Bab Ii Tinjauan Pustaka: (Power), Status, Wewenang Dan Pengaruh, Sedangkan Klien Berarti Bawahan Atau

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patron Klien

Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa dalam suatu interaksi sosial

masing-masing aktor melakukan hubungan timbal-balik. Hubungan ini dilakukan

secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal

(masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah „patron‟ berasal dari bahasa

Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan

(power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau

orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132).

Patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung

pada zaman Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki

sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di

bawah perlindungannya. Meski para klien secara hukum adalah orang bebas,

mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan

keluarga pelindung mereka. Ikatan antara patron dan klien mereka bangun

berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun

(Pelras, 2009: 21).

Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran

yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari sebuah ikatan yang melibatkan

persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-

ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber

dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi

10

Universitas Sumatera Utara


seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien

kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan

termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar,

jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan

kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh Scott (1994) berkaitan dengan

kehidupan petani adalah:

1. Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah

untuk bercocoktanam.

2. Jaminan krisis subsistensi, yaitu patron menjamin dasar subsistensi bagi

kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh

permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu kehidupan

kliennya

3. Perlindungan dari tekanan luar

4. Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatannya untuk

melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk

menarik keuntungan/hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas

perlindungannya.

5. Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok dapat

melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, yaitu mengelola berbagai

bantuan secara kolektif bagi kliennya.

Adapun pertukaran dari klien ke patron, adalah jasa atau tenaga yang

berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut

berupa jasa pekerjaan dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa

11

Universitas Sumatera Utara


domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik. Bagi klien, unsur kunci

yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan loyalitasnya kepada patron

adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan dan

hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron

dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia

melihat ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal.

Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan antara patron dan klien

menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana

didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua

belah pihak. Norma-norma tersebut akan bertahan jika patron terus memberikan

jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha tersebut

kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam pola interaksi

tersebut karena kaum elit/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan

sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini berlaku

karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status

dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada

berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam

masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar kedua posisi.

Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya

adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila

hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini

melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan

keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron

menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah

12

Universitas Sumatera Utara


berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan

jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji

atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya.

Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka

konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi pola hubungan yang

terjadi antara toke dengan petani kemenyan, apakah pola patron klien yang

disebutkan Scott memang berlaku pada petani Pandumaan atau sudah mengalami

pergeseran. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan patron klien

dilakukan oleh Astuti (2012) yang berjudul “Relasi Sosial Petani dengan Buruh

Tani Dalam Produksi Pertanian”. Penelitian ini mengkaji tentang relasi patron

klien yang terjadi antara petani dengan buruh tani. Hasil penelitian ini

menunjukkan: (1) Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam

produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas

pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. 2)

Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan

buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi

sosial petani dengan buruh tani tetap dan (3) Relasi sosial disini seakan sudah

terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun

sejak lama.

Adapun penelitian lainnya yang membahas hubungan patron klien berasal

dari Kurniawan dan Kolega (2011). Hasil penelitian ini adalah : 1) Pola hubungan

Petani karet dengan tauke yang terjadi pada masyarakat petani Desa Muara Musu

adalah hubungan produksi dan saling menguntungkan. Dalam melakukan

hubungan patron klien ini antara petani karet dengan tauke tidak saja bermotifkan

13

Universitas Sumatera Utara


hubungan ekonomi, tetapi meluas hingga hubungan sosial. Umumnya terlihat

pada kesediaan tauke untuk menjamin kebutuhan petani pada masa sulit misalnya:

musim hujan dan kemarau yang panjang. Di sisi lain petani bersedia membantu

tauke bila diperlukan tanpa mengharapkan imbalan apapun. 2) Kerjasama

antarapetani karet dengan tauke berlangsung dalam proses produksi yang mana

tingginya tingkat ketergantungan antara petani karet terhadap tauke karena

didasarkan sama-sama mempunyai kepentingan.

2.2 Hubungan Eksploitatif

Hubungan patron klien yang dilihat Scott sebagai melindungi yang lemah,

bagi Popkin adalah suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya

murah, yaitu tenaga kerja. Petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil seperti

mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai

tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin (dalam Kosala dan

Kolega,2011) menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan

prinsip rasional. Namun, teori “pilihan rasional” juga tak berlaku dalam kasus

dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang

tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah “free- riders” tidak

signifikan mempengaruhi perilaku kolektif.

Premis dasar terciptanya pola hubungan eksploitasi disebabkan oleh

adanya stratifikasi sosial, yakni adanya perbedaan status diantara pelaku ekonomi.

Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang

mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi

kelompok yang sumber dayanya terbatas. Pihak yang mengeksploitasi semata-

14

Universitas Sumatera Utara


mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka..

Kelompok dengan sumber daya yang melimpah dan berkuasa dapat memaksakan

sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa

sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka.

Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada individu, kelompok

atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari

kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam

pengertian ini ada dua cara eksploitasi. Pertama, harus dilihat sebagai suatu

hubungan antara perorangan, dan ada pihak yang mengeksploitasi dan

dieksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya.

Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan patron klien.

Resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa individu

atau kelompok harus membantu mereka yang pernah membantunya atau jangan

merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima bagi si

penerima menimbulkan satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan

hadiah atau jasa dengan nilai yang sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini

Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai

landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-

masyarakat tradisional (Scott, 1994). Dalam pandangan ekonomi resiprositas

menunjuk pada bentuk pertukaran yang ditanamkan secara sosial dalam

masyarakat simetris yang berskala kecil (Hettne, 2001:289).

Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka

konsep tersebut di atas berguna untuk mengidentifikasi pola hubungan yang

terjadi antara petani kemenyan dengan toke apakah termasuk pola yang

15

Universitas Sumatera Utara


eksploitatif pada petani Pandumaan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan hubungan yang ekslpoitatif dilakukan oleh Purnamasari (2002:111)

menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan

bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Hasil penelitian ini adalah:

1. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang

berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di

eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama

kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan

masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap

sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat

resiprositas (timbal-balik).

2. Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam

kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan

formal bentukan pemerintah, disamping hubungan ponggawa-petambak tetap

menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat (berlangsung

setiap saat dan tanpa batas waktu).

Adapun penelitian yang masih berhubungan dengan pola eksploitatif

adalah penelitian Alhada (2011) tentang konstruksi sosial buruh tani tembakau

terhadap eksploitasi yang dilakukan majikannya di Desa Mayang, Kecamatan

Mayang, KabupatenJember. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani

yang bekerja keras setiap kali diminta untuk mengerjakan lahan pertanian milik

majikan sangatlah pasrah terhadap keadaan yang ada. Tak ayalnya banyak sekali

kita temui beberapa buruhtani bekerja sepanjang hari mendapat upah yang relatif

minim. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan kerja keras yang buruhtani

16

Universitas Sumatera Utara


untuk menggarap lahan majikan ini nampaknya menimbulkan ketimpangan yang

cukup berarti. Fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya:

kuasa majikan yang cenderung bertindak sewenang-wenang, majikan

menganggap bahwa posisi majikan lebih tinggi dibandingkan dengan posisi

buruhtani, adanya pemikiran dari mayoritas buruhtani bahwa memang sudah

sewajarnya buruh harus tunduk dan menuruti kemauan majikan tersebut

merupakan suatu kesepakatan masyarakat di Desa Mayang dan tidak dapat diubah

lagi.

2.3 Pola Mutualisme

Pola mutualisme merupakan suatu bentuk hubungan yang dilakukan oleh

dua orang yang mengutamakan keuntungan masing-masing dan dinilai setimpal

atas apa yang dikerjakan. Popkin (dalam Kosala, 2011) mengungkapkan tentang

rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh

perhitungan rasional.Ada beberapa perdebatan antara James Scott dan Samuel

Popkin. Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani yang

hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat dan

enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang

rasional.Namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit.

Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih

memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada hakekatnya petani

terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut

ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.Intinya, Popkin mengkritik

Scott dan menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan

17

Universitas Sumatera Utara


ekonominya dan berani mengambil resiko. Bahkan, bila kesempatan terbuka maka

mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu

menerapkan praktek untung rugi. Rasionalitas petani akan lebih menonjol jika

ditunjang oleh adanya independensi petani, karena mampu mendorong tumbuhnya

kreativitas. Perpaduan antara rasionalitas dan independensi mampu menumbuhkan

keberanian menghadapi resiko.

Pola ini sesuai dengan teori Pilihan Rasional. Teori pilihan rasional

Coleman (dalam Hariyanto,2014) merupakan tindakan perseorangan mengarah

kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau

pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada aktor.

Aktor dilihat sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor

memiliki tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan

tersebut. Aktorpun dipandang memiliki pilihan (nilai atau keperluan). Teori

pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang

menjadi sumber pilihan aktor. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan

dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor.

Relevan dengan tindakan rasional tersebut, Coleman (dalam Hariyanto,

2014) mengembangkan melalui teori pilihan rasional yang menyatakan bahwa,

tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga

tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Pernyataan Coleman

bersumber dari akar pemikiran ilmu ekonomi yang melihat aktor memilih

tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan

dan kebutuhan mereka. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor

dan sumber daya, dan menyatakan bahwa basis minimal untuk sistem sosial

18

Universitas Sumatera Utara


tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya

yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber

daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat

dalam tindakan saling membutuhkan, terlibat dalam sistem tindakan. Selaku aktor

yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan

perwujudan kepentingannya yang memberikan ciri saling bergantung atau ciri

sistemik terhadap tindakan mereka.

Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan mutualisme

dilakukan oleh Hariyanto (2014) menunjukkan bahwa petani sebagai aktor dan

lahan sebagai sumber daya yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan.

Jadi, hubungan diantara keduanya adalah kuasa dan kepentingan (Coleman,

2011:37). Sumber daya yang dimiliki oleh seorang petani memiliki daya tarik

sendiri bagi orang lain untuk memilikinya. Proses terbentuknya pilihan rasional

dalam konteks ini yaitu ketika seorang petani menyewakan lahannya untuk

memenuhi kebutuhan dasar keluarganya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan

lain sebagainya. Lahan merupakan sumber daya yang dimiliki oleh petani yang

mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Kuasa disini maksudnya petani

pemilik lahan berhak untuk menggarap, menyewakan, atau bahkan menjual lahan

tersebut untuk memenuhi kepentingan atau tujuannya. Ketika berbicara

kepentingan, maka tidak semua sumber daya yang dimiliki petani bisa memenuhi

kepentingannya. Masih ada beberapa sumber daya yang tidak dimiliki oleh petani

dan dimiliki oleh orang lain sehingga untuk memilikinya diperlukan adanya

pertukaran (transaksi) untuk memenuhi kepentingan dari masing-masing individu.

Penyewaan lahan dilakukan karena petani sebagai pemilik lahan membutuhkan

19

Universitas Sumatera Utara


uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sedangkan pihak penyewa

membutuhkan lahan untuk memperluas lahan pertaniannya.

Konsep ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi

hubungan yang terjadi antara petani dengan toke. Apakah hubungan petani

dengan kemenyan yang terjalin diantaranya hanya berdasarkan keuntungan saja

atau mencari jaminan perlindungan dan subsistensi akibat sedikitnya bantuan

yang diperoleh dari saudara mereka sendiri seperti yang dikatakan Scott (1994)

dalam moral ekonomi petani.

2.4 Hutan Adat

Hutan adat adalah kawasan hutan yang dijadikan hutan larangan melalui

keputusan masyarakat atas dasar kesepakatan bersama (Alfitri,2010). Pengawasan

kawasan ini dilakukan oleh ketua adat, kelompok marga sertakepala desa. Hutan

adat dijadikan sebagai aset perekonomian yang bisa dimanfaatkan oeh masyarakat

untuk melakukan kegiatan berladang guna memenuhi kepentingan ekonomi

keluarga berupa kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu masyarakat yang

ingin memanfaatkan hutan adat yang bukan berasal dari desa/ menikah dengan

masyarakat adat di desa tersebut, terlebih dahulu harus melapor dan mendapat izin

dari Ketua adat sebagai kepala pemerintahan marga. Hutan adat pada prinsipnya

dikelola oleh pemerintahan marga dengan aturan sebagai berikut:

1. Semua keluarga yang ingin membuka hutan marga berhak atas pengelolaan

lahan seluas kemampuan membabat hutan. Jika suatu keluarga mampu

membuka lahan seluas dua hektar, tetap diizinkan oleh ketua adat.

20

Universitas Sumatera Utara


2. Keluarga yang membuka hutan tidak boleh menanam tanaman keras dengan

alasan bahwa tanaman tersebut berumur pendek, sehingga bisa dilakukan

penggiliran bagi keluarga lain.

3. Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bukan

untuk dijual atau memperoleh keuntungan ekonomi.

4. Hutan adat yang sudah beberapa tahun (empat sampai lima tahun berturut-turut)

ditanam oleh masyarakat harus dihutankan kembali (dibiarkan menjadi hutan)

agar tanah hutan menjadi subur kembali

5. Keluarga yang menggunakan hutan adat diwajibkan membayar pajak marga

dalam satu tahun, jika ingin melanjutkan kembali diharuskan mengajukan

pengusulan ulang kepada Ketua adat.

6. Keluarga yang melanggar aturan adat dapat dikenakan sanksi adat sesuai

dengan hukum adat yang ditetapkan oleh rapat dewan marga.

Dari keenam prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan

adat masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah

secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.

Walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum

bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan

dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat adat, yaitu antara lain :

a. Masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana

manusia merupakan bagian dari ekosistem yang luas dan dijaga

keseimbangannya.

21

Universitas Sumatera Utara


b. Adanya hak penguasaan atau kepemilikan bersama komunitas atas suatu

kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga

untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan.

c. Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan adat yang memberikan

kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-

masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya hutan.

d. Adanya sistem pembagian kerja dan penegakan hutan adat untuk mengamankan

sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat

sendiri maupun oleh orang luar.

e. Ada mekanisme pemerataan distribusi hasil panen-panen sumber daya alam

milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat

(Alfitri,2010).

Menurut hasil penelitian Silaya (2008) menyatakan : 1) Masyarakat Desa

Walakone masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeens-chap)karena memiliki

ikatan-ikatan kekeluargaan seperti marga, mata rumah, soa, dll.2) Masyarakat

desa ini memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adat,memiliki

wilayah hukum adat yang jelas, pranata serta perangkat hukum,

khususnyaperadilan adat, yang masih ditaati. Selain itu masyarakatnya masih

mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zoraya (2002) menyatakan:

1) Hutan Tana Toa diakui sebagai hutan adat yang berfungsi sebagai pengatur tata

air, tempat pelaksanaan upacara adat (fungsi sosial) dan 2) menanam dua jenis

pohon hingga tumbuh dengan baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat adat.

22

Universitas Sumatera Utara


Kelestarian hutan dapat terjaga karena adanya patang yang mengatur berbagai

aspek kehidupan masyarakat keamatoaan, adanya tokoh Amma Toa, ketegakan

hukum, keteguhan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran pasang.

Dengan demikian keberadaan hutan adat merupakan warisan secara turun-

temurun dari leluhur marga mereka. Para leluhur, mewariskan hutan tersebut

untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari para generasi mereka. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap

ketersediaan sumber daya alam membuat masyarakat lokal sangat mematuhi

aturan-aturan marga mereka terutama dalam hal pemanfaatan pepohonan

(Wulandari dan Kolega,2010).

23

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai