UAS Sejarah Filsafat - Afni Silvia Putri - 22602241012

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

Available online at https://journal.uny.ac.id/index.

php/jorpres

JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx, xx-xx

Perkembangan Kemampuan Kompetitif Taekwondo di Yogyakarta Pra


dan Pasca Pandemi
Afni Silvia Putri1, Sri Ayu Wahyuti2 , Budi Aryanto3
1
Pendidikan Kepelatihan Olahraga, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta, Jl.
Colombo No. 1, Karangmalang, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
*
Corresponding Author. Email: afnisilvia.2022@student.uny.ac.id

Abstrak
Negara-negara berkembang seperti Indonesia telah berhasil memupuk perkembangan taekwondo.
Perkembangan taekwondo di Indonesa telah berlangsung selama 53 tahun. Dalam Olimpiade
Taekwondo, Indonesia telah mengumpulkan 6 medali pada International 15th ASEAN Taekwondo
Championship 2022 yang diselenggarakan di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Dalam beberapa tahun
terakhir, pemerintah Indonesia telah berperan aktif dengan mendorong para atlet untuk berjuang ke
level tertinggi guna meraih medali. Padahal, pengembangan sistem olahraga merupakan proses yang
kompleks dan dinamis. Penelitian ini mengambil pendekatan dinamika sistem untuk memodelkan
perkembangan taekwondo di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini menyelidiki interaksi empat
umpan balik yang saling berhubungan untuk lebih memahami sifat perkembangan taekwondo dan
upaya untuk memperhitungkan dinamika perilaku sistem yang dihasilkan. Selain itu, penelitian ini
mensimulasikan efek dari kebijakan bujukan pemenang penghargaan. Premis kerjanya adalah bahwa
model pengembangan yang dikembangkan di sini memiliki potensi untuk meningkatkan lebih dari
pemahaman kita tentang pengembangan taekwondo, dan oleh karena itu kita mungkin berharap untuk
melihat penerapannya pada studi di masa depan selain yang terkait dengan olahraga.
Kata kunci: taekwondo; ASEAN; kejuaraan; medali; dinamis

Abstract
Developing countries like Indonesia have succeeded in cultivating the development of taekwondo. The
development of taekwondo in Indonesia has been going on for 53 years. In the Taekwondo Olympics,
Indonesia has collected 6 medals at the 2022 International 15th ASEAN Taekwondo Championship
which was held in Ho Chi Minh City, Vietnam. In recent years, the Indonesian government has played
an active role by encouraging athletes to strive to the highest level to win medals. In fact, the
development of a sports system is a complex and dynamic process. This study takes a system dynamics
approach to model the development of taekwondo in Indonesia. Specifically, this study investigates the
interplay of four causal feedback loops that are interrelated in order to better understand the
developmental nature of taekwondo and attempt to account for the behavioral dynamics of the
resulting system. In addition, this study simulates the effects of award-winning inducement policies.
The working premise is that the development model developed here has the potential to enhance more
than our understanding of taekwondo development, and we might therefore hope to see its application
to future studies other than those related to the sport.
Keywords: taekwondo; ASEAN; championsgip; dynamic.

PENDAHULUAN
Olahraga merupakan salah satu bentuk peningkatan kualitas manusia dalam pembentukan
watak, disiplin, sportivitas dan peningkatan prestasi yang mampu membangkitkan rasa kebanggaan
bangsa melalui sebuah prestasi. Prestasi olahraga merupakan salah satu tolok ukur kemajuan bangsa
yang mempunyai peranan penting dalam upaya membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia untuk pembangunan. Untuk mencapai prestasi dalam olahraga ini, beberapa factor

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 84
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

dibutuhkan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sistem kepelatihan dan
infrastruktur olahraga. Sedangkan faktor eksternal meliputi, psikologis faktor, rutinitas latihan, pelatih,
kondisi fisik, serta teknik dan keterampilan yang dimiliki oleh atlet yang dapat mendukung suatu
prestasi olahraga tidak hanya faktor-faktor tersebut di atas, dalam olahraga prestasi ada obrolan
manajemen SDM (perekrutan, seleksi, orientasi, proses, evaluasi, promosi dan degradasi kepada atlet,
pelatih dan manajer), dan ada program pelatihan (jangka panjang, jangka pendek dan evaluasi
program). Jika semua faktor tersebut dapat terpenuhi, maka prestasi olahraga Indonesia dipastikan
akan tercapai lebih baik. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan komponen terpenting dalam
sebuah perusahaan atau organisasi untuk menjalankan bisnis yang dilakukannya (Ramdhansyah &
Purnama, 2022). Organisasi pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh anggota organisasi (Niati
dkk., 2021). Pembangunan adalah perubahan menuju peningkatan. Perubahan menuju perbaikan
memerlukan mobilisasi seluruh manusia sumber daya dan alasan untuk mewujudkan apa yang dicita-
citakan (Shah dkk., 2020). Pengembangan dari sumber daya manusia adalah suatu proses perubahan
sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu organisasi, dari satu situasi ke situasi lain, yang lebih
baik untuk mempersiapkan masa depan tanggung jawab dalam mencapai tujuan organisasi
(Werdhiastutie dkk., 2020). Pembinaan olahraga olahraga terkait dengan banyak indikator. Indikator
yang paling berpengaruh adalah indikator dari sistem pembinaan, pendanaan dan komponen pelaksana
di sistem pengembangan prestasi. Komponen pelaksana meliputi atlet dan pelatih. Taekwondo
merupakan olahraga bela diri yang membutuhkan ketangguhan mental dan rasa percaya diri yang
tinggi. Keberadaan klub olahraga Taekwondo merupakan wadah yang sangat potensial pembinaan
atlet potensial dimulai dari kategori usia dini. Keberadaan Klub olahraga Taekwondo di wilayah
Yogyakarta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan daerah yang dikemas
secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam usianya yang relatif panjang, Taekwondo di Yogyakarta
telah berhasil menyumbangkan sejumlah atlet Junior Daerah, Senior Daerah, Senior Nasional untuk
mewakili provinsi atau Indonesia di kancah regional dan internasional. Keberadaan Taekwondo di
Yogyakarta merupakan wadah potensial pembinaan atlet sejak dini.Organisasi taekwondo di
Yogyakarta menjadi salah satu alternatif pembinaan olahragawan di usia dini, yang dirintis pada tahun
1993 dan berlanjut hingga sekarang.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, Taekwondo di Yogyakarta telah
berhasil menyumbangkan sejumlah atlet junior nasional di Yogyakarta Olahraga Taekwondo untuk
mewakili Indonesia di kancah regional dan internasional. Itu kejuaraan yang pernah diikuti oleh atlet
Taekwondo di Yogyakarta antara lain POPNAS (Pekan Olahraga Pelajar Nasional), POPWIL (Pekan
Olahraga Daerah), PON Remaja (Pekan Olahraga Remaja Nasional), KEJURNAS (Kejuaraan
Nasional), SEA Games (Pertandingan Asia Tenggara) dan ASIAN GAMES. Pada PON XX Papua
2021, salah satunya Atlet Taekwondo dari Yogyakarta berhasil menyumbangkan medali emas
untuknya kontingen Yogyakarta. Meski sudah banyak prestasi, masih banyak potensi yang dapat
dioptimalkan melalui pembinaan olahraga Taekwondo Yogyakarta. Ini termasuk manajemen
pembibitan atlet, infrastruktur dan program pelatihan. Di dalam proses pembinaan olahraga, adanya
Taekwondo Indonesia Manajemen (TI) di wilayah Yogyakarta memegang peranan penting yang
diharapkan mencerdaskan dan membina prestasi olahraga Taekwondo Yogyakarta ke arah yang lebih
baik. Itu Keberhasilan prestasi atlet Taekwondo terkait dengan tata kelola dan proses manajemen
pembinaan yang berdampak pada keberhasilan olahraga prestasi, sehingga perlu dilakukan
pembenahan pengelolaan Taekwondo Yogyakarta pembinaan prestasi olahraga.
Asal usul taekwondo dapat ditelusuri ke Asia, dan tahun-tahun sejak itu telah melihatnya
muncul sebagai olahraga kelas dunia. Kata taekwondo menyiratkan kombinasi pijakan, tinju dan
semangat. Saat berlatih taekwondo, seorang atlet perlu mengoordinasikan gerakan tangan, kaki, dan
bagian tubuh lainnya. Selain itu, atlet juga perlu merencanakan strategi menyerang dan bertahan
secara mental. Dengan kata lain, olahraga membutuhkan keseimbangan antara kondisi fisik dan mental
(Khoirunnisa dkk., 2014).
Pertarungan tangan kosong tidak sepenuhnya berasal dari satu negara saja, tetapi berkembang
secara alami di setiap tempat manusia menetap. Di setiap negara, orang mengadaptasi teknik bertarung
mereka untuk menghadapinya dengan bahaya di lingkungan lokal mereka. Ketika perdagangan dan
politik membawa negara-negara ini kontak satu sama lain, berbagai gaya bertarung mereka saling
mempengaruhi, terkadang mengarah ke pengembangan sistem pertempuran yang sama sekali berbeda.
Di Korea kuno, orang Korea mengembangkan senjata untuk membantu mengumpulkan makanan dan

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 85
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

membela diri, serta mengembangkan pikiran dan tubuh mereka melalui permainan rekreasi dan
kompetisi. Setiap suku berpartisipasi dalam kontes seni bela diri prajurit selama musim ritual, kontes
seperti "Yongko", di negara bagian Puyo, "Tongmaeng", di negara bagian Koguryo, "Muchon", di Ye
dan Negara bagian Mahan, dan "Kabi", di Dinasti Silla. Kegiatan tersebut akhirnya berkembang
menjadi latihan yang digunakan untuk meningkatkan kesehatan atau kemampuan bertarung. Prajurit
Korea kuno dilatih dalam seni militer "Farando" (yang menggunakan kepala, siku, dan kaki teknik
untuk melawan musuh). Mereka mengembangkan dua sistem pelatihan khusus: pinjaman kekuatan
dan korslet ruang. Kekuatan pinjaman mengacu pada kekuatan pinjaman dari beberapa makhluk atau
benda agung, seperti meningkatkan kekuatan seseorang dengan bersatu dengan Roh Agung atau
menggunakan herbal atau perangkat pelatihan. Korslet ruang mengacu pada cara berjalan khusus.
Pengalaman panjang orang-orang jaman dulu dalam mempertahankan diri dari musuh dan
binatang serangan, serta peniruan mereka terhadap posisi defensif dan ofensif hewan, perlahan
membuat mereka mengembangkan keterampilan bertarung mereka sendiri yang lebih efektif.
Beberapa percaya ini adalah benar awal Taekwondo modern. Pengaruh paling awal pada seni bela diri
Korea dari negara lain diyakini adalah bentuk pertarungan tangan dan kaki Cina yang disebut "kwon-
bop" (meninju dan menyeruduk, yaitu berdasarkan kung-fu). Beberapa percaya bahwa selama Dinasti
Sung dan Ming China, "Nei-chia" (kung-fu internal) dan "Wai-chia" (kung-fu eksternal) juga
diperkenalkan ke Korea. Namun, jika patung dan mural di kuil dan makam Korea kuno memang
menggambarkan bela diri kuno gerakan seni (seperti yang diyakini banyak orang), kemudian mereka
mendahului pengaruh kung-fu apa pun. Kepribadian militer termasuk di antara pemimpin nasional
terkemuka yang terkenal selama Tiga Era Kerajaan. Orientasi militer ini menyebabkan
berkembangnya kelompok prajurit, seperti "Chouisonin" Koguryo (anggota individu disebut
"Sonbae") dan Silla abad keenam kelompok prajurit bangsawan yang dikenal sebagai "Hwarang-do"
(anggota individu disebut Hwarang). Kedua kelompok mengadopsi pelatihan Subak sebagai salah satu
mata pelajaran penting mereka dan keduanya menggunakan struktur organisasi dan hirarki yang sama.
Setelah pendudukan Jepang berakhir pada tahun 1945, orang Korea yang diasingkan kembali ke
Korea dengan membawa serta mereka seni bela diri mereka telah belajar di negara lain. Seni bela diri
Korea dipengaruhi oleh gerakan cepat dan garis lurus yang menjadi ciri berbagai seni bela diri Jepang.
. Guru siapa telah belajar seni bela diri di negara lain (Cina, Jepang, dan Okinawa) kembali ke Korea
dan memadukannya dengan teknik kaki Taekkyon untuk membentuk gaya seni bela diri Korea yang
baru metode untuk melindungi tidak hanya individu Korea tetapi juga negara itu sendiri. orang Korea
mulai mendapatkan kembali pemikiran kemandirian dan permainan rakyat tradisional kembali
populer. Setelah perang, sebagian besar sekolah seni bela diri di Korea menggunakan nama karate dan
menggunakan Terminologi Jepang untuk menggambarkan teknik. Mereka menggunakan pola dan
metode pelatihan Jepang. Tidak ada teknik atau terminologi yang menyerupai Taekkyon. Ini adalah
masalah sampai setelah Perang Korea ketika motivasi nasionalistik dan politik mengarah pada upaya
untuk menggambarkannya seni bela diri yang telah berkembang di Korea memiliki asal-usul Korea
kuno.
Setidaknya empat seni bela diri Jepang tetap populer di Korea setelah pembebasan, meskipun di
bawah mereka Nama Korea. Orang Korea terus mempelajari Yudo (Judo), Komdo (Kendo), Yusul
(Jujutsu), dan Kongsudo (karate-do). Asosiasi Yudo Korea didirikan pada Oktober 1945 oleh Mum-
Suk Lee dan Jin-Hee Han, dan Asosiasi Komdo Korea (K.K.A.) diselenggarakan di Seoul pada tahun
1948. K.K.A. menjadi berafiliasi dengan Asosiasi Olahraga Amatir Korea pada 20 November 1953,
dan pada tahun yang sama Universitas Yudo Korea didirikan. Baik Yudo dan Komdo hampir tidak
berubah dari nama Jepang mereka. Di sisi lain, seni Yusul dan Kongsudo telah banyak berubah sejak
pembebasan Korea. Yusul berkembang menjadi Hapkido dan semua turunannya (Kuksul, Hwarang-
do, dll.), sedangkan Kongsudo pada akhirnya akan melalui perubahan terbesar dari semuanya,
berkembang menjadi Tangsoodo dan Taekwondo. Banyak sekolah Tangsoodo saat ini masih
mempertahankan bentuk Karate-do. Hingga tahun 1965, Hong-Hi Choi masih mengajar bentuk
Shorin-ryu dan Shorei-ryu bersama dengan bentuk-bentuknya sendiri. Pada tahun 1968, Sihak Henry
Cho menegaskan bahwa "Taekwondo identik dengan karate Jepang." Cho juga mencatat itu "beberapa
publik Korea masih menggunakan pengucapan 'karate' dalam percakapan." Dari Perang Dunia II
hingga awal 1960-an, Taekwondo sebagian besar terdiri dari terminologi Jepang dan teknik. Ini adalah
masalah bagi mereka yang menyatakan bahwa Taekwondo berakar dari Korea sejarah. Instruktur

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 86
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

generasi berikutnya memecahkan masalah ini dengan mengembangkan metode kompetisi yang sangat
berbeda dari kompetisi Jepang.
Taekwondo telah mencapai popularitas global yang signifikan, terutama di Korea Selatan,
Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1973, Federasi Taekwondo Dunia (WTF) didirikan
di Seoul, Korea Selatan, dan pada gilirannya diakui oleh Komite Olimpiade Internasional pada tahun
1980. Pada tahun 1985, taekwondo menjadi kompetisi resmi di Kompetisi Olahraga Universitas
Internasional. Tiga tahun kemudian, itu ditampilkan dalam program Olimpiade Seoul 1988 dan
sebagai olahraga demonstrasi di Olimpiade Barcelona 1992. Taekwondo pertama kali menjadi
olahraga resmi di Olimpiade Sydney yang diadakan pada tahun 2000. Pada Desember 2007, WTF
mencakup 188 negara anggota (Tabel 1). Sejalan dengan narasi sejarah tersebut, taekwondo di Taiwan
telah melewati 41 tahun perkembangannya. Pada tahun 1966, departemen pertahanan Taiwan mulai
mendorong taekwondo di angkatan bersenjata, menandai yang pertama dari empat era perluasan
taekwondo di Taiwan. Era ini dapat dirujuk secara berurutan sebagai pengenalan (1966–1976),
promosi nasional (1977–1987), partisipasi kontes internasional (1988–2000), dan manifestasi kekuatan
(2000–sekarang).
Olahraga profesional memainkan peran generatif baik dalam wacana nasionalis maupun di
tingkat identitas sipil perkotaan yang lebih lokal. Selain itu, olahraga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber diplomasi (Juniarto dkk., 2022). Pemerintah Taiwan telah menyadari nilai taekwondo. Oleh
karena itu, telah memainkan peran aktif dalam mendorong para atlet untuk berjuang meraih medali
tertinggi, memilih untuk melengkapi kebijakan ini dengan mengimpor pelatih asing.
Pada tahun 2000, langkah-langkah ini telah beralih ke fokus pada pelatihan kebugaran fisik
(Rahayuningsih & Jariono, 2022). Masing-masing inisiatif ini telah terbukti sukses dalam
mempromosikan tim taekwondo Taiwan dalam kontes internasional, khususnya Olimpiade. Misalnya,
di Olimpiade Seoul pada tahun 1988 dan Olimpiade Barcelona pada tahun 1992, meskipun taekwondo
dimasukkan sebagai olahraga demonstrasi, tim taekwondo Taiwan masing-masing memenangkan dua
medali emas dan tiga medali perunggu, serta tiga medali emas dan dua perunggu. Pada Olimpiade
Athena 2004, Taiwan meraih dua medali emas dan satu medali perunggu. Dalam pertandingan
Olimpiade, Taiwan telah mengumpulkan tujuh medali emas di Taekwondo. Tabel 2 menunjukkan
pencapaian tersebut. Efek gabungan dari rekor yang mengesankan ini adalah bahwa Taiwan telah
mengalami pertumbuhan eksponensial dalam pengembangan dan partisipasi dalam taekwondo.
Kecakapan telah sesuai dengan tren ini. Kita hanya perlu mempertimbangkan bagaimana catatan
Desember 2007 Asosiasi Taekwondo Yogyakarta menyatakan bahwa ada total 681 sekolah
taekwondo, selain klub taekwondo di setiap tingkat lembaga pendidikan. Jumlah siswa taekwondo
telah meningkat dengan kecepatan yang mengejutkan.
Mengingat bukti ini, tidak mengejutkan bahwa terdapat ketertarikan akademis pelengkap dalam
peran konstitutif yang dimainkan oleh perumusan dan penerapan kebijakan dalam pembangunan
olahraga (Harahap, 2018). Studi terbaru (Abas, 2019) berfokus pada bagaimana kekuatan sosial dan
ekonomi membentuk sistem olahraga. (Juniarto dkk., 2022) mempertimbangkan landasan ideologis
dan kelembagaan pengembangan olahraga. (Rejeki, 2022) menunjukkan bahwa model kontinum
pengembangan olahraga – yang menempatkan pengembangan pada basis hierarkis dari yayasan,
partisipasi, kinerja, dan keunggulan – telah digunakan di banyak organisasi yang berbeda. Template
untuk sebagian besar pekerjaan ini dibuat oleh Rumah Olahraga, yang dikembangkan sebagai respons
terhadap kebijakan dan inisiatif. menerapkan pendekatan berbasis piramida yang banyak dikutip untuk
pengembangan renang. Mengikuti studi ini, ada dua perhatian utama bagi pemerintah dan pengatur
olahraga perlu diperhatikan dalam pembinaan olahraga. Yang pertama berusaha untuk meningkatkan
tingkat partisipasi olahraga. Yang kedua bertujuan untuk memaksimalkan standar kompetitif dalam
kinerja olahraga. Green (2015) dibangun di atas penelitian Chambliss dan menetapkan tiga isu utama
untuk pengembangan olahraga: pintu masuk atlet, retensi atlet, dan kemajuan atlet. Perbedaan apa pun
dalam tingkat perkembangan mental di antara olahraga dapat dikaitkan dengan banyak faktor. Dalam
pengakuan fakta ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur dan perilaku sistem
taekwondo. Oleh karena itu pengembangan olahraga adalah orientasi proses di mana pelatih, atlet,
profesional, spesialis kesehatan, pembuat kebijakan dan banyak lainnya, termasuk keterampilan dan
pengalaman kompetitif, semuanya terlibat (Hylton et al, 2001). Oleh karena itu, penangkapan
pengetahuan dan wawasan tentang sistem keolahragaan menjadi penting untuk kajian pembangunan
keolahragaan.

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 87
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

Metodologi dinamika sistem (SD) mempertahankan bahwa perilaku sistem pada prinsipnya
disebabkan oleh struktur sistem. Mengungkap struktur sistem yang kompleks membutuhkan
penguasaan konsep seperti umpan balik, stok dan aliran, penundaan waktu, dan non-linearitas.
Pendekatan SD adalah sarana yang efektif untuk menangani interaksi pemain kunci dalam sistem
tertentu. Kami mengklaim bahwa keuntungan dalam menangani interaksi ini sangat penting untuk
studi pengembangan olahraga mengingat bagaimana pemerintah, badan pengatur olahraga, partisipasi
dan kinerja olahraga dapat memainkan peran penting dalam proses perkembangan mental.
Sesuai dengan metodologi SD, penelitian ini terlebih dahulu menganalisis karakteristik
taekwondo sebelum melanjutkan ke analisis holistik struktur sistem taekwondo Taiwan, serta perilaku
sistemnya. Selain itu, penelitian ini mensimulasikan efek dari kebijakan bujukan pemenang
penghargaan.
Interpretasi konsep olahraga pembangunan merupakan langkah awal dalam perencanaan
kebijakan olahraga negara mana pun (Afrian & Hariadi, 2018). Olahraga pengembangan merupakan
bidang studi yang memiliki mendapat perhatian ilmiah yang meningkat sejak itu tahun 1970-an.
Pembangunan olahraga adalah sebuah proses orientasi di mana pelatih, atlet, profesional, spesialis
kesehatan, pembuat kebijakan dan banyak lainnya, termasuk keterampilan bersaing dan pengalaman,
semuanya terlibat (Haqqul Adam, 2020). Olahraga pembangunan tidak hanya tidak eksklusif untuk
olahraga tertentu, tetapi juga melibatkan pertumbuhan dan promosi semua orang di berbagai olahraga
dan pengembangan organisasi olahraga untuk layanan yang lebih baik kepada atlet, yang berpartisipasi
dalam kemampuan apapun pada tingkat yang berbeda dan memenuhi kebutuhan mereka (Dewi &
Vanagosi, 2019). Sebagian besar otoritas di lapangan setuju bahwa pembangunan olahraga memiliki
tiga tujuan: (i) tujuan kesehatan masyarakat itu melibatkan partisipasi untuk kesejahteraan pribadi; (ii)
tujuan pendidikan dimana olahraga keunggulan yang direferensikan secara pribadi oleh peserta dapat
dicapai dengan mencapai tujuan seperti meningkatkan waktu terbaik pribadi dan (iii) elit tujuan
kinerja di mana keunggulan mengambil bentuk keberhasilan di kancah internasional (Jariono dkk.,
2020). Di satu sisi, ada beberapa model untuk pengembangan olahraga .Upaya pertama dan model
tertua dari proses olahraga pengembangan diperkenalkan oleh Edy (1993) yang menunjukkan arah
yang berbeda dan kontribusi untuk partisipasi dan promosi di olahraga dalam model dinamis. (Aisyah
dkk., 2020)menyajikan tiga level model bukan model yang disebutkan, berdasarkan piramida
tradisional, yang luas diakui di seluruh dunia. Di dalam model, Sekolah Olahraga dan olahraga untuk
semua adalah dasar untuk kejuaraan nasional dan kompetisi tingkat nasional. Shilby dan Dean (2021)
mengusulkan piramida enam tingkat model yang mencakup enam tingkat olahraga untuk semua, klub,
provinsi, regional, nasional, dan internasional. Pembangunan olahraga model proses yang disebut
"Olahraga Tradisional Pengembangan Continuum/Piramida" dikembangkan menurut Bramham et al
(2021) memiliki empat hirarki tingkat. Juga, model Hylton et al, (2021) mencakup empat tingkat
hirarki Keunggulan, Kinerja, Partisipasi, dan Yayasan. The Mull et al, (2015) (9) model sekarang
ditantang karena ada banyak bukti bahwa di banyak negara, elit atlet telah memenangkan medali tanpa
melewati kursus olahraga untuk semua atau hiburan, Bertani atau olahraga pendidikan di bawah
terlatih sistem pendidikan untuk negara mereka. Di sisi lain, Taekwondo telah tercapai popularitas
global yang signifikan, terutama di Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Amerika Serikat. Demikian
juga, Taekwondo adalah salah satunya olahraga paling populer di Iran. Fortina dkk, (2017)
berpendapat bahwa di antara banyak pertempuran olahraga, seni bela diri Taekwondo Korea adalah
olahraga populer yang dikenal dengan kecepatan tinggi, ketegangan intens dan kontak penuh. Namun,
hanya ada satu penelitian yang difokuskan perkembangan taekwondo. Hsiao et al, (2020) menyajikan
model untuk pembangunan dari Taiwan. Model tersebut mengusulkan a model pengembangan untuk
mewakili empat loop atlet, keterampilan kompetitif, kompetitif pengalaman dan kebijakan pendidikan
jasmani – sebagai faktor penting.
Meski begitu, tampaknya berbagai faktor pada pembangunan lapangan olahraga dapat efektif.
Oleh karena itu, penelitian ini memutuskan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi
perkembangan olahraga taekwondo di Iran. Sebagai contoh, Taghipour dan Tehrani (2017)
menyimpulkan bahwa kebugaran mental anggota tim tim nasional wanita untuk berpartisipasi dalam
kamp dan kompetisi, penggunaan fisik pelatih untuk atlet tim nasional, lebih banyak lagi kehadiran di
kompetisi outbound, penggunaan pelatih eksternal dan meningkatkan tingkat pengetahuan ilmiah dan
teknis dari instruktur adalah faktor yang paling penting dalam pengembangan bidang olahraga ini. Di
dalam studi lain Razzaghi dan Hami (2016) menyimpulkan bahwa masalah yang paling penting

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 88
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

terletak di bidang infrastruktur, manusia penuh waktu sumber daya, dan tingginya biaya dan
pengeluaran di bagian tim nasional dan turnamen. Survei menunjukkan bahwa pendukung adalah
masalah utama di Federasi Taekwondo, tapi secara keseluruhan ada potensi yang adil di Federasi
Taekwondo. Sepertinya juga jika didukung oleh Kementerian Olahraga dan Pemuda dan Komite
Olimpiade Nasional dan paket dukungan yang lebih cocok bisa disediakan dan federasi akan terus
berlanjut berusaha untuk meningkatkan status quo, itu bisa berkelanjutan dan tetap menjadi salah satu
yang paling membanggakan peraih medali untuk bersaing dengan negara lain federasi.
Taekwondo adalah seni bela diri tradisional. Dalam taekwondo, tangan dan kaki digunakan
untuk mengatasi lawan, tetapi ciri olahraga ini adalah kombinasi dari gerakan tendangan. Selain itu,
dibutuhkan aspek psikologis untuk membimbing kondisi mental pemain taekwondo. Oleh karena itu,
taekwondo memiliki faktor jangkauan yang luas dan membutuhkan hubungan dari berbagai faktor
lainnya. Ciri-ciri umum taekwondo adalah sebagai berikut: Tingkat cedera yang tinggi. Taekwondo
melibatkan serangan fisik terhadap lawan sebagai cara untuk meraih kemenangan dalam kompetisi.
Kaki dan kepala merupakan bagian tubuh yang paling sering mengalami cedera (Puig, 2018)Setelah
latihan yang lama, tingkat cedera pada kepala, pinggang, lutut, dan pergelangan kaki para atlet
meningkat secara signifikan, membuat atlet taekwondo sangat rentan terhadap cedera. Bukti dari
mantan pelatih kepala tim taekwondo Taiwan ini menyatakan bahwa tingkat cedera pemain taekwondo
adalah 40 persen dalam latihan fisik dan 30 persen setelah pengalaman kompetitif. Taekwondo juga
memiliki laju kompetisi yang cepat Pada tahun 2005, waktu untuk setiap putaran kompetisi pria
dikurangi dari 3 menit menjadi 2 menit, sedangkan kompetisi wanita tetap sama yaitu 2 menit. Jika
dibandingkan dengan judo, yang waktu putaran putra dan putri masing-masing adalah 5 dan 4 menit,
kompetisi taekwondo jelas memiliki ritme yang ketat dan kecepatan yang lebih cepat.
Kompetitif taekwondo adalah olahraga kontak penuh pertarungan bebas di mana skor tinggi
atau KO menentukan pemenangnya. Peraih medali emas Olimpiade menunjukkan bahwa, 'Untuk
memotivasi pemain menyerang, gerakan dengan tingkat kesulitan yang lebih besar memiliki nilai poin
yang lebih tinggi'. Poin dicetak saat tendangan atau pukulan dilakukan ke area penilaian yang sah
(Kob dan Watkinson, 2002). Misalnya, tendangan lompat ke kepala mendapat tiga poin, dan ke badan
mendapat dua poin, sedangkan tendangan kapak, tendangan depan, dan tendangan belakang dari posisi
berdiri hanya mendapat satu poin. Dengan cara ini, pemain mencoba melakukan serangan dengan
tingkat kesulitan yang lebih besar untuk mendapatkan lebih banyak poin.
Kehidupan kompetitif yang singkat dari pemain kelas dunia. Pelatihan atlet taekwondo tidak
mudah. Atlet harus berlatih dari usia muda selama 7-11 tahun, mencapai puncaknya dalam
kemampuan fisik dan keterampilan teknis secara bersamaan, biasanya antara usia 18 dan 28 tahun
(Tasi, 2020). Cedera terkait olahraga tidak dapat dihindari, dan oleh karena itu diperlukan berhati-hati,
jangan sampai kehidupan kompetitif atlet dipersingkat, atau dalam kasus ekstrim, diakhiri.
Keuntungan dari atlet yang tinggi dan ramping. Dalam kelas berat apa pun, atlet dengan tungkai yang
lebih panjang memiliki keunggulan alami karena jangkauan mereka yang lebih besar memberi mereka
kemampuan untuk mendaratkan serangan efektif dengan lebih cepat. Oleh karena itu, karakteristik
alami dari tubuh seorang atlet sangat penting untuk kesuksesan mereka.
Bimbingan psikologis sebelum kompetisi menstabilkan keadaan mental pemain taekwondo,
memungkinkan pemain mencapai potensi penuh mereka di arena. Ini adalah metode mengelola
tekanan yang diberikan pada atlet oleh diri mereka sendiri, pelatih mereka dan penonton, dan
merupakan dasar kesuksesan atlet .
METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah Atlet Taekwondo di Kabupaten yang ada di Yogyakarta;
Pelatih Taekwondo di Kabupaten Yogyakarta dan Atlet atau anggota Taekwondo di Kabupaten
Yogyakarta. Dalam hal ini, sumber data primer yang dikumpulkan adalah hasil dari wawancara dan
observasi serta dokumen-dokumen mengenai perkembangan taekwondo di Kabupaten Yogyakarta.
Sedangkan data sekunder dalam hal ini kajian berupa dokumen tertulis yang berkaitan dengan
perkembangan Taekwondo di Kabupaten Yogyakarta. Instrumen pengumpulan data adalah alat yang
digunakan untuk mengumpulkan data. Karena merupakan alat, maka instrumen tersebut dapat berupa
lembar checklist, pedoman wawancara, kamera foto dan lain-lain. Ketiga teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Miles dan

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 89
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

Hubermanini teknik analisis, analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data dan setelah
pengumpulan data selesai dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan dalam analisis data adalah mereduksi
data, menampilkan data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, focus pembahasan pada dua level variabel model
pembinaan yaitu jumlah atlet dan kemampuan kompetitif antara kondisi sebelum pandemic dan
sesudah pandemic dengan lingkup data selama 5 tahun mulai tahun 2018-2022 kemudian data
ditampilkan dalam bentuk tabel. Sebagai contoh, dapat dilihat Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Atlet Taekwondo dan Kemampuan Kompetitif

Tahun Jumlah Atlet Kemampuan Kompetitif


2018 257 89%
2019 240 90%
2020 198 81%
2021 194 79%
2022 203 82%

Hubungan antara kondisi sebelum pandemic, saat pandemic dan pasca pandemic dengan jumlah
atlet dapat digambarkan dalam grafik berikut:

Gambar 1. Jumlah Atlet Taekwondo Selama 5 Tahun


Dari graphic tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah atlet taekwondo mengalami penurunan
pada masa pandemic yang diwakili tahun 2019 hingga 2021. Hal ini diakrenakan adanya pembatasan
terhadap aktivitas masyarakat dengan skala besar sehingga latihan taekwondo tidak dapat
dilaksanakan secara maksimal sebagaimana mestinya sehingga banyak atlet yang mengundurkan diri
karena hilangnya minat maupun tidak ada ajang yang dapat digunakan untuk melatih diri seperti biasa
sedangkan pada tahun 2022 grafik tampak naik dari tahun 2021 hal ini dikarenakan pada tahun 2022
masyarakat mulai dapat beraktivitas seperti biasa sehingga peminat taekwondo meningkat karena ada
ajang untuk berkompetisi Kembali sedangkan hubungan antara kemampuan kompetitif sebelum, pada
saat dan sesudah pandemic dapat digambarkan pada gambar 2. Gambar 2 menunjukkan hasil yang
tidak jauh berbeda dengan gambar 1 yaitu graphic mengalami penurunan pada tahun 2019 hingga

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 90
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

2021. Kemampuan kompetitif atlet taekwondo mengalami penurunan dikarenakan tidak ada kompetisi
yang biasanya digunakan sebagai ajang bertanding taekwondo sehingga atlet taekwondo mengalami
penurunan motivasi yang berdampak pada turunnya kemampuan kompetitif. Pada tahun 2022
semangat kompetitif atlet taekwondo mulai terbangun Kembali bahkan pada tahun 2022 berhasil
mendapatkan 6 medali pada kompetisi taekwondo dalam tingkat ASEAN.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi pandemic memiliki hubungan
yang positif dengan jumlah dan kemampuan kompetitif atlet. Pada masa pandemic kita ketahui segala
aktivitas dibatasi sehingga atlet taekwondo kehilangan tempat untuk berkembang khususnya di
wilayah Yogyakarta namun pada tahun 2022, Indonesia berhasil bangkit dengan meraih 6 medali pada
kejuaraan yang diselenggarakan di Vietnam.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, R. (2019). KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN SARANA
DAN PRASARANA OLAHRAGA. UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG.
Afrian, H., & Hariadi, N. (2018). Implementasi Sport Search Untuk Mengidentifikasi Bakat Calon
Olahragawan Berprestasi Di Kabupaten Lombk Timur. Jurnal Porkes, 1(1), 27–31.
https://doi.org/10.29408/porkes.v1i1.1098
Aisyah, S., Muhtar, T., & Yudiana, Y. (2020). The Effect of Training Method and Educability on
Karate-Kata Skill. TEGAR: Journal of Teaching Physical Education in Elementary School,
4(1). https://doi.org/10.17509/tegar.v4i1.26708
Dewi, P. C. P., & Vanagosi, K. D. (2019). EVALUASI PROGRAM PEMBINAAN PRESTASI
PANAHAN PENGKAB PERPANI KARANGASEM.
https://doi.org/10.5281/ZENODO.3343001
Haqqul Adam, Q. (2020). Studi Daya Tahan Kardiovaskuler Pada Atlet Walisongo Sport Club (Wsc)
Uin Walisongo Semarang. Jurnal Porkes, 3(1), 15–19.
https://doi.org/10.29408/porkes.v3i1.1942
Harahap, I. H. (2018). Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Prestasi Atlit Nasional. Journal of
Entrepreneurship, Management, and Industry, 1(4).

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)
JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi), xx (x), xxxx - 91
Afni Silvia Putri, Sri Ayu Wahyuti, Budi Aryanto

Jariono, G., Subekti, N., Indarto, P., Hendarto, S., Nugroho, H., & Fachrezzy, F. (2020). Analisis
kondisi fisik menggunakan software Kinovea pada atlet taekwondo Dojang Mahameru
Surakarta. Transformasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 16(2), 133–144.
https://doi.org/10.20414/transformasi.v16i2.2635
Juniarto, M., Subandi, O. U., & Sujarwo, S. (2022). Edukasi Olahraga Dalam Upaya Meningkatkan
Kebugaran dan Kesehatan Masyarakat Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Dharma Raflesia :
Jurnal Ilmiah Pengembangan dan Penerapan IPTEKS, 20(1), 16–23.
https://doi.org/10.33369/dr.v20i1.18759
Khoirunnisa, A. L., Purwono, E. P., & Raharjo, H. P. (2014). BAKAT ANAK USIA DINI DALAM
OLAHRAGA TAEKWONDO MENGGUNAKAN METODE SPORT SEARCH DI
KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012. Journal of Physical Education.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/peshr/article/download/510/549/
Niati, D. R., Siregar, Z. M. E., & Prayoga, Y. (2021). The Effect of Training on Work Performance
and Career Development: The Role of Motivation as Intervening Variable. Budapest
International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social
Sciences, 4(2), 2385–2393. https://doi.org/10.33258/birci.v4i2.1940
Puig, N. (2018). On sport for all and elitist sports in Spain. Reply to David Moscoso-Sánchez, Álvaro
Rodríguez-Díaz and Jesús Fernández-Gavira. European Journal for Sport and Society, 15(1),
96–108. https://doi.org/10.1080/16138171.2017.1374643
Rahayuningsih, A. P., & Jariono, G. (2022). Pola Pembinaan Olahraga Taekwondo Pada Masa
Adaptasi Kebiasaan Baru Ditinjau Dari Context, Input, Process, dan Product. Jurnal Porkes,
5(1), 12–22. https://doi.org/10.29408/porkes.v5i1.5443
Ramdhansyah, L., & Purnama, S. K. (2022). Taekwondo Sport Development in Sukoharjo District.
Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), 5(4), 29771–
29779.
Rejeki, H. S. (2022). PENGEMBANGAN MODEL LATIHAN FISIK OLAHRAGA KARATE
BERBASIS PROFIL BIOMOTORIK ATLET. TADULAKO JOURNAL SPORT SCIENCES
AND PHYSICAL EDUCATION, 10.
Shah, M. M., Sirojuzilam, S., & T Maas, L. (2020). The Development Impact of PT. Medco E & P
Malaka on Economic Aspects in East Aceh Regency. Budapest International Research and
Critics Institute (BIRCI-Journal)  : Humanities and Social Sciences, 3(1), 276–286.
https://doi.org/10.33258/birci.v3i1.744
Werdhiastutie, A., Suhariadi, F., & Partiwi, S. G. (2020). Achievement Motivation as Antecedents of
Quality Improvement of Organizational Human Resources. Budapest International Research
and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences, 3(2), 747–752.
https://doi.org/10.33258/birci.v3i2.886

Copyright © 2019, JORPRES (Jurnal Olahraga Prestasi)


ISSN 0216-4493 (print), ISSN 2597-6109 (online)

Anda mungkin juga menyukai