
tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida
tinggi ³150 mg/dl, kolesterol HDL rendah < 40
mg/dl pada laki – laki atau < 50 mg/dl pada
perempuan) modifikasi gaya hidup yang intensif
dengan pilihan terapi utama golongan penghambat
ACE. Pilihan lain adalah antagonis reseptor All,
penghambat kalsium, dan penghambat α
Hipertrofi ventrikel kiri tatalaksana tekanan
darah yang agresif termasuk penurunan berat
badan, retriksi asupan natrium dan terapi dengan
semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator
langsung, hidralazin dan minoksidil
Penyakit arteri perifer semua kelas anti
hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan
pemberian aspirin.
Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik
terisolasi diuretika (tiazid) sebagai lini pertama,
dimulai dengan dosis rendah 12.5 mg/ari.
Penggunaan obat antihipertensi lain dengan
mempertimbangkan penyakit penyerta
Kehamilan pilihan terapi adalah golongan
metildopa, penyekat reseptor β, antagonis kalsium
dan vasodilator. Penghambat ACE dan antagonis
reseptor AH tidak boleh digunakan selama
kehamilan
DEMAM TIFOID
1. Definisi
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini erat
kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia
bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di
Indonesia, tersangka demam tifoid menunjukkan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka
kematian antara 0.6–5% (KMK, 2006). Selain tingkat
insiden yang tinggi, demam tifoid terkait dengan
berbagai aspek permasalahan lain, misalnya: akurasi
diagnosis, resistensi antibiotik dan masih rendahnya
cakupan vaksinasi demam tifoid
2. Anamnesa
Keluhan
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari
dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-
ladder. Demam tinggi dapatterjadi terus menerus
(demam kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area
frontal
Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan
meteorismus atau diare, mual, muntah, nyeri
abdomen dan BAB berdarah
Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-
pegal, batuk, anoreksia, insomnia
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai
penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang
mencuci tangan.
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang
baik, misalnya makanan yang dicuci dengan air
yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk
dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal
sehari-hari.
5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
6. Kondisi imunodefisiensi.
3. Hasil
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit
Fisik dan
Penunjang berat.
Sederhana 2. Kesadaran: dapat compos mentis atau
(Objective) penurunan kesadaran (mulai dari yang ringan,
seperti apatis, somnolen, hingga yang berat
misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu
penurunan frekuensi nadi sebanyak 8 denyut
per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah,
halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri
(terutama region
epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering
terjadi berupa apatis dengan
kesadaran seperti berkabut. Bila
klinis berat, pasien dapat menjadi
somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain
syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium
lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis
leukosis
Dapat menunjukkan: leukopenia /
leukositosis / jumlah leukosit
normal, limfositosis relatif,
monositosis, trombositopenia
(biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-
TF)®
Hanya dapat mendeteksi antibody IgM
Salmonella typhi
Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama
demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
1. Dapat mendeteksi IgM dan IgG
Salmonella typhi
2. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama
demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
Dilakukan setelah demam berlangsung 7
hari.
Interpretasi hasil positif bila
titer aglutinin O minimal
1/320 atau terdapat kenaikan
titer hingga 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan
interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal
positif palsu sering terjadi oleh
karena reaksi silang dengan
non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, daerah
endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi
tifoid dan preparat antigen
komersial yang bervariasi dan
standaridisasi kurang baik.
Oleh karena itu, pemeriksaan
Widal tidak direkomendasi
jika hanya dari 1 kali
pemeriksaan serum akut
karena terjadinya positif palsu
tinggi yang dapat
mengakibatkan over-diagnosis
dan over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama
sampai akhir minggu ke-2
sakit, saat demam tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau
ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut
penyakit, untuk mendeteksi
carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai
indikasi klinis, misalnya:
SGOT/SGPT, kadar lipase dan
amilase
5.
Penatalaksanaan
Penatalaksan
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
aan a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan
komprehensif mobilisasi
(Plan) a. Menjaga kecukupan asupan
cairan, yang dapat diberikan
secara oral maupun parenteral.
b. Diet bergizi seimbang,
konsistensi lunak, cukup kalori
dan protein, rendah serat.
c. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan
tuntas
d. Kontrol dan monitor tanda vital
(tekanan darah, nadi, suhu,
kesadaran), kemudian dicatat
dengan baik di rekam medik
pasien
2. Terapi simptomatik untuk
menurunkan demam (antipiretik)
dan mengurangi keluhan
gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian
antibiotik. Antibiotik lini pertama
untuk demam tifoid adalah
Kloramfenikol, Ampisilin atau
Amoksisilin (aman untuk penderita
yang sedang hamil), atau
Trimetroprim-sulfametoxazole
(Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik
lini pertama dinilai tidak efektif,
dapat diganti dengan antibiotik lain
atau dipilih antibiotik lini kedua
yaitu Seftriakson, Sefiksim,
Kuinolon (tidak dianjurkan untuk
anak <18 tahun karena dinilai
mengganggu pertumbuhan tulang).
Kriteria Rujukan
1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang
berat (toxic typhoid).
2. Tifoid dengan komplikasi.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat.
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun
belum tampak perbaikan.
8. Peralatan
Poliklinik set dan peralatan laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan darah rutin dan serologi.
9. Prognosis
Prognosis adalah bonam, namunadsanationam
dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi
berulang
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:
364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed.
Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL.
Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al.,
2004)
4. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed.
Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
(Long, et al., 2003)
5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s
infectious disease of children. 11th ed. Philadelphia:
Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric
decision making strategies. WB Saunders:
Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)
7. CDC. Typhoid fever.
2005.
www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/
typhoidfever_g.htm(Center
8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ.
Current trends in the management of typhoid fever.
MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003)
9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM,
Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not
only typhoid-specific antibodies but also soluble
antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot
M and Diazo test vis-à- vis blood culture and Widal
test in the early diagnosis of typhoid fever in
children in a resource poor setting. Braz J Infect
Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RUMAH SAKIT SAKIT KELAS D PASAMAN
KABUPATEN PASAMAN
2022
Gastritis
1. Definisi Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa
dan submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi
mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan
iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis,
difus, atau lokal
2. Anamnesa
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan
panas seperti terbakar pada perut bagian atas.
Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak
baik: waktu makan
terlambat, jenis makanan
pedas, porsi makan yang
besar
2. Sering minum kopi dan teh
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme
7. Stress
8. Penyakit lainnya, seperti:
penyakit refluks empedu,
penyakit autoimun,
HIV/AIDS, Chron disease
3. Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik Patognomonis
Fisik dan Penunjang
Sederhana (Objective) 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising
usus meningkat.
2. Bila terjadi proses
inflamasi berat, dapat
ditemukan pendarahan
saluran cerna berupa
hematemesis dan melena.
3. Biasanya pada pasien dengan
gastritis kronis, konjungtiva tampak
anemis.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis
kronis dengan melakukan pemeriksaan:
1. Darah rutin.
2. Untuk mengetahui infeksi
Helicobacter pylori:
pemeriksaanUreabreath test
dan feses.
3. Rontgen dengan barium enema.
4. Endoskopi
7. Ulkus peptikum
8. Sarkoidosis
9. GERD
Komplikasi
1. Pendarahan saluran cerna bagian atas
2. Ulkus peptikum
3. Perforasi lambung
4. Anemia
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
komprehensif (Plan)
Terapi diberikan per oral dengan obat,
antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin
150 mg/kali, Famotidin 20
mg/kali, Simetidin 400-800
mg/kali), PPI 2x/hari
(Omeprazol 20 mg/kali,
Lansoprazol 30 mg/kali), serta
Antasida dosis 3 x 500- 1000
mg/hari.
Konseling dan Edukasi
Menginformasikan kepada
pasien untuk menghindari
pemicu terjadinya keluhan,
antara lain dengan makan tepat
waktu, makan sering dengan
porsi kecil dan hindari dari
makanan yang meningkatkan
asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, teh,
makanan pedas dan kol.
Kriteria rujukan
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada
perbaikan.
2. Terjadi komplikasi.
3. terdapat alarm symptoms
6. Prognosis Prognosis sangat tergantung
pada kondisi pasien saat
datang, komplikasi, dan
pengobatannya. Umumnya
prognosis gastritis adalah
bonam, namun dapat terjadi
berulang bila pola hidup tidak
berubah.
8. Kepustakaan
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. eds. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
APENDISITIS AKUT
1. Definisi
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara
mendadak pada apendik, merupakan salahsatu
kasus akut abdomen yang paling sering ditemui,
dan jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan
perforasi.
Penyebab:
1. Obstruksi lumen merupakan faktor
penyebab dominan apendisitis akut
2. Erosi mukosa usus karena parasit
Entamoeba hystolitica dan benda
asing lainnya
2. Anamnesa
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula
daerah epigastrium kemudian menjalar ke
Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi
(>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak
nyerikarena bersifat somatik.
Gejala Klinis
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus
vagus.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul
beberapa jam sesudahnya, merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan
apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan
beberapa penderita mengalami diare, timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi.
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan
menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh apendiks yang
panjang dengan ujung yang mengalami
inflamasi di kuadran kiri bawah akan
menyebabkan nyeri di daerah tersebut,
apendiks retrosekal akan menyebabkan
nyeri flank atau punggung, apendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
supra pubik dan apendiks retroileal bisa
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin
karena iritasi pada arteri spermatika dan
ureter.
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak
ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata.
Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang
5.
Pasien yang telahterdiagnosis
Penatalaksanaa
apendisitis akutharus segera dirujuk
n komprehensif
ke layanan sekunder untuk dilakukan
(Plan)
operasi cito.
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer
sebelum dirujuk:
1. Bed rest total posisi fowler (anti
Trandelenburg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis
sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk
mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Pipa nasogastrik
dipasang untuk
mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah.
Komplikasi
1. Perforasi apendiks
2. Peritonitis umum
3. Pasien rujukan
Kriteria rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis harus
dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito.
6. Peralatan
Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada awal permulaan
perkembangan penyakit umumnya sulit
sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi
terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas
melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma dan mediastinum.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis,
LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB
(Bakteri Tahan Asam/BTA)
ataukultur kuman dari spesimen
sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen
dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura
ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-
Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di
apeks paru terdapat
gambaran bercak-bercak
awan dengan batas yang
tidak jelas atau bila dengan
batas jelas membentuk
tuberkuloma. Gambaran
lain yang dapat menyertai
yaitu, kavitas (bayangan
berupa cincin berdinding
tipis), pleuritis (penebalan
pleura), efusi pleura (sudut
kostrofrenikus tumpul).
3.Penegakan
Diagnosis Pasti TB
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan
(Assessment)
berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang
(sputum untuk dewasa, tes
tuberkulin pada anak).
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan International Standards for
Tuberkulosis Care (ISTC 2014)
Standar Diagnosis
Untuk memastikan diagnosis lebih
awal, petugas kesehatan harus waspada
terhadap individu dan grup dengan
faktor risiko TB dengan melakukan
evaluasi klinis dan pemeriksaaan
diagnostik yang tepat pada mereka
dengan gejala TB.
Semua pasiendengan batuk produktif
yang berlangsung selama ≥ 2 minggu
yang tidak jelas penyebabnya, harus
dievaluasi untuk TB.
Semua pasien yang diduga menderita
TB dan mampu mengeluarkan dahak,
harus diperiksa mikroskopis spesimen
apusan sputum/dahak minimal 2 kali
atau 1 spesimen sputum untuk
pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang
diperiksa di laboratorium yang
kualitasnya terjamin, salah satu
diantaranya adalah spesimen pagi.
Pasien dengan risiko resistensi obat,
risiko HIV atau sakit parah sebaiknya
melakukan pemeriksan Xpert
MTB/RIF* sebagai uji diagnostik
awal. Uji serologi darah dan
interferon- gamma release assay
sebaiknya tidak digunakan untuk
mendiagnosis TB aktif.
Semua pasien yang diduga
tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari
organ yang terlibat harus diperiksa
secara mikrobiologis dan histologis.
Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan
sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk
pasien terduga meningitis karena
membutuhkan penegakan diagnosis
yang cepat.
Pasien terduga TB dengan apusan
dahak negatif, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau
kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert
MTB/RIF* negatif pada pasien denga
gejala klinis yang mendukung TB,
sebaiknya segera diberikan pengobatan
anti tuberkulosis setelah pemeriksaan
kultur.
4. Penatalaksanaan TUJUAN PENGOBATAN
Komprehensif (Plan) 1. Menyembuhkan, mengembalikan
kualitas hidup dan produktivitas
pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif
atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) harus diberikan
dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan.
Hindari penggunaan
monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination
(FDC) akan lebih menguntungkan dan
dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose)
dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang
mengobati pasien
tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan
masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk
mereka yang terinfeksi
HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan
obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan
pasien berobat hingga
selesai, diperlukan suatu
pendekatan yang berpihak
kepada pasien (patient
centered approach) dan
dilakukan dengan
pengawasan langsung
(DOT= directly observed
treatment) oleh seorang
pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus
dimonitor respons
pengobatannya. Indikator
penilaian terbaik adalah
pemeriksaan dahak berkala
yaitu pada akhir tahap awal,
bulan ke-5 dan akhir
pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang
pengobatan, respons
bakteriologis dan efek
samping harus tercatat dan
tersimpan.
6. Peralatan
Laboratoriumuntuk pemeriksaan sputum, darah
rutin.
Radiologi
Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
7. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien
melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
Sembuh: pasien telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang
(follow up), hasilnya negatif pada foto
toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pengobatan lengkap: pasien yang telah
menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak ada hasil
pemeriksaan apusan dahak ulang pada
foto toraks AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
Meninggal: pasien yang meninggal
dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
Putus berobat (default): pasien yang
tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima
atau selama pengobatan.
Pindah (transfer out): pasien yang
dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
8. Kepustakaan
1. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Tuberkulosis.
PDPI. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional
pengendalian tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. 2011.
(Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan,
2011)
3. Panduan tata laksana
tuberkulosis sesuai ISTC
dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta
(DPS). Kementerian
Kesehatan Republik
Indonesia dan Ikatan
DOkter Indonesia. Jakarta.
2012. (Kementerian
Kesehatan Republik
Indonesia, 2012)
4. Tuberkulosis Coalition for
Technical Assistance.
International standards for
tuberkulosis tare (ISTC).
3nd Ed. Tuberkulosis
Coalition for Technical
Assistance. The Hague.
2014. (Tuberculosis
Coalition for Technical
Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S.
Kasper, D.L. Hauser, S.L.