Anda di halaman 1dari 226

DINAMIKA

HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA


Mengenal Konstruksi Baru Hukum Administrasi
Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

ADE KOSASIH
JOHN KENEDI
IMAM MAHDI

BENGKULU
2017
i
Pelanggaran Hak Cipta diatur
Pasal 113 ayat (3), dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran
hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii
DINAMIKA
HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA
Mengenal Konstruksi Baru Hukum Administrasi
Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Oleh:
ADE KOSASIH
JOHN KENEDI
IMAM MAHDI

Diterbitkan Oleh
Penerbit Vanda
Jln. Mayjend Sutoyo No. 43 Tanah Patah
Telp: (0736) 34650 – Bengkulu 38224
www.vandabengkulu.com

Hak Cipta, Hak Penerbitan, dan Hak Pemasaran pada Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang


memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis,
termasuk foto copy, rekaman, dan lain-lain tanpa izin atau
persetujuan dari Penulis.

Cetakan Pertama, Oktober 2017


iii
DINAMIKA
HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA
Mengenal Konstruksi Baru Hukum Administrasi
Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ISBN : 978 – 602 – 6784 – 40 - 7

© Ade Kosasih, S.H., M.H.


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Desain Cover : Penerbit Vanda


Setting Layout : Ade Kosasih, S.H., M.H.
Editor Materi : Dr. J.T. Pareke, S.H., M.H.
Editor Bahasa : Ferri Susanto, S.Pd., M.Pd.

Diterbitkan oleh
Penerbit Penerbit Vanda
Jln. Mayjend Sutoyo No. 43 Tanah Patah
Bengkulu 38224
Telp: (0736) 34650

iv
PRA KATA

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.


Alhamdulillah, akhirnya penulisan dapat menyelesaikan
penelitian tentang perkembangan Hukum Administrasi
Indonesia pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga dapat
diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Dinamika Hukum
Administrasi Indonesia”.Keinginan penulis untuk meneliti
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan ini tidak lain dikarenakan dorongan rasa ingin
tahu lebih mendalam mengenai perkembangan hukum
administrasi. Sebenarnya sudah ada beberapa tulisan-tulisan
tentang materi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
namun tulisan-tulisan tersebut lebih bersifat parsial, terfokus
pada masalah-masalah tertentu. Sehingga penulis mencoba
untuk memberikan gambaran perkembangan hukum
administrasi secara holistik, walaupun penulis sadari
bahwasanya pembahasan dalam buku ini tidak konfrehensif
bahkan terkesan masih sangat dangkal. Hal itu disebabkan
keterbatasan ilmu, waktu, dan pengalaman yang penulis miliki.
Untuk itu penulis senantiasa membuka diri terhadap saran-saran
dari rekan-rekan atau pihak-pihak yang concern terhadap bidang
hukum administrasi, sehingga pada penerbitan berikutnya dapat
diperbaiki. Walaupun menyadari kelemahan dan kekurangan
buku ini, Penulis tetap berharap semoga dapat memberikan
manfaat khususnya bagi aparatur pemerintahan dan masyarakat
umum yang membaca buku ini.
Billahitaufiq Walhidayah,
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Bengkulu, 3 Oktober 2017

Penulis
v
MOTTO

“Abusus de droit tollit usum”


Penyimpangan wewenang tidak boleh menjadi kebiasaan.

―Juris praecepta sunt haec, honeste vivere, alterum non laedera,


suum cuique tribuere”
Peraturan dasar hukum adalah hidup sopan, tidak merugikan
orang lain, memberi kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya.

―Yakinkan dengan iman, Usahakan dengan ilmu, Sampaikan


dengan amal‖.

vi
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 9
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 10
D. Definisi Operasional .......................................................... 11
E. Metode Penelitian ............................................................... 11

BAB II
TINJAUAN HISTORIS PERKEMBANGAN HUKUM
ADMINISTRASI DI INDONESIA
A. Awal Kemerdekaan ........................................................... 13
B. Masa Konstitusi RIS .......................................................... 15
C. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 .................................... 16
D. Masa 1986 sampai dengan 2014 ........................................ 18

BAB III
KONSTRUKSI KEWENANGAN ADMINISTRASI
A. Dasar Kewenangan ........................................................... 21
B. Cara Memperoleh Kewenangan ........................................ 22
C. Pembatasan Kewenangan ................................................... 35
D. Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Wewenang .................... 37
E. Pengawasan terhadap Penggunaan Wewenang ................ 38
F. Sengketa Kewenangan ....................................................... 40

BAB IV
KONSTRUKSI DISKRESI
A. Ruang Lingkup Diskresi ..................................................... 43
B. Prosedur Penggunaan Diskresi .......................................... 49

BAB V
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI
A. Masa Berlaku Keputusan Administrasi ............................. 53

vii
B. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang Berwenang .. 54
C. Bantuan Kedinasan ............................................................. 55
D. Bentuk Keputusan .............................................................. 57

BAB VI
PROSEDUR ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
A. Para Pihak ........................................................................... 65
B. Pemberian Kuasa ............................................................... 66
C. Konflik Kepentingan ......................................................... 68
D. Sosialisasi Bagi Pihak yang Berkepentingan ..................... 71
E. Standar Operasional Prosedur ........................................... 73
F. Pemeriksaan Dokumen Administrasi ................................ 74
G. Penyebarluasan Dokumen Administrasi ........................... 75

BAB VII
KONSTRUKSI BARU KARAKTERISTIK KEPUTUSAN
PEMERINTAHAN
A. Perkembangan Unsur-Unsur Keputusan (Beschikking) ...... 77
B. Syarat Sahnya Keputusan ................................................... 83
C. Jenis Keputusan ................................................................... 86
D. Kekuatan Berlaku Keputusan ............................................. 88
E. Mekanisme Perubahan, Pencabutan, Penundaan, dan
Perubahan Keputusan ......................................................... 92
F. Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan .................. 96

BAB VIII
UPAYA ADMINISTRATIF
A. Istilah dan Unsur-Unsur Upaya Administratif .................. 99
B. Jenis dan Prosedur Upaya Administratif .......................... 100

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ADMINISTRASI
A. Tanggung Jawab Pembinaan dan Pengembangan ............ 105
B. Bentuk-Bentuk Pembinaan dan Pengembangan ............... 105
C. Penerapan Sanksi Administratif ........................................ 106
viii
D. Jenis Sanksi Administratif .................................................. 107
E. Pejabat yang Berwenang Menjatuhkan Sanksi
Administratif ...................................................................... 107

BAB X
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN TERHADAP FUNGSI DAN PERAN
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ............................ 109
B. Perluasan Kompetensi Mengadili ...................................... 110
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara ................................................................................ 117
D. Putusan dan Eksekusi ........................................................ 119

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 123

LAMPIRAN ........................................................................... 129


UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

ix
x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan hukum administrasi berjalan sejajar
dengan perkembangan fungsi kenegaraan. Semakin dinamis
dan luas fungsi kenegaraan, maka semakin luas pula ruang
lingkup hukum administrasi. Saat ini hukum administrasi
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan
dengan dinamika dan ruang lingkup tugas pemerintah.
Meluas dan berkembangnya fungsi, tugas dan kewenangan
pemerintah tidak terlepas dari kompleksitas kehidupan
masyarakat yang menuntut adanya campur tangan
pemerintah (staatsbemoeinis) secara aktif memberikan
pelayanan umum kepada masyarakat (public service) dalam
mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurzorg).
Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan
kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama
makin meluas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg).1
Diberinya tugas “bestuurzorg” itu membawa suatu
konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara.2 Agar
dapat menjalankan tugas-tugas tersebut, administrasi negara
membutuhkan kewenangan yang luas dan besar.
Kewenangan yang luas dan besar tersebut, memerlukan
kontrol hukum yang baik dalam rangka memberikan
perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak warga negara
dari potensi penyalahgunaan wewenang (detournament de

1 E. Utrecht, “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”, Surabaya:


Pustaka Tinta Emas, 1988, Hlm. 28-29.
2 Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Rajawali Press,

2007, Hlm. 16.


1
povouir) dan tindakan sewenang-wenang (willekeur) oleh
administrasi negara. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa
setiap manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan.
Demikian juga dengan administrasi negara yang dijalankan
oleh manusia. Apalagi jika perbuatan tersebut didasarkan
pada suatu kewenangan, di mana pemegang kewenangan
sering terlena dalam menggunakan kewenangan. Ia lupa
bahwa di dalam kewenangan terdapat tanggung jawab,
sehingga sering terjadi salah pengertian yang menganggap
kewenangan yang ada diartikan sebagai kehendaknya.
Padahal setiap kewenangan selalu dilekati dengan tanggung
jawab. Kewenangan tanpa tanggung jawab adalah
penindasan, sebaliknya tanggung jawab tanpa kewenangan
adalah ketidakberdayaan.
Terkait dengan kewenangan tersebut, Lord Acton telah
mengemukakan pandangannya yang berbunyi: “Power tend to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan
cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang tak terbatas
pasti disalahgunakan). Oleh karena itu dibutuhkan instrumen
yang dapat membatasi, mengawasi, dan mengendalikan
kekuasaan administrasi negara yang besar tersebut. Instrumen
yang dimaksud adalah hukum administrasi.
Seperti kaidah-kaidah hukum yang lain, kaidah hukum
administrasi memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
mengikat setiap subjek hukum yang melakukan tindakan
hukum beserta akibat hukumnya. Kekuatan hukum tidak
tercermin dalam kekuatan fisik melainkan kekuatan yang
berasaskan pada struktur yuridis yang mengandung
kebermaknaan filosofis, keberlakuan sosiologis dan normatif.
Pada hakikatnya, hukum administrasi berfungsi
menjaga wibawa (gezag) administrasi di mata warga negara,
serta sebagai pedoman bagi administrasi dalam menjalankan
fungsi, tugas, dan kewenangannya agar tidak keluar dari
2
ketentuan hukum yang telah ditentukan (rechtmatigheids van
bestuur). Di sisi lain, hukum administrasi juga berfungsi
sebagai sarana bagi warga negara dalam memperoleh
perlindungan dari potensi perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatig oversdaad) yang dilakukan oleh administrasi.
Dengan demikian, hukum administrasi sebenarnya
menghendaki adanya keserasian antara kepentingan negara
atau kepentingan umum yang diwakili oleh administrasi di
satu pihak dan kepentingan warga negara baik secara
individual maupun komunal di pihak lain.
Untuk melindungi pihak-pihak tersebut, diperlukan
instrumen hukum administrasi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
adalah cerminan asas legalitas (wetmatigheids van bestuur) yang
merupakan salah satu unsur negara hukum recht staat, di
samping adanya perlindungan dan pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan serta
keberadaan Peradilan Administrasi, sebagaimana diintrodusir
oleh Fredrich Julius Stahl dalam karyanya yang berjudul
“Philosopie des Recht”.3
Selama ini di Indonesia, peraturan perundang-
undangan yang menjadi rujukan dalam penegakan hukum
administrasi adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata usaha Negara, yang telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang
Peratun. Undang-undang Peratun ini jika dilihat substansinya
adalah undang-undang formil karena fokus pengaturan ada
pada hukum acara Peratun. Itu artinya, substansi hukum

3 Lihat Padmo Wahyono, “Pembangunan Hukum di Indonesia”, Jakarta:

Ind Hill Co, 1989, Hlm. 151.


3
administrasi selama ini difokuskan secara represif. Sementara
itu, undang-undang materil di bidang hukum administrasi
yang seharusnya menjadi pedoman bagi administrasi dalam
bertindak, sehingga dapat menjaga administrasi dari
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatig oversdaad), dan
mengatur hak-hak warga negara serta konsekuensi-
konsekuensi bagi administrasi atas tindakannya, selama ini
belum ada.
Ketiadaan hukum materil di bidang administrasi atau
TUN, dikarenakan materi hukum administrasi tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga sulit
untuk dapat dikodifikasi seperti halnya KUHP atau
KUHPerdata. Hambatan sulitnya melakukan kodifikasi
terhadap kaidah hukum administrasi ini pernah diungkapkan
oleh Doner dalam E. Utrecht, yang mangatakan bahwa:
1. Peraturan-peraturan hukum administrasi berubah lebih
cepat dan sering mendadak, berbeda dengan peraturan-
peraturan hukum privat dan hukum pidana yang
perubahannya terjadi secara pelan dan berangsur-angsur.
2. Pembuatan peraturan-peraturan hukum administrasi tidak
hanya terletak di satu tangan, sebab di luar pembuat
undang-undang pusat, hampir semua departemen dan
pemerintah daerah otonom membuat juga peraturan-
peraturan hukum administrasi, sehingga lapangan hukum
administrasi sangat beranekaragam dan tidak tersistem.4
Kesulitan dalam pengkodifikasian kaidah hukum
administrasi tersebut, bukan hanya dialami oleh Indonesia
saja, tapi hampir setiap negara hukum yang berkarakter recht
staat, seperti Prancis, Jerman, dan Belanda. Namun, berkat
kerja keras pemerintah melalui modifikasi hukum (memakai
istilah Hamid S. Attamimi) telah berhasil menghimpun asas-

4 E. Utrecht, “Pengantar Hukum Administrasi…,” Op.Cit, Hlm. 59.


4
asas dan kaidah-kaidah hukum administrasi yang hidup dan
berlaku dalam praktik administrasi di Indonesia yang
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan telah memberikan
pedoman bagi administrasi dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan kewenangannya dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Undang-Undang tentang Administrasi
Pemerintahan ini menjadi landasan hukum yang dibutuhkan
guna mendasari setiap tindakan administrasi (baik tindakan
formil maupun materil) untuk memenuhi kebutuhan dan
harapan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Undang-undang ini menempatkan warga
negara tidak lagi sebagai objek (inqisatoir), melainkan sebagai
subjek (aqusatoir) yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan
kepada setiap warga masyarakat, maka Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 ini memungkinkan warga masyarakat
mengajukan keberatan dan banding terhadap keputusan
dan/atau tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga
masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap
keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
undang-undang ini merupakan hukum materiil dari sistem
Peradilan Tata Usaha Negara.5
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi
hubungan antara negara dan warga masyarakat.

5 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.
5
Pengaturan administrasi pemerintahan dalam undang-
undang ini merupakan instrumen penting dari negara
hukum yang demokratis, dimana keputusan dan/atau
tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif,
yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui
Pengadilan.6
Ruang lingkup pengaturan hukum administrasi tersebut
mengalami perubahan yang sangat fundamental. Jika selama
ini ruang lingkup pengaturan hanya terbatas pada ranah
eksekutif dalam arti luas,7 maka dengan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan ini ruang lingkup pengaturan
mencakup pula ranah legislatif dan yudikatif yang
melaksanakan fungsi pemerintahan.
Fungsi pemerintahan yang dimaksud adalah fungsi
dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang
meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan,
pemberdayaan, dan perlindungan. Ruang lingkup pengaturan
Administrasi Pemerintahan dalam undang-undang ini
meliputi semua aktivitas Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang menyelenggarakan ―fungsi
pemerintahan‖ dalam lingkup lembaga eksekutif, Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan
―fungsi pemerintahan‖ dalam lingkup lembaga yudikatif,

6 Ibid.
7 Eksekutif dalam arti luas meliputi seluruh fungsi kenegaraan di luar
fungsi pembentukan undang-undang dan fungsi mengadili. Sehingga cakupan
eksekutif tidak hanya sebatas pemerintah sebagai pelaksana undang-undang,
tetapi juga mencakup pemerintah sebagai pelayan umum (public service) beserta
institusi-institusi negara maupun swasta yang menyelenggarakan urusan yang
seyogyanya menjadi urusan pemerintah seperti BUMN, BUMD, Yayasan, dan
lain-lain.
6
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
menyelenggarakan ―fungsi pemerintahan‖ dalam lingkup
lembaga legislatif, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang
disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Pengaturan
Administrasi Pemerintahan sebagaimana dimaksud
mencakup tentang hak dan kewajiban pejabat pemerintahan,
kewenangan pemerintahan, Diskresi, penyelenggaraan
administrasi pemerintahan, prosedur administrasi
pemerintahan, keputusan pemerintahan, upaya administratif,
pembinaan dan pengembangan administrasi pemerintahan,
dan sanksi administratif.
Pengaturan administrasi pemerintahan dalam undang-
undang ini menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap warga
masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena.
Dengan undang-undang ini, warga masyarakat tidak akan
mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, undang-
undang ini merupakan transformasi Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang telah dipraktikkan
selama berpuluh-puluh tahun dalam penyelenggaraan
Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum
yang mengikat.8
AAUPB akan terus berkembang, sesuai dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah
negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam undang-
undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan
telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia selama ini.9

8 Ibid.
9 Ibid.
7
Undang-undang ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya
meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian,
undang-undang ini harus mampu menciptakan birokrasi
yang semakin baik, transparan, dan efisien.10
Pengaturan terhadap administrasi pemerintahan pada
dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip
pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak
administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam
rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. undang-
undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur
kembali keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AAUPB.11
Undang-undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai
payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi
juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga
keberadaan undang-undang ini benar-benar dapat
mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan di pusat dan daerah.12
Sebagai sebuah produk hukum baru, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara memuat
beberapa konsep dan asas-asas hukum baru, misalnya
perubahan konsep keputusan fiktif yang selama ini menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, bersifat negatif menjadi fiktif positif.
Konsekuensi lebih lanjut dari keputusan fiktif positif,

10 Ibid.
11 Ibid.
12 Ibid.

8
diperkenalkan pula gugatan voluntair. Selama ini di dalam
hukum acara Peratun hanya mengenal gugatan yang bersifat
sengketa (contentiousa), namun dengan adanya keputusan
fiktif positif menuntut adanya mekanisme pengukuhan
terhadap keputusan fiktif positif tersebut, yaitu melalui
gugatan voluntair.
Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini dimungkinkan
adanya gugatan yang diajukan oleh Badan atau Pejabat TUN
kepada sesama Badan atau Pejabat TUN. Hal ini juga
merupakan fenomena baru dalam hukum administrasi
Indonesia. Jika selama ini dalam sengketa TUN biasanya
menempatkan Badan atau Pejabat selalu dalam kedudukan
sebagai Tergugat dan warga negara selalu sebagai Penggugat,
maka dalam Undang-Undang Adpem ini dimungkinkan
Badan atau Pejabat TUN mengajukan gugatan terhadap
Badan atau Pejabat TUN lainnya. Hal tersebut dapat
dipadankan dengan sengketa antarlembaga negara yang
diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, tindakan penyalahgunaan wewenang
(detournament de povouir) semakin ditegaskan sebagai domain
hukum administrasi, di mana kewenangan penilaian unsur
penyalahgunaan wewenang menjadi kewenangan Aparatur
Pengawas Internal Pemerintahan (APIP) dan Peradilan Tata
Usaha Negara, sekalipun unsur penyalahgunaan wewenang
merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi yang
merupakan domainnya hukum pidana dan merupakan
kewenangan Pengadilan Tipikor.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa konstruksi baru hukum
administrasi Indonesia tersebut, telah menjadi bahan
pembahasan yang cukup serius dan mendalam di ruang
publik oleh berbagai kalangan lainnya, sehingga mendorong
9
penulis untuk melakukan telaahan dengan pokok
permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah konstruksi penggunaan kewenangan
menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?
2. Bagaimanakah konstruksi diskresi menurut Undang-
Undang Nomor Administrasi Pemerintahan?
3. Bagaimanakah pengaturan penyelenggaraan administrasi
menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?
4. Bagaimanakah prosedur administrasi pemerintahan setelah
berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?
5. Bagaimanakah perkembangan konstruksi keputusan
administrasi menurut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan?
6. Bagaimanakah prosedur upaya administratif menurut
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan?
7. Bagaimanakah Pembinaan dan Pengembangan
Administrasi setelah berlakunya Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan?
8. Bagaimanakah implikasi Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan terhadap fungsi dan peran Peratun?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian terhadap
Undang-Undang Adpem ini yaitu:
1. Untuk mengetahui konstruksi baru penggunaan
kewenangan menurut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.
2. Untuk mengetahui konstruksi diskresi menurut
Undang-Undang Nomor Administrasi Pemerintahan.
3. Untuk mengatahui pengaturan penyelenggaraan
administrasi menurut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.

10
4. Untuk mengetahui prosedur administrasi pemerintahan
setelah berlakunya Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.
5. Untuk mengetahui perkembangan konstruksi keputusan
administrasi menurut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.
6. Untuk mengetahui prosedur upaya administratif
menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
7. Untuk mengetahui Pembinaan dan Pengembangan
Administrasi setelah berlakunya Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan.
8. Untuk mengetahui implikasi Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan terhadap fungsi dan peran
Peratun.
D. Definisi Operasional
Dalam penulisan buku ini, Penulis menggunakan
beberapa istilah yang berbeda secara silih berganti sesuai
dengan konteksnya untuk maksud yang sama, yaitu
―Administrasi‖, ―Administrasi Negara‖, ―Administrasi
Pemerintahan/Adpem‖, ―Pemerintah‖, dan ―Tata Usaha
Negara/TUN‖. Oleh karena itu, dalam rangka memudahkan
pembaca memahami maksud Penulis maka perlu ditegaskan
bahwa istilah-istilah tersebut merujuk pada satu pengertian
yang sama yaitu ―keseluruhan organ-organ dan jabatan-
jabatan yang melaksanakan seluruh fungsi-fungsi negara di
luar fungsi lembaga legislatif (membentuk undang-undang
(legislasi) dan pengawasan politik) dan fungsi mengadili‖.
E. Metode Penelitian
Ditinjau dari jenis penelitian, penelitian ini di
kategorikan dalam penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti data sekunder dengan menggunakan
metode studi pustaka terhadap bahan hukum primer yang
11
terdiri dari peraturan perundang-undangan dan
yurisprudensi baik yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan (legal approach).
Selain itu studi pustaka juga dilakukan terhadap bahan
hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal,
majalah-majalah ilmiah dan artikel-artikel, yang kemudian
dilakukan uji validitas dengan cara membandingan
antarbahan hukum tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu
menggambarkan suatu keadaan, gejala dan kondisi
berdasarkan fakta yang menjadi obyek penelitian dengan
disertai analisis kritis dengan menggunakan metode analisis
yuridis yang diawali dengan penggolongan bahan hukum,
pola, tema, atau kategori setelah itu dilakukanlah analisis
yuridis dengan metode interpretasi, konstruksi, dan
argumentasi yuridis agar dapat memberikan penjelasan-
penjelasan terhadap obyek penelitian dan memberikan
kontribusi berupa jawaban terhadap permasalahan dari obyek
penelitian.

12
BAB II
TINJAUAN HISTORIS
PERKEMBANGAN HUKUM ADMINISTRASI DI
INDONESIA

A. Awal Kemerdekaan
Sejak awal persiapan kemerdekaan Indonesia, para
founding father telah mufakat untuk menentukan sistem
ketatanegaraan Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat),
bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsep
negara hukum tersebut kemudian dituangkan dalam
konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945.13 Salah
satu ciri konsep negara hukum rechtstaat yaitu adanya
Peradilan Administrasi.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Peradilan
Administrasi tidak diatur secara eksplisit, namun secara
implisit terdapat dalam kekuasaan kehakiman, sebagaimana
diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-
undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang.
Ketentuan tersebut menyiratkan bahwa pembentuk
undang-undang dapat saja membentuk badan-badan
kehakiman sesuai kebutuhan, termasuk pengadilan
administrasi. Namun ketentuan tersebut tidak dapat
terealisasi karena situasi politik yang belum stabil. Semua
penyelenggaraan pemerintahan masih mendasarkan pada
ketentuan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi:
―semua badan negara dan peraturan yang ada masih

13 Lihat Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum amandemen.


13
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini‖. Namun, sayangnya peraturan
yang mengatur hukum administrasi di masa Belanda dan
Jepang ternyata juga tidak ada.
Barulah pada tahun 1948 terbit Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan
Kehakiman. Di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948
tersebut memang tidak ada pengaturan khusus tentang
hukum administrasi. Namun beberapa ketentuan telah
menunjukan pentingnya hukum administrasi. Hal ini dapat
dilihat pada beberapa ketentuan yang mengatur tentang
peradilan administrasi, yang dalam istilah undang-undang ini
disebut ―Peradilan Tata Usaha Pemerintahan‖. Adapun
ketentuan yang mengatur Peradilan Tata Usaha Pemerintahan
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 ini yaitu antara
lain:
Pasal 66 : Jika undang-undang atau berdasarkan undang-
undang tidak ditetapkan badan-badan kehakiman
lain untuk memeriksa dan memutus perkara-
perkara dalam tata usaha pemerintahan, maka
Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan
Mahkamah Agung dalam tingkat kedua
memeriksa dan memutus perkara itu.
Pasal 67 : Badan-badan kehakiman dalam Peradilan Tata
Usaha Pemerintahan yang dimaksud Pasal 66
berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung
serupa dengan yang termuat dalam Pasal 55 itu.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tersebut belum
sempat berlaku efektif, dikarenakan situasi dan kondisi politik
pada saat itu belum kondusif. Indonesia masih harus
menghadapi beberapa agresi yang mengancam kedaulatan
negara, baik yang berasal dari luar yaitu menghadapi agresi

14
Belanda maupun yang berasal dari dalam yaitu menghadapi
Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.
B. Masa Konstitusi RIS
Cikal bakal mulai tumbuh dan berkembangnya hukum
administrasi dimulai ketika masa Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), tepatnya pada tanggal 27
Desember 1949 melalui Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(KRIS) sistem ketatanegaraan Indonesia berubah total. Mulai
dari bentuk negara yang semula berbentuk unitaris/kesatuan
menjadi negara federal/serikat, sistem pemerintahan yang
semula presidentil menjadi parlementer, sistem parlemen
yang semula unikameral menjadi bikameral dengan
kehadiran Senat di samping DPR. Selain itu, di lembaga
yudikatif juga diatur tentang hukum administrasi/hukum
tata usaha yang sengketanya akan diselesaikan oleh
pengadilan umum atau alat-alat perlengkapan lain
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 161 dan 162
Konstitusi RIS.
Pasal 161 berbunyi:
―Pemutusan tentang sengketa yang mengenai hukum tata
usaha diserahkan kepada pengadilan yang mengadili perkara
perdata ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi
jika sedemikian, seboleh-bolehnya dengan keadilan yang
serupa dengan keadilan dan kebenaran‖.
Pasal 162 berbunyi:
―Dengan undang-undang federal dapat diatur cara
memutuskan sengketa yang mengenai hukum tata usaha dan
yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan yang
diadakan dengan atau atas kuasa konstitusi ini atau yang
diadakan dengan undang-undang federal, sedang peraturan-
peraturan itu tidak langsung mengenai semata-mata alat-alat
perlengkapan dan penghuni satu daerah bagian saja,
termasuk badan-badan hukum publik yang dibentuk atau
15
diakui dengan atau atas kuasa suatu undang-undang daerah
bagian itu‖.
Ketentuan tersebut di atas menegaskan kedudukan
hukum administrasi atau hukum tata usaha sekaligus
mengenai lembaga dan cara penegakkannya yang
dilaksanakan oleh pengadilan yang menangani perkara
perdata, yaitu pengadilan negeri dan alat-alat kelengkapan
lain.
Walaupun pada masa Konstitusi RIS ini belum sempat
menerbitkan undang-undang federal, namun mengenai alat-
alat kelengkapan lain yang dimaksud dalam Konstitusi RIS
tersebut dapat dipahami semacam peradilan semu (quasi
rechtspraak) yang dibentuk sebagai bagian dari pemerintah itu
sendiri yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa
administrasi di dalam lembaga pemerintah.
C. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah berlakunya kembali UUD 1945 melalui peristiwa
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, lahirlah Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang di dalamnya mengatur
Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) sebagai salah satu
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Namun,
nasib Undang Undang Nomor 19 Tahun 1964 ini tidak jauh
berbeda dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, di
mana undang-undang ini tidak berjalan efektif dikarenakan
situasi politik yang mengalami goncangan akibat
Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 dan diikuti
dengan peralihan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde
Baru pada tahun 1966, yang membutuhkan masa konsolidasi
yang cukup panjang sampai dengan tahun 1986.
Dalam kurun waktu tersebut, berhubung dalam
kenyataannya belum dibentuk struktur organisasi Peradilan
Tata Usaha Negara, sehingga juga belum dapat diketahui
16
sampai sejauh mana kompetensinya, serta bagaimana hukum
acaranya.14 Berbicara tentang hal ini, maka sebagaimana yang
seringkali dikemukakan oleh penulis-penulis hukum
administrasi di Indonesia, keadaannya tidak berbeda jauh
dengan masa sebelum kemerdekaan sehingga dapat
dikatakan bahwa praktik penyelesaian sengketa administratif
di Indonesia tidak mengalami perkembangan. Segala
sesuatunya masih meneruskan prinsip-prinsip yang berlaku
pada zaman penjajahan, terutama struktur organisasinya,
yang keadaan pada waktu itu pun mencontoh sistem yang
berlaku di Netherland pada zaman itu.15
Pola yang berlaku pada saat itu di Indonesia dalam hal
penyelesaian dan pemutusan sengketa antara rakyat dengan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya di bidang hukum
administrasi adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa melalui jalur intern administratif
yaitu atasan hierarki dari pejabat yang bersangkutan. Jalur
ini lazim dikenal dengan sebutan “administratief beroep”
atau prosedur pengajuan keberatan.
2. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh badan-badan
peradilan semu, yang sebetulnya secara struktur
organisatoris merupakan bagian dari
pemerintahan/administratif.
3. Penyelesaian oleh suatu badan peradilan, yang bisa berupa:
a. Peradilan administrasi khusus, yaitu masalah pajak; dan
b. Peradilan Umum.16

14 Paulus Effendie Lotulung, “Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum

terhadap Pemerintah”, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 1986, Hlm. 82.


15 Ibid.
16 Ibid, Hlm. 83. Seperti halnya dalam sistem Netherland, Peradilan

Umum (Perdata) mempunyai wewenang yang sangat penting di dalam


memeriksa dan memutus sengketa tentang tuntutan ganti rugi akibat
perbuatan pemerintah yang melawan hukum (onrechtmatig oversdaad), dengan
mendasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata. Tuntutan ganti rugi yang diajukan
17
D. Masa 1986 Sampai Dengan 2014
Pada tanggal 16 April 1986, akhirnya Pemerintah
Indonesia berhasil membentuk Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Undang-
Undang Peratun ini merupakan hukum formil di bidang
hukum administrasi, oleh karena itu materi yang diatur pun
hanya seputar hukum acara, sementara pengaturan khusus
dalam bentuk kompilasi atau modifikasi hukum mengenai
hukum materil belum ada. Hal tersebut tidak menghalangi
Hakim Peratun untuk memeriksa dan mengadili sengketa
administrasi, karena secara materil substansi hukum
administrasi materil tersebar pada berbagai peraturan

oleh rakyat terhadap pemerintah itu didasarkan atas perbuatan pemerintah


yang melawan hukum. Pengertian perbuatan di sini dapat diartikan sebagai
perbuatan fisik atau jasmaniah atau disebut juga perbuatan materiil, misalnya:
menggusur jalan, membongkar bangunan, menahan seseorang, dan
sebagainya. Tetapi dapat juga diartikan sebagai perbuatan pemerintah
mengeluarkan beschikking, yang kemudian beschikking tersebut merugikan
seseorang. Maka dalam hal yang terakhir ini, hakim perdata juga menilai sah
tidaknya beschikking tersebut, dan apabila memang tidak memenuhi
persyaratan sahnya suatu beschikking maka hakim perdata dapat menyatakan
batal (declaratoir) atau tidak mengikat pihak yang bersangkutan. Wewenang
hakim perdata di Indonesia, seperti halnya juga di Netherland, terhadap suatu
beschikking dalam rangka gugatan ganti rugi yang berdasar pada Pasal 1365
KUHPerdata tersebut memang tidaklah sekuat dan sebesar wewenang seorang
hakim administrasi di Perancis, sebab ia tidak dapat secara langsung
membatalkan beschikking yang bersangkutan dengan mempunyai effek yang
bersifat erga omnes dan mengikat setiap orang, tetapi ia hanya terbatas sampai
pada menyatakan batal atau menyatakan tidak mengikat (onverbindend
verklaaren). Dengan demikian putusannya sejauh tentang beschikking itu tidak
bersifat condemnatoir terhadap pemerintah, tetapi semata-mata hanya bersifat
declaratoir dan tidak mempunyai effek erga omnes karena hanya berlaku untuk
kasus yang bersangkutan saja. Lihat Paulus Effendie Lotulung, “Beberapa Sistem
tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah”, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
1986, Hlm. 86-88.
18
perundang-undangan serta didukung pula oleh hukum tidak
tertulis seperti asas-asas umum pemerintahan yang layak dan
teori hukum atau doktrin.
Perjalanan masa keberlakuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini cukup
panjang, bahkan sampai saat ini masih berlaku, walaupun
sudah mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun
2004 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
dan terakhir pada tahun 2009 diubah dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua.
Hanya saja Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ini
belum dilengkapi dengan undang-undang materil di bidang
hukum administrasi.
Barulah pada tanggal 17 Oktober 2014 Indonesia
berhasil membentuk undang-undang materil di bidang
hukum administrasi, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini
kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Adpem.
Walaupun undang-undang Adpem ini bukanlah merupakan
kodifikasi hukum administrasi, namun Undang-Undang
Adpem ini sudah mengakomodir seluruh norma-norma
hukum tidak tertulis baik yang berasal dari teori atau doktrin
di bidang hukum administrasi maupun asas-asas umum
pemerintahan yang layak yang lahir dari praktik administrasi.
Bahkan kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan
dalam praktik administrasi selama ini sudah diakomodir,
dilengkapi dan disempurnakan oleh Undang-Undang Adpem
ini.

19
20
BAB III
KONSTRUKSI KEWENANGAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN

A. Dasar Kewenangan
Setiap keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan
oleh Administrasi Pemerintahan harus dilakukan berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan
pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar bagi administrasi pemerintahan dalam
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan.17
Peraturan perundang-undangan biasanya berorientasi
pada pengaturan substansi keputusan/tindakan, walaupun
kadang kala memuat tata cara atau prosedur penerbitan
keputusan/tindakan secara rinci seperti dalam suatu standar
operasional prosedur, standar pelayanan minimal, standar
pelayanan publik, petunjuk pelaksanaan (Juklak), petunjuk
teknis (Juknis) dan lain-lain. Sementara AUPB berorientasi
pada prosedur atau etika birokrasi yang harus dijunjung
tinggi oleh Administrasi Pemerintahan. Hal ini penting
mengingat tolok ukur keabsahan suatu keputusan atau
tindakan administrasi ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.18

17 Lihat Ade Kosasih, ―Formula Praktis Memahami Teknik dan Desain Legal
Drafting”, Bogor: Herya Media, 2015, Hlm. 16-17, dan 51.
18 Lihat Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004


21
B. Cara Memperoleh Kewenangan
Perkembangan kewenangan pemerintah dipengaruhi
oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya. Tugas
pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai
organisasi kekuasaan.19 Sedangkan tugas pemerintah
bergantung kepada tugas, tujuan, dan tanggung jawab
masing-masing negara. Semakin banyak tugas dan
tanggung jawab negara, semakin besar pula peranan
pemerintah yang ditunjukan dengan sikap intervensi
pemerintah tehadap kegiatan warga negara. Intervensi
tersebut dibutuhkan dalam rangka mengharmoniskan
aktivitas warga negara satu sama lain maupun dengan
tujuan negara yaitu kesejahteraan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan negara tersebut,
pemerintah memiliki kedudukan khusus (de overheids als
bijzonder persoon) sebagai satu-satunya pihak yang diserahi
kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan
kepentingan umum. Namun demikian, tindakan hukum
20

pemerintah tetap terikat pada asas yang mendasari tindakan


tersebut yaitu asas legalitas. Di dalam hukum administrasi
negara disebut sebagai asas wet matigheids van bestuur
(pemerintahan berdasarkan undang-undang), yang saat ini
sudah berkembang menjadi rechtmatigheids van bestuur
(pemerintahan berdasarkan hukum). Artinya, administrasi
tidak hanya terikat pada undang-undang (baik dalam arti
formil maupun materil) dan peraturan tertulis lainnya seperti
yurisprudensi, namun juga terikat pada hukum yang tidak

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara.
19 Irfan Fachruddin, “Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap

Tindakan Pemerintah”, Bandung: Alumni, 2004, Hlm. 35-36.


20 Ibid.

22
tertulis seperti AUPB serta praktik-praktik administrasi yang
telah menjadi kebiasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai
organisasi kekuasaan, pemerintah menempati kedudukan
yang istimewa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya
bahwa pemerintah diatur oleh hukum khusus yaitu hukum
administrasi sebagai instrumen bagi pemerintah untuk
dapat secara aktif turut campur dalam kehidupan bersama
masyarakat dan sekaligus hukum yang memberikan
perlindungan kepada warga negara dari tindakan
pemerintah.
Untuk memutar roda pemerintahan dalam negara
hukum dibutuhkan adanya ―kewenangan‖. Satu hal yang
perlu digaris bawahi, kewenangan tidak sama dengan
kekuasaan. Menurut Bagir Manan dalam Irfan Fachruddin
menjelaskan bahwa kekuasaan menggambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan kewenangan berarti
hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).21
Selanjutnya Prajudi Atmosudirdjo membedakan antara
'wewenang' (competence, bevoegdheid) atau ‗kewenangan'
(authority, gezag) sebagai berikut:22
―Kewenangan' adalah apa yang disebut ‗kekuasaan
formal', kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legislatif (diberikan oleh undang-undang) atau dari
kekuasaan eksekutif/administratif. Selanjutnya
dikatakan, kewenangan yang biasanya terdiri atas
beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau

21 Ibid, Hlm. 39
22 Prajudi Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1998, Hlm. 182
23
kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan
(atau bidang urusan tertentu yang bulat). Sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu
saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum
publik, misalnya wewenang menandatangani atau
menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas
nama menteri‖.
Seiring dengan pilar negara hukum yaitu asas legalitas
(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wet matigheids van
bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan,
artinya sumber wewenang pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan. Pada prinsipnya, kewenangan yang
dimiliki oleh Administrasi Negara diperoleh dengan dua
cara yaitu kewenangan atribusi dan kewenangan distribusi.
Kewenangan Atribusi adalah kewenangan yang melekat
pada organ jabatan yang bersumber langsung dari undang-
undang. Sedangkan kewenangan distribusi adalah
kewenangan yang diperoleh dari hasil pemberian atau
pelimpahan dari organ jabatan lain.
Kewenangan distribusi terdiri dari dua yaitu
kewenangan delegasi dan mandat. Namun pada umumnya
sumber kewenangan sering dibagi langsung menjadi tiga
cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
1. Wewenang Atribusi
Menurut H.D van Wijk dalam Irfan Fachruddin 23
memberikan pengertian “atributie: toekenning van een
bestuursbevoegdheids door een wetgever aan een bestuursorgaan”
(atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintah).
23 Irfan Fachruddin, “Pengawasan..., Op.Cit, Hlm. 49
24
Indroharto24 mengemukakan bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang
diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator.
Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.
Lebih lanjut Ridwan HR, mengatakan bahwa legislator
yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang
pemerintahan itu dibedakan antara: 25
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator di negara
kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk
konstitusi, dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai
yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat
daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang
melahirkan Peraturan Daerah.
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti
Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan
undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di
mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan
kepada badan atau jabatan tata usaha negara.
Terkait dengan wewenang atribusi, Undang-Undang
Adpem mengatur bahwa Administrasi Pemerintahan
memperoleh wewenang melalui atribusi apabila:
a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b. merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada;
dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
Administrasi Pemerintahan yang memperoleh
wewenang melalui atribusi, tanggung jawab kewenangan

24 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan

Tata Usaha Negara”, Jilid I, Jakarta: Sinar Harapan, 1991, Hlm. 91


25 Ridwan HR, “Hukum Administrasi..., Loc.Cit.

25
berada pada Administrasi Pemerintahan yang
bersangkutan. Kewenangan atribusi tidak dapat
didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
undang-undang.
2. Wewenang Delegasi
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang
yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara
yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara
atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara
lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya
suatu atribusi wewenang. 26
Lutfi Effendi menjelaskan bahwa, 27 kewenangan
delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari
pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain
dengan dasar peraturan perundang-undangan. Berbeda
dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang
diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih kepada
delegataris. Dengan begitu, si pemberi limpahan wewenang
tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali ada
pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus.
Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan
dasar berupa peraturan perundang-undangan merupakan
dasar pijakan yang menyebabkan lahirnya kewenangan
delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan perundang-
undangan yang mengatur pelimpahan wewenang tersebut,
maka tidak terdapat kewenangan delegatif.

26Ibid.
27 Lutfi Effendi, “Pokok-Pokok Hukum Administrasi”, Malang: Bayu
Media, 2008, Hlm. 79
26
Senada dengan pendapat tersebut, H.D. van Wijk
dalam Irfan Fachruddin 28 menjelaskan bahwa:
“Van delegatie van bestuurbevoegheids is spreke wanneer
een bevoegheids van een bestuursorgaan wordt
overgedragen aan een ander organ, dat die bevoegheids gaat
uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan.
Delagatie impliceert dus overdracht: wat aan vankelijk
bevoegheids van A was, is voortaan bevoegheids van B (en
niet meer van A)”. (Kita dapat berbicara tentang
delegasi wewenang pemerintahan bilamana suatu
wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada
lembaga lain, yang menjalankan wewenang tersebut
dan bukannya lembaga yang semula berwenang.
Dengan demikian, delegasi disimpulkan sebagai
penyerahan; apa yang semula merupakan wewenang
A, sekarang menjadi wewenang B (dan bukan A lagi)).
Selanjutnya Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR,
menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang pemerintahan
melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut: 29
1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans)
tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang
telah dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, artinya delegasi hanya
dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan peraturan perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam
hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan
adanya delegasi.

28 Irfan Fachruddin, “Pengawasan..., Op.Cit, Hlm. 51


29 Ridwan HR, “Hukum Administrasi..., Op.Cit, Hlm. 107
27
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan, artinya
delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang
pelaksanaan wewenang tersebut.
5. Peraturan kebijakan (bellieds regels), artinya delegans
memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan
wewenang tersebut.
Adapun perbedaan atribusi dan delegasi dapat dilihat
dalam perbandingan pada tabel di bawah ini:
Tabel 130
Perbedaan Atribusi dengan Delegasi
No. Atribusi Delegasi
1. Penerima wewenang Pada delegasi tidak ada
dapat menciptakan penciptaan wewenang
wewenang baru atau baru, namun hanya ada
memperluas wewenang pelimpahan wewenang
yang sudah ada. dari pejabat yang satu ke
pejabat yang lain.
2. Tanggung jawab intern Tanggung jawab yuridis
dan ekstern tidak lagi berada pada
pelaksanaan wewenang pemberi delegasi
yang diatribusikan (delegans), tetapi beralih
sepenuhnya berada kepada penerima delegasi
pada penerima (delegataris).
wewenang (atributaris).

Berbeda dengan pendapat Philipus M. Hadjon


tersebut, ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
mengatur bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan
dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang

30 Ibid.
28
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Adpem mengatur tata cara
pendelegasian wewenang, yaitu Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi
apabila:
a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah
ada.
Ayat (3) kemudian menyebutkan bahwa: kewenangan
yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Sementara ayat (4) mengatur: dalam hal ketentuan
peraturan perundang-undangan menentukan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui
Delegasi dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan:
a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang
dilaksanakan;
b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Selanjutnya ayat (5) menegaskan bahwa: badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan delegasi
dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan
melalui delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
29
Ketentuan ayat (6) kembali menegaskan bahwa
pendelegasian dapat ditarik kembali yaitu ―dalam hal
pelaksanaan wewenang berdasarkan delegasi menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan
pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali
wewenang yang telah didelegasikan‖. Tentunya penarikan
tersebut haruslah dilakukan secara contrarius actus, yaitu
penarikan kembali wewenang yang telah diberikan harus
dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana wewenang
tersebut didelegasikan. Artinya, mengingat pendelegasian
dilakukan melalui peraturan perundang-undangan, maka
penarikan kembali wewenang hanya dapat dilakukan dengan
peraturan perundang-undangan juga.
Lebih lanjut, ayat (7) mengatur bahwa ―badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui
delegasi, tanggung jawab kewenangan berada pada penerima
delegasi‖. Hal ini sejalan dengan teori delegasi pada
umumnya, bahwa pelimpahan wewenang melalui delegasi
diikuti juga pelimpahan tanggung jawab dan tanggung gugat.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat perbedaan antara
teori dan norma hukum yang terkandung dalam Undang-
Undang tentang Adpem. Namun di sisi lain juga terdapat
beberapa kesamaan.
Perbedaannya terdapat pada penerima delegasi. Jika
selama ini kita ketahui bahwa delegasi tidak boleh kepada
bawahan, namun dalam Undang-Undang Adpem justru
delegasi dilakukan kepada bawahan. Delegasi yang secara
teoritik harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak
dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan itu, namun di dalam Undang-Undang Adpem
masih dapat ditarik kembali. Dalam hal ini dapat dipahami
bahwa penarikan kembali suatu delegasi haruslah
30
dimungkinkan ketika pendelegasian tersebut tidak berjalan
efektif.
Secara teoritik, delegasi tidak kepada bawahan, artinya
dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi. Namun dalam Undang-
Undang Adpem delegasi justru dilakukan kepada bawahan.
Menyikapi hal ini, sebenarnya konsep delegasi dalam
Undang-Undang Adpem ini merupakan bentuk baru
pelimpahan wewenang yang belum dikenal dalam teori
kewenangan. Namun menurut Penulis cara memperoleh
kewenangan yang demikian lebih tepat jika disebut sebagai
dekonsentrasi, karena dilakukan dalam lingkungan
pemerintahan itu sendiri. Hal ini serupa dengan
kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Di samping itu, konsep delegasi secara normatif dalam
Undang-Undang Adpem dan teori kewenangan delegasi
memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dilimpahkan melalui
peraturan perundang-undangan, dan peralihan tanggung
jawab dan tanggung gugat dari delegans kepada delegataris.
3. Wewenang Mandat
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-
Undang Adpem, badan dan/atau pejabat pemerintahan
memperoleh mandat apabila:
a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di
atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (2) Pejabat yang
melaksanakan tugas rutin tersebut terdiri atas:
a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan tetap.
31
Selanjutnya menurut Pasal 14 ayat (3) Badan dan/atau
pejabat pemerintahan dapat memberikan mandat kepada
badan dan/atau pejabat pemerintahan lain yang menjadi
bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Biasanya kewenangan yang
tidak dapat dimandatkan tersebut adalah kewenangan yang
bersifat prinsip misalnya masalah pengangkatan pegawai,
penetapan anggaran dan lain-lain. Namun apabila
kewenangan tersebut dimandatkan maka berdasarkan Pasal
14 ayat (4) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
menerima mandat harus menyebutkan atas nama badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan mandat.
Untuk kemungkinan ditarik kembali kewenangan yag
telah diberikan oleh Mandans kepada mandataris dtentukan
dalam Pasal 14 ayat (5) yang menegaskan bahwa Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan mandat
dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan
melalui mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Adapun alasan penarikan kembali kewenangan tersebut
menurut ketentuan Pasal 14 ayat (6) yaitu dalam hal
pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat menimbulkan
ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan
dan/atau Pejabat pemerintahan yang memberikan mandat
dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan.
Badan dan/atau Pejabat pemerintahan yang
memperoleh wewenang melalui mandat menurut ketentuan
Pasal 14 ayat (7) tidak berwenang mengambil keputusan
dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak
pada perubahan status hukum pada aspek organisasi,
kepegawaian, dan alokasi anggaran. Sedangkan tanggung
jawab kewenangan tetap pada pemberi mandat.

32
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi atau
delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai
bawahan apabila pejabat yang memperoleh wewenang
tidak sanggup melakukan sendiri. 31 Sementara itu, Ridwan
HR menjelaskan bahwa pada mandat, penerima mandat
(mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang
diambil mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini
dikarenakan penerima mandat ini bukan pihak lain dari
pemberi mandat.32
Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin
antara atasan dan bawahan, kecuali bila dilarang secara
tegas. Kemudian setiap saat pemberi wewenang dapat
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan.
Secara umum bentuk perbuatan pemerintahan yang
dilakukan atas dasar wewenang mandat dapat dilihat dari
tanda: atas nama (a.n.) atau untuk beliau (u.b.). 33
Untuk memperjelas perbedaan antara delegasi dan
mandat dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 234
Perbedaan antara Delegasi dan Mandat
No. Delegasi Mandat
1. Overdracht van Opdracht tot uitvoering
bevoegheids (pelimpahan (perintah untuk
wewenang) melaksanakan).
2. Bevoegheids kan door het Bevoegheids kan door
oorspronkelijk bevoegde mandaatgever nog
organ niet incidenteel incidenteel uitgeofend
uitgoefend worden worden (wewenang dapat

31 Irfan Fachruddin, “Pengawasan..., Op.Cit, Hlm. 52-53


32 Ridwan HR, “Hukum Administrasi..., Op.Cit, Hlm. 109
33 Lutfi Effendi, “Pokok-Pokok..., Op.Cit, Hlm. 78
34 Ridwan HR, “Hukum Administrasi..., Loc.Cit.

33
(kewenangan tidak sewaktu-waktu
dapat dijalankan secara dilakukan oleh mandans)
insidentil oleh organ
yang memiliki
wewenang asli).
3. Overgang Behooud van
van
verantwoordelijkheid verantwoordelijkheid
(terjadi (tidak terjadi peralihan
peralihan
tanggung jawab) tanggung jawab)
4. Geen
Wettelijke basis vereist wettelijke basis
(harus vereist
berdasarkan (tidak harus
peraturan) berdasarkan peraturan)
5. Kan schriftelijk, mag ook
Moet schriftelijke (harus
tertulis). mondeling (dapat tertulis
dan dapat pula lisan).
Selanjutnya Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR,
membedakan antara delegasi dan mandat sebagai berikut: 35
Tabel 3
Obyek Mandat Delegasi
Prosedur Dalam hubungan Dari suatu organ
pelimpahan rutin atasan- pemerintahan
bawahan; hal kepada organ
biasa kecuali lain; dengan
dilarang secara peraturan
tegas. perundang-
undangan.
Tanggung jawab Tetap pada Tangung jawab
dan tanggung pemberi mandat. dan tanggung
gugat gugat beralih
kepada
delegataris

35 Ibid, Hlm. 110


34
Kemungkinan Setiap saat dapat Tidak dapat
Pemberi menggunakan menggunakan
menggunakan sendiri wewenang wewenang itu
wewenang itu yang telah lagi kecuali
lagi dilimpahkan itu. setelah ada
pencabutan
dengan
berpegang pada
asas contrarius
actus.
C. Pembatasan Kewenangan
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang
Adpem, wewenang Badan dan/atau Pejabat pemerintahan
dibatasi oleh:
a. masa atau tenggang waktu wewenang;
b. wilayah atau daerah berlakunya wewenang; dan
c. cakupan bidang atau materi wewenang.
Atas dasar tersebut, badan dan/atau pejabat yang
memenuhi kriteria tersebut di atas, tidak berwenang
menerbitkan suatu keputusan maupun melakukan
tindakan. Sejalan dengan hal tersebut, SF. Marbun dan
Mahfud MD menjelaskan tentang ―tidak berwenang‖ itu
dikaitkan dengan kompetensi suatu jabatan, maka dapat
dirumuskan adanya kemungkinan tiga macam bentuk
―tidak berwenang‖ (onbevoegdheid), yaitu:36
a. Onbevoegheid ratione materiae, yaitu tdak berwenang
karena keputusan yang dibuat oleh organ atau badan
atau pejabat lain yang materi atau persoalan yang diatur
dalam keputusan tidak merupakan bagian
kewenangannya (menyangkut kompetensi absolut).
Keputusan yang demikian mengakibatkan ―batal‖ (neitig

36 SF. Marbun dan Mahfud MD, “Pokok-Pokok Hukum Administrasi

Negara”, Yogyakarta: Liberty, 2006, Hlm. 79.


35
atau verneitigbaar) atau ―batal demi hukum‖, sehingga
akibatnya itu berlaku surut mulai dari saat tanggal
dibuatnya keputusan yang dibatalkan, sehingga
keadaannya dikembalikan pada saat semula sebelum
dibuatnya keputusan (ex tunc), tidak sah dan akibat
hukum yang ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap
tidak pernah ada. Atau dapat juga ―dibatalkan‖, dengan
demikian akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh
keputusan dianggap ada sampai pada saat keputusan itu
dibatalkan. Jadi akibat-akibat hukum tidak berlaku surut
(ex nunc).37
b. Onbevoegheid ratione loci, yaitu keputusan yang dibuat
oleh organ atau badan atau pejabat yang tidak
berwenang karena di luar kewenangan lingkup wilayah
haknya (resort). Tindakan badan atau pejabat di luar
wilayah hukum jabatannya dapat mengakibatkan
kebatalan (neitig atau verneitigbaar). Hal ini menyangkut
kompetensi relatif. 38
c. Onbevoegheid ratione temporis, yaitu tidak berwenang
karena telah lewat waktu yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.39
Agak berbeda dengan pendapat tersebut, Penulis
berpendapat bahwa keputusan yang diterbitkan di luar
batasan kewenangan, baik dari segi waktu, wilayah, maupun
materi ruang lingkup kewenangan lebih tepat dinyatakan
―tidak sah‖ dari pada ―batal‖. Akibat hukum keputusan
―tidak sah‖ yaitu bersifat “ex tunc”, karena hal tersebut
menyangkut aspek substansial sehingga tidak dapat ditolerir
keberlakuannya sejak awal keputusan tersebut diterbitkan.
Sementara akibat hukum ―batal‖ hanya bersifat “ex nunc”,

37 Ibid, Hlm. 80.


38 Ibid.
39 Ibid.

36
karena hanya menyangkut aspek prosedural, oleh karena itu
masih dapat ditolerir keberlakuannya sampai dengan saat
keputusan tersebut dibatalkan.
D. Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Wewenang
Sebelum Undang-Undang Adpem mendefinisikan dan
merumuskan bentuk penyalahgunaan wewenang, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun telah lebih
dulu mendefinisikan bentuk penyalahgunaan wewenang (de
tournament de povouir), sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 53 Ayat (2) huruf b yang berbunyi:
―Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut‖.
Ketentuan tersebut di atas dipertegas oleh Penjelasan
Pasal 53 Ayat (2) huruf b bahwa ―Menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari maksud wewenang tersebut, kemudian
dianggap sebagai ―penyalahgunaan wewenang‖.40
Selanjutnya definisi tersebut mengalami perubahan
melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Udnang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang pada pokoknya
bahwa penyalahgunaan wewenang adalah suatu tindakan
yang bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (AUPB).
Hadirnya Undang-Undang Adpem kemudian
melahirkan konstruksi baru tentang ―penyalahgunaan
wewenang‖ (de tournament de povouir). Menurut Undang-
Undang Adpem, bentuk menyalahgunakan kewenangan
yaitu:
1. Melampaui wewenang (ultra vires);

40 Penjelasan Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


37
2. Mencampuradukkan wewenang (exes de povuir);
3. Bertindak sewenang-wenang (willekeur).41
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan
yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya wewenang (onbevoegheid ratione temporis),
melampaui batas wilayah berlakunya wewenang
(onbevoegheid ratione loci,); dan/atau bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga haruslah
dinyatakan ―tidak sah‖.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan wewenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi
wewenang yang diberikan (onbevoegheid ratione materiae),
dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang
diberikan, sehingga dapat dinyatakan ―batal‖.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau
tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan; dan/atau
bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, sehingga haruslah dinyatakan ―tidak sah‖.
E. Pengawasan Terhadap Penggunaan Wewenang
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang
Adpem, pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan
wewenang (de tournament de pouvouir) dilakukan oleh Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hasil pengawasan
APIP berupa:
1. tidak terdapat kesalahan;
2. terdapat kesalahan administratif; atau
3. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan
kerugian keuangan negara.

41 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan.
38
Jika hasil pengawasan APIP terdapat kesalahan
administratif, maka APIP memerintahkan kepada
Pejabat/Badan yang bersangkutan menyempurnakan
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang
Adpem menyebutkan ―Jika hasil pengawasan APIP berupa
terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian
keuangan negara, maka dilakukan pengembalian kerugian
keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan‖.
Secara tidak langsung ketentuan tersebut berdasarkan asas lex
superiore derogat lex inferiore dan asas lex posteriore derogat lex
apriore telah menganulir ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil
Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang mengatur
―tindak lanjut atas rekomendasi laporan hasil pemeriksaan
BPK paling lama 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima‖.
Pengembalian kerugian negara tersebut menurut Pasal
20 ayat (5) dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila
kesalahan administratif terjadi bukan karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang. Sedangkan apabila kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian negara tersebut
terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (6) pengembalian
kerugian negara tersebut dibebankan kepada Pajabat yang
bersangkutan.
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
39
permohonan kepada PTUN untuk menilai ada atau tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan
dan/atau Tindakan. Pengadilan wajib memutus permohonan
tersebut paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan. Terhadap PTUN tersebut, dapat
diajukan banding ke PTTUN. PTTUN wajib memutus
permohonan banding tersebut paling lama 21 (dua puluh
satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan.42
Kewenangan mengadili oleh Peratun tersebut hanyalah
sebatas hasil pengawasan APIP yang menyatakan bahwa
Badan dan/atau Pejabat tersebut telah melakukan tindakan
penyalahgunaan wewenang (de tournament de povouir).43 Jika
merujuk pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Adpem,
maka kewenangan mengadili penyalahgunaan wewenang (de
tournament de povouir) oleh Peratun tersebut, dilakukan
melalui ―permohonan‖ (voluntair), bukan melalui gugatan
(contentiousa). Artinya pemeriksaan dilakukan sepihak atau
bersifat ex parte.
F. Sengketa Kewenangan
Sengketa kewenangan antarorgan jabatan administrasi
dapat saja terjadi. Hal ini biasanya disebabkan oleh duplikasi
kewenangan antarorgan jabatan atau ketidakpahaman pejabat
administrasi tentang tugas, fungsi dan kewenangannya atau
mungkin adanya conflic interest sehingga memicu ego sektoral
antarorgan jabatan. Misalnya, pada awal kehadiran Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu (UPPT) sebagai salah satu
bentuk pemberian pelayanan prima untuk memangkas alur
birokrasi demi kepentingan masyarakat. Namun di awal

42 Lihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan.
43 Lihat Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan


Wewenang.
40
perjalanan UPPT tersebut, masih banyak instansi yang enggan
menyerahkan kewenangan di bidang perizinan yang
dimilikinya seperti kewenangan penerbitan izin trayek yang
semula ada pada Dinas Perhubungan dan izin mendirikan
bangunan yang sebelumnya juga dimiliki oleh Dinas
Pekerjaan Umum, akibatnya terjadi klaim kewenangan antara
instansi-instansi tersebut dengan UPPT.
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 16 Undang-Undang
Adpem mengatur kewajiban Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan mencegah terjadinya Sengketa Kewenangan
dalam penggunaan Kewenangan. Sedangkan dalam hal
terjadi Sengketa Kewenangan di lingkungan pemerintahan,
kewenangan penyelesaian Sengketa Kewenangan berada
pada antaratasan Pejabat Pemerintahan yang bersengketa
melalui koordinasi untuk menghasilkan kesepakatan, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan
tersebut menghasilkan kesepakatan maka kesepakatan
tersebut mengikat para pihak yang bersengketa sepanjang
tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau
lingkungan hidup. Sedangkan dalam hal penyelesaian
Sengketa Kewenangan tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan, penyelesaian Sengketa Kewenangan di
lingkungan pemerintahan pada tingkat terakhir diputuskan
oleh Presiden.
Khusus penyelesaian Sengketa Kewenangan
antarlembaga negara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi
bukan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal Sengketa
Kewenangan menimbulkan kerugian keuangan negara, aset
negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

41
42
BAB IV
KONSTRUKSI DISKRESI

A. Ruang Lingkup Diskresi


Menurut Bagir Manan, badan atau pejabat
administrasi dilekati wewenang untuk membuat berbagai
keputusan. Selain menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan, pelaksanaan wewenang tersebut
dilakukan juga berdasarkan asas kebebasan bertindak
(beleidsvrijheid atau beoordelingsvrijheid) atau lazim disebut
freies ermessen44 (diskresi).
Dalam penyelenggaraan negara, kekuasaan Diskresi
(freies ermessens) tidak hanya menjadi kebutuhan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit, tetapi
juga dalam ranah penyelenggaraan kekuasaan yudisial.
Sebagai contoh perdebatan klasik antara Hart versus
Dworkin mengenai yang harus dilakukan hakim dalam
situasi hard cases dimana terjadi ketidakjelasan atau
ketiadaan rules,45 yang ditengahi oleh asas ius curia novit
(bahwa hakim dianggap tahu hukum), sehingga hakim
tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan hukumnya tidak jelas, tidak
lengkap, ataupun tidak ada.
Secara konseptual, latar belakang munculnya tuntutan
kebutuhan atas Diskresi, baik pada ranah pemerintahan
maupun ranah yudisial adalah sama-sama sebuah tindakan
harus dilaksanakan meskipun dalam situasi rules-nya

44 Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Majalah Hukum Varia


Peradilan Tahun Ke XXIII No. 277 Desember 2008 Hlm. 12-13.
45 Khrisna D. Darumurti, “Kekuasaan Diskresi Pemerintah”, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2012, Hlm. 2.


43
membisu, tidak menyediakan suatu preskripsi (lacunae), atau
sekurang-kurangnya tidak jelas atau kabur (vague).46
Dulunya Diskresi berada pada wilayah abu-abu, karena
tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena bergantung
pada kebijakan (policy) yang berada dalam domain politik,
sehingga meragukan memasukan Diskresi dalam wilayah
kajian hukum. Namun mengingat kelemahan tradisi hukum
civil law yang menitikberatkan pada aturan tertulis, menuntut
adanya jalan ke luar terhadap kebuntuan aturan tertulis yang
tidak mampu mengakomodir peristiwa hukum dan fakta
hukum yang akan terjadi, yaitu dengan memungkinkan
penggunaan Diskresi oleh administrasi negara, sehingga
membuat hukum menjadi luwes dan luas.
Adapun unsur-unsur freies ermessen (diskresi) dalam
suatu negara hukum menurut Sjachran Basah yaitu:47
1. Ditujukan untuk menjalankan ugas-tugas service publik;
2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi
negara;
3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
5. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;
6. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral kepada tuhan yang maha esa maupun secara
hukum.
Kehadiran Undang-Undang Adpem telah memberi
pijakan yang kuat bagi kedudukan Diskresi dalam wilayah
hukum administrasi. Undang-Undang Adpem tidak hanya
mengakui keberadaan Diskresi namun juga telah memberikan
pedoman dan batasan yang jelas bagi administrasi dalam

46 Ibid.
47 Sjachran Basah, “Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Adminisrasi
Negara”, Bandung: Alumni, 1992, Hlm. 3-5.
44
penggunaan Diskresi agar tidak menyimpang dari hukum
dan nilai-nilai kepatutan. Dengan demikian, Undang-Undang
Adpem memberikan pedoman agar administrasi terhindar
dari tindakan penyalahgunaan wewenang (detournament
povouir), sehingga secara tidak langsung telah memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang- Undang
Adpem, ―ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-
undangan, tidak menghalangi Administrasi Pemerintahan
yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB)/ algemene beginselen van
behoorlijke bestuur‖.
Penggunaan Diskresi dimungkinkan apabila ketentuan
peraturan perundang-undangan memberikan suatu pilihan
untuk menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan,
atau karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur
(recht vakuum), atau karena peraturan perundang-undangan
tidak lengkap atau tidak jelas, atau karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.48
Walaupun demikian, ada beberapa persyaratan yang
membatasi penggunaan Diskresi yaitu, Diskresi tidak boleh
mengandung maksud lain dari tujuan Diskresi itu sendiri atau
dengan kata lain harus dilandasi dengan itikad baik, tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan AUPB.49
Adapun AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang
Adpem meliputi asas:50

48 Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan.
49 Ibid, Pasal 24.
50 Ibid, Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasannya.

45
a. kepastian hukum yaitu asas yang mengutamakan ketenuan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan;
b. kemanfaatan yaitu kemanfaatan yang harus diperhatikan
secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu
dengan kepentingan individu yang lain, (2) kepentingan
individu dengan masyarakat, (3) kepentingan warga
masyarakat dengan masyarakat asing, (4) kepentingan
kelompok masyarakat yang satu dengan kepentingan
kelompok masyarakat yang lain, (5) kepentingan
pemerintah dengan warga masyarakat, (6) kepentingan
generasi sekarang dengan kepentingan generasi
mendatang, (7) kepentingan manusia dengan
ekosistemnya, (8) kepentingan pria dan wanita;
c. ketidakberpihakan yaitu asas yang mewajibkan badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan
dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara
keseluruhan dan tidak diskriminatif;
d. kecermatan yaitu asas yang mengandung arti bahwa suatu
keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada
informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung
legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan
dan/atau tindakan sebelum dilakukan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan yaitu asas yang
mewajibkan setiap abadan dan/atau pejabat pemerintahan
tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai
dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak
melampaui (ultra vires), tidak menyalahgunakan (de
tournament de pouvuir) dan/atau tidak mencampuradukan
kewenangan (exess de pouvuir);
46
f. keterbukaan yaitu asas yang melayani masyarakat untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang
benar, jujur dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara;
g. kepentingan umum yaitu asas yang mendahulukan
kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan yang
aspiratif, akomodasi, selektif, dan tidak diskriminatif; dan
h. pelayanan yang baik yaitu asas yang memberikan
pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang
jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan
perundang-undangan.
Selain AUPB yang diatur dalam Undang-Undang
Adpem tersebut, Administrasi Pemerintahan dapat
menerapkan AUPB yang tidak diatur atau di luar Undang-
Undang Adpem. Ratio legis dari penerapan AUPB yang tidak
terdapat dalam undang-undang karena memang idealnya
suatu asas tidak perlu dinormakan dalam rumusan peraturan
perundang-undangan.
Terkait dengan hal tersebut, SF. Marbun menegaskan
bahwa AUPB bukanlah kecenderungan etis dan moral, akan
tetapi lebih merupakan hukum tidak tertulis yang
mempunyai kekuatan mengikat dan sanksi yang dapat
dipaksakan.51
Asas Hukum merupakan salah satu unsur penting
dalam pembentukan hukum. Asas hukum merupakan ide-ide
dasar yang bersifat umum dan abstrak sebagai landasan
dalam pembentukan norma hukum konkret yang terjelma
dalam bentuk undang-undang, perjanjian, kebiasaan, maupun
putusan hakim. Menururt Satjipto Rahardjo, asas hukum

51 SF. Marbun, “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak”, Yogyakarta:

UII Press, 2014, H. 7.


47
jiwanya norma hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya
norma hukum (ratio legis).52
Asas hukum mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi dalam
hukum dan fungsi dalam ilmu hukum. Fungsi dalam hukum
yaitu asas hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan
undang-undang oleh pembentuk undang-undang dan hakim
(merupakan fungsi yang bersifat mengesahkan) serta
mempunyai pengaruh mengikat para pihak. Sedangkan
fungsi dalam ilmu hukum, asas hukum hanya bersifat
mengatur dan eksplakatif. Tujuannya adalah memberikan
ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum
positif.53
Sifat asas hukum adalah instrumental yaitu bahwa asas
hukum mengakui adanya penyimpangan-penyimpangan,
sehingga membuat sistem hukum luwes.54 Artinya, asas
hukum dapat memainkan peranan untuk mengisi kekosongan
hukum, atau menyimpang dari aturan hukum (undang-
undang) ketika hukumnya tidak ada, hukum yang ada tidak
jelas, tidak lengkap atau mungkin tidak memberikan rasa
keadilan. Di sinilah peran AUPB bagi administrasi
pemerintahan dalam menjalankan tugas, fungsi, dan
kewenangannya demi terlaksananya tujuan negara.
Sebenarnya eksistensi AUPB secara tidak langsung telah
memperoleh tempat dan pengakuan yuridis-konstitusional
sejak republik ini didirikan oleh founding father, sebagaimana
dapat dilihat dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan:55
―...sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-
52 J.B Daliyo dkk, “Pengantar Ilmu Hukum”, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1994, Hlm. 88-89


53 Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”,
Yogyakarta: Liberty, 2003, Hlm. 36
54Ibid.
55 Lihat SF. Marbun, “Asas-Asas Umum...” Op.Cit., Hlm. 44.

48
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis‖.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa
AUPB memiliki kedudukan yang penting dan tempat yang
diakui oleh konstitusi sebagai instrumen pengendali Pejabat
Administrasi Pemerintahan dalam menggunakan
kewenangan Diskresi. Dengan kata lain, batasan dan
sekaligus tolok ukur keabsahan Diskresi ditentukan oleh
AUPB.
B. Prosedur Penggunaan dan Akibat Hukum Diskresi
Di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, freies
ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam hal
sebagai berikut:
1. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah
tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian
yang segera. Misalnya dalam menghadapi suatu bencan
alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah
harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan
bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan yang semata-
mata timbul atas prakarsa sendiri.
2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan
sepenuhnya. Misalnya dalam pemberian izin berdasarkan
Pasal 1 Hinder Ordonantie, setiap pemberiizin bebas untuk
menafsirkan pengertian ―keadaan menimbulkan
bahaya‖sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-
masing.
3. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat
pemerintah diberikan kekuasaan untuk mengatur sendiri,
yang sebnarnya kewenangan itu merupakan kewenangan
aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya dalam
menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah
49
bebas untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itu
merupakan sumber yang sah.56
Berdasarkan Undang-Undang Adpem, penggunaan
Diskresi mendapat batasan-batasan tertentu, misalnya khusus
terkait dengan penggunaan Diskresi yang berpotensi
mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan
dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persetujuan dari Atasan Pejabat
tersebut di atas, dilakukan apabila penggunaan Diskresi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memberikan suatu pilihan terhadap pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan.57
Selain masalah anggaran tersebut di atas, juga terdapat
batasan-batasan penggunaan Diskresi yang berpotensi
menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat,
mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat
Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat
sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada
Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pemberitahuan
sebelum penggunaan Diskresi dilakukan apabila penggunaan
Diskresi yang berpotensi menimbulkan keresahan
masyarakat. Sedangkan pelaporan setelah penggunaan
Diskresi dilakukan apabila penggunaan Diskresi bertujuan
untuk menghindari stagnasi pemerintahan yang terjadi dalam
keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi
bencana alam.58
Pejabat yang menggunakan Diskresi yang terkait
dengan penggunaan anggaran wajib menguraikan maksud,

56 Muchsan, “Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan


Peradilan Administrasi di Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1997, Hlm. 27-28.
57 Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.
58 Ibid.

50
tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan.
Pejabat yang menggunakan Diskresi tersebut wajib
menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis
kepada Atasan Pejabat. Untuk Diskresi terhadap keadaan
yang akan berpotensi menimbulkan keresahan bagi
masyarakat, pemberitahuan kepada Atasan dapat dilakukan
secara lisan. Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas
permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan
persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Apabila
Atasan Pejabat tersebut melakukan penolakan, Atasan Pejabat
tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Sementara, khusus terhadap Diskresi yang diterbitkan
dan/atau dilakukan pada saat keadaan darurat, keadaan
mendesak, atau bencana alam, tidak perlu membutuhkan
persetujuan dari atasan. Selanjutnya, Pejabat yang
menggunakan Diskresi wajib menyampaikan laporan secara
tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
Pelaporan tersebut disampaikan paling lama 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi.
Mengingat penggunaan Diskresi merupakan
kewenangan bebas yang tidak diatur oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang lengkap dan jelas, maka
penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui wewenang
(ultra vires) apabila Pejabat yang bersangkutan bertindak
melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang
diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang
yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan/atau Pejabat yang bersangkutan tidak
menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak
administrasi serta tidak memberitahukan keputusan dan/atau
tindakan yang akan diambil kepada Atasan Pejabat yang

51
bersangkutan.59 Sedangkan suatu Diskresi dikategorikan
sebagai tindakan sewenang-wenang (willekeur) apabila
diterbitkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat yang tidak
berwenang. Sehingga, akibat hukum terhadap keputusan
tersebut, haruslah dinyatakan ―tidak sah‖ (ex tunc).60
Sementara untuk penggunaan Diskresi yang dikategorikan
mencampuradukkan wewenang Diskresi itu sendiri, apabila
digunakan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dan/atau
bertentangan dengan AUPB, maka sehingga ―dapat
dibatalkan‖ (ex nunc).61

59 Ibid, Pasal 30.


60 Ibid, Pasal 33.
61 Ibid, Pasal 32.

52
BAB V
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN

A. Masa Berlaku Keputusan Administrasi


Di dalam Hukum Administrasi dikenal adanya asas het
vermoeden van rechtmatigheids atau persumtion iustae causa, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan asas praduga keabsahan.
Asas tersebut menegaskan bahwa setiap keputusan dan/atau
tindakan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan haruslah
dianggap sah sebelum adanya Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
keputusan dan/atau tindakan tersebut tidak sah atau batal.
Kewenangan Pengadilan untuk memeriksa dan memutus
tersebut disebut dengan judicial review. Di samping judicial
review dikenal juga adanya administrative review, yaitu
perubahan, pencabutan, atau pembatalan keputusan yang
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat di lingkungan
Pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang
bersifat mengikat hingga berakhir atau dicabutnya keputusan
atau dihentikannya tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang berwenang.
Pencabutan keputusan atau penghentian tindakan
tersebut hanya dapat dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang mengeluarkan keputusan dan/atau
tindakan. Hal ini sejalan dengan asas contrarius actus. Namun
dalam hal keputusan dan/atau tindakan tersebut
menimbulkan akibat hukum yang merugikan seseorang atau
badan hukum perdata, maka dapat diajukan upaya
administratif, sehingga dimungkinkan keputusan dan/atau

53
tindakan tersebut dicabut dan/atau dihentikan oleh Atasan
Badan dan/atau Atasan Pejabat yang mengeluarkan
keputusan dan/atau tindakan. Kedua mekanisme tersebut
sama-sama dikategorikan sebagai administrative review.
B. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang Berwenang
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan harus memiliki kewenangan, baik yang bersumber
dari kewenangan atribusi, delegasi, dekonsentrasi, maupun
mandat. Badan dan/atau pejabat pemerintahan tersebut
terdiri atas:62
1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah
hukum tempat penyelenggaran pemerintahan terjadi; atau
2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah
hukum tempat seorang individu atau sebuah organisasi
berbadan hukum melakukan aktivitasnya.
Apabila Pejabat Pemerintahan tersebut di atas
berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat
yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan
yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai
Pelaksana Harian (PLH) atau Pelaksana Tugas (PLT).63 Tujuan
pentingnya PLH dan PLT adalah untuk mengantisipasi
terhambatnya pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan,
guna mencegah kerugian masyarakat.
PLH atau PLT tersebut melaksanakan tugas serta
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya,
sedangkan penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan
kewenangan lintas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dilaksanakan melalui kerja sama antar-Badan dan/atau

62 Rumusan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan.


63 Ibid, ayat (2).

54
Pejabat Pemerintahan yang terlibat, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Bantuan Kedinasan
Bantuan kedinasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dihindarkan, mengingat setiap
badan dan/atau pejabat pemerintahan memiliki keterbatasan
sumber daya dan kemampuan dalam menjalankan tugas,
fungsi, dan kewenangannya. Selain itu, antara badan
dan/atau pejabat pemerintahan ada kalanya terdapat
hubungan kewenangan satu dan yang lainnya. Oleh karena
itu bantuan kedinasan sudah menjadi hal yang lumrah dalam
penyelenggaraan pemerintahan, namun bantuan kedinasan
perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk
menghilangkan sikap ego sektoral antarbadan dan/atau
pejabat pemerintahan.
Kehadira Undang-Undang Adpem memberi pedoman
dan landasan hukum dalam pemberian bantuan kedinasan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Adpem badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat
memberikan bantuan kedinasan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lain yang meminta bantuan dengan
syarat:
1. Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat dilaksanakan
sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
meminta bantuan;
2. Penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan
sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena
kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan;
3. Dalam hal melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakannya
sendiri;
55
4. Apabila untuk menetapkan keputusan dan melakukan
kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan
berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau
5. Jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat
dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang
besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut.
Dalam hal pelaksanaan Bantuan Kedinasan
menimbulkan biaya, maka beban yang ditimbulkan
ditetapkan bersama secara wajar oleh penerima dan pemberi
bantuan dan tidak menimbulkan pembiayaan ganda (double
cost),64 karena pembiayaan ganda akan mengakibatkan
inefisiensi atau pemborosan keuangan negara yang tidak
dapat dibenarkan baik secara administratif maupun secara
hukum.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat menolak
memberikan Bantuan Kedinasan apabila bantuan yang
diminta tersebut dapat mempengaruhi kinerja Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan pemberi bantuan atau surat
keterangan dan dokumen yang diperlukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan bersifat rahasia
atau jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
membolehkan memberikan bantuan.65
Tanggung jawab terhadap keputusan dan/atau
tindakan dalam bantuan kedinasan dibebankan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang membutuhkan bantuan
kedinasan, kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan

64 Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.
65 Ibid, Pasal 36 ayat (1).

56
peraturan perundang-undangan dan/atau kesepakatan
tertulis kedua belah pihak.66
D. Bentuk Keputusan
1. Keputusan Tertulis, Keputusan Lisan, dan Keputusan
Fiktif
Pada prinsipnya setiap keputusan (beschikking) yang
akan diterbitkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
haruslah berbentuk tertulis. Tujuannya adalah agar menjamin
kepastian hukum, karena mudah untuk dibuktikan. Namun
di sisi lain, sering juga ditemui adanya keputusan yang tidak
tertulis, atau yang sering disebut keputusan ―fiktif‖.
Keputusan ―fiktif‖ biasanya diambil oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam hal keadaan darurat atau
mendesak sehingga harus segera diambil.
Dalam kondisi darurat (overmacht), keputusan ―fiktif‖
masih dapat dimaklumi. Namun jika keputusan ―fiktif‖
dikeluarkan dalam keadaan normal dan merugikan
kepentingan pihak lain, maka terhadap keputusan ―fiktif‖
diperlukan adanya bentuk perlindungan hukum, karena
keputusan ―fiktif‖ di satu sisi sulit dibuktikan dan di sisi lain
juga sulit dipertanggungjawabkan.
Keputusan ―fiktif‖ yang sering bermasalah adalah
keputusan ―fiktif‖ yang lahir ketika suatu kewajiban tidak
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan,
misalnya jika seseorang atau badan hukum mengajukan suatu
permohonan kepadanya, sementara permohonan tersebut
merupakan bagian dari tugas dan/atau fungsi Badan
dan/atau Pejabat yang bersangkutan, namun Badan dan/atau
Pejabat tersebut tidak menerbitkan keputusan yang
dimohonkan tersebut, maka tindakan mendiamkan atau pasif
dari Badan dan/atau Pejabat yang bersangkutan dianggap
merupakan suatu keputusan.
66 Ibid, Pasal 37.
57
Sikap pasif tersebut berdasarkan Undang-Undang
Peratun dianggap sebagai keputusan menolak atau sikap
―negatif‖ sehingga disebut keputusan ―fiktif negatif‖,
sementara berdasarkan Undang-Undang Adpem dianggap
sebagai keputusan menerima/mengabulkan atau sikap
―positif‖ sehingga disebut ―fiktif positif‖. Dengan terbitnya
Undang-Undang Adpem ini maka di dalam Hukum
Administrasi Indonesia tidak mengenal lagi adanya
keputusan fiktif negatif, namun yang ada adalah keputusan
fiktif positif.
2. Keputusan Elektronis
Selain keputusan tertulis, keputusan lisan, dan
keputusan fiktif, dalam perkembangannya dikenal juga
adanya keputusan elektronik. Keputusan berbentuk elektronis
wajib dibuat atau disampaikan apabila keputusan tidak
dibuat atau tidak disampaikan secara tertulis. Keputusan
berbentuk elektronis berkekuatan hukum sama dengan
keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya
keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. Jika
keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka
yang berlaku adalah keputusan dalam bentuk elektronis.
Dalam hal terdapat perbedaan antara keputusan dalam
bentuk elektronis dan keputusan dalam bentuk tertulis, yang
berlaku adalah keputusan dalam bentuk tertulis. Keputusan
yang mengakibatkan pembebanan keuangan negara wajib
dibuat dalam bentuk tertulis.67
3. Izin, Dispensasi, dan Konsesi
Jika keputusan (beschikking) adalah suatu spesies dari
produk hukum, maka izin (vergunning), dispensasi, dan
konsesi sebenarnya merupakan genus dari keputusan
(beschikking) yang khusus terkait dengan fungsi dan
kewenangan administrasi pemerintahan di bidang
67 Ibid, Pasal 38.
58
pengaturan atau pengendalian terhadap kegiatan atau
aktifitas tertentu yang akan dilakukan oleh seseorang atau
badan hukum perdata.
Menurut N.M Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Izin
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan
perundang-undangan.68 Pengertian tersebut agak
mengaburkan perbedaan antara izin (vergunning) dengan
dispensasi, karena memiliki sifat yang sama-sama
menyimpangi peraturan perundang-undangan. Pendapat Van
der Pot tentang izin (vergunning) lebih tegas dalam
membedakan antara izin (vergunning) dengan dispensasi.
Menurut Van der Pot, izin (vergunning) merupakan
keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan
yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat
peraturan.69 Dengan kata lain, suatu perbuatan yang
dimintakan izin bukan perbuatan terlarang menurut
peraturan perundang-undangan, namun membutuhkan
persetujuan dalam rangka pengaturan, penataan, dan
penertiban suatu kegiatan agar tidak menimbulkan dampak
buruk. Oleh karena itu baru dapat diberikan jika sudah
disetujui oleh pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 19 Undang-
Undang Adpem, Izin adalah keputusan pejabat
pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, warga
masyarakat tidak dapat melakukan sesuatu yang
seharusnya memperoleh izin berdasarkan permohonan

68 Philipus M. Hadjon, “Pengantar Hukum Perizinan”, Surabaya: Yuridika,

1993, Hlm. 2-3.


69 Prajudi Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi..., Op.Cit., Hlm. 94.

59
kepada pemerintah kecuali diperbolehkan atau disetujui.
Jika suatu perbuatan warga masyarakat harus terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari pemerintah berarti
perbuatan tersebut akan menimbulkan dampak tertentu.
Oleh karena itu biasanya, suatu permohonan izin baru
dapat dikabulkan jika telah memenuhi suatu persyaratan
tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Selain izin (vergunning), entitas perizinan lainnya yaitu
dispensasi dan konsesi. Dispensasi menurut Amrah
Muslimin adalah suatu pengecualian dari ketentuan-
ketentuan umum, dalam hal pembuat undang-undang
sebenarnya pada prinsipnya tidak berniat mengadakan
pengecualian.70 Sejalan dengan pendapat tersebut, SF. Marbun
dan Mahfud MD menerangkan bahwa dispensasi adalah
perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-
undangan tidak berlaku karena sesuatu hal yang sangat
istimewa.71 Contoh: penetapan umur kawin bagi seseorang
perempuan harus berusia minimal 16 tahun dan laki-laki
minimal 19 tahun, namun karena adanya suatu keadaan
tertentu sehingga pernikahan dapat diperbolehkan walaupun
di bawah usia minimum tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21, dispensasi
adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang
sebagai wujud persetujuan atas permohonan warga
masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu
larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada pokoknya, dispensasi adalah
pengecualian dari suatu ketentuan peraturan perundang-

70 Amrah Muslimin, “Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok


tentang Administrasi dan Hukum Administrasi”, Bandung: Alumni, 1982, Hlm. 118
71 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, “Pokok-Pokok Hukum ...”, Op.Cit.,

Hlm. 94.
60
undangan. Pengecualian tersebut diberikan atas dasar diskresi
(freies ermessen) yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan
setelah memperhatikan aspek kemanfaatan hukum
(doelmatigheids).
Di samping izin (vergunning) dan dispensasi, terdapat
juga konsesi. Konsesi menurut Ateng Syafrudin sebagaimana
dikutip Y. Sri Pudyatmoko, merupakan suatu izin
sehubungan dengan pekerjaan besar yang melibatkan
kepentingan umum sehingga sebenarnya pekerjaan itu
merupakan tugas pemerintah, tetapi oleh pemerintah
dibserikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris
(pemegang konsesi) yang bukan pejabat pemerintah.72
Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa
suatu perbuatan yang penting bagi umum sebaiknya dapat
diadakan oleh suatu subyek hukum partikelir, tetapi dengan
campur tangan pemerintah.73 Selain alasan tersebut, adanya
dispensasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat
dihindarkan dalam negara hukum kesejahteraan (welvaar
staat/welfare state), di mana beban tugas pemerintah semakin
banyaknya dan berat, sehingga tidak mungkin ditangani
sendiri oleh pemerintah yang memiliki keterbatasan sumber
daya baik sumber daya aparatur, sumber daya finansial
maupun keterbatasan skill aparatur. Oleh karena itu, sebagian
tugas pemerintah diserahkan kepada pihak swasta (partikelir)
untuk ditangani. Namun biasanya konsesi hanya terbatas
pada bidang tertentu seperti di bidang pengelolaan sumber
daya alam, kecuali di bidang pertambangan mineral dan
batubara yang diberikan melalui izin usaha pertambangan.
Untuk memudahkan identifikasi terhadap keputusan
yang berbentuk izin, dispensasi, atau konsesi, maka Undang-

72 Y. Sri Pudyatmoko, “Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan”,

Jakarta: Grasindo, 2009, Hlm. 10.


73 E. Utrecht, “Pengantar Hukum Administrasi..., Op.Cit., Hlm. 187.

61
Undang Adpem telah memberi batasan yang jelas yaitu
sebagai berikut: keputusan badan dan/atau pejabat
pemerintahan berbentuk izin apabila:74
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan;
dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Dispensasi apabila:75
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan;
dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Konsesi apabila:76
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan;
b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau
swasta; dan
c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
yang memerlukan perhatian khusus.
Izin, dispensasi, atau konsesi yang diajukan oleh
pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-

74 Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan.
75 Ibid, ayat (3).
76 Ibid, ayat (4).

62
undangan77 yang mengatur standar operasional prosedur
(SOP), atau standar pelayanan publik (SPP), atau standar
pelayanan minimal (SPM).
Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan
kerugian negara.78 Kerugian yang dimaksud meliputi faktual
(nyata) dan kerugian potensial. Kerugian faktual, yaitu
kerugian negara pada saat pemberian izin diberikan.
Sementara kerugian potensial adalah kerugian yang mungkin
terjadi dikemudian hari setelah pemberian izin, dispensasi,
atau konsesi. Misalnya akibat pemberian suatu konsesi atau
izin usaha pertambangan dapat mengakibatkan terjadi
kerusakan lingkungan hidup di kemudian hari. Oleh karena
itu, dalam pemberian suatu izin, dispensasi, atau konsesi
benar-benar harus mempertimbangkan segala kemungkinan
yang akan terjadi, baik manfaat maupun mudaratnya.

77 Ibid, ayat (5).


78 Ibid, ayat (6).
63
64
BAB VI
PROSEDUR ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

A. Para Pihak
Salah satu fungsi pemerintahan adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan fungsi
pemerintahan tersebut terdapat para pihak yaitu pemerintah
di satu pihak dan warga masyarakat di pihak lain. Artinya,
pihak-pihak dalam prosedur administrasi pemerintahan
terdiri atas badan dan/atau pejabat pemerintahan dan warga
masyarakat. Kedudukan badan dan/atau pejabat
pemerintahan yaitu sebagai pihak yang berwenang
mengeluarkan keputusan dan/atau melakukan tindakan-
tindakan. Sementara warga masyarakat (orang/badan
hukum) berkedudukan sebagai obyek yang dituju dari
keputusan dan/atau tindakan yang berasal dari permohonan
pihak yang bersangkutan maupun atas inisiatif badan
dan/atau pejabat pemerintahan.79
Di samping hubungan antara badan dan/atau pejabat
pemerintahan dan warga masyarakat, hubungan antarbadan
dan/atau pejabat pemerintahan juga dapat terjadi. Hal ini
mengikuti fungsi hukum administrasi sebagai instrumen
hukum yang berfungsi sebagai pedoman yang mengatur
hubungan antara badan dan/atau pejabat pemerintahan
dengan warga masyarakat maupun hubungan antarbadan
dan/atau pejabat pemerintahan.
Bahkan dalam perkembangannya, berdasarkan Undang-
Undang Adpem ini, sengketa administrasi tidak hanya dalam
konteks hubungan antara badan dan/atau pejabat
pemerintahan dengan warga masyarakat (seseorang atau

79 Lihat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.
65
badan hukum perdata)80, namun juga meliputi sengketa
antarbadan dan/atau pejabat pemerintahan yaitu terkait
dengan hasil pemeriksaan Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP) tentang unsur penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan,
yang mana badan dan/atau pejabat pemerintahan tersebut
dapat mengajukan gugatan atas keputusan APIP tersebut.81
B. Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan
suatu urusan.82 Artinya pemberian kuasa harus dilandasi atas
suatu persetujuan atau kesepakatan yang merupakan unsur
konsensuil dalam perjanjian yang terjadi antara pemberi
kuasa (lastgever/mandans/principal) dengan penerima kuasa
(lasthebber/mandataris) untuk melaksanakan suatu urusan.
Dengan demikian, adanya pemberian kuasa berimplikasi
pada terjadinya perubahan kapasitas penerima kuasa sebagai
wakil pemberi kuasa. Namun pemberian kuasa tersebut tidak
mengakibatkan perpindahan tanggung jawab dari pemberi
kuasa ke penerima kuasa. Dengan kata lain, apa yang
dilakukan oleh penerima kuasa masih tetap menjadi tanggung
jawab dari pemberi kuasa, sepanjang sesuai dengan
persetujuan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada
penerima kuasa. Sedangkan tindakan lain di luar persetujuan
pemberi kuasa adalah tanggung jawab penerima kuasa. Oleh
karena itu, pihak lain dapat menolak tindakan penerima
kuasa yang melebihi kuasa.

80 Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tenang


Peradilan Tata Usaha Negara.
81 Lihat Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan.


82 Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

66
Dalam pengurusan suatu permohonan untuk terbitnya
keputusan dan/atau dilakukannya tindakan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan, seyogyanya dilakukan
langsung oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Namun
adakalanya warga masyarakat yang bersangkutan tidak dapat
melakukan pengurusan kepentingannya dikarenakan sesuatu
hal. Oleh karena itu menurut ketentuan Pasal 40 ayat (1)
Undang-Undang Adpem dimungkinkan pengurusan atas
kepentingan warga masyarakat yang bersangkutan
dikuasakan kepada pihak lain.
Prosedur pemberian kuasa tersebut dilakukan secara
tertulis kepada 1 (satu) penerima kuasa untuk mewakili
dalam prosedur administrasi pemerintahan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang. Dengan hanya 1 (satu)
penerima kuasa dapat dicegah pengurusan ganda yang
disebabkan miskoordinasi antarpenerima kuasa.
Ada kalanya dalam prosedur administrasi, Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan menerima lebih dari satu
surat kuasa untuk satu prosedur administrasi pemerintahan
yang sama, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
mengembalikan kepada pemberi kuasa untuk menentukan
satu penerima kuasa yang berwenang mewakili kepentingan
pemberi kuasa dalam prosedur tersebut. Hal ini dilakukan
agar tidak terjadi keputusan dan/atau tindakan ganda yang
diterbitkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.83
Surat kuasa yang dimaksud sekurang-kurangnya
memuat:84
1. judul surat kuasa;
2. identitas pemberi kuasa;
3. identitas penerima kuasa;

83 Ibid, Pasal 41 ayat (2).


84 Ibid, ayat (4).
67
4. pernyataan pemberian kuasa khusus secara jelas dan tegas;
5. maksud pemberian kuasa;
6. tempat dan tanggal pemberian kuasa;
7. tanda tangan pemberi dan penerima kuasa; dan
8. materai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Format atau bentuk surat kuasa tersebut merupakan
syarat limitatif yang ditentukan oleh Undang-Undang
Adpem. Pentingnya memperhatikan sistematika substansi
surat kuasa tersebut agar memenuhi unsur konkret yaitu
mengenai kejelasan materi dan unsur individual yaitu
mengenai para pihak untuk melihat apakah memenuhi syarat
sebagai subyek hukum atau tidak guna menentukan tangung
gugat dan tanggung jawab.
Materi lainnya yang diatur dalam Undang-Undang
Adpem ini yaitu mengenai pencabutan surat kuasa kepada
penerima kuasa yaitu hanya dapat dilakukan secara tertulis
dan berlaku pada saat surat tersebut diterima oleh Badan atau
Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan.85 Tujuan keharusan
pencabutan kuasa secara tertulis yaitu tidak lain untuk
menjamin kepastian hukum.
Dalam hal warga masyarakat tidak dapat bertindak
sendiri dan tidak memiliki wakil yang dapat bertindak atas
namanya, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat
menunjuk wakil dan/atau perwakilan pihak yang terlibat
dalam prosedur Administrasi Pemerintahan.86
C. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan adalah suatu keadaan dimana
terjadinya benturan antara kewajiban dengan kewajiban,
antara kepentingan dengan kepentingan atau antara
kewajiban dengan kepentingan. Dalam konteks hukum
administrasi, konflik kepentingan secara sederhana diartikan

85 Ibid, ayat (5).


86 Ibid, ayat (6).
68
sebagai benturan antara kepentingan pribadi pejabat dengan
kepentingan negara atau kepentingan publik. Jika hal tersebut
terjadi, maka akan berpotensi timbulnya nepotisme,
diskriminasi, bahkan kolusi dan korupsi atau setidak-
tidaknya akan menghambat pelayanan publik.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Adpem
mengatur bahwa yang dimaksud dengan konflik kepentingan
yaitu apabila Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan
dilatarbelakangi:
1. adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis;
2. hubungan dengan kerabat dan keluarga;
3. hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;
4. hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji
dari pihak yang terlibat;
5. hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi
terhadap pihak yang terlibat; dan/atau
6. hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk menghindari dampak negatif dari konflik
kepentingan tersebut, maka pejabat pemerintahan yang
berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan. Dalam hal terdapat indikasi adanya konflik
kepentingan, maka pejabat pemerintahan yang bersangkutan
dilarang menetapkan keputusan dan/atau suatu tindakan.
Sebagai solusinya maka yang berwenang menetapkan
dan/atau melakukan suatu tindakan administrasi
pemerintahan yaitu atasan pejabat atau pejabat lain yang
menurut peraturan perundang-undangan masih dalam
domain kewenangan tersebut.87
Adapun atasan pejabat yang dimaksud terdiri atas:
87 Ibid, Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2).
69
1. Presiden bagi menteri/pimpinan lembaga dan kepala
daerah;
2. Menteri/pimpinan lembaga bagi pejabat di lingkungannya;
3. Kepala Daerah bagi pejabat daerah; dan
4. Atasan langsung dari Pejabat Pemerintahan.
Dalam hal terdapat konflik kepentingan, maka pejabat
pemerintahan yang bersangkutan wajib memberitahukan
kepada atasannya.88 Hal ini sulit dilakukan apabila pejabat
pemerintahan tersebut tidak memiliki integritas yang baik.
Oleh karena itu, warga masyarakat berhak melaporkan atau
memberikan keterangan adanya dugaan konflik kepentingan
Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan.89 Bahkan dalam
rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) warga masyarakat dituntut untuk berpartisipasi
aktif dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, dan bersih dari praktik korusi, kolusi dan
nepotisme. Oleh karena itu, tindakan tersebut haruslah
dimaknai sebagai kewajiban masyarakat untuk melaporkan
atau memberikan keterangan adanya dugaan konflik
kepentingan pejabat pemerintahan dalam menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Laporan atau keterangan tersebut disampaikan kepada
Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan dengan mencantumkan
identitas jelas pelapor dan melampirkan bukti-bukti terkait.90
Atasan Pejabat yang bersangkutan wajib memeriksa,
meneliti, dan menetapkan keputusan terhadap laporan atau
keterangan dari warga masyarakat paling lama 5 (lima) hari

88 Ibid, Pasal 43 ayat (2).


89 Ibid, Pasal 44 ayat (1).
90 Ibid, ayat (2).

70
kerja terhitung sejak diterimanya laporan atau keterangan
tersebut.91
Dalam hal Atasan Pejabat tersebut menilai terdapat
konflik kepentingan, maka Atasan Pejabat tersebut wajib
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan.92 Keputusan tersebut wajib dilaporkan kepada
atasan Atasan Pejabat dan disampaikan kepada pejabat yang
menetapkan Keputusan paling lama 5 (lima) hari kerja.93
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menjamin dan
bertanggungjawab terhadap setiap keputusan dan/atau
tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukannya. Keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
karena adanya konflik kepentingan dapat dibatalkan.94 Frase
―dapat dibatalkan‖ tersebut memiliki makna fakultatif,
artinya apabila berdasarkan hasil penilaian Atasan Pejabat
yang bersangkutan terhadap laporan atau keterangan warga
masyarakat ternyata tidak terdapat konflik kepentingan, maka
keputusan dan/atau tindakan yang diambil oleh pejabat
pemerintahan yang bersangkutan sah. Sebaliknya, jika
berdasarkan hasil penilaian Atasan Pejabat yang
bersangkutan terdapat konflik kepentingan, maka keputusan
dan/atau tindakan yang telah diambil oleh pejabat
pemerintahan tersebut haruslah dinyatakan batal. Namun
Penulis berpendapat lebih tepat jika dinyatakan ―tidak sah‖
bukan ―batal‖.
D. Sosialisasi Bagi Pihak yang Berkepentingan
Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang
Adpem, badan dan/atau pejabat pemerintahan memberikan
sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar

91 Ibid, ayat (3).


92 Ibid, ayat (4).
93 Ibid, ayat (5).
94 Ibid, Pasal 45.

71
hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang terkait
sebelum menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan
bagi warga masyarakat.
Sebenarnya terkait dengan suatu beban kepada
masyarakat baik berupa pajak maupun retribusi wajib
mendapatkan persetujuan dari rakyat, yaitu melalui wakil
rakyat yang ada di parlemen (DPR, DPD, dan/atau DPRD).
Hal ini sesuai dengan prinsip tidak ada persetujuan parlemen,
maka tidak ada pajak (no parliament, no taxation). Bahkan ada
prinsip yang mengatakan pajak tanpa persetujuan parlemen
adalah perampokan. Artinya, setiap beban finansial yang
ditujukan kepada warga masyarakat harus mendapat
persetujuan wakil rakyat yang kemudian dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau
Perda).
Setelah peraturan perundang-undangan (Undang-
Undang atau Perda) tersebut diundangkan dan berlaku, maka
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, agar setiap
orang mengetahuinya wajib disosialisasikan kepada warga
masyarakat. Dengan kata lain, sebenarnya sudah
disosialisasikan. Namun yang dimaksud dengan sosialisasi
dalam Undang-Undang Adpem ini adalah suatu
pengumuman yang konkret pada setiap badan yang
memberikan pelayanan publik, misalnya melalui
papan/poster pengumuman di kantor-kantor yang memuat
besaran beban tarif, persyaratan, lamanya waktu pengurusan,
dan alur proses pengurusan. Di samping itu, badan dan/atau
pejabat pemerintahan tersebut dapat melakukan klarifikasi
dengan pihak yang terkait secara langsung. Untuk itu, di

72
setiap badan yang memberikan pelayanan publik seharusnya
dilengkapi dengan loket informasi.
Berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Adpem,
menyatakan bahwa dalam hal keputusan menimbulkan
pembebanan bagi warga masyarakat, maka badan dan/atau
pejabat pemerintahan wajib memberitahukan kepada pihak-
pihak yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan, kecuali diatur lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu berdasarkan Pasal
48 juga dikecualikan terhadap keputusan yang bersifat
mendesak dan untuk melindungi kepentingan umum dengan
mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan,
keputusan yang tidak mengubah beban yang harus dipikul
oleh warga masyarakat yang bersangkutan, dan/atau
keputusan yang menyangkut penegakan hukum.
E. Standar Operasional Prosedur
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah serangkaian
instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses
penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan
harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan.95
Adapun manfaat SOP dalam penyelenggaraan
pemerintahan yaitu antara lain: untuk mengurangi kesalahan
dan kelalaian yang mungkin dilakukan oleh aparatur
pemerintahan dalam melaksanakan tugas; SOP dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanan tugas dan
tanggung jawab badan dan/atau pejabat pemerintahan;
membantu aparatur pemerintahan menjadi lebih mandiri dan
tidak tergantung pada intervensi pihak lain, sehingga akan
mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses

95 Lihat Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi Nomor 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan


Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan, huruf C. Pengertian.
73
sehari-hari; meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan
tugas;menjamin konsistensi pelayanan, baik dari sisi mutu,
waktu, dan prosedur; menghindari dulpikasi dan tumpang
tindih pelaksanaan tugas; memberikan gambaran dan
informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus
dikuasai aparatur; dan sebagai instrumen yang dapat
melindungi aparatur dari tindakan maladministrasi dan
tuntutan hukum; membantu penelusuran terhadap kesalahan-
kesalahan prosedural dalam memberikan pelayanan.96
Pejabat pemerintahan sesuai dengan kewenangannya
wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum standar
operasional prosedur pembuatan keputusan. SOP tersebut
harus dimiliki oleh setiap unit kerja pemerintahan dan wajib
diumumkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan
kepada publik melalui media cetak, media elektronik, dan
media lainnya.
F. Pemeriksaan Dokumen Administrasi Pemerintahan
Badan dan/atau pejabat pemerintahan, sebelum
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan, harus memeriksa dokumen dan kelengkapan
administrasi pemerintahan dari pemohon. Dalam
melaksanakan pemeriksaan tersebut, badan dan/atau pejabat
pemerintahan menentukan sifat, ruang lingkup pemeriksaan,
pihak yang berkepentingan, dan dokumen yang dibutuhkan
untuk mendukung penetapan dan/atau pelaksanaan
keputusan dan/atau tindakan. Dalam waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan Keputusan dan/atau
tindakan diajukan dan telah memenuhi persyaratan, badan
dan/atau pejabat pemerintahan wajib memberitahukan
kepada pemohon, permohonan diterima. Dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan keputusan

96 Ibid.
74
dan/atau tindakan diajukan dan tidak memenuhi
persyaratan, badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib
memberitahukan kepada pemohon, permohonan ditolak.97
G. Penyebarluasan Dokumen Administrasi Pemerintahan
Badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib membuka
akses dokumen administrasi pemerintahan kepada setiap
warga masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Hak mengakses
dokumen administrasi pemerintahan tidak berlaku, jika
dokumen administrasi pemerintahan termasuk kategori
rahasia negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga.
Warga masyarakat memiliki kewajiban untuk tidak
melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi yang
diperoleh.98

97 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan
98 Ibid, Pasal 51.

75
76
BAB VII
KONSTRUKSI BARU KARAKTERISTIK
KEPUTUSAN PEMERINTAHAN

A. Perkembangan Unsur-Unsur Keputusan (Beschikking)


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Peratun), Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Mengacu pada ketentuan tersebut maka unsur-unsur
suatu keputusan yaitu sebagai berikut:
1. Tertulis
Salah satu unsur KTUN adalah dibuat dalam bentuk
tertulis. Tujuannya adalah agar memberikan kepastian
hukum, karena dengan bentuknya tertulis setiap orang
dapat mengetahui dan memprediksikan akibat hukumnya.
Namun sebagai pengecualiannya diakui pula suatu KTUN
yang tidak tertulis yaitu, dalam hal organ jabatan
(Badan/Pejabat) tidak mengeluarkan suatu keputusan
yang dimohonkan sedangkan hal itu merupakan
kewajibannya, maka setelah lewat waktu 10 (sepuluh) hari
dianggap organ jabatan tersebut telah mengeluarkan
KTUN yang bersifat menerima. KTUN yang dikeluarkan
tidak tertulis disebut sebagai keputusan ―fiktif‖, sedangkan
keputusan yang bersifat menerima/mengabulkan disebut
sebagai keputusan ―positif‖. Dengan demikian KTUN yang
bersifat penerimaan/pengkabulan dan dikeluarkan tidak
77
dalam bentuk tertulis, dalam Hukum Administrasi dikenal
dengan sebutan keputusan “fiktif positif”.99
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Badan atau Pejabat TUN yang dimaksud di sini adalah
organ jabatan yang melaksanakan urusan pemerintahan
atau eksekutif dalam arti luas. Salah satu kata kunci yang
penting dalam penerbitan suatu KTUN adalah adanya
―wewenang‖ atau ―kewenangan‖ yang selalu harus ada
dan yang menjadi dasar berpijak bagi organ TUN untuk
dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan
khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-
keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis
dalam menjalankan pemerintahan.100
3. Berisi tindakan hukum
Tindakan/perbuatan hukum (recht handelingen) adalah
suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan
suatu akibat hukum, yaitu dapat berupa lahirnya hak
dan/atau kewajiban, maupun sebaliknya berupa
lenyapnya hak dan/atau kewajiban.
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(wet matigheids van bestuur).
Maksud dari frase ―berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku‖ adalah bahwa suatu keputusan
merupakan tindakan hukum publik dari organ TUN yang
bersifat konkret yang bersumber dari peraturan yang
bersifat abstrak dan umum (regeling), yang dikeluarkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta semua

99 Ade Kosasih, “Formula Praktis Memahami Teknik & Desain..., Op.Cit.,


Hlm. 11-13.
100 Paulus Effendi Lotulung, “Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan”,

Jakarta: Salemba Humanika, 2013, Hlm. 27


78
peraturan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Peraturan yang menjadi dasar hukum penerbitan
keputusan tersebut yaitu peraturan perundang-undangan
yang masih berlaku, baik dari segi waktu maupun
wilayah/tempat (ius constitutum). Dengan kata lain, suatu
peraturan perundang-undangan yang sudah dicabut atau
tidak berlaku dalam suatu wilayah hukum (yurisdictie),
tidak dapat dijadikan dasar hukum penerbitan suatu
keputusan.
5. Bersifat konkret
Konkret artinya, substansi yang diatur dalam keputusan
tersebut harus jelas, baik obyeknya maupun peristiwanya.
Misalnya, Keputusan Kepala Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), maka dalam keputusan
tersebut sudah jelas peristiwanya yaitu ―mendirikan
bangunan‖, serta harus jelas pula obyeknya yaitu jenis
bangunan (ruko, kantor, rumah dan lain-lain), luas
bangunan, konstruksi bangunan (permanen, semi
permanen, atau tidak permanen), alamat bangunan dan
lain-lain yang dianggap perlu.
6. Bersifat individual
Individual artinya, dalam keputusan tersebut harus
memuat subyek hukum yang dikenai akibat hukum dari
terbitnya keputusan tersebut. Subyek hukum tersebut
dapat berbentuk manusia (naturalijke persoon), maupun
badan hukum (recht persoon). Selain itu, subyek hukum
tersebut dapat ditentukan satu atau beberapa jumlah
sekaligus dalam suatu keputusan.
7. Bersifat final
Final artinya, suatu keputusan yang dikeluarkan oleh
organ TUN harus sudah definitif/tidak memerlukan
persetujuan dari organ TUN lainnya. Tujuan dari sifat final
79
ini guna menentukan batas wewenang dan
pertanggungjawaban organ TUN yang mengeluarkan
keputusan tersebut. Selain itu, sifat final untuk
menentukan kepastian hukum agar implementatif.
8. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata
Menimbulkan akibat hukum artinya keputusan tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban, serta wewenang dan
tanggung jawab terhadap seseorang atau badan hukum
perdata yang menjadi subyek dari sifat individual
sebelumnya.
Pengertian keputusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut kemudian
mengalami perkembangan setelah lahirnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 berbunyi:
―Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga
disebut Keputusan Tata Usaha Negara yang selanjutnya
disebut keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan‖.
Menurut ketentuan tersebut, unsur yang terkandung
dalam suatu keputusan hanya terdiri dari:
1. Tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemeritahan;
dan
3. Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.
Dengan demikian, pengertian keputusan menurut
Undang-Undang Adpem lebih luas diabandingkan dengan
pengertian keputusan menurut Undang-Undang Peratun.
Artinya suatu keputusan tidak harus bersifat konkret dan
individual seperti keputusan (beschikking) pada umumnya,
80
namun dapat saja bersifat umum dan abstrak yang
sebenarnya lebih tepat disebut sebagai peraturan (regeling)
karena karakter norma hukum umum dan abstrak adalah
unsur sekaligus penciri norma hukum pada peraturan
perundang-undangan (regeling). Hal ini dapat mengacaukan
pengklasifikasian produk hukum, karena antara karakter
norma hukum dalam suatu keputusan (beschikkng) dengan
peraturan (regeling) tidak dapat dijadikan pedoman pembeda
lagi antara kedua jenis produk hukum tersebut. Akibatnya
akan berimplikasi pada yurisdiksi Peradilan Tata Usaha
Negara. Dengan kata lain, kompetensi Peratun menjadi lebih
luas, karena tidak hanya berwenang mengadili senketa
terhadap keputusan yang bersifat konkret dan individual saja,
namun juga berwenang mengadili sengketa terhadap
keputusan yang bersifat umum dan abstrak atau lebih tepat
disebut peraturan (regeling).
Apakah suatu produk hukum itu adalah termasuk
dalam golongan jenis keputusan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Adpem sehingga merupakan
kompetensi Peratun atau termasuk jenis peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan
kompetensi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
maka perlu dilakukan pengklasifikasian agar tidak terjadi
kerancuan.
Klasifikasi yang paling gampang yaitu mengikuti
ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi:
Pasal 7 ayat (1) : Jenis hierarki peraturan perundang-
undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
81
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat (1) : Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
Artinya, kecuali jenis peraturan perundang-undangan
tersebut di atas, sekalipun isi norma hukumnya bersifat
umum dan abstrak tetap dikategorikan sebagai keputusan
(beschikking), misalnya tentang Surat Edaran Kepala Daerah
tentang larangan berjualan di tempat terentu. Surat edaran
tersebut mengandung norma hukum yang umum, karena
tidak ditujukan pada orang-orang tertentu, dan juga bersifat
82
abstrak karena tidak ditentukan obyek jualannya. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pengertian keputusan dalam
Undang-Undang Adpem telah mengalami perluasan dari
pengertian keputusan sebelumnya.
B. Syarat Sahnya Keputusan
Suatu keputusan akan memiliki legitimasi yuridis
apabila memenuhi persyaratan formil dan materil. Syarat
formil yaitu persyaratan yang menentukan tata cara atau
prosedur penerbitan dan pemberlakuan keputusan.
Sementara persyaratan materil yaitu persyaratan yang terkait
dengan aspek kewenangan dan isi keputusan.
Syarat formil pembentukan suatu keputusan yaitu:101
1. Prosedur/cara membuat keputusan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan atau asas-asas umum
pemerintahan yang layak. Hal ini perlu diperhatikan
karena keduanya merupakan alat uji keabsahan KTUN.
2. Bentuk keputusan. Bentuk keputusan bukanlah syarat
mutlak, karena nota dinas atau undangan, bahkan memo
juga dianggap sebagai KTUN dan dapat digugat di PTUN.
Namun dalam hal-hal tertentu adakalanya suatu
keputusan ditentukan bentuknya dalam tata naskah dinas,
sehingga harus diikuti.
3. Pemberitahuan keputusan. Setiap keputusan yang
dikeluarkan harus diberitahukan kepada pihak-pihak yang
bersangkutan agar dapat diketahui dan dilaksanakan.
Adapun persyaratan materil suatu keputusan yaitu
meliputi:102
1. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus
berwenang. Bila alat pemerintahan yang membuat
keputusan itu jelas tidak berwenang, maka keputusan itu

101 Ade Kosasih, “Formula Praktis Memahami Teknik & Desain..., Op.Cit.,
Hlm. 13.
102 Ibid, Hlm. 14.
83
menjadi batal mutlak.
2. Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat
keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen
juridische gebreken in de wilsvorning). Kekurangan yuridis
dalam pembentukan dapat terjadi karena
kesesatan/kekhilafan (dwaling), penipuan (berdrog), suap
(omkoping), atau paksaan (dwang).
3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan
dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya
harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan
bilamana prosedur itu ditetapkan dengan tegas dalam
peraturan itu (rechtmatig). Bentuk keputusan ini ada dua
macam, yaitu lisan dan tertulis.
4. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan
tujuan yang hendak dicapai (doelmatig). Harus sesuai
dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig)
berarti menuju sasaran yang tepat.
Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Adpem
menentukan syarat sahnya keputusan meliputi:103
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
Keputusan yang sudah diterbitkan tersebut dinyatakan
sah apabila didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-
undangan dan AUPB.104 Hal ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang berbunyi:

103 Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administras Pemerintahan.
104 Ibid, ayat (2).

84
―Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik‖.
Dengan demikian, jelaslah bahwa syarat sah sekaligus
alat uji keabsahan suatu keputusan adalah peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan,105 dalam hal ini
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah
peraturan yang mengatur masalah SOP. Jika ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas
waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan, maka badan dan/atau pejabat
pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara
lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.106
Apabila dalam batas waktu tersebut, badan dan/atau pejabat
pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut
dianggap dikabulkan secara hukum.107 Tindakan
mengabulkan tanpa ada wujud formil suatu keputusan

105 Ibid, Pasal 53 ayat (1).


106 Ibid, ayat (2).
107 Ibid, ayat (3).

85
tersebut dalam hukum administrasi disebut keputusan fiktif
positif.
Untuk mengukuhkan keputusan fiktif positif tersebut,
pemohon harus mengajukan gugatan permohonan (voluntair)
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar permohonan
pelayanan yang diajukan kepada pemerintah tersebut
dikukuhkan sesuai dengan keinginan pemohon dan
memerintahkan kepada badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang menjadi Termohon segera menerbitkan
KTUN yang dimintakan,108 Sebagaimana diatur dalam Pasal
53 ayat (4) Undang-Undang Adpem yang berbuyi: ―Pemohon
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan‖.
Terkait dengan gugatan voluntair tersebut, Pengadilan
wajib memutuskan permohonan paling lama 21 (dua puluh
satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.109 Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan
untuk melaksanakan putusan Pengadilan tersebut paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan
ditetapkan.110
C. Jenis Keputusan
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-
Undang Adpem, jenis keputusan meliputi keputusan yang
bersifat:
a. konstitutif;
b. deklaratif.
Keputusan konstitutif secara teoritik adalah keputusan
yang melahirkan atau melenyapkan suatu hak atau kewajiban
108 Ade Kosasih, “Analisis Kritis Gugatan Voluntair Terhadap Praktik

Maladministrasi di Bidang Pelayanan Publik”, dalam Jurnal Mizani Vol. 26 No. 1


Februari 2016, Hlm. 113.
109 Pasal 53 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administras Pemerintahan.
110 Ibid, ayat (6).

86
tertentu. Namun menurut Penjelasan Pasal 54 ayat (1)
dijelaskan bahwa keputusan yang bersifat konstitutif adalah
keputusan yang bersifat penetapan mandiri oleh pejabat
pemerintahan. Dengan kata lain, keputusan yang lahir atas
kewenangan yang dimiliki pejabat pemerintahan. Sedangkan
keputusan deklaratif secara teoritik adalah keputusan yang
bersifat mengukuhkan suatu keadaan hukum tanpa
mengubah hak dan/atau kewajiban. Namun menurut
Penjelasan Pasal 54 ayat (1), yang dimaksud dengan
keputusan yang bersifat deklaratif adalah keputusan yang
bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di
tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan
yang bersifat konstitutif.
Keputusan yang bersifat deklaratif berdasarkan
ketentuan Pasal 45 ayat (2) menjadi tanggung jawab pejabat
pemerintahan yang menetapkan keputusan yang bersifat
konstitutif. Misalnya, dalam penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) adalah kewenangan Kepala Dinas Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), Namun sebelum
Kepala Dinas PPTSP menerbitkan IMB harus terlebih dahulu
dilakukan studi kelayakan yang dilakukan oleh Dinas
Pekerjaan UMUM (PU) untuk menentukan apakah bangunan
yang akan dibangun tersebut melanggar tata ruang,
melanggar garis sempadan jalan atau memenuhi standar
keselamatan, dan lain sebagainya. Dalam contoh tersebut,
yang bertanggungjawab atas tindakan hukum penerbitan IMB
tersebut adalah Kepala Dinas PU karena dialah yang
melakukan pembahasan studi kelayakan atas bangunan yang
dimohonkan dan menetapkan dapat diberikan IMB atau
tidak. Sedangkan Kepala Dinas PPTSP hanya menerbitkan
keputusan yang bersifat deklaratif setelah memperoleh
penetapan dari Kepala Dinas PU.

87
Dalam penerbitan suatu keputusan harus diberi alasan
pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi
dasar penetapan keputusan.111 Pemberian alasan tidak
diperlukan jika keputusan tersebut diikuti dengan penjelasan
terperinci, termasuk juga terhadap keputusan yang berasal
dari diskresi.112
Keputusan yang diterbitkan oleh pajabat pemerintahan
yang tidak berwenang akan mengakibatkan keputusan
tersebut tidak sah. Sedangkan keputusan yang tidak melalui
prosedur yang ditentukan dan memuat substansi obyek yang
tidak sesuai dengan maksud diterbitkanna keputusan akan
mengakibatkan keputusan tersebut batal atau dapat
dibatalkan.
D. Kekuatan Berlaku Keputusan
Keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,
kecuali ditentukan lain dalam keputusan atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
keputusan. Mengenai ketentuan berlaku suatu keputusan
dapat dilihat pada diktum surat keputusan. Namun ada juga
suatu keputusan hanya memuat ketentuan mulai berlaku
keputusan tersebut tanpa menyebutkan waktu berakhirnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dilihat peraturan
yang menjadi dasar terbitnya keputusan tersebut. Misalnya
keputusan tentang pengangkatan Anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang tidak menyebutkan masa berakhirnya,
maka dapat dilihat di dalam Undang-Undang Penyelenggara
Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa masa jabatan
Anggota KPU selama 5 (lima) tahun. Dalam hal batas waktu
keberlakuan suatu Keputusan jatuh pada hari Minggu atau
hari libur nasional, batas waktu tersebut jatuh pada hari kerja
berikutnya. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika kepada

111 Ibid, Pasal 55 ayat (1).


112 Ibid, ayat (2) dan ayat (3).
88
pihak yang berkepentingan telah ditetapkan batas waktu
tertentu dan tidak dapat diundurkan.
Batas waktu yang telah ditetapkan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan dalam suatu keputusan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali
untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau
terabaikannya hak warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan
untuk menjamin kepastian hukum, namun kepastian hukum
dapat dikesmpingkan demi kemanfaatan hukum
(doelmatigheids).
Keputusan yang memberikan hak atau keuntungan bagi
warga masyarakat dapat memuat syarat-syarat yang tidak
bertentangan dengan hukum. Syarat-syarat tersebut berupa
ketentuan mulai dan berakhirnya:113
1. Keputusan dengan batas waktu;
2. Keputusan atas kejadian pada masa yang akan datang;
3. Keputusan dengan penarikan;
4. Keputusan dengan tugas; dan/atau
5. Keputusan yang bersifat susulan akibat adanya perubahan
fakta dan kondisi hukum.
Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan
atau diterimanya keputusan oleh pihak yang tercantum dalam
keputusan. Dalam hal terdapat perbedaan waktu
pengumuman oleh penerima keputusan, daya mengikat
keputusan sejak diterimanya. Dalam hal terdapat perbedaan
bukti waktu penerimaan antara pengirim dan penerima
keputusan, mengikatnya keputusan didasarkan pada bukti
penerimaan yang dimiliki oleh penerima keputusan, kecuali
dapat dibuktikan lain oleh pengirim.114

113 Ibid, Pasal 59.


114 Ibid, Pasal 60.
89
Mengenai pengertian ―diumumkan‖ tersebut,
Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Muda Mahkamah
Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 butir VI
memberikan petunjuk bahwa berita adanya Keputusan Tata
Usaha Negara melalui surat kabar dianggap saat mulainya
berlaku tenggang waktu gugatan dengan catatan sebagai
berikut:115
1. Jika peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara itu
menentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
harus diumumkan, maka pemuatannya harus dalam
bentuk pengumuman atau iklan dan tidak cukup jika
hanya sebagai berita saja.
2. Jika peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
menentukan bentuk tertentu tentang pengumuman
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, maka pemuatan
dalam bentuk berita biasa sudah dapat dianggap sebagai
saat mulai diketahui atau diumumkan, asal surat kabar
yang memuat berita Keputusan Tata Usaha Negara yang
dimaksud biasa beredar di tempat tinggal penggugat
berdiam.
Waktu dimulainya daya mengikat suatu keputusan
tersebut akan berpengaruh pada tenggang waktu mengajukan
gugatan ke PTUN, mengingat tenggang waktu mengajukan
gugatan sengketa TUN di PTUN adalah 90 (sembilan puluh)
hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan
badan atau pejabat pemerintahan.116 Namun dalam praktik di

115 R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, Hlm. 107.
116 Lihat Rumusan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


90
pengadilan, apabila seseorang atau badan hukum tidak
mengetahui tentang suatu keputusan yang tidak ditujukan
secara langsung kepadanya namun keputusan tersebut
menimbulkan akibat hukum yang merugikan baginya, maka
walaupun keputusan tersebut telah lama diterbitkan atau
diumumkan, ketentuan 90 (sembilan puluh) hari tersebut
dapat dikesampingkan dan dimulai pada saat pihak yang
dirugikan mengetahuinya. Pertimbanganya untuk melindungi
hak-hak warga masyarakat dari tindakan pemerintah. Hal ini
didasarkan pada ketentuan butir V Surat Ketua Muda
Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara Nomor 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992
yang berbunyi:
―Mengenai tenggang waktu gugatan yang disediakan
bagi seseorang atau badan hukum perdata yang namanya
tidak ditju oleh Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi yang
merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, Mahkamah Agung
telah memberikan petunjuk, yaitu dihitung secara kasuistis
sejak saat seseorang atau badan hukum perdata itu merasa
kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha
Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut‖.117
Dengan adanya petunjuk Mahkamah Agung tersebut,
maka kepentingan pihak yang dirugikan masih mendapat
perlindungan hukum. Sehingga praktik seperti itu dalam
sengketa TUN saat ini sudah menjadi yurisprudensi.
Setiap keputusan wajib disampaikan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan kepada pihak-pihak yang
disebutkan dalam keputusan tersebut. Keputusan dapat
disampaikan kepada pihak yang terlibat lainnya. Tujuannya
adalah agar keputusan tersebut diketahui oleh pihak-pihak
terkait. Dengan demikian, maka pihak-pihak tersebut
117 R. Wiyono, “Hukum Acara..., Loc.Cit.
91
mengetahui hak dan kewajiban serta akibat hukum yang
ditimbulkan dari eputusan tersebut, sehingga dapat
dilaksanakan secara efektif. Kewajiban untuk menyampaikan
keputusan tersebut merupakan salah satu syarat formil yang
tidak boleh diabaikan.
Keputusan dapat disampaikan melalui pos tercatat,
kurir, atau sarana elektronis. Keputusan yang demikian harus
segera disampaikan kepada yang bersangkutan atau paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan. Keputusan yang
ditujukan bagi orang banyak atau bersifat massal
disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
ditetapkan. Keputusan yang diumumkan melalui media
cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya mulai
berlaku paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam
pengiriman, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan harus memberikan bukti tanggal pengiriman
dan penerimaan.118
E. Mekanisme Perubahan, Pencabutan, Penundaan, dan
Pembatalan Keputusan
Adakalanya suatu keputusan pada saat dibuat
mengandung kesalahan, baik yang disebabkan kesalahan
ketik (clerical error) atau kesalahan redaksional, kesalahan
pertimbangan dan kesalahan dasar hukum, misalnya
peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum
ternyata telah mengalami perubahan atau sudah diganti.
Sementara, jika keputusan yang sudah ada tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan keadaan, maka harus segera diubah,
atau dicabut untuk diganti.
Jadi pada prinsipnya, keputusan dapat dilakukan
perubahan apabila terdapat:119

118 Ibid, Pasal 62.


119 Ibid, Pasal 63 ayat (1).
92
1. kesalahan konsideran;
2. kesalahan redaksional;
3. perubahan dasar pembuatan keputusan; dan/atau
4. fakta baru.
Jika terjadi perubahan maka harus mencantumkan
alasan objektif dengan memperhatikan AUPB.120 Keputusan
perubahan hanya dapat ditetapkan oleh pejabat pemerintahan
yang menetapkan surat keputusan dan berlaku sejak
ditetapkannya keputusan perubahan tersebut,121 hal ini
sejalan dengan prinsip contrarius actus. Keputusan perubahan
tersebut dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
ditemukannya alasan perubahan.122 Keputusan perubahan
tidak boleh merugikan warga masyarakat yang ditunjuk
dalam keputusan.123
Selain perubahan, suatu keputusan dapat saja
mengandung cacat yuridis yang dapat menimbulkan dampak
hukum berupa keputusan batal demi hukum (neitigheid van
rechtswege), atau dapat dibatalkan (verneitig baar) atau tidak
sah (neitrechtsgeldig). Cacat yuridis yang dimaksud adalah
tidak terpenuhinya syarat materil suatu keputusan, sehingga
harus dicabut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 64 ayat (1) keputusan
hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
1. wewenang;
2. prosedur; dan/atau
3. substansi.
Persyaratan tersebut merupakan syarat materil suatu
keputusan. Dalam hal keputusan dicabut, harus diterbitkan
keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum

120 Ibid, ayat (2).


121 Ibid, ayat (3).
122 Ibid, ayat (4).
123 Ibid, ayat (5).

93
pencabutan dan memperhatikan AUPB. Keputusan
pencabutan hanya dapat dilakukan oleh:
1. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
2. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
3. Atas perintah Pengadilan.
Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan dan Atasan Pejabat dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan dan
berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah
Pengadilan dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari
kerja sejak perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak
tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
Dalam hal keputusan dibatalkan, harus ditetapkan
Keputusan yang baru dengan mencantumkan dasar hukum
pembatalan dan memperhatikan AUPB.124 Keputusan
pembatalan dapat dilakukan oleh:125
1. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
2. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
3. Putusan Pengadilan.
Keputusan pembatalan yang dilakukan oleh pejabat
pemerintahan dan atasan pejabat dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan pembatalan dan
berlaku sejak tanggal ditetapkan Keputusan pembatalan.
Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah
Pengadilan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan keputusan pencabutan. Pembatalan Keputusan
yang menyangkut kepentingan umum wajib diumumkan
melalui media massa.

124 Pasal 66 ayat (2).


125 Ibid, ayat (3).
94
Menurut ketentuan Pasal 67, ―dalam hal keputusan
dibatalkan, badan dan/atau pejabat pemerintahan menarik
kembali semua dokumen, arsip, dan/atau barang yang
menjadi akibat hukum dari keputusan atau menjadi dasar
penetapan keputusan‖. Pemilik dokumen, arsip, dan/atau
barang tersebut wajib mengembalikannya kepada badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang menetapkan
pembatalan keputusan. Ketentuan ini mengindikasikan
bahwa sifat batal (neitig) adalah ex tunc yaitu perbuatan dan
akibat dari suatu keputusan dianggap tidak pernah ada.126
Keputusan yang sudah ditetapkan tidak dapat ditunda
pelaksanaannya, kecuali jika berpotensi menimbulkan:127
1. Kerugian negara;
2. Kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
3. Konflik sosial.
Larangan penundaan pelaksanaan keputusan tersebut
merupakan manifestasi dari asas praduga keabsahan (het
vermoeden van rechtmatig/persumtion iustae causa). Namun asas
praduga keabsahan tersebut tidak berlaku mutlak jika
berhadapan dengan asas mengedepankan kemanfaatan
hukum (doel matigheids). Adapun Penundaan keputusan dapat
dilakukan oleh:
1. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
dan/atau
2. Atasan Pejabat.128
Penundaan keputusan dapat dilakukan berdasarkan:129
1. Permintaan Pejabat Pemerintahan terkait; atau
2. Putusan Pengadilan.

126 W. Riawan Tjandra, “Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara”,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2011, Hlm. 34.
127 Ibid, Pasal 65 ayat (1).
128 Ibid, ayat (2).
129 Ibid, ayat (3).

95
Keputusan berakhir apabila:
1. habis masa berlakunya;
2. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
3. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan
putusan Pengadilan; atau
4. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal telah berakhir masa berlaku suatu keputusan,
maka keputusan dengan sendirinya menjadi berakhir dan
tidak mempunyai kekuatan hukum (krachteloos). Dalam hal
berakhirnya keputusan, keputusan yang dicabut tidak
mempunyai kekuatan hukum (krachteloos) dan pejabat
pemerintahan menetapkan keputusan pencabutan. Dalam hal
berakhirnya keputusan, pejabat pemerintahan harus
menetapkan Keputusan baru untuk menindaklanjuti
keputusan pembatalan. Dalam hal berakhirnya Keputusan,
Keputusan tersebut berakhir dengan mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan.130
Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengubah
keputusan atas permohonan warga masyarakat terkait, baik
terhadap keputusan baru maupun keputusan yang pernah
diubah, dicabut, ditunda atau dibatalkan dengan alasan.131
Kemampuan badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk
mengubah suatu keputusan dikarenakan badan dan/atau
pejabat pemerintahan memiliki kewenangan yang diberikan
peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melakukan
tindakan hukum sepihak atau bersegi satu.
F. Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan
Akibat hukum keputusan dan/atau tindakan yang tidak
sah (neitrechtsgeldig) menjadi:
1. Tidak mengikat sejak keputusan dan/atau tindakan
tersebut ditetapkan; dan

130 Ibid, Pasal 68 ayat (1) huruf a.


131 Ibid, Pasal 69.
96
2. Segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak
pernah ada.
3. Dalam hal keputusan yang mengakibatkan pembayaran
dari uang negara dinyatakan tidak sah, badan dan/atau
pejabat pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas
negara.
Sedangkan akibat hukum keputusan dan/atau tindakan
yang batal (neitigheid van rechtswege) yaitu:
1. Keputusan tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap
sah sampai adanya pembatalan; dan
2. Keputusan berakhir setelah ada pembatalan.
Keputusan pembatalan dilakukan oleh pejabat
pemerintahan dan/atau atasan pejabat dengan menetapkan
dan/atau melakukan keputusan baru dan/atau tindakan
pejabat pemerintahan atau berdasarkan perintah Pengadilan.
Sedangkan penetapan keputusan baru menjadi kewajiban
pejabat pemerintahan. Kerugian yang timbul akibat
keputusan dan/atau tindakan yang dibatalkan menjadi
tanggung jawab badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib
melaksanakan keputusan dan/atau tindakan yang sah dan
keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan
oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan
yang bersangkutan. Ketentuan mengenai tata cara
pengembalian dan tanggung jawab badan dan/atau pejabat
pemerintahan akibat kerugian yang ditimbulkan dari
keputusan dan/atau tindakan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.132
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
menetapkan keputusan berwenang untuk melegalisasi
salinan/fotokopi dokumen keputusan yang ditetapkan.
Legalisasi salinan/fotokopi dokumen dapat dilakukan oleh
132 Ibid, Pasal 72.
97
badan dan/atau pejabat pemerintahan lain yang diberikan
wewenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau pengabsahan oleh notaris. Legalisasi
keputusan tidak dapat dilakukan jika terdapat keraguan
terhadap keaslian isinya. Tanda Legalisasi atau pengesahan
harus memuat:
1. pernyataan kesesuaian antara dokumen asli dan
salinan/fotokopinya; dan
2. tanggal, tanda tangan pejabat yang mengesahkan, dan cap
stempel institusi atau secara notarial.
Legalisasi salinan/fotokopi dokumen yang dilakukan
oleh badan atau pejabat pemerintahan tidak dipungut biaya.

98
BAB VIII
UPAYA ADMINISTRATIF

A. Istilah dan Unsur-Unsur Upaya Administratif


Istilah Upaya Administratif dalam hukum administrasi
sangat beraneka ragam, antara lain administratief beroep,
oneigenlijke administratief rechtspraak, geschillen administratief
rechtspraak, quasi rechtspraak, (peradilan administrasi tidak
murni).133
Berdasarkan Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat
ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang
tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara.
Prosedur tersebut dilakukan di lingkungan pemerintahan
sendiri dan terdiri dari dua bentuk, yakni banding
administratif dan prosedur keberatan. Sedangkan
berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang
Adpem, upaya administratif adalah proses penyelesaian
sengketa yang dilakukan dalam lingkungan administrasi
pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
dan/atau tindakan yang merugikan.
Intinya, Upaya Administratif adalah sarana hukum
administrasi untuk melindungi warga masyarakat (seseorang
atau badan hukum perdata) dari keputusan dan/atau
tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
merugikan melalui prosedur penyelesaian sengketa yang
dilakukan dalam internal lingkungan pemerintahan.
Penyelesaian suatu sengketa oleh lembaga internal
pemerintahan terhadap keputusan dan/atau tindakan

133 Sjachran Basah, “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi

di Indonesia”, Bandung: Alumni, 1985, Hlm. 60


99
pemerintahan (bukan lembaga mandiri sebagaimana
peradilan) ini disebut sebagai peradilan semu (peseudo
rechtspraak).
Mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan unsur-unsur Upaya Administratif yaitu:134
1. Ada suatu perselisihan yang diajukan oleh seseorang atau
badan hukum perdata, sebagai akibat dikeluarkannya
suatu keputusan tertulis atau karena tidak dikeluarkannya
suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal itu
merupakan wewenang badan/pejabat administrasi
tersebut.
2. Penyelesaian perselisihan atau sengketa di lingkungan
pemerintahan sendiri, baik melalui prosedur keberatan
maupun melalui banding administratif.
3. Adanya hukum, terutama di lingkungan hukum
administrasi negara.
4. Minimal dua pihak dan salah satu pihak adalah
badan/pejabat administrasi.
5. Adanya hukum formil dalam rangka menerapkan hukum
(rechtstoepassing) in conrcreto untuk menjamin ditaatinya
hukum materil.
B. Jenis dan Prosedur Upaya Administratif
Warga masyarakat yang dirugikan terhadap keputusan
dan/atau tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif
kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau
tindakan.135 Pengajuan Upaya Administratif tersebut harus
memperhatikan saluran yang tersedia menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan, mengingat Upaya

134 SF. Marbun, “Peradian Administrasi Negara dan Upaya Administratif di


Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1997, Hlm. 67-68.
135 Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan.
100
Administratif terdiri dari dua jenis yaitu Keberatan dan
Banding Administratif. Ada sengketa administrasi yang
mewajibkan penyelesaian sengketa melalui kedua jenis Upaya
Administratif tersebut (keberatan dan banding administratif),
ada yang hanya menyediakan Upaya Administratif berupa
Keberatan saja misalnya penyelesaian sengketa pajak akibat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak, namun ada juga
sengketa yang hanya menyediakan Upaya Administratif
berupa Banding Administratif saja misalnya pemberhentian
PNS dengan tidak hormat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian, bahkan ada sengketa yang sama sekali tidak
menyediakan Upaya Administratif sehingga dapat
mengajukan langsung gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), misalnya mutasi PNS dalam rangka
penurunan jabatan atau pembebasan jabatan atau dalam
istilah umum sering disebut non job.
Dari kedua jenis Upaya Administratif tersebut, ada
sengketa yang hanya menyediakan upaya keberatan saja, ada
yang hanya menyediakan banding administratif saja dan ada
yang menyediakan upaya kedua-duanya. Namun perlu
diperhatikan di sini adalah, Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 1991 yang memberikan petunjuk kepada
badan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang terdapat upaya administratif.
Petunjuk tersebut yaitu:
1. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara
upaya administratif yang tersedia adalah Keberatan, maka
penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan
gugatan ke Pangadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
2. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
101
mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara
upaya administratif yang tersedia adalah Banding
Administratif saja atau Keberatan dan Banding
Administratif, maka penyelesaian selanjutnya adalah
dengan mengajukan gugatan ke Pangadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN).
Bagi sengketa yang menyediakan Upaya Administratif,
maka upaya yan tersedia (keberatan atau dan/atau banding
administratif) tersebut harus dilalui terlebih dahulu sebelum
mengajukan gugatan ke PTUN/PTTUN. Jika tidak akan
menyebabkan gugatan prematur sehingga tidak dapat
diterima (niet onkelijke verklaard), akibatnya gugatan menjadi
sia-sia.
Upaya Administratif tersebut pada prinsipnya tidak
menunda pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan, kecuali:
ditentukan lain dalam undang-undang atau menimbulkan
kerugian yang lebih besar. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan wajib segera menyelesaikan Upaya
Administratif yang berpotensi membebani keuangan negara.
Berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan yang
dikenakan biaya, pengajuan Upaya Administratif tidak
dibebani biaya.
1. Prosedur Keberatan Administratif
Setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
mengeluarkan suatu keputusan dan/atau melakukan suatu
tindakan berwenang menyelesaikan keberatan yang diajukan
oleh warga masyarakat. Penyelesaian Upaya Administratif
berupa keberatan tersebut berkaitan dengan batal atau tidak
sahnya keputusan dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi dan tuntutan administratif.
Suatu keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
diumumkannya Keputusan tersebut oleh badan dan/atau
102
pejabat pemerintahan. Keberatan tersebut diajukan secara
tertulis kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
menetapkan keputusan.
Dalam hal keberatan tersebut diterima, badan dan/atau
pejabat pemerintahan wajib menetapkan keputusan sesuai
permohonan keberatan. Badan dan/atau pejabat
pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja. Dalam hal badan dan/atau pejabat
pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari tersebut, keberatan dianggap
dikabulkan (keputusan positif). Keberatan yang dianggap
dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan keputusan
sesuai dengan permohonan keberatan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan
wajib menetapkan keputusan sesuai dengan permohonan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang
waktu 10 (sepuluh) hari waktu menyelesaikan keberatan.
2. Banding Administratif
Keputusan keberatan dari badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang dianggap merugikan dapat diajukan
banding dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak keputusan upaya keberatan diterima. Konsekuensi
lebih dari 10 (sepuluh) hari akan menyebabkan keputusan
yang dikeluarkan oleh badan/pejabat pemerintahan yang
dimohonkan keberatan memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkracht), sehingga tidak dapat dimohonkan banding. Jika
tetap diajukan permohonan banding, maka badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang berwenang
memeriksa permohonan banding harus menyatakan
permohonan banding tidak dapat diterima (niet on
kelijkeverklaard). Banding diajukan secara tertulis kepada
Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan dengan
disertai alasan menolak keputusan keberatan.
103
104
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ADMINISTRASI

A. Tanggung Jawab Pembinaan dan Pengembangan


Pembinaan dan pengembangan Administrasi
Pemerintahan dilakukan oleh Menteri yang membidangi
pendayagunaan aparatur negara (Menteri Pendayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dengan
mengikutsertakan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri (Menteri Dalam Negeri). Menteri
Dalam Negeri bertanggungjawab melakukan pembinaan dan
pengembangan administrasi pemerintahan di lingkungan
Pemerintahan Daerah, mulai dari Pemerintahan Daerah
Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sampai
tingkat Pemerintahan Desa.
B. Bentuk-Bentuk Pembinaan dan Pengembangan
Pembinaan dan pengembangan Administrasi
Pemerintahan dilakukan dengan:136
1. melakukan supervisi pelaksanaan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan;
2. mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan;
3. mengembangkan konsep Administrasi Pemerintahan;
4. memajukan tata pemerintahan yang baik;
5. meningkatkan akuntabilitas kinerja pemerintahan;
6. melindungi hak individu atau Warga Masyarakat dari
penyimpangan administrasi ataupun penyalahgunaan
Wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
dan
7. mencegah penyalahgunaan Wewenang dalam proses
pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan.

136 Rumusan Pasal 79 ayat (2).


105
C. Penerapan Sanksi Administratif
Sanksi administratif ringan dijatuhkan kepada pejabat
pemerintahan yang tidak mendasarkan keputusan dan/atau
tindakan pada peraturan perundang-undangan dan AAUPB;
pejabat pemerintahan yang tidak memberikan bantuan
kedinasan dalam keadaan darurat, sementara badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang dimintakan bantuan tersebut
sebenarnya dapat memberikan bantuan. Namun, pejabat
pemerintahan tersebut dapat saja dijatuhi sanksi administratif
yang berat jika keputusan dan/atau tindakannya tersebut
menimbulkan kerugian negara atau perekonomian nasional
atau kerusakan pada lingkungan hidup.
Sanksi administratif tingkat sedang dijatuhkan kepada
pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi yang
berpotensi mengubah alokasi anggaran, menimbulkan
keresahan masyarakat, keadaan darurat atau mendesak
dan/atau terjadi bencana alam; pejabat pemerintahan yang
tidak memiliki SOP dan menerbitkan keputusan dan/atau
melakukan tindakan melebihi waktu 10 (sepuluh) hari sejak
dimohonkan oleh warga masyarakat; pejabat perintahan yang
tidak segera atau tidak sama sekali melaksanakan putusan
pengadilan; tidak mengembalikan pembayaran dari uang
negara yang tidak sah. Sama dengan sanksi administatif
ringan tersebut di atas, seseorang pejabat pemerintahan dapat
saja dijatuhi sanksi administratif yang berat jika keputusan
dan/atau tindakannya tersebut menimbulkan kerugian
negara, perekonomian nasional, atau mengakibatkan
kerusakan pada lingkungan hidup.
Sanksi administratif tingkat berat dijatuhkan kepada
pejabat pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang
(detournament de pouvuir) dan menerbitkan suatu keputusan
dan/atau melakukan tindakan yang mengandung konflik
kepentingan.
106
D. Jenis Sanksi Administratif
Sanksi administratif yang dikategorikan sanksi ringan
yaitu berupa:
1. teguran lisan;
2. teguran tertulis; atau
3. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak
jabatan.
Sanksi administratif yang dikategorikan tingkat sedang
yaitu berupa:
1. pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau ganti rugi
(kompensasi);
2. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak
jabatan; atau
3. pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak
jabatan.
Sedangkan sanksi administratif tingkat berat yaitu
berupa:
1. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya;
2. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan
dan fasilitas lainnya;
3. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di
media massa; atau
4. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan
dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.
Selain sanksi-sanksi tersebut di atas mungkin saja
terdapat sanksi administratif dalam bentuk lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. Pejabat Yang Berwenang Menjatuhkan Sanksi
Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah:
1. Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan;

107
2. Kepala Daerah apabila Keputusan ditetapkan oleh pejabat
daerah;
3. Menteri/pimpinan lembaga apabila Keputusan ditetapkan
oleh pejabat di lingkungannya; dan
4. Presiden apabila keputusan ditetapkan oleh para
menteri/pimpinan lembaga.
Sanksi administratif ringan, sedang atau berat
dijatuhkan dengan mempertimbangkan unsur proporsional
dan keadilan. Sanksi administratif ringan dapat dijatuhkan
secara langsung, sedangkan sanksi administratif sedang atau
berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses
pemeriksaan internal.

108
BAB X
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN TERHADAP FUNGSI DAN PERAN
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara


Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) atau
disebut juga Peradilan Administrasi mencerminkan ciri dari
konsep negara hukum rechtstaat. Adapun unsur negara
hukum rechtstaat menurut Fredrich Julius Stahl mengandung
empat unsur pokok yaitu (1) pengakuan hak-hak dasar
manusia; (2) adanya pembagian kekuasaan (scheiding van
macht); (3) pemerintahan yang berdasarkan hukum dan
perundang-undangan (rechtmatigheds van het bestuur); dan (4)
adanya peradilan administrasi.137 Dengan demikian,
sebenarnya Peratun adalah wujud dari supremasi hukum,
dimana tidak ada satu organ pun dalam suatu negara yang
memiliki kekuasaan tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh
hukum.
Peratun merupakan suatu lembaga kontrol terhadap
tindakan pemerintah, pengawasan yang dilakukan oleh
peradilan administrasi menunjukkan ciri-cirinya yang khusus
dibandingkan dengan lembaga kontrol lainnya. Misalnya,
pengawasan fungsional ataupun pengawasan melekat dalam
tubuh pemerintah (internal control) atau pengawasan politis
oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Ciri-ciri yang
melekat pada lembaga pengawasan di tangan peradilan
administrasi yang dapat disebut sebagai judicial control,
terutama:138

137 Paulus Effendi Lotulung, “Hukum Tata Usaha ...,” Op.Ct., Hlm. 7.
138 Ibid, Hlm.8.
109
1. Bahwa pengawasan itu bersifat external control, karena
dilakukan oleh suatu lembaga yang berada di luar
kekuasaan eksekutif;
2. Bahwa pengawasan itu lebih menekankan pada tindakan
represif, atau lazim disebut control a posteriore; dan
3. Bahwa pengawasan itu bertitik tolak pada segi legalitas
dari tindakan pemerintah yang dikontrol, yaitu apakah
tindakan tersebut bersifat rechtmatig atau tidak.
Sesuai dengan ciri-ciri tersebut di atas, maka dapat
dinilai kadar efisiensi dan efektivitas dari judicial control
apabila dibandingkan dengan lembaga-lembaga kontrol yang
lain terhadap pemerintah.139 Dengan kehadiran Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, yurisdiksi Peratun semakin luas sehingga
keputusan yang menjadi obyek sengketa di Peratun pun
semakin banyak.
B. Perluasan Kompetensi Mengadili Peratun
Kompetensi mengadili atau sering juga disebut
yurisdiksi mengadili adalah kewenangan suatu pengadilan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
atau sengketa tertentu. Hal ini penting, agar suatu
permohonan atau gugatan yang diajukan dapat diperiksa,
diadili, dan diputus oleh pengadilan yang berwenang.
Adapun kompetensi mengadili ini terbagi menjadi dua yaitu
kompetensi absolut (absolute competentie) dan kompetensi
relatf (relative competentie).
Kompetensi absolut adalah kewenangan mutlak suatu
pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus jenis
perkara tertentu yang tidak dapat dan tidak boleh dilakukan
oleh pengadilan lain. Artinya, kriteria kompetensi absolut
ditentukan oleh jenis perkara/sengketa, sedangkan jenis

139 Ibid.
110
perkara/sengketa tersebut ditentukan oleh obyek
perkara/sengketa (objectum litis) dan subyek
perkara/sengketa. Jika obyek perkara/sengketa berupa hak
keperdataan, maka perkara/sengketa tersebut merupakan
kompetensi absolut Peradilan Umum (Pengadilan Negeri),
sedangkan jika obyek perkara/sengketa tersebut berupa
keputusan administrasi maka perkara/sengketa tersebut
merupakan kompetensi Peradilan Administrasi/Peradilan
Tata Usaha Negara. Demikian juga dengan subyek perkara,
misalnya jika pelaku kejahatan atau pihak yang mengeluarkan
keputusan adalah militer maka pengadilan yang berwenang
mengadili adalah pengadilan militer.
Kompetensi relatif adalah kewenangan mengadili badan
pengadilan berdasarkan wilayah hukum yang telah
ditentukan. Pada prinsipnya kompetensi relatif ditentukan
oleh tempat tergugat (actor sequitur forum rei). Sedangkan
dalam hukum perdata, khusus terhadap obyek
sengketa/perkaranya benda tidak bergerak, maka pengadilan
yang berwenang adalah pengadilan tempat benda tidak
bergerak tersebut berada. Sedangkan dalam perkara pidana
yang menentukan kompetensi adalah tempat kejadian perkara
(locus delicti), namun dalam hal-hal tertentu, demi efektivitas
proses peradilan dapat dilimpahkan kepada pengadilan lain.
1. Kompetensi Absolut Peradilan Administrasi
Selama ini yang menjadi kompetensi absolut Peradilan
Administrasi/Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah
keputusan administrasi/keputusan tata usaha negara
(KTUN). Namun dengan hadirnya Undang-Undang Adpem
ini, kompetensi absolut peradilan administrasi semakin luas,
karena tindakan administrasi yang menimbulkan kerugian
pada seseorang atau badan hukum perdata juga dapat
digugat di PTUN. Dengan kata lain, gugatan di PTUN selain
terkait dengan gugatan agar suatu keputusan dinyatakan
111
batal atau tidak sah, juga dapat disertai dengan suatu
tindakan materil yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan dinyatakan batal atau tidak sah. Bahkan dalam
gugatan tersebut juga dapat disertai dengan permohonan
ganti rugi akibat suatu keputusan dan/atau tindakan
administrasi.
Artinya obyek sengketa administrasi juga meliputi
tindakan nyata badan dan/atau pejabat pemerintahan,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (8) Undang-
Undang Adpem yang berbunyi:
―Tindakan administrasi pemerintahan yang selanjutnya
disebut tindakan adalah perbuatan pejabat
pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan‖.
Terhadap tindakan tersebut, tidak hanya dapat
dimintakan pembatalan atau pernyataan tidak sah ke PTUN,
tetapi jika tindakan tersebut kemudian menimbulkan
kerugian materil, juga dapat diajukan gugatan ganti kerugian
ke PTUN. Hal ini mengingat pihak yang melakukan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatig oversdaad) adalah
badan dan/atau pejabat pemerintaan.
Memang di dalam Undang-Undang Peratun telah
mengatur mengenai gugatan ganti rugi, namun dalam
pelaksanaannya ganti rugi selama ini tidak dapat sepenuhnya
diberikan atau dengan kata lain dibatasi dalam jumlah
tertentu. Hal ini dikarenakan obyeknya merupakan hak
keperdataan berupa ganti rugi materil yang nota bene adalah
kewenangan pengadilan perdata (Pengadilan Negeri).
Sehingga terkait dengan gugatan ganti kerugian dalam
sengketa administrasi di Peratun hanya dapat diberikan
paling sedikit Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)

112
dan paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).140 Dengan
demikian, bagi seseorang yang mengalami kerugian yang
besar (di atas Rp. 5.000.000) harus mengajukan gugatan
perdata tersendiri melalui Pengadilan Negeri.
Lahirnya Undang-Undang Adpem ini memberikan
perluasan kewenangan sekaligus efisiensi biaya perkara dan
efektivitas penyelesaian sengketa di Peratun, dimana gugatan
pembatalan atau pernyataan tidak sahnya suatu keputusan
dan/atau tindakan dapat digabung dengan gugatan ganti
kerugian yang jumlahnya tidak dibatasi sebagaimana praktik
selama ini. Dengan kata lain segala tindakan hukum
administrasi pemerintahan yang bersifat melawan hukum
(onrechtmatig oversdaad) baik berupa keputusan maupun
tindakan, baik yang menimbulkan kerugian materil maupun
tidak merupakan kompetensi absolut Peratun.
Selain terjadi perluasan kompetensi absolut Peratun
akibat perluasan obyek sengketa juga terjadi perluasan
kompetensi absolut akibat perluasan subyek sengketa. Selama
ini yang menjadi pihak penggugat dalam sengketa
administrasi selalu orang atau badan hukum perdata, dan
yang menjadi pihak tergugat pastilah badan atau pejabat
administrasi pemerintahan. Hal ini diatur dalam ketentuan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peratun yang berbunyi:
―Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku‖.

140 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan

Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.


113
Lebih tegas lagi Pasal 1 angka 6 menegaskan subyek
tergugat yang berbunyi:
―Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata‖.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 tersebut
kemudian diperjelas oleh ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun yang berbunyi:
―Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi‖.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa
kedudukan badan atau pejabat pemerintahan selalu sebagai
pihak tergugat. Namun dengan kehadiran Undang-Undang
Adpem ini, badan atau pejabat pemerintahan juga dapat
menjadi pihak penggugat terhadap keputusan badan
dan/atau pejabat pemerintahan lainnya dalam hal ini
terhadap keputusan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah
(APIP) tentang keputusan hasil pengawasannya. Hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi:
―Badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk menilai ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan
dan/atau tindakan‖.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa badan
dan/atau pejabat pemerintahan dapat berkedudukan sebagai
penggugat/pemohon dalam gugatan voluntair terhadap
114
keputusan APIP yang menyatakan adanya unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan tersebut.
Ketentuan Undang-Undang Adpem yang memberikan
hak kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan
untuk mengajukan gugatan sebenarnya telah
diakomodir oleh Mahkamah Agung yang menerbitkan
Buku Pedoman Teknis Peradilan Tata Usaha Negara
(Buku II) yang menyebutkan: ―Pejabat TUN dapat
menjadi Penggugat yang bertindak mewakili instansi
Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan
prosedur penerbitan keputusan TUN yang ditujukan
kepada instansi pemerintah yang bersangkutan‖.
Beleid (kebijakan) tersebut muncul sebagai akibat dari
tidak adanya forum pembelaan bagi badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang diduga melakukan penyalahgunaan
wewenang selain di ranah hukum pidana dan yang
bersangkutan merasa menjadi korban kriminalisasi terhadap
kebijakan pejabat publik.141
Paulus Effendi Lotulung mengatakan bahwa pemberian
hak gugat bagi pejabat merupakan suatu urgensi yang
merupakan manifestasi dari penerapan prinsip equality before
the law yang menunjukkan asas persamaan kedudukan bagi
semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam
kualifikasinya sebagai pejabat negara.142 Dengan kata lain,
pejabat bisa berkedudukan sebagai Penggugat ataupun
sebagai Tergugat di forum pengadilan. Dalam konstruksi
hukum Pasal 21 Undang-Undang Adpem, maka pejabat

141Paulus Effendi Lotulung, “Hukum Tata Usaha ...,” Op.Cit., Hlm. 163.
142 Tri Cahya Indra Permana, “Catatan Kritis terhadap Perluasan
Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara”, Yogyakarta: Genta Press,
2016,Hlm. 53.
115
pemerintahan dapat berkedudukan sebagai Pemohon
maupun Termohon143 dalam gugatan voluntair.
2. Kompetensi Relatif Peradilan Administrasi
Kehadiran Undang-Undang Adpem tidak mengubah
kompetensi relatif Peratun. Dengan kata lain kompetensi
relatif Peratun masih berpijak pada asas actor sequitur forum rei
dengan berapa pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal
54 Undang-Undang Peratun yang berbunyi:
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada
pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tegugat lebih dari satu badan atau pejabat tata
usaha negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah
hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
salah satu badan atau pejabat tata usaha negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada
dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman
penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat untuk selanjutnya diteruskan ke pengadilan
yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata
usa negara yang bersangkutan yang diatur dengan
peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau
berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada
pengadilan di jakarta.

143 Ibid, Hlm. 53-54.


116
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
penggugat di luar neger, gugatan diajukan kepada
pengadilan di tempat tergugat.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa
kompetensi relatif peradilan tata usaha negara ditentukan di
mana tempat Tergugat berada (actor sequituur forum rei)
dengan beberapa pengecualian, yaitu penyelesaian sengketa
dalam keadaan tetentu yang diatur dalam peraturan
pemerintah dan penyelesaian sengketa terhadap Tergugat
yang berada di luar negeri.
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Peratun
Penyelesaian sengketa melalui Peratun baru dapat
diajukan setelah upaya administrasi yang tersedia dilalui.
Tanpa mengikuti prosedur tersebut, maka dapat dipastikan
gugatan yang diajukan nanti akan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet onkelijke verklaard) karena prematur (belum
saatnya).
Adapun prosedur pengajuan gugatan di PTUN secara
garis besar yaitu:
1. Pengajuan gugatan diajukan secara tertulis dengan
mengacu pada kompetesi absolut dan relatif dalam
tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya
atau diumumkannya keputusan yang menjadi obyek
sengketa dengan disertai alasan gugatan (beroep gronden).
2. Setelah itu dilakukan penelitian administratif oleh
kepaniteraan untuk memastikan syarat formil surat
gugatan telah terpenuhi.
3. Setelah dipastikan surat gugatan telah memenuhi syarat
formil, maka akan diadakan Rapat Permusyawaratan
(Dismissal Prosedur) yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan
untuk memutuskan gugatan yang diajukan tersebut

117
diterima atau tidak diterima.144 Dismissal prosedur ini
memiliki keterkaitan erat dengan penelitian segi
administratif yang dilakukan oleh kepaniteraan
sebelumnya, yaitu sepanjang terkait dengan syarat formil
surat gugatan, namun karena Penitera tidak berwenang
untuk memutus menerima atau menolak pendaftaran
gugatan, maka hal tersebut diputus dalam dismissal
prosedur oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
gugatan tidak dapat diterima (niet onkelijke verklaard) atau
tidak berdasar (niet gegrond).
4. Tahap yang masih harus dilalui sebelum sidang di
pengadilan dimulai adalah tahap pemeriksaan persiapan.
Tahap pemeriksaan pesiapan adalah tahapan yang
dilakukan untuk mempermudah atau memperlancar
proses persidangan nanti. Dalam tahap ini hakim bersifat
aktif (dominus litis) dalam memberikan nasihat dan
petunjuk kepada pihak, khususnya penggugat agar
menyempurnakan surat gugatan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari. Di samping itu, hakim juga berwenang
memerintahkan tergugat agar memberikan keterangan atau
data yang dibutuhkan dalam melengkapi atau
menyempurnakan gugatan oleh penggugat.
5. Setelah tahapan pemeriksaan pendahuluan tersebut di atas
dilalui, maka barulah pemeriksaan sengketa di muka
pengadilan dapat dilakukan. Adapun pemeriksaan di
muka pengadilan dapat dilakukan dengan acara cepat,145

144 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata

Usaha Negara II”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, Hlm. 283.
145 Acara cepat adalah acara pemeriksaan yang dipercepat dengan

memangkas beberapa tahapan termasuk tenggang waktu dan acara yang


disederhanakan. Alasan acara cepat karena didasarkan atas kepentingan
penggugat yang mendesak atau darurat. Dalam acara cepat ditiadakan
pemeriksaan pendahuluan (dismissal prosedur dan pemeriksaan persiapan).
Tenggang waktu pemeriksaan mulai dari pendaftaran sampai dengan
118
acara biasa dan acara singkat.146 Dengan tahapan sebagai
berkut: pembacaan surat gugatan; jawaban; replik; duplik;
pemeriksaan alat bukti atau pembuktian; kesimpulan para
pihak; dan putusan. Setelah putusan dibacakan, hakim
memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai
haknya untuk menerima atau menolak putusan hakim. Jika
menolak para pihak berhak mengajukan upaya hukum
dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender untuk banding
atau kasasi.
D. Putusan dan Eksekusi
Putusan akhir PTUN terdiri dari 4 (empat) jenis, yaitu:
1. Putusan yang menyatakan gugatan gugur. Putusan ini
dijatuhkan jika penggugat tidak hadir di persidangan
setelah dipanggil secara patut. Terhadap putusan ini masih
dapat diajukan kembali sebelum lewat tenggang waktu 90
(sembilan puluh) hari.
2. Putusan yang menyatakan gugatan ditolak. Jika putusan
menyatakan gugatan ditolak berarti keputusan yang
menjadi obyek sengketa sah atau tidak batal. Terhadap
putusanan ini dapat diajukan banding.
3. Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima,
yaitu putusan yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat
sah (syarat formil dan materil) suatu gugatan. Terhadap
putusan ini masih dapat diajukan kembali sebelum lewat
tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari.
4. Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan. Akibatnya
keputusan dan/atau tindakan yang menjadi obyek
sengketa dinyatakan batal atau tidak sah. Terhadap
putusan ini tergugat dapat melakukan upaya hukum

pembuktian selesai tidak lebih dari 35 (tiga puluh lima) hari. Pemeriksaan
disederhanakan dengan hakim tunggal (unus judex).
146 Acara singkat dipergunakan untuk memeriksa gugatan perlawanan

yang diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal.


119
selama masih dalam jangka waktu yang ditentukan 14
(empat belas) hari.
Putusan tersebut dapat berusifat condemnatoir
(menghukum), bersifat constitutief (menimbulkan atau
melenyapkan suatu keadaan), atau bersifat declaratief (hanya
mengukuhkan keadaan yang sudah ada.
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) memiliki kekuatan eksekutorial.
Berbeda dengan kekuatan eksekutorial putusan perdata atau
pidana yang dapat dipaksakan oleh pengadilan baik melalui
juru sita atau jaksa, maka kekuatan eksekutorial putusan
PTUN sangat bergantung pada kesadaran hukum yang
dimiliki oleh pejabat pemerintahan. Artinya pejabat
pemerintahan sangat dituntut untuk mentaati putusan PTUN
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) sesuai dengan prinsip self respect atau self obidence.
Menurut Umar Dani, Model eksekusi yang demikian disebut
juga model eksekusi mengambang karena tidak ada upaya
paksa dari pengadilan untuk melaksanakan putusannya.147
Jika pejabat pemerintahan yang bersangkutan tidak taat pada
putusan PTUN maka barulah upaya paksa yang bersifat
hierarkis dari pejabat atau badan yang lebih tinggi.
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya
paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif.148 (5) Pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak

147 Umar Dani, “Putusan Pengadilan Non-Executable: Proses dan Dinamika


dalam Konteks PTUN”, Yogyakarta: Genta Press, 2015, Hlm. 5.
148 Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan


Tata Usaha Negara.
120
setempat oleh panitera.149 Di samping diumumkan pada
media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan
pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.150

149 Ibid, ayat (5).


150 Ibid, ayat (6).
121
122
DAFTAR PUSTAKA

Ade Kosasih, ―Formula Praktis Memahami Teknik dan Desain


Legal Drafting”, Bogor: Herya Media, 2015.

Amrah Muslimin, “Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-


Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi”, Bandung: Alumni, 1982.

Daliyo J.B, dkk, “Pengantar Ilmu Hukum”, Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 1994.

Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara”, Jilid I, Jakarta: Sinar
Harapan, 1991.

Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara”, Jilid II, Jakarta: Sinar
Harapan, 1993.

Irfan Fachruddin, “Pengawasan Peradilan Administrasi


Terhadap Tindakan Pemerintah”, Bandung: Alumni,
2004.

Khrisna D. Darumurti, “Kekuasaan Diskresi Pemerintah”,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.

Lutfi Effendi, “Pokok-Pokok Hukum Administrasi”, Malang:


Bayu Media, 2008.

Marbun SF., dan Moh. Mahfud MD, “Pokok-Pokok Hukum


Administrasi Negara”, Yogyakarta: Liberty, 2006.

123
Marbun, SF., “Peradilan Administrasi Negara dan Upaya
Administratif di Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Marbun, SF., “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak”,


Yogyakarta: UII Press, 2014.

Muchsan, “Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi


Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia”,
Yogyakarta: Liberty, 1997.

Padmo Wahyono, “Pembangunan Hukum di Indonesia”, Jakarta:


Ind Hill Co, 1989.

Paulus Effendie Lotulung, “Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi


Hukum terhadap Pemerintah”, Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 1986.

Paulus Effendi Lotulung, “Hukum Tata Usaha Negara dan


Kekuasaan”, Jakarta: Salemba Humanika, 2013.

Philipus M. Hadjon, “Pengantar Hukum Perizinan”, Surabaya:


Yuridika, 1993.

Prajudi Atmosudirdjo, “Hukum Administrasi Negara”,


Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Riawan Tjandra, W., “Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha


Negara”, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2011.

Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Rajawali


Press, 2007.

124
Sjachran Basah, “Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia”, Bandung: Alumni, 1985.

Sjachran Basah, “Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak


Adminisrasi Negara”, Bandung: Alumni, 1992.

Sri Pudyatmoko, Y., “Perizinan: Problem dan Upaya


Pembenahan”, Jakarta: Grasindo, 2009.

Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”,


Yogyakarta: Liberty, 2003.

Tri Cahya Indra Permana, “Catatan Kritis terhadap Perluasan


Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara”,
Yogyakarta: Genta Press, 2016.

Wiyono, R., “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”,


Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Umar Dani, “Putusan Pengadilan Non-Executable: Proses dan


Dinamika dalam Konteks PTUN”, Yogyakarta: Genta
Press, 2015.

Utrecht, E., “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”,


Surabaya: Pustaka Tinta Emas, 1988.

Artikel:

Ade Kosasih, “Analisis Kritis Gugatan Voluntair Terhadap


Praktik Maladministrasi di Bidang Pelayanan Publik”,
dalam Jurnal Mizani Vol. 26 No. 1 Februari 2016.

125
Bagir Manan, “Peraturan Kebijakan”, Majalah Hukum Varia
Peradilan Tahun Ke XXIII No. 277 Desember 2008.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Dasar 1945.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.

Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.

Undang-Undang Nomor 12 Thun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti


Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan
Tata Usaha Negara.
126
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur
Penyalahgunaan Wewenang.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan


Reformasi Birokrasi Nomor 35 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur
Administrasi Pemerintahan, huruf C. Pengertian.

127
128
LAMPIRAN

129
130
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30
TAHUN 2014
TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan,
badan dan/atau pejabat pemerintahan
dalam menggunakan wewenang harus
mengacu pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. bahwa untuk menyelesaikan
permasalahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pengaturan mengenai
administrasi pemerintahan diharapkan
dapat menjadi solusi dalam memberikan
pelindungan hukum, baik bagi warga
masyarakat maupun pejabat
pemerintahan;
c. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, khususnya bagi pejabat
pemerintahan, undangundang tentang
administrasi pemerintahan menjadi
landasan hukum yang dibutuhkan guna
mendasari keputusan dan/atau tindakan
pejabat pemerintahan untuk memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan;
131
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Administrasi
Pemerintahan;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG–UNDANG TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan
Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi
pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan,
dan pelindungan.
3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang
melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan
pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

132
4. Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang
mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata
pemerintahan yang lebih tinggi.
5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut
Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
bertindak dalam ranah hukum publik.
7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut
Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan
adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
8. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya
disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan.
9. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
hal peraturan perundangundangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
10. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran
pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi
pemerintahan yang membutuhkan.
133
11. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang
dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau
memanfaatkan media elektronik.
12. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan mengenai keabsahan suatu salinan surat
atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang
dinyatakan sesuai dengan aslinya.
13. Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan
Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat
Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang
tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang
berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
14. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat
Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam
penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi
netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan
yang dibuat dan/atau dilakukannya.
15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum
perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau
Tindakan.
16. Upaya Administratif adalah proses penyelesaian sengketa
yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi
Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
dan/atau Tindakan yang merugikan.
17. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang
selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang
digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi
Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan
dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.

134
19. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan
Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
20. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan
fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan
pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
21. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan
Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian
terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
Undang-Undang.
23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
sepenuhnya kepada penerima delegasi.
24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada
pada pemberi mandat.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

135
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Maksud
Pasal 2
Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan
dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan
pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi
Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemerintahan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Tujuan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan
adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga
Masyarakat dan aparatur pemerintahan;
f. melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan
dan menerapkan AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
Warga Masyarakat.
BAB III
RUANG LINGKUP DAN ASAS
Bagian Kesatu Ruang Lingkup
Pasal 4

136
(1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan
dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam
lingkup lembaga eksekutif;
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam
lingkup lembaga yudikatif;
c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam
lingkup lembaga legislatif; dan
d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang
menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan yang
disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
(2) Pengaturan Administrasi Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup tentang hak dan
kewajiban pejabat pemerintahan, kewenangan
pemerintahan, diskresi, penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan,
keputusan pemerintahan, upaya administratif, pembinaan
dan pengembangan administrasi pemerintahan, dan
sanksi administratif.
Bagian Kedua Asas
Pasal 5
Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a.
asas legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi
manusia; dan c. AUPB.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PEJABAT PEMERINTAHAN
Pasal 6

137
(1) Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan
Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau
Tindakan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melaksanakan Kewenangan yang dimiliki
berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan dan AUPB;
b. menyelenggarakan aktivitas pemerintahan
berdasarkan Kewenangan yang dimiliki;
c. menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau
elektronis dan/atau menetapkan Tindakan;
d. menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah,
mengganti, mencabut, menunda, dan/atau
membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
e. menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;
f. mendelegasikan dan memberikan Mandat kepada
Pejabat Pemerintahan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundanganundangan;
g. menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas
untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif
berhalangan;
h. menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
i. memperoleh perlindungan hukum dan jaminan
keamanan dalam menjalankan tugasnya;
j. memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan
tugasnya;
k. menyelesaikan Sengketa Kewenangan di lingkungan
atau wilayah kewenangannya;
l. menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan
masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang
dibuatnya; dan

138
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada bawahan
yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 7
(1) Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk
menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan,
kebijakan pemerintahan, dan AUPB.
(2) Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:
a. membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai
dengan kewenangannya;
b. mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan
Keputusan dan/atau Tindakan;
d. mematuhi Undang-Undang ini dalam menggunakan
Diskresi;
e. memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta
bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan tertentu;
f. memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat
untuk didengar pendapatnya sebelum membuat
Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang
berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang
menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan
ditetapkan dan/atau dilakukan;
h. menyusun standar operasional prosedur pembuatan
Keputusan dan/atau Tindakan;

139
i. memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi
Pemerintahan, serta membuka akses dokumen
Administrasi Pemerintahan kepada Warga
Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang;
j. menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga
Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan
dalam keberatan/banding; k. melaksanakan
Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan
Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau
dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang
bersangkutan, atau Atasan Pejabat; dan
k. mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
BAB V
KEWENANGAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang berwenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menggunakan Wewenang wajib berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB.
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Kewenangan dalam menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Bagian Kedua
Peraturan Perundang-undangan
Pasal 9

140
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB.
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan
ketentuan peraturan perundangundangan yang menjadi
dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Bagian Ketiga
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Pasal 10
(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini
meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
141
h. pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan sepanjang
dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bagian Keempat
Atribusi, Delegasi, dan Mandat
Paragraf 1
Umum
Pasal 11
Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau
Mandat.
Paragraf 2
Atribusi
Pasal 12
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Atribusi apabila:
a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;
b. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak
ada; dan
c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab
Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan.
(3) Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali
diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Paragraf 3
Delegasi

142
Pasal 13
(1) Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Wewenang melalui Delegasi apabila:
a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya;
b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan
c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya
telah ada.
(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih
lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundangundangan
menentukan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan
ketentuan:
a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum
Wewenang dilaksanakan;
b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu
sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

143
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat
menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab
Kewenangan berada pada penerima Delegasi.
Paragraf 4
Mandat
Pasal 14
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh
Mandat apabila:
a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari
pejabat definitif yang berhalangan tetap.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima
Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat.
(5) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang
telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
144
(6) Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Mandat
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang memberikan Mandat dapat menarik kembali
Wewenang yang telah dimandatkan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil
Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis
yang berdampak pada perubahan status hukum pada
aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
(8) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Mandat tanggung jawab Kewenangan
tetap pada pemberi Mandat.
Bagian Kelima
Pembatasan Kewenangan
Pasal 15
(1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dibatasi oleh:
a. masa atau tenggang waktu Wewenang;
b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang telah
berakhir masa atau tenggang waktu Wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
dibenarkan mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.
Bagian Keenam
Sengketa Kewenangan
Pasal 16
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mencegah
terjadinya Sengketa Kewenangan dalam penggunaan
Kewenangan.
(2) Dalam hal terjadi Sengketa Kewenangan di lingkungan
pemerintahan, kewenangan penyelesaian Sengketa
145
Kewenangan berada pada antaratasan Pejabat
Pemerintahan yang bersengketa melalui koordinasi untuk
menghasilkan kesepakatan, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan maka kesepakatan tersebut mengikat para
pihak yang bersengketa sepanjang tidak merugikan
keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan
hidup.
(4) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, penyelesaian Sengketa Kewenangan di
lingkungan pemerintahan pada tingkat terakhir
diputuskan oleh Presiden.
(5) Penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang melibatkan lembaga negara
diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
(6) Dalam hal Sengketa Kewenangan menimbulkan kerugian
keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan
hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh Larangan Penyalahgunaan Wewenang
Pasal 17
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18

146
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya
Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;
dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang
diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang
diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18
ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c

147
dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b
dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji
dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Pasal 20
(1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern
pemerintah.
(2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. tidak terdapat kesalahan;
b. terdapat kesalahan administratif; atau
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan
kerugian keuangan negara.
(3) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa
terdapat kesalahan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam
bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa
terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan
kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian
keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil
pengawasan.
(5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dibebankan kepada Badan Pemerintahan,
148
apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c terjadi bukan karena adanya unsur
penyalahgunaan Wewenang.
(6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan,
apabila kesalahan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan Wewenang.
Pasal 21
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam
Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja sejak permohonan diajukan.
(4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus
permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan banding diajukan.
(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan
mengikat.
BAB VI
DISKRESI
Bagian Kesatu
Umum
149
Pasal 22
(1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan yang berwenang.
(2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan
bertujuan untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan
tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Bagian Kedua
Lingkup Diskresi
Pasal 23
Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:
a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan yang
memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak
jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang
lebih luas.
Bagian Ketiga
Persyaratan Diskresi
Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus
memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2);

150
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Pasal 25
(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi
anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan
Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan
ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta
menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani
keuangan negara.
(3) Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan
masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi
bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib
memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum
penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan
Pejabat setelah penggunaan Diskresi.
(4) Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila
penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal
23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan
masyarakat.
(5) Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan
Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d
yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak,
dan/atau terjadi bencana alam.

151
Bagian Keempat
Prosedur Penggunaan Diskresi
Pasal 26
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) wajib
menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak
administrasi dan keuangan.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan
Pejabat.
(3) Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas
permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan
persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan.
(4) Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus
memberikan alasan penolakan secara tertulis.
Pasal 27
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) wajib
menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak
administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan
keuangan negara.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara lisan atau tertulis kepada Atasan
Pejabat.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum
penggunaan Diskresi.
Pasal 28
(1) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (5) wajib
152
menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak
yang ditimbulkan.
(2) Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan
secara tertulis kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan
Diskresi.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung
sejak penggunaan Diskresi.
Pasal 29
Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 dikecualikan dari
ketentuan memberitahukan kepada Warga Masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g.
Bagian Kelima
Akibat Hukum Diskresi
Pasal 30
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui
Wewenang apabila:
a. bertindak melampaui batas waktu berlakunya
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. bertindak melampaui batas wilayah berlakunya
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27,
dan Pasal 28.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
Pasal 31
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan
Wewenang apabila:

153
a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan
Wewenang yang diberikan;
b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27,
dan Pasal 28; dan/atau
c. bertentangan dengan AUPB.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan.
Pasal 32
(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan
sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang
tidak berwenang.
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.
BAB VII
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
(1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang bersifat mengikat dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau
dicabutnya Keputusan atau dihentikannya Tindakan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(3) Pencabutan Keputusan atau penghentian Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan
oleh:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan; atau

154
b. Atasan Badan dan/atau Atasan Pejabat yang
mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan apabila
pada tahap penyelesaian Upaya Administratif.
Bagian Kedua
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
Pasal 34
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan terdiri atas: a. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat
penyelenggaran pemerintahan terjadi; atau b. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum
tempat seorang individu atau sebuah organisasi berbadan
hukum melakukan aktivitasnya.
(2) Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka
Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk
Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk
bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas.
(3) Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas serta
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan
Kewenangan lintas Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dilaksanakan melalui kerja sama antar-
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang terlibat,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga Bantuan Kedinasan
Pasal 35
155
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang meminta dengan syarat:
a. Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang meminta bantuan;
b. penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas
yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan;
c. dalam hal melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk
melaksanakannya sendiri;
d. apabila untuk menetapkan Keputusan dan melakukan
kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan
berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau
e. jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat
dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas
yang besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut.
(2) Dalam hal pelaksanaan Bantuan Kedinasan menimbulkan
biaya, maka beban yang ditimbulkan ditetapkan bersama
secara wajar oleh penerima dan pemberi bantuan dan
tidak menimbulkan pembiayaan ganda.
Pasal 36
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat menolak
memberikan Bantuan Kedinasan apabila:
a. mempengaruhi kinerja Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan pemberi bantuan;
156
b. surat keterangan dan dokumen yang diperlukan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan bersifat rahasia; atau
c. ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
memperbolehkan pemberian bantuan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menolak
untuk memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memberikan alasan penolakan secara
tertulis.
(3) Jika suatu Bantuan Kedinasan yang diperlukan dalam
keadaan darurat, maka Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib memberikan Bantuan Kedinasan.
Pasal 37
Tanggung jawab terhadap Keputusan dan/atau Tindakan
dalam Bantuan Kedinasan dibebankan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang membutuhkan Bantuan
Kedinasan, kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan dan/atau kesepakatan tertulis
kedua belah pihak.
Bagian Keempat Keputusan Berbentuk Elektronis
Pasal 38
(1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat
membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
(2) Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau
disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak
disampaikan secara tertulis.
(3) Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum
sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak
diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang
bersangkutan.

157
(4) Jika Keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan,
maka yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk
elektronis.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan dalam
bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis,
yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis.
(6) Keputusan yang mengakibatkan pembebanan keuangan
negara wajib dibuat dalam bentuk tertulis.
Bagian Kelima
Izin, Dispensasi, dan Konsesi
Pasal 39
(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat
menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan
berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Izin apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan
dilaksanakan; dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
yang memerlukan perhatian khusus dan/atau
memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Dispensasi apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan
dilaksanakan; dan
b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
(4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Konsesi apabila:
a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan
dilaksanakan;
158
b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
dan/atau swasta; dan
c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan
yang memerlukan perhatian khusus.
(5) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh
pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan,
kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundangundangan.
(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan
kerugian negara.
BAB VIII
PROSEDUR ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Para Pihak
Pasal 40
Pihak-pihak dalam prosedur Administrasi Pemerintahan
terdiri atas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; dan
b. Warga Masyarakat sebagai pemohon atau pihak yang
terkait.
Bagian Kedua
Pemberian Kuasa
Pasal 41
(1) Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 huruf b dapat memberikan kuasa tertulis kepada 1
(satu) penerima kuasa untuk mewakili dalam prosedur
Administrasi Pemerintahan, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang.

159
(2) Jika Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menerima
lebih dari satu surat kuasa untuk satu prosedur
Administrasi Pemerintahan yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan mengembalikan kepada pemberi kuasa
untuk menentukan satu penerima kuasa yang berwenang
mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam prosedur
Administrasi Pemerintahan.
(3) Penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dapat menunjukkan surat pemberian kuasa secara
tertulis yang sah kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam prosedur Administrasi
Pemerintahan.
(4) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya memuat:
a. judul surat kuasa;
b. identitas pemberi kuasa;
c. identitas penerima kuasa;
d. pernyataan pemberian kuasa khusus secara jelas dan
tegas;
e. maksud pemberian kuasa;
f. tempat dan tanggal pemberian kuasa;
g. tanda tangan pemberi dan penerima kuasa; dan
h. materai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Pencabutan surat kuasa kepada penerima kuasa hanya
dapat dilakukan secara tertulis dan berlaku pada saat
surat tersebut diterima oleh Badan atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf b tidak dapat bertindak sendiri dan
tidak memiliki wakil yang dapat bertindak atas namanya,
maka Badan atau Pejabat Pemerintahan dapat menunjuk

160
wakil dan/atau perwakilan pihak yang terlibat dalam
prosedur Administrasi Pemerintahan.
Bagian Ketiga
Konflik Kepentingan
Pasal 42
(1) Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki Konflik
Kepentingan dilarang menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Dalam hal Pejabat Pemerintahan memiliki Konflik
Kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka
Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Atasan Pejabat atau pejabat lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas:
a. Presiden bagi menteri/pimpinan lembaga dan kepala
daerah;
b. menteri/pimpinan lembaga bagi pejabat di
lingkungannya;
c. kepala daerah bagi pejabat daerah; dan d. atasan
langsung dari Pejabat Pemerintahan.
Pasal 43
(1) Konflik Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 terjadi apabila dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan
dilatarbelakangi:
a. adanya kepentingan pribadi dan/atau bisnis;
b. hubungan dengan kerabat dan keluarga;
c. hubungan dengan wakil pihak yang terlibat;
d. hubungan dengan pihak yang bekerja dan mendapat
gaji dari pihak yang terlibat;
e. hubungan dengan pihak yang memberikan
rekomendasi terhadap pihak yang terlibat; dan/atau
161
f. hubungan dengan pihak-pihak lain yang dilarang oleh
ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal terdapat Konflik Kepentingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan wajib memberitahukan kepada atasannya.
Pasal 44
(1) Warga Masyarakat berhak melaporkan atau memberikan
keterangan adanya dugaan Konflik Kepentingan Pejabat
Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Laporan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Atasan Pejabat yang
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan dengan mencantumkan identitas jelas pelapor
dan melampirkan bukti-bukti terkait.
(3) Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memeriksa, meneliti, dan menetapkan Keputusan
terhadap laporan atau keterangan Warga Masyarakat
paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya
laporan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Dalam hal Atasan Pejabat menilai terdapat Konflik
Kepentingan, maka Atasan Pejabat wajib menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) wajib dilaporkan kepada atasan Atasan Pejabat dan
disampaikan kepada pejabat yang menetapkan
Keputusan paling lama 5 (lima) hari kerja.
Pasal 45
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 menjamin dan
bertanggung jawab terhadap setiap Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukannya.
162
(2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan karena adanya Konflik Kepentingan dapat
dibatalkan.
Bagian Keempat
Sosialisasi bagi Pihak yang Berkepentingan
Pasal 46
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan
sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai
dasar hukum, persyaratan, dokumen, dan fakta yang
terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan yang dapat menimbulkan
pembebanan bagi Warga Masyarakat.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan klarifikasi
dengan pihak yang terkait secara langsung.
Pasal 47
Dalam hal Keputusan menimbulkan pembebanan bagi Warga
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1),
maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
memberitahukan kepada pihakpihak yang bersangkutan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali
diatur lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal
47 tidak berlaku apabila:
a. Keputusan yang bersifat mendesak dan untuk melindungi
kepentingan umum dengan mempertimbangkan rasa
kemanusiaan dan keadilan;
b. Keputusan yang tidak mengubah beban yang harus dipikul
oleh Warga Masyarakat yang bersangkutan; dan/atau
c. Keputusan yang menyangkut penegakan hukum.
Bagian Kelima
163
Standar Operasional Prosedur
Pasal 49
(1) Pejabat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya
wajib menyusun dan melaksanakan pedoman umum
standar operasional prosedur pembuatan Keputusan.
(2) Standar operasional prosedur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tertuang dalam pedoman umum standar
operasional prosedur pembuatan Keputusan pada setiap
unit kerja pemerintahan.
(3) Pedoman umum standar operasional prosedur
pembuatan Keputusan wajib diumumkan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada publik melalui
media cetak, media elektronik, dan media lainnya.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Dokumen Administrasi Pemerintahan
Pasal 50
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, sebelum
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan, harus memeriksa dokumen dan kelengkapan
Administrasi Pemerintahan dari pemohon.
(2) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan menentukan sifat, ruang lingkup
pemeriksaan, pihak yang berkepentingan, dan dokumen
yang dibutuhkan untuk mendukung penetapan dan/atau
pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
permohonan Keputusan dan/atau Tindakan diajukan dan
telah memenuhi persyaratan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pemohon,
permohonan diterima.
(4) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
permohonan Keputusan dan/atau Tindakan diajukan dan
164
tidak memenuhi persyaratan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib memberitahukan kepada pemohon,
permohonan ditolak.
Bagian Ketujuh
Penyebarluasan Dokumen Administrasi Pemerintahan
Pasal 51
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib membuka
akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap
Warga Masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
(2) Hak mengakses dokumen Administrasi Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, jika
dokumen Administrasi Pemerintahan termasuk kategori
rahasia negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak
ketiga.
(3) Warga Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kewajiban untuk tidak melakukan
penyimpangan pemanfaatan informasi yang diperoleh.
BAB IX
KEPUTUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Syarat Sahnya Keputusan
Pasal 52
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-
undangan dan AUPB.
Pasal 53

165
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima
secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap
dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan
untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Pasal 54
(1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:
a. konstitutif; atau
b. deklaratif.
(2) Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung
jawab Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan
yang bersifat konstitutif.
166
Pasal 55
(1) Setiap Keputusan harus diberi alasan pertimbangan
yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar
penetapan Keputusan.
(2) Pemberian alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diperlukan jika Keputusan tersebut diikuti dengan
penjelasan terperinci.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berlaku juga dalam hal pemberian alasan terhadap
keputusan Diskresi.
Pasal 56
(1) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a
merupakan Keputusan yang tidak sah.
(2) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b
dan huruf c merupakan Keputusan yang batal atau dapat
dibatalkan.
Bagian Kedua
Berlaku dan Mengikatnya Keputusan
Paragraf 1
Berlakunya Keputusan
Pasal 57
Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan, kecuali
ditentukan lain dalam Keputusan atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan.
Pasal 58
(1) Setiap Keputusan harus mencantumkan batas waktu
mulai dan berakhirnya Keputusan, kecuali yang
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Batas waktu berlakunya Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam ketentuan
167
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Keputusan dan/atau dalam Keputusan itu sendiri.
(3) Dalam hal batas waktu keberlakuan suatu Keputusan
jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional, batas
waktu tersebut jatuh pada hari kerja berikutnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
berlaku jika kepada pihak yang berkepentingan telah
ditetapkan batas waktu tertentu dan tidak dapat
diundurkan.
(5) Batas waktu yang telah ditetapkan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam suatu Keputusan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk
menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau
terabaikannya hak Warga Masyarakat.
Pasal 59
(1) Keputusan yang memberikan hak atau keuntungan bagi
Warga Masyarakat dapat memuat syarat-syarat yang
tidak bertentangan dengan hukum.
(2) Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa ketentuan mulai dan berakhirnya:
a. Keputusan dengan batas waktu;
b. Keputusan atas kejadian pada masa yang akan datang;
c. Keputusan dengan penarikan;
d. Keputusan dengan tugas; dan/atau
e. Keputusan yang bersifat susulan akibat adanya
perubahan fakta dan kondisi hukum.
Paragraf 2
Mengikatnya Keputusan
Pasal 60

168
(1) Keputusan memiliki daya mengikat sejak diumumkan
atau diterimanya Keputusan oleh pihak yang tersebut
dalam Keputusan.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan waktu pengumuman oleh
penerima Keputusan, daya mengikat Keputusan sejak
diterimanya.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan bukti waktu penerimaan
antara pengirim dan penerima Keputusan, mengikatnya
Keputusan didasarkan pada bukti penerimaan yang
dimiliki oleh penerima Keputusan, kecuali dapat
dibuktikan lain oleh pengirim.
Bagian Ketiga
Penyampaian Keputusan
Pasal 61
(1) Setiap Keputusan wajib disampaikan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada pihak-pihak
yang disebutkan dalam Keputusan tersebut.
(2) Keputusan dapat disampaikan kepada pihak yang terlibat
lainnya.
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memberikan kuasa secara tertulis kepada pihak lain
untuk menerima Keputusan.
Pasal 62
(1) Keputusan dapat disampaikan melalui pos tercatat, kurir,
atau sarana elektronis.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
segera disampaikan kepada yang bersangkutan atau
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan.
(3) Keputusan yang ditujukan bagi orang banyak atau
bersifat massal disampaikan paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak ditetapkan.

169
(4) Keputusan yang diumumkan melalui media cetak, media
elektronik, dan/atau media lainnya mulai berlaku paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak ditetapkan.
(5) Dalam hal terjadi permasalahan dalam pengiriman
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus
memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.
Bagian Keempat
Perubahan, Pencabutan, Penundaan, dan Pembatalan
Keputusan
Paragraf 1
Perubahan
Pasal 63
(1) Keputusan dapat dilakukan perubahan apabila terdapat:
a. kesalahan konsideran;
b. kesalahan redaksional;
c. perubahan dasar pembuatan Keputusan; dan/atau
d. fakta baru.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
mencantumkan alasan objektif dan memperhatikan
AUPB.
(3) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat ditetapkan oleh Pejabat Pemerintahan
yang menetapkan surat keputusan dan berlaku sejak
ditetapkannya Keputusan perubahan tersebut.
(4) Keputusan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
ditemukannya alasan perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(5) Keputusan perubahan tidak boleh merugikan Warga
Masyarakat yang ditunjuk dalam Keputusan.
Paragraf 2
Pencabutan
170
Pasal 64
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila
terdapat cacat: a. wewenang; b. prosedur; dan/atau c.
substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan
Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum
pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan
Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan;
atau
c. atas perintah Pengadilan.
(4) Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan dan Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berlaku sejak
tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
(5) Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal
ditetapkan keputusan pencabutan.
Paragraf 3
Penundaan
Pasal 65
(1) Keputusan yang sudah ditetapkan tidak dapat ditunda
pelaksanaannya, kecuali jika berpotensi menimbulkan:
a. kerugian negara;
b. kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
c. konflik sosial.
171
(2) Penundaan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh:
a. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
dan/atau
b. Atasan Pejabat.
(3) Penundaan Keputusan dapat dilakukan berdasarkan:
a. Permintaan Pejabat Pemerintahan terkait; atau
b. Putusan Pengadilan.
Paragraf 4
Pembatalan
Pasal 66
(1) Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dibatalkan, harus ditetapkan
Keputusan yang baru dengan mencantumkan dasar
hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan oleh:
a. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas putusan Pengadilan.
(4) Keputusan pembatalan yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan dan Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja sejak ditemukannya alasan
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
berlaku sejak tanggal ditetapkan Keputusan pembatalan.
(5) Keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja

172
sejak perintah Pengadilan tersebut, dan berlaku sejak
tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.
(6) Pembatalan Keputusan yang menyangkut kepentingan
umum wajib diumumkan melalui media massa.
Pasal 67
(1) Dalam hal Keputusan dibatalkan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan menarik kembali semua dokumen, arsip,
dan/atau barang yang menjadi akibat hukum dari
Keputusan atau menjadi dasar penetapan Keputusan.
(2) Pemilik dokumen, arsip, dan/atau barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengembalikannya kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan
pembatalan Keputusan.
Pasal 68
(1) Keputusan berakhir apabila:
a. habis masa berlakunya;
b. dicabut oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang;
c. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang atau
berdasarkan putusan Pengadilan; atau
d. diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Keputusan dengan
sendirinya menjadi berakhir dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
(3) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Keputusan yang dicabut
tidak mempunyai kekuatan hukum dan Pejabat
Pemerintahan menetapkan Keputusan pencabutan.
(4) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat Pemerintahan
harus menetapkan Keputusan baru untuk
menindaklanjuti keputusan pembatalan.
173
(5) Dalam hal berakhirnya Keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, Keputusan tersebut
berakhir dengan mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 69
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengubah
Keputusan atas permohonan Warga Masyarakat terkait,
baik terhadap Keputusan baru maupun Keputusan yang
pernah diubah, dicabut, ditunda atau dibatalkan dengan
alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1), Pasal 64
ayat (1), Pasal 65 ayat (1), dan Pasal 66 ayat (1).
Bagian Kelima
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan
Paragraf 1
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Tidak
Sah
Pasal 70
(1) Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:
a. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang tidak berwenang;
b. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang melampaui kewenangannya; dan/atau
c. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang bertindak sewenang-wenang.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi: a. tidak
mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut
ditetapkan; dan b. segala akibat hukum yang ditimbulkan
dianggap tidak pernah ada.
(3) Dalam hal Keputusan yang mengakibatkan pembayaran
dari uang negara dinyatakan tidak sah, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan wajib mengembalikan uang ke kas
negara.
174
Paragraf 2
Akibat Hukum Keputusan dan/atau Tindakan yang Dapat
Dibatalkan
Pasal 71
(1) Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan apabila:
a. terdapat kesalahan prosedur; atau
b. terdapat kesalahan substansi.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah
sampai adanya pembatalan; dan
b. berakhir setelah ada pembatalan.
(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan dan/atau Atasan Pejabat dengan
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan baru
dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan atau
berdasarkan perintah Pengadilan.
(4) Penetapan Keputusan baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menjadi kewajiban Pejabat Pemerintahan.
(5) Kerugian yang timbul akibat Keputusan dan/atau
Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Pasal 72
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah
dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau
dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang
bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengembalian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan tanggung jawab
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan akibat kerugian
yang ditimbulkan dari Keputusan dan/atau Tindakan

175
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Legalisasi Dokumen
Pasal 73
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan
Keputusan berwenang untuk melegalisasi
salinan/fotokopi dokumen Keputusan yang ditetapkan.
(2) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang diberikan
wewenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau pengabsahan oleh notaris.
(3) Legalisasi Keputusan tidak dapat dilakukan jika terdapat
keraguan terhadap keaslian isinya.
(4) Tanda Legalisasi atau pengesahan harus memuat:
a. pernyataan kesesuaian antara dokumen asli dan
salinan/fotokopinya; dan
b. tanggal, tanda tangan pejabat yang mengesahkan, dan
cap stempel institusi atau secara notarial.
(5) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen yang dilakukan
oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak dipungut
biaya.
Pasal 74
(1) Keputusan wajib menggunakan bahasa Indonesia.
(2) Keputusan yang akan dilegalisasi yang menggunakan
bahasa asing atau bahasa daerah terlebih dahulu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Penerjemahan wajib dilakukan oleh penerjemah resmi.
BAB X
UPAYA ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 75
176
(1) Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan
dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya
Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau
Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. keberatan; dan
b. banding.
(3) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak menunda pelaksanaan Keputusan dan/atau
Tindakan, kecuali:
a. ditentukan lain dalam undang-undang; dan
b. menimbulkan kerugian yang lebih besar.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib segera
menyelesaikan Upaya Administratif yang berpotensi
membebani keuangan negara.
(5) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya.
Pasal 76
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang
menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang
diajukan oleh Warga Masyarakat.
(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas
penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada
Atasan Pejabat.
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas
penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga
Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) berkaitan dengan batal
177
atau tidak sahnya Keputusan dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan tuntutan administratif.
Bagian Kedua Keberatan
Pasal 77
(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya
Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterima, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
menetapkan Keputusan sesuai permohonan keberatan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan
keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap
dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti
dengan penetapan Keputusan sesuai dengan permohonan
keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5
(lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Bagian Ketiga
Banding
Pasal 78
(1) Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak keputusan upaya
keberatan diterima.
178
(2) Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis kepada Atasan Pejabat yang menetapkan
Keputusan.
(3) Dalam hal banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan
banding.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan
banding paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menyelesaikan banding dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5
(lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
Pasal 79
(1) Pembinaan dan pengembangan Administrasi
Pemerintahan dilakukan oleh Menteri dengan
mengikutsertakan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
(2) Pembinaan dan pengembangan Administrasi
Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan:
a. melakukan supervisi pelaksanaan UndangUndang
Administrasi Pemerintahan;
b. mengawasi pelaksanaan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan;
c. mengembangkan konsep Administrasi Pemerintahan;
d. memajukan tata pemerintahan yang baik;
179
e. meningkatkan akuntabilitas kinerja pemerintahan;
f. melindungi hak individu atau Warga Masyarakat dari
penyimpangan administrasi ataupun penyalahgunaan
Wewenang oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan; dan
g. mencegah penyalahgunaan Wewenang dalam proses
pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
(1) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9
ayat (3), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 36 ayat (3),
Pasal 39 ayat (5), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal
44 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 44 ayat (5), Pasal 47,
Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 50 ayat (4), Pasal
51 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66 ayat (6), Pasal 67
ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 77 ayat (3), Pasal 77 ayat
(7), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 78 ayat (6) dikenai sanksi
administratif ringan.
(2) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 25
ayat (3), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (6), Pasal 70 ayat
(3), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif
sedang.
(3) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 42
dikenai sanksi administratif berat.
(4) Pejabat Pemerintahan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang
menimbulkan kerugian pada keuangan negara,
perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan
hidup dikenai sanksi administratif berat.
180
Pasal 81
(1) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau
hak-hak jabatan.
(2) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 80 ayat (2) berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-
hak jabatan; atau
c. pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak
jabatan.
(3) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 ayat (3) berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di
media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak
keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di
media massa.
(4) Sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
dilakukan oleh:
a. Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan;

181
b. kepala daerah apabila Keputusan ditetapkan oleh
pejabat daerah;
c. menteri/pimpinan lembaga apabila Keputusan
ditetapkan oleh pejabat di lingkungannya; dan
d. Presiden apabila Keputusan ditetapkan oleh para
menteri/pimpinan lembaga.
(2) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
dilakukan oleh:
a. gubernur apabila Keputusan ditetapkan oleh
bupati/walikota; dan
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri apabila Keputusan
ditetapkan oleh gubernur.
Pasal 83
(1) Sanksi administratif ringan, sedang atau berat dijatuhkan
dengan mempertimbangkan unsur proporsional dan
keadilan.
(2) Sanksi administratif ringan dapat dijatuhkan secara
langsung, sedangkan sanksi administratif sedang atau
berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses
pemeriksaan internal.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81,
Pasal 82, dan Pasal 83 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 85
(1) Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan
yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum tetapi
belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini
dialihkan dan diselesaikan oleh Pengadilan.

182
(2) Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan
yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum dan
sudah diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini
tetap diselesaikan dan diputus oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum.
(3) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh pengadilan umum yang memutus.
Pasal 86
Apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pemerintah yang
dimaksudkan dalam Undang-Undang ini belum terbit,
hakim atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat
menjatuhkan putusan atau sanksi administratif berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 87
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
183
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 89
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN


2014 NOMOR 292

184
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30
TAHUN 2014
TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
I. UMUM
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah
negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan
atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk
Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan
harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang
merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara.
Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat
pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga
Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat
tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai
objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga
Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada
Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai
dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip
perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh
185
lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas
dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
harus diatur dalam undang-undang.
Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu
luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga
diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan
penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan
harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna
memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas
penyelenggaraan pemerintahan.
Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut
diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan
memberikan perlindungan kepada Warga Masyarakat serta
menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana
dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27
ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat
tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka
memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga
Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan
Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang
bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan
186
gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha
Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum
materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi
hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan
Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini
merupakan instrumen penting dari negara hukum yang
demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif,
dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan
yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal
inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara
hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak
kepada warganya dan bukan sebaliknya.
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka
memberikan jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula
sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum
yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Warga Masyarakat dalam sebuah negara tidak
dengan sendirinya—baik secara keseluruhan maupun
sebagian—dapat terwujud.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-
Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga
Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena.
Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan
mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-
Undang ini merupakan transformasi AUPB yang telah
dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam
187
penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam
norma hukum yang mengikat.
AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah
negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam
Undang-Undang ini berpijak pada asas-asas yang
berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya
meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance)
dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-
Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang
semakin baik, transparan, dan efisien.
Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada
dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip
pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak
administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam
rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-
Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur
kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB.
Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai
payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi
juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga
keberadaan Undang-Undang ini benarbenar dapat
mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau
Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
188
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―asas legalitas‖ adalah bahwa
penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan
mengedepankan dasar hukum dari sebuah Keputusan
dan/atau Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―asas perlindungan terhadap
hak asasi manusia‖ adalah bahwa penyelenggaraan
Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar
Warga Masyarakat sebagaimana dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Huruf c Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f
Warga Masyarakat yang didengar pendapatnya
adalah setiap pihak yang terbebani atas Keputusan
dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan.
Mekanisme untuk memberikan kesempatan
kepada Warga Masyarakat untuk didengar
189
pendapatnya dapat dilakukan melalui tatap muka,
sosialisasi, musyawarah, dan bentuk kegiatan
lainnya yang bersifat individu dan/atau
perwakilan.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas.
Huruf l Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―menjadi dasar
Kewenangan‖ adalah dasar hukum dalam
pengangkatan atau penetapan pejabat yang sesuai
dengan kedudukan dan kewenangannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―dasar pengambilan
Keputusan dan/atau Tindakan‖ adalah dasar
hukum baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung dalam menjalankan tugas pokoknya.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Pertimbangan kemanfaatan umum atas satu Keputusan
dan/atau Tindakan tidak boleh melanggar norma-
norma agama, sosial, dan kesusilaan. Kemanfaatan
umum harus memberikan dampak pada peningkatan
kesejahteraan dan kepentingan Warga Masyarakat.
Pasal 10
Ayat (1)
190
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―asas kepastian hukum‖
adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―asas kemanfaatan‖
adalah manfaat yang harus diperhatikan secara
seimbang antara: (1) kepentingan individu yang
satu dengan kepentingan individu yang lain; (2)
kepentingan individu dengan masyarakat; (3)
kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat
asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat
yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat
yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan
Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang
sekarang dan kepentingan generasi mendatang;
(7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8)
kepentingan pria dan wanita.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ―asas ketidakberpihakan‖
adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan dengan mempertimbangkan
kepentingan para pihak secara keseluruhan dan
tidak diskriminatif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ―asas kecermatan‖ adalah
asas yang mengandung arti bahwa suatu
Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan
191
pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau
pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan
sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang
bersangkutan dipersiapkan dengan cermat
sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut
ditetapkan dan/atau dilakukan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ―asas tidak
menyalahgunakan kewenangan‖ adalah asas yang
mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menggunakan
kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan
tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak
melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau
tidak mencampuradukkan kewenangan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ―asas keterbukaan‖ adalah
asas yang melayani masyarakat untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi
yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ―asas kepentingan umum‖
adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan
kemanfaatan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak
diskriminatif.
Huruf h

192
Yang dimaksud dengan ―asas pelayanan yang
baik‖ adalah asas yang memberikan pelayanan
yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas,
sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―asas-asas umum lainnya di
luar AUPB‖ adalah asas umum pemerintahan yang baik
yang bersumber dari putusan pengadilan negeri yang
tidak dibanding, atau putusan pengadilan tinggi yang
tidak dikasasi atau putusan Mahkamah Agung. Pasal
11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Kewenangan Mandat diperoleh dari sumber
kewenangan atributif dan delegatif.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―tugas rutin‖ adalah
pelaksanaan tugas jabatan atas nama pemberi
Mandat yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan
dan tugas sehari-hari.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Wewenang Mandat dilaksanakan dengan menyebut
atas nama (a.n), untuk beliau (u.b), melaksanakan
mandat (m.m), dan melaksanakan tugas (m.t).
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
193
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan ―Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat strategis‖ adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar
seperti penetapan perubahan rencana strategis dan
rencana kerja pemerintah. Yang dimaksud dengan
―perubahan status hukum organisasi‖ adalah
menetapkan perubahan struktur organisasi.
Yang dimaksud dengan ―perubahan status hukum
kepegawaian‖ adalah melakukan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Yang dimaksud dengan ―perubahan alokasi anggaran‖
adalah melakukan perubahan anggaran yang sudah
ditetapkan alokasinya.
Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―tidak sah‖ adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah
ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum
Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau
dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan
dianggap tidak pernah ada.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―dapat dibatalkan‖ adalah
pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui
pengujian oleh Atasan Pejabat atau badan peradilan.
194
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ―stagnasi pemerintahan‖
adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas
pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau
disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak
politik.
Pasal 23
Huruf a
Pilihan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau
diberikan kewenangan, berhak, seharusnya,
diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
yang dimaksud pilihan Keputusan dan/atau Tindakan
adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam
melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi
Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―peraturan perundang-
undangan tidak mengatur‖ adalah ketiadaan atau
kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar
kelaziman.
195
Huruf c
Yang dimaksud dengan ―peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas‖ apabila
dalam peraturan perundang-undangan masih
membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang
tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron),
dan peraturan yang membutuhkan peraturan
pelaksanaan, tetapi belum dibuat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ―kepentingan yang lebih luas‖
adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan
keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah
penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan
kesatuan bangsa.
Pasal 24
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ―alasan-alasan objektif‖ adalah
alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan
kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta
berdasarkan AUPB.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ―iktikad baik‖ adalah
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran
dan berdasarkan AUPB.
Pasal 25
Ayat (1)

196
Yang dimaksud dengan ―memperoleh persetujuan dari
Atasan Pejabat‖ adalah memperoleh persetujuan dari
atasan langsung pejabat yang berwenang menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Bagi pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
mengajukan persetujuan kepada kepala daerah.
Bagi bupati/walikota mengajukan persetujuan kepada
gubernur.
Bagi gubernur mengajukan persetujuan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam negeri.
Bagi pimpinan unit kerja pada kementerian/lembaga
mengajukan persetujuan kepada menteri/pimpinan
lembaga.
Sistem pengalokasian anggaran sebagai dampak dari
persetujuan Diskresi dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―akibat hukum‖ adalah suatu
keadaan yang timbul sebagai akibat ditetapkannya
Diskresi.
Ayat (3)
Pelaporan kepada atasan digunakan sebagai instrumen
untuk pembinaan, pengawasan, dan evaluasi serta
sebagai bagian dari akuntabilitas pejabat.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ―keadaan mendesak‖ adalah
suatu kondisi objektif dimana dibutuhkan dengan
segera penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan
dan/atau Tindakan oleh Pejabat Pemerintahan untuk
menangani kondisi yang dapat mempengaruhi,

197
menghambat, atau menghentikan penyelenggaraan
pemerintahan.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ―Keputusan dan/atau
Tindakan rutin‖ adalah kegiatan atau hal yang menjadi
tugas pokoknya.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―secara wajar‖ adalah biaya
yang ditimbulkan sesuai kebutuhan riil dan
kemampuan penerima Bantuan Kedinasan.
Pasal 36
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan Bantuan Kedinasan hanya dimungkinkan
apabila pemberian bantuan tersebut akan sangat
mengganggu pelaksanaan tugas Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang diminta bantuan, misalnya:
pelaksanaan Bantuan Kedinasan yang diminta
dikhawatirkan akan melebihi anggaran yang dimiliki,
198
keterbatasan sumber daya manusia, mengganggu
pencapaian tujuan, dan kinerja Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang informasi dan
transaksi elektronik.
Ayat (2)
Untuk proses pengamanan pengiriman Keputusan,
dokumen asli akan dikirimkan apabila dibutuhkan
penegasan mengenai penanggung jawab dari Pejabat
Pemerintahan yang menyimpan dokumen asli. Jika
terdapat permasalahan teknis dalam pengiriman dan
penerimaan dokumen secara elektronis baik dari pihak
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Warga
Masyarakat, maka kedua belah pihak saling
memberitahukan secepatnya.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―memerlukan perhatian
khusus‖ adalah setiap usaha atau kegiatan yang
dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat,
199
dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu
memberikan perhatian dan pengawasan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―swasta‖ meliputi
perorangan, korporasi yang berbadan hukum di
Indonesia, dan asing.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―kerabat dan keluarga‖
adalah hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua dalam garis lurus maupun garis samping,
termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga
yang dimaksud dengan keluarga meliputi: 1. orang
tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara
kandung/tiri/angkat; 3. suami/isteri; 4. anak
kandung/tiri/angkat; 5. suami/isteri dari anak
kandung/tiri/angkat; 6. kakek/nenek
kandung/tiri/angkat; 7. cucu
kandung/tiri/angkat; 8. saudara
kandung/tiri/angkat dari suami/ isteri; 9.
suami/isteri dari saudara kandung/tiri/ angkat;

200
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Keputusan yang dapat
menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat‖
adalah Keputusan yang dapat menimbulkan kerugian
faktual bagi Warga Masyarakat.
Sosialisasi dimaksudkan agar pihak yang terkait paham
bahwa Keputusan yang akan ditetapkan akan
menimbulkan pembebanan. Sosialisasi dilakukan
sebelum penetapan Keputusan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ―Keputusan yang menyangkut
penegakan hukum‖ adalah Keputusan sebagai
pelaksanaan Keputusan sebelumnya.
Contoh: Keputusan tentang relokasi bangunan di jalur
hijau dan pembongkaran rumah yang tidak memiliki
izin.
Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
201
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ―media lainnya‖ antara lain
papan pengumuman, brosur, media massa, atau media
tradisional.
Pasal 50
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―pemeriksaan dokumen‖
mencakup: a. mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti
yang menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan. b. menyiapkan dokumen yang
dibutuhkan, mengumpulkan informasi, mendengarkan
dan memperhatikan pendapat pihak lain yang terlibat
dan/atau terkait, pernyataan tertulis dan elektronis dari
pihak yang berkepentingan, melihat langsung fakta-
fakta, menanyakan kepada para saksi dan/atau ahli,
serta bukti-bukti lain yang relevan sebelum
ditetapkannya Keputusan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―membuka akses‖ adalah
memberikan kesempatan membaca, memfotokopi,
dan mengunduh dokumen Administrasi
Pemerintahan yang terkait.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―rahasia negara‖ adalah
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang kearsipan, kerahasiaan
negara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
202
Yang dimaksud dengan ―kerahasiaan pihak ketiga‖
adalah hal-hal yang menyangkut data dan informasi
pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Salah satu bentuk prosedur dapat dibuat dalam
bentuk standar operasional prosedur.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
a. Yang dimaksud dengan ―Keputusan yang bersifat
konstitutif‖ adalah Keputusan yang bersifat penetapan
mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.
b. Yang dimaksud dengan ―Keputusan yang bersifat
deklaratif‖ adalah Keputusan yang bersifat pengesahan
setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang
bersifat konstitutif.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―pertimbangan yuridis‖ adalah
landasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum
kewenangan dan dasar hukum substansi.
Yang dimaksud dengan ―pertimbangan sosiologis‖
adalah landasan yang menjadi dasar manfaat bagi
masyarakat.
203
Yang dimaksud dengan ―pertimbangan filosofis‖ adalah
landasan yang menjadi dasar kesesuaian dengan tujuan
penetapan Keputusan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―penjelasan terperinci‖ adalah
penjelasan yang menguraikan alasan penetapan
Keputusan sampai ke hal yang bersifat detail dan jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57
Pada dasarnya Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan.
Jika terdapat penyimpangan terhadap mulai berlakunya
Keputusan, hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam
Keputusan.
Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Yang dimaksud dengan ―mulai dan
berakhirnya Keputusan dengan batas waktu‖
adalah Keputusan yang mencantumkan adanya
ketentuan pembatasan dengan batas waktu.
Huruf b Yang dimaksud dengan ―mulai dan
berakhirnya Keputusan atas kejadian pada masa
yang akan datang‖ adalah Keputusan yang
mencantumkan adanya ketentuan pembatasan
dengan kejadian tertentu.
Huruf c Yang dimaksud dengan ―mulai dan
berakhirnya Keputusan dengan penarikan‖ adalah
Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan
pembatasan dengan Keputusan terhadap
penarikan Keputusan.

204
Huruf d Yang dimaksud dengan ―mulai dan
berakhirnya Keputusan dengan tugas‖ adalah
Keputusan yang mencantumkan adanya ketentuan
pembatasan mulai tugas yang harus dilakukan.
Huruf e Yang dimaksud dengan ―mulai dan
berakhirnya Keputusan yang bersifat susulan
akibat adanya perubahan fakta dan kondisi
hukum‖ adalah adanya data, fakta, dan informasi
yang berubah terhadap Keputusan.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―sarana elektronis‖ antara lain
faksimile, surat elektronik, dan sebagainya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Keputusan yang ditujukan bagi orang banyak atau
bersifat massal antara lain keputusan presiden terkait
pengangkatan pegawai negeri sipil dalam pangkat dan
keputusan presiden terkait pensiun pegawai negeri sipil.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―perubahan‖ adalah perubahan
sebagian isi Keputusan oleh Pejabat Pemerintahan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―kesalahan konsideran‖
adalah ketidaksesuaian penempatan rumusan baik
pertimbangan maupun dasar hukum dalam
konsideran menimbang dan/atau mengingat.
Huruf b
205
Yang dimaksud dengan ―kesalahan redaksional‖
adalah kelalaian dalam penulisan dan kesalahan
teknis lainnya.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ―cacat substansi‖ antara
lain:
1. Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima
Keputusan sampai batas waktu yang
ditentukan;
2. Fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang
menjadi dasar Keputusan telah berubah;
3. Keputusan dapat membahayakan dan
merugikan kepentingan umum; atau 4.
Keputusan tidak digunakan sesuai dengan
tujuan yang tercantum dalam isi Keputusan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
206
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Keputusan yang berakhir dengan sendirinya:
Keputusan pengangkatan pejabat yang masa jabatan
yang bersangkutan telah berakhir, maka Keputusan
pengangkatan tersebut dengan sendirinya menjadi
berakhir dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Apabila ketentuan peraturan perundang-undangan
mengatur tentang masa berlakunya suatu Keputusan,
sedangkan dalam Keputusan pengangkatan pejabat
yang bersangkutan tidak dicantumkan secara tegas
maka berakhirnya Keputusan memerlukan penerbitan
Keputusan baru demi kepastian hukum.
Contoh dalam hal terjadi perubahan struktur organisasi
pemerintahan dari organisasi yang lama ke organisasi
baru yang berakibat pada perubahan nomenklatur
jabatan, sedangkan pemangku jabatan tidak ditentukan
masa berlakunya dalam keputusan pengangkatan, maka
diperlukan penetapan keputusan baru untuk
mengakhiri masa jabatan pejabat yang bersangkutan.
Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengembalian uang ke kas negara dilakukan baik oleh
Pejabat Pemerintahan yang terkait maupun Warga

207
Masyarakat yang telah menerima pembayaran yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―kesalahan prosedur‖
adalah kesalahan dalam hal tata cara penetapan
Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan
dan tata cara yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau standar
operasional prosedur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―kesalahan substansi‖
adalah kesalahan dalam hal tidak sesuainya materi
yang dikehendaki dengan rumusan dalam
Keputusan yang dibuat, misal terdapat konflik
kepentingan, cacat yuridis, dibuat dengan paksaan
fisik atau psikis, maupun dibuat dengan tipuan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ―salinan/fotokopi‖ adalah
termasuk juga copy collationee.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ―dokumen‖ adalah setiap
informasi yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis
atau bentuk elektronik yang dikuasai oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berkaitan dengan

208
aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
pelayanan publik.
Kewenangan notaris untuk mengesahkan dokumen
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ―terdapat keraguan‖ adalah
karena robek, penghapusan kata, angka dan tanda,
perubahan, kata-kata yang tidak jelas terbaca,
penambahan atau hilangnya lembar halaman yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari dokumen.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―banding‖ adalah banding
administratif yang dilakukan pada atasan Atasan
Pejabat yang menetapkan Keputusan konstitutif.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam negeri melakukan pembinaan dan
pengembangan Administrasi Pemerintahan di daerah.
209
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ―uang paksa‖ adalah
sejumlah uang yang dititipkan sebagai jaminan
agar Keputusan dan/atau Tindakan dilaksanakan
sehingga apabila Keputusan dan/atau Tindakan
telah dilaksanakan uang paksa tersebut
dikembalikan kepada Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ―pemberhentian
sementara‖ adalah pemberhentian dalam tenggang
waktu tertentu dengan dibebaskan atau tidak
menjalankan tugas dan wewenang jabatan
Administrasi Pemerintahan.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ―media massa‖ adalah
media cetak dan/atau media elektronik baik
nasional maupun lokal.
Huruf d Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
210
Pasal 86 Cukup jelas.
Pasal 87
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ―final dalam arti luas‖
mencakup Keputusan yang diambil alih oleh Atasan
Pejabat yang berwenang.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 5601

211
212
TENTANG PENULIS

Ade Kosasih lahir di Bengkulu Selatan pada


tanggal 18 Maret 1982. Menyelesaikan studi
Strata 1 pada Fakultas Hukum Universitas
Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu dengan
konsentrasi bidang ilmu Hukum Pidana. Pada
tahun 2005 menempuh studi pada Program.
Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Bengkulu dengan konsentrasi Hukum Tata Negara (Otonomi
Daerah) dan menyelesaikan studi pada tahun 2007. Pada
tahun 2008-2010 Penulis sempat bekerja sebagai Advokat dan
mendirikan Kantor Hukum Advokasi Keadilan. Pada tahun
2010-2016 Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Tengah, dan pernah
menjabat sebagai Kasubbag Bantuan Hukum dan HAM pada
tahun 2011-2013 dan Kasubbag Perundang-Undangan pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkulu Tengah dari tahun
2013-2016. Pada bulan Agustus 2016 Penulis mutasi dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Tengah ke Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu sampai dengan
sekarang, sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Syari‘ah.
Penulis juga telah pernah menerbitkan beberapa buku yaitu:
 Formula Praktis Memahami Teknik dan Desain Legal
Drafting”, Bogor: Herya Media, 2015.
 Hubungan Kewenangan Antara DPD dan DPR dalam
Sistem Parlemen Bikameral, Bengkulu: Vanda, 2016,
bersama Imam Mahdi.

213
TENTANG PENULIS

Imam Mahdi lahir di Muara Enim, pada


tanggal 07 Maret 1965. Pendidikan Dasar
dilaluinya di Madrasah Ibtidayah Negeri
(MIN) Pajar Bulan (1977) dan melanjutkan
sekolah di SMP Negeri 1 Pulau Panggung
(1981) serta SMA Negeri 1 Muara Enim (1984).
Strata 1 ditempuhnya di Fakultas Hukum Universitas
Universitas Bengkulu (1989) dan Strata 2 di Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (1989).
Sedangkan Strata 3 dilaluinya Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (2012).
Penulis pernah bekerja dan menjabat berbagai jabatan struktural
di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan dan
Pemerintah Kota Bengkulu, kemudian mutasi ke Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu. Penulis pernah
menjabat sebagai Kepala Lembaga Bantuan Hukum STAIN
Bengkulu dan Ketua Program Studi Ahwalul Syaksyiah STAIN
Bengkulu. Saat ini Penulis adalah Dekan Fakultas Syari‘ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu. Penulis juga
sering terlibat dalam berbagai kegiatan seminar, workshop, dan
dialog interaktif di berbagai media, baik sebagai narasumber
maupun sebagai peserta.
Adapun buku yang pernah diterbitkan yaitu:
1. Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Teras, 2013.
2. Hukum Administrasi Negara, Bogor: IPB Press, 2015.
3. Hubungan Kewenangan Antara DPD dan DPR dalam
Sistem Parlemen Bikameral, Bengkulu: Vanda, 2016,
bersama Ade Kosasih.

214
TENTANG PENULIS

Dr. H. John Kenedi, S.H., M.Hum. lahir di


Karang Dapo Lahat, 3 Mei 1962. Pendidikan
masa kecil TK, SD di Karang Dapo Lahat, SMP
Muhammadiyah Karang Dapo dan
menamatkan sekolah di SMP N 1 Tebing
Tinggi Lahat, SMA Sint Carolus Bengkulu.
Strata 1 diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr.
Hazairin, S.H. Bengkulu pada tahun 1997/1998. Strata 2 di
Fakultas Hukum Universita Sriwijaya Palembang Tahun
2005/2006, dan Strata 3 di Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung Tahun 2014/2015.
Penulis juga pernah mengikuti Pendidikan Nasional Dosen
Civic Education, di Jakarta Tahun 2000. Mengikuti Pendidikan
Singkat Lemhanas Tahun 2016 dan lain-lain.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Syariah dan Hukum
Institut Agama Islam Negeri Bengkulu dan menjadi Dosen
Luar Biasa pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. dan beberapa
perguruan tinggi negeri dan swasta di Bengkulu.

215

Anda mungkin juga menyukai

  • Catatan Hukum Pidana Perkembangan
    Catatan Hukum Pidana Perkembangan
    Dokumen1 halaman
    Catatan Hukum Pidana Perkembangan
    MUHAMMAD KHALIFAH PUTRA M. 190 217
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen4 halaman
    Untitled
    MUHAMMAD KHALIFAH PUTRA M. 190 217
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen3 halaman
    Untitled
    MUHAMMAD KHALIFAH PUTRA M. 190 217
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen3 halaman
    Untitled
    MUHAMMAD KHALIFAH PUTRA M. 190 217
    Belum ada peringkat